Filsafat Seni
Menelusuri Hakikat Keindahan (Estetika)
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Konsep Keindahan dalam Perspektif Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji perkembangan historis dan
konseptual filsafat seni (estetika) dari masa klasik hingga kontemporer. Dengan
pendekatan deskriptif-kritis, pembahasan dimulai dari pandangan awal Plato dan
Aristoteles yang memandang seni sebagai tiruan realitas dan sarana katarsis,
berlanjut ke estetika skolastik Abad Pertengahan, refleksi modern tentang
otonomi penilaian estetis dalam pemikiran Immanuel Kant, hingga paradigma
idealis Hegel. Selanjutnya, artikel ini mengeksplorasi pergeseran mendasar
dalam pemikiran estetika kontemporer yang dipengaruhi oleh feminisme,
postmodernisme, postkolonialisme, dan perkembangan teknologi digital. Dibahas
pula kritik-kritik tajam terhadap pendekatan tradisional yang dianggap terlalu
esensialis, euro-sentris, dan patriarkal. Di era pluralisme global, filsafat
seni dituntut untuk bersikap inklusif terhadap keberagaman bentuk, nilai, dan
pengalaman estetis lintas budaya. Oleh karena itu, artikel ini menekankan
pentingnya merefleksikan seni bukan hanya sebagai representasi keindahan,
tetapi juga sebagai medan diskursif yang melibatkan relasi etika, politik, dan
kemanusiaan.
Kata Kunci: Filsafat seni, estetika, keindahan, seni
kontemporer, kritik feminis, dekolonisasi, estetika digital, postmodernisme.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat Seni dari Klasik hingga Kontemporer
1.
Pendahuluan
Seni merupakan salah satu ekspresi paling purba dan
universal dalam kehidupan manusia. Ia hadir dalam bentuk-bentuk yang
beragam—lukisan, musik, tari, sastra, hingga arsitektur—dan selalu mencerminkan
kompleksitas pikiran, perasaan, serta nilai-nilai budaya yang melatarinya. Di
balik keragaman bentuk itu, terdapat pertanyaan filosofis yang mendalam: Apa
itu seni? Apa yang membuat sesuatu menjadi indah? Apakah keindahan bersifat
objektif atau subjektif? Inilah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang
menjadi pokok kajian filsafat seni atau yang secara lebih teknis disebut
estetika.
Dalam konteks sejarah pemikiran Barat, filsafat
seni telah menjadi bagian integral dari tradisi filsafat sejak masa Yunani
Kuno. Plato, misalnya, memandang seni sebagai tiruan dunia ide yang
lebih rendah nilainya karena hanya merefleksikan kenyataan yang semu, sementara
Aristoteles melihat seni sebagai sarana katarsis, yakni pembersihan
emosi melalui pengalaman estetis dalam tragedi atau puisi dramatis.¹ Perdebatan
antara pandangan mimesis Plato dan fungsi ekspresif Aristoteles menjadi
landasan bagi banyak diskursus estetika berikutnya.
Selama berabad-abad, filsafat seni terus berkembang
seiring dengan perubahan paradigma kebudayaan dan pemikiran. Dalam dunia
Kristen abad pertengahan, seni dipandang sebagai jalan menuju keindahan ilahi,
sebagaimana diajukan oleh Agustinus dan Thomas Aquinas, yang
menekankan pada aspek harmoni, proporsi, dan keteraturan sebagai indikator
keindahan.² Pada masa modern, tokoh seperti Immanuel Kant menempatkan
penilaian estetis sebagai bentuk penalaran yang unik—bebas dari kepentingan dan
tidak ditentukan oleh konsep—sehingga memungkinkan adanya pengalaman estetis
yang bersifat universal namun tetap subjektif.³
Memasuki zaman kontemporer, wacana filsafat seni
semakin diperluas dengan munculnya aliran-aliran seperti formalisme, ekspresivisme,
institusionalisme, hingga teori resepsi, yang masing-masing
menyoroti aspek berbeda dari seni: dari bentuk visual, ekspresi emosi, peran
lembaga seni, hingga respons audiens.⁴ Di samping itu, hadir pula kritik-kritik
dari perspektif feminis, postkolonial, dan postmodern yang mempertanyakan
batas-batas kanon estetika tradisional yang didominasi oleh nilai-nilai Barat
patriarkal.⁵
Dalam artikel ini, pembaca akan diajak untuk
menelusuri berbagai tema utama dalam filsafat seni, mulai dari definisi dan
ruang lingkupnya, perkembangan historis dari masa klasik hingga kontemporer,
pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang seni dan keindahan, hingga relevansi
estetika dalam konteks budaya digital dan global saat ini. Kajian ini bertujuan
tidak hanya untuk memberikan pemahaman konseptual terhadap hakikat seni, tetapi
juga untuk menunjukkan bagaimana filsafat seni membantu manusia memahami peran
keindahan dalam kehidupan, kebudayaan, dan eksistensi.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992); Aristotle, Poetics, trans.
Malcolm Heath (London: Penguin Classics, 1996).
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.39.8; Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 2008).
[3]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans.
Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
esp. §1–22.
[4]
George Dickie, The Art Circle: A Theory of Art
(New York: Haven Publications, 1984); Clive Bell, Art (Oxford: Clarendon
Press, 1914); Suzanne Langer, Feeling and Form (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1953).
[5]
Noël Carroll, Philosophy of Art: A Contemporary
Introduction (New York: Routledge, 1999); Peg Zeglin Brand and Carolyn
Korsmeyer, Feminism and Tradition in Aesthetics (University Park:
Pennsylvania State University Press, 1995).
2.
Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Seni
2.1.
Definisi Estetika dan Filsafat Seni
Filsafat seni atau estetika (dari bahasa Yunani aisthesis, yang berarti
“persepsi indrawi”) adalah cabang filsafat yang mempelajari seni,
keindahan, dan pengalaman estetis secara kritis dan sistematis.¹ Meskipun
istilah "estetika" baru diperkenalkan secara formal oleh Alexander
Gottlieb Baumgarten pada abad ke-18 sebagai “ilmu pengetahuan tentang
pengetahuan indrawi,” akar pemikiran estetika telah tumbuh jauh sebelumnya,
dalam refleksi-refleksi para filsuf klasik seperti Plato dan Aristoteles.²
Baumgarten menyatakan bahwa estetika adalah ilmu
yang mengkaji cognitio sensitiva atau “pengetahuan melalui indra,”
yang memiliki nilai epistemologis tersendiri yang tidak lebih rendah daripada
pengetahuan rasional.³ Dengan demikian, estetika tidak sekadar membahas
keindahan secara intuitif, melainkan menjadi wahana filsafat untuk mengkaji
struktur, makna, dan nilai dari pengalaman seni.
Namun demikian, banyak filsuf modern membedakan
antara filsafat seni dan estetika. Filsafat seni lebih spesifik
merujuk pada kajian konseptual tentang seni itu sendiri—yakni, apa itu seni,
bagaimana seni dipahami dan diciptakan, serta bagaimana karya seni dinilai.
Sebaliknya, estetika memiliki cakupan lebih luas, termasuk
pertanyaan-pertanyaan tentang keindahan dalam alam, bentuk-bentuk desain, dan
respons afektif manusia terhadap objek indrawi.⁴
2.2.
Ruang Lingkup Filsafat Seni
Ruang lingkup filsafat seni mencakup beberapa
domain utama yang saling berkelindan:
1)
Metafisika Seni
Mengkaji
ontologi seni: Apa itu seni? Apakah seni memiliki esensi universal,
ataukah ia merupakan konstruksi sosial dan historis? Pertanyaan ini melahirkan
berbagai teori seperti formalisme, ekspresivisme, dan institusionalisme
seni.⁵
2)
Epistemologi Seni
Menyoroti
peran seni sebagai bentuk pengetahuan: Apakah seni dapat memberi pengetahuan
seperti halnya sains atau filsafat? John Dewey, misalnya, menekankan bahwa
pengalaman estetis mengandung pemahaman mendalam atas realitas dan relasi
manusia.⁶
3)
Aksilogi dan Etika dalam Seni
Menimbang
nilai estetika dan nilai moral dalam seni: Apakah seni harus tunduk pada nilai
moral? Apakah ada seni yang buruk secara etis tetapi baik secara estetis?
Perdebatan ini menjadi semakin intens dalam seni kontemporer yang memuat unsur
kekerasan, pornografi, atau kritik sosial tajam.⁷
4)
Kritik dan Evaluasi Seni
Menelaah
kriteria penilaian terhadap seni: Bagaimana kita menilai kualitas atau
keagungan sebuah karya seni? Apakah penilaian seni bersifat subjektif
(berdasarkan selera) atau ada tolok ukur objektif?⁸
5)
Relasi Seni dengan Masyarakat dan Budaya
Memahami
seni sebagai produk dan penggerak kebudayaan. Di sini filsafat seni
bersinggungan dengan kajian sosiologi seni, antropologi, dan teori budaya.
Dengan demikian, filsafat seni tidak hanya membahas
keindahan secara abstrak, tetapi juga mendekati seni sebagai fenomena
multidimensi yang berkaitan erat dengan ontologi, epistemologi, etika, budaya,
dan bahkan politik. Estetika tidak berdiri sendiri sebagai wilayah
kontemplatif, melainkan memainkan peran aktif dalam membentuk cara manusia
memandang, mencipta, dan merespons dunia di sekitarnya.
Footnotes
[1]
Władysław Tatarkiewicz, History of Aesthetics,
vol. 1 (London: Continuum, 2005), 5.
[2]
Alexander G. Baumgarten, Reflections on Poetry,
trans. Karl Aschenbrenner and William B. Holther (Berkeley: University of
California Press, 1954), xxi.
[3]
Ibid., xxiii–xxv.
[4]
Noël Carroll, Philosophy of Art: A Contemporary
Introduction (New York: Routledge, 1999), 14–16.
[5]
George Dickie, The Art Circle: A Theory of Art
(New York: Haven Publications, 1984); Clive Bell, Art (Oxford: Clarendon
Press, 1914); Leo Tolstoy, What Is Art?, trans. Aylmer Maude (London:
Oxford University Press, 1930).
[6]
John Dewey, Art as Experience (New York:
Minton, Balch & Company, 1934), 27–34.
[7]
Berys Gaut and Dominic McIver Lopes, eds., The
Routledge Companion to Aesthetics, 3rd ed. (New York: Routledge, 2013),
377–390.
[8]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the
Philosophy of Criticism (Indianapolis: Hackett Publishing, 1981), 502–510.
3.
Sejarah dan Perkembangan Filsafat Seni
Sejarah filsafat seni merefleksikan perubahan cara
manusia memaknai keindahan, ekspresi, dan pengalaman estetis dari zaman ke
zaman. Setiap periode dalam sejarah pemikiran memberikan kerangka konseptual
yang khas terhadap seni, sering kali terkait erat dengan pandangan metafisika,
epistemologi, dan teologi yang dominan pada zamannya. Secara garis besar,
perkembangan filsafat seni dapat dibagi ke dalam beberapa fase historis utama:
klasik, abad pertengahan, modern, dan kontemporer.
3.1.
Zaman Klasik: Seni sebagai Tiruan
dan Katarsis
Pemikiran estetika dalam dunia Barat bermula dari
Yunani Kuno, terutama melalui sumbangan Plato dan Aristoteles.
Bagi Plato, seni adalah bentuk mimesis atau tiruan terhadap realitas
yang lebih rendah nilainya. Dalam Republic, ia menempatkan seni sebagai
representasi dunia fenomenal yang sudah merupakan tiruan dari dunia ide
(realitas sejati), sehingga seni dianggap sebagai tiruan dari tiruan (mimesis
mimēseōs) dan dapat menyesatkan jiwa.¹
Sebaliknya, Aristoteles memberikan legitimasi lebih
positif terhadap seni, terutama dalam Poetics, ketika ia menjelaskan
fungsi seni (terutama tragedi) sebagai sarana katarsis—yakni pembersihan
emosional seperti rasa takut dan belas kasihan.² Seni, menurutnya, tidak hanya
meniru realitas, tetapi juga mengungkapkan kebenaran universal melalui bentuk
representasi yang terstruktur.
3.2.
Abad Pertengahan: Keindahan Ilahi
dan Proporsionalitas
Dalam tradisi Kristen abad pertengahan, seni
dipandang sebagai jalan menuju kebenaran spiritual. Agustinus mengaitkan
keindahan dengan iluminasi ilahi dan menganggap bahwa keindahan sejati
bersumber dari keteraturan dan kesatuan yang berasal dari Tuhan.³
Pemikiran ini diperkaya oleh Thomas Aquinas,
yang merumuskan tiga syarat keindahan: integritas (kesempurnaan bentuk),
proporsi (harmoni), dan claritas (kecerahan atau keterlihatan
bentuk).⁴ Ia melihat seni sebagai hasil kerja akal praktis (ars est recta
ratio factibilium)—yakni penggunaan rasio dalam menciptakan sesuatu yang
sesuai dengan tujuan dan nilai kebenaran.⁵
3.3.
Zaman Modern dan Pencerahan: Otonomi
Estetika dan Penilaian Bebas
Masa modern ditandai oleh lahirnya gagasan tentang
otonomi estetika dan pengalaman keindahan sebagai bentuk penilaian khusus yang
tidak tergantung pada fungsi moral atau religius. Immanuel Kant, dalam Critique
of Judgment, menegaskan bahwa penilaian estetika bersifat bebas dari
kepentingan (disinterested) dan bahwa keindahan dirasakan sebagai
sesuatu yang universal namun subjektif.⁶ Penilaian estetis menurut Kant
bukanlah pengetahuan atau kehendak, melainkan refleksi dari keharmonisan antara
daya khayal dan daya pengertian.
Sementara itu, Georg Wilhelm Friedrich Hegel
menganggap seni sebagai manifestasi dari Roh Absolut. Dalam Lectures on
Aesthetics, ia mengemukakan bahwa seni adalah salah satu bentuk utama dalam
realisasi diri Roh, sejajar dengan agama dan filsafat.⁷ Ia membagi perkembangan
seni menjadi tiga tahap: simbolik (seperti seni Mesir dan Timur), klasik (seni
Yunani), dan romantik (seni Kristen), yang mencerminkan perkembangan kesadaran
manusia.
3.4.
Zaman Kontemporer: Fragmentasi dan
Pluralisme Estetika
Abad ke-20 menyaksikan fragmentasi besar dalam
teori estetika. Munculnya berbagai aliran seni modern seperti dadaisme, surrealisme,
ekspresionisme abstrak, dan seni konseptual telah memunculkan pertanyaan
baru tentang batas-batas definisi seni. Arthur Danto, dalam The
Transfiguration of the Commonplace, mengajukan bahwa suatu objek menjadi
seni bukan karena karakteristik fisiknya, tetapi karena konteks historis dan
interpretasi institusional yang melekat padanya.⁸
George Dickie kemudian memperkenalkan teori institusional seni, yang
menyatakan bahwa suatu objek menjadi seni karena telah diangkat ke dalam "dunia
seni" oleh figur-figur yang memiliki otoritas dalam institusi
tersebut.⁹
Selain itu, pemikiran postmodernisme turut
mengguncang paradigma estetika klasik. Postmodernisme menolak adanya "kriteria
objektif" terhadap keindahan dan menekankan pluralitas makna,
relativisme budaya, serta pentingnya pembacaan kritis terhadap konstruksi
sosial dalam seni.¹⁰
3.5.
Integrasi Perspektif Interdisipliner
Perkembangan mutakhir filsafat seni semakin
menunjukkan keterbukaan terhadap pendekatan lintas-disiplin. Estetika kini
bersinggungan dengan sosiologi seni, feminisme, psikoanalisis,
hingga filsafat lingkungan. Di samping itu, muncul pula perhatian
terhadap estetika non-Barat, seperti dalam pemikiran seni Timur, estetika
Islam, atau seni tradisional Afrika dan pribumi, yang membuka cakrawala baru
dalam diskursus keindahan global.¹¹
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 595a–598c.
[2]
Aristotle, Poetics, trans. Malcolm Heath (London:
Penguin Classics, 1996), 1449b24–1456b20.
[3]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 2008), Book X.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.39.8,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[5]
Ibid., I-II, Q.57, A.3.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans.
Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
§§1–22.
[7]
G.W.F. Hegel, Lectures on Aesthetics, trans.
T.M. Knox (Oxford: Clarendon Press, 1975), vol. 1, 103–126.
[8]
Arthur C. Danto, The Transfiguration of the
Commonplace: A Philosophy of Art (Cambridge: Harvard University Press,
1981), 1–10.
[9]
George Dickie, The Art Circle: A Theory of Art
(New York: Haven Publications, 1984), 20–25.
[10]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 76–83.
[11]
Carolyn Korsmeyer, ed., Aesthetics: The Big
Questions (Malden: Blackwell Publishers, 1998), 321–336.
4.
Pertanyaan-Pertanyaan Utama dalam Filsafat Seni
Filsafat seni berkembang dari upaya reflektif untuk
memahami apa itu seni, bagaimana seni hadir dalam pengalaman manusia, serta apa
makna dan nilai yang dikandungnya. Seiring waktu, para filsuf estetika telah
mengembangkan dan mempertajam beberapa pertanyaan fundamental yang
menjadi pusat kajian dalam filsafat seni. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya
menyoroti aspek konseptual dari seni, tetapi juga membuka ruang diskusi lintas
bidang seperti etika, ontologi, dan epistemologi.
4.1.
Apa Itu Seni?
Pertanyaan ini menjadi inti dari perdebatan dalam
filsafat seni: Apa yang membuat sesuatu dapat disebut sebagai seni?
Berbagai teori telah diajukan untuk menjawabnya, antara lain:
·
Teori Representasional (Plato, Aristoteles): Seni adalah tiruan (mimesis) dari kenyataan.
Plato mengkritik seni sebagai tiruan dari tiruan, sementara Aristoteles memuji
seni karena kemampuannya meniru bentuk universal dan membangkitkan emosi.¹
·
Teori Ekspresivisme (Tolstoy,
Croce): Seni dipahami sebagai ungkapan perasaan subyektif dari seniman kepada
penikmat. Leo Tolstoy menyatakan bahwa seni adalah “aktivitas manusia yang
bertujuan menyampaikan perasaan dari satu individu ke individu lain.”²
·
Formalisme (Clive
Bell, Roger Fry): Menekankan bahwa nilai seni terletak dalam “bentuk
signifikan” (significant form), yaitu hubungan antara garis, warna, dan
komposisi yang membangkitkan respons estetis.³
·
Teori Institusional (George
Dickie): Sebuah objek disebut seni karena telah diterima dan diberi status oleh
institusi seni (museum, kurator, seniman, dan kritikus).⁴
·
Teori Historis-Intensionalis (Jerrold Levinson): Suatu karya menjadi seni jika penciptaannya
dimaksudkan sebagai bagian dari tradisi seni yang sudah ada.⁵
Beragamnya teori ini menunjukkan bahwa definisi
seni bersifat kompleks, kontekstual, dan terus berkembang.
4.2.
Apa yang Membuat Sesuatu Menjadi
Indah?
Keindahan adalah tema utama dalam estetika, tetapi juga yang paling sulit
ditentukan. Apakah keindahan bersifat objektif (melekat pada objek) atau
subjektif (berasal dari persepsi penikmat)?
·
Objektivisme estetika (Plato,
Aquinas): Menyatakan bahwa keindahan berasal dari sifat-sifat tertentu seperti
harmoni, simetri, dan keteraturan.⁶
·
Subjektivisme estetika (David Hume, Kant): Menganggap bahwa keindahan bukan kualitas pada
benda itu sendiri, tetapi terletak pada pengalaman subjek yang merasakannya.
Kant menyebut penilaian estetis sebagai “universalitas subjektif”—penilaian
yang tidak bersandar pada konsep, tetapi diharapkan disepakati oleh semua
orang.⁷
Selain itu, filsuf seperti Nietzsche dan
pemikir postmodern mengkritik gagasan keindahan universal dan menekankan
pentingnya konteks budaya, politik, dan ideologis dalam konstruksi estetika.⁸
4.3.
Apakah Seni Mengandung Nilai Pengetahuan?
Pertanyaan ini menyangkut dimensi epistemologis
dari seni: Apakah seni dapat memberikan pengetahuan sebagaimana sains atau
filsafat?
John Dewey dalam Art as Experience mengemukakan bahwa seni adalah bentuk
pengalaman yang mengandung pemahaman mendalam terhadap kehidupan, bukan sekadar
representasi atau dekorasi.⁹ Demikian pula, filsuf kontemporer seperti Nelson
Goodman menyatakan bahwa karya seni dapat menjadi cara dunia (ways
of worldmaking)—seni bukan hanya mencerminkan dunia, tetapi juga menciptakan
cara baru dalam memahaminya.¹⁰
Dengan demikian, seni tidak hanya menyampaikan
informasi, tetapi juga membentuk struktur makna, persepsi, dan pemahaman yang
unik.
4.4.
Apakah Seni Harus Bernilai Moral?
Hubungan antara seni dan etika adalah wilayah
perdebatan yang panjang. Di satu sisi, ada pandangan bahwa seni harus
mengandung nilai-nilai moral dan bertanggung jawab terhadap dampak sosialnya.
Di sisi lain, terdapat pandangan "seni untuk seni" (l'art pour
l'art) yang menolak subordinasi seni kepada etika.
Plato menolak seni yang bersifat emosional karena berpotensi merusak moral,
sedangkan Aristoteles justru melihat seni sebagai medium untuk
menyucikan emosi (katarsis). Dalam wacana modern, diskusi ini semakin kompleks
dengan munculnya karya-karya yang kontroversial secara moral, tetapi tetap
dianggap penting secara estetika.¹¹
Berys Gaut, dalam Art, Emotion and Ethics, berargumen bahwa aspek moral dan
estetika tidak dapat sepenuhnya dipisahkan karena keduanya sering kali saling
memengaruhi dalam persepsi terhadap suatu karya.¹²
4.5.
Bagaimana Kita Menilai Karya Seni?
Pertanyaan ini menyentuh ranah evaluasi estetis:
Apakah ada standar objektif untuk menilai seni, ataukah semua penilaian
hanyalah persoalan selera?
Monroe C. Beardsley mengusulkan bahwa penilaian seni dapat didasarkan
pada tiga kriteria: kesatuan (unity), kompleksitas (complexity),
dan intensitas (intensity) dari pengalaman estetis yang
ditimbulkannya.¹³ Namun, pendekatan ini tetap mendapat tantangan dari kaum
relativis yang menekankan bahwa penilaian seni sangat bergantung pada latar
budaya, konteks sosial, dan preferensi pribadi.
Di era digital dan global, pertanyaan ini semakin
relevan ketika karya seni tidak lagi terbatas pada galeri atau institusi,
melainkan hadir di media sosial, NFT, dan ruang publik.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 598b–603a; Aristotle, Poetics,
trans. Malcolm Heath (London: Penguin Classics, 1996), 1449b24.
[2]
Leo Tolstoy, What Is Art?, trans. Aylmer
Maude (London: Oxford University Press, 1930), 51–60.
[3]
Clive Bell, Art (Oxford: Clarendon Press,
1914), 7–27.
[4]
George Dickie, The Art Circle: A Theory of Art
(New York: Haven Publications, 1984), 20–25.
[5]
Jerrold Levinson, “Defining Art Historically,” British
Journal of Aesthetics 19, no. 3 (1979): 232–250.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.39.8,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[7]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans.
Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
§§1–22.
[8]
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy,
trans. Shaun Whiteside (London: Penguin Books, 1993), 1–20.
[9]
John Dewey, Art as Experience (New York:
Minton, Balch & Company, 1934), 25–30.
[10]
Nelson Goodman, Ways of Worldmaking
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 1–14.
[11]
Plato, Republic, Book X; Aristotle, Poetics,
1449b24; Oscar Wilde, The Picture of Dorian Gray (London: Penguin
Classics, 2003).
[12]
Berys Gaut, Art, Emotion and Ethics (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 23–35.
[13]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the
Philosophy of Criticism (Indianapolis: Hackett Publishing, 1981), 502–510.
5.
Tokoh-Tokoh Kunci dalam Filsafat Seni
Filsafat seni sebagai cabang reflektif dari
filsafat umum tidak dapat dilepaskan dari kontribusi para pemikir besar yang
meletakkan dasar-dasar konseptual mengenai seni, keindahan, dan pengalaman
estetis. Setiap tokoh memberikan perspektif yang berbeda, sesuai dengan konteks
filosofis dan kultural zaman mereka. Berikut adalah uraian ringkas mengenai tokoh-tokoh
kunci yang berpengaruh dalam sejarah pemikiran estetika, dari masa klasik
hingga kontemporer.
5.1.
Plato (427–347 SM)
Plato merupakan salah satu filsuf pertama yang
secara sistematis mengkritisi seni dalam kerangka ontologis dan epistemologis.
Dalam Republic, ia menyatakan bahwa seni adalah tiruan (mimesis)
dari dunia inderawi, yang sendiri hanyalah bayangan dari dunia ide yang
sempurna.¹ Oleh karena itu, seni dinilai menipu dan menjauhkan jiwa dari
kebenaran. Namun, dalam dialog Ion dan Phaedrus, Plato juga
mengakui dimensi ilham dan ekstase dalam penciptaan seni, yang datang dari
dunia ilahi.²
5.2.
Aristoteles (384–322 SM)
Sebagai murid Plato, Aristoteles memberikan
landasan berbeda terhadap seni. Dalam Poetics, ia menempatkan seni
sebagai medium representasi yang memiliki fungsi kognitif dan emosional.
Tragedi, menurutnya, memungkinkan penonton mengalami katarsis—pembersihan
emosional melalui rasa takut dan belas kasihan.³ Ia juga menyatakan bahwa seni
mengungkapkan kebenaran universal melalui bentuk-bentuk partikular, sehingga
memiliki nilai pedagogis dan filosofis.
5.3.
Augustinus (354–430 M)
Dalam pemikiran Kristen awal, Agustinus memandang
keindahan sebagai refleksi dari tatanan ilahi. Dalam Confessions dan De
Musica, ia menekankan bahwa keindahan sejati bersumber dari Tuhan dan
tercermin melalui harmoni, kesatuan, dan keteraturan dalam ciptaan.⁴ Estetika
baginya bukan sekadar masalah indrawi, tetapi berkaitan erat dengan pencarian
kebenaran spiritual.
5.4.
Thomas Aquinas (1225–1274)
Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan
teologi Kristen dalam teori estetika yang sistematis. Ia menyatakan bahwa
keindahan terdiri dari tiga unsur: integritas (keseluruhan), proporsionalitas
(harmoni), dan claritas (kecemerlangan atau keterlihatan bentuk).⁵ Seni,
dalam pandangannya, adalah aplikasi dari akal praktis yang terarah pada tujuan
dan keteraturan ciptaan.
5.5.
Immanuel Kant (1724–1804)
Kant menandai pergeseran penting dalam teori
estetika modern. Dalam Critique of Judgment, ia menegaskan bahwa
penilaian estetika bersifat disinterested—bebas dari kepentingan
pribadi—namun memiliki klaim terhadap universalitas subjektif.⁶
Keindahan tidak ditentukan oleh konsep atau fungsi, tetapi dirasakan sebagai
harmoni antara imajinasi dan intelek. Ia juga membedakan antara “keindahan
bebas” dan “keindahan terikat,” yang memiliki peran penting dalam
penilaian seni dan alam.
5.6.
G.W.F. Hegel (1770–1831)
Hegel melihat seni sebagai salah satu bentuk
ekspresi Roh Absolut, sejajar dengan agama dan filsafat. Dalam Lectures on
Aesthetics, ia menyatakan bahwa seni bergerak dari bentuk simbolik (penuh
makna tetapi tidak proporsional), ke bentuk klasik (ideal keseimbangan antara
bentuk dan makna), dan akhirnya ke bentuk romantik (dominasi makna spiritual
atas bentuk fisik).⁷ Ia percaya bahwa sejarah seni mengikuti perkembangan
kesadaran manusia.
5.7.
Arthur Schopenhauer (1788–1860)
Schopenhauer menekankan peran seni sebagai pembebas
manusia dari penderitaan hidup yang didominasi oleh “kehendak buta”
(will). Melalui seni, khususnya musik, manusia dapat mengalami kontemplasi
murni dan terlepas dari dorongan hasrat.⁸ Musik, menurutnya, adalah seni
tertinggi karena merupakan ekspresi langsung dari kehendak metafisis.
5.8.
Friedrich Nietzsche (1844–1900)
Nietzsche mengembangkan estetika tragis dalam The
Birth of Tragedy, yang menggambarkan seni sebagai hasil tegangan antara dua
prinsip: Apollonian (keteraturan, bentuk) dan Dionysian
(kekacauan, ekstasi).⁹ Ia melihat seni sebagai ekspresi kekuatan hidup, bukan sekadar
pencarian keindahan. Bagi Nietzsche, seni adalah cara manusia mengafirmasi
eksistensinya yang tragis.
5.9.
Clive Bell (1881–1964) dan Roger Fry
(1866–1934)
Keduanya merupakan pelopor formalisme Inggris,
yang menyatakan bahwa nilai seni terletak pada bentuk signifikan (significant
form)—yakni susunan garis, warna, dan bentuk yang membangkitkan respons
estetis.¹⁰ Mereka menekankan bahwa isi atau narasi tidak penting dalam seni
visual; yang utama adalah struktur formal karya.
5.10.
Arthur C. Danto (1924–2013)
Danto memberikan kontribusi besar pada teori seni
kontemporer melalui The Transfiguration of the Commonplace. Ia
menyatakan bahwa suatu objek menjadi seni bukan karena sifat fisiknya,
melainkan karena ditafsirkan dalam kerangka dunia seni.¹¹ Baginya, seni adalah
konsep yang memerlukan pemahaman historis dan filsafat—misalnya, mengapa urinoir
karya Duchamp bisa dianggap seni.
5.11.
George Dickie (1926–2020)
Sebagai pelopor teori institusional seni,
Dickie berargumen bahwa status seni diperoleh melalui pengakuan dalam dunia
institusional seni.¹² Sebuah karya menjadi seni karena telah diberi tempat dan
fungsi dalam jaringan praktik sosial tertentu, seperti galeri, kurator, atau
kritikus seni.
5.12.
Susanne Langer (1895–1985)
Dalam Feeling and Form, Langer memandang seni
sebagai bentuk simbolis yang menyampaikan makna emosional. Ia menekankan bahwa
seni bukan sekadar ekspresi, tetapi struktur simbolik yang membentuk pengalaman
dan pemahaman manusia atas perasaan.¹³
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 595a–598c.
[2]
Plato, Ion, trans. Paul Woodruff
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 533d–536d.
[3]
Aristotle, Poetics, trans. Malcolm Heath
(London: Penguin Classics, 1996), 1449b24–1456b20.
[4]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 2008), Book X; De Musica, VI.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.39.8,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[6]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans.
Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
§§1–22.
[7]
G.W.F. Hegel, Lectures on Aesthetics, trans.
T.M. Knox (Oxford: Clarendon Press, 1975), vol. 1, 103–126.
[8]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation,
vol. 1, trans. E.F.J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), 196–212.
[9]
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy,
trans. Shaun Whiteside (London: Penguin Books, 1993), 1–45.
[10]
Clive Bell, Art (Oxford: Clarendon Press,
1914), 5–14.
[11]
Arthur C. Danto, The Transfiguration of the
Commonplace: A Philosophy of Art (Cambridge: Harvard University Press,
1981), 1–12.
[12]
George Dickie, The Art Circle: A Theory of Art
(New York: Haven Publications, 1984), 21–29.
[13]
Susanne K. Langer, Feeling and Form: A Theory of
Art (New York: Charles Scribner’s Sons, 1953), 27–39.
6.
Isu-Isu Kontemporer dalam Filsafat Seni
Memasuki abad ke-20 dan ke-21, filsafat seni
mengalami perluasan wacana yang signifikan. Perkembangan ini ditandai oleh
munculnya media baru, pluralisme estetika, serta kritik
terhadap kanon seni Barat yang telah dominan selama berabad-abad. Para
pemikir kontemporer mulai mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dalam estetika
klasik, mengeksplorasi berbagai dimensi seni dalam kaitannya dengan konteks
sosial, politik, teknologi, dan budaya. Bagian ini akan menyoroti isu-isu
kontemporer yang menandai transformasi arah diskursus estetika mutakhir.
6.1.
Seni Digital dan Estetika Media Baru
Kemunculan teknologi digital mengubah secara
radikal cara seni diciptakan, didistribusikan, dan dinikmati. Konsep seni tak
lagi terbatas pada kanvas atau panggung, melainkan merambah ruang virtual: seni
generatif, seni interaktif, augmented reality, hingga NFT (non-fungible tokens).
Estetika digital menantang pengertian klasik tentang kehadiran fisik karya,
otentisitas, dan orisinalitas.¹
Lev Manovich dalam The Language of New Media menekankan bahwa media baru
memiliki logika berbeda dari seni tradisional: modularitas, otomatisasi, dan
variabilitas menjadi karakteristik utamanya.² Hal ini menimbulkan pertanyaan
filosofis baru: Apakah seni digital masih memiliki nilai estetika tradisional,
ataukah kita memerlukan paradigma baru untuk memahaminya?
6.2.
Dekonstruksi dan Postmodernisme
Gerakan postmodernisme dalam seni dan teori
estetika membawa semangat dekonstruktif terhadap narasi besar (grand
narratives) dalam filsafat seni klasik. Tokoh seperti Jean-François Lyotard
mengkritik klaim-klaim universal dalam teori keindahan, dan menggantinya dengan
pluralisme, ironi, serta pengakuan terhadap perbedaan.³
Estetika postmodern menolak batas-batas tegas
antara “seni tinggi” dan “seni populer,” serta menantang otoritas
institusi seni. Seni postmodern sering bersifat ironis, mengutip karya terdahulu
(pastiche), dan mengaburkan batas antara seniman dan penonton.⁴ Dalam
konteks ini, filsafat seni dituntut untuk lebih terbuka terhadap bentuk-bentuk
ekspresi artistik yang hybrid dan lintas disiplin.
6.3.
Estetika Politik: Seni sebagai
Wacana Sosial
Dalam dekade terakhir, semakin banyak seniman dan
filsuf yang melihat seni sebagai medium untuk perjuangan sosial dan politik.
Estetika tidak lagi dipisahkan dari etika dan aktivisme. Seni kontemporer kerap
menyinggung isu-isu seperti kolonialisme, rasisme, ketimpangan gender, ekologi,
dan hak asasi manusia.
Jacques Rancière dalam The Politics of Aesthetics menyatakan bahwa estetika tidak
hanya menyangkut keindahan, tetapi menyangkut pembagian ruang sensorik—siapa
yang bisa melihat, mendengar, dan berbicara.⁵ Dengan kata lain, seni memiliki
kekuatan untuk mengganggu struktur sosial yang mapan dan membuka kemungkinan
baru dalam representasi dan pengalaman.
6.4.
Estetika Feminis dan Kritik Gender
Estetika feminis muncul sebagai respons terhadap
dominasi maskulin dan eurocentrik dalam sejarah seni. Para pemikir seperti Peg
Zeglin Brand, Carolyn Korsmeyer, dan Griselda Pollock
menyoroti bagaimana nilai-nilai estetis dikonstruksi secara patriarkal, serta
bagaimana pengalaman estetis perempuan selama ini terpinggirkan atau
diabaikan.⁶
Isu-isu seperti tubuh perempuan, seksualitas,
pengalaman domestik, dan ekspresi emosional ditinjau ulang dalam bingkai
estetika yang inklusif dan intersubjektif. Kritik feminis juga membuka
perdebatan tentang siapa yang berhak menjadi subjek penciptaan, siapa yang
menjadi objek representasi, dan bagaimana kekuasaan bekerja dalam dunia seni.
6.5.
Estetika Global dan Dekolonisasi
Seni
Tantangan penting bagi filsafat seni kontemporer
adalah mengakui keberagaman tradisi estetika non-Barat, serta membongkar
hierarki nilai yang menempatkan seni Eropa sebagai standar universal. Dalam
konteks ini, muncul wacana dekolonisasi estetika yang bertujuan
merehabilitasi tradisi seni pribumi, Islam, Afrika, Asia, dan Amerika Latin
sebagai sistem simbolik yang sah dan bernilai filosofis.⁷
Pendekatan ini tidak hanya memperluas kanon seni,
tetapi juga mengajak kita merefleksikan ulang konsep-konsep dasar estetika
seperti keindahan, harmoni, dan makna dalam kerangka budaya lokal.
6.6.
Estetika Ekologis dan Lingkungan
Isu lingkungan dan krisis iklim turut melahirkan estetika
ekologis, yaitu pendekatan yang mengaitkan keindahan dengan kelestarian,
keberlanjutan, dan kesadaran ekologis. Tokoh seperti Arnold Berleant
menekankan pentingnya pengalaman langsung dalam lanskap alam sebagai pengalaman
estetis yang mendalam.⁸ Estetika semacam ini menolak objektifikasi alam sebagai
objek pasif, dan sebaliknya menekankan keterlibatan etis dan afektif terhadap
dunia alam.
Seni lingkungan (environmental art) dan seni
berbasis komunitas menjadi bagian dari transformasi ini, menggabungkan elemen
estetis, ekologis, dan sosial dalam satu bentuk praksis.
Footnotes
[1]
Christiane Paul, Digital Art (London: Thames
& Hudson, 2015), 10–14.
[2]
Lev Manovich, The Language of New Media
(Cambridge: MIT Press, 2001), 27–48.
[3]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[4]
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural
Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 1–54.
[5]
Jacques Rancière, The Politics of Aesthetics:
The Distribution of the Sensible, trans. Gabriel Rockhill (London:
Continuum, 2004), 12–18.
[6]
Carolyn Korsmeyer, ed., Aesthetics: The Big
Questions (Malden: Blackwell Publishers, 1998), 321–336; Peg Zeglin Brand
and Carolyn Korsmeyer, Feminism and Tradition in Aesthetics (University
Park: Pennsylvania State University Press, 1995).
[7]
Walter Mignolo and Rolando Vázquez, Decolonial
AestheSis: Colonial Wounds/Decolonial Healings (Durham: Duke University
Press, 2013).
[8]
Arnold Berleant, Aesthetics and Environment:
Variations on a Theme (Aldershot: Ashgate, 2005), 1–22.
7.
Kritik dan Tantangan terhadap Filsafat Seni
Tradisional
Filsafat seni tradisional yang berkembang sejak
masa klasik hingga modern banyak dibentuk oleh kerangka metafisika Barat yang
cenderung esensialis, universalistik, dan euro-sentris. Pendekatan ini
memunculkan sejumlah gagasan utama seperti keindahan sebagai harmoni yang
objektif, seni sebagai tiruan realitas, serta penilaian estetis yang diklaim
dapat bersifat universal. Namun, mulai abad ke-20 hingga kontemporer, sejumlah
arus pemikiran kritis menantang landasan-landasan ini dan menawarkan pembacaan
alternatif terhadap seni dan estetika. Kritik-kritik ini memperkaya diskursus
filsafat seni dengan pendekatan interdisipliner, historis, dan kontekstual.
7.1.
Kritik Feminis: Membongkar Dominasi
Patriarki dalam Estetika
Filsafat seni tradisional umumnya dibangun oleh dan
untuk subjek laki-laki dalam masyarakat patriarkal. Para pemikir feminis
menyoroti bagaimana karya seni dan teori estetika telah lama mengecualikan atau
menstereotipkan pengalaman perempuan, baik sebagai seniman maupun sebagai objek
representasi.¹
Griselda Pollock dan Rosalind Krauss menunjukkan bahwa narasi sejarah seni
cenderung mengabaikan kontribusi perempuan dan mengangkat maskulinitas sebagai
norma universal seni.² Estetika feminis tidak hanya mengajukan representasi
perempuan yang lebih adil, tetapi juga menantang struktur epistemologis yang
membatasi makna seni pada ekspresi individual maskulin.³
7.2.
Kritik Postkolonial: Melampaui
Eurocentrisme Estetika
Filsafat seni Barat tradisional sering kali
menempatkan nilai-nilai estetika Eropa sebagai standar universal. Akibatnya,
bentuk-bentuk seni dari budaya non-Barat dianggap “primitif” atau “kerajinan”
(craft), bukan seni sejati.⁴ Kritik postkolonial mengangkat pentingnya dekolonisasi
estetika untuk mengakui dan menghargai sistem makna estetis dari Afrika, Asia,
Amerika Latin, dan dunia Islam.
Homi K. Bhabha dan Walter Mignolo menyerukan perlunya “pluriversalitas”
dalam memahami seni, yaitu pengakuan atas banyak cara memahami dan menciptakan
keindahan yang sah di berbagai kebudayaan.⁵ Kritik ini menuntut filsafat seni
untuk merevisi narasi historis dan membuka diri terhadap pemikiran estetika
non-kolonial.
7.3.
Kritik Poststrukturalis dan
Dekonstruksi Makna Seni
Filsafat seni tradisional sering mengandaikan
adanya makna yang stabil, seniman sebagai subjek tunggal pencipta, serta karya
seni sebagai entitas otonom. Pendekatan ini mendapat tantangan besar dari arus poststrukturalisme,
terutama dari Jacques Derrida dan Michel Foucault, yang menolak
keutuhan makna dan mengungkap bagaimana makna dalam seni selalu dikonstruksi
melalui bahasa, kekuasaan, dan konteks sosial.⁶
Derrida, melalui konsep différance,
menunjukkan bahwa makna dalam seni selalu ditunda dan bergeser, sehingga tidak
pernah benar-benar tetap.⁷ Dalam konteks ini, seni tidak lagi dianggap sebagai
ekspresi langsung dari kebenaran atau keindahan, melainkan sebagai praktik
semiotik yang terus bergulir.
7.4.
Kritik Terhadap Otonomi Estetika dan
"Seni untuk Seni"
Prinsip otonomi seni yang banyak dianut
dalam estetika modern—terutama dalam aliran formalisme—menyatakan bahwa seni
harus dinilai secara murni berdasarkan nilai-nilai estetisnya, terlepas dari
konteks sosial atau moral. Pandangan ini ditentang oleh filsuf seperti Theodor
W. Adorno, yang mengingatkan bahwa seni tidak pernah benar-benar netral
secara sosial.
Dalam Aesthetic Theory, Adorno menyatakan
bahwa bentuk artistik senantiasa menyimpan “jejak sejarah sosial” dan
bahwa otonomi seni itu sendiri adalah bentuk protes terhadap dominasi
ideologis.⁸ Oleh karena itu, memahami seni menuntut pembacaan dialektis antara
bentuk dan isi, estetika dan ideologi.
7.5.
Kritik dari Estetika Relasional dan
Partisipatoris
Filsafat seni tradisional cenderung berpusat pada
objek seni dan penciptanya, dengan penikmat seni sebagai pihak pasif. Namun,
aliran estetika relasional yang diperkenalkan oleh Nicolas Bourriaud
memfokuskan perhatian pada hubungan sosial yang dibentuk oleh praktik
artistik.⁹
Dalam paradigma ini, karya seni bukan sekadar objek
visual, tetapi situasi yang membuka kemungkinan partisipasi, interaksi, dan
koeksistensi sosial. Pendekatan ini mengaburkan batas antara seniman dan
audiens, serta menantang struktur eksklusif dalam dunia seni modern.
7.6.
Tantangan Pluralisme dan Krisis
Definisi Seni
Salah satu tantangan kontemporer terbesar adalah krisis
definisi seni itu sendiri. Setelah masuknya objek-objek sehari-hari ke
dalam galeri (seperti urinoir Duchamp) dan munculnya seni digital yang
tidak memiliki bentuk tetap, filsuf seperti Arthur Danto dan George
Dickie memperdebatkan apakah mungkin masih ada kriteria universal untuk
mendefinisikan seni.¹⁰
Danto bahkan menyatakan bahwa sejarah seni telah
"berakhir" (the end of art) karena seni tidak lagi dapat
ditentukan berdasarkan gaya atau medium, melainkan oleh wacana filosofis yang
melingkupinya.¹¹
Footnotes
[1]
Peg Zeglin Brand, Beauty Matters
(Bloomington: Indiana University Press, 2000), 3–20.
[2]
Griselda Pollock, Vision and Difference:
Feminism, Femininity and Histories of Art (London: Routledge, 1988), 50–70.
[3]
Carolyn Korsmeyer, Gender and Aesthetics: An
Introduction (New York: Routledge, 2004), 15–30.
[4]
Kwame Anthony Appiah, In My Father’s House:
Africa in the Philosophy of Culture (New York: Oxford University Press,
1992), 136–152.
[5]
Walter Mignolo, “Decolonial Aesthesis: Colonial
Wounds/Decolonial Healings,” Social Text 22, no. 2 (2013): 21–28.
[6]
Michel Foucault, The Order of Things (New
York: Vintage Books, 1994), xix–xxvi.
[7]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–27.
[8]
Theodor W. Adorno, Aesthetic Theory, trans.
Robert Hullot-Kentor (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 1–20.
[9]
Nicolas Bourriaud, Relational Aesthetics
(Dijon: Les presses du réel, 2002), 11–25.
[10]
George Dickie, The Art Circle: A Theory of Art
(New York: Haven Publications, 1984), 35–45.
[11]
Arthur C. Danto, After the End of Art:
Contemporary Art and the Pale of History (Princeton: Princeton University
Press, 1997), 1–9.
8.
Kesimpulan
Pembahasan tentang filsafat seni, dari masa klasik
hingga kontemporer, menunjukkan bahwa seni bukan sekadar objek keindahan atau
sarana ekspresi, tetapi juga medan pemikiran yang kompleks dan dinamis. Sejak Plato
dan Aristoteles, seni telah dipahami sebagai aktivitas yang melibatkan
pertanyaan mendalam mengenai realitas, emosi, dan makna.¹ Estetika klasik
berakar pada ide bahwa keindahan bersifat objektif dan dapat dijelaskan melalui
harmoni, simetri, atau proporsi, sebagaimana dirumuskan secara sistematis oleh Thomas
Aquinas.²
Transformasi besar terjadi pada masa modern,
ketika tokoh seperti Immanuel Kant menggeser perhatian dari objek seni
ke pengalaman subjektif, dan mengajukan bahwa penilaian estetis bersifat bebas
dari kepentingan serta memiliki dimensi universal yang tidak bergantung pada
konsep.³ Selanjutnya, Hegel dan para pemikir idealis melihat seni
sebagai wujud spiritualitas manusia yang berkembang melalui sejarah, dan seni
modern mulai mencari kebebasan bentuk dan makna di luar batas-batas klasik.⁴
Namun, memasuki era kontemporer, batas-batas
filsafat seni tradisional mulai ditantang oleh berbagai arus pemikiran baru:
feminisme, postmodernisme, postkolonialisme, dan teori media digital. Semua ini
menandai pergeseran dari pendekatan universalistik menuju perspektif yang lebih
plural, kontekstual, dan intersubjektif. Seni kini tidak lagi dapat dipahami
melalui kriteria tunggal atau esensi tetap, melainkan melalui medan diskursif
yang mencakup pengalaman sosial, politik, budaya, dan teknologi.⁵
Sebagaimana ditegaskan oleh Arthur Danto,
kita hidup di era di mana definisi seni tidak lagi ditentukan oleh medium atau
gaya, melainkan oleh wacana yang melingkupinya.⁶ Hal ini memperkuat gagasan
bahwa filsafat seni kontemporer perlu bertransformasi dari “mencari definisi
tunggal” menuju “memahami keragaman bentuk dan makna.” Filsafat seni
kini menjadi ruang dialog yang tidak hanya mencerminkan nilai-nilai keindahan,
tetapi juga memperdebatkan struktur kekuasaan, identitas, dan keberadaan.
Dengan demikian, filsafat seni tetap relevan
karena ia berperan sebagai arena untuk mengkritisi, memahami, dan
mengimajinasikan ulang hubungan antara manusia, dunia, dan makna. Ia melampaui
sekadar studi tentang keindahan dan menjadi sarana refleksi mendalam atas apa
artinya menjadi manusia yang mencipta dan menghargai karya. Dalam konteks dunia
global yang sarat krisis makna dan identitas, filsafat seni tidak hanya
berfungsi sebagai pencari estetika, tetapi juga sebagai pengawal etika dan
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 595a–598c; Aristotle, Poetics,
trans. Malcolm Heath (London: Penguin Classics, 1996), 1449b24.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.39.8,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[3]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans.
Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
§§1–22.
[4]
G.W.F. Hegel, Lectures on Aesthetics, trans.
T.M. Knox (Oxford: Clarendon Press, 1975), vol. 1, 103–126.
[5]
Carolyn Korsmeyer, ed., Aesthetics: The Big
Questions (Malden: Blackwell Publishers, 1998), 321–336; Jacques Rancière, The
Politics of Aesthetics: The Distribution of the Sensible, trans. Gabriel
Rockhill (London: Continuum, 2004), 12–18.
[6]
Arthur C. Danto, After the End of Art:
Contemporary Art and the Pale of History (Princeton: Princeton University
Press, 1997), 1–9.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W. (1997). Aesthetic
theory (R. Hullot-Kentor, Trans.). University of Minnesota Press.
(Original work published 1970)
Appiah, K. A. (1992). In
my father's house: Africa in the philosophy of culture. Oxford University
Press.
Aristotle. (1996). Poetics
(M. Heath, Trans.). Penguin Classics.
Aquinas, T. (1947). Summa
theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger
Bros.
Augustine. (2008). Confessions
(H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.
Augustine. (n.d.). De
musica (Book VI).
Beardsley, M. C. (1981). Aesthetics:
Problems in the philosophy of criticism (2nd ed.). Hackett Publishing
Company.
Bell, C. (1914). Art.
Clarendon Press.
Berleant, A. (2005). Aesthetics
and environment: Variations on a theme. Ashgate.
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Bourriaud, N. (2002). Relational
aesthetics (S. Pleasance & F. Woods, Trans.). Les Presses du réel.
Brand, P. Z. (Ed.). (2000).
Beauty matters. Indiana University Press.
Brand, P. Z., &
Korsmeyer, C. (Eds.). (1995). Feminism and tradition in aesthetics.
Pennsylvania State University Press.
Carroll, N. (1999). Philosophy
of art: A contemporary introduction. Routledge.
Danto, A. C. (1981). The
transfiguration of the commonplace: A philosophy of art. Harvard
University Press.
Danto, A. C. (1997). After
the end of art: Contemporary art and the pale of history. Princeton
University Press.
Derrida, J. (1982). Margins
of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Dickie, G. (1984). The
art circle: A theory of art. Haven Publications.
Dewey, J. (1934). Art
as experience. Minton, Balch & Company.
Foucault, M. (1994). The
order of things. Vintage Books. (Original work published 1966)
Goodman, N. (1978). Ways
of worldmaking. Hackett Publishing.
Hegel, G. W. F. (1975). Lectures
on aesthetics (T. M. Knox, Trans.). Clarendon Press.
Jameson, F. (1991). Postmodernism,
or, the cultural logic of late capitalism. Duke University Press.
Kant, I. (2000). Critique
of judgment (P. Guyer & E. Matthews, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1790)
Korsmeyer, C. (1998). Aesthetics:
The big questions. Blackwell Publishers.
Korsmeyer, C. (2004). Gender
and aesthetics: An introduction. Routledge.
Levinson, J. (1979).
Defining art historically. British Journal of Aesthetics, 19(3),
232–250. https://doi.org/10.1093/bjaesthetics/19.3.232
Lyotard, J.-F. (1984). The
postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B.
Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
Manovich, L. (2001). The
language of new media. MIT Press.
Mignolo, W. D., &
Vázquez, R. (2013). Decolonial aestheSis: Colonial wounds/decolonial healings. Social
Text, 22(2), 21–28.
Nietzsche, F. (1993). The
birth of tragedy (S. Whiteside, Trans.). Penguin Books. (Original work
published 1872)
Paul, C. (2015). Digital
art (3rd ed.). Thames & Hudson.
Plato. (1992). Republic
(G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing Company.
Plato. (1997). Ion
(P. Woodruff, Trans.). Hackett Publishing Company.
Pollock, G. (1988). Vision
and difference: Feminism, femininity and histories of art. Routledge.
Rancière, J. (2004). The
politics of aesthetics: The distribution of the sensible (G. Rockhill,
Trans.). Continuum.
Schopenhauer, A. (1969). The
world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover
Publications. (Original work published 1818)
Tatarkiewicz, W. (2005). History
of aesthetics (Vol. 1). Continuum.
Tolstoy, L. (1930). What
is art? (A. Maude, Trans.). Oxford University Press.
Zeglin Brand, P., &
Korsmeyer, C. (Eds.). (1995). Feminism and tradition in aesthetics.
Pennsylvania State University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar