Rabu, 16 April 2025

Pemikiran John Locke: Telaah Filosofis tentang Pengetahuan, Kebebasan, dan Politik

Pemikiran John Locke

Telaah Filosofis tentang Pengetahuan, Kebebasan, dan Politik


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara sistematis dan kritis pemikiran John Locke (1632–1704), salah satu tokoh sentral dalam filsafat modern yang memberi kontribusi besar dalam bidang epistemologi, filsafat politik, dan etika. Melalui karya An Essay Concerning Human Understanding, Locke meletakkan dasar bagi tradisi empirisme, dengan menolak ide bawaan (innate ideas) dan mengembangkan teori pengetahuan berdasarkan pengalaman inderawi dan refleksi. Dalam bidang politik, Two Treatises of Government menjadi fondasi bagi liberalisme klasik, dengan menekankan pentingnya kontrak sosial, persetujuan rakyat, dan perlindungan terhadap hak kodrati: hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Artikel ini juga membahas pandangan Locke tentang etika hukum alam dan toleransi beragama, serta menguraikan pengaruh luas pemikirannya terhadap revolusi-revolusi modern, konstitusionalisme, dan pluralisme religius. Meskipun demikian, artikel ini juga memaparkan berbagai kritik terhadap Locke, termasuk dari perspektif rasionalisme, Marxisme, dan post-kolonialisme, yang menyoroti keterbatasan epistemologis, ambiguitas moral, dan implikasi kolonial dari beberapa aspek pemikirannya. Dengan pendekatan historis-filosofis dan rujukan pada sumber primer serta kajian akademik kontemporer, artikel ini bertujuan memberikan pemahaman komprehensif tentang warisan intelektual Locke serta relevansinya dalam diskursus filsafat dan politik modern.

Kata Kunci: John Locke, empirisme, kontrak sosial, hak kodrati, liberalisme klasik, filsafat modern, toleransi beragama, etika hukum alam, kritik post-kolonial.


PEMBAHASAN

John Locke dan Fondasi Empirisme Modern


1.           Pendahuluan

Filsafat modern ditandai oleh pergeseran mendalam dalam cara manusia memahami pengetahuan, keberadaan, dan kehidupan sosial-politik. Pergeseran ini merupakan respons terhadap dominasi filsafat skolastik Abad Pertengahan yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Aristotelian dan otoritas teologis Gereja. Dalam konteks ini, munculnya para filsuf modern seperti René Descartes, Thomas Hobbes, dan John Locke menjadi tonggak penting dalam membentuk arah baru pemikiran Barat. Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam fase awal filsafat modern adalah John Locke (1632–1704), seorang pemikir asal Inggris yang memberikan kontribusi besar dalam bidang epistemologi, filsafat politik, dan teori pendidikan.

Locke dikenal luas sebagai bapak empirisme modern, karena melalui karya monumentalnya An Essay Concerning Human Understanding (1690), ia menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman. Konsepsi ini merupakan penolakan terhadap gagasan tentang innate ideas (ide bawaan), yang sebelumnya didukung oleh para rasionalis seperti Descartes. Locke menyatakan bahwa jiwa manusia pada awalnya seperti kertas kosong (tabula rasa), dan semua pengetahuan terbentuk dari pengalaman inderawi serta refleksi atas pengalaman tersebut.¹ Perspektif ini menggeser fondasi epistemologi dari spekulasi rasional ke pengalaman empirik sebagai sumber validitas kognitif.

Di luar bidang epistemologi, Locke juga memainkan peran penting dalam pengembangan teori kontrak sosial dan liberalisme politik. Dalam karyanya Two Treatises of Government (1689), Locke menawarkan pandangan yang bertolak belakang dengan absolutisme politik. Ia mengembangkan konsep keadaan alamiah (state of nature) yang lebih optimistik dibandingkan Thomas Hobbes, serta mengemukakan gagasan tentang hak-hak kodrati—yaitu hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan—yang melekat pada setiap individu.² Pemerintahan, menurut Locke, harus mendapatkan legitimasi dari persetujuan rakyat, dan kekuasaan politik seharusnya dibatasi oleh hukum untuk menjamin kebebasan sipil.³

Selain itu, Locke juga menjadi pelopor dalam diskursus tentang toleransi beragama di Eropa modern. Dalam A Letter Concerning Toleration (1689), ia membela pentingnya pemisahan antara urusan gereja dan negara, serta menyerukan pengakuan atas pluralitas kepercayaan sebagai landasan etis masyarakat yang sehat.⁴ Argumen-argumen Locke dalam hal ini telah berpengaruh besar terhadap fondasi normatif negara demokrasi modern, termasuk dalam perumusan konstitusi Amerika Serikat dan pemikiran para filsuf politik pencerahan seperti Montesquieu dan Rousseau.

Maka dari itu, mempelajari pemikiran John Locke tidak hanya penting dalam konteks sejarah filsafat, tetapi juga relevan dalam memahami dinamika pemikiran modern yang terus membentuk prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, dan pendidikan kontemporer. Artikel ini akan membahas pemikiran Locke secara sistematik dalam tiga dimensi utama: epistemologi, filsafat politik, dan etika toleransi, dengan menelusuri warisan intelektualnya yang terus bertahan hingga hari ini.


Footnotes

[1]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–107.

[2]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 271–275.

[3]                Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in Locke's Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 137.

[4]                John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 23–28.


2.           Biografi Singkat John Locke

John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington, Somerset, Inggris, dan dibesarkan di lingkungan keluarga Puritan di desa kecil Pensford, dekat Bristol. Ayahnya, John Locke Sr., adalah seorang pengacara dan pendukung kuat parlemen dalam Perang Saudara Inggris yang meletus pada tahun 1642. Didikan keluarga yang menghargai kebebasan politik dan semangat rasionalitas sangat memengaruhi orientasi pemikiran Locke pada masa dewasanya.¹

Locke menempuh pendidikan di Westminster School, salah satu sekolah elit di London, dan pada tahun 1652 ia diterima di Christ Church, Oxford, tempat ia mempelajari logika, retorika, dan filsafat skolastik. Namun, Locke merasa tidak puas dengan pendekatan skolastik yang kaku dan beralih minat ke filsafat eksperimental dan ilmu alam, terinspirasi oleh pemikiran Francis Bacon dan perkembangan ilmiah dari Royal Society.² Salah satu tokoh yang sangat memengaruhi intelektualitasnya adalah Robert Boyle, ilmuwan kimia dan fisika terkemuka, yang memperkenalkan Locke pada metode ilmiah dan eksperimen empiris.³

Pengalaman penting lainnya adalah keterlibatannya dalam dunia medis. Locke belajar kedokteran secara tidak resmi dan bekerja sama dengan Thomas Sydenham, seorang dokter terkenal yang juga menjunjung pendekatan empiris terhadap ilmu kesehatan. Melalui pengamatan terhadap tubuh manusia dan penyakit, Locke semakin menegaskan keyakinannya bahwa pengetahuan sejati harus bersumber dari pengalaman, bukan spekulasi abstrak.⁴

Keterlibatan Locke dalam dunia politik dimulai ketika ia menjadi sekretaris dan penasihat Lord Anthony Ashley Cooper (kemudian dikenal sebagai Earl of Shaftesbury), salah satu tokoh penting dalam politik Inggris pada masa Restorasi. Dalam lingkaran politik ini, Locke memperoleh pengalaman langsung mengenai mekanisme kekuasaan, hak-hak sipil, dan konflik antara monarki absolut dan kekuasaan rakyat.⁵ Posisi ini juga memberikan perlindungan bagi Locke untuk mengembangkan pemikirannya, meskipun ia harus menghadapi pengawasan politik yang ketat. Pada tahun 1683, ketika situasi politik Inggris memanas, Locke memilih mengasingkan diri ke Belanda demi keselamatan. Di negeri ini, ia melanjutkan penulisan karya-karya pentingnya dan menjalin hubungan dengan pemikir-pemikir Protestan dan republikan.⁶

Setelah Revolusi Glorious (1688) yang menggulingkan Raja James II dan mengangkat William III ke tampuk kekuasaan, Locke kembali ke Inggris dan segera menerbitkan karya-karya monumentalnya, termasuk An Essay Concerning Human Understanding dan Two Treatises of Government pada tahun 1689–1690. Karya-karya ini menegaskan kontribusinya sebagai salah satu pendiri filsafat modern dan pendukung utama nilai-nilai liberalisme, empirisme, dan toleransi beragama. Locke wafat pada 28 Oktober 1704 di Oates, Essex, dalam usia 72 tahun, meninggalkan warisan intelektual yang terus memengaruhi dunia Barat hingga hari ini.⁷


Footnotes

[1]                John Dunn, John Locke: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 2–4.

[2]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 12–14.

[3]                Richard Ashcraft, Revolutionary Politics and Locke's Two Treatises of Government (Princeton: Princeton University Press, 1986), 35.

[4]                Matthew Stuart, Locke (London: Routledge, 2003), 24.

[5]                Mark Goldie, “Locke, Politics, and Knowledge,” in The Cambridge Companion to Locke, ed. Vere Chappell (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 112.

[6]                John Marshall, John Locke: Resistance, Religion and Responsibility (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 255.

[7]                Peter Laslett, ed., Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Introduction, 24–27.


3.           Epistemologi: Teori Pengetahuan dalam Karya An Essay Concerning Human Understanding

Karya An Essay Concerning Human Understanding (1690) merupakan tonggak penting dalam sejarah filsafat modern, khususnya dalam pengembangan epistemologi berbasis empirisme. Melalui karya ini, John Locke berusaha menjawab pertanyaan mendasar: dari manakah pengetahuan manusia berasal, dan bagaimana batas-batasnya dapat dipahami secara rasional? Locke menolak secara eksplisit pandangan rasionalis yang menyatakan bahwa terdapat ide bawaan (innate ideas) dalam jiwa manusia. Menurutnya, pikiran manusia saat lahir adalah tabula rasa, yakni lembaran kosong yang baru terisi melalui pengalaman.¹

3.1.       Penolakan terhadap Ide Bawaan (Innate Ideas)

Locke mengkritik keras klaim bahwa manusia memiliki gagasan bawaan tertentu—seperti ide tentang Tuhan, kebenaran, atau prinsip moral—yang tertanam dalam akal sejak lahir. Ia menilai bahwa ide-ide tersebut sebenarnya diperoleh melalui pengalaman dan pendidikan. Jika memang terdapat ide bawaan yang bersifat universal, Locke berargumen, maka semua manusia dari berbagai budaya akan memilikinya secara seragam; namun kenyataannya, banyak masyarakat primitif tidak menunjukkan kesadaran terhadap konsep-konsep seperti hukum alam atau keberadaan Tuhan.² Ia menyimpulkan bahwa “no proposition can be said to be innate unless it is universally assented to”

3.2.       Tabula Rasa dan Asal Pengetahuan

Locke menyatakan bahwa seluruh pengetahuan manusia berasal dari dua sumber utama: sensation dan reflection. Sensation merujuk pada pengalaman eksternal yang diperoleh melalui indera—seperti melihat warna, mendengar suara, atau merasakan panas. Reflection, sebaliknya, adalah bentuk pengalaman internal atas operasi mental—seperti berpikir, mengingat, atau menyimpulkan.⁴ Kedua proses inilah yang membentuk ide-ide sederhana, yang kemudian oleh akal dikombinasikan menjadi ide-ide kompleks melalui tiga mekanisme: penggabungan (combination), relasi (relation), dan abstraksi (abstraction).⁵

Dengan kerangka ini, Locke menggantikan model rasionalistik yang mengandalkan deduksi apriori dengan model empiristik yang mendasarkan pengetahuan pada proses akumulatif dari data pengalaman. Ia menegaskan bahwa akal bukanlah sumber pengetahuan, melainkan instrumen untuk memproses bahan mentah dari pengalaman.⁶

3.3.       Tingkatan Pengetahuan dan Batas Rasionalitas

Locke mengklasifikasikan pengetahuan ke dalam tiga tingkatan: (1) pengetahuan intuitif (intuitive knowledge), yang diperoleh secara langsung tanpa perantara, seperti kesadaran akan eksistensi diri; (2) pengetahuan demonstratif, yang memerlukan perantaraan dan proses penalaran, seperti pembuktian logis dalam matematika; dan (3) pengetahuan sensitif (sensitive knowledge), yang berasal dari persepsi inderawi terhadap dunia eksternal.⁷ Namun, Locke juga menyadari bahwa pengetahuan manusia memiliki keterbatasan. Misalnya, keberadaan substansi sebagai “penyebab tersembunyi” dari fenomena tidak dapat diketahui secara pasti, melainkan hanya dapat diasumsikan melalui pengamatan gejala-gejalanya.⁸

3.4.       Implikasi Epistemologi Locke

Teori empirisme Locke memiliki implikasi luas terhadap pemikiran filsafat berikutnya. Ia meletakkan dasar bagi epistemologi modern yang menolak dogma dan spekulasi metafisik. Selain itu, pendekatannya memberi pengaruh kuat terhadap filsuf seperti George Berkeley dan David Hume, yang kemudian mengembangkan empirisme ke arah yang lebih radikal.⁹ Locke juga menjadi pionir dalam menempatkan pengalaman sebagai kriteria validitas pengetahuan, yang menjadi prinsip utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan eksperimental modern.¹⁰


Footnotes

[1]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104.

[2]                Ibid., 48–51.

[3]                Ibid., 50.

[4]                Ibid., 104–109.

[5]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 30–33.

[6]                John Dunn, Locke (Oxford: Oxford University Press, 1984), 78.

[7]                Locke, An Essay, 525–530.

[8]                Vere Chappell, “The Theory of Ideas,” in The Cambridge Companion to Locke, ed. Vere Chappell (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 59–61.

[9]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press, 2006), 489.

[10]             Richard Aaron, John Locke (Oxford: Clarendon Press, 1937), 241.


4.           Filsafat Politik: Konsep Kontrak Sosial dan Hak Asasi Manusia

Pemikiran politik John Locke, sebagaimana dituangkan dalam karya utamanya Two Treatises of Government (1689), memberikan fondasi filosofis bagi liberalisme klasik dan sistem demokrasi konstitusional modern. Berbeda dengan pendekatan absolutis seperti yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651), Locke menekankan prinsip-prinsip kebebasan individu, hak kodrati, dan supremasi hukum, yang semuanya berakar pada pemahamannya tentang kontrak sosial sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik.¹

4.1.       Keadaan Alamiah dan Hukum Alam

Menurut Locke, manusia dalam keadaan alamiah (state of nature) hidup dalam kebebasan dan kesetaraan tanpa campur tangan otoritas politik formal. Dalam keadaan ini, setiap individu memiliki hak untuk menjaga hidup, kebebasan, dan kepemilikan (life, liberty, and property).² Namun, karena manusia tidak selalu bertindak rasional dan adil, maka timbul risiko konflik dan pelanggaran hak. Untuk menghindari kekacauan ini, manusia membentuk masyarakat sipil dan menyerahkan sebagian haknya kepada pemerintahan yang sah melalui kontrak sosial

Dalam hal ini, Locke mengembangkan konsep hukum alam (law of nature) yang berfungsi sebagai prinsip moral universal dan rasional yang mengatur interaksi antarindividu bahkan sebelum terbentuknya negara. Hukum alam tersebut melarang pencemaran terhadap hak hidup, kebebasan, dan harta benda orang lain, serta memberi setiap individu hak untuk menghukum pelanggar hukum tersebut.⁴

4.2.       Kontrak Sosial dan Kedaulatan Rakyat

Locke berpendapat bahwa pemerintahan yang sah dibentuk atas dasar persetujuan rakyat, bukan warisan keturunan atau hak ilahi (divine right). Kontrak sosial menurut Locke bersifat dua arah: rakyat menyerahkan otoritas tertentu untuk menjamin hukum dan ketertiban, sedangkan negara bertanggung jawab melindungi hak-hak kodrati rakyat.⁵ Jika pemerintah gagal menjalankan amanah tersebut—terutama jika menjadi tiranik—maka rakyat berhak untuk melakukan resistensi dan mengganti pemerintah yang ada.⁶ Dalam konteks inilah Locke menyatakan bahwa kekuasaan politik yang tidak menghormati hukum alam bersifat tidak sah.

Gagasan ini menegaskan prinsip kedaulatan rakyat, yang menjadi fondasi bagi revolusi-revolusi politik besar di dunia Barat, seperti Revolusi Glorious di Inggris dan Revolusi Amerika. Locke menolak teokrasi dan absolutisme, dan mengajukan bahwa pemisahan kekuasaan, serta jaminan hak-hak sipil dan politik, merupakan elemen penting dalam struktur negara yang adil.⁷

4.3.       Hak Asasi Manusia dan Kepemilikan

Salah satu kontribusi Locke yang paling berpengaruh adalah gagasannya tentang hak milik sebagai hak kodrati. Ia menulis bahwa setiap manusia memiliki kepemilikan atas dirinya sendiri (self-ownership), dan bahwa segala hasil dari kerja individu menjadi hak milik pribadinya.⁸ Konsep ini bukan hanya menjadi dasar filsafat ekonomi liberal, tetapi juga mengilhami perkembangan hak asasi manusia (human rights) dalam diskursus politik modern. Dalam pemikiran Locke, hak-hak ini bukan diberikan oleh negara, melainkan melekat secara kodrati dan tak dapat dicabut.⁹

4.4.       Relevansi Politik Locke dalam Konteks Modern

Gagasan-gagasan politik Locke menjadi referensi penting bagi pembentukan sistem demokrasi modern berbasis hukum. Pandangan tentang kontrak sosial, hak kodrati, dan toleransi beragama (yang ia uraikan secara eksplisit dalam A Letter Concerning Toleration) telah membentuk norma-norma global tentang hak warga negara dan tata kelola pemerintahan.¹⁰ Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776, misalnya, menyerap langsung bahasa dan semangat Locke, terutama dalam kalimat tentang “life, liberty, and the pursuit of happiness.”_¹¹


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 5–7.

[2]                Ibid., 287–290.

[3]                Ibid., 327.

[4]                Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in Locke’s Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 102–104.

[5]                Richard Ashcraft, Revolutionary Politics and Locke's Two Treatises of Government (Princeton: Princeton University Press, 1986), 143–145.

[6]                Locke, Two Treatises, 412–416.

[7]                Mark Goldie, “The Roots of Liberty: Radical Thought in Seventeenth-Century England,” History Today 36, no. 8 (1986): 34–37.

[8]                John Dunn, The Political Thought of John Locke: An Historical Account of the Argument of the Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 41.

[9]                C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 203–205.

[10]             John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 16–19.

[11]             Pauline Maier, American Scripture: Making the Declaration of Independence (New York: Knopf, 1997), 116.


5.           Etika dan Pandangan Keagamaan

John Locke tidak hanya dikenal sebagai pemikir politik dan epistemolog besar, tetapi juga sebagai seorang filsuf moral dan teolog yang berusaha menyelaraskan prinsip-prinsip rasionalitas dengan keimanan Kristen. Pandangan etikanya berakar kuat pada konsep hukum alam (natural law), yang tidak hanya mengatur tindakan manusia dalam masyarakat, tetapi juga dianggap sebagai refleksi kehendak Tuhan dalam ciptaan.¹ Sebagai seorang Protestan yang berpikiran liberal, Locke membangun etika yang bersifat rasional, teistik, dan universal, sekaligus mempromosikan toleransi beragama dalam konteks Inggris yang saat itu dilanda konflik sektarian.

5.1.       Moralitas sebagai Hukum Alam Ilahi

Dalam pandangan Locke, hukum moral bukan sekadar kesepakatan sosial, melainkan sesuatu yang mengakar dalam rasionalitas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam Essay Concerning Human Understanding, ia menyatakan bahwa prinsip-prinsip moral dapat diketahui melalui akal sehat dan pengalaman, karena tertanam dalam struktur rasional alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan.² Dengan demikian, Locke menggabungkan epistemologi empiris dengan fondasi teistik dalam etika. Moralitas menjadi rasional karena dapat diakses oleh semua manusia melalui refleksi atas tindakan dan akibatnya, serta sah secara teologis karena berasal dari perintah Tuhan.³

Locke juga menolak relativisme moral, dengan menekankan bahwa hukum alam mengikat secara universal karena bersumber dari satu Tuhan yang Mahaadil. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak-hak kodrati bukan hanya bertentangan dengan hukum sipil, tetapi juga merupakan dosa terhadap hukum ilahi.⁴ Pandangan ini memperkuat hubungan antara etika dan politik dalam pemikirannya: hukum positif harus mencerminkan prinsip-prinsip moral yang bersumber dari hukum alam.

5.2.       Toleransi dan Kebebasan Beragama

Salah satu kontribusi Locke yang paling berpengaruh adalah karya A Letter Concerning Toleration (1689), yang muncul di tengah ketegangan antara Katolik dan Protestan di Inggris. Dalam karya ini, Locke berargumen bahwa negara tidak memiliki wewenang untuk memaksakan keyakinan agama kepada individu, karena iman tidak dapat dipaksakan oleh kekuasaan eksternal.⁵ Ia membedakan secara tegas antara ranah sipil (yang mengatur keamanan, properti, dan kebebasan publik) dan ranah spiritual (yang menyangkut keselamatan jiwa dan iman pribadi).⁶

Menurut Locke, kebebasan beragama merupakan bagian dari hak kodrati manusia. Setiap individu berhak menentukan keyakinannya sendiri tanpa ancaman atau intimidasi dari otoritas negara maupun lembaga keagamaan resmi. Ia menolak campur tangan negara dalam urusan agama, kecuali jika ekspresi agama tersebut mengancam ketertiban umum atau hak orang lain.⁷ Locke bahkan menganjurkan toleransi terhadap berbagai denominasi Kristen dan agama-agama lain, meskipun ia tetap menunjukkan keberatan terhadap ateisme (karena dianggap menghapus dasar moral universal) dan Katolik Roma (karena ketaatannya kepada otoritas asing, yakni Paus).⁸

5.3.       Implikasi Etika Locke bagi Masyarakat Modern

Etika Locke telah meninggalkan pengaruh besar dalam pembentukan nilai-nilai etis dalam demokrasi modern, seperti penghormatan terhadap martabat individu, kebebasan beragama, dan tanggung jawab moral dalam kehidupan publik. Posisinya yang menekankan keterkaitan antara rasionalitas, iman, dan etika menjembatani perdebatan antara sekularisme dan religiusitas dalam filsafat politik Barat.⁹ Ia meletakkan dasar bagi etika liberal yang tidak menolak peran agama, tetapi membatasinya dalam ruang privat, sembari mengedepankan kewajiban moral dan keadilan sosial di ruang publik.


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 271–273.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 525.

[3]                Nicholas Wolterstorff, John Locke and the Ethics of Belief (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 94–96.

[4]                Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in Locke’s Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 105.

[5]                John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 14–16.

[6]                Richard Ashcraft, Locke’s Two Treatises of Government (London: Allen & Unwin, 1987), 213–215.

[7]                Mark Goldie, “John Locke and Anglican Royalism,” Political Studies 31, no. 1 (1983): 61–63.

[8]                John Dunn, The Political Thought of John Locke (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 170–173.

[9]                Stephen Buckle, Natural Law and the Theory of Property: Grotius to Hume (Oxford: Oxford University Press, 1991), 135.


6.           Pengaruh dan Warisan Intelektual

Pengaruh pemikiran John Locke menjangkau berbagai dimensi filsafat dan praktik politik modern, menjadikannya salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Barat. Gagasan-gagasannya tidak hanya membentuk dasar-dasar empirisme dalam epistemologi, tetapi juga memberi kontribusi besar terhadap pengembangan liberalisme klasik, demokrasi konstitusional, dan teori hak asasi manusia. Karya-karyanya menjadi acuan penting bagi para pemikir Pencerahan dan tokoh revolusi politik di Eropa dan Amerika.

6.1.       Pengaruh dalam Tradisi Empirisme dan Epistemologi Modern

Dalam bidang epistemologi, An Essay Concerning Human Understanding memberikan arah baru bagi teori pengetahuan dengan menekankan bahwa seluruh ide berasal dari pengalaman, baik melalui sensation maupun reflection.¹ Pendekatan ini meletakkan dasar bagi tradisi empirisme Inggris, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh George Berkeley dan David Hume.² Locke membuka jalan bagi perdebatan antara rasionalisme dan empirisme yang mendominasi filsafat modern awal dan turut mendorong kritik Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason—kritik yang berusaha menjembatani dua kutub tersebut.³

Selain itu, gagasan Locke tentang pembentukan ide melalui penginderaan turut memengaruhi psikologi modern, khususnya dalam teori perkembangan kognitif dan pembelajaran.⁴ Pandangannya tentang manusia sebagai tabula rasa menjadi fondasi bagi teori pendidikan empiris, yang mendorong perlunya pengalaman konkret dan observasi dalam proses belajar.

6.2.       Warisan dalam Filsafat Politik dan Demokrasi Liberal

Dalam ranah politik, pemikiran Locke tentang kontrak sosial, hak kodrati, dan pembatasan kekuasaan menjadi dasar dari doktrin liberalisme klasik. Ia menolak legitimasi kekuasaan absolut dan menegaskan bahwa legitimasi politik harus didasarkan pada persetujuan rakyat (consent of the governed).⁵ Konsep ini sangat memengaruhi pemikiran Montesquieu, Voltaire, dan Jean-Jacques Rousseau, serta menjadi inspirasi bagi Revolusi Amerika dan perumusan Declaration of Independence oleh Thomas Jefferson.⁶ Jefferson secara eksplisit mengadopsi frasa Locke tentang hak atas “life, liberty, and property”, meskipun kemudian dimodifikasi menjadi “life, liberty, and the pursuit of happiness”.⁷

Tak hanya itu, warisan Locke juga tampak dalam perumusan konstitusi-konstitusi modern yang menekankan pembagian kekuasaan, supremasi hukum, dan perlindungan terhadap hak-hak sipil. Pemikirannya memberikan legitimasi filosofis terhadap sistem pemerintahan representatif dan negara hukum, sekaligus membentuk pandangan tentang warga negara sebagai pemilik hak-hak bawaan yang tak dapat dicabut oleh negara.⁸

6.3.       Pengaruh terhadap Pemikiran Pendidikan dan Toleransi Sosial

Locke juga memberikan kontribusi signifikan terhadap filsafat pendidikan melalui karyanya Some Thoughts Concerning Education (1693). Ia menekankan pentingnya pembentukan karakter moral melalui kebiasaan dan pengalaman, serta menolak metode pengajaran dogmatis.⁹ Di bidang sosial, tulisannya tentang toleransi beragama menjadi salah satu pilar dalam pengembangan masyarakat pluralistik dan sekuler. Locke membela kebebasan berkeyakinan sebagai hak individual yang tidak boleh dicampuri oleh negara atau lembaga keagamaan resmi, suatu sikap yang mendahului prinsip-prinsip pluralisme dalam masyarakat modern.¹⁰

6.4.       Kritik dan Interpretasi Modern

Meski berpengaruh luas, pemikiran Locke tidak lepas dari kritik. Beberapa pemikir post-kolonial dan Marxis, seperti C. B. Macpherson, menilai bahwa konsep hak milik Locke secara implisit mendukung kapitalisme eksploitatif dan kolonialisme.¹¹ Kritik ini menunjukkan bagaimana teori kebebasan Locke dapat ditafsirkan secara ambivalen ketika diterapkan dalam konteks kekuasaan ekonomi dan imperialisme. Namun demikian, pembela Locke menyatakan bahwa kerangka dasar pemikirannya tetap menyediakan alat normatif untuk mengkritik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak-hak dasar manusia.


Footnotes

[1]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–106.

[2]                Stephen Priest, The British Empiricists (London: Routledge, 1990), 22–45.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B30–B39.

[4]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 61–62.

[5]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 327–331.

[6]                Louis Hartz, The Liberal Tradition in America (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955), 3–7.

[7]                Pauline Maier, American Scripture: Making the Declaration of Independence (New York: Knopf, 1997), 116–119.

[8]                Jeremy Waldron, The Dignity of Legislation (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 92.

[9]                John Locke, Some Thoughts Concerning Education, ed. Ruth Grant and Nathan Tarcov (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1996), 2–6.

[10]             John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 23–27.

[11]             C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 203–210.


7.           Kritik terhadap Pemikiran John Locke

Meskipun John Locke dipandang sebagai pelopor penting dalam tradisi empirisme dan liberalisme politik, pemikirannya tidak terlepas dari kritik, baik dari kalangan sezaman maupun dari pemikir-pemikir kontemporer. Kritik terhadap Locke mencakup beberapa aspek: mulai dari batasan epistemologi empiris, konsepsi tentang kepemilikan, hingga implikasi ideologis dalam konteks kolonialisme dan kapitalisme. Kritik-kritik ini penting untuk memahami dimensi problematik dalam warisan intelektual Locke serta untuk menilai ulang relevansi pemikirannya dalam konteks modern.

7.1.       Kritik Epistemologis: Rasionalisme vs. Empirisme

Locke menyatakan bahwa semua ide berasal dari pengalaman, dan menolak eksistensi ide bawaan (innate ideas). Namun, pandangan ini dikritik oleh filsuf rasionalis seperti Gottfried Wilhelm Leibniz, yang dalam karya Nouveaux Essais sur l'entendement humain (1704) menyatakan bahwa pikiran manusia tidak sepenuhnya kosong seperti tabula rasa, tetapi memiliki struktur bawaan yang memungkinkan terjadinya pemahaman.¹ Leibniz berargumen bahwa prinsip-prinsip logika dasar, seperti hukum kontradiksi, tidak mungkin diperoleh hanya dari pengalaman, melainkan telah melekat dalam kapasitas rasional manusia.²

Lebih lanjut, David Hume, meskipun berada dalam tradisi empirisme, menunjukkan bahwa pendekatan Locke tidak mampu secara memadai menjelaskan hubungan kausalitas. Hume menilai bahwa pengalaman hanya menghasilkan asosiasi ide, bukan pengetahuan yang pasti tentang sebab-akibat, sehingga menimbulkan skeptisisme terhadap klaim pengetahuan yang bersifat universal.³ Kritik ini menandai keterbatasan fondasi empiris Locke dalam menjelaskan aspek-aspek kognitif yang lebih kompleks.

7.2.       Kritik Sosial-Politik: Kepemilikan dan Ketimpangan

Salah satu elemen paling berpengaruh dalam pemikiran Locke adalah teorinya tentang hak milik (property rights) sebagai hak kodrati. Locke menyatakan bahwa kerja manusia memberikan legitimasi atas kepemilikan atas benda atau lahan tertentu.⁴ Namun, teori ini telah menjadi sasaran kritik dari berbagai perspektif, khususnya dari mazhab Marxis dan post-kolonial.

C. B. Macpherson, dalam karya terkenalnya The Political Theory of Possessive Individualism (1962), menilai bahwa Locke telah merumuskan model individualisme posesif, yaitu pandangan bahwa individu pada dasarnya adalah pemilik dari dirinya sendiri dan segalanya yang ia hasilkan.⁵ Model ini dinilai memberikan justifikasi filosofis bagi eksploitasi ekonomi dan akumulasi kapital, serta mengabaikan dimensi sosial dan kolektif dari hak dan keadilan.⁶

Selain itu, para sarjana post-kolonial juga menyoroti bahwa teori Locke digunakan sebagai pembenaran terhadap pencaplokan tanah dan penjajahan, terutama dalam konteks ekspansi Inggris ke Dunia Baru. Locke, yang memiliki saham di Royal African Company dan terlibat dalam perumusan hukum kolonial Carolina, dituduh gagal mengaplikasikan prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan kepada masyarakat non-Eropa.⁷ Hal ini menunjukkan adanya kontradiksi antara komitmen Locke terhadap kebebasan dan praktik politik kolonial yang didukung oleh kerangka berpikirnya.

7.3.       Ambiguitas dalam Toleransi dan Kebebasan

Meskipun Locke sangat menekankan pentingnya toleransi beragama, ia secara eksplisit mengecualikan ateis dan Katolik Roma dari perlindungan tersebut. Dalam A Letter Concerning Toleration, ia menulis bahwa ateisme merusak dasar moral masyarakat, dan bahwa kesetiaan Katolik kepada otoritas Paus dianggap mengancam kesetiaan politik terhadap negara.⁸ Pandangan ini dinilai inkonsisten oleh banyak komentator, karena bertentangan dengan prinsip toleransi universal yang ia anjurkan.

Kritik ini memperlihatkan bahwa komitmen Locke terhadap kebebasan sipil dan beragama masih bersifat selektif, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan sosial Inggris abad ke-17.⁹ Hal ini mengundang refleksi kritis atas batas-batas prinsip liberalisme klasik dalam menghadapi pluralisme yang lebih luas dan kompleks di era modern.


Footnotes

[1]                    Gottfried Wilhelm Leibniz, New Essays on Human Understanding, trans. and ed. Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 48–51.

[2]                    Ibid., 57–60.

[3]                    David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 29–32.

[4]                    John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289.

[5]                    C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 3–5.

[6]                    Ibid., 203–210.

[7]                    Barbara Arneil, John Locke and America: The Defence of English Colonialism (Oxford: Clarendon Press, 1996), 88–90.

[8]                    John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 45–47.

[9]                    Mark Goldie, “John Locke and Anglican Royalism,” Political Studies 31, no. 1 (1983): 61–64.


8.           Kesimpulan

John Locke merupakan salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern. Melalui karya-karyanya yang monumental seperti An Essay Concerning Human Understanding dan Two Treatises of Government, Locke berhasil membangun fondasi teoritis yang menggeser paradigma filsafat Barat dari dominasi rasionalisme dan teologi skolastik ke arah empirisme epistemologis dan liberalisme politik.¹ Dalam bidang epistemologi, Locke menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman melalui penginderaan dan refleksi, serta menolak gagasan tentang ide bawaan.² Konsepsi ini menjadi dasar bagi tradisi empirisme Inggris yang kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Berkeley dan Hume, serta menantang dominasi rasionalisme kontinental.³

Sementara itu, dalam ranah filsafat politik, Locke mengemukakan teori kontrak sosial yang menyatakan bahwa pemerintahan yang sah harus dibentuk atas dasar persetujuan rakyat dan ditujukan untuk melindungi hak-hak kodrati seperti hidup, kebebasan, dan kepemilikan.⁴ Gagasan ini menjadi landasan bagi pemikiran demokrasi liberal modern dan memberi pengaruh kuat terhadap revolusi-revolusi politik seperti Revolusi Amerika dan pembentukan konstitusi-konstitusi modern.⁵

Locke juga menawarkan pendekatan etis dan religius yang berupaya menggabungkan rasionalitas dan keimanan, serta menekankan pentingnya toleransi beragama sebagai bagian dari kebebasan sipil.⁶ Ia menolak pemaksaan agama oleh negara dan membela pemisahan antara otoritas sipil dan otoritas spiritual, yang menjadi prinsip penting dalam teori negara sekuler kontemporer.⁷

Namun demikian, warisan intelektual Locke tidak luput dari kritik. Beberapa pemikir menilai bahwa fondasi empirismenya tidak memadai untuk menjelaskan aspek-aspek rasionalitas kompleks seperti kausalitas dan prinsip logika dasar.⁸ Selain itu, teorinya tentang hak milik dan kepemilikan pribadi dituding memberi pembenaran terhadap kapitalisme eksploitatif dan praktik kolonialisme, serta mengandung ambiguitas moral dan politis dalam penerapannya pada masyarakat non-Eropa.⁹ Pandangannya tentang toleransi juga dipertanyakan karena pengecualiannya terhadap ateis dan Katolik Roma, yang menunjukkan keterbatasan dalam penerapan prinsip toleransi universal.¹⁰

Dengan demikian, John Locke harus dipahami tidak hanya sebagai perintis filsafat modern, tetapi juga sebagai pemikir yang warisannya terus ditafsirkan dan diperdebatkan dalam konteks filsafat kontemporer. Kekuatan Locke terletak pada kemampuannya merumuskan dasar-dasar rasional bagi kebebasan, pengetahuan, dan pemerintahan yang adil. Tetapi warisannya juga menuntut pembacaan kritis, agar prinsip-prinsip liberalisme dan empirisme yang ia rumuskan dapat terus diperbarui dalam menghadapi tantangan-tantangan etis, politik, dan epistemologis di era modern.


Footnotes

[1]                John Dunn, Locke (Oxford: Oxford University Press, 1984), 17–18.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–106.

[3]                Stephen Priest, The British Empiricists (London: Routledge, 1990), 44–46.

[4]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.

[5]                Pauline Maier, American Scripture: Making the Declaration of Independence (New York: Knopf, 1997), 116.

[6]                Nicholas Wolterstorff, John Locke and the Ethics of Belief (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 94–96.

[7]                John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 14–18.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 29–32.

[9]                C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 203–210.

[10]             Mark Goldie, “John Locke and Anglican Royalism,” Political Studies 31, no. 1 (1983): 61–64.


Daftar Pustaka

Arneil, B. (1996). John Locke and America: The defence of English colonialism. Oxford University Press.

Ashcraft, R. (1986). Revolutionary politics and Locke’s Two Treatises of Government. Princeton University Press.

Ashcraft, R. (1987). Locke’s Two Treatises of Government. Allen & Unwin.

Buckle, S. (1991). Natural law and the theory of property: Grotius to Hume. Oxford University Press.

Dunn, J. (1969). The political thought of John Locke: An historical account of the argument of the Two Treatises of Government. Cambridge University Press.

Dunn, J. (1984). Locke. Oxford University Press.

Dunn, J. (2003). John Locke: A very short introduction. Oxford University Press.

Gaukroger, S. (2006). The emergence of a scientific culture: Science and the shaping of modernity 1210–1685. Oxford University Press.

Goldie, M. (1983). John Locke and Anglican royalism. Political Studies, 31(1), 61–64.

Goldie, M. (1986). The roots of liberty: Radical thought in seventeenth-century England. History Today, 36(8), 34–37.

Hartz, L. (1955). The liberal tradition in America. Harcourt, Brace and Company.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1748)

Jolley, N. (1999). Locke: His philosophical thought. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Laslett, P. (Ed.). (1988). Two treatises of government (J. Locke). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

Leibniz, G. W. (1996). New essays on human understanding (P. Remnant & J. Bennett, Trans. & Eds.). Cambridge University Press. (Original work written 1704)

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1690)

Locke, J. (1983). A letter concerning toleration (W. Popple, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1689)

Locke, J. (1996). Some thoughts concerning education (R. Grant & N. Tarcov, Eds.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1693)

Maier, P. (1997). American scripture: Making the Declaration of Independence. Knopf.

Macpherson, C. B. (1962). The political theory of possessive individualism: Hobbes to Locke. Oxford University Press.

Marshall, J. (1994). John Locke: Resistance, religion and responsibility. Cambridge University Press.

Priest, S. (1990). The British empiricists. Routledge.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Stuart, M. (2003). Locke. Routledge.

Waldron, J. (1999). The dignity of legislation. Cambridge University Press.

Waldron, J. (2002). God, Locke, and equality: Christian foundations in Locke’s political thought. Cambridge University Press.

Wolterstorff, N. (1996). John Locke and the ethics of belief. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar