Selasa, 08 April 2025

Pemikiran Socrates: Fondasi Etika dan Dialektika dalam Filsafat Barat

Pemikiran Socrates

Fondasi Etika dan Dialektika dalam Filsafat Barat


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.

Socrates dalam Dialog-Dialog Plato, Elenchus, Maieutic Socrates.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran filsuf Yunani Kuno, Socrates (469–399 SM), yang dianggap sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Meskipun Socrates tidak meninggalkan karya tulis, warisan intelektualnya diteruskan melalui murid-muridnya, terutama Plato dan Xenophon. Fokus utama artikel ini mencakup kehidupan dan konteks historis Socrates, metode dialektis yang dikenal sebagai Socratic Method atau elenchus, serta pandangan-pandangannya mengenai etika, moralitas, dan kebajikan sebagai pengetahuan. Selain itu, artikel ini menyoroti kritik Socrates terhadap praktik demokrasi Athena dan kesetiaannya terhadap prinsip hukum, bahkan hingga menjalani hukuman mati. Pembahasan juga mencakup pengaruh jangka panjang pemikirannya terhadap berbagai aliran filsafat, termasuk Stoikisme, filsafat Kristen dan Islam, serta filsafat modern seperti Kantianisme dan eksistensialisme. Di bagian akhir, artikel ini mengkaji berbagai penafsiran kontemporer terhadap Socrates serta relevansi pemikirannya dalam dunia pendidikan, politik, dan etika publik masa kini. Melalui pendekatan berbasis sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini menegaskan bahwa warisan Socrates tetap hidup sebagai fondasi penting bagi pemikiran kritis, integritas moral, dan kebebasan intelektual dalam peradaban manusia.

Kata Kunci: Socrates, filsafat Yunani, etika, metode Socratic, kebajikan, demokrasi Athena, filsafat moral, warisan intelektual, dialektika, pendidikan kritis.


PEMBAHASAN

Socrates dan Warisan Pemikirannya Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah pemikiran Barat, sedikit tokoh yang memiliki pengaruh sebesar Socrates. Meskipun ia tidak meninggalkan satu pun karya tulis, pemikirannya telah membentuk fondasi penting bagi perkembangan etika, logika, dan metode berpikir kritis. Socrates (469–399 SM) tidak hanya menjadi figur sentral dalam filsafat Yunani Kuno, tetapi juga telah diabadikan sebagai ikon pencarian kebenaran melalui pertanyaan yang mendalam dan refleksi moral yang tajam. Sebagai seorang filsuf, ia lebih banyak dikenal karena cara hidupnya dan metode pengajarannya yang unik daripada sistem filsafat yang utuh seperti yang ditemukan dalam karya-karya Plato atau Aristoteles.

Salah satu kontribusi terbesar Socrates adalah pengenalan terhadap metode dialektika atau yang dikenal sebagai metode Socratic (Socratic Method), sebuah pendekatan tanya-jawab yang bertujuan membongkar asumsi dan menemukan definisi hakikat suatu konsep secara kritis dan rasional. Metode ini menjadi fondasi penting dalam pengembangan logika dan epistemologi di masa-masa selanjutnya dan masih digunakan hingga hari ini dalam pendidikan hukum, etika, dan ilmu humaniora lainnya.¹

Yang menjadikan Socrates berbeda dari para pemikir sebelumnya, seperti para filsuf alam (Thales, Anaximander, Heraclitus), adalah peralihannya dari spekulasi kosmologis menuju filsafat moral dan pertanyaan tentang bagaimana manusia seharusnya hidup. Ia menolak relativisme moral yang berkembang di kalangan kaum Sofis, dan sebaliknya menekankan bahwa pengetahuan sejati akan menghasilkan kebajikan, serta bahwa kebajikan adalah kunci bagi kehidupan yang bahagia.² Oleh karena itu, filsafat dalam pandangan Socrates bukan sekadar teori, melainkan praktik kehidupan yang melibatkan perawatan jiwa (psychē) dan pencarian kebaikan tertinggi.³

Relevansi pemikiran Socrates semakin jelas ketika kita menempatkannya dalam konteks modern: saat kebebasan berpikir dan refleksi kritis menjadi kunci bagi pembentukan individu dan masyarakat yang dewasa. Keteguhannya dalam mempertahankan prinsip, bahkan hingga menghadapi hukuman mati, menunjukkan integritas dan dedikasi terhadap kebenaran yang menjadikannya tokoh abadi dalam sejarah intelektual dunia.⁴ Oleh sebab itu, menggali kembali pemikiran dan metode Socrates bukan hanya berarti menelaah masa lalu, tetapi juga meresapi nilai-nilai filosofis yang terus hidup dan bekerja dalam kehidupan manusia kontemporer.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 1–5.

[2]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 37–40.

[3]                C.D.C. Reeve, Socrates in the Apology: An Essay on Plato's Apology of Socrates (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 45.

[4]                W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 78–83.


2.           Sosok Socrates: Kehidupan dan Konteks Historis

Socrates lahir di Athena sekitar tahun 469 SM, pada masa kejayaan kebudayaan dan politik Yunani Kuno. Ia berasal dari keluarga sederhana; ayahnya, Sophroniscus, adalah seorang pemahat, sedangkan ibunya, Phaenarete, dikenal sebagai seorang bidan.⁽¹⁾ Meskipun berasal dari kalangan non-elit, Socrates menunjukkan minat besar terhadap persoalan-persoalan moral dan intelektual yang melampaui batasan status sosial. Kehidupannya sangat kontras dengan gaya hidup para Sofis yang kala itu populer—ia hidup asketik, menolak bayaran untuk pengajaran, dan lebih memilih diskusi di ruang publik daripada ceramah formal.⁽²⁾

Socrates tidak menulis karya apa pun sepanjang hidupnya. Pengetahuan kita tentang dirinya sepenuhnya berasal dari tulisan-tulisan para pengikut dan pengamatnya, terutama Plato, Xenophon, serta dalam beberapa kasus dari Aristophanes, yang menggambarkan dirinya secara satiris dalam lakon The Clouds.⁽³⁾ Namun, adanya perbedaan tajam antara sumber-sumber tersebut—khususnya antara representasi Socrates dalam karya-karya Plato yang filosofis dan potret dalam komedi Aristophanes—membuka ruang bagi perdebatan akademik yang hingga kini dikenal sebagai "masalah Socrates" (Socratic problem).⁽⁴⁾

Athena, tempat Socrates menghabiskan seluruh hidupnya, adalah pusat politik dan intelektual dunia Yunani, namun juga merupakan kota dengan dinamika sosial-politik yang kompleks. Setelah kekalahan Athena dalam Perang Peloponnesos (404 SM), terjadi ketidakstabilan politik yang mengarah pada pendirian rezim oligarkis Tiga Puluh Tiran, di mana dua murid Socrates—Critias dan Charmides—terlibat secara aktif. Hal ini kemudian ikut memengaruhi persepsi publik terhadap Socrates, meskipun ia sendiri tidak berpolitik.⁽⁵⁾

Pada tahun 399 SM, Socrates diadili oleh negara Athena dengan tuduhan “merusak akhlak pemuda” dan “tidak mengakui dewa-dewa negara.” Proses peradilan ini menjadi puncak dari ketegangan antara Socrates dan masyarakatnya—ketegangan antara filsafat yang kritis dan struktur sosial-politik yang defensif terhadap perubahan. Dalam Apology karya Plato, Socrates digambarkan membela diri dengan tegas, namun menolak untuk tunduk atau berhenti menjalankan misi filosofisnya. Ia dijatuhi hukuman mati dan akhirnya meneguk racun hemlock dengan tenang, menjadikan akhir hidupnya sebagai simbol keteguhan dalam membela kebenaran dan nurani moral.⁽⁶⁾

Konteks sosial dan politik tempat Socrates hidup menunjukkan bahwa pemikirannya lahir bukan dalam ruang hampa, melainkan di tengah realitas sosial yang kompleks dan terkadang represif. Ia hadir sebagai suara kritis yang menantang norma, kekuasaan, dan relativisme etika—sebuah peran yang tak jarang memicu kontroversi, tetapi justru membuktikan betapa pentingnya filsafat sebagai penjaga nurani publik.


Footnotes

[1]                W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 1–4.

[2]                C.D.C. Reeve, Socrates in the Apology: An Essay on Plato's Apology of Socrates (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 12–14.

[3]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 35.

[4]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 45–48.

[5]                Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, The Philosophy of Socrates (Boulder: Westview Press, 2000), 76–79.

[6]                Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 17a–42a.


3.           Metode Socrates (Socratic Method / Elenchus)

Salah satu warisan terbesar Socrates dalam dunia filsafat adalah metode dialektis yang kini dikenal dengan Metode Socrates (Socratic Method) atau elenchus. Metode ini bukan hanya cara bertanya, melainkan pendekatan epistemologis dan pedagogis untuk mengungkap kebenaran melalui diskusi yang rasional dan reflektif. Socrates menggunakan metode ini untuk mendorong lawan bicaranya (interlokutor) menguji pemahaman mereka sendiri terhadap suatu konsep, seperti keadilan, keberanian, atau kebajikan, hingga ditemukan kontradiksi internal dalam pemahaman mereka.⁽¹⁾

Metode elenchus biasanya terdiri atas beberapa tahap sistematis:

1)                  Mengajukan pertanyaan utama (biasanya tentang definisi suatu konsep moral),

2)                  Menerima jawaban dari lawan bicara,

3)                  Mengajukan serangkaian pertanyaan lanjutan yang menguji koherensi dari jawaban tersebut,

4)                  Menunjukkan kontradiksi atau kelemahan dalam jawaban awal, dan

5)                  Mengakhiri dengan aporia, yaitu pengakuan bahwa jawaban awal ternyata tidak memadai.⁽²⁾

Contoh klasik dari penerapan metode ini dapat ditemukan dalam Euthyphro, salah satu dialog awal Plato, di mana Socrates mempertanyakan definisi “kefakihan” (piety). Euthyphro mencoba memberi definisi bahwa yang saleh adalah "apa yang disukai para dewa", tetapi Socrates menunjukkan bahwa para dewa sendiri tidak selalu sepakat, sehingga definisi tersebut tidak konsisten.⁽³⁾ Dalam dialog ini, dan banyak dialog lainnya, tujuan Socrates bukan untuk memberikan jawaban akhir, melainkan untuk membangkitkan kesadaran kritis akan batas-batas pengetahuan kita.

Metode Socrates juga mencerminkan pandangannya yang mendalam tentang keutamaan intelektual dan etika, yakni bahwa menyadari ketidaktahuan adalah langkah pertama menuju kebijaksanaan. Sebagaimana dikutip Plato dalam Apology, Socrates menyatakan, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa” (oida ouk eidōs), suatu pengakuan yang menjadi dasar kejujuran intelektual dan semangat pencarian kebenaran.⁽⁴⁾

Selain menjadi metode filsafat, elenchus juga merupakan alat pendidikan moral. Socrates percaya bahwa melalui tanya-jawab reflektif, individu dapat memperbaiki jiwanya dan hidup secara lebih bermakna.⁽⁵⁾ Dalam konteks inilah, metode Socrates bukan hanya teknik argumentasi, tetapi sarana pencerahan moral dan spiritual.

Dalam perkembangan selanjutnya, Socratic Method menjadi dasar bagi logika dialektis Plato dan model pembelajaran di berbagai bidang, termasuk hukum, etika, dan pedagogi modern. Sejumlah cendekiawan bahkan menempatkan metode ini sebagai pendahulu dari pendekatan maieutika—yakni filsafat sebagai proses "melahirkan kebenaran" dari dalam diri peserta didik, bukan menjejalkan pengetahuan dari luar.⁽⁶⁾


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 1–4.

[2]                Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato's Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 13–19.

[3]                Plato, Euthyphro, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 5d–15c.

[4]                Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 21d.

[5]                Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socratic Moral Psychology (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 42–45.

[6]                W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 53–55.


4.           Pandangan Etika dan Moral Socrates

Socrates menempati posisi sentral dalam sejarah etika karena dialah yang pertama kali mengalihkan perhatian filsafat dari spekulasi kosmologis kepada pertanyaan moral tentang bagaimana manusia seharusnya hidup.⁽¹⁾ Bagi Socrates, filsafat bukan sekadar pencarian teoretis, melainkan jalan hidup yang ditandai dengan perenungan terus-menerus atas makna kebajikan (aretē), kebenaran, dan keadilan. Dalam pandangan Socrates, seseorang tidak dapat hidup dengan baik tanpa terlebih dahulu memahami apa itu hidup yang baik.⁽²⁾

4.1.       Kebajikan adalah Pengetahuan (Virtue is Knowledge)

Salah satu prinsip etika paling terkenal dari Socrates adalah pernyataan bahwa kebajikan adalah pengetahuan. Dalam dialog-dialog awal Plato, Socrates berargumen bahwa jika seseorang mengetahui apa yang baik, maka ia pasti akan melakukan yang baik.⁽³⁾ Dengan kata lain, kejahatan bukanlah hasil niat jahat, tetapi akibat dari ketidaktahuan. Dalam Protagoras, misalnya, ia menolak pandangan relativis kaum Sofis dan menegaskan bahwa semua kebajikan moral (keberanian, keadilan, kesalehan) merupakan bentuk dari pengetahuan praktis yang dapat dipelajari dan dipahami secara rasional.⁽⁴⁾

Pandangan ini menyiratkan bahwa pendidikan moral tidak hanya berkaitan dengan indoktrinasi nilai, tetapi juga melibatkan proses intelektual yang mendalam. Socrates percaya bahwa melalui penyelidikan rasional, seseorang dapat mencapai pemahaman tentang nilai-nilai moral universal dan menerapkannya dalam hidupnya.⁽⁵⁾

4.2.       Jiwa sebagai Pusat Kehidupan Moral

Dalam kerangka moral Socrates, jiwa (psychē) adalah pusat eksistensi manusia, dan tugas utama setiap individu adalah merawat jiwa agar tetap dalam keadaan baik dan tertib.⁽⁶⁾ Oleh karena itu, perbuatan baik bukan semata-mata demi kepentingan sosial, tetapi demi kesehatan dan kebahagiaan jiwa itu sendiri. Dalam Apology, Socrates menyatakan bahwa "kehidupan yang tidak diperiksa (unexamined life) tidak layak untuk dijalani" (ho de anexetastos bios ou biōtōs anthrōpō), sebuah pernyataan yang menegaskan pentingnya refleksi moral dalam kehidupan manusia.⁽⁷⁾

Ia juga memandang bahwa perawatan jiwa lebih penting daripada kekayaan atau kehormatan, karena kekayaan tidak dapat memperbaiki jiwa, tetapi kebajikanlah yang dapat membawa pada kebahagiaan sejati.⁽⁸⁾ Di sinilah tampak bahwa etika Socrates bukan sekadar ajaran moral, melainkan juga visi hidup yang integral.

4.3.       Otonomi Moral dan Penolakan terhadap Konvensi Sosial

Socrates juga menunjukkan komitmen yang kuat terhadap otonomi moral. Ia menolak menerima kepercayaan hanya karena tradisi atau otoritas, dan justru menekankan pentingnya menguji secara rasional setiap keyakinan moral.⁽⁹⁾ Ketika menghadapi tekanan sosial dan politik, seperti dalam pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati kepadanya, Socrates tidak menyerah pada mayoritas, tetapi bertahan pada prinsip bahwa lebih baik menderita ketidakadilan daripada melakukan ketidakadilan.⁽¹⁰⁾

Sikap ini menjadikan Socrates sebagai simbol keberanian moral dan integritas intelektual. Ia menolak untuk tunduk pada tekanan yang memaksanya mengingkari prinsip, dan dengan demikian menunjukkan bahwa moralitas sejati bersifat internal, tidak tergantung pada pengakuan sosial.


Footnotes

[1]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 37.

[2]                C.D.C. Reeve, Socrates in the Apology: An Essay on Plato's Apology of Socrates (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 50.

[3]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 201–204.

[4]                Plato, Protagoras, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 351b–361e.

[5]                Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socratic Moral Psychology (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 33–35.

[6]                W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 92–95.

[7]                Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.

[8]                Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato's Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 122–124.

[9]                Vlastos, Socratic Studies, 216–218.

[10]             Plato, Crito, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 49b–54d.


5.           Pemikiran Politik dan Kritis terhadap Demokrasi Athena

Meskipun Socrates tidak dikenal sebagai seorang filsuf politik dalam arti sistematis seperti Plato atau Aristoteles, pandangan-pandangannya terhadap politik dan demokrasi Athena tetap menjadi sumber perdebatan dan ketertarikan dalam studi filsafat politik klasik. Dalam berbagai dialog Plato, tampak bahwa Socrates mengembangkan sikap kritis terhadap praktik demokrasi langsung di Athena, meskipun bukan berarti ia menolak konsep keadilan atau pemerintahan rakyat secara keseluruhan.⁽¹⁾

5.1.       Kritik terhadap Kebijaksanaan Massa dan Pemimpin yang Tak Kompeten

Socrates mengkritik praktik demokrasi Athena karena ia melihat bahwa sistem ini memungkinkan pengambilan keputusan oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian atau pengetahuan yang memadai, terutama dalam hal moral dan pemerintahan.⁽²⁾ Dalam Gorgias, ia menganalogikan demokrasi dengan seseorang yang mempercayakan kesehatan tubuhnya kepada sembarang tukang masak daripada kepada dokter yang sesungguhnya tahu apa yang baik untuk tubuh.⁽³⁾

Dalam pemikiran Socrates, pemerintahan yang baik seharusnya dijalankan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan sejati tentang keadilan dan kebaikan, bukan oleh mereka yang hanya pandai menyenangkan publik atau meraih suara mayoritas. Oleh sebab itu, ia tidak segan mempertanyakan otoritas para pemimpin politik dan kebijaksanaan mayoritas dalam sidang-sidang rakyat Athena.

5.2.       Ketegangan antara Filsuf dan Negara

Sikap kritis Socrates terhadap tatanan demokratis bukan berarti ia adalah anti-demokrasi secara mutlak. Ia tidak mengorganisir gerakan politik ataupun mencoba menggulingkan sistem pemerintahan. Namun, pendekatan filosofisnya—yang mendorong warga negara untuk berpikir kritis dan mempertanyakan norma yang berlaku—membuatnya tampak sebagai ancaman bagi stabilitas sosial dan ideologi negara.⁽⁴⁾

Hal ini terlihat jelas dalam pengadilannya pada tahun 399 SM, di mana ia dituduh “merusak moral pemuda” dan “tidak mengakui dewa-dewa negara.” Tuduhan tersebut mencerminkan ketegangan antara filsafat kritis dan kepentingan politik yang sensitif terhadap perbedaan pandangan. Dalam Apology, Socrates membela diri dengan menyatakan bahwa ia hanya menjalankan "misi ilahi" untuk menegur dan menyadarkan masyarakat, layaknya lalat yang mengusik kuda besar agar tetap terjaga.⁽⁵⁾

5.3.       Ketaatan terhadap Hukum dan Kewajiban sebagai Warga Negara

Meskipun bersikap kritis, Socrates menunjukkan komitmen moral terhadap hukum dan tatanan negara. Hal ini ditunjukkan dalam dialog Crito, di mana ia menolak tawaran temannya untuk melarikan diri dari penjara setelah dijatuhi hukuman mati. Ia menyatakan bahwa melanggar hukum, bahkan ketika hukum itu tampak tidak adil, adalah tindakan yang salah karena berarti menghianati kesepakatan moral dengan negara yang telah membesarkannya.⁽⁶⁾

Dalam argumennya, Socrates menyampaikan bahwa kewarganegaraan adalah kontrak moral, dan bahwa melanggar hukum sama saja dengan merusak dasar dari komunitas politik. Komitmen inilah yang membuat Socrates memilih untuk mati demi prinsip, daripada hidup dalam pelarian tanpa kehormatan.

5.4.       Ambiguitas dan Warisan

Pandangan politik Socrates sering kali dianggap ambigu karena ia sendiri tidak pernah menawarkan teori politik eksplisit. Beberapa penafsir bahkan berpendapat bahwa Plato lebih politis daripada Socrates, dan bahwa dialog-dialognya sering merefleksikan pemikiran Plato sendiri. Namun, komitmen Socrates terhadap akal sehat, penalaran moral, dan integritas personal tetap menjadi pilar dalam pemikiran politik klasik, termasuk dalam membentuk konsep tentang peran filsuf dalam masyarakat.⁽⁷⁾


Footnotes

[1]                W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 107–110.

[2]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 93–97.

[3]                Plato, Gorgias, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 464b–465d.

[4]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 43–44.

[5]                Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 30e.

[6]                Plato, Crito, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 50a–54d.

[7]                Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socrates on Trial (Oxford: Oxford University Press, 1989), 178–182.


6.           Warisan Intelektual dan Pengaruh Pemikiran Socrates

Kematian Socrates tidak mengakhiri pengaruhnya; sebaliknya, justru menjadi titik awal dari warisan intelektual yang monumental dalam sejarah filsafat Barat. Socrates tidak menulis satu pun karya filsafat, namun pemikirannya diwariskan secara luar biasa melalui murid-muridnya, terutama Plato dan Xenophon, serta melalui kritik atau sindiran dari Aristophanes. Dari berbagai sumber ini, berkembang gambaran filosofis yang kompleks dan beragam, sehingga para sarjana modern berbicara tentang adanya Socrates historis yang harus dibedakan dari Socrates Platonis.⁽¹⁾

6.1.       Pengaruh terhadap Plato dan Tradisi Filsafat Barat

Pengaruh terbesar Socrates terlihat dalam karya-karya Plato, yang menjadikan gurunya sebagai tokoh utama dalam sebagian besar dialog filosofisnya. Bahkan, banyak pemikir berpendapat bahwa Plato mewarisi dan mengembangkan pemikiran Socrates menjadi sistem metafisika dan epistemologi yang lebih terstruktur.⁽²⁾ Ide tentang bentuk-bentuk ideal (Forms), yang menjadi ciri khas filsafat Plato, kemungkinan besar terinspirasi oleh pandangan Socrates bahwa definisi universal dari kebajikan dan kebenaran bisa ditemukan melalui penyelidikan rasional.⁽³⁾

Melalui Plato, Socrates telah mengilhami tidak hanya perkembangan filsafat Yunani klasik, tetapi juga filsafat Kristen awal, filsafat Islam, serta filsafat modern. Konsep tentang jiwa yang rasional, pentingnya pengetahuan dalam moralitas, serta pencarian hidup yang berbasis pada kebenaran, semuanya merupakan pilar dari tradisi filsafat etis dan eksistensial berikutnya.

6.2.       Pengaruh terhadap Metode Ilmiah dan Pedagogi Kritis

Metode elenchus Socrates menjadi dasar dari pendekatan dialektika yang dikembangkan lebih lanjut oleh Plato, dan kemudian oleh Hegel dan Karl Marx dalam bentuk dialektika historis. Di bidang pendidikan, Socratic Method diterapkan secara luas, terutama dalam pembelajaran hukum dan etika, sebagai metode maieutik (kebidanan intelektual), di mana guru bertugas membimbing siswa untuk “melahirkan” kebenaran melalui dialog dan pertanyaan kritis.⁽⁴⁾

Warisan ini tampak dalam model pembelajaran modern yang menekankan refleksi, nalar kritis, dan dialog terbuka, bukan sekadar transfer pengetahuan satu arah. Oleh karena itu, peran Socrates sebagai pendidik dan provokator intelektual terus dikenang dan dipelajari, terutama dalam konteks demokrasi dan pembentukan kewargaan yang sadar.

6.3.       Inspirasi bagi Filsuf dan Gerakan Etis Setelahnya

Warisan Socrates tidak berhenti pada Plato. Ia juga menginspirasi tokoh-tokoh besar seperti Aristoteles, yang meskipun mengembangkan sistem filsafat yang berbeda, tetap menjadikan pengamatan empiris terhadap tindakan etis sebagai kelanjutan dari warisan Socrates.⁽⁵⁾ Dalam periode Helenistik, aliran Stoik sangat dipengaruhi oleh sikap hidup Socrates yang tegar, rasional, dan menolak kesenangan duniawi demi integritas batin.⁽⁶⁾

Di era modern, Socrates dipuji oleh filsuf seperti Immanuel Kant, yang mengagumi dedikasinya terhadap prinsip moral yang universal dan otonom. Kant menyebut Socrates sebagai teladan bagi suara nurani moral yang tidak tunduk pada tekanan eksternal.⁽⁷⁾ Bahkan filosof eksistensialis seperti Kierkegaard menempatkan Socrates sebagai figur penting dalam menggambarkan perjuangan eksistensial manusia mencari makna hidup secara otentik.⁽⁸⁾

6.4.       Relevansi Abadi dalam Dunia Kontemporer

Pemikiran Socrates tetap hidup karena nilai-nilai yang ia bawa tidak lekang oleh waktu: cinta kebenaran, kebebasan berpikir, tanggung jawab moral, dan keberanian untuk berbeda. Dalam dunia yang sering kali diwarnai oleh manipulasi informasi, krisis moral, dan polarisasi politik, teladan Socrates menjadi mercusuar etika publik dan kebebasan intelektual.⁽⁹⁾

Dengan demikian, Socrates bukan hanya tokoh sejarah, melainkan simbol universal dari jiwa filosofis—yang terus bertanya, menggugat, dan mencari makna sejati dari hidup yang dijalani.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 45–48.

[2]                W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 128–132.

[3]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 51–53.

[4]                Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato’s Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 172–175.

[5]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 25–28.

[6]                A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), 33–35.

[7]                Immanuel Kant, Lectures on Ethics, ed. Peter Heath and J.B. Schneewind (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12.

[8]                Søren Kierkegaard, The Concept of Irony, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1989), 6–12.

[9]                Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socrates on Trial (Oxford: Oxford University Press, 1989), 191–195.


7.           Kritik dan Penafsiran Kontemporer

Pemikiran Socrates telah menjadi pusat perhatian tidak hanya dalam kajian klasik, tetapi juga dalam wacana filsafat kontemporer. Seiring berkembangnya pendekatan kritis dalam studi sejarah dan filsafat, para sarjana modern mulai menyoroti kompleksitas sosok Socrates, serta variasi penafsiran yang muncul dari perbedaan sumber dan perspektif filosofis.

7.1.       Masalah Socrates: Antara Sejarah dan Rekonstruksi Filosofis

Salah satu isu mendasar dalam kajian kontemporer tentang Socrates adalah “Socratic Problem”, yakni kesulitan untuk membedakan antara Socrates historis dan Socrates dalam tulisan Plato. Karena Socrates sendiri tidak menulis apa pun, informasi tentang dirinya hanya dapat diperoleh dari sumber-sumber sekunder seperti Plato, Xenophon, dan Aristophanes, yang masing-masing memiliki pendekatan, agenda, dan gaya penyajian yang berbeda.⁽¹⁾

Plato, dalam dialog-dialognya, kerap menampilkan Socrates sebagai juru bicara bagi gagasan-gagasan yang sangat filosofis dan sistematis, terutama dalam karya-karya tengah dan akhir seperti Republic atau Phaedo, yang kemungkinan besar merupakan pengembangan pemikiran Plato sendiri.⁽²⁾ Sebaliknya, Xenophon menggambarkan Socrates sebagai sosok yang lebih praktis dan konservatif, sementara Aristophanes menyindirnya sebagai filsuf spekulatif yang terputus dari kenyataan.⁽³⁾ Perbedaan ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana "Socrates" yang kita kenal adalah tokoh historis, atau justru konstruksi literer yang berfungsi sebagai medium filsafat Plato.

7.2.       Socrates dalam Penafsiran Humanis dan Eksistensialis

Di era modern dan kontemporer, penafsiran terhadap Socrates mengalami perluasan makna, tidak hanya sebagai tokoh filsafat klasik, tetapi juga sebagai ikon kebebasan berpikir, integritas moral, dan pencarian jati diri manusia. Filsuf eksistensialis Søren Kierkegaard mengangkat Socrates sebagai “guru ironi” dan tokoh yang merepresentasikan kebebasan spiritual melalui pengakuan akan ketidaktahuan dan keterbatasan manusia.⁽⁴⁾ Bagi Kierkegaard, Socrates adalah figur yang mengguncang kepalsuan kultural melalui pertanyaan-pertanyaan tajam yang memaksa individu untuk kembali kepada diri sendiri dan menemukan makna hidup yang otentik.

Interpretasi serupa muncul dalam karya-karya Michel Foucault, yang melihat Socrates sebagai model subjek etis yang mempraktikkan parrhesia—keterbukaan dalam berbicara benar meskipun menghadapi risiko sosial dan politik.⁽⁵⁾ Dalam pembacaan ini, Socrates tidak hanya dipahami sebagai filsuf etika, tetapi juga sebagai praktisi resistensi terhadap kekuasaan melalui kebenaran, sehingga relevan dalam konteks perlawanan intelektual dan kritik terhadap hegemoni modern.

7.3.       Relevansi dalam Pendidikan dan Demokrasi Modern

Socrates juga diinterpretasikan sebagai model pendidikan dialogis dan pembelajaran kritis, yang kontras dengan pendekatan pendidikan dogmatis. Dalam kajian pedagogi kontemporer, Socratic Method dipandang sebagai pendekatan yang mendorong kebebasan berpikir, eksplorasi nilai, dan pemberdayaan siswa sebagai subjek yang aktif.⁽⁶⁾ Banyak institusi pendidikan, khususnya di bidang hukum, etika, dan filsafat, masih menggunakan metode ini untuk membentuk nalar kritis.

Selain itu, dalam konteks politik kontemporer, figur Socrates sering dihadirkan sebagai simbol tanggung jawab warga negara dalam menjaga etika publik dan rasionalitas dalam diskursus demokratis. Keengganannya untuk tunduk pada mayoritas yang tidak teredukasi, serta kesediaannya untuk mati demi prinsip, membangkitkan diskusi tentang batas antara kebebasan individu dan otoritas negara.⁽⁷⁾

7.4.       Kritik terhadap Etika Rasionalisme Socratic

Namun demikian, beberapa kritik juga diarahkan terhadap rasionalisme etis Socrates. Para pemikir pascastruktural dan relativis moral mempertanyakan asumsi bahwa kebajikan dapat direduksi menjadi pengetahuan, sebagaimana diasumsikan Socrates.⁽⁸⁾ Dalam konteks multikulturalisme dan pluralisme nilai saat ini, klaim tentang adanya kebenaran moral universal yang bisa ditemukan melalui akal, dianggap terlalu sederhana dan kurang peka terhadap keragaman budaya dan pengalaman moral.

Meski demikian, kemampuan Socrates untuk menciptakan ruang percakapan yang terbuka dan reflektif tetap dipertahankan sebagai warisan yang tak tergantikan dalam upaya membangun masyarakat yang inklusif dan rasional.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 45–50.

[2]                W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 145–150.

[3]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 46–48.

[4]                Søren Kierkegaard, The Concept of Irony, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1989), 10–13.

[5]                Michel Foucault, Fearless Speech, ed. Joseph Pearson (Los Angeles: Semiotext(e), 2001), 14–17.

[6]                Thomas E. Jackson, “The Socratic Method in Education,” Philosophy of Education Archive (1993): 129–134.

[7]                Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socrates on Trial (Oxford: Oxford University Press, 1989), 195–198.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 340–342.


8.           Kesimpulan

Socrates tetap menjadi sosok sentral dalam sejarah pemikiran Barat bukan karena banyaknya karya yang ditinggalkan, melainkan karena cara berpikir dan hidupnya yang revolusioner. Dalam dunia yang terus berubah, warisan intelektual Socrates menjadi fondasi abadi bagi etika rasional, kebebasan berpikir, dan pencarian kebenaran. Ia memindahkan fokus filsafat dari langit ke dalam hati dan jiwa manusia, dari spekulasi kosmologis menjadi pertanyaan tentang bagaimana manusia seharusnya hidup.⁽¹⁾

Melalui metode elenchus yang menguji melalui dialog dan kritik, Socrates memperkenalkan model berpikir yang mengajarkan bahwa pengetahuan sejati lahir dari pengakuan akan ketidaktahuan, dan bahwa kebajikan dapat didekati secara rasional.⁽²⁾ Etika Socrates mengajarkan bahwa hidup yang baik bukan bergantung pada kekuasaan atau kekayaan, tetapi pada keutuhan moral jiwa dan keberanian untuk hidup secara sadar dan jujur terhadap nilai-nilai kebaikan.⁽³⁾

Sikap kritisnya terhadap demokrasi Athena menunjukkan bahwa ia bukan anti-demokrasi, tetapi justru menuntut kedewasaan intelektual dan tanggung jawab moral dari warga negara dalam sistem demokrasi.⁽⁴⁾ Ia mengajarkan bahwa kebebasan harus disertai dengan kebijaksanaan, dan bahwa ketaatan terhadap hukum merupakan ekspresi dari penghargaan terhadap keadilan dan komunitas politik.⁽⁵⁾

Warisan Socrates terus hidup dalam berbagai bidang, dari pendidikan hingga filsafat politik, dari logika dialektika hingga gerakan etika kontemporer. Ia telah menginspirasi Plato, Aristoteles, para Stoik, filsuf Muslim klasik, hingga tokoh-tokoh modern seperti Kant, Kierkegaard, dan Foucault. Dalam semua itu, Socrates hadir bukan sebagai dogma, melainkan sebagai teladan intelektual yang menantang kita untuk berpikir, bertanya, dan hidup dengan kesadaran moral.⁽⁶⁾

Di tengah dunia modern yang penuh kompleksitas etis dan kebingungan nilai, pemikiran Socrates tetap menjadi penuntun, terutama dalam hal keberanian untuk mempertanyakan yang dianggap mapan, dan komitmen untuk hidup dalam kebenaran meski harus menghadapi konsekuensi sosial dan politik. Seperti yang diungkapkannya dalam Apology, kehidupan yang tidak diperiksa (unexamined life) adalah kehidupan yang tidak layak dijalani.⁽⁷⁾

Dengan demikian, warisan Socrates bukan hanya penting dalam sejarah filsafat, tetapi juga relevan secara eksistensial dan praktis bagi siapa pun yang ingin hidup secara bijak, adil, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 37.

[2]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 3–5.

[3]                C.D.C. Reeve, Socrates in the Apology: An Essay on Plato’s Apology of Socrates (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 50–52.

[4]                Plato, Gorgias, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 521c–522e.

[5]                Plato, Crito, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 50c–54d.

[6]                A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), 33–35.

[7]                Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.


Daftar Pustaka

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Benson, H. H. (2000). Socratic wisdom: The model of knowledge in Plato’s early dialogues. Oxford University Press.

Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (1989). Socrates on trial. Oxford University Press.

Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (2000). The philosophy of Socrates. Westview Press.

Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (2010). Socratic moral psychology. Cambridge University Press.

Foucault, M. (2001). Fearless speech (J. Pearson, Ed.). Semiotext(e).

Guthrie, W. K. C. (1971). Socrates. Cambridge University Press.

Irwin, T. (1989). Classical thought. Oxford University Press.

Jackson, T. E. (1993). The Socratic method in education. Philosophy of Education Archive, 1993, 129–134.

Kant, I. (1997). Lectures on ethics (P. Heath & J. B. Schneewind, Eds.). Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1989). The concept of irony (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press.

Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics. University of California Press.

Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M. Cooper, Ed.). Hackett Publishing Company.

Reeve, C. D. C. (2002). Socrates in the Apology: An essay on Plato’s Apology of Socrates. Hackett Publishing.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Vlastos, G. (1991). Socratic studies. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar