Pemikiran Al-Fārābī
Sintesis Islam dan Filsafat Yunani
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filsafat Abū Naṣr al-Fārābī, salah satu filsuf terbesar dalam tradisi
Islam klasik yang dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah
Aristoteles. Melalui pendekatan analitis-historis dan merujuk pada
sumber-sumber ilmiah kredibel, artikel ini menguraikan bagaimana Al-Fārābī
berhasil menyusun sintesis antara filsafat Yunani, terutama pemikiran Plato dan
Aristoteles, dengan prinsip-prinsip teologis Islam. Pembahasan mencakup
biografi intelektual Al-Fārābī, teori pengetahuan (epistemologi), struktur
metafisika dan kosmologi, filsafat politik melalui konsep al-Madīnah
al-Fāḍilah, pandangan etika dan tujuan hidup, serta pengaruhnya terhadap
pemikiran Islam dan Barat. Al-Fārābī tidak hanya menegaskan pentingnya akal
dalam memahami realitas, tetapi juga menunjukkan bagaimana filsafat dan agama
dapat bersinergi untuk membentuk individu dan masyarakat yang ideal. Artikel
ini menegaskan bahwa warisan intelektual Al-Fārābī tetap relevan dalam wacana
filsafat kontemporer, terutama dalam membangun dialog antara agama dan
rasionalitas.
Kata Kunci: Al-Fārābī, filsafat Islam klasik, epistemologi,
metafisika, filsafat politik, kebahagiaan, rasionalitas, agama dan filsafat,
emanasi, Madīnah al-Fāḍilah.
PEMBAHASAN
Pemikiran Filsafat Al-Fārābī Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam klasik adalah salah satu tradisi
intelektual yang penting dalam perkembangan sejarah pemikiran dunia. Di antara
tokoh-tokoh utama dalam sejarah filsafat Islam, Abū Naṣr Muḥammad ibn
Muḥammad al-Fārābī (w. 950 M) menempati posisi yang sangat signifikan.
Al-Fārābī sering kali disebut sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles, karena
perannya dalam memperkenalkan dan mengembangkan pemikiran filsafat Yunani di
dunia Islam. Sebagai filsuf yang memiliki pemahaman mendalam tentang filosofi
Yunani, terutama karya-karya Plato dan Aristoteles, Al-Fārābī berhasil
menyintesiskan ajaran-ajaran tersebut dengan tradisi intelektual Islam.
Pemikiran Al-Fārābī menjadi jembatan penting antara filsafat Yunani kuno dan
tradisi filsafat Islam yang berkembang pada abad pertengahan, serta memberikan
pengaruh besar terhadap filsuf-filsuf Islam berikutnya, seperti Ibn Sīnā
(Avicenna) dan Ibn Rushd (Averroes).
Pemikiran Al-Fārābī tidak hanya terbatas pada
metafisika atau epistemologi, tetapi juga mencakup bidang-bidang lain seperti
etika, politik, dan logika. Salah satu kontribusi terbesar Al-Fārābī adalah
dalam bidang filsafat politik, di mana ia mengembangkan konsep al-Madinah
al-Fāḍilah (Negara Utama), yang berupaya menggambarkan bagaimana sebuah
negara yang ideal seharusnya dikelola berdasarkan kebajikan dan filosofi moral
yang mendalam. Dengan mengadaptasi teori politik Plato dan Aristoteles,
Al-Fārābī mengusulkan sebuah model pemerintahan yang ideal yang dapat mencapai
kebahagiaan tertinggi bagi warganya.
Selain itu, Al-Fārābī juga dikenal dengan pemikiran
epistemologis yang menggabungkan ajaran Yunani dengan wahyu Ilahi dalam
pandangannya tentang akal dan pengetahuan. Dalam pandangannya, akal
memiliki peranan penting dalam mengakses kebenaran, tetapi wahyu juga memainkan
peranan penting dalam mengarahkan manusia pada pemahaman yang benar tentang
Tuhan dan alam semesta.
Sebagai filsuf yang menjembatani dunia Yunani dan
Islam, pemikiran Al-Fārābī memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan
tradisi filsafat Islam yang sangat beragam dan mendalam. Pengaruhnya terlihat
jelas dalam karya-karya filsuf berikutnya yang berusaha untuk mengembangkan dan
memperluas gagasan-gagasan yang telah ia rumuskan. Di sisi lain, pemikiran
Al-Fārābī juga memberikan sumbangan penting terhadap sejarah filsafat Barat,
melalui penerjemahan karya-karya filsuf Islam ke dalam bahasa Latin pada Abad
Pertengahan, yang kemudian mempengaruhi pemikiran filsafat Barat, terutama pada
masa Renaisans.
Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara
komprehensif mengenai pemikiran Al-Fārābī, dengan fokus pada sintesis
antara ajaran Islam dan filsafat Yunani yang merupakan landasan dari banyak
pemikirannya. Pembahasan akan mencakup berbagai aspek pemikiran Al-Fārābī,
mulai dari epistemologi, etika, filsafat politik, hingga metafisika, serta
bagaimana pemikirannya berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Islam dan
Barat. Dengan merujuk pada referensi-referensi kredibel dari buku-buku dan
jurnal ilmiah, artikel ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas tentang kontribusi intelektual Al-Fārābī dalam tradisi filsafat Islam.
Footnotes
[1]
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy.
2nd ed. New York: Columbia University Press, 2004, 89.
[2]
Mahdi, Muhsin. Alfarabi and the Foundation of
Islamic Political Philosophy. Chicago: University of Chicago Press, 2001,
115.
[3]
Netton, Ian Richard. Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity. London: Routledge,
1991, 64.
[4]
Leaman, Oliver. An Introduction to Classical
Islamic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1985, 47.
2.
Biografi
Singkat Al-Fārābī
Abū Naṣr Muḥammad ibn Muḥammad ibn Ṭarkhān ibn
Awzalagh al-Fārābī (w. 950 M /
339 H) adalah salah satu filsuf besar dalam tradisi intelektual Islam yang
hidup pada abad ke-10 M. Ia dikenal luas di dunia Islam dan Barat sebagai al-Mu‘allim
al-Thānī (Guru Kedua) setelah Aristoteles, karena kontribusinya yang luar
biasa dalam mengembangkan dan mentransmisikan filsafat Yunani ke dalam kerangka
pemikiran Islam.¹
Al-Fārābī lahir sekitar tahun 870 M di daerah
Wasij, dekat Farab, yang kini terletak di wilayah Kazakhstan modern. Daerah ini
merupakan bagian dari Transoxiana, salah satu pusat intelektual penting di
dunia Islam timur pada masa itu.² Ia berasal dari keluarga keturunan Persia
atau mungkin juga Turki, meskipun asal-usul etnisnya tidak sepenuhnya pasti
karena keterbatasan data historis.³ Namun yang lebih penting dari itu adalah kontribusi
intelektualnya yang melampaui batas-batas geografis dan etnis.
Pendidikan awal Al-Fārābī dimulai di daerah
asalnya, kemudian ia melanjutkan studinya ke kota-kota besar pusat ilmu
pengetahuan saat itu, seperti Bukhara dan Baghdad. Di Baghdad, ia belajar
logika dan filsafat Yunani secara mendalam, terutama karya-karya Plato dan
Aristoteles. Ia mempelajari logika dari seorang Kristen Nestorian bernama
Yūḥannā ibn Ḥaylān, yang ahli dalam bahasa Yunani dan menerjemahkan banyak
karya filsafat klasik ke dalam bahasa Arab.⁴ Melalui guru-guru seperti inilah
Al-Fārābī mendapatkan akses langsung terhadap pemikiran filsuf-filsuf Yunani,
yang kemudian ia komentari dan sintesis dalam karya-karyanya.
Selain filsafat, Al-Fārābī juga memiliki minat yang
luas dalam berbagai disiplin ilmu lain seperti musik, ilmu alam, matematika,
linguistik, dan politik. Ia bahkan menulis risalah terkenal berjudul Kitāb
al-Mūsīqā al-Kabīr (Buku Besar tentang Musik), yang menjadi salah satu
karya terpenting dalam bidang teori musik Islam klasik.⁵ Kepiawaiannya dalam
bidang musik juga menjadi simbol keterpaduan antara sains, seni, dan filsafat
dalam tradisi Islam klasik.
Kehidupan Al-Fārābī pada masa tuanya lebih banyak
dihabiskan di Aleppo dan Damaskus, di bawah perlindungan penguasa Hamdanid, Sayf
al-Dawlah. Dukungan politik ini memungkinkannya untuk berkonsentrasi pada
penulisan dan pengembangan pemikirannya tanpa gangguan.⁶ Ia hidup dengan penuh
kesederhanaan dan dikenal karena kedisiplinannya dalam menuntut ilmu dan hidup
zuhud. Al-Fārābī wafat pada tahun 950 M di Damaskus, meninggalkan warisan
intelektual yang sangat besar dan terus memengaruhi pemikiran Islam dan Barat
hingga berabad-abad kemudian.⁷
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 87.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 42.
[3]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World:
A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press,
2016), 67.
[4]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 155.
[5]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An
Introduction to the Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge,
1991), 72.
[6]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of
Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001),
93.
[7]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 91.
3.
Konsep
Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Epistemologi atau
teori pengetahuan merupakan salah satu fondasi utama dalam pemikiran filsafat
Al-Fārābī. Dalam tradisi filsafat Islam, ia dikenal sebagai salah satu tokoh
awal yang merumuskan teori pengetahuan secara sistematis, dengan memadukan
warisan filsafat Yunani, khususnya Aristoteles dan Neoplatonisme, dengan
prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.¹
Bagi Al-Fārābī,
pengetahuan (‘ilm) adalah hasil dari proses
aktif yang melibatkan akal manusia dalam memahami realitas. Ia membagi akal (al-‘aql)
ke dalam beberapa tingkatan, yang menunjukkan tahapan-tahapan perkembangan
intelektual manusia menuju pencapaian pengetahuan yang sempurna. Pembagian ini
mencerminkan pemahaman filosofis yang mendalam tentang hubungan antara potensi
manusia dan pencapaian intelektual.
3.1. Hirarki Akal
Al-Fārābī
mengembangkan teori tentang lima tingkatan akal, yang merupakan adaptasi dan
pengembangan dari pemikiran Aristoteles:
1)
Akal Potensial (al-‘aql
al-quwwī):
Merupakan kapasitas bawaan dalam jiwa manusia
untuk menerima bentuk-bentuk (ma‘qūlāt) dari benda-benda yang dapat dipahami.
Akal potensial belum memiliki pengetahuan aktual, tetapi mampu menerimanya.²
2)
Akal Aktual (al-‘aql bi
al-fi‘l):
Ketika akal potensial mulai mengaktualkan
potensinya melalui pengalaman dan pendidikan, ia menjadi akal aktual. Pada
tahap ini, akal telah memiliki pengetahuan konseptual yang stabil.³
3)
Akal Perolehan (al-‘aql
al-mustafād):
Merupakan akal yang telah memperoleh
bentuk-bentuk universal secara sempurna dan mampu menggunakannya secara
reflektif. Ini adalah bentuk akal manusia yang mendekati kesempurnaan.⁴
4)
Akal Aktif (al-‘aql
al-fa‘āl):
Konsep ini sangat penting dalam sistem
epistemologi Al-Fārābī. Akal aktif merupakan entitas immaterial dan kekal, yang
berfungsi sebagai sumber iluminasi bagi akal manusia. Akal ini tidak berada
dalam diri manusia, melainkan dalam tatanan kosmis.⁵ Peran utamanya adalah
mengaktualkan potensi intelektual manusia dengan "memancarkan"
bentuk-bentuk intelektual kepada akal perolehan.
5)
Akal Materi (terkadang
dimasukkan secara tersirat):
Dalam beberapa penafsiran, terdapat pula
penyebutan tentang bentuk akal yang masih melekat pada hal-hal inderawi,
sebagai bagian awal dari proses akuisisi pengetahuan.⁶
3.2. Metode Perolehan Pengetahuan
Al-Fārābī menjelaskan
bahwa pengetahuan diperoleh melalui dua jalur utama: indera
dan akal. Indera menangkap realitas fisik, sedangkan akal
mengabstraksikannya menjadi bentuk universal.⁷ Dari sinilah, bentuk-bentuk
tersebut diinternalisasi oleh akal potensial dan, melalui proses intelektual,
diubah menjadi akal aktual dan akhirnya akal perolehan.
Selain itu,
Al-Fārābī juga menekankan peran penting intuisi dan wahyu, terutama
dalam konteks kenabian. Seorang nabi, menurut Al-Fārābī, memiliki kapasitas
istimewa untuk menerima pengetahuan langsung dari akal aktif melalui imajinasi
(khayāl)
dalam bentuk wahyu.⁸ Dengan demikian, ia menjembatani antara pengetahuan
filosofis (yang diperoleh melalui rasio) dan pengetahuan keagamaan (yang
diperoleh melalui iluminasi spiritual).
3.3. Tujuan Epistemologis: Pencapaian Kebahagiaan
Bagi Al-Fārābī,
tujuan akhir dari pencapaian pengetahuan bukanlah semata-mata penguasaan
intelektual, melainkan kebahagiaan sejati (as-sa‘ādah).
Kebahagiaan hanya bisa diraih jika manusia mampu mencapai kesempurnaan akal dan
mengenal realitas tertinggi, yaitu Tuhan.⁹ Oleh karena itu, epistemologi
Al-Fārābī sangat erat kaitannya dengan etika dan metafisika—pengetahuan tidak
hanya bersifat spekulatif, melainkan juga transformasional.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 90–91.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 54.
[3]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of
Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 72.
[4]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 76.
[5]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 33–35.
[6]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition:
Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden: Brill,
2001), 45.
[7]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 93.
[8]
Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 56.
[9]
Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy,
41.
4.
Filsafat
Politik
Pemikiran politik
Al-Fārābī menempati posisi sentral dalam warisan intelektualnya dan merupakan
salah satu kontribusi paling orisinalnya dalam khazanah filsafat Islam. Dalam
karya monumentalnya Kitāb al-Siyāsah al-Madaniyyah dan Ārā’ Ahl
al-Madīnah al-Fāḍilah (Pandangan-pandangan Penduduk Negara Utama),
Al-Fārābī menyajikan sebuah sintesis filsafat politik Plato dan Aristoteles
yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.¹ Filsafat politiknya tidak hanya
membahas struktur pemerintahan, tetapi juga menyentuh aspek-aspek ontologis dan
etis dari kehidupan bersama, dengan tujuan akhir untuk mencapai kebahagiaan
sejati (as-sa‘ādah) dalam kehidupan dunia
dan akhirat.
4.1. Konsep al-Madīnah al-Fāḍilah (Negara Utama)
Konsep al-Madīnah
al-Fāḍilah merupakan inti dari filsafat politik Al-Fārābī. Negara
ini adalah suatu komunitas politik yang ideal, dipimpin oleh seorang pemimpin
yang sempurna secara intelektual dan moral, serta diarahkan menuju tujuan
tertinggi manusia, yaitu kebahagiaan.² Dalam hal ini, Al-Fārābī mengikuti model
Plato dalam The Republic, tetapi menambahkan
dimensi kenabian yang khas Islam.
Pemimpin ideal dalam
negara utama ini adalah filosof-nabi yang memiliki lima
kualitas utama: (1) kesempurnaan intelektual, (2) kemampuan retoris, (3)
keutamaan moral, (4) kekuatan fisik dan keberanian, dan (5) wahyu atau
iluminasi dari Akal Aktif.³ Pemimpin ini tidak hanya bertugas menjalankan
administrasi pemerintahan, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual dan
intelektual masyarakat.
Menurut Al-Fārābī,
negara utama dibentuk berdasarkan kerja sama antara individu yang memiliki
tujuan hidup yang sama, yaitu kebaikan dan kesempurnaan. Negara yang demikian
ditopang oleh sistem pendidikan, etika, dan hukum yang sejalan dengan
pencapaian nilai-nilai kebaikan tertinggi.⁴
4.2. Tipe-Tipe Negara yang Rusak
Sebagai kontras dari al-Madīnah al-Fāḍilah, Al-Fārābī juga membagi
tipe-tipe negara yang menyimpang (al-mudun al-ḍāllah), yaitu:
1)
al-Madīnah
al-Jāhiliyyah: negara yang tidak mengetahui kebahagiaan sejati
dan hanya mengejar kesenangan materi.
2)
al-Madīnah al-Fāsiqah:
negara yang tahu tentang kebaikan sejati tetapi enggan mengamalkannya.
3)
al-Madīnah
al-Mubaddalah: negara yang menggantikan tujuan sejati dengan
tujuan yang keliru.
4)
al-Madīnah al-Ḍāllah:
negara yang dipimpin oleh pemimpin yang salah dalam memahami tujuan eksistensi
manusia.⁵
Klasifikasi ini
menunjukkan kepedulian Al-Fārābī terhadap kualitas moral dan intelektual para
pemimpin serta masyarakatnya. Negara hanya akan berhasil jika pemimpinnya
adalah orang yang mampu menuntun masyarakat menuju kebenaran dan kebahagiaan,
bukan sekadar mempertahankan kekuasaan.
4.3. Hubungan antara Filsafat, Agama, dan Politik
Dalam pandangan
Al-Fārābī, filsafat dan agama tidaklah bertentangan, melainkan bersifat komplementer.
Filsafat adalah bentuk pengetahuan tertinggi yang bersifat demonstratif dan
rasional, sedangkan agama adalah bentuk simbolik dari kebenaran filosofis yang
disampaikan dalam bentuk yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum.⁶ Oleh
karena itu, agama sangat diperlukan dalam membentuk masyarakat politik yang
saleh, sementara filsafat diperlukan untuk memandu para pemimpin dalam memahami
tujuan-tujuan yang luhur.
Ia juga menyatakan
bahwa syariat, ketika difahami secara benar, merupakan ekspresi simbolik dari
kebenaran filsafat. Pemimpin ideal dalam negara utama adalah orang yang mampu
memahami makna esoterik agama dan menjelaskan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan bermasyarakat.⁷ Dengan demikian, negara ideal menurut Al-Fārābī
adalah perwujudan dari harmoni antara hukum Ilahi (syariat), akal filosofis,
dan tatanan sosial yang etis.
Kesimpulan Sementara
Filsafat politik
Al-Fārābī merupakan pencapaian penting dalam filsafat Islam karena
memperkenalkan model negara yang bersandar pada keutamaan, akal, dan wahyu. Ia
membangun sebuah sistem politik yang ideal yang tidak hanya mengejar ketertiban
sosial, tetapi juga pembentukan karakter dan kebahagiaan sejati bagi setiap
warganya. Pemikirannya menunjukkan bagaimana filsafat dapat bersinergi dengan
agama untuk membentuk peradaban yang adil, rasional, dan spiritual.
Footnotes
[1]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 5.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 97–98.
[3]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 84.
[4]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of
Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 74.
[5]
Leaman, Oliver. An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 59.
[6]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 100.
[7]
Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy,
121–122.
5.
Metafisika
dan Kosmologi
Pemikiran metafisika
dan kosmologi Al-Fārābī merupakan upaya sistematis untuk membangun pemahaman
tentang realitas wujud dan struktur alam semesta yang selaras dengan prinsip-prinsip
akal serta keyakinan keagamaan Islam. Dalam hal ini, Al-Fārābī sangat
dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme, namun ia tidak sekadar
menyalin pemikiran tersebut, melainkan menyusunnya kembali dalam kerangka
teistik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.¹ Ia menempatkan Tuhan sebagai
pusat dari seluruh tatanan kosmik dan menjelaskan bagaimana seluruh realitas
emanasi berasal dari-Nya secara hierarkis dan rasional.
5.1. Tuhan sebagai Sebab Pertama (al-Sabab al-Awwal)
Bagi Al-Fārābī, Tuhan
adalah Wujud Pertama (al-mawjūd al-awwal) dan Sebab
Pertama (al-sabab al-awwal) dari segala
sesuatu. Wujud Tuhan bersifat niscaya (wājib al-wujūd), tidak bergantung kepada
apa pun, dan merupakan sumber dari semua eksistensi lainnya.² Ia menolak gagasan
antropomorfis tentang Tuhan, menekankan bahwa Tuhan adalah kesempurnaan mutlak,
tidak berjasad, dan tidak berubah.
Pengetahuan Tuhan
tentang diri-Nya menjadi penyebab dari munculnya wujud-wujud lain secara
berurutan.³ Pandangan ini merupakan hasil sintesis antara Aristoteles yang
memahami Tuhan sebagai pikiran yang berpikir tentang pikiran
(noesis
noeseos) dan Neoplatonisme yang menjelaskan realitas melalui
prinsip emanasi.
5.2. Emanasi Kosmik dan Struktur Alam Semesta
Konsep emanasi
(fayḍ)
adalah kunci dalam sistem kosmologi Al-Fārābī. Ia menyusun kosmos sebagai suatu
tatanan hierarkis yang berangkat dari Tuhan sebagai sumber pertama dan mengalir
secara bertingkat ke bawah.⁴ Dari Tuhan memancar akal-akal
(intellects) yang menjadi prinsip-prinsip non-material dan
memerintah setiap langit.
Secara umum, tatanan
emanasi menurut Al-Fārābī adalah sebagai berikut:
1)
Dari Tuhan
keluar akal pertama, yang
mengenal Tuhan dan dirinya sendiri.
2)
Dari akal pertama lahir langit
pertama dan akal kedua.
3)
Proses ini berulang hingga
tercipta sepuluh akal dan sembilan
langit.
4)
Akal kesepuluh,
yaitu akal aktif (al-‘aql
al-fa‘āl), berhubungan langsung dengan dunia bawah bulan, tempat
eksistensi materi, tumbuhan, hewan, dan manusia.⁵
Struktur ini
menunjukkan keteraturan dan keharmonisan kosmos sebagai refleksi dari
keteraturan Ilahi. Dengan demikian, metafisika Al-Fārābī bukanlah spekulatif
semata, melainkan memberikan landasan bagi filsafat alam, psikologi, bahkan
politiknya.
5.3. Jiwa dan Hubungannya dengan Kosmos
Al-Fārābī menjelaskan
bahwa jiwa
manusia memiliki kedudukan istimewa dalam tatanan kosmik. Jiwa
berasal dari dunia atas dan memiliki kemampuan untuk menyerap bentuk-bentuk
intelektual. Melalui akal aktif, jiwa dapat mengaktualkan potensinya menuju
kesempurnaan.
Ia membagi jiwa
manusia menjadi beberapa bagian: jiwa vegetatif (pertumbuhan), jiwa sensitif
(indera dan gerak), dan jiwa rasional (berpikir).⁶ Hanya jiwa rasional yang
dapat mengalami keabadian, sejauh ia berhasil menyatu dengan akal aktif melalui
pencapaian pengetahuan hakiki.
5.4. Tujuan Akhir dan Kesempurnaan Eksistensi
Dalam sistem
metafisik Al-Fārābī, tujuan akhir manusia adalah
menyatu dengan akal aktif sebagai bentuk tertinggi dari kesempurnaan
eksistensial. Pencapaian ini memungkinkan jiwa manusia keluar dari keterbatasan
dunia materi dan mencapai kebahagiaan abadi.⁷ Konsep ini erat kaitannya dengan
epistemologi dan etika Al-Fārābī yang menempatkan kebahagiaan sebagai hasil
dari penyempurnaan intelek dan moral.
Al-Fārābī tidak
mengabaikan prinsip-prinsip Islam dalam pembahasannya. Meskipun ia menggunakan
kerangka rasional Yunani, ia tetap menyelaraskannya dengan pandangan teistik
dan kepercayaan akan hari akhir. Penekanannya pada keabadian jiwa dan
pembalasan akhirat menegaskan bahwa filsafat dapat mendukung dan memperdalam
pemahaman keagamaan.
Kesimpulan Sementara
Metafisika dan
kosmologi Al-Fārābī menunjukkan upaya cemerlang untuk membangun sistem filsafat
yang menyeluruh—dimulai dari Tuhan sebagai sumber segala wujud hingga tatanan
kosmos dan jiwa manusia. Dengan model emanasi, ia menjelaskan keteraturan
kosmos dan hubungan hierarkis antara Tuhan, akal-akal, dan dunia fisik.
Pemikirannya menjadi fondasi penting dalam perkembangan filsafat Islam,
terutama dalam pemikiran Ibn Sīnā dan para filsuf sesudahnya.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 94.
[2]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of
Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 76.
[3]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 28–29.
[4]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge,
1998), 151.
[5]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 89.
[6]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 63.
[7]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 96.
6.
Etika
dan Tujuan Hidup
Dalam filsafat
Al-Fārābī, etika bukanlah disiplin yang
berdiri sendiri secara terpisah dari metafisika, epistemologi, dan politik,
melainkan merupakan bagian integral dari sistem filsafat yang menyeluruh. Etika
bagi Al-Fārābī merupakan jalan menuju tujuan tertinggi manusia, yaitu
kebahagiaan
sejati (as-sa‘ādah al-quswā) yang tidak
hanya bersifat duniawi, tetapi juga ukhrawi.¹ Ia menyelaraskan pandangan etika
Yunani—terutama dari Aristoteles dan Plato—dengan ajaran-ajaran Islam tentang
kesempurnaan ruhani dan tanggung jawab moral manusia di hadapan Tuhan.
6.1. Konsep Kebahagiaan (as-Sa‘ādah)
Al-Fārābī
mendefinisikan as-sa‘ādah sebagai pencapaian
kesempurnaan tertinggi yang mungkin dicapai oleh manusia, yaitu pengenalan
terhadap realitas tertinggi (Tuhan) melalui penyempurnaan akal.² Kebahagiaan
sejati hanya bisa diraih oleh mereka yang mampu menyatukan diri dengan akal
aktif (al-‘aql al-fa‘āl) melalui
kontemplasi dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Kebahagiaan menurut
Al-Fārābī memiliki dua dimensi:
1)
Dimensi intelektual:
Pencapaian pengetahuan tertinggi tentang wujud dan Tuhan.
2)
Dimensi moral:
Pengamalan kebajikan dan kehidupan sesuai dengan rasionalitas.³
Dengan demikian,
kehidupan yang baik bukan hanya kehidupan yang taat secara lahiriah, tetapi
kehidupan yang dijalani dengan nalar dan pemahaman yang benar tentang hakikat
kebaikan.
6.2. Jenis-Jenis Kebajikan
Al-Fārābī
mengklasifikasikan kebajikan (al-faḍīlah) ke dalam
beberapa jenis, sebagai landasan etika praktis dalam pembentukan pribadi dan
masyarakat:
1)
Kebajikan teoritis:
Berkaitan dengan kemampuan berpikir dan pengetahuan tentang realitas metafisik.
2)
Kebajikan intelektual:
Termasuk ketajaman logika, analisis, dan kontemplasi filosofis.
3)
Kebajikan moral:
Seperti keadilan, keberanian, kesederhanaan, dan kemurahan hati.
4)
Kebajikan praktis:
Mencakup keterampilan dalam mengelola urusan rumah tangga, masyarakat, dan
negara.⁴
Keempat kategori
kebajikan ini harus saling melengkapi dalam diri seorang individu agar ia dapat
menjadi anggota ideal dalam al-madīnah al-fāḍilah (negara
utama).
6.3. Pendidikan Moral dan Politik
Menurut Al-Fārābī,
pendidikan merupakan sarana utama dalam membentuk manusia yang beretika.
Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak individu yang cerdas secara
intelektual, tetapi juga membentuk karakter yang mulia. Oleh karena itu,
pembentukan akhlak merupakan bagian integral dari kebijakan politik yang
ideal.⁵
Pemerintah dalam
negara utama harus memainkan peran sebagai pembina moral masyarakat, dengan
menggunakan filsafat dan agama sebagai instrumen pendidikan. Seorang pemimpin
sejati adalah yang mampu membimbing masyarakat tidak hanya menuju keteraturan
sosial, tetapi juga menuju kesempurnaan spiritual dan intelektual.
6.4. Hubungan antara Etika, Akal, dan Agama
Salah satu sintesis
penting yang dilakukan Al-Fārābī adalah penyatuan antara etika rasional dan wahyu Ilahi.
Menurutnya, wahyu mengajarkan prinsip-prinsip moral universal dalam bentuk
simbolik agar dapat dipahami oleh masyarakat awam.⁶ Filsafat, di sisi lain,
menjelaskan prinsip-prinsip yang sama melalui pendekatan rasional dan
demonstratif.
Dengan demikian,
agama dan filsafat tidak bertentangan, tetapi bersatu dalam mendukung etika
manusia. Filosof dan nabi dalam sistem Al-Fārābī memiliki fungsi yang serupa:
keduanya menunjukkan jalan menuju kebahagiaan sejati, hanya berbeda dalam
metode penyampaiannya.⁷
Kesimpulan Sementara
Etika dalam
pemikiran Al-Fārābī bukan sekadar panduan perilaku individual, tetapi bagian
dari upaya besar menuju kesempurnaan manusia dan masyarakat. Kebahagiaan sejati
hanya dapat diraih melalui penyatuan kebajikan intelektual dan moral, yang
dibimbing oleh akal dan diperkuat oleh agama. Dalam kerangka ini, Al-Fārābī
menawarkan suatu etika yang rasional, transenden, dan praktis—sebuah warisan
filsafat yang tetap relevan untuk membentuk manusia paripurna dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 96–97.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 64.
[3]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of
Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 79.
[4]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 39.
[5]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 91.
[6]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London:
Routledge, 1998), 158.
[7]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 98.
7.
Pengaruh
dan Warisan Intelektual
Al-Fārābī tidak
hanya dikenal sebagai tokoh besar dalam filsafat Islam klasik, tetapi juga
sebagai jembatan utama antara warisan filsafat Yunani dan pengembangan filsafat
dalam dunia Islam serta Eropa Latin. Pemikirannya yang sistematis dan
komprehensif dalam bidang metafisika, epistemologi, logika, etika, dan filsafat
politik, menjadikannya sebagai figur sentral dalam tradisi rasionalisme Islam
dan sebagai fondasi penting bagi para filsuf besar sesudahnya, baik di Timur
maupun di Barat.¹
7.1. Pengaruh terhadap Filsafat Islam
Warisan intelektual
Al-Fārābī sangat terasa dalam karya dan sistem pemikiran Ibn Sīnā
(Avicenna), yang secara terbuka menyatakan bahwa ia memperoleh
inspirasi besar dari karya-karya Al-Fārābī, terutama dalam bidang logika,
metafisika, dan teori akal.² Ibn Sīnā mengembangkan teori akal dan sistem
emanasi Al-Fārābī dalam kerangka yang lebih kompleks, tetapi tetap
mempertahankan struktur dasar yang telah dirumuskan gurunya tersebut. Bahkan,
dalam filsafat politik dan konsepsi tentang jiwa, pengaruh Al-Fārābī terlihat sangat
jelas dalam sistem Avicennian.
Demikian pula,
filsuf seperti Ibn Bājjah (Avempace) dan Ibn Ṭufayl,
serta Ibn
Rushd (Averroes), memperlihatkan pengaruh Al-Fārābī dalam usaha
mereka menyelaraskan filsafat dengan ajaran agama Islam.³ Gagasan tentang keharmonisan
antara akal dan wahyu, serta upaya mengonstruksi negara yang ideal, menjadi
tema penting yang diwarisi oleh mereka.
7.2. Peran dalam Tradisi Neoplatonisme Islam
Al-Fārābī adalah
salah satu tokoh kunci dalam transformasi Neoplatonisme ke dalam kerangka
pemikiran Islam.⁴ Ia mewarisi model kosmologis emanasi dari Plotinus dan
Porphyry, yang kemudian ia padukan dengan Aristotelianisme dan doktrin-doktrin
Islam. Dalam hal ini, ia tidak hanya sekadar mengadopsi gagasan Yunani, tetapi
mengislamkan filsafat tersebut—menyesuaikannya dengan konsep Tuhan, kenabian,
dan kehidupan akhirat dalam Islam.⁵
Kontribusinya dalam
menjelaskan bagaimana wahyu berfungsi sebagai simbol dari kebenaran filosofis
murni, dan bagaimana filsafat dapat digunakan untuk menafsirkan agama, menjadi
pondasi penting dalam diskusi filsafat agama Islam klasik.
7.3. Pengaruh terhadap Dunia Barat Latin
Pengaruh Al-Fārābī
tidak berhenti di dunia Islam. Melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam
bahasa Latin oleh para penerjemah Andalusia dan Sisilia, seperti Gerard dari
Cremona dan Michael Scot, gagasan-gagasannya menyebar ke Eropa dan memberikan
dampak besar terhadap kebangkitan filsafat skolastik pada Abad Pertengahan.⁶
Filsuf-filsuf
seperti Thomas Aquinas dan Albertus
Magnus memanfaatkan pemikiran Al-Fārābī, khususnya dalam bidang
logika dan metafisika, melalui perantara pemikiran Ibn Sīnā dan Ibn Rushd.⁷
Pandangan Al-Fārābī tentang hubungan antara akal dan wahyu, serta pemahaman
tentang Tuhan sebagai sebab pertama, menjadi bahan perdebatan penting dalam
teologi Kristen Latin.
7.4. Warisan dalam Kajian Kontemporer
Hingga hari ini,
pemikiran Al-Fārābī masih menjadi bahan kajian dalam berbagai disiplin ilmu
seperti filsafat Islam, studi politik Islam, filsafat pendidikan, dan hubungan
agama dan rasionalitas. Banyak sarjana kontemporer, seperti Muhsin
Mahdi dan Leo Strauss, melihat Al-Fārābī
sebagai tokoh yang bukan hanya penting dalam sejarah Islam, tetapi juga sebagai
kunci untuk memahami hubungan antara filsafat dan agama secara universal.⁸
Karya-karya
Al-Fārābī terus menjadi rujukan dalam diskursus tentang pluralisme intelektual,
toleransi, serta pentingnya peran akal dalam kehidupan keagamaan dan politik.
Warisannya menunjukkan bahwa Islam klasik pernah mengalami masa kejayaan
rasional yang tinggi, dan dapat dijadikan inspirasi dalam membangun dialog
antara peradaban pada masa kini.
Kesimpulan Sementara
Al-Fārābī
meninggalkan warisan intelektual yang melampaui zamannya. Ia tidak hanya
membangun sintesis besar antara filsafat Yunani dan Islam, tetapi juga
meletakkan dasar bagi perkembangan filsafat Islam selanjutnya serta memberikan
kontribusi signifikan bagi filsafat Barat. Pemikirannya menjadi bukti bahwa
tradisi Islam memiliki kekayaan rasionalitas yang mendalam dan mampu berdialog
secara produktif dengan tradisi intelektual lain. Oleh karena itu, Al-Fārābī
layak ditempatkan sebagai salah satu pilar peradaban dunia.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 102–103.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 67.
[3]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World: A History of
Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press, 2016), 83.
[4]
Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonists: An Introduction to the
Thought of the Brethren of Purity (London: Routledge, 1991), 93.
[5]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London:
Routledge, 1998), 154–155.
[6]
David C. Lindberg and Michael H. Shank, The Cambridge History of
Science: Volume 2, Medieval Science (Cambridge: Cambridge University
Press, 2013), 372.
[7]
Etienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 43.
[8]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 1–3.
8.
Kesimpulan
Pemikiran filsafat Al-Fārābī merupakan pencapaian
intelektual yang sangat monumental dalam sejarah filsafat Islam klasik. Ia
tidak hanya berhasil menyerap, memahami, dan menyistematisasikan warisan
filsafat Yunani, khususnya Plato, Aristoteles, dan unsur-unsur Neoplatonisme,
tetapi juga berhasil mengintegrasikannya dengan pandangan dunia Islam.¹ Melalui
pendekatan yang rasional dan metodologis, Al-Fārābī membangun suatu sistem
filsafat yang menyeluruh, mencakup metafisika, epistemologi, logika, etika,
politik, dan kosmologi—semuanya diarahkan kepada pencapaian as-sa‘ādah
atau kebahagiaan sejati sebagai tujuan tertinggi eksistensi manusia.²
Salah satu keunggulan utama pemikiran Al-Fārābī
terletak pada kemampuannya menyusun sintesis harmonis antara filsafat dan
agama. Ia memandang bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama,
melainkan merupakan sarana rasional untuk memahami dan menafsirkan kebenaran
wahyu.³ Dalam pandangannya, filsuf dan nabi memiliki peran serupa dalam
membimbing manusia menuju kesempurnaan intelektual dan spiritual, meskipun
melalui jalan yang berbeda—yang satu melalui argumentasi rasional, dan yang
lain melalui simbolisme kenabian.
Melalui konsep negara utama (al-Madīnah
al-Fāḍilah), Al-Fārābī juga menunjukkan pentingnya tatanan sosial-politik
yang dibangun di atas dasar etika dan intelektualitas.⁴ Negara ideal adalah
cerminan dari tatanan kosmik yang teratur dan rasional, di mana setiap individu
diarahkan menuju kesempurnaan dirinya. Hal ini menegaskan bahwa filsafat
Al-Fārābī tidak bersifat individualistik semata, tetapi juga kolektif, dan
sangat relevan dalam konteks pembangunan peradaban.
Pengaruh Al-Fārābī sangat luas dan mendalam. Ia
menjadi rujukan utama bagi para filsuf besar seperti Ibn Sīnā, Ibn
Rushd, hingga pemikir-pemikir Kristen Latin seperti Thomas Aquinas.⁵
Warisannya dalam mengembangkan rasionalitas Islam membuktikan bahwa Islam pada
masa klasik mampu berdialog aktif dan kreatif dengan tradisi pemikiran global
tanpa kehilangan identitas teologisnya.
Dengan
demikian, pemikiran filsafat Al-Fārābī tidak hanya memiliki signifikansi
historis, tetapi juga mengandung relevansi yang kuat untuk masa kini. Dalam
dunia yang semakin kompleks dan terpolarisasi, warisan Al-Fārābī dapat menjadi
inspirasi bagi upaya integrasi antara ilmu, etika, dan spiritualitas dalam membangun
masyarakat yang adil, rasional, dan beradab.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 101–102.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 67.
[3]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World:
A History of Philosophy Without Any Gaps (Oxford: Oxford University Press,
2016), 85.
[4]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of
Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001),
117.
[5]
Etienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 45.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic
world: A history of philosophy without any gaps. Oxford University Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.
Gilson, E. (1938). Reason and revelation in the
Middle Ages. Charles Scribner’s Sons.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society.
Routledge.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition: Introduction to reading Avicenna's philosophical works. Brill.
Leaman, O. (1985). An introduction to classical
Islamic philosophy. Cambridge University Press.
Lindberg, D. C., & Shank, M. H. (Eds.). (2013).
The Cambridge history of science: Volume 2, Medieval science. Cambridge
University Press.
Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of
Islamic political philosophy. University of Chicago Press.
Netton, I. R. (1991). Muslim Neoplatonists: An
introduction to the thought of the Brethren of Purity. Routledge.
Lampiran: Daftar Karya-Karya Utama Al-Fārābī
Berikut adalah daftar
karya-karya utama Al-Fārābī (Abū Naṣr al-Fārābī) yang
telah dikenal dalam dunia filsafat Islam dan memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat, baik di dunia Islam
maupun Barat Latin. Karya-karya ini mencakup berbagai disiplin ilmu, termasuk
logika, metafisika, politik, musik, dan etika.
1.
Filsafat dan Politik
·
Ārā’
Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (آراء أهل المدينة الفاضلة)
Pandangan-pandangan Penduduk Negara Utama
→ Karya ini adalah yang paling terkenal.
Al-Fārābī menjelaskan visinya tentang negara ideal dan pemimpin yang sempurna,
terinspirasi dari The Republic Plato.
·
Kitāb
al-Siyāsah al-Madaniyyah (كتاب السياسة المدنية)
Buku Politik Sipil
→ Melanjutkan pembahasan tentang tata kelola
negara dan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan dan filsafat.
·
Kitāb
Tahṣīl al-Sa‘ādah (كتاب تحصيل السعادة)
Buku Perolehan Kebahagiaan
→ Mengupas bagaimana filsafat menjadi jalan
menuju kebahagiaan sejati, baik individual maupun sosial.
·
Fusūl
al-Madanī (فصول المدني)
Aphorisms of the Statesman
→ Sekumpulan aforisme yang membahas hubungan
antara filsafat, kenabian, dan politik.
2.
Logika dan Epistemologi
·
Kitāb
al-Qiyās (كتاب القياس)
Buku Silogisme
→ Penjelasan mendalam tentang struktur silogistik
Aristotelian.
·
Kitāb
al-‘Ibarah (كتاب العبارة)
Buku tentang Penafsiran (De Interpretatione)
→ Komentar atas karya logika Aristoteles.
·
Kitāb
al-Burhān (كتاب البرهان)
Buku Demonstrasi (Posterior Analytics)
→ Menjelaskan metode demonstratif dalam
memperoleh pengetahuan ilmiah.
·
Kitāb
al-Maqūlāt (كتاب المقولات)
Buku Kategori
→ Komentar atas Categories Aristoteles.
·
Kitāb
al-Alfāẓ al-Musta‘malah fī al-Manṭiq (كتاب الألفاظ المستعملة
في المنطق)
Istilah-istilah yang Digunakan dalam Logika
→ Ensiklopedi istilah logika yang sangat penting.
3.
Metafisika dan Kosmologi
·
Kitāb
al-Ilāhiyyāt (كتاب الإلهيات)
Buku tentang Teologi/Metafisika
→ Bagian dari al-Jam‘ bayn Ra’yay al-Ḥakīmayn,
berisi penjelasan metafisika dalam kerangka filsafat Aristotelian.
·
Risālah
fī al-‘Aql (رسالة في العقل)
Risalah tentang Akal
→ Menjelaskan teori akal yang berpengaruh luas
dalam epistemologi Islam.
·
Kitāb
al-Jam‘ bayna Ra’yay al-Ḥakīmayn: Aflāṭūn wa Arisṭūṭālīs (كتاب الجمع بين رأيي الحكيمين: أفلاطون وأرسطوطاليس)
Harmonisasi Antara Dua Filsuf: Plato dan
Aristoteles
→ Upaya Al-Fārābī untuk menyatukan dua sistem
pemikiran besar dunia Yunani.
4.
Musik
·
Kitāb
al-Mūsīqā al-Kabīr (كتاب الموسيقى الكبير)
Buku Besar tentang Musik
→ Salah satu karya paling penting dalam teori
musik klasik Islam; memadukan ilmu musik, matematika, dan estetika.
5.
Etika dan Psikologi
·
Risālah
fī Tanwīh bi Sabīl al-Sa‘ādah (رسالة في التنويه بسبيل السعادة)
Risalah tentang Petunjuk Menuju Kebahagiaan
→ Menguraikan jalur menuju kehidupan yang bahagia
dan bermoral.
·
Risālah
fī al-Nafs (رسالة في النفس)
Risalah tentang Jiwa
→ Membahas aspek-aspek jiwa manusia, pengaruh,
dan transformasinya menuju kesempurnaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar