Kamis, 29 Mei 2025

Jalan Tengah (Mesotes): Etika Keseimbangan dalam Pemikiran Aristoteles

Jalan Tengah (Mesotes)

Etika Keseimbangan dalam Pemikiran Aristoteles


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.


Abstrak

Artikel ini menyajikan telaah komprehensif terhadap konsep mesotes (jalan tengah) dalam etika Aristoteles sebagai fondasi dari sistem virtue ethics yang menekankan keseimbangan, kebijaksanaan praktis, dan pembentukan karakter moral. Melalui pembacaan terhadap Nicomachean Ethics dan karya-karya interpretatif kontemporer, artikel ini menjelaskan bahwa kebajikan moral bagi Aristoteles adalah suatu sikap jiwa yang terletak di antara dua ekstrem: kelebihan dan kekurangan. Konsep mesotes bukan bersifat absolut, tetapi relatif terhadap individu dan konteks, serta hanya dapat diwujudkan melalui phronesis (akal praktis) yang matang. Artikel ini juga membandingkan mesotes dengan pendekatan etika lain seperti deontologi dan utilitarianisme, serta mengkaji relevansi dan tantangan penerapan mesotes dalam konteks modern seperti pluralisme nilai, pendidikan karakter, kepemimpinan, kesehatan mental, dan etika digital. Meskipun menghadapi kritik atas ambiguitas dan keterbatasan normatifnya, mesotes tetap memiliki daya tarik filosofis sebagai model etika berbasis karakter yang adaptif terhadap dinamika kehidupan nyata.

Kata Kunci: Aristoteles, mesotes, etika kebajikan, keseimbangan moral, phronesis, karakter, eudaimonia, etika kontemporer.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Konsep Mesotes dalam Pemikiran Aristoteles


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah pemikiran filsafat Barat, Aristoteles menempati posisi sentral sebagai perumus sistematis etika berbasis kebajikan (virtue ethics) yang menekankan pentingnya pembentukan karakter dalam mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Salah satu kontribusi utama Aristoteles dalam bidang ini adalah konsep mesotes atau jalan tengah, yang ia jabarkan secara mendalam dalam karyanya Nicomachean Ethics. Konsep ini menyatakan bahwa kebajikan moral terletak di antara dua ekstrem: satu berupa kekurangan (deficiency) dan yang lain berupa kelebihan (excess) dari suatu sikap atau tindakan, dan kebajikan hanya tercapai melalui penilaian proporsional dan rasional terhadap kedua kutub tersebut.¹

Berbeda dari pendekatan etika normatif seperti deontologi Immanuel Kant yang berlandaskan pada kewajiban moral absolut, atau utilitarianisme John Stuart Mill yang menilai moralitas berdasarkan hasil terbesar bagi jumlah terbanyak, etika Aristoteles bersifat kontekstual dan berbasis karakter.² Mesotes bukanlah sekadar posisi tengah aritmetis, melainkan hasil dari penilaian rasional dalam situasi konkret oleh individu yang memiliki kebijaksanaan praktis (phronesis).³ Dengan demikian, konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan dan moderasi sebagai fondasi kebajikan yang otentik dan berkelanjutan.

Pentingnya pemahaman terhadap mesotes tidak hanya relevan dalam konteks filsafat klasik, tetapi juga dalam konteks etika kontemporer yang menghadapi tantangan ekstremisme moral, hedonisme pragmatis, dan kekosongan karakter dalam kehidupan sosial modern. Etika Aristoteles, khususnya doktrin jalan tengah, menyediakan kerangka berpikir etis yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pengembangan diri dalam komunitas.⁴ Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mengkaji secara komprehensif konsep mesotes sebagai dasar moralitas dalam pemikiran Aristoteles, dengan menelusuri akar filosofis, penerapan, serta relevansi dan tantangannya dalam dunia modern.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106a26–28.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 62–70.

[3]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 44–45.

[4]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 16–18.


2.           Dasar Filsafat Etika Aristoteles

Etika dalam pemikiran Aristoteles tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir kehidupan manusia, yaitu eudaimonia, yang sering diterjemahkan sebagai kebahagiaan, kebermaknaan, atau hidup yang baik.¹ Bagi Aristoteles, eudaimonia bukanlah sekadar kenikmatan sesaat atau pencapaian material, melainkan kondisi aktualisasi penuh dari potensi manusia sebagai makhluk rasional.² Dalam kerangka ini, etika bukanlah disiplin normatif yang memerintah secara absolut, melainkan ilmu praktis (praktikē epistēmē) yang membantu manusia membentuk kebiasaan dan karakter yang memungkinkannya menjalani hidup yang baik.

Secara metafisik, manusia dipahami Aristoteles sebagai makhluk yang memiliki bentuk (form) yang rasional dan tujuan (telos) yang melekat.³ Setiap tindakan manusia diarahkan menuju suatu kebaikan, dan kebaikan tertinggi adalah eudaimonia itu sendiri. Namun, untuk mencapai eudaimonia, manusia harus mengembangkan aretē (kebajikan atau keunggulan moral) melalui praktik kebiasaan yang rasional.⁴ Kebajikan ini, menurut Aristoteles, merupakan keadaan jiwa yang berkaitan dengan pilihan, dan berada dalam jalan tengah (mesotes) antara dua ekstrem yang saling bertolak belakang: kelebihan dan kekurangan.⁵

Selain itu, Aristoteles membedakan antara kebajikan intelektual (dianoētikē aretē) dan kebajikan moral (ēthikē aretē). Kebajikan intelektual, seperti sophia (kebijaksanaan teoritis) dan phronesis (kebijaksanaan praktis), diperoleh melalui pengajaran, sementara kebajikan moral berkembang melalui kebiasaan (ethos).⁶ Phronesis, dalam hal ini, memainkan peran penting dalam menilai dan menentukan tindakan yang tepat, termasuk mengenali mesotes dalam konteks konkret.⁷

Keseimbangan antara teori dan praktik menjadi ciri khas dari etika Aristoteles. Ia menolak pandangan yang menjadikan etika sebagai sekadar kumpulan perintah atau larangan, sebagaimana juga menolak pendekatan relativistik yang mengabaikan rasionalitas dalam penilaian moral. Etika, dalam pandangannya, adalah sarana untuk membimbing manusia hidup secara baik dalam komunitas politik (polis) dengan mengembangkan karakter yang harmonis antara hasrat dan akal.⁸ Dengan kata lain, etika bukan sekadar pembahasan tentang tindakan yang benar atau salah, tetapi tentang menjadi manusia yang baik secara utuh.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097a15–20.

[2]                Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton: Princeton University Press, 1989), 13–17.

[3]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 59–61.

[4]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 33–35.

[5]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106b36–1107a2.

[6]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 64–66.

[7]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 58–60.

[8]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 149–152.


3.           Definisi dan Prinsip Konsep Mesotes (Jalan Tengah)

Konsep mesotes (μέσος: tengah) merupakan jantung dari etika kebajikan Aristoteles, dan ia mengartikulasikannya sebagai prinsip moral bahwa kebajikan adalah suatu keadaan jiwa yang terletak di antara dua ekstrem: satu berupa kelebihan (excess) dan satu lagi berupa kekurangan (deficiency).¹ Mesotes bukan sekadar “titik tengah matematis”, melainkan suatu “tengah relatif” yang ditentukan oleh nalar dan konteks individu. Aristoteles menyatakan bahwa “kebajikan adalah suatu keadaan yang memilih, berada dalam jalan tengah yang ditentukan oleh rasio, yaitu sebagaimana orang bijak akan menentukannya.”²

Sebagai contoh, keberanian adalah kebajikan yang terletak di antara ketakutan yang berlebihan (pengecut) dan keberanian yang berlebihan (nekat atau sembrono).³ Demikian pula, kemurahan hati berada di antara kikir dan boros; temperansi berada di antara pantang total dan kerakusan. Dengan demikian, mesotes menekankan pentingnya pengendalian diri, kepekaan terhadap situasi, serta penilaian yang bijaksana dalam bertindak.

Penting untuk dicatat bahwa mesotes tidak bersifat absolut atau seragam bagi setiap orang. Aristoteles menjelaskan bahwa apa yang merupakan jalan tengah bagi satu orang belum tentu berlaku bagi orang lain.⁴ Misalnya, jumlah makanan yang tepat bagi seorang atlet mungkin terlalu banyak bagi seorang pelajar biasa. Maka, mesotes bersifat kontekstual dan bergantung pada phronesis (kebijaksanaan praktis), yang mampu menilai situasi konkret berdasarkan pengalaman, nalar, dan tujuan etis.

Selain itu, Aristoteles membedakan antara tindakan dan perasaan. Ia menyatakan bahwa kita bisa merasa marah, takut, atau senang pada waktu dan kadar yang tepat, terhadap objek yang tepat, dan dengan cara yang tepat—itulah bentuk kebajikan.⁵ Dalam hal ini, mesotes tidak menghapus emosi, tetapi mengarahkan emosi agar selaras dengan akal dan kebajikan.

Konsep ini mencerminkan pandangan Aristoteles bahwa etika adalah seni hidup, bukan sekadar penghindaran kesalahan. Ia tidak mengajarkan kepatuhan terhadap aturan eksternal, tetapi pengembangan karakter internal yang mampu memilih secara tepat dalam situasi konkret. Oleh karena itu, mesotes bukanlah titik kompromi pasif, melainkan realisasi aktif dari rasionalitas manusia dalam mengarahkan kehidupannya menuju eudaimonia.


Footnotes

[1]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 46.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106b36–1107a2.

[3]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 66–67.

[4]                Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton: Princeton University Press, 1989), 104–106.

[5]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106b20–25.


4.           Aplikasi Mesotes dalam Kebajikan Moral

Konsep mesotes dalam pemikiran Aristoteles tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang luas dalam pembentukan karakter dan penilaian tindakan moral. Aristoteles meyakini bahwa kebajikan moral (ēthikē aretē) hanya dapat tercapai melalui pembiasaan dalam bertindak secara seimbang, dengan menemukan mesotes yang sesuai antara dua ekstrem.¹ Dalam hal ini, mesotes menjadi prinsip pembimbing dalam mengejawantahkan etika sebagai praktik kehidupan sehari-hari, bukan sekadar refleksi teoretis.

Contoh-contoh kebajikan dalam Nicomachean Ethics menunjukkan penerapan konkret prinsip jalan tengah. Keberanian (andreia), misalnya, diposisikan di antara pengecut (deilia) yang terlalu takut dan kenekatan (thrasos) yang terlalu sembrono.² Individu yang berani mampu merespons situasi berbahaya dengan takaran ketakutan dan keyakinan yang seimbang. Demikian pula, kemurahan hati (eleutheriotēs) adalah kebajikan yang berada antara kekikiran dan pemborosan, dan hanya dapat terbentuk melalui praktik pemberian yang rasional, proporsional, dan tepat sasaran.³

Kebajikan lainnya seperti temperance (sōphrosynē), atau pengendalian diri, juga merepresentasikan prinsip mesotes. Ia terletak di antara pantangan total (asketisme yang berlebihan) dan kerakusan (pemanjaan berlebihan terhadap kenikmatan fisik). Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan seperti ini tidak dimiliki sejak lahir, melainkan dibentuk melalui kebiasaan (ethos), yang dalam jangka panjang mengarah pada integritas moral yang stabil.⁴

Penting untuk dicatat bahwa mesotes tidak bersifat aritmetis, tetapi ditentukan oleh penilaian akal budi praktis (phronesis), yang mampu memahami kadar tindakan dan perasaan yang sesuai dalam situasi tertentu.⁵ Artinya, seseorang tidak dapat bertindak bajik hanya dengan mengikuti aturan umum, melainkan harus memiliki disposisi karakter dan penilaian rasional terhadap konteks. Sebagai contoh, rasa marah dapat menjadi tepat dalam situasi tertentu, dan kebajikan terletak pada kemampuan merespons kemarahan itu dengan intensitas dan waktu yang benar.⁶

Aristoteles juga menyadari bahwa tidak semua tindakan memiliki mesotes. Tindakan seperti pembunuhan, perzinaan, atau pencurian dianggap secara inheren buruk dan tidak memiliki bentuk kebajikan melalui moderasi.⁷ Ini menunjukkan bahwa mesotes hanya berlaku dalam ranah tindakan dan emosi yang memungkinkan adanya kelebihan dan kekurangan, bukan dalam kejahatan yang secara intrinsik salah.

Aplikasi mesotes dalam kebajikan moral menegaskan bahwa etika Aristoteles bertumpu pada keseimbangan, kepekaan moral, dan kemampuan rasional untuk bertindak proporsional. Dalam konteks ini, moralitas bukanlah penghindaran dari ekstrem semata, melainkan usaha aktif membentuk karakter yang harmonis melalui kebiasaan bertindak bijaksana. Kebajikan menjadi semacam “keahlian moral” yang dibentuk oleh latihan dan pembiasaan, sebagaimana seorang musisi menjadi terampil melalui praktik berulang yang tepat.⁸


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a14–26.

[2]                Ibid., 1107a30–b5.

[3]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 73–75.

[4]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 77–80.

[5]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140b5–21.

[6]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 58–61.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1107a10–15.

[8]                Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton: Princeton University Press, 1989), 112–114.


5.           Jalan Tengah dan Dimensi Individual-Kontekstual

Salah satu aspek paling khas dari konsep mesotes dalam etika Aristoteles adalah sifatnya yang tidak mutlak dan seragam, melainkan relatif terhadap individu dan konteks situasional. Aristoteles secara eksplisit menyatakan bahwa “jalan tengah” dalam kebajikan moral bukanlah titik tetap yang berlaku universal, tetapi bergantung pada orang yang bertindak, situasi konkret, dan tujuan moral yang ingin dicapai.¹ Artinya, kebajikan sebagai jalan tengah tidak ditentukan oleh ukuran matematis, tetapi oleh penilaian rasional dari seorang individu yang memiliki phronesis (kebijaksanaan praktis).

Sebagai contoh, porsi makanan yang sesuai untuk seorang atlet profesional tentu berbeda dari yang dibutuhkan oleh anak-anak atau orang sakit. Maka, keberanian, kemurahan hati, atau temperansi memiliki “jalan tengah” yang tidak identik bagi setiap orang, melainkan bervariasi tergantung pada kapasitas, peran sosial, dan situasi personalnya.² Ini menjadikan mesotes sebagai konsep etika yang fleksibel namun tetap rasional, tidak terjebak dalam absolutisme normatif maupun relativisme etis yang tanpa batas.

Phronesis, atau kebijaksanaan praktis, memainkan peran sentral dalam menentukan jalan tengah tersebut. Ia bukan sekadar kemampuan intelektual, melainkan keterampilan moral yang terlatih melalui pengalaman, refleksi, dan kepekaan terhadap berbagai nuansa kehidupan nyata.³ Dengan phronesis, seseorang dapat memahami apa yang pantas, kapan, untuk siapa, dan dalam batas sejauh mana suatu tindakan harus dilakukan agar menjadi bajik.⁴ Oleh karena itu, mesotes bukanlah kompromi pasif, tetapi hasil dari deliberasi aktif dan rasional yang disesuaikan dengan kondisi subjek dan objek tindakan.

Lebih jauh, Aristoteles juga mengakui bahwa konteks sosial-politik dapat memengaruhi bagaimana mesotes ditentukan. Dalam polis (komunitas politik), individu tidak hidup terisolasi, melainkan berinteraksi dalam jaringan norma, nilai, dan harapan kolektif.⁵ Maka, keberanian seorang prajurit dalam pertempuran, kemurahan hati seorang dermawan dalam festival publik, atau pengendalian diri seorang pemimpin dalam menghadapi konflik, semuanya menuntut pertimbangan yang berbeda sesuai dengan peran dan ekspektasi sosial mereka.⁶

Dimensi individual dan kontekstual ini menjadikan etika Aristoteles sangat relevan untuk dunia modern, di mana kompleksitas moral sering kali tidak bisa disederhanakan ke dalam aturan baku. Dalam menghadapi pluralitas nilai, dinamika sosial, dan keragaman karakter manusia, pendekatan mesotes menawarkan suatu model etika yang adaptif, realistis, dan berpusat pada kebajikan karakter, bukan sekadar ketaatan terhadap norma eksternal.⁷

Dengan demikian, mesotes bukan hanya prinsip keseimbangan universal, melainkan juga cermin dari kepekaan etis yang konkret dan manusiawi. Ia mengajarkan bahwa menjadi bajik bukanlah tentang mengikuti satu ukuran moral untuk semua, tetapi tentang mengembangkan kemampuan menilai dengan bijak apa yang baik dalam situasi dan bagi orang tertentu, demi tercapainya eudaimonia yang otentik.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106a26–28.

[2]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 69–71.

[3]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 134–137.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140b20–1141a8.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 146–148.

[6]                Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton: Princeton University Press, 1989), 119–121.

[7]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 83–85.


6.           Perbandingan dengan Pandangan Etika Lain

Konsep mesotes dalam etika Aristoteles menempati posisi unik dalam tradisi filsafat moral, khususnya ketika dibandingkan dengan dua pendekatan dominan dalam etika normatif modern: deontologi dan utilitarianisme. Perbedaan mendasar terletak pada orientasi dasar masing-masing sistem: jika virtue ethics Aristoteles berfokus pada pembentukan karakter moral, maka deontologi berfokus pada kewajiban moral universal, dan utilitarianisme menekankan pada konsekuensi tindakan.

Dalam deontologi, seperti yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, tindakan dinilai benar atau salah berdasarkan kepatuhan terhadap prinsip moral yang bersifat absolut dan universal. Prinsip categorical imperative menuntut bahwa seseorang hanya boleh bertindak menurut maksim yang dapat dijadikan hukum universal, tanpa memperhatikan emosi atau hasil akhir.¹ Dalam konteks ini, emosi dan disposisi pribadi dianggap tidak relevan atau bahkan distraktif dari penilaian moral yang sejati. Hal ini kontras tajam dengan mesotes Aristoteles, yang justru menilai kebajikan berdasarkan keseimbangan emosional dan penilaian kontekstual, serta pentingnya phronesis sebagai akal praktis yang berkembang dari pengalaman.²

Sementara itu, utilitarianisme—sebagaimana dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill—menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan sejauh mana tindakan tersebut menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.³ Pendekatan ini berorientasi pada hasil atau konsekuensi (consequentialism), bukan pada karakter atau maksud. Dalam hal ini, tindakan dinilai baik apabila berdampak positif secara kuantitatif. Berbeda dengan itu, mesotes tidak berfokus pada hasil akhir eksternal, melainkan pada kualitas internal pelaku moral dan keseimbangan batiniah dalam bertindak.⁴ Kebajikan adalah keadaan jiwa yang stabil, bukan sarana mencapai kepuasan kolektif.

Dalam hal pembentukan moralitas, pendekatan Aristoteles lebih menyerupai model pendidikan karakter yang bertahap, kontekstual, dan berbasis pada pengembangan kebiasaan.⁵ Tidak seperti deontologi yang sering diasosiasikan dengan moralitas kaku dan formal, serta utilitarianisme yang rentan terhadap manipulasi konsekuensi, etika Aristoteles memberikan ruang bagi pertumbuhan etis individu secara holistik. Ia menempatkan manusia sebagai agen moral yang hidup dalam dunia nyata dengan keragaman situasi dan emosi, bukan sebagai entitas rasional murni atau kalkulator kebahagiaan.

Selain itu, mesotes juga memiliki kemiripan konseptual dengan etika Konfusianisme, terutama dalam ajaran tentang "jalan tengah" (zhong yong).⁶ Dalam filsafat Tiongkok kuno, jalan tengah juga dianggap sebagai ekspresi kebajikan moral dan harmoni batin, yang hanya dapat dicapai oleh orang bijak yang memadukan emosi dan nalar secara selaras. Namun, perbedaan terletak pada sistematika dan pendekatan filosofis: Aristoteles menekankan kerangka logis dan teleologis, sedangkan Konfusianisme lebih bersifat normatif-kultural dan berbasis pada relasi sosial.⁷

Dengan demikian, mesotes menempati posisi penting dalam spektrum teori etika. Ia menawarkan alternatif yang berorientasi pada karakter, keseimbangan, dan kebijaksanaan praktis, sebagai respons terhadap absolutisme moral deontologi dan kalkulasi moral utilitarianisme. Pendekatan ini tidak hanya lebih manusiawi, tetapi juga lebih relevan dalam kehidupan etis yang kompleks dan beragam secara kontekstual.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–34.

[2]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 72–75.

[3]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 7–8.

[4]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 89–91.

[5]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 40–42.

[6]                Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: SUNY Press, 1989), 70–72.

[7]                Roger T. Ames and Henry Rosemont Jr., The Analects of Confucius: A Philosophical Translation (New York: Ballantine Books, 1998), xxviii–xxx.


7.           Kritik terhadap Konsep Mesotes

Meskipun konsep mesotes dalam etika Aristoteles telah memberikan kontribusi penting dalam pengembangan filsafat moral berbasis karakter, tidak sedikit kritik yang diarahkan padanya, baik dari sudut pandang teoretis maupun praktis. Kritik-kritik tersebut terutama menyasar pada aspek ambiguitas normatif, relativisme moral, dan kesulitan dalam penerapan konkret.

Pertama, kritik utama datang dari kalangan yang menilai bahwa mesotes terlalu vague (kabur) dan tidak memberikan pedoman moral yang operasional. Karena mesotes bersifat relatif terhadap individu dan konteks, maka tidak ada ukuran pasti yang dapat dijadikan tolok ukur universal. Dalam praktiknya, seseorang bisa saja menyalahgunakan fleksibilitas ini untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya tidak bermoral, selama ia mengklaim bahwa tindakannya berada dalam “jalan tengah.”¹ Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi mesotes melahirkan relativisme etis yang sulit dipertanggungjawabkan secara objektif.

Kedua, beberapa filsuf modern mengkritik mesotes karena kurang memberikan perhatian pada keadilan struktural dan kondisi sosial yang lebih luas. Alasdair MacIntyre, misalnya, menyatakan bahwa kebajikan tidak dapat dipahami secara memadai tanpa memperhitungkan tradisi dan institusi sosial-politik yang menopangnya.² Dalam masyarakat yang tidak adil, apa yang dianggap sebagai “tengah” bisa jadi merupakan hasil kompromi yang disfungsional, bukan keseimbangan moral sejati. Ini menunjukkan bahwa mesotes perlu ditopang oleh sistem nilai dan struktur sosial yang etis agar tidak kehilangan arah.

Ketiga, mesotes dinilai tidak memadai dalam menjelaskan kebajikan tertentu yang bersifat absolut, seperti kejujuran, keadilan, atau kasih sayang. Sebagai contoh, Aristoteles sendiri menyatakan bahwa tindakan seperti pembunuhan atau perzinahan tidak memiliki jalan tengah yang bajik.³ Hal ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam penerapan prinsip mesotes—tidak semua kebajikan dapat dijelaskan melalui kerangka keseimbangan.⁴ Dalam beberapa kasus, nilai moral menuntut komitmen total atau keberpihakan yang jelas, bukan moderasi.

Selain itu, dari perspektif psikologi moral kontemporer, muncul argumen bahwa manusia sering kali tidak mampu secara rasional mengevaluasi tindakan mereka sendiri secara objektif. Kecenderungan kognitif, bias konfirmasi, dan dorongan emosional sering kali mempengaruhi penilaian moral seseorang.⁵ Dengan demikian, mengandalkan phronesis sebagai penentu mesotes menjadi problematik jika individu tidak memiliki kapasitas reflektif dan lingkungan moral yang mendukung.

Namun demikian, sebagian filsuf membela mesotes dengan menekankan bahwa ketidakpastian tersebut justru mencerminkan realitas moral yang kompleks dan tidak reduktif. Etika Aristoteles bukanlah sistem algoritmik, melainkan seni hidup (techne tou biou) yang mengandaikan latihan, sensitivitas moral, dan kedewasaan praktis.⁶ Maka, kekaburan dalam mesotes bukan kelemahan, melainkan konsekuensi dari pendekatan yang menghormati kompleksitas kehidupan etis.

Dengan demikian, kritik terhadap konsep mesotes tidak serta-merta meniadakan nilainya, tetapi justru mengundang refleksi kritis terhadap batas-batas penerapan dan kebutuhan akan integrasi dengan kerangka etis dan sosial yang lebih luas. Konsep ini tetap bernilai sebagai model pembentukan karakter yang realistis dan kontekstual, namun memerlukan pembacaan kritis dan penerapan yang bijaksana dalam dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 89–90.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 222–225.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1107a10–15.

[4]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 92–94.

[5]                Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 49–51.

[6]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 136–139.


8.           Relevansi Mesotes dalam Etika Kontemporer

Meskipun berasal dari konteks filsafat Yunani Kuno, konsep mesotes dalam etika Aristoteles tetap menunjukkan relevansi yang kuat dalam lanskap etika kontemporer, terutama dalam menjawab kompleksitas moral yang tidak dapat disederhanakan menjadi aturan absolut atau kalkulasi konsekuensi semata. Etika Aristoteles, dengan penekanannya pada karakter, keseimbangan, dan kebijaksanaan praktis, menghadirkan pendekatan yang manusiawi dan adaptif dalam menghadapi dilema moral zaman modern.

Pertama, dalam era pluralisme moral, di mana sistem nilai yang berbeda saling berinteraksi dan bahkan berbenturan, mesotes menawarkan kerangka yang tidak dogmatis namun tetap berprinsip. Berbeda dari pendekatan legalistik atau utilitarian yang cenderung monolitik, mesotes mendorong pelaku moral untuk mencari jalan kebajikan melalui penilaian kontekstual dan deliberatif.¹ Hal ini menjadi penting dalam dunia global yang menuntut toleransi, dialog, dan sikap moderat dalam menghadapi perbedaan.

Kedua, dalam ranah etika profesional dan kepemimpinan, konsep mesotes dapat diintegrasikan sebagai prinsip pembimbing dalam pengambilan keputusan yang adil dan proporsional. Seorang pemimpin, misalnya, dituntut untuk bersikap tegas tanpa menjadi otoriter, atau bersikap empatik tanpa kehilangan objektivitas.² Pendekatan ini mencerminkan praktik mesotes, di mana kebajikan muncul dari kemampuan untuk menyeimbangkan ekstrem dalam situasi yang penuh tekanan. Oleh karena itu, mesotes menjadi model etika praktis yang sangat aplikatif dalam pengembangan integritas dan kepemimpinan etis.

Ketiga, dalam bidang pendidikan karakter dan pengembangan moral, pendekatan Aristoteles mendapat perhatian besar dari para pendidik kontemporer.³ Alih-alih hanya menanamkan aturan atau nilai secara verbal, pendidikan kebajikan ala Aristoteles menekankan pembentukan kebiasaan baik (habit formation) dan latihan penilaian moral melalui pengalaman konkret. Mesotes berfungsi sebagai panduan dalam membimbing siswa agar tidak hanya menghindari perilaku ekstrem, tetapi juga menumbuhkan kepekaan terhadap tindakan yang tepat dalam berbagai situasi kehidupan nyata.⁴

Keempat, dalam kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis, prinsip keseimbangan moral Aristoteles dapat dimaknai ulang sebagai bentuk stabilitas batin yang sehat. Dalam dunia yang sarat tekanan dan ekspektasi berlebih, mesotes mengajarkan bahwa keutamaan bukanlah hasil dari ekstremisme prestasi atau penghindaran total, tetapi hasil dari harmoni antara keinginan, akal, dan tindakan.⁵ Gagasan ini sejajar dengan pendekatan kontemporer dalam psikologi positif yang menekankan pentingnya kebajikan, moderasi, dan keseimbangan emosional.

Akhirnya, dalam menghadapi tantangan etika teknologi dan media digital, mesotes menyediakan cara berpikir yang bijaksana dan reflektif. Di tengah budaya hiperaktif dan konsumsi informasi tanpa batas, kebajikan seperti temperance (pengendalian diri) dan truthfulness (kejujuran) perlu dipraktikkan dengan takaran yang tepat.⁶ Aristoteles mengajarkan bahwa teknologi bukanlah masalah itu sendiri, tetapi bagaimana manusia menggunakannya secara moderat dan bertanggung jawab adalah yang menentukan nilai moral dari tindakannya.

Dengan demikian, mesotes tetap menjadi konsep yang signifikan dalam membangun etika yang relevan dengan realitas kontemporer. Ia menawarkan landasan moral yang tidak kaku, tetapi tetap mengakar pada kualitas manusiawi: kehati-hatian, keharmonisan, dan kebijaksanaan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural, kebajikan sebagai jalan tengah menjadi jembatan antara nilai tradisional dan tantangan modern.


Footnotes

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 101–103.

[2]                Lynn Sharp Paine, Value Shift: Why Companies Must Merge Social and Financial Imperatives to Achieve Superior Performance (New York: McGraw-Hill, 2003), 78–81.

[3]                Kristján Kristjánsson, Aristotle, Emotions, and Education (Aldershot: Ashgate, 2007), 55–58.

[4]                James Arthur et al., Teaching Character and Virtue in Schools (London: Routledge, 2017), 22–25.

[5]                Martin Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being (New York: Free Press, 2011), 31–34.

[6]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016), 94–96.


9.           Penutup

Konsep mesotes dalam pemikiran etika Aristoteles bukan hanya warisan filsafat klasik, tetapi juga tetap relevan sebagai paradigma moral yang menekankan keseimbangan, kebijaksanaan praktis, dan pembentukan karakter. Di tengah kecenderungan etika kontemporer yang sering kali terjebak dalam ekstremitas—baik dalam bentuk absolutisme normatif maupun relativisme nilai—mesotes menawarkan pendekatan yang moderat namun mendalam. Ia mengajarkan bahwa kebajikan bukanlah hasil dari kepatuhan pada hukum eksternal atau kalkulasi rasional semata, melainkan dari integrasi antara nalar, emosi, dan pengalaman konkret dalam kehidupan manusia.¹

Dalam sistem etika Aristoteles, mesotes tidak berdiri sendiri, tetapi berkelindan erat dengan konsep eudaimonia (kebahagiaan sejati), aretē (kebajikan), dan phronesis (kebijaksanaan praktis). Pendekatan ini menjadikan etika sebagai seni hidup yang bersifat kontekstual dan personal, namun tetap mengakar pada prinsip rasionalitas dan kebaikan umum.² Dengan demikian, moralitas bukan dipahami sebagai penghindaran terhadap dosa atau pencapaian tujuan eksternal, melainkan sebagai proses pembentukan diri menjadi manusia yang utuh, seimbang, dan bertanggung jawab secara etis.

Meskipun tidak lepas dari kritik, khususnya berkaitan dengan relativisme, ambiguitas normatif, dan keterbatasan dalam menangani isu-isu struktural, mesotes tetap memiliki keunggulan sebagai kerangka etika berbasis karakter. Ia menghindari reduksionisme moral dan membuka ruang bagi deliberasi moral yang rasional dan reflektif.³ Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, pendekatan ini menjadi sangat berharga dalam membentuk pribadi-pribadi yang matang secara moral dan mampu menavigasi dilema etis dengan kearifan.

Lebih dari itu, mesotes juga dapat diadaptasi secara lintas konteks: dalam pendidikan karakter, kepemimpinan etis, kesehatan mental, hingga penggunaan teknologi.⁴ Konsep jalan tengah ini menekankan pentingnya menghindari ekstremisme dalam segala bentuknya, dan mengajak individu untuk menumbuhkan kebajikan melalui pembiasaan, pemikiran jernih, serta kepekaan terhadap situasi. Dalam kerangka inilah, etika Aristoteles menemukan kembali urgensinya di zaman modern.

Dengan menelaah konsep mesotes, kita tidak hanya menyelami warisan intelektual Aristoteles, tetapi juga membangun jembatan antara etika kuno dan tantangan moral kontemporer. Jalan tengah bukanlah kompromi yang lemah, melainkan wujud kekuatan moral yang lahir dari pengendalian diri, pengetahuan diri, dan pengabdian pada kebaikan.⁵ Sebagaimana ditegaskan Aristoteles sendiri, kebajikan adalah habit of choosing, dan pilihan terbaik selalu ada di antara dua ekstrem, ditentukan oleh akal budi yang terlatih.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106a26–1107a2.

[2]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 92–94.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 225–227.

[4]                Kristján Kristjánsson, Aristotle, Emotions, and Education (Aldershot: Ashgate, 2007), 115–118.

[5]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 112–113.


Daftar Pustaka

Ames, R. T., & Rosemont, H., Jr. (1998). The Analects of Confucius: A philosophical translation. Ballantine Books.

Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford University Press.

Arthur, J., et al. (2017). Teaching character and virtue in schools. Routledge.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Broadie, S. (1991). Ethics with Aristotle. Oxford University Press.

Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. Pantheon Books.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kraut, R. (1989). Aristotle on the human good. Princeton University Press.

Kristjánsson, K. (2007). Aristotle, emotions, and education. Ashgate.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing.

Paine, L. S. (2003). Value shift: Why companies must merge social and financial imperatives to achieve superior performance. McGraw-Hill.

Seligman, M. (2011). Flourish: A visionary new understanding of happiness and well-being. Free Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Weiming, T. (1989). Centrality and commonality: An essay on Confucian religiousness. SUNY Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar