Eksistensialisme
Pandangan Filsafat terhadap Nilai, Kebebasan, dan
Makna Hidup
Alihkan ke: Aliran-Aliran
Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Nilai-Nilai
Abstrak
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang
menekankan kebebasan individu, tanggung jawab eksistensial, serta pencarian
makna hidup yang subjektif. Artikel ini mengkaji eksistensialisme dalam konteks
nilai-nilai, kebebasan, dan makna hidup melalui pemikiran para filsuf utama
seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul
Sartre, dan Albert Camus. Pembahasan mencakup definisi dan sejarah
eksistensialisme, prinsip-prinsip utamanya seperti kebebasan dan autentisitas,
serta pengaruh eksistensialisme terhadap konsep nilai dan moralitas. Artikel ini
juga menyoroti berbagai kritik terhadap eksistensialisme, termasuk dari
perspektif objektivisme, agama, strukturalisme, dan postmodernisme. Meskipun
eksistensialisme sering dikritik karena cenderung mengarah pada relativisme
moral dan nihilisme, filsafat ini tetap relevan dalam menjawab tantangan
modernitas dengan menegaskan pentingnya kebebasan dan tanggung jawab individu.
Dengan demikian, eksistensialisme bukan hanya menawarkan analisis filosofis
terhadap keberadaan manusia, tetapi juga memberikan wawasan mendalam mengenai
bagaimana manusia dapat menjalani kehidupan yang lebih autentik dalam dunia
yang tidak memiliki makna inheren.
Kata Kunci: Eksistensialisme, Kebebasan, Makna Hidup, Nilai,
Nihilisme, Autentisitas, Filsafat Modern, Jean-Paul Sartre, Friedrich
Nietzsche, Søren Kierkegaard.
PEMBAHASAN
Aliran Filsafat Eksistensialisme
1.
Pendahuluan
Eksistensialisme merupakan
salah satu aliran filsafat yang menitikberatkan pada pengalaman subjektif
individu, kebebasan, serta pencarian makna dalam kehidupan. Aliran ini
berkembang sebagai respons terhadap filsafat rasionalisme dan empirisme yang
lebih menekankan pada objektivitas dan universalitas dalam memahami realitas.
Eksistensialisme tidak hanya mempengaruhi pemikiran filsafat, tetapi juga
berdampak luas dalam bidang sastra, seni, psikologi, dan teologi. Dalam konteks
filsafat nilai, eksistensialisme menawarkan perspektif yang unik, di mana
nilai-nilai moral dan etika bukan merupakan sesuatu yang diberikan secara
objektif, melainkan sesuatu yang dibentuk secara subjektif oleh individu dalam
keterlibatannya dengan dunia dan pengalaman hidupnya.
Pemikiran eksistensialisme
berakar dari filsafat abad ke-19, khususnya dari pemikiran Søren
Kierkegaard (1813–1855) dan Friedrich Nietzsche
(1844–1900). Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme karena
menekankan pentingnya pengalaman individu dalam menemukan makna hidup dan
hubungannya dengan Tuhan.1 Sementara itu, Nietzsche
lebih menekankan pada gagasan "kematian Tuhan" dan bagaimana
manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri dalam dunia yang tidak
memiliki makna inheren.2 Meskipun berbeda dalam
pendekatan, kedua filsuf ini sama-sama menolak konsep nilai yang bersifat
universal dan objektif, yang sebelumnya dikukuhkan oleh tradisi filsafat klasik
dan skolastik.
Pada abad ke-20,
eksistensialisme berkembang lebih luas melalui tokoh-tokoh seperti Jean-Paul
Sartre, Martin Heidegger, dan Albert Camus.
Sartre mengembangkan gagasan "eksistensi mendahului esensi,"
yang berarti bahwa manusia tidak memiliki hakikat bawaan, melainkan membentuk
dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan yang ia ambil dalam hidupnya.3
Heidegger, dalam karyanya Being and Time, menyoroti konsep Dasein
(keberadaan manusia) yang harus menghadapi kefanaan dan kecemasan eksistensial
untuk menemukan keotentikan dirinya.4
Sementara itu, Camus memperkenalkan konsep absurditas, di mana manusia hidup
dalam dunia yang tidak memberikan makna secara inheren, sehingga individu harus
menemukan atau menciptakan makna hidupnya sendiri.5
Eksistensialisme juga
memiliki pengaruh besar dalam filsafat moral. Berbeda dengan pendekatan etika
deontologis Immanuel Kant atau utilitarianisme John
Stuart Mill, eksistensialisme menekankan bahwa nilai-nilai moral tidak
bersumber dari aturan yang objektif atau konsekuensi dari tindakan tertentu,
melainkan dari keputusan individu yang bertanggung jawab atas pilihannya
sendiri.6 Dengan demikian, eksistensialisme mengedepankan
kebebasan individu dalam membangun nilai-nilai moralnya sendiri, meskipun
kebebasan ini juga membawa beban tanggung jawab yang besar.
Artikel ini bertujuan untuk
menggali lebih dalam tentang eksistensialisme sebagai aliran filsafat yang
berkaitan dengan nilai-nilai, kebebasan, dan makna hidup. Pembahasan akan
mencakup sejarah dan perkembangan eksistensialisme, prinsip-prinsip utama yang
melandasi pemikiran ini, tokoh-tokoh kunci beserta gagasannya, serta kritik
yang dialamatkan terhadap aliran ini. Melalui kajian ini, diharapkan pembaca
dapat memahami relevansi eksistensialisme dalam kehidupan modern serta
bagaimana filsafat ini menawarkan pandangan unik terhadap pertanyaan-pertanyaan
fundamental tentang keberadaan manusia.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton
University Press, 1983), 67.
[2]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 125.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210.
[5]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 32.
[6]
Charles Guignon, The Existentialists: Critical Essays on
Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, and Sartre (Lanham: Rowman &
Littlefield, 2004), 98.
2.
Pengertian dan Sejarah Eksistensialisme
2.1.
Pengertian
Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah
sebuah aliran filsafat yang berfokus pada eksistensi individu, kebebasan, dan
tanggung jawab dalam menentukan makna hidupnya sendiri. Filsafat ini menolak
esensialisme yang beranggapan bahwa manusia memiliki hakikat tetap yang sudah
ditentukan sejak awal. Sebaliknya, eksistensialisme berpandangan bahwa manusia
harus membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan yang dilakukannya dalam
kehidupan sehari-hari.1
Jean-Paul Sartre, salah satu
filsuf eksistensialis utama abad ke-20, mengungkapkan gagasan penting bahwa
"eksistensi mendahului esensi" (existence precedes essence).
Pernyataan ini berarti bahwa manusia pertama-tama ada (eksis) sebelum
menentukan makna dan tujuan hidupnya.2 Dengan kata lain, manusia
tidak memiliki esensi yang sudah ditentukan sebelum lahir, melainkan harus
membangun dirinya sendiri melalui keputusan dan tindakan yang ia ambil sepanjang
hidupnya.
Secara umum, eksistensialisme
menekankan beberapa aspek utama, di antaranya:
1)
Kebebasan
dan Tanggung Jawab – Manusia bebas menentukan jalannya sendiri,
tetapi kebebasan ini datang dengan tanggung jawab penuh terhadap pilihan yang
dibuatnya.3
2)
Autentisitas
– Hidup yang bermakna adalah hidup yang dijalani dengan kesadaran penuh akan
tanggung jawab eksistensial.4
3)
Absurditas
dan Kecemasan – Kehidupan manusia sering kali terasa absurd
karena tidak memiliki makna inheren, sehingga individu harus menciptakan
maknanya sendiri.5
4)
Penolakan
terhadap Determinisme – Eksistensialisme menolak gagasan bahwa
hidup manusia dikendalikan oleh faktor eksternal seperti Tuhan, takdir, atau
hukum alam yang ketat.6
Eksistensialisme bukan hanya
sebuah filsafat akademik, tetapi juga berpengaruh dalam sastra, seni,
psikologi, dan bahkan teologi. Pemikirannya tidak hanya membahas filsafat
secara teoretis, tetapi juga menyentuh pengalaman manusia secara konkret dalam
kehidupan sehari-hari.
2.2.
Sejarah dan
Perkembangan Eksistensialisme
Eksistensialisme tidak muncul
secara tiba-tiba, melainkan berkembang dari gagasan-gagasan filosofis yang
telah ada sebelumnya. Beberapa pemikir yang dianggap sebagai pelopor pemikiran
eksistensialisme adalah Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin
Heidegger, dan Jean-Paul Sartre.
2.2.1.
Søren Kierkegaard:
Eksistensialisme Religius
Søren Kierkegaard (1813–1855)
sering disebut sebagai bapak eksistensialisme karena ia menolak sistem filsafat
Hegelian yang menekankan rasionalitas absolut dalam memahami realitas. Menurut
Kierkegaard, manusia adalah makhluk yang mengalami kecemasan eksistensial (angst)
dalam mencari makna hidup.7
Ia percaya bahwa manusia harus berani mengambil "lompatan iman"
(leap of faith) untuk menemukan makna sejati melalui hubungan personal
dengan Tuhan.8
Dalam karyanya Fear and
Trembling, Kierkegaard menyoroti kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan
oleh Tuhan untuk mengorbankan putranya, Ishak. Ia berargumen bahwa tindakan
Ibrahim bukanlah sesuatu yang dapat dipahami secara rasional, tetapi merupakan
bentuk keimanan yang tulus dan penuh risiko.9 Hal ini mencerminkan
salah satu prinsip utama eksistensialisme: keberanian untuk menghadapi ketidakpastian
dan absurditas dalam hidup.
2.2.2.
Friedrich Nietzsche:
Nihilisme dan Penciptaan Nilai
Friedrich Nietzsche
(1844–1900) dikenal dengan gagasannya tentang nihilisme dan "kematian
Tuhan" (God is dead). Ia berpendapat bahwa manusia modern
telah kehilangan pegangan terhadap nilai-nilai tradisional yang sebelumnya
diberikan oleh agama dan filsafat moral.10 Menurut Nietzsche, dengan
hilangnya nilai-nilai absolut, manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri
dan menjadi Übermensch (manusia unggul) yang mampu menentukan jalan
hidupnya sendiri.11
Salah satu konsep penting
dari Nietzsche adalah will to power (kehendak untuk berkuasa),
yaitu dorongan fundamental dalam diri manusia untuk mencapai kebesaran dan
membangun makna hidupnya sendiri tanpa bergantung pada otoritas eksternal.12
2.2.3.
Martin Heidegger:
Dasein dan Otentisitas
Martin Heidegger (1889–1976)
memperkenalkan konsep Dasein, yang berarti "keberadaan
manusia" dalam bukunya Being and Time. Ia berargumen bahwa
manusia selalu berada dalam dunia yang penuh kemungkinan, tetapi banyak yang
menjalani hidup secara tidak otentik, mengikuti norma dan ekspektasi sosial
tanpa kesadaran penuh akan keberadaannya.13
Heidegger juga menyoroti
konsep kecemasan eksistensial, yaitu perasaan gelisah yang
muncul ketika seseorang menyadari kefanaan dan keterbatasan dirinya.14
Menurutnya, hanya dengan menghadapi kematian dan menerima absurditas hidup,
seseorang dapat mencapai keotentikan dan menemukan makna sejati dalam
keberadaannya.
2.2.4.
Jean-Paul Sartre:
Eksistensi Mendahului Esensi
Jean-Paul Sartre (1905–1980)
adalah tokoh utama eksistensialisme ateistik. Ia menegaskan bahwa manusia bebas
secara radikal dan tidak memiliki esensi atau tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya.15 Dalam bukunya Existentialism Is a Humanism,
Sartre menegaskan bahwa karena manusia bebas, ia juga bertanggung jawab penuh
atas setiap keputusan yang diambilnya.16
Bagi Sartre, kebebasan ini
bukan tanpa konsekuensi, karena membawa beban eksistensial berupa kecemasan dan
tanggung jawab yang besar terhadap kehidupan seseorang sendiri.17
Kesimpulan
Eksistensialisme berkembang
dari pemikiran beberapa filsuf besar yang menyoroti kebebasan individu,
absurditas kehidupan, dan tanggung jawab dalam menciptakan makna hidup. Dari
Kierkegaard yang menekankan lompatan iman, Nietzsche yang menyerukan penciptaan
nilai baru, Heidegger yang membahas otentisitas, hingga Sartre yang menegaskan
kebebasan radikal manusia, eksistensialisme menjadi salah satu aliran filsafat
yang memiliki pengaruh luas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan
kehidupan.
Footnotes
[1]
Robert C. Solomon, Existentialism (New York: Oxford University
Press, 2005), 12.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[3]
William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy
(New York: Anchor Books, 1990), 134.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211.
[5]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 28.
[6]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 55.
[7]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton
University Press, 1983), 78.
[10]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 130.
[13]
Heidegger, Being and Time, 223.
[15]
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 25.
3.
Prinsip-Prinsip Utama Eksistensialisme
Eksistensialisme sebagai
aliran filsafat memiliki beberapa prinsip utama yang membedakannya dari aliran
filsafat lainnya. Prinsip-prinsip ini menekankan kebebasan individu, tanggung
jawab, makna hidup yang subjektif, absurditas keberadaan, serta kecemasan dan
alienasi yang melekat dalam kehidupan manusia. Filsuf eksistensialis seperti Søren
Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan
Albert Camus memberikan kontribusi besar dalam merumuskan
prinsip-prinsip tersebut.
3.1.
Kebebasan dan
Tanggung Jawab Individu
Salah satu prinsip utama
eksistensialisme adalah kebebasan individu dalam menentukan jalan hidupnya
sendiri. Jean-Paul Sartre berpendapat bahwa manusia tidak memiliki esensi
bawaan yang sudah ditentukan sebelumnya, tetapi membentuk dirinya sendiri
melalui tindakan dan keputusan yang diambilnya dalam kehidupan. Inilah yang ia
maksud dengan ungkapan "eksistensi mendahului esensi"
(existence precedes essence).1
Sartre menekankan bahwa
kebebasan ini bukanlah sesuatu yang ringan, melainkan membawa konsekuensi besar
berupa tanggung jawab eksistensial. Setiap individu
bertanggung jawab penuh atas setiap pilihannya, tanpa bisa mengandalkan
nilai-nilai eksternal yang sudah ada sebelumnya.2 Dengan kata lain,
individu tidak dapat menyalahkan takdir, Tuhan, atau masyarakat atas pilihan yang
diambilnya, karena dialah yang sepenuhnya menentukan makna hidupnya sendiri.
Konsep ini bertolak belakang
dengan gagasan determinisme yang menyatakan bahwa kehidupan manusia telah
ditentukan sebelumnya oleh faktor eksternal seperti hukum alam atau kehendak
ilahi. Sartre menolak gagasan ini dengan menyatakan bahwa "manusia
dikutuk untuk bebas" (man is condemned to be
free), karena meskipun manusia tidak memilih untuk dilahirkan, ia
harus memilih bagaimana menjalani hidupnya.3
3.2.
Autentisitas dan
Keberadaan Diri
Dalam filsafat
eksistensialisme, autentisitas (authenticity) merujuk pada
kesadaran individu dalam menjalani hidup secara penuh sesuai dengan nilai-nilai
dan keputusan pribadinya, bukan sekadar mengikuti norma sosial atau tekanan
eksternal. Martin Heidegger dalam karyanya Being and Time
menyoroti bagaimana kebanyakan manusia hidup dalam kondisi "Das
Man", di mana mereka hanya mengikuti kebiasaan dan ekspektasi
masyarakat tanpa benar-benar menyadari keberadaannya.4
Menurut Heidegger, untuk
mencapai keotentikan (authentic existence), manusia
harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa keberadaannya adalah sesuatu yang
fana, sementara, dan tidak memiliki makna inheren.5
Kesadaran ini mendorong individu untuk mencari makna yang sejati dalam
kehidupannya sendiri, bukan hanya mengikuti apa yang sudah dianggap benar oleh
masyarakat.
Konsep autentisitas juga
berhubungan erat dengan pemikiran Kierkegaard tentang "lompatan
iman" (leap of faith), di mana
individu harus membuat keputusan eksistensial yang radikal dalam menentukan
jalannya sendiri, bahkan jika keputusan tersebut bertentangan dengan pemikiran
umum.6
3.3.
Subjektivitas dan
Makna Hidup
Eksistensialisme menolak
gagasan bahwa makna hidup adalah sesuatu yang objektif dan sudah ada sebelum
manusia lahir. Sebaliknya, makna hidup adalah sesuatu yang harus
diciptakan oleh individu itu sendiri. Hal ini pertama kali ditegaskan
oleh Kierkegaard, yang menolak sistem filsafat rasionalis seperti yang
dikembangkan oleh Hegel karena dianggap mengabaikan pengalaman subjektif
manusia dalam menghadapi keberadaan.7
Albert Camus, dalam The
Myth of Sisyphus, menjelaskan bahwa kehidupan manusia pada dasarnya
absurd karena tidak ada makna inheren dalam dunia ini. Namun, manusia memiliki
kemampuan untuk menerima absurditas dan tetap menjalani hidup dengan
pemberontakan batin, yang disebutnya sebagai "pemberontakan
melawan absurditas" (revolt against
absurdity).8 Dengan cara ini, manusia dapat menemukan
makna meskipun ia tahu bahwa kehidupan tidak memiliki tujuan yang pasti.
Konsep ini juga berhubungan
dengan pemikiran Nietzsche tentang "penciptaan nilai".
Karena nilai-nilai tradisional dianggap tidak lagi relevan setelah "kematian
Tuhan", manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri untuk
memberikan makna pada kehidupannya.9
3.4.
Kecemasan dan
Alienasi
Eksistensialisme juga menyoroti
perasaan kecemasan (angst) dan keterasingan (alienation)
yang dialami manusia dalam menghadapi kebebasan dan absurditas hidup.
Kierkegaard adalah salah satu filsuf pertama yang membahas kecemasan
eksistensial, yang ia gambarkan sebagai kesadaran akan kemungkinan tak
terbatas dalam kehidupan manusia.10
Heidegger juga membahas
kecemasan ini dalam konteks keberadaan manusia. Ia menyebutnya sebagai "kecemasan
eksistensial" (existential anxiety), yang
terjadi ketika seseorang menyadari bahwa hidupnya tidak memiliki makna yang
sudah ditentukan sebelumnya dan bahwa ia harus menentukan jalannya sendiri.11
Sementara itu, Sartre
menggambarkan perasaan ini sebagai "nausea" atau
mual eksistensial, yang muncul ketika seseorang menyadari betapa absurd dan tak
terarahnya kehidupan.12 Perasaan ini dapat menyebabkan individu
merasa terasing dari dunia dan bahkan dari dirinya sendiri, tetapi juga dapat
menjadi dorongan untuk mencari makna yang lebih autentik dalam hidup.
Kesimpulan
Prinsip-prinsip utama
eksistensialisme berpusat pada kebebasan individu dalam menentukan hidupnya
sendiri, keharusan untuk hidup secara autentik, penciptaan makna secara
subjektif, serta kecemasan dan keterasingan sebagai bagian dari pengalaman
manusia. Eksistensialisme menolak konsep nilai yang bersifat objektif dan
deterministik, serta menekankan bahwa manusia adalah arsitek dari kehidupannya
sendiri.
Melalui pemikiran para filsuf
eksistensialis seperti Sartre, Heidegger, Kierkegaard, Nietzsche, dan Camus,
aliran filsafat ini telah memberikan kontribusi besar dalam memahami
kompleksitas kehidupan manusia, serta tantangan dan peluang yang menyertainya.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, terj. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 20.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York:
Harper & Row, 1962), 210.
[6]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1983), 67.
[8]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage
International, 1991), 32.
[9]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, terj. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 145.
[10]
Kierkegaard, Fear and Trembling, 95.
[11]
Heidegger, Being and Time, 310.
[12]
Jean-Paul Sartre, Nausea, terj. Lloyd Alexander (New York: New Directions,
1964), 133.
4.
Tokoh-Tokoh Eksistensialisme dan Gagasan Mereka
Eksistensialisme berkembang
melalui kontribusi para filsuf besar yang memberikan dasar-dasar pemikirannya
dalam berbagai aspek, mulai dari kebebasan individu, nilai-nilai moral, hingga
absurditas kehidupan. Beberapa tokoh utama yang berperan besar dalam membentuk
filsafat eksistensialisme adalah Søren Kierkegaard, Friedrich
Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus.
Masing-masing dari mereka memiliki pendekatan yang unik terhadap
eksistensialisme, baik dalam konteks religius maupun ateistik.
4.1.
Søren Kierkegaard:
Eksistensialisme Religius dan Lompatan Iman
Søren Kierkegaard (1813–1855)
adalah seorang filsuf Denmark yang sering dianggap sebagai bapak
eksistensialisme. Ia mengkritik sistem filsafat Hegelian yang terlalu rasional
dan menekankan bahwa pengalaman subjektif individu lebih penting dalam memahami
realitas dan nilai-nilai kehidupan.1
Salah satu gagasan utamanya
adalah "lompatan iman" (leap of faith),
yaitu keyakinan bahwa manusia harus berani mengambil keputusan eksistensial
yang melampaui rasionalitas dalam mencapai makna hidup, terutama dalam hubungan
dengan Tuhan.2 Dalam karyanya Fear
and Trembling, Kierkegaard mengangkat kisah Nabi Ibrahim yang
diperintahkan untuk mengorbankan putranya, Ishak. Keputusan Ibrahim untuk tetap
beriman meskipun tidak masuk akal secara logika adalah contoh dari keberanian
eksistensial yang ia maksud.3
Kierkegaard juga membahas
konsep "keputusasaan eksistensial" (existential
despair), yang muncul ketika seseorang gagal menemukan makna hidupnya.4
Ia berargumen bahwa manusia hanya bisa mencapai kebahagiaan sejati dengan hidup
secara otentik dan memiliki hubungan yang mendalam dengan Tuhan.
4.2.
Friedrich Nietzsche:
Nihilisme dan Kematian Tuhan
Friedrich Nietzsche
(1844–1900) adalah filsuf Jerman yang membawa eksistensialisme ke dalam ranah
ateisme. Ia terkenal dengan pernyataannya "Tuhan telah mati"
(God is dead), yang berarti bahwa nilai-nilai moral yang selama ini
berasal dari agama telah kehilangan otoritasnya dalam kehidupan manusia modern.5
Bagi Nietzsche, dengan
hilangnya nilai-nilai absolut, manusia harus menciptakan maknanya sendiri. Ia
memperkenalkan konsep "Übermensch" (superman
atau manusia unggul), yaitu individu yang mampu melampaui nilai-nilai
tradisional dan menciptakan standar moralnya sendiri.6
Nietzsche juga mengembangkan gagasan "will to power"
(kehendak untuk berkuasa), yaitu dorongan fundamental dalam diri
manusia untuk berkembang dan mendominasi lingkungannya.7
Menurutnya,
nihilisme—kesadaran bahwa hidup tidak memiliki makna inheren—bisa menjadi
peluang bagi manusia untuk membangun nilai-nilai baru yang lebih kuat dan lebih
sesuai dengan realitas kehidupan.8
4.3.
Martin Heidegger:
Dasein dan Kecemasan Eksistensial
Martin Heidegger (1889–1976)
adalah seorang filsuf Jerman yang berkontribusi besar terhadap eksistensialisme
melalui konsep Dasein (keberadaan manusia). Dalam
bukunya Being and Time, ia meneliti bagaimana manusia mengalami
keberadaannya di dunia dan bagaimana ia dapat hidup secara autentik.9
Heidegger mengajukan
perbedaan antara "hidup otentik" (authentic
existence) dan "hidup tidak otentik" (inauthentic
existence). Kebanyakan manusia, menurutnya, hidup dalam kondisi "Das
Man", yaitu sekadar mengikuti norma dan kebiasaan sosial tanpa
menyadari keberadaannya secara penuh.10
Salah satu gagasan penting
Heidegger adalah "kecemasan eksistensial" (existential
anxiety), yaitu perasaan yang muncul ketika seseorang menyadari
keterbatasan dirinya dan kefanaannya.11
Kesadaran akan kematian, menurut Heidegger, adalah elemen kunci yang mendorong
seseorang untuk mencari kehidupan yang lebih bermakna dan otentik.
4.4.
Jean-Paul Sartre:
Kebebasan Radikal dan Tanggung Jawab
Jean-Paul Sartre (1905–1980)
adalah filsuf Prancis yang menjadi tokoh utama eksistensialisme ateistik. Ia
terkenal dengan ungkapannya "eksistensi mendahului esensi"
(existence precedes essence), yang berarti bahwa manusia tidak
memiliki hakikat bawaan dan harus membangun dirinya sendiri melalui keputusan
dan tindakan yang diambilnya.12
Menurut Sartre, manusia "dikutuk
untuk bebas" (condemned to be free), yang berarti bahwa
kebebasan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.13 Namun,
kebebasan ini juga membawa beban tanggung jawab yang besar,
karena setiap individu harus mempertanggungjawabkan pilihannya tanpa bergantung
pada otoritas eksternal seperti agama atau tradisi.14
Sartre juga mengembangkan
konsep "mual eksistensial" (nausea), yaitu
perasaan tidak nyaman yang muncul ketika seseorang menyadari betapa absurd dan
tidak berartinya realitas.15
4.5.
Albert Camus:
Absurditas dan Pemberontakan
Albert Camus (1913–1960)
adalah seorang filsuf Prancis yang mengembangkan konsep "filosofi
absurditas" (philosophy of the absurd). Dalam bukunya The
Myth of Sisyphus, ia menggambarkan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang
absurd, karena manusia terus mencari makna dalam dunia yang tidak memiliki
makna inheren.16
Camus menolak nihilisme yang
pasif dan justru menganjurkan "pemberontakan melawan absurditas"
(revolt against absurdity). Ia berpendapat bahwa meskipun hidup tidak
memiliki tujuan mutlak, manusia harus tetap menjalani hidup dengan penuh
semangat dan pemberontakan terhadap ketidakpastian.17
Konsep ini diilustrasikan
dalam mitos Sisyphus, di mana seorang raja Yunani dikutuk untuk mendorong batu
ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Bagi Camus, Sisyphus
adalah simbol manusia yang menerima absurditas hidup tetapi tetap menjalani
kehidupannya dengan kesadaran penuh.18
Kesimpulan
Eksistensialisme berkembang
melalui pemikiran para filsuf besar dengan perspektif yang berbeda-beda.
Kierkegaard menawarkan eksistensialisme religius dengan "lompatan iman,"
sementara Nietzsche menekankan nihilisme dan penciptaan nilai. Heidegger
membahas autentisitas dan kecemasan eksistensial, sedangkan Sartre
mengembangkan gagasan kebebasan radikal. Camus, di sisi lain, menjelaskan
absurditas kehidupan dan pentingnya pemberontakan melawan ketidakbermaknaan.
Meskipun berbeda dalam
pendekatan, para pemikir eksistensialis sepakat bahwa manusia harus menemukan atau
menciptakan maknanya sendiri dalam dunia yang tidak memberikan makna inheren.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton
University Press, 1983), 67.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 125.
[9]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 223.
[12]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20.
[15]
Jean-Paul Sartre, Nausea, terj. Lloyd Alexander (New York: New
Directions, 1964), 133.
[16]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 32.
5.
Eksistensialisme dalam Konteks Nilai-Nilai
Eksistensialisme memiliki
implikasi yang mendalam terhadap konsep nilai-nilai dalam kehidupan manusia.
Tidak seperti sistem etika tradisional yang berlandaskan pada hukum moral
objektif atau perintah ilahi, eksistensialisme menekankan bahwa nilai-nilai
moral bukanlah sesuatu yang diberikan dari luar, melainkan diciptakan oleh
individu sendiri melalui kebebasan dan tanggung jawabnya. Dalam filsafat
eksistensialis, nilai-nilai bersifat subjektif, kontekstual, dan bergantung
pada pengalaman serta pilihan individu.
Pemikiran eksistensialis
tentang nilai-nilai ini berakar dari gagasan utama para filsuf seperti Søren
Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, dan
Albert Camus, yang masing-masing memberikan perspektif unik mengenai
asal-usul dan makna nilai dalam kehidupan manusia.
5.1.
Relasi antara
Eksistensialisme dengan Etika dan Moralitas
Salah satu pertanyaan fundamental
dalam filsafat eksistensialisme adalah apakah nilai-nilai moral bersifat
absolut atau relatif. Dalam sistem etika tradisional, seperti yang ditemukan
dalam filsafat Immanuel Kant, moralitas didasarkan pada
prinsip-prinsip rasional yang bersifat universal, seperti imperatif
kategoris.1 Sebaliknya, dalam eksistensialisme, tidak
ada aturan moral universal yang mengikat manusia secara eksternal; setiap individu
harus menciptakan dan memilih nilai-nilainya sendiri secara sadar dan
bertanggung jawab.2
Jean-Paul Sartre berargumen
bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti
bahwa manusia tidak memiliki kodrat yang telah ditentukan sebelumnya, dan
karena itu harus membangun nilai-nilai hidupnya sendiri berdasarkan kebebasan
yang ia miliki.3 Sartre menolak konsep nilai-nilai objektif yang
ditentukan oleh agama atau tradisi dan menegaskan bahwa nilai muncul
dari keputusan individu dalam menjalani hidupnya.4
Martin Heidegger dalam Being
and Time juga menyatakan bahwa nilai-nilai moral hanya dapat
ditemukan melalui keberadaan manusia secara otentik. Individu yang hidup secara
tidak otentik cenderung mengikuti norma-norma sosial tanpa menyadari
kebebasannya untuk memilih.5 Dengan kata lain, nilai dalam
eksistensialisme bersumber dari keberanian untuk menghadapi kenyataan dan
membuat keputusan sendiri.
5.2.
Konsep Nilai dalam
Eksistensialisme: Subjektif atau Universal?
Salah satu kritik utama
terhadap eksistensialisme adalah anggapan bahwa filsafat ini mengarah pada nihilisme
moral, yaitu keyakinan bahwa tidak ada standar objektif yang
menentukan benar atau salah.6 Kritik ini terutama muncul karena
pemikiran Nietzsche yang menegaskan bahwa "Tuhan telah mati",
yang berarti bahwa nilai-nilai moral tradisional yang sebelumnya berakar pada
agama dan metafisika telah kehilangan otoritasnya.7
Namun, Nietzsche tidak
serta-merta menyerukan nihilisme pasif. Sebaliknya, ia memperkenalkan konsep "Übermensch"
(superman atau manusia unggul), yakni individu yang
mampu menciptakan nilai-nilainya sendiri tanpa bergantung pada tradisi atau
sistem moral eksternal.8 Dengan demikian, bagi Nietzsche,
nilai-nilai dalam eksistensialisme bersifat subjektif tetapi tetap
memiliki makna bagi individu yang menciptakannya.
Albert Camus juga menanggapi
kritik nihilisme ini melalui konsep "pemberontakan melawan
absurditas". Ia menolak pandangan bahwa kehidupan tidak memiliki
makna dengan menyatakan bahwa manusia harus menciptakan nilai dalam
kehidupan yang absurd, seperti yang ia ilustrasikan dalam mitos
Sisyphus.9
Dari perspektif ini, nilai
dalam eksistensialisme memang bersifat subjektif tetapi bukan berarti tidak
bermakna. Nilai muncul dari tanggung jawab individu dalam menentukan
hidupnya sendiri.
5.3.
Eksistensialisme dan
Persoalan Determinisme vs. Kebebasan
Eksistensialisme berlawanan
dengan gagasan determinisme, yaitu pandangan bahwa setiap
peristiwa dan tindakan manusia telah ditentukan sebelumnya oleh hukum-hukum alam,
genetika, atau kehendak ilahi.10 Sartre dengan tegas menolak
determinisme dan menekankan bahwa manusia "dikutuk untuk
bebas", artinya manusia tidak memiliki pilihan selain mengambil
tanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri.11
Dalam konteks nilai,
kebebasan ini berarti bahwa tidak ada otoritas eksternal yang dapat
menentukan apa yang benar atau salah bagi seseorang. Manusia harus
menentukan nilai-nilainya sendiri, bukan sekadar mengikuti aturan atau dogma
yang sudah ada sebelumnya. Namun, Sartre juga menegaskan bahwa kebebasan ini
tidak boleh disalahgunakan untuk hidup tanpa tanggung jawab. Sebaliknya,
kebebasan harus diiringi dengan kesadaran moral dan komitmen terhadap
pilihan yang diambil.12
5.4.
Eksistensialisme
dalam Budaya dan Seni
Eksistensialisme tidak hanya
mempengaruhi filsafat, tetapi juga budaya, seni, dan sastra. Karya-karya sastra
seperti The Stranger karya Albert Camus dan Nausea
karya Jean-Paul Sartre menggambarkan bagaimana individu menghadapi absurditas
dan mencari makna dalam dunia yang tidak memberikan makna inheren.13
Dalam seni, eksistensialisme
banyak dieksplorasi dalam film dan teater, seperti dalam drama "No
Exit" karya Sartre yang menggambarkan bagaimana kebebasan dan
tanggung jawab dapat menjadi beban bagi manusia.14 Selain itu,
banyak karya seni modern menampilkan tema eksistensial seperti keterasingan,
kebebasan, dan absurditas, sebagaimana terlihat dalam lukisan-lukisan Francis
Bacon atau film-film sutradara seperti Ingmar Bergman dan
Andrei Tarkovsky.15
Kesimpulan
Eksistensialisme membawa
pendekatan baru terhadap konsep nilai-nilai dengan menekankan kebebasan
individu dalam menciptakan makna hidupnya sendiri. Berbeda dengan filsafat moral
tradisional yang mengasumsikan adanya standar objektif yang tetap,
eksistensialisme berpendapat bahwa nilai-nilai bersumber dari keputusan dan
tanggung jawab individu.
Meskipun eksistensialisme
sering dikritik karena dianggap mengarah pada relativisme moral atau nihilisme,
para filsuf eksistensialis seperti Sartre, Nietzsche, dan Camus menunjukkan
bahwa nilai dalam kehidupan manusia bukan sekadar ilusi, tetapi sesuatu yang
harus diciptakan dengan kesadaran penuh. Dengan demikian, eksistensialisme
bukan hanya menawarkan kebebasan, tetapi juga menuntut komitmen dan keberanian
dalam menghadapi realitas kehidupan yang absurd dan tidak pasti.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the
Metaphysics of Morals, terj. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University
Press, 2007), 22.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York:
Harper & Row, 1962), 223.
[6]
William Barrett, Irrational Man: A Study
in Existential Philosophy (New York:
Anchor Books, 1990), 147.
[7]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, terj. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 125.
[9]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage
International, 1991), 32.
[10]
Arthur Schopenhauer, The
World as Will and Representation,
terj. E. F. J. Payne (New York: Dover, 1969), 150.
[11]
Sartre, Existentialism Is a
Humanism, 35.
[13]
Camus, The Stranger (New York: Vintage International, 1989), 75.
[14]
Sartre, No Exit (New York: Vintage International, 1989), 85.
[15]
William Barrett, Irrational Man, 198.
6.
Kritik terhadap Eksistensialisme
Eksistensialisme, sebagai
salah satu aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu dan subjektivitas
nilai, tidak luput dari kritik. Para filsuf dari berbagai aliran, termasuk
filsafat objektivisme, agama, strukturalisme, dan postmodernisme, mengajukan
keberatan terhadap beberapa aspek utama dalam pemikiran eksistensialis.
Kritik-kritik ini berfokus pada masalah relativisme moral, nihilisme,
individualisme yang ekstrem, serta implikasi eksistensialisme terhadap
masyarakat dan kehidupan praktis.
6.1.
Kritik dari
Perspektif Filsafat Objektivis
Salah satu kritik utama
terhadap eksistensialisme datang dari filsafat objektivisme, yang berpendapat
bahwa nilai-nilai moral dan makna hidup seharusnya memiliki dasar yang
objektif, bukan sekadar konstruksi subjektif individu. Platonisme,
misalnya, menekankan bahwa konsep-konsep ideal seperti kebaikan dan keadilan
bersifat absolut dan tidak bergantung pada pengalaman manusia yang subjektif.1
Filsafat Immanuel
Kant, melalui konsep imperatif kategoris, juga mengkritik
gagasan eksistensialisme yang menolak moralitas universal. Kant berpendapat
bahwa aturan moral harus bersifat objektif dan rasional, bukan sekadar produk
dari keputusan individu semata.2 Menurut Kant, jika setiap
orang menciptakan moralitasnya sendiri, maka tidak akan ada prinsip yang dapat
diandalkan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk secara universal.
Filsuf modern seperti Ayn
Rand, yang mengembangkan objektivisme, juga mengkritik
eksistensialisme karena dianggap tidak menawarkan dasar rasional yang kuat bagi
moralitas.3 Rand menolak gagasan
Sartre bahwa manusia sepenuhnya bebas menciptakan nilai-nilainya sendiri, dan
ia menegaskan bahwa moralitas harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat
diuji secara objektif dalam realitas.
6.2.
Kritik dari
Perspektif Agama
Eksistensialisme juga mendapat
tantangan dari filsafat dan teologi agama, terutama dalam hal kebebasan manusia
dan penciptaan nilai. Søren Kierkegaard, meskipun sering
disebut sebagai bapak eksistensialisme, menolak aspek ateistik dari
eksistensialisme Sartre dan Nietzsche. Ia menegaskan bahwa kebebasan manusia
tetap harus berada dalam konteks iman kepada Tuhan.4
Filsuf Katolik Gabriel
Marcel mengkritik eksistensialisme ateistik karena dianggap gagal
memberikan makna spiritual bagi manusia. Ia berpendapat bahwa kebebasan tanpa
hubungan dengan Tuhan akan mengarah pada keputusasaan dan kehilangan makna
sejati dalam hidup.5
Dari perspektif Islam,
filsafat eksistensialisme sering dikritik karena menempatkan manusia sebagai
pusat nilai tanpa mengakui keberadaan Tuhan sebagai sumber moralitas dan makna
hidup. Muhammad Iqbal, seorang filsuf Islam, berpendapat bahwa
kebebasan yang ditawarkan eksistensialisme harus tetap berada dalam batas-batas
spiritualitas dan hubungan dengan Tuhan.6
6.3.
Kritik dari
Strukturalisme dan Postmodernisme
Strukturalisme dan
postmodernisme juga memberikan kritik mendalam terhadap eksistensialisme,
terutama dalam hal subjektivitas nilai dan kebebasan individu. Michel
Foucault dan Jacques Derrida berpendapat bahwa
gagasan eksistensialisme mengenai individu yang sepenuhnya bebas menciptakan
makna hidupnya sendiri terlalu menyederhanakan peran bahasa, budaya, dan
struktur sosial dalam membentuk identitas manusia.7
Foucault menyoroti bahwa
manusia tidak pernah benar-benar bebas dalam arti yang dikemukakan oleh Sartre,
karena keberadaan manusia selalu terikat pada struktur sosial, kekuasaan, dan
sejarah.8
Ia berpendapat bahwa kebebasan individu tidak bisa dilepaskan dari sistem
pengetahuan dan relasi kekuasaan yang membentuk manusia sejak lahir.
Derrida, melalui teori
dekonstruksinya, menolak gagasan bahwa manusia bisa memahami dan menciptakan
makna hidup dengan cara yang tegas dan final. Ia berargumen bahwa makna selalu
bersifat tidak stabil dan bergantung pada konteks.9 Kritik
ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam eksistensialisme mungkin lebih kompleks
daripada yang digambarkan oleh Sartre dan Camus.
6.4.
Kritik terhadap
Individualisme dan Isolasi dalam Eksistensialisme
Beberapa kritikus berpendapat
bahwa eksistensialisme terlalu menekankan individualisme sehingga mengabaikan
dimensi sosial dan kolektif dalam kehidupan manusia. Karl Marx,
misalnya, mengkritik eksistensialisme karena dianggap terlalu fokus pada
pengalaman subjektif individu dan gagal mempertimbangkan realitas ekonomi dan
sosial yang membentuk keberadaan manusia.10
Filsuf eksistensialis seperti
Sartre sendiri kemudian menyadari masalah ini dan mengembangkan gagasan eksistensialisme-Marxisme,
di mana kebebasan individu tetap diakui tetapi harus dipahami dalam konteks
sosial dan material.11 Namun, kritik terhadap
individualisme eksistensialisme tetap relevan, terutama dalam dunia modern yang
semakin menekankan hubungan kolektif dan komunitas.
6.5.
Kritik terhadap
Nihilisme dan Absurditas
Beberapa filsuf berpendapat
bahwa eksistensialisme, terutama dalam bentuk yang dikembangkan oleh Nietzsche
dan Camus, terlalu pesimis dan cenderung mengarah pada nihilisme.
Jika tidak ada makna inheren dalam hidup, mengapa manusia harus peduli terhadap
moralitas atau tujuan hidup? Kritik ini sering muncul dari kalangan filsafat
moral dan etika.12
Meskipun Camus menawarkan
konsep "pemberontakan melawan absurditas", banyak
kritikus yang tetap melihat pemikirannya sebagai bentuk nihilisme terselubung.13
Jika hidup tidak memiliki makna objektif, bukankah semua tindakan manusia pada
akhirnya sia-sia? Kritik ini menunjukkan tantangan utama bagi eksistensialisme
dalam menjawab pertanyaan tentang signifikansi hidup.
Kesimpulan
Eksistensialisme merupakan
filsafat yang menekankan kebebasan individu, subjektivitas nilai, dan pencarian
makna hidup. Namun, berbagai kritik telah diajukan terhadap aliran ini, mulai
dari keberatan moral objektivis, tantangan dari teologi agama, hingga kritik
strukturalisme dan postmodernisme.
Meskipun eksistensialisme
memberikan wawasan mendalam tentang kebebasan manusia, kritik terhadap
relativisme moral, nihilisme, dan individualisme yang berlebihan tetap menjadi
perdebatan filosofis yang menarik. Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa meskipun
eksistensialisme menawarkan perspektif yang kuat terhadap nilai dan kebebasan,
masih ada ruang untuk refleksi lebih lanjut mengenai bagaimana konsep-konsep
ini dapat diterapkan dalam kehidupan manusia secara lebih komprehensif.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, terj. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 54.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.
[3]
Ayn Rand, The Virtue of Selfishness (New York: Signet, 1964),
27.
[4]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton
University Press, 1983), 78.
[5]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being (South Bend: St.
Augustine’s Press, 2001), 92.
[6]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 55.
[7]
Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books,
1994), 310.
[9]
Jacques Derrida, Writing and Difference (Chicago: University
of Chicago Press, 1978), 20.
[10]
Karl Marx, The German Ideology, terj. C. J. Arthur (New York:
International Publishers, 1970), 85.
[11]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, terj. Alan
Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 150.
[12]
William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy
(New York: Anchor Books, 1990), 198.
[13]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 65.
7.
Kesimpulan
Eksistensialisme merupakan
salah satu aliran filsafat yang paling berpengaruh dalam pemikiran modern.
Dengan menekankan kebebasan individu, tanggung jawab eksistensial, serta
subjektivitas dalam pencarian makna hidup, filsafat ini memberikan perspektif
yang unik dalam memahami nilai-nilai manusia. Gagasan bahwa "eksistensi
mendahului esensi" yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre1
menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki hakikat bawaan dan harus menciptakan
dirinya sendiri melalui tindakan dan pilihan-pilihannya.
Sejarah perkembangan
eksistensialisme menunjukkan bahwa aliran ini tidak muncul dalam ruang hampa,
melainkan merupakan respons terhadap krisis nilai yang terjadi dalam filsafat
dan masyarakat. Søren Kierkegaard, sebagai salah satu perintis
eksistensialisme religius, menekankan pentingnya iman dan keberanian dalam
menghadapi absurditas hidup2. Friedrich
Nietzsche, di sisi lain, menolak nilai-nilai moral tradisional dan
menyerukan penciptaan nilai baru melalui konsep "Übermensch"3.
Martin Heidegger memperkenalkan konsep Dasein,
yang mengajarkan bahwa manusia harus hidup secara autentik dengan kesadaran
penuh akan keberadaannya4. Albert Camus
menambahkan bahwa meskipun hidup itu absurd, manusia harus tetap memberontak
dan menciptakan makna bagi dirinya sendiri5.
Dalam konteks nilai-nilai
moral, eksistensialisme menolak gagasan bahwa kebaikan dan keburukan bersifat
absolut dan objektif. Sebaliknya, filsafat ini berpendapat bahwa nilai muncul
dari keputusan individu yang bebas. Namun, konsep ini menuai berbagai kritik.
Para pemikir objektivis berargumen bahwa tanpa standar moral
yang objektif, eksistensialisme dapat mengarah pada relativisme moral yang
berbahaya6. Dari perspektif agama,
eksistensialisme ateistik dinilai mengabaikan aspek spiritual dan hubungan
manusia dengan Tuhan7.
Strukturalisme dan postmodernisme, seperti yang dikembangkan
oleh Michel Foucault dan Jacques Derrida,
juga mengkritik eksistensialisme karena terlalu menekankan individualitas dan
mengabaikan peran struktur sosial dalam membentuk identitas manusia8.
Meskipun menghadapi berbagai
kritik, eksistensialisme tetap relevan dalam diskusi filsafat kontemporer,
terutama dalam menghadapi tantangan modernitas. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan penuh ketidakpastian, eksistensialisme menawarkan pendekatan yang
mendorong individu untuk bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Filosofi
ini mengajarkan bahwa kebebasan bukan sekadar hak, tetapi juga beban
yang harus dipikul dengan kesadaran penuh9.
Pada akhirnya,
eksistensialisme bukan hanya sekadar teori filsafat, tetapi juga sebuah cara
hidup yang mengajarkan pentingnya keberanian dalam menghadapi absurditas dan
menciptakan makna dalam dunia yang tidak memberikan makna inheren. Meskipun
tidak memberikan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
nilai dan moralitas, eksistensialisme tetap menjadi pandangan yang kuat dalam
menegaskan pentingnya kebebasan, autentisitas, dan tanggung jawab individu.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton
University Press, 1983), 85.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 145.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 223.
[5]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 32.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.
[7]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being (South Bend: St.
Augustine’s Press, 2001), 92.
[8]
Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books,
1994), 310.
[9]
William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy
(New York: Anchor Books, 1990), 198.
Daftar Pustaka
Barrett, W. (1990). Irrational
man: A study in existential philosophy. Anchor Books.
Camus, A. (1991). The
myth of Sisyphus (J. O'Brien, Trans.). Vintage International.
(Original work published 1942).
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Foucault, M. (1994). The
order of things. Vintage Books.
Gregory, M. (Ed.). (1997). Immanuel
Kant: Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.).
Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper &
Row. (Original work published 1927).
Iqbal, M. (1930). The
reconstruction of religious thought in Islam. Shaikh Muhammad
Ashraf.
Kierkegaard, S. (1983). Fear
and trembling (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton
University Press. (Original work published 1843).
Marcel, G. (2001). The
mystery of being (G. S. Fraser, Trans.). St. Augustine’s Press.
Marx, K. (1970). The
German ideology (C. J. Arthur, Ed.). International Publishers.
(Original work published 1846).
Nietzsche, F. (1978). Thus
spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books. (Original
work published 1883).
Nietzsche, F. (1989). Beyond
good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1886).
Rand, A. (1964). The
virtue of selfishness. Signet.
Sartre, J.-P. (1964). Nausea
(L. Alexander, Trans.). New Directions. (Original work published 1938).
Sartre, J.-P. (1989). No
exit and three other plays (S. Gilbert, Trans.). Vintage
International. (Original work published 1944).
Sartre, J.-P. (2004). Critique
of dialectical reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso. (Original
work published 1960).
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
(Original work published 1946).
Schopenhauer, A. (1969). The
world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover.
(Original work published 1818).
Solomon, R. C. (2005). Existentialism.
Oxford University Press.
Plato. (1992). Republic
(G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published ca. 375
BCE).
Lampiran: Pandangan Agama Islam terhadap
Eksistensialisme
Eksistensialisme sebagai
aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu, subjektivitas nilai, dan
pencarian makna hidup memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan pandangan
Islam tentang keberadaan manusia dan tujuan hidup. Islam, sebagai agama yang
memiliki landasan teologis dan moral yang kuat, mengajarkan bahwa makna hidup
bukanlah sesuatu yang harus diciptakan secara subjektif oleh individu,
melainkan telah ditentukan oleh Allah Swt dalam wahyu-Nya.
1.
Keberadaan Manusia: Antara Kebebasan dan
Ketundukan kepada Allah
Dalam Islam, manusia
diciptakan oleh Allah dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk beribadah
kepada-Nya sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (Qs.
Adz-Dzariyat [51] ayat 56).1
Konsep ini bertentangan
dengan gagasan Jean-Paul Sartre yang menyatakan bahwa manusia
"dikutuk untuk bebas" (condemned to be free), karena
dalam Islam kebebasan manusia bukanlah kebebasan mutlak, melainkan kebebasan
yang harus diiringi dengan ketundukan kepada hukum-hukum Allah.2
Dalam perspektif Islam, kebebasan manusia harus tetap berada dalam batas-batas
yang ditetapkan oleh syariat.
Namun, Islam juga mengakui
kebebasan kehendak (ikhtiyar), sebagaimana dijelaskan dalam banyak
ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia memiliki pilihan dalam hidupnya.
Akan tetapi, kebebasan ini tidak berarti manusia bebas menentukan nilai moral
sendiri tanpa bimbingan dari wahyu.3
2.
Nilai dan Moralitas: Obyektivitas vs.
Subjektivitas
Eksistensialisme, terutama
dalam pemikiran Nietzsche dan Sartre, menolak
konsep moralitas yang bersifat objektif dan universal. Nietzsche bahkan
mengumumkan "kematian Tuhan" yang berarti manusia harus
menciptakan moralitasnya sendiri.4 Sebaliknya,
Islam mengajarkan bahwa nilai-nilai moral bersumber dari wahyu Ilahi dan bukan
sekadar konstruksi subjektif manusia.
Dalam Islam, standar moral
tidak didasarkan pada keputusan individual semata, tetapi pada ajaran Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana dalam hadits Nabi:
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
"Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Al-Baihaqi).5
Dengan demikian, pandangan
Islam lebih dekat dengan sistem etika objektif dibandingkan
dengan relativisme moral dalam eksistensialisme. Islam memandang bahwa manusia
membutuhkan bimbingan Ilahi untuk mencapai kebahagiaan sejati, bukan hanya
pencarian makna subjektif seperti yang ditekankan dalam eksistensialisme.
3.
Konsep Makna Hidup: Tujuan Eksistensial dalam
Islam
Eksistensialisme menyatakan
bahwa hidup itu tidak memiliki makna inheren, sehingga manusia sendiri yang
harus menciptakan maknanya. Albert Camus bahkan menggambarkan
kehidupan sebagai sesuatu yang absurd dan tanpa tujuan.6
Islam menolak gagasan
absurditas dalam kehidupan. Sebaliknya, Islam menegaskan bahwa kehidupan
memiliki tujuan yang jelas, yaitu sebagai ujian untuk menentukan siapa yang
beramal terbaik, sebagaimana firman Allah:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ
"Dialah yang menciptakan mati dan
hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya."
(Qs. Al-Mulk [67] ayat 2).7
Dalam perspektif Islam, makna
hidup tidak ditemukan melalui pengalaman subjektif individu, tetapi melalui
hubungan dengan Allah dan amal kebajikan. Dengan kata lain, eksistensi manusia
dalam Islam bukanlah sesuatu yang absurd atau tidak memiliki arah, tetapi
memiliki makna yang jelas dan terarah.
4.
Kritik Islam terhadap Nihilisme dan
Keputusasaan Eksistensial
Eksistensialisme sering
dikaitkan dengan nihilisme, yaitu pandangan bahwa hidup tidak
memiliki makna objektif. Pandangan ini dapat mengarah pada keputusasaan dan
kehilangan harapan, sebagaimana tergambar dalam konsep "mual
eksistensial" (nausea) Sartre dan absurditas Camus.8
Islam menentang nihilisme dan
keputusasaan. Sebaliknya, Islam mengajarkan sikap optimisme dan
tawakkal kepada Allah. Dalam Islam, seseorang tidak boleh berputus asa
dari rahmat Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ
إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
"Janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir." (Qs. Yusuf [12] ayat 87).9
Islam memandang bahwa hidup
manusia memiliki tujuan yang jelas, dan dalam menghadapi penderitaan, manusia
harus bersabar dan berserah diri kepada Allah. Oleh karena itu, keputusasaan
dalam eksistensialisme bertentangan dengan konsep Islam yang mengajarkan
ketenangan jiwa melalui iman dan ibadah.
5.
Perbandingan Islam dan Eksistensialisme dalam
Perspektif Spiritual
Islam tidak menolak refleksi
filosofis terhadap makna hidup, tetapi pandangannya lebih bersifat
transendental dibandingkan eksistensialisme yang cenderung sekuler. Muhammad
Iqbal, seorang filsuf Muslim modern, berpendapat bahwa kebebasan
manusia harus tetap berada dalam batas-batas spiritualitas dan keimanan kepada
Tuhan.10
Jika eksistensialisme
menekankan bahwa manusia harus menciptakan dirinya sendiri tanpa batasan
metafisik, Islam menegaskan bahwa manusia harus mengenali dirinya sendiri untuk
mencapai makrifatullah (pengenalan akan Allah), sebagaimana hadits
yang menyatakan:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
"Barang siapa mengenal dirinya,
maka ia akan mengenal Tuhannya." (HR. Abu Nu’aim).11
Dengan demikian, Islam tidak
menolak kebebasan individu, tetapi kebebasan tersebut harus diarahkan pada
pencarian makna yang sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu beribadah
kepada Allah.
Kesimpulan
Pandangan Islam terhadap
eksistensialisme bersifat kritis, terutama dalam aspek kebebasan absolut, subjektivitas
nilai, dan absurditas hidup. Islam mengajarkan bahwa nilai moral bersumber dari
wahyu, bukan dari konstruksi subjektif manusia. Selain itu, makna hidup dalam
Islam sudah ditentukan oleh Allah dan bukan sesuatu yang harus diciptakan oleh
individu secara mandiri.
Meskipun Islam tidak menolak
refleksi filosofis terhadap keberadaan manusia, Islam menegaskan bahwa
pencarian makna hidup harus didasarkan pada hubungan dengan Allah dan tujuan
akhirat. Oleh karena itu, meskipun eksistensialisme menawarkan perspektif yang
menarik dalam memahami kebebasan manusia, Islam memberikan jawaban yang lebih
utuh dengan mengaitkan kebebasan tersebut dengan tanggung jawab spiritual dan
moral.
Footnotes
[1]
Al-Qur'an, Adz-Dzariyat [51] ayat 56.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 25.
[3]
Al-Qur'an, Al-Kahfi [18] ayat 29.
[4]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 145.
[5]
Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, no. 6137.
[6]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 32.
[7]
Al-Qur'an, Al-Mulk [67] ayat 2.
[8]
Jean-Paul Sartre, Nausea, terj. Lloyd Alexander (New York: New
Directions, 1964), 133.
[9]
Al-Qur'an, Yusuf [12] ayat 87.
[10]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 55.
[11]
Abu Nu’aim, Hilyat al-Awliya, vol. 10, p. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar