Teori Konektivisme dalam Belajar
Belajar di Era Jaringan Digital
Alihkan ke: Teori Belajar dan Pembelajaran.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif teori
konektivisme sebagai paradigma pembelajaran baru yang relevan dengan era digital
abad ke-21. Berangkat dari latar belakang perubahan drastis dalam akses dan
distribusi informasi akibat kemajuan teknologi, konektivisme diposisikan
sebagai respons terhadap keterbatasan teori belajar tradisional seperti
behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme. Teori ini menekankan
pentingnya kemampuan membangun, memelihara, dan menavigasi jaringan informasi
sebagai inti dari proses belajar. Artikel ini menguraikan konsep dasar, sejarah
perkembangan, prinsip-prinsip utama, serta perbandingan konektivisme dengan
teori pembelajaran lainnya. Selain itu, dibahas pula implikasi konektivisme
dalam dunia pendidikan, hubungan eratnya dengan teknologi, tantangan
penerapannya, serta studi kasus implementasi praktis di berbagai jenjang
pendidikan. Berdasarkan kajian ini, konektivisme diusulkan sebagai pendekatan
pedagogis yang relevan untuk membentuk pembelajar yang mandiri, kritis, dan
terhubung secara global. Artikel ini juga menyajikan rekomendasi strategis
untuk mengoptimalkan penerapan konektivisme melalui penguatan literasi digital,
desain kurikulum adaptif, reformasi sistem evaluasi, dan peningkatan kapasitas
guru sebagai fasilitator jejaring pembelajaran.
Kata Kunci: Teori konektivisme; pembelajaran digital; jaringan
informasi; pendidikan abad ke-21; literasi digital; pedagogi modern; teknologi
pendidikan; kurikulum merdeka.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif terhadap Teori Konektivisme dalam
Pembelajaran
1.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) telah membawa transformasi besar dalam hampir seluruh aspek kehidupan
manusia, termasuk dalam bidang pendidikan. Proses belajar yang sebelumnya
berbasis pada interaksi tatap muka, kini semakin bergeser ke arah sistem
pembelajaran berbasis jaringan digital. Perubahan ini tidak hanya berdampak
pada media dan metode pembelajaran, tetapi juga menuntut perubahan paradigma
mengenai bagaimana pengetahuan diciptakan, disebarkan, dan dikuasai oleh
individu. Dalam konteks inilah, muncul teori konektivisme sebagai suatu
pendekatan pembelajaran yang merefleksikan realitas kehidupan di era digital.
Teori konektivisme pertama kali diperkenalkan oleh George
Siemens pada tahun 2004 sebagai respon terhadap keterbatasan teori-teori
pembelajaran klasik seperti behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme
dalam menjelaskan dinamika pembelajaran di era informasi. Siemens menyatakan
bahwa “belajar adalah proses menghubungkan node informasi khusus, dan
pembelajaran dapat berada di luar diri individu.”¹ Pernyataan ini
mencerminkan esensi utama konektivisme: pengetahuan tidak lagi bersifat
individualistik dan terletak dalam pikiran manusia semata, tetapi tersebar di
seluruh jaringan, termasuk di dalam teknologi itu sendiri.
Sebagai teori pembelajaran abad ke-21, konektivisme
menekankan pentingnya kemampuan individu untuk mengakses, mengelola, dan
menilai informasi dalam jaringan yang luas dan dinamis. Dalam praktiknya, teori
ini sangat relevan dengan konteks pembelajaran daring, pembelajaran berbasis
proyek kolaboratif, serta pemanfaatan platform digital seperti Learning
Management System (LMS), media sosial, blog, dan forum diskusi terbuka. Seiring
dengan meningkatnya kebutuhan akan keterampilan literasi digital dan
pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), konektivisme menjadi salah satu
kerangka konseptual yang penting untuk dikaji dalam dunia pendidikan modern.²
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia melalui kebijakan Merdeka Belajar dan implementasi
Kurikulum Merdeka pun menekankan pentingnya pengembangan kompetensi siswa yang
bersifat kontekstual, adaptif, dan berbasis pemecahan masalah.³ Hal ini sejalan
dengan prinsip-prinsip konektivisme yang memandang pembelajaran sebagai suatu
proses sosial dan terbuka, yang tidak terbatasi oleh ruang kelas atau otoritas
tunggal. Dalam konteks ini, guru berperan sebagai fasilitator yang membantu
peserta didik dalam membangun jejaring pengetahuan dan mengembangkan kemampuan
berpikir kritis terhadap informasi yang tersedia secara luas.
Artikel ini bertujuan untuk menyajikan kajian
komprehensif tentang teori konektivisme, mencakup konsep dasar, prinsip-prinsip
utama, perbandingan dengan teori lain, implikasi dalam dunia pendidikan, serta
tantangan dan peluang penerapannya. Dengan pemahaman yang menyeluruh, diharapkan
para pendidik dan pemangku kepentingan pendidikan dapat memanfaatkan teori ini
sebagai landasan dalam merancang strategi pembelajaran yang relevan di era
jaringan digital.
Footnotes
[1]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory
for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and
Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[2]
Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning
Theory of the Future or Vestige of the Past?” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 2–3, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum
Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 12–14.
2.
Konsep
Dasar Teori Konektivisme
Teori konektivisme merupakan salah satu pendekatan
pembelajaran yang muncul sebagai respons terhadap kompleksitas lingkungan
belajar abad ke-21 yang ditandai dengan ledakan informasi, kemajuan teknologi,
dan interkoneksi global. Konsep dasar dari teori ini menempatkan jaringan (network)
sebagai inti dari proses pembelajaran, di mana pengetahuan tersebar dalam
berbagai simpul (nodes) yang dapat berupa individu, kelompok, organisasi,
perangkat digital, atau basis data online. Dalam konteks ini, belajar tidak
lagi dipahami sebagai proses internalisasi pengetahuan secara individual
semata, melainkan sebagai kemampuan untuk membentuk dan mengelola jaringan
koneksi informasi yang relevan dan bermakna.¹
Menurut George Siemens, konektivisme adalah
“teori pembelajaran untuk era digital, yang melihat pengetahuan sebagai
jaringan dan belajar sebagai kemampuan untuk menavigasi dan mengelola jaringan
tersebut.”² Dalam artikelnya yang berjudul Connectivism: A Learning
Theory for the Digital Age, Siemens menegaskan bahwa sumber pengetahuan
tidak selalu berada dalam diri seseorang, tetapi bisa berada di luar
dirinya—termasuk dalam database, perangkat lunak, atau bahkan dalam sistem
kecerdasan buatan.³ Dengan demikian, kemampuan utama dalam konektivisme bukan
sekadar menyimpan informasi, tetapi mengetahui di mana dan bagaimana
informasi yang dibutuhkan dapat ditemukan serta dikoneksikan dengan informasi
lainnya.
Konektivisme juga mengadopsi dan mengintegrasikan
prinsip-prinsip dari beberapa bidang ilmu lainnya, seperti teori jaringan
sosial (social network theory), kompleksitas (complexity theory),
dan neurosains. Hal ini terlihat dari pendekatan konektivisme yang
memandang pembelajaran sebagai proses yang adaptif, terdesentralisasi, dan
berlangsung dalam sistem terbuka.⁴ Dalam sistem seperti itu, simpul-simpul
informasi tidak bersifat statis, melainkan terus berkembang, saling
berinteraksi, dan membentuk pola-pola baru sesuai dengan dinamika pengetahuan.
Terdapat beberapa prinsip utama yang menjadi
fondasi dari teori konektivisme:
·
Pembelajaran dan pengetahuan bergantung pada keanekaragaman opini.
·
Pembelajaran adalah proses menghubungkan node informasi khusus.
·
Pengetahuan bisa berada di luar diri manusia.
·
Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang, ide, dan konsep sangat
penting.
·
Menjaga dan memelihara koneksi sangat penting untuk pembelajaran yang
berkelanjutan.
·
Kemampuan untuk mengenali informasi yang valid, tidak valid, dan dapat
diperbarui adalah kunci keterampilan belajar.⁵
Konsep dasar ini menempatkan konektivisme sebagai
teori pembelajaran yang sangat kontekstual dengan kehidupan digital, di mana
akses terhadap informasi dan kolaborasi dalam jejaring pengetahuan menjadi
lebih penting dibandingkan penguasaan isi pengetahuan semata. Dalam era digital
yang penuh ketidakpastian dan perubahan cepat, konektivisme memberikan kerangka
kerja yang dinamis dan adaptif untuk memahami bagaimana individu belajar dan
berkembang secara berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Stephen Downes, “An Introduction to Connective
Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 3–5, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.
[2]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory
for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and
Distance Learning 2, no. 1 (2005): 5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[3]
Siemens, “Connectivism,” 4.
[4]
Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to
Self-Directed Learning in an Open Networked Learning Environment,” International
Journal of Self-Directed Learning 7, no. 2 (2010): 3–4.
[5]
George Siemens, “Knowing Knowledge” (self-published
e-book, 2006), 30–33, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.
3.
Sejarah
dan Latar Belakang Lahirnya Teori Konektivisme
Teori konektivisme lahir sebagai respons terhadap
perubahan mendasar dalam lanskap pendidikan dan pembelajaran akibat revolusi
teknologi informasi pada awal abad ke-21. Perubahan ini ditandai oleh
transformasi cara individu mengakses, menyimpan, dan membagikan informasi, yang
tidak lagi terbatas pada media cetak atau pembelajaran tatap muka, melainkan
telah berpindah ke ruang-ruang digital, platform daring, dan jaringan sosial
global. Dalam konteks ini, pendekatan teori belajar tradisional seperti
behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme mulai dirasakan tidak cukup
mampu menjelaskan proses pembelajaran yang terjadi secara terbuka, masif, dan
berbasis teknologi.¹
Teori konektivisme pertama kali diperkenalkan oleh George
Siemens pada tahun 2004 melalui esainya yang berjudul “Connectivism: A
Learning Theory for the Digital Age”. Dalam tulisannya, Siemens menyatakan
bahwa “the pipe is more important than the content within the pipe,”
mengisyaratkan bahwa saluran atau jaringan tempat mengalirnya informasi lebih
penting daripada informasi itu sendiri.² Hal ini menandai pergeseran paradigma
dari fokus pada isi pengetahuan ke arah fokus pada konektivitas dan kemampuan
membangun jejaring pengetahuan. Bersama Stephen Downes, Siemens kemudian
memperluas konsep ini menjadi landasan pedagogis bagi pembelajaran terbuka
berbasis jaringan, seperti dalam pengembangan Massive Open Online Courses
(MOOCs).³
Latar belakang teoritis dari konektivisme
dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu kontemporer, terutama teori sistem
kompleks (complexity theory), teori jaringan (network theory), dan neurosains.
Konektivisme melihat otak sebagai sistem saraf yang saling terhubung dan
belajar sebagai proses adaptif yang terjadi dalam lingkungan yang tidak statis.⁴
Ini berakar dari pemahaman bahwa realitas pembelajaran saat ini berlangsung
dalam ekosistem digital yang terus berubah, di mana individu harus mampu
mengenali pola, mengelola informasi dari berbagai sumber, dan membentuk
hubungan bermakna di antara simpul-simpul pengetahuan.
Salah satu dorongan utama lahirnya konektivisme
adalah kebutuhan untuk menjawab tantangan overload informasi dan
ketidakpastian di dunia digital. Dalam dunia di mana pengetahuan berkembang
sangat cepat, keterampilan utama yang dibutuhkan bukan lagi sekadar mengingat
informasi, tetapi kemampuan untuk terus memperbarui diri, memilih informasi
yang kredibel, dan menavigasi jejaring pengetahuan yang kompleks.⁵ Dalam
kerangka inilah konektivisme menjadi jawaban terhadap tuntutan lifelong
learning dan pembelajaran berbasis pengalaman dalam jaringan sosial dan
digital.
Perlu dicatat bahwa konektivisme juga mencerminkan
semangat pembelajaran abad ke-21 yang menekankan kolaborasi, kreativitas,
pemecahan masalah, dan literasi digital. Hal ini selaras dengan kebijakan
pendidikan Indonesia dalam Kurikulum Merdeka yang mendorong pengembangan profil
pelajar Pancasila, termasuk kemampuan bernalar kritis dan mandiri dalam
belajar.⁶ Dengan demikian, konektivisme bukan hanya teori yang relevan secara
internasional, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang kuat dalam konteks
pendidikan nasional.
Footnotes
[1]
Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning
Theory of the Future or Vestige of the Past?” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 2, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.
[2]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory
for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and
Distance Learning 2, no. 1 (2005): 5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[3]
Stephen Downes, “An Introduction to Connective
Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 3–6, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.
[4]
Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of
Distance Education Pedagogy,” International Review of Research in Open and
Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 81–97, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.
[5]
Siemens, “Connectivism,” 3–4.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum
Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 18–20.
4.
Prinsip-Prinsip
Utama dalam Teori Konektivisme
Teori konektivisme
dikembangkan sebagai respons terhadap kebutuhan akan kerangka pembelajaran baru
di era digital. Teori ini menekankan bahwa pengetahuan tersebar dalam jejaring
informasi dan bahwa proses belajar melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi,
membentuk, dan memelihara koneksi yang bermakna antar node dalam jaringan
tersebut.¹ Berbeda dari pendekatan-pendekatan pembelajaran tradisional yang
fokus pada proses internalisasi atau konstruksi individu, konektivisme
memandang pembelajaran sebagai proses eksternal yang berlangsung dalam sistem
terbuka yang dinamis.
Menurut George
Siemens, terdapat sejumlah prinsip utama yang menjadi fondasi teori
konektivisme. Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjelaskan karakteristik dasar
dari proses belajar dalam konteks digital, tetapi juga memberikan arahan
strategis bagi desain pembelajaran modern.² Prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut:
4.1.
Pembelajaran dan pengetahuan bergantung pada
keanekaragaman opini
Konektivisme
mengakui bahwa tidak ada satu sumber pengetahuan yang absolut. Keanekaragaman perspektif,
baik dari manusia maupun mesin (seperti algoritma, AI, atau database),
memperkaya proses belajar karena memungkinkan pembelajar untuk mengevaluasi dan
mengintegrasikan informasi dari berbagai sudut pandang.³
4.2.
Pembelajaran adalah proses menghubungkan simpul
(node) informasi
Node dalam konteks
ini dapat berupa orang, komunitas, organisasi, atau sumber digital. Proses
belajar terjadi ketika seseorang membentuk koneksi baru atau memperkuat koneksi
yang sudah ada antar node tersebut.⁴ Oleh karena itu, kemampuan membangun
jejaring yang luas dan relevan merupakan keterampilan kunci dalam konektivisme.
4.3.
Pengetahuan dapat berada di luar diri individu
Dalam konektivisme,
sumber pengetahuan tidak terbatas pada pikiran manusia. Informasi yang disimpan
dalam perangkat keras, sistem manajemen pembelajaran (LMS), atau bahkan
algoritma mesin merupakan bagian dari lanskap pembelajaran yang harus dapat
diakses dan dimanfaatkan oleh individu.⁵
4.4.
Kemampuan untuk mengetahui lebih penting
daripada apa yang diketahui saat ini
Konektivisme
memandang bahwa dalam dunia yang serba cepat dan penuh perubahan, keterampilan
untuk menemukan dan mengakses informasi yang diperlukan jauh lebih esensial
daripada menghafal fakta-fakta tertentu.⁶ Ini menjadikan pembelajar sebagai
pengelola pengetahuan, bukan sekadar penerima.
4.5.
Pemeliharaan koneksi adalah kunci untuk
pembelajaran berkelanjutan
Karena informasi
terus berubah dan berkembang, pembelajar dituntut untuk terus memelihara dan
memperbarui koneksi mereka agar tetap relevan.⁷ Hal ini mencerminkan sifat
adaptif dan terus-menerus dari pembelajaran dalam konektivisme.
4.6.
Kemampuan untuk mengenali hubungan antara ide,
konsep, dan bidang
Pembelajaran
bermakna dalam konektivisme ditandai dengan kemampuan untuk melihat pola dan
keterkaitan antar berbagai elemen informasi. Keterampilan ini memungkinkan
individu mengintegrasikan berbagai disiplin dan mengembangkan pengetahuan
lintas bidang.⁸
4.7.
Pengambilan keputusan sebagai proses
pembelajaran
Dalam konektivisme,
membuat keputusan tentang informasi mana yang layak untuk dipelajari,
diabaikan, atau diperbarui adalah bagian integral dari proses belajar.
Informasi tidak lagi statis, dan keputusan-keputusan tersebut membentuk arah
perkembangan pengetahuan seseorang.⁹
Prinsip-prinsip ini
menunjukkan bahwa pembelajaran dalam konektivisme bersifat partisipatif,
terbuka, dan terus berkembang. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi,
pembelajaran bukan hanya tentang isi (content), melainkan tentang konteks dan
konektivitas antar informasi yang beragam. Ini menuntut keterampilan baru dalam
navigasi informasi, berpikir kritis, dan kolaborasi lintas platform, yang
semuanya esensial bagi pendidikan masa kini dan masa depan.
Footnotes
[1]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 3, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[2]
Siemens, “Connectivism,” 4–5.
[3]
Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning
in an Open Networked Learning Environment,” International
Journal of Self-Directed Learning 7,
no. 2 (2010): 2–4.
[4]
Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 4–6, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.
[5]
Siemens, “Connectivism,” 4.
[6]
George Siemens, Knowing Knowledge (self-published e-book, 2006), 30, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.
[7]
Siemens, Knowing Knowledge, 32.
[8]
Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education
Pedagogy,” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 84–85, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.
[9]
Siemens, “Connectivism,” 5.
5.
Perbandingan
Teori Konektivisme dengan Teori Belajar Lain
Teori konektivisme
muncul bukan sebagai penolakan terhadap teori-teori pembelajaran sebelumnya,
melainkan sebagai pengembangan yang menyesuaikan dengan konteks sosial dan
teknologi masa kini. Untuk memahami keunikan dan kontribusi konektivisme,
penting untuk membandingkannya secara konseptual dengan tiga teori pembelajaran
utama yang mendahuluinya: behaviorisme, kognitivisme,
dan konstruktivisme.
5.1.
Perbandingan dengan Teori Behaviorisme
Behaviorisme
memandang pembelajaran sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati, yang
terjadi sebagai respons terhadap stimulus eksternal melalui proses penguatan
(reinforcement). Tokoh utama seperti B.F. Skinner dan Ivan Pavlov menekankan
pentingnya kontrol lingkungan dalam membentuk perilaku belajar.¹ Dalam
behaviorisme, pengetahuan dianggap sebagai hasil dari asosiasi yang dibentuk
melalui repetisi dan latihan.
Sebaliknya,
konektivisme tidak memusatkan perhatian pada stimulus-respons atau penguatan
perilaku, melainkan pada hubungan antar node informasi yang dapat bersifat
digital maupun sosial.² Dalam konteks digital, pembelajaran tidak lagi terbatas
pada ruang fisik atau perilaku yang tampak, tetapi juga mencakup kemampuan
untuk mengakses, mengevaluasi, dan mengintegrasikan informasi dari berbagai
platform. Ini membuat konektivisme lebih sesuai untuk menjelaskan proses
belajar dalam ekosistem yang kompleks dan cepat berubah.
5.2.
Perbandingan dengan Teori Kognitivisme
Kognitivisme
memandang pembelajaran sebagai proses internal yang melibatkan pengolahan
informasi dalam pikiran, seperti perhatian, memori, dan penalaran. Tokoh
seperti Jean Piaget dan Robert Gagné mengembangkan model yang menjelaskan
bagaimana informasi disaring, disimpan, dan diambil kembali.³ Fokus utama dalam
kognitivisme adalah bagaimana siswa memahami dan mengorganisasi pengetahuan
secara mental.
Meskipun
konektivisme mengakui pentingnya proses kognitif, ia memperluas domain belajar
dengan menekankan bahwa pengetahuan tidak hanya berada dalam pikiran individu,
tetapi juga tersebar dalam jaringan eksternal. Siemens menyatakan bahwa “kita
tidak bisa lagi mendefinisikan pembelajaran hanya sebagai perubahan internal
yang stabil dalam struktur kognitif,” karena pengetahuan dapat berada di luar otak,
seperti dalam basis data atau komunitas digital.⁴ Oleh karena itu, konektivisme
menekankan pentingnya keterampilan metakognitif dan kemampuan navigasi dalam
ekosistem informasi yang luas.
5.3.
Perbandingan dengan Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme
mengemukakan bahwa pengetahuan dibangun oleh individu melalui pengalaman dan
interaksi sosial. Teori ini menekankan proses aktif dalam mengkonstruksi makna
berdasarkan pengalaman sebelumnya dan konteks lingkungan. Tokoh seperti Lev
Vygotsky dan Jerome Bruner menekankan peran mediasi sosial dan budaya dalam
proses belajar.⁵
Konektivisme
mengambil banyak unsur dari konstruktivisme, terutama dalam hal peran aktif
pembelajar dan pentingnya konteks. Namun, perbedaan utamanya terletak pada
orientasi terhadap lingkungan digital dan teknologi jaringan. Konstruktivisme
masih berfokus pada interaksi antar manusia dalam konteks sosial langsung,
sedangkan konektivisme memasukkan interaksi digital, komunitas virtual, dan
sumber-sumber pengetahuan berbasis teknologi sebagai bagian integral dari
proses belajar.⁶
Selain itu, dalam
konstruktivisme, makna dibangun melalui refleksi atas pengalaman personal,
sementara dalam konektivisme, makna juga dapat muncul dari pola interaksi yang
terbentuk dalam jaringan global, termasuk interaksi mesin dan algoritma yang
tidak melibatkan hubungan manusia secara langsung.
5.4.
Perbandingan Teori Konektivisme dengan Teori
Belajar Lain
5.4.1.
Fokus
Utama
·
Behaviorisme:
Menekankan pada perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai hasil dari
stimulus dan respons.
·
Kognitivisme:
Fokus pada proses mental internal seperti pemahaman, memori, dan pengolahan
informasi.
·
Konstruktivisme:
Memandang belajar sebagai proses aktif membangun makna berdasarkan pengalaman
dan interaksi sosial.
·
Konektivisme:
Menitikberatkan pada pembentukan dan pengelolaan koneksi dalam jaringan
informasi sebagai inti dari proses belajar.
5.4.2.
Peran
Teknologi
·
Behaviorisme:
Teknologi tidak menjadi pusat pembelajaran; digunakan sebatas sebagai alat
bantu.
·
Kognitivisme:
Teknologi berfungsi sebagai media untuk membantu proses pengolahan dan
penyajian informasi.
·
Konstruktivisme:
Teknologi dimanfaatkan untuk mendukung kolaborasi dan simulasi pengalaman
belajar.
·
Konektivisme:
Teknologi adalah komponen utama, baik sebagai sumber pengetahuan maupun sebagai
ruang terjadinya pembelajaran.
5.4.3.
Peran
Siswa
·
Behaviorisme:
Siswa dipandang sebagai penerima pasif yang merespon stimulus yang diberikan.
·
Kognitivisme:
Siswa berperan aktif dalam mengolah informasi dan membangun pemahaman.
·
Konstruktivisme:
Siswa aktif mengonstruksi pengetahuan melalui interaksi dan refleksi.
·
Konektivisme:
Siswa aktif membangun, memelihara, dan mengelola jaringan pengetahuan dari
berbagai sumber.
5.4.4.
Sumber
Pengetahuan
·
Behaviorisme:
Terpusat pada guru atau pihak eksternal yang mengontrol proses pembelajaran.
·
Kognitivisme:
Pengetahuan diperoleh dari luar tetapi diproses secara internal dalam pikiran
siswa.
·
Konstruktivisme:
Pengetahuan berasal dari konteks sosial dan pengalaman yang dipersonalisasi.
·
Konektivisme:
Pengetahuan bersifat tersebar di seluruh jaringan digital, komunitas virtual,
dan sistem teknologi.
5.4.5.
Tujuan
Belajar
·
Behaviorisme:
Bertujuan untuk menghasilkan perubahan perilaku yang dapat diamati dan diukur.
·
Kognitivisme:
Bertujuan untuk memperbaiki dan memperkaya struktur kognitif internal.
·
Konstruktivisme:
Bertujuan agar siswa mampu membangun sendiri pemahamannya terhadap dunia.
·
Konektivisme:
Bertujuan agar siswa mampu menavigasi, mengevaluasi, dan mengelola informasi
secara efektif dalam jaringan pengetahuan yang kompleks.
Footnotes
[1]
B.F. Skinner, The Behavior of
Organisms: An Experimental Analysis
(New York: Appleton-Century-Crofts, 1938), 35.
[2]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 3–4, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[3]
Robert Gagné, The Conditions of
Learning and Theory of Instruction,
4th ed. (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985), 11–13.
[4]
Siemens, “Connectivism,” 4.
[5]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The
Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–86.
[6]
Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning Theory of the Future
or Vestige of the Past?” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 3–5, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.
6.
Implikasi
Konektivisme dalam Dunia Pendidikan
Konektivisme,
sebagai teori pembelajaran kontemporer yang berakar pada perkembangan teknologi
dan jejaring informasi digital, memiliki implikasi yang luas dalam dunia
pendidikan. Teori ini menantang paradigma pembelajaran tradisional dan
menawarkan pendekatan baru yang lebih adaptif terhadap kompleksitas informasi
di abad ke-21. Dalam konteks implementasi pendidikan, konektivisme memengaruhi
cara guru merancang pembelajaran, peran peserta didik, serta struktur kurikulum
dan sistem penilaian.
6.1.
Transformasi Peran Guru dan Peserta Didik
Dalam pendekatan
konektivisme, guru tidak lagi berfungsi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
(knowledge transmitter), melainkan sebagai fasilitator, pelatih literasi
informasi, dan penjaga kualitas koneksi pengetahuan. Guru diharapkan mampu
membantu peserta didik dalam membangun jaringan pembelajaran yang luas, kritis,
dan relevan.¹ Peserta didik, di sisi lain, diharapkan menjadi pembelajar
mandiri yang aktif mencari, menilai, dan membagikan informasi melalui berbagai
saluran, baik formal maupun informal.
Peran ini sejalan
dengan tuntutan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum
Merdeka, yang mengedepankan karakter mandiri, bernalar kritis,
serta mampu bertanggung jawab dalam proses pembelajaran.² Konektivisme memberi
ruang besar bagi pengembangan profil ini karena menekankan pada pengelolaan
informasi, kolaborasi lintas media, dan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong
learning).
6.2.
Desain Kurikulum dan Pembelajaran Fleksibel
Konektivisme
menuntut perubahan dalam desain kurikulum yang sebelumnya bersifat linier dan
terstruktur menjadi lebih fleksibel, adaptif, dan terbuka.³ Kurikulum
konektivis tidak lagi hanya fokus pada pencapaian kompetensi kognitif,
melainkan juga pada keterampilan membangun koneksi, kemampuan digital, serta
kesadaran terhadap dinamika informasi global.
Pendekatan ini
mendorong penggunaan Project-Based Learning (PjBL), Inquiry-Based
Learning, dan model pembelajaran berbasis masalah yang
menempatkan peserta didik dalam situasi nyata yang menuntut akses, kolaborasi,
dan pemecahan masalah melalui sumber digital. Pembelajaran tidak dibatasi oleh
ruang kelas, tetapi meluas ke ruang-ruang virtual seperti forum daring,
komunitas pembelajaran digital, media sosial edukatif, dan platform
pembelajaran terbuka seperti MOOC.⁴
6.3.
Literasi Digital dan Kecakapan Informasional
Implikasi lain yang
penting dari konektivisme adalah perlunya penguatan literasi digital dan
kecakapan informasional (information literacy). Dalam lanskap pembelajaran
berbasis jaringan, kemampuan untuk menilai validitas informasi, menghindari
misinformasi, serta membangun argumen berdasarkan data yang kredibel menjadi
sangat penting.⁵ Peserta didik perlu dibekali keterampilan mengevaluasi sumber,
menyaring informasi relevan, serta menjaga etika digital.
Kurikulum pendidikan
harus memasukkan pelatihan literasi digital secara eksplisit, termasuk
penggunaan alat pencarian informasi, pengelolaan data, serta penggunaan
platform digital secara aman dan bertanggung jawab.⁶ Hal ini juga mencerminkan
prinsip pembelajaran sepanjang hayat, di mana peserta didik dilatih untuk terus
menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi.
6.4.
Sistem Penilaian Otentik dan Berbasis Jaringan
Konektivisme juga
menuntut adanya reformasi dalam sistem penilaian. Alih-alih hanya menilai
capaian kognitif melalui tes tertulis, penilaian dalam kerangka konektivis
melibatkan penilaian proses, kolaborasi, dan kemampuan mengelola jaringan
pengetahuan.⁷ Misalnya, penilaian berbasis proyek digital, portofolio daring,
kontribusi dalam forum pembelajaran virtual, serta kemampuan mengintegrasikan
berbagai sumber menjadi instrumen yang lebih relevan dalam konteks
konektivisme.
Dengan pendekatan
ini, peserta didik tidak hanya dinilai berdasarkan “apa yang mereka ketahui,”
tetapi lebih penting lagi, “bagaimana mereka mengakses, membangun, dan
menerapkan pengetahuan.”
Footnotes
[1]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 3–5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Profil Pelajar
Pancasila dalam Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–12.
[3]
Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning
in an Open Networked Learning Environment,” International
Journal of Self-Directed Learning 7,
no. 2 (2010): 2–4.
[4]
Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education
Pedagogy,” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 82–85, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.
[5]
Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 6–7, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.
[6]
UNESCO, Media and Information
Literacy Curriculum for Teachers
(Paris: UNESCO, 2011), 21–29, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000192971.
[7]
George Siemens, Knowing Knowledge (self-published e-book, 2006), 34–36, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.
7.
Konektivisme
dan Teknologi Pendidikan
Konektivisme tidak
hanya hadir sebagai teori belajar baru, tetapi juga sebagai respons terhadap
cara teknologi telah mengubah struktur dan proses pembelajaran secara
fundamental. Dalam konteks ini, teknologi pendidikan bukan sekadar alat bantu,
melainkan bagian integral dari lingkungan belajar itu sendiri. Teknologi
menjadi simpul (node) pengetahuan yang aktif, yang dapat memberikan, memproses,
dan bahkan mengonstruksi informasi secara dinamis.¹
George Siemens
menyatakan bahwa dalam konektivisme, teknologi tidak lagi dipisahkan dari pembelajaran,
melainkan merupakan bagian dari sistem kognitif eksternal yang memperluas daya
pikir manusia.² Oleh karena itu, pemahaman tentang hubungan antara konektivisme
dan teknologi pendidikan sangat penting untuk merealisasikan praktik
pembelajaran yang adaptif, terbuka, dan relevan dengan tantangan zaman.
7.1.
Peran Teknologi sebagai Node Pengetahuan
Dalam pandangan
konektivisme, node tidak hanya terbatas pada manusia, tetapi juga mencakup
entitas non-manusia seperti basis data, perangkat lunak, algoritma, dan sistem
pembelajaran daring.³ Teknologi digital, dengan kemampuannya menyimpan,
mengorganisasi, dan merekomendasikan informasi, berperan aktif dalam proses
belajar. Contohnya termasuk sistem Learning Management System (LMS), mesin
pencari (search engines), aplikasi pembelajaran adaptif, serta sistem
kecerdasan buatan yang dapat mempersonalisasi materi pembelajaran berdasarkan
pola interaksi pengguna.
Hal ini menunjukkan
bahwa teknologi bukan hanya sarana untuk mengakses pengetahuan, melainkan
juga menjadi mitra aktif dalam membangun dan mendistribusikan
pengetahuan.
7.2.
Integrasi Teknologi dalam Desain Pembelajaran
Penerapan
konektivisme mendorong integrasi teknologi dalam desain pembelajaran yang
memungkinkan pembelajar untuk membangun koneksi informasi secara luas. Platform
seperti Massive Open Online Courses (MOOCs),
Google
Workspace for Education, Edmodo, Moodle,
dan Canvas
memberikan ruang untuk interaksi multipihak dan akses ke sumber belajar
global.⁴
Di Indonesia, kebijakan
transformasi
digital pendidikan yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek
melalui platform seperti Merdeka Mengajar, Rapor
Pendidikan, dan Platform Sumber Belajar juga
menunjukkan arah yang selaras dengan pendekatan konektivisme.⁵ Teknologi
digunakan tidak hanya sebagai alat bantu administrasi, tetapi juga sebagai
ruang reflektif, kolaboratif, dan eksploratif dalam proses belajar.
7.3.
Kolaborasi Virtual dan Komunitas Belajar
Digital
Salah satu kekuatan
utama teknologi dalam konektivisme adalah kemampuannya menghubungkan individu
ke dalam komunitas belajar global. Pembelajar tidak lagi terbatas pada
interaksi dengan guru di ruang kelas, tetapi dapat berpartisipasi dalam diskusi
lintas negara melalui forum, grup media sosial, atau jaringan profesional
seperti LinkedIn Learning dan Coursera.⁶
Model ini mendorong
pembelajar untuk mengembangkan kompetensi global, meningkatkan kolaborasi
lintas budaya, serta memperluas cakrawala pengetahuan dengan perspektif yang
beragam. Hal ini mendukung prinsip konektivisme yang menekankan keberagaman
perspektif dan konektivitas sebagai fondasi pembelajaran yang bermakna.
7.4.
Peran Kecerdasan Buatan dan Big Data
Kehadiran Artificial
Intelligence (AI) dan Big Data juga membawa dampak
signifikan dalam ekosistem konektivisme. Teknologi ini memungkinkan sistem
pembelajaran untuk menganalisis perilaku pengguna, menyusun materi yang sesuai,
memberikan umpan balik otomatis, bahkan memprediksi kebutuhan belajar di masa
depan.⁷
Dalam kerangka
konektivisme, kecerdasan buatan dipandang sebagai simpul pengetahuan yang dapat
memperkaya jaringan informasi, mempercepat personalisasi pembelajaran, dan
mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik oleh pendidik dan peserta
didik.
Footnotes
[1]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 4–5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[2]
Siemens, “Connectivism,” 3.
[3]
Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 6, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.
[4]
Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education
Pedagogy,” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 85–87, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Transformasi Digital
Pendidikan: Laporan Tahunan 2022
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 11–16.
[6]
Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning
in an Open Networked Learning Environment,” International
Journal of Self-Directed Learning 7,
no. 2 (2010): 2–4.
[7]
UNESCO, Artificial Intelligence
in Education: Challenges and Opportunities for Sustainable Development (Paris: UNESCO, 2019), 35–38, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000366994.
8.
Kritik
dan Tantangan terhadap Teori Konektivisme
Meskipun teori konektivisme
mendapatkan pengakuan luas sebagai pendekatan yang relevan di era digital,
teori ini juga tidak luput dari berbagai kritik dan tantangan, baik dari sisi
filosofis, metodologis, maupun praktis. Sebagai teori yang relatif baru,
konektivisme menghadapi tuntutan untuk terus menguatkan fondasi ilmiahnya dan
menunjukkan efektivitas aplikatif yang konsisten di berbagai konteks
pendidikan.
8.1.
Status Teoretis yang Dipertanyakan
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap konektivisme adalah mengenai statusnya sebagai teori
belajar yang sahih. Para kritikus berpendapat bahwa konektivisme
lebih tepat dipandang sebagai sebuah kerangka kerja pedagogis atau model
pembelajaran ketimbang teori dalam pengertian ilmiah yang ketat.¹
Teori belajar tradisional, seperti behaviorisme, kognitivisme, dan
konstruktivisme, memiliki basis empiris yang kuat dan telah diuji dalam
berbagai eksperimen pendidikan. Sementara itu, konektivisme dianggap masih
bersifat deskriptif dan belum cukup menunjukkan validitas empiris yang sistematis.
Rita Kop dan Adrian
Hill, misalnya, mempertanyakan apakah konektivisme benar-benar menawarkan
sesuatu yang baru secara fundamental atau hanya mendaur ulang konsep-konsep
yang telah ada, seperti pembelajaran sosial dan belajar mandiri.²
8.2.
Tantangan dalam Implementasi Kurikulum
Dalam praktiknya,
implementasi konektivisme dalam kurikulum menghadapi hambatan struktural.
Kurikulum pendidikan formal, khususnya di sistem yang masih sangat terpusat
seperti di banyak negara berkembang, belum sepenuhnya mendukung model
pembelajaran terbuka dan fleksibel sebagaimana dituntut oleh konektivisme.³
Pembelajaran yang berbasis jaringan, proyek kolaboratif, atau interaksi dengan
sumber daring sering kali terbentur oleh keterbatasan waktu, sistem evaluasi
yang kaku, dan budaya sekolah yang masih berorientasi pada guru sebagai pusat.
Kurikulum nasional
seperti Kurikulum Merdeka di Indonesia
sudah mulai mengakomodasi fleksibilitas pembelajaran, tetapi dalam praktiknya
masih memerlukan adaptasi struktural dan peningkatan kapasitas guru agar dapat
mendukung penerapan prinsip-prinsip konektivisme secara menyeluruh.⁴
8.3.
Ketimpangan Akses terhadap Teknologi
Teori konektivisme
sangat bergantung pada ketersediaan dan kemampuan dalam memanfaatkan teknologi
digital. Hal ini menjadi tantangan besar dalam konteks kesenjangan digital (digital
divide), baik antara negara maju dan berkembang, maupun antar
wilayah dalam satu negara.⁵ Keterbatasan akses internet, perangkat digital, dan
literasi teknologi membuat banyak peserta didik tidak dapat secara optimal
membangun koneksi informasi sebagaimana yang diasumsikan dalam konektivisme.
Di Indonesia,
laporan Kemendikbudristek menunjukkan bahwa masih terdapat disparitas besar
dalam akses terhadap internet cepat, khususnya di daerah terpencil dan 3T
(Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).⁶ Tanpa upaya sistemik untuk menjembatani
kesenjangan ini, konektivisme berisiko menjadi eksklusif bagi kelompok yang
memiliki sumber daya teknologi memadai.
8.4.
Risiko Misinformasi dan Overload Informasi
Di tengah arus
informasi digital yang tak terbendung, peserta didik sering kali dihadapkan
pada tantangan membedakan antara informasi yang valid dan yang menyesatkan.⁷
Konektivisme, dengan asumsi bahwa pembelajar akan mampu menilai dan memilih
informasi secara kritis, sering kali tidak mempertimbangkan bahwa tidak semua
pembelajar memiliki tingkat literasi digital yang memadai.
Fenomena infodemic
yang terjadi selama pandemi COVID-19 memperlihatkan betapa mudahnya informasi
keliru tersebar melalui jaringan digital. Dalam konteks ini, konektivisme perlu
disertai dengan intervensi pedagogis yang kuat dalam membangun kemampuan
berpikir kritis, etika digital, dan verifikasi sumber informasi.⁸
8.5.
Evaluasi Pembelajaran yang Kompleks
Model pembelajaran
berbasis konektivisme menekankan proses dan interaksi yang kompleks, seperti
membangun jaringan, kolaborasi lintas platform, dan eksplorasi sumber terbuka.
Hal ini menimbulkan tantangan dalam sistem evaluasi konvensional yang cenderung
mengutamakan aspek kognitif terukur melalui tes objektif.⁹
Diperlukan model
penilaian alternatif yang mampu menilai kontribusi pembelajar dalam jaringan,
kemampuan membangun argumen berbasis data, serta keterampilan dalam navigasi
informasi. Penilaian portofolio digital, peer review, dan rubrik kolaboratif
menjadi beberapa contoh pendekatan evaluasi yang lebih sesuai dengan kerangka
konektivisme.
Footnotes
[1]
Allison Littlejohn and Chris Pegler, Preparing
for Blended E-Learning (New York:
Routledge, 2007), 89–90.
[2]
Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning Theory of the Future
or Vestige of the Past?” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 2–4, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.
[3]
Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education
Pedagogy,” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 83, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Profil Pelajar
Pancasila dalam Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 8–12.
[5]
UNESCO, Global Education
Monitoring Report 2021/2: Non-State Actors in Education (Paris: UNESCO, 2022), 56–59, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380619.
[6]
Kemendikbudristek, Laporan Tahunan
Transformasi Digital Pendidikan 2022
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 24–25.
[7]
Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 7–8.
[8]
UNESCO, Media and Information
Literacy Curriculum for Teachers
(Paris: UNESCO, 2011), 30–35.
[9]
George Siemens, Knowing Knowledge (self-published e-book, 2006), 33–36, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.
9.
Studi
Kasus dan Implementasi Praktis
Agar teori konektivisme
tidak hanya menjadi gagasan normatif, penting untuk meninjau bagaimana ia
diimplementasikan dalam praktik pendidikan. Studi kasus dan pengalaman empiris
dari berbagai institusi menunjukkan bahwa pendekatan konektivisme dapat
diterapkan secara efektif melalui integrasi teknologi digital, desain
pembelajaran terbuka, dan kolaborasi berbasis jaringan. Implementasi ini tidak
hanya terjadi di tingkat perguruan tinggi, tetapi juga mulai menyentuh
pendidikan dasar dan menengah, termasuk dalam konteks pendidikan di Indonesia.
9.1.
Studi Kasus: MOOCs sebagai Manifestasi
Konektivisme
Salah satu bentuk
nyata dari implementasi konektivisme adalah pengembangan Massive
Open Online Courses (MOOCs). Inisiatif seperti Coursera,
edX,
dan FutureLearn
telah menerapkan prinsip-prinsip konektivisme dengan menyediakan akses
pembelajaran terbuka kepada jutaan peserta didik di seluruh dunia.¹
MOOCs memungkinkan
pembelajar untuk membangun jejaring pengetahuan dengan dosen, pakar, dan sesama
peserta dari berbagai latar belakang. Fitur seperti forum diskusi, peer review,
dan proyek kolaboratif global mencerminkan esensi konektivisme—yakni
pembelajaran yang terjadi melalui koneksi dalam lingkungan digital yang terbuka
dan terdesentralisasi.²
9.2.
Implementasi di Sekolah: Pembelajaran Berbasis
Proyek Digital
Di tingkat
pendidikan menengah, konektivisme dapat diimplementasikan melalui model Project-Based
Learning (PjBL) yang berbasis platform digital. Sebagai contoh,
beberapa sekolah penggerak di Indonesia menggunakan Google
Workspace for Education, Padlet, dan Canva
Edu untuk mendorong siswa menyusun proyek kolaboratif lintas
mata pelajaran.³
Proyek-proyek
tersebut mengharuskan peserta didik untuk mencari informasi dari berbagai
sumber daring, berdiskusi secara virtual, dan menyajikan hasil dalam format
multimedia. Proses ini tidak hanya membangun pengetahuan, tetapi juga melatih
keterampilan berpikir kritis, literasi digital, dan kerja tim lintas platform.
Kegiatan semacam ini
juga sejalan dengan indikator Profil Pelajar Pancasila,
khususnya dalam aspek kemandirian, kreativitas, dan kemampuan bernalar kritis.⁴
9.3.
Praktik Guru sebagai Fasilitator Jaringan
Belajar
Dalam kerangka
konektivisme, guru berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik
mengakses, mengevaluasi, dan menghubungkan informasi dari berbagai node
pengetahuan. Studi oleh Siemens dan Downes menunjukkan bahwa dalam lingkungan
belajar konektivis, guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga
membimbing peserta didik dalam membangun jaringan belajar personal (personal learning
network).⁵
Di Indonesia,
praktik ini telah diterapkan oleh guru-guru inovatif yang menggunakan platform
seperti Merdeka Mengajar, YouTube
Edu, dan Komunitas Belajar Daring (KBD)
untuk membangun ekosistem pembelajaran terbuka. Guru menjadi kurator sumber
belajar digital, pembimbing refleksi kritis, sekaligus fasilitator kolaborasi
antar siswa.
9.4.
Kolaborasi Global: Model Pembelajaran Terhubung
Antarnegara
Implementasi
konektivisme juga dapat dilihat dalam inisiatif global classroom, di mana
peserta didik dari negara berbeda bekerja sama dalam proyek bersama melalui
platform seperti eTwinning, iEARN,
atau Global
Scholars.⁶ Dalam proyek ini, siswa Indonesia dapat berdiskusi
dengan siswa di Jepang, Amerika Serikat, atau Belanda dalam bahasa Inggris,
membahas isu-isu global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, atau
kebudayaan digital.
Model ini sangat
mendukung prinsip konektivisme karena:
·
Menyediakan beragam
perspektif dalam jaringan belajar,
·
Memperluas jejaring
internasional peserta didik,
·
Mendorong keterampilan
digital dan kolaboratif lintas budaya.
Footnotes
[1]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 6, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[2]
Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning
in an Open Networked Learning Environment,” International
Journal of Self-Directed Learning 7,
no. 2 (2010): 2–4.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Penerapan
Project-Based Learning dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–17.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Profil Pelajar
Pancasila dalam Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–11.
[5]
Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 4–6, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.
[6]
UNESCO, Global Citizenship
Education: Topics and Learning Objectives (Paris: UNESCO, 2015), 23–27, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000232993.
10. Kesimpulan dan Rekomendasi
10.1.
Kesimpulan
Teori konektivisme
hadir sebagai respons terhadap tantangan dan peluang pembelajaran di era
digital yang ditandai oleh kecepatan perkembangan informasi, keterbukaan akses
pengetahuan, dan meningkatnya peran teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dari teori belajar tradisional seperti behaviorisme, kognitivisme, dan
konstruktivisme yang berfokus pada proses internal individu, konektivisme
menempatkan jaringan informasi dan hubungan antar node—baik
manusia maupun teknologi—sebagai elemen sentral dalam proses belajar.¹
Konektivisme
menawarkan paradigma baru yang lebih sesuai dengan realitas abad ke-21, di mana
pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas, melainkan berlangsung
secara luas melalui koneksi digital, media sosial, komunitas daring, dan
platform pembelajaran terbuka.² Prinsip-prinsip utamanya, seperti pentingnya
membangun dan memelihara koneksi, kapasitas untuk mengetahui di mana informasi
berada, serta kemampuan mengenali pola antar konsep, menjadikan konektivisme
sebagai pendekatan yang adaptif dan relevan untuk mendukung pembelajaran
sepanjang hayat (lifelong learning).³
Dalam praktiknya,
konektivisme telah diimplementasikan melalui berbagai bentuk, seperti Massive
Open Online Courses (MOOCs), pembelajaran berbasis proyek
digital, komunitas belajar virtual, dan integrasi kecerdasan buatan dalam
sistem pembelajaran adaptif. Meskipun demikian, konektivisme juga menghadapi
berbagai kritik dan tantangan, mulai dari status ilmiahnya sebagai teori,
keterbatasan infrastruktur digital, hingga kerentanan terhadap misinformasi dan
ketimpangan literasi digital.⁴
10.2.
Rekomendasi
Berdasarkan uraian
di atas, beberapa rekomendasi strategis yang dapat diajukan untuk memperkuat
penerapan teori konektivisme dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut:
1)
Penguatan Literasi
Digital Peserta Didik dan Guru
Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu
menyelenggarakan pelatihan literasi digital secara berkelanjutan agar peserta
didik dan pendidik mampu mengakses, mengevaluasi, dan mengelola informasi dari
berbagai sumber digital secara etis dan kritis.⁵ Hal ini juga mencakup pembiasaan
terhadap verifikasi informasi dan keterampilan berpikir reflektif.
2)
Desain Kurikulum yang
Adaptif dan Terbuka
Kurikulum pendidikan harus memberikan ruang yang
lebih besar bagi model pembelajaran terbuka, kolaboratif, dan berbasis proyek. Kegiatan
seperti eksplorasi digital, pembelajaran berbasis masalah, dan integrasi sumber
daring perlu diperluas dan dilembagakan dalam kerangka kurikulum nasional.⁶
3)
Pengembangan
Infrastruktur dan Akses Teknologi Merata
Pemerataan akses internet dan perangkat digital
harus menjadi prioritas dalam kebijakan transformasi pendidikan digital. Tanpa
akses yang setara, penerapan konektivisme berisiko hanya dinikmati oleh
sebagian kecil peserta didik.⁷
4)
Reformasi Sistem
Evaluasi Pembelajaran
Sistem penilaian perlu disesuaikan dengan
karakter pembelajaran konektivis. Penilaian otentik yang berbasis proses,
kontribusi digital, dan kualitas jejaring pengetahuan perlu diterapkan secara
sistemik.⁸ Ini termasuk portofolio daring, proyek kolaboratif, dan refleksi
digital.
5)
Peningkatan Peran Guru
sebagai Kurator dan Fasilitator Jejaring
Guru perlu dibekali kemampuan sebagai fasilitator
pembelajaran terbuka, termasuk dalam memilih dan menyusun sumber digital yang
kredibel, memfasilitasi komunitas belajar virtual, serta mendampingi peserta
didik dalam membangun jaringan pengetahuan.⁹
Dengan demikian,
konektivisme bukan hanya relevan sebagai pendekatan pedagogis di era digital,
tetapi juga memiliki potensi transformatif dalam menciptakan pembelajaran yang
demokratis, fleksibel, dan berorientasi masa depan.
Footnotes
[1]
George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning 2, no. 1 (2005): 3–5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.
[2]
Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning
in an Open Networked Learning Environment,” International
Journal of Self-Directed Learning 7,
no. 2 (2010): 2–4.
[3]
Siemens, Knowing Knowledge (self-published e-book, 2006), 30–35, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.
[4]
Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning Theory of the Future
or Vestige of the Past?” International Review of
Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 3–6, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.
[5]
UNESCO, Media and Information
Literacy Curriculum for Teachers
(Paris: UNESCO, 2011), 21–33.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Profil Pelajar
Pancasila dalam Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 8–12.
[7]
Kemendikbudristek, Transformasi Digital
Pendidikan: Laporan Tahunan 2022
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 25–26.
[8]
George Siemens, Knowing Knowledge, 36.
[9]
Stephen
Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 6–8, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.
Daftar Pustaka
Anderson, T., & Dron, J. (2011). Three
generations of distance education pedagogy. The International Review of
Research in Open and Distributed Learning, 12(3), 80–97. https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890
Downes, S. (2005). An introduction to connective
knowledge. International Journal of Instructional Technology and Distance
Learning, 2(1), 3–10. https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034
Gagné, R. M. (1985). The conditions of learning
and theory of instruction (4th ed.). Holt, Rinehart and Winston.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022a). Panduan pembelajaran dan asesmen
kurikulum merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022b). Profil pelajar Pancasila dalam
kurikulum merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022c). Transformasi digital pendidikan:
Laporan tahunan 2022. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022d). Panduan penerapan Project-Based
Learning dalam kurikulum merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kop, R., & Fournier, H. (2010). New dimensions
to self-directed learning in an open networked learning environment. International
Journal of Self-Directed Learning, 7(2), 1–20.
Kop, R., & Hill, A. (2008). Connectivism:
Learning theory of the future or vestige of the past? International Review
of Research in Open and Distributed Learning, 9(3), 1–13. https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523
Littlejohn, A., & Pegler, C. (2007). Preparing
for blended e-learning. Routledge.
Siemens, G. (2005). Connectivism: A learning theory
for the digital age. International Journal of Instructional Technology and
Distance Learning, 2(1), 3–10. https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm
Siemens, G. (2006). Knowing knowledge
[E-book]. https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf
Skinner, B. F. (1938). The behavior of
organisms: An experimental analysis. Appleton-Century-Crofts.
UNESCO. (2011). Media and information literacy
curriculum for teachers. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000192971
UNESCO. (2015). Global citizenship education:
Topics and learning objectives. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000232993
UNESCO. (2019). Artificial intelligence in
education: Challenges and opportunities for sustainable development. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000366994
UNESCO. (2022). Global education monitoring
report 2021/2: Non-state actors in education. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380619
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The
development of higher psychological processes (M. Cole, V. John-Steiner, S.
Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar