Selasa, 29 April 2025

Post-Strukturalisme: Melampaui Struktur dalam Pencarian Makna dan Realitas

Post-Strukturalisme

Melampaui Struktur dalam Pencarian Makna dan Realitas


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif kontribusi post-strukturalisme dalam ranah ontologi filsafat, dengan menyoroti pergeseran paradigma dari pendekatan esensialis dan representasional menuju pemahaman realitas yang bersifat diferensial, relasional, dan terbuka. Post-strukturalisme, yang muncul sebagai kritik atas strukturalisme dan metafisika tradisional, menolak konsep keberadaan sebagai entitas tetap dan menggantinya dengan pendekatan yang menekankan peran bahasa, wacana, dan kekuasaan dalam membentuk realitas. Melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Gilles Deleuze, dan Jean-François Lyotard, artikel ini menguraikan bagaimana realitas, subjek, dan makna tidak bersifat absolut, melainkan terproduksi secara historis, performatif, dan diskursif. Selain mengkaji fondasi dan implikasi ontologis dari pendekatan ini, artikel juga menelaah kritik-kritik yang diarahkan terhadap relativisme dan ketiadaan landasan normatif dalam post-strukturalisme. Di bagian akhir, dibahas pula relevansi kontemporer pendekatan ini dalam kajian identitas, politik, teknologi digital, dan ekologi. Artikel ini bertujuan memberikan kontribusi terhadap pengembangan studi ontologi yang lebih kritis, inklusif, dan adaptif terhadap kompleksitas dunia kontemporer.

Kata Kunci: Post-strukturalisme; ontologi; keberadaan; dekonstruksi; diskursus; subjek; makna; realitas; Foucault; Derrida; Deleuze; Lyotard.


PEMBAHASAN

Post-Strukturalisme dalam Ontologi Filsafat


1.           Pendahuluan

Perkembangan filsafat abad ke-20 menyaksikan kemunculan satu aliran pemikiran yang radikal dalam membongkar asumsi-asumsi dasar tentang makna, identitas, dan realitas—yakni post-strukturalisme. Berakar dari ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme yang terlalu menekankan keteraturan dan stabilitas sistem tanda, post-strukturalisme tampil sebagai respons kritis yang meruntuhkan klaim akan kepastian makna dan keteraturan objektif dalam bahasa, wacana, dan realitas ontologis. Para pemikir post-strukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Gilles Deleuze berusaha menunjukkan bahwa struktur-struktur yang dianggap mapan justru menyimpan ketidakkonsistenan dan keretakan yang inheren dalam dirinya sendiri, sehingga tidak mampu menopang konsep ontologi yang koheren dan tetap.

Secara historis, post-strukturalisme muncul di Prancis pada dekade 1960-an sebagai kelanjutan sekaligus gugatan atas proyek strukturalisme yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Ferdinand de Saussure, Claude Lévi-Strauss, dan Roland Barthes. Sementara strukturalisme percaya bahwa realitas dapat dianalisis melalui sistem tanda yang bersifat objektif dan stabil, post-strukturalisme justru menolak ide tentang struktur yang tetap dan universal, serta memperlihatkan bagaimana makna terus-menerus ditangguhkan dalam jaringan relasi yang tak berujung1.

Dalam konteks filsafat ontologi, pendekatan post-strukturalis membawa implikasi mendalam. Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan (being), tidak lagi dipahami dalam kerangka esensialisme atau identitas yang tetap, melainkan sebagai medan terbuka di mana makna dan realitas bersifat cair, terfragmentasi, dan terkonstitusi melalui praktik diskursif dan relasional2. Dengan menolak fondasi-fondasi metafisika tradisional, post-strukturalisme mengajak untuk merefleksikan kembali bagaimana “yang ada” tidak sekadar hadir secara obyektif, melainkan dibentuk oleh kekuasaan, bahasa, dan sejarah3.

Urgensi pembahasan tentang post-strukturalisme dalam ranah ontologi menjadi semakin relevan dalam lanskap intelektual kontemporer, terutama dalam konteks krisis epistemik, dekonstruksi identitas, serta pergeseran paradigma dalam ilmu sosial dan humaniora. Pemikiran post-strukturalis tidak hanya menyentuh ranah teoritis, tetapi juga mengarahkan cara kita memahami subjek, masyarakat, dan dunia secara lebih kritis dan terbuka terhadap pluralitas makna. Oleh karena itu, artikel ini akan mengeksplorasi secara sistematis fondasi filosofis, tokoh-tokoh utama, serta kontribusi post-strukturalisme dalam menata ulang diskursus ontologi, dengan harapan membuka cakrawala baru dalam memahami realitas yang kompleks dan tidak tereduksi dalam satu narasi tunggal.


Footnotes

[1]                Jonathan D. Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 86–87.

[2]                Christopher Norris, What's Wrong with Postmodernism: Critical Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1990), 54.

[3]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 27–33.


2.           Asal-usul dan Fondasi Teoritis Post-Strukturalisme

Post-strukturalisme lahir dari dinamika intelektual yang berkembang di Prancis pada pertengahan abad ke-20, terutama sebagai tanggapan kritis terhadap strukturalisme yang saat itu mendominasi berbagai disiplin ilmu, termasuk antropologi, linguistik, sastra, dan filsafat. Para pemikir post-strukturalis tidak menolak seluruh warisan strukturalisme, tetapi justru melakukan pembacaan radikal terhadap asumsi-asumsi mendasarnya, khususnya dalam hal stabilitas struktur, makna tetap, dan sistem simbolik yang dianggap objektif.

Strukturalisme sendiri berakar pada linguistik Ferdinand de Saussure yang menekankan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang terdiri dari relasi arbitrer antara “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified), dan makna tidak inheren pada kata-kata, melainkan muncul dari perbedaan antara tanda-tanda dalam sistem tersebut1. Gagasan ini kemudian diadaptasi oleh Claude Lévi-Strauss dalam antropologi struktural untuk menjelaskan mitos dan budaya sebagai struktur mental universal yang tak berubah2. Roland Barthes dan tokoh lain memperluas pendekatan struktural ini dalam studi sastra dan semiotika, mengasumsikan bahwa struktur teks dan budaya dapat didekonstruksi secara sistematis.

Namun, pemikir seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Gilles Deleuze melihat bahwa struktur yang tampak stabil justru menyimpan paradoks dan ketidakkonsistenan internal. Derrida, misalnya, dalam konsep différance, menyatakan bahwa makna tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda dan bergeser dalam jaringan penandaan yang tak berujung3. Ia menolak gagasan adanya “pusat” atau “logos” yang menjadi sumber makna, dan membongkar klaim metafisika kehadiran yang mendasari pemikiran Barat sejak Plato4.

Foucault, di sisi lain, menggeser perhatian dari struktur universal ke praktik diskursif yang konkret dalam sejarah. Ia menolak ide tentang subjek yang stabil dan rasional, dan menggantikannya dengan subjek yang terbentuk melalui relasi kekuasaan dan wacana5. Melalui pendekatan arkeologi dan genealogi, Foucault menunjukkan bahwa pengetahuan dan kebenaran tidak berdiri netral, melainkan terikat pada konstruksi historis yang ditentukan oleh institusi, norma, dan mekanisme kontrol sosial6.

Gilles Deleuze memperkaya fondasi teoritis post-strukturalisme dengan menolak logika identitas dan representasi. Ia mengembangkan filsafat perbedaan (difference) dan multiplicity (keragaman jamak), serta menggagas konsep rhizome (rimpang) sebagai metafora jaringan pengetahuan yang non-linear dan anti-hierarkis7. Bersama Félix Guattari, ia mengkritik konsep struktur tetap dalam filsafat dan menggantinya dengan model spasial yang fleksibel dan terbuka.

Akar filosofis post-strukturalisme juga dapat ditelusuri dari pengaruh Nietzsche, Heidegger, dan tradisi fenomenologi. Dari Nietzsche, mereka mewarisi kritik terhadap kebenaran sebagai ilusi metafisik dan kehendak untuk berkuasa sebagai prinsip ontologis. Dari Heidegger, mereka menyerap kritik terhadap ontologi tradisional dan gagasan tentang menyingkap (aletheia) sebagai cara keberadaan terungkap dalam dunia. Fenomenologi Husserl dan Merleau-Ponty turut memberi inspirasi dalam menekankan pengalaman dan persepsi sebagai dasar pembentukan realitas subjektif8.

Dengan demikian, fondasi teoritis post-strukturalisme dibangun atas gugatan terhadap fondasi metafisika klasik yang menekankan esensi, pusat, dan kehadiran. Ia menggantinya dengan filsafat yang menekankan keterbukaan, ketaksaan, dan relasionalitas dalam memahami realitas dan eksistensi. Hal ini menjadi dasar bagi pendekatan ontologi post-strukturalis yang tidak mencari “yang ada” sebagai entitas tetap, melainkan sebagai efek dari permainan tanda, kekuasaan, dan perbedaan yang terus berlangsung.


Footnotes

[1]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 65–70.

[2]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 210–213.

[3]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 11–12.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 49–65.

[5]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 24–30.

[6]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 131–135.

[7]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 3–28.

[8]                Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 42–47.


3.           Ontologi dalam Perspektif Post-Strukturalis

Dalam kerangka post-strukturalis, ontologi tidak lagi dipahami sebagai upaya menemukan esensi atau dasar universal yang stabil dari realitas, tetapi sebagai medan dinamis di mana “yang ada” (being) senantiasa dibentuk dan diartikulasikan melalui bahasa, diskursus, dan relasi kuasa. Post-strukturalisme menolak ontologi metafisis yang mendasarkan realitas pada entitas tetap, kehadiran penuh, atau kebenaran transenden. Sebaliknya, pendekatan ini memandang realitas sebagai terbuka, cair, dan terus-menerus dikonstruksi melalui perbedaan, penundaan makna, serta permainan tanda dan kekuasaan.

Salah satu kontribusi penting dari post-strukturalisme terhadap ontologi adalah penolakan terhadap esensialisme. Jacques Derrida, misalnya, menunjukkan bahwa tidak ada “makna murni” atau “substansi ontologis” yang dapat dihadirkan secara final. Melalui konsep différance, ia menekankan bahwa makna selalu ditangguhkan dan hanya muncul melalui relasi diferensial antar-tanda dalam sistem bahasa1. Oleh karena itu, realitas pun tidak pernah hadir secara utuh, tetapi selalu dikonstruksi melalui proses tak berujung yang melibatkan penundaan dan penggeseran makna2.

Dalam pandangan ini, realitas bukanlah entitas otonom, melainkan hasil efek diskursif. Michel Foucault menekankan bahwa objek, subjek, dan bentuk-bentuk keberadaan bukanlah sesuatu yang ada sebelum bahasa dan kuasa, melainkan diciptakan melalui praktik diskursif historis. Foucault menyatakan bahwa “diskursus bukan hanya sekadar mencerminkan realitas, tetapi juga membentuk realitas yang dapat dipikirkan dan diatur3. Ontologi post-strukturalis dengan demikian bersifat produktif dan performatif, menciptakan realitas melalui mekanisme wacana dan institusi sosial.

Lebih jauh, pemikiran Gilles Deleuze dan Félix Guattari menawarkan model ontologi yang radikal melalui konsep rhizome dan multiplicity. Mereka menolak logika hierarkis dan sistem representasi yang membatasi makna pada satu pusat atau asal-usul. Sebagai gantinya, mereka mengajukan gagasan tentang realitas sebagai jaringan keterhubungan yang non-linier dan heterogen, di mana entitas muncul melalui interaksi spasial dan temporal yang kompleks4. Ontologi dalam kerangka ini bukan tentang “apa yang ada” secara tetap, melainkan tentang proses menjadi (becoming) yang tak berujung dan tidak dapat direduksi pada kategori-kategori tetap5.

Post-strukturalisme juga menolak gagasan identitas tetap dalam subjek ontologis. Subjek bukanlah entitas otonom yang mendahului pengalaman, melainkan hasil dari konstruksi diskursif yang terus berubah. Seperti dikemukakan oleh Judith Butler dalam pengembangan pemikiran post-strukturalis, identitas adalah hasil dari performativitas berulang yang diproduksi dan dipertahankan oleh norma-norma sosial dan budaya6. Dengan demikian, ontologi post-strukturalis menyatu dengan epistemologi dan politik dalam melihat keberadaan sebagai sesuatu yang terus dikonstruksi dan dinegosiasikan secara sosial.

Keseluruhan pendekatan ini memunculkan pandangan ontologi yang bersifat anti-foundasional, relasional, dan kontingen. Tidak ada dasar tunggal atau prinsip absolut yang menopang “yang ada”, melainkan hanya konfigurasi relasional yang selalu berubah dalam konteks historis, linguistik, dan sosial tertentu. Hal ini membuka ruang bagi pluralitas ontologis dan penolakan terhadap dominasi narasi tunggal tentang realitas.

Dengan demikian, post-strukturalisme menawarkan sebuah ontologi yang bukan hanya bersifat deskriptif, tetapi juga kritis dan transformatif—yakni sebuah pendekatan yang mempertanyakan struktur-struktur yang membentuk realitas dan membuka kemungkinan untuk berpikir tentang keberadaan di luar batas-batas representasi tradisional. Pendekatan ini tidak menyarankan bahwa “yang ada” tidak ada, tetapi bahwa keberadaan itu tidak pernah final, tidak pernah tunggal, dan tidak pernah bebas dari medan diskursif yang membentuknya.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 11–13.

[2]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 62–71.

[3]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 54–55.

[4]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 3–25.

[5]                Gilles Deleuze, Difference and Repetition, trans. Paul Patton (New York: Columbia University Press, 1994), 35–38.

[6]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 22–25.


4.           Tokoh-tokoh Kunci dan Kontribusi Ontologisnya

Post-strukturalisme tidak dapat dilepaskan dari kontribusi sejumlah pemikir utama yang secara radikal menantang dan mereformulasi pengertian tradisional tentang realitas dan keberadaan. Melalui pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat, linguistik, psikoanalisis, dan kritik budaya, para pemikir ini membuka cakrawala baru dalam pemahaman ontologis yang bersifat non-esensial, performatif, dan relasional.

4.1.       Jacques Derrida: Dekonstruksi dan Ketidakhadiran Makna Tetap

Derrida adalah tokoh sentral dalam post-strukturalisme yang memperkenalkan konsep deconstruction, suatu metode membaca teks yang membongkar oposisi biner yang selama ini menopang struktur pemikiran Barat—seperti hadir/absen, pusat/tepi, identitas/perbedaan1. Dalam konteks ontologi, Derrida menunjukkan bahwa keberadaan tidak pernah hadir secara utuh (presence), melainkan selalu berada dalam proses différance—yakni perbedaan sekaligus penundaan makna2. Ontologi tidak lagi dipahami sebagai penegasan terhadap “ada”, tetapi sebagai pembacaan terhadap jejak (trace) dari yang tidak hadir, yang selalu membayang di balik struktur yang tampak stabil3.

4.2.       Michel Foucault: Diskursus, Kekuasaan, dan Produksi Subjek

Kontribusi Foucault terhadap ontologi terletak pada pendekatannya terhadap produksi subjek dan objek melalui diskursus dan kekuasaan. Ia menolak pemahaman ontologis tradisional yang menganggap subjek sebagai entitas transendental dan otonom. Dalam karya seperti The Order of Things dan Discipline and Punish, Foucault menunjukkan bahwa subjek merupakan hasil dari formasi diskursif yang historis dan spesifik4. Keberadaan bukanlah entitas yang tetap, tetapi hasil dari praktik sosial, institusional, dan epistemik yang membentuk kemungkinan untuk berpikir dan menjadi5. Dengan demikian, ontologi Foucault bersifat genealogis dan historis—memahami “yang ada” melalui konstruksi wacana dan relasi kuasa.

4.3.       Gilles Deleuze: Perbedaan, Multiplicitas, dan Proses Menjadi

Gilles Deleuze menawarkan kritik mendalam terhadap ontologi tradisional yang berfokus pada identitas, representasi, dan kesatuan. Dalam karyanya Difference and Repetition, Deleuze mengembangkan ontologi berbasis difference in itself—yakni perbedaan yang tidak mengandaikan identitas sebagai dasar6. Bersama Félix Guattari, Deleuze memperkenalkan konsep rhizome sebagai metafora untuk realitas yang tidak terstruktur secara hierarkis, melainkan tersebar, berjejaring, dan bergerak bebas7. Ontologi dalam pemikiran Deleuze bersifat dinamis dan berorientasi pada becoming (menjadi), bukan being (ada) yang statis. “Yang ada” adalah fluks kreatif yang terus-menerus membentuk dan mengurai dirinya sendiri.

4.4.       Jean-François Lyotard: Krisis Metanarasi dan Pluralitas Realitas

Lyotard mengemukakan bahwa zaman pascamodern ditandai oleh “ketidakpercayaan terhadap metanarasi”—yaitu narasi besar yang selama ini menopang klaim kebenaran dan struktur ontologis modernitas8. Dalam The Postmodern Condition, ia menunjukkan bahwa realitas kontemporer bersifat fragmentaris dan tersusun dari narasi-narasi kecil yang heterogen. Ontologi Lyotard dengan demikian bersifat anti-universalistik, menolak satu kebenaran tunggal, dan membuka ruang bagi pluralitas eksistensi yang tidak selalu dapat direduksi pada kerangka logis-metafisik tradisional9.

4.5.       Julia Kristeva dan Luce Irigaray: Subjek, Tubuh, dan Ontologi Feminis

Kontribusi Kristeva terhadap ontologi post-strukturalis terlihat dalam pemahamannya tentang semiotik dan abject. Ia menyatakan bahwa subjek terbentuk melalui proses simbolik sekaligus penyingkiran terhadap yang tidak dapat dilogiskan, yaitu dimensi semiotik yang berkaitan dengan tubuh, hasrat, dan bahasa pra-simbolik10. Sementara Irigaray mengkritik filsafat Barat yang selalu menyingkirkan keberadaan feminin dari ranah ontologis. Ia menyerukan pembentukan ontologi baru yang mengakui perbedaan seksual dan keberadaan perempuan sebagai subjek yang otonom, bukan sebagai “yang lain” dari maskulinitas11.


Tokoh-tokoh ini, meski memiliki pendekatan dan terminologi yang berbeda, bersama-sama berkontribusi dalam merombak fondasi ontologi modern. Mereka membongkar klaim tentang keberadaan yang tetap dan esensial, serta menggantinya dengan pendekatan yang menekankan relasionalitas, perbedaan, dan prosesualitas dalam memahami realitas. Ontologi post-strukturalis dengan demikian bukan hanya suatu proyek teoritis, tetapi juga suatu upaya pembebasan dari struktur representasi yang membatasi kemungkinan eksistensial.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.

[2]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9–15.

[3]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–73.

[4]                Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1994), xxi–xxiv.

[5]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 194–202.

[6]                Gilles Deleuze, Difference and Repetition, trans. Paul Patton (New York: Columbia University Press, 1994), 28–35.

[7]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 3–25.

[8]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[9]                Ibid., 60–67.

[10]             Julia Kristeva, Powers of Horror: An Essay on Abjection, trans. Leon S. Roudiez (New York: Columbia University Press, 1982), 1–31.

[11]             Luce Irigaray, This Sex Which Is Not One, trans. Catherine Porter and Carolyn Burke (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 23–30.


5.           Realitas, Subjek, dan Bahasa dalam Ontologi Post-Strukturalisme

Post-strukturalisme menawarkan kerangka ontologis yang berbeda secara radikal dari pendekatan-pendekatan metafisis sebelumnya, khususnya dalam cara ia memahami tiga komponen kunci: realitas, subjek, dan bahasa. Ketiganya dipandang bukan sebagai entitas yang tetap, stabil, dan otonom, melainkan sebagai konstruksi dinamis yang terbentuk melalui relasi kuasa, praktik diskursif, dan operasi tanda.

5.1.       Realitas sebagai Konstruksi Diskursif

Dalam post-strukturalisme, realitas tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat objektif dan hadir secara independen dari bahasa. Realitas dianggap terbentuk melalui jaringan diskursus dan tanda, di mana “yang nyata” merupakan hasil efek dari permainan representasi dan interpretasi yang tak pernah final. Foucault dengan tegas menyatakan bahwa “kebenaran” dan “realitas” adalah produk dari sistem pengetahuan dan kekuasaan yang terartikulasikan secara historis1. Realitas dalam konteks ini bukanlah substratum metafisik yang universal, melainkan efek dari struktur bahasa dan wacana yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

5.2.       Subjek sebagai Efek Wacana

Post-strukturalisme juga menggeser pemahaman tradisional tentang subjek. Jika dalam filsafat modern subjek dianggap sebagai pusat kesadaran dan asal-usul tindakan, maka dalam kerangka post-strukturalis subjek dipahami sebagai hasil efek dari struktur bahasa dan praktik diskursif. Foucault, misalnya, memandang bahwa subjek bukan entitas otonom, melainkan produk dari teknik-teknik kekuasaan seperti disiplin, normalisasi, dan klasifikasi sosial2. Judith Butler kemudian memperluas pendekatan ini dalam konteks gender, dengan menekankan bahwa identitas subjek bukanlah sesuatu yang dimiliki, tetapi sesuatu yang dilakukan secara berulang melalui proses performatif3.

Subjektivitas dalam ontologi post-strukturalis bersifat kontingen dan terpecah, selalu terbentuk melalui medan relasional antara norma-norma sosial, bahasa, institusi, dan praktik historis. Dengan demikian, tidak ada “inti” esensial dalam subjek; identitas hanya muncul sebagai konfigurasi temporal yang dibentuk oleh medan simbolik tertentu.

5.3.       Bahasa sebagai Medan Ontologis

Bahasa memegang peranan sentral dalam pemikiran post-strukturalis, bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan sebagai medan di mana realitas dan keberadaan dibentuk. Jacques Derrida menyatakan bahwa tidak ada apa pun “di luar teks” (il n’y a pas de hors-texte)—sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa semua realitas dan pengalaman dipahami dan dikonstruksi melalui sistem tanda dan penandaan4. Bahasa tidak merujuk secara langsung pada dunia yang tetap, melainkan membentuk makna melalui perbedaan di antara tanda-tanda (différance), yang tidak pernah mengarah pada kehadiran makna yang utuh dan pasti5.

Dalam kerangka ini, bahasa menjadi faktor ontologis, karena ia bukan hanya merepresentasikan dunia, tetapi menciptakan cara di mana dunia dapat dipahami dan dihidupi. Oleh karena itu, segala bentuk keberadaan tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasa yang mendasarinya—baik dalam bentuk narasi, kategori, maupun sistem simbolik.

5.4.       Interkoneksi antara Realitas, Subjek, dan Bahasa

Post-strukturalisme menolak pembagian tajam antara realitas luar, subjek yang mengenalinya, dan bahasa yang merepresentasikannya. Ketiganya dipahami sebagai saling membentuk secara simultan. Realitas tidak “ada” sebelum atau di luar bahasa, subjek tidak mendahului bahasa, dan bahasa tidak hanya merepresentasikan sesuatu yang sudah ada. Sebaliknya, ketiganya membentuk jaringan artikulasi yang saling melahirkan dalam ruang sosial dan historis.

Dengan demikian, dalam ontologi post-strukturalis, keberadaan (being) tidak bersifat tetap, esensial, atau universal, tetapi merupakan produk dari relasi-relasi simbolik, diskursif, dan material yang terus bergerak. Ontologi tidak lagi mencari “apa yang ada” secara definitif, tetapi mengungkap bagaimana sesuatu dapat dianggap “ada” dalam konteks tertentu, melalui operasi tanda, wacana, dan kekuasaan.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.

[2]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 194–202.

[3]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.

[5]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–20.


6.           Kritik terhadap Ontologi Post-Strukturalis

Meskipun post-strukturalisme telah memberikan kontribusi penting dalam mendekonstruksi asumsi-asumsi metafisika tradisional dan membuka jalan bagi pendekatan baru dalam memahami realitas, subjek, dan makna, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Kritik terhadap ontologi post-strukturalis datang dari berbagai spektrum pemikiran, termasuk kaum realis, marxis, feminis, dan bahkan dari dalam tradisi post-strukturalis itu sendiri. Kritik-kritik ini berfokus pada tuduhan relativisme makna, dekonstruksi yang mandek, pengabaian terhadap realitas material, serta ketiadaan dasar normatif untuk aksi politik.

6.1.       Tuduhan Relativisme dan Nihilisme Makna

Salah satu kritik paling umum terhadap ontologi post-strukturalis adalah kecenderungannya menuju relativisme ekstrem. Karena post-strukturalisme menolak adanya makna tetap dan realitas objektif, banyak pihak menuduh bahwa pendekatan ini jatuh pada nihilisme epistemik—yakni penolakan terhadap kemungkinan membedakan antara klaim-klaim yang valid dan tidak valid tentang realitas1. Richard Rorty, meskipun bersimpati terhadap post-strukturalisme, mengingatkan bahwa pembongkaran terhadap fondasi-fondasi kebenaran harus disertai dengan tanggung jawab epistemik untuk tetap bisa berdialog secara kritis dalam ruang publik2.

Selain itu, kritik juga menyasar pada gagasan Derrida tentang différance, yang dianggap memunculkan ketidaktentuan makna yang absolut. Jika makna selalu ditangguhkan dan tak pernah hadir secara final, bagaimana mungkin kita membangun kesepakatan atau melakukan tindakan etis dan politis yang mendalam?

6.2.       Pengabaian terhadap Realitas Material

Kaum materialis dan marxis menyatakan bahwa post-strukturalisme terlalu fokus pada bahasa, diskursus, dan simbol, hingga mengabaikan kondisi material konkret yang turut menentukan struktur kehidupan sosial. Terry Eagleton, seorang kritikus marxis terkemuka, menuduh bahwa post-strukturalisme lebih mementingkan permainan teks daripada penderitaan riil manusia dalam sistem kapitalisme3. Ia menekankan bahwa struktur ekonomi dan relasi produksi tidak bisa direduksi menjadi sekadar konstruksi diskursif.

Kritik ini juga digaungkan oleh realisme spekulatif yang muncul pada awal abad ke-21, terutama oleh Quentin Meillassoux dan Graham Harman. Mereka menolak “korrelasionisme”—yakni anggapan bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui mediasi subjek atau bahasa—dan berupaya mengembalikan otonomi realitas di luar relasi epistemik manusia4.

6.3.       Ketiadaan Dasar Normatif dan Etis

Ontologi post-strukturalis juga dikritik karena kurangnya fondasi normatif untuk membangun etika dan politik. Jika segala sesuatu bersifat kontingen dan relatif terhadap struktur diskursif, bagaimana kita dapat membenarkan suatu tindakan politik sebagai adil atau tidak adil? Nancy Fraser, dalam polemiknya dengan Judith Butler, mempertanyakan apakah teori performativitas dan dekonstruksi cukup mampu menghadirkan strategi politis yang konkret bagi gerakan keadilan sosial5.

Kritik ini menyoroti bahwa dekonstruksi terhadap identitas, kebenaran, dan makna harus diimbangi dengan usaha konstruktif untuk membangun solidaritas dan aksi kolektif, bukan hanya menganalisis atau membongkar struktur.

6.4.       Kritik Internal: Ketegangan dalam Post-Strukturalisme Sendiri

Menariknya, kritik terhadap post-strukturalisme juga muncul dari dalam tradisi itu sendiri. Beberapa pemikir menyoroti bahwa ada ketegangan antara keterbukaan ontologis yang ditawarkan post-strukturalisme dan kebutuhan akan artikulasi teoretis yang memadai. Misalnya, meskipun Deleuze menolak struktur tetap dan logika representasi, ia tetap mengembangkan sistem konseptual yang kompleks dan struktural (seperti assemblage, rhizome, becoming)—yang dalam dirinya sendiri bisa dianggap sebagai bentuk “struktur” baru yang bersaing6.


Kesimpulan Sementara atas Kritik

Kritik-kritik terhadap ontologi post-strukturalis menunjukkan tantangan epistemik dan etis yang dihadapi ketika kita berusaha memahami realitas sebagai medan yang terbuka, tak stabil, dan selalu dikonstruksi. Kendati demikian, banyak pemikir post-strukturalis justru melihat kritik ini sebagai peluang untuk merefleksikan ulang batas-batas pemikiran dan untuk terus mengembangkan pemahaman ontologis yang lebih inklusif, pluralistik, dan kontekstual. Post-strukturalisme bukanlah sistem tertutup, melainkan proyek yang terus bergerak dalam ketegangan antara pembongkaran dan penciptaan makna baru.


Footnotes

[1]                Christopher Norris, What's Wrong with Postmodernism: Critical Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1990), 97–103.

[2]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 377–389.

[3]                Terry Eagleton, The Illusions of Postmodernism (Oxford: Blackwell, 1996), 41–43.

[4]                Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 5–12.

[5]                Nancy Fraser and Judith Butler, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 19–28.

[6]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 23–25.


7.           Relevansi Kontemporer dan Aplikasi Post-Strukturalisme dalam Studi Ontologi

Di tengah transformasi intelektual, sosial, dan teknologi pada abad ke-21, pendekatan ontologis post-strukturalis tetap menunjukkan relevansi dan daya hidup yang tinggi. Kontribusi utamanya terletak pada kemampuannya untuk menanggapi kompleksitas dunia kontemporer yang ditandai oleh keragaman, ketidakstabilan makna, serta disrupsi terhadap otoritas pengetahuan dan struktur sosial. Post-strukturalisme membuka jalan bagi reinterpretasi realitas secara lebih pluralistik, inklusif, dan kontekstual, serta memungkinkan pengembangan teori ontologi yang responsif terhadap dinamika globalisasi, digitalisasi, dan krisis ekologi.

7.1.       Kajian Identitas dan Subjektivitas di Era Postmodern

Post-strukturalisme telah memainkan peran penting dalam mengembangkan pemahaman baru tentang identitas. Dalam konteks budaya kontemporer yang sarat dengan migrasi, hibriditas, dan interseksionalitas, pendekatan ontologi yang menolak esensialisme menjadi sangat relevan. Teori performativitas dari Judith Butler, misalnya, digunakan secara luas dalam studi gender, queer theory, dan kajian budaya untuk menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang diberikan secara alamiah, melainkan dikonstruksi secara sosial melalui praktik diskursif dan performatif1.

Hal ini berdampak pada pendekatan ontologi dalam filsafat kontemporer: subjek bukan entitas tunggal dan koheren, melainkan entitas yang selalu berada dalam proses menjadi, yang terpecah dan direstrukturisasi melalui bahasa, wacana, dan teknologi sosial.

7.2.       Kritik terhadap Narasi Besar dalam Politik dan Ilmu Pengetahuan

Jean-François Lyotard dalam The Postmodern Condition mengidentifikasi krisis legitimasi dalam ilmu pengetahuan modern, terutama terhadap apa yang ia sebut sebagai “metanarasi”—narasi besar yang mengklaim kebenaran universal dan rasionalitas tunggal2. Ontologi post-strukturalis, dalam hal ini, membantu membongkar dominasi logika modernisme dalam berbagai ranah, dari pendidikan hingga politik, dan memungkinkan munculnya berbagai bentuk pengetahuan yang bersifat lokal, kontekstual, dan marginal.

Konsep ini sangat berguna dalam kajian postkolonial dan dekolonial yang mengkritik dominasi epistemologi Barat dalam mendefinisikan realitas. Misalnya, pendekatan ontologi multipel (multiple ontologies) yang dipengaruhi post-strukturalisme mengakui bahwa dunia tidak hanya satu, melainkan terdiri dari banyak dunia yang saling bersilangan dan kadang-kadang bertentangan3.

7.3.       Pengaruh dalam Teori Sosial dan Humaniora

Dalam sosiologi, antropologi, dan ilmu budaya, post-strukturalisme telah menjadi fondasi metodologis bagi berbagai pendekatan analisis wacana, konstruksionisme sosial, dan teori budaya. Misalnya, pendekatan “dispositif” Foucault telah diadaptasi dalam analisis kebijakan publik, kesehatan, dan sistem pendidikan untuk mengungkap bagaimana kekuasaan dan pengetahuan beroperasi secara mikropolitis dalam membentuk realitas sosial4.

Di bidang seni dan estetika, ontologi post-strukturalis digunakan untuk menjelaskan bagaimana karya seni tidak lagi dibaca sebagai representasi dari realitas, melainkan sebagai ruang terbuka untuk artikulasi makna, ambiguitas, dan eksperimen simbolik5.

7.4.       Aplikasi dalam Era Digital dan Teknologi Informasi

Revolusi digital menghadirkan tantangan baru terhadap konsep realitas dan keberadaan. Dunia virtual, kecerdasan buatan, dan teknologi deepfake mengguncang batas antara yang nyata dan yang simulatif. Dalam konteks ini, pendekatan post-strukturalis, dengan penekanannya pada perbedaan, ketidakhadiran makna tetap, dan keberadaan yang tidak linear, menjadi sangat relevan untuk menganalisis realitas digital yang bersifat hiperreal, sebagaimana diungkapkan oleh Jean Baudrillard6.

Post-strukturalisme juga memberikan kerangka kritis untuk memahami bagaimana algoritma, big data, dan arsitektur media sosial mengonstruksi subjek digital—yakni individu yang dihasilkan dan dimediasi oleh logika komputasional dan struktur kuasa platform.

7.5.       Sumbangsih terhadap Etika dan Politik Pluralisme

Ontologi post-strukturalis juga memperkaya diskursus etika dan politik dengan membuka ruang bagi keberagaman eksistensial dan kebenaran minor. Dengan menolak fondasi tunggal dan narasi hegemonik, pendekatan ini memungkinkan perumusan etika situasional yang kontekstual, serta praktik politik berbasis afirmasi, resistensi, dan kreativitas.

Contohnya adalah gagasan Gilles Deleuze tentang micropolitics dan minoritarian becomings, yang memberikan kerangka untuk memahami transformasi sosial bukan dari pusat kekuasaan, tetapi dari pinggiran dan gerakan minoritas7. Ini menjadi sangat relevan dalam konteks gerakan sosial baru seperti feminisme interseksional, aktivisme disabilitas, dan gerakan ekologi radikal.


Footnotes

[1]                Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of “Sex” (New York: Routledge, 1993), 1–14.

[2]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 31–36.

[3]                Mario Blaser, Storytelling Globalization from the Chaco and Beyond (Durham: Duke University Press, 2010), 12–16.

[4]                Michel Foucault, Security, Territory, Population: Lectures at the Collège de France, 1977–78, ed. Michel Senellart, trans. Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 115–123.

[5]                Nicholas Mirzoeff, An Introduction to Visual Culture (New York: Routledge, 1999), 27–34.

[6]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.

[7]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, Kafka: Toward a Minor Literature, trans. Dana Polan (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986), 16–18.


8.           Kesimpulan

Ontologi post-strukturalis menandai sebuah titik balik penting dalam sejarah pemikiran filsafat kontemporer dengan menggeser fokus dari pencarian fondasi esensial keberadaan menuju pemahaman yang lebih dinamis, relasional, dan kontekstual terhadap realitas. Dengan membongkar asumsi metafisis klasik—seperti kesatuan subjek, kehadiran makna, dan esensi universal—post-strukturalisme membuka ruang bagi pendekatan ontologis yang menghargai perbedaan, ketaksaan, dan keterbukaan dalam pemaknaan dunia.

Pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Gilles Deleuze, Jean-François Lyotard, serta pemikir feminis seperti Julia Kristeva dan Luce Irigaray, telah menunjukkan bahwa keberadaan bukanlah sesuatu yang tetap dan absolut, melainkan hasil dari proses artikulatif dalam medan bahasa, diskursus, kekuasaan, dan tubuh1. Ontologi tidak lagi dipahami sebagai ilmu tentang “apa yang sungguh ada” secara objektif, tetapi sebagai refleksi atas bagaimana sesuatu bisa muncul sebagai “yang ada” dalam konteks sejarah, wacana, dan praktik tertentu2.

Post-strukturalisme juga membongkar konstruksi identitas-subjek sebagai pusat epistemologi dan ontologi Barat, dan menggantikannya dengan pandangan bahwa subjek selalu bersifat terbentuk, terdiferensiasi, dan terlibat dalam jaringan relasi sosial, budaya, dan simbolik3. Dalam kerangka ini, realitas tidak hadir sebagai entitas yang dapat ditangkap secara langsung, melainkan sebagai efek dari diferensiasi dan performativitas yang tak pernah final. Bahasa, dalam post-strukturalisme, tidak hanya menjadi alat ekspresi, tetapi penentu struktur realitas itu sendiri.

Meski pendekatan ini menghadapi berbagai kritik—terutama dari kalangan realis, marxis, dan pemikir normatif—post-strukturalisme tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman, mulai dari krisis representasi, dominasi narasi hegemonik, hingga tantangan baru dalam era digital dan globalisasi. Justru dalam ketegangan itulah letak produktivitas intelektual post-strukturalisme: ia tidak menawarkan jawaban final, tetapi menyediakan perangkat konseptual untuk mempertanyakan, membongkar, dan membayangkan ulang struktur keberadaan dan cara kita memahaminya.

Dengan demikian, post-strukturalisme dalam studi ontologi bukanlah akhir dari pencarian filsafat tentang realitas, melainkan sebuah undangan untuk terus menafsirkan kembali dunia secara radikal, etis, dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru4. Ia tidak menjanjikan kepastian ontologis, tetapi memberikan kepekaan filosofis untuk menyelami kompleksitas eksistensi yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–73.

[2]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 131–135.

[3]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.

[4]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 21–24.


Daftar Pustaka

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. Glaser, Trans.). University of Michigan Press. (Original work published 1981)

Blaser, M. (2010). Storytelling globalization from the Chaco and beyond. Duke University Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Butler, J. (1993). Bodies that matter: On the discursive limits of “sex”. Routledge.

Critchley, S. (2001). Continental philosophy: A very short introduction. Oxford University Press.

Deleuze, G. (1994). Difference and repetition (P. Patton, Trans.). Columbia University Press. (Original work published 1968)

Deleuze, G., & Guattari, F. (1986). Kafka: Toward a minor literature (D. Polan, Trans.). University of Minnesota Press.

Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia (B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Eagleton, T. (1996). The illusions of postmodernism. Blackwell.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1966)

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Foucault, M. (2007). Security, territory, population: Lectures at the Collège de France, 1977–78 (M. Senellart, Ed.; G. Burchell, Trans.). Palgrave Macmillan.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Fraser, N., & Butler, J. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.

Kristeva, J. (1982). Powers of horror: An essay on abjection (L. S. Roudiez, Trans.). Columbia University Press.

Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology (C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay on the necessity of contingency (R. Brassier, Trans.). Continuum.

Mirzoeff, N. (1999). An introduction to visual culture. Routledge.

Norris, C. (1990). What's wrong with postmodernism: Critical theory and the ends of philosophy. Johns Hopkins University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Saussure, F. de. (1966). Course in general linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; W. Baskin, Trans.). McGraw-Hill. (Original work published 1916)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar