Rabu, 26 Februari 2025

Eksistensialisme: Pandangan Filsafat terhadap Nilai, Kebebasan, dan Makna Hidup

Eksistensialisme

Pandangan Filsafat terhadap Nilai, Kebebasan, dan Makna Hidup


Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Nilai-Nilai


Abstrak

Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu, tanggung jawab eksistensial, serta pencarian makna hidup yang subjektif. Artikel ini mengkaji eksistensialisme dalam konteks nilai-nilai, kebebasan, dan makna hidup melalui pemikiran para filsuf utama seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus. Pembahasan mencakup definisi dan sejarah eksistensialisme, prinsip-prinsip utamanya seperti kebebasan dan autentisitas, serta pengaruh eksistensialisme terhadap konsep nilai dan moralitas. Artikel ini juga menyoroti berbagai kritik terhadap eksistensialisme, termasuk dari perspektif objektivisme, agama, strukturalisme, dan postmodernisme. Meskipun eksistensialisme sering dikritik karena cenderung mengarah pada relativisme moral dan nihilisme, filsafat ini tetap relevan dalam menjawab tantangan modernitas dengan menegaskan pentingnya kebebasan dan tanggung jawab individu. Dengan demikian, eksistensialisme bukan hanya menawarkan analisis filosofis terhadap keberadaan manusia, tetapi juga memberikan wawasan mendalam mengenai bagaimana manusia dapat menjalani kehidupan yang lebih autentik dalam dunia yang tidak memiliki makna inheren.

Kata Kunci: Eksistensialisme, Kebebasan, Makna Hidup, Nilai, Nihilisme, Autentisitas, Filsafat Modern, Jean-Paul Sartre, Friedrich Nietzsche, Søren Kierkegaard.


PEMBAHASAN

Aliran Filsafat Eksistensialisme


1.           Pendahuluan

Eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat yang menitikberatkan pada pengalaman subjektif individu, kebebasan, serta pencarian makna dalam kehidupan. Aliran ini berkembang sebagai respons terhadap filsafat rasionalisme dan empirisme yang lebih menekankan pada objektivitas dan universalitas dalam memahami realitas. Eksistensialisme tidak hanya mempengaruhi pemikiran filsafat, tetapi juga berdampak luas dalam bidang sastra, seni, psikologi, dan teologi. Dalam konteks filsafat nilai, eksistensialisme menawarkan perspektif yang unik, di mana nilai-nilai moral dan etika bukan merupakan sesuatu yang diberikan secara objektif, melainkan sesuatu yang dibentuk secara subjektif oleh individu dalam keterlibatannya dengan dunia dan pengalaman hidupnya.

Pemikiran eksistensialisme berakar dari filsafat abad ke-19, khususnya dari pemikiran Søren Kierkegaard (1813–1855) dan Friedrich Nietzsche (1844–1900). Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme karena menekankan pentingnya pengalaman individu dalam menemukan makna hidup dan hubungannya dengan Tuhan.1 Sementara itu, Nietzsche lebih menekankan pada gagasan "kematian Tuhan" dan bagaimana manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri dalam dunia yang tidak memiliki makna inheren.2 Meskipun berbeda dalam pendekatan, kedua filsuf ini sama-sama menolak konsep nilai yang bersifat universal dan objektif, yang sebelumnya dikukuhkan oleh tradisi filsafat klasik dan skolastik.

Pada abad ke-20, eksistensialisme berkembang lebih luas melalui tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, dan Albert Camus. Sartre mengembangkan gagasan "eksistensi mendahului esensi," yang berarti bahwa manusia tidak memiliki hakikat bawaan, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan yang ia ambil dalam hidupnya.3 Heidegger, dalam karyanya Being and Time, menyoroti konsep Dasein (keberadaan manusia) yang harus menghadapi kefanaan dan kecemasan eksistensial untuk menemukan keotentikan dirinya.4 Sementara itu, Camus memperkenalkan konsep absurditas, di mana manusia hidup dalam dunia yang tidak memberikan makna secara inheren, sehingga individu harus menemukan atau menciptakan makna hidupnya sendiri.5

Eksistensialisme juga memiliki pengaruh besar dalam filsafat moral. Berbeda dengan pendekatan etika deontologis Immanuel Kant atau utilitarianisme John Stuart Mill, eksistensialisme menekankan bahwa nilai-nilai moral tidak bersumber dari aturan yang objektif atau konsekuensi dari tindakan tertentu, melainkan dari keputusan individu yang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.6 Dengan demikian, eksistensialisme mengedepankan kebebasan individu dalam membangun nilai-nilai moralnya sendiri, meskipun kebebasan ini juga membawa beban tanggung jawab yang besar.

Artikel ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang eksistensialisme sebagai aliran filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai, kebebasan, dan makna hidup. Pembahasan akan mencakup sejarah dan perkembangan eksistensialisme, prinsip-prinsip utama yang melandasi pemikiran ini, tokoh-tokoh kunci beserta gagasannya, serta kritik yang dialamatkan terhadap aliran ini. Melalui kajian ini, diharapkan pembaca dapat memahami relevansi eksistensialisme dalam kehidupan modern serta bagaimana filsafat ini menawarkan pandangan unik terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang keberadaan manusia.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1983), 67.

[2]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 125.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 32.

[6]                Charles Guignon, The Existentialists: Critical Essays on Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, and Sartre (Lanham: Rowman & Littlefield, 2004), 98.


2.           Pengertian dan Sejarah Eksistensialisme

2.1.       Pengertian Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah sebuah aliran filsafat yang berfokus pada eksistensi individu, kebebasan, dan tanggung jawab dalam menentukan makna hidupnya sendiri. Filsafat ini menolak esensialisme yang beranggapan bahwa manusia memiliki hakikat tetap yang sudah ditentukan sejak awal. Sebaliknya, eksistensialisme berpandangan bahwa manusia harus membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.1

Jean-Paul Sartre, salah satu filsuf eksistensialis utama abad ke-20, mengungkapkan gagasan penting bahwa "eksistensi mendahului esensi" (existence precedes essence). Pernyataan ini berarti bahwa manusia pertama-tama ada (eksis) sebelum menentukan makna dan tujuan hidupnya.2 Dengan kata lain, manusia tidak memiliki esensi yang sudah ditentukan sebelum lahir, melainkan harus membangun dirinya sendiri melalui keputusan dan tindakan yang ia ambil sepanjang hidupnya.

Secara umum, eksistensialisme menekankan beberapa aspek utama, di antaranya:

1)                  Kebebasan dan Tanggung Jawab – Manusia bebas menentukan jalannya sendiri, tetapi kebebasan ini datang dengan tanggung jawab penuh terhadap pilihan yang dibuatnya.3

2)                  Autentisitas – Hidup yang bermakna adalah hidup yang dijalani dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab eksistensial.4

3)                  Absurditas dan Kecemasan – Kehidupan manusia sering kali terasa absurd karena tidak memiliki makna inheren, sehingga individu harus menciptakan maknanya sendiri.5

4)                  Penolakan terhadap Determinisme – Eksistensialisme menolak gagasan bahwa hidup manusia dikendalikan oleh faktor eksternal seperti Tuhan, takdir, atau hukum alam yang ketat.6

Eksistensialisme bukan hanya sebuah filsafat akademik, tetapi juga berpengaruh dalam sastra, seni, psikologi, dan bahkan teologi. Pemikirannya tidak hanya membahas filsafat secara teoretis, tetapi juga menyentuh pengalaman manusia secara konkret dalam kehidupan sehari-hari.

2.2.       Sejarah dan Perkembangan Eksistensialisme

Eksistensialisme tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkembang dari gagasan-gagasan filosofis yang telah ada sebelumnya. Beberapa pemikir yang dianggap sebagai pelopor pemikiran eksistensialisme adalah Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, dan Jean-Paul Sartre.

2.2.1.    Søren Kierkegaard: Eksistensialisme Religius

Søren Kierkegaard (1813–1855) sering disebut sebagai bapak eksistensialisme karena ia menolak sistem filsafat Hegelian yang menekankan rasionalitas absolut dalam memahami realitas. Menurut Kierkegaard, manusia adalah makhluk yang mengalami kecemasan eksistensial (angst) dalam mencari makna hidup.7 Ia percaya bahwa manusia harus berani mengambil "lompatan iman" (leap of faith) untuk menemukan makna sejati melalui hubungan personal dengan Tuhan.8

Dalam karyanya Fear and Trembling, Kierkegaard menyoroti kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Tuhan untuk mengorbankan putranya, Ishak. Ia berargumen bahwa tindakan Ibrahim bukanlah sesuatu yang dapat dipahami secara rasional, tetapi merupakan bentuk keimanan yang tulus dan penuh risiko.9 Hal ini mencerminkan salah satu prinsip utama eksistensialisme: keberanian untuk menghadapi ketidakpastian dan absurditas dalam hidup.

2.2.2.    Friedrich Nietzsche: Nihilisme dan Penciptaan Nilai

Friedrich Nietzsche (1844–1900) dikenal dengan gagasannya tentang nihilisme dan "kematian Tuhan" (God is dead). Ia berpendapat bahwa manusia modern telah kehilangan pegangan terhadap nilai-nilai tradisional yang sebelumnya diberikan oleh agama dan filsafat moral.10 Menurut Nietzsche, dengan hilangnya nilai-nilai absolut, manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri dan menjadi Übermensch (manusia unggul) yang mampu menentukan jalan hidupnya sendiri.11

Salah satu konsep penting dari Nietzsche adalah will to power (kehendak untuk berkuasa), yaitu dorongan fundamental dalam diri manusia untuk mencapai kebesaran dan membangun makna hidupnya sendiri tanpa bergantung pada otoritas eksternal.12

2.2.3.    Martin Heidegger: Dasein dan Otentisitas

Martin Heidegger (1889–1976) memperkenalkan konsep Dasein, yang berarti "keberadaan manusia" dalam bukunya Being and Time. Ia berargumen bahwa manusia selalu berada dalam dunia yang penuh kemungkinan, tetapi banyak yang menjalani hidup secara tidak otentik, mengikuti norma dan ekspektasi sosial tanpa kesadaran penuh akan keberadaannya.13

Heidegger juga menyoroti konsep kecemasan eksistensial, yaitu perasaan gelisah yang muncul ketika seseorang menyadari kefanaan dan keterbatasan dirinya.14 Menurutnya, hanya dengan menghadapi kematian dan menerima absurditas hidup, seseorang dapat mencapai keotentikan dan menemukan makna sejati dalam keberadaannya.

2.2.4.    Jean-Paul Sartre: Eksistensi Mendahului Esensi

Jean-Paul Sartre (1905–1980) adalah tokoh utama eksistensialisme ateistik. Ia menegaskan bahwa manusia bebas secara radikal dan tidak memiliki esensi atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.15 Dalam bukunya Existentialism Is a Humanism, Sartre menegaskan bahwa karena manusia bebas, ia juga bertanggung jawab penuh atas setiap keputusan yang diambilnya.16

Bagi Sartre, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi, karena membawa beban eksistensial berupa kecemasan dan tanggung jawab yang besar terhadap kehidupan seseorang sendiri.17


Kesimpulan

Eksistensialisme berkembang dari pemikiran beberapa filsuf besar yang menyoroti kebebasan individu, absurditas kehidupan, dan tanggung jawab dalam menciptakan makna hidup. Dari Kierkegaard yang menekankan lompatan iman, Nietzsche yang menyerukan penciptaan nilai baru, Heidegger yang membahas otentisitas, hingga Sartre yang menegaskan kebebasan radikal manusia, eksistensialisme menjadi salah satu aliran filsafat yang memiliki pengaruh luas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kehidupan.


Footnotes

[1]                Robert C. Solomon, Existentialism (New York: Oxford University Press, 2005), 12.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[3]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 134.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 28.

[6]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 55.

[7]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1983), 78.

[8]                Ibid., 82.

[9]                Ibid., 90.

[10]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 130.

[11]             Ibid., 145.

[12]             Ibid., 210.

[13]             Heidegger, Being and Time, 223.

[14]             Ibid., 310.

[15]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 25.

[16]             Ibid., 32.

[17]             Ibid., 40.

[18]            

3.           Prinsip-Prinsip Utama Eksistensialisme

Eksistensialisme sebagai aliran filsafat memiliki beberapa prinsip utama yang membedakannya dari aliran filsafat lainnya. Prinsip-prinsip ini menekankan kebebasan individu, tanggung jawab, makna hidup yang subjektif, absurditas keberadaan, serta kecemasan dan alienasi yang melekat dalam kehidupan manusia. Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus memberikan kontribusi besar dalam merumuskan prinsip-prinsip tersebut.

3.1.       Kebebasan dan Tanggung Jawab Individu

Salah satu prinsip utama eksistensialisme adalah kebebasan individu dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Jean-Paul Sartre berpendapat bahwa manusia tidak memiliki esensi bawaan yang sudah ditentukan sebelumnya, tetapi membentuk dirinya sendiri melalui tindakan dan keputusan yang diambilnya dalam kehidupan. Inilah yang ia maksud dengan ungkapan "eksistensi mendahului esensi" (existence precedes essence).1

Sartre menekankan bahwa kebebasan ini bukanlah sesuatu yang ringan, melainkan membawa konsekuensi besar berupa tanggung jawab eksistensial. Setiap individu bertanggung jawab penuh atas setiap pilihannya, tanpa bisa mengandalkan nilai-nilai eksternal yang sudah ada sebelumnya.2 Dengan kata lain, individu tidak dapat menyalahkan takdir, Tuhan, atau masyarakat atas pilihan yang diambilnya, karena dialah yang sepenuhnya menentukan makna hidupnya sendiri.

Konsep ini bertolak belakang dengan gagasan determinisme yang menyatakan bahwa kehidupan manusia telah ditentukan sebelumnya oleh faktor eksternal seperti hukum alam atau kehendak ilahi. Sartre menolak gagasan ini dengan menyatakan bahwa "manusia dikutuk untuk bebas" (man is condemned to be free), karena meskipun manusia tidak memilih untuk dilahirkan, ia harus memilih bagaimana menjalani hidupnya.3

3.2.       Autentisitas dan Keberadaan Diri

Dalam filsafat eksistensialisme, autentisitas (authenticity) merujuk pada kesadaran individu dalam menjalani hidup secara penuh sesuai dengan nilai-nilai dan keputusan pribadinya, bukan sekadar mengikuti norma sosial atau tekanan eksternal. Martin Heidegger dalam karyanya Being and Time menyoroti bagaimana kebanyakan manusia hidup dalam kondisi "Das Man", di mana mereka hanya mengikuti kebiasaan dan ekspektasi masyarakat tanpa benar-benar menyadari keberadaannya.4

Menurut Heidegger, untuk mencapai keotentikan (authentic existence), manusia harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa keberadaannya adalah sesuatu yang fana, sementara, dan tidak memiliki makna inheren.5 Kesadaran ini mendorong individu untuk mencari makna yang sejati dalam kehidupannya sendiri, bukan hanya mengikuti apa yang sudah dianggap benar oleh masyarakat.

Konsep autentisitas juga berhubungan erat dengan pemikiran Kierkegaard tentang "lompatan iman" (leap of faith), di mana individu harus membuat keputusan eksistensial yang radikal dalam menentukan jalannya sendiri, bahkan jika keputusan tersebut bertentangan dengan pemikiran umum.6

3.3.       Subjektivitas dan Makna Hidup

Eksistensialisme menolak gagasan bahwa makna hidup adalah sesuatu yang objektif dan sudah ada sebelum manusia lahir. Sebaliknya, makna hidup adalah sesuatu yang harus diciptakan oleh individu itu sendiri. Hal ini pertama kali ditegaskan oleh Kierkegaard, yang menolak sistem filsafat rasionalis seperti yang dikembangkan oleh Hegel karena dianggap mengabaikan pengalaman subjektif manusia dalam menghadapi keberadaan.7

Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menjelaskan bahwa kehidupan manusia pada dasarnya absurd karena tidak ada makna inheren dalam dunia ini. Namun, manusia memiliki kemampuan untuk menerima absurditas dan tetap menjalani hidup dengan pemberontakan batin, yang disebutnya sebagai "pemberontakan melawan absurditas" (revolt against absurdity).8 Dengan cara ini, manusia dapat menemukan makna meskipun ia tahu bahwa kehidupan tidak memiliki tujuan yang pasti.

Konsep ini juga berhubungan dengan pemikiran Nietzsche tentang "penciptaan nilai". Karena nilai-nilai tradisional dianggap tidak lagi relevan setelah "kematian Tuhan", manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri untuk memberikan makna pada kehidupannya.9

3.4.       Kecemasan dan Alienasi

Eksistensialisme juga menyoroti perasaan kecemasan (angst) dan keterasingan (alienation) yang dialami manusia dalam menghadapi kebebasan dan absurditas hidup. Kierkegaard adalah salah satu filsuf pertama yang membahas kecemasan eksistensial, yang ia gambarkan sebagai kesadaran akan kemungkinan tak terbatas dalam kehidupan manusia.10

Heidegger juga membahas kecemasan ini dalam konteks keberadaan manusia. Ia menyebutnya sebagai "kecemasan eksistensial" (existential anxiety), yang terjadi ketika seseorang menyadari bahwa hidupnya tidak memiliki makna yang sudah ditentukan sebelumnya dan bahwa ia harus menentukan jalannya sendiri.11

Sementara itu, Sartre menggambarkan perasaan ini sebagai "nausea" atau mual eksistensial, yang muncul ketika seseorang menyadari betapa absurd dan tak terarahnya kehidupan.12 Perasaan ini dapat menyebabkan individu merasa terasing dari dunia dan bahkan dari dirinya sendiri, tetapi juga dapat menjadi dorongan untuk mencari makna yang lebih autentik dalam hidup.


Kesimpulan

Prinsip-prinsip utama eksistensialisme berpusat pada kebebasan individu dalam menentukan hidupnya sendiri, keharusan untuk hidup secara autentik, penciptaan makna secara subjektif, serta kecemasan dan keterasingan sebagai bagian dari pengalaman manusia. Eksistensialisme menolak konsep nilai yang bersifat objektif dan deterministik, serta menekankan bahwa manusia adalah arsitek dari kehidupannya sendiri.

Melalui pemikiran para filsuf eksistensialis seperti Sartre, Heidegger, Kierkegaard, Nietzsche, dan Camus, aliran filsafat ini telah memberikan kontribusi besar dalam memahami kompleksitas kehidupan manusia, serta tantangan dan peluang yang menyertainya.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20.

[2]                Ibid., 25.

[3]                Ibid., 28.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210.

[5]                Ibid., 223.

[6]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1983), 67.

[7]                Ibid., 78.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 32.

[9]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 145.

[10]             Kierkegaard, Fear and Trembling, 95.

[11]             Heidegger, Being and Time, 310.

[12]             Jean-Paul Sartre, Nausea, terj. Lloyd Alexander (New York: New Directions, 1964), 133.


4.           Tokoh-Tokoh Eksistensialisme dan Gagasan Mereka

Eksistensialisme berkembang melalui kontribusi para filsuf besar yang memberikan dasar-dasar pemikirannya dalam berbagai aspek, mulai dari kebebasan individu, nilai-nilai moral, hingga absurditas kehidupan. Beberapa tokoh utama yang berperan besar dalam membentuk filsafat eksistensialisme adalah Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus. Masing-masing dari mereka memiliki pendekatan yang unik terhadap eksistensialisme, baik dalam konteks religius maupun ateistik.

4.1.       Søren Kierkegaard: Eksistensialisme Religius dan Lompatan Iman

Søren Kierkegaard (1813–1855) adalah seorang filsuf Denmark yang sering dianggap sebagai bapak eksistensialisme. Ia mengkritik sistem filsafat Hegelian yang terlalu rasional dan menekankan bahwa pengalaman subjektif individu lebih penting dalam memahami realitas dan nilai-nilai kehidupan.1

Salah satu gagasan utamanya adalah "lompatan iman" (leap of faith), yaitu keyakinan bahwa manusia harus berani mengambil keputusan eksistensial yang melampaui rasionalitas dalam mencapai makna hidup, terutama dalam hubungan dengan Tuhan.2 Dalam karyanya Fear and Trembling, Kierkegaard mengangkat kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk mengorbankan putranya, Ishak. Keputusan Ibrahim untuk tetap beriman meskipun tidak masuk akal secara logika adalah contoh dari keberanian eksistensial yang ia maksud.3

Kierkegaard juga membahas konsep "keputusasaan eksistensial" (existential despair), yang muncul ketika seseorang gagal menemukan makna hidupnya.4 Ia berargumen bahwa manusia hanya bisa mencapai kebahagiaan sejati dengan hidup secara otentik dan memiliki hubungan yang mendalam dengan Tuhan.

4.2.       Friedrich Nietzsche: Nihilisme dan Kematian Tuhan

Friedrich Nietzsche (1844–1900) adalah filsuf Jerman yang membawa eksistensialisme ke dalam ranah ateisme. Ia terkenal dengan pernyataannya "Tuhan telah mati" (God is dead), yang berarti bahwa nilai-nilai moral yang selama ini berasal dari agama telah kehilangan otoritasnya dalam kehidupan manusia modern.5

Bagi Nietzsche, dengan hilangnya nilai-nilai absolut, manusia harus menciptakan maknanya sendiri. Ia memperkenalkan konsep "Übermensch" (superman atau manusia unggul), yaitu individu yang mampu melampaui nilai-nilai tradisional dan menciptakan standar moralnya sendiri.6 Nietzsche juga mengembangkan gagasan "will to power" (kehendak untuk berkuasa), yaitu dorongan fundamental dalam diri manusia untuk berkembang dan mendominasi lingkungannya.7

Menurutnya, nihilisme—kesadaran bahwa hidup tidak memiliki makna inheren—bisa menjadi peluang bagi manusia untuk membangun nilai-nilai baru yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan realitas kehidupan.8

4.3.       Martin Heidegger: Dasein dan Kecemasan Eksistensial

Martin Heidegger (1889–1976) adalah seorang filsuf Jerman yang berkontribusi besar terhadap eksistensialisme melalui konsep Dasein (keberadaan manusia). Dalam bukunya Being and Time, ia meneliti bagaimana manusia mengalami keberadaannya di dunia dan bagaimana ia dapat hidup secara autentik.9

Heidegger mengajukan perbedaan antara "hidup otentik" (authentic existence) dan "hidup tidak otentik" (inauthentic existence). Kebanyakan manusia, menurutnya, hidup dalam kondisi "Das Man", yaitu sekadar mengikuti norma dan kebiasaan sosial tanpa menyadari keberadaannya secara penuh.10

Salah satu gagasan penting Heidegger adalah "kecemasan eksistensial" (existential anxiety), yaitu perasaan yang muncul ketika seseorang menyadari keterbatasan dirinya dan kefanaannya.11 Kesadaran akan kematian, menurut Heidegger, adalah elemen kunci yang mendorong seseorang untuk mencari kehidupan yang lebih bermakna dan otentik.

4.4.       Jean-Paul Sartre: Kebebasan Radikal dan Tanggung Jawab

Jean-Paul Sartre (1905–1980) adalah filsuf Prancis yang menjadi tokoh utama eksistensialisme ateistik. Ia terkenal dengan ungkapannya "eksistensi mendahului esensi" (existence precedes essence), yang berarti bahwa manusia tidak memiliki hakikat bawaan dan harus membangun dirinya sendiri melalui keputusan dan tindakan yang diambilnya.12

Menurut Sartre, manusia "dikutuk untuk bebas" (condemned to be free), yang berarti bahwa kebebasan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.13 Namun, kebebasan ini juga membawa beban tanggung jawab yang besar, karena setiap individu harus mempertanggungjawabkan pilihannya tanpa bergantung pada otoritas eksternal seperti agama atau tradisi.14

Sartre juga mengembangkan konsep "mual eksistensial" (nausea), yaitu perasaan tidak nyaman yang muncul ketika seseorang menyadari betapa absurd dan tidak berartinya realitas.15

4.5.       Albert Camus: Absurditas dan Pemberontakan

Albert Camus (1913–1960) adalah seorang filsuf Prancis yang mengembangkan konsep "filosofi absurditas" (philosophy of the absurd). Dalam bukunya The Myth of Sisyphus, ia menggambarkan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang absurd, karena manusia terus mencari makna dalam dunia yang tidak memiliki makna inheren.16

Camus menolak nihilisme yang pasif dan justru menganjurkan "pemberontakan melawan absurditas" (revolt against absurdity). Ia berpendapat bahwa meskipun hidup tidak memiliki tujuan mutlak, manusia harus tetap menjalani hidup dengan penuh semangat dan pemberontakan terhadap ketidakpastian.17

Konsep ini diilustrasikan dalam mitos Sisyphus, di mana seorang raja Yunani dikutuk untuk mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Bagi Camus, Sisyphus adalah simbol manusia yang menerima absurditas hidup tetapi tetap menjalani kehidupannya dengan kesadaran penuh.18


Kesimpulan

Eksistensialisme berkembang melalui pemikiran para filsuf besar dengan perspektif yang berbeda-beda. Kierkegaard menawarkan eksistensialisme religius dengan "lompatan iman," sementara Nietzsche menekankan nihilisme dan penciptaan nilai. Heidegger membahas autentisitas dan kecemasan eksistensial, sedangkan Sartre mengembangkan gagasan kebebasan radikal. Camus, di sisi lain, menjelaskan absurditas kehidupan dan pentingnya pemberontakan melawan ketidakbermaknaan.

Meskipun berbeda dalam pendekatan, para pemikir eksistensialis sepakat bahwa manusia harus menemukan atau menciptakan maknanya sendiri dalam dunia yang tidak memberikan makna inheren.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1983), 67.

[2]                Ibid., 85.

[3]                Ibid., 90.

[4]                Ibid., 110.

[5]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 125.

[6]                Ibid., 145.

[7]                Ibid., 210.

[8]                Ibid., 250.

[9]                Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 223.

[10]             Ibid., 240.

[11]             Ibid., 310.

[12]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 20.

[13]             Ibid., 28.

[14]             Ibid., 35.

[15]             Jean-Paul Sartre, Nausea, terj. Lloyd Alexander (New York: New Directions, 1964), 133.

[16]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 32.

[17]             Ibid., 50.

[18]             Ibid., 65.


5.           Eksistensialisme dalam Konteks Nilai-Nilai

Eksistensialisme memiliki implikasi yang mendalam terhadap konsep nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Tidak seperti sistem etika tradisional yang berlandaskan pada hukum moral objektif atau perintah ilahi, eksistensialisme menekankan bahwa nilai-nilai moral bukanlah sesuatu yang diberikan dari luar, melainkan diciptakan oleh individu sendiri melalui kebebasan dan tanggung jawabnya. Dalam filsafat eksistensialis, nilai-nilai bersifat subjektif, kontekstual, dan bergantung pada pengalaman serta pilihan individu.

Pemikiran eksistensialis tentang nilai-nilai ini berakar dari gagasan utama para filsuf seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, dan Albert Camus, yang masing-masing memberikan perspektif unik mengenai asal-usul dan makna nilai dalam kehidupan manusia.

5.1.       Relasi antara Eksistensialisme dengan Etika dan Moralitas

Salah satu pertanyaan fundamental dalam filsafat eksistensialisme adalah apakah nilai-nilai moral bersifat absolut atau relatif. Dalam sistem etika tradisional, seperti yang ditemukan dalam filsafat Immanuel Kant, moralitas didasarkan pada prinsip-prinsip rasional yang bersifat universal, seperti imperatif kategoris.1 Sebaliknya, dalam eksistensialisme, tidak ada aturan moral universal yang mengikat manusia secara eksternal; setiap individu harus menciptakan dan memilih nilai-nilainya sendiri secara sadar dan bertanggung jawab.2

Jean-Paul Sartre berargumen bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti bahwa manusia tidak memiliki kodrat yang telah ditentukan sebelumnya, dan karena itu harus membangun nilai-nilai hidupnya sendiri berdasarkan kebebasan yang ia miliki.3 Sartre menolak konsep nilai-nilai objektif yang ditentukan oleh agama atau tradisi dan menegaskan bahwa nilai muncul dari keputusan individu dalam menjalani hidupnya.4

Martin Heidegger dalam Being and Time juga menyatakan bahwa nilai-nilai moral hanya dapat ditemukan melalui keberadaan manusia secara otentik. Individu yang hidup secara tidak otentik cenderung mengikuti norma-norma sosial tanpa menyadari kebebasannya untuk memilih.5 Dengan kata lain, nilai dalam eksistensialisme bersumber dari keberanian untuk menghadapi kenyataan dan membuat keputusan sendiri.

5.2.       Konsep Nilai dalam Eksistensialisme: Subjektif atau Universal?

Salah satu kritik utama terhadap eksistensialisme adalah anggapan bahwa filsafat ini mengarah pada nihilisme moral, yaitu keyakinan bahwa tidak ada standar objektif yang menentukan benar atau salah.6 Kritik ini terutama muncul karena pemikiran Nietzsche yang menegaskan bahwa "Tuhan telah mati", yang berarti bahwa nilai-nilai moral tradisional yang sebelumnya berakar pada agama dan metafisika telah kehilangan otoritasnya.7

Namun, Nietzsche tidak serta-merta menyerukan nihilisme pasif. Sebaliknya, ia memperkenalkan konsep "Übermensch" (superman atau manusia unggul), yakni individu yang mampu menciptakan nilai-nilainya sendiri tanpa bergantung pada tradisi atau sistem moral eksternal.8 Dengan demikian, bagi Nietzsche, nilai-nilai dalam eksistensialisme bersifat subjektif tetapi tetap memiliki makna bagi individu yang menciptakannya.

Albert Camus juga menanggapi kritik nihilisme ini melalui konsep "pemberontakan melawan absurditas". Ia menolak pandangan bahwa kehidupan tidak memiliki makna dengan menyatakan bahwa manusia harus menciptakan nilai dalam kehidupan yang absurd, seperti yang ia ilustrasikan dalam mitos Sisyphus.9

Dari perspektif ini, nilai dalam eksistensialisme memang bersifat subjektif tetapi bukan berarti tidak bermakna. Nilai muncul dari tanggung jawab individu dalam menentukan hidupnya sendiri.

5.3.       Eksistensialisme dan Persoalan Determinisme vs. Kebebasan

Eksistensialisme berlawanan dengan gagasan determinisme, yaitu pandangan bahwa setiap peristiwa dan tindakan manusia telah ditentukan sebelumnya oleh hukum-hukum alam, genetika, atau kehendak ilahi.10 Sartre dengan tegas menolak determinisme dan menekankan bahwa manusia "dikutuk untuk bebas", artinya manusia tidak memiliki pilihan selain mengambil tanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri.11

Dalam konteks nilai, kebebasan ini berarti bahwa tidak ada otoritas eksternal yang dapat menentukan apa yang benar atau salah bagi seseorang. Manusia harus menentukan nilai-nilainya sendiri, bukan sekadar mengikuti aturan atau dogma yang sudah ada sebelumnya. Namun, Sartre juga menegaskan bahwa kebebasan ini tidak boleh disalahgunakan untuk hidup tanpa tanggung jawab. Sebaliknya, kebebasan harus diiringi dengan kesadaran moral dan komitmen terhadap pilihan yang diambil.12

5.4.       Eksistensialisme dalam Budaya dan Seni

Eksistensialisme tidak hanya mempengaruhi filsafat, tetapi juga budaya, seni, dan sastra. Karya-karya sastra seperti The Stranger karya Albert Camus dan Nausea karya Jean-Paul Sartre menggambarkan bagaimana individu menghadapi absurditas dan mencari makna dalam dunia yang tidak memberikan makna inheren.13

Dalam seni, eksistensialisme banyak dieksplorasi dalam film dan teater, seperti dalam drama "No Exit" karya Sartre yang menggambarkan bagaimana kebebasan dan tanggung jawab dapat menjadi beban bagi manusia.14 Selain itu, banyak karya seni modern menampilkan tema eksistensial seperti keterasingan, kebebasan, dan absurditas, sebagaimana terlihat dalam lukisan-lukisan Francis Bacon atau film-film sutradara seperti Ingmar Bergman dan Andrei Tarkovsky.15


Kesimpulan

Eksistensialisme membawa pendekatan baru terhadap konsep nilai-nilai dengan menekankan kebebasan individu dalam menciptakan makna hidupnya sendiri. Berbeda dengan filsafat moral tradisional yang mengasumsikan adanya standar objektif yang tetap, eksistensialisme berpendapat bahwa nilai-nilai bersumber dari keputusan dan tanggung jawab individu.

Meskipun eksistensialisme sering dikritik karena dianggap mengarah pada relativisme moral atau nihilisme, para filsuf eksistensialis seperti Sartre, Nietzsche, dan Camus menunjukkan bahwa nilai dalam kehidupan manusia bukan sekadar ilusi, tetapi sesuatu yang harus diciptakan dengan kesadaran penuh. Dengan demikian, eksistensialisme bukan hanya menawarkan kebebasan, tetapi juga menuntut komitmen dan keberanian dalam menghadapi realitas kehidupan yang absurd dan tidak pasti.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[3]                Ibid., 25.

[4]                Ibid., 28.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 223.

[6]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 147.

[7]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 125.

[8]                Ibid., 210.

[9]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 32.

[10]             Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, terj. E. F. J. Payne (New York: Dover, 1969), 150.

[11]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 35.

[12]             Ibid., 40.

[13]             Camus, The Stranger (New York: Vintage International, 1989), 75.

[14]             Sartre, No Exit (New York: Vintage International, 1989), 85.

[15]             William Barrett, Irrational Man, 198.


6.           Kritik terhadap Eksistensialisme

Eksistensialisme, sebagai salah satu aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu dan subjektivitas nilai, tidak luput dari kritik. Para filsuf dari berbagai aliran, termasuk filsafat objektivisme, agama, strukturalisme, dan postmodernisme, mengajukan keberatan terhadap beberapa aspek utama dalam pemikiran eksistensialis. Kritik-kritik ini berfokus pada masalah relativisme moral, nihilisme, individualisme yang ekstrem, serta implikasi eksistensialisme terhadap masyarakat dan kehidupan praktis.

6.1.       Kritik dari Perspektif Filsafat Objektivis

Salah satu kritik utama terhadap eksistensialisme datang dari filsafat objektivisme, yang berpendapat bahwa nilai-nilai moral dan makna hidup seharusnya memiliki dasar yang objektif, bukan sekadar konstruksi subjektif individu. Platonisme, misalnya, menekankan bahwa konsep-konsep ideal seperti kebaikan dan keadilan bersifat absolut dan tidak bergantung pada pengalaman manusia yang subjektif.1

Filsafat Immanuel Kant, melalui konsep imperatif kategoris, juga mengkritik gagasan eksistensialisme yang menolak moralitas universal. Kant berpendapat bahwa aturan moral harus bersifat objektif dan rasional, bukan sekadar produk dari keputusan individu semata.2 Menurut Kant, jika setiap orang menciptakan moralitasnya sendiri, maka tidak akan ada prinsip yang dapat diandalkan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk secara universal.

Filsuf modern seperti Ayn Rand, yang mengembangkan objektivisme, juga mengkritik eksistensialisme karena dianggap tidak menawarkan dasar rasional yang kuat bagi moralitas.3 Rand menolak gagasan Sartre bahwa manusia sepenuhnya bebas menciptakan nilai-nilainya sendiri, dan ia menegaskan bahwa moralitas harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat diuji secara objektif dalam realitas.

6.2.       Kritik dari Perspektif Agama

Eksistensialisme juga mendapat tantangan dari filsafat dan teologi agama, terutama dalam hal kebebasan manusia dan penciptaan nilai. Søren Kierkegaard, meskipun sering disebut sebagai bapak eksistensialisme, menolak aspek ateistik dari eksistensialisme Sartre dan Nietzsche. Ia menegaskan bahwa kebebasan manusia tetap harus berada dalam konteks iman kepada Tuhan.4

Filsuf Katolik Gabriel Marcel mengkritik eksistensialisme ateistik karena dianggap gagal memberikan makna spiritual bagi manusia. Ia berpendapat bahwa kebebasan tanpa hubungan dengan Tuhan akan mengarah pada keputusasaan dan kehilangan makna sejati dalam hidup.5

Dari perspektif Islam, filsafat eksistensialisme sering dikritik karena menempatkan manusia sebagai pusat nilai tanpa mengakui keberadaan Tuhan sebagai sumber moralitas dan makna hidup. Muhammad Iqbal, seorang filsuf Islam, berpendapat bahwa kebebasan yang ditawarkan eksistensialisme harus tetap berada dalam batas-batas spiritualitas dan hubungan dengan Tuhan.6

6.3.       Kritik dari Strukturalisme dan Postmodernisme

Strukturalisme dan postmodernisme juga memberikan kritik mendalam terhadap eksistensialisme, terutama dalam hal subjektivitas nilai dan kebebasan individu. Michel Foucault dan Jacques Derrida berpendapat bahwa gagasan eksistensialisme mengenai individu yang sepenuhnya bebas menciptakan makna hidupnya sendiri terlalu menyederhanakan peran bahasa, budaya, dan struktur sosial dalam membentuk identitas manusia.7

Foucault menyoroti bahwa manusia tidak pernah benar-benar bebas dalam arti yang dikemukakan oleh Sartre, karena keberadaan manusia selalu terikat pada struktur sosial, kekuasaan, dan sejarah.8 Ia berpendapat bahwa kebebasan individu tidak bisa dilepaskan dari sistem pengetahuan dan relasi kekuasaan yang membentuk manusia sejak lahir.

Derrida, melalui teori dekonstruksinya, menolak gagasan bahwa manusia bisa memahami dan menciptakan makna hidup dengan cara yang tegas dan final. Ia berargumen bahwa makna selalu bersifat tidak stabil dan bergantung pada konteks.9 Kritik ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam eksistensialisme mungkin lebih kompleks daripada yang digambarkan oleh Sartre dan Camus.

6.4.       Kritik terhadap Individualisme dan Isolasi dalam Eksistensialisme

Beberapa kritikus berpendapat bahwa eksistensialisme terlalu menekankan individualisme sehingga mengabaikan dimensi sosial dan kolektif dalam kehidupan manusia. Karl Marx, misalnya, mengkritik eksistensialisme karena dianggap terlalu fokus pada pengalaman subjektif individu dan gagal mempertimbangkan realitas ekonomi dan sosial yang membentuk keberadaan manusia.10

Filsuf eksistensialis seperti Sartre sendiri kemudian menyadari masalah ini dan mengembangkan gagasan eksistensialisme-Marxisme, di mana kebebasan individu tetap diakui tetapi harus dipahami dalam konteks sosial dan material.11 Namun, kritik terhadap individualisme eksistensialisme tetap relevan, terutama dalam dunia modern yang semakin menekankan hubungan kolektif dan komunitas.

6.5.       Kritik terhadap Nihilisme dan Absurditas

Beberapa filsuf berpendapat bahwa eksistensialisme, terutama dalam bentuk yang dikembangkan oleh Nietzsche dan Camus, terlalu pesimis dan cenderung mengarah pada nihilisme. Jika tidak ada makna inheren dalam hidup, mengapa manusia harus peduli terhadap moralitas atau tujuan hidup? Kritik ini sering muncul dari kalangan filsafat moral dan etika.12

Meskipun Camus menawarkan konsep "pemberontakan melawan absurditas", banyak kritikus yang tetap melihat pemikirannya sebagai bentuk nihilisme terselubung.13 Jika hidup tidak memiliki makna objektif, bukankah semua tindakan manusia pada akhirnya sia-sia? Kritik ini menunjukkan tantangan utama bagi eksistensialisme dalam menjawab pertanyaan tentang signifikansi hidup.


Kesimpulan

Eksistensialisme merupakan filsafat yang menekankan kebebasan individu, subjektivitas nilai, dan pencarian makna hidup. Namun, berbagai kritik telah diajukan terhadap aliran ini, mulai dari keberatan moral objektivis, tantangan dari teologi agama, hingga kritik strukturalisme dan postmodernisme.

Meskipun eksistensialisme memberikan wawasan mendalam tentang kebebasan manusia, kritik terhadap relativisme moral, nihilisme, dan individualisme yang berlebihan tetap menjadi perdebatan filosofis yang menarik. Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa meskipun eksistensialisme menawarkan perspektif yang kuat terhadap nilai dan kebebasan, masih ada ruang untuk refleksi lebih lanjut mengenai bagaimana konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam kehidupan manusia secara lebih komprehensif.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, terj. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 54.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.

[3]                Ayn Rand, The Virtue of Selfishness (New York: Signet, 1964), 27.

[4]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1983), 78.

[5]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 92.

[6]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 55.

[7]                Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books, 1994), 310.

[8]                Ibid., 315.

[9]                Jacques Derrida, Writing and Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 20.

[10]             Karl Marx, The German Ideology, terj. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 85.

[11]             Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, terj. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 150.

[12]             William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 198.

[13]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 65.


7.           Kesimpulan

Eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat yang paling berpengaruh dalam pemikiran modern. Dengan menekankan kebebasan individu, tanggung jawab eksistensial, serta subjektivitas dalam pencarian makna hidup, filsafat ini memberikan perspektif yang unik dalam memahami nilai-nilai manusia. Gagasan bahwa "eksistensi mendahului esensi" yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre1 menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki hakikat bawaan dan harus menciptakan dirinya sendiri melalui tindakan dan pilihan-pilihannya.

Sejarah perkembangan eksistensialisme menunjukkan bahwa aliran ini tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan merupakan respons terhadap krisis nilai yang terjadi dalam filsafat dan masyarakat. Søren Kierkegaard, sebagai salah satu perintis eksistensialisme religius, menekankan pentingnya iman dan keberanian dalam menghadapi absurditas hidup2. Friedrich Nietzsche, di sisi lain, menolak nilai-nilai moral tradisional dan menyerukan penciptaan nilai baru melalui konsep "Übermensch"3. Martin Heidegger memperkenalkan konsep Dasein, yang mengajarkan bahwa manusia harus hidup secara autentik dengan kesadaran penuh akan keberadaannya4. Albert Camus menambahkan bahwa meskipun hidup itu absurd, manusia harus tetap memberontak dan menciptakan makna bagi dirinya sendiri5.

Dalam konteks nilai-nilai moral, eksistensialisme menolak gagasan bahwa kebaikan dan keburukan bersifat absolut dan objektif. Sebaliknya, filsafat ini berpendapat bahwa nilai muncul dari keputusan individu yang bebas. Namun, konsep ini menuai berbagai kritik. Para pemikir objektivis berargumen bahwa tanpa standar moral yang objektif, eksistensialisme dapat mengarah pada relativisme moral yang berbahaya6. Dari perspektif agama, eksistensialisme ateistik dinilai mengabaikan aspek spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan7. Strukturalisme dan postmodernisme, seperti yang dikembangkan oleh Michel Foucault dan Jacques Derrida, juga mengkritik eksistensialisme karena terlalu menekankan individualitas dan mengabaikan peran struktur sosial dalam membentuk identitas manusia8.

Meskipun menghadapi berbagai kritik, eksistensialisme tetap relevan dalam diskusi filsafat kontemporer, terutama dalam menghadapi tantangan modernitas. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, eksistensialisme menawarkan pendekatan yang mendorong individu untuk bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebebasan bukan sekadar hak, tetapi juga beban yang harus dipikul dengan kesadaran penuh9.

Pada akhirnya, eksistensialisme bukan hanya sekadar teori filsafat, tetapi juga sebuah cara hidup yang mengajarkan pentingnya keberanian dalam menghadapi absurditas dan menciptakan makna dalam dunia yang tidak memberikan makna inheren. Meskipun tidak memberikan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang nilai dan moralitas, eksistensialisme tetap menjadi pandangan yang kuat dalam menegaskan pentingnya kebebasan, autentisitas, dan tanggung jawab individu.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1983), 85.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 145.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 223.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 32.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.

[7]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 92.

[8]                Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books, 1994), 310.

[9]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), 198.


Daftar Pustaka

Barrett, W. (1990). Irrational man: A study in existential philosophy. Anchor Books.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O'Brien, Trans.). Vintage International. (Original work published 1942).

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Foucault, M. (1994). The order of things. Vintage Books.

Gregory, M. (Ed.). (1997). Immanuel Kant: Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927).

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Shaikh Muhammad Ashraf.

Kierkegaard, S. (1983). Fear and trembling (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press. (Original work published 1843).

Marcel, G. (2001). The mystery of being (G. S. Fraser, Trans.). St. Augustine’s Press.

Marx, K. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Ed.). International Publishers. (Original work published 1846).

Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1883).

Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1886).

Rand, A. (1964). The virtue of selfishness. Signet.

Sartre, J.-P. (1964). Nausea (L. Alexander, Trans.). New Directions. (Original work published 1938).

Sartre, J.-P. (1989). No exit and three other plays (S. Gilbert, Trans.). Vintage International. (Original work published 1944).

Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso. (Original work published 1960).

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work published 1946).

Schopenhauer, A. (1969). The world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover. (Original work published 1818).

Solomon, R. C. (2005). Existentialism. Oxford University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published ca. 375 BCE).


Lampiran: Pandangan Agama Islam terhadap Eksistensialisme

Eksistensialisme sebagai aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu, subjektivitas nilai, dan pencarian makna hidup memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan pandangan Islam tentang keberadaan manusia dan tujuan hidup. Islam, sebagai agama yang memiliki landasan teologis dan moral yang kuat, mengajarkan bahwa makna hidup bukanlah sesuatu yang harus diciptakan secara subjektif oleh individu, melainkan telah ditentukan oleh Allah Swt dalam wahyu-Nya.

1.            Keberadaan Manusia: Antara Kebebasan dan Ketundukan kepada Allah

Dalam Islam, manusia diciptakan oleh Allah dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (Qs. Adz-Dzariyat [51] ayat 56).1

Konsep ini bertentangan dengan gagasan Jean-Paul Sartre yang menyatakan bahwa manusia "dikutuk untuk bebas" (condemned to be free), karena dalam Islam kebebasan manusia bukanlah kebebasan mutlak, melainkan kebebasan yang harus diiringi dengan ketundukan kepada hukum-hukum Allah.2 Dalam perspektif Islam, kebebasan manusia harus tetap berada dalam batas-batas yang ditetapkan oleh syariat.

Namun, Islam juga mengakui kebebasan kehendak (ikhtiyar), sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia memiliki pilihan dalam hidupnya. Akan tetapi, kebebasan ini tidak berarti manusia bebas menentukan nilai moral sendiri tanpa bimbingan dari wahyu.3

2.            Nilai dan Moralitas: Obyektivitas vs. Subjektivitas

Eksistensialisme, terutama dalam pemikiran Nietzsche dan Sartre, menolak konsep moralitas yang bersifat objektif dan universal. Nietzsche bahkan mengumumkan "kematian Tuhan" yang berarti manusia harus menciptakan moralitasnya sendiri.4 Sebaliknya, Islam mengajarkan bahwa nilai-nilai moral bersumber dari wahyu Ilahi dan bukan sekadar konstruksi subjektif manusia.

Dalam Islam, standar moral tidak didasarkan pada keputusan individual semata, tetapi pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam hadits Nabi:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Al-Baihaqi).5

Dengan demikian, pandangan Islam lebih dekat dengan sistem etika objektif dibandingkan dengan relativisme moral dalam eksistensialisme. Islam memandang bahwa manusia membutuhkan bimbingan Ilahi untuk mencapai kebahagiaan sejati, bukan hanya pencarian makna subjektif seperti yang ditekankan dalam eksistensialisme.

3.            Konsep Makna Hidup: Tujuan Eksistensial dalam Islam

Eksistensialisme menyatakan bahwa hidup itu tidak memiliki makna inheren, sehingga manusia sendiri yang harus menciptakan maknanya. Albert Camus bahkan menggambarkan kehidupan sebagai sesuatu yang absurd dan tanpa tujuan.6

Islam menolak gagasan absurditas dalam kehidupan. Sebaliknya, Islam menegaskan bahwa kehidupan memiliki tujuan yang jelas, yaitu sebagai ujian untuk menentukan siapa yang beramal terbaik, sebagaimana firman Allah:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ

"Dialah yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." (Qs. Al-Mulk [67] ayat 2).7

Dalam perspektif Islam, makna hidup tidak ditemukan melalui pengalaman subjektif individu, tetapi melalui hubungan dengan Allah dan amal kebajikan. Dengan kata lain, eksistensi manusia dalam Islam bukanlah sesuatu yang absurd atau tidak memiliki arah, tetapi memiliki makna yang jelas dan terarah.

4.            Kritik Islam terhadap Nihilisme dan Keputusasaan Eksistensial

Eksistensialisme sering dikaitkan dengan nihilisme, yaitu pandangan bahwa hidup tidak memiliki makna objektif. Pandangan ini dapat mengarah pada keputusasaan dan kehilangan harapan, sebagaimana tergambar dalam konsep "mual eksistensial" (nausea) Sartre dan absurditas Camus.8

Islam menentang nihilisme dan keputusasaan. Sebaliknya, Islam mengajarkan sikap optimisme dan tawakkal kepada Allah. Dalam Islam, seseorang tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

"Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Qs. Yusuf [12] ayat 87).9

Islam memandang bahwa hidup manusia memiliki tujuan yang jelas, dan dalam menghadapi penderitaan, manusia harus bersabar dan berserah diri kepada Allah. Oleh karena itu, keputusasaan dalam eksistensialisme bertentangan dengan konsep Islam yang mengajarkan ketenangan jiwa melalui iman dan ibadah.

5.            Perbandingan Islam dan Eksistensialisme dalam Perspektif Spiritual

Islam tidak menolak refleksi filosofis terhadap makna hidup, tetapi pandangannya lebih bersifat transendental dibandingkan eksistensialisme yang cenderung sekuler. Muhammad Iqbal, seorang filsuf Muslim modern, berpendapat bahwa kebebasan manusia harus tetap berada dalam batas-batas spiritualitas dan keimanan kepada Tuhan.10

Jika eksistensialisme menekankan bahwa manusia harus menciptakan dirinya sendiri tanpa batasan metafisik, Islam menegaskan bahwa manusia harus mengenali dirinya sendiri untuk mencapai makrifatullah (pengenalan akan Allah), sebagaimana hadits yang menyatakan:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

"Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya." (HR. Abu Nu’aim).11

Dengan demikian, Islam tidak menolak kebebasan individu, tetapi kebebasan tersebut harus diarahkan pada pencarian makna yang sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah.


Kesimpulan

Pandangan Islam terhadap eksistensialisme bersifat kritis, terutama dalam aspek kebebasan absolut, subjektivitas nilai, dan absurditas hidup. Islam mengajarkan bahwa nilai moral bersumber dari wahyu, bukan dari konstruksi subjektif manusia. Selain itu, makna hidup dalam Islam sudah ditentukan oleh Allah dan bukan sesuatu yang harus diciptakan oleh individu secara mandiri.

Meskipun Islam tidak menolak refleksi filosofis terhadap keberadaan manusia, Islam menegaskan bahwa pencarian makna hidup harus didasarkan pada hubungan dengan Allah dan tujuan akhirat. Oleh karena itu, meskipun eksistensialisme menawarkan perspektif yang menarik dalam memahami kebebasan manusia, Islam memberikan jawaban yang lebih utuh dengan mengaitkan kebebasan tersebut dengan tanggung jawab spiritual dan moral.


Footnotes

[1]                Al-Qur'an, Adz-Dzariyat [51] ayat 56.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 25.

[3]                Al-Qur'an, Al-Kahfi [18] ayat 29.

[4]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 145.

[5]                Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, no. 6137.

[6]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 32.

[7]                Al-Qur'an, Al-Mulk [67] ayat 2.

[8]                Jean-Paul Sartre, Nausea, terj. Lloyd Alexander (New York: New Directions, 1964), 133.

[9]                Al-Qur'an, Yusuf [12] ayat 87.

[10]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 55.

[11]             Abu Nu’aim, Hilyat al-Awliya, vol. 10, p. 49.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar