Jalan Tengah (Mesotes)
Etika Keseimbangan dalam Pemikiran Aristoteles
Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.
Abstrak
Artikel ini menyajikan telaah komprehensif terhadap
konsep mesotes (jalan tengah) dalam etika Aristoteles sebagai fondasi
dari sistem virtue ethics yang menekankan keseimbangan, kebijaksanaan
praktis, dan pembentukan karakter moral. Melalui pembacaan terhadap Nicomachean
Ethics dan karya-karya interpretatif kontemporer, artikel ini menjelaskan
bahwa kebajikan moral bagi Aristoteles adalah suatu sikap jiwa yang terletak di
antara dua ekstrem: kelebihan dan kekurangan. Konsep mesotes bukan
bersifat absolut, tetapi relatif terhadap individu dan konteks, serta hanya dapat
diwujudkan melalui phronesis (akal praktis) yang matang. Artikel ini
juga membandingkan mesotes dengan pendekatan etika lain seperti
deontologi dan utilitarianisme, serta mengkaji relevansi dan tantangan
penerapan mesotes dalam konteks modern seperti pluralisme nilai,
pendidikan karakter, kepemimpinan, kesehatan mental, dan etika digital.
Meskipun menghadapi kritik atas ambiguitas dan keterbatasan normatifnya, mesotes
tetap memiliki daya tarik filosofis sebagai model etika berbasis karakter yang
adaptif terhadap dinamika kehidupan nyata.
Kata Kunci: Aristoteles, mesotes, etika kebajikan, keseimbangan
moral, phronesis, karakter, eudaimonia, etika kontemporer.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif atas Konsep Mesotes dalam Pemikiran
Aristoteles
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran filsafat Barat, Aristoteles
menempati posisi sentral sebagai perumus sistematis etika berbasis kebajikan
(virtue ethics) yang menekankan pentingnya pembentukan karakter dalam mencapai
kebahagiaan (eudaimonia). Salah satu kontribusi utama Aristoteles dalam
bidang ini adalah konsep mesotes atau jalan tengah, yang ia jabarkan
secara mendalam dalam karyanya Nicomachean Ethics. Konsep ini menyatakan
bahwa kebajikan moral terletak di antara dua ekstrem: satu berupa kekurangan (deficiency)
dan yang lain berupa kelebihan (excess) dari suatu sikap atau tindakan,
dan kebajikan hanya tercapai melalui penilaian proporsional dan rasional
terhadap kedua kutub tersebut.¹
Berbeda dari pendekatan etika normatif seperti
deontologi Immanuel Kant yang berlandaskan pada kewajiban moral absolut, atau
utilitarianisme John Stuart Mill yang menilai moralitas berdasarkan hasil
terbesar bagi jumlah terbanyak, etika Aristoteles bersifat kontekstual dan
berbasis karakter.² Mesotes bukanlah sekadar posisi tengah aritmetis,
melainkan hasil dari penilaian rasional dalam situasi konkret oleh individu
yang memiliki kebijaksanaan praktis (phronesis).³ Dengan demikian,
konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan dan moderasi sebagai fondasi kebajikan
yang otentik dan berkelanjutan.
Pentingnya pemahaman terhadap mesotes tidak
hanya relevan dalam konteks filsafat klasik, tetapi juga dalam konteks etika
kontemporer yang menghadapi tantangan ekstremisme moral, hedonisme pragmatis,
dan kekosongan karakter dalam kehidupan sosial modern. Etika Aristoteles,
khususnya doktrin jalan tengah, menyediakan kerangka berpikir etis yang lebih
manusiawi dan berorientasi pada pengembangan diri dalam komunitas.⁴ Oleh karena
itu, tulisan ini berupaya mengkaji secara komprehensif konsep mesotes
sebagai dasar moralitas dalam pemikiran Aristoteles, dengan menelusuri akar
filosofis, penerapan, serta relevansi dan tantangannya dalam dunia modern.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106a26–28.
[2]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed.
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 62–70.
[3]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 44–45.
[4]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 16–18.
2.
Dasar
Filsafat Etika Aristoteles
Etika dalam pemikiran Aristoteles tidak dapat
dipisahkan dari tujuan akhir kehidupan manusia, yaitu eudaimonia, yang
sering diterjemahkan sebagai kebahagiaan, kebermaknaan, atau hidup yang baik.¹
Bagi Aristoteles, eudaimonia bukanlah sekadar kenikmatan sesaat atau
pencapaian material, melainkan kondisi aktualisasi penuh dari potensi manusia
sebagai makhluk rasional.² Dalam kerangka ini, etika bukanlah disiplin normatif
yang memerintah secara absolut, melainkan ilmu praktis (praktikē epistēmē)
yang membantu manusia membentuk kebiasaan dan karakter yang memungkinkannya
menjalani hidup yang baik.
Secara metafisik, manusia dipahami Aristoteles
sebagai makhluk yang memiliki bentuk (form) yang rasional dan tujuan (telos)
yang melekat.³ Setiap tindakan manusia diarahkan menuju suatu kebaikan, dan
kebaikan tertinggi adalah eudaimonia itu sendiri. Namun, untuk mencapai eudaimonia,
manusia harus mengembangkan aretē (kebajikan atau keunggulan moral)
melalui praktik kebiasaan yang rasional.⁴ Kebajikan ini, menurut Aristoteles,
merupakan keadaan jiwa yang berkaitan dengan pilihan, dan berada dalam jalan
tengah (mesotes) antara dua ekstrem yang saling bertolak belakang:
kelebihan dan kekurangan.⁵
Selain itu, Aristoteles membedakan antara kebajikan
intelektual (dianoētikē aretē) dan kebajikan moral (ēthikē aretē).
Kebajikan intelektual, seperti sophia (kebijaksanaan teoritis) dan phronesis
(kebijaksanaan praktis), diperoleh melalui pengajaran, sementara kebajikan
moral berkembang melalui kebiasaan (ethos).⁶ Phronesis, dalam hal
ini, memainkan peran penting dalam menilai dan menentukan tindakan yang tepat,
termasuk mengenali mesotes dalam konteks konkret.⁷
Keseimbangan antara teori dan praktik menjadi ciri
khas dari etika Aristoteles. Ia menolak pandangan yang menjadikan etika sebagai
sekadar kumpulan perintah atau larangan, sebagaimana juga menolak pendekatan
relativistik yang mengabaikan rasionalitas dalam penilaian moral. Etika, dalam
pandangannya, adalah sarana untuk membimbing manusia hidup secara baik dalam
komunitas politik (polis) dengan mengembangkan karakter yang harmonis
antara hasrat dan akal.⁸ Dengan kata lain, etika bukan sekadar pembahasan
tentang tindakan yang benar atau salah, tetapi tentang menjadi manusia yang
baik secara utuh.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097a15–20.
[2]
Richard Kraut, Aristotle on the Human Good
(Princeton: Princeton University Press, 1989), 13–17.
[3]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 59–61.
[4]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 33–35.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics,
1106b36–1107a2.
[6]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 64–66.
[7]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 58–60.
[8]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed.
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 149–152.
3.
Definisi
dan Prinsip Konsep Mesotes (Jalan Tengah)
Konsep mesotes (μέσος: tengah) merupakan
jantung dari etika kebajikan Aristoteles, dan ia mengartikulasikannya sebagai
prinsip moral bahwa kebajikan adalah suatu keadaan jiwa yang terletak di antara
dua ekstrem: satu berupa kelebihan (excess) dan satu lagi berupa
kekurangan (deficiency).¹ Mesotes bukan sekadar “titik tengah
matematis”, melainkan suatu “tengah relatif” yang ditentukan oleh
nalar dan konteks individu. Aristoteles menyatakan bahwa “kebajikan adalah
suatu keadaan yang memilih, berada dalam jalan tengah yang ditentukan oleh
rasio, yaitu sebagaimana orang bijak akan menentukannya.”²
Sebagai contoh, keberanian adalah kebajikan yang
terletak di antara ketakutan yang berlebihan (pengecut) dan keberanian yang
berlebihan (nekat atau sembrono).³ Demikian pula, kemurahan hati berada di
antara kikir dan boros; temperansi berada di antara pantang total dan
kerakusan. Dengan demikian, mesotes menekankan pentingnya pengendalian
diri, kepekaan terhadap situasi, serta penilaian yang bijaksana dalam
bertindak.
Penting untuk dicatat bahwa mesotes tidak
bersifat absolut atau seragam bagi setiap orang. Aristoteles menjelaskan bahwa
apa yang merupakan jalan tengah bagi satu orang belum tentu berlaku bagi orang
lain.⁴ Misalnya, jumlah makanan yang tepat bagi seorang atlet mungkin terlalu
banyak bagi seorang pelajar biasa. Maka, mesotes bersifat kontekstual
dan bergantung pada phronesis (kebijaksanaan praktis), yang mampu
menilai situasi konkret berdasarkan pengalaman, nalar, dan tujuan etis.
Selain itu, Aristoteles membedakan antara tindakan
dan perasaan. Ia menyatakan bahwa kita bisa merasa marah, takut, atau senang
pada waktu dan kadar yang tepat, terhadap objek yang tepat, dan dengan cara
yang tepat—itulah bentuk kebajikan.⁵ Dalam hal ini, mesotes tidak
menghapus emosi, tetapi mengarahkan emosi agar selaras dengan akal dan
kebajikan.
Konsep ini mencerminkan pandangan Aristoteles bahwa
etika adalah seni hidup, bukan sekadar penghindaran kesalahan. Ia tidak
mengajarkan kepatuhan terhadap aturan eksternal, tetapi pengembangan karakter
internal yang mampu memilih secara tepat dalam situasi konkret. Oleh karena
itu, mesotes bukanlah titik kompromi pasif, melainkan realisasi aktif
dari rasionalitas manusia dalam mengarahkan kehidupannya menuju eudaimonia.
Footnotes
[1]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 46.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106b36–1107a2.
[3]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 66–67.
[4]
Richard Kraut, Aristotle on the Human Good
(Princeton: Princeton University Press, 1989), 104–106.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106b20–25.
4.
Aplikasi
Mesotes dalam Kebajikan Moral
Konsep mesotes dalam pemikiran Aristoteles
tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang luas
dalam pembentukan karakter dan penilaian tindakan moral. Aristoteles meyakini
bahwa kebajikan moral (ēthikē aretē) hanya dapat tercapai melalui
pembiasaan dalam bertindak secara seimbang, dengan menemukan mesotes
yang sesuai antara dua ekstrem.¹ Dalam hal ini, mesotes menjadi prinsip pembimbing
dalam mengejawantahkan etika sebagai praktik kehidupan sehari-hari, bukan
sekadar refleksi teoretis.
Contoh-contoh kebajikan dalam Nicomachean Ethics
menunjukkan penerapan konkret prinsip jalan tengah. Keberanian (andreia),
misalnya, diposisikan di antara pengecut (deilia) yang terlalu takut dan
kenekatan (thrasos) yang terlalu sembrono.² Individu yang berani mampu
merespons situasi berbahaya dengan takaran ketakutan dan keyakinan yang
seimbang. Demikian pula, kemurahan hati (eleutheriotēs) adalah kebajikan
yang berada antara kekikiran dan pemborosan, dan hanya dapat terbentuk melalui
praktik pemberian yang rasional, proporsional, dan tepat sasaran.³
Kebajikan lainnya seperti temperance (sōphrosynē),
atau pengendalian diri, juga merepresentasikan prinsip mesotes. Ia
terletak di antara pantangan total (asketisme yang berlebihan) dan kerakusan
(pemanjaan berlebihan terhadap kenikmatan fisik). Aristoteles menegaskan bahwa
kebajikan seperti ini tidak dimiliki sejak lahir, melainkan dibentuk melalui
kebiasaan (ethos), yang dalam jangka panjang mengarah pada integritas
moral yang stabil.⁴
Penting untuk dicatat bahwa mesotes tidak
bersifat aritmetis, tetapi ditentukan oleh penilaian akal budi praktis (phronesis),
yang mampu memahami kadar tindakan dan perasaan yang sesuai dalam situasi
tertentu.⁵ Artinya, seseorang tidak dapat bertindak bajik hanya dengan
mengikuti aturan umum, melainkan harus memiliki disposisi karakter dan
penilaian rasional terhadap konteks. Sebagai contoh, rasa marah dapat menjadi
tepat dalam situasi tertentu, dan kebajikan terletak pada kemampuan merespons
kemarahan itu dengan intensitas dan waktu yang benar.⁶
Aristoteles juga menyadari bahwa tidak semua
tindakan memiliki mesotes. Tindakan seperti pembunuhan, perzinaan, atau
pencurian dianggap secara inheren buruk dan tidak memiliki bentuk kebajikan
melalui moderasi.⁷ Ini menunjukkan bahwa mesotes hanya berlaku dalam
ranah tindakan dan emosi yang memungkinkan adanya kelebihan dan kekurangan,
bukan dalam kejahatan yang secara intrinsik salah.
Aplikasi mesotes dalam kebajikan moral
menegaskan bahwa etika Aristoteles bertumpu pada keseimbangan, kepekaan moral,
dan kemampuan rasional untuk bertindak proporsional. Dalam konteks ini,
moralitas bukanlah penghindaran dari ekstrem semata, melainkan usaha aktif
membentuk karakter yang harmonis melalui kebiasaan bertindak bijaksana.
Kebajikan menjadi semacam “keahlian moral” yang dibentuk oleh latihan dan
pembiasaan, sebagaimana seorang musisi menjadi terampil melalui praktik
berulang yang tepat.⁸
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a14–26.
[2]
Ibid., 1107a30–b5.
[3]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 73–75.
[4]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 77–80.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140b5–21.
[6]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 58–61.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1107a10–15.
[8]
Richard Kraut, Aristotle on the Human Good
(Princeton: Princeton University Press, 1989), 112–114.
5.
Jalan
Tengah dan Dimensi Individual-Kontekstual
Salah satu aspek paling khas dari konsep mesotes
dalam etika Aristoteles adalah sifatnya yang tidak mutlak dan seragam,
melainkan relatif terhadap individu dan konteks situasional. Aristoteles
secara eksplisit menyatakan bahwa “jalan tengah” dalam kebajikan moral
bukanlah titik tetap yang berlaku universal, tetapi bergantung pada orang
yang bertindak, situasi konkret, dan tujuan moral yang ingin dicapai.¹
Artinya, kebajikan sebagai jalan tengah tidak ditentukan oleh ukuran matematis,
tetapi oleh penilaian rasional dari seorang individu yang memiliki phronesis
(kebijaksanaan praktis).
Sebagai contoh, porsi makanan yang sesuai untuk
seorang atlet profesional tentu berbeda dari yang dibutuhkan oleh anak-anak
atau orang sakit. Maka, keberanian, kemurahan hati, atau temperansi memiliki “jalan
tengah” yang tidak identik bagi setiap orang, melainkan bervariasi
tergantung pada kapasitas, peran sosial, dan situasi personalnya.² Ini
menjadikan mesotes sebagai konsep etika yang fleksibel namun tetap
rasional, tidak terjebak dalam absolutisme normatif maupun relativisme etis
yang tanpa batas.
Phronesis, atau kebijaksanaan praktis, memainkan peran sentral dalam menentukan
jalan tengah tersebut. Ia bukan sekadar kemampuan intelektual, melainkan
keterampilan moral yang terlatih melalui pengalaman, refleksi, dan kepekaan terhadap
berbagai nuansa kehidupan nyata.³ Dengan phronesis, seseorang dapat
memahami apa yang pantas, kapan, untuk siapa, dan dalam batas sejauh mana
suatu tindakan harus dilakukan agar menjadi bajik.⁴ Oleh karena itu, mesotes
bukanlah kompromi pasif, tetapi hasil dari deliberasi aktif dan rasional yang
disesuaikan dengan kondisi subjek dan objek tindakan.
Lebih jauh, Aristoteles juga mengakui bahwa konteks
sosial-politik dapat memengaruhi bagaimana mesotes ditentukan. Dalam polis
(komunitas politik), individu tidak hidup terisolasi, melainkan berinteraksi
dalam jaringan norma, nilai, dan harapan kolektif.⁵ Maka, keberanian seorang
prajurit dalam pertempuran, kemurahan hati seorang dermawan dalam festival
publik, atau pengendalian diri seorang pemimpin dalam menghadapi konflik,
semuanya menuntut pertimbangan yang berbeda sesuai dengan peran dan
ekspektasi sosial mereka.⁶
Dimensi individual dan kontekstual ini menjadikan
etika Aristoteles sangat relevan untuk dunia modern, di mana kompleksitas moral
sering kali tidak bisa disederhanakan ke dalam aturan baku. Dalam menghadapi
pluralitas nilai, dinamika sosial, dan keragaman karakter manusia, pendekatan mesotes
menawarkan suatu model etika yang adaptif, realistis, dan berpusat pada
kebajikan karakter, bukan sekadar ketaatan terhadap norma eksternal.⁷
Dengan demikian, mesotes bukan hanya prinsip
keseimbangan universal, melainkan juga cermin dari kepekaan etis yang konkret
dan manusiawi. Ia mengajarkan bahwa menjadi bajik bukanlah tentang mengikuti
satu ukuran moral untuk semua, tetapi tentang mengembangkan kemampuan
menilai dengan bijak apa yang baik dalam situasi dan bagi orang tertentu,
demi tercapainya eudaimonia yang otentik.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106a26–28.
[2]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 69–71.
[3]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 134–137.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics,
1140b20–1141a8.
[5]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed.
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 146–148.
[6]
Richard Kraut, Aristotle on the Human Good
(Princeton: Princeton University Press, 1989), 119–121.
[7]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 83–85.
6.
Perbandingan
dengan Pandangan Etika Lain
Konsep mesotes dalam etika Aristoteles
menempati posisi unik dalam tradisi filsafat moral, khususnya ketika
dibandingkan dengan dua pendekatan dominan dalam etika normatif modern: deontologi
dan utilitarianisme. Perbedaan mendasar terletak pada orientasi dasar
masing-masing sistem: jika virtue ethics Aristoteles berfokus pada
pembentukan karakter moral, maka deontologi berfokus pada kewajiban moral
universal, dan utilitarianisme menekankan pada konsekuensi tindakan.
Dalam deontologi, seperti yang dikembangkan oleh
Immanuel Kant, tindakan dinilai benar atau salah berdasarkan kepatuhan terhadap
prinsip moral yang bersifat absolut dan universal. Prinsip categorical
imperative menuntut bahwa seseorang hanya boleh bertindak menurut maksim
yang dapat dijadikan hukum universal, tanpa memperhatikan emosi atau hasil
akhir.¹ Dalam konteks ini, emosi dan disposisi pribadi dianggap tidak relevan
atau bahkan distraktif dari penilaian moral yang sejati. Hal ini kontras tajam
dengan mesotes Aristoteles, yang justru menilai kebajikan berdasarkan
keseimbangan emosional dan penilaian kontekstual, serta pentingnya phronesis
sebagai akal praktis yang berkembang dari pengalaman.²
Sementara itu, utilitarianisme—sebagaimana
dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill—menilai moralitas suatu
tindakan berdasarkan sejauh mana tindakan tersebut menghasilkan kebahagiaan
terbesar bagi jumlah orang terbanyak.³ Pendekatan ini berorientasi pada hasil
atau konsekuensi (consequentialism), bukan pada karakter atau maksud.
Dalam hal ini, tindakan dinilai baik apabila berdampak positif secara
kuantitatif. Berbeda dengan itu, mesotes tidak berfokus pada hasil akhir
eksternal, melainkan pada kualitas internal pelaku moral dan
keseimbangan batiniah dalam bertindak.⁴ Kebajikan adalah keadaan jiwa yang
stabil, bukan sarana mencapai kepuasan kolektif.
Dalam hal pembentukan moralitas, pendekatan
Aristoteles lebih menyerupai model pendidikan karakter yang bertahap,
kontekstual, dan berbasis pada pengembangan kebiasaan.⁵ Tidak seperti
deontologi yang sering diasosiasikan dengan moralitas kaku dan formal, serta
utilitarianisme yang rentan terhadap manipulasi konsekuensi, etika Aristoteles memberikan
ruang bagi pertumbuhan etis individu secara holistik. Ia menempatkan manusia
sebagai agen moral yang hidup dalam dunia nyata dengan keragaman situasi dan
emosi, bukan sebagai entitas rasional murni atau kalkulator kebahagiaan.
Selain itu, mesotes juga memiliki kemiripan
konseptual dengan etika Konfusianisme, terutama dalam ajaran tentang "jalan
tengah" (zhong yong).⁶ Dalam filsafat Tiongkok kuno, jalan
tengah juga dianggap sebagai ekspresi kebajikan moral dan harmoni batin, yang
hanya dapat dicapai oleh orang bijak yang memadukan emosi dan nalar secara
selaras. Namun, perbedaan terletak pada sistematika dan pendekatan filosofis:
Aristoteles menekankan kerangka logis dan teleologis, sedangkan Konfusianisme
lebih bersifat normatif-kultural dan berbasis pada relasi sosial.⁷
Dengan demikian, mesotes menempati posisi
penting dalam spektrum teori etika. Ia menawarkan alternatif yang berorientasi
pada karakter, keseimbangan, dan kebijaksanaan praktis, sebagai respons
terhadap absolutisme moral deontologi dan kalkulasi moral utilitarianisme.
Pendekatan ini tidak hanya lebih manusiawi, tetapi juga lebih relevan dalam
kehidupan etis yang kompleks dan beragam secara kontekstual.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
30–34.
[2]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 72–75.
[3]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George
Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 7–8.
[4]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 89–91.
[5]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 40–42.
[6]
Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay
on Confucian Religiousness (Albany: SUNY Press, 1989), 70–72.
[7]
Roger T. Ames and Henry Rosemont Jr., The
Analects of Confucius: A Philosophical Translation (New York: Ballantine
Books, 1998), xxviii–xxx.
7.
Kritik
terhadap Konsep Mesotes
Meskipun konsep mesotes dalam etika
Aristoteles telah memberikan kontribusi penting dalam pengembangan filsafat
moral berbasis karakter, tidak sedikit kritik yang diarahkan padanya, baik dari
sudut pandang teoretis maupun praktis. Kritik-kritik tersebut terutama menyasar
pada aspek ambiguitas normatif, relativisme moral, dan kesulitan dalam
penerapan konkret.
Pertama, kritik utama datang dari kalangan yang
menilai bahwa mesotes terlalu vague (kabur) dan tidak
memberikan pedoman moral yang operasional. Karena mesotes bersifat
relatif terhadap individu dan konteks, maka tidak ada ukuran pasti yang dapat
dijadikan tolok ukur universal. Dalam praktiknya, seseorang bisa saja
menyalahgunakan fleksibilitas ini untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya
tidak bermoral, selama ia mengklaim bahwa tindakannya berada dalam “jalan
tengah.”¹ Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi mesotes
melahirkan relativisme etis yang sulit dipertanggungjawabkan secara objektif.
Kedua, beberapa filsuf modern mengkritik mesotes
karena kurang memberikan perhatian pada keadilan struktural dan kondisi
sosial yang lebih luas. Alasdair MacIntyre, misalnya, menyatakan bahwa
kebajikan tidak dapat dipahami secara memadai tanpa memperhitungkan tradisi dan
institusi sosial-politik yang menopangnya.² Dalam masyarakat yang tidak adil,
apa yang dianggap sebagai “tengah” bisa jadi merupakan hasil kompromi
yang disfungsional, bukan keseimbangan moral sejati. Ini menunjukkan bahwa mesotes
perlu ditopang oleh sistem nilai dan struktur sosial yang etis agar tidak
kehilangan arah.
Ketiga, mesotes dinilai tidak memadai dalam
menjelaskan kebajikan tertentu yang bersifat absolut, seperti kejujuran,
keadilan, atau kasih sayang. Sebagai contoh, Aristoteles sendiri menyatakan
bahwa tindakan seperti pembunuhan atau perzinahan tidak memiliki jalan tengah
yang bajik.³ Hal ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam penerapan
prinsip mesotes—tidak semua kebajikan dapat dijelaskan melalui kerangka
keseimbangan.⁴ Dalam beberapa kasus, nilai moral menuntut komitmen total atau
keberpihakan yang jelas, bukan moderasi.
Selain itu, dari perspektif psikologi moral
kontemporer, muncul argumen bahwa manusia sering kali tidak mampu secara
rasional mengevaluasi tindakan mereka sendiri secara objektif.
Kecenderungan kognitif, bias konfirmasi, dan dorongan emosional sering kali
mempengaruhi penilaian moral seseorang.⁵ Dengan demikian, mengandalkan phronesis
sebagai penentu mesotes menjadi problematik jika individu tidak memiliki
kapasitas reflektif dan lingkungan moral yang mendukung.
Namun demikian, sebagian filsuf membela mesotes
dengan menekankan bahwa ketidakpastian tersebut justru mencerminkan realitas
moral yang kompleks dan tidak reduktif. Etika Aristoteles bukanlah sistem
algoritmik, melainkan seni hidup (techne tou biou) yang mengandaikan
latihan, sensitivitas moral, dan kedewasaan praktis.⁶ Maka, kekaburan dalam mesotes
bukan kelemahan, melainkan konsekuensi dari pendekatan yang menghormati
kompleksitas kehidupan etis.
Dengan demikian, kritik terhadap konsep mesotes
tidak serta-merta meniadakan nilainya, tetapi justru mengundang refleksi kritis
terhadap batas-batas penerapan dan kebutuhan akan integrasi dengan kerangka
etis dan sosial yang lebih luas. Konsep ini tetap bernilai sebagai model
pembentukan karakter yang realistis dan kontekstual, namun memerlukan pembacaan
kritis dan penerapan yang bijaksana dalam dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 89–90.
[2]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed.
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 222–225.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1107a10–15.
[4]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 92–94.
[5]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good
People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon Books,
2012), 49–51.
[6]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 136–139.
8.
Relevansi
Mesotes dalam Etika Kontemporer
Meskipun berasal dari konteks filsafat Yunani Kuno,
konsep mesotes dalam etika Aristoteles tetap menunjukkan relevansi
yang kuat dalam lanskap etika kontemporer, terutama dalam menjawab
kompleksitas moral yang tidak dapat disederhanakan menjadi aturan absolut atau
kalkulasi konsekuensi semata. Etika Aristoteles, dengan penekanannya pada
karakter, keseimbangan, dan kebijaksanaan praktis, menghadirkan pendekatan yang
manusiawi dan adaptif dalam menghadapi dilema moral zaman modern.
Pertama, dalam era pluralisme moral, di mana
sistem nilai yang berbeda saling berinteraksi dan bahkan berbenturan, mesotes
menawarkan kerangka yang tidak dogmatis namun tetap berprinsip. Berbeda dari
pendekatan legalistik atau utilitarian yang cenderung monolitik, mesotes
mendorong pelaku moral untuk mencari jalan kebajikan melalui penilaian
kontekstual dan deliberatif.¹ Hal ini menjadi penting dalam dunia global yang
menuntut toleransi, dialog, dan sikap moderat dalam menghadapi perbedaan.
Kedua, dalam ranah etika profesional dan
kepemimpinan, konsep mesotes dapat diintegrasikan sebagai prinsip
pembimbing dalam pengambilan keputusan yang adil dan proporsional. Seorang
pemimpin, misalnya, dituntut untuk bersikap tegas tanpa menjadi otoriter, atau
bersikap empatik tanpa kehilangan objektivitas.² Pendekatan ini mencerminkan
praktik mesotes, di mana kebajikan muncul dari kemampuan untuk
menyeimbangkan ekstrem dalam situasi yang penuh tekanan. Oleh karena itu, mesotes
menjadi model etika praktis yang sangat aplikatif dalam pengembangan integritas
dan kepemimpinan etis.
Ketiga, dalam bidang pendidikan karakter dan
pengembangan moral, pendekatan Aristoteles mendapat perhatian besar dari
para pendidik kontemporer.³ Alih-alih hanya menanamkan aturan atau nilai secara
verbal, pendidikan kebajikan ala Aristoteles menekankan pembentukan kebiasaan
baik (habit formation) dan latihan penilaian moral melalui pengalaman
konkret. Mesotes berfungsi sebagai panduan dalam membimbing siswa agar
tidak hanya menghindari perilaku ekstrem, tetapi juga menumbuhkan kepekaan
terhadap tindakan yang tepat dalam berbagai situasi kehidupan nyata.⁴
Keempat, dalam kesehatan mental dan
kesejahteraan psikologis, prinsip keseimbangan moral Aristoteles dapat
dimaknai ulang sebagai bentuk stabilitas batin yang sehat. Dalam dunia yang
sarat tekanan dan ekspektasi berlebih, mesotes mengajarkan bahwa
keutamaan bukanlah hasil dari ekstremisme prestasi atau penghindaran total,
tetapi hasil dari harmoni antara keinginan, akal, dan tindakan.⁵ Gagasan ini
sejajar dengan pendekatan kontemporer dalam psikologi positif yang menekankan
pentingnya kebajikan, moderasi, dan keseimbangan emosional.
Akhirnya, dalam menghadapi tantangan etika
teknologi dan media digital, mesotes menyediakan cara berpikir yang
bijaksana dan reflektif. Di tengah budaya hiperaktif dan konsumsi informasi
tanpa batas, kebajikan seperti temperance (pengendalian diri) dan truthfulness
(kejujuran) perlu dipraktikkan dengan takaran yang tepat.⁶ Aristoteles
mengajarkan bahwa teknologi bukanlah masalah itu sendiri, tetapi bagaimana
manusia menggunakannya secara moderat dan bertanggung jawab adalah yang
menentukan nilai moral dari tindakannya.
Dengan demikian, mesotes tetap menjadi
konsep yang signifikan dalam membangun etika yang relevan dengan realitas
kontemporer. Ia menawarkan landasan moral yang tidak kaku, tetapi tetap
mengakar pada kualitas manusiawi: kehati-hatian, keharmonisan, dan
kebijaksanaan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural, kebajikan sebagai
jalan tengah menjadi jembatan antara nilai tradisional dan tantangan modern.
Footnotes
[1]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 101–103.
[2]
Lynn Sharp Paine, Value Shift: Why Companies
Must Merge Social and Financial Imperatives to Achieve Superior Performance
(New York: McGraw-Hill, 2003), 78–81.
[3]
Kristján Kristjánsson, Aristotle, Emotions, and
Education (Aldershot: Ashgate, 2007), 55–58.
[4]
James Arthur et al., Teaching Character and
Virtue in Schools (London: Routledge, 2017), 22–25.
[5]
Martin Seligman, Flourish: A Visionary New
Understanding of Happiness and Well-being (New York: Free Press, 2011),
31–34.
[6]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A
Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University
Press, 2016), 94–96.
9.
Penutup
Konsep mesotes dalam pemikiran etika
Aristoteles bukan hanya warisan filsafat klasik, tetapi juga tetap relevan
sebagai paradigma moral yang menekankan keseimbangan, kebijaksanaan praktis,
dan pembentukan karakter. Di tengah kecenderungan etika kontemporer yang sering
kali terjebak dalam ekstremitas—baik dalam bentuk absolutisme normatif maupun
relativisme nilai—mesotes menawarkan pendekatan yang moderat namun
mendalam. Ia mengajarkan bahwa kebajikan bukanlah hasil dari kepatuhan pada
hukum eksternal atau kalkulasi rasional semata, melainkan dari integrasi antara
nalar, emosi, dan pengalaman konkret dalam kehidupan manusia.¹
Dalam sistem etika Aristoteles, mesotes
tidak berdiri sendiri, tetapi berkelindan erat dengan konsep eudaimonia
(kebahagiaan sejati), aretē (kebajikan), dan phronesis
(kebijaksanaan praktis). Pendekatan ini menjadikan etika sebagai seni hidup
yang bersifat kontekstual dan personal, namun tetap mengakar pada prinsip
rasionalitas dan kebaikan umum.² Dengan demikian, moralitas bukan dipahami
sebagai penghindaran terhadap dosa atau pencapaian tujuan eksternal, melainkan
sebagai proses pembentukan diri menjadi manusia yang utuh, seimbang, dan
bertanggung jawab secara etis.
Meskipun tidak lepas dari kritik, khususnya
berkaitan dengan relativisme, ambiguitas normatif, dan keterbatasan dalam
menangani isu-isu struktural, mesotes tetap memiliki keunggulan sebagai kerangka
etika berbasis karakter. Ia menghindari reduksionisme moral dan membuka
ruang bagi deliberasi moral yang rasional dan reflektif.³ Dalam dunia yang
semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, pendekatan ini menjadi sangat
berharga dalam membentuk pribadi-pribadi yang matang secara moral dan mampu
menavigasi dilema etis dengan kearifan.
Lebih dari itu, mesotes juga dapat
diadaptasi secara lintas konteks: dalam pendidikan karakter, kepemimpinan etis,
kesehatan mental, hingga penggunaan teknologi.⁴ Konsep jalan tengah ini
menekankan pentingnya menghindari ekstremisme dalam segala bentuknya, dan
mengajak individu untuk menumbuhkan kebajikan melalui pembiasaan, pemikiran
jernih, serta kepekaan terhadap situasi. Dalam kerangka inilah, etika
Aristoteles menemukan kembali urgensinya di zaman modern.
Dengan menelaah konsep mesotes, kita tidak
hanya menyelami warisan intelektual Aristoteles, tetapi juga membangun jembatan
antara etika kuno dan tantangan moral kontemporer. Jalan tengah bukanlah
kompromi yang lemah, melainkan wujud kekuatan moral yang lahir dari
pengendalian diri, pengetahuan diri, dan pengabdian pada kebaikan.⁵ Sebagaimana
ditegaskan Aristoteles sendiri, kebajikan adalah habit of choosing, dan
pilihan terbaik selalu ada di antara dua ekstrem, ditentukan oleh akal budi
yang terlatih.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106a26–1107a2.
[2]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 92–94.
[3]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed.
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 225–227.
[4]
Kristján Kristjánsson, Aristotle, Emotions, and
Education (Aldershot: Ashgate, 2007), 115–118.
[5]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 112–113.
Daftar Pustaka
Ames, R. T., &
Rosemont, H., Jr. (1998). The Analects of Confucius: A philosophical
translation. Ballantine Books.
Annas, J. (1993). The
morality of happiness. Oxford University Press.
Arthur, J., et al. (2017). Teaching
character and virtue in schools. Routledge.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Barnes, J. (2000). Aristotle:
A very short introduction. Oxford University Press.
Broadie, S. (1991). Ethics
with Aristotle. Oxford University Press.
Haidt, J. (2012). The
righteous mind: Why good people are divided by politics and religion.
Pantheon Books.
Hursthouse, R. (1999). On
virtue ethics. Oxford University Press.
Kant, I. (1997). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kraut, R. (1989). Aristotle
on the human good. Princeton University Press.
Kristjánsson, K. (2007). Aristotle,
emotions, and education. Ashgate.
MacIntyre, A. (2007). After
virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism
(G. Sher, Ed.). Hackett Publishing.
Paine, L. S. (2003). Value
shift: Why companies must merge social and financial imperatives to achieve
superior performance. McGraw-Hill.
Seligman, M. (2011). Flourish:
A visionary new understanding of happiness and well-being. Free Press.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford
University Press.
Weiming, T. (1989). Centrality
and commonality: An essay on Confucian religiousness. SUNY Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar