Nubuwwah Profetik dan Validitas Prediktif dari Masa Kenabian
Penaklukan Bangsa Romawi dalam Hadis Nabi
Alihkan ke: Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara kritis hadis-hadis Nabi
Muhammad Saw yang memuat prediksi tentang penaklukan bangsa Romawi, khususnya
penaklukan Konstantinopel dan isyarat tentang Roma, dalam kerangka nubuwwah
profetik dan validitas prediktifnya. Fokus utama kajian ini adalah mengungkap
bagaimana informasi ghaib yang disampaikan Rasulullah Saw dalam hadis-hadis
tersebut terbukti secara historis, bahkan jauh setelah masa kenabian dan
kodifikasi hadis berakhir. Penelitian ini menggunakan pendekatan
historis-teologis dan epistemologis dengan menelaah teks hadis, sanad
periwayatan, dan realitas sejarah yang membuktikan akurasi nubuat tersebut.
Temuan utama menunjukkan bahwa hadis-hadis profetik tersebut tidak hanya
menegaskan keabsahan kenabian Muhammad Saw dari perspektif spiritual, tetapi
juga dapat diuji dan dibuktikan secara rasional dan empiris. Selain itu,
artikel ini juga menyoroti relevansi keajaiban prediksi profetik tersebut dalam
membangun keimanan rasional, memperkuat posisi hadis dalam kajian keilmuan
modern, serta membuka ruang bagi integrasi antara wahyu dan sejarah dalam
pembentukan peradaban Islam kontemporer.
Kata Kunci: Nubuwwah Profetik, Penaklukan Romawi, Hadis
Futuristik, Validitas Sejarah, Epistemologi Islam, Rasulullah, Konstantinopel,
Roma, al-Ikhbār ʿan al-Ghayb.
PEMBAHASAN
Telaah Nubuwwah Profetik dan Validitas Prediktif dari
Masa Kenabian hingga Pasca Kodifikasi Hadis
1.
Pendahuluan
Sejak awal kemunculannya, Islam telah menyampaikan
ajaran yang tidak hanya bersifat normatif dan spiritual, tetapi juga mencakup
dimensi profetik dalam bentuk nubuwwah atau pemberitahuan tentang
hal-hal gaib yang akan terjadi di masa depan. Salah satu bentuk keajaiban
(muʿjizāt) yang dikaitkan dengan kenabian Muhammad Saw adalah kemampuannya
menyampaikan informasi masa depan secara tepat dan akurat, sebagaimana tertuang
dalam sejumlah hadis sahih yang dikodifikasikan setelah masa beliau wafat. Hal
ini menunjukkan bahwa nubuwwah profetik Nabi tidak hanya berfungsi sebagai
peneguhan kerasulan di hadapan umatnya saat itu, tetapi juga menjadi warisan
episteme keimanan yang dapat dikaji secara rasional dan historis hingga
masa kini.
Di antara nubuat kenabian yang mendapat perhatian
signifikan adalah pernyataan Rasulullah Saw mengenai penaklukan bangsa
Romawi (Rūm), baik dalam konteks penaklukan Konstantinopel maupun Roma,
serta keterlibatan mereka dalam peristiwa akhir zaman seperti al-Malḥamah
al-Kubrā. Dalam beberapa riwayat sahih, Nabi Muhammad Saw menyebutkan bahwa
Konstantinopel akan ditaklukkan oleh umat Islam, bahkan sebelum kota tersebut
dikuasai oleh kekhalifahan manapun. Beliau bersabda, “Sungguh Konstantinopel
akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik
pasukan adalah pasukannya”.1
Riwayat ini tidak hanya menjadi semangat eskatologis umat Islam sepanjang
sejarah, tetapi juga dianggap sebagai bukti kuat atas kemukjizatan prediksi
Nabi yang terealisasi berabad-abad setelah wafat beliau, yakni pada tahun
1453 M oleh Sultan Muhammad II al-Fātih dari Daulah Utsmaniyah.2
Keberhasilan penaklukan tersebut telah memicu
perhatian banyak cendekiawan Muslim terhadap kebenaran nubuat-nubuat Nabi yang
terekam dalam hadis. Menurut Yusuf al-Qaraḍāwī, realisasi prediksi Rasulullah
Saw yang baru terjadi ratusan tahun setelah wafatnya beliau, bahkan setelah
masa kodifikasi hadis, menjadi bukti bahwa hadis-hadis tersebut tidak
mungkin direkayasa atau disesuaikan dengan realitas sejarah oleh para
periwayat.3 Dengan kata lain, aspek
“profetik” dalam hadis justru menjadi indikator penting keautentikan sabda Nabi
dan keabsahan transmisi hadis melalui jalur sanad.
Urgensi kajian ini bertambah kuat ketika
disandingkan dengan upaya akademik kontemporer dalam membuktikan kebenaran
Islam secara rasional. Sejumlah sarjana modern, seperti M. Sa’id Ramadhan
al-Būṭī, menegaskan bahwa mukjizat berupa informasi gaib (al-ikhbār ʿan
al-ghayb) adalah salah satu bukti rasional kenabian yang tidak dapat
disanggah oleh nalar sejarah atau logika ilmiah.4
Dalam konteks ini, prediksi Nabi tentang bangsa Romawi menjadi objek yang
menarik untuk ditelaah lebih dalam, tidak hanya dari aspek historis-faktualnya,
tetapi juga dari sisi epistemologis dan teologis, yakni bagaimana
peran hadis-hadis ini dalam meneguhkan iman kepada Rasul (iman bi al-rusul) dan
memperkuat tradisi keilmuan Islam.
Artikel ini akan menelaah secara sistematis
hadis-hadis yang berkaitan dengan penaklukan bangsa Romawi dalam berbagai
bentuknya, dengan fokus pada validitas prediktif hadis-hadis tersebut.
Kajian ini akan menggunakan pendekatan historis-teologis dengan menganalisis
konten hadis (matan), rantai periwayatan (sanad), serta perkembangan peristiwa
yang membuktikan atau mengarah pada realisasi nubuat tersebut. Di samping itu,
kajian ini juga mempertimbangkan masa kodifikasi hadis sebagai titik krusial
dalam membuktikan ketulenan prediksi profetik Nabi Muhammad Saw, yang
justru memperlihatkan keajaiban hadis-hadis tersebut karena tidak dikonstruksi
oleh konteks sejarah setelahnya.
Footnotes
[1]
Ahmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978.
Lihat juga al-Albānī, al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah, no. 2237. Hadis ini
dishahihkan oleh al-Albānī dalam berbagai karyanya dan disebut sebagai prediksi
kenabian yang terbukti secara historis.
[2]
Halil İnalcık, The Ottoman Empire: The Classical
Age 1300–1600 (London: Weidenfeld & Nicolson, 1973), 12–14. Lihat juga
Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, terj. Ralph Manheim
(Princeton: Princeton University Press, 1978), 93–95.
[3]
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʿāmal Maʿa
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), 84–86.
[4]
Muḥammad Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā
al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 127–132.
2.
Bangsa
Romawi dalam Konteks Sejarah dan Hadis
2.1.
Posisi Romawi dalam
Geopolitik Abad ke-7 M
Pada abad ke-7 M, Dunia Lama terbagi antara dua
kekuatan besar: Imperium Persia (Sassanid) di Timur dan Kekaisaran
Romawi Timur (Bizantium/Rum) di Barat. Romawi Timur, dengan ibu kotanya di Konstantinopel,
mewarisi warisan militer, administratif, dan religius dari Kekaisaran Romawi
Klasik. Secara geografis dan strategis, mereka menguasai wilayah penting
seperti Asia Kecil, Suriah, Palestina, dan Mesir, yang semuanya kelak akan
menjadi sasaran ekspansi Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.1
Keberadaan Kekaisaran Rum (Romawi Timur) sudah
dikenal oleh bangsa Arab pra-Islam, terutama karena hubungan dagang dan ziarah
yang melewati wilayah Syam, serta interaksi politik melalui klan-klan
perbatasan seperti Ghassan (pro-Romawi) dan Lakhmid (pro-Persia). Konflik
antara Persia dan Romawi pada masa menjelang bi'tsah (pengutusan Nabi) bahkan
direkam dalam Al-Qur’an secara eksplisit, yakni dalam Surah ar-Rum [30] ayat
1–4, yang mengabarkan kemenangan Romawi atas Persia setelah sebelumnya
mereka kalah telak.
الم
غُلِبَتِ الرُّومُ
فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ
سَيَغْلِبُونَ
فِي بِضْعِ سِنِينَ ۗ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ
بَعْدُ ۚ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ
“Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Rum, di negeri yang terdekat,
dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun (biḍ‘i
sinīn).”2
Menurut sejarawan Islam klasik seperti Ibn Jarir
al-Ṭabarī, ayat ini turun ketika Romawi mengalami kekalahan memalukan dari
Persia (sekitar 614 M) saat Yerusalem direbut dan salib suci diambil, namun
kemenangan kembali berpihak kepada Romawi di bawah Heraklius pada sekitar
622–627 M.3 Kejadian ini menjadi tanda pertama bahwa nubuwah Rasulullah
Saw juga meliputi wilayah geopolitik besar dunia, bukan hanya prediksi seputar
Jazirah Arab.
2.2.
Penyebutan Bangsa Rum dalam
Al-Qur’an dan Hadis
Sebutan “Rum” dalam literatur Islam merujuk
secara umum kepada Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium), bukan Romawi Barat yang
telah runtuh pada abad ke-5 M. Dalam Al-Qur’an, bangsa Rum bukan hanya
disebut dalam konteks konflik dengan Persia, tetapi juga sebagai simbol
kekuatan besar dunia yang akan takluk kepada kehendak Allah melalui umat Islam.
Prediksi kemenangan Rum atas Persia dalam ayat-ayat tersebut secara historis terbukti,
memperkuat keyakinan kaum Muslim akan kebenaran wahyu.
Di sisi lain, dalam korpus hadis, bangsa Rum
muncul sebagai objek penting dalam beberapa nubuat Rasulullah Saw. Hadis-hadis
ini terbagi menjadi dua kelompok besar:
1)
Hadis futūḥ (penaklukan): Yang menyebutkan akan ditaklukkannya kota-kota penting Romawi seperti Konstantinopel
dan Roma.
2)
Hadis eskatologis: Yang
merujuk pada keterlibatan bangsa Rum dalam peristiwa-peristiwa akhir zaman
seperti al-Malḥamah al-Kubrā (perang besar) dan persekutuan awal antara
Muslim dan Rum sebelum terjadinya pengkhianatan dan peperangan besar.4
Salah satu hadis paling masyhur dalam konteks futūḥ
menyatakan:
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ
الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ.
“Pasti Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin
adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.”5
Riwayat ini telah lama dipahami oleh umat Islam
sebagai janji kenabian yang meneguhkan keimanan mereka atas nubuwwah Muhammad
Saw, apalagi realisasinya terjadi 8 abad lebih setelah hadis tersebut
diucapkan.
Lebih dari itu, hadis-hadis tentang Malḥamah
Kubrā menyebut bangsa Rum sebagai pihak yang semula akan bersekutu dengan
umat Islam untuk memerangi musuh bersama, namun kemudian mengkhianati
perjanjian. Ini menunjukkan bahwa bangsa Rum (sebagai representasi peradaban
Barat atau Kristen) tetap menjadi aktor geopolitik utama bahkan hingga
menjelang Hari Kiamat, menurut narasi eskatologis Islam.6
Dengan demikian, baik dari sisi sejarah dunia
maupun nash-nash keagamaan, bangsa Romawi memiliki peran sentral yang
menjadi objek prediksi Rasulullah Saw. Keakuratan prediksi beliau dalam
menggambarkan kondisi dan nasib bangsa Rum memberikan dasar kuat untuk menilai hadis
profetik sebagai bagian dari muʿjizat informasi ghaib (al-ikhbār ʿan
al-ghayb) yang menegaskan kerasulan Muhammad Saw.
Footnotes
[1]
Hugh Kennedy, The Great Arab Conquests: How the
Spread of Islam Changed the World We Live In (Philadelphia: Da Capo Press,
2007), 22–25.
[2]
Al-Qur’an, Surah ar-Rum [30]:1–4. Terjemahan
merujuk pada Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, edisi 2019.
[3]
Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tārīkh al-Rusul wa
al-Mulūk, ed. Muḥammad Abū al-Faḍl Ibrāhīm (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1967),
jilid 2, 217–220.
[4]
Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, al-Silsilah
al-Ṣaḥīḥah, vol. 5 (Riyadh: Maktabah al-Maʿārif, 1995), 2237.
[5]
Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978;
lihat juga Ḥākim al-Naysābūrī, al-Mustadrak ʿala al-Ṣaḥīḥayn, vol. 4,
422. Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albānī.
[6]
Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, no.
4292; dan juga Musnad Aḥmad. Hadis ini dikaji dan dinilai sahih oleh al-Albānī
dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmiʿ, no. 8171.
3.
Hadis-Hadis
tentang Penaklukan Romawi: Klasifikasi dan Analisis
Hadis-hadis Nabi Muhammad Saw yang berbicara
tentang penaklukan bangsa Romawi tersebar dalam berbagai kitab hadis utama dan
memiliki kedudukan penting dalam kerangka futurologi Islam. Dalam telaah ini,
hadis-hadis tersebut diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar: (1) hadis
futūḥ yang menggambarkan penaklukan kota-kota besar Romawi, dan (2)
hadis eskatologis yang menyebut peran bangsa Rum dalam peristiwa besar
menjelang akhir zaman. Masing-masing kategori memiliki nilai profetik yang
menegaskan sifat kenabian Muhammad Saw dalam memberikan kabar gaib yang
terealisasi secara historis ataupun dinanti dalam horizon eskatologis umat
Islam.
3.1.
Hadis Futūḥ: Penaklukan
Konstantinopel dan Roma
Salah satu nubuat profetik Rasulullah Saw yang
paling masyhur adalah tentang penaklukan Konstantinopel (al-Qusṭanṭīniyyah),
ibu kota Kekaisaran Romawi Timur. Hadis tersebut diriwayatkan dari ʿAbdullāh
ibn ʿAmr bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"لَتُفْتَحَنَّ
الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ
ذَلِكَ الْجَيْشُ"
"Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin
adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."1
Hadis ini termuat dalam Musnad Aḥmad dan
dinilai sahih oleh banyak ulama, termasuk al-Ḥākim dan al-Albānī. Realisasi
nubuat ini terjadi pada tahun 1453 M, lebih dari 800 tahun setelah
wafatnya Nabi, melalui kemenangan Sultan Muhammad II dari Daulah
Utsmaniyyah. Sejarawan seperti Franz Babinger menyebut bahwa kemenangan ini
bukan sekadar pencapaian militer, melainkan juga pembuktian historis dari
sabda profetik Nabi Muhammad Saw.2
Menariknya, sebagian ulama seperti al-Sakhāwī
dan al-Suyūṭī menafsirkan bahwa hadis ini tidak hanya merujuk pada
penaklukan Konstantinopel semata, tetapi juga dapat memiliki lapisan makna
berulang—yakni bahwa kota itu dapat jatuh ke tangan Muslim lebih dari sekali,
sebagaimana dinamika kekuasaan sepanjang sejarah.3 Ini membuka
kemungkinan relevansi hadis dalam horizon sejarah yang lebih luas.
Selain Konstantinopel, terdapat riwayat tambahan
yang menyebut akan ditaklukkannya Roma (Rūmiyyah). Dalam sebuah riwayat
dari ʿAbdullāh ibn ʿAmr ibn al-ʿĀṣ, disebutkan:
"فَتُفْتَحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ،
ثُمَّ رُومِيَّةُ"
“Maka akan ditaklukkan Konstantinopel, kemudian Romiyyah (Roma).”4
Meskipun hadis ini memiliki derajat sanad yang
diperselisihkan, banyak ulama memahami bahwa Roma, sebagai pusat dunia
Barat dan simbol peradaban Kristen, juga akan menjadi bagian dari futūḥāt Islam
di masa mendatang. Dalam konteks historis, Roma belum pernah ditaklukkan oleh
umat Islam secara politik, namun nubuat ini masih dianggap terbuka secara
eskatologis dan teologis, serta dipandang sebagai bagian dari janji Allah
kepada Rasul-Nya.
3.2.
Hadis Eskatologis:
Keterlibatan Romawi dalam Peristiwa Akhir Zaman
Hadis-hadis dalam kategori ini menyebut bangsa Rum
bukan hanya sebagai objek futūḥ, tetapi juga sebagai aktor utama dalam
peristiwa-peristiwa eskatologis, khususnya dalam narasi al-Malḥamah
al-Kubrā (Armageddon Islam). Salah satu hadis penting dari jalur Dhū
Mikhmar, diriwayatkan oleh Abū Dāwūd, berbunyi:
"تُصَالِحُونَ الرُّومَ صُلْحًا
آمِنًا، ثُمَّ تَغْزُونَ أَنْتُمْ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِهِمْ... فَتَقَعُ
الْمَلْحَمَةُ"
“Kalian akan berdamai dengan bangsa Romawi dalam perdamaian yang aman,
lalu kalian bersama mereka memerangi musuh dari belakang mereka. Kemudian
terjadi pengkhianatan dan terjadilah al-Malḥamah (perang besar).”5
Hadis ini menunjukkan dua dimensi: (1) adanya kerjasama
temporer antara Muslim dan Rum dalam menghadapi musuh bersama, dan (2)
terjadinya pengkhianatan oleh Rum yang berujung pada perang besar
menjelang kiamat. Ini menggambarkan bahwa bangsa Romawi (yang dalam tafsir
kontemporer sering dikaitkan dengan dunia Barat) akan tetap eksis sebagai
kekuatan dominan hingga akhir zaman. Al-Qurṭubī dan Ibn Kathīr menafsirkan
bahwa peristiwa ini merupakan bentuk dari pertarungan global ideologi
yang berpuncak pada kemenangan Islam secara universal.6
Dalam versi riwayat lainnya, Rasulullah Saw
menggambarkan jumlah pasukan Rum yang akan terlibat dalam al-Malḥamah
berjumlah 80 bendera, masing-masing dipimpin oleh 12.000 tentara, menandakan sebuah
koalisi militer global.7 Tafsir kontemporer dari ulama seperti
Muhammad al-Munajjid dan Nūʿmān ʿAlī Khān mengaitkan hadis ini dengan realitas
globalisasi politik dan persekutuan kekuatan barat yang mengusung
nilai-nilai sekular dan materialistik, berlawanan dengan semangat tauhid Islam.
Kesimpulan Analisis
Dari klasifikasi di atas, tampak jelas bahwa hadis-hadis
tentang bangsa Romawi tidak sekadar menjadi warisan futurologi Islam, tetapi
juga bukti konkret nubuwwah profetik Nabi Muhammad Saw. Hadis tentang
penaklukan Konstantinopel telah terbukti secara historis, sementara hadis-hadis
eskatologis menanti pembuktiannya di masa depan. Kenyataan bahwa banyak dari
hadis ini telah diriwayatkan, dikodifikasi, dan dijaga sebelum terjadinya
peristiwa-peristiwa yang dimaksud, memperkuat keyakinan akan keaslian sabda
Nabi dan menegaskan bahwa informasi masa depan dalam hadis bukanlah
hasil konstruksi sejarah, melainkan benar-benar berasal dari wahyu Ilahi.
Footnotes
[1]
Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978;
Ḥākim al-Naysābūrī, al-Mustadrak, vol. 4, 422. Hadis ini dinilai sahih
oleh al-Ḥākim dan dikonfirmasi oleh al-Albānī dalam al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah,
no. 2237.
[2]
Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His
Time, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1978),
93–95.
[3]
Muḥammad al-Sakhāwī, al-Qawl al-Badīʿ fī
al-Ṣalāh ʿala al-Ḥabīb al-Shafīʿ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1996),
333; Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Khabar al-Dāl ʿalā Wujūd al-Mahdī
al-Muntazar, ed. Bashshār ʿAwwād Maʿrūf (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2006),
45–46.
[4]
Ibn Abī Shaybah, al-Muṣannaf, ed. Kamāl
Yūsuf al-Ḥūṭ (Riyadh: Maktabat al-Rushd, 2005), vol. 15, 100; dan disebut oleh
Ibn Kathīr dalam al-Bidāyah wa al-Nihāyah, vol. 1, 155.
[5]
Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, no.
4292; juga diriwayatkan dalam Musnad Aḥmad. Disahihkan oleh al-Albānī
dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmiʿ, no. 8171.
[6]
Ibn Kathīr, al-Nihāyah fī al-Fitan wa al-Malāḥim,
ed. Ṭāriq ʿAwwad (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 1998), 134–136; Muḥammad al-Qurṭubī, al-Tadhkirah
fī Aḥwāl al-Mawtā wa Umūr al-Ākhirah (Beirut: Dār al-Fikr, 2001), 698–701.
[7]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, no.
2897, Kitāb al-Fitan wa Ashrāṭ al-Sāʿah. Hadis ini menjelaskan konfigurasi
pasukan Rum dalam narasi al-Malḥamah al-Kubrā.
4.
Validitas
Prediktif Hadis dan Pembuktiannya dalam Sejarah
4.1.
Penaklukan Konstantinopel:
Realisasi Nubuat Nabi Saw
Hadis yang menyebutkan penaklukan Konstantinopel
merupakan salah satu bentuk nubuwwah profetik Nabi Muhammad Saw yang
telah terbukti secara historis. Dalam sebuah riwayat dari Abdullah ibn ‘Amr, Rasulullah
Saw bersabda:
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ
الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
"Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin
adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."1
Nubuat ini terbukti dengan penaklukan Konstantinopel
pada 29 Mei 1453 M oleh Sultan Mehmed II dari Daulah Utsmaniyyah, hampir delapan
abad setelah hadis tersebut diucapkan. Sejarawan Franz Babinger mencatat bahwa
keberhasilan ini menandai runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur dan dianggap
sebagai tonggak sejarah penting dalam dunia Islam dan Barat.2 Bahkan
sejarawan Eropa menyebut Mehmed II sebagai “The Conqueror” karena
keberhasilannya memenuhi nubuat ini, meski tidak semua dari mereka menyadari
bahwa penaklukan tersebut sudah diramalkan oleh Nabi Islam.
Kekuatan validitas prediksi ini diperkuat oleh
fakta bahwa pada masa kodifikasi hadis (abad ke-2–3 H/8–9 M), Konstantinopel
belum ditaklukkan. Artinya, para perawi seperti Imam Aḥmad ibn Ḥanbal,
al-Bukhārī, dan Muslim mencatat hadis ini tanpa melihat realisasi sejarahnya,
yang baru terjadi berabad-abad kemudian. Oleh karena itu, kemustahilan
rekayasa nash hadis dalam rangka “menyesuaikan dengan kenyataan” menjadi bukti
kuat akan keotentikannya.3
4.2.
Isyarat tentang Penaklukan
Roma: Nubuat yang Belum Terealisasi?
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa setelah
penaklukan Konstantinopel, umat Islam akan menaklukkan Roma (Rumiyyah):
فَتُفْتَحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، ثُمَّ رُومِيَّةُ
“Maka akan ditaklukkan Konstantinopel, kemudian Romiyyah (Roma).”4
Sebagian ulama memandang hadis ini sebagai
perluasan dari hadis pertama, dan menganggap bahwa penaklukan Roma adalah
peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Al-Suyūṭī dalam al-Khabar
al-Dāl menegaskan bahwa penaklukan Konstantinopel tidak mengakhiri nubuat
Nabi, sebab masih ada kota besar lain yang menjadi simbol kekuasaan Kristen,
yakni Roma, yang belum masuk dalam wilayah Islam secara politik.5
Pandangan ini mendapat dukungan dari penafsiran eskatologis
kontemporer, yang menyatakan bahwa penaklukan Roma bisa bermakna harfiah
(penaklukan militer) atau simbolik (dominasi intelektual dan spiritual
Islam atas Barat). Apapun bentuk realisasinya, nubuat ini masih bersifat
terbuka dan terus menjadi bagian dari pengharapan profetik dalam sejarah Islam.
4.3.
Perspektif dari Masa
Kodifikasi Hadis: Meneguhkan Asal Profetik
Keunikan nubuat-nubuat Rasulullah Saw tidak hanya
terletak pada kandungannya, tetapi juga pada proses transmisi dan kodifikasinya.
Kodifikasi hadis secara sistematis terjadi pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah,
yakni dalam masa ketika kebanyakan nubuat tentang bangsa Romawi belum
terwujud. Hadis-hadis mengenai penaklukan Konstantinopel dan Roma, serta al-Malḥamah
al-Kubrā, telah dicatat dalam berbagai kitab hadis utama seperti Musnad
Aḥmad, Sunan Abī Dāwūd, dan Ṣaḥīḥ Muslim jauh sebelum
tahun 1453 M.
Menurut Yusuf al-Qaradawi, hal ini menunjukkan
bahwa tidak mungkin hadis-hadis tersebut merupakan rekayasa untuk
menyesuaikan peristiwa sejarah, karena terlalu jauh jaraknya antara
peristiwa dan periwayatan.6 Sebaliknya,
fakta ini justru menegaskan bahwa sabda Nabi tersebut memiliki nilai
prediktif yang autentik, sebagaimana wahyu dari Tuhan yang Mahatahu.
Dalam telaah epistemologis, prediksi yang terbukti
jauh setelah masa Nabi menjadi bagian dari al-ikhbār ʿan al-ghayb, yakni
pemberitahuan tentang perkara gaib yang menjadi bagian dari muʿjizat kenabian.
Menurut Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, pengungkapan kebenaran informasi gaib dalam
hadis—yang terbukti akurat dan tidak bisa dipalsukan—merupakan bukti
rasional dan teologis tentang kebenaran misi kenabian Muhammad Saw.7
Kesimpulan Sub-Bab
Validitas prediktif hadis tentang bangsa Romawi
terbukti dalam sejarah penaklukan Konstantinopel dan berlanjut sebagai nubuat
terbuka tentang Roma. Pembuktiannya bukan hanya menguatkan iman terhadap
kenabian Muhammad Saw, tetapi juga memperlihatkan bahwa hadis Nabi bukanlah
narasi pasca-faktual (after-the-fact narrative), melainkan benar-benar
bersumber dari wahyu. Jarak waktu antara periwayatan dan realisasi, serta
konsistensi sanad dalam berbagai kitab utama, memberikan dasar kuat bahwa dimensi
profetik dalam hadis adalah fakta historis sekaligus keyakinan teologis
yang saling menguatkan.
Footnotes
[1]
Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978;
lihat pula Ḥākim al-Naysābūrī, al-Mustadrak, vol. 4, 422. Hadis ini disahihkan
oleh al-Albānī dalam al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah, no. 2237.
[2]
Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His
Time, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1978),
93–95.
[3]
Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Early
Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 77–82.
Lihat juga: Harald Motzki, “The Muṣannaf of ʿAbd al-Razzāq al-Ṣanʿānī as a
Source of Authentic Aḥādīth,” Journal of Near Eastern Studies 50, no. 1
(1991): 1–21.
[4]
Ibn Abī Shaybah, al-Muṣannaf, ed. Kamāl
Yūsuf al-Ḥūṭ (Riyadh: Maktabat al-Rushd, 2005), vol. 15, 100.
[5]
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Khabar al-Dāl ʿalā
Wujūd al-Mahdī al-Muntazar, ed. Bashshār ʿAwwād Maʿrūf (Beirut: Dār Ibn
Ḥazm, 2006), 45.
[6]
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʿāmal Maʿa
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), 84–86.
[7]
Muḥammad Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā
al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 128–133.
5.
Nubuwwah
dan Keajaiban Prediktif Hadis: Kajian Epistemologis
Fenomena prediksi peristiwa masa depan dalam hadis
Nabi Muhammad Saw, khususnya terkait penaklukan bangsa Romawi, menempati posisi
istimewa dalam telaah epistemologi Islam. Ia tidak hanya berfungsi sebagai
wacana naratif yang menguatkan akidah secara spiritual, tetapi juga dapat diuji
melalui pendekatan rasional dan historis. Dalam kerangka ini, nubuwah profetik
dipandang sebagai epistemik kenabian (prophetic epistemology), yakni
sistem pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan dibuktikan melalui realisasi
peristiwa-peristiwa yang dinyatakannya.
5.1.
Hadis sebagai Wasilah
Pembuktian Kerasulan
Dalam tradisi Islam, mukjizat kenabian
memiliki dua fungsi utama: (1) membuktikan kerasulan seseorang secara sah, dan
(2) menjadi tantangan ilmiah maupun spiritual bagi umat manusia. Di antara
bentuk mukjizat yang bersifat intelektual dan bersambungan dengan zaman adalah al-ikhbār
ʿan al-ghayb, yaitu pemberitahuan Nabi Saw tentang hal-hal gaib yang akan
terjadi di masa depan. Al-Suyūṭī dalam al-Khaṣāʾiṣ al-Kubrā
mengklasifikasikan lebih dari seratus nubuat Rasulullah Saw yang terbukti
setelah wafat beliau, termasuk penaklukan wilayah Persia, Romawi, serta munculnya
berbagai fitnah dan peperangan besar.1
Hadis-hadis tentang penaklukan Konstantinopel dan
Roma, serta peran bangsa Rum dalam narasi eskatologis, merupakan bagian dari
mukjizat tersebut. Yusuf al-Qaraḍāwī menyatakan bahwa mukjizat hadis-hadis
profetik bukan hanya menunjukkan validitas wahyu, tetapi juga menjadi argumentasi
rasional dalam menghadapi tantangan pemikiran modern yang meragukan
eksistensi kenabian di luar nalar empiris.2 Dalam hal ini, hadis
menjadi instrumen pembuktian bahwa Rasulullah Saw mendapatkan pengetahuan yang
tidak mungkin didapatkan melalui akal atau pengamatan biasa.
5.2.
Keistimewaan Prediksi yang
Terbukti Pasca Masa Nabi
Salah satu dimensi epistemik yang paling signifikan
dari nubuat Nabi adalah terbuktinya peristiwa yang diprediksi setelah masa
kenabian berakhir. Realisasi penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad
al-Fātih pada abad ke-15, yang telah diramalkan oleh Nabi delapan abad
sebelumnya, menjadi bukti bahwa sumber pengetahuan Nabi tidak berasal dari
konstruksi manusiawi atau spekulasi geopolitik, melainkan dari wahyu Ilahi.
Sejarawan hadis seperti Muhammad Mustafa al-Azami
menegaskan bahwa riwayat-riwayat profetik dalam hadis sahih tidak mungkin
hasil rekayasa, sebab sebagian besar dari nubuat tersebut belum terjadi
bahkan saat masa kodifikasi hadis selesai.3 Dengan demikian, jarak
waktu antara prediksi dan peristiwa aktual menjadi parameter epistemik yang
menguatkan keautentikan kenabian.
Dari sudut pandang filsafat ilmu, hal ini sejalan
dengan prinsip verifikasionisme terbalik—yakni prediksi suatu peristiwa
pada masa lalu yang terbukti benar setelah ratusan tahun kemudian menjadi indikasi
validitas sumber informasi, selama informasi itu dapat diverifikasi secara
independen melalui sumber sejarah dan penelusuran tekstual. Dalam konteks
Islam, pembuktian prediksi melalui sejarah menjadikan nubuwah sebagai pengetahuan
kenabian yang rasional dan dapat ditelusuri secara ilmiah.
5.3.
Telaah Epistemologis
terhadap Hadis Profetik
Secara ontologis, nubuwah dalam Islam adalah sumber
pengetahuan (maṣdar maʿrifī) yang sejajar dengan wahyu tertulis (al-Qur’an),
namun menempati posisi praktis sebagai penjelas, pemberi rincian, dan pembawa
informasi ghaib. Epistemologi Islam mengakui bahwa informasi dari Nabi Saw
dapat diterima secara rasional bila:
1)
Tidak bertentangan dengan akal sehat
2)
Memiliki sanad yang valid (ṣaḥīḥ atau ḥasan)
3)
Terbukti atau sesuai dengan fakta empiris bila bersifat prediktif
Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī menyatakan bahwa kemampuan
prediktif Nabi adalah bentuk muʿjizat ilmiah (muʿjizah ʿilmiyyah) yang
melebihi semua bentuk kehebatan saintifik manapun. Beliau menyebut bahwa jika
satu nubuat terbukti, itu cukup sebagai dalil kebenaran seluruh risalah
kenabian Muhammad Saw.4 Dalam hal ini, penaklukan Konstantinopel
menjadi titik penting yang menunjukkan integrasi antara iman dan
rasionalitas, antara agama dan sejarah.
Sejumlah cendekiawan kontemporer bahkan mengusulkan
pendekatan hermeneutika profetik untuk memahami hadis-hadis ini, dengan
menempatkan nubuat Nabi sebagai teks yang memiliki horizon makna terbuka dan
relevan secara historis maupun spiritual. Dengan demikian, hadis tentang
penaklukan bangsa Romawi tidak hanya dibaca sebagai peristiwa masa lalu, tetapi
juga sebagai bagian dari narasi profetik yang terus hidup dalam dinamika
sejarah umat.
Kesimpulan Sub-Bab
Hadis-hadis tentang bangsa Romawi menjadi manifestasi
dari nubuwwah profetik yang dapat diverifikasi secara ilmiah, sejarah,
dan teologis. Ia menunjukkan bahwa kenabian Muhammad Saw bukanlah semata
kepercayaan spiritual, tetapi dapat dibuktikan melalui informasi ghaib yang
terealisasi dalam sejarah dunia. Secara epistemologis, hal ini memperkuat
posisi hadis sebagai sumber pengetahuan transenden yang relevan secara
rasional, dan membuktikan bahwa Islam memberikan ruang pembuktian kebenaran
melalui sejarah, tanpa kehilangan dimensi spiritualnya.
Footnotes
[1]
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Khaṣāʾiṣ al-Kubrā,
ed. Muḥammad Abū al-Faḍl Ibrāhīm (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1995),
vol. 2, 310–326.
[2]
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʿāmal Maʿa
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), 85–87.
[3]
Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Early
Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978),
114–117.
[4]
Muḥammad Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā
al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 129–131.
6.
Relevansi
dan Implikasi bagi Keimanan dan Keilmuan Kontemporer
Pembuktian validitas nubuat Nabi Muhammad Saw
mengenai penaklukan bangsa Romawi bukan hanya menghadirkan satu bukti profetik
dalam sejarah Islam, tetapi juga memberikan dampak yang mendalam terhadap dua
bidang strategis dalam kehidupan Muslim masa kini, yaitu: (1) penguatan
keimanan rasional terhadap kerasulan, dan (2) rekonstruksi epistemologi
Islam yang mampu berdialog dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Kedua
bidang ini saling melengkapi dalam membentuk basis intelektual dan spiritual
umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.
6.1.
Penguatan Akidah dari
Perspektif Historis-Rasional
Dalam tradisi Islam, keimanan terhadap Rasulullah
Saw (iman bi al-rusul) bukan hanya bersandar pada kepatuhan spiritual, tetapi
juga dibangun melalui penguatan hujjah dan dalil-dalil yang dapat diverifikasi.
Hadis-hadis profetik tentang bangsa Romawi, yang terbukti sebagian realisasinya
dalam sejarah, memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pembuktian
kerasulan secara objektif. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengabaikan
dimensi akal dalam membangun iman.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah dalam Darʾ
Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, akal dan wahyu bukanlah dua entitas yang
bertentangan, melainkan saling mendukung dalam menyingkap kebenaran. Nubuat
Rasulullah Saw yang terbukti dalam sejarah, seperti penaklukan Konstantinopel,
menjadi manifestasi keselarasan antara berita kenabian dan data historis
empiris.1 Oleh sebab itu, pengajaran dan pendidikan akidah di era
modern perlu mengintegrasikan aspek-aspek rasional ini agar keimanan menjadi
lebih kokoh, terutama dalam menghadapi gelombang skeptisisme dan materialisme
kontemporer.
Selain itu, fakta bahwa nubuat-nubuat tersebut tidak
dibuat pasca-peristiwa, melainkan diriwayatkan lama sebelum kejadian,
menunjukkan bahwa Islam tidak bergantung pada kebetulan historis,
melainkan pada sumber wahyu yang transenden dan otentik. Dalam konteks ini, hadis
menjadi dokumen kenabian yang menyampaikan kebenaran profetik dan bukan
narasi politik atau budaya yang kontekstual.
6.2.
Kontribusi Hadis Profetik
dalam Kajian Ilmu Sejarah dan Teologi
Hadis profetik, terutama yang memiliki muatan futurologis
seperti penaklukan Romawi, menyediakan materi primer untuk studi
interdisipliner antara ilmu hadis, historiografi, dan teologi. Dalam kajian
sejarah Islam, hadis-hadis ini dapat berfungsi sebagai indikator niat, visi,
dan arah geopolitik umat Islam awal. Ini telah dibuktikan oleh sejarawan
seperti Fred M. Donner yang menyebut bahwa narasi profetik memiliki kekuatan
mobilisasi dan visi strategis dalam ekspansi awal Islam.2
Lebih jauh, dalam kerangka teologis, nubuwah
profetik memiliki potensi untuk menjadi landasan spiritual dalam menghadapi
krisis eksistensial modern. Dunia kontemporer yang penuh dengan relativisme
dan ketidakpastian eksistensial seringkali kehilangan arah nilai. Hadis-hadis
yang memuat prediksi profetik menawarkan kerangka makna transhistoris
yang menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar rangkaian peristiwa, tetapi bagian
dari rencana Ilahi (al-masīr al-ilāhī) yang berjalan melalui kehendak
kenabian.
Sebagai contoh, eksistensi bangsa Rum dalam
hadis-hadis akhir zaman menunjukkan bahwa Islam bukan hanya memikirkan wilayah
Arab atau Asia, tetapi juga memiliki horizon global. Hal ini merepresentasikan pandangan
Islam yang universal dan terbuka terhadap dunia, sesuatu yang masih sangat
relevan dalam konstruksi peradaban global dewasa ini.
6.3.
Relevansi Strategis dalam
Wacana Dakwah dan Studi Peradaban
Pemahaman terhadap nubuwah profetik juga memberikan
implikasi strategis dalam pengembangan wacana dakwah modern dan studi
peradaban Islam. Dalam dakwah, hadis-hadis yang memuat prediksi terbukti
secara historis dapat dijadikan sebagai entry point yang rasional dan logis
untuk memperkenalkan Islam kepada kalangan yang cenderung kritis dan rasional.
Sejumlah lembaga dakwah internasional seperti iERA (Islamic Education and
Research Academy) telah mengembangkan pendekatan ini dalam model dakwah
berbasis “GOD” (God, Oneness, and Divine Message), di mana mukjizat informasi
ghaib menjadi bagian dari proof-based preaching.3
Dalam konteks studi peradaban, nubuat tentang
penaklukan Romawi menunjukkan bahwa Islam memiliki visi peradaban global
sejak awal. Ini membuka ruang untuk mengkaji kembali kontribusi Islam
terhadap konstruksi dunia modern, terutama dalam membangun dialog antara
Timur dan Barat, Islam dan Eropa, serta antara iman dan sains.
Kesimpulan Sub-Bab
Hadis-hadis tentang penaklukan bangsa Romawi
memberikan dampak signifikan bukan hanya terhadap penguatan spiritual umat
Islam, tetapi juga terhadap pengembangan paradigma berpikir yang integratif
antara iman dan akal, sejarah dan wahyu. Dalam dunia kontemporer yang sering
kali menuntut kejelasan bukti dan rasionalitas, nubuwah profetik menjadi jembatan
epistemologis yang kokoh untuk menjelaskan kebenaran Islam kepada dunia. Ia
bukan hanya warisan spiritual, tetapi juga kekuatan ilmiah, historis, dan
strategis bagi umat Islam di masa kini dan masa depan.
Footnotes
[1]
Aḥmad ibn ʿAbd al-Ḥalīm Ibn Taymiyyah, Darʾ
Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muḥammad Rashād Sālim (Riyadh: Jāmiʿat
al-Imām, 1991), vol. 1, 57–59.
[2]
Fred M. Donner, Muhammad and the Believers: At
the Origins of Islam (Cambridge: Harvard University Press, 2010), 108–110.
[3]
Abdur Raheem Green, The Man in the Red
Underpants (London: iERA Publications, 2015), 34–36. Lihat juga: Hamza
Andreas Tzortzis, The Divine Reality: God, Islam and the Mirage of Atheism
(London: FB Publishing, 2016), 233–239.
7.
Kesimpulan
Kajian terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad Saw yang
memuat prediksi tentang penaklukan bangsa Romawi menunjukkan bahwa Islam
memiliki fondasi nubuwwah profetik yang dapat diverifikasi secara historis dan epistemologis.
Hadis-hadis tersebut tidak hanya mencerminkan aspek spiritual dari kenabian,
tetapi juga menghadirkan dimensi prediktif yang terbukti secara nyata dalam
sejarah peradaban dunia, seperti dalam penaklukan Konstantinopel oleh
Sultan Muhammad al-Fātih pada tahun 1453 M, sebagaimana telah dinubuatkan
berabad-abad sebelumnya oleh Rasulullah Saw.1
Dalam proses kodifikasi hadis yang berlangsung
sejak abad ke-2 Hijriah, hadis-hadis tentang penaklukan Romawi telah
diriwayatkan, disusun, dan disebarluaskan oleh para muhaddits besar tanpa
adanya realisasi peristiwa saat itu. Ini membuktikan bahwa narasi profetik
tidak dikonstruksi secara retrospektif (after-the-fact), melainkan
bersumber dari sabda kenabian yang sejati. Validitas ini didukung oleh disiplin
ilmu hadis, seperti studi sanad dan matan, yang menjadi keunggulan metodologis
dalam transmisi ilmu-ilmu Islam.2
Secara epistemologis, hadis-hadis profetik ini
merupakan bentuk al-ikhbār ʿan al-ghayb—pemberitahuan tentang hal-hal
gaib yang menjadi ciri khusus kerasulan. Dalam pandangan Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī,
informasi semacam ini membentuk muʿjizat ilmiah yang tidak dapat
ditandingi oleh kemampuan manusia biasa dan menjadi bukti kerasulan yang
rasional di hadapan manusia modern yang cenderung empiris.3 Artinya,
kepercayaan terhadap nubuwah tidak bertentangan dengan akal sehat, bahkan dapat
diperkuat melalui pendekatan sejarah, logika, dan dokumentasi tekstual.
Dalam konteks kontemporer, nubuwah profetik Nabi Muhammad
Saw memiliki relevansi strategis yang sangat besar, baik dalam
memperkuat keimanan generasi Muslim melalui pendekatan rasional, maupun dalam
memperluas diskursus keilmuan Islam agar mampu berdialog dengan wacana sains,
sejarah, dan filsafat modern. Hadis tentang penaklukan Romawi tidak hanya
berbicara tentang geopolitik, tetapi juga menunjukkan cakrawala peradaban
Islam yang universal, yang menjangkau seluruh wilayah peradaban manusia dan
melampaui batas ruang dan waktu.
Lebih jauh, hadis-hadis ini menjadi pijakan
normatif dan strategis dalam membangun kesadaran umat bahwa Islam adalah
agama yang memiliki visi global dan futuristik, serta memiliki sistem
epistemik yang kuat dalam menalar masa lalu, memahami masa kini, dan
mengarahkan masa depan. Melalui telaah kritis terhadap hadis-hadis ini, umat
Islam dapat membangun kembali kepercayaan diri intelektual (intellectual
confidence) sekaligus memperkuat akar spiritualitas yang kokoh dan tidak rapuh
di hadapan tantangan zaman.
Dengan demikian, kajian ini menegaskan bahwa penaklukan
bangsa Romawi dalam hadis Nabi Muhammad Saw bukan
hanya bagian dari sejarah profetik, tetapi juga bukti hidup dari kebenaran
Islam, yang senantiasa terbuka untuk dikaji dan dibuktikan secara ilmiah
dan rasional, bahkan berabad-abad setelah sabda itu diucapkan.
Footnotes
[1]
Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978;
Ḥākim al-Naysābūrī, al-Mustadrak, vol. 4, 422. Disahihkan oleh al-Albānī
dalam al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah, no. 2237. Lihat juga Franz Babinger, Mehmed
the Conqueror and His Time, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton
University Press, 1978), 93–95.
[2]
Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Early
Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 77–82.
Lihat pula Harald Motzki, “The Muṣannaf of ʿAbd al-Razzāq al-Ṣanʿānī as a
Source of Authentic Aḥādīth,” Journal of Near Eastern Studies 50, no. 1
(1991): 1–21.
[3]
Muḥammad Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā
al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 129–133.
Daftar Pustaka
Abū Dāwūd al-Sijistānī. (n.d.). Sunan Abī Dāwūd.
Riyadh: Maktabat al-Ma‘ārif.
Al-Albānī, M. N. (1995). Al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah
(Vol. 5). Riyadh: Maktabat al-Ma‘ārif.
Al-Azami, M. M. (1978). Studies in early hadith
literature. Indianapolis: American Trust Publications.
Al-Būṭī, M. S. R. (1997). Kubrā al-Yaqīniyyāt
al-Kawniyyah. Beirut: Dār al-Fikr.
Al-Qaraḍāwī, Y. (2000). Kayfa nataʿāmal maʿa
al-sunnah al-nabawiyyah. Cairo: Maktabah Wahbah.
Al-Qurṭubī, M. A. (2001). Al-Tadhkirah fī aḥwāl
al-mawtā wa umūr al-ākhirah. Beirut: Dār al-Fikr.
Al-Sakhāwī, M. A. (1996). Al-Qawl al-badīʿ fī
al-ṣalāh ʿalā al-ḥabīb al-shafīʿ. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Suyūṭī, J. (1995). Al-Khaṣāʾiṣ al-kubrā
(M. A. al-Faḍl Ibrāhīm, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Al-Suyūṭī, J. (2006). Al-Khabar al-dāl ʿalā
wujūd al-Mahdī al-muntaẓar (B. A. Maʿrūf, Ed.). Beirut: Dār Ibn Ḥazm.
Babinger, F. (1978). Mehmed the Conqueror and
his time (R. Manheim, Trans.). Princeton: Princeton University Press.
Donner, F. M. (2010). Muhammad and the
believers: At the origins of Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Green, A. R. (2015). The man in the red
underpants. London: iERA Publications.
Ibn Abī Shaybah. (2005). Al-Muṣannaf (K. Y.
al-Ḥūṭ, Ed.). Riyadh: Maktabat al-Rushd.
Ibn Kathīr, I. (1998). Al-Nihāyah fī al-fitan wa
al-malāḥim (Ṭ. ʿAwwād, Ed.). Beirut: Dār Ibn Ḥazm.
Ibn Kathīr, I. (n.d.). Al-Bidāyah wa al-Nihāyah
(Vol. 1). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Ibn Taymiyyah, A. I. A. (1991). Darʾ taʿāruḍ
al-ʿaql wa al-naql (M. R. Sālim, Ed.). Riyadh: Jāmiʿat al-Imām.
Īnalcık, H. (1973). The Ottoman Empire: The
classical age 1300–1600. London: Weidenfeld & Nicolson.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an
dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Motzki, H. (1991). The Muṣannaf of ʿAbd al-Razzāq
al-Ṣanʿānī as a source of authentic aḥādīth. Journal of Near Eastern
Studies, 50(1), 1–21. https://doi.org/10.1086/373461
Muslim ibn al-Ḥajjāj. (n.d.). Ṣaḥīḥ Muslim.
Beirut: Dār al-Fikr.
Tzortzis, H. A. (2016). The divine reality: God,
Islam and the mirage of atheism. London: FB Publishing.
Ṭabarī, M. I. J. (1967). Tārīkh al-rusul wa
al-mulūk (M. A. F. Ibrāhīm, Ed., Vol. 2). Cairo: Dār al-Maʿārif.
Lampiran: Hadits-Hadits yang Memprediksi Ditaklukannya Bangsa Romawi
Berikut adalah beberapa hadis yang berkaitan dengan
ditaklukkannya bangsa Rum (Romawi) dalam konteks eskatologis (nubuwwat
masa depan) dan futuhat Islam. Hadis-hadis ini menunjukkan nubuat Rasulullah
Saw tentang kemenangan Islam atas bangsa Romawi, yang saat itu merupakan
kekuatan adidaya dunia selain Persia.
1.
Hadis tentang Penaklukan
Romawi Setelah Persia
Teks Hadis (Arab):
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: بَيْنَا أَنَا
عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا
إِلَيْهِ الْفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ،
فَقَالَ: «يَا عَدِيُّ، هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ؟» قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا، وَقَدْ
أُنْبِئْتُ عَنْهَا، قَالَ: «فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ
الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ، لَا
تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللهَ»، قَالَ عَدِيٌّ: فَقُلْتُ فِي نَفْسِي: فَأَيْنَ
دُعَارُ طَيٍّ الَّذِينَ قَدْ نَهَبُوا بِلَادَ الْحِيرَةِ؟ وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ
حَيَاةٌ، لَتُفْتَحَنَّ كُنُوزُ كِسْرَى، قَالَ: كِسْرَى بْنُ هُرْمُزَ؟ قَالَ:
كِسْرَى بْنُ هُرْمُزَ، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الرَّجُلَ
يُخْرِجُ كَفَّ الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ يَطْلُبُ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ، فَلَا
يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ...
Artinya:
Dari ‘Adiy bin Hatim, ia berkata: Ketika aku berada di sisi Nabi Saw,
datanglah seseorang mengadukan kemiskinan, dan orang lain mengadukan perampokan
di jalan. Lalu Rasulullah bersabda:
"Wahai ‘Adiy, apakah engkau telah melihat al-Hirah (di
Irak)?" Aku berkata, “Belum, tetapi aku telah diberi kabar tentangnya.”
Beliau bersabda:
“Jika engkau panjang umur, niscaya engkau akan melihat seorang wanita
bepergian dari al-Hirah hingga ia tawaf di Ka'bah tanpa rasa takut kecuali
kepada Allah. Jika engkau panjang umur, niscaya engkau akan melihat harta
kekayaan Kisra bin Hurmuz ditaklukkan. Dan jika engkau panjang umur, niscaya
engkau akan melihat seseorang membawa segenggam emas atau perak mencari siapa
yang mau menerimanya, tetapi tidak ada yang mau menerimanya..."
Sumber: Shahih al-Bukhari,
no. 3593; Shahih Muslim, no. 147.
Keterangan:
Meskipun hadis ini lebih banyak menyebut Kisra
(Persia), banyak ulama menjadikannya sebagai indikasi bahwa Romawi pun
akan ditaklukkan, sebagaimana Persia, karena keduanya adalah adidaya pada
masa itu.
2.
Hadis tentang Penaklukan
Roma (Rūm) setelah Konstantinopel
Teks Hadis (Arab):
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ ﷺ:
«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ
الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»
Artinya:
Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah Saw bersabda:
“Pasti Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah
pemimpinnya, dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya.”
Sumber: Musnad
Ahmad, no. 18978; al-Hakim dalam al-Mustadrak, 4/422; dishahihkan oleh
al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah, no. 2237.
Keterangan:
Hadis ini terkait langsung dengan penaklukan Konstantinopel
(Istanbul) oleh Sultan Muhammad al-Fatih pada 1453 M. Setelah itu, banyak
ulama memandang bahwa Roma (Vatican/Italia) akan menjadi target futuhat
Islam berikutnya berdasarkan perluasan makna “Rūm”.
3.
Hadis tentang Perang
Melawan Bangsa Rum di Akhir Zaman
Teks Hadis (Arab):
عَنْ أَوْفِي بْنِ مَالِكٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:
«تُصَالِحُونَ الرُّومَ صُلْحًا آمِنًا، ثُمَّ
تَغْزُونَ أَنْتُمْ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِهِمْ، فَتُنْصَرُونَ
وَتَغْنَمُونَ وَتَسْلَمُونَ، ثُمَّ تَرْجِعُونَ، حَتَّى تَنْزِلُوا بِمَرْجِ ذِي
تُلُولٍ، فَيَرْفَعُ رَجُلٌ مِنَ الرُّومِ الصَّلِيبَ، فَيَقُولُ: غَلَبَ
الصَّلِيبُ، فَيَغْضَبُ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَدُقُّهُ، فَعِنْدَ ذَلِكَ
تَغْدِرُ الرُّومُ، وَتَجْمَعُ لَكُمُ الْمَلاَحِمَ...»
Artinya:
Dari Auf bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:
“Kalian akan berdamai dengan bangsa Romawi dengan perdamaian yang
aman. Lalu kalian dan mereka akan memerangi musuh dari belakang mereka. Kalian
akan menang, mendapatkan harta rampasan perang, dan selamat. Kemudian kalian
akan kembali dan singgah di suatu padang rumput bernama Marj Dzi Thulul. Lalu
salah seorang dari Romawi mengangkat salib dan berkata: ‘Salib telah menang.’
Maka bangkitlah seorang Muslim dan menghancurkan salib tersebut. Lalu bangsa
Rom mengingkari perjanjian dan terjadilah peperangan dahsyat (Malhamah
Kubra)...”
Sumber: Sunan Abu
Dawud, no. 4292; Musnad Ahmad; dishahihkan oleh al-Albani.
Keterangan:
Hadis ini menunjuk pada konflik besar menjelang
kiamat, dikenal sebagai al-Malhamah al-Kubra (Armageddon), yang
melibatkan umat Islam dan bangsa Rum. Ini menandakan bahwa Rum tetap eksis
hingga akhir zaman dan menjadi bagian dari peristiwa besar tersebut.
Kesimpulan
Hadis-hadis tersebut menunjukkan:
1)
Kepastian penaklukan Rum (Romawi) sebagai bagian dari nubuat Rasulullah Saw.
2)
Konteks penaklukan mencakup
futuhat awal Islam (seperti Konstantinopel) dan juga konflik besar menjelang
akhir zaman.
3)
Bangsa Rum dalam hadis bisa merujuk pada Romawi Timur (Byzantium/ Konstantinopel)
maupun Romawi Barat (Roma/ Italia modern), tergantung konteks dan
penafsiran.
Referensi Tambahan
·
Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi (syarah Sunan al-Tirmidzi).
·
Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim.
·
Al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah.
·
Ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jilid 6–8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar