Metafisika dalam Filsafat
Kajian Komprehensif tentang Hakikat Realitas,
Keberadaan, dan Esensi
Alihkan ke: Cabang-Cabang
Filsafat.
Aliran Ontologi, Aliran Epistemologi, Aliran Aksiologi, Aliran Metafisik, Aliran Sosial-Politik, Aliran Linguistik dan Analitis, Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membahas
hakikat realitas, keberadaan, dan esensi. Kajian ini mencakup berbagai aspek
fundamental, seperti ontologi, kosmologi metafisik, dan teologi metafisik, yang
berusaha menjelaskan sifat dasar eksistensi, struktur alam semesta, serta
konsep ketuhanan. Selain itu, konsep esensi dan aksidensi, ruang dan waktu,
serta kausalitas menjadi bagian integral dari perdebatan metafisik sejak zaman
klasik hingga filsafat kontemporer. Namun, metafisika juga menghadapi kritik
dari berbagai aliran pemikiran, termasuk empirisme, positivisme logis, dan
filsafat analitik, yang meragukan validitas klaim metafisik jika tidak dapat
diverifikasi secara empiris. Meskipun demikian, perkembangan pemikiran modern
menunjukkan bahwa metafisika tetap relevan dalam diskursus intelektual,
terutama dalam hubungannya dengan epistemologi, logika, dan sains. Dengan demikian,
artikel ini berusaha memberikan kajian komprehensif mengenai metafisika dari
perspektif historis hingga tantangan kontemporer yang dihadapinya.
Kata Kunci: Metafisika,
Ontologi, Kosmologi, Teologi Metafisik, Esensi, Aksidensi, Kausalitas, Kritik terhadap
Metafisika, Filsafat Analitik, Positivisme Logis.
PEMBAHASAN
Metafisika dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1. Definisi dan Ruang Lingkup
Metafisika
Metafisika adalah
cabang filsafat yang membahas hakikat realitas, keberadaan (being), dan esensi
(essence). Istilah "metafisika" berasal dari bahasa Yunani meta ta
physika, yang berarti "sesuatu yang berada di luar
fisika". Istilah ini pertama kali digunakan oleh filsuf Yunani,
Andronikus dari Rodos (abad ke-1 SM), saat menyusun karya-karya Aristoteles dan
menempatkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan filsafat pertama (prote
philosophia) setelah kajian tentang fisika. Dalam konteks filsafat Aristotelian, metafisika merupakan ilmu yang membahas keberadaan sebagai
keberadaan itu sendiri (being qua being).¹
Metafisika dapat
dikategorikan ke dalam beberapa cabang utama, antara lain:
1)
Ontologi
– Studi tentang keberadaan dan realitas secara fundamental.
2)
Kosmologi Metafisik – Kajian tentang asal-usul dan struktur alam semesta.
3)
Teologi Metafisik – Studi tentang Tuhan dan sifat ketuhanan dalam
filsafat.
4)
Esensi dan Aksidensi – Pembahasan tentang hakikat dan atribut sesuatu.
5)
Ruang,
Waktu, dan Kausalitas – Studi tentang dimensi fundamental
realitas dan hubungan sebab-akibat.
Menurut Frederick
Copleston, metafisika bukan hanya sekadar refleksi spekulatif, tetapi memiliki
tujuan untuk memahami prinsip dasar yang mendasari segala sesuatu.² Oleh karena
itu, metafisika menjadi landasan bagi banyak disiplin ilmu lainnya, termasuk
epistemologi, etika, dan bahkan sains modern.
1.2.
Sejarah Perkembangan Metafisika dalam Filsafat
Perkembangan
metafisika dapat ditelusuri sejak zaman filsafat Yunani kuno hingga era
filsafat modern dan kontemporer.
1)
Zaman Yunani Kuno
Metafisika dalam filsafat Yunani diawali oleh
para filsuf Presokratik seperti Thales (624–546 SM), Anaximander (610–546 SM),
dan Herakleitos (535–475 SM), yang mencari prinsip dasar (arche) dari
segala sesuatu.³ Puncak pemikiran metafisik Yunani dicapai dalam karya-karya
Plato (427–347 SM) dan Aristoteles (384–322 SM). Plato mengembangkan konsep
"Dunia Ide" yang menyatakan bahwa realitas sejati terletak
pada dunia immateri (intelligible realm), bukan dunia fisik.⁴
Sementara itu, Aristoteles menolak konsep dunia ide Plato dan menekankan
realitas sebagai gabungan antara substansi (ousia) dan aksidensi (symbebekos).⁵
2)
Zaman Abad Pertengahan
Pemikiran metafisik berkembang pesat dalam
tradisi filsafat Islam, Kristen, dan Yahudi. Filosof Muslim seperti Al-Farabi
(872–950 M), Ibnu Sina (980–1037 M), dan Mulla Sadra (1571–1640 M) banyak
berkontribusi dalam mengembangkan metafisika yang berlandaskan ajaran
Aristotelian dan Neoplatonisme. Ibnu Sina, misalnya, membedakan antara wujud
(keberadaan) dan mahiyyah (hakikat) dalam memahami realitas.⁶
Dalam filsafat Kristen, Thomas Aquinas (1225–1274
M) mengadaptasi pemikiran Aristotelian untuk menjelaskan keberadaan Tuhan dan
hubungan-Nya dengan dunia. Aquinas mengembangkan konsep actus purus,
yang menyatakan bahwa Tuhan adalah keberadaan murni tanpa potensi.⁷
3)
Zaman Modern dan
Kontemporer
Pada era modern, metafisika menghadapi tantangan
dari filsafat empirisme dan kritisisme Kantian. David Hume (1711–1776 M)
menolak validitas metafisika dengan alasan bahwa pengetahuan hanya dapat
diperoleh melalui pengalaman indrawi.⁸ Immanuel Kant (1724–1804 M) juga
mengkritik metafisika spekulatif dalam karyanya Critique of Pure Reason,
di mana ia membedakan antara noumenon (realitas dalam dirinya sendiri)
dan phenomenon (realitas sebagaimana yang tampak kepada kita).⁹
Meskipun mengalami banyak kritik, metafisika
tetap berkembang dalam pemikiran kontemporer. Filsuf seperti Martin Heidegger
(1889–1976 M) mengembangkan metafisika eksistensial dengan menekankan pada
konsep Dasein (keberadaan manusia).¹⁰ Di sisi lain, perkembangan sains
modern, terutama dalam fisika kuantum, kembali memunculkan pertanyaan metafisik
tentang realitas fundamental alam semesta.
1.3.
Relevansi Metafisika dalam Kajian Ilmu
Pengetahuan dan Agama
Metafisika memiliki
peran penting dalam membentuk dasar konseptual bagi berbagai disiplin ilmu, termasuk
sains dan agama. Dalam sains, metafisika membantu menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak dapat dijawab oleh metode empiris
semata, seperti sifat keberadaan, hukum kausalitas, dan hubungan antara
kesadaran dan materi.¹¹
Dalam agama, metafisika
berperan dalam memahami konsep ketuhanan, eksistensi jiwa, dan kehidupan
setelah kematian.¹² Banyak teolog dan filsuf Muslim, Kristen, serta Hindu
menggunakan pendekatan metafisika untuk menjelaskan doktrin-doktrin keimanan
dalam konteks rasional. Sebagai contoh, konsep "Wujud Wajib" dalam
filsafat Islam yang dikembangkan oleh Ibnu Sina dan Mulla Sadra menjadi
landasan teologis dalam memahami keberadaan Tuhan.¹³
Dengan demikian,
metafisika tetap relevan sebagai bidang kajian yang tidak hanya bersifat filosofis,
tetapi juga memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 45.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 87.
[3]
G. S. Kirk, J. E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 92.
[4]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d-511e.
[5]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a21-1003b10.
[6]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006),
38.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 3, a. 1.
[8]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 12.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 35.
[10]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 34.
[11]
Richard Feynman, The Meaning of It All: Thoughts of a Citizen
Scientist (New York: Basic Books, 1998), 22.
[12]
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, 1983), 78.
[13]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four
Journeys of the Intellect, trans. Seyyed Hossein Nasr (London:
Islamic College for Advanced Studies, 2003), 92.
2.
Ontologi
– Kajian tentang Keberadaan
2.1.
Pengertian Ontologi dalam Metafisika
Ontologi adalah
cabang metafisika yang membahas tentang hakikat keberadaan (being)
dan struktur fundamental realitas.¹ Kata "ontologi" berasal
dari bahasa Yunani ontos (keberadaan) dan logos
(ilmu atau kajian), sehingga ontologi dapat diartikan sebagai "ilmu
tentang keberadaan".² Dalam sejarah filsafat, Aristoteles merupakan
salah satu filsuf pertama yang secara sistematis membahas tentang ontologi,
meskipun ia sendiri tidak menggunakan istilah ini. Aristoteles menyebut cabang
metafisika ini sebagai studi tentang being qua being (keberadaan sebagai
keberadaan itu sendiri).³
Ontologi mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti:
·
Apa yang dimaksud dengan
"ada" atau "keberadaan"?
·
Apa perbedaan antara
sesuatu yang benar-benar ada (existent) dan sesuatu yang hanya
ada dalam konsep atau gagasan?
·
Bagaimana hubungan antara
keberadaan dan esensi suatu entitas?
Ontologi memiliki
hubungan erat dengan epistemologi, logika, dan filsafat sains karena membahas
dasar-dasar eksistensi yang menjadi pijakan bagi cabang ilmu lainnya.⁴
2.2.
Konsep Keberadaan (Being) dalam Metafisika
Keberadaan (being)
dalam metafisika dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai perspektif
filosofis:
2.2.1.
Keberadaan
Aktual dan Keberadaan Potensial
Aristoteles
membedakan antara keberadaan aktual (actual
being) dan keberadaan potensial (potential
being).⁵ Keberadaan aktual mengacu pada sesuatu yang eksis secara
nyata, sedangkan keberadaan potensial adalah sesuatu yang memiliki kemungkinan
untuk menjadi aktual. Misalnya, biji pohon memiliki keberadaan potensial
sebagai pohon besar, tetapi keberadaan aktualnya adalah sebagai biji.
Pandangan ini
kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam filsafat Islam oleh Ibnu Sina dan
Mulla Sadra. Mulla Sadra memperkenalkan teori ashalat al-wujud (primordialitas keberadaan), yang menyatakan bahwa keberadaan lebih fundamental daripada
esensi.⁶
2.2.2. Keberadaan Substansial dan
Aksidental
Ontologi
Aristotelian juga membedakan antara substansi (substance)
dan aksidensi
(accident).
Substansi adalah entitas yang dapat berdiri sendiri, sedangkan aksidensi adalah
sifat yang melekat pada substansi tetapi tidak menentukan hakikatnya.⁷ Sebagai
contoh, "manusia" adalah substansi, sedangkan "tinggi"
atau "pandai" adalah aksidensi yang bisa berubah tanpa
mengubah substansi dasar manusia itu sendiri.
Dalam filsafat Islam, konsep ini diadopsi oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang menekankan bahwa
Tuhan adalah satu-satunya substansi yang keberadaannya bersifat wajib
(necessary being), sementara makhluk lain adalah mumkin al-wujud (keberadaan yang mungkin).⁸
2.2.3. Keberadaan Universal dan
Partikular
Dalam filsafat
skolastik, terutama dalam perdebatan antara realisme dan nominalisme, muncul
pertanyaan tentang apakah konsep-konsep umum seperti "keadilan"
atau "keindahan" memiliki keberadaan independen (realism)
atau hanya sekadar konstruksi bahasa (nominalism).⁹ Plato, sebagai
seorang realis, berpendapat bahwa ide-ide atau bentuk-bentuk universal memiliki
eksistensi di dunia immateri yang lebih nyata daripada dunia fisik. Sebaliknya,
Aristoteles menolak gagasan ini dan berpendapat bahwa universal hanya ada dalam
benda-benda partikular.¹⁰
2.3.
Realisme vs. Nominalisme: Perdebatan tentang
Universalitas
Salah satu perdebatan
utama dalam ontologi adalah pertanyaan tentang status ontologis dari universal
(universalia).
Perdebatan ini melibatkan dua pandangan utama:
2.3.1. Realisme
Realisme, yang
dikembangkan oleh Plato dan diadopsi oleh para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas, menyatakan bahwa universal benar-benar ada secara independen dari
benda-benda partikular.¹¹ Dalam Teori Bentuk (Theory of Forms)
Plato, dikatakan bahwa dunia yang kita alami hanyalah bayangan dari dunia ide
yang lebih nyata.¹²
2.3.2. Nominalisme
Sebaliknya,
nominalisme, yang dikembangkan oleh William of Ockham, berpendapat bahwa
universal hanyalah nama (nomen) yang kita gunakan untuk
mengelompokkan benda-benda yang mirip, tetapi tidak memiliki keberadaan
independen di luar pikiran manusia.¹³ Pandangan ini menjadi dasar bagi
empirisme modern, yang menekankan bahwa hanya individu dan pengalaman konkrit
yang memiliki realitas.
2.4.
Pandangan Filsuf Klasik dan Modern tentang
Ontologi
Pandangan tentang
ontologi terus berkembang dari era filsafat klasik hingga modern:
2.4.1. Aristoteles dan Filsafat Abad
Pertengahan
Aristoteles
memberikan dasar bagi kajian ontologi yang kemudian dikembangkan oleh
filsuf-filsuf Islam seperti Ibnu Sina dan Mulla Sadra, serta teolog Kristen
seperti Thomas Aquinas. Ibnu Sina memperkenalkan konsep perbedaan antara wujud
(eksistensi) dan mahiyyah (esensi), yang menjadi
perdebatan utama dalam metafisika Islam dan Skolastik.¹⁴
2.4.2. Filsafat Modern dan Kontemporer
Pada era modern,
René Descartes (1596–1650) mencoba mendasarkan ontologi pada konsep cogito ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada").¹⁵ Sementara itu, Immanuel Kant (1724–1804) mengkritik
metafisika spekulatif dan menyatakan bahwa ontologi harus didasarkan pada
kategori-kategori kognitif manusia, bukan pada realitas di luar pengalaman.¹⁶
Pada abad ke-20,
Martin Heidegger mengembangkan konsep Dasein, yang menekankan pengalaman
eksistensial manusia dalam memahami keberadaan.¹⁷ Heidegger mengkritik
metafisika tradisional yang dianggap terlalu fokus pada kategori-kategori
abstrak dan tidak cukup memperhatikan pengalaman nyata manusia.
Kesimpulan
Ontologi sebagai
cabang metafisika berperan penting dalam memahami konsep keberadaan dan
realitas. Dari pemikiran Aristotelian hingga filsafat eksistensialis Heidegger,
ontologi telah berkembang dengan berbagai perspektif yang berbeda. Perdebatan
tentang universalitas, substansi, dan keberadaan tetap relevan dalam filsafat
hingga saat ini, baik dalam diskursus akademik maupun dalam kajian sains dan
teologi.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 58.
[2]
Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 256.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a21-1003b10.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 95.
[5]
Aristotle, Metaphysics, 1045b27.
[6]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four
Journeys of the Intellect, trans. Seyyed Hossein Nasr (London:
Islamic College for Advanced Studies, 2003), 101.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 3, a. 1.
[8]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006),
46.
[9]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Alfred J.
Freddoso (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2000), 34.
[10]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d-511e.
[11]
Heidegger, Being and Time, 35.
[12]
Plato, Republic, 509d-511e.
[13]
William of Ockham, Summa Logicae, 34.
[14]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 46.
[15]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.
[16]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A50/B74.
[17]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 22.
3.
Kosmologi
Metafisik – Hakikat Alam Semesta
3.1.
Pengertian Kosmologi dalam Metafisika
Kosmologi metafisik
adalah cabang metafisika yang membahas hakikat alam semesta, termasuk
asal-usul, struktur, dan prinsip-prinsip fundamental yang mengatur
eksistensinya.¹ Secara etimologis, kata kosmologi berasal dari bahasa
Yunani kosmos
(dunia atau tatanan) dan logos (ilmu atau kajian), sehingga kosmologi dapat diartikan sebagai studi tentang keteraturan dan struktur alam
semesta.²
Dalam sejarah filsafat, kosmologi metafisik telah menjadi fokus utama sejak zaman Yunani
Kuno. Para filsuf pra-Socrates, seperti Thales, Anaximander, dan Heraclitus,
mencoba menjelaskan asal-usul dunia dengan prinsip-prinsip dasar seperti air, apeiron
(yang tak terbatas), atau api.³ Aristoteles, dalam karyanya Metaphysics
dan Physics,
mengembangkan pemikiran tentang alam semesta sebagai sistem hierarkis yang
diatur oleh kausalitas dan bentuk (form).⁴
Di era modern,
perdebatan mengenai kosmologi metafisik semakin berkembang dengan munculnya
teori sains seperti relativitas Einstein dan model Big Bang. Para filsuf
seperti Immanuel Kant dan Alfred North Whitehead mengajukan teori tentang
struktur realitas yang mendasari eksistensi alam semesta.⁵
3.2.
Prinsip-Prinsip Fundamental Kosmologi Metafisik
Kosmologi metafisik
berusaha menjawab pertanyaan mendasar mengenai alam semesta, seperti:
1)
Apakah alam semesta
bersifat kekal atau memiliki permulaan?
2)
Apakah realitas alam
semesta bersifat material atau immaterial?
3)
Apakah terdapat prinsip
kausalitas universal yang mengatur kosmos?
Beberapa prinsip
utama dalam kosmologi metafisik meliputi:
3.2.1. Kausalitas dan Asal-Usul Alam
Semesta
Salah satu prinsip
mendasar dalam kosmologi metafisik adalah konsep kausalitas. Aristoteles
mengembangkan teori Empat Penyebab (Four
Causes), yaitu:
1)
Penyebab
Material (Material Cause): bahan dasar dari
sesuatu (misalnya, kayu sebagai bahan kursi).
2)
Penyebab
Formal (Formal Cause): bentuk atau esensi
yang mendefinisikan sesuatu (misalnya, bentuk kursi).
3)
Penyebab
Efisien (Efficient Cause): faktor atau agen
yang menyebabkan sesuatu terjadi (misalnya, tukang kayu yang membuat kursi).
4)
Penyebab
Final (Final Cause): tujuan atau maksud
dari sesuatu (misalnya, kursi dibuat untuk duduk).⁶
Dalam konteks
kosmologi, pertanyaan mengenai asal-usul alam semesta sering dikaitkan dengan
konsep penyebab pertama (prima causa), yaitu entitas yang
menyebabkan eksistensi alam semesta tetapi tidak disebabkan oleh sesuatu yang
lain.⁷ Konsep ini menjadi dasar dalam argumen filsafat teistik, seperti yang dikemukakan
oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologica.⁸
3.2.2. Keabadian vs. Penciptaan Alam
Semesta
Filsafat dan sains
telah lama memperdebatkan apakah alam semesta bersifat kekal atau memiliki
awal.
·
Pandangan
Kekekalan Alam Semesta
Aristoteles dan filsuf Muslim seperti Ibnu Rushd
(Averroes) berpendapat bahwa alam semesta bersifat kekal dan tidak memiliki
awal.⁹ Pendapat ini sejalan dengan konsep dunia sebagai tatanan yang selalu ada
dalam perubahan kontinu.
·
Pandangan
Penciptaan Alam Semesta
Sebaliknya, filsuf seperti Al-Kindi dan
Al-Ghazali berpendapat bahwa alam semesta memiliki permulaan. Al-Ghazali
mengajukan Argumen Kalam Kosmologis, yang menyatakan bahwa segala
sesuatu yang memiliki permulaan pasti memiliki penyebab, dan karena alam
semesta memiliki permulaan, maka harus ada penyebab pertama, yaitu Tuhan.¹⁰
Dalam sains modern,
teori Big Bang menunjukkan bahwa alam semesta memiliki titik awal sekitar 13,8
miliar tahun yang lalu, yang sejalan dengan gagasan bahwa alam semesta memiliki
penciptaan.¹¹
3.2.3. Strukturalisme Metafisik: Alam
Semesta sebagai Sistem Tertata
Kosmologi metafisik
tidak hanya membahas asal-usul alam semesta tetapi juga strukturnya. Plato
dalam Timaeus
menggambarkan dunia sebagai entitas yang diciptakan oleh Demiurge
(pencipta ilahi) berdasarkan prinsip keteraturan matematis.¹² Pandangan ini
berpengaruh dalam pemikiran ilmiah modern, seperti teori fisika yang menekankan
adanya hukum-hukum universal yang mengatur alam.
Dalam metafisika
Islam, konsep keteraturan kosmos juga dijelaskan oleh filsuf seperti Ibn Sina
dan Mulla Sadra, yang menekankan bahwa alam semesta memiliki hierarki
keberadaan yang ditentukan oleh esensi dan wujud.¹³
3.3.
Hubungan antara Kosmologi Metafisik dan Ilmu
Pengetahuan
Dalam filsafat kontemporer, kosmologi metafisik berinteraksi dengan ilmu pengetahuan, terutama
dalam bidang fisika teoretis dan filsafat sains.
·
Keterbatasan
Model Ilmiah
Model ilmiah seperti relativitas umum dan
mekanika kuantum telah memberikan pemahaman tentang struktur alam semesta,
tetapi masih menyisakan pertanyaan metafisik seperti "mengapa ada
sesuatu daripada tidak ada?"¹⁴
·
Multiverse
dan Implikasi Metafisik
Konsep multiverse dalam fisika modern membuka
kemungkinan bahwa alam semesta kita hanyalah salah satu dari banyak realitas
yang mungkin.¹⁵ Ini menimbulkan pertanyaan metafisik tentang sifat realitas dan
kemungkinan adanya alam semesta lain dengan hukum fisika yang berbeda.
Kesimpulan
Kosmologi metafisik
merupakan bidang kajian yang berusaha memahami hakikat alam semesta secara filosofis.
Dari Aristoteles hingga teori Big Bang, kosmologi telah menjadi titik temu
antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Perdebatan mengenai kausalitas,
keabadian, dan keteraturan kosmos tetap menjadi isu fundamental dalam memahami
realitas yang lebih dalam.
Footnotes
[1]
Edward Craig, Routledge Encyclopedia of Philosophy
(New York: Routledge, 1998), 260.
[2]
Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 184.
[3]
Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London:
Penguin Books, 2002), 50.
[4]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 987a30-988a5.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A30/B45.
[6]
Aristotle, Physics, trans. Robin Waterfield
(Oxford: Oxford University Press, 1996), 194b23-195a3.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros, 1947), I, q. 2, a. 3.
[8]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006),
56.
[9]
Averroes, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon
Van Den Bergh (London: Luzac, 1954), 210.
[10]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23.
[11]
Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York:
Bantam Books, 1988), 42.
[12]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 28a-29d.
[13]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy, 145.
[14]
William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument
(London: Macmillan, 1979), 67.
[15]
Brian Greene, The Hidden Reality (New York:
Vintage, 2011), 83.
4.
Teologi
Metafisik – Kajian tentang Tuhan dan Realitas Ketuhanan
4.1.
Pengantar Teologi Metafisik
Teologi metafisik
adalah cabang filsafat yang membahas hakikat Tuhan, sifat keberadaan-Nya, dan
hubungan-Nya dengan realitas.¹ Dalam sejarah filsafat, teologi metafisik
berkembang dari pemikiran filsafat Yunani Kuno hingga pemikiran teistik dalam
tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi.²
Secara umum, teologimetafisik membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti:
1)
Apakah Tuhan ada, dan
bagaimana cara membuktikannya secara rasional?
2)
Apa sifat-sifat Tuhan dalam
perspektif metafisika?
3)
Bagaimana hubungan antara
Tuhan dan dunia?
Para filsuf besar
seperti Plato, Aristoteles, Ibn Sina, Thomas Aquinas, dan Kant telah memberikan
kontribusi besar dalam memahami realitas ketuhanan melalui pendekatan rasional
dan spekulatif.³
4.2.
Argumen tentang Keberadaan Tuhan
Salah satu fokus
utama dalam teologi metafisik adalah argumen-argumen rasional untuk membuktikan
keberadaan Tuhan. Beberapa argumen utama yang telah dikembangkan antara lain:
4.2.1. Argumen Ontologis
Argumen ontologis
pertama kali dikembangkan oleh Anselmus dari Canterbury dalam Proslogion.
Ia berpendapat bahwa Tuhan adalah "sesuatu yang tidak dapat dibayangkan
lebih besar darinya," dan karena eksistensi dalam realitas lebih
sempurna daripada sekadar dalam pemikiran, maka Tuhan harus ada.⁴
Immanuel Kant
mengkritik argumen ini dengan menyatakan bahwa eksistensi bukanlah sifat (predicate)
yang dapat ditambahkan ke suatu konsep, melainkan suatu kondisi yang berbeda
dari esensi.⁵
4.2.2. Argumen Kosmologis
Argumen kosmologis
didasarkan pada prinsip kausalitas, yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang
ada pasti memiliki penyebab. Thomas Aquinas mengembangkan lima bukti keberadaan
Tuhan dalam Summa Theologica, yang mencakup:
1)
Gerakan
(Argument from Motion):
Setiap gerakan harus memiliki penggerak
pertama yang tidak digerakkan oleh yang lain.
2)
Kausalitas
(Argument from Causation):
Segala sesuatu memiliki penyebab, dan
rantai penyebab ini harus berakhir pada penyebab pertama, yaitu Tuhan.
3)
Kemungkinan
dan Keberharusan (Argument from Contingency):
Segala sesuatu dalam dunia ini bersifat
mungkin (kontingen), tetapi harus ada entitas yang keberadaannya niscaya
(niscaya), yaitu Tuhan.
4)
Derajat
Kesempurnaan (Argument from Degree):
Karena ada derajat kebaikan dan
kesempurnaan dalam dunia, maka harus ada standar absolut kesempurnaan, yaitu
Tuhan.
5)
Tujuan
(Argument from Teleology):
Alam semesta menunjukkan keteraturan
yang mengarah pada tujuan tertentu, yang menunjukkan keberadaan perancang
ilahi.⁶
4.2.3. Argumen Teleologis
Argumen teleologis
atau argument
from design menyatakan bahwa kompleksitas dan keteraturan dalam
alam semesta menunjukkan adanya perancang cerdas (Tuhan). Filsuf seperti
William Paley dalam Natural Theology menggunakan
analogi arloji untuk menggambarkan bahwa jika sebuah arloji ditemukan di tanah,
seseorang pasti berasumsi ada pembuatnya.⁷
Namun, teori evolusi
Darwin dan fisika modern telah menantang argumen ini dengan menjelaskan
keteraturan alam melalui mekanisme alami.⁸ Meskipun demikian, beberapa filsuf
modern, seperti Richard Swinburne dan Alvin Plantinga, tetap mempertahankan
argumen ini dengan pendekatan probabilistik.⁹
4.3.
Sifat-Sifat Tuhan dalam Metafisika
Para filsuf dan
teolog telah membahas berbagai sifat Tuhan yang dapat dipahami melalui akal.
Beberapa sifat utama Tuhan dalam metafisika adalah:
4.3.1. Keberadaan yang Niscaya
(Necessary Being)
Menurut Ibn Sina,
Tuhan adalah wajib al-wujud (Wujud yang Niscaya), yang berarti keberadaan-Nya tidak bergantung pada sesuatu yang
lain.¹⁰ Segala sesuatu yang ada di alam semesta bersifat mungkin (mumkin al-wujud), yang berarti ia membutuhkan penyebab keberadaannya.
4.3.2. Keunikan dan Kesederhanaan
(Divine Simplicity)
Dalam metafisika
Islam dan Kristen, Tuhan dianggap sebagai entitas yang tidak tersusun dari
bagian-bagian (simple being).¹¹ Dalam konsep ini,
Tuhan tidak memiliki komponen material atau bentuk yang terpisah, sehingga
keberadaan-Nya adalah esensi-Nya.
4.3.3. Keabadian dan Ketakterbatasan
(Eternal and Infinite Being)
Tuhan tidak terbatas
oleh waktu dan ruang, sebagaimana dijelaskan oleh Plato dan Aristoteles.¹²
Dalam Islam, konsep ini juga ditegaskan dalam Al-Qur’an: "Dialah
Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin." (QS.
Al-Hadid [57] ayat 3).¹³
هُوَ
الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ
4.4.
Hubungan Tuhan dengan Alam Semesta
Dalam metafisika
teologis, hubungan antara Tuhan dan dunia menjadi perdebatan yang menarik.
Beberapa pandangan utama tentang hubungan ini adalah:
4.4.1. Teisme Klasik
Teisme klasik
(seperti dalam filsafat Islam, Kristen, dan Yahudi) berpendapat bahwa Tuhan
adalah pencipta dan pengatur alam semesta yang tetap berinteraksi dengan
ciptaan-Nya melalui wahyu dan kehendak-Nya.¹⁴
4.4.2. Deisme
Deisme, yang berkembang
pada Zaman Pencerahan, berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta tetapi
tidak campur tangan dalam urusan dunia setelahnya.¹⁵
4.4.3. Panteisme dan Panenteisme
Panteisme (seperti
dalam filsafat Spinoza) menyatakan bahwa Tuhan dan alam semesta adalah satu
kesatuan. Sementara itu, panenteisme menyatakan bahwa Tuhan mencakup alam
semesta tetapi juga melampauinya.¹⁶
Kesimpulan
Teologi metafisik
merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat Tuhan, keberadaan-Nya, dan
hubungan-Nya dengan realitas. Berbagai argumen telah diajukan untuk membuktikan
keberadaan Tuhan, termasuk argumen ontologis, kosmologis, dan teleologis. Sifat
Tuhan yang dibahas dalam metafisika mencakup keberadaan-Nya yang niscaya,
keunikan-Nya, serta hubungan-Nya dengan alam semesta. Meskipun perdebatan masih
berlangsung, teologi metafisik tetap menjadi bidang kajian fundamental dalam
memahami realitas ketuhanan.
Footnotes
[1]
Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God
(San Francisco: Ignatius Press, 2017), 20.
[2]
Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford:
Clarendon Press, 2004), 5.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome
(New York: Image Books, 1993), 289.
[4]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 2.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A592/B620.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 2, a. 3.
[7]
William Paley, Natural Theology (London:
Rivington, 1802), 3.
[8]
Charles Darwin, On the Origin of Species (London:
John Murray, 1859), 245.
[9]
Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca:
Cornell University Press, 1967), 190.
[10]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006),
87.
[11]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 3, a. 1.
[12]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 27d-29b.
[13]
Al-Qur’an, Surah Al-Hadid: 3.
[14]
Swinburne, The Existence of God, 132.
[15]
Copleston, A History of Philosophy, 378.
[16]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(Princeton: Princeton University Press, 1985), 45.
5.
Esensi
dan Aksidensi dalam Metafisika
5.1.
Pengantar: Konsep Esensi dan Aksidensi dalam
Metafisika
Dalam metafisika,
perbedaan antara esensi (essence)
dan aksidensi
(accident)
merupakan salah satu pembahasan mendasar yang telah dibahas sejak zaman
filsafat Yunani Kuno hingga pemikiran skolastik dan filsafat Islam.¹ Konsep ini
berkaitan erat dengan pertanyaan tentang hakikat keberadaan (being)
dan sifat dasar sesuatu.
Esensi
adalah hakikat fundamental yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya,
sedangkan aksidensi adalah sifat-sifat
yang dapat berubah tanpa mengubah hakikat sesuatu tersebut.² Sebagai contoh,
warna rambut seseorang (aksidensi) dapat berubah, tetapi hakikatnya sebagai
manusia (esensi) tetap sama.
Pemikiran tentang
esensi dan aksidensi banyak dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, yang membagi
keberadaan menjadi substansi (substance) dan aksidensi (accident).³
Konsep ini kemudian dikembangkan dalam filsafat Islam oleh Ibn Sina dan
al-Farabi, serta dalam filsafat skolastik oleh Thomas Aquinas.
5.2.
Esensi: Hakikat yang Mendefinisikan Suatu
Entitas
Esensi
(mahiyyah
dalam filsafat Islam) adalah inti dari suatu entitas yang menjadikannya
sebagaimana adanya.⁴ Aristoteles menyatakan bahwa esensi adalah apa yang tetap
ada dalam suatu entitas meskipun mengalami perubahan dalam hal-hal aksidental.
5.2.1. Esensi dalam Filsafat
Aristoteles
Aristoteles
membedakan antara substansi pertama (primary
substance) dan substansi kedua (secondary
substance).
1)
Substansi
pertama adalah individu konkret yang ada di dunia nyata,
seperti "Socrates" sebagai seorang manusia tertentu.
2)
Substansi
kedua adalah kategori atau jenis yang menentukan hakikat suatu
entitas, seperti "manusia" secara umum.⁵
Dalam Metaphysics,
Aristoteles menyatakan bahwa esensi suatu benda adalah penyebab utama
keberadaannya. Suatu benda tidak dapat ada tanpa esensinya.⁶
5.2.2. Esensi dalam Filsafat Islam: Ibn
Sina dan al-Farabi
Dalam filsafat
Islam, Ibn Sina
mengembangkan konsep esensi lebih lanjut dengan membedakan antara wujud
(being)
dan mahiyyah
(quiddity).
Menurutnya, sesuatu bisa memiliki esensi tanpa memiliki eksistensi aktual.⁷
Sebagai contoh, seekor unicorn memiliki esensi (kita dapat memahami seperti apa
bentuknya), tetapi tidak memiliki eksistensi di dunia nyata.
Al-Farabi
juga mengembangkan teori ini dengan menyatakan bahwa esensi adalah sesuatu yang
dapat didefinisikan secara independen dari keberadaannya.⁸
5.2.3. Esensi dalam Skolastik: Thomas
Aquinas
Thomas Aquinas,
dalam tradisi filsafat skolastik, mengadaptasi konsep Ibn Sina dan Aristoteles
dengan membedakan actus essendi (tindakan ada)
dan essentia
(hakikat sesuatu).⁹ Baginya, Tuhan adalah satu-satunya entitas yang
keberadaannya identik dengan esensinya, sedangkan semua makhluk lain memiliki
esensi yang terpisah dari keberadaannya.
5.3.
Aksidensi: Sifat yang Tidak Menentukan Hakikat
Aksidensi
adalah sifat-sifat yang dapat berubah tanpa mengubah esensi suatu entitas.
Aristoteles mengidentifikasi sembilan jenis aksidensi yang menyertai substansi:
1)
Kuantitas
(seberapa besar sesuatu itu)
2)
Kualitas
(sifat-sifat seperti warna, bentuk, atau bau)
3)
Relasi
(hubungan dengan sesuatu yang lain)
4)
Tempat
(di mana suatu benda berada)
5)
Waktu
(kapan suatu benda berada)
6)
Situasi
(posisi atau keadaan)
7)
Kondisi
(status, seperti berpakaian atau tidak)
8)
Tindakan
(sesuatu yang dilakukan oleh entitas tersebut)
9)
Penderitaan
(sesuatu yang dialami oleh entitas tersebut)¹⁰
Contohnya, seseorang
bisa berdiri (aksidensi situasi) atau duduk, tetapi tetap menjadi manusia
(esensi).
5.3.1. Aksidensi dalam Pandangan
Aristoteles
Aristoteles
mengajukan bahwa aksidensi adalah atribut yang melekat pada substansi tetapi
tidak menentukan identitasnya.¹¹ Ia membedakan antara aksidensi
yang inheren (seperti warna mata) dan aksidensi
yang kebetulan (seperti seseorang mengenakan pakaian berwarna
merah hari ini).
5.3.2. Aksidensi dalam Filsafat Islam
Ibn Sina membahas
aksidensi dalam konteks hubungan antara wujud dan mahiyyah.¹²
Baginya, wujud suatu entitas adalah aksidensi dari esensinya, karena sesuatu
bisa memiliki esensi tanpa eksistensi.
5.3.3. Aksidensi dalam Skolastik
Thomas Aquinas
menyatakan bahwa aksidensi bergantung pada substansi dan tidak bisa ada secara
independen.¹³ Dalam teologi, ia menggunakan konsep aksidensi untuk menjelaskan
transubstansiasi dalam Ekaristi, di mana substansi roti dan anggur berubah
menjadi tubuh dan darah Kristus, tetapi aksidensinya tetap sama.¹⁴
5.4.
Implikasi dalam Metafisika dan Ilmu Pengetahuan
Konsep esensi dan
aksidensi memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang ilmu:
1)
Metafisika
dan Identitas Personal:
Dalam filsafat eksistensialisme,
Jean-Paul Sartre menolak gagasan bahwa manusia memiliki esensi tetap sebelum
keberadaannya.¹⁵
2)
Ilmu
Pengetahuan Alam:
Dalam fisika modern, konsep identitas
partikel subatomik menantang gagasan Aristotelian tentang esensi.¹⁶
3)
Filsafat Bahasa:
Dalam filsafat analitik, konsep esensi
berkaitan dengan bagaimana kita mendefinisikan kategori dalam bahasa.¹⁷
Kesimpulan
Esensi dan aksidensi
merupakan konsep fundamental dalam metafisika yang membahas perbedaan antara
hakikat suatu entitas dan sifat-sifat yang tidak menentukan keberadaannya.
Aristoteles, Ibn Sina, dan Thomas Aquinas memberikan kontribusi besar dalam
memahami konsep ini. Pemahaman tentang esensi dan aksidensi tetap relevan dalam
berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, sains, dan teologi.
Footnotes
[1]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical
Foundations of Physical and Biological Science
(Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 45.
[2]
John W. Carroll and Ned Markosian, An Introduction to Metaphysics
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 76.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1028b.
[4]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006),
110.
[5]
Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill
(Oxford: Clarendon Press, 1963), 5.
[6]
Aristotle, Metaphysics, 1041a.
[7]
Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, trans.
Shams C. Inati (London: Kegan Paul, 2001), 137.
[8]
Al-Farabi, The Book of Letters, trans. Muhsin
Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 57.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 3, a. 4.
[10]
Aristotle, Categories, 9a-15b.
[11]
Feser, Aristotle’s Revenge, 78.
[12]
Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, 142.
[13]
Aquinas, Summa Theologica, I, q. 76, a. 8.
[14]
Ibid.
[15]
Jean-Paul Sartre, Existentialism is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 23.
[16]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York:
Harper, 1958), 64.
[17]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge:
Harvard University Press, 1980), 48.
6.
Ruang,
Waktu, dan Kausalitas dalam Metafisika
6.1.
Pengantar: Ruang, Waktu, dan Kausalitas sebagai
Kategori Fundamental dalam Metafisika
Dalam metafisika,
konsep ruang,
waktu,
dan kausalitas
merupakan kategori fundamental yang menentukan bagaimana kita memahami
realitas.¹ Ruang dan waktu menjadi kerangka bagi eksistensi dan perubahan,
sementara kausalitas menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam suatu rantai sebab
akibat.
Sejak era filsafat
klasik hingga perkembangan filsafat modern, para pemikir besar seperti
Aristoteles, Kant, Newton, dan Einstein telah menawarkan berbagai pandangan
tentang bagaimana ruang dan waktu dipahami, serta bagaimana kausalitas berperan
dalam menentukan hubungan antara fenomena.²
6.2.
Ruang dalam Metafisika: Relasi atau Entitas
Mandiri?
Konsep ruang
dalam metafisika berkaitan dengan sifat keberadaan objek dan hubungan
spasialnya. Ada dua pendekatan utama dalam memahami ruang:
6.2.1. Ruang Absolut (Newtonian)
Isaac Newton
berpendapat bahwa ruang bersifat absolut, yaitu suatu wadah atau
latar yang independen dari objek-objek di dalamnya.³ Dalam pandangan ini, ruang
tetap ada meskipun tidak ada objek yang mengisinya.
Newton berargumen
bahwa gerak benda dalam ruang dapat dijelaskan secara objektif berdasarkan
kerangka ruang yang tetap.⁴ Pandangan ini sangat berpengaruh dalam fisika
klasik dan dominan hingga abad ke-19.
6.2.2. Ruang Relasional (Leibnizian dan
Kantian)
Gottfried Wilhelm
Leibniz menentang gagasan ruang absolut Newton dan mengajukan bahwa ruang
hanyalah relasi antara benda-benda.⁵ Ruang tidak memiliki eksistensi
independen, melainkan merupakan kumpulan hubungan antara objek.
Immanuel Kant
mengembangkan gagasan ini lebih lanjut dengan menyatakan bahwa ruang bukanlah
entitas eksternal, melainkan suatu bentuk intuisi apriori yang
memungkinkan kita memahami realitas.⁶ Artinya, ruang tidak ada secara objektif
di luar pengalaman manusia, tetapi merupakan kerangka konseptual yang kita
gunakan untuk memahami dunia.
6.2.3. Ruang dalam Fisika Modern (Teori
Relativitas Einstein)
Albert Einstein
merevolusi konsep ruang dengan teori relativitasnya. Ia menunjukkan bahwa ruang
dan waktu tidak terpisah, melainkan membentuk struktur ruang-waktu
(spacetime)
yang dapat berubah tergantung pada kecepatan dan gravitasi.⁷
Dengan konsep ini,
ruang bukan lagi sesuatu yang tetap dan absolut, melainkan relatif terhadap
pengamat dan dipengaruhi oleh massa dan energi.
6.3.
Waktu dalam Metafisika: Linearitas atau
Relativitas?
Waktu adalah konsep
fundamental yang mengatur perubahan dan keberadaan. Seperti halnya ruang,
terdapat dua pendekatan utama dalam memahami waktu:
6.3.1. Waktu Absolut (Newtonian dan
Aristotelian)
Newton berpendapat
bahwa waktu adalah entitas absolut, mengalir
secara independen dari perubahan yang terjadi di alam semesta.⁸ Pandangan ini
sejalan dengan konsep Aristotelian tentang waktu sebagai ukuran perubahan.
Dalam metafisika
Aristoteles, waktu tidak bisa eksis tanpa adanya perubahan, tetapi ia tetap
memandang waktu sebagai suatu urutan yang objektif.⁹
6.3.2. Waktu Relasional dan Subjektif
(Leibniz dan Kant)
Leibniz menegaskan
bahwa waktu hanyalah urutan peristiwa dan tidak memiliki eksistensi
independen.¹⁰ Sementara itu, Kant menyatakan bahwa waktu, seperti ruang,
merupakan bentuk intuisi apriori yang
digunakan manusia untuk memahami pengalaman.¹¹
Pandangan ini
menyiratkan bahwa waktu tidak ada di luar kesadaran manusia, tetapi merupakan
cara kita mengorganisasi pengalaman.
6.3.3. Waktu dalam Relativitas Einstein
Einstein menunjukkan
bahwa waktu tidak bersifat mutlak, melainkan relatif terhadap kecepatan dan
medan gravitasi.¹² Dalam relativitas khusus, waktu dapat berjalan lebih lambat
bagi pengamat yang bergerak cepat dibandingkan pengamat diam (dilatasi waktu).
Implikasi
metafisiknya adalah bahwa waktu tidak mengalir secara universal, melainkan
bergantung pada kondisi fisik yang berbeda.¹³
6.4.
Kausalitas: Prinsip Sebab Akibat dalam
Metafisika
Kausalitas adalah
prinsip mendasar dalam metafisika yang menyatakan bahwa setiap kejadian
memiliki penyebab.¹⁴ Konsep ini telah dibahas dalam berbagai tradisi filsafat,
dari Aristoteles hingga fisika kuantum.
6.4.1. Kausalitas dalam Filsafat
Aristoteles
Aristoteles
mengidentifikasi empat jenis kausalitas:
1)
Kausa
materialis (bahan dari sesuatu)
2)
Kausa
formalis (bentuk atau esensi)
3)
Kausa
efisien (agen yang menyebabkan sesuatu terjadi)
4)
Kausa
finalis (tujuan atau maksud dari suatu kejadian)¹⁵
Konsep ini menjadi
dasar bagi pemikiran metafisik skolastik dan filosof Islam seperti Ibn Sina dan
al-Ghazali.
6.4.2. Kritik David Hume terhadap
Kausalitas
David Hume
mengkritik konsep kausalitas dengan menyatakan bahwa kita tidak pernah
benar-benar mengamati hubungan sebab-akibat secara langsung, melainkan hanya
melihat korelasi antara dua peristiwa.¹⁶ Baginya, kausalitas hanyalah asumsi
psikologis yang kita buat berdasarkan pengalaman.
6.4.3. Kausalitas dalam Fisika Modern
Dalam fisika
kuantum, prinsip kausalitas klasik mulai dipertanyakan karena adanya fenomena
seperti ketidakpastian Heisenberg dan keterkaitan kuantum (quantum
entanglement), yang menunjukkan bahwa hubungan antara partikel bisa
bersifat non-lokal dan tidak selalu mengikuti urutan sebab akibat yang jelas.¹⁷
6.5.
Implikasi Metafisik dari Ruang, Waktu, dan
Kausalitas
Konsep ruang, waktu,
dan kausalitas memiliki dampak besar terhadap berbagai disiplin ilmu, termasuk:
1)
FilsafatAgama: Hubungan antara ruang-waktu dan keberadaan Tuhan dalam
konsep ketuhanan.
2)
Filsafat Ilmu: Bagaimana teori relativitas dan mekanika kuantum
menantang pandangan klasik tentang sebab-akibat.
3)
Filsafat Kesadaran: Bagaimana waktu mempengaruhi pengalaman subjektif
manusia dan kesadaran diri.
Kesimpulan
Pembahasan tentang
ruang, waktu, dan kausalitas dalam metafisika terus berkembang dari era
Aristoteles hingga fisika modern. Ruang dan waktu telah bergeser dari konsep
absolut ke relatif, sementara kausalitas dipertanyakan dalam filsafat empirisme
dan fisika kuantum. Perdebatan ini tetap menjadi topik sentral dalam metafisika
dan filsafat sains kontemporer.
Footnotes
[1]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical
Foundations of Physical and Biological Science
(Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 132.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 76.
[3]
Isaac Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy,
trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1999), 16.
[4]
Ibid., 25.
[5]
Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans.
George R. Montgomery (La Salle: Open Court, 1992), 53.
[6]
Kant, Critique of Pure Reason, 79.
[7]
Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory
(New York: Crown, 1961), 37.
[8]
Newton, Mathematical Principles, 22.
[9]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R.
K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), 219b.
[10]
Leibniz, Discourse on Metaphysics, 60.
[11]
Kant, Critique of Pure Reason, 85.
[12]
Einstein, Relativity, 41.
[13]
Ibid., 44.
[14]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.
A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 173.
[15]
Aristotle, Metaphysics, 1013a.
[16]
Hume, Treatise of Human Nature, 174.
[17]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York:
Harper, 1958), 92.
7.
Metafisika
dan Epistemologi – Hubungan antara Keberadaan dan Pengetahuan
7.1.
Pendahuluan: Relasi Metafisika dan Epistemologi
Dalam filsafat, metafisika
berfokus pada hakikat realitas dan keberadaan, sedangkan epistemologi
membahas bagaimana manusia memperoleh dan memvalidasi pengetahuan tentang
realitas tersebut.¹ Hubungan antara kedua bidang ini telah menjadi perdebatan
panjang sejak era filsafat Yunani hingga filsafat kontemporer.
Para filsuf seperti
Plato, Aristoteles, Descartes, Kant, dan Heidegger berusaha menjelaskan
bagaimana struktur realitas dapat dipahami oleh akal manusia.² Salah satu
pertanyaan utama yang muncul adalah: Apakah realitas dapat diketahui secara
objektif, ataukah pengetahuan kita selalu dibatasi oleh keterbatasan manusia?
7.2.
Metafisika Realisme dan Idealime dalam
Epistemologi
Salah satu perdebatan
utama dalam hubungan metafisika dan epistemologi adalah antara realisme
dan idealisme.
7.2.1. Realisme: Realitas Independen
dari Pikiran
Realisme
metafisik berpendapat bahwa realitas bersifat independen dari
pikiran manusia. Artinya, ada dunia luar yang eksis secara objektif, terlepas
dari apakah kita menyadarinya atau tidak.³
Aristoteles dan
filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas mendukung gagasan ini, dengan
menyatakan bahwa akal manusia mampu memahami esensi realitas melalui pengalaman
dan abstraksi.⁴
Dalam versi modern, realisme
ilmiah mengasumsikan bahwa hukum-hukum alam dan entitas fisik
seperti atom dan galaksi benar-benar ada, meskipun manusia mungkin belum
sepenuhnya memahaminya.⁵
7.2.2. Idealisme: Realitas Tergantung
pada Pikiran
Sebaliknya, idealisme
metafisik berpendapat bahwa realitas sepenuhnya atau sebagian
besar bergantung pada kesadaran. George Berkeley, misalnya, berpendapat bahwa
keberadaan suatu objek bergantung pada apakah ia dipersepsi (esse est percipi – "ada berarti dipersepsi").⁶
Immanuel Kant
mengembangkan gagasan bahwa kita tidak dapat mengetahui "realitas
dalam dirinya sendiri" (noumenon), melainkan hanya
fenomena yang tampak bagi kita melalui struktur kognitif kita.⁷ Hal ini
menunjukkan bahwa realitas sebagaimana adanya mungkin tidak sepenuhnya dapat
diketahui.
7.3.
Sumber Pengetahuan: Rasionalisme vs Empirisme
Bagaimana kita
mengetahui realitas? Pertanyaan ini memunculkan dua kubu besar dalam
epistemologi: rasionalisme dan empirisme.
7.3.1. Rasionalisme: Pengetahuan Melalui
Akal
Rasionalisme
menyatakan bahwa akal (reason) adalah sumber utama
pengetahuan, bukan pengalaman inderawi.
·
Plato
berargumen bahwa dunia inderawi adalah bayangan dari dunia ide yang lebih
nyata, dan pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui rasio.⁸
·
Descartes
menegaskan bahwa kebenaran dapat ditemukan melalui metode skeptisisme radikal
dan penggunaan akal, sebagaimana dalam pernyataannya yang terkenal, cogito, ergo sum ("aku berpikir, maka aku ada").⁹
7.3.2. Empirisme: Pengetahuan Melalui
Pengalaman
Empirisme,
di sisi lain, berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman
inderawi.
·
John Locke menyatakan bahwa manusia lahir sebagai tabula
rasa (lembaran kosong) yang memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman.¹⁰
·
David
Hume lebih skeptis, menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat
hanyalah kebiasaan mental dan bukan sesuatu yang benar-benar inheren dalam
realitas.¹¹
Perdebatan antara
rasionalisme dan empirisme mendorong munculnya sintesis Kant, yang
menggabungkan keduanya dengan konsep bahwa akal dan pengalaman sama-sama
berperan dalam membentuk pengetahuan kita.¹²
7.4.
Keberadaan dan Kebenaran: Teori Korespondensi
vs Teori Koherensi
Bagaimana kita
menentukan kebenaran tentang realitas?
7.4.1. Teori Korespondensi
Teori ini menyatakan
bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan realitas.¹³ Misalnya,
pernyataan "matahari terbit di timur" benar jika dan hanya
jika matahari memang terbit di timur.
Teori ini dianut
oleh filsuf seperti Aristoteles dan Bertrand Russell, serta mendasari metode
ilmiah modern.¹⁴
7.4.2. Teori Koherensi
Teori ini menyatakan
bahwa kebenaran adalah konsistensi internal dalam suatu sistem kepercayaan.¹⁵
Misalnya, dalam matematika, suatu pernyataan dianggap benar jika sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam sistem yang koheren.
Para filsuf idealis
seperti Hegel dan beberapa epistemolog modern lebih condong ke teori ini.¹⁶
7.5.
Metafisika, Epistemologi, dan Ilmu Pengetahuan
Bagaimana hubungan
antara metafisika, epistemologi, dan ilmu pengetahuan?
1)
Ilmu
pengetahuan modern mengandalkan metode empiris untuk memahami
realitas, tetapi tetap memerlukan landasan metafisik, seperti asumsi bahwa
hukum-hukum alam itu tetap dan dapat dipahami.¹⁷
2)
Matematika
dan logika sering dianggap sebagai bentuk pengetahuan a priori
yang tidak bergantung pada pengalaman, tetapi tetap memerlukan justifikasi
epistemologis.¹⁸
3)
Metafisika
kontemporer dalam filsafat sains membahas realisme struktural,
yang berargumen bahwa apa yang benar-benar ada bukanlah objek individual,
tetapi struktur relasional yang dijelaskan oleh teori ilmiah.¹⁹
Kesimpulan
Hubungan antara
metafisika dan epistemologi merupakan salah satu kajian paling kompleks dalam
filsafat. Pertanyaan tentang bagaimana realitas dapat dipahami telah melahirkan
berbagai aliran pemikiran, dari realisme dan idealisme, rasionalisme dan
empirisme, hingga berbagai teori kebenaran.
Dalam dunia modern,
interaksi antara metafisika dan epistemologi terus berkembang, terutama dalam
filsafat sains dan kognitif. Pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara
keberadaan dan pengetahuan akan terus menjadi landasan utama dalam pencarian
manusia terhadap kebenaran.
Footnotes
[1]
Edward Craig, Routledge Encyclopedia of Philosophy
(New York: Routledge, 1998), 502.
[2]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 212.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1003a.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.85.
[5]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(New York: Routledge, 2002), 261.
[6]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge (London: J. Tonson, 1710), 21.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 82.
[8]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d.
[9]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[10]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding
(London: Thomas Bassett, 1690), II.1.
[11]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding
(Oxford: Clarendon Press, 1748), 78.
[12]
Kant, Critique of Pure Reason, 132.
[13]
Aristotle, Metaphysics, 1011b.
[14]
Bertrand Russell, Problems of Philosophy (London:
Oxford University Press, 1912), 85.
[15]
Hegel, Phenomenology of Spirit, trans.
A.V. Miller (Oxford: Clarendon Press, 1977), 92.
[16]
Ibid., 104.
[17]
Popper, The Logic of Scientific Discovery,
298.
[18]
Kurt Gödel, On Formally Undecidable Propositions
(Princeton: Princeton University Press, 1931), 44.
[19]
W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT
Press, 1960), 221.
8.
Kritik
terhadap Metafisika
8.1.
Pendahuluan: Metafisika sebagai Objek Kritik
Metafisika, sebagai
cabang filsafat yang membahas hakikat realitas, keberadaan, dan esensi, telah
menjadi subjek kritik sejak zaman kuno hingga era kontemporer.¹ Kritik terhadap
metafisika muncul dari berbagai sudut pandang, termasuk skeptisisme terhadap
klaim-klaimnya, keterbatasan metode yang digunakan, serta relevansinya dalam
filsafat modern dan ilmu pengetahuan.²
Sejumlah filsuf
seperti David Hume, Immanuel Kant, Auguste Comte, dan filsuf analitik abad
ke-20 mempertanyakan validitas metafisika, dengan alasan bahwa banyak konsepnya
tidak dapat diuji secara empiris atau diverifikasi melalui metode rasional yang
ketat.³ Bab ini akan membahas berbagai kritik utama terhadap metafisika dan
respons yang diberikan oleh para pendukungnya.
8.2.
Kritik Empiris terhadap Metafisika: Hume dan Positivisme
Logis
Salah satu kritik
utama terhadap metafisika berasal dari kaum empiris yang menekankan pengalaman
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah.
8.2.1. Kritik David Hume: Masalah
Kausalitas dan Ide Spekulatif
David Hume adalah
salah satu filsuf yang paling berpengaruh dalam meragukan klaim-klaim
metafisika. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding,
ia berargumen bahwa prinsip kausalitas, yang sering digunakan dalam metafisika,
tidak memiliki dasar rasional yang kuat.⁴ Menurut Hume, hubungan sebab-akibat
bukanlah sesuatu yang dapat dibuktikan secara apriori, melainkan hanya
merupakan kebiasaan mental manusia berdasarkan pengalaman.⁵
Selain itu, Hume
juga mengkritik gagasan substansi dan esensi yang digunakan dalam metafisika,
dengan menyatakan bahwa semua konsep tersebut hanyalah produk imajinasi manusia
yang tidak memiliki dasar empiris.⁶ Kritik Hume ini menjadi dasar bagi filsafat
empirisme modern dan memengaruhi filsuf-filsuf setelahnya, termasuk Kant.
8.2.2. Positivisme Logis: Metafisika
sebagai Omong Kosong
Pada abad ke-20,
gerakan positivisme logis, yang
dipelopori oleh Moritz Schlick dan Rudolf Carnap, mengajukan kritik lebih
lanjut terhadap metafisika.⁷ Mereka berpendapat bahwa pernyataan metafisik
tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara empiris atau dianalisis
secara logis. Carnap dalam esainya The Elimination of Metaphysics Through Logical
Analysis of Language menyatakan bahwa metafisika adalah
"nonsensikal" karena gagal memenuhi kriteria verifikasi.⁸
Menurut kaum
positivis logis, satu-satunya pernyataan yang bermakna adalah pernyataan
empiris yang dapat diuji melalui observasi atau pernyataan analitis yang valid
secara logis. Karena metafisika tidak memenuhi kedua kategori ini, mereka
menganggapnya sebagai disiplin yang tidak sah dalam filsafat.⁹
8.3.
Kritik Immanuel Kant: Batas-batas Akal dalam
Metafisika
Immanuel Kant tidak
sepenuhnya menolak metafisika, tetapi ia mengajukan kritik fundamental terhadap
klaim-klaimnya. Dalam Critique of Pure Reason, Kant
berargumen bahwa metafisika tradisional telah keliru dalam mencoba memahami
realitas dengan cara yang melampaui batas-batas pengalaman manusia.¹⁰
Menurut Kant, ada
perbedaan antara fenomena (dunia sebagaimana
yang kita alami) dan noumena (realitas dalam dirinya
sendiri), dan manusia hanya bisa mengetahui fenomena.¹¹ Dengan kata lain, kita
tidak dapat mengetahui keberadaan Tuhan, jiwa, atau substansi murni melalui
akal semata, karena semua konsep ini berada di luar jangkauan pengalaman
manusia.¹²
Kant juga mengkritik
argumen rasional tentang keberadaan Tuhan dan keabadian jiwa yang sering
digunakan dalam metafisika skolastik. Ia menunjukkan bahwa argumen-argumen
tersebut sering kali mengandung kontradiksi dan tidak dapat dibuktikan secara
logis tanpa mengandalkan asumsi yang tidak terverifikasi.¹³
8.4.
Kritik Filsafat Analitik terhadap Metafisika
Filsafat analitik,
terutama pada abad ke-20, memberikan kritik lebih lanjut terhadap metafisika
dengan fokus pada analisis bahasa dan makna.
8.4.1. Ludwig Wittgenstein: Metafisika
sebagai Penyalahgunaan Bahasa
Dalam Tractatus
Logico-Philosophicus, Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa banyak
masalah metafisika muncul karena kesalahpahaman tentang bagaimana bahasa
bekerja.¹⁴ Ia menyatakan bahwa bahasa hanya memiliki makna sejauh ia dapat
menunjuk pada fakta-fakta dalam dunia. Oleh karena itu, banyak pernyataan
metafisika yang mencoba membahas konsep-konsep seperti "hakikat
realitas" atau "esensi keberadaan" sebenarnya tidak
bermakna karena tidak dapat dikaitkan dengan fakta konkret.¹⁵
Dalam filsafatnya
yang lebih matang, Wittgenstein juga menunjukkan bahwa banyak konsep metafisika
hanyalah permainan bahasa yang tidak memiliki dampak nyata pada pemahaman kita
tentang dunia.¹⁶
8.4.2. W.V.O. Quine: Kritik terhadap
Distingsi Analitik-Sintetik
Willard Van Orman
Quine, dalam esainya Two Dogmas of Empiricism,
mengkritik gagasan bahwa ada pernyataan yang secara eksklusif analitik atau
sintetik.¹⁷ Kritik ini meruntuhkan dasar bagi banyak asumsi epistemologis dalam
metafisika dan filsafat secara umum, karena menunjukkan bahwa tidak ada batasan
yang jelas antara pernyataan yang benar karena maknanya (analitik) dan
pernyataan yang benar karena fakta empiris (sintetik).
Dengan demikian,
Quine menyatakan bahwa metafisika tidak dapat sepenuhnya dihindari, tetapi
harus dikaitkan lebih erat dengan metodologi ilmiah agar dapat memiliki makna
yang jelas.¹⁸
8.5.
Respons dan Rehabilitasi Metafisika
Meskipun kritik
terhadap metafisika sangat kuat, banyak filsuf yang berusaha mempertahankannya
dengan merevisi atau membatasi cakupan metafisika agar lebih sesuai dengan
perkembangan filsafat modern dan ilmu pengetahuan.
·
Martin Heidegger berusaha menghidupkan kembali metafisika dengan
pendekatan fenomenologis, yang melihat metafisika sebagai cara untuk memahami
keberadaan manusia secara mendalam.¹⁹
·
Alfred
North Whitehead dan filsuf proses lainnya mengembangkan
metafisika yang lebih dinamis, yang lebih selaras dengan teori ilmiah modern.²⁰
·
Metafisika
analitik modern, seperti yang dikembangkan oleh David Lewis dan
Saul Kripke, menunjukkan bahwa metafisika tetap relevan dalam membahas
konsep-konsep modalitas, identitas, dan eksistensi.²¹
Kesimpulan
Metafisika telah
mengalami berbagai tantangan dan kritik sepanjang sejarah filsafat. Mulai dari
skeptisisme empiris Hume, kritik transendental Kant, serangan positivisme
logis, hingga pendekatan bahasa dalam filsafat analitik, semuanya berusaha
menunjukkan keterbatasan metafisika sebagai bidang kajian.
Namun, berbagai
upaya untuk merevisi dan mempertahankan metafisika menunjukkan bahwa disiplin
ini tetap relevan, terutama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental
yang tidak dapat diselesaikan hanya melalui ilmu empiris. Dengan pendekatan
yang lebih terstruktur dan berbasis analisis yang ketat, metafisika tetap
menjadi bagian penting dalam filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 650.
[2]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 17.
[3]
Ibid., 29.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding
(Oxford: Clarendon Press, 1748), 42.
[5]
Ibid., 78.
[6]
Ibid., 103.
[7]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge (New
York: Springer, 1974), 56.
[8]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World
(Berkeley: University of California Press, 1967), 17.
[9]
Ibid., 43.
[10]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
104.
[11]
Ibid., 112.
[12]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 256.
[13]
Ibid., 312.
[14]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 5.6.
[15]
Ibid., 6.53.
[16]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.
[17]
W. V. O. Quine, From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20.
[18]
Ibid., 42.
[19]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 34.
[20]
Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Free Press, 1978), 93.
[21]
David Lewis, On the Plurality of Worlds
(Oxford: Blackwell, 1986), 87.
9.
Kesimpulan
Metafisika telah
menjadi bagian integral dari filsafat sejak zaman kuno, menggali pertanyaan
mendasar tentang hakikat realitas, keberadaan, dan esensi. Perkembangannya
mencerminkan upaya manusia untuk memahami dunia di luar pengalaman indrawi,
baik melalui spekulasi filosofis maupun refleksi logis. Meskipun telah mendapat
banyak kritik dari berbagai aliran pemikiran, metafisika tetap bertahan sebagai
cabang filsafat yang relevan, baik dalam konteks epistemologi, sains, maupun
kajian teologi.
Kajian metafisika,
sebagaimana dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya, mencakup beberapa aspek
utama, seperti ontologi, yang berusaha
memahami keberadaan dan kategori eksistensi; kosmologi metafisik, yang
membahas hakikat alam semesta; teologi metafisik, yang
menyelidiki keberadaan Tuhan dan realitas ketuhanan; serta konsep esensi dan aksidensi, yang membedakan antara hakikat sesuatu dengan
sifat-sifat tambahannya.¹ Selain itu, kajian tentang ruang, waktu, dan kausalitas
menunjukkan bagaimana metafisika berupaya menjelaskan hubungan antara berbagai
entitas di alam semesta.²
Namun, sepanjang
sejarah filsafat, metafisika telah menghadapi kritik tajam, baik dari para
empiris seperti David Hume yang meragukan validitas konsep kausalitas dalam
metafisika,³ maupun dari Immanuel Kant yang menekankan keterbatasan akal manusia
dalam memahami realitas di luar pengalaman indrawi.⁴ Kritik ini berlanjut dalam
filsafat modern, terutama dalam positivisme logis yang menganggap metafisika
sebagai disiplin yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁵ Meskipun
demikian, filsuf-filsuf kontemporer seperti Martin Heidegger dan Alfred North
Whitehead berusaha merehabilitasi metafisika dengan pendekatan baru yang lebih
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat analitik.⁶
Dengan
mempertimbangkan kritik dan reformulasi yang terjadi dalam sejarah
pemikirannya, dapat disimpulkan bahwa metafisika tetap memiliki peran penting
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak dapat sepenuhnya
dijelaskan oleh sains empiris. Seperti yang dikemukakan oleh David Lewis, metafisika
modern tidak lagi sekadar spekulasi murni, tetapi semakin berkaitan dengan
logika, matematika, dan filsafat bahasa, sehingga memperkuat relevansinya dalam
wacana intelektual kontemporer.⁷
Oleh karena itu,
meskipun menghadapi tantangan dari berbagai aliran pemikiran, metafisika tetap
berperan sebagai jembatan antara filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan dalam
upaya memahami hakikat realitas secara lebih mendalam.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 670.
[2]
Richard Swinburne, The Concept of Miracle (New York:
Macmillan, 1970), 45.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding
(Oxford: Clarendon Press, 1748), 79.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
210.
[5]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World
(Berkeley: University of California Press, 1967), 34.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 57.
[7]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford:
Blackwell, 1986), 102.
Daftar Pustaka
Carnap, R. (1967). The logical structure of the
world. University of California Press.
Hume, D. (1748). An enquiry concerning human
understanding. Clarendon Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds.
Blackwell.
Russell, B. (2004). History of western
philosophy. Routledge.
Swinburne, R. (1970). The concept of miracle.
Macmillan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar