Kamis, 07 November 2024

Metafisika dalam Filsafat: Kajian Komprehensif tentang Hakikat Realitas, Keberadaan, dan Esensi

Metafisika dalam Filsafat

Kajian Komprehensif tentang Hakikat Realitas, Keberadaan, dan Esensi


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.

Aliran Ontologi, Aliran Epistemologi, Aliran AksiologiAliran MetafisikAliran Sosial-PolitikAliran Linguistik dan AnalitisAliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Metafisika merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat realitas, keberadaan, dan esensi. Kajian ini mencakup berbagai aspek fundamental, seperti ontologi, kosmologi metafisik, dan teologi metafisik, yang berusaha menjelaskan sifat dasar eksistensi, struktur alam semesta, serta konsep ketuhanan. Selain itu, konsep esensi dan aksidensi, ruang dan waktu, serta kausalitas menjadi bagian integral dari perdebatan metafisik sejak zaman klasik hingga filsafat kontemporer. Namun, metafisika juga menghadapi kritik dari berbagai aliran pemikiran, termasuk empirisme, positivisme logis, dan filsafat analitik, yang meragukan validitas klaim metafisik jika tidak dapat diverifikasi secara empiris. Meskipun demikian, perkembangan pemikiran modern menunjukkan bahwa metafisika tetap relevan dalam diskursus intelektual, terutama dalam hubungannya dengan epistemologi, logika, dan sains. Dengan demikian, artikel ini berusaha memberikan kajian komprehensif mengenai metafisika dari perspektif historis hingga tantangan kontemporer yang dihadapinya.

Kata Kunci: Metafisika, Ontologi, Kosmologi, Teologi Metafisik, Esensi, Aksidensi, Kausalitas, Kritik terhadap Metafisika, Filsafat Analitik, Positivisme Logis.


PEMBAHASAN

Metafisika dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi dan Ruang Lingkup Metafisika

Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas hakikat realitas, keberadaan (being), dan esensi (essence). Istilah "metafisika" berasal dari bahasa Yunani meta ta physika, yang berarti "sesuatu yang berada di luar fisika". Istilah ini pertama kali digunakan oleh filsuf Yunani, Andronikus dari Rodos (abad ke-1 SM), saat menyusun karya-karya Aristoteles dan menempatkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan filsafat pertama (prote philosophia) setelah kajian tentang fisika. Dalam konteks filsafat Aristotelian, metafisika merupakan ilmu yang membahas keberadaan sebagai keberadaan itu sendiri (being qua being).¹

Metafisika dapat dikategorikan ke dalam beberapa cabang utama, antara lain:

1)                  Ontologi – Studi tentang keberadaan dan realitas secara fundamental.

2)                  Kosmologi Metafisik – Kajian tentang asal-usul dan struktur alam semesta.

3)                  Teologi Metafisik – Studi tentang Tuhan dan sifat ketuhanan dalam filsafat.

4)                  Esensi dan Aksidensi – Pembahasan tentang hakikat dan atribut sesuatu.

5)                  Ruang, Waktu, dan Kausalitas – Studi tentang dimensi fundamental realitas dan hubungan sebab-akibat.

Menurut Frederick Copleston, metafisika bukan hanya sekadar refleksi spekulatif, tetapi memiliki tujuan untuk memahami prinsip dasar yang mendasari segala sesuatu.² Oleh karena itu, metafisika menjadi landasan bagi banyak disiplin ilmu lainnya, termasuk epistemologi, etika, dan bahkan sains modern.

1.2.       Sejarah Perkembangan Metafisika dalam Filsafat

Perkembangan metafisika dapat ditelusuri sejak zaman filsafat Yunani kuno hingga era filsafat modern dan kontemporer.

1)                  Zaman Yunani Kuno

Metafisika dalam filsafat Yunani diawali oleh para filsuf Presokratik seperti Thales (624–546 SM), Anaximander (610–546 SM), dan Herakleitos (535–475 SM), yang mencari prinsip dasar (arche) dari segala sesuatu.³ Puncak pemikiran metafisik Yunani dicapai dalam karya-karya Plato (427–347 SM) dan Aristoteles (384–322 SM). Plato mengembangkan konsep "Dunia Ide" yang menyatakan bahwa realitas sejati terletak pada dunia immateri (intelligible realm), bukan dunia fisik.⁴ Sementara itu, Aristoteles menolak konsep dunia ide Plato dan menekankan realitas sebagai gabungan antara substansi (ousia) dan aksidensi (symbebekos).⁵

2)                  Zaman Abad Pertengahan

Pemikiran metafisik berkembang pesat dalam tradisi filsafat Islam, Kristen, dan Yahudi. Filosof Muslim seperti Al-Farabi (872–950 M), Ibnu Sina (980–1037 M), dan Mulla Sadra (1571–1640 M) banyak berkontribusi dalam mengembangkan metafisika yang berlandaskan ajaran Aristotelian dan Neoplatonisme. Ibnu Sina, misalnya, membedakan antara wujud (keberadaan) dan mahiyyah (hakikat) dalam memahami realitas.⁶

Dalam filsafat Kristen, Thomas Aquinas (1225–1274 M) mengadaptasi pemikiran Aristotelian untuk menjelaskan keberadaan Tuhan dan hubungan-Nya dengan dunia. Aquinas mengembangkan konsep actus purus, yang menyatakan bahwa Tuhan adalah keberadaan murni tanpa potensi.⁷

3)                  Zaman Modern dan Kontemporer

Pada era modern, metafisika menghadapi tantangan dari filsafat empirisme dan kritisisme Kantian. David Hume (1711–1776 M) menolak validitas metafisika dengan alasan bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman indrawi.⁸ Immanuel Kant (1724–1804 M) juga mengkritik metafisika spekulatif dalam karyanya Critique of Pure Reason, di mana ia membedakan antara noumenon (realitas dalam dirinya sendiri) dan phenomenon (realitas sebagaimana yang tampak kepada kita).⁹

Meskipun mengalami banyak kritik, metafisika tetap berkembang dalam pemikiran kontemporer. Filsuf seperti Martin Heidegger (1889–1976 M) mengembangkan metafisika eksistensial dengan menekankan pada konsep Dasein (keberadaan manusia).¹⁰ Di sisi lain, perkembangan sains modern, terutama dalam fisika kuantum, kembali memunculkan pertanyaan metafisik tentang realitas fundamental alam semesta.

1.3.       Relevansi Metafisika dalam Kajian Ilmu Pengetahuan dan Agama

Metafisika memiliki peran penting dalam membentuk dasar konseptual bagi berbagai disiplin ilmu, termasuk sains dan agama. Dalam sains, metafisika membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak dapat dijawab oleh metode empiris semata, seperti sifat keberadaan, hukum kausalitas, dan hubungan antara kesadaran dan materi.¹¹

Dalam agama, metafisika berperan dalam memahami konsep ketuhanan, eksistensi jiwa, dan kehidupan setelah kematian.¹² Banyak teolog dan filsuf Muslim, Kristen, serta Hindu menggunakan pendekatan metafisika untuk menjelaskan doktrin-doktrin keimanan dalam konteks rasional. Sebagai contoh, konsep "Wujud Wajib" dalam filsafat Islam yang dikembangkan oleh Ibnu Sina dan Mulla Sadra menjadi landasan teologis dalam memahami keberadaan Tuhan.¹³

Dengan demikian, metafisika tetap relevan sebagai bidang kajian yang tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 87.

[3]                G. S. Kirk, J. E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 92.

[4]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d-511e.

[5]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a21-1003b10.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 38.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 3, a. 1.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 35.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 34.

[11]             Richard Feynman, The Meaning of It All: Thoughts of a Citizen Scientist (New York: Basic Books, 1998), 22.

[12]             John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1983), 78.

[13]             Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, trans. Seyyed Hossein Nasr (London: Islamic College for Advanced Studies, 2003), 92.


2.           Ontologi – Kajian tentang Keberadaan

2.1.       Pengertian Ontologi dalam Metafisika

Ontologi adalah cabang metafisika yang membahas tentang hakikat keberadaan (being) dan struktur fundamental realitas.¹ Kata "ontologi" berasal dari bahasa Yunani ontos (keberadaan) dan logos (ilmu atau kajian), sehingga ontologi dapat diartikan sebagai "ilmu tentang keberadaan".² Dalam sejarah filsafat, Aristoteles merupakan salah satu filsuf pertama yang secara sistematis membahas tentang ontologi, meskipun ia sendiri tidak menggunakan istilah ini. Aristoteles menyebut cabang metafisika ini sebagai studi tentang being qua being (keberadaan sebagai keberadaan itu sendiri).³

Ontologi mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti:

·                     Apa yang dimaksud dengan "ada" atau "keberadaan"?

·                     Apa perbedaan antara sesuatu yang benar-benar ada (existent) dan sesuatu yang hanya ada dalam konsep atau gagasan?

·                     Bagaimana hubungan antara keberadaan dan esensi suatu entitas?

Ontologi memiliki hubungan erat dengan epistemologi, logika, dan filsafat sains karena membahas dasar-dasar eksistensi yang menjadi pijakan bagi cabang ilmu lainnya.⁴

2.2.       Konsep Keberadaan (Being) dalam Metafisika

Keberadaan (being) dalam metafisika dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai perspektif filosofis:

2.2.1.    Keberadaan Aktual dan Keberadaan Potensial

Aristoteles membedakan antara keberadaan aktual (actual being) dan keberadaan potensial (potential being).⁵ Keberadaan aktual mengacu pada sesuatu yang eksis secara nyata, sedangkan keberadaan potensial adalah sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk menjadi aktual. Misalnya, biji pohon memiliki keberadaan potensial sebagai pohon besar, tetapi keberadaan aktualnya adalah sebagai biji.

Pandangan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam filsafat Islam oleh Ibnu Sina dan Mulla Sadra. Mulla Sadra memperkenalkan teori ashalat al-wujud (primordialitas keberadaan), yang menyatakan bahwa keberadaan lebih fundamental daripada esensi.⁶

2.2.2.      Keberadaan Substansial dan Aksidental

Ontologi Aristotelian juga membedakan antara substansi (substance) dan aksidensi (accident). Substansi adalah entitas yang dapat berdiri sendiri, sedangkan aksidensi adalah sifat yang melekat pada substansi tetapi tidak menentukan hakikatnya.⁷ Sebagai contoh, "manusia" adalah substansi, sedangkan "tinggi" atau "pandai" adalah aksidensi yang bisa berubah tanpa mengubah substansi dasar manusia itu sendiri.

Dalam filsafat Islam, konsep ini diadopsi oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang menekankan bahwa Tuhan adalah satu-satunya substansi yang keberadaannya bersifat wajib (necessary being), sementara makhluk lain adalah mumkin al-wujud (keberadaan yang mungkin).⁸

2.2.3.      Keberadaan Universal dan Partikular

Dalam filsafat skolastik, terutama dalam perdebatan antara realisme dan nominalisme, muncul pertanyaan tentang apakah konsep-konsep umum seperti "keadilan" atau "keindahan" memiliki keberadaan independen (realism) atau hanya sekadar konstruksi bahasa (nominalism).⁹ Plato, sebagai seorang realis, berpendapat bahwa ide-ide atau bentuk-bentuk universal memiliki eksistensi di dunia immateri yang lebih nyata daripada dunia fisik. Sebaliknya, Aristoteles menolak gagasan ini dan berpendapat bahwa universal hanya ada dalam benda-benda partikular.¹⁰

2.3.       Realisme vs. Nominalisme: Perdebatan tentang Universalitas

Salah satu perdebatan utama dalam ontologi adalah pertanyaan tentang status ontologis dari universal (universalia). Perdebatan ini melibatkan dua pandangan utama:

2.3.1.      Realisme

Realisme, yang dikembangkan oleh Plato dan diadopsi oleh para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas, menyatakan bahwa universal benar-benar ada secara independen dari benda-benda partikular.¹¹ Dalam Teori Bentuk (Theory of Forms) Plato, dikatakan bahwa dunia yang kita alami hanyalah bayangan dari dunia ide yang lebih nyata.¹²

2.3.2.      Nominalisme

Sebaliknya, nominalisme, yang dikembangkan oleh William of Ockham, berpendapat bahwa universal hanyalah nama (nomen) yang kita gunakan untuk mengelompokkan benda-benda yang mirip, tetapi tidak memiliki keberadaan independen di luar pikiran manusia.¹³ Pandangan ini menjadi dasar bagi empirisme modern, yang menekankan bahwa hanya individu dan pengalaman konkrit yang memiliki realitas.

2.4.       Pandangan Filsuf Klasik dan Modern tentang Ontologi

Pandangan tentang ontologi terus berkembang dari era filsafat klasik hingga modern:

2.4.1.      Aristoteles dan Filsafat Abad Pertengahan

Aristoteles memberikan dasar bagi kajian ontologi yang kemudian dikembangkan oleh filsuf-filsuf Islam seperti Ibnu Sina dan Mulla Sadra, serta teolog Kristen seperti Thomas Aquinas. Ibnu Sina memperkenalkan konsep perbedaan antara wujud (eksistensi) dan mahiyyah (esensi), yang menjadi perdebatan utama dalam metafisika Islam dan Skolastik.¹⁴

2.4.2.      Filsafat Modern dan Kontemporer

Pada era modern, René Descartes (1596–1650) mencoba mendasarkan ontologi pada konsep cogito ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada").¹⁵ Sementara itu, Immanuel Kant (1724–1804) mengkritik metafisika spekulatif dan menyatakan bahwa ontologi harus didasarkan pada kategori-kategori kognitif manusia, bukan pada realitas di luar pengalaman.¹⁶

Pada abad ke-20, Martin Heidegger mengembangkan konsep Dasein, yang menekankan pengalaman eksistensial manusia dalam memahami keberadaan.¹⁷ Heidegger mengkritik metafisika tradisional yang dianggap terlalu fokus pada kategori-kategori abstrak dan tidak cukup memperhatikan pengalaman nyata manusia.


Kesimpulan

Ontologi sebagai cabang metafisika berperan penting dalam memahami konsep keberadaan dan realitas. Dari pemikiran Aristotelian hingga filsafat eksistensialis Heidegger, ontologi telah berkembang dengan berbagai perspektif yang berbeda. Perdebatan tentang universalitas, substansi, dan keberadaan tetap relevan dalam filsafat hingga saat ini, baik dalam diskursus akademik maupun dalam kajian sains dan teologi.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 58.

[2]                Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2016), 256.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a21-1003b10.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 95.

[5]                Aristotle, Metaphysics, 1045b27.

[6]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, trans. Seyyed Hossein Nasr (London: Islamic College for Advanced Studies, 2003), 101.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 3, a. 1.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 46.

[9]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Alfred J. Freddoso (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2000), 34.

[10]             Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d-511e.

[11]             Heidegger, Being and Time, 35.

[12]             Plato, Republic, 509d-511e.

[13]             William of Ockham, Summa Logicae, 34.

[14]             Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 46.

[15]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.

[16]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A50/B74.

[17]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 22.


3.           Kosmologi Metafisik – Hakikat Alam Semesta

3.1.       Pengertian Kosmologi dalam Metafisika

Kosmologi metafisik adalah cabang metafisika yang membahas hakikat alam semesta, termasuk asal-usul, struktur, dan prinsip-prinsip fundamental yang mengatur eksistensinya.¹ Secara etimologis, kata kosmologi berasal dari bahasa Yunani kosmos (dunia atau tatanan) dan logos (ilmu atau kajian), sehingga kosmologi dapat diartikan sebagai studi tentang keteraturan dan struktur alam semesta.²

Dalam sejarah filsafat, kosmologi metafisik telah menjadi fokus utama sejak zaman Yunani Kuno. Para filsuf pra-Socrates, seperti Thales, Anaximander, dan Heraclitus, mencoba menjelaskan asal-usul dunia dengan prinsip-prinsip dasar seperti air, apeiron (yang tak terbatas), atau api.³ Aristoteles, dalam karyanya Metaphysics dan Physics, mengembangkan pemikiran tentang alam semesta sebagai sistem hierarkis yang diatur oleh kausalitas dan bentuk (form).⁴

Di era modern, perdebatan mengenai kosmologi metafisik semakin berkembang dengan munculnya teori sains seperti relativitas Einstein dan model Big Bang. Para filsuf seperti Immanuel Kant dan Alfred North Whitehead mengajukan teori tentang struktur realitas yang mendasari eksistensi alam semesta.⁵

3.2.       Prinsip-Prinsip Fundamental Kosmologi Metafisik

Kosmologi metafisik berusaha menjawab pertanyaan mendasar mengenai alam semesta, seperti:

1)                  Apakah alam semesta bersifat kekal atau memiliki permulaan?

2)                  Apakah realitas alam semesta bersifat material atau immaterial?

3)                  Apakah terdapat prinsip kausalitas universal yang mengatur kosmos?

Beberapa prinsip utama dalam kosmologi metafisik meliputi:

3.2.1.      Kausalitas dan Asal-Usul Alam Semesta

Salah satu prinsip mendasar dalam kosmologi metafisik adalah konsep kausalitas. Aristoteles mengembangkan teori Empat Penyebab (Four Causes), yaitu:

1)                  Penyebab Material (Material Cause): bahan dasar dari sesuatu (misalnya, kayu sebagai bahan kursi).

2)                  Penyebab Formal (Formal Cause): bentuk atau esensi yang mendefinisikan sesuatu (misalnya, bentuk kursi).

3)                  Penyebab Efisien (Efficient Cause): faktor atau agen yang menyebabkan sesuatu terjadi (misalnya, tukang kayu yang membuat kursi).

4)                  Penyebab Final (Final Cause): tujuan atau maksud dari sesuatu (misalnya, kursi dibuat untuk duduk).⁶

Dalam konteks kosmologi, pertanyaan mengenai asal-usul alam semesta sering dikaitkan dengan konsep penyebab pertama (prima causa), yaitu entitas yang menyebabkan eksistensi alam semesta tetapi tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain.⁷ Konsep ini menjadi dasar dalam argumen filsafat teistik, seperti yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologica.⁸

3.2.2.      Keabadian vs. Penciptaan Alam Semesta

Filsafat dan sains telah lama memperdebatkan apakah alam semesta bersifat kekal atau memiliki awal.

·                     Pandangan Kekekalan Alam Semesta

Aristoteles dan filsuf Muslim seperti Ibnu Rushd (Averroes) berpendapat bahwa alam semesta bersifat kekal dan tidak memiliki awal.⁹ Pendapat ini sejalan dengan konsep dunia sebagai tatanan yang selalu ada dalam perubahan kontinu.

·                     Pandangan Penciptaan Alam Semesta

Sebaliknya, filsuf seperti Al-Kindi dan Al-Ghazali berpendapat bahwa alam semesta memiliki permulaan. Al-Ghazali mengajukan Argumen Kalam Kosmologis, yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki permulaan pasti memiliki penyebab, dan karena alam semesta memiliki permulaan, maka harus ada penyebab pertama, yaitu Tuhan.¹⁰

Dalam sains modern, teori Big Bang menunjukkan bahwa alam semesta memiliki titik awal sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu, yang sejalan dengan gagasan bahwa alam semesta memiliki penciptaan.¹¹

3.2.3.      Strukturalisme Metafisik: Alam Semesta sebagai Sistem Tertata

Kosmologi metafisik tidak hanya membahas asal-usul alam semesta tetapi juga strukturnya. Plato dalam Timaeus menggambarkan dunia sebagai entitas yang diciptakan oleh Demiurge (pencipta ilahi) berdasarkan prinsip keteraturan matematis.¹² Pandangan ini berpengaruh dalam pemikiran ilmiah modern, seperti teori fisika yang menekankan adanya hukum-hukum universal yang mengatur alam.

Dalam metafisika Islam, konsep keteraturan kosmos juga dijelaskan oleh filsuf seperti Ibn Sina dan Mulla Sadra, yang menekankan bahwa alam semesta memiliki hierarki keberadaan yang ditentukan oleh esensi dan wujud.¹³

3.3.       Hubungan antara Kosmologi Metafisik dan Ilmu Pengetahuan

Dalam filsafat kontemporer, kosmologi metafisik berinteraksi dengan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang fisika teoretis dan filsafat sains.

·                     Keterbatasan Model Ilmiah

Model ilmiah seperti relativitas umum dan mekanika kuantum telah memberikan pemahaman tentang struktur alam semesta, tetapi masih menyisakan pertanyaan metafisik seperti "mengapa ada sesuatu daripada tidak ada?"¹⁴

·                     Multiverse dan Implikasi Metafisik

Konsep multiverse dalam fisika modern membuka kemungkinan bahwa alam semesta kita hanyalah salah satu dari banyak realitas yang mungkin.¹⁵ Ini menimbulkan pertanyaan metafisik tentang sifat realitas dan kemungkinan adanya alam semesta lain dengan hukum fisika yang berbeda.


Kesimpulan

Kosmologi metafisik merupakan bidang kajian yang berusaha memahami hakikat alam semesta secara filosofis. Dari Aristoteles hingga teori Big Bang, kosmologi telah menjadi titik temu antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Perdebatan mengenai kausalitas, keabadian, dan keteraturan kosmos tetap menjadi isu fundamental dalam memahami realitas yang lebih dalam.


Footnotes

[1]                Edward Craig, Routledge Encyclopedia of Philosophy (New York: Routledge, 1998), 260.

[2]                Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2016), 184.

[3]                Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin Books, 2002), 50.

[4]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 987a30-988a5.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A30/B45.

[6]                Aristotle, Physics, trans. Robin Waterfield (Oxford: Oxford University Press, 1996), 194b23-195a3.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 2, a. 3.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 56.

[9]                Averroes, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon Van Den Bergh (London: Luzac, 1954), 210.

[10]             Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23.

[11]             Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 42.

[12]             Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 28a-29d.

[13]             Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy, 145.

[14]             William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (London: Macmillan, 1979), 67.

[15]             Brian Greene, The Hidden Reality (New York: Vintage, 2011), 83.


4.           Teologi Metafisik – Kajian tentang Tuhan dan Realitas Ketuhanan

4.1.       Pengantar Teologi Metafisik

Teologi metafisik adalah cabang filsafat yang membahas hakikat Tuhan, sifat keberadaan-Nya, dan hubungan-Nya dengan realitas.¹ Dalam sejarah filsafat, teologi metafisik berkembang dari pemikiran filsafat Yunani Kuno hingga pemikiran teistik dalam tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi.²

Secara umum, teologimetafisik membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti:

1)                  Apakah Tuhan ada, dan bagaimana cara membuktikannya secara rasional?

2)                  Apa sifat-sifat Tuhan dalam perspektif metafisika?

3)                  Bagaimana hubungan antara Tuhan dan dunia?

Para filsuf besar seperti Plato, Aristoteles, Ibn Sina, Thomas Aquinas, dan Kant telah memberikan kontribusi besar dalam memahami realitas ketuhanan melalui pendekatan rasional dan spekulatif.³

4.2.       Argumen tentang Keberadaan Tuhan

Salah satu fokus utama dalam teologi metafisik adalah argumen-argumen rasional untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Beberapa argumen utama yang telah dikembangkan antara lain:

4.2.1.      Argumen Ontologis

Argumen ontologis pertama kali dikembangkan oleh Anselmus dari Canterbury dalam Proslogion. Ia berpendapat bahwa Tuhan adalah "sesuatu yang tidak dapat dibayangkan lebih besar darinya," dan karena eksistensi dalam realitas lebih sempurna daripada sekadar dalam pemikiran, maka Tuhan harus ada.⁴

Immanuel Kant mengkritik argumen ini dengan menyatakan bahwa eksistensi bukanlah sifat (predicate) yang dapat ditambahkan ke suatu konsep, melainkan suatu kondisi yang berbeda dari esensi.⁵

4.2.2.      Argumen Kosmologis

Argumen kosmologis didasarkan pada prinsip kausalitas, yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada pasti memiliki penyebab. Thomas Aquinas mengembangkan lima bukti keberadaan Tuhan dalam Summa Theologica, yang mencakup:

1)                  Gerakan (Argument from Motion):

Setiap gerakan harus memiliki penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh yang lain.

2)                  Kausalitas (Argument from Causation):

Segala sesuatu memiliki penyebab, dan rantai penyebab ini harus berakhir pada penyebab pertama, yaitu Tuhan.

3)                  Kemungkinan dan Keberharusan (Argument from Contingency):

Segala sesuatu dalam dunia ini bersifat mungkin (kontingen), tetapi harus ada entitas yang keberadaannya niscaya (niscaya), yaitu Tuhan.

4)                  Derajat Kesempurnaan (Argument from Degree):

Karena ada derajat kebaikan dan kesempurnaan dalam dunia, maka harus ada standar absolut kesempurnaan, yaitu Tuhan.

5)                  Tujuan (Argument from Teleology):

Alam semesta menunjukkan keteraturan yang mengarah pada tujuan tertentu, yang menunjukkan keberadaan perancang ilahi.⁶

4.2.3.      Argumen Teleologis

Argumen teleologis atau argument from design menyatakan bahwa kompleksitas dan keteraturan dalam alam semesta menunjukkan adanya perancang cerdas (Tuhan). Filsuf seperti William Paley dalam Natural Theology menggunakan analogi arloji untuk menggambarkan bahwa jika sebuah arloji ditemukan di tanah, seseorang pasti berasumsi ada pembuatnya.⁷

Namun, teori evolusi Darwin dan fisika modern telah menantang argumen ini dengan menjelaskan keteraturan alam melalui mekanisme alami.⁸ Meskipun demikian, beberapa filsuf modern, seperti Richard Swinburne dan Alvin Plantinga, tetap mempertahankan argumen ini dengan pendekatan probabilistik.⁹

4.3.       Sifat-Sifat Tuhan dalam Metafisika

Para filsuf dan teolog telah membahas berbagai sifat Tuhan yang dapat dipahami melalui akal. Beberapa sifat utama Tuhan dalam metafisika adalah:

4.3.1.      Keberadaan yang Niscaya (Necessary Being)

Menurut Ibn Sina, Tuhan adalah wajib al-wujud (Wujud yang Niscaya), yang berarti keberadaan-Nya tidak bergantung pada sesuatu yang lain.¹⁰ Segala sesuatu yang ada di alam semesta bersifat mungkin (mumkin al-wujud), yang berarti ia membutuhkan penyebab keberadaannya.

4.3.2.      Keunikan dan Kesederhanaan (Divine Simplicity)

Dalam metafisika Islam dan Kristen, Tuhan dianggap sebagai entitas yang tidak tersusun dari bagian-bagian (simple being).¹¹ Dalam konsep ini, Tuhan tidak memiliki komponen material atau bentuk yang terpisah, sehingga keberadaan-Nya adalah esensi-Nya.

4.3.3.      Keabadian dan Ketakterbatasan (Eternal and Infinite Being)

Tuhan tidak terbatas oleh waktu dan ruang, sebagaimana dijelaskan oleh Plato dan Aristoteles.¹² Dalam Islam, konsep ini juga ditegaskan dalam Al-Qur’an: "Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin." (QS. Al-Hadid [57] ayat 3).¹³

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ 

4.4.       Hubungan Tuhan dengan Alam Semesta

Dalam metafisika teologis, hubungan antara Tuhan dan dunia menjadi perdebatan yang menarik. Beberapa pandangan utama tentang hubungan ini adalah:

4.4.1.      Teisme Klasik

Teisme klasik (seperti dalam filsafat Islam, Kristen, dan Yahudi) berpendapat bahwa Tuhan adalah pencipta dan pengatur alam semesta yang tetap berinteraksi dengan ciptaan-Nya melalui wahyu dan kehendak-Nya.¹⁴

4.4.2.      Deisme

Deisme, yang berkembang pada Zaman Pencerahan, berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta tetapi tidak campur tangan dalam urusan dunia setelahnya.¹⁵

4.4.3.      Panteisme dan Panenteisme

Panteisme (seperti dalam filsafat Spinoza) menyatakan bahwa Tuhan dan alam semesta adalah satu kesatuan. Sementara itu, panenteisme menyatakan bahwa Tuhan mencakup alam semesta tetapi juga melampauinya.¹⁶


Kesimpulan

Teologi metafisik merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat Tuhan, keberadaan-Nya, dan hubungan-Nya dengan realitas. Berbagai argumen telah diajukan untuk membuktikan keberadaan Tuhan, termasuk argumen ontologis, kosmologis, dan teleologis. Sifat Tuhan yang dibahas dalam metafisika mencakup keberadaan-Nya yang niscaya, keunikan-Nya, serta hubungan-Nya dengan alam semesta. Meskipun perdebatan masih berlangsung, teologi metafisik tetap menjadi bidang kajian fundamental dalam memahami realitas ketuhanan.


Footnotes

[1]                Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 20.

[2]                Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 5.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 289.

[4]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 2.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 2, a. 3.

[7]                William Paley, Natural Theology (London: Rivington, 1802), 3.

[8]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 245.

[9]                Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 190.

[10]             Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 87.

[11]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 3, a. 1.

[12]             Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 27d-29b.

[13]             Al-Qur’an, Surah Al-Hadid: 3.

[14]             Swinburne, The Existence of God, 132.

[15]             Copleston, A History of Philosophy, 378.

[16]             Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton: Princeton University Press, 1985), 45.


5.           Esensi dan Aksidensi dalam Metafisika

5.1.       Pengantar: Konsep Esensi dan Aksidensi dalam Metafisika

Dalam metafisika, perbedaan antara esensi (essence) dan aksidensi (accident) merupakan salah satu pembahasan mendasar yang telah dibahas sejak zaman filsafat Yunani Kuno hingga pemikiran skolastik dan filsafat Islam.¹ Konsep ini berkaitan erat dengan pertanyaan tentang hakikat keberadaan (being) dan sifat dasar sesuatu.

Esensi adalah hakikat fundamental yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan aksidensi adalah sifat-sifat yang dapat berubah tanpa mengubah hakikat sesuatu tersebut.² Sebagai contoh, warna rambut seseorang (aksidensi) dapat berubah, tetapi hakikatnya sebagai manusia (esensi) tetap sama.

Pemikiran tentang esensi dan aksidensi banyak dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, yang membagi keberadaan menjadi substansi (substance) dan aksidensi (accident).³ Konsep ini kemudian dikembangkan dalam filsafat Islam oleh Ibn Sina dan al-Farabi, serta dalam filsafat skolastik oleh Thomas Aquinas.

5.2.       Esensi: Hakikat yang Mendefinisikan Suatu Entitas

Esensi (mahiyyah dalam filsafat Islam) adalah inti dari suatu entitas yang menjadikannya sebagaimana adanya.⁴ Aristoteles menyatakan bahwa esensi adalah apa yang tetap ada dalam suatu entitas meskipun mengalami perubahan dalam hal-hal aksidental.

5.2.1.      Esensi dalam Filsafat Aristoteles

Aristoteles membedakan antara substansi pertama (primary substance) dan substansi kedua (secondary substance).

1)                  Substansi pertama adalah individu konkret yang ada di dunia nyata, seperti "Socrates" sebagai seorang manusia tertentu.

2)                  Substansi kedua adalah kategori atau jenis yang menentukan hakikat suatu entitas, seperti "manusia" secara umum.⁵

Dalam Metaphysics, Aristoteles menyatakan bahwa esensi suatu benda adalah penyebab utama keberadaannya. Suatu benda tidak dapat ada tanpa esensinya.⁶

5.2.2.      Esensi dalam Filsafat Islam: Ibn Sina dan al-Farabi

Dalam filsafat Islam, Ibn Sina mengembangkan konsep esensi lebih lanjut dengan membedakan antara wujud (being) dan mahiyyah (quiddity). Menurutnya, sesuatu bisa memiliki esensi tanpa memiliki eksistensi aktual.⁷ Sebagai contoh, seekor unicorn memiliki esensi (kita dapat memahami seperti apa bentuknya), tetapi tidak memiliki eksistensi di dunia nyata.

Al-Farabi juga mengembangkan teori ini dengan menyatakan bahwa esensi adalah sesuatu yang dapat didefinisikan secara independen dari keberadaannya.⁸

5.2.3.      Esensi dalam Skolastik: Thomas Aquinas

Thomas Aquinas, dalam tradisi filsafat skolastik, mengadaptasi konsep Ibn Sina dan Aristoteles dengan membedakan actus essendi (tindakan ada) dan essentia (hakikat sesuatu).⁹ Baginya, Tuhan adalah satu-satunya entitas yang keberadaannya identik dengan esensinya, sedangkan semua makhluk lain memiliki esensi yang terpisah dari keberadaannya.

5.3.       Aksidensi: Sifat yang Tidak Menentukan Hakikat

Aksidensi adalah sifat-sifat yang dapat berubah tanpa mengubah esensi suatu entitas. Aristoteles mengidentifikasi sembilan jenis aksidensi yang menyertai substansi:

1)                  Kuantitas (seberapa besar sesuatu itu)

2)                  Kualitas (sifat-sifat seperti warna, bentuk, atau bau)

3)                  Relasi (hubungan dengan sesuatu yang lain)

4)                  Tempat (di mana suatu benda berada)

5)                  Waktu (kapan suatu benda berada)

6)                  Situasi (posisi atau keadaan)

7)                  Kondisi (status, seperti berpakaian atau tidak)

8)                  Tindakan (sesuatu yang dilakukan oleh entitas tersebut)

9)                  Penderitaan (sesuatu yang dialami oleh entitas tersebut)¹⁰

Contohnya, seseorang bisa berdiri (aksidensi situasi) atau duduk, tetapi tetap menjadi manusia (esensi).

5.3.1.      Aksidensi dalam Pandangan Aristoteles

Aristoteles mengajukan bahwa aksidensi adalah atribut yang melekat pada substansi tetapi tidak menentukan identitasnya.¹¹ Ia membedakan antara aksidensi yang inheren (seperti warna mata) dan aksidensi yang kebetulan (seperti seseorang mengenakan pakaian berwarna merah hari ini).

5.3.2.      Aksidensi dalam Filsafat Islam

Ibn Sina membahas aksidensi dalam konteks hubungan antara wujud dan mahiyyah.¹² Baginya, wujud suatu entitas adalah aksidensi dari esensinya, karena sesuatu bisa memiliki esensi tanpa eksistensi.

5.3.3.      Aksidensi dalam Skolastik

Thomas Aquinas menyatakan bahwa aksidensi bergantung pada substansi dan tidak bisa ada secara independen.¹³ Dalam teologi, ia menggunakan konsep aksidensi untuk menjelaskan transubstansiasi dalam Ekaristi, di mana substansi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, tetapi aksidensinya tetap sama.¹⁴

5.4.       Implikasi dalam Metafisika dan Ilmu Pengetahuan

Konsep esensi dan aksidensi memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang ilmu:

1)                  Metafisika dan Identitas Personal:

Dalam filsafat eksistensialisme, Jean-Paul Sartre menolak gagasan bahwa manusia memiliki esensi tetap sebelum keberadaannya.¹⁵

2)                  Ilmu Pengetahuan Alam:

Dalam fisika modern, konsep identitas partikel subatomik menantang gagasan Aristotelian tentang esensi.¹⁶

3)                  Filsafat Bahasa:

Dalam filsafat analitik, konsep esensi berkaitan dengan bagaimana kita mendefinisikan kategori dalam bahasa.¹⁷


Kesimpulan

Esensi dan aksidensi merupakan konsep fundamental dalam metafisika yang membahas perbedaan antara hakikat suatu entitas dan sifat-sifat yang tidak menentukan keberadaannya. Aristoteles, Ibn Sina, dan Thomas Aquinas memberikan kontribusi besar dalam memahami konsep ini. Pemahaman tentang esensi dan aksidensi tetap relevan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, sains, dan teologi.


Footnotes

[1]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 45.

[2]                John W. Carroll and Ned Markosian, An Introduction to Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 76.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1028b.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 110.

[5]                Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 5.

[6]                Aristotle, Metaphysics, 1041a.

[7]                Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, trans. Shams C. Inati (London: Kegan Paul, 2001), 137.

[8]                Al-Farabi, The Book of Letters, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 57.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 3, a. 4.

[10]             Aristotle, Categories, 9a-15b.

[11]             Feser, Aristotle’s Revenge, 78.

[12]             Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, 142.

[13]             Aquinas, Summa Theologica, I, q. 76, a. 8.

[14]             Ibid.

[15]             Jean-Paul Sartre, Existentialism is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 23.

[16]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper, 1958), 64.

[17]             Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge: Harvard University Press, 1980), 48.


6.           Ruang, Waktu, dan Kausalitas dalam Metafisika

6.1.       Pengantar: Ruang, Waktu, dan Kausalitas sebagai Kategori Fundamental dalam Metafisika

Dalam metafisika, konsep ruang, waktu, dan kausalitas merupakan kategori fundamental yang menentukan bagaimana kita memahami realitas.¹ Ruang dan waktu menjadi kerangka bagi eksistensi dan perubahan, sementara kausalitas menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam suatu rantai sebab akibat.

Sejak era filsafat klasik hingga perkembangan filsafat modern, para pemikir besar seperti Aristoteles, Kant, Newton, dan Einstein telah menawarkan berbagai pandangan tentang bagaimana ruang dan waktu dipahami, serta bagaimana kausalitas berperan dalam menentukan hubungan antara fenomena.²

6.2.       Ruang dalam Metafisika: Relasi atau Entitas Mandiri?

Konsep ruang dalam metafisika berkaitan dengan sifat keberadaan objek dan hubungan spasialnya. Ada dua pendekatan utama dalam memahami ruang:

6.2.1.      Ruang Absolut (Newtonian)

Isaac Newton berpendapat bahwa ruang bersifat absolut, yaitu suatu wadah atau latar yang independen dari objek-objek di dalamnya.³ Dalam pandangan ini, ruang tetap ada meskipun tidak ada objek yang mengisinya.

Newton berargumen bahwa gerak benda dalam ruang dapat dijelaskan secara objektif berdasarkan kerangka ruang yang tetap.⁴ Pandangan ini sangat berpengaruh dalam fisika klasik dan dominan hingga abad ke-19.

6.2.2.      Ruang Relasional (Leibnizian dan Kantian)

Gottfried Wilhelm Leibniz menentang gagasan ruang absolut Newton dan mengajukan bahwa ruang hanyalah relasi antara benda-benda.⁵ Ruang tidak memiliki eksistensi independen, melainkan merupakan kumpulan hubungan antara objek.

Immanuel Kant mengembangkan gagasan ini lebih lanjut dengan menyatakan bahwa ruang bukanlah entitas eksternal, melainkan suatu bentuk intuisi apriori yang memungkinkan kita memahami realitas.⁶ Artinya, ruang tidak ada secara objektif di luar pengalaman manusia, tetapi merupakan kerangka konseptual yang kita gunakan untuk memahami dunia.

6.2.3.      Ruang dalam Fisika Modern (Teori Relativitas Einstein)

Albert Einstein merevolusi konsep ruang dengan teori relativitasnya. Ia menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidak terpisah, melainkan membentuk struktur ruang-waktu (spacetime) yang dapat berubah tergantung pada kecepatan dan gravitasi.⁷

Dengan konsep ini, ruang bukan lagi sesuatu yang tetap dan absolut, melainkan relatif terhadap pengamat dan dipengaruhi oleh massa dan energi.

6.3.       Waktu dalam Metafisika: Linearitas atau Relativitas?

Waktu adalah konsep fundamental yang mengatur perubahan dan keberadaan. Seperti halnya ruang, terdapat dua pendekatan utama dalam memahami waktu:

6.3.1.      Waktu Absolut (Newtonian dan Aristotelian)

Newton berpendapat bahwa waktu adalah entitas absolut, mengalir secara independen dari perubahan yang terjadi di alam semesta.⁸ Pandangan ini sejalan dengan konsep Aristotelian tentang waktu sebagai ukuran perubahan.

Dalam metafisika Aristoteles, waktu tidak bisa eksis tanpa adanya perubahan, tetapi ia tetap memandang waktu sebagai suatu urutan yang objektif.⁹

6.3.2.      Waktu Relasional dan Subjektif (Leibniz dan Kant)

Leibniz menegaskan bahwa waktu hanyalah urutan peristiwa dan tidak memiliki eksistensi independen.¹⁰ Sementara itu, Kant menyatakan bahwa waktu, seperti ruang, merupakan bentuk intuisi apriori yang digunakan manusia untuk memahami pengalaman.¹¹

Pandangan ini menyiratkan bahwa waktu tidak ada di luar kesadaran manusia, tetapi merupakan cara kita mengorganisasi pengalaman.

6.3.3.      Waktu dalam Relativitas Einstein

Einstein menunjukkan bahwa waktu tidak bersifat mutlak, melainkan relatif terhadap kecepatan dan medan gravitasi.¹² Dalam relativitas khusus, waktu dapat berjalan lebih lambat bagi pengamat yang bergerak cepat dibandingkan pengamat diam (dilatasi waktu).

Implikasi metafisiknya adalah bahwa waktu tidak mengalir secara universal, melainkan bergantung pada kondisi fisik yang berbeda.¹³

6.4.       Kausalitas: Prinsip Sebab Akibat dalam Metafisika

Kausalitas adalah prinsip mendasar dalam metafisika yang menyatakan bahwa setiap kejadian memiliki penyebab.¹⁴ Konsep ini telah dibahas dalam berbagai tradisi filsafat, dari Aristoteles hingga fisika kuantum.

6.4.1.      Kausalitas dalam Filsafat Aristoteles

Aristoteles mengidentifikasi empat jenis kausalitas:

1)                  Kausa materialis (bahan dari sesuatu)

2)                  Kausa formalis (bentuk atau esensi)

3)                  Kausa efisien (agen yang menyebabkan sesuatu terjadi)

4)                  Kausa finalis (tujuan atau maksud dari suatu kejadian)¹⁵

Konsep ini menjadi dasar bagi pemikiran metafisik skolastik dan filosof Islam seperti Ibn Sina dan al-Ghazali.

6.4.2.      Kritik David Hume terhadap Kausalitas

David Hume mengkritik konsep kausalitas dengan menyatakan bahwa kita tidak pernah benar-benar mengamati hubungan sebab-akibat secara langsung, melainkan hanya melihat korelasi antara dua peristiwa.¹⁶ Baginya, kausalitas hanyalah asumsi psikologis yang kita buat berdasarkan pengalaman.

6.4.3.      Kausalitas dalam Fisika Modern

Dalam fisika kuantum, prinsip kausalitas klasik mulai dipertanyakan karena adanya fenomena seperti ketidakpastian Heisenberg dan keterkaitan kuantum (quantum entanglement), yang menunjukkan bahwa hubungan antara partikel bisa bersifat non-lokal dan tidak selalu mengikuti urutan sebab akibat yang jelas.¹⁷

6.5.       Implikasi Metafisik dari Ruang, Waktu, dan Kausalitas

Konsep ruang, waktu, dan kausalitas memiliki dampak besar terhadap berbagai disiplin ilmu, termasuk:

1)                  FilsafatAgama: Hubungan antara ruang-waktu dan keberadaan Tuhan dalam konsep ketuhanan.

2)                  Filsafat Ilmu: Bagaimana teori relativitas dan mekanika kuantum menantang pandangan klasik tentang sebab-akibat.

3)                  Filsafat Kesadaran: Bagaimana waktu mempengaruhi pengalaman subjektif manusia dan kesadaran diri.


Kesimpulan

Pembahasan tentang ruang, waktu, dan kausalitas dalam metafisika terus berkembang dari era Aristoteles hingga fisika modern. Ruang dan waktu telah bergeser dari konsep absolut ke relatif, sementara kausalitas dipertanyakan dalam filsafat empirisme dan fisika kuantum. Perdebatan ini tetap menjadi topik sentral dalam metafisika dan filsafat sains kontemporer.


Footnotes

[1]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 132.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 76.

[3]                Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1999), 16.

[4]                Ibid., 25.

[5]                Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George R. Montgomery (La Salle: Open Court, 1992), 53.

[6]                Kant, Critique of Pure Reason, 79.

[7]                Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory (New York: Crown, 1961), 37.

[8]                Newton, Mathematical Principles, 22.

[9]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), 219b.

[10]             Leibniz, Discourse on Metaphysics, 60.

[11]             Kant, Critique of Pure Reason, 85.

[12]             Einstein, Relativity, 41.

[13]             Ibid., 44.

[14]             David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 173.

[15]             Aristotle, Metaphysics, 1013a.

[16]             Hume, Treatise of Human Nature, 174.

[17]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper, 1958), 92.


7.           Metafisika dan Epistemologi – Hubungan antara Keberadaan dan Pengetahuan

7.1.       Pendahuluan: Relasi Metafisika dan Epistemologi

Dalam filsafat, metafisika berfokus pada hakikat realitas dan keberadaan, sedangkan epistemologi membahas bagaimana manusia memperoleh dan memvalidasi pengetahuan tentang realitas tersebut.¹ Hubungan antara kedua bidang ini telah menjadi perdebatan panjang sejak era filsafat Yunani hingga filsafat kontemporer.

Para filsuf seperti Plato, Aristoteles, Descartes, Kant, dan Heidegger berusaha menjelaskan bagaimana struktur realitas dapat dipahami oleh akal manusia.² Salah satu pertanyaan utama yang muncul adalah: Apakah realitas dapat diketahui secara objektif, ataukah pengetahuan kita selalu dibatasi oleh keterbatasan manusia?

7.2.       Metafisika Realisme dan Idealime dalam Epistemologi

Salah satu perdebatan utama dalam hubungan metafisika dan epistemologi adalah antara realisme dan idealisme.

7.2.1.      Realisme: Realitas Independen dari Pikiran

Realisme metafisik berpendapat bahwa realitas bersifat independen dari pikiran manusia. Artinya, ada dunia luar yang eksis secara objektif, terlepas dari apakah kita menyadarinya atau tidak.³

Aristoteles dan filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas mendukung gagasan ini, dengan menyatakan bahwa akal manusia mampu memahami esensi realitas melalui pengalaman dan abstraksi.⁴

Dalam versi modern, realisme ilmiah mengasumsikan bahwa hukum-hukum alam dan entitas fisik seperti atom dan galaksi benar-benar ada, meskipun manusia mungkin belum sepenuhnya memahaminya.⁵

7.2.2.      Idealisme: Realitas Tergantung pada Pikiran

Sebaliknya, idealisme metafisik berpendapat bahwa realitas sepenuhnya atau sebagian besar bergantung pada kesadaran. George Berkeley, misalnya, berpendapat bahwa keberadaan suatu objek bergantung pada apakah ia dipersepsi (esse est percipi – "ada berarti dipersepsi").⁶

Immanuel Kant mengembangkan gagasan bahwa kita tidak dapat mengetahui "realitas dalam dirinya sendiri" (noumenon), melainkan hanya fenomena yang tampak bagi kita melalui struktur kognitif kita.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa realitas sebagaimana adanya mungkin tidak sepenuhnya dapat diketahui.

7.3.       Sumber Pengetahuan: Rasionalisme vs Empirisme

Bagaimana kita mengetahui realitas? Pertanyaan ini memunculkan dua kubu besar dalam epistemologi: rasionalisme dan empirisme.

7.3.1.      Rasionalisme: Pengetahuan Melalui Akal

Rasionalisme menyatakan bahwa akal (reason) adalah sumber utama pengetahuan, bukan pengalaman inderawi.

·                     Plato berargumen bahwa dunia inderawi adalah bayangan dari dunia ide yang lebih nyata, dan pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui rasio.⁸

·                     Descartes menegaskan bahwa kebenaran dapat ditemukan melalui metode skeptisisme radikal dan penggunaan akal, sebagaimana dalam pernyataannya yang terkenal, cogito, ergo sum ("aku berpikir, maka aku ada").⁹

7.3.2.      Empirisme: Pengetahuan Melalui Pengalaman

Empirisme, di sisi lain, berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi.

·                     John Locke menyatakan bahwa manusia lahir sebagai tabula rasa (lembaran kosong) yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman.¹⁰

·                     David Hume lebih skeptis, menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan mental dan bukan sesuatu yang benar-benar inheren dalam realitas.¹¹

Perdebatan antara rasionalisme dan empirisme mendorong munculnya sintesis Kant, yang menggabungkan keduanya dengan konsep bahwa akal dan pengalaman sama-sama berperan dalam membentuk pengetahuan kita.¹²

7.4.       Keberadaan dan Kebenaran: Teori Korespondensi vs Teori Koherensi

Bagaimana kita menentukan kebenaran tentang realitas?

7.4.1.      Teori Korespondensi

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan realitas.¹³ Misalnya, pernyataan "matahari terbit di timur" benar jika dan hanya jika matahari memang terbit di timur.

Teori ini dianut oleh filsuf seperti Aristoteles dan Bertrand Russell, serta mendasari metode ilmiah modern.¹⁴

7.4.2.      Teori Koherensi

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran adalah konsistensi internal dalam suatu sistem kepercayaan.¹⁵ Misalnya, dalam matematika, suatu pernyataan dianggap benar jika sesuai dengan prinsip-prinsip dalam sistem yang koheren.

Para filsuf idealis seperti Hegel dan beberapa epistemolog modern lebih condong ke teori ini.¹⁶

7.5.       Metafisika, Epistemologi, dan Ilmu Pengetahuan

Bagaimana hubungan antara metafisika, epistemologi, dan ilmu pengetahuan?

1)                  Ilmu pengetahuan modern mengandalkan metode empiris untuk memahami realitas, tetapi tetap memerlukan landasan metafisik, seperti asumsi bahwa hukum-hukum alam itu tetap dan dapat dipahami.¹⁷

2)                  Matematika dan logika sering dianggap sebagai bentuk pengetahuan a priori yang tidak bergantung pada pengalaman, tetapi tetap memerlukan justifikasi epistemologis.¹⁸

3)                  Metafisika kontemporer dalam filsafat sains membahas realisme struktural, yang berargumen bahwa apa yang benar-benar ada bukanlah objek individual, tetapi struktur relasional yang dijelaskan oleh teori ilmiah.¹⁹


Kesimpulan

Hubungan antara metafisika dan epistemologi merupakan salah satu kajian paling kompleks dalam filsafat. Pertanyaan tentang bagaimana realitas dapat dipahami telah melahirkan berbagai aliran pemikiran, dari realisme dan idealisme, rasionalisme dan empirisme, hingga berbagai teori kebenaran.

Dalam dunia modern, interaksi antara metafisika dan epistemologi terus berkembang, terutama dalam filsafat sains dan kognitif. Pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara keberadaan dan pengetahuan akan terus menjadi landasan utama dalam pencarian manusia terhadap kebenaran.


Footnotes

[1]                Edward Craig, Routledge Encyclopedia of Philosophy (New York: Routledge, 1998), 502.

[2]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 212.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.85.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (New York: Routledge, 2002), 261.

[6]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (London: J. Tonson, 1710), 21.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 82.

[8]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d.

[9]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[10]             John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Bassett, 1690), II.1.

[11]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Clarendon Press, 1748), 78.

[12]             Kant, Critique of Pure Reason, 132.

[13]             Aristotle, Metaphysics, 1011b.

[14]             Bertrand Russell, Problems of Philosophy (London: Oxford University Press, 1912), 85.

[15]             Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Clarendon Press, 1977), 92.

[16]             Ibid., 104.

[17]             Popper, The Logic of Scientific Discovery, 298.

[18]             Kurt Gödel, On Formally Undecidable Propositions (Princeton: Princeton University Press, 1931), 44.

[19]             W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 221.


8.           Kritik terhadap Metafisika

8.1.       Pendahuluan: Metafisika sebagai Objek Kritik

Metafisika, sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat realitas, keberadaan, dan esensi, telah menjadi subjek kritik sejak zaman kuno hingga era kontemporer.¹ Kritik terhadap metafisika muncul dari berbagai sudut pandang, termasuk skeptisisme terhadap klaim-klaimnya, keterbatasan metode yang digunakan, serta relevansinya dalam filsafat modern dan ilmu pengetahuan.²

Sejumlah filsuf seperti David Hume, Immanuel Kant, Auguste Comte, dan filsuf analitik abad ke-20 mempertanyakan validitas metafisika, dengan alasan bahwa banyak konsepnya tidak dapat diuji secara empiris atau diverifikasi melalui metode rasional yang ketat.³ Bab ini akan membahas berbagai kritik utama terhadap metafisika dan respons yang diberikan oleh para pendukungnya.

8.2.       Kritik Empiris terhadap Metafisika: Hume dan Positivisme Logis

Salah satu kritik utama terhadap metafisika berasal dari kaum empiris yang menekankan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah.

8.2.1.      Kritik David Hume: Masalah Kausalitas dan Ide Spekulatif

David Hume adalah salah satu filsuf yang paling berpengaruh dalam meragukan klaim-klaim metafisika. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, ia berargumen bahwa prinsip kausalitas, yang sering digunakan dalam metafisika, tidak memiliki dasar rasional yang kuat.⁴ Menurut Hume, hubungan sebab-akibat bukanlah sesuatu yang dapat dibuktikan secara apriori, melainkan hanya merupakan kebiasaan mental manusia berdasarkan pengalaman.⁵

Selain itu, Hume juga mengkritik gagasan substansi dan esensi yang digunakan dalam metafisika, dengan menyatakan bahwa semua konsep tersebut hanyalah produk imajinasi manusia yang tidak memiliki dasar empiris.⁶ Kritik Hume ini menjadi dasar bagi filsafat empirisme modern dan memengaruhi filsuf-filsuf setelahnya, termasuk Kant.

8.2.2.      Positivisme Logis: Metafisika sebagai Omong Kosong

Pada abad ke-20, gerakan positivisme logis, yang dipelopori oleh Moritz Schlick dan Rudolf Carnap, mengajukan kritik lebih lanjut terhadap metafisika.⁷ Mereka berpendapat bahwa pernyataan metafisik tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara empiris atau dianalisis secara logis. Carnap dalam esainya The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language menyatakan bahwa metafisika adalah "nonsensikal" karena gagal memenuhi kriteria verifikasi.⁸

Menurut kaum positivis logis, satu-satunya pernyataan yang bermakna adalah pernyataan empiris yang dapat diuji melalui observasi atau pernyataan analitis yang valid secara logis. Karena metafisika tidak memenuhi kedua kategori ini, mereka menganggapnya sebagai disiplin yang tidak sah dalam filsafat.⁹

8.3.       Kritik Immanuel Kant: Batas-batas Akal dalam Metafisika

Immanuel Kant tidak sepenuhnya menolak metafisika, tetapi ia mengajukan kritik fundamental terhadap klaim-klaimnya. Dalam Critique of Pure Reason, Kant berargumen bahwa metafisika tradisional telah keliru dalam mencoba memahami realitas dengan cara yang melampaui batas-batas pengalaman manusia.¹⁰

Menurut Kant, ada perbedaan antara fenomena (dunia sebagaimana yang kita alami) dan noumena (realitas dalam dirinya sendiri), dan manusia hanya bisa mengetahui fenomena.¹¹ Dengan kata lain, kita tidak dapat mengetahui keberadaan Tuhan, jiwa, atau substansi murni melalui akal semata, karena semua konsep ini berada di luar jangkauan pengalaman manusia.¹²

Kant juga mengkritik argumen rasional tentang keberadaan Tuhan dan keabadian jiwa yang sering digunakan dalam metafisika skolastik. Ia menunjukkan bahwa argumen-argumen tersebut sering kali mengandung kontradiksi dan tidak dapat dibuktikan secara logis tanpa mengandalkan asumsi yang tidak terverifikasi.¹³

8.4.       Kritik Filsafat Analitik terhadap Metafisika

Filsafat analitik, terutama pada abad ke-20, memberikan kritik lebih lanjut terhadap metafisika dengan fokus pada analisis bahasa dan makna.

8.4.1.      Ludwig Wittgenstein: Metafisika sebagai Penyalahgunaan Bahasa

Dalam Tractatus Logico-Philosophicus, Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa banyak masalah metafisika muncul karena kesalahpahaman tentang bagaimana bahasa bekerja.¹⁴ Ia menyatakan bahwa bahasa hanya memiliki makna sejauh ia dapat menunjuk pada fakta-fakta dalam dunia. Oleh karena itu, banyak pernyataan metafisika yang mencoba membahas konsep-konsep seperti "hakikat realitas" atau "esensi keberadaan" sebenarnya tidak bermakna karena tidak dapat dikaitkan dengan fakta konkret.¹⁵

Dalam filsafatnya yang lebih matang, Wittgenstein juga menunjukkan bahwa banyak konsep metafisika hanyalah permainan bahasa yang tidak memiliki dampak nyata pada pemahaman kita tentang dunia.¹⁶

8.4.2.      W.V.O. Quine: Kritik terhadap Distingsi Analitik-Sintetik

Willard Van Orman Quine, dalam esainya Two Dogmas of Empiricism, mengkritik gagasan bahwa ada pernyataan yang secara eksklusif analitik atau sintetik.¹⁷ Kritik ini meruntuhkan dasar bagi banyak asumsi epistemologis dalam metafisika dan filsafat secara umum, karena menunjukkan bahwa tidak ada batasan yang jelas antara pernyataan yang benar karena maknanya (analitik) dan pernyataan yang benar karena fakta empiris (sintetik).

Dengan demikian, Quine menyatakan bahwa metafisika tidak dapat sepenuhnya dihindari, tetapi harus dikaitkan lebih erat dengan metodologi ilmiah agar dapat memiliki makna yang jelas.¹⁸

8.5.       Respons dan Rehabilitasi Metafisika

Meskipun kritik terhadap metafisika sangat kuat, banyak filsuf yang berusaha mempertahankannya dengan merevisi atau membatasi cakupan metafisika agar lebih sesuai dengan perkembangan filsafat modern dan ilmu pengetahuan.

·                     Martin Heidegger berusaha menghidupkan kembali metafisika dengan pendekatan fenomenologis, yang melihat metafisika sebagai cara untuk memahami keberadaan manusia secara mendalam.¹⁹

·                     Alfred North Whitehead dan filsuf proses lainnya mengembangkan metafisika yang lebih dinamis, yang lebih selaras dengan teori ilmiah modern.²⁰

·                     Metafisika analitik modern, seperti yang dikembangkan oleh David Lewis dan Saul Kripke, menunjukkan bahwa metafisika tetap relevan dalam membahas konsep-konsep modalitas, identitas, dan eksistensi.²¹


Kesimpulan

Metafisika telah mengalami berbagai tantangan dan kritik sepanjang sejarah filsafat. Mulai dari skeptisisme empiris Hume, kritik transendental Kant, serangan positivisme logis, hingga pendekatan bahasa dalam filsafat analitik, semuanya berusaha menunjukkan keterbatasan metafisika sebagai bidang kajian.

Namun, berbagai upaya untuk merevisi dan mempertahankan metafisika menunjukkan bahwa disiplin ini tetap relevan, terutama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak dapat diselesaikan hanya melalui ilmu empiris. Dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan berbasis analisis yang ketat, metafisika tetap menjadi bagian penting dalam filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 650.

[2]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 17.

[3]                Ibid., 29.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Clarendon Press, 1748), 42.

[5]                Ibid., 78.

[6]                Ibid., 103.

[7]                Moritz Schlick, General Theory of Knowledge (New York: Springer, 1974), 56.

[8]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 17.

[9]                Ibid., 43.

[10]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 104.

[11]             Ibid., 112.

[12]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 256.

[13]             Ibid., 312.

[14]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 5.6.

[15]             Ibid., 6.53.

[16]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.

[17]             W. V. O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20.

[18]             Ibid., 42.

[19]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 34.

[20]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 93.

[21]             David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 87.


9.           Kesimpulan

Metafisika telah menjadi bagian integral dari filsafat sejak zaman kuno, menggali pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas, keberadaan, dan esensi. Perkembangannya mencerminkan upaya manusia untuk memahami dunia di luar pengalaman indrawi, baik melalui spekulasi filosofis maupun refleksi logis. Meskipun telah mendapat banyak kritik dari berbagai aliran pemikiran, metafisika tetap bertahan sebagai cabang filsafat yang relevan, baik dalam konteks epistemologi, sains, maupun kajian teologi.

Kajian metafisika, sebagaimana dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya, mencakup beberapa aspek utama, seperti ontologi, yang berusaha memahami keberadaan dan kategori eksistensi; kosmologi metafisik, yang membahas hakikat alam semesta; teologi metafisik, yang menyelidiki keberadaan Tuhan dan realitas ketuhanan; serta konsep esensi dan aksidensi, yang membedakan antara hakikat sesuatu dengan sifat-sifat tambahannya.¹ Selain itu, kajian tentang ruang, waktu, dan kausalitas menunjukkan bagaimana metafisika berupaya menjelaskan hubungan antara berbagai entitas di alam semesta.²

Namun, sepanjang sejarah filsafat, metafisika telah menghadapi kritik tajam, baik dari para empiris seperti David Hume yang meragukan validitas konsep kausalitas dalam metafisika,³ maupun dari Immanuel Kant yang menekankan keterbatasan akal manusia dalam memahami realitas di luar pengalaman indrawi.⁴ Kritik ini berlanjut dalam filsafat modern, terutama dalam positivisme logis yang menganggap metafisika sebagai disiplin yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁵ Meskipun demikian, filsuf-filsuf kontemporer seperti Martin Heidegger dan Alfred North Whitehead berusaha merehabilitasi metafisika dengan pendekatan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat analitik.⁶

Dengan mempertimbangkan kritik dan reformulasi yang terjadi dalam sejarah pemikirannya, dapat disimpulkan bahwa metafisika tetap memiliki peran penting dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh sains empiris. Seperti yang dikemukakan oleh David Lewis, metafisika modern tidak lagi sekadar spekulasi murni, tetapi semakin berkaitan dengan logika, matematika, dan filsafat bahasa, sehingga memperkuat relevansinya dalam wacana intelektual kontemporer.⁷

Oleh karena itu, meskipun menghadapi tantangan dari berbagai aliran pemikiran, metafisika tetap berperan sebagai jembatan antara filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami hakikat realitas secara lebih mendalam.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 670.

[2]                Richard Swinburne, The Concept of Miracle (New York: Macmillan, 1970), 45.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Clarendon Press, 1748), 79.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 210.

[5]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 34.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 57.

[7]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 102.


Daftar Pustaka

Carnap, R. (1967). The logical structure of the world. University of California Press.

Hume, D. (1748). An enquiry concerning human understanding. Clarendon Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds. Blackwell.

Russell, B. (2004). History of western philosophy. Routledge.

Swinburne, R. (1970). The concept of miracle. Macmillan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar