Post-Strukturalisme
Melampaui Struktur dalam Pencarian Makna dan Realitas
Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif kontribusi
post-strukturalisme dalam ranah ontologi filsafat, dengan menyoroti pergeseran
paradigma dari pendekatan esensialis dan representasional menuju pemahaman
realitas yang bersifat diferensial, relasional, dan terbuka.
Post-strukturalisme, yang muncul sebagai kritik atas strukturalisme dan
metafisika tradisional, menolak konsep keberadaan sebagai entitas tetap dan
menggantinya dengan pendekatan yang menekankan peran bahasa, wacana, dan
kekuasaan dalam membentuk realitas. Melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti
Jacques Derrida, Michel Foucault, Gilles Deleuze, dan Jean-François Lyotard,
artikel ini menguraikan bagaimana realitas, subjek, dan makna tidak bersifat
absolut, melainkan terproduksi secara historis, performatif, dan diskursif.
Selain mengkaji fondasi dan implikasi ontologis dari pendekatan ini, artikel
juga menelaah kritik-kritik yang diarahkan terhadap relativisme dan ketiadaan
landasan normatif dalam post-strukturalisme. Di bagian akhir, dibahas pula
relevansi kontemporer pendekatan ini dalam kajian identitas, politik, teknologi
digital, dan ekologi. Artikel ini bertujuan memberikan kontribusi terhadap
pengembangan studi ontologi yang lebih kritis, inklusif, dan adaptif terhadap
kompleksitas dunia kontemporer.
Kata Kunci: Post-strukturalisme;
ontologi; keberadaan; dekonstruksi; diskursus; subjek; makna; realitas;
Foucault; Derrida; Deleuze; Lyotard.
PEMBAHASAN
Post-Strukturalisme dalam Ontologi Filsafat
1.
Pendahuluan
Perkembangan
filsafat abad ke-20 menyaksikan kemunculan satu aliran pemikiran yang radikal
dalam membongkar asumsi-asumsi dasar tentang makna, identitas, dan
realitas—yakni post-strukturalisme. Berakar
dari ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme yang terlalu menekankan
keteraturan dan stabilitas sistem tanda, post-strukturalisme tampil sebagai
respons kritis yang meruntuhkan klaim akan kepastian makna dan keteraturan
objektif dalam bahasa, wacana, dan realitas ontologis. Para pemikir
post-strukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Gilles Deleuze berusaha
menunjukkan bahwa struktur-struktur yang dianggap mapan justru menyimpan
ketidakkonsistenan dan keretakan yang inheren dalam dirinya sendiri, sehingga
tidak mampu menopang konsep ontologi yang koheren dan tetap.
Secara historis,
post-strukturalisme muncul di Prancis pada dekade 1960-an sebagai kelanjutan
sekaligus gugatan atas proyek strukturalisme yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh
seperti Ferdinand de Saussure, Claude Lévi-Strauss, dan Roland Barthes.
Sementara strukturalisme percaya bahwa realitas dapat dianalisis melalui sistem
tanda yang bersifat objektif dan stabil, post-strukturalisme justru menolak ide
tentang struktur yang tetap dan universal, serta memperlihatkan bagaimana makna
terus-menerus ditangguhkan dalam jaringan relasi yang tak berujung1.
Dalam konteks
filsafat ontologi, pendekatan post-strukturalis membawa implikasi mendalam.
Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan
(being), tidak lagi dipahami dalam kerangka esensialisme atau identitas yang
tetap, melainkan sebagai medan terbuka di mana makna dan realitas bersifat
cair, terfragmentasi, dan terkonstitusi melalui praktik diskursif dan
relasional2. Dengan menolak fondasi-fondasi metafisika tradisional,
post-strukturalisme mengajak untuk merefleksikan kembali bagaimana “yang ada”
tidak sekadar hadir secara obyektif, melainkan dibentuk oleh kekuasaan, bahasa,
dan sejarah3.
Urgensi pembahasan
tentang post-strukturalisme dalam ranah ontologi menjadi semakin relevan dalam
lanskap intelektual kontemporer, terutama dalam konteks krisis epistemik,
dekonstruksi identitas, serta pergeseran paradigma dalam ilmu sosial dan
humaniora. Pemikiran post-strukturalis tidak hanya menyentuh ranah teoritis,
tetapi juga mengarahkan cara kita memahami subjek, masyarakat, dan dunia secara
lebih kritis dan terbuka terhadap pluralitas makna. Oleh karena itu, artikel
ini akan mengeksplorasi secara sistematis fondasi filosofis, tokoh-tokoh utama,
serta kontribusi post-strukturalisme dalam menata ulang diskursus ontologi,
dengan harapan membuka cakrawala baru dalam memahami realitas yang kompleks dan
tidak tereduksi dalam satu narasi tunggal.
Footnotes
[1]
Jonathan D. Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 86–87.
[2]
Christopher Norris, What's Wrong with Postmodernism: Critical
Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1990), 54.
[3]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 27–33.
2.
Asal-usul
dan Fondasi Teoritis Post-Strukturalisme
Post-strukturalisme
lahir dari dinamika intelektual yang berkembang di Prancis pada pertengahan
abad ke-20, terutama sebagai tanggapan kritis terhadap strukturalisme yang saat
itu mendominasi berbagai disiplin ilmu, termasuk antropologi, linguistik,
sastra, dan filsafat. Para pemikir post-strukturalis tidak menolak seluruh
warisan strukturalisme, tetapi justru melakukan pembacaan radikal terhadap
asumsi-asumsi mendasarnya, khususnya dalam hal stabilitas struktur, makna
tetap, dan sistem simbolik yang dianggap objektif.
Strukturalisme
sendiri berakar pada linguistik Ferdinand de Saussure yang menekankan bahwa
bahasa adalah sistem tanda yang terdiri dari relasi arbitrer antara “penanda”
(signifier) dan “petanda” (signified), dan makna tidak inheren pada
kata-kata, melainkan muncul dari perbedaan antara tanda-tanda dalam sistem
tersebut1. Gagasan ini kemudian diadaptasi oleh Claude Lévi-Strauss
dalam antropologi struktural untuk menjelaskan mitos dan budaya sebagai
struktur mental universal yang tak berubah2. Roland Barthes dan
tokoh lain memperluas pendekatan struktural ini dalam studi sastra dan
semiotika, mengasumsikan bahwa struktur teks dan budaya dapat didekonstruksi
secara sistematis.
Namun, pemikir
seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Gilles Deleuze melihat bahwa
struktur yang tampak stabil justru menyimpan paradoks dan ketidakkonsistenan
internal. Derrida, misalnya, dalam konsep différance, menyatakan bahwa makna
tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda dan bergeser dalam
jaringan penandaan yang tak berujung3. Ia menolak gagasan adanya “pusat”
atau “logos” yang menjadi sumber makna, dan membongkar klaim metafisika
kehadiran yang mendasari pemikiran Barat sejak Plato4.
Foucault, di sisi
lain, menggeser perhatian dari struktur universal ke praktik diskursif yang
konkret dalam sejarah. Ia menolak ide tentang subjek yang stabil dan rasional,
dan menggantikannya dengan subjek yang terbentuk melalui relasi kekuasaan dan
wacana5. Melalui pendekatan arkeologi dan genealogi, Foucault
menunjukkan bahwa pengetahuan dan kebenaran tidak berdiri netral, melainkan
terikat pada konstruksi historis yang ditentukan oleh institusi, norma, dan
mekanisme kontrol sosial6.
Gilles Deleuze
memperkaya fondasi teoritis post-strukturalisme dengan menolak logika identitas
dan representasi. Ia mengembangkan filsafat perbedaan (difference) dan multiplicity
(keragaman jamak), serta menggagas konsep rhizome (rimpang) sebagai metafora
jaringan pengetahuan yang non-linear dan anti-hierarkis7. Bersama
Félix Guattari, ia mengkritik konsep struktur tetap dalam filsafat dan
menggantinya dengan model spasial yang fleksibel dan terbuka.
Akar filosofis
post-strukturalisme juga dapat ditelusuri dari pengaruh Nietzsche, Heidegger,
dan tradisi fenomenologi. Dari Nietzsche, mereka mewarisi kritik terhadap
kebenaran sebagai ilusi metafisik dan kehendak untuk berkuasa sebagai prinsip
ontologis. Dari Heidegger, mereka menyerap kritik terhadap ontologi tradisional
dan gagasan tentang menyingkap (aletheia) sebagai cara
keberadaan terungkap dalam dunia. Fenomenologi Husserl dan Merleau-Ponty turut
memberi inspirasi dalam menekankan pengalaman dan persepsi sebagai dasar
pembentukan realitas subjektif8.
Dengan demikian,
fondasi teoritis post-strukturalisme dibangun atas gugatan terhadap fondasi
metafisika klasik yang menekankan esensi, pusat, dan kehadiran. Ia menggantinya
dengan filsafat yang menekankan keterbukaan, ketaksaan, dan relasionalitas
dalam memahami realitas dan eksistensi. Hal ini menjadi dasar bagi pendekatan
ontologi post-strukturalis yang tidak mencari “yang ada” sebagai entitas tetap,
melainkan sebagai efek dari permainan tanda, kekuasaan, dan perbedaan yang
terus berlangsung.
Footnotes
[1]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill,
1966), 65–70.
[2]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire
Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 210–213.
[3]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 11–12.
[4]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 49–65.
[5]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 24–30.
[6]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 131–135.
[7]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 3–28.
[8]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 42–47.
3.
Ontologi
dalam Perspektif Post-Strukturalis
Dalam kerangka
post-strukturalis, ontologi tidak lagi dipahami sebagai upaya menemukan esensi
atau dasar universal yang stabil dari realitas, tetapi sebagai medan dinamis di
mana “yang ada” (being) senantiasa dibentuk dan diartikulasikan melalui
bahasa, diskursus, dan relasi kuasa. Post-strukturalisme menolak ontologi
metafisis yang mendasarkan realitas pada entitas tetap, kehadiran penuh, atau
kebenaran transenden. Sebaliknya, pendekatan ini memandang realitas sebagai
terbuka, cair, dan terus-menerus dikonstruksi melalui perbedaan, penundaan
makna, serta permainan tanda dan kekuasaan.
Salah satu
kontribusi penting dari post-strukturalisme terhadap ontologi adalah penolakan
terhadap esensialisme. Jacques Derrida, misalnya, menunjukkan
bahwa tidak ada “makna murni” atau “substansi ontologis” yang
dapat dihadirkan secara final. Melalui konsep différance, ia menekankan bahwa
makna selalu ditangguhkan dan hanya muncul melalui relasi diferensial
antar-tanda dalam sistem bahasa1. Oleh karena itu, realitas pun
tidak pernah hadir secara utuh, tetapi selalu dikonstruksi melalui proses tak
berujung yang melibatkan penundaan dan penggeseran makna2.
Dalam pandangan ini,
realitas
bukanlah entitas otonom, melainkan hasil efek diskursif. Michel
Foucault menekankan bahwa objek, subjek, dan bentuk-bentuk keberadaan bukanlah
sesuatu yang ada sebelum bahasa dan kuasa, melainkan diciptakan melalui praktik
diskursif historis. Foucault menyatakan bahwa “diskursus bukan hanya sekadar
mencerminkan realitas, tetapi juga membentuk realitas yang dapat dipikirkan dan
diatur”3. Ontologi post-strukturalis dengan demikian bersifat produktif
dan performatif, menciptakan realitas melalui mekanisme wacana
dan institusi sosial.
Lebih jauh,
pemikiran Gilles Deleuze dan Félix Guattari menawarkan model ontologi yang
radikal melalui konsep rhizome dan multiplicity.
Mereka menolak logika hierarkis dan sistem representasi yang membatasi makna
pada satu pusat atau asal-usul. Sebagai gantinya, mereka mengajukan gagasan
tentang realitas sebagai jaringan keterhubungan yang non-linier dan heterogen,
di mana entitas muncul melalui interaksi spasial dan temporal yang kompleks4.
Ontologi dalam kerangka ini bukan tentang “apa yang ada” secara tetap,
melainkan tentang proses menjadi (becoming)
yang tak berujung dan tidak dapat direduksi pada kategori-kategori tetap5.
Post-strukturalisme
juga menolak gagasan identitas tetap dalam subjek ontologis.
Subjek bukanlah entitas otonom yang mendahului pengalaman, melainkan hasil dari
konstruksi diskursif yang terus berubah. Seperti dikemukakan oleh Judith Butler
dalam pengembangan pemikiran post-strukturalis, identitas adalah hasil dari
performativitas berulang yang diproduksi dan dipertahankan oleh norma-norma
sosial dan budaya6. Dengan demikian, ontologi post-strukturalis
menyatu dengan epistemologi dan politik dalam melihat keberadaan sebagai
sesuatu yang terus dikonstruksi dan dinegosiasikan secara sosial.
Keseluruhan
pendekatan ini memunculkan pandangan ontologi yang bersifat anti-foundasional,
relasional, dan kontingen. Tidak ada dasar tunggal atau prinsip
absolut yang menopang “yang ada”, melainkan hanya konfigurasi relasional
yang selalu berubah dalam konteks historis, linguistik, dan sosial tertentu.
Hal ini membuka ruang bagi pluralitas ontologis dan penolakan terhadap dominasi
narasi tunggal tentang realitas.
Dengan demikian,
post-strukturalisme menawarkan sebuah ontologi yang bukan hanya bersifat
deskriptif, tetapi juga kritis dan transformatif—yakni
sebuah pendekatan yang mempertanyakan struktur-struktur yang membentuk realitas
dan membuka kemungkinan untuk berpikir tentang keberadaan di luar batas-batas
representasi tradisional. Pendekatan ini tidak menyarankan bahwa “yang ada”
tidak ada, tetapi bahwa keberadaan itu tidak pernah final, tidak pernah
tunggal, dan tidak pernah bebas dari medan diskursif yang membentuknya.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 11–13.
[2]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 62–71.
[3]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 54–55.
[4]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 3–25.
[5]
Gilles Deleuze, Difference and Repetition, trans. Paul Patton
(New York: Columbia University Press, 1994), 35–38.
[6]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 22–25.
4.
Tokoh-tokoh
Kunci dan Kontribusi Ontologisnya
Post-strukturalisme
tidak dapat dilepaskan dari kontribusi sejumlah pemikir utama yang secara
radikal menantang dan mereformulasi pengertian tradisional tentang realitas dan
keberadaan. Melalui pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat,
linguistik, psikoanalisis, dan kritik budaya, para pemikir ini membuka
cakrawala baru dalam pemahaman ontologis yang bersifat non-esensial,
performatif, dan relasional.
4.1.
Jacques Derrida:
Dekonstruksi dan Ketidakhadiran Makna Tetap
Derrida adalah tokoh
sentral dalam post-strukturalisme yang memperkenalkan konsep deconstruction,
suatu metode membaca teks yang membongkar oposisi biner yang selama ini
menopang struktur pemikiran Barat—seperti hadir/absen, pusat/tepi,
identitas/perbedaan1. Dalam konteks ontologi,
Derrida menunjukkan bahwa keberadaan tidak pernah hadir secara utuh (presence),
melainkan selalu berada dalam proses différance—yakni perbedaan
sekaligus penundaan makna2. Ontologi tidak lagi
dipahami sebagai penegasan terhadap “ada”, tetapi sebagai pembacaan terhadap
jejak (trace)
dari yang tidak hadir, yang selalu membayang di balik struktur yang tampak
stabil3.
4.2.
Michel Foucault:
Diskursus, Kekuasaan, dan Produksi Subjek
Kontribusi Foucault
terhadap ontologi terletak pada pendekatannya terhadap produksi subjek dan
objek melalui diskursus dan kekuasaan. Ia menolak pemahaman ontologis
tradisional yang menganggap subjek sebagai entitas transendental dan otonom.
Dalam karya seperti The Order of Things dan Discipline
and Punish, Foucault menunjukkan bahwa subjek merupakan hasil dari
formasi diskursif yang historis dan spesifik4.
Keberadaan bukanlah entitas yang tetap, tetapi hasil dari praktik sosial,
institusional, dan epistemik yang membentuk kemungkinan untuk berpikir dan
menjadi5. Dengan demikian, ontologi Foucault bersifat
genealogis dan historis—memahami “yang ada” melalui konstruksi wacana dan
relasi kuasa.
4.3.
Gilles Deleuze:
Perbedaan, Multiplicitas, dan Proses Menjadi
Gilles Deleuze
menawarkan kritik mendalam terhadap ontologi tradisional yang berfokus pada
identitas, representasi, dan kesatuan. Dalam karyanya Difference
and Repetition, Deleuze mengembangkan ontologi berbasis difference
in itself—yakni perbedaan yang tidak mengandaikan identitas sebagai
dasar6. Bersama Félix Guattari, Deleuze memperkenalkan
konsep rhizome
sebagai metafora untuk realitas yang tidak terstruktur secara hierarkis,
melainkan tersebar, berjejaring, dan bergerak bebas7.
Ontologi dalam pemikiran Deleuze bersifat dinamis dan berorientasi pada becoming
(menjadi), bukan being (ada) yang statis. “Yang
ada” adalah fluks kreatif yang terus-menerus membentuk dan mengurai dirinya
sendiri.
4.4.
Jean-François
Lyotard: Krisis Metanarasi dan Pluralitas Realitas
Lyotard mengemukakan
bahwa zaman pascamodern ditandai oleh “ketidakpercayaan terhadap metanarasi”—yaitu
narasi besar yang selama ini menopang klaim kebenaran dan struktur ontologis
modernitas8. Dalam The
Postmodern Condition, ia menunjukkan bahwa realitas kontemporer
bersifat fragmentaris dan tersusun dari narasi-narasi kecil yang heterogen.
Ontologi Lyotard dengan demikian bersifat anti-universalistik, menolak
satu kebenaran tunggal, dan membuka ruang bagi pluralitas eksistensi yang tidak
selalu dapat direduksi pada kerangka logis-metafisik tradisional9.
4.5.
Julia Kristeva dan
Luce Irigaray: Subjek, Tubuh, dan Ontologi Feminis
Kontribusi Kristeva
terhadap ontologi post-strukturalis terlihat dalam pemahamannya tentang semiotik
dan abject.
Ia menyatakan bahwa subjek terbentuk melalui proses simbolik sekaligus
penyingkiran terhadap yang tidak dapat dilogiskan, yaitu dimensi semiotik yang
berkaitan dengan tubuh, hasrat, dan bahasa pra-simbolik10.
Sementara Irigaray mengkritik filsafat Barat yang selalu menyingkirkan
keberadaan feminin dari ranah ontologis. Ia menyerukan pembentukan ontologi
baru yang mengakui perbedaan seksual dan keberadaan perempuan sebagai subjek
yang otonom, bukan sebagai “yang lain” dari maskulinitas11.
Tokoh-tokoh ini,
meski memiliki pendekatan dan terminologi yang berbeda, bersama-sama
berkontribusi dalam merombak fondasi ontologi modern. Mereka membongkar klaim
tentang keberadaan yang tetap dan esensial, serta menggantinya dengan
pendekatan yang menekankan relasionalitas, perbedaan, dan prosesualitas dalam
memahami realitas. Ontologi post-strukturalis dengan demikian bukan hanya suatu
proyek teoritis, tetapi juga suatu upaya pembebasan dari struktur representasi
yang membatasi kemungkinan eksistensial.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.
[2]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9–15.
[3]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–73.
[4]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1994), xxi–xxiv.
[5]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 194–202.
[6]
Gilles Deleuze, Difference and Repetition, trans. Paul Patton
(New York: Columbia University Press, 1994), 28–35.
[7]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 3–25.
[8]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[9]
Ibid., 60–67.
[10]
Julia Kristeva, Powers of Horror: An Essay on Abjection,
trans. Leon S. Roudiez (New York: Columbia University Press, 1982), 1–31.
[11]
Luce Irigaray, This Sex Which Is Not One, trans. Catherine
Porter and Carolyn Burke (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 23–30.
5.
Realitas,
Subjek, dan Bahasa dalam Ontologi Post-Strukturalisme
Post-strukturalisme
menawarkan kerangka ontologis yang berbeda secara radikal dari
pendekatan-pendekatan metafisis sebelumnya, khususnya dalam cara ia memahami
tiga komponen kunci: realitas, subjek,
dan bahasa.
Ketiganya dipandang bukan sebagai entitas yang tetap, stabil, dan otonom,
melainkan sebagai konstruksi dinamis yang terbentuk melalui relasi kuasa,
praktik diskursif, dan operasi tanda.
5.1.
Realitas sebagai
Konstruksi Diskursif
Dalam
post-strukturalisme, realitas tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat
objektif dan hadir secara independen dari bahasa. Realitas dianggap terbentuk
melalui jaringan diskursus dan tanda, di mana “yang nyata” merupakan
hasil efek dari permainan representasi dan interpretasi yang tak pernah final.
Foucault dengan tegas menyatakan bahwa “kebenaran” dan “realitas”
adalah produk dari sistem pengetahuan dan kekuasaan yang terartikulasikan
secara historis1. Realitas dalam konteks
ini bukanlah substratum metafisik yang universal, melainkan efek
dari struktur bahasa dan wacana yang berlaku dalam suatu
periode tertentu.
5.2.
Subjek sebagai Efek
Wacana
Post-strukturalisme
juga menggeser pemahaman tradisional tentang subjek. Jika dalam filsafat modern
subjek dianggap sebagai pusat kesadaran dan asal-usul tindakan, maka dalam
kerangka post-strukturalis subjek dipahami sebagai hasil
efek dari struktur bahasa dan praktik diskursif. Foucault,
misalnya, memandang bahwa subjek bukan entitas otonom, melainkan produk dari
teknik-teknik kekuasaan seperti disiplin, normalisasi, dan klasifikasi sosial2.
Judith Butler kemudian memperluas pendekatan ini dalam konteks gender, dengan
menekankan bahwa identitas subjek bukanlah sesuatu yang dimiliki, tetapi
sesuatu yang dilakukan secara berulang melalui proses performatif3.
Subjektivitas dalam
ontologi post-strukturalis bersifat kontingen dan terpecah, selalu
terbentuk melalui medan relasional antara norma-norma sosial, bahasa,
institusi, dan praktik historis. Dengan demikian, tidak ada “inti”
esensial dalam subjek; identitas hanya muncul sebagai konfigurasi temporal yang
dibentuk oleh medan simbolik tertentu.
5.3.
Bahasa sebagai Medan
Ontologis
Bahasa memegang
peranan sentral dalam pemikiran post-strukturalis, bukan hanya sebagai alat
komunikasi, melainkan sebagai medan di mana realitas dan keberadaan dibentuk.
Jacques Derrida menyatakan bahwa tidak ada apa pun “di luar teks” (il n’y a
pas de hors-texte)—sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa semua
realitas dan pengalaman dipahami dan dikonstruksi melalui sistem tanda dan
penandaan4. Bahasa tidak merujuk
secara langsung pada dunia yang tetap, melainkan membentuk makna melalui
perbedaan di antara tanda-tanda (différance), yang tidak pernah mengarah
pada kehadiran makna yang utuh dan pasti5.
Dalam kerangka ini,
bahasa menjadi faktor ontologis, karena ia
bukan hanya merepresentasikan dunia, tetapi menciptakan cara di mana dunia
dapat dipahami dan dihidupi. Oleh karena itu, segala bentuk keberadaan tidak
dapat dilepaskan dari struktur bahasa yang mendasarinya—baik dalam bentuk
narasi, kategori, maupun sistem simbolik.
5.4.
Interkoneksi antara
Realitas, Subjek, dan Bahasa
Post-strukturalisme
menolak pembagian tajam antara realitas luar, subjek yang mengenalinya, dan
bahasa yang merepresentasikannya. Ketiganya dipahami sebagai saling membentuk
secara simultan. Realitas tidak “ada” sebelum atau di luar bahasa,
subjek tidak mendahului bahasa, dan bahasa tidak hanya merepresentasikan
sesuatu yang sudah ada. Sebaliknya, ketiganya membentuk jaringan
artikulasi yang saling melahirkan dalam ruang sosial dan
historis.
Dengan demikian,
dalam ontologi post-strukturalis, keberadaan (being) tidak bersifat tetap,
esensial, atau universal, tetapi merupakan produk dari relasi-relasi simbolik, diskursif,
dan material yang terus bergerak. Ontologi tidak lagi mencari “apa
yang ada” secara definitif, tetapi mengungkap bagaimana sesuatu dapat
dianggap “ada” dalam konteks tertentu, melalui operasi tanda, wacana,
dan kekuasaan.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–133.
[2]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 194–202.
[3]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.
[4]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.
[5]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–20.
6.
Kritik
terhadap Ontologi Post-Strukturalis
Meskipun
post-strukturalisme telah memberikan kontribusi penting dalam mendekonstruksi
asumsi-asumsi metafisika tradisional dan membuka jalan bagi pendekatan baru
dalam memahami realitas, subjek, dan makna, pendekatan ini tidak luput dari
kritik. Kritik terhadap ontologi post-strukturalis datang dari berbagai
spektrum pemikiran, termasuk kaum realis, marxis, feminis, dan bahkan dari
dalam tradisi post-strukturalis itu sendiri. Kritik-kritik ini berfokus pada
tuduhan relativisme makna, dekonstruksi
yang mandek, pengabaian terhadap realitas material,
serta ketiadaan
dasar normatif untuk aksi politik.
6.1.
Tuduhan Relativisme
dan Nihilisme Makna
Salah satu kritik
paling umum terhadap ontologi post-strukturalis adalah kecenderungannya menuju relativisme
ekstrem. Karena post-strukturalisme menolak adanya makna tetap
dan realitas objektif, banyak pihak menuduh bahwa pendekatan ini jatuh pada nihilisme
epistemik—yakni penolakan terhadap kemungkinan membedakan
antara klaim-klaim yang valid dan tidak valid tentang realitas1.
Richard Rorty, meskipun bersimpati terhadap post-strukturalisme, mengingatkan
bahwa pembongkaran terhadap fondasi-fondasi kebenaran harus disertai dengan
tanggung jawab epistemik untuk tetap bisa berdialog secara kritis dalam ruang
publik2.
Selain itu, kritik
juga menyasar pada gagasan Derrida tentang différance, yang dianggap
memunculkan ketidaktentuan makna yang absolut. Jika makna selalu ditangguhkan
dan tak pernah hadir secara final, bagaimana mungkin kita membangun kesepakatan
atau melakukan tindakan etis dan politis yang mendalam?
6.2.
Pengabaian terhadap
Realitas Material
Kaum materialis
dan marxis menyatakan bahwa post-strukturalisme terlalu fokus
pada bahasa, diskursus, dan simbol, hingga mengabaikan kondisi
material konkret yang turut menentukan struktur kehidupan
sosial. Terry Eagleton, seorang kritikus marxis terkemuka, menuduh bahwa
post-strukturalisme lebih mementingkan permainan teks daripada penderitaan riil
manusia dalam sistem kapitalisme3. Ia menekankan bahwa
struktur ekonomi dan relasi produksi tidak bisa direduksi menjadi sekadar
konstruksi diskursif.
Kritik ini juga
digaungkan oleh realisme spekulatif yang muncul
pada awal abad ke-21, terutama oleh Quentin Meillassoux dan Graham Harman.
Mereka menolak “korrelasionisme”—yakni anggapan
bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui mediasi subjek atau bahasa—dan
berupaya mengembalikan otonomi realitas di luar relasi epistemik manusia4.
6.3.
Ketiadaan Dasar
Normatif dan Etis
Ontologi
post-strukturalis juga dikritik karena kurangnya fondasi normatif
untuk membangun etika dan politik. Jika segala sesuatu bersifat kontingen dan
relatif terhadap struktur diskursif, bagaimana kita dapat membenarkan suatu
tindakan politik sebagai adil atau tidak adil? Nancy Fraser, dalam polemiknya
dengan Judith Butler, mempertanyakan apakah teori performativitas dan
dekonstruksi cukup mampu menghadirkan strategi politis yang konkret bagi
gerakan keadilan sosial5.
Kritik ini menyoroti
bahwa dekonstruksi terhadap identitas, kebenaran, dan makna harus diimbangi
dengan usaha konstruktif untuk membangun solidaritas dan aksi kolektif, bukan
hanya menganalisis atau membongkar struktur.
6.4.
Kritik Internal:
Ketegangan dalam Post-Strukturalisme Sendiri
Menariknya, kritik
terhadap post-strukturalisme juga muncul dari dalam tradisi itu sendiri.
Beberapa pemikir menyoroti bahwa ada ketegangan antara keterbukaan ontologis
yang ditawarkan post-strukturalisme dan kebutuhan akan artikulasi teoretis yang memadai.
Misalnya, meskipun Deleuze menolak struktur tetap dan logika representasi, ia
tetap mengembangkan sistem konseptual yang kompleks dan struktural (seperti assemblage,
rhizome,
becoming)—yang
dalam dirinya sendiri bisa dianggap sebagai bentuk “struktur” baru yang
bersaing6.
Kesimpulan Sementara atas Kritik
Kritik-kritik
terhadap ontologi post-strukturalis menunjukkan tantangan epistemik dan etis
yang dihadapi ketika kita berusaha memahami realitas sebagai medan yang
terbuka, tak stabil, dan selalu dikonstruksi. Kendati demikian, banyak pemikir
post-strukturalis justru melihat kritik ini sebagai peluang untuk merefleksikan
ulang batas-batas pemikiran dan untuk terus mengembangkan
pemahaman ontologis yang lebih inklusif, pluralistik, dan kontekstual.
Post-strukturalisme bukanlah sistem tertutup, melainkan proyek yang terus
bergerak dalam ketegangan antara pembongkaran dan penciptaan makna baru.
Footnotes
[1]
Christopher Norris, What's Wrong with Postmodernism: Critical
Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1990), 97–103.
[2]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 377–389.
[3]
Terry Eagleton, The Illusions of Postmodernism (Oxford:
Blackwell, 1996), 41–43.
[4]
Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of
Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 5–12.
[5]
Nancy Fraser and Judith Butler, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
19–28.
[6]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 23–25.
7.
Relevansi
Kontemporer dan Aplikasi Post-Strukturalisme dalam Studi Ontologi
Di tengah
transformasi intelektual, sosial, dan teknologi pada abad ke-21, pendekatan
ontologis post-strukturalis tetap menunjukkan relevansi dan daya hidup yang
tinggi. Kontribusi utamanya terletak pada kemampuannya untuk menanggapi
kompleksitas dunia kontemporer yang ditandai oleh keragaman, ketidakstabilan
makna, serta disrupsi terhadap otoritas pengetahuan dan struktur sosial.
Post-strukturalisme membuka jalan bagi reinterpretasi realitas secara lebih
pluralistik, inklusif, dan kontekstual, serta memungkinkan pengembangan teori
ontologi yang responsif terhadap dinamika globalisasi, digitalisasi, dan krisis
ekologi.
7.1.
Kajian Identitas dan
Subjektivitas di Era Postmodern
Post-strukturalisme
telah memainkan peran penting dalam mengembangkan pemahaman baru tentang identitas.
Dalam konteks budaya kontemporer yang sarat dengan migrasi, hibriditas, dan interseksionalitas,
pendekatan ontologi yang menolak esensialisme menjadi sangat relevan. Teori
performativitas dari Judith Butler, misalnya, digunakan secara luas dalam studi
gender, queer theory, dan kajian budaya untuk menunjukkan bahwa identitas bukanlah
sesuatu yang diberikan secara alamiah, melainkan dikonstruksi secara sosial
melalui praktik diskursif dan performatif1.
Hal ini berdampak
pada pendekatan ontologi dalam filsafat kontemporer: subjek bukan entitas
tunggal dan koheren, melainkan entitas yang selalu berada dalam proses menjadi,
yang terpecah dan direstrukturisasi melalui bahasa, wacana, dan teknologi
sosial.
7.2.
Kritik terhadap
Narasi Besar dalam Politik dan Ilmu Pengetahuan
Jean-François
Lyotard dalam The Postmodern Condition
mengidentifikasi krisis legitimasi dalam ilmu pengetahuan modern, terutama
terhadap apa yang ia sebut sebagai “metanarasi”—narasi besar yang
mengklaim kebenaran universal dan rasionalitas tunggal2.
Ontologi post-strukturalis, dalam hal ini, membantu membongkar dominasi logika
modernisme dalam berbagai ranah, dari pendidikan hingga politik, dan
memungkinkan munculnya berbagai bentuk pengetahuan yang bersifat lokal,
kontekstual, dan marginal.
Konsep ini sangat
berguna dalam kajian postkolonial dan dekolonial yang mengkritik dominasi
epistemologi Barat dalam mendefinisikan realitas. Misalnya, pendekatan ontologi
multipel (multiple ontologies) yang dipengaruhi post-strukturalisme mengakui
bahwa dunia tidak hanya satu, melainkan terdiri dari banyak dunia yang saling
bersilangan dan kadang-kadang bertentangan3.
7.3.
Pengaruh dalam Teori
Sosial dan Humaniora
Dalam sosiologi,
antropologi, dan ilmu budaya, post-strukturalisme telah menjadi fondasi
metodologis bagi berbagai pendekatan analisis wacana, konstruksionisme sosial,
dan teori budaya. Misalnya, pendekatan “dispositif” Foucault telah
diadaptasi dalam analisis kebijakan publik, kesehatan, dan sistem pendidikan
untuk mengungkap bagaimana kekuasaan dan pengetahuan beroperasi secara
mikropolitis dalam membentuk realitas sosial4.
Di bidang seni dan
estetika, ontologi post-strukturalis digunakan untuk menjelaskan bagaimana
karya seni tidak lagi dibaca sebagai representasi dari realitas, melainkan
sebagai ruang terbuka untuk artikulasi makna, ambiguitas, dan eksperimen
simbolik5.
7.4.
Aplikasi dalam Era
Digital dan Teknologi Informasi
Revolusi digital
menghadirkan tantangan baru terhadap konsep realitas dan keberadaan. Dunia
virtual, kecerdasan buatan, dan teknologi deepfake mengguncang batas antara
yang nyata dan yang simulatif. Dalam konteks ini, pendekatan post-strukturalis,
dengan penekanannya pada perbedaan, ketidakhadiran makna tetap, dan keberadaan
yang tidak linear, menjadi sangat relevan untuk menganalisis realitas digital
yang bersifat hiperreal, sebagaimana
diungkapkan oleh Jean Baudrillard6.
Post-strukturalisme
juga memberikan kerangka kritis untuk memahami bagaimana algoritma, big data,
dan arsitektur media sosial mengonstruksi subjek digital—yakni individu yang
dihasilkan dan dimediasi oleh logika komputasional dan struktur kuasa platform.
7.5.
Sumbangsih terhadap
Etika dan Politik Pluralisme
Ontologi
post-strukturalis juga memperkaya diskursus etika dan politik dengan membuka
ruang bagi keberagaman eksistensial dan kebenaran minor.
Dengan menolak fondasi tunggal dan narasi hegemonik, pendekatan ini
memungkinkan perumusan etika situasional yang kontekstual, serta praktik
politik berbasis afirmasi, resistensi, dan kreativitas.
Contohnya adalah
gagasan Gilles Deleuze tentang micropolitics dan minoritarian
becomings, yang memberikan kerangka untuk memahami transformasi
sosial bukan dari pusat kekuasaan, tetapi dari pinggiran dan gerakan minoritas7.
Ini menjadi sangat relevan dalam konteks gerakan sosial baru seperti feminisme
interseksional, aktivisme disabilitas, dan gerakan ekologi radikal.
Footnotes
[1]
Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of
“Sex” (New York: Routledge, 1993), 1–14.
[2]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University
of Minnesota Press, 1984), 31–36.
[3]
Mario Blaser, Storytelling Globalization from the Chaco and Beyond
(Durham: Duke University Press, 2010), 12–16.
[4]
Michel Foucault, Security, Territory, Population: Lectures at the
Collège de France, 1977–78, ed. Michel Senellart, trans. Graham Burchell
(New York: Palgrave Macmillan, 2007), 115–123.
[5]
Nicholas Mirzoeff, An Introduction to Visual Culture (New
York: Routledge, 1999), 27–34.
[6]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.
[7]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, Kafka: Toward a Minor Literature,
trans. Dana Polan (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986), 16–18.
8.
Kesimpulan
Ontologi
post-strukturalis menandai sebuah titik balik penting dalam sejarah pemikiran
filsafat kontemporer dengan menggeser fokus dari pencarian fondasi esensial
keberadaan menuju pemahaman yang lebih dinamis, relasional, dan kontekstual
terhadap realitas. Dengan membongkar asumsi metafisis klasik—seperti kesatuan
subjek, kehadiran makna, dan esensi universal—post-strukturalisme membuka ruang
bagi pendekatan ontologis yang menghargai perbedaan, ketaksaan, dan keterbukaan
dalam pemaknaan dunia.
Pemikiran
tokoh-tokoh utama seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Gilles Deleuze,
Jean-François Lyotard, serta pemikir feminis seperti Julia Kristeva dan Luce
Irigaray, telah menunjukkan bahwa keberadaan bukanlah sesuatu yang tetap dan
absolut, melainkan hasil dari proses artikulatif dalam medan
bahasa, diskursus, kekuasaan, dan tubuh1. Ontologi
tidak lagi dipahami sebagai ilmu tentang “apa yang sungguh ada” secara
objektif, tetapi sebagai refleksi atas bagaimana sesuatu bisa muncul sebagai “yang
ada” dalam konteks sejarah, wacana, dan praktik tertentu2.
Post-strukturalisme
juga membongkar konstruksi identitas-subjek sebagai pusat epistemologi dan
ontologi Barat, dan menggantikannya dengan pandangan bahwa subjek selalu
bersifat terbentuk, terdiferensiasi, dan terlibat dalam jaringan relasi sosial,
budaya, dan simbolik3. Dalam kerangka ini, realitas tidak hadir
sebagai entitas yang dapat ditangkap secara langsung, melainkan sebagai efek
dari diferensiasi dan performativitas yang tak pernah final. Bahasa, dalam
post-strukturalisme, tidak hanya menjadi alat ekspresi, tetapi penentu
struktur realitas itu sendiri.
Meski pendekatan ini
menghadapi berbagai kritik—terutama dari kalangan realis, marxis, dan pemikir
normatif—post-strukturalisme tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman,
mulai dari krisis representasi, dominasi narasi hegemonik, hingga tantangan
baru dalam era digital dan globalisasi. Justru dalam ketegangan itulah letak
produktivitas intelektual post-strukturalisme: ia tidak menawarkan jawaban
final, tetapi menyediakan perangkat konseptual untuk mempertanyakan,
membongkar, dan membayangkan ulang struktur keberadaan dan cara kita
memahaminya.
Dengan demikian,
post-strukturalisme dalam studi ontologi bukanlah akhir dari pencarian filsafat
tentang realitas, melainkan sebuah undangan untuk terus menafsirkan kembali
dunia secara radikal, etis, dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru4.
Ia tidak menjanjikan kepastian ontologis, tetapi memberikan kepekaan filosofis
untuk menyelami kompleksitas eksistensi yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–73.
[2]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 131–135.
[3]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.
[4]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 21–24.
Daftar Pustaka
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. Glaser, Trans.). University of Michigan Press. (Original work published
1981)
Blaser, M. (2010). Storytelling globalization
from the Chaco and beyond. Duke University Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. Routledge.
Butler, J. (1993). Bodies that matter: On the
discursive limits of “sex”. Routledge.
Critchley, S. (2001). Continental philosophy: A
very short introduction. Oxford University Press.
Deleuze, G. (1994). Difference and repetition
(P. Patton, Trans.). Columbia University Press. (Original work published 1968)
Deleuze, G., & Guattari, F. (1986). Kafka:
Toward a minor literature (D. Polan, Trans.). University of Minnesota Press.
Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A
thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia (B. Massumi, Trans.).
University of Minnesota Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1982). Margins of philosophy
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Eagleton, T. (1996). The illusions of
postmodernism. Blackwell.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1994). The order of things: An
archaeology of the human sciences (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1966)
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1975)
Foucault, M. (2007). Security, territory,
population: Lectures at the Collège de France, 1977–78 (M. Senellart, Ed.;
G. Burchell, Trans.). Palgrave Macmillan.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Fraser, N., & Butler, J. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition.
Routledge.
Kristeva, J. (1982). Powers of horror: An essay
on abjection (L. S. Roudiez, Trans.). Columbia University Press.
Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology
(C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay
on the necessity of contingency (R. Brassier, Trans.). Continuum.
Mirzoeff, N. (1999). An introduction to visual
culture. Routledge.
Norris, C. (1990). What's wrong with
postmodernism: Critical theory and the ends of philosophy. Johns Hopkins
University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Saussure, F. de. (1966). Course in general
linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; W. Baskin, Trans.).
McGraw-Hill. (Original work published 1916)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar