Kamis, 29 Mei 2025

Teori Konektivisme dalam Belajar: Belajar di Era Jaringan Digital

Teori Konektivisme dalam Belajar

Belajar di Era Jaringan Digital


Alihkan ke: Teori Belajar dan Pembelajaran.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif teori konektivisme sebagai paradigma pembelajaran baru yang relevan dengan era digital abad ke-21. Berangkat dari latar belakang perubahan drastis dalam akses dan distribusi informasi akibat kemajuan teknologi, konektivisme diposisikan sebagai respons terhadap keterbatasan teori belajar tradisional seperti behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme. Teori ini menekankan pentingnya kemampuan membangun, memelihara, dan menavigasi jaringan informasi sebagai inti dari proses belajar. Artikel ini menguraikan konsep dasar, sejarah perkembangan, prinsip-prinsip utama, serta perbandingan konektivisme dengan teori pembelajaran lainnya. Selain itu, dibahas pula implikasi konektivisme dalam dunia pendidikan, hubungan eratnya dengan teknologi, tantangan penerapannya, serta studi kasus implementasi praktis di berbagai jenjang pendidikan. Berdasarkan kajian ini, konektivisme diusulkan sebagai pendekatan pedagogis yang relevan untuk membentuk pembelajar yang mandiri, kritis, dan terhubung secara global. Artikel ini juga menyajikan rekomendasi strategis untuk mengoptimalkan penerapan konektivisme melalui penguatan literasi digital, desain kurikulum adaptif, reformasi sistem evaluasi, dan peningkatan kapasitas guru sebagai fasilitator jejaring pembelajaran.

Kata Kunci: Teori konektivisme; pembelajaran digital; jaringan informasi; pendidikan abad ke-21; literasi digital; pedagogi modern; teknologi pendidikan; kurikulum merdeka.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif terhadap Teori Konektivisme dalam Pembelajaran


1.           Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membawa transformasi besar dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pendidikan. Proses belajar yang sebelumnya berbasis pada interaksi tatap muka, kini semakin bergeser ke arah sistem pembelajaran berbasis jaringan digital. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada media dan metode pembelajaran, tetapi juga menuntut perubahan paradigma mengenai bagaimana pengetahuan diciptakan, disebarkan, dan dikuasai oleh individu. Dalam konteks inilah, muncul teori konektivisme sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang merefleksikan realitas kehidupan di era digital.

Teori konektivisme pertama kali diperkenalkan oleh George Siemens pada tahun 2004 sebagai respon terhadap keterbatasan teori-teori pembelajaran klasik seperti behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme dalam menjelaskan dinamika pembelajaran di era informasi. Siemens menyatakan bahwa “belajar adalah proses menghubungkan node informasi khusus, dan pembelajaran dapat berada di luar diri individu.”¹ Pernyataan ini mencerminkan esensi utama konektivisme: pengetahuan tidak lagi bersifat individualistik dan terletak dalam pikiran manusia semata, tetapi tersebar di seluruh jaringan, termasuk di dalam teknologi itu sendiri.

Sebagai teori pembelajaran abad ke-21, konektivisme menekankan pentingnya kemampuan individu untuk mengakses, mengelola, dan menilai informasi dalam jaringan yang luas dan dinamis. Dalam praktiknya, teori ini sangat relevan dengan konteks pembelajaran daring, pembelajaran berbasis proyek kolaboratif, serta pemanfaatan platform digital seperti Learning Management System (LMS), media sosial, blog, dan forum diskusi terbuka. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan keterampilan literasi digital dan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), konektivisme menjadi salah satu kerangka konseptual yang penting untuk dikaji dalam dunia pendidikan modern.²

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia melalui kebijakan Merdeka Belajar dan implementasi Kurikulum Merdeka pun menekankan pentingnya pengembangan kompetensi siswa yang bersifat kontekstual, adaptif, dan berbasis pemecahan masalah.³ Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip konektivisme yang memandang pembelajaran sebagai suatu proses sosial dan terbuka, yang tidak terbatasi oleh ruang kelas atau otoritas tunggal. Dalam konteks ini, guru berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik dalam membangun jejaring pengetahuan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang tersedia secara luas.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan kajian komprehensif tentang teori konektivisme, mencakup konsep dasar, prinsip-prinsip utama, perbandingan dengan teori lain, implikasi dalam dunia pendidikan, serta tantangan dan peluang penerapannya. Dengan pemahaman yang menyeluruh, diharapkan para pendidik dan pemangku kepentingan pendidikan dapat memanfaatkan teori ini sebagai landasan dalam merancang strategi pembelajaran yang relevan di era jaringan digital.


Footnotes

[1]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[2]                Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning Theory of the Future or Vestige of the Past?” International Review of Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 2–3, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 12–14.


2.           Konsep Dasar Teori Konektivisme

Teori konektivisme merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang muncul sebagai respons terhadap kompleksitas lingkungan belajar abad ke-21 yang ditandai dengan ledakan informasi, kemajuan teknologi, dan interkoneksi global. Konsep dasar dari teori ini menempatkan jaringan (network) sebagai inti dari proses pembelajaran, di mana pengetahuan tersebar dalam berbagai simpul (nodes) yang dapat berupa individu, kelompok, organisasi, perangkat digital, atau basis data online. Dalam konteks ini, belajar tidak lagi dipahami sebagai proses internalisasi pengetahuan secara individual semata, melainkan sebagai kemampuan untuk membentuk dan mengelola jaringan koneksi informasi yang relevan dan bermakna.¹

Menurut George Siemens, konektivisme adalah “teori pembelajaran untuk era digital, yang melihat pengetahuan sebagai jaringan dan belajar sebagai kemampuan untuk menavigasi dan mengelola jaringan tersebut.”² Dalam artikelnya yang berjudul Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age, Siemens menegaskan bahwa sumber pengetahuan tidak selalu berada dalam diri seseorang, tetapi bisa berada di luar dirinya—termasuk dalam database, perangkat lunak, atau bahkan dalam sistem kecerdasan buatan.³ Dengan demikian, kemampuan utama dalam konektivisme bukan sekadar menyimpan informasi, tetapi mengetahui di mana dan bagaimana informasi yang dibutuhkan dapat ditemukan serta dikoneksikan dengan informasi lainnya.

Konektivisme juga mengadopsi dan mengintegrasikan prinsip-prinsip dari beberapa bidang ilmu lainnya, seperti teori jaringan sosial (social network theory), kompleksitas (complexity theory), dan neurosains. Hal ini terlihat dari pendekatan konektivisme yang memandang pembelajaran sebagai proses yang adaptif, terdesentralisasi, dan berlangsung dalam sistem terbuka.⁴ Dalam sistem seperti itu, simpul-simpul informasi tidak bersifat statis, melainkan terus berkembang, saling berinteraksi, dan membentuk pola-pola baru sesuai dengan dinamika pengetahuan.

Terdapat beberapa prinsip utama yang menjadi fondasi dari teori konektivisme:

·                     Pembelajaran dan pengetahuan bergantung pada keanekaragaman opini.

·                     Pembelajaran adalah proses menghubungkan node informasi khusus.

·                     Pengetahuan bisa berada di luar diri manusia.

·                     Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang, ide, dan konsep sangat penting.

·                     Menjaga dan memelihara koneksi sangat penting untuk pembelajaran yang berkelanjutan.

·                     Kemampuan untuk mengenali informasi yang valid, tidak valid, dan dapat diperbarui adalah kunci keterampilan belajar.⁵

Konsep dasar ini menempatkan konektivisme sebagai teori pembelajaran yang sangat kontekstual dengan kehidupan digital, di mana akses terhadap informasi dan kolaborasi dalam jejaring pengetahuan menjadi lebih penting dibandingkan penguasaan isi pengetahuan semata. Dalam era digital yang penuh ketidakpastian dan perubahan cepat, konektivisme memberikan kerangka kerja yang dinamis dan adaptif untuk memahami bagaimana individu belajar dan berkembang secara berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3–5, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.

[2]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[3]                Siemens, “Connectivism,” 4.

[4]                Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning in an Open Networked Learning Environment,” International Journal of Self-Directed Learning 7, no. 2 (2010): 3–4.

[5]                George Siemens, “Knowing Knowledge” (self-published e-book, 2006), 30–33, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.


3.           Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya Teori Konektivisme

Teori konektivisme lahir sebagai respons terhadap perubahan mendasar dalam lanskap pendidikan dan pembelajaran akibat revolusi teknologi informasi pada awal abad ke-21. Perubahan ini ditandai oleh transformasi cara individu mengakses, menyimpan, dan membagikan informasi, yang tidak lagi terbatas pada media cetak atau pembelajaran tatap muka, melainkan telah berpindah ke ruang-ruang digital, platform daring, dan jaringan sosial global. Dalam konteks ini, pendekatan teori belajar tradisional seperti behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme mulai dirasakan tidak cukup mampu menjelaskan proses pembelajaran yang terjadi secara terbuka, masif, dan berbasis teknologi.¹

Teori konektivisme pertama kali diperkenalkan oleh George Siemens pada tahun 2004 melalui esainya yang berjudul “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age”. Dalam tulisannya, Siemens menyatakan bahwa “the pipe is more important than the content within the pipe,” mengisyaratkan bahwa saluran atau jaringan tempat mengalirnya informasi lebih penting daripada informasi itu sendiri.² Hal ini menandai pergeseran paradigma dari fokus pada isi pengetahuan ke arah fokus pada konektivitas dan kemampuan membangun jejaring pengetahuan. Bersama Stephen Downes, Siemens kemudian memperluas konsep ini menjadi landasan pedagogis bagi pembelajaran terbuka berbasis jaringan, seperti dalam pengembangan Massive Open Online Courses (MOOCs).³

Latar belakang teoritis dari konektivisme dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu kontemporer, terutama teori sistem kompleks (complexity theory), teori jaringan (network theory), dan neurosains. Konektivisme melihat otak sebagai sistem saraf yang saling terhubung dan belajar sebagai proses adaptif yang terjadi dalam lingkungan yang tidak statis.⁴ Ini berakar dari pemahaman bahwa realitas pembelajaran saat ini berlangsung dalam ekosistem digital yang terus berubah, di mana individu harus mampu mengenali pola, mengelola informasi dari berbagai sumber, dan membentuk hubungan bermakna di antara simpul-simpul pengetahuan.

Salah satu dorongan utama lahirnya konektivisme adalah kebutuhan untuk menjawab tantangan overload informasi dan ketidakpastian di dunia digital. Dalam dunia di mana pengetahuan berkembang sangat cepat, keterampilan utama yang dibutuhkan bukan lagi sekadar mengingat informasi, tetapi kemampuan untuk terus memperbarui diri, memilih informasi yang kredibel, dan menavigasi jejaring pengetahuan yang kompleks.⁵ Dalam kerangka inilah konektivisme menjadi jawaban terhadap tuntutan lifelong learning dan pembelajaran berbasis pengalaman dalam jaringan sosial dan digital.

Perlu dicatat bahwa konektivisme juga mencerminkan semangat pembelajaran abad ke-21 yang menekankan kolaborasi, kreativitas, pemecahan masalah, dan literasi digital. Hal ini selaras dengan kebijakan pendidikan Indonesia dalam Kurikulum Merdeka yang mendorong pengembangan profil pelajar Pancasila, termasuk kemampuan bernalar kritis dan mandiri dalam belajar.⁶ Dengan demikian, konektivisme bukan hanya teori yang relevan secara internasional, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang kuat dalam konteks pendidikan nasional.


Footnotes

[1]                Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning Theory of the Future or Vestige of the Past?” International Review of Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 2, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.

[2]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[3]                Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3–6, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.

[4]                Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education Pedagogy,” International Review of Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 81–97, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.

[5]                Siemens, “Connectivism,” 3–4.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 18–20.


4.           Prinsip-Prinsip Utama dalam Teori Konektivisme

Teori konektivisme dikembangkan sebagai respons terhadap kebutuhan akan kerangka pembelajaran baru di era digital. Teori ini menekankan bahwa pengetahuan tersebar dalam jejaring informasi dan bahwa proses belajar melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi, membentuk, dan memelihara koneksi yang bermakna antar node dalam jaringan tersebut.¹ Berbeda dari pendekatan-pendekatan pembelajaran tradisional yang fokus pada proses internalisasi atau konstruksi individu, konektivisme memandang pembelajaran sebagai proses eksternal yang berlangsung dalam sistem terbuka yang dinamis.

Menurut George Siemens, terdapat sejumlah prinsip utama yang menjadi fondasi teori konektivisme. Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjelaskan karakteristik dasar dari proses belajar dalam konteks digital, tetapi juga memberikan arahan strategis bagi desain pembelajaran modern.² Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

4.1.       Pembelajaran dan pengetahuan bergantung pada keanekaragaman opini

Konektivisme mengakui bahwa tidak ada satu sumber pengetahuan yang absolut. Keanekaragaman perspektif, baik dari manusia maupun mesin (seperti algoritma, AI, atau database), memperkaya proses belajar karena memungkinkan pembelajar untuk mengevaluasi dan mengintegrasikan informasi dari berbagai sudut pandang.³

4.2.       Pembelajaran adalah proses menghubungkan simpul (node) informasi

Node dalam konteks ini dapat berupa orang, komunitas, organisasi, atau sumber digital. Proses belajar terjadi ketika seseorang membentuk koneksi baru atau memperkuat koneksi yang sudah ada antar node tersebut.⁴ Oleh karena itu, kemampuan membangun jejaring yang luas dan relevan merupakan keterampilan kunci dalam konektivisme.

4.3.       Pengetahuan dapat berada di luar diri individu

Dalam konektivisme, sumber pengetahuan tidak terbatas pada pikiran manusia. Informasi yang disimpan dalam perangkat keras, sistem manajemen pembelajaran (LMS), atau bahkan algoritma mesin merupakan bagian dari lanskap pembelajaran yang harus dapat diakses dan dimanfaatkan oleh individu.⁵

4.4.       Kemampuan untuk mengetahui lebih penting daripada apa yang diketahui saat ini

Konektivisme memandang bahwa dalam dunia yang serba cepat dan penuh perubahan, keterampilan untuk menemukan dan mengakses informasi yang diperlukan jauh lebih esensial daripada menghafal fakta-fakta tertentu.⁶ Ini menjadikan pembelajar sebagai pengelola pengetahuan, bukan sekadar penerima.

4.5.       Pemeliharaan koneksi adalah kunci untuk pembelajaran berkelanjutan

Karena informasi terus berubah dan berkembang, pembelajar dituntut untuk terus memelihara dan memperbarui koneksi mereka agar tetap relevan.⁷ Hal ini mencerminkan sifat adaptif dan terus-menerus dari pembelajaran dalam konektivisme.

4.6.       Kemampuan untuk mengenali hubungan antara ide, konsep, dan bidang

Pembelajaran bermakna dalam konektivisme ditandai dengan kemampuan untuk melihat pola dan keterkaitan antar berbagai elemen informasi. Keterampilan ini memungkinkan individu mengintegrasikan berbagai disiplin dan mengembangkan pengetahuan lintas bidang.⁸

4.7.       Pengambilan keputusan sebagai proses pembelajaran

Dalam konektivisme, membuat keputusan tentang informasi mana yang layak untuk dipelajari, diabaikan, atau diperbarui adalah bagian integral dari proses belajar. Informasi tidak lagi statis, dan keputusan-keputusan tersebut membentuk arah perkembangan pengetahuan seseorang.⁹

Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa pembelajaran dalam konektivisme bersifat partisipatif, terbuka, dan terus berkembang. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, pembelajaran bukan hanya tentang isi (content), melainkan tentang konteks dan konektivitas antar informasi yang beragam. Ini menuntut keterampilan baru dalam navigasi informasi, berpikir kritis, dan kolaborasi lintas platform, yang semuanya esensial bagi pendidikan masa kini dan masa depan.


Footnotes

[1]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[2]                Siemens, “Connectivism,” 4–5.

[3]                Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning in an Open Networked Learning Environment,” International Journal of Self-Directed Learning 7, no. 2 (2010): 2–4.

[4]                Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 4–6, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.

[5]                Siemens, “Connectivism,” 4.

[6]                George Siemens, Knowing Knowledge (self-published e-book, 2006), 30, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.

[7]                Siemens, Knowing Knowledge, 32.

[8]                Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education Pedagogy,” International Review of Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 84–85, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.

[9]                Siemens, “Connectivism,” 5.


5.           Perbandingan Teori Konektivisme dengan Teori Belajar Lain

Teori konektivisme muncul bukan sebagai penolakan terhadap teori-teori pembelajaran sebelumnya, melainkan sebagai pengembangan yang menyesuaikan dengan konteks sosial dan teknologi masa kini. Untuk memahami keunikan dan kontribusi konektivisme, penting untuk membandingkannya secara konseptual dengan tiga teori pembelajaran utama yang mendahuluinya: behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme.

5.1.       Perbandingan dengan Teori Behaviorisme

Behaviorisme memandang pembelajaran sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati, yang terjadi sebagai respons terhadap stimulus eksternal melalui proses penguatan (reinforcement). Tokoh utama seperti B.F. Skinner dan Ivan Pavlov menekankan pentingnya kontrol lingkungan dalam membentuk perilaku belajar.¹ Dalam behaviorisme, pengetahuan dianggap sebagai hasil dari asosiasi yang dibentuk melalui repetisi dan latihan.

Sebaliknya, konektivisme tidak memusatkan perhatian pada stimulus-respons atau penguatan perilaku, melainkan pada hubungan antar node informasi yang dapat bersifat digital maupun sosial.² Dalam konteks digital, pembelajaran tidak lagi terbatas pada ruang fisik atau perilaku yang tampak, tetapi juga mencakup kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan mengintegrasikan informasi dari berbagai platform. Ini membuat konektivisme lebih sesuai untuk menjelaskan proses belajar dalam ekosistem yang kompleks dan cepat berubah.

5.2.       Perbandingan dengan Teori Kognitivisme

Kognitivisme memandang pembelajaran sebagai proses internal yang melibatkan pengolahan informasi dalam pikiran, seperti perhatian, memori, dan penalaran. Tokoh seperti Jean Piaget dan Robert Gagné mengembangkan model yang menjelaskan bagaimana informasi disaring, disimpan, dan diambil kembali.³ Fokus utama dalam kognitivisme adalah bagaimana siswa memahami dan mengorganisasi pengetahuan secara mental.

Meskipun konektivisme mengakui pentingnya proses kognitif, ia memperluas domain belajar dengan menekankan bahwa pengetahuan tidak hanya berada dalam pikiran individu, tetapi juga tersebar dalam jaringan eksternal. Siemens menyatakan bahwa “kita tidak bisa lagi mendefinisikan pembelajaran hanya sebagai perubahan internal yang stabil dalam struktur kognitif,” karena pengetahuan dapat berada di luar otak, seperti dalam basis data atau komunitas digital.⁴ Oleh karena itu, konektivisme menekankan pentingnya keterampilan metakognitif dan kemampuan navigasi dalam ekosistem informasi yang luas.

5.3.       Perbandingan dengan Teori Konstruktivisme

Konstruktivisme mengemukakan bahwa pengetahuan dibangun oleh individu melalui pengalaman dan interaksi sosial. Teori ini menekankan proses aktif dalam mengkonstruksi makna berdasarkan pengalaman sebelumnya dan konteks lingkungan. Tokoh seperti Lev Vygotsky dan Jerome Bruner menekankan peran mediasi sosial dan budaya dalam proses belajar.⁵

Konektivisme mengambil banyak unsur dari konstruktivisme, terutama dalam hal peran aktif pembelajar dan pentingnya konteks. Namun, perbedaan utamanya terletak pada orientasi terhadap lingkungan digital dan teknologi jaringan. Konstruktivisme masih berfokus pada interaksi antar manusia dalam konteks sosial langsung, sedangkan konektivisme memasukkan interaksi digital, komunitas virtual, dan sumber-sumber pengetahuan berbasis teknologi sebagai bagian integral dari proses belajar.⁶

Selain itu, dalam konstruktivisme, makna dibangun melalui refleksi atas pengalaman personal, sementara dalam konektivisme, makna juga dapat muncul dari pola interaksi yang terbentuk dalam jaringan global, termasuk interaksi mesin dan algoritma yang tidak melibatkan hubungan manusia secara langsung.

5.4.       Perbandingan Teori Konektivisme dengan Teori Belajar Lain

5.4.1.    Fokus Utama

·                     Behaviorisme: Menekankan pada perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai hasil dari stimulus dan respons.

·                     Kognitivisme: Fokus pada proses mental internal seperti pemahaman, memori, dan pengolahan informasi.

·                     Konstruktivisme: Memandang belajar sebagai proses aktif membangun makna berdasarkan pengalaman dan interaksi sosial.

·                     Konektivisme: Menitikberatkan pada pembentukan dan pengelolaan koneksi dalam jaringan informasi sebagai inti dari proses belajar.

5.4.2.      Peran Teknologi

·                     Behaviorisme: Teknologi tidak menjadi pusat pembelajaran; digunakan sebatas sebagai alat bantu.

·                     Kognitivisme: Teknologi berfungsi sebagai media untuk membantu proses pengolahan dan penyajian informasi.

·                     Konstruktivisme: Teknologi dimanfaatkan untuk mendukung kolaborasi dan simulasi pengalaman belajar.

·                     Konektivisme: Teknologi adalah komponen utama, baik sebagai sumber pengetahuan maupun sebagai ruang terjadinya pembelajaran.

5.4.3.      Peran Siswa

·                     Behaviorisme: Siswa dipandang sebagai penerima pasif yang merespon stimulus yang diberikan.

·                     Kognitivisme: Siswa berperan aktif dalam mengolah informasi dan membangun pemahaman.

·                     Konstruktivisme: Siswa aktif mengonstruksi pengetahuan melalui interaksi dan refleksi.

·                     Konektivisme: Siswa aktif membangun, memelihara, dan mengelola jaringan pengetahuan dari berbagai sumber.

5.4.4.      Sumber Pengetahuan

·                     Behaviorisme: Terpusat pada guru atau pihak eksternal yang mengontrol proses pembelajaran.

·                     Kognitivisme: Pengetahuan diperoleh dari luar tetapi diproses secara internal dalam pikiran siswa.

·                     Konstruktivisme: Pengetahuan berasal dari konteks sosial dan pengalaman yang dipersonalisasi.

·                     Konektivisme: Pengetahuan bersifat tersebar di seluruh jaringan digital, komunitas virtual, dan sistem teknologi.

5.4.5.      Tujuan Belajar

·                     Behaviorisme: Bertujuan untuk menghasilkan perubahan perilaku yang dapat diamati dan diukur.

·                     Kognitivisme: Bertujuan untuk memperbaiki dan memperkaya struktur kognitif internal.

·                     Konstruktivisme: Bertujuan agar siswa mampu membangun sendiri pemahamannya terhadap dunia.

·                     Konektivisme: Bertujuan agar siswa mampu menavigasi, mengevaluasi, dan mengelola informasi secara efektif dalam jaringan pengetahuan yang kompleks.


Footnotes

[1]                B.F. Skinner, The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis (New York: Appleton-Century-Crofts, 1938), 35.

[2]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3–4, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[3]                Robert Gagné, The Conditions of Learning and Theory of Instruction, 4th ed. (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985), 11–13.

[4]                Siemens, “Connectivism,” 4.

[5]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–86.

[6]                Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning Theory of the Future or Vestige of the Past?” International Review of Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 3–5, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.


6.           Implikasi Konektivisme dalam Dunia Pendidikan

Konektivisme, sebagai teori pembelajaran kontemporer yang berakar pada perkembangan teknologi dan jejaring informasi digital, memiliki implikasi yang luas dalam dunia pendidikan. Teori ini menantang paradigma pembelajaran tradisional dan menawarkan pendekatan baru yang lebih adaptif terhadap kompleksitas informasi di abad ke-21. Dalam konteks implementasi pendidikan, konektivisme memengaruhi cara guru merancang pembelajaran, peran peserta didik, serta struktur kurikulum dan sistem penilaian.

6.1.       Transformasi Peran Guru dan Peserta Didik

Dalam pendekatan konektivisme, guru tidak lagi berfungsi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan (knowledge transmitter), melainkan sebagai fasilitator, pelatih literasi informasi, dan penjaga kualitas koneksi pengetahuan. Guru diharapkan mampu membantu peserta didik dalam membangun jaringan pembelajaran yang luas, kritis, dan relevan.¹ Peserta didik, di sisi lain, diharapkan menjadi pembelajar mandiri yang aktif mencari, menilai, dan membagikan informasi melalui berbagai saluran, baik formal maupun informal.

Peran ini sejalan dengan tuntutan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka, yang mengedepankan karakter mandiri, bernalar kritis, serta mampu bertanggung jawab dalam proses pembelajaran.² Konektivisme memberi ruang besar bagi pengembangan profil ini karena menekankan pada pengelolaan informasi, kolaborasi lintas media, dan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning).

6.2.       Desain Kurikulum dan Pembelajaran Fleksibel

Konektivisme menuntut perubahan dalam desain kurikulum yang sebelumnya bersifat linier dan terstruktur menjadi lebih fleksibel, adaptif, dan terbuka.³ Kurikulum konektivis tidak lagi hanya fokus pada pencapaian kompetensi kognitif, melainkan juga pada keterampilan membangun koneksi, kemampuan digital, serta kesadaran terhadap dinamika informasi global.

Pendekatan ini mendorong penggunaan Project-Based Learning (PjBL), Inquiry-Based Learning, dan model pembelajaran berbasis masalah yang menempatkan peserta didik dalam situasi nyata yang menuntut akses, kolaborasi, dan pemecahan masalah melalui sumber digital. Pembelajaran tidak dibatasi oleh ruang kelas, tetapi meluas ke ruang-ruang virtual seperti forum daring, komunitas pembelajaran digital, media sosial edukatif, dan platform pembelajaran terbuka seperti MOOC.⁴

6.3.       Literasi Digital dan Kecakapan Informasional

Implikasi lain yang penting dari konektivisme adalah perlunya penguatan literasi digital dan kecakapan informasional (information literacy). Dalam lanskap pembelajaran berbasis jaringan, kemampuan untuk menilai validitas informasi, menghindari misinformasi, serta membangun argumen berdasarkan data yang kredibel menjadi sangat penting.⁵ Peserta didik perlu dibekali keterampilan mengevaluasi sumber, menyaring informasi relevan, serta menjaga etika digital.

Kurikulum pendidikan harus memasukkan pelatihan literasi digital secara eksplisit, termasuk penggunaan alat pencarian informasi, pengelolaan data, serta penggunaan platform digital secara aman dan bertanggung jawab.⁶ Hal ini juga mencerminkan prinsip pembelajaran sepanjang hayat, di mana peserta didik dilatih untuk terus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi.

6.4.       Sistem Penilaian Otentik dan Berbasis Jaringan

Konektivisme juga menuntut adanya reformasi dalam sistem penilaian. Alih-alih hanya menilai capaian kognitif melalui tes tertulis, penilaian dalam kerangka konektivis melibatkan penilaian proses, kolaborasi, dan kemampuan mengelola jaringan pengetahuan.⁷ Misalnya, penilaian berbasis proyek digital, portofolio daring, kontribusi dalam forum pembelajaran virtual, serta kemampuan mengintegrasikan berbagai sumber menjadi instrumen yang lebih relevan dalam konteks konektivisme.

Dengan pendekatan ini, peserta didik tidak hanya dinilai berdasarkan “apa yang mereka ketahui,” tetapi lebih penting lagi, “bagaimana mereka mengakses, membangun, dan menerapkan pengetahuan.”


Footnotes

[1]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3–5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–12.

[3]                Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning in an Open Networked Learning Environment,” International Journal of Self-Directed Learning 7, no. 2 (2010): 2–4.

[4]                Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education Pedagogy,” International Review of Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 82–85, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.

[5]                Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 6–7, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.

[6]                UNESCO, Media and Information Literacy Curriculum for Teachers (Paris: UNESCO, 2011), 21–29, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000192971.

[7]                George Siemens, Knowing Knowledge (self-published e-book, 2006), 34–36, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.


7.           Konektivisme dan Teknologi Pendidikan

Konektivisme tidak hanya hadir sebagai teori belajar baru, tetapi juga sebagai respons terhadap cara teknologi telah mengubah struktur dan proses pembelajaran secara fundamental. Dalam konteks ini, teknologi pendidikan bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian integral dari lingkungan belajar itu sendiri. Teknologi menjadi simpul (node) pengetahuan yang aktif, yang dapat memberikan, memproses, dan bahkan mengonstruksi informasi secara dinamis.¹

George Siemens menyatakan bahwa dalam konektivisme, teknologi tidak lagi dipisahkan dari pembelajaran, melainkan merupakan bagian dari sistem kognitif eksternal yang memperluas daya pikir manusia.² Oleh karena itu, pemahaman tentang hubungan antara konektivisme dan teknologi pendidikan sangat penting untuk merealisasikan praktik pembelajaran yang adaptif, terbuka, dan relevan dengan tantangan zaman.

7.1.       Peran Teknologi sebagai Node Pengetahuan

Dalam pandangan konektivisme, node tidak hanya terbatas pada manusia, tetapi juga mencakup entitas non-manusia seperti basis data, perangkat lunak, algoritma, dan sistem pembelajaran daring.³ Teknologi digital, dengan kemampuannya menyimpan, mengorganisasi, dan merekomendasikan informasi, berperan aktif dalam proses belajar. Contohnya termasuk sistem Learning Management System (LMS), mesin pencari (search engines), aplikasi pembelajaran adaptif, serta sistem kecerdasan buatan yang dapat mempersonalisasi materi pembelajaran berdasarkan pola interaksi pengguna.

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya sarana untuk mengakses pengetahuan, melainkan juga menjadi mitra aktif dalam membangun dan mendistribusikan pengetahuan.

7.2.       Integrasi Teknologi dalam Desain Pembelajaran

Penerapan konektivisme mendorong integrasi teknologi dalam desain pembelajaran yang memungkinkan pembelajar untuk membangun koneksi informasi secara luas. Platform seperti Massive Open Online Courses (MOOCs), Google Workspace for Education, Edmodo, Moodle, dan Canvas memberikan ruang untuk interaksi multipihak dan akses ke sumber belajar global.⁴

Di Indonesia, kebijakan transformasi digital pendidikan yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek melalui platform seperti Merdeka Mengajar, Rapor Pendidikan, dan Platform Sumber Belajar juga menunjukkan arah yang selaras dengan pendekatan konektivisme.⁵ Teknologi digunakan tidak hanya sebagai alat bantu administrasi, tetapi juga sebagai ruang reflektif, kolaboratif, dan eksploratif dalam proses belajar.

7.3.       Kolaborasi Virtual dan Komunitas Belajar Digital

Salah satu kekuatan utama teknologi dalam konektivisme adalah kemampuannya menghubungkan individu ke dalam komunitas belajar global. Pembelajar tidak lagi terbatas pada interaksi dengan guru di ruang kelas, tetapi dapat berpartisipasi dalam diskusi lintas negara melalui forum, grup media sosial, atau jaringan profesional seperti LinkedIn Learning dan Coursera.⁶

Model ini mendorong pembelajar untuk mengembangkan kompetensi global, meningkatkan kolaborasi lintas budaya, serta memperluas cakrawala pengetahuan dengan perspektif yang beragam. Hal ini mendukung prinsip konektivisme yang menekankan keberagaman perspektif dan konektivitas sebagai fondasi pembelajaran yang bermakna.

7.4.       Peran Kecerdasan Buatan dan Big Data

Kehadiran Artificial Intelligence (AI) dan Big Data juga membawa dampak signifikan dalam ekosistem konektivisme. Teknologi ini memungkinkan sistem pembelajaran untuk menganalisis perilaku pengguna, menyusun materi yang sesuai, memberikan umpan balik otomatis, bahkan memprediksi kebutuhan belajar di masa depan.⁷

Dalam kerangka konektivisme, kecerdasan buatan dipandang sebagai simpul pengetahuan yang dapat memperkaya jaringan informasi, mempercepat personalisasi pembelajaran, dan mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik oleh pendidik dan peserta didik.


Footnotes

[1]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 4–5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[2]                Siemens, “Connectivism,” 3.

[3]                Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 6, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.

[4]                Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education Pedagogy,” International Review of Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 85–87, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Transformasi Digital Pendidikan: Laporan Tahunan 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 11–16.

[6]                Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning in an Open Networked Learning Environment,” International Journal of Self-Directed Learning 7, no. 2 (2010): 2–4.

[7]                UNESCO, Artificial Intelligence in Education: Challenges and Opportunities for Sustainable Development (Paris: UNESCO, 2019), 35–38, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000366994.


8.           Kritik dan Tantangan terhadap Teori Konektivisme

Meskipun teori konektivisme mendapatkan pengakuan luas sebagai pendekatan yang relevan di era digital, teori ini juga tidak luput dari berbagai kritik dan tantangan, baik dari sisi filosofis, metodologis, maupun praktis. Sebagai teori yang relatif baru, konektivisme menghadapi tuntutan untuk terus menguatkan fondasi ilmiahnya dan menunjukkan efektivitas aplikatif yang konsisten di berbagai konteks pendidikan.

8.1.       Status Teoretis yang Dipertanyakan

Salah satu kritik paling mendasar terhadap konektivisme adalah mengenai statusnya sebagai teori belajar yang sahih. Para kritikus berpendapat bahwa konektivisme lebih tepat dipandang sebagai sebuah kerangka kerja pedagogis atau model pembelajaran ketimbang teori dalam pengertian ilmiah yang ketat.¹ Teori belajar tradisional, seperti behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme, memiliki basis empiris yang kuat dan telah diuji dalam berbagai eksperimen pendidikan. Sementara itu, konektivisme dianggap masih bersifat deskriptif dan belum cukup menunjukkan validitas empiris yang sistematis.

Rita Kop dan Adrian Hill, misalnya, mempertanyakan apakah konektivisme benar-benar menawarkan sesuatu yang baru secara fundamental atau hanya mendaur ulang konsep-konsep yang telah ada, seperti pembelajaran sosial dan belajar mandiri.²

8.2.       Tantangan dalam Implementasi Kurikulum

Dalam praktiknya, implementasi konektivisme dalam kurikulum menghadapi hambatan struktural. Kurikulum pendidikan formal, khususnya di sistem yang masih sangat terpusat seperti di banyak negara berkembang, belum sepenuhnya mendukung model pembelajaran terbuka dan fleksibel sebagaimana dituntut oleh konektivisme.³ Pembelajaran yang berbasis jaringan, proyek kolaboratif, atau interaksi dengan sumber daring sering kali terbentur oleh keterbatasan waktu, sistem evaluasi yang kaku, dan budaya sekolah yang masih berorientasi pada guru sebagai pusat.

Kurikulum nasional seperti Kurikulum Merdeka di Indonesia sudah mulai mengakomodasi fleksibilitas pembelajaran, tetapi dalam praktiknya masih memerlukan adaptasi struktural dan peningkatan kapasitas guru agar dapat mendukung penerapan prinsip-prinsip konektivisme secara menyeluruh.⁴

8.3.       Ketimpangan Akses terhadap Teknologi

Teori konektivisme sangat bergantung pada ketersediaan dan kemampuan dalam memanfaatkan teknologi digital. Hal ini menjadi tantangan besar dalam konteks kesenjangan digital (digital divide), baik antara negara maju dan berkembang, maupun antar wilayah dalam satu negara.⁵ Keterbatasan akses internet, perangkat digital, dan literasi teknologi membuat banyak peserta didik tidak dapat secara optimal membangun koneksi informasi sebagaimana yang diasumsikan dalam konektivisme.

Di Indonesia, laporan Kemendikbudristek menunjukkan bahwa masih terdapat disparitas besar dalam akses terhadap internet cepat, khususnya di daerah terpencil dan 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).⁶ Tanpa upaya sistemik untuk menjembatani kesenjangan ini, konektivisme berisiko menjadi eksklusif bagi kelompok yang memiliki sumber daya teknologi memadai.

8.4.       Risiko Misinformasi dan Overload Informasi

Di tengah arus informasi digital yang tak terbendung, peserta didik sering kali dihadapkan pada tantangan membedakan antara informasi yang valid dan yang menyesatkan.⁷ Konektivisme, dengan asumsi bahwa pembelajar akan mampu menilai dan memilih informasi secara kritis, sering kali tidak mempertimbangkan bahwa tidak semua pembelajar memiliki tingkat literasi digital yang memadai.

Fenomena infodemic yang terjadi selama pandemi COVID-19 memperlihatkan betapa mudahnya informasi keliru tersebar melalui jaringan digital. Dalam konteks ini, konektivisme perlu disertai dengan intervensi pedagogis yang kuat dalam membangun kemampuan berpikir kritis, etika digital, dan verifikasi sumber informasi.⁸

8.5.       Evaluasi Pembelajaran yang Kompleks

Model pembelajaran berbasis konektivisme menekankan proses dan interaksi yang kompleks, seperti membangun jaringan, kolaborasi lintas platform, dan eksplorasi sumber terbuka. Hal ini menimbulkan tantangan dalam sistem evaluasi konvensional yang cenderung mengutamakan aspek kognitif terukur melalui tes objektif.⁹

Diperlukan model penilaian alternatif yang mampu menilai kontribusi pembelajar dalam jaringan, kemampuan membangun argumen berbasis data, serta keterampilan dalam navigasi informasi. Penilaian portofolio digital, peer review, dan rubrik kolaboratif menjadi beberapa contoh pendekatan evaluasi yang lebih sesuai dengan kerangka konektivisme.


Footnotes

[1]                Allison Littlejohn and Chris Pegler, Preparing for Blended E-Learning (New York: Routledge, 2007), 89–90.

[2]                Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning Theory of the Future or Vestige of the Past?” International Review of Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 2–4, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.

[3]                Terry Anderson and Jon Dron, “Three Generations of Distance Education Pedagogy,” International Review of Research in Open and Distributed Learning 12, no. 3 (2011): 83, https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 8–12.

[5]                UNESCO, Global Education Monitoring Report 2021/2: Non-State Actors in Education (Paris: UNESCO, 2022), 56–59, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380619.

[6]                Kemendikbudristek, Laporan Tahunan Transformasi Digital Pendidikan 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 24–25.

[7]                Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 7–8.

[8]                UNESCO, Media and Information Literacy Curriculum for Teachers (Paris: UNESCO, 2011), 30–35.

[9]                George Siemens, Knowing Knowledge (self-published e-book, 2006), 33–36, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.


9.           Studi Kasus dan Implementasi Praktis

Agar teori konektivisme tidak hanya menjadi gagasan normatif, penting untuk meninjau bagaimana ia diimplementasikan dalam praktik pendidikan. Studi kasus dan pengalaman empiris dari berbagai institusi menunjukkan bahwa pendekatan konektivisme dapat diterapkan secara efektif melalui integrasi teknologi digital, desain pembelajaran terbuka, dan kolaborasi berbasis jaringan. Implementasi ini tidak hanya terjadi di tingkat perguruan tinggi, tetapi juga mulai menyentuh pendidikan dasar dan menengah, termasuk dalam konteks pendidikan di Indonesia.

9.1.       Studi Kasus: MOOCs sebagai Manifestasi Konektivisme

Salah satu bentuk nyata dari implementasi konektivisme adalah pengembangan Massive Open Online Courses (MOOCs). Inisiatif seperti Coursera, edX, dan FutureLearn telah menerapkan prinsip-prinsip konektivisme dengan menyediakan akses pembelajaran terbuka kepada jutaan peserta didik di seluruh dunia.¹

MOOCs memungkinkan pembelajar untuk membangun jejaring pengetahuan dengan dosen, pakar, dan sesama peserta dari berbagai latar belakang. Fitur seperti forum diskusi, peer review, dan proyek kolaboratif global mencerminkan esensi konektivisme—yakni pembelajaran yang terjadi melalui koneksi dalam lingkungan digital yang terbuka dan terdesentralisasi.²

9.2.       Implementasi di Sekolah: Pembelajaran Berbasis Proyek Digital

Di tingkat pendidikan menengah, konektivisme dapat diimplementasikan melalui model Project-Based Learning (PjBL) yang berbasis platform digital. Sebagai contoh, beberapa sekolah penggerak di Indonesia menggunakan Google Workspace for Education, Padlet, dan Canva Edu untuk mendorong siswa menyusun proyek kolaboratif lintas mata pelajaran.³

Proyek-proyek tersebut mengharuskan peserta didik untuk mencari informasi dari berbagai sumber daring, berdiskusi secara virtual, dan menyajikan hasil dalam format multimedia. Proses ini tidak hanya membangun pengetahuan, tetapi juga melatih keterampilan berpikir kritis, literasi digital, dan kerja tim lintas platform.

Kegiatan semacam ini juga sejalan dengan indikator Profil Pelajar Pancasila, khususnya dalam aspek kemandirian, kreativitas, dan kemampuan bernalar kritis.⁴

9.3.       Praktik Guru sebagai Fasilitator Jaringan Belajar

Dalam kerangka konektivisme, guru berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik mengakses, mengevaluasi, dan menghubungkan informasi dari berbagai node pengetahuan. Studi oleh Siemens dan Downes menunjukkan bahwa dalam lingkungan belajar konektivis, guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membimbing peserta didik dalam membangun jaringan belajar personal (personal learning network).⁵

Di Indonesia, praktik ini telah diterapkan oleh guru-guru inovatif yang menggunakan platform seperti Merdeka Mengajar, YouTube Edu, dan Komunitas Belajar Daring (KBD) untuk membangun ekosistem pembelajaran terbuka. Guru menjadi kurator sumber belajar digital, pembimbing refleksi kritis, sekaligus fasilitator kolaborasi antar siswa.

9.4.       Kolaborasi Global: Model Pembelajaran Terhubung Antarnegara

Implementasi konektivisme juga dapat dilihat dalam inisiatif global classroom, di mana peserta didik dari negara berbeda bekerja sama dalam proyek bersama melalui platform seperti eTwinning, iEARN, atau Global Scholars.⁶ Dalam proyek ini, siswa Indonesia dapat berdiskusi dengan siswa di Jepang, Amerika Serikat, atau Belanda dalam bahasa Inggris, membahas isu-isu global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, atau kebudayaan digital.

Model ini sangat mendukung prinsip konektivisme karena:

·                     Menyediakan beragam perspektif dalam jaringan belajar,

·                     Memperluas jejaring internasional peserta didik,

·                     Mendorong keterampilan digital dan kolaboratif lintas budaya.


Footnotes

[1]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 6, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[2]                Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning in an Open Networked Learning Environment,” International Journal of Self-Directed Learning 7, no. 2 (2010): 2–4.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Penerapan Project-Based Learning dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–17.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–11.

[5]                Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 4–6, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.

[6]                UNESCO, Global Citizenship Education: Topics and Learning Objectives (Paris: UNESCO, 2015), 23–27, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000232993.


10.       Kesimpulan dan Rekomendasi

10.1.    Kesimpulan

Teori konektivisme hadir sebagai respons terhadap tantangan dan peluang pembelajaran di era digital yang ditandai oleh kecepatan perkembangan informasi, keterbukaan akses pengetahuan, dan meningkatnya peran teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dari teori belajar tradisional seperti behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme yang berfokus pada proses internal individu, konektivisme menempatkan jaringan informasi dan hubungan antar node—baik manusia maupun teknologi—sebagai elemen sentral dalam proses belajar.¹

Konektivisme menawarkan paradigma baru yang lebih sesuai dengan realitas abad ke-21, di mana pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas, melainkan berlangsung secara luas melalui koneksi digital, media sosial, komunitas daring, dan platform pembelajaran terbuka.² Prinsip-prinsip utamanya, seperti pentingnya membangun dan memelihara koneksi, kapasitas untuk mengetahui di mana informasi berada, serta kemampuan mengenali pola antar konsep, menjadikan konektivisme sebagai pendekatan yang adaptif dan relevan untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning).³

Dalam praktiknya, konektivisme telah diimplementasikan melalui berbagai bentuk, seperti Massive Open Online Courses (MOOCs), pembelajaran berbasis proyek digital, komunitas belajar virtual, dan integrasi kecerdasan buatan dalam sistem pembelajaran adaptif. Meskipun demikian, konektivisme juga menghadapi berbagai kritik dan tantangan, mulai dari status ilmiahnya sebagai teori, keterbatasan infrastruktur digital, hingga kerentanan terhadap misinformasi dan ketimpangan literasi digital.⁴

10.2.    Rekomendasi

Berdasarkan uraian di atas, beberapa rekomendasi strategis yang dapat diajukan untuk memperkuat penerapan teori konektivisme dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut:

1)                  Penguatan Literasi Digital Peserta Didik dan Guru

Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu menyelenggarakan pelatihan literasi digital secara berkelanjutan agar peserta didik dan pendidik mampu mengakses, mengevaluasi, dan mengelola informasi dari berbagai sumber digital secara etis dan kritis.⁵ Hal ini juga mencakup pembiasaan terhadap verifikasi informasi dan keterampilan berpikir reflektif.

2)                  Desain Kurikulum yang Adaptif dan Terbuka

Kurikulum pendidikan harus memberikan ruang yang lebih besar bagi model pembelajaran terbuka, kolaboratif, dan berbasis proyek. Kegiatan seperti eksplorasi digital, pembelajaran berbasis masalah, dan integrasi sumber daring perlu diperluas dan dilembagakan dalam kerangka kurikulum nasional.⁶

3)                  Pengembangan Infrastruktur dan Akses Teknologi Merata

Pemerataan akses internet dan perangkat digital harus menjadi prioritas dalam kebijakan transformasi pendidikan digital. Tanpa akses yang setara, penerapan konektivisme berisiko hanya dinikmati oleh sebagian kecil peserta didik.⁷

4)                  Reformasi Sistem Evaluasi Pembelajaran

Sistem penilaian perlu disesuaikan dengan karakter pembelajaran konektivis. Penilaian otentik yang berbasis proses, kontribusi digital, dan kualitas jejaring pengetahuan perlu diterapkan secara sistemik.⁸ Ini termasuk portofolio daring, proyek kolaboratif, dan refleksi digital.

5)                  Peningkatan Peran Guru sebagai Kurator dan Fasilitator Jejaring

Guru perlu dibekali kemampuan sebagai fasilitator pembelajaran terbuka, termasuk dalam memilih dan menyusun sumber digital yang kredibel, memfasilitasi komunitas belajar virtual, serta mendampingi peserta didik dalam membangun jaringan pengetahuan.⁹

Dengan demikian, konektivisme bukan hanya relevan sebagai pendekatan pedagogis di era digital, tetapi juga memiliki potensi transformatif dalam menciptakan pembelajaran yang demokratis, fleksibel, dan berorientasi masa depan.


Footnotes

[1]                George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3–5, https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm.

[2]                Rita Kop and Helene Fournier, “New Dimensions to Self-Directed Learning in an Open Networked Learning Environment,” International Journal of Self-Directed Learning 7, no. 2 (2010): 2–4.

[3]                Siemens, Knowing Knowledge (self-published e-book, 2006), 30–35, https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf.

[4]                Rita Kop and Adrian Hill, “Connectivism: Learning Theory of the Future or Vestige of the Past?” International Review of Research in Open and Distributed Learning 9, no. 3 (2008): 3–6, https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523.

[5]                UNESCO, Media and Information Literacy Curriculum for Teachers (Paris: UNESCO, 2011), 21–33.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 8–12.

[7]                Kemendikbudristek, Transformasi Digital Pendidikan: Laporan Tahunan 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 25–26.

[8]                George Siemens, Knowing Knowledge, 36.

[9]              Stephen Downes, “An Introduction to Connective Knowledge,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 6–8, https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034.


Daftar Pustaka

Anderson, T., & Dron, J. (2011). Three generations of distance education pedagogy. The International Review of Research in Open and Distributed Learning, 12(3), 80–97. https://doi.org/10.19173/irrodl.v12i3.890

Downes, S. (2005). An introduction to connective knowledge. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3–10. https://www.downes.ca/cgi-bin/page.cgi?post=33034

Gagné, R. M. (1985). The conditions of learning and theory of instruction (4th ed.). Holt, Rinehart and Winston.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022a). Panduan pembelajaran dan asesmen kurikulum merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022b). Profil pelajar Pancasila dalam kurikulum merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022c). Transformasi digital pendidikan: Laporan tahunan 2022. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022d). Panduan penerapan Project-Based Learning dalam kurikulum merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kop, R., & Fournier, H. (2010). New dimensions to self-directed learning in an open networked learning environment. International Journal of Self-Directed Learning, 7(2), 1–20.

Kop, R., & Hill, A. (2008). Connectivism: Learning theory of the future or vestige of the past? International Review of Research in Open and Distributed Learning, 9(3), 1–13. https://doi.org/10.19173/irrodl.v9i3.523

Littlejohn, A., & Pegler, C. (2007). Preparing for blended e-learning. Routledge.

Siemens, G. (2005). Connectivism: A learning theory for the digital age. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3–10. https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm

Siemens, G. (2006). Knowing knowledge [E-book]. https://www.elearnspace.org/KnowingKnowledge_LowRes.pdf

Skinner, B. F. (1938). The behavior of organisms: An experimental analysis. Appleton-Century-Crofts.

UNESCO. (2011). Media and information literacy curriculum for teachers. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000192971

UNESCO. (2015). Global citizenship education: Topics and learning objectives. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000232993

UNESCO. (2019). Artificial intelligence in education: Challenges and opportunities for sustainable development. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000366994

UNESCO. (2022). Global education monitoring report 2021/2: Non-state actors in education. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000380619

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar