Kesadaran
Perspektif Filsafat dari Klasik hingga Kontemporer
Abstrak
Artikel ini membahas konsep kesadaran dalam
filsafat melalui pendekatan historis dan tematik, dimulai dari pemikiran filsuf
klasik hingga perkembangan kontemporer dalam filsafat analitik dan ilmu
kognitif. Dalam filsafat klasik, kesadaran dikaji dalam kaitannya dengan jiwa
dan rasionalitas oleh tokoh seperti Plato dan Aristoteles. Filsafat modern
menyoroti kesadaran sebagai dasar epistemologi dan identitas diri, sebagaimana
terlihat dalam pemikiran Descartes, Locke, Hume, dan Kant. Fenomenologi
memperluas pandangan ini dengan menekankan intensionalitas dan pengalaman
langsung sebagai inti dari kesadaran, melalui kontribusi Husserl, Heidegger,
dan Merleau-Ponty. Sementara itu, filsafat analitik dan kognitif menghadirkan
beragam pendekatan, mulai dari kritik behavioristik Gilbert Ryle hingga teori hard
problem of consciousness dari David Chalmers. Artikel ini juga mengulas
tantangan mutakhir, termasuk debat tentang kesadaran buatan (AI), status moral
entitas non-manusia, dan kemungkinan pendekatan panpsikisme. Dengan pendekatan
multidisipliner, artikel ini menunjukkan bahwa kesadaran adalah fenomena
kompleks yang membutuhkan integrasi antara filsafat, ilmu pengetahuan, dan etika.
Kata Kunci: Kesadaran, filsafat pikiran, fenomenologi, kognisi,
qualia, AI, panpsikisme, intensionalitas, subjektivitas, epistemologi.
PEMBAHASAN
Menelusuri Hakikat Kesadaran
1.
Pendahuluan
Kesadaran merupakan
salah satu tema paling fundamental dan sekaligus paling misterius dalam tradisi
filsafat. Dari zaman Yunani Kuno hingga era filsafat kontemporer, para filsuf
terus memperdebatkan dan mencari jawaban atas pertanyaan esensial seperti: Apa itu
kesadaran? Bagaimana kita menyadari keberadaan diri dan dunia? Apakah kesadaran
dapat dijelaskan secara materialistik, ataukah ia memiliki dimensi non-fisik?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya bernilai teoretis, melainkan juga
menyentuh aspek eksistensial manusia secara mendalam.
Dalam tradisi
filsafat Barat, kesadaran telah dipahami melalui berbagai lensa metafisik,
epistemologis, dan fenomenologis. Bagi René Descartes, kesadaran merupakan
bukti tak terbantahkan tentang eksistensi diri: Cogito, ergo sum
(“Aku berpikir, maka aku ada”) menjadi dasar penegasan bahwa keberadaan
manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk berpikir secara sadar.¹ Pandangan
ini kemudian menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat modern, sekaligus
membuka perdebatan panjang tentang hubungan antara tubuh dan pikiran (mind-body
problem).
Namun demikian,
tidak semua aliran filsafat setuju dengan premis Cartesian tersebut. Filsafat
empirisme, misalnya, menekankan bahwa kesadaran bukan entitas otonom, melainkan
terbentuk dari akumulasi pengalaman-pengalaman inderawi. David Hume bahkan
meragukan keberadaan "diri" yang permanen, dan menganggap
kesadaran hanyalah arus persepsi yang terus berubah.² Sementara itu, filsafat
fenomenologi, yang dikembangkan oleh Edmund Husserl, berusaha memahami
kesadaran bukan dari substansi atau isi pikirannya, melainkan dari struktur
kesadarannya sendiri—yakni bagaimana segala sesuatu tampak bagi subjek yang
menyadari.³
Dalam filsafat
kontemporer, terutama dalam tradisi analitik dan filsafat pikiran, kesadaran
menjadi pusat perdebatan antara pendekatan reduksionistik dan dualistik. Thomas
Nagel, dalam esainya yang terkenal What is it like to be a bat?,
menyoroti bahwa pengalaman sadar memiliki dimensi subjektif yang tidak bisa
sepenuhnya dijelaskan melalui pendekatan objektif atau ilmiah.⁴ Hal inilah yang
mendorong filsuf seperti David Chalmers untuk mengemukakan istilah the hard
problem of consciousness—yaitu tantangan untuk menjelaskan mengapa
dan bagaimana proses fisik di otak dapat menghasilkan pengalaman subjektif.⁵
Melalui artikel ini,
penulis berusaha menelusuri perkembangan konsepsi kesadaran dari era filsafat
klasik hingga kontemporer, dengan menampilkan keragaman pendekatan dan
kompleksitas yang menyertainya. Diharapkan pembahasan ini mampu memberikan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai hakikat kesadaran serta relevansinya dalam
kehidupan dan keilmuan modern.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[2]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 252.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 66–67.
[4]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical
Review 83, no. 4 (1974): 435–450.
[5]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–5.
2.
Pengertian
Dasar Kesadaran
Kesadaran merupakan
konsep sentral dalam filsafat, psikologi, dan ilmu kognitif, namun tetap sulit
didefinisikan secara tunggal dan final. Dalam pengertian paling umum, kesadaran
(consciousness) merujuk pada keadaan mental di mana seseorang menyadari dirinya
sendiri, lingkungan, dan pengalaman internalnya. Dalam filsafat, kesadaran
sering dijadikan pijakan untuk menjelaskan eksistensi, pengalaman, identitas
diri, dan hubungan antara pikiran dan tubuh.
Secara filosofis,
kesadaran berbeda dengan sekadar awareness (kesadaran akan sesuatu).
Awareness
bisa dianggap sebagai perhatian atau respons terhadap stimulus eksternal,
sementara consciousness
mencakup lapisan yang lebih dalam seperti pengalaman batin, pikiran reflektif,
dan persepsi tentang diri sebagai subjek yang mengalami. David Chalmers
membedakan antara “easy problems” dan “the
hard problem” dalam studi kesadaran: yang pertama mencakup
penjelasan tentang mekanisme otak, sedangkan yang terakhir menyinggung
bagaimana dan mengapa aktivitas neural itu menimbulkan pengalaman subjektif
(qualia).¹
Dalam kajian
kontemporer, qualia menjadi istilah penting yang
merujuk pada kualitas pengalaman subjektif yang unik dan tak tereduksi, seperti
“merahnya warna merah” atau “rasa sakit saat terluka”.² Konsep
ini menyoroti dimensi introspektif dari kesadaran yang tidak dapat dijelaskan
hanya dengan deskripsi ilmiah atau objektif. Thomas Nagel menegaskan bahwa
kesadaran adalah sesuatu yang "apa rasanya menjadi" makhluk
tertentu, misalnya: what is it like to be a bat?, yang
tidak bisa dipahami melalui pendekatan behavioristik atau neurologis semata.³
Kesadaran juga
sering dikaitkan dengan first-person perspective, yaitu
sudut pandang orang pertama yang unik dan tidak dapat diakses langsung oleh
pihak lain. Inilah yang membedakan kesadaran dari proses-proses fisiologis
lainnya dalam tubuh manusia.⁴ Perspektif ini menjadi tantangan besar dalam
filsafat pikiran, karena ilmu pengetahuan cenderung menggunakan pendekatan
objektif dan impersonal, sementara pengalaman kesadaran justru bersifat pribadi
dan imanen.
Dari sisi struktur,
para filsuf fenomenologi seperti Edmund Husserl memandang kesadaran sebagai intensionalitas—yakni
kesadaran selalu “tentang sesuatu” (consciousness is always
consciousness of something).⁵ Artinya, kesadaran
tidak berdiri sendiri sebagai substansi, tetapi selalu terarah kepada objek,
baik itu objek nyata maupun imajinatif. Ini membedakan kesadaran dari entitas
metafisik, dan lebih menekankannya sebagai struktur pengalaman.
Dengan kata lain,
kesadaran bukan hanya persoalan neurologis atau psikologis, tetapi juga
filosofis—karena menyentuh persoalan identitas, makna, dan realitas itu
sendiri. Pemahaman terhadap kesadaran menjadi kunci untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan besar dalam filsafat tentang hakikat manusia, kebebasan
kehendak, serta hubungan antara jiwa dan tubuh.
Footnotes
[1]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–7.
[2]
Ned Block, “Concepts of Consciousness,” Trends in Cognitive
Sciences 8, no. 6 (2004): 292–296.
[3]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical
Review 83, no. 4 (1974): 435–450.
[4]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 93–94.
[5]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 191–193.
3.
Kesadaran
dalam Filsafat Klasik
Konsep kesadaran
dalam filsafat klasik belum dirumuskan sebagaimana dalam diskursus modern,
tetapi refleksi tentang jiwa, pengetahuan, dan refleksi diri telah menjadi
bagian penting dari pemikiran para filsuf Yunani kuno. Tokoh-tokoh seperti
Plato dan Aristoteles meletakkan fondasi awal bagi pemahaman kesadaran,
meskipun dalam kerangka metafisik dan etis yang berbeda dari pendekatan
kontemporer.
3.1.
Plato: Jiwa dan Kesadaran Rasional
Plato menghubungkan
kesadaran dengan keberadaan jiwa yang abadi dan rasional. Dalam dialog Phaedo,
ia menyatakan bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa, dan pengetahuan sejati
hanya dapat diperoleh melalui refleksi jiwa yang terbebas dari hasrat duniawi.¹
Kesadaran bagi Plato bukan sekadar proses biologis atau mental, melainkan
kapasitas jiwa untuk mengingat kembali dunia ide yang telah dilihatnya sebelum
turun ke dunia fisik—proses yang dikenal sebagai anamnesis
(recollection).
Dalam Republic,
Plato menyusun struktur jiwa dalam tiga bagian: rasional (logistikon),
berani (thymoeides),
dan nafsu (epithymetikon).
Bagian rasional dari jiwa, menurutnya, adalah aspek yang paling dekat dengan
kebenaran dan kesadaran filosofis sejati.² Di sini, kesadaran muncul sebagai
fungsi tertinggi dari bagian rasional jiwa dalam mengarahkan manusia menuju
kebaikan yang ideal.
3.2.
Aristoteles: Jiwa sebagai Aktus Kesadaran
Berbeda dengan
gurunya, Aristoteles menolak dikotomi tajam antara tubuh dan jiwa. Dalam De Anima,
ia menyatakan bahwa jiwa adalah bentuk (form) dari tubuh yang hidup—bukan
substansi yang berdiri sendiri.³ Kesadaran bagi Aristoteles merupakan bagian
dari fungsi-fungsi jiwa, khususnya dalam kapasitas rasional yang disebut nous
(akal budi).
Aristoteles
membedakan berbagai tingkat jiwa (vegetatif, sensitif, dan rasional), dan hanya
manusia yang memiliki jiwa rasional, yang mampu melakukan refleksi diri dan
berpikir secara abstrak.⁴ Dengan demikian, kesadaran dimaknai sebagai kemampuan
untuk mengetahui diri sendiri dan objek luar melalui aktivitas akal. Kesadaran
tidak bersifat dualistik, melainkan merupakan entelechy—aktualisasi potensi dalam
tubuh hidup.
3.3.
Stoik dan Epikurean: Kesadaran dan Etika Hidup
Filsuf-filsuf Stoik
seperti Epictetus dan Marcus Aurelius menekankan pentingnya kesadaran diri (self-awareness)
dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan nalar dan kebajikan. Kesadaran
diri menjadi sarana untuk mengendalikan emosi dan mencapai ataraxia
(ketenangan jiwa).⁵ Dalam hal ini, kesadaran bukan hanya sebuah keadaan mental,
tetapi juga alat untuk pengembangan moral dan kebijaksanaan.
Sementara itu,
Epikureanisme menolak gagasan jiwa yang abadi dan melihat kesadaran sebagai
fenomena fisik yang berakhir saat kematian.⁶ Kendati demikian, kesadaran tetap
menjadi alat untuk mencapai kebahagiaan melalui refleksi atas keinginan dan
pencarian kesenangan yang bijaksana.
Refleksi Umum
Dari pemikiran
klasik tersebut, tampak bahwa kesadaran pada masa itu lebih banyak dipahami
dalam konteks metafisika jiwa dan etika kehidupan. Baik Plato maupun
Aristoteles memandang kesadaran sebagai kekuatan jiwa yang memungkinkan manusia
mengakses kebenaran dan hidup secara bijaksana. Walaupun terminologi dan
pendekatannya berbeda dari filsafat modern, warisan mereka tetap menjadi
fondasi penting bagi diskursus kesadaran dalam filsafat selanjutnya.
Footnotes
[1]
Plato, Phaedo, trans. G.M.A. Grube, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 57–58.
[2]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve,
in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1997), 439d–441c.
[3]
Aristotle, De Anima (On the Soul), trans. J.A. Smith, in The
Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library,
2001), 556–561.
[4]
Ibid., 580–585.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), Book II, §1–5.
[6]
Epicurus, “Letter to Menoeceus,” in The Art of Happiness,
trans. George K. Strodach (New York: Penguin, 2012), 91–95.
4.
Kesadaran
dalam Filsafat Modern
Periode filsafat
modern, yang dimulai sejak abad ke-17, ditandai dengan pergeseran paradigma
besar dalam memahami kesadaran—dari kerangka metafisika klasik menuju
pendekatan epistemologis dan introspektif. Fokus utama para filsuf modern
adalah bagaimana kesadaran berkaitan erat dengan pengetahuan, identitas diri,
dan hubungan antara pikiran dan dunia luar. Dalam konteks ini, kesadaran tidak
lagi semata-mata dikaitkan dengan jiwa sebagai substansi metafisis, melainkan
diposisikan sebagai landasan utama bagi kepastian pengetahuan.
4.1.
René Descartes: Kesadaran sebagai Dasar
Eksistensi
René Descartes
(1596–1650) dianggap sebagai pelopor utama pendekatan modern terhadap
kesadaran. Dalam Meditations on First Philosophy,
Descartes memulai dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan, hingga
menemukan satu kepastian mutlak: “Cogito, ergo sum” (Aku
berpikir, maka aku ada).¹ Kesadaran, dalam bentuk berpikir (cogitatio),
menjadi bukti tak terbantahkan atas eksistensi diri.
Bagi Descartes,
pikiran (mind) dan tubuh (body) adalah dua substansi yang berbeda: pikiran
bersifat non-material dan sadar, sedangkan tubuh bersifat material dan tidak
sadar.² Pandangan ini dikenal sebagai dualism interaksionis, yang
menyatakan bahwa meskipun berbeda hakikat, pikiran dan tubuh dapat saling
memengaruhi. Kesadaran dalam kerangka Cartesian ini bersifat introspektif,
rasional, dan menjadi pusat identitas personal.
4.2.
John Locke: Kesadaran dan Identitas Pribadi
John Locke
(1632–1704) mengembangkan gagasan kesadaran dalam kaitannya dengan identitas
personal. Dalam An Essay Concerning Human Understanding,
Locke mendefinisikan kesadaran sebagai persepsi terhadap apa yang terjadi dalam
pikiran seseorang, dan menganggap bahwa identitas personal
bersumber dari kesinambungan kesadaran, bukan dari substansi jiwa.³
Locke memperkenalkan
ide bahwa seseorang tetap menjadi “orang yang sama” sejauh ia mengingat
tindakan dan pengalaman masa lalunya, sebuah teori yang kemudian dikenal
sebagai memory theory of personal identity.⁴
Konsep ini menempatkan kesadaran sebagai kunci kesinambungan diri dalam waktu,
dan menjadi dasar bagi etika dan pertanggungjawaban moral.
4.3.
David Hume: Kritik terhadap Diri sebagai Subjek
Kesadaran
David Hume
(1711–1776), seorang empiris skeptis, mengkritik gagasan adanya “diri”
sebagai substansi tetap yang menjadi pusat kesadaran. Dalam A
Treatise of Human Nature, Hume menegaskan bahwa ketika ia
mengintrospeksi dirinya, ia tidak pernah menemukan apa pun selain arus pikiran,
emosi, dan persepsi yang silih berganti.⁵
Hume menolak konsep
“diri” sebagai entitas yang stabil dan memandang kesadaran sebagai bundel
pengalaman (bundle theory), yakni kumpulan kesan-kesan
(impressions) dan ide-ide (ideas) yang tidak memiliki kesatuan metafisik.⁶
Dengan demikian, kesadaran tidak bersifat koheren atau permanen, melainkan
hanya konstruksi dari pengalaman-pengalaman yang bersifat sementara dan
terputus-putus.
4.4.
Immanuel Kant: Kesadaran Transendental
Immanuel Kant
(1724–1804) menyatukan pendekatan rasionalis dan empiris dengan memperkenalkan
gagasan kesadaran transendental. Dalam Critique
of Pure Reason, Kant membedakan antara kesadaran empiris (kesadaran
atas pengalaman tertentu) dan “transcendental apperception”,
yaitu kesadaran yang menyatukan seluruh pengalaman ke dalam satu kesadaran diri
yang utuh.⁷
Menurut Kant, agar
pengalaman dapat dimengerti dan menjadi objek pengetahuan, semua representasi
inderawi harus dipersatukan oleh kesadaran akan “aku” sebagai subjek
yang sama. Ini berarti kesadaran bukan hanya hasil dari pengalaman, melainkan syarat
kemungkinan bagi pengalaman itu sendiri.⁸
Refleksi Umum
Filsafat modern
telah menggeser pemahaman tentang kesadaran dari metafisika jiwa ke
epistemologi subjek. Descartes melihat kesadaran sebagai bukti eksistensi;
Locke menekankan peran memori dan kesinambungan; Hume mempertanyakan eksistensi
“diri” sebagai pusat kesadaran; sementara Kant merumuskan kesadaran
sebagai struktur transendental yang memungkinkan pengetahuan.
Pemikiran-pemikiran ini memberikan landasan penting bagi diskusi-diskusi
kontemporer tentang kesadaran dalam filsafat pikiran dan ilmu kognitif.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[2]
Ibid., 59–62.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 2.1.19.
[4]
Ibid., 2.27.9–17.
[5]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 252–253.
[6]
Ibid., 259.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A106–A110.
[8]
Ibid., B132–B135.
5.
Pandangan
Fenomenologi tentang Kesadaran
Fenomenologi,
sebagai salah satu pendekatan filsafat paling berpengaruh pada abad ke-20,
menawarkan kerangka berpikir baru dalam memahami hakikat kesadaran. Gerakan ini
berupaya menjauh dari metafisika tradisional dan pendekatan psikologis
positivistik, dengan menekankan deskripsi langsung terhadap pengalaman
sebagaimana ia tampak bagi kesadaran. Para filsuf fenomenologi
menolak reduksi kesadaran menjadi sekadar objek ilmu alam, dan lebih menekankan
pengalaman
subyektif sebagai titik tolak semua makna.
5.1.
Edmund Husserl: Kesadaran sebagai
Intensionalitas
Sebagai pendiri
fenomenologi, Edmund Husserl mengembangkan gagasan bahwa kesadaran selalu
bersifat intensional, yakni kesadaran
selalu “tentang
sesuatu”. Dalam karyanya Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology,
Husserl menyatakan bahwa tidak ada kesadaran yang berdiri sendiri tanpa objek
yang dituju.¹ Oleh karena itu, ia menolak pandangan empiris dan psikologis yang
memperlakukan kesadaran sebagai entitas pasif yang hanya merekam kesan-kesan
dari dunia luar.
Husserl
memperkenalkan metode epoche (pengguguran asumsi) dan
reduksi
fenomenologis, yaitu menangguhkan keyakinan terhadap keberadaan
objektif dunia untuk memusatkan perhatian pada bagaimana dunia dialami dalam
kesadaran.² Dengan ini, ia berupaya mengungkap struktur hakiki pengalaman yang
mendahului segala pemikiran ilmiah, moral, atau metafisik.
Selain
intensionalitas, Husserl juga menekankan pentingnya kesadaran
waktu (time-consciousness) sebagai dasar bagi pemahaman
pengalaman yang berkesinambungan. Bagi Husserl, struktur temporal kesadaran
terdiri dari tiga elemen: retention (ingatan langsung
terhadap masa lalu), primal impression (kesan saat
ini), dan protention (antisipasi masa
depan).³
5.2.
Martin Heidegger: Kesadaran sebagai
Keberadaan-di-Dunia
Murid Husserl,
Martin Heidegger, mengembangkan fenomenologi ke arah eksistensial,
khususnya dalam karyanya Being and Time. Ia mengkritik
pendekatan Husserl yang masih terlalu "mentalistik", dan menggantikannya
dengan konsep Dasein, yaitu manusia sebagai
makhluk yang selalu berada di dunia dan peduli
terhadap keberadaannya.⁴
Menurut Heidegger,
kesadaran tidak dapat dipisahkan dari konteks keberadaan di dunia (being-in-the-world).
Dasein tidak hanya mengalami dunia sebagai objek, tetapi sudah selalu berada
dalam dunia yang penuh makna.⁵ Dengan demikian, kesadaran tidak sekadar fungsi
kognitif atau reflektif, melainkan keterlibatan eksistensial yang melandasi
semua bentuk pemahaman, tindakan, dan relasi.
Heidegger juga
menyoroti “ketertutupan” (Seinsvergessenheit)
manusia modern terhadap pertanyaan tentang makna ada (Being). Ia mengajak filsafat
untuk kembali kepada pertanyaan ontologis fundamental, dan melihat kesadaran
sebagai dimensi yang membuka kemungkinan pemahaman terhadap keberadaan secara
keseluruhan.⁶
5.3.
Maurice Merleau-Ponty: Kesadaran Tubuh dan
Persepsi
Maurice
Merleau-Ponty melanjutkan fenomenologi dengan menekankan tubuh
sebagai pusat kesadaran dan pengalaman. Dalam Phenomenology of Perception, ia
menolak dualisme antara tubuh dan pikiran, dan mengajukan gagasan bahwa
kesadaran bukan berada “di dalam” pikiran, tetapi terbentuk
melalui tubuh yang hidup dan berinteraksi dengan dunia.⁷
Merleau-Ponty
menegaskan bahwa persepsi adalah primordial (paling awal), dan
kesadaran kita tentang dunia bukan hasil penalaran logis, tetapi muncul dari
pengalaman tubuh yang terlibat langsung dengan lingkungan.⁸ Tubuh bukan sekadar
objek biologis, melainkan “subjek yang hidup”—melalui
tubuhlah dunia menjadi hadir dan bermakna.
Dengan pendekatan
ini, Merleau-Ponty menghubungkan fenomenologi dengan psikologi Gestalt dan
membuka jalan bagi pemikiran tentang relasi antara tubuh, dunia, dan makna
dalam studi-studi kontemporer tentang kesadaran.
Refleksi Umum
Fenomenologi memberi
kontribusi besar dalam merevolusi cara pandang tentang kesadaran. Jika dalam
tradisi rasionalisme dan empirisme kesadaran dilihat sebagai pusat refleksi
atau akumulasi pengalaman inderawi, maka dalam fenomenologi, kesadaran dipahami
sebagai struktur pengalaman langsung yang bersifat
intensional, temporal, dan situasional. Pemikiran Husserl,
Heidegger, dan Merleau-Ponty telah memperluas cakrawala pemahaman
kesadaran—dari dimensi kognitif menuju dimensi eksistensial dan embodied
(tertanam dalam tubuh).
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 191–192.
[2]
Ibid., 61–63.
[3]
Edmund Husserl, The Phenomenology of Internal Time-Consciousness,
trans. James S. Churchill (Bloomington: Indiana University Press, 1964), 35–39.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.
[5]
Ibid., 78–84.
[6]
Ibid., 289–293.
[7]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), viii–ix.
[8]
Ibid., 3–15.
6.
Kesadaran
dalam Filsafat Analitik dan Kognitif
Filsafat analitik,
yang berkembang terutama di dunia Anglo-Amerika sejak awal abad ke-20, menghadirkan
pendekatan baru terhadap studi kesadaran, dengan menitikberatkan pada analisis
bahasa, logika, dan hubungan antara pikiran dan otak. Di sisi
lain, kemajuan dalam ilmu saraf dan kognitif mendorong lahirnya diskursus
interdisipliner mengenai bagaimana kesadaran dapat dijelaskan secara ilmiah.
Dalam lanskap ini, muncul beragam pandangan, mulai dari materialisme eliminatif
hingga dualisme properti, yang mencoba menguraikan kesadaran dari perspektif
empiris dan logis.
6.1.
Gilbert Ryle: Kritik terhadap Cartesianisme
Salah satu kritik
awal terhadap pandangan Descartes tentang kesadaran datang dari Gilbert Ryle
melalui bukunya The Concept of Mind (1949). Ryle
menyebut dualisme Descartes sebagai “the dogma of the ghost in the machine”,
yakni keyakinan keliru bahwa pikiran adalah substansi tak terlihat yang
mengendalikan tubuh.¹
Ryle menolak
pandangan bahwa kesadaran adalah entitas privat yang hanya bisa diakses oleh
individu. Baginya, kesadaran tidak lain adalah cara tertentu seseorang berperilaku dan
menunjukkan kecenderungan rasional dalam tindakan.² Ini
merupakan bentuk dari behaviorisme filosofis, yang
melihat istilah-istilah mental sebagai cara untuk menggambarkan pola-pola
perilaku, bukan entitas internal.
6.2.
Thomas Nagel: Subjektivitas dan Keterbatasan
Ilmu Fisik
Meski behaviorisme
memiliki pengaruh besar, muncul pula tantangan signifikan dari filsuf seperti
Thomas Nagel. Dalam esainya yang terkenal What Is It Like to Be a Bat?
(1974), Nagel menegaskan bahwa pendekatan objektif dalam sains tidak mampu
menjelaskan aspek subjektif dari pengalaman—apa
rasanya menjadi makhluk tertentu.³
Menurut Nagel,
kesadaran memiliki dimensi subjektif intrinsik, yang tidak
bisa direduksi menjadi fakta-fakta fisik. Esainya menjadi batu loncatan penting
bagi perdebatan modern mengenai qualia, yaitu kualitas-kualitas
pengalaman yang tidak dapat dijelaskan secara objektif atau eksternal.⁴
6.3.
Daniel Dennett: Teori Fungsionalis dan
Reduksionis
Daniel Dennett
menawarkan pendekatan materialistik dan fungsional terhadap kesadaran. Dalam Consciousness
Explained (1991), Dennett mengembangkan model
multiple drafts, yang menolak adanya “pusat” kesadaran atau
subjek internal. Ia berargumen bahwa kesadaran adalah produk
dari banyak proses kognitif paralel dalam otak, yang diseleksi
dan diinterpretasikan sebagai pengalaman sadar.⁵
Dennett menolak
keberadaan qualia sebagai entitas metafisik, dan menyebutnya sebagai “bagian
dari ilusi teoretis”.⁶ Bagi Dennett, pendekatan terbaik untuk
memahami kesadaran adalah dengan mengintegrasikan temuan ilmu saraf, psikologi,
dan kecerdasan buatan secara fungsional.
6.4.
David Chalmers: Hard Problem of Consciousness
Menanggapi
pendekatan reduksionis seperti yang diajukan Dennett, David Chalmers
memperkenalkan konsep the hard problem of consciousness
dalam The Conscious
Mind (1996). Ia membedakan antara easy problems—seperti menjelaskan
perilaku, ingatan, atau persepsi—dan hard problem, yaitu mengapa
dan bagaimana aktivitas otak bisa menimbulkan pengalaman subjektif.⁷
Chalmers berargumen
bahwa tidak ada penjelasan fisik yang memadai untuk menjembatani kesenjangan
antara proses neural dan kesadaran fenomenal. Ia mengusulkan kemungkinan dualism
properti, di mana kesadaran dipandang sebagai aspek fundamental
realitas, seperti ruang dan waktu.⁸
Refleksi Umum
Filsafat analitik
dan ilmu kognitif telah memperluas cakupan diskusi mengenai kesadaran ke dalam
wilayah yang lebih empiris, ilmiah, dan interdisipliner. Dari kritik terhadap
dualisme hingga upaya menjelaskan kesadaran dalam kerangka neurokognitif,
pemikiran-pemikiran seperti Ryle, Nagel, Dennett, dan Chalmers menunjukkan
bahwa kesadaran
adalah teka-teki multidimensi, yang menantang batas-batas
pengetahuan kita tentang pikiran, materi, dan eksistensi.
Footnotes
[1]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson’s
University Library, 1949), 15.
[2]
Ibid., 21–23.
[3]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical
Review 83, no. 4 (1974): 435–450.
[4]
Ibid., 441–445.
[5]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown
and Company, 1991), 253–256.
[6]
Ibid., 373–378.
[7]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 3–7.
[8]
Ibid., 123–128.
7.
Tantangan
dan Perkembangan Kontemporer
Pemikiran
kontemporer tentang kesadaran diwarnai oleh berbagai tantangan filosofis,
ilmiah, dan teknologis yang semakin kompleks. Seiring kemajuan ilmu saraf,
psikologi kognitif, dan kecerdasan buatan (AI), para filsuf dan ilmuwan
menghadapi pertanyaan baru: Apakah kesadaran dapat sepenuhnya dijelaskan
secara materialistik? Apakah mesin dapat menjadi sadar? Apakah kesadaran
memiliki tempat dalam penjelasan ilmiah tentang alam semesta?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya memperdalam dimensi teoretis perdebatan
tentang kesadaran, tetapi juga menimbulkan dilema etis dan ontologis yang
mendesak.
7.1.
Materialisme vs. Dualisme dalam Konteks Ilmu
Saraf
Dalam diskursus
filsafat pikiran kontemporer, terdapat ketegangan mendalam antara dua kutub
utama: materialisme
dan dualisme.
Materialisme modern, terutama dalam bentuk reduksionisme neurobiologis,
menyatakan bahwa semua fenomena mental, termasuk kesadaran, pada akhirnya dapat
dijelaskan oleh aktivitas otak.⁽¹⁾ Pendukung pandangan ini berargumen bahwa
kesadaran tidak lebih dari hasil interaksi neuron, dan bahwa ilmu saraf pada
akhirnya akan mampu menjelaskan seluruh pengalaman subyektif secara objektif.
Namun, sejumlah
filsuf tetap bertahan pada posisi non-reduksionis, seperti dualisme
properti yang dikemukakan David Chalmers, atau bahkan panpsikisme,
yakni gagasan bahwa kesadaran adalah aspek mendasar dari alam semesta yang ada
dalam semua benda, meskipun dalam derajat yang berbeda.⁽²⁾ Chalmers menegaskan
bahwa tidak ada penjelasan fisik yang memadai untuk menjembatani kesenjangan
antara fakta objektif tentang otak dan pengalaman subjektif tentang
kesadaran.⁽³⁾
7.2.
Kesadaran dan Kecerdasan Buatan (AI)
Kemajuan teknologi
AI menghadirkan tantangan filosofis baru mengenai batas-batas kesadaran. Sistem
kecerdasan buatan saat ini telah menunjukkan kemampuan kognitif yang menyerupai manusia,
seperti pengenalan bahasa, pengambilan keputusan, dan bahkan pemrosesan emosi
dalam bentuk terbatas.⁽⁴⁾ Namun, sebagian besar ilmuwan dan filsuf sepakat
bahwa kemampuan
kognitif bukanlah bukti adanya kesadaran, karena kesadaran
mencakup aspek pengalaman subjektif (what-it-is-like) yang belum dapat
direplikasi oleh sistem buatan.
Filsuf John Searle
dalam argumen “Chinese Room” menunjukkan
bahwa meskipun sebuah sistem dapat memproses simbol secara benar, ia tidak
memahami makna dari simbol tersebut, dan oleh karena itu tidak memiliki
kesadaran.⁽⁵⁾ Ini menantang asumsi bahwa kecerdasan fungsional otomatis
mengimplikasikan kesadaran.
Namun demikian,
beberapa pemikir futuristik seperti Ray Kurzweil dan tokoh dalam transhumanisme
mengajukan gagasan bahwa kesadaran buatan (artificial consciousness) bukan
hanya mungkin, tetapi akan menjadi bagian tak terelakkan dari masa
depan manusia, terutama dalam konteks integrasi antara otak dan
mesin.⁽⁶⁾
7.3.
Implikasi Etis dan Eksistensial
Perdebatan tentang
kesadaran juga menimbulkan pertanyaan etis dan eksistensial yang semakin
relevan di era modern. Misalnya, jika suatu entitas buatan dinyatakan memiliki
kesadaran, apakah ia berhak atas status moral tertentu?
Pertanyaan ini membuka jalan bagi etika post-humanistik yang menantang
batas-batas tradisional tentang hak, tanggung jawab, dan martabat makhluk
hidup.
Di sisi lain,
pertanyaan tentang kesadaran hewan, janin manusia,
dan pasien dalam kondisi vegetatif juga menjadi bagian dari wacana
kontemporer.⁽⁷⁾ Perkembangan teknologi pemetaan otak bahkan memungkinkan para
ilmuwan untuk mendeteksi kemungkinan adanya kesadaran minimal pada pasien yang
sebelumnya dianggap “tidak sadar”.
Refleksi Umum
Kesadaran, sebagai
fenomena yang mengakar dalam pengalaman manusia, terus menjadi teka-teki besar
dalam filsafat dan sains. Tantangan-tantangan kontemporer menunjukkan bahwa tidak
ada pendekatan tunggal yang memadai untuk menjelaskan kesadaran secara
menyeluruh. Interaksi antara filsafat, ilmu kognitif,
teknologi, dan etika memperkaya sekaligus memperumit pemahaman kita. Pada
akhirnya, kesadaran tetap menjadi “wilayah gelap” yang menuntut
pendekatan lintas disiplin dan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan
baru dalam memahami diri dan realitas.
Footnotes
[1]
Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science
of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 8–10.
[2]
David J. Chalmers, “Panpsychism and Panprotopsychism,” in Consciousness
and Its Place in Nature: Does Physicalism Entail Panpsychism?, ed. Anthony
Freeman (Charlottesville: Imprint Academic, 2006), 167–179.
[3]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 3–5.
[4]
Susan Schneider and Edwin Turner, “Is Anyone Home? A Way to Find Out If
AI Has Become Self-Aware,” Scientific American, November 2019.
[5]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain
Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[6]
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend
Biology (New York: Viking, 2005), 374–389.
[7]
Joseph Fins, Rights Come to Mind: Brain Injury, Ethics, and the
Struggle for Consciousness (New York: Cambridge University Press, 2015),
91–96.
8.
Kesimpulan
Kesadaran merupakan
salah satu topik paling mendalam dan kompleks dalam sejarah filsafat, dan tetap
menjadi misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan hingga hari ini. Melalui
penelusuran lintas zaman, dari filsafat klasik hingga kontemporer, kita
menyaksikan bagaimana konsep kesadaran telah mengalami evolusi yang signifikan,
baik dari segi pendekatan maupun cara memaknainya.
Dalam filsafat
klasik, pemikiran tentang kesadaran terikat erat dengan gagasan tentang jiwa dan
rasionalitas, seperti dalam karya Plato dan Aristoteles. Plato
memahami kesadaran melalui dimensi metafisik dan dunia ide, sementara
Aristoteles mengkaitkannya dengan fungsi-fungsi jiwa dalam kerangka
hilemorfisme.¹
Pada masa modern,
fokus bergeser ke kesadaran sebagai dasar pengetahuan dan
identitas diri. Descartes meletakkan kesadaran sebagai fondasi
eksistensi dalam cogito, Locke menekankan
kesinambungan memori sebagai dasar identitas personal, dan Hume justru
meragukan eksistensi “diri” sebagai pusat kesadaran.² Pandangan ini
diperkaya oleh Kant yang menghadirkan struktur transendental kesadaran sebagai
syarat kemungkinan pengetahuan.³
Gerakan
fenomenologi, yang dipelopori oleh Husserl, menawarkan paradigma baru dengan
menjadikan pengalaman langsung dan subjektif
sebagai fokus utama studi kesadaran. Intensionalitas, keberadaan-di-dunia, dan
tubuh sebagai pusat persepsi merupakan kontribusi penting dari Husserl,
Heidegger, dan Merleau-Ponty dalam mengembangkan pendekatan fenomenologis.⁴
Filsafat analitik
dan ilmu kognitif memberikan sumbangan dalam bentuk analisis konseptual dan
pendekatan ilmiah terhadap kesadaran. Dari kritik Ryle terhadap dualisme,
pemikiran Nagel tentang subjektivitas, teori fungsionalisme Dennett, hingga hard
problem of consciousness dari Chalmers—semua menunjukkan bahwa
kesadaran adalah fenomena yang sulit dijelaskan namun tidak bisa
diabaikan.⁵
Tantangan
kontemporer semakin memperluas cakupan diskusi ini. Pertanyaan tentang kemungkinan
kesadaran buatan, status moral entitas non-manusia, serta
keterbatasan pendekatan neurobiologis dalam menjelaskan pengalaman subyektif,
menjadi sorotan utama dalam filosofi mutakhir.⁶ Bahkan muncul gagasan bahwa kesadaran
mungkin merupakan aspek mendasar dari alam semesta itu sendiri,
sebagaimana diajukan oleh teori-teori panpsikisme.⁷
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kesadaran adalah realitas multidimensi yang
tidak dapat dijelaskan hanya melalui satu pendekatan. Ia mencakup aspek
ontologis, epistemologis, fenomenologis, etis, dan bahkan kosmologis.
Kompleksitas ini menuntut pendekatan interdisipliner dan keterbukaan untuk
mengeksplorasi bentuk-bentuk baru pemahaman. Sebagaimana dikatakan oleh
Chalmers, “Masalah kesadaran bukanlah sesuatu yang akan segera kita
pecahkan, tetapi salah satu misteri terbesar yang terus menantang pikiran
manusia.”_⁸
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing,
1997), 439d–441c; Aristotle, De Anima (On the Soul), trans. J.A.
Smith, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York:
Modern Library, 2001), 556–561.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17; John Locke, An
Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford:
Clarendon Press, 1975), 2.27.9–17; David Hume, A Treatise of Human Nature,
ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 252–253.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B132–B135.
[4]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology,
trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 191–193; Martin
Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson
(New York: Harper & Row, 1962), 78–84; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 3–15.
[5]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson’s
University Library, 1949), 15–23; Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The
Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450; Daniel Dennett, Consciousness
Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 253–256; David J.
Chalmers, The Conscious Mind (New York: Oxford University Press,
1996), 3–7.
[6]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain
Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424; Susan Schneider and Edwin Turner, “Is
Anyone Home?” Scientific American, November 2019.
[7]
David J. Chalmers, “Panpsychism and Panprotopsychism,” in Consciousness
and Its Place in Nature, ed. Anthony Freeman (Charlottesville: Imprint
Academic, 2006), 167–179.
[8]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (New York: Oxford University Press, 1996), xi.
Daftar Pustaka
Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In
search of a fundamental theory. Oxford University Press.
Chalmers, D. J. (2006). Panpsychism and
panprotopsychism. In A. Freeman (Ed.), Consciousness and its place in
nature: Does physicalism entail panpsychism? (pp. 167–179). Imprint
Academic.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy:
Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained.
Little, Brown and Company.
Epicurus. (2012). Letter to Menoeceus. In G. K.
Strodach (Trans.), The art of happiness (pp. 91–95). Penguin Books.
Fins, J. J. (2015). Rights come to mind: Brain
injury, ethics, and the struggle for consciousness. Cambridge University
Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Hume, D. (1978). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1739)
Husserl, E. (1964). The phenomenology of
internal time-consciousness (J. S. Churchill, Trans.). Indiana University
Press.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781)
Kurzweil, R. (2005). The singularity is near:
When humans transcend biology. Viking.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work
published 1690)
Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G.
Hays, Trans.). Modern Library. (Original work published ca. 180 C.E.)
Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)
Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The
Philosophical Review, 83(4), 435–450. https://doi.org/10.2307/2183914
Plato. (1997). Phaedo (G. M. A. Grube,
Trans.). In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works (pp. 49–100).
Hackett Publishing.
Plato. (1997). Republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works
(pp. 971–1223). Hackett Publishing.
Ryle, G. (1949). The concept of mind.
Hutchinson’s University Library.
Schneider, S., & Turner, E. (2019). Is anyone
home? A way to find out if AI has become self-aware. Scientific American.
https://www.scientificamerican.com/article/is-anyone-home-a-way-to-find-out-if-ai-has-become-self-aware/
Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral
and Brain Sciences, 3(3), 417–424. https://doi.org/10.1017/S0140525X00005756
Tidak ada komentar:
Posting Komentar