Jumat, 15 November 2024

Kesadaran: Perspektif Filsafat dari Klasik hingga Kontemporer

Kesadaran

Perspektif Filsafat dari Klasik hingga Kontemporer


Abstrak

Artikel ini membahas konsep kesadaran dalam filsafat melalui pendekatan historis dan tematik, dimulai dari pemikiran filsuf klasik hingga perkembangan kontemporer dalam filsafat analitik dan ilmu kognitif. Dalam filsafat klasik, kesadaran dikaji dalam kaitannya dengan jiwa dan rasionalitas oleh tokoh seperti Plato dan Aristoteles. Filsafat modern menyoroti kesadaran sebagai dasar epistemologi dan identitas diri, sebagaimana terlihat dalam pemikiran Descartes, Locke, Hume, dan Kant. Fenomenologi memperluas pandangan ini dengan menekankan intensionalitas dan pengalaman langsung sebagai inti dari kesadaran, melalui kontribusi Husserl, Heidegger, dan Merleau-Ponty. Sementara itu, filsafat analitik dan kognitif menghadirkan beragam pendekatan, mulai dari kritik behavioristik Gilbert Ryle hingga teori hard problem of consciousness dari David Chalmers. Artikel ini juga mengulas tantangan mutakhir, termasuk debat tentang kesadaran buatan (AI), status moral entitas non-manusia, dan kemungkinan pendekatan panpsikisme. Dengan pendekatan multidisipliner, artikel ini menunjukkan bahwa kesadaran adalah fenomena kompleks yang membutuhkan integrasi antara filsafat, ilmu pengetahuan, dan etika.

Kata Kunci: Kesadaran, filsafat pikiran, fenomenologi, kognisi, qualia, AI, panpsikisme, intensionalitas, subjektivitas, epistemologi.


PEMBAHASAN

Menelusuri Hakikat Kesadaran


1.           Pendahuluan

Kesadaran merupakan salah satu tema paling fundamental dan sekaligus paling misterius dalam tradisi filsafat. Dari zaman Yunani Kuno hingga era filsafat kontemporer, para filsuf terus memperdebatkan dan mencari jawaban atas pertanyaan esensial seperti: Apa itu kesadaran? Bagaimana kita menyadari keberadaan diri dan dunia? Apakah kesadaran dapat dijelaskan secara materialistik, ataukah ia memiliki dimensi non-fisik? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya bernilai teoretis, melainkan juga menyentuh aspek eksistensial manusia secara mendalam.

Dalam tradisi filsafat Barat, kesadaran telah dipahami melalui berbagai lensa metafisik, epistemologis, dan fenomenologis. Bagi René Descartes, kesadaran merupakan bukti tak terbantahkan tentang eksistensi diri: Cogito, ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”) menjadi dasar penegasan bahwa keberadaan manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk berpikir secara sadar.¹ Pandangan ini kemudian menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat modern, sekaligus membuka perdebatan panjang tentang hubungan antara tubuh dan pikiran (mind-body problem).

Namun demikian, tidak semua aliran filsafat setuju dengan premis Cartesian tersebut. Filsafat empirisme, misalnya, menekankan bahwa kesadaran bukan entitas otonom, melainkan terbentuk dari akumulasi pengalaman-pengalaman inderawi. David Hume bahkan meragukan keberadaan "diri" yang permanen, dan menganggap kesadaran hanyalah arus persepsi yang terus berubah.² Sementara itu, filsafat fenomenologi, yang dikembangkan oleh Edmund Husserl, berusaha memahami kesadaran bukan dari substansi atau isi pikirannya, melainkan dari struktur kesadarannya sendiri—yakni bagaimana segala sesuatu tampak bagi subjek yang menyadari.³

Dalam filsafat kontemporer, terutama dalam tradisi analitik dan filsafat pikiran, kesadaran menjadi pusat perdebatan antara pendekatan reduksionistik dan dualistik. Thomas Nagel, dalam esainya yang terkenal What is it like to be a bat?, menyoroti bahwa pengalaman sadar memiliki dimensi subjektif yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan melalui pendekatan objektif atau ilmiah.⁴ Hal inilah yang mendorong filsuf seperti David Chalmers untuk mengemukakan istilah the hard problem of consciousness—yaitu tantangan untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana proses fisik di otak dapat menghasilkan pengalaman subjektif.⁵

Melalui artikel ini, penulis berusaha menelusuri perkembangan konsepsi kesadaran dari era filsafat klasik hingga kontemporer, dengan menampilkan keragaman pendekatan dan kompleksitas yang menyertainya. Diharapkan pembahasan ini mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hakikat kesadaran serta relevansinya dalam kehidupan dan keilmuan modern.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[2]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 252.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 66–67.

[4]                Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450.

[5]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–5.


2.           Pengertian Dasar Kesadaran

Kesadaran merupakan konsep sentral dalam filsafat, psikologi, dan ilmu kognitif, namun tetap sulit didefinisikan secara tunggal dan final. Dalam pengertian paling umum, kesadaran (consciousness) merujuk pada keadaan mental di mana seseorang menyadari dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman internalnya. Dalam filsafat, kesadaran sering dijadikan pijakan untuk menjelaskan eksistensi, pengalaman, identitas diri, dan hubungan antara pikiran dan tubuh.

Secara filosofis, kesadaran berbeda dengan sekadar awareness (kesadaran akan sesuatu). Awareness bisa dianggap sebagai perhatian atau respons terhadap stimulus eksternal, sementara consciousness mencakup lapisan yang lebih dalam seperti pengalaman batin, pikiran reflektif, dan persepsi tentang diri sebagai subjek yang mengalami. David Chalmers membedakan antara “easy problems” dan “the hard problem” dalam studi kesadaran: yang pertama mencakup penjelasan tentang mekanisme otak, sedangkan yang terakhir menyinggung bagaimana dan mengapa aktivitas neural itu menimbulkan pengalaman subjektif (qualia).¹

Dalam kajian kontemporer, qualia menjadi istilah penting yang merujuk pada kualitas pengalaman subjektif yang unik dan tak tereduksi, seperti “merahnya warna merah” atau “rasa sakit saat terluka”.² Konsep ini menyoroti dimensi introspektif dari kesadaran yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan deskripsi ilmiah atau objektif. Thomas Nagel menegaskan bahwa kesadaran adalah sesuatu yang "apa rasanya menjadi" makhluk tertentu, misalnya: what is it like to be a bat?, yang tidak bisa dipahami melalui pendekatan behavioristik atau neurologis semata.³

Kesadaran juga sering dikaitkan dengan first-person perspective, yaitu sudut pandang orang pertama yang unik dan tidak dapat diakses langsung oleh pihak lain. Inilah yang membedakan kesadaran dari proses-proses fisiologis lainnya dalam tubuh manusia.⁴ Perspektif ini menjadi tantangan besar dalam filsafat pikiran, karena ilmu pengetahuan cenderung menggunakan pendekatan objektif dan impersonal, sementara pengalaman kesadaran justru bersifat pribadi dan imanen.

Dari sisi struktur, para filsuf fenomenologi seperti Edmund Husserl memandang kesadaran sebagai intensionalitas—yakni kesadaran selalu “tentang sesuatu” (consciousness is always consciousness of something).⁵ Artinya, kesadaran tidak berdiri sendiri sebagai substansi, tetapi selalu terarah kepada objek, baik itu objek nyata maupun imajinatif. Ini membedakan kesadaran dari entitas metafisik, dan lebih menekankannya sebagai struktur pengalaman.

Dengan kata lain, kesadaran bukan hanya persoalan neurologis atau psikologis, tetapi juga filosofis—karena menyentuh persoalan identitas, makna, dan realitas itu sendiri. Pemahaman terhadap kesadaran menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dalam filsafat tentang hakikat manusia, kebebasan kehendak, serta hubungan antara jiwa dan tubuh.


Footnotes

[1]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–7.

[2]                Ned Block, “Concepts of Consciousness,” Trends in Cognitive Sciences 8, no. 6 (2004): 292–296.

[3]                Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450.

[4]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–94.

[5]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 191–193.


3.           Kesadaran dalam Filsafat Klasik

Konsep kesadaran dalam filsafat klasik belum dirumuskan sebagaimana dalam diskursus modern, tetapi refleksi tentang jiwa, pengetahuan, dan refleksi diri telah menjadi bagian penting dari pemikiran para filsuf Yunani kuno. Tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles meletakkan fondasi awal bagi pemahaman kesadaran, meskipun dalam kerangka metafisik dan etis yang berbeda dari pendekatan kontemporer.

3.1.       Plato: Jiwa dan Kesadaran Rasional

Plato menghubungkan kesadaran dengan keberadaan jiwa yang abadi dan rasional. Dalam dialog Phaedo, ia menyatakan bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa, dan pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui refleksi jiwa yang terbebas dari hasrat duniawi.¹ Kesadaran bagi Plato bukan sekadar proses biologis atau mental, melainkan kapasitas jiwa untuk mengingat kembali dunia ide yang telah dilihatnya sebelum turun ke dunia fisik—proses yang dikenal sebagai anamnesis (recollection).

Dalam Republic, Plato menyusun struktur jiwa dalam tiga bagian: rasional (logistikon), berani (thymoeides), dan nafsu (epithymetikon). Bagian rasional dari jiwa, menurutnya, adalah aspek yang paling dekat dengan kebenaran dan kesadaran filosofis sejati.² Di sini, kesadaran muncul sebagai fungsi tertinggi dari bagian rasional jiwa dalam mengarahkan manusia menuju kebaikan yang ideal.

3.2.       Aristoteles: Jiwa sebagai Aktus Kesadaran

Berbeda dengan gurunya, Aristoteles menolak dikotomi tajam antara tubuh dan jiwa. Dalam De Anima, ia menyatakan bahwa jiwa adalah bentuk (form) dari tubuh yang hidup—bukan substansi yang berdiri sendiri.³ Kesadaran bagi Aristoteles merupakan bagian dari fungsi-fungsi jiwa, khususnya dalam kapasitas rasional yang disebut nous (akal budi).

Aristoteles membedakan berbagai tingkat jiwa (vegetatif, sensitif, dan rasional), dan hanya manusia yang memiliki jiwa rasional, yang mampu melakukan refleksi diri dan berpikir secara abstrak.⁴ Dengan demikian, kesadaran dimaknai sebagai kemampuan untuk mengetahui diri sendiri dan objek luar melalui aktivitas akal. Kesadaran tidak bersifat dualistik, melainkan merupakan entelechy—aktualisasi potensi dalam tubuh hidup.

3.3.       Stoik dan Epikurean: Kesadaran dan Etika Hidup

Filsuf-filsuf Stoik seperti Epictetus dan Marcus Aurelius menekankan pentingnya kesadaran diri (self-awareness) dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan nalar dan kebajikan. Kesadaran diri menjadi sarana untuk mengendalikan emosi dan mencapai ataraxia (ketenangan jiwa).⁵ Dalam hal ini, kesadaran bukan hanya sebuah keadaan mental, tetapi juga alat untuk pengembangan moral dan kebijaksanaan.

Sementara itu, Epikureanisme menolak gagasan jiwa yang abadi dan melihat kesadaran sebagai fenomena fisik yang berakhir saat kematian.⁶ Kendati demikian, kesadaran tetap menjadi alat untuk mencapai kebahagiaan melalui refleksi atas keinginan dan pencarian kesenangan yang bijaksana.


Refleksi Umum

Dari pemikiran klasik tersebut, tampak bahwa kesadaran pada masa itu lebih banyak dipahami dalam konteks metafisika jiwa dan etika kehidupan. Baik Plato maupun Aristoteles memandang kesadaran sebagai kekuatan jiwa yang memungkinkan manusia mengakses kebenaran dan hidup secara bijaksana. Walaupun terminologi dan pendekatannya berbeda dari filsafat modern, warisan mereka tetap menjadi fondasi penting bagi diskursus kesadaran dalam filsafat selanjutnya.


Footnotes

[1]                Plato, Phaedo, trans. G.M.A. Grube, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 57–58.

[2]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 439d–441c.

[3]                Aristotle, De Anima (On the Soul), trans. J.A. Smith, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 556–561.

[4]                Ibid., 580–585.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), Book II, §1–5.

[6]                Epicurus, “Letter to Menoeceus,” in The Art of Happiness, trans. George K. Strodach (New York: Penguin, 2012), 91–95.


4.           Kesadaran dalam Filsafat Modern

Periode filsafat modern, yang dimulai sejak abad ke-17, ditandai dengan pergeseran paradigma besar dalam memahami kesadaran—dari kerangka metafisika klasik menuju pendekatan epistemologis dan introspektif. Fokus utama para filsuf modern adalah bagaimana kesadaran berkaitan erat dengan pengetahuan, identitas diri, dan hubungan antara pikiran dan dunia luar. Dalam konteks ini, kesadaran tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan jiwa sebagai substansi metafisis, melainkan diposisikan sebagai landasan utama bagi kepastian pengetahuan.

4.1.       René Descartes: Kesadaran sebagai Dasar Eksistensi

René Descartes (1596–1650) dianggap sebagai pelopor utama pendekatan modern terhadap kesadaran. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes memulai dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan, hingga menemukan satu kepastian mutlak: “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada).¹ Kesadaran, dalam bentuk berpikir (cogitatio), menjadi bukti tak terbantahkan atas eksistensi diri.

Bagi Descartes, pikiran (mind) dan tubuh (body) adalah dua substansi yang berbeda: pikiran bersifat non-material dan sadar, sedangkan tubuh bersifat material dan tidak sadar.² Pandangan ini dikenal sebagai dualism interaksionis, yang menyatakan bahwa meskipun berbeda hakikat, pikiran dan tubuh dapat saling memengaruhi. Kesadaran dalam kerangka Cartesian ini bersifat introspektif, rasional, dan menjadi pusat identitas personal.

4.2.       John Locke: Kesadaran dan Identitas Pribadi

John Locke (1632–1704) mengembangkan gagasan kesadaran dalam kaitannya dengan identitas personal. Dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke mendefinisikan kesadaran sebagai persepsi terhadap apa yang terjadi dalam pikiran seseorang, dan menganggap bahwa identitas personal bersumber dari kesinambungan kesadaran, bukan dari substansi jiwa.³

Locke memperkenalkan ide bahwa seseorang tetap menjadi “orang yang sama” sejauh ia mengingat tindakan dan pengalaman masa lalunya, sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai memory theory of personal identity.⁴ Konsep ini menempatkan kesadaran sebagai kunci kesinambungan diri dalam waktu, dan menjadi dasar bagi etika dan pertanggungjawaban moral.

4.3.       David Hume: Kritik terhadap Diri sebagai Subjek Kesadaran

David Hume (1711–1776), seorang empiris skeptis, mengkritik gagasan adanya “diri” sebagai substansi tetap yang menjadi pusat kesadaran. Dalam A Treatise of Human Nature, Hume menegaskan bahwa ketika ia mengintrospeksi dirinya, ia tidak pernah menemukan apa pun selain arus pikiran, emosi, dan persepsi yang silih berganti.⁵

Hume menolak konsep “diri” sebagai entitas yang stabil dan memandang kesadaran sebagai bundel pengalaman (bundle theory), yakni kumpulan kesan-kesan (impressions) dan ide-ide (ideas) yang tidak memiliki kesatuan metafisik.⁶ Dengan demikian, kesadaran tidak bersifat koheren atau permanen, melainkan hanya konstruksi dari pengalaman-pengalaman yang bersifat sementara dan terputus-putus.

4.4.       Immanuel Kant: Kesadaran Transendental

Immanuel Kant (1724–1804) menyatukan pendekatan rasionalis dan empiris dengan memperkenalkan gagasan kesadaran transendental. Dalam Critique of Pure Reason, Kant membedakan antara kesadaran empiris (kesadaran atas pengalaman tertentu) dan “transcendental apperception”, yaitu kesadaran yang menyatukan seluruh pengalaman ke dalam satu kesadaran diri yang utuh.⁷

Menurut Kant, agar pengalaman dapat dimengerti dan menjadi objek pengetahuan, semua representasi inderawi harus dipersatukan oleh kesadaran akan “aku” sebagai subjek yang sama. Ini berarti kesadaran bukan hanya hasil dari pengalaman, melainkan syarat kemungkinan bagi pengalaman itu sendiri.⁸


Refleksi Umum

Filsafat modern telah menggeser pemahaman tentang kesadaran dari metafisika jiwa ke epistemologi subjek. Descartes melihat kesadaran sebagai bukti eksistensi; Locke menekankan peran memori dan kesinambungan; Hume mempertanyakan eksistensi “diri” sebagai pusat kesadaran; sementara Kant merumuskan kesadaran sebagai struktur transendental yang memungkinkan pengetahuan. Pemikiran-pemikiran ini memberikan landasan penting bagi diskusi-diskusi kontemporer tentang kesadaran dalam filsafat pikiran dan ilmu kognitif.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[2]                Ibid., 59–62.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 2.1.19.

[4]                Ibid., 2.27.9–17.

[5]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 252–253.

[6]                Ibid., 259.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A106–A110.

[8]                Ibid., B132–B135.


5.           Pandangan Fenomenologi tentang Kesadaran

Fenomenologi, sebagai salah satu pendekatan filsafat paling berpengaruh pada abad ke-20, menawarkan kerangka berpikir baru dalam memahami hakikat kesadaran. Gerakan ini berupaya menjauh dari metafisika tradisional dan pendekatan psikologis positivistik, dengan menekankan deskripsi langsung terhadap pengalaman sebagaimana ia tampak bagi kesadaran. Para filsuf fenomenologi menolak reduksi kesadaran menjadi sekadar objek ilmu alam, dan lebih menekankan pengalaman subyektif sebagai titik tolak semua makna.

5.1.       Edmund Husserl: Kesadaran sebagai Intensionalitas

Sebagai pendiri fenomenologi, Edmund Husserl mengembangkan gagasan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional, yakni kesadaran selalu “tentang sesuatu”. Dalam karyanya Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, Husserl menyatakan bahwa tidak ada kesadaran yang berdiri sendiri tanpa objek yang dituju.¹ Oleh karena itu, ia menolak pandangan empiris dan psikologis yang memperlakukan kesadaran sebagai entitas pasif yang hanya merekam kesan-kesan dari dunia luar.

Husserl memperkenalkan metode epoche (pengguguran asumsi) dan reduksi fenomenologis, yaitu menangguhkan keyakinan terhadap keberadaan objektif dunia untuk memusatkan perhatian pada bagaimana dunia dialami dalam kesadaran.² Dengan ini, ia berupaya mengungkap struktur hakiki pengalaman yang mendahului segala pemikiran ilmiah, moral, atau metafisik.

Selain intensionalitas, Husserl juga menekankan pentingnya kesadaran waktu (time-consciousness) sebagai dasar bagi pemahaman pengalaman yang berkesinambungan. Bagi Husserl, struktur temporal kesadaran terdiri dari tiga elemen: retention (ingatan langsung terhadap masa lalu), primal impression (kesan saat ini), dan protention (antisipasi masa depan).³

5.2.       Martin Heidegger: Kesadaran sebagai Keberadaan-di-Dunia

Murid Husserl, Martin Heidegger, mengembangkan fenomenologi ke arah eksistensial, khususnya dalam karyanya Being and Time. Ia mengkritik pendekatan Husserl yang masih terlalu "mentalistik", dan menggantikannya dengan konsep Dasein, yaitu manusia sebagai makhluk yang selalu berada di dunia dan peduli terhadap keberadaannya.⁴

Menurut Heidegger, kesadaran tidak dapat dipisahkan dari konteks keberadaan di dunia (being-in-the-world). Dasein tidak hanya mengalami dunia sebagai objek, tetapi sudah selalu berada dalam dunia yang penuh makna.⁵ Dengan demikian, kesadaran tidak sekadar fungsi kognitif atau reflektif, melainkan keterlibatan eksistensial yang melandasi semua bentuk pemahaman, tindakan, dan relasi.

Heidegger juga menyoroti “ketertutupan” (Seinsvergessenheit) manusia modern terhadap pertanyaan tentang makna ada (Being). Ia mengajak filsafat untuk kembali kepada pertanyaan ontologis fundamental, dan melihat kesadaran sebagai dimensi yang membuka kemungkinan pemahaman terhadap keberadaan secara keseluruhan.⁶

5.3.       Maurice Merleau-Ponty: Kesadaran Tubuh dan Persepsi

Maurice Merleau-Ponty melanjutkan fenomenologi dengan menekankan tubuh sebagai pusat kesadaran dan pengalaman. Dalam Phenomenology of Perception, ia menolak dualisme antara tubuh dan pikiran, dan mengajukan gagasan bahwa kesadaran bukan berada “di dalam” pikiran, tetapi terbentuk melalui tubuh yang hidup dan berinteraksi dengan dunia.⁷

Merleau-Ponty menegaskan bahwa persepsi adalah primordial (paling awal), dan kesadaran kita tentang dunia bukan hasil penalaran logis, tetapi muncul dari pengalaman tubuh yang terlibat langsung dengan lingkungan.⁸ Tubuh bukan sekadar objek biologis, melainkan “subjek yang hidup”—melalui tubuhlah dunia menjadi hadir dan bermakna.

Dengan pendekatan ini, Merleau-Ponty menghubungkan fenomenologi dengan psikologi Gestalt dan membuka jalan bagi pemikiran tentang relasi antara tubuh, dunia, dan makna dalam studi-studi kontemporer tentang kesadaran.


Refleksi Umum

Fenomenologi memberi kontribusi besar dalam merevolusi cara pandang tentang kesadaran. Jika dalam tradisi rasionalisme dan empirisme kesadaran dilihat sebagai pusat refleksi atau akumulasi pengalaman inderawi, maka dalam fenomenologi, kesadaran dipahami sebagai struktur pengalaman langsung yang bersifat intensional, temporal, dan situasional. Pemikiran Husserl, Heidegger, dan Merleau-Ponty telah memperluas cakrawala pemahaman kesadaran—dari dimensi kognitif menuju dimensi eksistensial dan embodied (tertanam dalam tubuh).


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 191–192.

[2]                Ibid., 61–63.

[3]                Edmund Husserl, The Phenomenology of Internal Time-Consciousness, trans. James S. Churchill (Bloomington: Indiana University Press, 1964), 35–39.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.

[5]                Ibid., 78–84.

[6]                Ibid., 289–293.

[7]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), viii–ix.

[8]                Ibid., 3–15.


6.           Kesadaran dalam Filsafat Analitik dan Kognitif

Filsafat analitik, yang berkembang terutama di dunia Anglo-Amerika sejak awal abad ke-20, menghadirkan pendekatan baru terhadap studi kesadaran, dengan menitikberatkan pada analisis bahasa, logika, dan hubungan antara pikiran dan otak. Di sisi lain, kemajuan dalam ilmu saraf dan kognitif mendorong lahirnya diskursus interdisipliner mengenai bagaimana kesadaran dapat dijelaskan secara ilmiah. Dalam lanskap ini, muncul beragam pandangan, mulai dari materialisme eliminatif hingga dualisme properti, yang mencoba menguraikan kesadaran dari perspektif empiris dan logis.

6.1.       Gilbert Ryle: Kritik terhadap Cartesianisme

Salah satu kritik awal terhadap pandangan Descartes tentang kesadaran datang dari Gilbert Ryle melalui bukunya The Concept of Mind (1949). Ryle menyebut dualisme Descartes sebagai “the dogma of the ghost in the machine”, yakni keyakinan keliru bahwa pikiran adalah substansi tak terlihat yang mengendalikan tubuh.¹

Ryle menolak pandangan bahwa kesadaran adalah entitas privat yang hanya bisa diakses oleh individu. Baginya, kesadaran tidak lain adalah cara tertentu seseorang berperilaku dan menunjukkan kecenderungan rasional dalam tindakan.² Ini merupakan bentuk dari behaviorisme filosofis, yang melihat istilah-istilah mental sebagai cara untuk menggambarkan pola-pola perilaku, bukan entitas internal.

6.2.       Thomas Nagel: Subjektivitas dan Keterbatasan Ilmu Fisik

Meski behaviorisme memiliki pengaruh besar, muncul pula tantangan signifikan dari filsuf seperti Thomas Nagel. Dalam esainya yang terkenal What Is It Like to Be a Bat? (1974), Nagel menegaskan bahwa pendekatan objektif dalam sains tidak mampu menjelaskan aspek subjektif dari pengalaman—apa rasanya menjadi makhluk tertentu.³

Menurut Nagel, kesadaran memiliki dimensi subjektif intrinsik, yang tidak bisa direduksi menjadi fakta-fakta fisik. Esainya menjadi batu loncatan penting bagi perdebatan modern mengenai qualia, yaitu kualitas-kualitas pengalaman yang tidak dapat dijelaskan secara objektif atau eksternal.⁴

6.3.       Daniel Dennett: Teori Fungsionalis dan Reduksionis

Daniel Dennett menawarkan pendekatan materialistik dan fungsional terhadap kesadaran. Dalam Consciousness Explained (1991), Dennett mengembangkan model multiple drafts, yang menolak adanya “pusat” kesadaran atau subjek internal. Ia berargumen bahwa kesadaran adalah produk dari banyak proses kognitif paralel dalam otak, yang diseleksi dan diinterpretasikan sebagai pengalaman sadar.⁵

Dennett menolak keberadaan qualia sebagai entitas metafisik, dan menyebutnya sebagai “bagian dari ilusi teoretis”.⁶ Bagi Dennett, pendekatan terbaik untuk memahami kesadaran adalah dengan mengintegrasikan temuan ilmu saraf, psikologi, dan kecerdasan buatan secara fungsional.

6.4.       David Chalmers: Hard Problem of Consciousness

Menanggapi pendekatan reduksionis seperti yang diajukan Dennett, David Chalmers memperkenalkan konsep the hard problem of consciousness dalam The Conscious Mind (1996). Ia membedakan antara easy problems—seperti menjelaskan perilaku, ingatan, atau persepsi—dan hard problem, yaitu mengapa dan bagaimana aktivitas otak bisa menimbulkan pengalaman subjektif.⁷

Chalmers berargumen bahwa tidak ada penjelasan fisik yang memadai untuk menjembatani kesenjangan antara proses neural dan kesadaran fenomenal. Ia mengusulkan kemungkinan dualism properti, di mana kesadaran dipandang sebagai aspek fundamental realitas, seperti ruang dan waktu.⁸


Refleksi Umum

Filsafat analitik dan ilmu kognitif telah memperluas cakupan diskusi mengenai kesadaran ke dalam wilayah yang lebih empiris, ilmiah, dan interdisipliner. Dari kritik terhadap dualisme hingga upaya menjelaskan kesadaran dalam kerangka neurokognitif, pemikiran-pemikiran seperti Ryle, Nagel, Dennett, dan Chalmers menunjukkan bahwa kesadaran adalah teka-teki multidimensi, yang menantang batas-batas pengetahuan kita tentang pikiran, materi, dan eksistensi.


Footnotes

[1]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson’s University Library, 1949), 15.

[2]                Ibid., 21–23.

[3]                Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450.

[4]                Ibid., 441–445.

[5]                Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 253–256.

[6]                Ibid., 373–378.

[7]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 3–7.

[8]                Ibid., 123–128.


7.           Tantangan dan Perkembangan Kontemporer

Pemikiran kontemporer tentang kesadaran diwarnai oleh berbagai tantangan filosofis, ilmiah, dan teknologis yang semakin kompleks. Seiring kemajuan ilmu saraf, psikologi kognitif, dan kecerdasan buatan (AI), para filsuf dan ilmuwan menghadapi pertanyaan baru: Apakah kesadaran dapat sepenuhnya dijelaskan secara materialistik? Apakah mesin dapat menjadi sadar? Apakah kesadaran memiliki tempat dalam penjelasan ilmiah tentang alam semesta? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya memperdalam dimensi teoretis perdebatan tentang kesadaran, tetapi juga menimbulkan dilema etis dan ontologis yang mendesak.

7.1.       Materialisme vs. Dualisme dalam Konteks Ilmu Saraf

Dalam diskursus filsafat pikiran kontemporer, terdapat ketegangan mendalam antara dua kutub utama: materialisme dan dualisme. Materialisme modern, terutama dalam bentuk reduksionisme neurobiologis, menyatakan bahwa semua fenomena mental, termasuk kesadaran, pada akhirnya dapat dijelaskan oleh aktivitas otak.⁽¹⁾ Pendukung pandangan ini berargumen bahwa kesadaran tidak lebih dari hasil interaksi neuron, dan bahwa ilmu saraf pada akhirnya akan mampu menjelaskan seluruh pengalaman subyektif secara objektif.

Namun, sejumlah filsuf tetap bertahan pada posisi non-reduksionis, seperti dualisme properti yang dikemukakan David Chalmers, atau bahkan panpsikisme, yakni gagasan bahwa kesadaran adalah aspek mendasar dari alam semesta yang ada dalam semua benda, meskipun dalam derajat yang berbeda.⁽²⁾ Chalmers menegaskan bahwa tidak ada penjelasan fisik yang memadai untuk menjembatani kesenjangan antara fakta objektif tentang otak dan pengalaman subjektif tentang kesadaran.⁽³⁾

7.2.       Kesadaran dan Kecerdasan Buatan (AI)

Kemajuan teknologi AI menghadirkan tantangan filosofis baru mengenai batas-batas kesadaran. Sistem kecerdasan buatan saat ini telah menunjukkan kemampuan kognitif yang menyerupai manusia, seperti pengenalan bahasa, pengambilan keputusan, dan bahkan pemrosesan emosi dalam bentuk terbatas.⁽⁴⁾ Namun, sebagian besar ilmuwan dan filsuf sepakat bahwa kemampuan kognitif bukanlah bukti adanya kesadaran, karena kesadaran mencakup aspek pengalaman subjektif (what-it-is-like) yang belum dapat direplikasi oleh sistem buatan.

Filsuf John Searle dalam argumen “Chinese Room” menunjukkan bahwa meskipun sebuah sistem dapat memproses simbol secara benar, ia tidak memahami makna dari simbol tersebut, dan oleh karena itu tidak memiliki kesadaran.⁽⁵⁾ Ini menantang asumsi bahwa kecerdasan fungsional otomatis mengimplikasikan kesadaran.

Namun demikian, beberapa pemikir futuristik seperti Ray Kurzweil dan tokoh dalam transhumanisme mengajukan gagasan bahwa kesadaran buatan (artificial consciousness) bukan hanya mungkin, tetapi akan menjadi bagian tak terelakkan dari masa depan manusia, terutama dalam konteks integrasi antara otak dan mesin.⁽⁶⁾

7.3.       Implikasi Etis dan Eksistensial

Perdebatan tentang kesadaran juga menimbulkan pertanyaan etis dan eksistensial yang semakin relevan di era modern. Misalnya, jika suatu entitas buatan dinyatakan memiliki kesadaran, apakah ia berhak atas status moral tertentu? Pertanyaan ini membuka jalan bagi etika post-humanistik yang menantang batas-batas tradisional tentang hak, tanggung jawab, dan martabat makhluk hidup.

Di sisi lain, pertanyaan tentang kesadaran hewan, janin manusia, dan pasien dalam kondisi vegetatif juga menjadi bagian dari wacana kontemporer.⁽⁷⁾ Perkembangan teknologi pemetaan otak bahkan memungkinkan para ilmuwan untuk mendeteksi kemungkinan adanya kesadaran minimal pada pasien yang sebelumnya dianggap “tidak sadar”.


Refleksi Umum

Kesadaran, sebagai fenomena yang mengakar dalam pengalaman manusia, terus menjadi teka-teki besar dalam filsafat dan sains. Tantangan-tantangan kontemporer menunjukkan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang memadai untuk menjelaskan kesadaran secara menyeluruh. Interaksi antara filsafat, ilmu kognitif, teknologi, dan etika memperkaya sekaligus memperumit pemahaman kita. Pada akhirnya, kesadaran tetap menjadi “wilayah gelap” yang menuntut pendekatan lintas disiplin dan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dalam memahami diri dan realitas.


Footnotes

[1]                Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 8–10.

[2]                David J. Chalmers, “Panpsychism and Panprotopsychism,” in Consciousness and Its Place in Nature: Does Physicalism Entail Panpsychism?, ed. Anthony Freeman (Charlottesville: Imprint Academic, 2006), 167–179.

[3]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 3–5.

[4]                Susan Schneider and Edwin Turner, “Is Anyone Home? A Way to Find Out If AI Has Become Self-Aware,” Scientific American, November 2019.

[5]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[6]                Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 374–389.

[7]                Joseph Fins, Rights Come to Mind: Brain Injury, Ethics, and the Struggle for Consciousness (New York: Cambridge University Press, 2015), 91–96.


8.           Kesimpulan

Kesadaran merupakan salah satu topik paling mendalam dan kompleks dalam sejarah filsafat, dan tetap menjadi misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan hingga hari ini. Melalui penelusuran lintas zaman, dari filsafat klasik hingga kontemporer, kita menyaksikan bagaimana konsep kesadaran telah mengalami evolusi yang signifikan, baik dari segi pendekatan maupun cara memaknainya.

Dalam filsafat klasik, pemikiran tentang kesadaran terikat erat dengan gagasan tentang jiwa dan rasionalitas, seperti dalam karya Plato dan Aristoteles. Plato memahami kesadaran melalui dimensi metafisik dan dunia ide, sementara Aristoteles mengkaitkannya dengan fungsi-fungsi jiwa dalam kerangka hilemorfisme.¹

Pada masa modern, fokus bergeser ke kesadaran sebagai dasar pengetahuan dan identitas diri. Descartes meletakkan kesadaran sebagai fondasi eksistensi dalam cogito, Locke menekankan kesinambungan memori sebagai dasar identitas personal, dan Hume justru meragukan eksistensi “diri” sebagai pusat kesadaran.² Pandangan ini diperkaya oleh Kant yang menghadirkan struktur transendental kesadaran sebagai syarat kemungkinan pengetahuan.³

Gerakan fenomenologi, yang dipelopori oleh Husserl, menawarkan paradigma baru dengan menjadikan pengalaman langsung dan subjektif sebagai fokus utama studi kesadaran. Intensionalitas, keberadaan-di-dunia, dan tubuh sebagai pusat persepsi merupakan kontribusi penting dari Husserl, Heidegger, dan Merleau-Ponty dalam mengembangkan pendekatan fenomenologis.⁴

Filsafat analitik dan ilmu kognitif memberikan sumbangan dalam bentuk analisis konseptual dan pendekatan ilmiah terhadap kesadaran. Dari kritik Ryle terhadap dualisme, pemikiran Nagel tentang subjektivitas, teori fungsionalisme Dennett, hingga hard problem of consciousness dari Chalmers—semua menunjukkan bahwa kesadaran adalah fenomena yang sulit dijelaskan namun tidak bisa diabaikan.⁵

Tantangan kontemporer semakin memperluas cakupan diskusi ini. Pertanyaan tentang kemungkinan kesadaran buatan, status moral entitas non-manusia, serta keterbatasan pendekatan neurobiologis dalam menjelaskan pengalaman subyektif, menjadi sorotan utama dalam filosofi mutakhir.⁶ Bahkan muncul gagasan bahwa kesadaran mungkin merupakan aspek mendasar dari alam semesta itu sendiri, sebagaimana diajukan oleh teori-teori panpsikisme.⁷

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesadaran adalah realitas multidimensi yang tidak dapat dijelaskan hanya melalui satu pendekatan. Ia mencakup aspek ontologis, epistemologis, fenomenologis, etis, dan bahkan kosmologis. Kompleksitas ini menuntut pendekatan interdisipliner dan keterbukaan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk baru pemahaman. Sebagaimana dikatakan oleh Chalmers, “Masalah kesadaran bukanlah sesuatu yang akan segera kita pecahkan, tetapi salah satu misteri terbesar yang terus menantang pikiran manusia.”_⁸


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 439d–441c; Aristotle, De Anima (On the Soul), trans. J.A. Smith, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 556–561.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17; John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 2.27.9–17; David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 252–253.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B132–B135.

[4]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 191–193; Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–84; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 3–15.

[5]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson’s University Library, 1949), 15–23; Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450; Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 253–256; David J. Chalmers, The Conscious Mind (New York: Oxford University Press, 1996), 3–7.

[6]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424; Susan Schneider and Edwin Turner, “Is Anyone Home?” Scientific American, November 2019.

[7]                David J. Chalmers, “Panpsychism and Panprotopsychism,” in Consciousness and Its Place in Nature, ed. Anthony Freeman (Charlottesville: Imprint Academic, 2006), 167–179.

[8]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), xi.


Daftar Pustaka

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Chalmers, D. J. (2006). Panpsychism and panprotopsychism. In A. Freeman (Ed.), Consciousness and its place in nature: Does physicalism entail panpsychism? (pp. 167–179). Imprint Academic.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown and Company.

Epicurus. (2012). Letter to Menoeceus. In G. K. Strodach (Trans.), The art of happiness (pp. 91–95). Penguin Books.

Fins, J. J. (2015). Rights come to mind: Brain injury, ethics, and the struggle for consciousness. Cambridge University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1739)

Husserl, E. (1964). The phenomenology of internal time-consciousness (J. S. Churchill, Trans.). Indiana University Press.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Kurzweil, R. (2005). The singularity is near: When humans transcend biology. Viking.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1690)

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library. (Original work published ca. 180 C.E.)

Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)

Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4), 435–450. https://doi.org/10.2307/2183914

Plato. (1997). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.). In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works (pp. 49–100). Hackett Publishing.

Plato. (1997). Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works (pp. 971–1223). Hackett Publishing.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson’s University Library.

Schneider, S., & Turner, E. (2019). Is anyone home? A way to find out if AI has become self-aware. Scientific American. https://www.scientificamerican.com/article/is-anyone-home-a-way-to-find-out-if-ai-has-become-self-aware/

Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3), 417–424. https://doi.org/10.1017/S0140525X00005756


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar