Kamis, 29 Mei 2025

Negara Utama (al-Madina al-Fadilah): Fondasi Filosofis dan Relevansi Teoretis Konsep al-Madina al-Fadilah

Negara Utama (al-Madina al-Fadilah)

Fondasi Filosofis dan Relevansi Teoretis Konsep al-Madina al-Fadilah


Alihkan ke: Konsep Keadilan dan Negara Ideal. 

Pemikiran Plato, Pemikiran Aristoteles, Pemikiran Al-Farabi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam pemikiran politik Abu Nasr Al-Farabi mengenai al-Madina al-Fadilah (Negara Utama), yang merupakan model negara ideal berdasarkan integrasi antara filsafat dan agama. Dalam kerangka filsafat politik Islam klasik, Al-Farabi menempatkan negara sebagai sarana fundamental untuk mencapai sa‘ādah (kebahagiaan sejati) melalui kerja sama sosial yang terstruktur dan kepemimpinan yang berdasarkan hikmah. Negara ideal ditopang oleh pemimpin yang merupakan filsuf-nabi—sosok yang memahami realitas secara rasional sekaligus mampu membimbing masyarakat melalui wahyu simbolik. Artikel ini juga membahas lima bentuk negara tidak ideal menurut Al-Farabi, serta menjelaskan hubungan antara agama dan filsafat sebagai fondasi epistemik dalam al-Madina al-Fadilah. Di bagian akhir, artikel merefleksikan relevansi konseptual pemikiran Al-Farabi terhadap krisis kepemimpinan, degradasi moral, dan fragmentasi nilai dalam masyarakat kontemporer. Dengan pendekatan historis-filosofis dan penekanan pada sumber-sumber primer serta literatur ilmiah, kajian ini menunjukkan bahwa pemikiran Al-Farabi tetap signifikan dalam membangun kerangka politik etis dan berorientasi transendental.

Kata Kunci: Al-Farabi, al-Madina al-Fadilah, filsafat politik Islam, negara ideal, kebahagiaan (sa‘ādah), filsuf-nabi, integrasi agama dan filsafat, etika politik, relevansi kontemporer.


PEMBAHASAN

Gagasan Al-farabi tentang Negara Utama (al-Madina al-Fadilah)


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat Islam, pembahasan tentang konsep negara dan kepemimpinan ideal menempati posisi yang penting, khususnya dalam kaitannya dengan tujuan etis dan spiritual manusia. Salah satu tokoh terkemuka yang mengembangkan filsafat politik dalam tradisi Islam klasik adalah Abu Nasr Al-Farabi (w. 950 M), yang dikenal sebagai al-Mu’allim al-Thani (Guru Kedua) setelah Aristoteles. Melalui karya monumentalnya Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah (Pandangan-Pandangan Penduduk Negara Utama), Al-Farabi menyusun sebuah model negara ideal yang berpijak pada integrasi antara rasionalitas filsafat dan nilai-nilai keagamaan, suatu sintesis yang tidak hanya mencerminkan pemikiran metafisik tetapi juga visi politik etis dan spiritual.1

Konsep al-Madina al-Fadilah lahir dalam konteks pertemuan antara warisan filsafat Yunani dan nilai-nilai Islam, di mana Al-Farabi berusaha menjawab kebutuhan masyarakat terhadap tatanan politik yang adil, rasional, dan bertujuan pada kebahagiaan sejati (sa‘adah). Dalam pandangannya, negara bukan sekadar entitas politik, melainkan wadah struktural yang memungkinkan manusia mencapai kesempurnaan intelektual dan spiritual. Oleh karena itu, pemikiran Al-Farabi menandai salah satu tonggak penting dalam perkembangan filsafat politik Islam, sekaligus memberikan fondasi teoritis yang membedakan antara negara yang sekadar eksis secara administratif dan negara yang benar-benar utama karena berorientasi pada kebaikan tertinggi.2

Lebih jauh, pemikiran politik Al-Farabi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kuat filsafat Plato, terutama dalam analogi negara ideal dan konsepsi tentang pemimpin-filosof. Namun demikian, Al-Farabi tidak hanya menyalin gagasan Plato, melainkan menyesuaikannya dengan kerangka ontologis dan teologis Islam, sehingga melahirkan satu sintesis baru yang khas. Ia menegaskan bahwa pemimpin negara utama harus tidak hanya rasional dan bijak, tetapi juga memiliki dimensi kenabian, karena hanya dengan cara itulah negara dapat diarahkan pada kebahagiaan akhirat dan tidak hanya keberhasilan duniawi.3

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis konsep negara utama menurut Al-Farabi, dimulai dari fondasi-fondasi filosofis yang melatarbelakanginya, struktur dan ciri-ciri negara ideal tersebut, perbandingan dengan bentuk-bentuk negara tidak utama, hingga relevansinya dalam konteks politik dan sosial kontemporer. Pendekatan yang digunakan bersifat filosofis-historis, dengan menekankan pada argumentasi tekstual yang bersumber dari karya primer Al-Farabi dan interpretasi para sarjana kontemporer. Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap pemikiran politik Islam klasik dan relevansinya dalam diskursus filsafat politik modern.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans. Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 229.

[2]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 23–25.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 155–156.


2.           Biografi Intelektual Al-Farabi

Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzalagh al-Farabi (w. 950 M) merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam tradisi intelektual Islam klasik. Ia dikenal luas di dunia Islam dan Barat sebagai al-Mu‘allim al-Thani (Guru Kedua), gelar yang mencerminkan pengakuan atas kedudukannya sebagai penerus Aristoteles (al-Mu‘allim al-Awwal) dalam bidang logika dan filsafat.1 Gelar ini menunjukkan tidak hanya penguasaan Al-Farabi atas warisan filsafat Yunani, tetapi juga kemampuannya untuk mensintesiskan gagasan-gagasan tersebut dengan worldview Islam.

Al-Farabi lahir sekitar tahun 872 M di Farab, sebuah kota di wilayah Transoxiana (sekarang Kazakhstan selatan), yang saat itu menjadi bagian dari dunia Islam di bawah kekuasaan Abbasiyah. Ia menempuh pendidikan dasar di daerah asalnya, sebelum kemudian melanjutkan studi ke Baghdad—pusat intelektual dunia Islam pada abad ke-9 dan 10 M. Di sana, ia mempelajari berbagai disiplin ilmu, termasuk logika, filsafat, musik, bahasa, dan ilmu-ilmu keislaman, di bawah bimbingan sejumlah ilmuwan besar, termasuk Abu Bishr Matta ibn Yunus dan Yuhanna ibn Haylan, dua tokoh yang dikenal sebagai penerjemah dan komentator filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.2

Salah satu aspek menonjol dari perjalanan intelektual Al-Farabi adalah kemahirannya dalam bahasa-bahasa ilmiah masa itu: Arab, Persia, dan khususnya Yunani. Ia bahkan dikisahkan menguasai bahasa-bahasa tersebut sampai pada tingkat dapat membaca langsung karya-karya Plato dan Aristoteles dalam naskah asli atau dalam terjemahan Syriac dan Arab.3 Kemampuan linguistik ini memungkinkan Al-Farabi untuk memahami dan mengembangkan logika formal Aristoteles, yang kemudian ia anggap sebagai perangkat utama dalam pencarian kebenaran. Ia menyusun banyak karya sistematis tentang logika dan metodologi berpikir, yang kemudian menjadi fondasi penting dalam pendidikan filsafat di dunia Islam.

Kontribusi Al-Farabi dalam dunia filsafat mencakup bidang metafisika, epistemologi, etika, politik, musik, dan teologi. Namun, yang menjadikan namanya menonjol secara khusus adalah sintesis orisinalnya dalam filsafat politik Islam, terutama dalam karya Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, yang menjadi refleksi tertinggi dari pemikirannya tentang negara ideal dan kepemimpinan spiritual. Dalam karya ini, Al-Farabi tidak hanya memaparkan struktur negara dan karakter warganya, tetapi juga menggabungkan unsur rasionalitas Yunani dengan spiritualitas Islam dalam satu kerangka filsafat politik yang utuh.4

Karya-karya Al-Farabi yang lain, seperti Kitab al-Millah (Kitab Agama), Tahsil al-Sa‘adah (Perolehan Kebahagiaan), dan Ihsa’ al-‘Ulum (Penghitungan Ilmu-Ilmu), turut memperlihatkan kedalaman pandangannya terhadap hubungan antara pengetahuan, kebahagiaan, dan tatanan sosial. Melalui pendekatan rasional dan sistematik, Al-Farabi menempatkan filsafat sebagai jalan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan tercerahkan, di mana pemimpin ideal berperan sebagai jembatan antara akal dan wahyu, antara dunia dan akhirat.5

Dengan demikian, biografi intelektual Al-Farabi tidak hanya mencerminkan sosok cendekiawan multidisipliner, tetapi juga seorang arsitek filsafat politik Islam yang pemikirannya terus relevan hingga kini. Melalui integrasi antara ilmu, etika, dan politik, ia mewariskan kerangka konseptual yang mendalam bagi pembentukan tatanan negara yang berlandaskan pada kebijaksanaan dan pencapaian sa‘adah sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 147.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 48–49.

[3]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 112.

[4]                Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State (Oxford: Clarendon Press, 1985), xiii–xv.

[5]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 35–39.


3.           Konsep Dasar: Negara dan Tujuannya dalam Pandangan Al-Farabi

Dalam filsafat politik Al-Farabi, negara (al-madina) bukan hanya sekadar entitas politis atau organisasi sosial, melainkan suatu sarana kodrati yang memungkinkan manusia mencapai kesempurnaan tertinggi, yaitu kebahagiaan sejati (as-sa‘ādah al-quswā) baik di dunia maupun di akhirat. Negara dalam pengertian ini bersifat teleologis: ia memiliki tujuan final yang melekat pada esensi keberadaannya, yakni memfasilitasi warga negaranya untuk meraih kesempurnaan intelektual dan moral.1

Al-Farabi memulai konsepsi tentang negara dari premis bahwa manusia adalah makhluk sosial (madani bi al-tab‘i), yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara individual. Setiap manusia, menurutnya, memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani, sehingga kerja sama dalam suatu komunitas menjadi niscaya. Inilah yang melatarbelakangi pembentukan negara sebagai bentuk tertinggi dari kerjasama sosial yang berorientasi pada tujuan luhur kehidupan manusia.2

Negara dalam pemikiran Al-Farabi bersifat hierarkis dan terstruktur, mengikuti pandangan metafisisnya tentang tatanan kosmos. Ia menyusun struktur negara sebagai cerminan dari tatanan wujud, di mana setiap tingkatan memiliki fungsi spesifik namun saling mendukung dalam satu harmoni. Konsep ini mencerminkan pengaruh kuat dari filsafat Neoplatonis, di mana realitas dianggap berjenjang, bermula dari Yang Satu (al-wāḥid) dan mengalir secara emanatif ke segala sesuatu.3

Tujuan utama dari negara bukan hanya untuk menciptakan ketertiban hukum atau kesejahteraan material, tetapi lebih mendalam, yaitu untuk menuntun warganya menuju sa‘ādah, yang dicapai melalui pengetahuan, kebajikan, dan kontemplasi terhadap realitas tertinggi. Negara yang gagal mewujudkan tujuan ini dianggap tidak ideal, meskipun mungkin secara administratif stabil atau secara ekonomi makmur. Dengan demikian, Al-Farabi memperkenalkan dimensi spiritual dan filosofis ke dalam teori negara yang membedakannya secara tajam dari teori-teori politik pragmatis.4

Dalam Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, Al-Farabi menggambarkan negara sebagai entitas organik yang tersusun atas berbagai komponen masyarakat, masing-masing memiliki fungsi tertentu sebagaimana organ-organ dalam tubuh manusia. Dalam analogi ini, kepala negara (ra’īs) berperan seperti jantung atau otak, yang menjadi pusat kendali dan sumber kebijakan yang menentukan arah negara. Warga negara lainnya menjalankan fungsi sesuai kodrat dan kapasitas mereka, baik dalam bidang ekonomi, militer, agama, atau pendidikan. Hubungan antar unsur tersebut harus bersifat harmonis dan saling melengkapi demi mencapai tujuan bersama.5

Lebih lanjut, Al-Farabi membagi negara ke dalam berbagai tingkatan berdasarkan kedekatannya dengan cita-cita negara utama (al-madina al-fadilah). Negara ideal adalah yang pemimpinnya adalah seorang filsuf sekaligus pemimpin spiritual yang memiliki pengetahuan tentang hakikat kebaikan dan kebenaran. Negara semacam ini tidak hanya melindungi warga dari bahaya eksternal, tetapi juga memandu mereka untuk hidup sesuai dengan tatanan kosmos dan kehendak Ilahi.6

Dengan demikian, konsep negara dalam pandangan Al-Farabi sangat terkait erat dengan filsafat moral dan metafisika. Negara bukan semata-mata alat kekuasaan, tetapi lebih sebagai wadah bagi transformasi manusia menuju eksistensi yang lebih luhur. Negara yang sejati adalah negara yang dibangun di atas pengetahuan, kebajikan, dan visi transendental tentang kebahagiaan manusia.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans. Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 231–234.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 53.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 152–153.

[4]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 45–47.

[5]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, 237–240.

[6]                Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State, xvii–xx.


4.           Al-Madina al-Fadilah: Negara Ideal Menurut Al-Farabi

Konsep al-Madina al-Fadilah (Negara Utama) merupakan titik kulminasi dari pemikiran politik dan etika Al-Farabi. Dalam karya utamanya Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ia memaparkan model negara ideal yang dibangun atas dasar akal, kebajikan, dan tujuan tertinggi kehidupan manusia, yaitu kebahagiaan (sa‘ādah). Negara ini bukan hanya ideal dalam pengertian politik dan sosial, tetapi juga dalam pengertian metafisik dan kosmologis. Bagi Al-Farabi, negara utama merupakan cerminan struktur kosmos yang teratur dan hierarkis, yang berfungsi sebagai sarana untuk menyempurnakan jiwa manusia.1

4.1.       Ciri-Ciri Negara Utama

Negara utama, menurut Al-Farabi, ditandai oleh tatanan sosial yang terbentuk dari kerja sama antarwarganya dalam mencapai tujuan tertinggi. Setiap individu dalam negara tersebut memahami perannya, menjalankan tugas sesuai dengan kapasitasnya, dan mengarahkan hidupnya kepada kesempurnaan rasional dan spiritual. Kebaikan tidak hanya bersifat kolektif tetapi juga personal, dan institusi politik berfungsi sebagai pendukung dalam pembinaan akhlak dan akal manusia.2

Dalam al-Madina al-Fadilah, semua struktur sosial dan kelembagaan dikendalikan berdasarkan prinsip hikmah dan keutamaan. Negara ini tidak dikendalikan oleh kekuasaan atau kepentingan duniawi semata, melainkan oleh cita-cita luhur tentang kehidupan yang baik secara rasional dan spiritual. Sistem hukum, pendidikan, ekonomi, dan budaya dalam negara ini diarahkan sepenuhnya untuk mewujudkan kebahagiaan universal.3

4.2.       Pemimpin Ideal: Filsuf-Raja dan Nabi

Salah satu unsur terpenting dari negara utama adalah keberadaan seorang pemimpin utama (ra’īs al-awwal), yang menurut Al-Farabi harus merupakan manusia paling sempurna secara intelektual dan moral. Pemimpin ideal ini harus menggabungkan ciri-ciri seorang filsuf dan nabi: ia harus memahami hakikat segala sesuatu, memiliki pengetahuan tentang Yang Maha Esa dan tatanan kosmik, serta mampu memimpin masyarakat menuju kebahagiaan melalui hukum dan kebijaksanaan.4

Al-Farabi menetapkan tidak kurang dari dua belas syarat bagi seorang pemimpin utama, di antaranya: kecerdasan tinggi, pemahaman mendalam tentang filsafat, kemampuan berbicara dengan fasih, keberanian, dan integritas moral yang sempurna. Bila tidak terdapat satu orang yang memenuhi seluruh syarat ini, maka kepemimpinan dapat dibagi antara beberapa orang yang masing-masing mewakili sebagian dari sifat-sifat tersebut.5

Dalam hal ini, Al-Farabi terlihat mengembangkan kembali gagasan Plato tentang philosopher-king dalam Republic, namun ia menambahkan dimensi profetik yang khas Islam. Jika dalam filsafat Yunani pemimpin ideal hanya seorang filsuf, maka dalam filsafat Farabi, pemimpin juga adalah penerima wahyu atau memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran dalam bentuk simbolis kepada rakyatnya, sebagaimana nabi menyampaikan syariat kepada umat manusia.6

4.3.       Struktur Sosial dan Organisme Politik

Negara utama dianalogikan oleh Al-Farabi seperti tubuh manusia: pemimpin merupakan otak atau jantung, sedangkan bagian-bagian negara lainnya seperti tentara, pedagang, petani, dan pekerja diibaratkan sebagai organ-organ tubuh lainnya. Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang tak tergantikan, serta saling mendukung dalam satu sistem yang harmonis.7 Struktur ini menjamin keteraturan sosial dan memungkinkan warga negara menjalani kehidupan yang bermakna, bukan sekadar demi kelangsungan hidup, tetapi demi pencapaian tujuan spiritual tertinggi.

Di dalam negara utama, pendidikan dan etika memainkan peran sentral. Masyarakat dibentuk secara sistematis agar mampu memahami simbol-simbol keagamaan dan filsafat yang disampaikan oleh pemimpin. Hukum dan aturan negara tidak hanya dimaksudkan untuk menjaga ketertiban, tetapi untuk memfasilitasi transformasi batiniah manusia.8


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans. Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 231–238.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 154.

[3]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 55–57.

[4]                Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State, xx–xxi.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 56.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 93.

[7]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, 239–240.

[8]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy, 61.


5.           Tipe-Tipe Negara Tidak Ideal

Dalam kerangka filsafat politiknya, Al-Farabi tidak hanya membahas negara ideal (al-Madina al-Fadilah), tetapi juga mengklasifikasikan berbagai bentuk negara yang menyimpang dari prinsip-prinsip kebaikan sejati. Negara-negara ini disebut sebagai al-mudun al-jahilah (negara-negara bodoh/ignorant), yang pada hakikatnya gagal mengarahkan warganya pada tujuan tertinggi kehidupan, yakni sa‘ādah (kebahagiaan spiritual dan intelektual). Klasifikasi ini menunjukkan bahwa bagi Al-Farabi, negara tidak cukup dinilai dari segi stabilitas politik atau kemakmuran ekonomi, tetapi dari kapasitasnya dalam menuntun manusia kepada kebenaran dan kesempurnaan.1

Al-Farabi menyebut secara eksplisit lima jenis negara tidak ideal, yang masing-masing memiliki karakteristik khusus dan cacat filosofis serta moral yang berbeda-beda. Setiap bentuk negara ini mewakili deviasi dari al-Madina al-Fadilah dan mencerminkan kegagalan dalam mencapai tujuan eksistensial manusia.

5.1.       al-Madina al-Jahilah (Negara Bodoh)

Negara ini disebut jahilah (bodoh atau tidak tahu) karena para penduduk dan pemimpinnya tidak mengetahui hakikat kebahagiaan sejati. Mereka mengira bahwa tujuan tertinggi kehidupan adalah kenikmatan duniawi seperti kekayaan, kesenangan jasmani, kehormatan, atau kekuasaan. Akibatnya, negara ini terjebak dalam materialisme dan utilitarianisme yang sempit, tanpa visi transendental.2 Dalam praktiknya, negara seperti ini mungkin tampak makmur atau kuat secara militer, namun secara esensial ia berada dalam kegelapan spiritual.

5.2.       al-Madina al-Fasiqah (Negara Fasik)

Dalam tipe ini, masyarakat dan pemimpin mengetahui kebenaran dan prinsip-prinsip negara utama, namun dengan sengaja menolak untuk mengamalkannya. Mereka secara sadar memilih kehidupan yang menyimpang dari jalan kebajikan karena dikendalikan oleh hawa nafsu dan kepentingan duniawi. Al-Farabi memandang negara ini lebih rendah secara moral dibanding al-Madina al-Jahilah, karena kemaksiatannya bersumber dari penolakan sadar terhadap kebenaran.3

5.3.       al-Madina al-Mubaddalah (Negara yang Berubah)

Negara ini pada awalnya adalah negara utama, namun seiring waktu mengalami kemunduran karena hilangnya pemimpin bijak, penyimpangan moral masyarakat, atau kerusakan institusi. Nilai-nilai utama negara perlahan tergantikan oleh nilai-nilai duniawi, dan hukum-hukum yang dahulu berlandaskan hikmah digantikan oleh kebijakan pragmatis. Al-Farabi melihat tipe ini sebagai bentuk degenerasi politik dan spiritual dari suatu masyarakat yang kehilangan arah hidupnya.4

5.4.       al-Madina al-Dhāllah (Negara yang Sesat)

Negara ini menyimpang dari kebenaran karena mengikuti pemimpin yang menyampaikan pandangan keliru tentang tujuan hidup dan hakikat kebahagiaan. Pemimpin semacam ini keliru memahami filsafat dan menyesatkan masyarakat dengan ajaran-ajaran yang salah, meskipun secara lahiriah tampak bijaksana. Negara ini sangat berbahaya karena kesesatannya bersifat sistemik dan menyamar dalam bentuk kebenaran.5

5.5.       al-Madina al-Nizamiyyah (Negara Anarkis atau Tidak Teratur)

Meskipun tidak selalu disebut secara eksplisit oleh Al-Farabi dalam bentuk istilah ini, beberapa penafsir modern menyebut adanya bentuk negara yang tidak memiliki struktur yang jelas atau pemimpin yang sah, sehingga hukum tidak ditegakkan dan kekacauan menjadi norma. Negara seperti ini berada pada titik terendah dalam hierarki moral-politik karena kehilangan bentuk dasar dari fungsi negara itu sendiri.6

Melalui klasifikasi ini, Al-Farabi ingin menunjukkan bahwa penyimpangan bentuk negara terjadi ketika pemikiran tentang kehidupan baik digantikan oleh nilai-nilai yang dangkal dan sesat. Negara yang tidak menjadikan filsafat dan etika sebagai dasar pembentukannya akan jatuh ke dalam kehancuran moral dan kehilangan arah transendentalnya. Oleh karena itu, pemikiran politik Al-Farabi bukanlah sekadar teori kenegaraan, melainkan juga doktrin etis-spiritual tentang peradaban.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans. Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 241–247.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 154–155.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 58.

[4]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 63–64.

[5]                Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State, xxii–xxiii.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 95.


6.           Relasi antara Agama dan Filsafat dalam Negara Utama

Salah satu aspek paling penting dan khas dalam pemikiran politik Al-Farabi adalah relasi integral antara agama dan filsafat dalam kerangka al-Madina al-Fadilah. Al-Farabi tidak memposisikan agama dan filsafat sebagai dua sistem pengetahuan yang saling bertentangan, tetapi justru sebagai dua jalan yang menuju pada kebenaran yang sama, meskipun dengan metode dan bahasa yang berbeda. Dalam negara utama, integrasi ini menjadi fondasi epistemologis dan normatif yang memungkinkan masyarakat meraih kebahagiaan sejati (sa‘ādah), baik secara rasional maupun simbolik.

6.1.       Filsafat sebagai Hakikat, Agama sebagai Simbol

Dalam pandangan Al-Farabi, filsafat adalah ilmu yang membahas hakikat segala sesuatu secara rasional dan demonstratif, sedangkan agama adalah representasi simbolik dari kebenaran yang sama, tetapi disampaikan dalam bentuk naratif, imajinatif, dan praktis agar dapat dipahami oleh khalayak umum. Dengan kata lain, agama adalah bayangan atau gambaran dari filsafat untuk massa, sebagaimana hukum positif merefleksikan prinsip-prinsip hikmah universal dalam bentuk yang dapat diaplikasikan.1

Oleh sebab itu, pemimpin negara utama harus menguasai filsafat dan memahami struktur agama, sehingga ia dapat menyampaikan kebenaran metafisik dalam bentuk simbol-simbol religius yang dapat dimengerti masyarakat. Agama menjadi sarana pendidikan moral dan spiritual bagi rakyat, sementara filsafat menjadi pedoman kepemimpinan dan perumusan hukum yang bijaksana. Relasi ini menunjukkan bahwa agama dan filsafat berada dalam posisi koheren dan saling menguatkan, bukan sebagai sistem epistemik yang bersaing.2

6.2.       Peran Nabi-Filsuf sebagai Mediator

Al-Farabi mengembangkan konsep pemimpin ideal sebagai nabi sekaligus filsuf. Sosok ini tidak hanya memahami realitas secara rasional, tetapi juga menerima inspirasi ilahi (wahyu) yang memungkinkannya untuk membimbing masyarakat melalui syariat yang simbolik namun fungsional. Nabi-filsuf ini memahami realitas dalam bentuk esensial dan mampu mentransformasikannya ke dalam bentuk ajaran keagamaan yang memadai untuk berbagai tingkat kapasitas intelektual rakyatnya.3

Dalam al-Madina al-Fadilah, masyarakat terdiri atas tingkatan-tingkatan, dan tidak semua orang mampu memahami kebenaran melalui filsafat. Karena itu, wahyu dan simbol keagamaan dibutuhkan sebagai sarana pengajaran dan pengatur kehidupan sosial. Perpaduan ini menciptakan sistem pemerintahan yang tidak hanya stabil secara politis, tetapi juga mendorong masyarakat untuk berkembang secara spiritual dan intelektual.4

6.3.       Tujuan Bersama: Kebahagiaan (Sa‘ādah)

Baik agama maupun filsafat, menurut Al-Farabi, memiliki tujuan akhir yang sama, yakni pencapaian kebahagiaan sejati (as-sa‘ādah al-quswā). Filsafat mencapainya melalui kontemplasi dan pembuktian rasional, sedangkan agama mencapainya melalui pengamalan syariat dan penyucian jiwa. Dalam negara utama, dua jalur ini tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam membentuk masyarakat yang berbudi luhur dan tercerahkan.

Dengan demikian, filsafat dan agama dalam pemikiran Al-Farabi merupakan dua dimensi dari struktur epistemik dan politik negara utama. Filsafat berperan sebagai fondasi rasional dan teoritis, sementara agama berfungsi sebagai kendaraan praktis dan normatif. Negara yang ideal adalah negara yang mampu menyatukan keduanya dalam tatanan pemerintahan, pendidikan, dan kehidupan sosial yang utuh dan harmonis.5


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans. Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 250–252.

[2]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 66–69.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 155–156.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 61–62.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 97–98.


7.           Relevansi Gagasan al-Madina al-Fadilah dalam Konteks Kontemporer

Meskipun dikembangkan lebih dari seribu tahun yang lalu, gagasan al-Madina al-Fadilah yang diajukan oleh Al-Farabi tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam menjawab berbagai problematika filsafat politik modern dan kontemporer. Gagasan negara utama bukan hanya utopia metafisik, tetapi juga tawaran visioner tentang bagaimana negara seharusnya dibangun atas dasar kebijaksanaan, keutamaan, dan orientasi transendental terhadap kebahagiaan manusia.

7.1.       Kritik terhadap Materialisme dan Krisis Etika Politik Modern

Salah satu krisis utama dalam banyak negara kontemporer adalah dominasi pendekatan materialistik dalam politik dan pemerintahan. Negara-negara modern seringkali hanya menekankan pertumbuhan ekonomi, kekuatan militer, atau efisiensi administratif tanpa perhatian serius terhadap dimensi etika dan spiritual manusia. Dalam hal ini, al-Madina al-Fadilah menawarkan alternatif konseptual yang menekankan bahwa keberhasilan negara tidak hanya diukur melalui indikator duniawi, tetapi melalui kemampuan negara dalam memfasilitasi kebajikan dan kebahagiaan sejati bagi warganya.1

Konsep kepemimpinan ideal Al-Farabi—yang menekankan pada hikmah, akhlak, dan rasionalitas—menjadi kritik tajam terhadap pragmatisme politik yang mengabaikan nilai. Dalam konteks ini, pemimpin bukan sekadar manajer kekuasaan, tetapi penuntun moral dan intelektual yang membimbing masyarakat menuju tatanan kehidupan yang baik dan bermakna.2

7.2.       Pluralitas dan Pendidikan Moral

Di tengah pluralisme sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat kontemporer, pandangan Al-Farabi tentang peran pendidikan dan pengaturan simbol dalam al-Madina al-Fadilah menjadi sangat relevan. Ia menyadari bahwa tidak semua lapisan masyarakat mampu memahami kebenaran secara filosofis, sehingga diperlukan simbol-simbol religius dan pendidikan moral sebagai instrumen penghubung antara elite pemikir dan masyarakat umum.3

Dalam konteks demokrasi modern, konsep ini dapat diterjemahkan ke dalam kebutuhan akan pendidikan publik yang menekankan pada nilai-nilai bersama, etika sosial, dan kapasitas berpikir kritis. Negara harus berperan sebagai pendidik kolektif, bukan sekadar penjamin stabilitas politik dan hukum. Dengan demikian, al-Madina al-Fadilah memberi inspirasi tentang pentingnya pembentukan karakter dan kesadaran kolektif sebagai fondasi keberlangsungan peradaban.4

7.3.       Agama, Rasionalitas, dan Dialog Peradaban

Dalam dunia global yang diwarnai ketegangan antara tradisi religius dan modernitas sekuler, gagasan Al-Farabi tentang sintesis agama dan filsafat memberikan kerangka kerja yang inklusif. Ia menunjukkan bahwa agama tidak harus diposisikan sebagai antitesis dari akal, dan bahwa pemikiran rasional dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan nilai-nilai keagamaan. Pendekatan ini sangat relevan dalam membangun dialog antara peradaban yang seringkali terpecah oleh dikotomi antara iman dan rasio.5

Hal ini menjadi kontribusi penting dalam ranah filsafat politik multikultural, karena memberikan dasar teoretis bagi negara untuk mengelola perbedaan bukan dengan represi, tetapi dengan pembinaan wawasan dan integrasi nilai. Al-Farabi menegaskan bahwa pemimpin harus mampu menerjemahkan realitas transendental ke dalam bentuk sosial yang dipahami dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.6

7.4.       Spirit Keadilan dan Kepemimpinan Visioner

Gagasan negara utama juga menekankan pentingnya keadilan dalam distribusi fungsi sosial. Setiap individu dalam al-Madina al-Fadilah diberi tempat sesuai dengan kapasitas dan kontribusinya, tanpa dikotomi diskriminatif yang merugikan kelompok tertentu. Dalam konteks saat ini, pemikiran ini sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan distributif, meritokrasi, dan tata kelola pemerintahan yang berorientasi pada partisipasi dan pengakuan terhadap keanekaragaman peran dalam masyarakat.7

Lebih dari itu, Al-Farabi mengingatkan bahwa pemimpin sejati bukan hanya melihat urusan dunia secara pragmatis, tetapi memiliki visi transendental yang mengarahkan kebijakan publik kepada orientasi spiritual dan kesejahteraan universal. Ini memberikan pelajaran penting bagi para pemimpin kontemporer untuk tidak tercerabut dari akar nilai dan moralitas yang mendalam dalam menjalankan kekuasaan.


Kesimpulan Sub-Bagian

Dengan mempertimbangkan konteks globalisasi, krisis kepemimpinan moral, serta kebutuhan akan pendidikan dan integrasi nilai di masyarakat plural, gagasan Al-Farabi tentang al-Madina al-Fadilah masih sangat relevan. Ia tidak hanya menawarkan utopia normatif, tetapi juga kerangka etik dan filosofis yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi rekonstruksi negara yang berorientasi pada keutamaan, keadilan, dan kebahagiaan manusia secara holistik.


Footnotes

[1]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 67–69.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 157.

[3]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans. Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 252–254.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 64–65.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 97–99.

[6]                Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State, xxii–xxiii.

[7]                Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory for Muslim Societies (Oxford: Oxford University Press, 2009), 132–134.


8.           Kesimpulan

Pemikiran Al-Farabi tentang al-Madina al-Fadilah bukan sekadar konstruksi teoritis mengenai negara ideal, tetapi merupakan manifestasi dari sebuah visi filosofis yang mendalam mengenai eksistensi manusia, struktur kosmos, dan tatanan masyarakat yang berkeadilan. Dalam pandangan Al-Farabi, negara merupakan sarana kodrati untuk mencapai kebahagiaan tertinggi (as-sa‘ādah al-quswā), bukan hanya sebagai alat kekuasaan administratif atau alat akumulasi kekayaan material. Oleh karena itu, negara hanya akan sah dan benar apabila ia didasarkan pada hikmah (kebijaksanaan), keutamaan moral, dan orientasi transendental terhadap kebenaran.1

Konsep negara utama Al-Farabi berpijak pada integrasi harmonis antara filsafat dan agama, rasionalitas dan wahyu, elite intelektual dan massa rakyat. Dalam al-Madina al-Fadilah, kepemimpinan ideal berada pada tangan seorang filsuf-nabi—pemimpin yang tidak hanya memahami realitas tertinggi secara rasional, tetapi juga mampu menyampaikan kebenaran dalam bentuk simbol-simbol religius yang dapat diterima oleh masyarakat luas.2 Negara menjadi seperti tubuh yang sehat dan harmonis, dengan setiap anggota masyarakat menjalankan fungsi kodratinya untuk menunjang tujuan kolektif, yakni tercapainya kehidupan yang baik dan bahagia secara lahir maupun batin.

Sebaliknya, Al-Farabi juga mengingatkan tentang bahaya negara-negara yang menyimpang dari tatanan ideal ini. Negara bodoh, fasik, mubaddalah, dan sesat adalah representasi dari kegagalan moral-politik dalam memahami dan menjalankan peran negara sebagai fasilitator kebahagiaan. Negara seperti ini mungkin memiliki kemajuan material, namun tercerabut dari akar-akar nilai yang luhur dan visi spiritual yang mendalam.3

Dalam konteks modern, gagasan al-Madina al-Fadilah mengandung pelajaran penting yang tetap relevan. Ketika dunia menghadapi krisis kepemimpinan moral, polarisasi ideologis, dan degradasi nilai dalam kehidupan berbangsa, pemikiran Al-Farabi memberikan kerangka alternatif yang berakar pada etika, kebijaksanaan, dan orientasi terhadap kesejahteraan universal. Negara, menurut Farabi, bukanlah arena perebutan kekuasaan, melainkan arena penyempurnaan manusia menuju kedewasaan intelektual dan spiritual.4

Oleh karena itu, pengkajian terhadap konsep al-Madina al-Fadilah sangat penting bukan hanya sebagai bagian dari sejarah filsafat Islam, tetapi juga sebagai sumber inspirasi teoritis bagi pengembangan politik etis, pendidikan moral, dan kepemimpinan visioner di zaman kini. Dengan menjembatani filsafat dan syariat, logika dan simbol, elite dan rakyat, Al-Farabi telah menyusun model negara yang tidak hanya menjawab kebutuhan zaman klasik, tetapi juga berbicara kepada tantangan zaman modern dengan kedalaman dan relevansi yang luar biasa.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, ed. and trans. Richard Walzer (Al-Farabi on the Perfect State) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 230–233.

[2]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 45–47, 66–69.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 154–157.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 62–65.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1985). Al-Farabi on the perfect state: Abu Nasr al-Farabi's Mabadi ara ahl al-madina al-fadila (R. Walzer, Ed. & Trans.). Oxford University Press.
(Catatan: Ini adalah edisi bahasa Inggris dari karya asli berjudul “Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah”)

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbāsid society. Routledge.

Hashemi, N. (2009). Islam, secularism, and liberal democracy: Toward a democratic theory for Muslim societies. Oxford University Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of Islamic political philosophy. University of Chicago Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar