Minggu, 25 Mei 2025

Penaklukan Bangsa Romawi dalam Hadis Nabi: Nubuwwah Profetik dan Validitas Prediktif dari Masa Kenabian

Nubuwwah Profetik dan Validitas Prediktif dari Masa Kenabian

Penaklukan Bangsa Romawi dalam Hadis Nabi


Alihkan ke: Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara kritis hadis-hadis Nabi Muhammad Saw yang memuat prediksi tentang penaklukan bangsa Romawi, khususnya penaklukan Konstantinopel dan isyarat tentang Roma, dalam kerangka nubuwwah profetik dan validitas prediktifnya. Fokus utama kajian ini adalah mengungkap bagaimana informasi ghaib yang disampaikan Rasulullah Saw dalam hadis-hadis tersebut terbukti secara historis, bahkan jauh setelah masa kenabian dan kodifikasi hadis berakhir. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis-teologis dan epistemologis dengan menelaah teks hadis, sanad periwayatan, dan realitas sejarah yang membuktikan akurasi nubuat tersebut. Temuan utama menunjukkan bahwa hadis-hadis profetik tersebut tidak hanya menegaskan keabsahan kenabian Muhammad Saw dari perspektif spiritual, tetapi juga dapat diuji dan dibuktikan secara rasional dan empiris. Selain itu, artikel ini juga menyoroti relevansi keajaiban prediksi profetik tersebut dalam membangun keimanan rasional, memperkuat posisi hadis dalam kajian keilmuan modern, serta membuka ruang bagi integrasi antara wahyu dan sejarah dalam pembentukan peradaban Islam kontemporer.

Kata Kunci: Nubuwwah Profetik, Penaklukan Romawi, Hadis Futuristik, Validitas Sejarah, Epistemologi Islam, Rasulullah, Konstantinopel, Roma, al-Ikhbār ʿan al-Ghayb.


PEMBAHASAN

Telaah Nubuwwah Profetik dan Validitas Prediktif dari Masa Kenabian hingga Pasca Kodifikasi Hadis


1.           Pendahuluan

Sejak awal kemunculannya, Islam telah menyampaikan ajaran yang tidak hanya bersifat normatif dan spiritual, tetapi juga mencakup dimensi profetik dalam bentuk nubuwwah atau pemberitahuan tentang hal-hal gaib yang akan terjadi di masa depan. Salah satu bentuk keajaiban (muʿjizāt) yang dikaitkan dengan kenabian Muhammad Saw adalah kemampuannya menyampaikan informasi masa depan secara tepat dan akurat, sebagaimana tertuang dalam sejumlah hadis sahih yang dikodifikasikan setelah masa beliau wafat. Hal ini menunjukkan bahwa nubuwwah profetik Nabi tidak hanya berfungsi sebagai peneguhan kerasulan di hadapan umatnya saat itu, tetapi juga menjadi warisan episteme keimanan yang dapat dikaji secara rasional dan historis hingga masa kini.

Di antara nubuat kenabian yang mendapat perhatian signifikan adalah pernyataan Rasulullah Saw mengenai penaklukan bangsa Romawi (Rūm), baik dalam konteks penaklukan Konstantinopel maupun Roma, serta keterlibatan mereka dalam peristiwa akhir zaman seperti al-Malḥamah al-Kubrā. Dalam beberapa riwayat sahih, Nabi Muhammad Saw menyebutkan bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan oleh umat Islam, bahkan sebelum kota tersebut dikuasai oleh kekhalifahan manapun. Beliau bersabda, “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya”.1 Riwayat ini tidak hanya menjadi semangat eskatologis umat Islam sepanjang sejarah, tetapi juga dianggap sebagai bukti kuat atas kemukjizatan prediksi Nabi yang terealisasi berabad-abad setelah wafat beliau, yakni pada tahun 1453 M oleh Sultan Muhammad II al-Fātih dari Daulah Utsmaniyah.2

Keberhasilan penaklukan tersebut telah memicu perhatian banyak cendekiawan Muslim terhadap kebenaran nubuat-nubuat Nabi yang terekam dalam hadis. Menurut Yusuf al-Qaraḍāwī, realisasi prediksi Rasulullah Saw yang baru terjadi ratusan tahun setelah wafatnya beliau, bahkan setelah masa kodifikasi hadis, menjadi bukti bahwa hadis-hadis tersebut tidak mungkin direkayasa atau disesuaikan dengan realitas sejarah oleh para periwayat.3 Dengan kata lain, aspek “profetik” dalam hadis justru menjadi indikator penting keautentikan sabda Nabi dan keabsahan transmisi hadis melalui jalur sanad.

Urgensi kajian ini bertambah kuat ketika disandingkan dengan upaya akademik kontemporer dalam membuktikan kebenaran Islam secara rasional. Sejumlah sarjana modern, seperti M. Sa’id Ramadhan al-Būṭī, menegaskan bahwa mukjizat berupa informasi gaib (al-ikhbār ʿan al-ghayb) adalah salah satu bukti rasional kenabian yang tidak dapat disanggah oleh nalar sejarah atau logika ilmiah.4 Dalam konteks ini, prediksi Nabi tentang bangsa Romawi menjadi objek yang menarik untuk ditelaah lebih dalam, tidak hanya dari aspek historis-faktualnya, tetapi juga dari sisi epistemologis dan teologis, yakni bagaimana peran hadis-hadis ini dalam meneguhkan iman kepada Rasul (iman bi al-rusul) dan memperkuat tradisi keilmuan Islam.

Artikel ini akan menelaah secara sistematis hadis-hadis yang berkaitan dengan penaklukan bangsa Romawi dalam berbagai bentuknya, dengan fokus pada validitas prediktif hadis-hadis tersebut. Kajian ini akan menggunakan pendekatan historis-teologis dengan menganalisis konten hadis (matan), rantai periwayatan (sanad), serta perkembangan peristiwa yang membuktikan atau mengarah pada realisasi nubuat tersebut. Di samping itu, kajian ini juga mempertimbangkan masa kodifikasi hadis sebagai titik krusial dalam membuktikan ketulenan prediksi profetik Nabi Muhammad Saw, yang justru memperlihatkan keajaiban hadis-hadis tersebut karena tidak dikonstruksi oleh konteks sejarah setelahnya.


Footnotes

[1]                Ahmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978. Lihat juga al-Albānī, al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah, no. 2237. Hadis ini dishahihkan oleh al-Albānī dalam berbagai karyanya dan disebut sebagai prediksi kenabian yang terbukti secara historis.

[2]                Halil İnalcık, The Ottoman Empire: The Classical Age 1300–1600 (London: Weidenfeld & Nicolson, 1973), 12–14. Lihat juga Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, terj. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1978), 93–95.

[3]                Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʿāmal Maʿa al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), 84–86.

[4]                Muḥammad Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 127–132.


2.           Bangsa Romawi dalam Konteks Sejarah dan Hadis

2.1.       Posisi Romawi dalam Geopolitik Abad ke-7 M

Pada abad ke-7 M, Dunia Lama terbagi antara dua kekuatan besar: Imperium Persia (Sassanid) di Timur dan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium/Rum) di Barat. Romawi Timur, dengan ibu kotanya di Konstantinopel, mewarisi warisan militer, administratif, dan religius dari Kekaisaran Romawi Klasik. Secara geografis dan strategis, mereka menguasai wilayah penting seperti Asia Kecil, Suriah, Palestina, dan Mesir, yang semuanya kelak akan menjadi sasaran ekspansi Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.1

Keberadaan Kekaisaran Rum (Romawi Timur) sudah dikenal oleh bangsa Arab pra-Islam, terutama karena hubungan dagang dan ziarah yang melewati wilayah Syam, serta interaksi politik melalui klan-klan perbatasan seperti Ghassan (pro-Romawi) dan Lakhmid (pro-Persia). Konflik antara Persia dan Romawi pada masa menjelang bi'tsah (pengutusan Nabi) bahkan direkam dalam Al-Qur’an secara eksplisit, yakni dalam Surah ar-Rum [30] ayat 1–4, yang mengabarkan kemenangan Romawi atas Persia setelah sebelumnya mereka kalah telak.

الم

غُلِبَتِ الرُّومُ

فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ

فِي بِضْعِ سِنِينَ ۗ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ ۚ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ

“Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Rum, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun (biḍ‘i sinīn).”2

Menurut sejarawan Islam klasik seperti Ibn Jarir al-Ṭabarī, ayat ini turun ketika Romawi mengalami kekalahan memalukan dari Persia (sekitar 614 M) saat Yerusalem direbut dan salib suci diambil, namun kemenangan kembali berpihak kepada Romawi di bawah Heraklius pada sekitar 622–627 M.3 Kejadian ini menjadi tanda pertama bahwa nubuwah Rasulullah Saw juga meliputi wilayah geopolitik besar dunia, bukan hanya prediksi seputar Jazirah Arab.

2.2.       Penyebutan Bangsa Rum dalam Al-Qur’an dan Hadis

Sebutan “Rum” dalam literatur Islam merujuk secara umum kepada Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium), bukan Romawi Barat yang telah runtuh pada abad ke-5 M. Dalam Al-Qur’an, bangsa Rum bukan hanya disebut dalam konteks konflik dengan Persia, tetapi juga sebagai simbol kekuatan besar dunia yang akan takluk kepada kehendak Allah melalui umat Islam. Prediksi kemenangan Rum atas Persia dalam ayat-ayat tersebut secara historis terbukti, memperkuat keyakinan kaum Muslim akan kebenaran wahyu.

Di sisi lain, dalam korpus hadis, bangsa Rum muncul sebagai objek penting dalam beberapa nubuat Rasulullah Saw. Hadis-hadis ini terbagi menjadi dua kelompok besar:

1)                  Hadis futūḥ (penaklukan): Yang menyebutkan akan ditaklukkannya kota-kota penting Romawi seperti Konstantinopel dan Roma.

2)                  Hadis eskatologis: Yang merujuk pada keterlibatan bangsa Rum dalam peristiwa-peristiwa akhir zaman seperti al-Malḥamah al-Kubrā (perang besar) dan persekutuan awal antara Muslim dan Rum sebelum terjadinya pengkhianatan dan peperangan besar.4

Salah satu hadis paling masyhur dalam konteks futūḥ menyatakan:

لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ.

Pasti Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.”5

Riwayat ini telah lama dipahami oleh umat Islam sebagai janji kenabian yang meneguhkan keimanan mereka atas nubuwwah Muhammad Saw, apalagi realisasinya terjadi 8 abad lebih setelah hadis tersebut diucapkan.

Lebih dari itu, hadis-hadis tentang Malḥamah Kubrā menyebut bangsa Rum sebagai pihak yang semula akan bersekutu dengan umat Islam untuk memerangi musuh bersama, namun kemudian mengkhianati perjanjian. Ini menunjukkan bahwa bangsa Rum (sebagai representasi peradaban Barat atau Kristen) tetap menjadi aktor geopolitik utama bahkan hingga menjelang Hari Kiamat, menurut narasi eskatologis Islam.6

Dengan demikian, baik dari sisi sejarah dunia maupun nash-nash keagamaan, bangsa Romawi memiliki peran sentral yang menjadi objek prediksi Rasulullah Saw. Keakuratan prediksi beliau dalam menggambarkan kondisi dan nasib bangsa Rum memberikan dasar kuat untuk menilai hadis profetik sebagai bagian dari muʿjizat informasi ghaib (al-ikhbār ʿan al-ghayb) yang menegaskan kerasulan Muhammad Saw.


Footnotes

[1]                Hugh Kennedy, The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In (Philadelphia: Da Capo Press, 2007), 22–25.

[2]                Al-Qur’an, Surah ar-Rum [30]:1–4. Terjemahan merujuk pada Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, edisi 2019.

[3]                Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk, ed. Muḥammad Abū al-Faḍl Ibrāhīm (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1967), jilid 2, 217–220.

[4]                Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah, vol. 5 (Riyadh: Maktabah al-Maʿārif, 1995), 2237.

[5]                Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978; lihat juga Ḥākim al-Naysābūrī, al-Mustadrak ʿala al-Ṣaḥīḥayn, vol. 4, 422. Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albānī.

[6]                Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, no. 4292; dan juga Musnad Aḥmad. Hadis ini dikaji dan dinilai sahih oleh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmiʿ, no. 8171.


3.           Hadis-Hadis tentang Penaklukan Romawi: Klasifikasi dan Analisis

Hadis-hadis Nabi Muhammad Saw yang berbicara tentang penaklukan bangsa Romawi tersebar dalam berbagai kitab hadis utama dan memiliki kedudukan penting dalam kerangka futurologi Islam. Dalam telaah ini, hadis-hadis tersebut diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar: (1) hadis futūḥ yang menggambarkan penaklukan kota-kota besar Romawi, dan (2) hadis eskatologis yang menyebut peran bangsa Rum dalam peristiwa besar menjelang akhir zaman. Masing-masing kategori memiliki nilai profetik yang menegaskan sifat kenabian Muhammad Saw dalam memberikan kabar gaib yang terealisasi secara historis ataupun dinanti dalam horizon eskatologis umat Islam.

3.1.       Hadis Futūḥ: Penaklukan Konstantinopel dan Roma

Salah satu nubuat profetik Rasulullah Saw yang paling masyhur adalah tentang penaklukan Konstantinopel (al-Qusṭanṭīniyyah), ibu kota Kekaisaran Romawi Timur. Hadis tersebut diriwayatkan dari ʿAbdullāh ibn ʿAmr bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ"

"Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."1

Hadis ini termuat dalam Musnad Aḥmad dan dinilai sahih oleh banyak ulama, termasuk al-Ḥākim dan al-Albānī. Realisasi nubuat ini terjadi pada tahun 1453 M, lebih dari 800 tahun setelah wafatnya Nabi, melalui kemenangan Sultan Muhammad II dari Daulah Utsmaniyyah. Sejarawan seperti Franz Babinger menyebut bahwa kemenangan ini bukan sekadar pencapaian militer, melainkan juga pembuktian historis dari sabda profetik Nabi Muhammad Saw.2

Menariknya, sebagian ulama seperti al-Sakhāwī dan al-Suyūṭī menafsirkan bahwa hadis ini tidak hanya merujuk pada penaklukan Konstantinopel semata, tetapi juga dapat memiliki lapisan makna berulang—yakni bahwa kota itu dapat jatuh ke tangan Muslim lebih dari sekali, sebagaimana dinamika kekuasaan sepanjang sejarah.3 Ini membuka kemungkinan relevansi hadis dalam horizon sejarah yang lebih luas.

Selain Konstantinopel, terdapat riwayat tambahan yang menyebut akan ditaklukkannya Roma (Rūmiyyah). Dalam sebuah riwayat dari ʿAbdullāh ibn ʿAmr ibn al-ʿĀṣ, disebutkan:

"فَتُفْتَحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، ثُمَّ رُومِيَّةُ"

“Maka akan ditaklukkan Konstantinopel, kemudian Romiyyah (Roma).”4

Meskipun hadis ini memiliki derajat sanad yang diperselisihkan, banyak ulama memahami bahwa Roma, sebagai pusat dunia Barat dan simbol peradaban Kristen, juga akan menjadi bagian dari futūḥāt Islam di masa mendatang. Dalam konteks historis, Roma belum pernah ditaklukkan oleh umat Islam secara politik, namun nubuat ini masih dianggap terbuka secara eskatologis dan teologis, serta dipandang sebagai bagian dari janji Allah kepada Rasul-Nya.

3.2.       Hadis Eskatologis: Keterlibatan Romawi dalam Peristiwa Akhir Zaman

Hadis-hadis dalam kategori ini menyebut bangsa Rum bukan hanya sebagai objek futūḥ, tetapi juga sebagai aktor utama dalam peristiwa-peristiwa eskatologis, khususnya dalam narasi al-Malḥamah al-Kubrā (Armageddon Islam). Salah satu hadis penting dari jalur Dhū Mikhmar, diriwayatkan oleh Abū Dāwūd, berbunyi:

"تُصَالِحُونَ الرُّومَ صُلْحًا آمِنًا، ثُمَّ تَغْزُونَ أَنْتُمْ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِهِمْ... فَتَقَعُ الْمَلْحَمَةُ"

“Kalian akan berdamai dengan bangsa Romawi dalam perdamaian yang aman, lalu kalian bersama mereka memerangi musuh dari belakang mereka. Kemudian terjadi pengkhianatan dan terjadilah al-Malḥamah (perang besar).”5

Hadis ini menunjukkan dua dimensi: (1) adanya kerjasama temporer antara Muslim dan Rum dalam menghadapi musuh bersama, dan (2) terjadinya pengkhianatan oleh Rum yang berujung pada perang besar menjelang kiamat. Ini menggambarkan bahwa bangsa Romawi (yang dalam tafsir kontemporer sering dikaitkan dengan dunia Barat) akan tetap eksis sebagai kekuatan dominan hingga akhir zaman. Al-Qurṭubī dan Ibn Kathīr menafsirkan bahwa peristiwa ini merupakan bentuk dari pertarungan global ideologi yang berpuncak pada kemenangan Islam secara universal.6

Dalam versi riwayat lainnya, Rasulullah Saw menggambarkan jumlah pasukan Rum yang akan terlibat dalam al-Malḥamah berjumlah 80 bendera, masing-masing dipimpin oleh 12.000 tentara, menandakan sebuah koalisi militer global.7 Tafsir kontemporer dari ulama seperti Muhammad al-Munajjid dan Nūʿmān ʿAlī Khān mengaitkan hadis ini dengan realitas globalisasi politik dan persekutuan kekuatan barat yang mengusung nilai-nilai sekular dan materialistik, berlawanan dengan semangat tauhid Islam.


Kesimpulan Analisis

Dari klasifikasi di atas, tampak jelas bahwa hadis-hadis tentang bangsa Romawi tidak sekadar menjadi warisan futurologi Islam, tetapi juga bukti konkret nubuwwah profetik Nabi Muhammad Saw. Hadis tentang penaklukan Konstantinopel telah terbukti secara historis, sementara hadis-hadis eskatologis menanti pembuktiannya di masa depan. Kenyataan bahwa banyak dari hadis ini telah diriwayatkan, dikodifikasi, dan dijaga sebelum terjadinya peristiwa-peristiwa yang dimaksud, memperkuat keyakinan akan keaslian sabda Nabi dan menegaskan bahwa informasi masa depan dalam hadis bukanlah hasil konstruksi sejarah, melainkan benar-benar berasal dari wahyu Ilahi.


Footnotes

[1]                Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978; Ḥākim al-Naysābūrī, al-Mustadrak, vol. 4, 422. Hadis ini dinilai sahih oleh al-Ḥākim dan dikonfirmasi oleh al-Albānī dalam al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah, no. 2237.

[2]                Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1978), 93–95.

[3]                Muḥammad al-Sakhāwī, al-Qawl al-Badīʿ fī al-Ṣalāh ʿala al-Ḥabīb al-Shafīʿ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1996), 333; Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Khabar al-Dāl ʿalā Wujūd al-Mahdī al-Muntazar, ed. Bashshār ʿAwwād Maʿrūf (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2006), 45–46.

[4]                Ibn Abī Shaybah, al-Muṣannaf, ed. Kamāl Yūsuf al-Ḥūṭ (Riyadh: Maktabat al-Rushd, 2005), vol. 15, 100; dan disebut oleh Ibn Kathīr dalam al-Bidāyah wa al-Nihāyah, vol. 1, 155.

[5]                Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, no. 4292; juga diriwayatkan dalam Musnad Aḥmad. Disahihkan oleh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmiʿ, no. 8171.

[6]                Ibn Kathīr, al-Nihāyah fī al-Fitan wa al-Malāḥim, ed. Ṭāriq ʿAwwad (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 1998), 134–136; Muḥammad al-Qurṭubī, al-Tadhkirah fī Aḥwāl al-Mawtā wa Umūr al-Ākhirah (Beirut: Dār al-Fikr, 2001), 698–701.

[7]                Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 2897, Kitāb al-Fitan wa Ashrāṭ al-Sāʿah. Hadis ini menjelaskan konfigurasi pasukan Rum dalam narasi al-Malḥamah al-Kubrā.


4.           Validitas Prediktif Hadis dan Pembuktiannya dalam Sejarah

4.1.       Penaklukan Konstantinopel: Realisasi Nubuat Nabi Saw

Hadis yang menyebutkan penaklukan Konstantinopel merupakan salah satu bentuk nubuwwah profetik Nabi Muhammad Saw yang telah terbukti secara historis. Dalam sebuah riwayat dari Abdullah ibn ‘Amr, Rasulullah Saw bersabda:

لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ

"Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."1

Nubuat ini terbukti dengan penaklukan Konstantinopel pada 29 Mei 1453 M oleh Sultan Mehmed II dari Daulah Utsmaniyyah, hampir delapan abad setelah hadis tersebut diucapkan. Sejarawan Franz Babinger mencatat bahwa keberhasilan ini menandai runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur dan dianggap sebagai tonggak sejarah penting dalam dunia Islam dan Barat.2 Bahkan sejarawan Eropa menyebut Mehmed II sebagai “The Conqueror” karena keberhasilannya memenuhi nubuat ini, meski tidak semua dari mereka menyadari bahwa penaklukan tersebut sudah diramalkan oleh Nabi Islam.

Kekuatan validitas prediksi ini diperkuat oleh fakta bahwa pada masa kodifikasi hadis (abad ke-2–3 H/8–9 M), Konstantinopel belum ditaklukkan. Artinya, para perawi seperti Imam Aḥmad ibn Ḥanbal, al-Bukhārī, dan Muslim mencatat hadis ini tanpa melihat realisasi sejarahnya, yang baru terjadi berabad-abad kemudian. Oleh karena itu, kemustahilan rekayasa nash hadis dalam rangka “menyesuaikan dengan kenyataan” menjadi bukti kuat akan keotentikannya.3

4.2.       Isyarat tentang Penaklukan Roma: Nubuat yang Belum Terealisasi?

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa setelah penaklukan Konstantinopel, umat Islam akan menaklukkan Roma (Rumiyyah):

فَتُفْتَحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، ثُمَّ رُومِيَّةُ

“Maka akan ditaklukkan Konstantinopel, kemudian Romiyyah (Roma).”4

Sebagian ulama memandang hadis ini sebagai perluasan dari hadis pertama, dan menganggap bahwa penaklukan Roma adalah peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Al-Suyūṭī dalam al-Khabar al-Dāl menegaskan bahwa penaklukan Konstantinopel tidak mengakhiri nubuat Nabi, sebab masih ada kota besar lain yang menjadi simbol kekuasaan Kristen, yakni Roma, yang belum masuk dalam wilayah Islam secara politik.5

Pandangan ini mendapat dukungan dari penafsiran eskatologis kontemporer, yang menyatakan bahwa penaklukan Roma bisa bermakna harfiah (penaklukan militer) atau simbolik (dominasi intelektual dan spiritual Islam atas Barat). Apapun bentuk realisasinya, nubuat ini masih bersifat terbuka dan terus menjadi bagian dari pengharapan profetik dalam sejarah Islam.

4.3.       Perspektif dari Masa Kodifikasi Hadis: Meneguhkan Asal Profetik

Keunikan nubuat-nubuat Rasulullah Saw tidak hanya terletak pada kandungannya, tetapi juga pada proses transmisi dan kodifikasinya. Kodifikasi hadis secara sistematis terjadi pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, yakni dalam masa ketika kebanyakan nubuat tentang bangsa Romawi belum terwujud. Hadis-hadis mengenai penaklukan Konstantinopel dan Roma, serta al-Malḥamah al-Kubrā, telah dicatat dalam berbagai kitab hadis utama seperti Musnad Aḥmad, Sunan Abī Dāwūd, dan Ṣaḥīḥ Muslim jauh sebelum tahun 1453 M.

Menurut Yusuf al-Qaradawi, hal ini menunjukkan bahwa tidak mungkin hadis-hadis tersebut merupakan rekayasa untuk menyesuaikan peristiwa sejarah, karena terlalu jauh jaraknya antara peristiwa dan periwayatan.6 Sebaliknya, fakta ini justru menegaskan bahwa sabda Nabi tersebut memiliki nilai prediktif yang autentik, sebagaimana wahyu dari Tuhan yang Mahatahu.

Dalam telaah epistemologis, prediksi yang terbukti jauh setelah masa Nabi menjadi bagian dari al-ikhbār ʿan al-ghayb, yakni pemberitahuan tentang perkara gaib yang menjadi bagian dari muʿjizat kenabian. Menurut Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, pengungkapan kebenaran informasi gaib dalam hadis—yang terbukti akurat dan tidak bisa dipalsukan—merupakan bukti rasional dan teologis tentang kebenaran misi kenabian Muhammad Saw.7


Kesimpulan Sub-Bab

Validitas prediktif hadis tentang bangsa Romawi terbukti dalam sejarah penaklukan Konstantinopel dan berlanjut sebagai nubuat terbuka tentang Roma. Pembuktiannya bukan hanya menguatkan iman terhadap kenabian Muhammad Saw, tetapi juga memperlihatkan bahwa hadis Nabi bukanlah narasi pasca-faktual (after-the-fact narrative), melainkan benar-benar bersumber dari wahyu. Jarak waktu antara periwayatan dan realisasi, serta konsistensi sanad dalam berbagai kitab utama, memberikan dasar kuat bahwa dimensi profetik dalam hadis adalah fakta historis sekaligus keyakinan teologis yang saling menguatkan.


Footnotes

[1]                Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978; lihat pula Ḥākim al-Naysābūrī, al-Mustadrak, vol. 4, 422. Hadis ini disahihkan oleh al-Albānī dalam al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah, no. 2237.

[2]                Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1978), 93–95.

[3]                Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 77–82. Lihat juga: Harald Motzki, “The Muṣannaf of ʿAbd al-Razzāq al-Ṣanʿānī as a Source of Authentic Aḥādīth,” Journal of Near Eastern Studies 50, no. 1 (1991): 1–21.

[4]                Ibn Abī Shaybah, al-Muṣannaf, ed. Kamāl Yūsuf al-Ḥūṭ (Riyadh: Maktabat al-Rushd, 2005), vol. 15, 100.

[5]                Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Khabar al-Dāl ʿalā Wujūd al-Mahdī al-Muntazar, ed. Bashshār ʿAwwād Maʿrūf (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2006), 45.

[6]                Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʿāmal Maʿa al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), 84–86.

[7]                Muḥammad Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 128–133.


5.           Nubuwwah dan Keajaiban Prediktif Hadis: Kajian Epistemologis

Fenomena prediksi peristiwa masa depan dalam hadis Nabi Muhammad Saw, khususnya terkait penaklukan bangsa Romawi, menempati posisi istimewa dalam telaah epistemologi Islam. Ia tidak hanya berfungsi sebagai wacana naratif yang menguatkan akidah secara spiritual, tetapi juga dapat diuji melalui pendekatan rasional dan historis. Dalam kerangka ini, nubuwah profetik dipandang sebagai epistemik kenabian (prophetic epistemology), yakni sistem pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan dibuktikan melalui realisasi peristiwa-peristiwa yang dinyatakannya.

5.1.       Hadis sebagai Wasilah Pembuktian Kerasulan

Dalam tradisi Islam, mukjizat kenabian memiliki dua fungsi utama: (1) membuktikan kerasulan seseorang secara sah, dan (2) menjadi tantangan ilmiah maupun spiritual bagi umat manusia. Di antara bentuk mukjizat yang bersifat intelektual dan bersambungan dengan zaman adalah al-ikhbār ʿan al-ghayb, yaitu pemberitahuan Nabi Saw tentang hal-hal gaib yang akan terjadi di masa depan. Al-Suyūṭī dalam al-Khaṣāʾiṣ al-Kubrā mengklasifikasikan lebih dari seratus nubuat Rasulullah Saw yang terbukti setelah wafat beliau, termasuk penaklukan wilayah Persia, Romawi, serta munculnya berbagai fitnah dan peperangan besar.1

Hadis-hadis tentang penaklukan Konstantinopel dan Roma, serta peran bangsa Rum dalam narasi eskatologis, merupakan bagian dari mukjizat tersebut. Yusuf al-Qaraḍāwī menyatakan bahwa mukjizat hadis-hadis profetik bukan hanya menunjukkan validitas wahyu, tetapi juga menjadi argumentasi rasional dalam menghadapi tantangan pemikiran modern yang meragukan eksistensi kenabian di luar nalar empiris.2 Dalam hal ini, hadis menjadi instrumen pembuktian bahwa Rasulullah Saw mendapatkan pengetahuan yang tidak mungkin didapatkan melalui akal atau pengamatan biasa.

5.2.       Keistimewaan Prediksi yang Terbukti Pasca Masa Nabi

Salah satu dimensi epistemik yang paling signifikan dari nubuat Nabi adalah terbuktinya peristiwa yang diprediksi setelah masa kenabian berakhir. Realisasi penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al-Fātih pada abad ke-15, yang telah diramalkan oleh Nabi delapan abad sebelumnya, menjadi bukti bahwa sumber pengetahuan Nabi tidak berasal dari konstruksi manusiawi atau spekulasi geopolitik, melainkan dari wahyu Ilahi.

Sejarawan hadis seperti Muhammad Mustafa al-Azami menegaskan bahwa riwayat-riwayat profetik dalam hadis sahih tidak mungkin hasil rekayasa, sebab sebagian besar dari nubuat tersebut belum terjadi bahkan saat masa kodifikasi hadis selesai.3 Dengan demikian, jarak waktu antara prediksi dan peristiwa aktual menjadi parameter epistemik yang menguatkan keautentikan kenabian.

Dari sudut pandang filsafat ilmu, hal ini sejalan dengan prinsip verifikasionisme terbalik—yakni prediksi suatu peristiwa pada masa lalu yang terbukti benar setelah ratusan tahun kemudian menjadi indikasi validitas sumber informasi, selama informasi itu dapat diverifikasi secara independen melalui sumber sejarah dan penelusuran tekstual. Dalam konteks Islam, pembuktian prediksi melalui sejarah menjadikan nubuwah sebagai pengetahuan kenabian yang rasional dan dapat ditelusuri secara ilmiah.

5.3.       Telaah Epistemologis terhadap Hadis Profetik

Secara ontologis, nubuwah dalam Islam adalah sumber pengetahuan (maṣdar maʿrifī) yang sejajar dengan wahyu tertulis (al-Qur’an), namun menempati posisi praktis sebagai penjelas, pemberi rincian, dan pembawa informasi ghaib. Epistemologi Islam mengakui bahwa informasi dari Nabi Saw dapat diterima secara rasional bila:

1)                  Tidak bertentangan dengan akal sehat

2)                  Memiliki sanad yang valid (ṣaḥīḥ atau ḥasan)

3)                  Terbukti atau sesuai dengan fakta empiris bila bersifat prediktif

Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī menyatakan bahwa kemampuan prediktif Nabi adalah bentuk muʿjizat ilmiah (muʿjizah ʿilmiyyah) yang melebihi semua bentuk kehebatan saintifik manapun. Beliau menyebut bahwa jika satu nubuat terbukti, itu cukup sebagai dalil kebenaran seluruh risalah kenabian Muhammad Saw.4 Dalam hal ini, penaklukan Konstantinopel menjadi titik penting yang menunjukkan integrasi antara iman dan rasionalitas, antara agama dan sejarah.

Sejumlah cendekiawan kontemporer bahkan mengusulkan pendekatan hermeneutika profetik untuk memahami hadis-hadis ini, dengan menempatkan nubuat Nabi sebagai teks yang memiliki horizon makna terbuka dan relevan secara historis maupun spiritual. Dengan demikian, hadis tentang penaklukan bangsa Romawi tidak hanya dibaca sebagai peristiwa masa lalu, tetapi juga sebagai bagian dari narasi profetik yang terus hidup dalam dinamika sejarah umat.


Kesimpulan Sub-Bab

Hadis-hadis tentang bangsa Romawi menjadi manifestasi dari nubuwwah profetik yang dapat diverifikasi secara ilmiah, sejarah, dan teologis. Ia menunjukkan bahwa kenabian Muhammad Saw bukanlah semata kepercayaan spiritual, tetapi dapat dibuktikan melalui informasi ghaib yang terealisasi dalam sejarah dunia. Secara epistemologis, hal ini memperkuat posisi hadis sebagai sumber pengetahuan transenden yang relevan secara rasional, dan membuktikan bahwa Islam memberikan ruang pembuktian kebenaran melalui sejarah, tanpa kehilangan dimensi spiritualnya.


Footnotes

[1]                Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Khaṣāʾiṣ al-Kubrā, ed. Muḥammad Abū al-Faḍl Ibrāhīm (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1995), vol. 2, 310–326.

[2]                Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kayfa Nataʿāmal Maʿa al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), 85–87.

[3]                Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 114–117.

[4]                Muḥammad Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 129–131.


6.           Relevansi dan Implikasi bagi Keimanan dan Keilmuan Kontemporer

Pembuktian validitas nubuat Nabi Muhammad Saw mengenai penaklukan bangsa Romawi bukan hanya menghadirkan satu bukti profetik dalam sejarah Islam, tetapi juga memberikan dampak yang mendalam terhadap dua bidang strategis dalam kehidupan Muslim masa kini, yaitu: (1) penguatan keimanan rasional terhadap kerasulan, dan (2) rekonstruksi epistemologi Islam yang mampu berdialog dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Kedua bidang ini saling melengkapi dalam membentuk basis intelektual dan spiritual umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.

6.1.       Penguatan Akidah dari Perspektif Historis-Rasional

Dalam tradisi Islam, keimanan terhadap Rasulullah Saw (iman bi al-rusul) bukan hanya bersandar pada kepatuhan spiritual, tetapi juga dibangun melalui penguatan hujjah dan dalil-dalil yang dapat diverifikasi. Hadis-hadis profetik tentang bangsa Romawi, yang terbukti sebagian realisasinya dalam sejarah, memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pembuktian kerasulan secara objektif. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengabaikan dimensi akal dalam membangun iman.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah dalam Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, akal dan wahyu bukanlah dua entitas yang bertentangan, melainkan saling mendukung dalam menyingkap kebenaran. Nubuat Rasulullah Saw yang terbukti dalam sejarah, seperti penaklukan Konstantinopel, menjadi manifestasi keselarasan antara berita kenabian dan data historis empiris.1 Oleh sebab itu, pengajaran dan pendidikan akidah di era modern perlu mengintegrasikan aspek-aspek rasional ini agar keimanan menjadi lebih kokoh, terutama dalam menghadapi gelombang skeptisisme dan materialisme kontemporer.

Selain itu, fakta bahwa nubuat-nubuat tersebut tidak dibuat pasca-peristiwa, melainkan diriwayatkan lama sebelum kejadian, menunjukkan bahwa Islam tidak bergantung pada kebetulan historis, melainkan pada sumber wahyu yang transenden dan otentik. Dalam konteks ini, hadis menjadi dokumen kenabian yang menyampaikan kebenaran profetik dan bukan narasi politik atau budaya yang kontekstual.

6.2.       Kontribusi Hadis Profetik dalam Kajian Ilmu Sejarah dan Teologi

Hadis profetik, terutama yang memiliki muatan futurologis seperti penaklukan Romawi, menyediakan materi primer untuk studi interdisipliner antara ilmu hadis, historiografi, dan teologi. Dalam kajian sejarah Islam, hadis-hadis ini dapat berfungsi sebagai indikator niat, visi, dan arah geopolitik umat Islam awal. Ini telah dibuktikan oleh sejarawan seperti Fred M. Donner yang menyebut bahwa narasi profetik memiliki kekuatan mobilisasi dan visi strategis dalam ekspansi awal Islam.2

Lebih jauh, dalam kerangka teologis, nubuwah profetik memiliki potensi untuk menjadi landasan spiritual dalam menghadapi krisis eksistensial modern. Dunia kontemporer yang penuh dengan relativisme dan ketidakpastian eksistensial seringkali kehilangan arah nilai. Hadis-hadis yang memuat prediksi profetik menawarkan kerangka makna transhistoris yang menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar rangkaian peristiwa, tetapi bagian dari rencana Ilahi (al-masīr al-ilāhī) yang berjalan melalui kehendak kenabian.

Sebagai contoh, eksistensi bangsa Rum dalam hadis-hadis akhir zaman menunjukkan bahwa Islam bukan hanya memikirkan wilayah Arab atau Asia, tetapi juga memiliki horizon global. Hal ini merepresentasikan pandangan Islam yang universal dan terbuka terhadap dunia, sesuatu yang masih sangat relevan dalam konstruksi peradaban global dewasa ini.

6.3.       Relevansi Strategis dalam Wacana Dakwah dan Studi Peradaban

Pemahaman terhadap nubuwah profetik juga memberikan implikasi strategis dalam pengembangan wacana dakwah modern dan studi peradaban Islam. Dalam dakwah, hadis-hadis yang memuat prediksi terbukti secara historis dapat dijadikan sebagai entry point yang rasional dan logis untuk memperkenalkan Islam kepada kalangan yang cenderung kritis dan rasional. Sejumlah lembaga dakwah internasional seperti iERA (Islamic Education and Research Academy) telah mengembangkan pendekatan ini dalam model dakwah berbasis “GOD” (God, Oneness, and Divine Message), di mana mukjizat informasi ghaib menjadi bagian dari proof-based preaching.3

Dalam konteks studi peradaban, nubuat tentang penaklukan Romawi menunjukkan bahwa Islam memiliki visi peradaban global sejak awal. Ini membuka ruang untuk mengkaji kembali kontribusi Islam terhadap konstruksi dunia modern, terutama dalam membangun dialog antara Timur dan Barat, Islam dan Eropa, serta antara iman dan sains.


Kesimpulan Sub-Bab

Hadis-hadis tentang penaklukan bangsa Romawi memberikan dampak signifikan bukan hanya terhadap penguatan spiritual umat Islam, tetapi juga terhadap pengembangan paradigma berpikir yang integratif antara iman dan akal, sejarah dan wahyu. Dalam dunia kontemporer yang sering kali menuntut kejelasan bukti dan rasionalitas, nubuwah profetik menjadi jembatan epistemologis yang kokoh untuk menjelaskan kebenaran Islam kepada dunia. Ia bukan hanya warisan spiritual, tetapi juga kekuatan ilmiah, historis, dan strategis bagi umat Islam di masa kini dan masa depan.


Footnotes

[1]                Aḥmad ibn ʿAbd al-Ḥalīm Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa al-Naql, ed. Muḥammad Rashād Sālim (Riyadh: Jāmiʿat al-Imām, 1991), vol. 1, 57–59.

[2]                Fred M. Donner, Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam (Cambridge: Harvard University Press, 2010), 108–110.

[3]                Abdur Raheem Green, The Man in the Red Underpants (London: iERA Publications, 2015), 34–36. Lihat juga: Hamza Andreas Tzortzis, The Divine Reality: God, Islam and the Mirage of Atheism (London: FB Publishing, 2016), 233–239.


7.           Kesimpulan

Kajian terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad Saw yang memuat prediksi tentang penaklukan bangsa Romawi menunjukkan bahwa Islam memiliki fondasi nubuwwah profetik yang dapat diverifikasi secara historis dan epistemologis. Hadis-hadis tersebut tidak hanya mencerminkan aspek spiritual dari kenabian, tetapi juga menghadirkan dimensi prediktif yang terbukti secara nyata dalam sejarah peradaban dunia, seperti dalam penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al-Fātih pada tahun 1453 M, sebagaimana telah dinubuatkan berabad-abad sebelumnya oleh Rasulullah Saw.1

Dalam proses kodifikasi hadis yang berlangsung sejak abad ke-2 Hijriah, hadis-hadis tentang penaklukan Romawi telah diriwayatkan, disusun, dan disebarluaskan oleh para muhaddits besar tanpa adanya realisasi peristiwa saat itu. Ini membuktikan bahwa narasi profetik tidak dikonstruksi secara retrospektif (after-the-fact), melainkan bersumber dari sabda kenabian yang sejati. Validitas ini didukung oleh disiplin ilmu hadis, seperti studi sanad dan matan, yang menjadi keunggulan metodologis dalam transmisi ilmu-ilmu Islam.2

Secara epistemologis, hadis-hadis profetik ini merupakan bentuk al-ikhbār ʿan al-ghayb—pemberitahuan tentang hal-hal gaib yang menjadi ciri khusus kerasulan. Dalam pandangan Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, informasi semacam ini membentuk muʿjizat ilmiah yang tidak dapat ditandingi oleh kemampuan manusia biasa dan menjadi bukti kerasulan yang rasional di hadapan manusia modern yang cenderung empiris.3 Artinya, kepercayaan terhadap nubuwah tidak bertentangan dengan akal sehat, bahkan dapat diperkuat melalui pendekatan sejarah, logika, dan dokumentasi tekstual.

Dalam konteks kontemporer, nubuwah profetik Nabi Muhammad Saw memiliki relevansi strategis yang sangat besar, baik dalam memperkuat keimanan generasi Muslim melalui pendekatan rasional, maupun dalam memperluas diskursus keilmuan Islam agar mampu berdialog dengan wacana sains, sejarah, dan filsafat modern. Hadis tentang penaklukan Romawi tidak hanya berbicara tentang geopolitik, tetapi juga menunjukkan cakrawala peradaban Islam yang universal, yang menjangkau seluruh wilayah peradaban manusia dan melampaui batas ruang dan waktu.

Lebih jauh, hadis-hadis ini menjadi pijakan normatif dan strategis dalam membangun kesadaran umat bahwa Islam adalah agama yang memiliki visi global dan futuristik, serta memiliki sistem epistemik yang kuat dalam menalar masa lalu, memahami masa kini, dan mengarahkan masa depan. Melalui telaah kritis terhadap hadis-hadis ini, umat Islam dapat membangun kembali kepercayaan diri intelektual (intellectual confidence) sekaligus memperkuat akar spiritualitas yang kokoh dan tidak rapuh di hadapan tantangan zaman.

Dengan demikian, kajian ini menegaskan bahwa penaklukan bangsa Romawi dalam hadis Nabi Muhammad Saw bukan hanya bagian dari sejarah profetik, tetapi juga bukti hidup dari kebenaran Islam, yang senantiasa terbuka untuk dikaji dan dibuktikan secara ilmiah dan rasional, bahkan berabad-abad setelah sabda itu diucapkan.


Footnotes

[1]                Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, no. 18978; Ḥākim al-Naysābūrī, al-Mustadrak, vol. 4, 422. Disahihkan oleh al-Albānī dalam al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah, no. 2237. Lihat juga Franz Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1978), 93–95.

[2]                Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 77–82. Lihat pula Harald Motzki, “The Muṣannaf of ʿAbd al-Razzāq al-Ṣanʿānī as a Source of Authentic Aḥādīth,” Journal of Near Eastern Studies 50, no. 1 (1991): 1–21.

[3]                Muḥammad Saʿīd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 129–133.


Daftar Pustaka

Abū Dāwūd al-Sijistānī. (n.d.). Sunan Abī Dāwūd. Riyadh: Maktabat al-Ma‘ārif.

Al-Albānī, M. N. (1995). Al-Silsilah al-Ṣaḥīḥah (Vol. 5). Riyadh: Maktabat al-Ma‘ārif.

Al-Azami, M. M. (1978). Studies in early hadith literature. Indianapolis: American Trust Publications.

Al-Būṭī, M. S. R. (1997). Kubrā al-Yaqīniyyāt al-Kawniyyah. Beirut: Dār al-Fikr.

Al-Qaraḍāwī, Y. (2000). Kayfa nataʿāmal maʿa al-sunnah al-nabawiyyah. Cairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qurṭubī, M. A. (2001). Al-Tadhkirah fī aḥwāl al-mawtā wa umūr al-ākhirah. Beirut: Dār al-Fikr.

Al-Sakhāwī, M. A. (1996). Al-Qawl al-badīʿ fī al-ṣalāh ʿalā al-ḥabīb al-shafīʿ. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Suyūṭī, J. (1995). Al-Khaṣāʾiṣ al-kubrā (M. A. al-Faḍl Ibrāhīm, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Al-Suyūṭī, J. (2006). Al-Khabar al-dāl ʿalā wujūd al-Mahdī al-muntaẓar (B. A. Maʿrūf, Ed.). Beirut: Dār Ibn Ḥazm.

Babinger, F. (1978). Mehmed the Conqueror and his time (R. Manheim, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Donner, F. M. (2010). Muhammad and the believers: At the origins of Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Green, A. R. (2015). The man in the red underpants. London: iERA Publications.

Ibn Abī Shaybah. (2005). Al-Muṣannaf (K. Y. al-Ḥūṭ, Ed.). Riyadh: Maktabat al-Rushd.

Ibn Kathīr, I. (1998). Al-Nihāyah fī al-fitan wa al-malāḥim (Ṭ. ʿAwwād, Ed.). Beirut: Dār Ibn Ḥazm.

Ibn Kathīr, I. (n.d.). Al-Bidāyah wa al-Nihāyah (Vol. 1). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Ibn Taymiyyah, A. I. A. (1991). Darʾ taʿāruḍ al-ʿaql wa al-naql (M. R. Sālim, Ed.). Riyadh: Jāmiʿat al-Imām.

Īnalcık, H. (1973). The Ottoman Empire: The classical age 1300–1600. London: Weidenfeld & Nicolson.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Motzki, H. (1991). The Muṣannaf of ʿAbd al-Razzāq al-Ṣanʿānī as a source of authentic aḥādīth. Journal of Near Eastern Studies, 50(1), 1–21. https://doi.org/10.1086/373461

Muslim ibn al-Ḥajjāj. (n.d.). Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Fikr.

Tzortzis, H. A. (2016). The divine reality: God, Islam and the mirage of atheism. London: FB Publishing.

Ṭabarī, M. I. J. (1967). Tārīkh al-rusul wa al-mulūk (M. A. F. Ibrāhīm, Ed., Vol. 2). Cairo: Dār al-Maʿārif.


Lampiran: Hadits-Hadits yang Memprediksi Ditaklukannya Bangsa Romawi

Berikut adalah beberapa hadis yang berkaitan dengan ditaklukkannya bangsa Rum (Romawi) dalam konteks eskatologis (nubuwwat masa depan) dan futuhat Islam. Hadis-hadis ini menunjukkan nubuat Rasulullah Saw tentang kemenangan Islam atas bangsa Romawi, yang saat itu merupakan kekuatan adidaya dunia selain Persia.

1.            Hadis tentang Penaklukan Romawi Setelah Persia

Teks Hadis (Arab):

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ، فَقَالَ: «يَا عَدِيُّ، هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ؟» قُلْتُ: لَمْ أَرَهَا، وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا، قَالَ: «فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ، لَا تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللهَ»، قَالَ عَدِيٌّ: فَقُلْتُ فِي نَفْسِي: فَأَيْنَ دُعَارُ طَيٍّ الَّذِينَ قَدْ نَهَبُوا بِلَادَ الْحِيرَةِ؟ وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتُفْتَحَنَّ كُنُوزُ كِسْرَى، قَالَ: كِسْرَى بْنُ هُرْمُزَ؟ قَالَ: كِسْرَى بْنُ هُرْمُزَ، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الرَّجُلَ يُخْرِجُ كَفَّ الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ يَطْلُبُ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ، فَلَا يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ...

Artinya:

Dari ‘Adiy bin Hatim, ia berkata: Ketika aku berada di sisi Nabi Saw, datanglah seseorang mengadukan kemiskinan, dan orang lain mengadukan perampokan di jalan. Lalu Rasulullah bersabda:

"Wahai ‘Adiy, apakah engkau telah melihat al-Hirah (di Irak)?" Aku berkata, “Belum, tetapi aku telah diberi kabar tentangnya.” Beliau bersabda:

Jika engkau panjang umur, niscaya engkau akan melihat seorang wanita bepergian dari al-Hirah hingga ia tawaf di Ka'bah tanpa rasa takut kecuali kepada Allah. Jika engkau panjang umur, niscaya engkau akan melihat harta kekayaan Kisra bin Hurmuz ditaklukkan. Dan jika engkau panjang umur, niscaya engkau akan melihat seseorang membawa segenggam emas atau perak mencari siapa yang mau menerimanya, tetapi tidak ada yang mau menerimanya..."

Sumber: Shahih al-Bukhari, no. 3593; Shahih Muslim, no. 147.

Keterangan:

Meskipun hadis ini lebih banyak menyebut Kisra (Persia), banyak ulama menjadikannya sebagai indikasi bahwa Romawi pun akan ditaklukkan, sebagaimana Persia, karena keduanya adalah adidaya pada masa itu.

2.            Hadis tentang Penaklukan Roma (Rūm) setelah Konstantinopel

Teks Hadis (Arab):

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ :

«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»

Artinya:

Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah Saw bersabda:

Pasti Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya.”

Sumber: Musnad Ahmad, no. 18978; al-Hakim dalam al-Mustadrak, 4/422; dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah, no. 2237.

Keterangan:

Hadis ini terkait langsung dengan penaklukan Konstantinopel (Istanbul) oleh Sultan Muhammad al-Fatih pada 1453 M. Setelah itu, banyak ulama memandang bahwa Roma (Vatican/Italia) akan menjadi target futuhat Islam berikutnya berdasarkan perluasan makna “Rūm”.

3.            Hadis tentang Perang Melawan Bangsa Rum di Akhir Zaman

Teks Hadis (Arab):

عَنْ أَوْفِي بْنِ مَالِكٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ :

«تُصَالِحُونَ الرُّومَ صُلْحًا آمِنًا، ثُمَّ تَغْزُونَ أَنْتُمْ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِهِمْ، فَتُنْصَرُونَ وَتَغْنَمُونَ وَتَسْلَمُونَ، ثُمَّ تَرْجِعُونَ، حَتَّى تَنْزِلُوا بِمَرْجِ ذِي تُلُولٍ، فَيَرْفَعُ رَجُلٌ مِنَ الرُّومِ الصَّلِيبَ، فَيَقُولُ: غَلَبَ الصَّلِيبُ، فَيَغْضَبُ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَدُقُّهُ، فَعِنْدَ ذَلِكَ تَغْدِرُ الرُّومُ، وَتَجْمَعُ لَكُمُ الْمَلاَحِمَ...»

Artinya:

Dari Auf bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:

Kalian akan berdamai dengan bangsa Romawi dengan perdamaian yang aman. Lalu kalian dan mereka akan memerangi musuh dari belakang mereka. Kalian akan menang, mendapatkan harta rampasan perang, dan selamat. Kemudian kalian akan kembali dan singgah di suatu padang rumput bernama Marj Dzi Thulul. Lalu salah seorang dari Romawi mengangkat salib dan berkata: ‘Salib telah menang.’ Maka bangkitlah seorang Muslim dan menghancurkan salib tersebut. Lalu bangsa Rom mengingkari perjanjian dan terjadilah peperangan dahsyat (Malhamah Kubra)...”

Sumber: Sunan Abu Dawud, no. 4292; Musnad Ahmad; dishahihkan oleh al-Albani.

Keterangan:

Hadis ini menunjuk pada konflik besar menjelang kiamat, dikenal sebagai al-Malhamah al-Kubra (Armageddon), yang melibatkan umat Islam dan bangsa Rum. Ini menandakan bahwa Rum tetap eksis hingga akhir zaman dan menjadi bagian dari peristiwa besar tersebut.


Kesimpulan

Hadis-hadis tersebut menunjukkan:

1)                  Kepastian penaklukan Rum (Romawi) sebagai bagian dari nubuat Rasulullah Saw.

2)                  Konteks penaklukan mencakup futuhat awal Islam (seperti Konstantinopel) dan juga konflik besar menjelang akhir zaman.

3)                  Bangsa Rum dalam hadis bisa merujuk pada Romawi Timur (Byzantium/ Konstantinopel) maupun Romawi Barat (Roma/ Italia modern), tergantung konteks dan penafsiran.


Referensi Tambahan

·                     Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi (syarah Sunan al-Tirmidzi).

·                     Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim.

·                     Al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah.

·                     Ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jilid 6–8.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar