Pemikiran Socrates
Fondasi Etika dan Dialektika dalam Filsafat Barat
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Socrates dalam Dialog-Dialog Plato, Elenchus, Maieutic Socrates.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filsuf Yunani Kuno, Socrates (469–399 SM), yang dianggap sebagai salah satu
tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Meskipun Socrates tidak
meninggalkan karya tulis, warisan intelektualnya diteruskan melalui
murid-muridnya, terutama Plato dan Xenophon. Fokus utama artikel ini mencakup
kehidupan dan konteks historis Socrates, metode dialektis yang dikenal sebagai Socratic
Method atau elenchus, serta pandangan-pandangannya mengenai etika,
moralitas, dan kebajikan sebagai pengetahuan. Selain itu, artikel ini menyoroti
kritik Socrates terhadap praktik demokrasi Athena dan kesetiaannya terhadap
prinsip hukum, bahkan hingga menjalani hukuman mati. Pembahasan juga mencakup
pengaruh jangka panjang pemikirannya terhadap berbagai aliran filsafat,
termasuk Stoikisme, filsafat Kristen dan Islam, serta filsafat modern seperti
Kantianisme dan eksistensialisme. Di bagian akhir, artikel ini mengkaji
berbagai penafsiran kontemporer terhadap Socrates serta relevansi pemikirannya
dalam dunia pendidikan, politik, dan etika publik masa kini. Melalui pendekatan
berbasis sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini menegaskan bahwa
warisan Socrates tetap hidup sebagai fondasi penting bagi pemikiran kritis, integritas
moral, dan kebebasan intelektual dalam peradaban manusia.
Kata Kunci: Socrates, filsafat Yunani, etika, metode Socratic,
kebajikan, demokrasi Athena, filsafat moral, warisan intelektual, dialektika,
pendidikan kritis.
PEMBAHASAN
Socrates dan Warisan Pemikirannya Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
pemikiran Barat, sedikit tokoh yang memiliki pengaruh sebesar Socrates.
Meskipun ia tidak meninggalkan satu pun karya tulis, pemikirannya telah
membentuk fondasi penting bagi perkembangan etika, logika, dan metode berpikir
kritis. Socrates (469–399 SM) tidak hanya menjadi figur sentral dalam filsafat
Yunani Kuno, tetapi juga telah diabadikan sebagai ikon pencarian kebenaran
melalui pertanyaan yang mendalam dan refleksi moral yang tajam. Sebagai seorang
filsuf, ia lebih banyak dikenal karena cara hidupnya dan metode pengajarannya
yang unik daripada sistem filsafat yang utuh seperti yang ditemukan dalam
karya-karya Plato atau Aristoteles.
Salah satu
kontribusi terbesar Socrates adalah pengenalan terhadap metode
dialektika atau yang dikenal sebagai metode
Socratic (Socratic Method), sebuah pendekatan tanya-jawab yang
bertujuan membongkar asumsi dan menemukan definisi hakikat suatu konsep secara
kritis dan rasional. Metode ini menjadi fondasi penting dalam pengembangan
logika dan epistemologi di masa-masa selanjutnya dan masih digunakan hingga
hari ini dalam pendidikan hukum, etika, dan ilmu humaniora lainnya.¹
Yang menjadikan
Socrates berbeda dari para pemikir sebelumnya, seperti para filsuf alam
(Thales, Anaximander, Heraclitus), adalah peralihannya dari spekulasi
kosmologis menuju filsafat moral dan pertanyaan
tentang bagaimana manusia seharusnya hidup. Ia menolak
relativisme moral yang berkembang di kalangan kaum Sofis, dan sebaliknya
menekankan bahwa pengetahuan sejati akan menghasilkan kebajikan, serta bahwa
kebajikan adalah kunci bagi kehidupan yang bahagia.² Oleh karena itu, filsafat
dalam pandangan Socrates bukan sekadar teori, melainkan praktik kehidupan yang
melibatkan perawatan jiwa (psychē) dan pencarian kebaikan tertinggi.³
Relevansi pemikiran
Socrates semakin jelas ketika kita menempatkannya dalam konteks modern: saat
kebebasan berpikir dan refleksi kritis menjadi kunci bagi pembentukan individu
dan masyarakat yang dewasa. Keteguhannya dalam mempertahankan prinsip, bahkan
hingga menghadapi hukuman mati, menunjukkan integritas dan dedikasi terhadap
kebenaran yang menjadikannya tokoh abadi dalam sejarah intelektual dunia.⁴ Oleh
sebab itu, menggali kembali pemikiran dan metode Socrates bukan hanya berarti
menelaah masa lalu, tetapi juga meresapi nilai-nilai filosofis yang terus hidup
dan bekerja dalam kehidupan manusia kontemporer.
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 1–5.
[2]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University
Press, 1989), 37–40.
[3]
C.D.C. Reeve, Socrates in the Apology: An Essay on Plato's Apology
of Socrates (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 45.
[4]
W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), 78–83.
2.
Sosok Socrates: Kehidupan dan Konteks Historis
Socrates lahir di
Athena sekitar tahun 469 SM, pada masa kejayaan kebudayaan dan politik Yunani
Kuno. Ia berasal dari keluarga sederhana; ayahnya, Sophroniscus, adalah seorang
pemahat, sedangkan ibunya, Phaenarete, dikenal sebagai seorang bidan.⁽¹⁾
Meskipun berasal dari kalangan non-elit, Socrates menunjukkan minat besar
terhadap persoalan-persoalan moral dan intelektual yang melampaui batasan
status sosial. Kehidupannya sangat kontras dengan gaya hidup para Sofis yang
kala itu populer—ia hidup asketik, menolak bayaran untuk pengajaran, dan lebih
memilih diskusi di ruang publik daripada ceramah formal.⁽²⁾
Socrates tidak
menulis karya apa pun sepanjang hidupnya. Pengetahuan kita tentang dirinya
sepenuhnya berasal dari tulisan-tulisan para pengikut dan pengamatnya, terutama
Plato,
Xenophon,
serta dalam beberapa kasus dari Aristophanes, yang
menggambarkan dirinya secara satiris dalam lakon The Clouds.⁽³⁾ Namun, adanya perbedaan
tajam antara sumber-sumber tersebut—khususnya antara representasi Socrates
dalam karya-karya Plato yang filosofis dan potret dalam komedi
Aristophanes—membuka ruang bagi perdebatan akademik yang hingga kini dikenal
sebagai "masalah Socrates" (Socratic problem).⁽⁴⁾
Athena, tempat
Socrates menghabiskan seluruh hidupnya, adalah pusat politik dan intelektual
dunia Yunani, namun juga merupakan kota dengan dinamika sosial-politik yang
kompleks. Setelah kekalahan Athena dalam Perang Peloponnesos (404 SM), terjadi
ketidakstabilan politik yang mengarah pada pendirian rezim oligarkis Tiga Puluh
Tiran, di mana dua murid Socrates—Critias dan Charmides—terlibat secara aktif.
Hal ini kemudian ikut memengaruhi persepsi publik terhadap Socrates, meskipun
ia sendiri tidak berpolitik.⁽⁵⁾
Pada tahun 399 SM,
Socrates diadili oleh negara Athena dengan tuduhan “merusak akhlak pemuda”
dan “tidak mengakui dewa-dewa negara.” Proses peradilan ini menjadi
puncak dari ketegangan antara Socrates dan masyarakatnya—ketegangan antara
filsafat yang kritis dan struktur sosial-politik yang defensif terhadap
perubahan. Dalam Apology karya Plato, Socrates
digambarkan membela diri dengan tegas, namun menolak untuk tunduk atau berhenti
menjalankan misi filosofisnya. Ia dijatuhi hukuman mati dan akhirnya meneguk
racun hemlock dengan tenang, menjadikan akhir hidupnya sebagai simbol keteguhan
dalam membela kebenaran dan nurani moral.⁽⁶⁾
Konteks sosial dan
politik tempat Socrates hidup menunjukkan bahwa pemikirannya lahir bukan dalam
ruang hampa, melainkan di tengah realitas sosial yang kompleks dan terkadang
represif. Ia hadir sebagai suara kritis yang menantang norma, kekuasaan, dan
relativisme etika—sebuah peran yang tak jarang memicu kontroversi, tetapi
justru membuktikan betapa pentingnya filsafat sebagai penjaga nurani publik.
Footnotes
[1]
W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), 1–4.
[2]
C.D.C. Reeve, Socrates in the Apology: An Essay on Plato's Apology
of Socrates (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 12–14.
[3]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University
Press, 1989), 35.
[4]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 45–48.
[5]
Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, The Philosophy of
Socrates (Boulder: Westview Press, 2000), 76–79.
[6]
Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 17a–42a.
3.
Metode Socrates (Socratic Method / Elenchus)
Salah satu warisan
terbesar Socrates dalam dunia filsafat adalah metode dialektis yang kini
dikenal dengan Metode Socrates (Socratic Method)
atau elenchus.
Metode ini bukan hanya cara bertanya, melainkan pendekatan epistemologis dan
pedagogis untuk mengungkap kebenaran melalui diskusi yang rasional dan
reflektif. Socrates menggunakan metode ini untuk mendorong lawan bicaranya
(interlokutor) menguji pemahaman mereka sendiri terhadap suatu konsep, seperti
keadilan, keberanian, atau kebajikan, hingga ditemukan kontradiksi internal dalam
pemahaman mereka.⁽¹⁾
Metode elenchus
biasanya terdiri atas beberapa tahap sistematis:
1)
Mengajukan pertanyaan
utama (biasanya tentang definisi suatu konsep moral),
2)
Menerima jawaban dari
lawan bicara,
3)
Mengajukan serangkaian
pertanyaan lanjutan yang menguji koherensi dari jawaban
tersebut,
4)
Menunjukkan kontradiksi
atau kelemahan dalam jawaban awal, dan
5)
Mengakhiri dengan
aporia, yaitu pengakuan bahwa jawaban awal ternyata tidak
memadai.⁽²⁾
Contoh klasik dari
penerapan metode ini dapat ditemukan dalam Euthyphro, salah satu dialog awal
Plato, di mana Socrates mempertanyakan definisi “kefakihan” (piety).
Euthyphro mencoba memberi definisi bahwa yang saleh adalah "apa yang
disukai para dewa", tetapi Socrates menunjukkan bahwa para dewa
sendiri tidak selalu sepakat, sehingga definisi tersebut tidak konsisten.⁽³⁾
Dalam dialog ini, dan banyak dialog lainnya, tujuan Socrates bukan untuk
memberikan jawaban akhir, melainkan untuk membangkitkan kesadaran kritis akan batas-batas
pengetahuan kita.
Metode Socrates juga
mencerminkan pandangannya yang mendalam tentang keutamaan intelektual dan etika,
yakni bahwa menyadari ketidaktahuan adalah langkah pertama
menuju kebijaksanaan. Sebagaimana dikutip Plato dalam Apology,
Socrates menyatakan, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa” (oida ouk
eidōs), suatu pengakuan yang menjadi dasar kejujuran intelektual
dan semangat pencarian kebenaran.⁽⁴⁾
Selain menjadi
metode filsafat, elenchus juga merupakan alat pendidikan moral. Socrates
percaya bahwa melalui tanya-jawab reflektif, individu dapat memperbaiki jiwanya
dan hidup secara lebih bermakna.⁽⁵⁾ Dalam konteks inilah, metode Socrates bukan
hanya teknik argumentasi, tetapi sarana pencerahan moral dan spiritual.
Dalam perkembangan
selanjutnya, Socratic Method menjadi dasar bagi logika dialektis Plato dan
model pembelajaran di berbagai bidang, termasuk hukum, etika, dan pedagogi
modern. Sejumlah cendekiawan bahkan menempatkan metode ini sebagai pendahulu
dari pendekatan maieutika—yakni filsafat
sebagai proses "melahirkan kebenaran" dari dalam diri
peserta didik, bukan menjejalkan pengetahuan dari luar.⁽⁶⁾
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 1–4.
[2]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato's
Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 13–19.
[3]
Plato, Euthyphro, dalam Plato: Complete Works, ed.
John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 5d–15c.
[4]
Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 21d.
[5]
Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socratic Moral
Psychology (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 42–45.
[6]
W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), 53–55.
4.
Pandangan Etika dan Moral Socrates
Socrates menempati
posisi sentral dalam sejarah etika karena dialah yang pertama kali mengalihkan
perhatian filsafat dari spekulasi kosmologis kepada pertanyaan
moral tentang bagaimana manusia seharusnya hidup.⁽¹⁾ Bagi
Socrates, filsafat bukan sekadar pencarian teoretis, melainkan jalan hidup yang
ditandai dengan perenungan terus-menerus atas makna kebajikan (aretē),
kebenaran, dan keadilan. Dalam pandangan Socrates, seseorang tidak dapat hidup
dengan baik tanpa terlebih dahulu memahami apa itu hidup yang baik.⁽²⁾
4.1.
Kebajikan adalah Pengetahuan (Virtue is
Knowledge)
Salah satu prinsip
etika paling terkenal dari Socrates adalah pernyataan bahwa kebajikan
adalah pengetahuan. Dalam dialog-dialog awal Plato, Socrates
berargumen bahwa jika seseorang mengetahui apa yang baik, maka
ia pasti akan melakukan yang baik.⁽³⁾ Dengan kata lain, kejahatan
bukanlah hasil niat jahat, tetapi akibat dari ketidaktahuan.
Dalam Protagoras,
misalnya, ia menolak pandangan relativis kaum Sofis dan menegaskan bahwa semua
kebajikan moral (keberanian, keadilan, kesalehan) merupakan bentuk dari
pengetahuan praktis yang dapat dipelajari dan dipahami secara rasional.⁽⁴⁾
Pandangan ini
menyiratkan bahwa pendidikan moral tidak hanya berkaitan dengan indoktrinasi
nilai, tetapi juga melibatkan proses intelektual yang mendalam. Socrates
percaya bahwa melalui penyelidikan rasional, seseorang dapat mencapai pemahaman
tentang nilai-nilai moral universal dan menerapkannya dalam hidupnya.⁽⁵⁾
4.2.
Jiwa sebagai Pusat Kehidupan Moral
Dalam kerangka moral
Socrates, jiwa (psychē) adalah pusat
eksistensi manusia, dan tugas utama setiap individu adalah merawat
jiwa agar tetap dalam keadaan baik dan tertib.⁽⁶⁾ Oleh karena
itu, perbuatan baik bukan semata-mata demi kepentingan sosial, tetapi demi
kesehatan dan kebahagiaan jiwa itu sendiri. Dalam Apology, Socrates menyatakan bahwa
"kehidupan yang tidak diperiksa (unexamined life) tidak
layak untuk dijalani" (ho de anexetastos bios ou
biōtōs anthrōpō), sebuah pernyataan yang menegaskan pentingnya
refleksi moral dalam kehidupan manusia.⁽⁷⁾
Ia juga memandang
bahwa perawatan
jiwa lebih penting daripada kekayaan atau kehormatan, karena
kekayaan tidak dapat memperbaiki jiwa, tetapi kebajikanlah yang dapat membawa
pada kebahagiaan sejati.⁽⁸⁾ Di sinilah tampak bahwa etika Socrates bukan
sekadar ajaran moral, melainkan juga visi hidup yang integral.
4.3.
Otonomi Moral dan Penolakan terhadap Konvensi
Sosial
Socrates juga
menunjukkan komitmen yang kuat terhadap otonomi moral. Ia menolak
menerima kepercayaan hanya karena tradisi atau otoritas, dan justru menekankan
pentingnya menguji secara rasional setiap keyakinan moral.⁽⁹⁾ Ketika menghadapi
tekanan sosial dan politik, seperti dalam pengadilan yang menjatuhkan hukuman
mati kepadanya, Socrates tidak menyerah pada mayoritas, tetapi bertahan pada
prinsip bahwa lebih baik menderita ketidakadilan daripada melakukan
ketidakadilan.⁽¹⁰⁾
Sikap ini menjadikan
Socrates sebagai simbol keberanian moral dan integritas intelektual. Ia menolak
untuk tunduk pada tekanan yang memaksanya mengingkari prinsip, dan dengan
demikian menunjukkan bahwa moralitas sejati bersifat internal,
tidak tergantung pada pengakuan sosial.
Footnotes
[1]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University
Press, 1989), 37.
[2]
C.D.C. Reeve, Socrates in the Apology: An Essay on Plato's Apology
of Socrates (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 50.
[3]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 201–204.
[4]
Plato, Protagoras, dalam Plato: Complete Works, ed.
John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 351b–361e.
[5]
Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socratic Moral
Psychology (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 33–35.
[6]
W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), 92–95.
[7]
Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.
[8]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato's
Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 122–124.
[9]
Vlastos, Socratic Studies, 216–218.
[10]
Plato, Crito, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 49b–54d.
5.
Pemikiran Politik dan Kritis terhadap Demokrasi
Athena
Meskipun Socrates
tidak dikenal sebagai seorang filsuf politik dalam arti sistematis seperti
Plato atau Aristoteles, pandangan-pandangannya terhadap politik dan
demokrasi Athena tetap menjadi sumber perdebatan dan
ketertarikan dalam studi filsafat politik klasik. Dalam berbagai dialog Plato,
tampak bahwa Socrates mengembangkan sikap kritis terhadap praktik demokrasi
langsung di Athena, meskipun bukan berarti ia menolak konsep
keadilan atau pemerintahan rakyat secara keseluruhan.⁽¹⁾
5.1.
Kritik terhadap Kebijaksanaan Massa dan
Pemimpin yang Tak Kompeten
Socrates mengkritik praktik
demokrasi Athena karena ia melihat bahwa sistem ini
memungkinkan pengambilan keputusan oleh orang-orang yang tidak
memiliki keahlian atau pengetahuan yang memadai, terutama dalam
hal moral dan pemerintahan.⁽²⁾ Dalam Gorgias, ia menganalogikan
demokrasi dengan seseorang yang mempercayakan kesehatan tubuhnya kepada
sembarang tukang masak daripada kepada dokter yang sesungguhnya tahu apa yang
baik untuk tubuh.⁽³⁾
Dalam pemikiran
Socrates, pemerintahan yang baik seharusnya dijalankan
oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan sejati tentang keadilan dan kebaikan,
bukan oleh mereka yang hanya pandai menyenangkan publik atau meraih suara
mayoritas. Oleh sebab itu, ia tidak segan mempertanyakan otoritas para pemimpin
politik dan kebijaksanaan mayoritas dalam sidang-sidang rakyat Athena.
5.2.
Ketegangan antara Filsuf dan Negara
Sikap kritis
Socrates terhadap tatanan demokratis bukan berarti ia adalah anti-demokrasi
secara mutlak. Ia tidak mengorganisir gerakan politik ataupun mencoba menggulingkan
sistem pemerintahan. Namun, pendekatan filosofisnya—yang mendorong warga negara
untuk berpikir kritis dan mempertanyakan norma yang berlaku—membuatnya tampak
sebagai ancaman bagi stabilitas sosial dan ideologi negara.⁽⁴⁾
Hal ini terlihat
jelas dalam pengadilannya pada tahun 399 SM, di mana ia dituduh “merusak
moral pemuda” dan “tidak mengakui dewa-dewa negara.” Tuduhan
tersebut mencerminkan ketegangan antara filsafat kritis dan
kepentingan politik yang sensitif terhadap perbedaan pandangan.
Dalam Apology,
Socrates membela diri dengan menyatakan bahwa ia hanya menjalankan "misi
ilahi" untuk menegur dan menyadarkan masyarakat, layaknya lalat yang
mengusik kuda besar agar tetap terjaga.⁽⁵⁾
5.3.
Ketaatan terhadap Hukum dan Kewajiban sebagai
Warga Negara
Meskipun bersikap
kritis, Socrates menunjukkan komitmen moral terhadap hukum dan tatanan
negara. Hal ini ditunjukkan dalam dialog Crito,
di mana ia menolak tawaran temannya untuk melarikan diri dari penjara setelah
dijatuhi hukuman mati. Ia menyatakan bahwa melanggar hukum, bahkan ketika hukum
itu tampak tidak adil, adalah tindakan yang salah karena berarti menghianati
kesepakatan moral dengan negara yang telah membesarkannya.⁽⁶⁾
Dalam argumennya,
Socrates menyampaikan bahwa kewarganegaraan adalah kontrak moral,
dan bahwa melanggar hukum sama saja dengan merusak dasar dari komunitas
politik. Komitmen inilah yang membuat Socrates memilih untuk mati
demi prinsip, daripada hidup dalam pelarian tanpa kehormatan.
5.4.
Ambiguitas dan Warisan
Pandangan politik
Socrates sering kali dianggap ambigu karena ia sendiri tidak
pernah menawarkan teori politik eksplisit. Beberapa penafsir bahkan berpendapat
bahwa Plato
lebih politis daripada Socrates, dan bahwa dialog-dialognya
sering merefleksikan pemikiran Plato sendiri. Namun, komitmen
Socrates terhadap akal sehat, penalaran moral, dan integritas personal tetap
menjadi pilar dalam pemikiran politik klasik, termasuk dalam
membentuk konsep tentang peran filsuf dalam masyarakat.⁽⁷⁾
Footnotes
[1]
W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), 107–110.
[2]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 93–97.
[3]
Plato, Gorgias, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 464b–465d.
[4]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University
Press, 1989), 43–44.
[5]
Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 30e.
[6]
Plato, Crito, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 50a–54d.
[7]
Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socrates on Trial
(Oxford: Oxford University Press, 1989), 178–182.
6.
Warisan Intelektual dan Pengaruh Pemikiran
Socrates
Kematian Socrates
tidak mengakhiri pengaruhnya; sebaliknya, justru menjadi titik awal dari warisan
intelektual yang monumental dalam sejarah filsafat Barat.
Socrates tidak menulis satu pun karya filsafat, namun pemikirannya diwariskan
secara luar biasa melalui murid-muridnya, terutama Plato
dan Xenophon,
serta melalui kritik atau sindiran dari Aristophanes. Dari berbagai
sumber ini, berkembang gambaran filosofis yang kompleks dan beragam, sehingga
para sarjana modern berbicara tentang adanya Socrates historis yang harus
dibedakan dari Socrates Platonis.⁽¹⁾
6.1.
Pengaruh terhadap Plato dan Tradisi Filsafat
Barat
Pengaruh terbesar
Socrates terlihat dalam karya-karya Plato, yang menjadikan gurunya sebagai
tokoh utama dalam sebagian besar dialog filosofisnya. Bahkan, banyak pemikir
berpendapat bahwa Plato mewarisi dan mengembangkan pemikiran
Socrates menjadi sistem metafisika dan epistemologi yang lebih terstruktur.⁽²⁾
Ide tentang bentuk-bentuk ideal (Forms), yang menjadi ciri khas
filsafat Plato, kemungkinan besar terinspirasi oleh pandangan Socrates bahwa
definisi universal dari kebajikan dan kebenaran bisa ditemukan melalui
penyelidikan rasional.⁽³⁾
Melalui Plato,
Socrates telah mengilhami tidak hanya perkembangan filsafat
Yunani klasik, tetapi juga filsafat Kristen awal, filsafat
Islam, serta filsafat modern. Konsep tentang
jiwa yang rasional, pentingnya pengetahuan dalam moralitas, serta pencarian
hidup yang berbasis pada kebenaran, semuanya merupakan pilar dari tradisi
filsafat etis dan eksistensial berikutnya.
6.2.
Pengaruh terhadap Metode Ilmiah dan Pedagogi
Kritis
Metode elenchus
Socrates menjadi dasar dari pendekatan dialektika yang
dikembangkan lebih lanjut oleh Plato, dan kemudian oleh Hegel
dan Karl
Marx dalam bentuk dialektika historis. Di bidang pendidikan, Socratic Method diterapkan secara luas, terutama dalam pembelajaran
hukum dan etika, sebagai metode maieutik (kebidanan intelektual), di mana guru bertugas membimbing siswa untuk “melahirkan”
kebenaran melalui dialog dan pertanyaan kritis.⁽⁴⁾
Warisan ini tampak
dalam model pembelajaran modern yang menekankan refleksi, nalar kritis, dan dialog terbuka,
bukan sekadar transfer pengetahuan satu arah. Oleh karena itu, peran
Socrates sebagai pendidik dan provokator intelektual terus
dikenang dan dipelajari, terutama dalam konteks demokrasi dan pembentukan
kewargaan yang sadar.
6.3.
Inspirasi bagi Filsuf dan Gerakan Etis
Setelahnya
Warisan Socrates
tidak berhenti pada Plato. Ia juga menginspirasi tokoh-tokoh besar seperti Aristoteles,
yang meskipun mengembangkan sistem filsafat yang berbeda, tetap menjadikan pengamatan
empiris terhadap tindakan etis sebagai kelanjutan dari warisan
Socrates.⁽⁵⁾ Dalam periode Helenistik, aliran Stoik sangat dipengaruhi
oleh sikap hidup Socrates yang tegar, rasional, dan menolak kesenangan duniawi
demi integritas batin.⁽⁶⁾
Di era modern,
Socrates dipuji oleh filsuf seperti Immanuel Kant, yang mengagumi
dedikasinya terhadap prinsip moral yang universal dan otonom. Kant menyebut
Socrates sebagai teladan bagi suara nurani moral yang tidak tunduk pada tekanan
eksternal.⁽⁷⁾ Bahkan filosof eksistensialis seperti Kierkegaard
menempatkan Socrates sebagai figur penting dalam menggambarkan perjuangan
eksistensial manusia mencari makna hidup secara otentik.⁽⁸⁾
6.4.
Relevansi Abadi dalam Dunia Kontemporer
Pemikiran Socrates
tetap hidup karena nilai-nilai yang ia bawa tidak lekang oleh waktu: cinta
kebenaran, kebebasan berpikir, tanggung jawab moral, dan keberanian untuk
berbeda. Dalam dunia yang sering kali diwarnai oleh manipulasi
informasi, krisis moral, dan polarisasi politik, teladan
Socrates menjadi mercusuar etika publik dan kebebasan intelektual.⁽⁹⁾
Dengan demikian,
Socrates bukan hanya tokoh sejarah, melainkan simbol universal dari jiwa filosofis—yang
terus bertanya, menggugat, dan mencari makna sejati dari hidup yang dijalani.
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 45–48.
[2]
W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), 128–132.
[3]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University
Press, 1989), 51–53.
[4]
Hugh H. Benson, Socratic Wisdom: The Model of Knowledge in Plato’s
Early Dialogues (Oxford: Oxford University Press, 2000), 172–175.
[5]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 25–28.
[6]
A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics
(Berkeley: University of California Press, 1986), 33–35.
[7]
Immanuel Kant, Lectures on Ethics, ed. Peter Heath and J.B.
Schneewind (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12.
[8]
Søren Kierkegaard, The Concept of Irony, trans. Howard V. Hong
and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1989), 6–12.
[9]
Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socrates on Trial
(Oxford: Oxford University Press, 1989), 191–195.
7.
Kritik dan Penafsiran Kontemporer
Pemikiran Socrates
telah menjadi pusat perhatian tidak hanya dalam kajian klasik, tetapi juga
dalam wacana filsafat kontemporer. Seiring berkembangnya pendekatan kritis
dalam studi sejarah dan filsafat, para sarjana modern mulai menyoroti kompleksitas
sosok Socrates, serta variasi penafsiran yang muncul dari perbedaan
sumber dan perspektif filosofis.
7.1.
Masalah Socrates: Antara Sejarah dan
Rekonstruksi Filosofis
Salah satu isu
mendasar dalam kajian kontemporer tentang Socrates adalah “Socratic
Problem”, yakni kesulitan untuk membedakan antara Socrates
historis dan Socrates dalam tulisan Plato.
Karena Socrates sendiri tidak menulis apa pun, informasi tentang dirinya hanya
dapat diperoleh dari sumber-sumber sekunder seperti Plato,
Xenophon,
dan Aristophanes,
yang masing-masing memiliki pendekatan, agenda, dan gaya penyajian yang
berbeda.⁽¹⁾
Plato, dalam
dialog-dialognya, kerap menampilkan Socrates sebagai juru bicara bagi
gagasan-gagasan yang sangat filosofis dan sistematis, terutama dalam
karya-karya tengah dan akhir seperti Republic atau Phaedo,
yang kemungkinan besar merupakan pengembangan pemikiran Plato sendiri.⁽²⁾
Sebaliknya, Xenophon menggambarkan Socrates sebagai sosok yang lebih praktis
dan konservatif, sementara Aristophanes menyindirnya sebagai filsuf spekulatif
yang terputus dari kenyataan.⁽³⁾ Perbedaan ini memunculkan pertanyaan tentang
sejauh mana "Socrates" yang kita kenal adalah tokoh historis, atau
justru konstruksi literer yang berfungsi sebagai medium filsafat Plato.
7.2.
Socrates dalam Penafsiran Humanis dan
Eksistensialis
Di era modern dan
kontemporer, penafsiran terhadap Socrates mengalami
perluasan makna, tidak hanya sebagai tokoh filsafat klasik,
tetapi juga sebagai ikon kebebasan berpikir, integritas moral, dan
pencarian jati diri manusia. Filsuf eksistensialis Søren
Kierkegaard mengangkat Socrates sebagai “guru ironi” dan
tokoh yang merepresentasikan kebebasan spiritual melalui pengakuan akan
ketidaktahuan dan keterbatasan manusia.⁽⁴⁾ Bagi Kierkegaard,
Socrates adalah figur yang mengguncang kepalsuan kultural melalui
pertanyaan-pertanyaan tajam yang memaksa individu untuk kembali kepada diri
sendiri dan menemukan makna hidup yang otentik.
Interpretasi serupa
muncul dalam karya-karya Michel Foucault, yang melihat
Socrates sebagai model subjek etis yang mempraktikkan parrhesia—keterbukaan
dalam berbicara benar meskipun menghadapi risiko sosial dan politik.⁽⁵⁾ Dalam
pembacaan ini, Socrates tidak hanya dipahami sebagai filsuf etika, tetapi juga
sebagai praktisi resistensi terhadap kekuasaan melalui
kebenaran, sehingga relevan dalam konteks perlawanan
intelektual dan kritik terhadap hegemoni modern.
7.3.
Relevansi dalam Pendidikan dan Demokrasi Modern
Socrates juga
diinterpretasikan sebagai model pendidikan dialogis dan pembelajaran
kritis, yang kontras dengan pendekatan pendidikan dogmatis.
Dalam kajian pedagogi kontemporer, Socratic Method dipandang sebagai
pendekatan yang mendorong kebebasan berpikir, eksplorasi nilai, dan
pemberdayaan siswa sebagai subjek yang aktif.⁽⁶⁾ Banyak
institusi pendidikan, khususnya di bidang hukum, etika, dan filsafat, masih
menggunakan metode ini untuk membentuk nalar kritis.
Selain itu, dalam
konteks politik kontemporer, figur Socrates sering dihadirkan sebagai simbol
tanggung jawab warga negara dalam menjaga etika publik dan rasionalitas dalam
diskursus demokratis. Keengganannya untuk tunduk pada mayoritas
yang tidak teredukasi, serta kesediaannya untuk mati demi prinsip,
membangkitkan diskusi tentang batas antara kebebasan individu dan otoritas
negara.⁽⁷⁾
7.4.
Kritik terhadap Etika Rasionalisme Socratic
Namun demikian,
beberapa kritik juga diarahkan terhadap rasionalisme etis Socrates.
Para pemikir pascastruktural dan relativis moral mempertanyakan asumsi
bahwa kebajikan dapat direduksi menjadi pengetahuan,
sebagaimana diasumsikan Socrates.⁽⁸⁾ Dalam konteks multikulturalisme dan
pluralisme nilai saat ini, klaim tentang adanya kebenaran moral universal yang
bisa ditemukan melalui akal, dianggap terlalu sederhana dan kurang peka
terhadap keragaman budaya dan pengalaman moral.
Meski demikian, kemampuan
Socrates untuk menciptakan ruang percakapan yang terbuka dan reflektif tetap
dipertahankan sebagai warisan yang tak tergantikan dalam upaya
membangun masyarakat yang inklusif dan rasional.
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 45–50.
[2]
W.K.C. Guthrie, Socrates (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), 145–150.
[3]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University
Press, 1989), 46–48.
[4]
Søren Kierkegaard, The Concept of Irony, trans. Howard V. Hong
and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1989), 10–13.
[5]
Michel Foucault, Fearless Speech, ed. Joseph Pearson (Los
Angeles: Semiotext(e), 2001), 14–17.
[6]
Thomas E. Jackson, “The Socratic Method in Education,” Philosophy
of Education Archive (1993): 129–134.
[7]
Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socrates on Trial
(Oxford: Oxford University Press, 1989), 195–198.
[8]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 340–342.
8.
Kesimpulan
Socrates tetap
menjadi sosok sentral dalam sejarah pemikiran Barat bukan karena banyaknya
karya yang ditinggalkan, melainkan karena cara berpikir dan hidupnya yang revolusioner.
Dalam dunia yang terus berubah, warisan intelektual Socrates menjadi fondasi
abadi bagi etika rasional, kebebasan berpikir, dan pencarian kebenaran.
Ia memindahkan fokus filsafat dari langit ke dalam hati dan jiwa manusia, dari
spekulasi kosmologis menjadi pertanyaan tentang bagaimana manusia seharusnya
hidup.⁽¹⁾
Melalui metode
elenchus yang menguji melalui dialog dan kritik, Socrates
memperkenalkan model berpikir yang mengajarkan bahwa pengetahuan
sejati lahir dari pengakuan akan ketidaktahuan, dan bahwa
kebajikan dapat didekati secara rasional.⁽²⁾ Etika Socrates mengajarkan bahwa
hidup yang baik bukan bergantung pada kekuasaan atau kekayaan, tetapi pada keutuhan
moral jiwa dan keberanian untuk hidup secara sadar dan jujur
terhadap nilai-nilai kebaikan.⁽³⁾
Sikap kritisnya
terhadap demokrasi Athena menunjukkan bahwa ia bukan anti-demokrasi, tetapi
justru menuntut kedewasaan intelektual dan tanggung jawab moral
dari warga negara dalam sistem demokrasi.⁽⁴⁾ Ia mengajarkan bahwa kebebasan
harus disertai dengan kebijaksanaan, dan bahwa ketaatan
terhadap hukum merupakan ekspresi dari penghargaan terhadap keadilan dan
komunitas politik.⁽⁵⁾
Warisan Socrates
terus hidup dalam berbagai bidang, dari pendidikan hingga filsafat politik,
dari logika dialektika hingga gerakan etika kontemporer. Ia telah menginspirasi
Plato, Aristoteles, para Stoik, filsuf Muslim klasik, hingga tokoh-tokoh modern
seperti Kant, Kierkegaard, dan Foucault. Dalam semua itu, Socrates
hadir bukan sebagai dogma, melainkan sebagai teladan intelektual
yang menantang kita untuk berpikir, bertanya, dan hidup dengan kesadaran
moral.⁽⁶⁾
Di tengah dunia
modern yang penuh kompleksitas etis dan kebingungan nilai, pemikiran
Socrates tetap menjadi penuntun, terutama dalam hal keberanian untuk
mempertanyakan yang dianggap mapan, dan komitmen untuk hidup dalam kebenaran
meski harus menghadapi konsekuensi sosial dan politik. Seperti yang
diungkapkannya dalam Apology, kehidupan yang tidak
diperiksa (unexamined life) adalah kehidupan yang tidak layak dijalani.⁽⁷⁾
Dengan demikian,
warisan Socrates bukan hanya penting dalam sejarah filsafat, tetapi juga relevan
secara eksistensial dan praktis bagi siapa pun yang ingin hidup
secara bijak, adil, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University
Press, 1989), 37.
[2]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 3–5.
[3]
C.D.C. Reeve, Socrates in the Apology: An Essay on Plato’s Apology
of Socrates (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 50–52.
[4]
Plato, Gorgias, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 521c–522e.
[5]
Plato, Crito, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 50c–54d.
[6]
A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics
(Berkeley: University of California Press, 1986), 33–35.
[7]
Plato, Apology, dalam Plato: Complete Works, ed. John
M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a.
Daftar Pustaka
Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short
introduction. Oxford University Press.
Benson, H. H. (2000). Socratic wisdom: The model
of knowledge in Plato’s early dialogues. Oxford University Press.
Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (1989). Socrates
on trial. Oxford University Press.
Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (2000). The
philosophy of Socrates. Westview Press.
Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (2010). Socratic
moral psychology. Cambridge University Press.
Foucault, M. (2001). Fearless speech (J.
Pearson, Ed.). Semiotext(e).
Guthrie, W. K. C. (1971). Socrates.
Cambridge University Press.
Irwin, T. (1989). Classical thought. Oxford
University Press.
Jackson, T. E. (1993). The Socratic method in education.
Philosophy of Education Archive, 1993, 129–134.
Kant, I. (1997). Lectures on ethics (P.
Heath & J. B. Schneewind, Eds.). Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1989). The concept of irony
(H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press.
Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy:
Stoics, Epicureans, Sceptics. University of California Press.
Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M.
Cooper, Ed.). Hackett Publishing Company.
Reeve, C. D. C. (2002). Socrates in the Apology:
An essay on Plato’s Apology of Socrates. Hackett Publishing.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Vlastos, G. (1991). Socratic studies.
Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar