Pemikiran Baruch Spinoza
Rasionalisme, Etika, dan Tuhan dalam Pandangan Modern
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filsuf Yahudi-Portugis Baruch Spinoza (1632–1677) yang dianggap sebagai salah
satu arsitek utama filsafat modern. Melalui pendekatan rasional dan sistematik,
Spinoza menyusun suatu filsafat substansi yang mengintegrasikan metafisika,
epistemologi, etika, politik, dan teologi dalam satu kerangka monistik yang
radikal. Ia mengidentifikasi Tuhan dengan alam (Deus sive Natura),
menolak dualisme Cartesian, dan menegaskan bahwa seluruh eksistensi tunduk pada
hukum-hukum kodrati yang niscaya. Etikanya menekankan kebebasan sebagai
pemahaman terhadap sebab-sebab, serta pentingnya transformasi afek melalui
rasio menuju kebahagiaan intelektual. Dalam bidang politik, Spinoza membela
kebebasan berpikir dan demokrasi rasional sebagai bentuk negara yang paling
sesuai dengan natur manusia. Artikel ini juga menyoroti pengaruh Spinoza
terhadap tradisi Pencerahan, filsafat Jerman, serta filsafat kontemporer
seperti ekologi filosofis dan spiritualitas non-teistik. Keseluruhan uraian
menunjukkan bahwa pemikiran Spinoza tetap relevan untuk menjawab tantangan
intelektual dan eksistensial pada era modern, terutama dalam menghadapi
dogmatisme, krisis lingkungan, dan kebebasan berpikir.
Kata Kunci: Baruch Spinoza; substansi; rasionalisme; etika;
Tuhan; determinisme; demokrasi; filsafat modern; kebebasan berpikir;
ekospiritualitas.
PEMBAHASAN
Baruch Spinoza dan Filsafat Substansi
1.
Pendahuluan
Baruch Spinoza
(1632–1677) merupakan salah satu pemikir paling radikal dan berpengaruh dalam
sejarah filsafat Barat modern. Ia dikenal karena pendekatannya yang sistematis
dan rasional terhadap persoalan metafisika, etika, dan teologi, yang pada
masanya sangat kontroversial. Sebagai seorang filsuf keturunan Yahudi-Portugis
yang hidup di tengah ketegangan antara tradisi agama, dogma teologis, dan
munculnya rasionalisme modern, Spinoza mewakili titik balik dalam perkembangan
filsafat pasca-Descartes.
Pemikiran Spinoza
yang tertuang terutama dalam karyanya Ethica ordine geometrico demonstrata
(Etika yang Dibuktikan Secara Geometris) menandai pergeseran besar dari teisme
tradisional menuju sebuah pandangan dunia yang bersifat imanen. Dalam sistem
filsafatnya, Tuhan tidak dipahami sebagai pribadi transenden yang menciptakan
dan mengatur dunia dari luar, tetapi sebagai substansi tunggal yang identik
dengan alam itu sendiri (Deus sive Natura)—sebuah gagasan
yang merevolusi relasi antara manusia, Tuhan, dan alam semesta secara
mendalam.¹
Spinoza lahir di
Amsterdam pada tahun 1632 dari keluarga pengungsi Yahudi Sephardic yang
melarikan diri dari Inkuisisi Portugis. Ia menerima pendidikan Yahudi
tradisional tetapi segera menunjukkan kecenderungan intelektual yang membawanya
untuk mempertanyakan dogma agama. Penolakannya terhadap konsep Tuhan antropomorfis
serta reinterpretasi Kitab Suci dari perspektif rasional menyebabkan
ekskomunikasinya (herem) dari komunitas Yahudi pada usia muda, sebuah peristiwa
yang membebaskannya untuk menyusun sistem filsafat yang mandiri dan original.²
Karya-karya Spinoza
tidak hanya mengguncang struktur pemikiran religius ortodoks, tetapi juga
meletakkan fondasi bagi sekularisme, toleransi, dan kebebasan berpikir yang
kemudian menjadi pilar Pencerahan.³ Ia mendahului banyak ide-ide modern dalam
filsafat, seperti naturalisme, determinisme, dan demokrasi, yang terus mendapat
tempat dalam diskursus kontemporer. Pandangan metafisikanya yang menyatukan
Tuhan dan alam secara koheren melalui prinsip rasional telah mengilhami pemikir
besar seperti Goethe, Schelling, Hegel, bahkan Gilles Deleuze pada abad ke-20.⁴
Pendekatan geometris
yang ia gunakan dalam Ethica bukan sekadar bentuk
presentasi, melainkan cerminan dari keyakinannya bahwa kebenaran filosofis
dapat ditemukan melalui metode rasional yang pasti dan perlu. Bagi Spinoza,
memahami realitas berarti memahami Tuhan sebagai satu-satunya substansi yang
ada, dan dengan demikian, menemukan kebebasan dalam keteraturan hukum-hukum
alam yang bersifat deterministik.⁵
Maka, melalui
penggalian terhadap filsafat substansi Spinoza, artikel ini akan menelusuri
akar-akar pemikirannya yang mencakup aspek ontologi, epistemologi, etika, dan
politik, serta mempertimbangkan relevansinya dalam dunia modern yang terus
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan besar tentang Tuhan, kebebasan, akal, dan
kehidupan yang baik.
Footnotes
[1]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Part I, Proposition 15.
[2]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 131–135.
[3]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 159–175.
[4]
Gilles Deleuze, Spinoza: Practical Philosophy, trans. Robert
Hurley (San Francisco: City Lights, 1988), 11–25.
[5]
Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 3–8.
2.
Biografi
Intelektual Spinoza
Baruch (Benedictus)
Spinoza dilahirkan pada tanggal 24 November 1632 di Amsterdam, Belanda, dalam
sebuah keluarga Yahudi Sephardic yang melarikan diri dari kekejaman Inkuisisi
Portugis. Ayahnya, Miguel de Spinoza, adalah seorang pedagang sukses, sementara
komunitas Yahudi tempat Spinoza tumbuh dikenal sebagai pusat intelektual dan
spiritual yang relatif terbuka di bawah perlindungan Republik Belanda yang
toleran.¹ Spinoza menerima pendidikan dasar dalam yeshiva komunitas Talmud
Torah, yang berfokus pada studi Torah, Talmud, dan literatur rabinik.² Namun,
sejak muda ia menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan sekuler
dan filsafat klasik, terutama karya-karya dari Descartes dan filsuf skolastik
Latin.
Minatnya terhadap
filsafat dan pendekatannya yang kritis terhadap dogma-dogma keimanan Yahudi
menimbulkan ketegangan serius dengan otoritas keagamaan komunitasnya. Pada usia
23 tahun, Spinoza dikeluarkan secara permanen melalui keputusan herem
(ekskomunikasi) oleh Majelis Kehakiman Yahudi Amsterdam pada tahun 1656.³
Dokumen herem
tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit alasan pengucilan, namun dari
bukti-bukti sejarah diketahui bahwa pandangan-pandangannya mengenai Tuhan,
jiwa, dan Kitab Suci dianggap menyimpang dan berbahaya bagi integritas
komunitas. Ekskomunikasi ini merupakan titik balik penting yang membebaskan
Spinoza dari batasan religius dan memberinya ruang untuk mengembangkan
filsafatnya secara mandiri dan radikal.
Setelah pengucilan
itu, Spinoza mulai hidup sederhana dan mengandalkan keahlian menggiling lensa
optik untuk mikroskop dan teleskop sebagai mata pencaharian. Meskipun hidupnya
bersahaja dan penuh dengan tekanan dari berbagai kelompok religius, Spinoza
terus menulis dan membangun korespondensi dengan para pemikir terkemuka di
Eropa, termasuk Henry Oldenburg, sekertaris pertama Royal Society di Inggris.⁴
Dalam periode ini, ia menulis beberapa karya penting, seperti Tractatus
de Intellectus Emendatione (Risalah tentang Perbaikan Akal Budi), Tractatus
Theologico-Politicus, dan mahakaryanya yang paling sistematik, Ethica
ordine geometrico demonstrata.
Filsafat Spinoza
sangat dipengaruhi oleh rasionalisme Cartesian, namun ia menolak dualisme
substansi antara pikiran dan tubuh yang diusung oleh René Descartes. Alih-alih
membedakan substansi menjadi dua (res cogitans dan res extensa), Spinoza
mengusulkan bahwa hanya ada satu substansi tunggal, yaitu Tuhan atau Alam (Deus
sive Natura), yang memiliki atribut yang tak terhingga.⁵ Dengan pendekatan ini,
Spinoza membangun sistem filsafat yang bersifat monistik, deterministik, dan
imanen—berbeda dari teologi transendental yang lazim pada zamannya.
Sepanjang hidupnya,
Spinoza menolak tawaran-tawaran jabatan akademik demi menjaga independensinya.
Ia bahkan pernah menolak pensiun yang ditawarkan oleh Elector Palatine dengan
syarat menjaga prinsip-prinsip keagamaannya.⁶ Keputusannya tersebut
memperlihatkan komitmen Spinoza terhadap integritas intelektual dan kebebasan
berpikir. Ia wafat pada 21 Februari 1677 dalam usia 44 tahun, diduga karena
penyakit paru-paru yang disebabkan oleh partikel-partikel lensa kaca yang ia
hirup selama bertahun-tahun dalam pekerjaannya sebagai pengasah lensa. Meski
hidup dalam ketidakpastian dan tekanan, warisan intelektualnya menjadikan
Spinoza sebagai salah satu tokoh utama dalam sejarah filsafat modern.
Footnotes
[1]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 23–28.
[2]
Ibid., 29–35.
[3]
Ibid., 118–123.
[4]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 172–175.
[5]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Part I, Definitions and Propositions.
[6]
Nadler, Spinoza: A Life, 283–285.
3.
Ontologi
dan Metafisika: Konsep Substansi
Dalam pemikiran
Baruch Spinoza, filsafat metafisika mencapai bentuk yang sangat sistematik dan
radikal melalui apa yang disebutnya sebagai substansi tunggal. Berbeda dari
dualisme Cartesian yang membedakan antara substansi berpikir (res
cogitans) dan substansi yang memiliki keluasan (res
extensa), Spinoza mengajukan bahwa hanya ada satu
substansi yang benar-benar eksis, yaitu Tuhan
atau Alam (Deus sive Natura).¹ Dengan menyamakan Tuhan dengan
alam semesta, Spinoza menolak konsep Tuhan yang transenden dan personal dalam
tradisi teistik dan menggantinya dengan suatu prinsip ontologis yang imanen,
niscaya, dan absolut.
3.1.
Substansi sebagai Realitas Tertinggi
Dalam Ethica,
Spinoza mendefinisikan substansi sebagai “sesuatu yang ada dalam dirinya
sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri” (id quod in se est et per se concipitur)—artinya,
eksistensinya tidak tergantung pada apapun selain dirinya.² Dalam sistem
metafisika ini, hanya ada satu substansi yang memiliki atribut secara tak
terhingga, dan segala sesuatu yang ada (termasuk manusia, pikiran, dan benda)
merupakan modifikasi (modus) dari
substansi tersebut. Dengan demikian, realitas yang kita alami sehari-hari
bukanlah entitas independen, melainkan ekspresi atau manifestasi dari satu
substansi ilahi yang tunggal dan universal.³
3.2.
Tuhan sebagai Substansi: Deus sive Natura
Istilah “Tuhan atau
Alam” (Deus
sive Natura) merupakan salah satu formulasi paling provokatif dari
filsafat Spinoza. Melalui identifikasi ini, ia menegaskan bahwa Tuhan
bukan pribadi transenden, melainkan hukum-hukum kodrati yang
menstrukturkan seluruh eksistensi. Bagi Spinoza, Tuhan tidak menciptakan dunia
secara temporal dari ketiadaan (creatio ex nihilo), tetapi dunia
adalah Tuhan dalam mode eksistensial yang terbatas.⁴ Segala yang ada adalah
dalam Tuhan (in Deo omnia sunt) dan tidak ada
yang bisa dipahami di luar dari-Nya.⁵ Pandangan ini membawa implikasi
panteistik dan sekaligus menghapus sekat antara teologi dan kosmologi.
3.3.
Atribut dan Modi: Struktur Realitas dalam
Spinozisme
Substansi ilahi
memiliki atribut tak terhingga, tetapi
manusia hanya dapat memahami dua atribut: pikiran (cogitatio) dan keluasan (extensio).
Kedua atribut ini tidak bersifat dualistik, melainkan paralel; setiap ide dalam
pikiran memiliki padanan dalam keluasan dan sebaliknya, karena keduanya adalah
ekspresi dari satu substansi yang sama.⁶
Sementara itu, modi
adalah keadaan atau manifestasi partikular dari substansi yang eksis dalam
waktu dan ruang. Misalnya, tubuh manusia atau ide spesifik adalah modi dari
atribut keluasan dan pikiran. Hubungan antara substansi dan modi bersifat
deterministik—tidak ada satu pun peristiwa di alam semesta yang terjadi secara
acak atau bebas dalam arti absolut, melainkan semuanya mengikuti dari natur
substansi sebagai akibat niscaya.⁷
3.4.
Determinisme Metafisik: Penolakan terhadap
Kehendak Bebas
Dalam kerangka
metafisik ini, Spinoza secara eksplisit menolak konsep kehendak bebas dalam
makna konvensional. Segala sesuatu terjadi sebagai akibat niscaya dari esensi
Tuhan. Ia menulis, “Di dalam alam tidak ada yang terjadi secara kebetulan;
segala sesuatu ditentukan oleh kebutuhan kodrati Tuhan untuk eksis dan
bertindak sebagaimana adanya.”⁸ Dengan demikian, kehendak manusia,
sebagaimana semua fenomena lainnya, adalah bagian dari jaringan kausalitas
universal yang menyatu dalam substansi tunggal.
3.5.
Implikasi terhadap Ontologi Modern
Pemikiran Spinoza
tentang substansi dan determinisme ontologis memberikan kontribusi besar
terhadap perkembangan filsafat naturalisme dan rasionalisme. Filsafatnya
menghapuskan dikotomi metafisis antara Tuhan dan dunia, antara tubuh dan jiwa,
serta antara subjek dan objek. Ontologi Spinoza, yang mengutamakan keteraturan
niscaya dan imanen, menjadi landasan bagi berbagai aliran filsafat kontemporer,
mulai dari filsafat proses, Spinozisme radikal (Deleuze), hingga filsafat
ekologi dan materialisme baru.⁹
Footnotes
[1]
Steven Nadler, Spinoza's Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 91–93.
[2]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Part I, Definition 3.
[3]
Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 17–21.
[4]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 226.
[5]
Spinoza, Ethics, Part I, Proposition 15, Scholium.
[6]
Ibid., Part II, Proposition 7.
[7]
Della Rocca, Spinoza, 52–55.
[8]
Spinoza, Ethics, Part I, Appendix.
[9]
Gilles Deleuze, Expressionism in Philosophy: Spinoza, trans.
Martin Joughin (New York: Zone Books, 1990), 259–265.
4.
Epistemologi:
Jalan Menuju Pengetahuan Sejati
Bagi Baruch Spinoza,
filsafat tidak hanya merupakan pencarian spekulatif atas hakikat realitas,
tetapi juga sebuah upaya sistematis untuk memahami bagaimana
pengetahuan diperoleh dan bagaimana ia dapat membebaskan manusia dari kebodohan
dan perbudakan emosional. Epistemologi Spinoza, yang dibangun
dalam kerangka rasionalisme modern, menempati posisi sentral dalam sistem
filsafatnya karena berkaitan langsung dengan tujuan etis: mencapai kebahagiaan
sejati melalui pemahaman akan realitas secara rasional.
4.1.
Tiga Jenis Pengetahuan
Spinoza
mengklasifikasikan pengetahuan manusia ke dalam tiga jenis, yang masing-masing
memiliki derajat validitas dan kejelasan yang berbeda.¹
·
Pengetahuan
pertama (opinio atau imaginatio) adalah bentuk pengetahuan yang
didasarkan pada pengalaman kebetulan, ingatan, atau persepsi inderawi yang
belum dianalisis secara rasional. Jenis pengetahuan ini sering kali tidak
akurat dan menjadi sumber kesesatan serta takhayul.²
·
Pengetahuan
kedua (ratio) adalah hasil dari penalaran dan pemahaman
kausalitas. Dalam jenis ini, manusia memahami sesuatu melalui definisi,
deduksi, dan prinsip-prinsip umum.³
·
Pengetahuan
ketiga (scientia intuitiva) atau pengetahuan intuitif
adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan. Ia melampaui penalaran diskursif dan
memungkinkan manusia untuk memahami segala sesuatu sebagai bagian dari natur
Tuhan secara langsung dan holistik.⁴ Dalam tahap ini, individu tidak sekadar
mengetahui bahwa sesuatu itu benar, tetapi juga mengapa
itu benar dalam kerangka sistemik realitas.
Dengan struktur ini,
Spinoza memberikan hierarki epistemik yang mengarahkan manusia dari pengetahuan
kabur menuju pencerahan intelektual dan kebebasan etis.
4.2.
Kebenaran sebagai Cahaya Diri
Bagi Spinoza, kebenaran
bersifat otonom dan membuktikan dirinya sendiri. Ia menulis,
“Kriteria kebenaran adalah kebenaran itu sendiri dan bukan sesuatu yang lain.”⁵
Artinya, pengetahuan sejati tidak membutuhkan validasi eksternal karena memiliki
konsistensi dan koherensi internal. Kebenaran juga tidak bersifat relatif atau
subjektif, melainkan niscaya, universal, dan mengikuti struktur realitas.
4.3.
Pengetahuan dan Kebebasan
Salah satu aspek
terpenting dari epistemologi Spinoza adalah hubungannya dengan kebebasan
manusia. Ketika manusia berpikir dengan jelas dan memahami
dirinya serta dunia secara kausal, ia tidak lagi dikendalikan oleh nafsu atau
emosi yang pasif.⁶ Dalam hal ini, kebebasan bukan berarti kemampuan bertindak
secara bebas dari sebab, melainkan hidup dalam kesadaran akan sebab-sebab itu
dan bertindak sesuai dengan akal.⁷ Dengan demikian, epistemologi Spinoza tidak
hanya merupakan teori pengetahuan, tetapi juga dasar bagi ethica
rationalis.
4.4.
Cinta Intelektual kepada Tuhan
Bentuk puncak dari
pengetahuan intuitif adalah apa yang oleh Spinoza disebut sebagai “amor
Dei intellectualis”—cinta intelektual kepada Tuhan.⁸ Ini bukan
cinta emosional, melainkan bentuk kegembiraan tertinggi yang muncul dari
pemahaman yang sempurna terhadap esensi Tuhan sebagai substansi tunggal. Dalam
konteks ini, jiwa mencapai kebahagiaan abadi bukan karena imbalan eksternal
atau janji eskatologis, tetapi karena kesatuan intelektual dengan prinsip
tertinggi realitas.
Cinta intelektual
ini juga mencerminkan sifat Tuhan itu sendiri, sebab bagi Spinoza, Tuhan juga
mencintai dirinya secara intelektual melalui ekspresi atributnya yang tak
terbatas.⁹ Melalui bentuk cinta ini, manusia tidak hanya memahami Tuhan, tetapi
juga menjadi bagian dari niscaya ilahi dalam kesempurnaan rasional.
4.5.
Implikasi Epistemologis dalam Konteks Modern
Pemikiran Spinoza
memberikan fondasi bagi berkembangnya teori-teori pengetahuan rasional dalam
tradisi Pencerahan. Penolakannya terhadap relativisme inderawi dan afeksi
emosional sebagai dasar pengetahuan membuka jalan bagi objektivisme ilmiah,
tetapi pada saat yang sama, ia tetap mengakui pentingnya intuisi rasional yang
bersifat eksistensial. Dalam konteks kontemporer, epistemologi Spinoza
mengilhami pendekatan transdisipliner dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan
psikologi, khususnya dalam usaha memahami hubungan antara nalar, emosi, dan
kesadaran.
Footnotes
[1]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Part II, Proposition 40, Scholium II.
[2]
Ibid., Part II, Proposition 35.
[3]
Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008),
111–114.
[4]
Steven Nadler, Spinoza's Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 179–184.
[5]
Spinoza, Ethics, Part II, Proposition 43, Scholium.
[6]
Ibid., Part V, Proposition 3.
[7]
Ibid., Part IV, Proposition 67.
[8]
Ibid., Part V, Proposition 32.
[9]
Gilles Deleuze, Expressionism in Philosophy: Spinoza, trans.
Martin Joughin (New York: Zone Books, 1990), 258–259.
5.
Etika
Spinoza: Kebebasan, Emosi, dan Rasio
Etika dalam pemikiran
Baruch Spinoza bukanlah kumpulan norma moral konvensional atau ajaran moral
religius, melainkan merupakan konsekuensi logis dari sistem metafisika dan
epistemologinya. Dalam Ethica ordine geometrico demonstrata,
Spinoza menyusun filsafat etika dengan metode aksiomatis-geometris, sebagaimana
dalam ilmu pasti, untuk menunjukkan bahwa hidup yang baik adalah hidup menurut akal,
dan bahwa kebebasan sejati hanya mungkin melalui
pemahaman rasional akan realitas.¹
5.1.
Etika sebagai Ekspresi Rasional dari Natur Manusia
Bagi Spinoza, segala
sesuatu di alam tunduk pada hukum niscaya substansi, termasuk manusia dan
tindakannya. Dengan demikian, etika Spinoza bersifat naturalistik dan
deterministik—manusia tidak bertindak berdasarkan kehendak
bebas absolut, melainkan menurut sebab-sebab yang dapat dijelaskan secara
kausal.² Namun, determinisme ini tidak berarti fatalisme. Spinoza menyatakan
bahwa “kebebasan sejati bukanlah kebebasan dari hukum kodrati, melainkan
pengenalan yang jelas dan berbeda terhadap hukum itu sendiri.”³
Oleh karena itu,
tujuan etika bukan menolak kodrat manusia, tetapi menyelaraskan diri dengannya.
Hidup etis adalah hidup yang mengikuti esensi manusiawi, yaitu akal budi (ratio),
bukan dorongan afektif yang membingungkan.⁴
5.2.
Afek: Pengaruh Emosi dalam Hidup Manusia
Spinoza memberikan
perhatian khusus pada afek (affectus) atau emosi
dalam Part III
Ethica.
Ia membedakan antara dua jenis afek: aktif (actiones) dan pasif
(passiones). Afek aktif adalah emosi yang muncul dari pemahaman
rasional dan memperkuat kuasa eksistensial (conatus) manusia, sedangkan afek
pasif adalah emosi yang timbul dari penyebab eksternal yang tidak dipahami
secara rasional.⁵
Menurut Spinoza,
sebagian besar manusia hidup dalam keadaan pasif, dikuasai oleh emosi seperti
takut, iri, dan harapan palsu karena tidak memahami sebab-sebab sebenarnya dari
tindakan dan peristiwa.⁶ Oleh karena itu, pendidikan rasional—yakni proses
pengalihan dari afek pasif ke afek aktif—merupakan inti dari transformasi etis.
5.3.
Konsep Conatus dan Kebahagiaan
Etika Spinoza
bertumpu pada prinsip dasar bahwa setiap individu berusaha mempertahankan
eksistensinya sejauh mungkin (conatus sese conservandi).⁷ Namun, conatus
bukanlah dorongan buta, melainkan kodrat niscaya makhluk sebagai bagian dari
substansi Tuhan. Ketika manusia memahami dirinya sebagai bagian dari
keseluruhan yang rasional, ia tidak lagi bertindak secara reaktif, melainkan
aktif melalui akal. Inilah asal mula kebahagiaan (beatitudo) dalam
pengertian Spinoza: bukan kenikmatan inderawi, tetapi kegembiraan intelektual
karena selaras dengan hukum niscaya Tuhan.
5.4.
Kebebasan sebagai Rasionalitas
Spinoza secara
radikal menolak gagasan kehendak bebas yang tidak disebabkan, dan menggantinya
dengan konsep kebebasan sebagai pengertian terhadap niscaya. Ia
menulis, “Manusia disebut bebas sejauh ia ditentukan untuk bertindak oleh
dirinya sendiri, yaitu sejauh ia ditentukan untuk bertindak oleh akal.”⁸
Oleh karena itu, semakin seseorang memahami sebab-sebab emosinya dan hakikat
alam semesta, semakin ia menjadi bebas.
Konsepsi ini
membalikkan pandangan moral-religius tradisional yang memisahkan etika dari
rasionalitas. Bagi Spinoza, moralitas sejati bukan berasal dari ketaatan
kepada hukum eksternal, melainkan dari pemahaman rasional
terhadap struktur realitas dan esensi manusia itu sendiri.⁹
5.5.
Etika sebagai Jalan Menuju Kegembiraan
Intelektual
Puncak kehidupan
etis dalam Ethica
adalah amor Dei
intellectualis, cinta intelektual kepada Tuhan, yang merupakan
bentuk tertinggi dari kegembiraan. Dalam momen ini, jiwa manusia mencapai
kesempurnaan dan menjadi bagian dari tatanan ilahi melalui pengetahuan
intuitif. Ini bukan sekadar pengalaman religius, melainkan realitas
ontologis: jiwa yang memahami Tuhan secara rasional menjadi tak
terbinasakan, karena menyatu dengan esensi substansi yang abadi.¹⁰
Etika Spinoza,
dengan demikian, merupakan jalan rasional menuju transformasi eksistensial.
Ia menekankan bahwa melalui akal, manusia dapat melepaskan diri dari perbudakan
afek dan meraih kebahagiaan yang kokoh dan niscaya.
Footnotes
[1]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Preface to Part I.
[2]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 95–99.
[3]
Spinoza, Ethics, Part I, Appendix.
[4]
Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008),
152–156.
[5]
Spinoza, Ethics, Part III, Definitions of the Affects.
[6]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 223–225.
[7]
Spinoza, Ethics, Part III, Proposition 6.
[8]
Ibid., Part IV, Proposition 66.
[9]
Nadler, Spinoza’s Ethics, 156–160.
[10]
Spinoza, Ethics, Part V, Proposition 36 and Scholium.
6.
Tuhan,
Agama, dan Kritik terhadap Wahyu
Pemikiran Baruch
Spinoza tentang Tuhan dan agama merupakan salah satu aspek paling revolusioner
dan kontroversial dalam sejarah filsafat modern. Dalam karyanya Tractatus
Theologico-Politicus (1670), Spinoza mengembangkan kritik rasional
terhadap agama wahyu yang mendominasi tatanan sosial dan intelektual pada
zamannya. Ia berupaya memisahkan filsafat dari teologi serta menafsirkan Kitab
Suci melalui pendekatan historis-kritis.¹ Pandangan ini membuatnya dituduh
sebagai ateis oleh sebagian kalangan kontemporernya, meskipun secara filosofis,
ia justru menyusun konsep tentang Tuhan yang sangat mendalam dan orisinal.
6.1.
Konsep Tuhan: Dari Transendensi ke Imanensi
Dalam sistem
metafisik Spinoza, Tuhan bukanlah pribadi transenden yang berkehendak bebas,
menciptakan dunia dari luar, dan mengatur segala sesuatu berdasarkan kehendak
arbitrer. Sebaliknya, Tuhan adalah substansi tunggal dan tak terbatas yang
merupakan causa sui—penyebab dari dirinya sendiri—dan segala
sesuatu yang ada merupakan ekspresi dari atribut dan modus-Nya.² Ia merumuskan
prinsip radikal: Deus sive Natura (Tuhan atau Alam),
yang mengidentifikasi Tuhan dengan tatanan alamiah dan hukum-hukum rasional
yang mengatur semesta.³
Konsekuensi dari
konsep ini adalah penghapusan Tuhan personal yang
mendengar doa, mengampuni dosa, atau membuat mukjizat. Bagi Spinoza, keyakinan
terhadap Tuhan yang bertindak seperti manusia adalah bentuk antropomorfisme
teologis yang bersumber dari imajinasi dan ketidaktahuan akan
sebab-sebab natural.⁴
6.2.
Kritik terhadap Wahyu dan Agama Historis
Spinoza mengajukan kritik mendalam
terhadap wahyu keagamaan, khususnya dalam konteks Yudaisme dan
Kristen, yang menurutnya sering kali digunakan untuk membenarkan kekuasaan
politik dan ketundukan buta. Dalam Tractatus, ia menyatakan bahwa
wahyu bukanlah komunikasi langsung dari Tuhan dalam bentuk verbal atau
supranatural, melainkan merupakan ekspresi dari daya imajinatif para nabi yang hidup dalam
konteks budaya dan sejarah tertentu.⁵
Oleh karena itu, Kitab
Suci harus dipahami sebagai teks historis, bukan sebagai
kebenaran metafisis universal.⁶ Ia menyarankan metode penafsiran yang disebut hermeneutika
rasional-historis, yang memperlakukan Alkitab seperti teks
lainnya—dianalisis berdasarkan bahasa, konteks, penulis, dan maksudnya. Hal ini
menandai kemunculan awal dari kritik tekstual modern terhadap kitab suci.
6.3.
Agama sebagai Etika Universal, Bukan Dogma
Meskipun kritis
terhadap wahyu tradisional, Spinoza tidak menolak nilai agama sepenuhnya.
Ia justru berpendapat bahwa agama sejati tidak tergantung pada ritual, doktrin,
atau mukjizat, tetapi pada kebajikan moral universal,
terutama kasih sayang, keadilan, dan ketaatan terhadap hukum akal.⁷ Dengan
demikian, agama sejati menurut Spinoza adalah yang mendukung kebebasan berpikir
dan kehidupan rasional, bukan yang menuntut penyerahan buta kepada otoritas.
Dalam Tractatus,
ia menyatakan bahwa “tujuan utama Kitab Suci adalah bukan untuk mengajarkan
pengetahuan spekulatif, tetapi ketaatan dan kebajikan.”⁸ Ini menunjukkan
bahwa agama dalam bentuknya yang murni adalah jalan etis, bukan sistem metafisik.
6.4.
Pemisahan Filsafat dan Teologi
Spinoza juga
menekankan perlunya memisahkan filsafat dari teologi.
Menurutnya, filsafat berlandaskan pada rasio dan berupaya mencapai kebenaran
universal, sedangkan teologi berlandaskan pada iman dan ditujukan untuk mendidik
moral rakyat.⁹ Ketika teologi mencampuri wilayah filsafat, muncullah dogmatisme
dan represi kebebasan berpikir. Oleh karena itu, Spinoza mendukung kebebasan
berekspresi sebagai fondasi negara yang sehat dan kehidupan intelektual yang
otonom.
6.5.
Reaksi dan Warisan Pemikiran Keagamaan Spinoza
Pemikiran Spinoza
tentang Tuhan dan agama telah menimbulkan polemik besar sepanjang sejarah. Ia
disebut sebagai “Spinozist” dalam arti peyoratif oleh banyak teolog, dan bahkan
dituduh ateis oleh beberapa filsuf Pencerahan awal. Namun, seiring waktu,
pemikirannya justru menjadi fondasi bagi sekularisme modern, kritik
religius, dan teologi non-teistik.¹⁰ Tokoh-tokoh seperti
Lessing, Goethe, dan Einstein menyatakan kekaguman atas pandangan imanen
Spinoza tentang Tuhan, yang mereka anggap sebagai bentuk spiritualitas rasional
dan kosmis yang mendalam.
Footnotes
[1]
Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel
Shirley (Leiden: E. J. Brill, 1991), Preface.
[2]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Part I, Proposition 11.
[3]
Ibid., Part I, Proposition 15, Scholium.
[4]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 144–149.
[5]
Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, Chapter 1–2.
[6]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 219–222.
[7]
Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, Chapter 14.
[8]
Ibid., Chapter 13.
[9]
Ibid., Chapter 15.
[10]
Gilles Deleuze, Spinoza: Practical Philosophy, trans. Robert
Hurley (San Francisco: City Lights, 1988), 17–21.
7.
Filsafat
Politik dan Negara
Filsafat politik
Baruch Spinoza merupakan perluasan logis dari metafisika dan etika rasionalnya.
Dalam Tractatus
Theologico-Politicus (1670) dan karya yang lebih teknis, Tractatus
Politicus (ditinggalkan dalam keadaan tidak selesai sebelum
wafatnya), Spinoza menyusun konsepsi negara yang berdasarkan prinsip akal
budi, kebebasan berpikir, dan stabilitas hukum alam.¹
Pandangannya tentang kekuasaan, hak, dan kebebasan tidak hanya berakar pada
determinisme ontologisnya, tetapi juga mencerminkan semangat awal dari
pemikiran liberalisme politik modern.
7.1.
Hak Alamiah sebagai Ekspresi Kuasa Kodrati
Dalam kerangka
Spinozistik, hak (jus) tidak berasal dari perjanjian
moral atau wahyu ilahi, melainkan dari kekuatan kodrati (potentia)
setiap makhluk. Ia menyatakan bahwa "hak alamiah setiap individu
ditentukan oleh kekuatan atau daya yang dimilikinya untuk eksis dan bertindak".²
Artinya, segala sesuatu memiliki hak sejauh ia mampu mempertahankan
eksistensinya. Konsepsi ini tidak menempatkan hak sebagai norma moral, tetapi
sebagai fakta ontologis yang bersumber dari substansi Tuhan.
Karena itu, dalam status
naturalis (keadaan alamiah), semua individu bertindak sesuai dengan
nalurinya untuk bertahan hidup. Namun, dalam keadaan ini, konflik menjadi tak
terhindarkan. Untuk menghindari kekacauan, individu secara rasional menyerahkan
sebagian kekuasaan mereka kepada otoritas bersama—negara—demi ketertiban dan
keamanan.³
7.2.
Negara sebagai Manifestasi Akal Kolektif
Negara (civitas)
bagi Spinoza adalah perwujudan kuasa kolektif individu yang bersatu dalam
kesepakatan rasional. Ia bukan entitas metafisis atau representasi kehendak
ilahi, tetapi alat buatan manusia untuk menjamin keamanan,
keadilan, dan kebebasan berpikir.⁴ Tujuan utama negara adalah
bukan untuk mengendalikan warga secara represif, tetapi untuk memungkinkan
individu hidup dan berpikir secara bebas sejauh mungkin dalam batas hukum
rasional.
Dengan demikian,
Spinoza menolak bentuk negara teokratis yang mencampuradukkan kekuasaan sipil
dengan otoritas agama. Ia berpendapat bahwa negara harus menjamin kebebasan filsafat dan
agama, selama hal itu tidak merusak hukum umum dan ketertiban.⁵
7.3.
Antara Potentia dan Potestas: Legitimasi
Politik
Dalam pemikiran
politik Spinoza, penting dibedakan antara dua istilah kunci:
·
Potentia
adalah kekuatan kodrati yang inheren pada individu atau kelompok.
·
Potestas
adalah otoritas legal atau kekuasaan yang dilembagakan secara politis.⁶
Negara yang stabil
adalah negara yang mampu menjaga keseimbangan antara potentia
rakyat dan potestas
institusi. Jika institusi kehilangan kepercayaan dan tidak lagi mencerminkan
rasionalitas kolektif, maka legitimasi politiknya runtuh dan kekuasaan akan
kembali ke rakyat secara kodrati. Dalam konteks ini, Spinoza telah
mengantisipasi ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial,
meskipun dengan fondasi yang lebih naturalistik dan non-normatif dibandingkan
Hobbes maupun Locke.
7.4.
Demokrasi sebagai Bentuk Pemerintahan Rasional
Dalam Tractatus
Politicus, Spinoza menyatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang
paling selaras dengan hukum kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan sosial.⁷
Demokrasi, menurutnya, bukan hanya soal keterlibatan suara mayoritas, tetapi
pengorganisasian kekuasaan berdasarkan prinsip rasional dan kebebasan berpikir.
Dalam sistem demokratis, warga tidak tunduk pada kehendak individu atau dogma
agama, tetapi pada hukum yang lahir dari konsensus rasional.
Hal ini menjadikan
Spinoza sebagai salah satu pelopor ide kebebasan sipil dan toleransi intelektual
sebagai syarat mutlak bagi masyarakat yang sehat. Ia menulis: “Dalam negara
yang bebas, setiap orang boleh berpikir apa yang ia kehendaki dan mengungkapkan
apa yang ia pikirkan.”⁸
7.5.
Relevansi Pemikiran Politik Spinoza
Filsafat politik
Spinoza relevan dalam menjawab tantangan modern mengenai hubungan antara agama
dan negara, kebebasan berekspresi, serta dasar legitimasi politik. Pandangannya
mendukung prinsip-prinsip konstitusionalisme sekuler dan hak-hak sipil yang
menjadi pilar masyarakat demokratis kontemporer. Lebih dari itu, Spinoza
menempatkan rasio sebagai dasar dari stabilitas sosial, bukan
kekuasaan dogmatis atau paksaan ideologis.
Footnotes
[1]
Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel
Shirley (Leiden: E. J. Brill, 1991), Preface.
[2]
Baruch Spinoza, Tractatus Politicus, trans. Samuel Shirley
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), Chapter II, §4.
[3]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 281–286.
[4]
Spinoza, Tractatus Politicus, Chapter III, §1.
[5]
Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, Chapter XX.
[6]
Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008),
234–239.
[7]
Spinoza, Tractatus Politicus, Chapter XI, §1.
[8]
Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, Chapter XX,
concluding paragraph.
8.
Pengaruh
dan Warisan Intelektual Spinoza
Baruch Spinoza, yang
semasa hidupnya dianggap bidat oleh banyak kalangan agama dan bahkan dijuluki “atheistus”
oleh para teolog ortodoks, justru pascakematian memperoleh posisi yang sangat
penting dalam kanon filsafat Barat. Gagasannya yang mengintegrasikan
metafisika, etika, epistemologi, dan politik secara sistematik telah menjadi sumber
inspirasi lintas zaman, dari Zaman Pencerahan hingga filsafat
kontemporer. Pengaruh Spinoza merentang luas: dari filsafat Jerman klasik,
teologi liberal, hingga filsafat ekologi dan psikoanalisis modern.
8.1.
Spinoza dan Zaman Pencerahan
Pengaruh Spinoza
pertama kali terasa kuat di kalangan pemikir Pencerahan radikal di Belanda,
Prancis, dan Jerman. Pemikir seperti Pierre Bayle, Denis
Diderot, dan Voltaire mempelajari
karya-karyanya secara mendalam, meskipun tidak selalu menyetujuinya. Dalam Radical
Enlightenment, Jonathan Israel menunjukkan bahwa Spinoza
adalah fondasi intelektual bagi bentuk pencerahan yang menolak otoritas gereja
dan menuntut kebebasan akal secara radikal, berbeda dari arus
utama Pencerahan yang lebih kompromistis terhadap agama.¹
Melalui konsep Tuhan
yang imanen dan filsafat yang naturalistik, Spinoza membantu menggeser
perhatian filsafat Eropa dari spekulasi metafisis religius ke arah rasionalisme
ilmiah dan sekularisme filosofis.² Dalam konteks ini, ia
menjadi pelopor tidak hanya bagi rasionalisme Pencerahan, tetapi juga bagi
pemisahan institusional antara gereja dan negara.
8.2.
Pengaruh terhadap Filsafat Jerman: Goethe,
Schelling, dan Hegel
Dalam tradisi
filsafat Jerman, Spinoza mendapat tempat istimewa. Johann
Wolfgang von Goethe memujanya sebagai model pemikir yang hidup
selaras dengan alam dan rasio.³ Friedrich Wilhelm Joseph Schelling
dan Georg
Wilhelm Friedrich Hegel secara eksplisit mengakui bahwa sistem
metafisika mereka tidak akan mungkin tanpa fondasi yang diletakkan Spinoza.
Hegel bahkan
menyatakan bahwa "setiap filsuf adalah Spinozist, atau bukan filsuf
sama sekali", mengacu pada posisi sentral Spinoza dalam membangun
struktur ontologi rasional yang koheren.⁴ Meski demikian, Hegel mengkritik
Spinoza karena dianggap gagal mengembangkan konsep subjektivitas secara
dialektis—sebuah kritik yang kemudian membentuk garis pemisah antara monisme
rasional Spinoza dan idealisme Jerman.
8.3.
Spinoza dalam Tradisi Yahudi Modern
Meskipun Spinoza
diherem dari komunitas Yahudi pada usia muda, banyak pemikir Yahudi modern
seperti Moses Mendelssohn, Hermann
Cohen, dan Martin Buber melihat warisan
intelektual Spinoza sebagai bagian tak terpisahkan dari renaisans filsafat
Yahudi. Beberapa bahkan menyebut Spinoza sebagai "Maimonides
sekuler", yang menggantikan teologi skolastik dengan etika
rasional dan spiritualitas kosmis.⁵
Pada awal abad
ke-20, upaya rekonsiliasi dilakukan oleh kalangan Yahudi sekuler dan reformis,
yang melihat pemikiran Spinoza sebagai jembatan antara etika profetik dan
rasionalisme modern.⁶
8.4.
Pengaruh dalam Filsafat Kontemporer
Pada abad ke-20,
pemikiran Spinoza mengalami kebangkitan melalui interpretasi para filsuf
seperti Gilles Deleuze, Antonio
Negri, dan Étienne Balibar. Dalam karya Expressionism
in Philosophy: Spinoza, Deleuze membela Spinoza sebagai filsuf
kebebasan dan vitalisme ontologis, yang menolak struktur
hierarkis dan mendukung ekspresi eksistensial dari tubuh dan pikiran.⁷
Antonio
Negri, dalam The Savage Anomaly, menafsirkan
Spinoza sebagai tokoh revolusioner dalam sejarah filsafat politik, yang
mengedepankan kedaulatan rakyat dan produksi afek kolektif.⁸ Filsafat Spinoza
pun digunakan dalam analisis biopolitik, materialisme baru, dan bahkan dalam
teori feminis dan ekologi radikal.
8.5.
Spinoza dalam Ilmu Pengetahuan dan Teologi
Non-Teistik
Albert Einstein
mengaku percaya pada "Tuhan Spinoza", yaitu Tuhan yang tidak
campur tangan dalam urusan manusia, melainkan mewujud dalam hukum-hukum alam
yang rasional dan tak berubah.⁹ Ini memperlihatkan bahwa Spinoza berhasil menyatukan
spiritualitas dan rasionalitas dalam satu kerangka filosofis
yang menjangkau ranah sains dan religiositas post-konfesional.
Dalam dunia teologi
modern, Spinoza menjadi rujukan penting dalam teologi proses, teologi naturalistik,
dan spiritualitas kosmis, yang menolak pandangan tentang Tuhan sebagai pribadi
dan mengedepankan Tuhan sebagai prinsip keberadaan yang menyeluruh dan imanen.
Footnotes
[1]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 159–186.
[2]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 300–303.
[3]
Goethe dalam surat kepada Jacobi, dikutip dalam Michael Della Rocca, Spinoza
(London: Routledge, 2008), 289.
[4]
G. W. F. Hegel, Lectures on the History of Philosophy, trans.
E. S. Haldane (Lincoln: University of Nebraska Press, 1995), Vol. III, 257.
[5]
Leo Strauss, Spinoza's Critique of Religion, trans. E. M.
Sinclair (New York: Schocken Books, 1965), 12–14.
[6]
Willi Goetschel, Spinoza’s Modernity: Mendelssohn, Lessing, and
Heine (Madison: University of Wisconsin Press, 2004), 45–52.
[7]
Gilles Deleuze, Expressionism in Philosophy: Spinoza, trans.
Martin Joughin (New York: Zone Books, 1990), 181–189.
[8]
Antonio Negri, The Savage Anomaly: The Power of Spinoza's
Metaphysics and Politics, trans. Michael Hardt (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1991), 78–90.
[9]
Einstein dalam wawancara dengan George Sylvester Viereck, The
Saturday Evening Post, 26 October 1929.
9.
Relevansi
Pemikiran Spinoza di Era Kontemporer
Di tengah dinamika
intelektual, krisis ekologi, serta kebangkitan fanatisme ideologis dan religius
di era kontemporer, filsafat Baruch Spinoza tampil kembali sebagai sumber
pemikiran kritis yang tak lekang oleh waktu. Pandangan-pandangannya mengenai
Tuhan, alam, kebebasan, dan rasionalitas memberikan kerangka konseptual yang
kuat untuk menghadapi tantangan zaman modern. Warisan intelektual Spinoza kini
digunakan kembali dalam berbagai bidang: dari filsafat politik dan lingkungan,
hingga teologi pasca-konfesional dan teori afek dalam ilmu sosial.
9.1.
Rasionalisme dan Kritik terhadap Dogmatisme
Salah satu
kontribusi abadi Spinoza adalah penolakannya terhadap bentuk pemikiran
dogmatis, baik dalam ranah teologi maupun politik. Dalam era di mana informasi
bercampur dengan disinformasi, dan pandangan
religius sering kali digunakan untuk menjustifikasi intoleransi,
Spinoza menawarkan paradigma rasional yang mendorong penalaran kritis dan
otonomi intelektual.¹ Ia menegaskan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi
adalah hak kodrati manusia yang harus dijamin oleh negara.²
Prinsip ini menjadi
dasar penting dalam pemikiran liberal modern dan relevan untuk memperkuat
prinsip pluralisme dan kebebasan akademik
di tengah arus politisasi agama dan anti-intelektualisme global.
9.2.
Etika Rasional dalam Dunia yang Digerakkan Afek
Di tengah krisis
kesehatan mental, politik identitas, dan ekonomi emosi, filsafat afek Spinoza
menjadi relevan kembali.³ Spinoza telah mengantisipasi bagaimana manusia sering
kali tidak bertindak berdasarkan akal sehat, tetapi dikuasai oleh afek pasif
seperti rasa takut, marah, atau harapan palsu yang timbul dari ketidaktahuan
akan sebab-sebab realitas.
Dengan menawarkan
transformasi afek menjadi afek aktif melalui pengetahuan rasional, Spinoza
memberikan dasar etika praktis yang mengedepankan stabilitas
batin dan kebebasan sejati.⁴ Ini sangat penting dalam dunia
pasca-industri yang dipenuhi oleh algoritma afektif dan manipulasi emosional
dalam media sosial.
9.3.
Ekospiritualitas dan Hubungan Baru dengan Alam
Krisis lingkungan
global menuntut pandangan baru tentang hubungan manusia dan
alam, yang tidak lagi menempatkan manusia sebagai penguasa atas
dunia, tetapi sebagai bagian dari tatanan alam yang lebih besar. Dalam konteks
ini, gagasan Spinoza tentang Tuhan sebagai alam (Deus sive Natura) sangat
signifikan.⁵
Alih-alih melihat
alam sebagai benda mati atau sekadar sumber daya, Spinoza menawarkan pemahaman
kosmis dan etis yang menyatukan manusia dalam jalinan kausalitas
universal. Pandangan ini telah memengaruhi perkembangan filsafat
ekologi dan spiritualitas imanen yang menekankan kesatuan
antara keberadaan, hukum alam, dan tanggung jawab etis.
9.4.
Politik Kedaulatan dan Demokrasi Radikal
Gagasan Spinoza
tentang kedaulatan rakyat, pemisahan
agama dan negara, serta pembelaan terhadap kebebasan berpikir memiliki
resonansi kuat dalam konteks demokrasi yang terancam oleh otoritarianisme dan
polarisasi ideologis.⁶ Ia menunjukkan bahwa kekuasaan negara bukanlah emanasi
ilahi, tetapi hasil kontrak rasional yang harus terus dikritisi dan diperbarui.
Pemikir kontemporer
seperti Antonio Negri menafsirkan
Spinoza sebagai pionir demokrasi radikal, di mana warga negara bukan sekadar
objek kekuasaan, melainkan subjek aktif dalam produksi nilai dan hukum.⁷ Dalam
konteks ini, Spinoza menginspirasi gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan
distributif, kesetaraan afektif, dan partisipasi politik yang luas.
9.5.
Spiritualitas Non-Teistik dan Teologi
Post-Religius
Di era pasca-agama
yang ditandai oleh sekularisasi, tetapi juga pencarian makna baru, konsep "Tuhan
tanpa agama" ala Spinoza menjadi relevan. Banyak filsuf,
teolog progresif, bahkan ilmuwan seperti Einstein mengadopsi pandangan Tuhan
sebagai hukum kosmis yang rasional dan tidak personal.⁸
Dalam kerangka ini, spiritualitas
tidak bergantung pada iman dogmatis, melainkan pada
keterhubungan intelektual dan emosional dengan dunia sebagai ekspresi dari
keteraturan substansial. Gagasan ini membuka ruang bagi teologi
naturalistik, pengalaman transenden yang tidak membutuhkan
supranatural, dan pendekatan holistik terhadap eksistensi.
Penutup Sub-Bagian
Relevansi pemikiran
Spinoza tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga praktis dan politis. Ia
menawarkan kerangka berpikir yang rasional, etis, dan
inklusif untuk menghadapi tantangan kompleks dunia
kontemporer—mulai dari krisis ekologi, konflik agama, manipulasi emosional,
hingga pelemahan demokrasi. Dalam era yang sering kali tidak rasional, Spinoza
hadir sebagai pengingat bahwa kebebasan dan kebahagiaan sejati hanya mungkin
dicapai melalui pengetahuan dan cinta akan kebenaran.
Footnotes
[1]
Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel
Shirley (Leiden: E. J. Brill, 1991), Chapter 20.
[2]
Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Part IV, Proposition 67.
[3]
Moira Gatens, Imaginary Bodies: Ethics, Power and Corporeality
(London: Routledge, 1996), 13–15.
[4]
Steven Nadler, Spinoza's Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 185–191.
[5]
Gilles Deleuze, Spinoza: Practical Philosophy, trans. Robert
Hurley (San Francisco: City Lights, 1988), 122–130.
[6]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 229–235.
[7]
Antonio Negri, The Savage Anomaly: The Power of Spinoza's
Metaphysics and Politics, trans. Michael Hardt (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1991), 92–99.
[8]
Albert Einstein dalam wawancara dengan George Sylvester Viereck, The
Saturday Evening Post, 26 October 1929.
10. Kesimpulan
Baruch Spinoza
menempati posisi unik dan fundamental dalam sejarah filsafat Barat sebagai
seorang pemikir yang dengan konsistensi logis dan keberanian intelektual
berhasil membangun sistem filsafat rasional yang mengintegrasikan
metafisika, etika, epistemologi, politik, dan teologi dalam satu kerangka
substansial. Dengan menggantikan konsep Tuhan personal yang
transenden dengan Deus sive Natura—Tuhan yang imanen
dan identik dengan alam—Spinoza merevolusi cara manusia memahami relasi antara
diri, dunia, dan Tuhan.¹
Pemikiran Spinoza
menolak dikotomi-dikotomi metafisis seperti pikiran dan tubuh, materi dan roh,
ciptaan dan pencipta. Sebagai gantinya, ia mengusulkan sistem monistik yang
berbasis pada satu substansi ilahi yang memiliki atribut tak terbatas, dari
mana seluruh realitas bermula dan beroperasi menurut hukum niscaya.² Gagasan
ini tidak hanya memberikan jawaban atas pertanyaan metafisis, tetapi juga
menjadi dasar bagi etika rasional, di mana kebebasan sejati bukan berarti bebas
dari hukum, melainkan hidup dalam keselarasan dengan akal dan hukum alam yang
dipahami secara rasional.³
Etika Spinoza
membawa wawasan baru tentang manusia sebagai makhluk yang ditentukan oleh afek dan
dorongan kodrati (conatus), namun dapat
mentransformasikan dorongan tersebut melalui pengetahuan menjadi bentuk
kebajikan aktif dan cinta intelektual kepada Tuhan.⁴ Dengan pendekatan ini, ia
menggabungkan determinisme dengan ideal kebebasan intelektual, dan
memperlihatkan bahwa kebahagiaan tertinggi (beatitudo) hanya dapat dicapai
melalui pemahaman terhadap diri sendiri dan realitas secara mendalam.
Dalam bidang
politik, Spinoza adalah salah satu pelopor modernitas sekuler. Ia membela
kebebasan berpikir, pemisahan agama dari negara, serta kedaulatan rakyat yang
berakar bukan pada wahyu atau tradisi, melainkan pada kontrak rasional yang
menjamin ketertiban dan kebebasan sipil.⁵ Pandangannya tidak didasarkan pada
utopia ideal, tetapi pada pemahaman realistis dan naturalistik tentang hak,
kekuasaan, dan stabilitas negara.
Warisan intelektual
Spinoza tidak berhenti pada zamannya. Ia menjadi fondasi penting bagi gerakan
Pencerahan radikal, filsafat Jerman klasik, dan interpretasi-interpretasi
kontemporer yang meliputi ekologi filosofis, biopolitik, dan spiritualitas
non-teistik.⁶ Di tengah krisis modern tentang identitas, lingkungan, dan
kebebasan, filsafat Spinoza menawarkan kerangka pemikiran yang rasional,
etis, dan inklusif—sebuah jalan menuju pemahaman dan pembebasan
melalui akal.
Maka, dapat
disimpulkan bahwa pemikiran Spinoza tidak hanya bernilai historis, tetapi juga sangat
relevan dalam menjawab tantangan eksistensial dan sosial pada era kontemporer.
Dengan menggabungkan ketajaman logis, kedalaman spiritual, dan keberanian
filosofis, Spinoza mewariskan kepada umat manusia suatu sistem pemikiran yang
mendalam dan terbuka untuk masa depan.
Footnotes
[1]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Classics, 1996), Part I, Proposition 15, Scholium.
[2]
Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 29–34.
[3]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 165–170.
[4]
Baruch Spinoza, Ethics, Part V, Proposition 32.
[5]
Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel Shirley
(Leiden: E. J. Brill, 1991), Chapter 20.
[6]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making
of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 231–245.
Daftar Pustaka
Curley, E. (Ed. & Trans.). (1996). Ethics
(by B. Spinoza). London, UK: Penguin Classics.
Della Rocca, M. (2008). Spinoza. London, UK:
Routledge.
Deleuze, G. (1988). Spinoza: Practical
philosophy (R. Hurley, Trans.). San Francisco, CA: City Lights.
Deleuze, G. (1990). Expressionism in philosophy:
Spinoza (M. Joughin, Trans.). New York, NY: Zone Books.
Einstein, A. (1929, October 26). What life means to
Einstein: An interview by George Sylvester Viereck. The Saturday Evening
Post.
Gatens, M. (1996). Imaginary bodies: Ethics,
power and corporeality. London, UK: Routledge.
Goetschel, W. (2004). Spinoza’s modernity:
Mendelssohn, Lessing, and Heine. Madison, WI: University of Wisconsin
Press.
Hegel, G. W. F. (1995). Lectures on the history
of philosophy (Vol. III, E. S. Haldane, Trans.). Lincoln, NE: University of
Nebraska Press. (Original work published 1833–1836)
Israel, J. I. (2001). Radical enlightenment:
Philosophy and the making of modernity 1650–1750. Oxford, UK: Oxford
University Press.
Nadler, S. (1999). Spinoza: A life.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Nadler, S. (2006). Spinoza’s ethics: An
introduction. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Negri, A. (1991). The savage anomaly: The power
of Spinoza’s metaphysics and politics (M. Hardt, Trans.). Minneapolis, MN:
University of Minnesota Press.
Shirley, S. (Trans.). (1991). Tractatus
theologico-politicus (by B. Spinoza). Leiden, NL: E. J. Brill.
Shirley, S. (Trans.). (2000). Political treatise
(Tractatus politicus) (by B. Spinoza). Indianapolis, IN: Hackett
Publishing.
Strauss, L. (1965). Spinoza’s critique of
religion (E. M. Sinclair, Trans.). New York, NY: Schocken Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar