Sabtu, 31 Mei 2025

Pemikiran Baruch Spinoza: Rasionalisme, Etika, dan Tuhan dalam Pandangan Modern

Pemikiran Baruch Spinoza

Rasionalisme, Etika, dan Tuhan dalam Pandangan Modern


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran filsuf Yahudi-Portugis Baruch Spinoza (1632–1677) yang dianggap sebagai salah satu arsitek utama filsafat modern. Melalui pendekatan rasional dan sistematik, Spinoza menyusun suatu filsafat substansi yang mengintegrasikan metafisika, epistemologi, etika, politik, dan teologi dalam satu kerangka monistik yang radikal. Ia mengidentifikasi Tuhan dengan alam (Deus sive Natura), menolak dualisme Cartesian, dan menegaskan bahwa seluruh eksistensi tunduk pada hukum-hukum kodrati yang niscaya. Etikanya menekankan kebebasan sebagai pemahaman terhadap sebab-sebab, serta pentingnya transformasi afek melalui rasio menuju kebahagiaan intelektual. Dalam bidang politik, Spinoza membela kebebasan berpikir dan demokrasi rasional sebagai bentuk negara yang paling sesuai dengan natur manusia. Artikel ini juga menyoroti pengaruh Spinoza terhadap tradisi Pencerahan, filsafat Jerman, serta filsafat kontemporer seperti ekologi filosofis dan spiritualitas non-teistik. Keseluruhan uraian menunjukkan bahwa pemikiran Spinoza tetap relevan untuk menjawab tantangan intelektual dan eksistensial pada era modern, terutama dalam menghadapi dogmatisme, krisis lingkungan, dan kebebasan berpikir.

Kata Kunci: Baruch Spinoza; substansi; rasionalisme; etika; Tuhan; determinisme; demokrasi; filsafat modern; kebebasan berpikir; ekospiritualitas.


PEMBAHASAN

Baruch Spinoza dan Filsafat Substansi


1.           Pendahuluan

Baruch Spinoza (1632–1677) merupakan salah satu pemikir paling radikal dan berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat modern. Ia dikenal karena pendekatannya yang sistematis dan rasional terhadap persoalan metafisika, etika, dan teologi, yang pada masanya sangat kontroversial. Sebagai seorang filsuf keturunan Yahudi-Portugis yang hidup di tengah ketegangan antara tradisi agama, dogma teologis, dan munculnya rasionalisme modern, Spinoza mewakili titik balik dalam perkembangan filsafat pasca-Descartes.

Pemikiran Spinoza yang tertuang terutama dalam karyanya Ethica ordine geometrico demonstrata (Etika yang Dibuktikan Secara Geometris) menandai pergeseran besar dari teisme tradisional menuju sebuah pandangan dunia yang bersifat imanen. Dalam sistem filsafatnya, Tuhan tidak dipahami sebagai pribadi transenden yang menciptakan dan mengatur dunia dari luar, tetapi sebagai substansi tunggal yang identik dengan alam itu sendiri (Deus sive Natura)—sebuah gagasan yang merevolusi relasi antara manusia, Tuhan, dan alam semesta secara mendalam.¹

Spinoza lahir di Amsterdam pada tahun 1632 dari keluarga pengungsi Yahudi Sephardic yang melarikan diri dari Inkuisisi Portugis. Ia menerima pendidikan Yahudi tradisional tetapi segera menunjukkan kecenderungan intelektual yang membawanya untuk mempertanyakan dogma agama. Penolakannya terhadap konsep Tuhan antropomorfis serta reinterpretasi Kitab Suci dari perspektif rasional menyebabkan ekskomunikasinya (herem) dari komunitas Yahudi pada usia muda, sebuah peristiwa yang membebaskannya untuk menyusun sistem filsafat yang mandiri dan original.²

Karya-karya Spinoza tidak hanya mengguncang struktur pemikiran religius ortodoks, tetapi juga meletakkan fondasi bagi sekularisme, toleransi, dan kebebasan berpikir yang kemudian menjadi pilar Pencerahan.³ Ia mendahului banyak ide-ide modern dalam filsafat, seperti naturalisme, determinisme, dan demokrasi, yang terus mendapat tempat dalam diskursus kontemporer. Pandangan metafisikanya yang menyatukan Tuhan dan alam secara koheren melalui prinsip rasional telah mengilhami pemikir besar seperti Goethe, Schelling, Hegel, bahkan Gilles Deleuze pada abad ke-20.⁴

Pendekatan geometris yang ia gunakan dalam Ethica bukan sekadar bentuk presentasi, melainkan cerminan dari keyakinannya bahwa kebenaran filosofis dapat ditemukan melalui metode rasional yang pasti dan perlu. Bagi Spinoza, memahami realitas berarti memahami Tuhan sebagai satu-satunya substansi yang ada, dan dengan demikian, menemukan kebebasan dalam keteraturan hukum-hukum alam yang bersifat deterministik.⁵

Maka, melalui penggalian terhadap filsafat substansi Spinoza, artikel ini akan menelusuri akar-akar pemikirannya yang mencakup aspek ontologi, epistemologi, etika, dan politik, serta mempertimbangkan relevansinya dalam dunia modern yang terus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan besar tentang Tuhan, kebebasan, akal, dan kehidupan yang baik.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 15.

[2]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 131–135.

[3]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 159–175.

[4]                Gilles Deleuze, Spinoza: Practical Philosophy, trans. Robert Hurley (San Francisco: City Lights, 1988), 11–25.

[5]                Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 3–8.


2.           Biografi Intelektual Spinoza

Baruch (Benedictus) Spinoza dilahirkan pada tanggal 24 November 1632 di Amsterdam, Belanda, dalam sebuah keluarga Yahudi Sephardic yang melarikan diri dari kekejaman Inkuisisi Portugis. Ayahnya, Miguel de Spinoza, adalah seorang pedagang sukses, sementara komunitas Yahudi tempat Spinoza tumbuh dikenal sebagai pusat intelektual dan spiritual yang relatif terbuka di bawah perlindungan Republik Belanda yang toleran.¹ Spinoza menerima pendidikan dasar dalam yeshiva komunitas Talmud Torah, yang berfokus pada studi Torah, Talmud, dan literatur rabinik.² Namun, sejak muda ia menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan sekuler dan filsafat klasik, terutama karya-karya dari Descartes dan filsuf skolastik Latin.

Minatnya terhadap filsafat dan pendekatannya yang kritis terhadap dogma-dogma keimanan Yahudi menimbulkan ketegangan serius dengan otoritas keagamaan komunitasnya. Pada usia 23 tahun, Spinoza dikeluarkan secara permanen melalui keputusan herem (ekskomunikasi) oleh Majelis Kehakiman Yahudi Amsterdam pada tahun 1656.³ Dokumen herem tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit alasan pengucilan, namun dari bukti-bukti sejarah diketahui bahwa pandangan-pandangannya mengenai Tuhan, jiwa, dan Kitab Suci dianggap menyimpang dan berbahaya bagi integritas komunitas. Ekskomunikasi ini merupakan titik balik penting yang membebaskan Spinoza dari batasan religius dan memberinya ruang untuk mengembangkan filsafatnya secara mandiri dan radikal.

Setelah pengucilan itu, Spinoza mulai hidup sederhana dan mengandalkan keahlian menggiling lensa optik untuk mikroskop dan teleskop sebagai mata pencaharian. Meskipun hidupnya bersahaja dan penuh dengan tekanan dari berbagai kelompok religius, Spinoza terus menulis dan membangun korespondensi dengan para pemikir terkemuka di Eropa, termasuk Henry Oldenburg, sekertaris pertama Royal Society di Inggris.⁴ Dalam periode ini, ia menulis beberapa karya penting, seperti Tractatus de Intellectus Emendatione (Risalah tentang Perbaikan Akal Budi), Tractatus Theologico-Politicus, dan mahakaryanya yang paling sistematik, Ethica ordine geometrico demonstrata.

Filsafat Spinoza sangat dipengaruhi oleh rasionalisme Cartesian, namun ia menolak dualisme substansi antara pikiran dan tubuh yang diusung oleh René Descartes. Alih-alih membedakan substansi menjadi dua (res cogitans dan res extensa), Spinoza mengusulkan bahwa hanya ada satu substansi tunggal, yaitu Tuhan atau Alam (Deus sive Natura), yang memiliki atribut yang tak terhingga.⁵ Dengan pendekatan ini, Spinoza membangun sistem filsafat yang bersifat monistik, deterministik, dan imanen—berbeda dari teologi transendental yang lazim pada zamannya.

Sepanjang hidupnya, Spinoza menolak tawaran-tawaran jabatan akademik demi menjaga independensinya. Ia bahkan pernah menolak pensiun yang ditawarkan oleh Elector Palatine dengan syarat menjaga prinsip-prinsip keagamaannya.⁶ Keputusannya tersebut memperlihatkan komitmen Spinoza terhadap integritas intelektual dan kebebasan berpikir. Ia wafat pada 21 Februari 1677 dalam usia 44 tahun, diduga karena penyakit paru-paru yang disebabkan oleh partikel-partikel lensa kaca yang ia hirup selama bertahun-tahun dalam pekerjaannya sebagai pengasah lensa. Meski hidup dalam ketidakpastian dan tekanan, warisan intelektualnya menjadikan Spinoza sebagai salah satu tokoh utama dalam sejarah filsafat modern.


Footnotes

[1]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 23–28.

[2]                Ibid., 29–35.

[3]                Ibid., 118–123.

[4]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 172–175.

[5]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Definitions and Propositions.

[6]                Nadler, Spinoza: A Life, 283–285.


3.           Ontologi dan Metafisika: Konsep Substansi

Dalam pemikiran Baruch Spinoza, filsafat metafisika mencapai bentuk yang sangat sistematik dan radikal melalui apa yang disebutnya sebagai substansi tunggal. Berbeda dari dualisme Cartesian yang membedakan antara substansi berpikir (res cogitans) dan substansi yang memiliki keluasan (res extensa), Spinoza mengajukan bahwa hanya ada satu substansi yang benar-benar eksis, yaitu Tuhan atau Alam (Deus sive Natura).¹ Dengan menyamakan Tuhan dengan alam semesta, Spinoza menolak konsep Tuhan yang transenden dan personal dalam tradisi teistik dan menggantinya dengan suatu prinsip ontologis yang imanen, niscaya, dan absolut.

3.1.       Substansi sebagai Realitas Tertinggi

Dalam Ethica, Spinoza mendefinisikan substansi sebagai “sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri” (id quod in se est et per se concipitur)—artinya, eksistensinya tidak tergantung pada apapun selain dirinya.² Dalam sistem metafisika ini, hanya ada satu substansi yang memiliki atribut secara tak terhingga, dan segala sesuatu yang ada (termasuk manusia, pikiran, dan benda) merupakan modifikasi (modus) dari substansi tersebut. Dengan demikian, realitas yang kita alami sehari-hari bukanlah entitas independen, melainkan ekspresi atau manifestasi dari satu substansi ilahi yang tunggal dan universal.³

3.2.       Tuhan sebagai Substansi: Deus sive Natura

Istilah “Tuhan atau Alam” (Deus sive Natura) merupakan salah satu formulasi paling provokatif dari filsafat Spinoza. Melalui identifikasi ini, ia menegaskan bahwa Tuhan bukan pribadi transenden, melainkan hukum-hukum kodrati yang menstrukturkan seluruh eksistensi. Bagi Spinoza, Tuhan tidak menciptakan dunia secara temporal dari ketiadaan (creatio ex nihilo), tetapi dunia adalah Tuhan dalam mode eksistensial yang terbatas.⁴ Segala yang ada adalah dalam Tuhan (in Deo omnia sunt) dan tidak ada yang bisa dipahami di luar dari-Nya.⁵ Pandangan ini membawa implikasi panteistik dan sekaligus menghapus sekat antara teologi dan kosmologi.

3.3.       Atribut dan Modi: Struktur Realitas dalam Spinozisme

Substansi ilahi memiliki atribut tak terhingga, tetapi manusia hanya dapat memahami dua atribut: pikiran (cogitatio) dan keluasan (extensio). Kedua atribut ini tidak bersifat dualistik, melainkan paralel; setiap ide dalam pikiran memiliki padanan dalam keluasan dan sebaliknya, karena keduanya adalah ekspresi dari satu substansi yang sama.⁶

Sementara itu, modi adalah keadaan atau manifestasi partikular dari substansi yang eksis dalam waktu dan ruang. Misalnya, tubuh manusia atau ide spesifik adalah modi dari atribut keluasan dan pikiran. Hubungan antara substansi dan modi bersifat deterministik—tidak ada satu pun peristiwa di alam semesta yang terjadi secara acak atau bebas dalam arti absolut, melainkan semuanya mengikuti dari natur substansi sebagai akibat niscaya.⁷

3.4.       Determinisme Metafisik: Penolakan terhadap Kehendak Bebas

Dalam kerangka metafisik ini, Spinoza secara eksplisit menolak konsep kehendak bebas dalam makna konvensional. Segala sesuatu terjadi sebagai akibat niscaya dari esensi Tuhan. Ia menulis, “Di dalam alam tidak ada yang terjadi secara kebetulan; segala sesuatu ditentukan oleh kebutuhan kodrati Tuhan untuk eksis dan bertindak sebagaimana adanya.”⁸ Dengan demikian, kehendak manusia, sebagaimana semua fenomena lainnya, adalah bagian dari jaringan kausalitas universal yang menyatu dalam substansi tunggal.

3.5.       Implikasi terhadap Ontologi Modern

Pemikiran Spinoza tentang substansi dan determinisme ontologis memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat naturalisme dan rasionalisme. Filsafatnya menghapuskan dikotomi metafisis antara Tuhan dan dunia, antara tubuh dan jiwa, serta antara subjek dan objek. Ontologi Spinoza, yang mengutamakan keteraturan niscaya dan imanen, menjadi landasan bagi berbagai aliran filsafat kontemporer, mulai dari filsafat proses, Spinozisme radikal (Deleuze), hingga filsafat ekologi dan materialisme baru.⁹


Footnotes

[1]                Steven Nadler, Spinoza's Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 91–93.

[2]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Definition 3.

[3]                Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 17–21.

[4]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 226.

[5]                Spinoza, Ethics, Part I, Proposition 15, Scholium.

[6]                Ibid., Part II, Proposition 7.

[7]                Della Rocca, Spinoza, 52–55.

[8]                Spinoza, Ethics, Part I, Appendix.

[9]                Gilles Deleuze, Expressionism in Philosophy: Spinoza, trans. Martin Joughin (New York: Zone Books, 1990), 259–265.


4.           Epistemologi: Jalan Menuju Pengetahuan Sejati

Bagi Baruch Spinoza, filsafat tidak hanya merupakan pencarian spekulatif atas hakikat realitas, tetapi juga sebuah upaya sistematis untuk memahami bagaimana pengetahuan diperoleh dan bagaimana ia dapat membebaskan manusia dari kebodohan dan perbudakan emosional. Epistemologi Spinoza, yang dibangun dalam kerangka rasionalisme modern, menempati posisi sentral dalam sistem filsafatnya karena berkaitan langsung dengan tujuan etis: mencapai kebahagiaan sejati melalui pemahaman akan realitas secara rasional.

4.1.       Tiga Jenis Pengetahuan

Spinoza mengklasifikasikan pengetahuan manusia ke dalam tiga jenis, yang masing-masing memiliki derajat validitas dan kejelasan yang berbeda.¹

·                     Pengetahuan pertama (opinio atau imaginatio) adalah bentuk pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman kebetulan, ingatan, atau persepsi inderawi yang belum dianalisis secara rasional. Jenis pengetahuan ini sering kali tidak akurat dan menjadi sumber kesesatan serta takhayul.²

·                     Pengetahuan kedua (ratio) adalah hasil dari penalaran dan pemahaman kausalitas. Dalam jenis ini, manusia memahami sesuatu melalui definisi, deduksi, dan prinsip-prinsip umum.³

·                     Pengetahuan ketiga (scientia intuitiva) atau pengetahuan intuitif adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan. Ia melampaui penalaran diskursif dan memungkinkan manusia untuk memahami segala sesuatu sebagai bagian dari natur Tuhan secara langsung dan holistik.⁴ Dalam tahap ini, individu tidak sekadar mengetahui bahwa sesuatu itu benar, tetapi juga mengapa itu benar dalam kerangka sistemik realitas.

Dengan struktur ini, Spinoza memberikan hierarki epistemik yang mengarahkan manusia dari pengetahuan kabur menuju pencerahan intelektual dan kebebasan etis.

4.2.       Kebenaran sebagai Cahaya Diri

Bagi Spinoza, kebenaran bersifat otonom dan membuktikan dirinya sendiri. Ia menulis, “Kriteria kebenaran adalah kebenaran itu sendiri dan bukan sesuatu yang lain.”⁵ Artinya, pengetahuan sejati tidak membutuhkan validasi eksternal karena memiliki konsistensi dan koherensi internal. Kebenaran juga tidak bersifat relatif atau subjektif, melainkan niscaya, universal, dan mengikuti struktur realitas.

4.3.       Pengetahuan dan Kebebasan

Salah satu aspek terpenting dari epistemologi Spinoza adalah hubungannya dengan kebebasan manusia. Ketika manusia berpikir dengan jelas dan memahami dirinya serta dunia secara kausal, ia tidak lagi dikendalikan oleh nafsu atau emosi yang pasif.⁶ Dalam hal ini, kebebasan bukan berarti kemampuan bertindak secara bebas dari sebab, melainkan hidup dalam kesadaran akan sebab-sebab itu dan bertindak sesuai dengan akal.⁷ Dengan demikian, epistemologi Spinoza tidak hanya merupakan teori pengetahuan, tetapi juga dasar bagi ethica rationalis.

4.4.       Cinta Intelektual kepada Tuhan

Bentuk puncak dari pengetahuan intuitif adalah apa yang oleh Spinoza disebut sebagai “amor Dei intellectualis”—cinta intelektual kepada Tuhan.⁸ Ini bukan cinta emosional, melainkan bentuk kegembiraan tertinggi yang muncul dari pemahaman yang sempurna terhadap esensi Tuhan sebagai substansi tunggal. Dalam konteks ini, jiwa mencapai kebahagiaan abadi bukan karena imbalan eksternal atau janji eskatologis, tetapi karena kesatuan intelektual dengan prinsip tertinggi realitas.

Cinta intelektual ini juga mencerminkan sifat Tuhan itu sendiri, sebab bagi Spinoza, Tuhan juga mencintai dirinya secara intelektual melalui ekspresi atributnya yang tak terbatas.⁹ Melalui bentuk cinta ini, manusia tidak hanya memahami Tuhan, tetapi juga menjadi bagian dari niscaya ilahi dalam kesempurnaan rasional.

4.5.       Implikasi Epistemologis dalam Konteks Modern

Pemikiran Spinoza memberikan fondasi bagi berkembangnya teori-teori pengetahuan rasional dalam tradisi Pencerahan. Penolakannya terhadap relativisme inderawi dan afeksi emosional sebagai dasar pengetahuan membuka jalan bagi objektivisme ilmiah, tetapi pada saat yang sama, ia tetap mengakui pentingnya intuisi rasional yang bersifat eksistensial. Dalam konteks kontemporer, epistemologi Spinoza mengilhami pendekatan transdisipliner dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan psikologi, khususnya dalam usaha memahami hubungan antara nalar, emosi, dan kesadaran.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part II, Proposition 40, Scholium II.

[2]                Ibid., Part II, Proposition 35.

[3]                Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 111–114.

[4]                Steven Nadler, Spinoza's Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 179–184.

[5]                Spinoza, Ethics, Part II, Proposition 43, Scholium.

[6]                Ibid., Part V, Proposition 3.

[7]                Ibid., Part IV, Proposition 67.

[8]                Ibid., Part V, Proposition 32.

[9]                Gilles Deleuze, Expressionism in Philosophy: Spinoza, trans. Martin Joughin (New York: Zone Books, 1990), 258–259.


5.           Etika Spinoza: Kebebasan, Emosi, dan Rasio

Etika dalam pemikiran Baruch Spinoza bukanlah kumpulan norma moral konvensional atau ajaran moral religius, melainkan merupakan konsekuensi logis dari sistem metafisika dan epistemologinya. Dalam Ethica ordine geometrico demonstrata, Spinoza menyusun filsafat etika dengan metode aksiomatis-geometris, sebagaimana dalam ilmu pasti, untuk menunjukkan bahwa hidup yang baik adalah hidup menurut akal, dan bahwa kebebasan sejati hanya mungkin melalui pemahaman rasional akan realitas

5.1.       Etika sebagai Ekspresi Rasional dari Natur Manusia

Bagi Spinoza, segala sesuatu di alam tunduk pada hukum niscaya substansi, termasuk manusia dan tindakannya. Dengan demikian, etika Spinoza bersifat naturalistik dan deterministik—manusia tidak bertindak berdasarkan kehendak bebas absolut, melainkan menurut sebab-sebab yang dapat dijelaskan secara kausal.² Namun, determinisme ini tidak berarti fatalisme. Spinoza menyatakan bahwa “kebebasan sejati bukanlah kebebasan dari hukum kodrati, melainkan pengenalan yang jelas dan berbeda terhadap hukum itu sendiri.”³

Oleh karena itu, tujuan etika bukan menolak kodrat manusia, tetapi menyelaraskan diri dengannya. Hidup etis adalah hidup yang mengikuti esensi manusiawi, yaitu akal budi (ratio), bukan dorongan afektif yang membingungkan.⁴

5.2.       Afek: Pengaruh Emosi dalam Hidup Manusia

Spinoza memberikan perhatian khusus pada afek (affectus) atau emosi dalam Part III Ethica. Ia membedakan antara dua jenis afek: aktif (actiones) dan pasif (passiones). Afek aktif adalah emosi yang muncul dari pemahaman rasional dan memperkuat kuasa eksistensial (conatus) manusia, sedangkan afek pasif adalah emosi yang timbul dari penyebab eksternal yang tidak dipahami secara rasional.⁵

Menurut Spinoza, sebagian besar manusia hidup dalam keadaan pasif, dikuasai oleh emosi seperti takut, iri, dan harapan palsu karena tidak memahami sebab-sebab sebenarnya dari tindakan dan peristiwa.⁶ Oleh karena itu, pendidikan rasional—yakni proses pengalihan dari afek pasif ke afek aktif—merupakan inti dari transformasi etis.

5.3.       Konsep Conatus dan Kebahagiaan

Etika Spinoza bertumpu pada prinsip dasar bahwa setiap individu berusaha mempertahankan eksistensinya sejauh mungkin (conatus sese conservandi).⁷ Namun, conatus bukanlah dorongan buta, melainkan kodrat niscaya makhluk sebagai bagian dari substansi Tuhan. Ketika manusia memahami dirinya sebagai bagian dari keseluruhan yang rasional, ia tidak lagi bertindak secara reaktif, melainkan aktif melalui akal. Inilah asal mula kebahagiaan (beatitudo) dalam pengertian Spinoza: bukan kenikmatan inderawi, tetapi kegembiraan intelektual karena selaras dengan hukum niscaya Tuhan.

5.4.       Kebebasan sebagai Rasionalitas

Spinoza secara radikal menolak gagasan kehendak bebas yang tidak disebabkan, dan menggantinya dengan konsep kebebasan sebagai pengertian terhadap niscaya. Ia menulis, “Manusia disebut bebas sejauh ia ditentukan untuk bertindak oleh dirinya sendiri, yaitu sejauh ia ditentukan untuk bertindak oleh akal.”⁸ Oleh karena itu, semakin seseorang memahami sebab-sebab emosinya dan hakikat alam semesta, semakin ia menjadi bebas.

Konsepsi ini membalikkan pandangan moral-religius tradisional yang memisahkan etika dari rasionalitas. Bagi Spinoza, moralitas sejati bukan berasal dari ketaatan kepada hukum eksternal, melainkan dari pemahaman rasional terhadap struktur realitas dan esensi manusia itu sendiri.⁹

5.5.       Etika sebagai Jalan Menuju Kegembiraan Intelektual

Puncak kehidupan etis dalam Ethica adalah amor Dei intellectualis, cinta intelektual kepada Tuhan, yang merupakan bentuk tertinggi dari kegembiraan. Dalam momen ini, jiwa manusia mencapai kesempurnaan dan menjadi bagian dari tatanan ilahi melalui pengetahuan intuitif. Ini bukan sekadar pengalaman religius, melainkan realitas ontologis: jiwa yang memahami Tuhan secara rasional menjadi tak terbinasakan, karena menyatu dengan esensi substansi yang abadi.¹⁰

Etika Spinoza, dengan demikian, merupakan jalan rasional menuju transformasi eksistensial. Ia menekankan bahwa melalui akal, manusia dapat melepaskan diri dari perbudakan afek dan meraih kebahagiaan yang kokoh dan niscaya.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Preface to Part I.

[2]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 95–99.

[3]                Spinoza, Ethics, Part I, Appendix.

[4]                Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 152–156.

[5]                Spinoza, Ethics, Part III, Definitions of the Affects.

[6]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 223–225.

[7]                Spinoza, Ethics, Part III, Proposition 6.

[8]                Ibid., Part IV, Proposition 66.

[9]                Nadler, Spinoza’s Ethics, 156–160.

[10]             Spinoza, Ethics, Part V, Proposition 36 and Scholium.


6.           Tuhan, Agama, dan Kritik terhadap Wahyu

Pemikiran Baruch Spinoza tentang Tuhan dan agama merupakan salah satu aspek paling revolusioner dan kontroversial dalam sejarah filsafat modern. Dalam karyanya Tractatus Theologico-Politicus (1670), Spinoza mengembangkan kritik rasional terhadap agama wahyu yang mendominasi tatanan sosial dan intelektual pada zamannya. Ia berupaya memisahkan filsafat dari teologi serta menafsirkan Kitab Suci melalui pendekatan historis-kritis.¹ Pandangan ini membuatnya dituduh sebagai ateis oleh sebagian kalangan kontemporernya, meskipun secara filosofis, ia justru menyusun konsep tentang Tuhan yang sangat mendalam dan orisinal.

6.1.       Konsep Tuhan: Dari Transendensi ke Imanensi

Dalam sistem metafisik Spinoza, Tuhan bukanlah pribadi transenden yang berkehendak bebas, menciptakan dunia dari luar, dan mengatur segala sesuatu berdasarkan kehendak arbitrer. Sebaliknya, Tuhan adalah substansi tunggal dan tak terbatas yang merupakan causa sui—penyebab dari dirinya sendiri—dan segala sesuatu yang ada merupakan ekspresi dari atribut dan modus-Nya.² Ia merumuskan prinsip radikal: Deus sive Natura (Tuhan atau Alam), yang mengidentifikasi Tuhan dengan tatanan alamiah dan hukum-hukum rasional yang mengatur semesta.³

Konsekuensi dari konsep ini adalah penghapusan Tuhan personal yang mendengar doa, mengampuni dosa, atau membuat mukjizat. Bagi Spinoza, keyakinan terhadap Tuhan yang bertindak seperti manusia adalah bentuk antropomorfisme teologis yang bersumber dari imajinasi dan ketidaktahuan akan sebab-sebab natural.⁴

6.2.       Kritik terhadap Wahyu dan Agama Historis

Spinoza mengajukan kritik mendalam terhadap wahyu keagamaan, khususnya dalam konteks Yudaisme dan Kristen, yang menurutnya sering kali digunakan untuk membenarkan kekuasaan politik dan ketundukan buta. Dalam Tractatus, ia menyatakan bahwa wahyu bukanlah komunikasi langsung dari Tuhan dalam bentuk verbal atau supranatural, melainkan merupakan ekspresi dari daya imajinatif para nabi yang hidup dalam konteks budaya dan sejarah tertentu.⁵

Oleh karena itu, Kitab Suci harus dipahami sebagai teks historis, bukan sebagai kebenaran metafisis universal.⁶ Ia menyarankan metode penafsiran yang disebut hermeneutika rasional-historis, yang memperlakukan Alkitab seperti teks lainnya—dianalisis berdasarkan bahasa, konteks, penulis, dan maksudnya. Hal ini menandai kemunculan awal dari kritik tekstual modern terhadap kitab suci.

6.3.       Agama sebagai Etika Universal, Bukan Dogma

Meskipun kritis terhadap wahyu tradisional, Spinoza tidak menolak nilai agama sepenuhnya. Ia justru berpendapat bahwa agama sejati tidak tergantung pada ritual, doktrin, atau mukjizat, tetapi pada kebajikan moral universal, terutama kasih sayang, keadilan, dan ketaatan terhadap hukum akal.⁷ Dengan demikian, agama sejati menurut Spinoza adalah yang mendukung kebebasan berpikir dan kehidupan rasional, bukan yang menuntut penyerahan buta kepada otoritas.

Dalam Tractatus, ia menyatakan bahwa “tujuan utama Kitab Suci adalah bukan untuk mengajarkan pengetahuan spekulatif, tetapi ketaatan dan kebajikan.”⁸ Ini menunjukkan bahwa agama dalam bentuknya yang murni adalah jalan etis, bukan sistem metafisik.

6.4.       Pemisahan Filsafat dan Teologi

Spinoza juga menekankan perlunya memisahkan filsafat dari teologi. Menurutnya, filsafat berlandaskan pada rasio dan berupaya mencapai kebenaran universal, sedangkan teologi berlandaskan pada iman dan ditujukan untuk mendidik moral rakyat.⁹ Ketika teologi mencampuri wilayah filsafat, muncullah dogmatisme dan represi kebebasan berpikir. Oleh karena itu, Spinoza mendukung kebebasan berekspresi sebagai fondasi negara yang sehat dan kehidupan intelektual yang otonom.

6.5.       Reaksi dan Warisan Pemikiran Keagamaan Spinoza

Pemikiran Spinoza tentang Tuhan dan agama telah menimbulkan polemik besar sepanjang sejarah. Ia disebut sebagai “Spinozist” dalam arti peyoratif oleh banyak teolog, dan bahkan dituduh ateis oleh beberapa filsuf Pencerahan awal. Namun, seiring waktu, pemikirannya justru menjadi fondasi bagi sekularisme modern, kritik religius, dan teologi non-teistik.¹⁰ Tokoh-tokoh seperti Lessing, Goethe, dan Einstein menyatakan kekaguman atas pandangan imanen Spinoza tentang Tuhan, yang mereka anggap sebagai bentuk spiritualitas rasional dan kosmis yang mendalam.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel Shirley (Leiden: E. J. Brill, 1991), Preface.

[2]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 11.

[3]                Ibid., Part I, Proposition 15, Scholium.

[4]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 144–149.

[5]                Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, Chapter 1–2.

[6]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 219–222.

[7]                Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, Chapter 14.

[8]                Ibid., Chapter 13.

[9]                Ibid., Chapter 15.

[10]             Gilles Deleuze, Spinoza: Practical Philosophy, trans. Robert Hurley (San Francisco: City Lights, 1988), 17–21.


7.           Filsafat Politik dan Negara

Filsafat politik Baruch Spinoza merupakan perluasan logis dari metafisika dan etika rasionalnya. Dalam Tractatus Theologico-Politicus (1670) dan karya yang lebih teknis, Tractatus Politicus (ditinggalkan dalam keadaan tidak selesai sebelum wafatnya), Spinoza menyusun konsepsi negara yang berdasarkan prinsip akal budi, kebebasan berpikir, dan stabilitas hukum alam.¹ Pandangannya tentang kekuasaan, hak, dan kebebasan tidak hanya berakar pada determinisme ontologisnya, tetapi juga mencerminkan semangat awal dari pemikiran liberalisme politik modern.

7.1.       Hak Alamiah sebagai Ekspresi Kuasa Kodrati

Dalam kerangka Spinozistik, hak (jus) tidak berasal dari perjanjian moral atau wahyu ilahi, melainkan dari kekuatan kodrati (potentia) setiap makhluk. Ia menyatakan bahwa "hak alamiah setiap individu ditentukan oleh kekuatan atau daya yang dimilikinya untuk eksis dan bertindak".² Artinya, segala sesuatu memiliki hak sejauh ia mampu mempertahankan eksistensinya. Konsepsi ini tidak menempatkan hak sebagai norma moral, tetapi sebagai fakta ontologis yang bersumber dari substansi Tuhan.

Karena itu, dalam status naturalis (keadaan alamiah), semua individu bertindak sesuai dengan nalurinya untuk bertahan hidup. Namun, dalam keadaan ini, konflik menjadi tak terhindarkan. Untuk menghindari kekacauan, individu secara rasional menyerahkan sebagian kekuasaan mereka kepada otoritas bersama—negara—demi ketertiban dan keamanan

7.2.       Negara sebagai Manifestasi Akal Kolektif

Negara (civitas) bagi Spinoza adalah perwujudan kuasa kolektif individu yang bersatu dalam kesepakatan rasional. Ia bukan entitas metafisis atau representasi kehendak ilahi, tetapi alat buatan manusia untuk menjamin keamanan, keadilan, dan kebebasan berpikir.⁴ Tujuan utama negara adalah bukan untuk mengendalikan warga secara represif, tetapi untuk memungkinkan individu hidup dan berpikir secara bebas sejauh mungkin dalam batas hukum rasional.

Dengan demikian, Spinoza menolak bentuk negara teokratis yang mencampuradukkan kekuasaan sipil dengan otoritas agama. Ia berpendapat bahwa negara harus menjamin kebebasan filsafat dan agama, selama hal itu tidak merusak hukum umum dan ketertiban.⁵

7.3.       Antara Potentia dan Potestas: Legitimasi Politik

Dalam pemikiran politik Spinoza, penting dibedakan antara dua istilah kunci:

·                     Potentia adalah kekuatan kodrati yang inheren pada individu atau kelompok.

·                     Potestas adalah otoritas legal atau kekuasaan yang dilembagakan secara politis.⁶

Negara yang stabil adalah negara yang mampu menjaga keseimbangan antara potentia rakyat dan potestas institusi. Jika institusi kehilangan kepercayaan dan tidak lagi mencerminkan rasionalitas kolektif, maka legitimasi politiknya runtuh dan kekuasaan akan kembali ke rakyat secara kodrati. Dalam konteks ini, Spinoza telah mengantisipasi ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial, meskipun dengan fondasi yang lebih naturalistik dan non-normatif dibandingkan Hobbes maupun Locke.

7.4.       Demokrasi sebagai Bentuk Pemerintahan Rasional

Dalam Tractatus Politicus, Spinoza menyatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling selaras dengan hukum kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan sosial.⁷ Demokrasi, menurutnya, bukan hanya soal keterlibatan suara mayoritas, tetapi pengorganisasian kekuasaan berdasarkan prinsip rasional dan kebebasan berpikir. Dalam sistem demokratis, warga tidak tunduk pada kehendak individu atau dogma agama, tetapi pada hukum yang lahir dari konsensus rasional.

Hal ini menjadikan Spinoza sebagai salah satu pelopor ide kebebasan sipil dan toleransi intelektual sebagai syarat mutlak bagi masyarakat yang sehat. Ia menulis: “Dalam negara yang bebas, setiap orang boleh berpikir apa yang ia kehendaki dan mengungkapkan apa yang ia pikirkan.”⁸

7.5.       Relevansi Pemikiran Politik Spinoza

Filsafat politik Spinoza relevan dalam menjawab tantangan modern mengenai hubungan antara agama dan negara, kebebasan berekspresi, serta dasar legitimasi politik. Pandangannya mendukung prinsip-prinsip konstitusionalisme sekuler dan hak-hak sipil yang menjadi pilar masyarakat demokratis kontemporer. Lebih dari itu, Spinoza menempatkan rasio sebagai dasar dari stabilitas sosial, bukan kekuasaan dogmatis atau paksaan ideologis.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel Shirley (Leiden: E. J. Brill, 1991), Preface.

[2]                Baruch Spinoza, Tractatus Politicus, trans. Samuel Shirley (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), Chapter II, §4.

[3]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 281–286.

[4]                Spinoza, Tractatus Politicus, Chapter III, §1.

[5]                Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, Chapter XX.

[6]                Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 234–239.

[7]                Spinoza, Tractatus Politicus, Chapter XI, §1.

[8]                Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, Chapter XX, concluding paragraph.


8.           Pengaruh dan Warisan Intelektual Spinoza

Baruch Spinoza, yang semasa hidupnya dianggap bidat oleh banyak kalangan agama dan bahkan dijuluki “atheistus” oleh para teolog ortodoks, justru pascakematian memperoleh posisi yang sangat penting dalam kanon filsafat Barat. Gagasannya yang mengintegrasikan metafisika, etika, epistemologi, dan politik secara sistematik telah menjadi sumber inspirasi lintas zaman, dari Zaman Pencerahan hingga filsafat kontemporer. Pengaruh Spinoza merentang luas: dari filsafat Jerman klasik, teologi liberal, hingga filsafat ekologi dan psikoanalisis modern.

8.1.       Spinoza dan Zaman Pencerahan

Pengaruh Spinoza pertama kali terasa kuat di kalangan pemikir Pencerahan radikal di Belanda, Prancis, dan Jerman. Pemikir seperti Pierre Bayle, Denis Diderot, dan Voltaire mempelajari karya-karyanya secara mendalam, meskipun tidak selalu menyetujuinya. Dalam Radical Enlightenment, Jonathan Israel menunjukkan bahwa Spinoza adalah fondasi intelektual bagi bentuk pencerahan yang menolak otoritas gereja dan menuntut kebebasan akal secara radikal, berbeda dari arus utama Pencerahan yang lebih kompromistis terhadap agama.¹

Melalui konsep Tuhan yang imanen dan filsafat yang naturalistik, Spinoza membantu menggeser perhatian filsafat Eropa dari spekulasi metafisis religius ke arah rasionalisme ilmiah dan sekularisme filosofis.² Dalam konteks ini, ia menjadi pelopor tidak hanya bagi rasionalisme Pencerahan, tetapi juga bagi pemisahan institusional antara gereja dan negara.

8.2.       Pengaruh terhadap Filsafat Jerman: Goethe, Schelling, dan Hegel

Dalam tradisi filsafat Jerman, Spinoza mendapat tempat istimewa. Johann Wolfgang von Goethe memujanya sebagai model pemikir yang hidup selaras dengan alam dan rasio.³ Friedrich Wilhelm Joseph Schelling dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel secara eksplisit mengakui bahwa sistem metafisika mereka tidak akan mungkin tanpa fondasi yang diletakkan Spinoza.

Hegel bahkan menyatakan bahwa "setiap filsuf adalah Spinozist, atau bukan filsuf sama sekali", mengacu pada posisi sentral Spinoza dalam membangun struktur ontologi rasional yang koheren.⁴ Meski demikian, Hegel mengkritik Spinoza karena dianggap gagal mengembangkan konsep subjektivitas secara dialektis—sebuah kritik yang kemudian membentuk garis pemisah antara monisme rasional Spinoza dan idealisme Jerman.

8.3.       Spinoza dalam Tradisi Yahudi Modern

Meskipun Spinoza diherem dari komunitas Yahudi pada usia muda, banyak pemikir Yahudi modern seperti Moses Mendelssohn, Hermann Cohen, dan Martin Buber melihat warisan intelektual Spinoza sebagai bagian tak terpisahkan dari renaisans filsafat Yahudi. Beberapa bahkan menyebut Spinoza sebagai "Maimonides sekuler", yang menggantikan teologi skolastik dengan etika rasional dan spiritualitas kosmis.⁵

Pada awal abad ke-20, upaya rekonsiliasi dilakukan oleh kalangan Yahudi sekuler dan reformis, yang melihat pemikiran Spinoza sebagai jembatan antara etika profetik dan rasionalisme modern.⁶

8.4.       Pengaruh dalam Filsafat Kontemporer

Pada abad ke-20, pemikiran Spinoza mengalami kebangkitan melalui interpretasi para filsuf seperti Gilles Deleuze, Antonio Negri, dan Étienne Balibar. Dalam karya Expressionism in Philosophy: Spinoza, Deleuze membela Spinoza sebagai filsuf kebebasan dan vitalisme ontologis, yang menolak struktur hierarkis dan mendukung ekspresi eksistensial dari tubuh dan pikiran.⁷

Antonio Negri, dalam The Savage Anomaly, menafsirkan Spinoza sebagai tokoh revolusioner dalam sejarah filsafat politik, yang mengedepankan kedaulatan rakyat dan produksi afek kolektif.⁸ Filsafat Spinoza pun digunakan dalam analisis biopolitik, materialisme baru, dan bahkan dalam teori feminis dan ekologi radikal.

8.5.       Spinoza dalam Ilmu Pengetahuan dan Teologi Non-Teistik

Albert Einstein mengaku percaya pada "Tuhan Spinoza", yaitu Tuhan yang tidak campur tangan dalam urusan manusia, melainkan mewujud dalam hukum-hukum alam yang rasional dan tak berubah.⁹ Ini memperlihatkan bahwa Spinoza berhasil menyatukan spiritualitas dan rasionalitas dalam satu kerangka filosofis yang menjangkau ranah sains dan religiositas post-konfesional.

Dalam dunia teologi modern, Spinoza menjadi rujukan penting dalam teologi proses, teologi naturalistik, dan spiritualitas kosmis, yang menolak pandangan tentang Tuhan sebagai pribadi dan mengedepankan Tuhan sebagai prinsip keberadaan yang menyeluruh dan imanen.


Footnotes

[1]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 159–186.

[2]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 300–303.

[3]                Goethe dalam surat kepada Jacobi, dikutip dalam Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 289.

[4]                G. W. F. Hegel, Lectures on the History of Philosophy, trans. E. S. Haldane (Lincoln: University of Nebraska Press, 1995), Vol. III, 257.

[5]                Leo Strauss, Spinoza's Critique of Religion, trans. E. M. Sinclair (New York: Schocken Books, 1965), 12–14.

[6]                Willi Goetschel, Spinoza’s Modernity: Mendelssohn, Lessing, and Heine (Madison: University of Wisconsin Press, 2004), 45–52.

[7]                Gilles Deleuze, Expressionism in Philosophy: Spinoza, trans. Martin Joughin (New York: Zone Books, 1990), 181–189.

[8]                Antonio Negri, The Savage Anomaly: The Power of Spinoza's Metaphysics and Politics, trans. Michael Hardt (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1991), 78–90.

[9]                Einstein dalam wawancara dengan George Sylvester Viereck, The Saturday Evening Post, 26 October 1929.


9.           Relevansi Pemikiran Spinoza di Era Kontemporer

Di tengah dinamika intelektual, krisis ekologi, serta kebangkitan fanatisme ideologis dan religius di era kontemporer, filsafat Baruch Spinoza tampil kembali sebagai sumber pemikiran kritis yang tak lekang oleh waktu. Pandangan-pandangannya mengenai Tuhan, alam, kebebasan, dan rasionalitas memberikan kerangka konseptual yang kuat untuk menghadapi tantangan zaman modern. Warisan intelektual Spinoza kini digunakan kembali dalam berbagai bidang: dari filsafat politik dan lingkungan, hingga teologi pasca-konfesional dan teori afek dalam ilmu sosial.

9.1.       Rasionalisme dan Kritik terhadap Dogmatisme

Salah satu kontribusi abadi Spinoza adalah penolakannya terhadap bentuk pemikiran dogmatis, baik dalam ranah teologi maupun politik. Dalam era di mana informasi bercampur dengan disinformasi, dan pandangan religius sering kali digunakan untuk menjustifikasi intoleransi, Spinoza menawarkan paradigma rasional yang mendorong penalaran kritis dan otonomi intelektual.¹ Ia menegaskan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi adalah hak kodrati manusia yang harus dijamin oleh negara.²

Prinsip ini menjadi dasar penting dalam pemikiran liberal modern dan relevan untuk memperkuat prinsip pluralisme dan kebebasan akademik di tengah arus politisasi agama dan anti-intelektualisme global.

9.2.       Etika Rasional dalam Dunia yang Digerakkan Afek

Di tengah krisis kesehatan mental, politik identitas, dan ekonomi emosi, filsafat afek Spinoza menjadi relevan kembali.³ Spinoza telah mengantisipasi bagaimana manusia sering kali tidak bertindak berdasarkan akal sehat, tetapi dikuasai oleh afek pasif seperti rasa takut, marah, atau harapan palsu yang timbul dari ketidaktahuan akan sebab-sebab realitas.

Dengan menawarkan transformasi afek menjadi afek aktif melalui pengetahuan rasional, Spinoza memberikan dasar etika praktis yang mengedepankan stabilitas batin dan kebebasan sejati.⁴ Ini sangat penting dalam dunia pasca-industri yang dipenuhi oleh algoritma afektif dan manipulasi emosional dalam media sosial.

9.3.       Ekospiritualitas dan Hubungan Baru dengan Alam

Krisis lingkungan global menuntut pandangan baru tentang hubungan manusia dan alam, yang tidak lagi menempatkan manusia sebagai penguasa atas dunia, tetapi sebagai bagian dari tatanan alam yang lebih besar. Dalam konteks ini, gagasan Spinoza tentang Tuhan sebagai alam (Deus sive Natura) sangat signifikan.⁵

Alih-alih melihat alam sebagai benda mati atau sekadar sumber daya, Spinoza menawarkan pemahaman kosmis dan etis yang menyatukan manusia dalam jalinan kausalitas universal. Pandangan ini telah memengaruhi perkembangan filsafat ekologi dan spiritualitas imanen yang menekankan kesatuan antara keberadaan, hukum alam, dan tanggung jawab etis.

9.4.       Politik Kedaulatan dan Demokrasi Radikal

Gagasan Spinoza tentang kedaulatan rakyat, pemisahan agama dan negara, serta pembelaan terhadap kebebasan berpikir memiliki resonansi kuat dalam konteks demokrasi yang terancam oleh otoritarianisme dan polarisasi ideologis.⁶ Ia menunjukkan bahwa kekuasaan negara bukanlah emanasi ilahi, tetapi hasil kontrak rasional yang harus terus dikritisi dan diperbarui.

Pemikir kontemporer seperti Antonio Negri menafsirkan Spinoza sebagai pionir demokrasi radikal, di mana warga negara bukan sekadar objek kekuasaan, melainkan subjek aktif dalam produksi nilai dan hukum.⁷ Dalam konteks ini, Spinoza menginspirasi gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan distributif, kesetaraan afektif, dan partisipasi politik yang luas.

9.5.       Spiritualitas Non-Teistik dan Teologi Post-Religius

Di era pasca-agama yang ditandai oleh sekularisasi, tetapi juga pencarian makna baru, konsep "Tuhan tanpa agama" ala Spinoza menjadi relevan. Banyak filsuf, teolog progresif, bahkan ilmuwan seperti Einstein mengadopsi pandangan Tuhan sebagai hukum kosmis yang rasional dan tidak personal.⁸

Dalam kerangka ini, spiritualitas tidak bergantung pada iman dogmatis, melainkan pada keterhubungan intelektual dan emosional dengan dunia sebagai ekspresi dari keteraturan substansial. Gagasan ini membuka ruang bagi teologi naturalistik, pengalaman transenden yang tidak membutuhkan supranatural, dan pendekatan holistik terhadap eksistensi.


Penutup Sub-Bagian

Relevansi pemikiran Spinoza tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga praktis dan politis. Ia menawarkan kerangka berpikir yang rasional, etis, dan inklusif untuk menghadapi tantangan kompleks dunia kontemporer—mulai dari krisis ekologi, konflik agama, manipulasi emosional, hingga pelemahan demokrasi. Dalam era yang sering kali tidak rasional, Spinoza hadir sebagai pengingat bahwa kebebasan dan kebahagiaan sejati hanya mungkin dicapai melalui pengetahuan dan cinta akan kebenaran.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel Shirley (Leiden: E. J. Brill, 1991), Chapter 20.

[2]                Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part IV, Proposition 67.

[3]                Moira Gatens, Imaginary Bodies: Ethics, Power and Corporeality (London: Routledge, 1996), 13–15.

[4]                Steven Nadler, Spinoza's Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 185–191.

[5]                Gilles Deleuze, Spinoza: Practical Philosophy, trans. Robert Hurley (San Francisco: City Lights, 1988), 122–130.

[6]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 229–235.

[7]                Antonio Negri, The Savage Anomaly: The Power of Spinoza's Metaphysics and Politics, trans. Michael Hardt (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1991), 92–99.

[8]                Albert Einstein dalam wawancara dengan George Sylvester Viereck, The Saturday Evening Post, 26 October 1929.


10.       Kesimpulan

Baruch Spinoza menempati posisi unik dan fundamental dalam sejarah filsafat Barat sebagai seorang pemikir yang dengan konsistensi logis dan keberanian intelektual berhasil membangun sistem filsafat rasional yang mengintegrasikan metafisika, etika, epistemologi, politik, dan teologi dalam satu kerangka substansial. Dengan menggantikan konsep Tuhan personal yang transenden dengan Deus sive Natura—Tuhan yang imanen dan identik dengan alam—Spinoza merevolusi cara manusia memahami relasi antara diri, dunia, dan Tuhan.¹

Pemikiran Spinoza menolak dikotomi-dikotomi metafisis seperti pikiran dan tubuh, materi dan roh, ciptaan dan pencipta. Sebagai gantinya, ia mengusulkan sistem monistik yang berbasis pada satu substansi ilahi yang memiliki atribut tak terbatas, dari mana seluruh realitas bermula dan beroperasi menurut hukum niscaya.² Gagasan ini tidak hanya memberikan jawaban atas pertanyaan metafisis, tetapi juga menjadi dasar bagi etika rasional, di mana kebebasan sejati bukan berarti bebas dari hukum, melainkan hidup dalam keselarasan dengan akal dan hukum alam yang dipahami secara rasional.³

Etika Spinoza membawa wawasan baru tentang manusia sebagai makhluk yang ditentukan oleh afek dan dorongan kodrati (conatus), namun dapat mentransformasikan dorongan tersebut melalui pengetahuan menjadi bentuk kebajikan aktif dan cinta intelektual kepada Tuhan.⁴ Dengan pendekatan ini, ia menggabungkan determinisme dengan ideal kebebasan intelektual, dan memperlihatkan bahwa kebahagiaan tertinggi (beatitudo) hanya dapat dicapai melalui pemahaman terhadap diri sendiri dan realitas secara mendalam.

Dalam bidang politik, Spinoza adalah salah satu pelopor modernitas sekuler. Ia membela kebebasan berpikir, pemisahan agama dari negara, serta kedaulatan rakyat yang berakar bukan pada wahyu atau tradisi, melainkan pada kontrak rasional yang menjamin ketertiban dan kebebasan sipil.⁵ Pandangannya tidak didasarkan pada utopia ideal, tetapi pada pemahaman realistis dan naturalistik tentang hak, kekuasaan, dan stabilitas negara.

Warisan intelektual Spinoza tidak berhenti pada zamannya. Ia menjadi fondasi penting bagi gerakan Pencerahan radikal, filsafat Jerman klasik, dan interpretasi-interpretasi kontemporer yang meliputi ekologi filosofis, biopolitik, dan spiritualitas non-teistik.⁶ Di tengah krisis modern tentang identitas, lingkungan, dan kebebasan, filsafat Spinoza menawarkan kerangka pemikiran yang rasional, etis, dan inklusif—sebuah jalan menuju pemahaman dan pembebasan melalui akal.

Maka, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Spinoza tidak hanya bernilai historis, tetapi juga sangat relevan dalam menjawab tantangan eksistensial dan sosial pada era kontemporer. Dengan menggabungkan ketajaman logis, kedalaman spiritual, dan keberanian filosofis, Spinoza mewariskan kepada umat manusia suatu sistem pemikiran yang mendalam dan terbuka untuk masa depan.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 15, Scholium.

[2]                Michael Della Rocca, Spinoza (London: Routledge, 2008), 29–34.

[3]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 165–170.

[4]                Baruch Spinoza, Ethics, Part V, Proposition 32.

[5]                Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel Shirley (Leiden: E. J. Brill, 1991), Chapter 20.

[6]                Jonathan Israel, Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University Press, 2001), 231–245.


Daftar Pustaka

Curley, E. (Ed. & Trans.). (1996). Ethics (by B. Spinoza). London, UK: Penguin Classics.

Della Rocca, M. (2008). Spinoza. London, UK: Routledge.

Deleuze, G. (1988). Spinoza: Practical philosophy (R. Hurley, Trans.). San Francisco, CA: City Lights.

Deleuze, G. (1990). Expressionism in philosophy: Spinoza (M. Joughin, Trans.). New York, NY: Zone Books.

Einstein, A. (1929, October 26). What life means to Einstein: An interview by George Sylvester Viereck. The Saturday Evening Post.

Gatens, M. (1996). Imaginary bodies: Ethics, power and corporeality. London, UK: Routledge.

Goetschel, W. (2004). Spinoza’s modernity: Mendelssohn, Lessing, and Heine. Madison, WI: University of Wisconsin Press.

Hegel, G. W. F. (1995). Lectures on the history of philosophy (Vol. III, E. S. Haldane, Trans.). Lincoln, NE: University of Nebraska Press. (Original work published 1833–1836)

Israel, J. I. (2001). Radical enlightenment: Philosophy and the making of modernity 1650–1750. Oxford, UK: Oxford University Press.

Nadler, S. (1999). Spinoza: A life. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Nadler, S. (2006). Spinoza’s ethics: An introduction. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Negri, A. (1991). The savage anomaly: The power of Spinoza’s metaphysics and politics (M. Hardt, Trans.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.

Shirley, S. (Trans.). (1991). Tractatus theologico-politicus (by B. Spinoza). Leiden, NL: E. J. Brill.

Shirley, S. (Trans.). (2000). Political treatise (Tractatus politicus) (by B. Spinoza). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Strauss, L. (1965). Spinoza’s critique of religion (E. M. Sinclair, Trans.). New York, NY: Schocken Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar