Minggu, 17 November 2024

Metode Hermeneutika dalam Filsafat

Metode Hermeneutika dalam Filsafat

Pengantar, Sejarah, dan Aplikasinya


Alihkan ke: Metode-Medode dalam Filsafat


Abstrak

Hermeneutika adalah metode interpretasi yang berkembang dalam kajian filsafat, teologi, hukum, ilmu sosial, dan humaniora. Artikel ini membahas hermeneutika secara komprehensif, dimulai dari pengertian dasar, sejarah perkembangan, prinsip-prinsip utama, berbagai aliran yang muncul, serta metode dan pendekatan yang digunakan dalam kajian filsafat. Selain itu, artikel ini menguraikan bagaimana hermeneutika diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, hukum, sastra, ilmu sosial, dan bahkan studi sains. Kritik terhadap hermeneutika juga dikaji, baik dari perspektif filsafat analitik, positivisme, strukturalisme, postmodernisme, maupun hermeneutika kritis. Berbagai kritik ini menunjukkan tantangan utama dalam mempertahankan validitas dan objektivitas hermeneutika sebagai metode interpretasi. Artikel ini menyimpulkan bahwa hermeneutika tetap relevan sebagai pendekatan yang fleksibel dalam memahami teks dan realitas sosial, meskipun perlu dikembangkan lebih lanjut dengan mengintegrasikan metode ilmiah, pendekatan interdisipliner, serta perspektif non-Barat untuk memperkaya analisisnya.

Kata Kunci: Hermeneutika, interpretasi, filsafat, teks, makna, eksistensialisme, hermeneutika kritis, postmodernisme, hukum, ilmu sosial.


PEMBAHASAN

Metode Hermeneutika dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam filsafat, metode memiliki peran sentral dalam membangun sistem pemikiran yang sistematis dan rasional. Berbagai metode dikembangkan untuk memahami realitas, baik dalam aspek epistemologi, ontologi, maupun aksiologi. Salah satu metode yang mendapat perhatian luas dalam filsafat kontemporer adalah hermeneutika, yang secara umum dipahami sebagai seni atau teori interpretasi terhadap teks, simbol, dan makna dalam konteks tertentu. Metode ini memiliki sejarah panjang yang bermula dari penafsiran teks suci dalam tradisi agama hingga berkembang menjadi metode filosofis yang lebih luas dalam memahami eksistensi manusia dan fenomena sosial.

Metode hermeneutika pertama kali berkembang dalam tradisi Yunani kuno, terutama dalam pemikiran Plato dan Aristoteles. Dalam Cratylus, Plato membahas hubungan antara kata dan makna, yang menjadi landasan awal bagi kajian hermeneutika.1 Aristoteles kemudian mengembangkan teori tentang makna dan penafsiran dalam Peri Hermeneias (On Interpretation), yang menjadi salah satu sumber utama bagi kajian logika dan linguistik dalam dunia Barat.2 Pada abad pertengahan, metode hermeneutika banyak digunakan dalam penafsiran teks-teks agama, terutama dalam tradisi Kristen dan Islam. Para teolog Kristen seperti Santo Agustinus dan Thomas Aquinas mengembangkan prinsip-prinsip hermeneutika dalam memahami Alkitab, sementara dalam tradisi Islam, tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibn Sina juga mengembangkan metode interpretasi yang kompleks dalam memahami teks-teks filosofis dan keagamaan.3

Pada masa modern, hermeneutika berkembang menjadi metode yang lebih filosofis dengan kontribusi tokoh-tokoh seperti Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Schleiermacher dikenal sebagai pelopor hermeneutika modern yang menekankan pentingnya memahami teks secara holistik melalui pendekatan linguistik dan psikologis.4 Sementara itu, Dilthey memperluas cakupan hermeneutika ke dalam ilmu humaniora, menegaskan bahwa pemahaman historis terhadap suatu teks tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya pada zamannya.5

Dalam perkembangannya, hermeneutika semakin menjadi metode filsafat yang lebih kompleks dengan gagasan dari Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, dan Paul Ricoeur. Heidegger memperkenalkan konsep hermeneutika eksistensial, yang menegaskan bahwa pemahaman adalah bagian mendasar dari eksistensi manusia, bukan sekadar metode untuk menafsirkan teks.6 Sementara itu, Gadamer mengembangkan konsep "Fusion of Horizons" (peleburan cakrawala pemahaman) dalam hermeneutika filosofis, yang menekankan bahwa setiap pemahaman selalu terjadi dalam interaksi antara prasangka dan tradisi.7 Ricoeur, dengan pendekatan hermeneutika kritisnya, menghubungkan hermeneutika dengan teori simbol dan struktur naratif, memberikan dimensi baru dalam studi interpretasi.8

Dalam konteks keilmuan, metode hermeneutika memiliki relevansi yang luas, baik dalam kajian filsafat, teologi, hukum, sastra, maupun ilmu sosial. Kemampuan metode ini dalam menghubungkan teks dengan makna yang lebih dalam menjadikannya alat yang sangat penting dalam memahami realitas manusia. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas metode hermeneutika secara komprehensif, mencakup pengertian, sejarah perkembangan, prinsip-prinsip utama, serta aplikasinya dalam berbagai bidang ilmu.


Footnotes

[1]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 29-32.

[2]                Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1928), 1-5.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.1.10.

[4]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 22-25.

[5]                Wilhelm Dilthey, The Formation of the Historical World in the Human Sciences, trans. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 2002), 45-50.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 188-195.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 271-278.

[8]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 18-25.


2.           Pengertian dan Esensi Hermeneutika

2.1.       Definisi Hermeneutika dalam Berbagai Perspektif

Secara etimologis, istilah "hermeneutika" berasal dari bahasa Yunani hermēneuein yang berarti “menafsirkan” atau “mengartikulasikan makna.” Kata ini berkaitan dengan nama dewa Hermes dalam mitologi Yunani, yang dikenal sebagai pembawa pesan para dewa dan perantara antara bahasa ilahi dan manusia.1 Dalam perkembangannya, hermeneutika tidak hanya dipahami sebagai proses penafsiran teks, tetapi juga sebagai pendekatan epistemologis dalam memahami makna dalam berbagai konteks, termasuk bahasa, sejarah, dan realitas sosial.

Menurut Friedrich Schleiermacher, salah satu perintis hermeneutika modern, hermeneutika adalah seni memahami teks lebih baik daripada pemahaman pengarangnya sendiri.2 Schleiermacher menekankan bahwa interpretasi tidak hanya mencakup aspek linguistik, tetapi juga aspek psikologis dari pengarang teks. Sementara itu, Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai metode dalam ilmu humaniora (Geisteswissenschaften), di mana pemahaman harus didasarkan pada konteks historis dari teks yang ditafsirkan.3

Hans-Georg Gadamer, dalam Truth and Method, menolak pendekatan objektivistik dalam hermeneutika dan menegaskan bahwa pemahaman selalu dipengaruhi oleh prakonsepsi dan pengalaman historis penafsir.4 Baginya, tidak ada pemahaman yang benar-benar objektif karena setiap individu selalu membawa perspektif tertentu ketika menafsirkan makna. Paul Ricoeur, seorang filsuf hermeneutika kontemporer, menambahkan dimensi hermeneutika kritis, di mana interpretasi tidak hanya mencari makna eksplisit dalam teks, tetapi juga membongkar struktur ideologis yang tersembunyi di baliknya.5

Dari berbagai perspektif ini, hermeneutika dapat dipahami sebagai metode interpretasi yang bertujuan untuk memahami makna dalam berbagai konteks, baik dalam kajian filsafat, ilmu sosial, maupun humaniora.

2.2.       Tujuan dan Fungsi Utama Hermeneutika dalam Filsafat

Hermeneutika memiliki tujuan utama untuk memahami dan menginterpretasikan makna dari teks, tindakan, atau fenomena dalam suatu konteks tertentu. Secara umum, fungsi utama hermeneutika dalam filsafat dapat dikategorikan sebagai berikut:

1)                  Menafsirkan Makna dalam Teks

Hermeneutika membantu dalam memahami teks yang kompleks, baik itu dalam bidang teologi, sastra, hukum, maupun filsafat.6

2)                  Mengkaji Struktur Pemahaman Manusia

Hermeneutika juga merupakan pendekatan epistemologis yang meneliti bagaimana manusia memahami dunia di sekitar mereka.7

3)                  Menghubungkan Masa Lalu dan Masa Kini

Dengan menafsirkan teks atau peristiwa historis, hermeneutika memungkinkan manusia untuk memahami bagaimana pengalaman masa lalu masih relevan dalam konteks modern.8

4)                  Menganalisis Ideologi dalam Teks

Dalam pendekatan hermeneutika kritis, teks dipahami bukan hanya dari makna eksplisitnya, tetapi juga dari aspek ideologis dan struktur kekuasaan yang tersembunyi.9

Dengan demikian, hermeneutika tidak hanya sekadar metode interpretasi, tetapi juga pendekatan filosofis yang menghubungkan bahasa, pemahaman manusia, dan realitas sosial dalam satu kesatuan yang dinamis.

2.3.       Perbedaan Antara Hermeneutika Filosofis dan Hermeneutika Tekstual

Hermeneutika berkembang dalam dua ranah utama, yaitu hermeneutika tekstual dan hermeneutika filosofis.

·                     Hermeneutika Tekstual berfokus pada teknik dan prinsip dalam menafsirkan teks, terutama dalam kajian agama, sastra, dan hukum. Contohnya, dalam teologi Kristen, metode hermeneutika digunakan untuk memahami makna ayat-ayat dalam Alkitab, sementara dalam hukum Islam, metode ini diterapkan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis.10

·                     Hermeneutika Filosofis, sebagaimana dikembangkan oleh Heidegger dan Gadamer, lebih dari sekadar metode penafsiran teks, tetapi merupakan cara memahami eksistensi manusia itu sendiri. Heidegger dalam Being and Time menyatakan bahwa manusia tidak hanya memahami dunia secara kognitif, tetapi pemahaman itu adalah bagian dari keberadaannya (eksistensial).11

Perbedaan utama dari kedua pendekatan ini terletak pada fokusnya: hermeneutika tekstual lebih bersifat teknis dalam menafsirkan makna literal teks, sementara hermeneutika filosofis menyoroti proses pemahaman itu sendiri sebagai bagian dari kondisi eksistensial manusia.


Footnotes

[1]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1969), 13.

[2]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32-35.

[3]                Wilhelm Dilthey, The Formation of the Historical World in the Human Sciences, trans. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 2002), 57-61.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 278-285.

[5]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 40-45.

[6]                Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics (Grand Rapids: Zondervan, 1992), 12-15.

[7]                John D. Caputo, More Radical Hermeneutics: On Not Knowing Who We Are (Bloomington: Indiana University Press, 2000), 51-55.

[8]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 68-72.

[9]                Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge: MIT Press, 1988), 90-95.

[10]             Gerald L. Bruns, Hermeneutics Ancient and Modern (New Haven: Yale University Press, 1992), 123-130.

[11]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211-217.


3.           Sejarah dan Perkembangan Hermeneutika

3.1.       Hermeneutika dalam Tradisi Yunani Kuno

Sejarah hermeneutika dapat ditelusuri sejak zaman Yunani kuno, di mana istilah hermeneuein digunakan untuk merujuk pada tindakan menafsirkan atau menjelaskan makna. Plato, dalam dialognya Cratylus, mengajukan pertanyaan fundamental tentang hubungan antara kata dan makna, yang menjadi dasar bagi teori interpretasi bahasa.1 Ia berpendapat bahwa bahasa memiliki hubungan intrinsik dengan realitas, sehingga memahami makna kata memerlukan pemahaman akan esensi objek yang dirujuk oleh kata tersebut.

Aristoteles melanjutkan tradisi ini dalam Peri Hermeneias (On Interpretation), di mana ia membahas bagaimana bahasa, logika, dan pemikiran saling berkaitan dalam proses penafsiran.2 Aristoteles berpendapat bahwa tanda linguistik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan pengalaman manusia dan bahwa makna berasal dari struktur sintaksis dan semantik yang membentuk wacana. Hermeneutika pada masa ini masih terbatas pada kajian bahasa dan logika, belum berkembang menjadi metode filsafat yang lebih luas.

3.2.       Hermeneutika dalam Teologi Abad Pertengahan

Pada Abad Pertengahan, hermeneutika berkembang terutama dalam ranah teologi Kristen. Santo Agustinus (354–430 M) dalam De Doctrina Christiana menekankan pentingnya interpretasi Alkitab yang tidak hanya berbasis literal tetapi juga spiritual.3 Ia memperkenalkan prinsip bahwa teks-teks suci harus dipahami dalam konteks iman dan tradisi gereja, bukan hanya berdasarkan bacaan harfiah.

Di dunia Islam, metode interpretasi juga berkembang dalam ilmu tafsir. Al-Farabi (872–950 M) dan Ibn Sina (980–1037 M) menerapkan metode penafsiran filosofis terhadap teks-teks agama dan karya Aristoteles.4 Mereka mencoba menjembatani antara akal dan wahyu dalam memahami makna terdalam dari teks-teks suci.

Dalam dunia Kristen, Thomas Aquinas (1225–1274 M) mengembangkan prinsip hermeneutika skolastik yang mencoba mengharmonisasikan antara rasio dan wahyu dalam memahami makna teks Alkitab.5 Hermeneutika pada masa ini sangat dipengaruhi oleh pendekatan otoritatif dan teosentris, di mana interpretasi lebih banyak diarahkan pada pemahaman dogmatis dan bukan pada subjektivitas pembaca.

3.3.       Hermeneutika Modern: Schleiermacher dan Dilthey

Perkembangan besar dalam hermeneutika terjadi pada era modern dengan munculnya pemikiran Friedrich Schleiermacher (1768–1834) yang dikenal sebagai bapak hermeneutika modern. Schleiermacher berpendapat bahwa hermeneutika bukan hanya metode dalam menafsirkan teks agama, tetapi juga sebuah disiplin yang dapat diterapkan dalam semua bentuk komunikasi manusia.6 Ia menekankan dua aspek utama dalam interpretasi:

1)                  Hermeneutika linguistik – memahami struktur bahasa teks dan bagaimana makna dibentuk.

2)                  Hermeneutika psikologis – memahami maksud dan niat penulis teks.

Schleiermacher percaya bahwa seorang penafsir harus berusaha memahami teks lebih baik daripada pengarangnya sendiri. Pendekatan ini membuka jalan bagi hermeneutika sebagai metode filsafat yang lebih luas.

Wilhelm Dilthey (1833–1911) kemudian memperluas hermeneutika ke dalam ranah ilmu humaniora (Geisteswissenschaften). Ia berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak dapat menggunakan metode positivistik seperti ilmu alam, tetapi harus menggunakan pendekatan hermeneutis dalam memahami tindakan manusia dan sejarah.7 Dilthey menegaskan bahwa interpretasi selalu bersifat historis, di mana pemahaman suatu teks atau peristiwa hanya dapat dilakukan dalam konteks sosial dan budaya zamannya.

3.4.       Hermeneutika Eksistensial: Heidegger dan Gadamer

Pada abad ke-20, Martin Heidegger (1889–1976) mengembangkan hermeneutika eksistensial, yang membawa hermeneutika ke tingkat yang lebih fundamental. Dalam karyanya Being and Time, Heidegger berpendapat bahwa hermeneutika bukan hanya metode interpretasi, tetapi bagian dari struktur eksistensial manusia.8 Ia memperkenalkan konsep "Dasein", yang berarti bahwa manusia selalu dalam kondisi memahami dunia. Pemahaman bukanlah tindakan sekunder, tetapi esensi dari keberadaan manusia itu sendiri.

Hans-Georg Gadamer (1900–2002), murid Heidegger, kemudian memperdalam hermeneutika filosofis dalam karyanya Truth and Method (1960). Ia menolak gagasan bahwa pemahaman bisa bersifat objektif dan menekankan bahwa interpretasi selalu terjadi dalam "Fusion of Horizons" (Peleburan Cakrawala), yaitu pertemuan antara perspektif historis teks dan perspektif pembaca masa kini.9 Gadamer juga menekankan peran prasangka (prejudices) dalam interpretasi, yang berarti bahwa pemahaman kita selalu dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalaman kita sendiri.

3.5.       Hermeneutika Kritis: Paul Ricoeur dan Jürgen Habermas

Paul Ricoeur (1913–2005) memperkenalkan pendekatan hermeneutika kritis dengan menggabungkan hermeneutika tradisional dan teori strukturalisme.10 Ia berpendapat bahwa interpretasi harus dilakukan dalam dua langkah:

1)                  Hermeneutika kepercayaan – memahami teks sesuai dengan maksud aslinya.

2)                  Hermeneutika kecurigaan – menafsirkan teks dengan melihat struktur tersembunyi atau ideologi yang mungkin terdapat di dalamnya.

Jürgen Habermas (1929–) mengembangkan hermeneutika dalam konteks teori kritis dengan menekankan bahwa interpretasi tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial dan politik.11 Menurutnya, hermeneutika harus digunakan untuk membongkar struktur kekuasaan dalam bahasa dan komunikasi.

3.6.       Hermeneutika Kontemporer dan Aplikasinya

Saat ini, hermeneutika tidak hanya digunakan dalam filsafat, tetapi juga dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk teologi, hukum, sastra, dan ilmu sosial. Pendekatan hermeneutika banyak digunakan dalam studi feminisme, postkolonialisme, dan dekonstruksi untuk memahami bagaimana makna dibentuk dalam struktur sosial.12 Dengan demikian, hermeneutika tetap relevan sebagai metode interpretasi yang berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.


Footnotes

[1]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 19-21.

[2]                Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1928), 10-14.

[3]                Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson (New York: Macmillan, 1958), 45-48.

[4]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 67-72.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.1.10.

[6]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32-37.

[7]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Vol. 3: The Formation of the Historical World, trans. Rudolf A. Makkreel (Princeton: Princeton University Press, 2002), 89-94.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie (New York: Harper & Row, 1962), 183-190.

[9]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer (London: Bloomsbury Academic, 2013), 271-278.

[10]             Paul Ricoeur, Interpretation Theory, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 54-59.

[11]             Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1988), 90-95.

[12]             Gayatri Spivak, Can the Subaltern Speak? (London: Routledge, 1988), 271-278.


4.           Prinsip-Prinsip Dasar dalam Hermeneutika

4.1.       Pendahuluan: Esensi Prinsip-Prinsip Hermeneutika

Hermeneutika sebagai metode filsafat memiliki seperangkat prinsip yang mendasari proses interpretasi dan pemahaman terhadap teks, simbol, dan realitas sosial. Prinsip-prinsip ini berkembang seiring waktu melalui pemikiran para filsuf besar seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan Jürgen Habermas. Setiap prinsip dalam hermeneutika tidak hanya berfungsi sebagai alat interpretasi, tetapi juga sebagai refleksi dari cara manusia memahami dunia dan eksistensinya.1

Prinsip-prinsip utama dalam hermeneutika mencakup pra-pemahaman (pre-understanding), lingkaran hermeneutika (hermeneutic circle), peleburan cakrawala (fusion of horizons), distansiasi (distantiation), serta kritik ideologis dalam interpretasi.

4.2.       Pra-Pemahaman (Pre-Understanding) dalam Hermeneutika

Pra-pemahaman (Vorverständnis) adalah gagasan bahwa seorang penafsir tidak pernah mendekati teks atau fenomena dengan pikiran kosong, tetapi selalu membawa latar belakang pengalaman, keyakinan, dan pengetahuan sebelumnya. Konsep ini dikembangkan oleh Martin Heidegger dalam Being and Time, di mana ia menegaskan bahwa pemahaman bukan sekadar tindakan intelektual, tetapi merupakan kondisi eksistensial manusia.2

Hans-Georg Gadamer memperluas konsep ini dengan menekankan bahwa prasangka (prejudice) tidak selalu memiliki konotasi negatif, tetapi justru menjadi syarat dasar bagi pemahaman yang lebih dalam.3 Dalam bukunya Truth and Method, Gadamer menolak pandangan bahwa interpretasi dapat sepenuhnya objektif; sebaliknya, pemahaman selalu terjadi dalam kerangka historis dan budaya tertentu.4

Implikasi dalam hermeneutika:

·                     Setiap interpretasi selalu dipengaruhi oleh pengalaman dan budaya penafsir.

·                     Tidak ada pemahaman yang benar-benar bebas dari prasangka.

·                     Pemahaman bersifat dialogis antara teks dan perspektif penafsir.

4.3.       Lingkaran Hermeneutika (Hermeneutic Circle)

Prinsip lingkaran hermeneutika menunjukkan bahwa pemahaman tidak terjadi dalam satu arah yang linier, tetapi dalam proses siklis antara keseluruhan dan bagian-bagian suatu teks. Friedrich Schleiermacher pertama kali memperkenalkan gagasan ini, yang kemudian diperluas oleh Wilhelm Dilthey dan Martin Heidegger.5

Dalam pendekatan ini, seseorang memahami suatu teks dengan melihat hubungan antara bagian-bagian kecil (kata-kata, kalimat, dan paragraf) serta makna keseluruhan teks itu sendiri. Sebaliknya, pemahaman atas keseluruhan teks juga bergantung pada pemahaman terhadap bagian-bagian yang menyusunnya.6

Menurut Heidegger, lingkaran hermeneutika bukan sekadar alat metodologis, tetapi merupakan ciri fundamental dari eksistensi manusia dalam memahami dunia. Kita tidak pernah bisa mulai dari "nol" dalam memahami sesuatu; pemahaman selalu melibatkan siklus interaksi antara pengetahuan yang telah dimiliki dan pengalaman baru.7

Implikasi dalam hermeneutika:

·                     Pemahaman terjadi dalam hubungan dinamis antara bagian dan keseluruhan.

·                     Interpretasi tidak memiliki titik awal absolut; selalu ada konteks yang membentuk pemahaman awal.

·                     Semakin dalam proses interpretasi, semakin luas pemahaman terhadap teks.

4.4.       Peleburan Cakrawala (Fusion of Horizons)

Hans-Georg Gadamer memperkenalkan konsep peleburan cakrawala (fusion of horizons) dalam hermeneutika filosofisnya. Ia berpendapat bahwa ketika seseorang membaca teks dari masa lalu, ada perbedaan antara cakrawala makna yang dimiliki oleh penulis teks dan cakrawala pemahaman dari pembaca modern.8

Peleburan cakrawala terjadi ketika penafsir mengintegrasikan perspektif historis teks dengan perspektif pribadinya sendiri, sehingga menghasilkan pemahaman baru yang lebih kaya.9 Proses ini bukanlah upaya untuk sepenuhnya menghilangkan jarak historis, tetapi untuk menciptakan dialog yang memungkinkan pemaknaan yang lebih luas dan mendalam.

Implikasi dalam hermeneutika:

·                     Pemahaman selalu melibatkan negosiasi antara makna asli teks dan perspektif pembaca modern.

·                     Tidak ada pemaknaan final; setiap generasi dapat menemukan makna baru dalam teks klasik.

·                     Interpretasi yang baik adalah yang mampu mempertemukan perbedaan perspektif.

4.5.       Distansiasi (Distantiation) dalam Hermeneutika

Paul Ricoeur memperkenalkan konsep distansiasi (distantiation) untuk menjelaskan bahwa dalam memahami suatu teks, seseorang perlu menjaga jarak dari makna awal yang tampak jelas agar dapat menemukan makna yang lebih dalam.10

Dalam hermeneutika klasik, penafsiran sering kali berusaha memahami teks sebagaimana maksud pengarangnya. Namun, Ricoeur berpendapat bahwa makna tidak hanya bergantung pada niat pengarang, tetapi juga berkembang sesuai dengan konteks pembaca.11

Implikasi dalam hermeneutika:

·                     Interpretasi yang baik tidak hanya berusaha memahami teks dari perspektif pengarang, tetapi juga dari perspektif baru yang muncul dalam konteks pembaca.

·                     Makna teks bersifat dinamis dan dapat berubah seiring waktu.

·                     Distansiasi memungkinkan kritik terhadap teks tanpa kehilangan pemahaman terhadap esensi aslinya.

4.6.       Kritik Ideologis dalam Hermeneutika

Jürgen Habermas dan para filsuf teori kritis menambahkan dimensi politik dan ideologis dalam hermeneutika dengan menekankan bahwa interpretasi sering kali dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat.12

Menurut Habermas, pemahaman tidak hanya bersifat netral, tetapi juga dapat menjadi alat dominasi jika tidak dikritisi. Oleh karena itu, hermeneutika harus mencakup analisis kritis terhadap ideologi yang tersembunyi di dalam teks atau wacana publik.13

Implikasi dalam hermeneutika:

·                     Interpretasi harus memperhatikan konteks sosial dan politik di mana teks itu diproduksi.

·                     Kritik terhadap ideologi dalam teks dapat membuka perspektif baru yang lebih adil.

·                     Hermeneutika bukan hanya metode pemahaman, tetapi juga alat pembebasan dari wacana dominan.


Footnotes

[1]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1969), 15-18.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 191-195.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 278-280.

[4]                Gadamer, Truth and Method, 292-295.

[5]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 35-40.

[6]                Wilhelm Dilthey, The Formation of the Historical World, trans. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 2002), 75-79.

[7]                Heidegger, Being and Time, 202-205.

[8]                Gadamer, Truth and Method, 306-310.

[9]                Gadamer, Truth and Method, 315-318.

[10]             Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 49-54.

[11]             Ricoeur, Interpretation Theory, 60-63.

[12]             Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1988), 102-106.

[13]             Habermas, On the Logic of the Social Sciences, 110-113.


5.           Aliran-Aliran dalam Hermeneutika

5.1.       Pendahuluan: Keberagaman Pendekatan dalam Hermeneutika

Hermeneutika bukanlah metode interpretasi yang tunggal, melainkan sebuah bidang pemikiran yang memiliki berbagai pendekatan dan aliran. Perkembangan hermeneutika seiring waktu telah melahirkan berbagai tradisi yang mencerminkan perbedaan tujuan, metode, dan konteks penggunaannya. Beberapa aliran utama dalam hermeneutika meliputi hermeneutika klasik, hermeneutika modern, hermeneutika filosofis, hermeneutika kritis, dan hermeneutika dekonstruktif.1

Setiap aliran memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami teks dan makna. Sementara hermeneutika klasik lebih berfokus pada pemulihan makna asli teks, hermeneutika filosofis menekankan peran subjektivitas dan eksistensialisme dalam proses interpretasi. Di sisi lain, hermeneutika kritis dan dekonstruktif memperkenalkan perspektif analitis yang menyoroti ideologi, kekuasaan, dan struktur bahasa dalam penafsiran.

5.2.       Hermeneutika Klasik: Fokus pada Makna Otoritatif

Hermeneutika klasik berkembang dalam tradisi Yunani kuno dan Abad Pertengahan, di mana tujuan utama interpretasi adalah untuk memahami teks sebagaimana dimaksud oleh pengarangnya. Pendekatan ini banyak digunakan dalam kajian keagamaan dan hukum.

Friedrich Schleiermacher adalah tokoh utama dalam hermeneutika klasik, yang berpendapat bahwa interpretasi harus bertujuan memahami maksud pengarang teks dengan dua pendekatan: analisis linguistik dan analisis psikologis.2 Schleiermacher menekankan bahwa seorang penafsir harus berusaha memahami teks lebih baik daripada pemahaman pengarangnya sendiri.

Dalam tradisi Islam dan Kristen, hermeneutika klasik digunakan dalam tafsir Al-Qur'an dan Alkitab untuk menemukan makna literal maupun alegoris dari teks suci.3 Interpretasi dalam aliran ini sering kali dipengaruhi oleh otoritas keagamaan dan tradisi yang mapan.

Ciri utama hermeneutika klasik:

·                     Menekankan pentingnya memahami maksud asli pengarang teks.

·                     Menggunakan metode analisis linguistik dan historis.

·                     Bersifat normatif dan cenderung otoritatif dalam tafsir keagamaan.

5.3.       Hermeneutika Modern: Perluasan dalam Ilmu Humaniora

Wilhelm Dilthey memperluas hermeneutika dari sekadar metode interpretasi teks menjadi alat dalam ilmu humaniora. Dilthey berpendapat bahwa hermeneutika harus digunakan dalam memahami pengalaman manusia dalam konteks sejarahnya.4

Dalam pendekatan ini, hermeneutika tidak hanya digunakan untuk memahami teks, tetapi juga untuk menafsirkan tindakan manusia, kebudayaan, dan peristiwa sejarah. Dengan kata lain, hermeneutika modern memperkenalkan subjektivitas dalam interpretasi, di mana pengalaman hidup penafsir turut memengaruhi cara suatu teks atau peristiwa dipahami.

Ciri utama hermeneutika modern:

·                     Menekankan interpretasi dalam konteks sosial dan historis.

·                     Memasukkan dimensi subjektivitas dalam pemahaman.

·                     Mengakui bahwa interpretasi tidak pernah benar-benar objektif.

5.4.       Hermeneutika Filosofis: Pemahaman sebagai Fenomena Eksistensial

Martin Heidegger mengembangkan hermeneutika ke dalam dimensi eksistensial melalui gagasan bahwa pemahaman bukan hanya metode interpretasi, tetapi merupakan bagian dari eksistensi manusia.5 Dalam bukunya Being and Time, Heidegger menegaskan bahwa manusia selalu berada dalam keadaan memahami (Dasein).

Hans-Georg Gadamer kemudian memperdalam hermeneutika filosofis dengan konsep "Fusion of Horizons" (peleburan cakrawala), di mana setiap interpretasi terjadi dalam interaksi antara perspektif penafsir dan teks yang ditafsirkan.6 Menurut Gadamer, interpretasi selalu dipengaruhi oleh sejarah dan tradisi yang membentuk pemahaman seseorang.

Ciri utama hermeneutika filosofis:

·                     Menekankan bahwa pemahaman adalah bagian dari eksistensi manusia.

·                     Menolak gagasan bahwa interpretasi bisa sepenuhnya objektif.

·                     Mengutamakan dialog antara teks dan subjektivitas pembaca.

5.5.       Hermeneutika Kritis: Interpretasi sebagai Kritik Ideologi

Jürgen Habermas mengembangkan hermeneutika kritis dengan menekankan bahwa interpretasi harus mencakup kritik terhadap struktur kekuasaan dan ideologi dalam suatu teks.7 Ia berpendapat bahwa bahasa dan makna sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dominasi sosial dan politik.

Paul Ricoeur juga berkontribusi dalam hermeneutika kritis dengan mengusulkan pendekatan "hermeneutika kecurigaan," di mana interpretasi harus menggali makna tersembunyi yang mungkin sengaja disamarkan oleh teks.8

Hermeneutika kritis banyak digunakan dalam analisis sosial dan budaya, termasuk dalam kajian feminisme, postkolonialisme, dan teori kritis lainnya.

Ciri utama hermeneutika kritis:

·                     Menekankan kritik terhadap struktur kekuasaan dalam teks.

·                     Menggunakan analisis ideologi sebagai bagian dari interpretasi.

·                     Mempertanyakan objektivitas makna dalam suatu teks.

5.6.       Hermeneutika Dekonstruktif: Membongkar Struktur Makna

Hermeneutika dekonstruktif berkembang dalam pemikiran Jacques Derrida, yang berpendapat bahwa makna tidak pernah tetap dan selalu mengalami pergeseran dalam bahasa.9 Derrida menolak gagasan bahwa suatu teks memiliki makna tetap yang dapat dipahami secara utuh.

Dekonstruksi berusaha menunjukkan bahwa teks selalu mengandung kontradiksi internal yang menyebabkan ketidakstabilan makna. Dengan demikian, setiap interpretasi selalu bersifat sementara dan dapat terus berubah tergantung pada konteks dan perspektif pembaca.

Ciri utama hermeneutika dekonstruktif:

·                     Menolak adanya makna tetap dalam teks.

·                     Menunjukkan ketidakstabilan bahasa dalam proses interpretasi.

·                     Mengutamakan pembacaan yang menantang makna konvensional.


Kesimpulan: Keberagaman Pendekatan dalam Hermeneutika

Perkembangan hermeneutika menunjukkan bahwa interpretasi tidak hanya terbatas pada pemahaman literal, tetapi juga mencakup aspek historis, eksistensial, ideologis, dan linguistik. Setiap aliran hermeneutika memiliki kontribusinya masing-masing dalam memperluas cara manusia memahami teks dan dunia.

Sementara hermeneutika klasik dan modern berusaha memahami makna teks dengan pendekatan historis, hermeneutika filosofis, kritis, dan dekonstruktif menantang gagasan tentang objektivitas makna. Dengan demikian, hermeneutika tetap menjadi metode interpretasi yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan konteks zaman.


Footnotes

[1]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1969), 23-25.

[2]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 40-45.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.1.10.

[4]                Wilhelm Dilthey, The Formation of the Historical World, trans. Rudolf A. Makkreel (Princeton: Princeton University Press, 2002), 85-90.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210-215.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer (London: Bloomsbury Academic, 2013), 310-315.

[7]                Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1988), 115-120.

[8]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 65-70.

[9]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 120-125.


6.           Metode dan Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Filsafat

6.1.       Pendahuluan: Hermeneutika sebagai Metode Filsafat

Hermeneutika tidak hanya berfungsi sebagai teori interpretasi, tetapi juga sebagai metode filsafat yang digunakan untuk memahami makna dalam teks, pengalaman manusia, serta fenomena sosial dan budaya. Seiring perkembangannya, metode hermeneutika telah mengalami berbagai transformasi yang dipengaruhi oleh pemikiran para filsuf seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan Jürgen Habermas.1

Dalam kajian filsafat, metode hermeneutika digunakan untuk menafsirkan teks klasik, memahami tradisi intelektual, serta menganalisis konsep-konsep fundamental dalam ilmu pengetahuan dan realitas sosial. Pendekatan hermeneutika memungkinkan pemahaman yang lebih dalam terhadap hubungan antara subjek (penafsir) dan objek (teks atau fenomena yang ditafsirkan).

6.2.       Hermeneutika sebagai Metode Interpretatif

Metode hermeneutika dalam filsafat pada dasarnya berfokus pada proses interpretasi, yang mencakup beberapa prinsip utama:

1)                  Pemahaman tidak pernah objektif sepenuhnya, tetapi selalu dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalaman penafsir.2

2)                  Makna sebuah teks tidak bersifat tetap, melainkan berkembang sesuai dengan konteks dan pembaca yang menafsirkannya.3

3)                  Interpretasi harus mempertimbangkan hubungan antara bagian dan keseluruhan (lingkaran hermeneutika).4

Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa interpretasi selalu terjadi dalam kerangka Fusion of Horizons (peleburan cakrawala), yaitu interaksi antara pemahaman historis teks dan perspektif penafsir.5 Oleh karena itu, dalam kajian filsafat, metode hermeneutika digunakan untuk mengungkap makna di balik teks-teks klasik dan memahami bagaimana konsep-konsep filsafat tetap relevan dalam konteks modern.

6.3.       Pendekatan Linguistik dalam Hermeneutika

Pendekatan linguistik dalam hermeneutika berfokus pada analisis bahasa sebagai medium utama dalam memahami realitas. Schleiermacher dan Dilthey menekankan bahwa bahasa adalah jembatan utama antara pikiran manusia dan dunia luar.6

Menurut Schleiermacher, pemahaman terhadap suatu teks harus mencakup dua aspek utama:

·                     Hermeneutika linguistik – memahami struktur bahasa dan penggunaan kata dalam teks.

·                     Hermeneutika psikologis – memahami maksud pengarang berdasarkan konteks historis dan biografinya.7

Dalam filsafat, pendekatan linguistik dalam hermeneutika sering digunakan dalam analisis teks-teks klasik seperti karya-karya Plato, Aristoteles, Kant, dan Hegel. Selain itu, pendekatan ini juga relevan dalam studi filsafat bahasa dan semantik yang dikembangkan oleh filsuf seperti Ludwig Wittgenstein dan Jacques Derrida.

6.4.       Pendekatan Historis dalam Hermeneutika

Pendekatan historis dalam hermeneutika menekankan pentingnya memahami teks dalam konteks sejarahnya. Wilhelm Dilthey menyatakan bahwa interpretasi harus mempertimbangkan kondisi sosial, politik, dan budaya yang membentuk makna sebuah teks.8

Dilthey membedakan antara penjelasan (Erklären) yang digunakan dalam ilmu alam dan pemahaman (Verstehen) yang digunakan dalam ilmu humaniora.9 Menurutnya, ilmu-ilmu sosial dan filsafat harus berorientasi pada pemahaman subjektif, bukan sekadar penjelasan objektif seperti dalam ilmu-ilmu alam.

Dalam kajian filsafat, pendekatan historis dalam hermeneutika sering diterapkan dalam:

·                     Analisis terhadap pemikiran filsuf berdasarkan konteks zamannya (misalnya memahami Kant dalam konteks Pencerahan).

·                     Kajian filsafat Islam yang memperhatikan peran sejarah dalam perkembangan pemikiran teologis dan filosofis.

·                     Studi terhadap perubahan konsep-konsep filsafat dari masa ke masa.

6.5.       Pendekatan Eksistensial dalam Hermeneutika

Martin Heidegger memperkenalkan hermeneutika eksistensial, yang menekankan bahwa pemahaman bukan hanya merupakan aktivitas intelektual, tetapi merupakan aspek fundamental dari eksistensi manusia (Dasein).10 Heidegger berpendapat bahwa manusia selalu dalam keadaan memahami (being-in-the-world), sehingga interpretasi bukan hanya metode, melainkan bagian dari struktur keberadaan kita.

Pendekatan eksistensial dalam hermeneutika diterapkan dalam:

·                     Kajian tentang makna keberadaan manusia.

·                     Filsafat fenomenologi dan eksistensialisme.

·                     Studi tentang subjektivitas dan pengalaman manusia dalam memahami dunia.

Hans-Georg Gadamer mengembangkan lebih lanjut konsep ini dengan menekankan bahwa pemahaman tidak bisa dipisahkan dari tradisi dan sejarah yang membentuk kesadaran manusia.11

6.6.       Pendekatan Kritis dalam Hermeneutika

Jürgen Habermas memperkenalkan hermeneutika kritis, yang bertujuan untuk menafsirkan teks dengan mempertimbangkan struktur ideologi dan kekuasaan yang tersembunyi dalam bahasa.12

Habermas berpendapat bahwa interpretasi tidak bisa hanya bersifat deskriptif, tetapi juga harus bersifat kritis terhadap kondisi sosial yang mempengaruhi makna. Dalam kajian filsafat, pendekatan kritis digunakan untuk:

·                     Menganalisis ideologi yang tersembunyi dalam teks.

·                     Mengkritisi narasi-narasi dominan dalam sejarah filsafat.

·                     Mengungkap relasi kuasa dalam interpretasi makna.

Paul Ricoeur juga mengembangkan "hermeneutika kecurigaan," yang menekankan bahwa interpretasi harus membongkar makna-makna tersembunyi dalam teks.13 Pendekatan ini sering digunakan dalam teori kritis, postmodernisme, dan kajian feminisme.


Kesimpulan: Integrasi Berbagai Metode dalam Hermeneutika

Metode dan pendekatan hermeneutika dalam kajian filsafat menunjukkan bahwa interpretasi tidak bisa dilakukan dengan satu metode tunggal. Setiap pendekatan memiliki keunggulan dan keterbatasannya sendiri.

·                     Pendekatan linguistik berguna dalam analisis bahasa dan makna dalam teks filsafat.

·                     Pendekatan historis membantu dalam memahami konteks sosial dan budaya dari suatu gagasan.

·                     Pendekatan eksistensial menyoroti aspek subjektivitas dan pengalaman dalam pemahaman.

·                     Pendekatan kritis memungkinkan analisis ideologi dan relasi kuasa dalam interpretasi.

Dengan memahami berbagai pendekatan ini, kajian filsafat dapat menghasilkan interpretasi yang lebih kaya dan komprehensif terhadap konsep-konsep mendalam dalam pemikiran manusia.


Footnotes

[1]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1969), 10-15.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 271-275.

[3]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 35-40.

[4]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 50-55.

[5]                Gadamer, Truth and Method, 310-315.

[6]                Wilhelm Dilthey, The Formation of the Historical World, trans. Rudolf A. Makkreel (Princeton: Princeton University Press, 2002), 85-90.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210-215.

[8]                Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1988), 115-120.

[9]                Ricoeur, Interpretation Theory, 65-70.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 220-225.

[11]             Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, trans. David E. Linge (Berkeley: University of California Press, 1976), 30-35.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 132-140.

[13]             Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 48-55.


7.           Aplikasi Hermeneutika dalam Berbagai Bidang

7.1.       Pendahuluan: Relevansi Hermeneutika dalam Kajian Multidisipliner

Hermeneutika telah berkembang dari sekadar metode interpretasi teks menjadi pendekatan yang memiliki dampak luas dalam berbagai disiplin ilmu. Awalnya digunakan dalam kajian teologi dan filsafat, hermeneutika kini diterapkan dalam ilmu sosial, hukum, sastra, dan bahkan studi sains. Seiring waktu, metode hermeneutika terbukti efektif dalam memahami fenomena manusia yang kompleks, di mana interpretasi dan makna memainkan peran sentral.1

Dalam bab ini, akan dibahas bagaimana metode hermeneutika diterapkan dalam beberapa bidang utama, yakni teologi dan kajian agama, hukum, ilmu sosial, sastra, dan studi sains.

7.2.       Hermeneutika dalam Teologi dan Kajian Agama

Dalam teologi, hermeneutika digunakan sebagai metode utama dalam penafsiran teks suci. Sejak awal perkembangannya, hermeneutika telah menjadi bagian penting dalam studi agama, baik dalam tradisi Kristen maupun Islam.

7.2.1.    Hermeneutika dalam Studi Kristen

Studi Alkitab menggunakan berbagai pendekatan hermeneutika untuk memahami teks suci dalam konteks sejarah, budaya, dan teologisnya. Santo Agustinus, dalam De Doctrina Christiana, menekankan bahwa penafsiran Alkitab harus mempertimbangkan makna literal dan makna spiritual yang terkandung dalam teks.2

Pada abad ke-20, Rudolf Bultmann memperkenalkan konsep "demitologisasi" dalam hermeneutika Kristen, di mana ia berusaha menafsirkan teks-teks Alkitab dengan memisahkan unsur mitologis dari pesan eksistensial yang lebih dalam.3

7.2.2.    Hermeneutika dalam Studi Islam

Dalam tradisi Islam, hermeneutika dikenal sebagai ilmu tafsir yang digunakan untuk memahami Al-Qur'an. Metode interpretasi ini telah dikembangkan oleh berbagai ulama, seperti Al-Ghazali, Ibn Taymiyyah, dan Fazlur Rahman. Fazlur Rahman, misalnya, mengusulkan pendekatan hermeneutika kontekstual, yang menekankan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur'an harus mempertimbangkan konteks sejarah dan sosial saat teks tersebut diturunkan.4

Implikasi Hermeneutika dalam Teologi:

·                     Memungkinkan interpretasi teks suci yang lebih dalam dan kontekstual.

·                     Menghadirkan dialog antara teks agama dan realitas kontemporer.

·                     Membantu menjembatani perbedaan dalam pemahaman teologi.

7.3.       Hermeneutika dalam Ilmu Hukum

Dalam ilmu hukum, hermeneutika digunakan untuk menafsirkan konstitusi, undang-undang, dan dokumen hukum agar tetap relevan dengan perubahan zaman. Friedrich Müller mengembangkan teori struktur hukum hermeneutis, yang menegaskan bahwa hukum harus dipahami bukan hanya berdasarkan teks tertulis, tetapi juga dalam konteks sosial, politik, dan budaya.5

Menurut Ronald Dworkin, interpretasi hukum bukan sekadar menerapkan aturan, tetapi juga melibatkan penilaian moral dan prinsip keadilan. Ia memperkenalkan konsep "law as integrity", di mana hakim harus menafsirkan hukum dengan mempertimbangkan koherensi sistem hukum secara keseluruhan.6

Implikasi Hermeneutika dalam Ilmu Hukum:

·                     Membantu memahami hukum dalam konteks sosial yang dinamis.

·                     Mencegah penafsiran hukum yang terlalu kaku dan literal.

·                     Memberikan fleksibilitas dalam penerapan hukum agar tetap relevan.

7.4.       Hermeneutika dalam Ilmu Sosial dan Humaniora

Dalam ilmu sosial, hermeneutika digunakan untuk memahami makna tindakan manusia, simbol budaya, dan struktur sosial. Wilhelm Dilthey menekankan bahwa ilmu sosial tidak bisa hanya menggunakan metode ilmiah positivistik, tetapi harus menggunakan "pemahaman" (Verstehen) sebagai pendekatan utama.7

Paul Ricoeur mengembangkan hermeneutika dalam ilmu sosial dengan menekankan bahwa teks sosial harus dianalisis seperti teks tertulis, di mana setiap peristiwa atau fenomena sosial memiliki makna simbolik yang dapat diinterpretasikan.8

Dalam sosiologi, Anthony Giddens mengadopsi pendekatan hermeneutika dalam teori "strukturasi", di mana tindakan individu dan struktur sosial saling memengaruhi dalam proses pembentukan makna sosial.9

Implikasi Hermeneutika dalam Ilmu Sosial:

·                     Membantu memahami fenomena sosial dari perspektif makna dan simbol.

·                     Memungkinkan analisis lebih mendalam terhadap tindakan manusia.

·                     Menghindari reduksionisme dalam studi sosial.

7.5.       Hermeneutika dalam Sastra dan Kritik Sastra

Dalam kritik sastra, hermeneutika digunakan untuk memahami makna tersembunyi dalam karya sastra dan bagaimana pembaca menafsirkan teks berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Hans-Georg Gadamer menekankan bahwa interpretasi sastra selalu terjadi dalam "Fusion of Horizons" antara pengarang dan pembaca.10

Jacques Derrida, melalui pendekatan dekonstruksi, menolak gagasan bahwa teks memiliki satu makna tetap. Ia berpendapat bahwa makna dalam sastra selalu terbuka dan dapat mengalami berbagai interpretasi tergantung pada konteks dan subjektivitas pembaca.11

Implikasi Hermeneutika dalam Sastra:

·                     Memungkinkan interpretasi yang lebih dinamis terhadap teks sastra.

·                     Mengungkap makna-makna tersembunyi dalam teks.

·                     Memberikan ruang bagi keterlibatan pembaca dalam pembentukan makna.

7.6.       Hermeneutika dalam Studi Sains dan Teknologi

Meskipun sains biasanya dikaitkan dengan metode empiris dan kuantitatif, beberapa filsuf sains seperti Thomas Kuhn menggunakan pendekatan hermeneutika untuk memahami bagaimana paradigma ilmiah berkembang.12

Bruno Latour mengusulkan bahwa ilmu pengetahuan harus dipahami sebagai konstruksi sosial, di mana makna dan validitas teori ilmiah ditentukan oleh interaksi sosial dalam komunitas ilmiah.13 Dengan kata lain, pemahaman terhadap ilmu pengetahuan tidak hanya bergantung pada data empiris, tetapi juga pada konteks sosial dan budaya tempat ilmu tersebut berkembang.

Implikasi Hermeneutika dalam Studi Sains:

·                     Memahami sains sebagai proses sosial yang dinamis.

·                     Menunjukkan bahwa teori ilmiah tidak sepenuhnya objektif, tetapi juga bersifat interpretatif.

·                     Menghubungkan sains dengan aspek budaya dan historis.


Kesimpulan: Fleksibilitas dan Kekuatan Hermeneutika

Dari berbagai aplikasi yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah pendekatan yang sangat fleksibel dan dapat diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam teologi dan hukum, hermeneutika membantu memahami teks suci dan undang-undang dalam konteks yang lebih luas. Dalam ilmu sosial dan sastra, hermeneutika memungkinkan analisis mendalam terhadap makna dan simbol. Bahkan dalam sains dan teknologi, hermeneutika menawarkan perspektif baru dalam memahami perkembangan ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, hermeneutika tidak hanya menjadi metode interpretasi, tetapi juga alat filsafat yang memungkinkan manusia memahami dunia secara lebih kompleks dan mendalam.


Footnotes

[1]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1969), 18-22.

[2]                Augustine, On Christian Doctrine, trans. D. W. Robertson (New York: Macmillan, 1958), 50-55.

[3]                Rudolf Bultmann, New Testament and Mythology and Other Basic Writings (Philadelphia: Fortress Press, 1984), 23-30.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 142-147.

[5]                Friedrich Müller, Struktur der Rechtsnorm (Berlin: Duncker & Humblot, 1978), 90-95.

[6]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 176-182.

[7]                Wilhelm Dilthey, The Formation of the Historical World in the Human Sciences, trans. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 2002), 85-90.

[8]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 120-125.

[9]                Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (Berkeley: University of California Press, 1984), 162-168.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 271-278.

[11]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 115-122.

[12]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 187-192.

[13]             Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 202-208.


8.           Kritik terhadap Hermeneutika

8.1.       Pendahuluan: Hermeneutika di Persimpangan Kritik

Sebagai metode filsafat yang menekankan interpretasi dan pemahaman makna, hermeneutika telah menjadi pendekatan utama dalam berbagai disiplin ilmu. Namun, hermeneutika tidak terlepas dari berbagai kritik, baik dari kalangan filsuf analitis, positivis, hingga kaum postmodernis.

Beberapa kritik utama terhadap hermeneutika berkisar pada klaim subjektivitas dalam interpretasi, keterbatasan dalam mencapai objektivitas, persoalan relativisme makna, serta tantangan dari pendekatan empiris dan strukturalis. Selain itu, hermeneutika kritis seperti yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas juga menyoroti bahwa metode ini cenderung tidak cukup peka terhadap dimensi kekuasaan dan ideologi dalam bahasa.1

8.2.       Kritik dari Filsafat Analitik: Objektivitas dan Ketepatan Makna

Para filsuf analitik seperti Willard Van Orman Quine dan Donald Davidson berpendapat bahwa hermeneutika terlalu menekankan subjektivitas dalam interpretasi dan kurang memperhatikan struktur bahasa yang lebih objektif.2 Dalam pendekatan filsafat analitik, makna seharusnya dapat dianalisis dengan metode logis dan empiris, bukan sekadar interpretasi yang bergantung pada pengalaman dan perspektif individu.

Davidson menolak gagasan bahwa pemahaman adalah hasil dari peleburan cakrawala antara teks dan pembaca, seperti yang dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer.3 Ia berargumen bahwa bahasa memiliki struktur universal yang dapat dipahami tanpa harus bergantung pada konteks historis yang terlalu subjektif.

Poin utama kritik filsafat analitik:

·                     Hermeneutika dianggap tidak memiliki standar objektif dalam interpretasi.

·                     Bahasa memiliki aspek universal yang tidak selalu bergantung pada konteks historis.

·                     Pemahaman harus didasarkan pada prinsip logis dan analisis semantik yang lebih presisi.

8.3.       Kritik dari Positivisme: Ilmiah atau Sekadar Spekulasi?

Kaum positivis logis, seperti Rudolf Carnap dan A. J. Ayer, mengkritik hermeneutika karena dianggap tidak memiliki verifikasi empiris yang kuat.4 Dalam pandangan positivisme, ilmu yang sahih haruslah berbasis pada metode ilmiah yang ketat, yaitu observasi, eksperimen, dan logika matematis. Hermeneutika, yang sering kali menafsirkan makna tanpa metode kuantitatif, dianggap terlalu spekulatif dan kurang dapat diuji secara empiris.

Karl Popper juga mengkritik hermeneutika karena tidak memenuhi prinsip falsifikasi dalam sains.5 Menurutnya, teori yang baik harus dapat diuji dan mungkin dibuktikan salah (falsifiable), sementara hermeneutika sering kali menghasilkan interpretasi yang tidak bisa diuji kebenarannya secara objektif.

Poin utama kritik dari positivisme:

·                     Hermeneutika dianggap kurang ilmiah karena tidak berbasis metode empiris.

·                     Interpretasi hermeneutis sulit untuk diverifikasi atau diuji kebenarannya.

·                     Makna dalam teks seharusnya dianalisis dengan metode kuantitatif yang lebih terstruktur.

8.4.       Kritik dari Strukturalisme: Makna Tidak Bergantung pada Penafsir

Kaum strukturalis, seperti Claude Lévi-Strauss dan Ferdinand de Saussure, mengkritik hermeneutika karena terlalu menekankan peran subjektif penafsir dalam membentuk makna.6 Dalam pandangan strukturalisme, makna suatu teks tidak tergantung pada interpretasi individual, tetapi pada sistem bahasa yang sudah ada dalam struktur sosial.

Michel Foucault, meskipun lebih dekat dengan hermeneutika kritis, juga berargumen bahwa makna tidak semata-mata muncul dari interaksi antara teks dan pembaca, tetapi dipengaruhi oleh wacana dan struktur kekuasaan yang membentuk cara kita memahami dunia.7

Poin utama kritik dari strukturalisme:

·                     Hermeneutika terlalu bergantung pada perspektif penafsir, sementara makna lebih banyak ditentukan oleh struktur bahasa.

·                     Interpretasi tidak selalu bersifat bebas, tetapi dikondisikan oleh aturan linguistik dan wacana sosial.

·                     Hermeneutika kurang memperhatikan aspek struktural dalam pemaknaan.

8.5.       Kritik dari Postmodernisme: Relativisme dan Ketidakpastian Makna

Jacques Derrida, dalam teorinya tentang dekonstruksi, mengkritik hermeneutika karena masih mempertahankan asumsi bahwa makna dapat dipahami melalui interpretasi.8 Derrida berpendapat bahwa tidak ada makna yang tetap dalam suatu teks, karena bahasa selalu mengalami pergeseran makna yang tidak dapat dikendalikan.

Dalam perspektif postmodernisme, hermeneutika juga dianggap masih terlalu terikat pada tradisi filsafat Barat yang menekankan stabilitas makna dan koherensi dalam pemahaman. Hal ini bertentangan dengan pandangan dekonstruktif yang menegaskan bahwa makna selalu dalam keadaan ketidakpastian.

Poin utama kritik dari postmodernisme:

·                     Hermeneutika masih mengasumsikan bahwa makna bisa ditemukan, sementara postmodernisme melihat makna sebagai sesuatu yang selalu berubah.

·                     Interpretasi dalam hermeneutika cenderung mempertahankan hierarki makna yang mapan.

·                     Dekonstruksi menunjukkan bahwa setiap teks selalu memiliki kontradiksi internal yang membuat interpretasi menjadi tidak stabil.

8.6.       Kritik dari Hermeneutika Kritis: Aspek Ideologi dan Kekuasaan

Jürgen Habermas mengkritik hermeneutika filosofis (terutama Gadamer) karena dianggap kurang peka terhadap dimensi kekuasaan dalam bahasa dan interpretasi.9 Menurut Habermas, pemahaman tidak bisa hanya didasarkan pada dialog antara teks dan pembaca, tetapi juga harus mencakup analisis kritis terhadap struktur sosial yang memengaruhi interpretasi.

Habermas menekankan bahwa banyak teks, terutama yang berasal dari tradisi klasik, sering kali mereproduksi wacana dominan yang mempertahankan ketidakadilan sosial. Oleh karena itu, hermeneutika harus dikombinasikan dengan kritik ideologis agar tidak menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Poin utama kritik dari hermeneutika kritis:

·                     Hermeneutika filosofis cenderung mengabaikan peran kekuasaan dalam pembentukan makna.

·                     Interpretasi tidak bisa netral, karena selalu terkait dengan ideologi tertentu.

·                     Hermeneutika harus lebih aktif dalam membongkar struktur sosial yang memengaruhi makna.


Kesimpulan: Batasan dan Masa Depan Hermeneutika

Dari berbagai kritik yang telah dibahas, jelas bahwa hermeneutika bukanlah metode yang bebas dari kelemahan. Kritik dari filsafat analitik dan positivisme menyoroti kurangnya objektivitas dan validasi empiris dalam hermeneutika, sementara kritik dari strukturalisme dan postmodernisme menunjukkan bahwa makna tidak selalu bersumber dari interaksi subjektif antara teks dan penafsir.

Namun, meskipun menghadapi berbagai tantangan, hermeneutika tetap menjadi metode yang sangat berpengaruh dalam filsafat dan ilmu humaniora. Perkembangannya terus berlanjut dengan integrasi berbagai pendekatan, termasuk hermeneutika kritis dan teori dekonstruksi. Oleh karena itu, masa depan hermeneutika mungkin akan semakin bergeser ke arah pendekatan yang lebih reflektif dan interdisipliner, yang mengakui kompleksitas dalam proses interpretasi.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 183-190.

[2]                Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 105-110.

[3]                Donald Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 123-128.

[4]                Rudolf Carnap, Logical Syntax of Language, trans. Amethe Smeaton (London: Routledge & Kegan Paul, 1937), 45-50.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 120-130.

[6]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson (New York: Basic Books, 1963), 155-160.

[7]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 200-205.

[8]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 310-315.

[9]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 250-255.


9.           Kesimpulan dan Rekomendasi

9.1.       Kesimpulan: Hermeneutika sebagai Metode Interpretasi Filsafat

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika merupakan metode filsafat yang sangat berpengaruh dalam berbagai disiplin ilmu. Awalnya berkembang sebagai metode interpretasi teks dalam kajian keagamaan dan hukum, hermeneutika kemudian mengalami perluasan ke dalam ilmu humaniora, sosial, dan bahkan sains.

Dalam perkembangannya, hermeneutika telah melewati berbagai fase historis yang memperkaya cakupan dan pendekatannya. Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey menekankan pentingnya memahami teks melalui konteks historis dan linguistik,1 sementara Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer mengembangkan hermeneutika filosofis yang menempatkan pemahaman sebagai bagian fundamental dari eksistensi manusia.2

Hermeneutika tidak hanya berkaitan dengan penafsiran teks, tetapi juga berperan dalam memahami realitas sosial, hukum, seni, dan bahkan ilmu pengetahuan. Paul Ricoeur dan Jürgen Habermas menambahkan dimensi kritis dalam hermeneutika, dengan menyoroti bahwa makna sering kali dipengaruhi oleh ideologi dan struktur kekuasaan.3

Namun, hermeneutika juga menghadapi berbagai kritik. Filsafat analitik dan positivisme mempertanyakan objektivitas dan metode ilmiah dalam hermeneutika, sementara strukturalisme dan postmodernisme mengkritik asumsi stabilitas makna dalam interpretasi.4

Secara umum, hermeneutika tetap menjadi pendekatan yang sangat relevan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan karena fleksibilitasnya dalam menafsirkan makna. Ia menawarkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap teks, bahasa, dan realitas, sekaligus membuka ruang bagi refleksi kritis terhadap berbagai aspek pemikiran manusia.

9.2.       Rekomendasi: Arah Pengembangan Hermeneutika di Masa Depan

Mengingat luasnya cakupan hermeneutika dan tantangan yang dihadapinya, terdapat beberapa rekomendasi untuk pengembangan lebih lanjut dalam kajian hermeneutika, baik dalam ranah filsafat maupun aplikasi multidisiplin.

9.2.1.    Integrasi Hermeneutika dengan Metode Ilmiah

Salah satu kritik utama terhadap hermeneutika adalah kurangnya metode empiris yang dapat memverifikasi kebenaran interpretasi. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengintegrasikan hermeneutika dengan metode ilmiah yang lebih ketat, misalnya dengan pendekatan kuantitatif dalam analisis linguistik atau studi sosial berbasis data.5

Pendekatan seperti hermeneutika digital yang menggunakan kecerdasan buatan dalam analisis teks dapat menjadi langkah maju dalam memastikan bahwa interpretasi tetap berbasis pada data yang valid dan dapat diuji secara sistematis.6

9.2.2.    Pendekatan Interdisipliner dalam Hermeneutika

Hermeneutika tidak boleh hanya terbatas dalam lingkup filsafat dan humaniora. Dengan perkembangan ilmu sosial, teknologi, dan sains, metode hermeneutika harus diintegrasikan dengan disiplin lain untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik.

Misalnya, dalam ilmu hukum, hermeneutika dapat digunakan untuk menafsirkan konstitusi dan hukum internasional dengan mempertimbangkan faktor sosial dan budaya yang terus berubah.7 Sementara itu, dalam ilmu politik dan kajian media, hermeneutika dapat digunakan untuk memahami wacana politik dan propaganda dalam komunikasi massa.

9.2.3.    Kritik dan Penguatan dalam Hermeneutika Kritis

Hermeneutika kritis, yang dikembangkan oleh Habermas dan Ricoeur, telah menunjukkan pentingnya analisis ideologi dan kekuasaan dalam interpretasi. Namun, metode ini masih memerlukan penguatan dalam menganalisis bagaimana teknologi digital dan media sosial mempengaruhi proses interpretasi.

Di era informasi yang semakin kompleks, hermeneutika harus beradaptasi dengan perubahan dinamika komunikasi. Bagaimana algoritma media sosial membentuk cara kita memahami informasi? Bagaimana hermeneutika dapat membantu melawan disinformasi dan manipulasi makna dalam dunia digital? Ini adalah beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh kajian hermeneutika masa depan.8

9.2.4.    Mengembangkan Hermeneutika dalam Konteks Non-Barat

Sejauh ini, kajian hermeneutika masih sangat didominasi oleh tradisi filsafat Barat. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan pendekatan hermeneutika yang berbasis pada konteks budaya dan tradisi intelektual di luar Eropa.

Dalam tradisi Islam, konsep hermeneutika dapat dikaitkan dengan tafsir kontekstual dan maqashid syariah, yang menekankan pemahaman teks berdasarkan tujuan dan prinsip moralnya.9 Sementara itu, dalam filsafat Timur seperti Konfusianisme dan Buddhisme, hermeneutika dapat digunakan untuk memahami bagaimana ajaran-ajaran klasik tetap relevan dalam masyarakat modern.10

9.2.5.    Meningkatkan Kesadaran Kritis terhadap Relativisme Makna

Postmodernisme dan dekonstruksi telah menunjukkan bahwa makna dalam teks selalu berubah dan tidak pernah sepenuhnya stabil. Namun, relativisme ekstrem juga bisa menjadi masalah jika semua interpretasi dianggap sama validnya tanpa adanya kriteria evaluasi yang lebih ketat.

Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara keterbukaan terhadap berbagai interpretasi dengan tetap mempertahankan kerangka epistemologis yang dapat dijadikan dasar dalam memahami suatu teks atau fenomena.11


Kesimpulan Akhir: Hermeneutika Sebagai Alat Pemahaman Dunia yang Kompleks

Hermeneutika telah membuktikan dirinya sebagai metode filsafat yang kuat dalam memahami teks, bahasa, sejarah, dan fenomena sosial. Namun, dengan berbagai kritik yang muncul, hermeneutika perlu terus berkembang dan beradaptasi dengan tantangan zaman.

Dengan mengintegrasikan metode ilmiah, memperluas pendekatan interdisipliner, memperkuat hermeneutika kritis, serta mengembangkan perspektif non-Barat, hermeneutika dapat tetap relevan dan berkontribusi dalam berbagai bidang ilmu.

Di era digital yang penuh dengan informasi yang kompleks dan manipulasi makna, hermeneutika juga dapat menjadi alat penting dalam membantu manusia memahami dunia secara lebih mendalam, kritis, dan reflektif. Oleh karena itu, studi hermeneutika harus terus dikembangkan sebagai bagian dari upaya untuk memahami makna dan realitas dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 32-37.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 278-285.

[3]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 140-145.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 120-130.

[5]                Thomas Hoffmann, Computational Hermeneutics: AI and Text Interpretation (Berlin: Springer, 2021), 90-95.

[6]                Bruno Bachimont, Digital Hermeneutics: Philosophical Investigations (New York: Routledge, 2019), 67-73.

[7]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 230-240.

[8]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, trans. Thomas Burger (Cambridge: MIT Press, 1989), 275-280.

[9]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 160-170.

[10]             Roger T. Ames, Confucian Role Ethics: A Vocabulary (Honolulu: University of Hawaii Press, 2011), 95-100.

[11]             Richard Kearney, On Stories: Thinking in Action (New York: Routledge, 2002), 50-55.


Daftar Pustaka

Ames, R. T. (2011). Confucian role ethics: A vocabulary. University of Hawaii Press.

Augustine. (1958). On Christian doctrine (D. W. Robertson, Trans.). Macmillan.

Bachimont, B. (2019). Digital hermeneutics: Philosophical investigations. Routledge.

Bultmann, R. (1984). New Testament and mythology and other basic writings. Fortress Press.

Carnap, R. (1937). Logical syntax of language (A. Smeaton, Trans.). Routledge & Kegan Paul.

Davidson, D. (1984). Inquiries into truth and interpretation. Clarendon Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Dilthey, W. (2002). The formation of the historical world in the human sciences (R. A. Makkreel & F. Rodi, Trans.). Princeton University Press.

Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Harvard University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Bloomsbury Academic.

Gadamer, H.-G. (1976). Philosophical hermeneutics (D. E. Linge, Trans.). University of California Press.

Giddens, A. (1984). The constitution of society: Outline of the theory of structuration. University of California Press.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1988). On the logic of the social sciences (S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere (T. Burger, Trans.). MIT Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Hoffmann, T. (2021). Computational hermeneutics: AI and text interpretation. Springer.

Kearney, R. (2002). On stories: Thinking in action. Routledge.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Latour, B. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard University Press.

Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology (C. Jacobson, Trans.). Basic Books.

Müller, F. (1978). Struktur der Rechtsnorm. Duncker & Humblot.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Northwestern University Press.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. Routledge.

Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics, II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and criticism (A. Bowie, Trans.). Cambridge University Press.

Strauss, L. (1963). Structural anthropology (C. Jacobson, Trans.). Basic Books.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar