Negara Utama (al-Madina al-Fadilah)
Fondasi Filosofis dan Relevansi Teoretis Konsep
al-Madina al-Fadilah
Alihkan ke: Konsep Keadilan dan Negara Ideal.
Pemikiran Plato, Pemikiran Aristoteles,
Pemikiran Al-Farabi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran
politik Abu Nasr Al-Farabi mengenai al-Madina al-Fadilah (Negara Utama),
yang merupakan model negara ideal berdasarkan integrasi antara filsafat dan
agama. Dalam kerangka filsafat politik Islam klasik, Al-Farabi menempatkan
negara sebagai sarana fundamental untuk mencapai sa‘ādah (kebahagiaan
sejati) melalui kerja sama sosial yang terstruktur dan kepemimpinan yang
berdasarkan hikmah. Negara ideal ditopang oleh pemimpin yang merupakan
filsuf-nabi—sosok yang memahami realitas secara rasional sekaligus mampu
membimbing masyarakat melalui wahyu simbolik. Artikel ini juga membahas lima
bentuk negara tidak ideal menurut Al-Farabi, serta menjelaskan hubungan antara
agama dan filsafat sebagai fondasi epistemik dalam al-Madina al-Fadilah.
Di bagian akhir, artikel merefleksikan relevansi konseptual pemikiran Al-Farabi
terhadap krisis kepemimpinan, degradasi moral, dan fragmentasi nilai dalam
masyarakat kontemporer. Dengan pendekatan historis-filosofis dan penekanan pada
sumber-sumber primer serta literatur ilmiah, kajian ini menunjukkan bahwa
pemikiran Al-Farabi tetap signifikan dalam membangun kerangka politik etis dan
berorientasi transendental.
Kata Kunci: Al-Farabi, al-Madina al-Fadilah, filsafat politik
Islam, negara ideal, kebahagiaan (sa‘ādah),
filsuf-nabi, integrasi agama dan filsafat, etika politik, relevansi kontemporer.
PEMBAHASAN
Gagasan Al-farabi tentang Negara Utama (al-Madina
al-Fadilah)
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
filsafat Islam, pembahasan tentang konsep negara dan kepemimpinan ideal
menempati posisi yang penting, khususnya dalam kaitannya dengan tujuan etis dan
spiritual manusia. Salah satu tokoh terkemuka yang mengembangkan filsafat
politik dalam tradisi Islam klasik adalah Abu Nasr Al-Farabi (w. 950 M), yang
dikenal sebagai al-Mu’allim al-Thani (Guru Kedua)
setelah Aristoteles. Melalui karya monumentalnya Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah
(Pandangan-Pandangan Penduduk Negara Utama), Al-Farabi menyusun sebuah model
negara ideal yang berpijak pada integrasi antara rasionalitas filsafat dan
nilai-nilai keagamaan, suatu sintesis yang tidak hanya mencerminkan pemikiran
metafisik tetapi juga visi politik etis dan spiritual.1
Konsep al-Madina
al-Fadilah lahir dalam konteks pertemuan antara warisan filsafat
Yunani dan nilai-nilai Islam, di mana Al-Farabi berusaha menjawab kebutuhan
masyarakat terhadap tatanan politik yang adil, rasional, dan bertujuan pada
kebahagiaan sejati (sa‘adah). Dalam pandangannya,
negara bukan sekadar entitas politik, melainkan wadah struktural yang
memungkinkan manusia mencapai kesempurnaan intelektual dan spiritual. Oleh
karena itu, pemikiran Al-Farabi menandai salah satu tonggak penting dalam perkembangan
filsafat politik Islam, sekaligus memberikan fondasi teoritis yang membedakan
antara negara yang sekadar eksis secara administratif dan negara yang
benar-benar utama karena berorientasi pada kebaikan tertinggi.2
Lebih jauh,
pemikiran politik Al-Farabi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kuat filsafat
Plato, terutama dalam analogi negara ideal dan konsepsi tentang
pemimpin-filosof. Namun demikian, Al-Farabi tidak hanya menyalin gagasan Plato,
melainkan menyesuaikannya dengan kerangka ontologis dan teologis Islam,
sehingga melahirkan satu sintesis baru yang khas. Ia menegaskan bahwa pemimpin
negara utama harus tidak hanya rasional dan bijak, tetapi juga memiliki dimensi
kenabian, karena hanya dengan cara itulah negara dapat diarahkan pada
kebahagiaan akhirat dan tidak hanya keberhasilan duniawi.3
Artikel ini bertujuan
untuk mengkaji secara sistematis konsep negara utama menurut Al-Farabi, dimulai
dari fondasi-fondasi filosofis yang melatarbelakanginya, struktur dan ciri-ciri
negara ideal tersebut, perbandingan dengan bentuk-bentuk negara tidak utama,
hingga relevansinya dalam konteks politik dan sosial kontemporer. Pendekatan
yang digunakan bersifat filosofis-historis, dengan menekankan pada argumentasi
tekstual yang bersumber dari karya primer Al-Farabi dan interpretasi para
sarjana kontemporer. Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat memberi
kontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap pemikiran politik Islam
klasik dan relevansinya dalam diskursus filsafat politik modern.
Footnotes
[1]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans.
Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon
Press, 1985), 229.
[2]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 23–25.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 155–156.
2.
Biografi
Intelektual Al-Farabi
Abu Nasr Muhammad
ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzalagh al-Farabi (w. 950 M) merupakan salah satu
filsuf paling berpengaruh dalam tradisi intelektual Islam klasik. Ia dikenal
luas di dunia Islam dan Barat sebagai al-Mu‘allim al-Thani (Guru Kedua),
gelar yang mencerminkan pengakuan atas kedudukannya sebagai penerus Aristoteles
(al-Mu‘allim
al-Awwal) dalam bidang logika dan filsafat.1 Gelar ini
menunjukkan tidak hanya penguasaan Al-Farabi atas warisan filsafat Yunani,
tetapi juga kemampuannya untuk mensintesiskan gagasan-gagasan tersebut dengan
worldview Islam.
Al-Farabi lahir
sekitar tahun 872 M di Farab, sebuah kota di wilayah Transoxiana (sekarang
Kazakhstan selatan), yang saat itu menjadi bagian dari dunia Islam di bawah
kekuasaan Abbasiyah. Ia menempuh pendidikan dasar di daerah asalnya, sebelum
kemudian melanjutkan studi ke Baghdad—pusat intelektual dunia Islam pada abad
ke-9 dan 10 M. Di sana, ia mempelajari berbagai disiplin ilmu, termasuk logika,
filsafat, musik, bahasa, dan ilmu-ilmu keislaman, di bawah bimbingan sejumlah
ilmuwan besar, termasuk Abu Bishr Matta ibn Yunus dan Yuhanna ibn Haylan, dua
tokoh yang dikenal sebagai penerjemah dan komentator filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab.2
Salah satu aspek
menonjol dari perjalanan intelektual Al-Farabi adalah kemahirannya dalam
bahasa-bahasa ilmiah masa itu: Arab, Persia, dan khususnya Yunani. Ia bahkan
dikisahkan menguasai bahasa-bahasa tersebut sampai pada tingkat dapat membaca
langsung karya-karya Plato dan Aristoteles dalam naskah asli atau dalam
terjemahan Syriac dan Arab.3 Kemampuan linguistik ini memungkinkan
Al-Farabi untuk memahami dan mengembangkan logika formal Aristoteles, yang
kemudian ia anggap sebagai perangkat utama dalam pencarian kebenaran. Ia
menyusun banyak karya sistematis tentang logika dan metodologi berpikir, yang
kemudian menjadi fondasi penting dalam pendidikan filsafat di dunia Islam.
Kontribusi Al-Farabi
dalam dunia filsafat mencakup bidang metafisika, epistemologi, etika, politik,
musik, dan teologi. Namun, yang menjadikan namanya menonjol secara khusus
adalah sintesis orisinalnya dalam filsafat politik Islam, terutama dalam karya Ara’ Ahl
al-Madina al-Fadilah, yang menjadi refleksi tertinggi dari
pemikirannya tentang negara ideal dan kepemimpinan spiritual. Dalam karya ini,
Al-Farabi tidak hanya memaparkan struktur negara dan karakter warganya, tetapi
juga menggabungkan unsur rasionalitas Yunani dengan spiritualitas Islam dalam
satu kerangka filsafat politik yang utuh.4
Karya-karya
Al-Farabi yang lain, seperti Kitab al-Millah (Kitab Agama), Tahsil
al-Sa‘adah (Perolehan Kebahagiaan), dan Ihsa’ al-‘Ulum (Penghitungan
Ilmu-Ilmu), turut memperlihatkan kedalaman pandangannya terhadap hubungan
antara pengetahuan, kebahagiaan, dan tatanan sosial. Melalui pendekatan
rasional dan sistematik, Al-Farabi menempatkan filsafat sebagai jalan untuk
membangun masyarakat yang berkeadilan dan tercerahkan, di mana pemimpin ideal
berperan sebagai jembatan antara akal dan wahyu, antara dunia dan akhirat.5
Dengan demikian,
biografi intelektual Al-Farabi tidak hanya mencerminkan sosok cendekiawan
multidisipliner, tetapi juga seorang arsitek filsafat politik Islam yang
pemikirannya terus relevan hingga kini. Melalui integrasi antara ilmu, etika,
dan politik, ia mewariskan kerangka konseptual yang mendalam bagi pembentukan
tatanan negara yang berlandaskan pada kebijaksanaan dan pencapaian sa‘adah
sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 147.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 48–49.
[3]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London:
Routledge, 1998), 112.
[4]
Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State (Oxford:
Clarendon Press, 1985), xiii–xv.
[5]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 35–39.
3.
Konsep
Dasar: Negara dan Tujuannya dalam Pandangan Al-Farabi
Dalam filsafat
politik Al-Farabi, negara (al-madina) bukan hanya sekadar
entitas politis atau organisasi sosial, melainkan suatu sarana kodrati yang
memungkinkan manusia mencapai kesempurnaan tertinggi, yaitu kebahagiaan sejati
(as-sa‘ādah
al-quswā) baik di dunia maupun di akhirat. Negara dalam pengertian
ini bersifat teleologis: ia memiliki tujuan final yang melekat pada esensi
keberadaannya, yakni memfasilitasi warga negaranya untuk meraih kesempurnaan
intelektual dan moral.1
Al-Farabi memulai
konsepsi tentang negara dari premis bahwa manusia adalah makhluk sosial (madani
bi al-tab‘i), yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara
individual. Setiap manusia, menurutnya, memiliki keterbatasan dalam memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani, sehingga kerja sama dalam suatu komunitas menjadi
niscaya. Inilah yang melatarbelakangi pembentukan negara sebagai bentuk
tertinggi dari kerjasama sosial yang berorientasi pada tujuan luhur kehidupan
manusia.2
Negara dalam
pemikiran Al-Farabi bersifat hierarkis dan terstruktur, mengikuti pandangan
metafisisnya tentang tatanan kosmos. Ia menyusun struktur negara sebagai
cerminan dari tatanan wujud, di mana setiap tingkatan memiliki fungsi spesifik
namun saling mendukung dalam satu harmoni. Konsep ini mencerminkan pengaruh
kuat dari filsafat Neoplatonis, di mana realitas dianggap berjenjang, bermula
dari Yang Satu (al-wāḥid) dan mengalir secara
emanatif ke segala sesuatu.3
Tujuan utama dari
negara bukan hanya untuk menciptakan ketertiban hukum atau kesejahteraan
material, tetapi lebih mendalam, yaitu untuk menuntun warganya menuju sa‘ādah,
yang dicapai melalui pengetahuan, kebajikan, dan kontemplasi terhadap realitas
tertinggi. Negara yang gagal mewujudkan tujuan ini dianggap tidak ideal,
meskipun mungkin secara administratif stabil atau secara ekonomi makmur. Dengan
demikian, Al-Farabi memperkenalkan dimensi spiritual dan filosofis ke dalam
teori negara yang membedakannya secara tajam dari teori-teori politik pragmatis.4
Dalam Ara’ Ahl
al-Madina al-Fadilah, Al-Farabi menggambarkan negara sebagai
entitas organik yang tersusun atas berbagai komponen masyarakat, masing-masing
memiliki fungsi tertentu sebagaimana organ-organ dalam tubuh manusia. Dalam
analogi ini, kepala negara (ra’īs) berperan seperti jantung
atau otak, yang menjadi pusat kendali dan sumber kebijakan yang menentukan arah
negara. Warga negara lainnya menjalankan fungsi sesuai kodrat dan kapasitas
mereka, baik dalam bidang ekonomi, militer, agama, atau pendidikan. Hubungan
antar unsur tersebut harus bersifat harmonis dan saling melengkapi demi
mencapai tujuan bersama.5
Lebih lanjut,
Al-Farabi membagi negara ke dalam berbagai tingkatan berdasarkan kedekatannya
dengan cita-cita negara utama (al-madina al-fadilah). Negara ideal
adalah yang pemimpinnya adalah seorang filsuf sekaligus pemimpin spiritual yang
memiliki pengetahuan tentang hakikat kebaikan dan kebenaran. Negara semacam ini
tidak hanya melindungi warga dari bahaya eksternal, tetapi juga memandu mereka
untuk hidup sesuai dengan tatanan kosmos dan kehendak Ilahi.6
Dengan demikian,
konsep negara dalam pandangan Al-Farabi sangat terkait erat dengan filsafat
moral dan metafisika. Negara bukan semata-mata alat kekuasaan, tetapi lebih
sebagai wadah bagi transformasi manusia menuju eksistensi yang lebih luhur.
Negara yang sejati adalah negara yang dibangun di atas pengetahuan, kebajikan,
dan visi transendental tentang kebahagiaan manusia.
Footnotes
[1]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans.
Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon
Press, 1985), 231–234.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 53.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 152–153.
[4]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 45–47.
[5]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, 237–240.
[6]
Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State, xvii–xx.
4.
Al-Madina
al-Fadilah: Negara Ideal Menurut Al-Farabi
Konsep al-Madina
al-Fadilah (Negara Utama) merupakan titik kulminasi dari pemikiran
politik dan etika Al-Farabi. Dalam karya utamanya Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ia
memaparkan model negara ideal yang dibangun atas dasar akal, kebajikan, dan
tujuan tertinggi kehidupan manusia, yaitu kebahagiaan (sa‘ādah).
Negara ini bukan hanya ideal dalam pengertian politik dan sosial, tetapi juga
dalam pengertian metafisik dan kosmologis. Bagi Al-Farabi, negara utama
merupakan cerminan struktur kosmos yang teratur dan hierarkis, yang berfungsi
sebagai sarana untuk menyempurnakan jiwa manusia.1
4.1.
Ciri-Ciri Negara Utama
Negara utama, menurut
Al-Farabi, ditandai oleh tatanan sosial yang terbentuk dari kerja sama
antarwarganya dalam mencapai tujuan tertinggi. Setiap individu dalam negara
tersebut memahami perannya, menjalankan tugas sesuai dengan kapasitasnya, dan
mengarahkan hidupnya kepada kesempurnaan rasional dan spiritual. Kebaikan tidak
hanya bersifat kolektif tetapi juga personal, dan institusi politik berfungsi
sebagai pendukung dalam pembinaan akhlak dan akal manusia.2
Dalam al-Madina
al-Fadilah, semua struktur sosial dan kelembagaan dikendalikan
berdasarkan prinsip hikmah dan keutamaan. Negara ini tidak dikendalikan oleh
kekuasaan atau kepentingan duniawi semata, melainkan oleh cita-cita luhur
tentang kehidupan yang baik secara rasional dan spiritual. Sistem hukum,
pendidikan, ekonomi, dan budaya dalam negara ini diarahkan sepenuhnya untuk
mewujudkan kebahagiaan universal.3
4.2.
Pemimpin Ideal: Filsuf-Raja
dan Nabi
Salah satu unsur
terpenting dari negara utama adalah keberadaan seorang pemimpin utama (ra’īs
al-awwal), yang menurut Al-Farabi harus merupakan manusia paling
sempurna secara intelektual dan moral. Pemimpin ideal ini harus menggabungkan
ciri-ciri seorang filsuf dan nabi: ia harus memahami hakikat segala sesuatu,
memiliki pengetahuan tentang Yang Maha Esa dan tatanan kosmik, serta mampu
memimpin masyarakat menuju kebahagiaan melalui hukum dan kebijaksanaan.4
Al-Farabi menetapkan
tidak kurang dari dua belas syarat bagi seorang pemimpin utama, di antaranya:
kecerdasan tinggi, pemahaman mendalam tentang filsafat, kemampuan berbicara
dengan fasih, keberanian, dan integritas moral yang sempurna. Bila tidak
terdapat satu orang yang memenuhi seluruh syarat ini, maka kepemimpinan dapat
dibagi antara beberapa orang yang masing-masing mewakili sebagian dari
sifat-sifat tersebut.5
Dalam hal ini,
Al-Farabi terlihat mengembangkan kembali gagasan Plato tentang philosopher-king
dalam Republic,
namun ia menambahkan dimensi profetik yang khas Islam. Jika dalam filsafat
Yunani pemimpin ideal hanya seorang filsuf, maka dalam filsafat Farabi,
pemimpin juga adalah penerima wahyu atau memiliki kemampuan untuk menyampaikan
kebenaran dalam bentuk simbolis kepada rakyatnya, sebagaimana nabi menyampaikan
syariat kepada umat manusia.6
4.3.
Struktur Sosial dan
Organisme Politik
Negara utama
dianalogikan oleh Al-Farabi seperti tubuh manusia: pemimpin merupakan otak atau
jantung, sedangkan bagian-bagian negara lainnya seperti tentara, pedagang,
petani, dan pekerja diibaratkan sebagai organ-organ tubuh lainnya.
Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang tak tergantikan, serta saling
mendukung dalam satu sistem yang harmonis.7 Struktur ini menjamin
keteraturan sosial dan memungkinkan warga negara menjalani kehidupan yang
bermakna, bukan sekadar demi kelangsungan hidup, tetapi demi pencapaian tujuan
spiritual tertinggi.
Di dalam negara
utama, pendidikan dan etika memainkan peran sentral. Masyarakat dibentuk secara
sistematis agar mampu memahami simbol-simbol keagamaan dan filsafat yang
disampaikan oleh pemimpin. Hukum dan aturan negara tidak hanya dimaksudkan
untuk menjaga ketertiban, tetapi untuk memfasilitasi transformasi batiniah
manusia.8
Footnotes
[1]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans.
Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon
Press, 1985), 231–238.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York:
Columbia University Press, 2004), 154.
[3]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 55–57.
[4]
Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State, xx–xxi.
[5]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 56.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 93.
[7]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, 239–240.
[8]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy, 61.
5.
Tipe-Tipe
Negara Tidak Ideal
Dalam kerangka
filsafat politiknya, Al-Farabi tidak hanya membahas negara ideal (al-Madina
al-Fadilah), tetapi juga mengklasifikasikan berbagai bentuk negara
yang menyimpang dari prinsip-prinsip kebaikan sejati. Negara-negara ini disebut
sebagai al-mudun
al-jahilah (negara-negara bodoh/ignorant), yang pada hakikatnya
gagal mengarahkan warganya pada tujuan tertinggi kehidupan, yakni sa‘ādah
(kebahagiaan spiritual dan intelektual). Klasifikasi ini menunjukkan bahwa bagi
Al-Farabi, negara tidak cukup dinilai dari segi stabilitas politik atau
kemakmuran ekonomi, tetapi dari kapasitasnya dalam menuntun manusia kepada kebenaran
dan kesempurnaan.1
Al-Farabi menyebut
secara eksplisit lima jenis negara tidak ideal,
yang masing-masing memiliki karakteristik khusus dan cacat filosofis serta
moral yang berbeda-beda. Setiap bentuk negara ini mewakili deviasi dari al-Madina
al-Fadilah dan mencerminkan kegagalan dalam mencapai tujuan
eksistensial manusia.
5.1.
al-Madina al-Jahilah
(Negara Bodoh)
Negara ini disebut jahilah
(bodoh atau tidak tahu) karena para penduduk dan pemimpinnya tidak mengetahui
hakikat kebahagiaan sejati. Mereka mengira bahwa tujuan tertinggi kehidupan
adalah kenikmatan duniawi seperti kekayaan, kesenangan jasmani, kehormatan,
atau kekuasaan. Akibatnya, negara ini terjebak dalam materialisme dan
utilitarianisme yang sempit, tanpa visi transendental.2 Dalam
praktiknya, negara seperti ini mungkin tampak makmur atau kuat secara militer,
namun secara esensial ia berada dalam kegelapan spiritual.
5.2.
al-Madina al-Fasiqah
(Negara Fasik)
Dalam tipe ini,
masyarakat dan pemimpin mengetahui kebenaran dan prinsip-prinsip negara utama,
namun dengan sengaja menolak untuk mengamalkannya. Mereka secara sadar memilih
kehidupan yang menyimpang dari jalan kebajikan karena dikendalikan oleh hawa
nafsu dan kepentingan duniawi. Al-Farabi memandang negara ini lebih rendah
secara moral dibanding al-Madina al-Jahilah, karena
kemaksiatannya bersumber dari penolakan sadar terhadap kebenaran.3
5.3.
al-Madina al-Mubaddalah
(Negara yang Berubah)
Negara ini pada
awalnya adalah negara utama, namun seiring waktu mengalami kemunduran karena
hilangnya pemimpin bijak, penyimpangan moral masyarakat, atau kerusakan
institusi. Nilai-nilai utama negara perlahan tergantikan oleh nilai-nilai
duniawi, dan hukum-hukum yang dahulu berlandaskan hikmah digantikan oleh kebijakan
pragmatis. Al-Farabi melihat tipe ini sebagai bentuk degenerasi politik dan
spiritual dari suatu masyarakat yang kehilangan arah hidupnya.4
5.4.
al-Madina al-Dhāllah
(Negara yang Sesat)
Negara ini
menyimpang dari kebenaran karena mengikuti pemimpin yang menyampaikan pandangan
keliru tentang tujuan hidup dan hakikat kebahagiaan. Pemimpin semacam ini
keliru memahami filsafat dan menyesatkan masyarakat dengan ajaran-ajaran yang
salah, meskipun secara lahiriah tampak bijaksana. Negara ini sangat berbahaya
karena kesesatannya bersifat sistemik dan menyamar dalam bentuk kebenaran.5
5.5.
al-Madina al-Nizamiyyah
(Negara Anarkis atau Tidak Teratur)
Meskipun tidak
selalu disebut secara eksplisit oleh Al-Farabi dalam bentuk istilah ini,
beberapa penafsir modern menyebut adanya bentuk negara yang tidak memiliki
struktur yang jelas atau pemimpin yang sah, sehingga hukum tidak ditegakkan dan
kekacauan menjadi norma. Negara seperti ini berada pada titik terendah dalam
hierarki moral-politik karena kehilangan bentuk dasar dari fungsi negara itu
sendiri.6
Melalui klasifikasi
ini, Al-Farabi ingin menunjukkan bahwa penyimpangan bentuk negara terjadi
ketika pemikiran tentang kehidupan baik digantikan oleh nilai-nilai yang
dangkal dan sesat. Negara yang tidak menjadikan filsafat dan etika sebagai
dasar pembentukannya akan jatuh ke dalam kehancuran moral dan kehilangan arah
transendentalnya. Oleh karena itu, pemikiran politik Al-Farabi bukanlah sekadar
teori kenegaraan, melainkan juga doktrin etis-spiritual tentang peradaban.
Footnotes
[1]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans.
Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon
Press, 1985), 241–247.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 154–155.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 58.
[4]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 63–64.
[5]
Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State, xxii–xxiii.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 95.
6.
Relasi
antara Agama dan Filsafat dalam Negara Utama
Salah satu aspek
paling penting dan khas dalam pemikiran politik Al-Farabi adalah relasi
integral antara agama dan filsafat dalam kerangka al-Madina
al-Fadilah. Al-Farabi tidak memposisikan agama dan filsafat sebagai
dua sistem pengetahuan yang saling bertentangan, tetapi justru sebagai dua
jalan yang menuju pada kebenaran yang sama, meskipun dengan metode dan bahasa
yang berbeda. Dalam negara utama, integrasi ini menjadi fondasi epistemologis
dan normatif yang memungkinkan masyarakat meraih kebahagiaan sejati (sa‘ādah),
baik secara rasional maupun simbolik.
6.1.
Filsafat sebagai Hakikat,
Agama sebagai Simbol
Dalam pandangan
Al-Farabi, filsafat adalah ilmu yang membahas hakikat
segala sesuatu secara rasional dan demonstratif, sedangkan agama
adalah representasi simbolik dari kebenaran yang sama, tetapi
disampaikan dalam bentuk naratif, imajinatif, dan praktis agar dapat dipahami
oleh khalayak umum. Dengan kata lain, agama adalah bayangan atau gambaran dari
filsafat untuk massa, sebagaimana hukum positif merefleksikan prinsip-prinsip
hikmah universal dalam bentuk yang dapat diaplikasikan.1
Oleh sebab itu, pemimpin
negara utama harus menguasai filsafat dan memahami struktur agama,
sehingga ia dapat menyampaikan kebenaran metafisik dalam bentuk simbol-simbol
religius yang dapat dimengerti masyarakat. Agama menjadi sarana pendidikan
moral dan spiritual bagi rakyat, sementara filsafat menjadi pedoman
kepemimpinan dan perumusan hukum yang bijaksana. Relasi ini menunjukkan bahwa agama
dan filsafat berada dalam posisi koheren dan saling menguatkan,
bukan sebagai sistem epistemik yang bersaing.2
6.2.
Peran Nabi-Filsuf sebagai
Mediator
Al-Farabi
mengembangkan konsep pemimpin ideal sebagai nabi sekaligus filsuf. Sosok
ini tidak hanya memahami realitas secara rasional, tetapi juga menerima inspirasi
ilahi (wahyu)
yang memungkinkannya untuk membimbing masyarakat melalui syariat yang simbolik
namun fungsional. Nabi-filsuf ini memahami realitas dalam bentuk esensial dan
mampu mentransformasikannya ke dalam bentuk ajaran keagamaan yang memadai untuk
berbagai tingkat kapasitas intelektual rakyatnya.3
Dalam al-Madina
al-Fadilah, masyarakat terdiri atas tingkatan-tingkatan, dan tidak
semua orang mampu memahami kebenaran melalui filsafat. Karena itu, wahyu dan
simbol keagamaan dibutuhkan sebagai sarana pengajaran dan pengatur kehidupan
sosial. Perpaduan ini menciptakan sistem pemerintahan yang tidak hanya stabil
secara politis, tetapi juga mendorong masyarakat untuk berkembang secara
spiritual dan intelektual.4
6.3.
Tujuan Bersama: Kebahagiaan
(Sa‘ādah)
Baik agama maupun
filsafat, menurut Al-Farabi, memiliki tujuan akhir yang sama, yakni
pencapaian kebahagiaan sejati (as-sa‘ādah al-quswā). Filsafat
mencapainya melalui kontemplasi dan pembuktian rasional, sedangkan agama
mencapainya melalui pengamalan syariat dan penyucian jiwa. Dalam negara utama,
dua jalur ini tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam membentuk
masyarakat yang berbudi luhur dan tercerahkan.
Dengan demikian, filsafat
dan agama dalam pemikiran Al-Farabi merupakan dua dimensi dari struktur
epistemik dan politik negara utama. Filsafat berperan sebagai
fondasi rasional dan teoritis, sementara agama berfungsi sebagai kendaraan
praktis dan normatif. Negara yang ideal adalah negara yang mampu menyatukan
keduanya dalam tatanan pemerintahan, pendidikan, dan kehidupan sosial yang utuh
dan harmonis.5
Footnotes
[1]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans.
Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon
Press, 1985), 250–252.
[2]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 66–69.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 155–156.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 61–62.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 97–98.
7.
Relevansi
Gagasan al-Madina al-Fadilah dalam Konteks Kontemporer
Meskipun
dikembangkan lebih dari seribu tahun yang lalu, gagasan al-Madina
al-Fadilah yang diajukan oleh Al-Farabi tetap memiliki relevansi
yang signifikan dalam menjawab berbagai problematika filsafat politik modern
dan kontemporer. Gagasan negara utama bukan hanya utopia metafisik, tetapi juga
tawaran visioner tentang bagaimana negara seharusnya dibangun atas dasar
kebijaksanaan, keutamaan, dan orientasi transendental terhadap kebahagiaan
manusia.
7.1.
Kritik terhadap
Materialisme dan Krisis Etika Politik Modern
Salah satu krisis
utama dalam banyak negara kontemporer adalah dominasi pendekatan materialistik
dalam politik dan pemerintahan. Negara-negara modern seringkali hanya
menekankan pertumbuhan ekonomi, kekuatan militer, atau efisiensi administratif
tanpa perhatian serius terhadap dimensi etika dan spiritual manusia. Dalam hal
ini, al-Madina
al-Fadilah menawarkan alternatif konseptual yang menekankan bahwa
keberhasilan negara tidak hanya diukur melalui indikator duniawi, tetapi
melalui kemampuan negara dalam memfasilitasi kebajikan dan kebahagiaan sejati
bagi warganya.1
Konsep kepemimpinan
ideal Al-Farabi—yang menekankan pada hikmah, akhlak, dan rasionalitas—menjadi
kritik tajam terhadap pragmatisme politik yang mengabaikan nilai. Dalam konteks
ini, pemimpin bukan sekadar manajer kekuasaan, tetapi penuntun moral dan
intelektual yang membimbing masyarakat menuju tatanan kehidupan yang baik dan
bermakna.2
7.2.
Pluralitas dan Pendidikan
Moral
Di tengah pluralisme
sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat kontemporer, pandangan
Al-Farabi tentang peran pendidikan dan pengaturan simbol dalam al-Madina
al-Fadilah menjadi sangat relevan. Ia menyadari bahwa tidak semua
lapisan masyarakat mampu memahami kebenaran secara filosofis, sehingga
diperlukan simbol-simbol religius dan pendidikan moral sebagai instrumen
penghubung antara elite pemikir dan masyarakat umum.3
Dalam konteks
demokrasi modern, konsep ini dapat diterjemahkan ke dalam kebutuhan akan
pendidikan publik yang menekankan pada nilai-nilai bersama, etika sosial, dan
kapasitas berpikir kritis. Negara harus berperan sebagai pendidik kolektif,
bukan sekadar penjamin stabilitas politik dan hukum. Dengan demikian, al-Madina
al-Fadilah memberi inspirasi tentang pentingnya pembentukan
karakter dan kesadaran kolektif sebagai fondasi keberlangsungan
peradaban.4
7.3.
Agama, Rasionalitas, dan
Dialog Peradaban
Dalam dunia global
yang diwarnai ketegangan antara tradisi religius dan modernitas sekuler,
gagasan Al-Farabi tentang sintesis agama dan filsafat memberikan kerangka kerja
yang inklusif. Ia menunjukkan bahwa agama tidak harus diposisikan sebagai
antitesis dari akal, dan bahwa pemikiran rasional dapat hidup berdampingan
secara harmonis dengan nilai-nilai keagamaan. Pendekatan ini sangat relevan
dalam membangun dialog antara peradaban yang seringkali terpecah oleh dikotomi
antara iman dan rasio.5
Hal ini menjadi kontribusi
penting dalam ranah filsafat politik multikultural,
karena memberikan dasar teoretis bagi negara untuk mengelola perbedaan bukan
dengan represi, tetapi dengan pembinaan wawasan dan integrasi nilai. Al-Farabi
menegaskan bahwa pemimpin harus mampu menerjemahkan realitas transendental ke
dalam bentuk sosial yang dipahami dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.6
7.4.
Spirit Keadilan dan
Kepemimpinan Visioner
Gagasan negara utama
juga menekankan pentingnya keadilan dalam distribusi fungsi sosial. Setiap
individu dalam al-Madina al-Fadilah diberi tempat
sesuai dengan kapasitas dan kontribusinya, tanpa dikotomi diskriminatif yang
merugikan kelompok tertentu. Dalam konteks saat ini, pemikiran ini sejalan
dengan prinsip-prinsip keadilan distributif,
meritokrasi, dan tata kelola pemerintahan yang berorientasi pada partisipasi
dan pengakuan terhadap keanekaragaman peran dalam masyarakat.7
Lebih dari itu,
Al-Farabi mengingatkan bahwa pemimpin sejati bukan hanya melihat urusan dunia
secara pragmatis, tetapi memiliki visi transendental yang
mengarahkan kebijakan publik kepada orientasi spiritual dan kesejahteraan
universal. Ini memberikan pelajaran penting bagi para pemimpin kontemporer
untuk tidak tercerabut dari akar nilai dan moralitas yang mendalam dalam
menjalankan kekuasaan.
Kesimpulan
Sub-Bagian
Dengan
mempertimbangkan konteks globalisasi, krisis kepemimpinan moral, serta
kebutuhan akan pendidikan dan integrasi nilai di masyarakat plural, gagasan
Al-Farabi tentang al-Madina al-Fadilah masih sangat
relevan. Ia tidak hanya menawarkan utopia normatif, tetapi juga kerangka etik
dan filosofis yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi rekonstruksi negara yang
berorientasi pada keutamaan, keadilan, dan kebahagiaan manusia secara holistik.
Footnotes
[1]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 67–69.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 157.
[3]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans.
Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon
Press, 1985), 252–254.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 64–65.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 97–99.
[6]
Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State, xxii–xxiii.
[7]
Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a
Democratic Theory for Muslim Societies (Oxford: Oxford University Press,
2009), 132–134.
8.
Kesimpulan
Pemikiran Al-Farabi
tentang al-Madina
al-Fadilah bukan sekadar konstruksi teoritis mengenai negara ideal,
tetapi merupakan manifestasi dari sebuah visi filosofis yang mendalam mengenai
eksistensi manusia, struktur kosmos, dan tatanan masyarakat yang berkeadilan.
Dalam pandangan Al-Farabi, negara merupakan sarana kodrati untuk mencapai
kebahagiaan tertinggi (as-sa‘ādah al-quswā), bukan hanya
sebagai alat kekuasaan administratif atau alat akumulasi kekayaan material.
Oleh karena itu, negara hanya akan sah dan benar apabila ia didasarkan pada
hikmah (kebijaksanaan), keutamaan moral, dan orientasi transendental terhadap
kebenaran.1
Konsep negara utama
Al-Farabi berpijak pada integrasi harmonis antara filsafat dan agama, rasionalitas
dan wahyu, elite intelektual dan massa rakyat. Dalam al-Madina
al-Fadilah, kepemimpinan ideal berada pada tangan seorang
filsuf-nabi—pemimpin yang tidak hanya memahami realitas tertinggi secara
rasional, tetapi juga mampu menyampaikan kebenaran dalam bentuk simbol-simbol
religius yang dapat diterima oleh masyarakat luas.2 Negara menjadi
seperti tubuh yang sehat dan harmonis, dengan setiap anggota masyarakat
menjalankan fungsi kodratinya untuk menunjang tujuan kolektif, yakni
tercapainya kehidupan yang baik dan bahagia secara lahir maupun batin.
Sebaliknya,
Al-Farabi juga mengingatkan tentang bahaya negara-negara yang menyimpang dari
tatanan ideal ini. Negara bodoh, fasik, mubaddalah, dan sesat adalah
representasi dari kegagalan moral-politik dalam memahami dan menjalankan peran
negara sebagai fasilitator kebahagiaan. Negara seperti ini mungkin memiliki
kemajuan material, namun tercerabut dari akar-akar nilai yang luhur dan visi
spiritual yang mendalam.3
Dalam konteks
modern, gagasan al-Madina al-Fadilah mengandung
pelajaran penting yang tetap relevan. Ketika dunia menghadapi krisis
kepemimpinan moral, polarisasi ideologis, dan degradasi nilai dalam kehidupan
berbangsa, pemikiran Al-Farabi memberikan kerangka alternatif yang berakar pada
etika, kebijaksanaan, dan orientasi terhadap kesejahteraan universal. Negara,
menurut Farabi, bukanlah arena perebutan kekuasaan, melainkan arena
penyempurnaan manusia menuju kedewasaan intelektual dan spiritual.4
Oleh karena itu,
pengkajian terhadap konsep al-Madina al-Fadilah sangat penting
bukan hanya sebagai bagian dari sejarah filsafat Islam, tetapi juga sebagai
sumber inspirasi teoritis bagi pengembangan politik etis, pendidikan moral, dan
kepemimpinan visioner di zaman kini. Dengan menjembatani filsafat dan syariat,
logika dan simbol, elite dan rakyat, Al-Farabi telah menyusun model negara yang
tidak hanya menjawab kebutuhan zaman klasik, tetapi juga berbicara kepada
tantangan zaman modern dengan kedalaman dan relevansi yang luar biasa.
Footnotes
[1]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans.
Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon
Press, 1985), 230–233.
[2]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 45–47, 66–69.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 154–157.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 62–65.
Daftar Pustaka
Al-Farabi. (1985). Al-Farabi on the perfect
state: Abu Nasr al-Farabi's Mabadi ara ahl al-madina al-fadila (R. Walzer,
Ed. & Trans.). Oxford University Press.
(Catatan: Ini adalah edisi bahasa Inggris dari karya asli berjudul “Ara’ Ahl
al-Madina al-Fadilah”)
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbāsid society.
Routledge.
Hashemi, N. (2009). Islam, secularism, and
liberal democracy: Toward a democratic theory for Muslim societies. Oxford
University Press.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of
Islamic political philosophy. University of Chicago Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar