Pemikiran John Locke
Telaah Filosofis tentang Pengetahuan, Kebebasan, dan
Politik
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara sistematis dan kritis
pemikiran John Locke (1632–1704), salah satu tokoh sentral dalam filsafat
modern yang memberi kontribusi besar dalam bidang epistemologi, filsafat
politik, dan etika. Melalui karya An Essay Concerning Human Understanding,
Locke meletakkan dasar bagi tradisi empirisme, dengan menolak ide bawaan
(innate ideas) dan mengembangkan teori pengetahuan berdasarkan pengalaman
inderawi dan refleksi. Dalam bidang politik, Two Treatises of Government
menjadi fondasi bagi liberalisme klasik, dengan menekankan pentingnya
kontrak sosial, persetujuan rakyat, dan perlindungan terhadap hak kodrati:
hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Artikel ini juga membahas pandangan Locke
tentang etika hukum alam dan toleransi beragama, serta menguraikan
pengaruh luas pemikirannya terhadap revolusi-revolusi modern,
konstitusionalisme, dan pluralisme religius. Meskipun demikian, artikel ini
juga memaparkan berbagai kritik terhadap Locke, termasuk dari perspektif
rasionalisme, Marxisme, dan post-kolonialisme, yang menyoroti keterbatasan
epistemologis, ambiguitas moral, dan implikasi kolonial dari beberapa aspek
pemikirannya. Dengan pendekatan historis-filosofis dan rujukan pada sumber
primer serta kajian akademik kontemporer, artikel ini bertujuan memberikan
pemahaman komprehensif tentang warisan intelektual Locke serta relevansinya
dalam diskursus filsafat dan politik modern.
Kata Kunci: John
Locke, empirisme, kontrak sosial, hak kodrati, liberalisme klasik, filsafat
modern, toleransi beragama, etika hukum alam, kritik post-kolonial.
PEMBAHASAN
John Locke dan Fondasi Empirisme Modern
1.
Pendahuluan
Filsafat modern
ditandai oleh pergeseran mendalam dalam cara manusia memahami pengetahuan,
keberadaan, dan kehidupan sosial-politik. Pergeseran ini merupakan respons
terhadap dominasi filsafat skolastik Abad Pertengahan yang sangat dipengaruhi
oleh tradisi Aristotelian dan otoritas teologis Gereja. Dalam konteks ini,
munculnya para filsuf modern seperti René Descartes, Thomas Hobbes, dan John
Locke menjadi tonggak penting dalam membentuk arah baru pemikiran Barat. Salah
satu tokoh yang paling menonjol dalam fase awal filsafat modern adalah John
Locke (1632–1704), seorang pemikir asal Inggris yang memberikan
kontribusi besar dalam bidang epistemologi, filsafat
politik, dan teori pendidikan.
Locke dikenal luas
sebagai bapak empirisme modern, karena
melalui karya monumentalnya An Essay Concerning Human Understanding
(1690), ia menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman.
Konsepsi ini merupakan penolakan terhadap gagasan tentang innate
ideas (ide bawaan), yang sebelumnya didukung oleh para
rasionalis seperti Descartes. Locke menyatakan bahwa jiwa
manusia pada awalnya seperti kertas kosong (tabula
rasa), dan semua pengetahuan terbentuk dari pengalaman inderawi
serta refleksi atas pengalaman tersebut.¹ Perspektif ini menggeser fondasi
epistemologi dari spekulasi rasional ke pengalaman empirik sebagai sumber
validitas kognitif.
Di luar bidang
epistemologi, Locke juga memainkan peran penting dalam pengembangan teori
kontrak sosial dan liberalisme politik. Dalam karyanya Two
Treatises of Government (1689), Locke menawarkan pandangan yang
bertolak belakang dengan absolutisme politik. Ia mengembangkan konsep keadaan
alamiah (state of nature) yang lebih optimistik dibandingkan
Thomas Hobbes, serta mengemukakan gagasan tentang hak-hak kodrati—yaitu hak atas
hidup, kebebasan, dan kepemilikan—yang melekat pada setiap
individu.² Pemerintahan, menurut Locke, harus mendapatkan legitimasi dari
persetujuan rakyat, dan kekuasaan politik seharusnya dibatasi oleh hukum untuk
menjamin kebebasan sipil.³
Selain itu, Locke
juga menjadi pelopor dalam diskursus tentang toleransi beragama
di Eropa modern. Dalam A Letter Concerning Toleration
(1689), ia membela pentingnya pemisahan antara urusan gereja dan negara, serta
menyerukan pengakuan atas pluralitas kepercayaan sebagai landasan etis
masyarakat yang sehat.⁴ Argumen-argumen Locke dalam hal ini telah berpengaruh
besar terhadap fondasi normatif negara demokrasi modern, termasuk dalam
perumusan konstitusi Amerika Serikat dan pemikiran para filsuf politik
pencerahan seperti Montesquieu dan Rousseau.
Maka dari itu,
mempelajari pemikiran John Locke tidak hanya penting dalam konteks sejarah
filsafat, tetapi juga relevan dalam memahami dinamika pemikiran modern yang
terus membentuk prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, dan pendidikan
kontemporer. Artikel ini akan membahas pemikiran Locke secara sistematik dalam
tiga dimensi utama: epistemologi, filsafat
politik, dan etika toleransi, dengan
menelusuri warisan intelektualnya yang terus bertahan hingga hari ini.
Footnotes
[1]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–107.
[2]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 271–275.
[3]
Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in
Locke's Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
137.
[4]
John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William
Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 23–28.
2.
Biografi
Singkat John Locke
John Locke lahir
pada tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington, Somerset, Inggris, dan dibesarkan di
lingkungan keluarga Puritan di desa kecil Pensford, dekat Bristol. Ayahnya,
John Locke Sr., adalah seorang pengacara dan pendukung kuat parlemen dalam
Perang Saudara Inggris yang meletus pada tahun 1642. Didikan keluarga yang
menghargai kebebasan politik dan semangat rasionalitas sangat memengaruhi
orientasi pemikiran Locke pada masa dewasanya.¹
Locke menempuh
pendidikan di Westminster School, salah satu
sekolah elit di London, dan pada tahun 1652 ia diterima di Christ
Church, Oxford, tempat ia mempelajari logika, retorika, dan
filsafat skolastik. Namun, Locke merasa tidak puas dengan pendekatan skolastik
yang kaku dan beralih minat ke filsafat eksperimental dan ilmu alam,
terinspirasi oleh pemikiran Francis Bacon dan perkembangan ilmiah dari Royal
Society.² Salah satu tokoh yang sangat memengaruhi intelektualitasnya adalah Robert
Boyle, ilmuwan kimia dan fisika terkemuka, yang memperkenalkan
Locke pada metode ilmiah dan eksperimen empiris.³
Pengalaman penting
lainnya adalah keterlibatannya dalam dunia medis. Locke belajar kedokteran
secara tidak resmi dan bekerja sama dengan Thomas Sydenham, seorang dokter
terkenal yang juga menjunjung pendekatan empiris terhadap ilmu kesehatan.
Melalui pengamatan terhadap tubuh manusia dan penyakit, Locke semakin
menegaskan keyakinannya bahwa pengetahuan sejati harus bersumber dari
pengalaman, bukan spekulasi abstrak.⁴
Keterlibatan Locke
dalam dunia politik dimulai ketika ia menjadi sekretaris dan penasihat Lord Anthony Ashley
Cooper (kemudian dikenal sebagai Earl of Shaftesbury), salah
satu tokoh penting dalam politik Inggris pada masa Restorasi. Dalam lingkaran
politik ini, Locke memperoleh pengalaman langsung mengenai mekanisme kekuasaan,
hak-hak sipil, dan konflik antara monarki absolut dan kekuasaan rakyat.⁵ Posisi
ini juga memberikan perlindungan bagi Locke untuk mengembangkan pemikirannya,
meskipun ia harus menghadapi pengawasan politik yang ketat. Pada tahun 1683,
ketika situasi politik Inggris memanas, Locke memilih mengasingkan
diri ke Belanda demi keselamatan. Di negeri ini, ia melanjutkan
penulisan karya-karya pentingnya dan menjalin hubungan dengan pemikir-pemikir
Protestan dan republikan.⁶
Setelah Revolusi
Glorious (1688) yang menggulingkan Raja James II dan mengangkat William III ke
tampuk kekuasaan, Locke kembali ke Inggris dan segera menerbitkan karya-karya
monumentalnya, termasuk An Essay Concerning Human Understanding
dan Two
Treatises of Government pada tahun 1689–1690. Karya-karya ini
menegaskan kontribusinya sebagai salah satu pendiri filsafat modern dan
pendukung utama nilai-nilai liberalisme, empirisme, dan toleransi beragama.
Locke wafat pada 28 Oktober 1704 di Oates, Essex, dalam usia 72 tahun,
meninggalkan warisan intelektual yang terus memengaruhi dunia Barat hingga hari
ini.⁷
Footnotes
[1]
John Dunn, John Locke: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 2–4.
[2]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 12–14.
[3]
Richard Ashcraft, Revolutionary Politics and Locke's Two Treatises
of Government (Princeton: Princeton University Press, 1986), 35.
[4]
Matthew Stuart, Locke (London: Routledge, 2003), 24.
[5]
Mark Goldie, “Locke, Politics, and Knowledge,” in The Cambridge
Companion to Locke, ed. Vere Chappell (Cambridge: Cambridge University
Press, 1994), 112.
[6]
John Marshall, John Locke: Resistance, Religion and Responsibility
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 255.
[7]
Peter Laslett, ed., Two Treatises of Government (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), Introduction, 24–27.
3.
Epistemologi:
Teori Pengetahuan dalam Karya An Essay Concerning Human Understanding
Karya An Essay
Concerning Human Understanding (1690) merupakan tonggak penting
dalam sejarah filsafat modern, khususnya dalam pengembangan epistemologi
berbasis empirisme. Melalui karya ini, John Locke berusaha menjawab pertanyaan
mendasar: dari
manakah pengetahuan manusia berasal, dan bagaimana batas-batasnya dapat
dipahami secara rasional? Locke menolak secara eksplisit pandangan
rasionalis yang menyatakan bahwa terdapat ide bawaan (innate ideas) dalam
jiwa manusia. Menurutnya, pikiran manusia saat lahir adalah tabula
rasa, yakni lembaran kosong yang baru terisi melalui
pengalaman.¹
3.1.
Penolakan terhadap Ide
Bawaan (Innate Ideas)
Locke mengkritik
keras klaim bahwa manusia memiliki gagasan bawaan tertentu—seperti ide tentang
Tuhan, kebenaran, atau prinsip moral—yang tertanam dalam akal sejak lahir. Ia
menilai bahwa ide-ide tersebut sebenarnya diperoleh melalui pengalaman dan
pendidikan. Jika memang terdapat ide bawaan yang bersifat universal, Locke
berargumen, maka semua manusia dari berbagai budaya akan memilikinya secara
seragam; namun kenyataannya, banyak masyarakat primitif tidak menunjukkan
kesadaran terhadap konsep-konsep seperti hukum alam atau keberadaan Tuhan.² Ia
menyimpulkan bahwa “no proposition can be said to be innate unless
it is universally assented to”.³
3.2.
Tabula Rasa dan Asal
Pengetahuan
Locke menyatakan
bahwa seluruh pengetahuan manusia berasal dari dua sumber utama: sensation
dan reflection.
Sensation
merujuk pada pengalaman eksternal yang diperoleh melalui indera—seperti melihat
warna, mendengar suara, atau merasakan panas. Reflection, sebaliknya, adalah
bentuk pengalaman internal atas operasi mental—seperti berpikir, mengingat,
atau menyimpulkan.⁴ Kedua proses inilah yang membentuk ide-ide
sederhana, yang kemudian oleh akal dikombinasikan menjadi ide-ide
kompleks melalui tiga mekanisme: penggabungan (combination),
relasi (relation),
dan abstraksi (abstraction).⁵
Dengan kerangka ini,
Locke menggantikan model rasionalistik yang mengandalkan deduksi apriori dengan
model empiristik yang mendasarkan pengetahuan pada proses akumulatif dari data
pengalaman. Ia menegaskan bahwa akal bukanlah sumber pengetahuan, melainkan
instrumen untuk memproses bahan mentah dari pengalaman.⁶
3.3.
Tingkatan Pengetahuan
dan Batas Rasionalitas
Locke
mengklasifikasikan pengetahuan ke dalam tiga tingkatan: (1) pengetahuan
intuitif (intuitive knowledge), yang diperoleh secara langsung
tanpa perantara, seperti kesadaran akan eksistensi diri; (2) pengetahuan
demonstratif, yang memerlukan perantaraan dan proses penalaran,
seperti pembuktian logis dalam matematika; dan (3) pengetahuan
sensitif (sensitive knowledge), yang berasal dari persepsi
inderawi terhadap dunia eksternal.⁷ Namun, Locke juga menyadari bahwa
pengetahuan manusia memiliki keterbatasan. Misalnya, keberadaan substansi
sebagai “penyebab tersembunyi” dari fenomena tidak dapat diketahui
secara pasti, melainkan hanya dapat diasumsikan melalui pengamatan
gejala-gejalanya.⁸
3.4.
Implikasi Epistemologi
Locke
Teori empirisme
Locke memiliki implikasi luas terhadap pemikiran filsafat berikutnya. Ia
meletakkan dasar bagi epistemologi modern yang
menolak dogma dan spekulasi metafisik. Selain itu, pendekatannya memberi
pengaruh kuat terhadap filsuf seperti George Berkeley dan David Hume, yang
kemudian mengembangkan empirisme ke arah yang lebih radikal.⁹ Locke juga menjadi
pionir dalam menempatkan pengalaman sebagai kriteria validitas
pengetahuan, yang menjadi prinsip utama dalam perkembangan ilmu
pengetahuan eksperimental modern.¹⁰
Footnotes
[1]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104.
[2]
Ibid., 48–51.
[3]
Ibid., 50.
[4]
Ibid., 104–109.
[5]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 30–33.
[6]
John Dunn, Locke (Oxford: Oxford University Press, 1984), 78.
[7]
Locke, An Essay, 525–530.
[8]
Vere Chappell, “The Theory of Ideas,” in The Cambridge Companion to
Locke, ed. Vere Chappell (Cambridge: Cambridge University Press, 1994),
59–61.
[9]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science
and the Shaping of Modernity 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press,
2006), 489.
[10]
Richard Aaron, John Locke (Oxford: Clarendon Press, 1937),
241.
4.
Filsafat
Politik: Konsep Kontrak Sosial dan Hak Asasi Manusia
Pemikiran politik
John Locke, sebagaimana dituangkan dalam karya utamanya Two
Treatises of Government (1689), memberikan fondasi filosofis bagi
liberalisme klasik dan sistem demokrasi konstitusional modern. Berbeda dengan
pendekatan absolutis seperti yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan
(1651), Locke menekankan prinsip-prinsip kebebasan individu, hak kodrati, dan supremasi
hukum, yang semuanya berakar pada pemahamannya tentang kontrak
sosial sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik.¹
4.1.
Keadaan Alamiah dan
Hukum Alam
Menurut Locke,
manusia dalam keadaan alamiah (state of nature) hidup dalam
kebebasan dan kesetaraan tanpa campur tangan otoritas politik formal. Dalam
keadaan ini, setiap individu memiliki hak untuk menjaga hidup,
kebebasan, dan kepemilikan (life, liberty, and property).²
Namun, karena manusia tidak selalu bertindak rasional dan adil, maka timbul
risiko konflik dan pelanggaran hak. Untuk menghindari kekacauan ini, manusia
membentuk masyarakat sipil dan menyerahkan sebagian haknya kepada pemerintahan
yang sah melalui kontrak sosial.³
Dalam hal ini, Locke
mengembangkan konsep hukum alam (law of nature) yang
berfungsi sebagai prinsip moral universal dan rasional yang mengatur interaksi
antarindividu bahkan sebelum terbentuknya negara. Hukum alam tersebut melarang
pencemaran terhadap hak hidup, kebebasan, dan harta benda orang lain, serta
memberi setiap individu hak untuk menghukum pelanggar hukum tersebut.⁴
4.2.
Kontrak Sosial dan
Kedaulatan Rakyat
Locke berpendapat
bahwa pemerintahan
yang sah dibentuk atas dasar persetujuan rakyat, bukan warisan
keturunan atau hak ilahi (divine right). Kontrak sosial menurut Locke bersifat
dua arah: rakyat menyerahkan otoritas tertentu untuk menjamin hukum dan
ketertiban, sedangkan negara bertanggung jawab melindungi hak-hak kodrati
rakyat.⁵ Jika pemerintah gagal menjalankan amanah tersebut—terutama jika
menjadi tiranik—maka rakyat berhak untuk melakukan resistensi
dan mengganti pemerintah yang ada.⁶ Dalam konteks inilah Locke
menyatakan bahwa kekuasaan politik yang tidak menghormati hukum alam bersifat
tidak sah.
Gagasan ini
menegaskan prinsip kedaulatan rakyat, yang menjadi
fondasi bagi revolusi-revolusi politik besar di dunia Barat, seperti Revolusi
Glorious di Inggris dan Revolusi Amerika. Locke menolak
teokrasi dan absolutisme, dan mengajukan bahwa pemisahan kekuasaan, serta
jaminan hak-hak sipil dan politik, merupakan elemen penting dalam struktur
negara yang adil.⁷
4.3.
Hak Asasi Manusia dan
Kepemilikan
Salah satu
kontribusi Locke yang paling berpengaruh adalah gagasannya tentang hak
milik sebagai hak kodrati. Ia menulis bahwa setiap manusia
memiliki kepemilikan atas dirinya sendiri (self-ownership), dan bahwa segala
hasil dari kerja individu menjadi hak milik pribadinya.⁸ Konsep ini bukan hanya
menjadi dasar filsafat ekonomi liberal, tetapi juga mengilhami perkembangan hak
asasi manusia (human rights) dalam diskursus politik modern.
Dalam pemikiran Locke, hak-hak ini bukan diberikan oleh negara, melainkan
melekat secara kodrati dan tak dapat dicabut.⁹
4.4.
Relevansi Politik
Locke dalam Konteks Modern
Gagasan-gagasan
politik Locke menjadi referensi penting bagi pembentukan sistem demokrasi
modern berbasis hukum. Pandangan tentang kontrak sosial, hak
kodrati, dan toleransi beragama (yang ia
uraikan secara eksplisit dalam A Letter Concerning Toleration)
telah membentuk norma-norma global tentang hak warga negara dan tata kelola
pemerintahan.¹⁰ Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776, misalnya,
menyerap langsung bahasa dan semangat Locke, terutama dalam kalimat tentang “life,
liberty, and the pursuit of happiness.”_¹¹
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 5–7.
[2]
Ibid., 287–290.
[3]
Ibid., 327.
[4]
Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in
Locke’s Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
102–104.
[5]
Richard Ashcraft, Revolutionary Politics and Locke's Two Treatises
of Government (Princeton: Princeton University Press, 1986), 143–145.
[6]
Locke, Two Treatises, 412–416.
[7]
Mark Goldie, “The Roots of Liberty: Radical Thought in
Seventeenth-Century England,” History Today 36, no. 8 (1986): 34–37.
[8]
John Dunn, The Political Thought of John Locke: An Historical
Account of the Argument of the Two Treatises of Government (Cambridge:
Cambridge University Press, 1969), 41.
[9]
C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 203–205.
[10]
John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William
Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 16–19.
[11]
Pauline Maier, American Scripture: Making the Declaration of
Independence (New York: Knopf, 1997), 116.
5.
Etika
dan Pandangan Keagamaan
John Locke tidak
hanya dikenal sebagai pemikir politik dan epistemolog besar, tetapi juga
sebagai seorang filsuf moral dan teolog yang berusaha menyelaraskan
prinsip-prinsip rasionalitas dengan keimanan Kristen. Pandangan etikanya
berakar kuat pada konsep hukum alam (natural law),
yang tidak hanya mengatur tindakan manusia dalam masyarakat, tetapi juga
dianggap sebagai refleksi kehendak Tuhan dalam ciptaan.¹ Sebagai seorang
Protestan yang berpikiran liberal, Locke membangun etika yang bersifat rasional,
teistik, dan universal, sekaligus mempromosikan toleransi
beragama dalam konteks Inggris yang saat itu dilanda konflik
sektarian.
5.1.
Moralitas sebagai
Hukum Alam Ilahi
Dalam pandangan
Locke, hukum moral bukan sekadar kesepakatan sosial, melainkan sesuatu yang mengakar
dalam rasionalitas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam
Essay
Concerning Human Understanding, ia menyatakan bahwa prinsip-prinsip
moral dapat diketahui melalui akal sehat dan pengalaman, karena tertanam dalam struktur
rasional alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan.² Dengan
demikian, Locke menggabungkan epistemologi empiris dengan fondasi teistik dalam
etika. Moralitas menjadi rasional karena dapat diakses oleh semua manusia
melalui refleksi atas tindakan dan akibatnya, serta sah secara teologis karena
berasal dari perintah Tuhan.³
Locke juga menolak
relativisme moral, dengan menekankan bahwa hukum alam mengikat secara universal
karena bersumber dari satu Tuhan yang Mahaadil. Oleh karena itu, pelanggaran
terhadap hak-hak kodrati bukan hanya bertentangan dengan hukum sipil, tetapi
juga merupakan dosa terhadap hukum ilahi.⁴
Pandangan ini memperkuat hubungan antara etika dan politik dalam pemikirannya:
hukum positif harus mencerminkan prinsip-prinsip moral yang bersumber dari
hukum alam.
5.2.
Toleransi dan
Kebebasan Beragama
Salah satu kontribusi
Locke yang paling berpengaruh adalah karya A Letter Concerning Toleration
(1689), yang muncul di tengah ketegangan antara Katolik dan Protestan di
Inggris. Dalam karya ini, Locke berargumen bahwa negara
tidak memiliki wewenang untuk memaksakan keyakinan agama kepada individu,
karena iman tidak dapat dipaksakan oleh kekuasaan eksternal.⁵ Ia membedakan
secara tegas antara ranah sipil (yang mengatur keamanan, properti, dan
kebebasan publik) dan ranah spiritual (yang menyangkut keselamatan jiwa dan
iman pribadi).⁶
Menurut Locke,
kebebasan beragama merupakan bagian dari hak kodrati manusia. Setiap individu
berhak menentukan keyakinannya sendiri tanpa ancaman atau intimidasi dari
otoritas negara maupun lembaga keagamaan resmi. Ia menolak campur tangan negara
dalam urusan agama, kecuali jika ekspresi agama tersebut mengancam ketertiban
umum atau hak orang lain.⁷ Locke bahkan menganjurkan toleransi terhadap
berbagai denominasi Kristen dan agama-agama lain, meskipun ia tetap menunjukkan
keberatan terhadap ateisme (karena dianggap menghapus dasar moral universal)
dan Katolik Roma (karena ketaatannya kepada otoritas asing, yakni Paus).⁸
5.3.
Implikasi Etika Locke
bagi Masyarakat Modern
Etika Locke telah
meninggalkan pengaruh besar dalam pembentukan nilai-nilai etis dalam demokrasi modern,
seperti penghormatan terhadap martabat individu, kebebasan beragama, dan
tanggung jawab moral dalam kehidupan publik. Posisinya yang menekankan keterkaitan
antara rasionalitas, iman, dan etika menjembatani perdebatan antara sekularisme
dan religiusitas dalam filsafat politik Barat.⁹ Ia meletakkan dasar bagi etika
liberal yang tidak menolak peran agama, tetapi membatasinya
dalam ruang privat, sembari mengedepankan kewajiban moral dan keadilan sosial
di ruang publik.
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 271–273.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 525.
[3]
Nicholas Wolterstorff, John Locke and the Ethics of Belief
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 94–96.
[4]
Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in
Locke’s Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
105.
[5]
John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William
Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 14–16.
[6]
Richard Ashcraft, Locke’s Two Treatises of Government (London:
Allen & Unwin, 1987), 213–215.
[7]
Mark Goldie, “John Locke and Anglican Royalism,” Political Studies
31, no. 1 (1983): 61–63.
[8]
John Dunn, The Political Thought of John Locke (Cambridge:
Cambridge University Press, 1969), 170–173.
[9]
Stephen Buckle, Natural Law and the Theory of Property: Grotius to
Hume (Oxford: Oxford University Press, 1991), 135.
6.
Pengaruh
dan Warisan Intelektual
Pengaruh pemikiran
John Locke menjangkau berbagai dimensi filsafat dan praktik politik modern,
menjadikannya salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah intelektual
Barat. Gagasan-gagasannya tidak hanya membentuk dasar-dasar empirisme
dalam epistemologi, tetapi juga memberi kontribusi besar terhadap
pengembangan liberalisme klasik, demokrasi konstitusional,
dan teori hak asasi manusia. Karya-karyanya menjadi acuan
penting bagi para pemikir Pencerahan dan tokoh revolusi politik di Eropa dan
Amerika.
6.1.
Pengaruh dalam Tradisi
Empirisme dan Epistemologi Modern
Dalam bidang
epistemologi, An Essay Concerning Human Understanding
memberikan arah baru bagi teori pengetahuan dengan menekankan bahwa seluruh ide
berasal dari pengalaman, baik melalui sensation maupun reflection.¹
Pendekatan ini meletakkan dasar bagi tradisi empirisme Inggris, yang
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh George Berkeley dan David
Hume.² Locke membuka jalan bagi perdebatan antara rasionalisme
dan empirisme yang mendominasi filsafat modern awal dan turut mendorong kritik
Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason—kritik yang
berusaha menjembatani dua kutub tersebut.³
Selain itu, gagasan
Locke tentang pembentukan ide melalui penginderaan turut memengaruhi psikologi
modern, khususnya dalam teori perkembangan kognitif dan
pembelajaran.⁴ Pandangannya tentang manusia sebagai tabula rasa menjadi fondasi
bagi teori pendidikan empiris, yang mendorong perlunya pengalaman konkret dan
observasi dalam proses belajar.
6.2.
Warisan dalam Filsafat
Politik dan Demokrasi Liberal
Dalam ranah politik,
pemikiran Locke tentang kontrak sosial, hak kodrati, dan pembatasan
kekuasaan menjadi dasar dari doktrin liberalisme
klasik. Ia menolak legitimasi kekuasaan absolut dan menegaskan
bahwa legitimasi politik harus didasarkan pada persetujuan rakyat (consent of the governed).⁵
Konsep ini sangat memengaruhi pemikiran Montesquieu, Voltaire,
dan Jean-Jacques
Rousseau, serta menjadi inspirasi bagi Revolusi
Amerika dan perumusan Declaration of Independence
oleh Thomas Jefferson.⁶ Jefferson secara eksplisit mengadopsi frasa Locke
tentang hak atas “life,
liberty, and property”, meskipun kemudian dimodifikasi menjadi “life,
liberty, and the pursuit of happiness”.⁷
Tak hanya itu,
warisan Locke juga tampak dalam perumusan konstitusi-konstitusi modern
yang menekankan pembagian kekuasaan, supremasi hukum, dan perlindungan terhadap
hak-hak sipil. Pemikirannya memberikan legitimasi filosofis terhadap sistem
pemerintahan representatif dan negara hukum, sekaligus membentuk pandangan
tentang warga negara sebagai pemilik hak-hak bawaan
yang tak dapat dicabut oleh negara.⁸
6.3.
Pengaruh terhadap
Pemikiran Pendidikan dan Toleransi Sosial
Locke juga
memberikan kontribusi signifikan terhadap filsafat pendidikan melalui karyanya Some
Thoughts Concerning Education (1693). Ia menekankan pentingnya
pembentukan karakter moral melalui kebiasaan dan pengalaman, serta menolak
metode pengajaran dogmatis.⁹ Di bidang sosial, tulisannya tentang toleransi
beragama menjadi salah satu pilar dalam pengembangan masyarakat
pluralistik dan sekuler. Locke membela kebebasan berkeyakinan sebagai
hak individual yang tidak boleh dicampuri oleh negara atau lembaga keagamaan resmi,
suatu sikap yang mendahului prinsip-prinsip pluralisme dalam masyarakat
modern.¹⁰
6.4.
Kritik dan
Interpretasi Modern
Meski berpengaruh
luas, pemikiran Locke tidak lepas dari kritik. Beberapa pemikir post-kolonial
dan Marxis, seperti C. B. Macpherson, menilai bahwa
konsep hak milik Locke secara implisit mendukung kapitalisme
eksploitatif dan kolonialisme.¹¹ Kritik ini menunjukkan
bagaimana teori kebebasan Locke dapat ditafsirkan secara ambivalen ketika
diterapkan dalam konteks kekuasaan ekonomi dan imperialisme. Namun demikian,
pembela Locke menyatakan bahwa kerangka dasar pemikirannya tetap menyediakan
alat normatif untuk mengkritik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak-hak
dasar manusia.
Footnotes
[1]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–106.
[2]
Stephen Priest, The British Empiricists (London: Routledge,
1990), 22–45.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B30–B39.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 61–62.
[5]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 327–331.
[6]
Louis Hartz, The Liberal Tradition in America (New York:
Harcourt, Brace and Company, 1955), 3–7.
[7]
Pauline Maier, American Scripture: Making the Declaration of
Independence (New York: Knopf, 1997), 116–119.
[8]
Jeremy Waldron, The Dignity of Legislation (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 92.
[9]
John Locke, Some Thoughts Concerning Education, ed. Ruth Grant
and Nathan Tarcov (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1996), 2–6.
[10]
John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William
Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 23–27.
[11]
C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 203–210.
7.
Kritik
terhadap Pemikiran John Locke
Meskipun John Locke
dipandang sebagai pelopor penting dalam tradisi empirisme dan liberalisme
politik, pemikirannya tidak terlepas dari kritik, baik dari kalangan sezaman
maupun dari pemikir-pemikir kontemporer. Kritik terhadap Locke mencakup
beberapa aspek: mulai dari batasan epistemologi empiris, konsepsi
tentang kepemilikan, hingga implikasi ideologis dalam konteks kolonialisme
dan kapitalisme. Kritik-kritik ini penting untuk memahami
dimensi problematik dalam warisan intelektual Locke serta untuk menilai ulang
relevansi pemikirannya dalam konteks modern.
7.1.
Kritik Epistemologis:
Rasionalisme vs. Empirisme
Locke menyatakan
bahwa semua ide berasal dari pengalaman, dan menolak eksistensi ide
bawaan (innate ideas). Namun, pandangan ini dikritik oleh
filsuf rasionalis seperti Gottfried Wilhelm Leibniz, yang
dalam karya Nouveaux Essais sur l'entendement humain
(1704) menyatakan bahwa pikiran manusia tidak sepenuhnya kosong seperti tabula
rasa, tetapi memiliki struktur bawaan yang
memungkinkan terjadinya pemahaman.¹ Leibniz berargumen bahwa prinsip-prinsip
logika dasar, seperti hukum kontradiksi, tidak mungkin diperoleh hanya dari
pengalaman, melainkan telah melekat dalam kapasitas rasional manusia.²
Lebih lanjut, David
Hume, meskipun berada dalam tradisi empirisme, menunjukkan
bahwa pendekatan Locke tidak mampu secara memadai menjelaskan hubungan
kausalitas. Hume menilai bahwa pengalaman hanya menghasilkan
asosiasi ide, bukan pengetahuan yang pasti tentang sebab-akibat, sehingga
menimbulkan skeptisisme terhadap klaim pengetahuan yang bersifat universal.³
Kritik ini menandai keterbatasan fondasi empiris Locke dalam menjelaskan
aspek-aspek kognitif yang lebih kompleks.
7.2.
Kritik Sosial-Politik:
Kepemilikan dan Ketimpangan
Salah satu elemen
paling berpengaruh dalam pemikiran Locke adalah teorinya tentang hak
milik (property rights) sebagai hak kodrati. Locke menyatakan
bahwa kerja manusia memberikan legitimasi atas kepemilikan atas benda atau
lahan tertentu.⁴ Namun, teori ini telah menjadi sasaran kritik dari berbagai
perspektif, khususnya dari mazhab Marxis dan post-kolonial.
C. B.
Macpherson, dalam karya terkenalnya The Political Theory of Possessive
Individualism (1962), menilai bahwa Locke telah merumuskan model individualisme
posesif, yaitu pandangan bahwa individu pada dasarnya adalah
pemilik dari dirinya sendiri dan segalanya yang ia hasilkan.⁵ Model ini dinilai
memberikan justifikasi filosofis bagi eksploitasi ekonomi dan akumulasi
kapital, serta mengabaikan dimensi sosial dan kolektif dari hak
dan keadilan.⁶
Selain itu, para
sarjana post-kolonial juga menyoroti bahwa teori Locke digunakan sebagai
pembenaran terhadap pencaplokan tanah dan penjajahan,
terutama dalam konteks ekspansi Inggris ke Dunia Baru. Locke, yang memiliki
saham di Royal African Company dan terlibat dalam perumusan hukum kolonial
Carolina, dituduh gagal mengaplikasikan prinsip-prinsip kebebasan dan
kesetaraan kepada masyarakat non-Eropa.⁷ Hal ini menunjukkan adanya kontradiksi
antara komitmen Locke terhadap kebebasan dan praktik politik kolonial yang
didukung oleh kerangka berpikirnya.
7.3.
Ambiguitas dalam
Toleransi dan Kebebasan
Meskipun Locke
sangat menekankan pentingnya toleransi beragama, ia secara
eksplisit mengecualikan ateis dan Katolik Roma
dari perlindungan tersebut. Dalam A Letter Concerning Toleration, ia
menulis bahwa ateisme merusak dasar moral masyarakat, dan bahwa kesetiaan
Katolik kepada otoritas Paus dianggap mengancam kesetiaan politik terhadap
negara.⁸ Pandangan ini dinilai inkonsisten oleh banyak komentator, karena
bertentangan dengan prinsip toleransi universal yang ia anjurkan.
Kritik ini
memperlihatkan bahwa komitmen Locke terhadap kebebasan sipil dan beragama masih
bersifat selektif, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi politik
dan sosial Inggris abad ke-17.⁹ Hal ini mengundang refleksi kritis atas batas-batas
prinsip liberalisme klasik dalam menghadapi pluralisme yang lebih luas dan
kompleks di era modern.
Footnotes
[1]
Gottfried Wilhelm Leibniz, New Essays on Human Understanding,
trans. and ed. Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge: Cambridge University
Press, 1996), 48–51.
[2]
Ibid., 57–60.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 29–32.
[4]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–289.
[5]
C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 3–5.
[6]
Ibid., 203–210.
[7]
Barbara Arneil, John Locke and America: The Defence of English
Colonialism (Oxford: Clarendon Press, 1996), 88–90.
[8]
John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William
Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 45–47.
[9]
Mark Goldie, “John Locke and Anglican Royalism,” Political Studies
31, no. 1 (1983): 61–64.
8.
Kesimpulan
John Locke merupakan
salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern. Melalui
karya-karyanya yang monumental seperti An Essay Concerning Human Understanding
dan Two
Treatises of Government, Locke berhasil membangun fondasi teoritis
yang menggeser paradigma filsafat Barat dari dominasi rasionalisme dan teologi
skolastik ke arah empirisme epistemologis dan liberalisme politik.¹
Dalam bidang epistemologi, Locke menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia
bersumber dari pengalaman melalui penginderaan dan refleksi, serta menolak
gagasan tentang ide bawaan.² Konsepsi ini menjadi dasar bagi tradisi empirisme
Inggris yang kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Berkeley dan Hume,
serta menantang dominasi rasionalisme kontinental.³
Sementara itu, dalam
ranah filsafat politik, Locke mengemukakan teori kontrak
sosial yang menyatakan bahwa pemerintahan yang sah harus
dibentuk atas dasar persetujuan rakyat dan
ditujukan untuk melindungi hak-hak kodrati
seperti hidup, kebebasan, dan kepemilikan.⁴ Gagasan ini menjadi landasan bagi
pemikiran demokrasi liberal modern dan memberi pengaruh kuat terhadap
revolusi-revolusi politik seperti Revolusi Amerika dan
pembentukan konstitusi-konstitusi modern.⁵
Locke juga
menawarkan pendekatan etis dan religius yang berupaya menggabungkan rasionalitas
dan keimanan, serta menekankan pentingnya toleransi
beragama sebagai bagian dari kebebasan sipil.⁶ Ia menolak
pemaksaan agama oleh negara dan membela pemisahan antara otoritas sipil dan
otoritas spiritual, yang menjadi prinsip penting dalam teori negara sekuler
kontemporer.⁷
Namun demikian,
warisan intelektual Locke tidak luput dari kritik. Beberapa pemikir menilai
bahwa fondasi empirismenya tidak memadai untuk menjelaskan aspek-aspek
rasionalitas kompleks seperti kausalitas dan prinsip logika dasar.⁸ Selain itu,
teorinya tentang hak milik dan kepemilikan pribadi dituding memberi pembenaran
terhadap kapitalisme eksploitatif dan praktik
kolonialisme, serta mengandung ambiguitas moral dan politis
dalam penerapannya pada masyarakat non-Eropa.⁹ Pandangannya tentang toleransi
juga dipertanyakan karena pengecualiannya terhadap ateis dan Katolik Roma, yang
menunjukkan keterbatasan dalam penerapan prinsip toleransi universal.¹⁰
Dengan demikian,
John Locke harus dipahami tidak hanya sebagai perintis filsafat modern, tetapi
juga sebagai pemikir yang warisannya terus ditafsirkan dan diperdebatkan dalam
konteks filsafat kontemporer. Kekuatan Locke terletak pada kemampuannya
merumuskan dasar-dasar rasional bagi kebebasan, pengetahuan, dan pemerintahan
yang adil. Tetapi warisannya juga menuntut pembacaan kritis, agar
prinsip-prinsip liberalisme dan empirisme yang ia rumuskan dapat terus
diperbarui dalam menghadapi tantangan-tantangan etis, politik, dan
epistemologis di era modern.
Footnotes
[1]
John Dunn, Locke (Oxford: Oxford University Press, 1984),
17–18.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–106.
[3]
Stephen Priest, The British Empiricists (London: Routledge,
1990), 44–46.
[4]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.
[5]
Pauline Maier, American Scripture: Making the Declaration of
Independence (New York: Knopf, 1997), 116.
[6]
Nicholas Wolterstorff, John Locke and the Ethics of Belief
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 94–96.
[7]
John Locke, A Letter Concerning Toleration, trans. William
Popple (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1983), 14–18.
[8]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 29–32.
[9]
C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 203–210.
[10]
Mark Goldie, “John Locke and Anglican Royalism,” Political Studies
31, no. 1 (1983): 61–64.
Daftar Pustaka
Arneil, B. (1996). John Locke and America: The
defence of English colonialism. Oxford University Press.
Ashcraft, R. (1986). Revolutionary politics and
Locke’s Two Treatises of Government. Princeton University Press.
Ashcraft, R. (1987). Locke’s Two Treatises of
Government. Allen & Unwin.
Buckle, S. (1991). Natural law and the theory of
property: Grotius to Hume. Oxford University Press.
Dunn, J. (1969). The political thought of John
Locke: An historical account of the argument of the Two Treatises of Government.
Cambridge University Press.
Dunn, J. (1984). Locke. Oxford University
Press.
Dunn, J. (2003). John Locke: A very short
introduction. Oxford University Press.
Gaukroger, S. (2006). The emergence of a
scientific culture: Science and the shaping of modernity 1210–1685. Oxford
University Press.
Goldie, M. (1983). John Locke and Anglican
royalism. Political Studies, 31(1), 61–64.
Goldie, M. (1986). The roots of liberty: Radical
thought in seventeenth-century England. History Today, 36(8), 34–37.
Hartz, L. (1955). The liberal tradition in
America. Harcourt, Brace and Company.
Hume, D. (2000). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original
work published 1748)
Jolley, N. (1999). Locke: His philosophical
thought. Oxford University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published
1781)
Laslett, P. (Ed.). (1988). Two treatises of
government (J. Locke). Cambridge University Press. (Original work published
1689)
Leibniz, G. W. (1996). New essays on human
understanding (P. Remnant & J. Bennett, Trans. & Eds.). Cambridge
University Press. (Original work written 1704)
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work
published 1690)
Locke, J. (1983). A letter concerning toleration
(W. Popple, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1689)
Locke, J. (1996). Some thoughts concerning
education (R. Grant & N. Tarcov, Eds.). Hackett Publishing Company.
(Original work published 1693)
Maier, P. (1997). American scripture: Making the
Declaration of Independence. Knopf.
Macpherson, C. B. (1962). The political theory
of possessive individualism: Hobbes to Locke. Oxford University Press.
Marshall, J. (1994). John Locke: Resistance,
religion and responsibility. Cambridge University Press.
Priest, S. (1990). The British empiricists.
Routledge.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Stuart, M. (2003). Locke. Routledge.
Waldron, J. (1999). The dignity of legislation.
Cambridge University Press.
Waldron, J. (2002). God, Locke, and equality:
Christian foundations in Locke’s political thought. Cambridge University
Press.
Wolterstorff, N. (1996). John Locke and the
ethics of belief. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar