Selasa, 29 April 2025

Strukturalisme: Menelusuri Struktur Realitas dalam Wacana Modern

Strukturalisme

Menelusuri Struktur Realitas dalam Wacana Modern


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini membahas kontribusi strukturalisme dalam filsafat ontologi, dengan menekankan bagaimana pendekatan ini menggeser pemahaman realitas dari paradigma esensialis menuju relasional. Strukturalisme, yang berakar dari linguistik struktural Saussure dan dikembangkan dalam bidang antropologi, psikoanalisis, serta teori sosial oleh tokoh-tokoh seperti Claude Lévi-Strauss, Louis Althusser, Roland Barthes, Jacques Lacan, dan Michel Foucault, memahami realitas sebagai sistem hubungan diferensial yang tidak tergantung pada entitas tetap. Ontologi struktural menolak gagasan substansi dan menempatkan struktur sebagai kategori utama yang membentuk eksistensi dan makna. Artikel ini juga mengulas transisi menuju poststrukturalisme, yang merevisi dan memperluas horizon ontologis strukturalisme dengan pendekatan dekonstruktif, serta mengeksplorasi penerapan ontologi struktural dalam disiplin ilmu sosial dan humaniora. Dengan pendekatan multidisipliner dan analisis komprehensif, artikel ini menunjukkan relevansi strukturalisme dalam menjawab tantangan filsafat kontemporer terkait konstruksi realitas, subjek, dan makna.

Kata Kunci: Strukturalisme; Ontologi; Struktur; Relasi; Diferensial; Poststrukturalisme; Realitas; Humaniora; Ilmu Sosial.


PEMBAHASAN

Strukturalisme dalam Filsafat Ontologi


1.           Pendahuluan

Strukturalisme merupakan salah satu pendekatan intelektual paling berpengaruh dalam pemikiran abad ke-20 yang mengusulkan bahwa realitas tidak dipahami melalui esensi atau substansi, melainkan melalui sistem hubungan dan struktur yang membentuknya. Dalam konteks filsafat ontologi, strukturalisme menawarkan alternatif terhadap tradisi metafisika klasik yang menekankan pada entitas tetap dan substansial. Sebaliknya, strukturalisme menekankan bahwa realitas tersusun atas jaringan diferensial yang membentuk makna secara relasional, bukan berdasarkan identitas atau kehadiran absolut.1

Akar strukturalisme dapat ditelusuri pada linguistik struktural Ferdinand de Saussure, yang menekankan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang maknanya dibentuk oleh perbedaan dalam struktur, bukan oleh hubungan langsung antara kata dan objek.2 Pendekatan ini kemudian diperluas ke dalam antropologi oleh Claude Lévi-Strauss, yang melihat bahwa mitos dan kebudayaan memiliki struktur laten yang serupa dengan bahasa.3 Ontologi struktural, dalam konteks ini, menggeser fokus dari pencarian “apa yang ada” secara substansial menjadi “bagaimana yang ada” itu dikonstruksi melalui sistem simbolik dan relasional.

Strukturalisme memengaruhi hampir seluruh cabang pemikiran humaniora dan ilmu sosial, termasuk sastra, filsafat, psikoanalisis, dan teori budaya. Dalam filsafat, pendekatan ini melahirkan pembacaan baru terhadap konsep-konsep fundamental seperti subjek, makna, dan realitas—mengaburkan batas antara struktur sebagai kerangka kognitif dan struktur sebagai ontologi dunia itu sendiri.4 Di tengah perdebatan antara esensialisme dan konstruktivisme, strukturalisme menempati posisi menengah yang menyarankan bahwa makna dan entitas tidak inheren pada objek, melainkan ditentukan oleh posisi dalam sistem struktural.

Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengeksplorasi kontribusi strukturalisme dalam wacana ontologis modern dengan menelusuri landasan filosofis, prinsip utama, tokoh sentral, serta kritik dan prospeknya. Pembahasan ini penting tidak hanya untuk memahami transformasi konsepsi tentang realitas, tetapi juga untuk merespons tantangan filsafat kontemporer dalam menghadapi kompleksitas dunia yang tidak lagi dapat dipahami melalui dikotomi klasik antara realitas dan representasi.


Footnotes

[1]                Peter Caws, Structuralism: The Art of the Intelligible (Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press, 1988), 15.

[2]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 67.

[3]                Claude Lévi-Strauss, The Raw and the Cooked: Introduction to a Science of Mythology (New York: Harper & Row, 1969), 5.

[4]                Jonathan Culler, Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1975), 3–7.


2.           Landasan Historis dan Epistemologis Strukturalisme

Strukturalisme sebagai pendekatan filosofis dan ilmiah lahir dari pergolakan intelektual abad ke-20 yang berupaya memahami struktur terdalam dari bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Secara historis, gerakan ini merupakan respons terhadap humanisme dan eksistensialisme, yang dianggap terlalu menekankan pada subjektivitas dan kesadaran individu. Sebaliknya, strukturalisme berusaha menemukan sistem-sistem objektif dan tidak disadari yang mengatur tindakan, pemikiran, dan makna dalam kehidupan manusia.1

Akar strukturalisme yang paling penting berasal dari linguistik struktural Ferdinand de Saussure, yang menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda (signs) yang terdiri atas hubungan arbitrer antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Makna suatu tanda tidak bersifat absolut, tetapi dibentuk oleh perbedaan dari tanda-tanda lain dalam sistem bahasa.2 Pemikiran Saussure menggeser fokus studi linguistik dari asal-usul historis kata menuju analisis sistemik terhadap hubungan internal antar unsur bahasa. Inilah yang menjadi fondasi epistemologis strukturalisme: pengetahuan tidak diperoleh dari pengalaman langsung terhadap realitas, tetapi dari sistem struktur yang membentuk makna.

Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip linguistik ini diadopsi oleh Claude Lévi-Strauss dalam bidang antropologi. Ia menyatakan bahwa mitos, adat istiadat, dan sistem kekerabatan dalam masyarakat tradisional bukanlah fenomena acak, melainkan memiliki struktur mendalam yang dapat dianalisis secara formal dan universal. Dengan menggunakan metode analisis struktural, Lévi-Strauss menunjukkan bahwa elemen budaya—layaknya bahasa—tersusun atas oposisi biner (binary oppositions) seperti alam-budaya, terang-gelap, dan hidup-mati, yang membentuk kerangka pemahaman kolektif masyarakat.3 Di sini, epistemologi strukturalisme menunjukkan orientasinya yang kuat terhadap pencarian pola invariant dalam keragaman fenomena budaya.

Strukturalisme juga dipengaruhi oleh pemikiran Émile Durkheim dan Marcel Mauss, yang meletakkan dasar-dasar bagi pemahaman kolektif dan representasi sosial sebagai entitas yang berdiri sendiri di luar individu.4 Pemikiran mereka berkontribusi pada keyakinan bahwa struktur sosial dan budaya memiliki realitas objektif yang dapat dipelajari melalui metode ilmiah, terlepas dari kesadaran individu terhadapnya.

Landasan epistemologis strukturalisme ditandai oleh tiga prinsip utama: (1) realitas dikonstruksi secara sistemik dan relasional, (2) subjek bukan pusat makna, melainkan efek dari struktur, dan (3) makna merupakan produk diferensial dari posisi suatu unsur dalam sistem.5 Pemikiran ini memiliki implikasi besar terhadap pemahaman ontologis, karena menyiratkan bahwa apa yang disebut “realitas” tidak berada di luar sistem representasi, tetapi dibentuk oleh struktur internal yang mengaturnya. Ontologi struktural dengan demikian bukanlah ontologi benda, melainkan ontologi relasi dan posisi.

Dengan latar historis dan kerangka epistemologis tersebut, strukturalisme menjadi kerangka berpikir kritis yang menjembatani antara pendekatan empiris dan filosofis dalam memahami realitas. Ia memperluas cakrawala ontologi dari entitas-esensial menuju sistem relasional, serta membuka jalan bagi wacana-wacana pascastrukturalis yang lebih pluralistik dan dekonstruktif.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, Structuralism, trans. Chaninah Maschler (New York: Basic Books, 1970), 3.

[2]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 114–115.

[3]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 208–210.

[4]                Marcel Mauss, The Gift: Forms and Functions of Exchange in Archaic Societies, trans. Ian Cunnison (London: Cohen & West, 1954), 79.

[5]                Jonathan D. Culler, Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1975), 14–18.


3.           Prinsip-Prinsip Ontologis dalam Strukturalisme

Strukturalisme tidak hanya menjadi kerangka metodologis dalam studi budaya, bahasa, dan masyarakat, tetapi juga menawarkan pandangan khas mengenai hakikat realitas (ontologi). Dalam filsafat ontologi, strukturalisme memunculkan pemahaman bahwa realitas bukanlah kumpulan entitas esensial atau substansi tetap, melainkan merupakan hasil dari jaringan hubungan dan sistem diferensial yang membentuk eksistensi dan makna.1 Dengan demikian, pendekatan strukturalis memposisikan struktur sebagai dimensi fundamental dari "yang ada" (being), dan bukan sekadar alat analisis atau sistem representasi.

3.1.       Realitas sebagai Struktur Relasional

Prinsip ontologis utama strukturalisme adalah bahwa entitas tidak memiliki makna atau eksistensi secara mandiri, tetapi hanya dapat dimengerti dalam relasi dengan unsur-unsur lain dalam suatu sistem. Dalam konteks ini, struktur dipahami sebagai tatanan hubungan yang bersifat formal dan tetap, yang mengatur posisi relatif dari elemen-elemen tertentu. Dengan mengadopsi pemikiran Ferdinand de Saussure, strukturalisme ontologis menyatakan bahwa nilai atau identitas suatu unsur bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari diferensinya terhadap unsur lain.2 Ontologi ini berpijak pada prinsip diferensial: yang ada ditentukan oleh posisi dalam jaringan makna, bukan oleh substansi internal.

3.2.       Anti-Essensialisme dan Penolakan terhadap Substansi Tetap

Strukturalisme menolak gagasan ontologi esensialis yang menganggap bahwa segala sesuatu memiliki inti atau hakikat tetap yang mendahului relasi dan representasi. Sebaliknya, strukturalisme menyatakan bahwa makna dan eksistensi tidak berasal dari substansi tetap, melainkan dari konfigurasi relasional yang terus berubah dalam sistem struktural.3 Dalam hal ini, ontologi struktural bersifat anti-substansialis: bukan “apa” yang menjadi pusat perhatian, tetapi “bagaimana” suatu entitas berada dan berfungsi dalam struktur. Oleh karena itu, struktur itu sendiri menjadi “yang ada” yang sejati, menggantikan konsep entitas otonom dalam filsafat klasik.

3.3.       Relasi Biner dan Mediasi Simbolik

Strukturalisme juga mengandalkan prinsip relasi biner sebagai mekanisme dasar penyusun struktur realitas. Oposisi biner seperti hidup-mati, atas-bawah, laki-perempuan, dan alam-budaya bukan hanya alat kategorisasi kognitif, tetapi juga menjadi pola dasar dari cara manusia mengorganisasi pengalaman dan mengonstruksi realitas simbolik.4 Ontologi struktural dengan demikian mencakup dimensi simbolik dan semiotik: realitas tidak dapat dipahami tanpa memahami sistem tanda dan simbol yang menengahi persepsi dan konsepsi manusia terhadap dunia.

3.4.       Ketersembunyian Struktur dan Absennya Subjek

Dalam strukturalisme, struktur dianggap mendasari realitas, namun tidak selalu tampak secara langsung. Struktur beroperasi di balik kesadaran, dan bahkan seringkali tidak disadari oleh agen atau subjek yang berada di dalamnya. Dalam arti ini, subjek manusia bukanlah pusat makna, melainkan efek dari operasi struktur. Pemikiran ini ditonjolkan oleh tokoh seperti Althusser dan Lacan, yang menyatakan bahwa subjek tidak “menciptakan” struktur, tetapi justru dikonstruksi olehnya.5 Ini memberikan arah ontologi yang bersifat desentris: yang utama bukan lagi subjek, melainkan medan relasional di mana subjek hanya menjadi simpul atau hasil.

3.5.       Strukturalisme sebagai Ontologi Formal

Akhirnya, strukturalisme dalam dimensi ontologisnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk “ontologi formal,” yakni suatu pendekatan yang memahami realitas melalui hukum-hukum hubungan dan posisi dalam sistem. Realitas, dalam pandangan ini, bukanlah dunia benda konkret semata, melainkan jaringan struktur abstrak yang mengatur dan memungkinkan eksistensi makna serta pengalaman manusia terhadapnya.6

Dengan kelima prinsip ini, strukturalisme menggeser pemahaman filosofis tentang realitas dari paradigma esensial-substansial ke paradigma relasional-formal. Strukturalisme tidak menolak keberadaan, tetapi mendefinisikan ulang bagaimana eksistensi dimungkinkan dan dikenali melalui struktur yang mendahului dan melampaui kesadaran manusia.


Footnotes

[1]                Gilles Deleuze, Difference and Repetition, trans. Paul Patton (New York: Columbia University Press, 1994), 55–57.

[2]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 117–118.

[3]                Peter Caws, Structuralism: The Art of the Intelligible (Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press, 1988), 98.

[4]                Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 132–135.

[5]                Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 127–128; Jacques Lacan, Écrits: A Selection, trans. Alan Sheridan (New York: Norton, 1977), 2.

[6]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 11–12.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral dan Kontribusi Ontologisnya

Perkembangan strukturalisme sebagai kerangka filosofis dan ilmiah tidak terlepas dari kontribusi sejumlah tokoh penting yang merumuskan dan memperluas prinsip-prinsip struktural ke berbagai bidang pengetahuan. Para tokoh ini tidak hanya memperkenalkan metode analisis baru, tetapi juga memberikan kontribusi mendalam terhadap pemahaman ontologis tentang realitas. Di antara mereka, Claude Lévi-Strauss, Louis Althusser, Roland Barthes, Michel Foucault, dan Jacques Lacan menonjol sebagai figur sentral dalam membentuk ontologi strukturalis yang transdisipliner.

4.1.       Claude Lévi-Strauss: Struktur Laten Budaya dan Ontologi Relasional

Sebagai antropolog struktural, Claude Lévi-Strauss merupakan figur utama dalam mengembangkan gagasan bahwa budaya manusia tersusun oleh struktur universal yang mendasari variasi permukaan dalam praktik sosial. Menurutnya, mitos, sistem kekerabatan, dan klasifikasi sosial menunjukkan adanya struktur laten yang tidak disadari oleh pelaku budaya, tetapi dapat diungkap melalui analisis oposisi biner.1 Struktur tersebut bukan hanya metode, melainkan juga bentuk keberadaan yang mengatur bagaimana kebudayaan hadir dalam dunia.2 Dengan demikian, kontribusi ontologis Lévi-Strauss terletak pada pemahamannya bahwa realitas budaya bersifat struktural dan sistemik, bukan individual atau kontingen.

4.2.       Louis Althusser: Struktur Sosial sebagai Realitas Material

Dalam bidang filsafat dan teori ideologi, Louis Althusser memberikan kontribusi penting dengan menggambarkan masyarakat sebagai formasi struktural yang kompleks, terdiri atas struktur ekonomi, politik, dan ideologis yang saling berinteraksi secara relatif otonom.3 Ia menolak humanisme esensialis dan menggantikannya dengan pandangan bahwa subjek adalah produk struktur ideologis. Ontologi dalam pemikiran Althusser bersifat “strukturis-materialis”, yakni struktur tidak hanya simbolik, tetapi memiliki realitas objektif dalam reproduksi sosial.4 Baginya, yang “ada” bukanlah individu yang bebas, melainkan posisi dalam formasi sosial yang dikonstruksi oleh struktur.

4.3.       Roland Barthes: Strukturalisme Semiologis dan Ontologi Tanda

Roland Barthes, dalam analisis semiotiknya, menegaskan bahwa dunia modern dipenuhi oleh sistem tanda yang membentuk makna dalam wacana populer, mitos, dan media massa. Dalam bukunya Mythologies, ia menunjukkan bahwa makna sosial tidak muncul secara alami, melainkan dibentuk oleh struktur semiotik yang bersifat arbitrer dan historis.5 Barthes melihat bahwa realitas itu sendiri menjadi efek dari struktur tanda yang bekerja dalam praktik diskursif. Maka, ontologi Barthes bersifat semiotik: realitas bukan apa yang ada secara langsung, melainkan apa yang dihasilkan melalui sistem representasi simbolik.

4.4.       Jacques Lacan: Struktur Bahasa dan Ontologi Subjek

Jacques Lacan memperkenalkan pendekatan psikoanalitik strukturalis dengan mengintegrasikan linguistik Saussure dan strukturalisme Lévi-Strauss ke dalam teori tentang struktur bawah sadar. Bagi Lacan, subjek tidak mendahului bahasa, melainkan dikonstruksi oleh struktur simbolik bahasa itu sendiri.6 Dalam kerangka ini, “aku” adalah posisi dalam jaringan tanda, dan bukan substansi esensial. Ontologi Lacanian dengan demikian menekankan bahwa realitas psikologis dan eksistensial tunduk pada hukum struktur simbolik yang tidak bisa diakses sepenuhnya oleh kesadaran.

4.5.       Michel Foucault: Episteme, Wacana, dan Realitas Sejarah

Meskipun sering dianggap sebagai poststrukturalis, Michel Foucault awalnya menggunakan kerangka strukturalis untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan dan kekuasaan membentuk realitas historis. Dalam The Order of Things, Foucault memperkenalkan konsep episteme sebagai struktur pengetahuan yang tidak hanya menentukan cara berpikir, tetapi juga cara "yang ada" dipahami dan diatur dalam setiap periode sejarah.7 Bagi Foucault, realitas tidak bersifat tetap, tetapi dikonstruksi oleh struktur wacana yang historis dan berlapis-lapis.


Footnotes

[1]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 210–212.

[2]                Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 16–19.

[3]                Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso, 2005), 92–94.

[4]                Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, in Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 127–186.

[5]                Roland Barthes, Mythologies, trans. Annette Lavers (New York: Hill and Wang, 1972), 110–112.

[6]                Jacques Lacan, Écrits: A Selection, trans. Alan Sheridan (New York: Norton, 1977), 28–30.

[7]                Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1994), xxii–xxiv.


5.           Strukturalisme dalam Perspektif Ontologi Kontemporer

Dalam wacana filsafat kontemporer, strukturalisme tetap memainkan peran signifikan sebagai fondasi ontologis yang menantang konsepsi realitas berbasis esensialisme dan substansialisme. Kendati banyak gagasan strukturalisme telah dikritik dan direvisi oleh aliran-aliran poststrukturalis, warisan ontologisnya masih sangat relevan, terutama dalam cara memahami realitas sebagai konstruksi sistemik dan relasional. Strukturalisme memperluas cakrawala ontologi dari entitas tetap menuju dinamika struktur dan posisi, menjadikan relasi sebagai kategori primer dalam pengadaaan (being).

5.1.       Reaktualisasi Prinsip Relasional dalam Kajian Ontologi

Ontologi strukturalisme menekankan bahwa keberadaan bukan ditentukan oleh esensi internal, melainkan oleh posisi dalam sistem relasional. Dalam filsafat kontemporer, prinsip ini diadopsi dan dikembangkan dalam berbagai bentuk “ontologi relasional”, yang menolak asumsi tentang identitas tetap dan menggantikannya dengan konsep posisi, relasi, dan jaringan.1 Dalam konteks ini, strukturalisme menyediakan bahasa dan kerangka konseptual untuk memahami eksistensi sebagai hasil dari konfigurasi diferensial, bukan entitas mandiri.

5.2.       Persinggungan dengan Realisme Kritis dan Neo-Materialisme

Meskipun strukturalisme awalnya dianggap sebagai pendekatan anti-realis, beberapa filsuf kontemporer mengintegrasikan aspek strukturalis dengan realisme kritis, seperti yang dilakukan oleh Roy Bhaskar dan Manuel DeLanda. Mereka memandang bahwa struktur sosial atau realitas material memiliki eksistensi objektif yang tidak sepenuhnya tergantung pada kesadaran manusia, seraya tetap mempertahankan sifat sistemik dan laten dari struktur tersebut.2 Dalam perspektif ini, strukturalisme dianggap sebagai mitra teoritis yang penting dalam memahami realitas sebagai lapisan-lapisan relasional yang kompleks.

5.3.       Dialog dengan Ontologi Pascastruktural dan Dekonstruktif

Meskipun poststrukturalisme sering dianggap sebagai penolakan terhadap strukturalisme, dalam kenyataannya banyak asumsi ontologis strukturalisme tetap dipertahankan dan dikembangkan. Jacques Derrida, misalnya, menyatakan bahwa tidak ada makna yang hadir secara utuh, tetapi selalu tertunda dalam jaringan diferensial—gagasan ini merupakan elaborasi radikal atas prinsip relasional strukturalisme.3 Dalam Of Grammatology, Derrida mendekonstruksi gagasan tentang pusat dalam struktur, tetapi tidak membatalkan struktur itu sendiri. Ontologi yang dihasilkan adalah ontologi ketaksadaran makna dan ketidakpastian realitas, tetapi tetap berada dalam kerangka struktural.

5.4.       Kontribusi terhadap Ontologi Media dan Teknologi

Dalam ranah studi media dan teknologi, strukturalisme memberikan dasar epistemologis dan ontologis untuk memahami bahwa realitas digital tidak lagi berbasis pada objek material semata, melainkan pada relasi dalam jaringan simbolik dan kode. Misalnya, Mark Poster dan Friedrich Kittler menunjukkan bahwa struktur komunikasi elektronik merekonstruksi subjektivitas manusia dan memodifikasi realitas sosial melalui mediasi teknologi.4 Dalam konteks ini, strukturalisme digunakan untuk merumuskan realitas bukan sebagai dunia fisik yang stabil, melainkan sebagai hasil interaksi sistemik antara pengguna, media, dan teknologi.

5.5.       Kekuatan dan Keterbatasan Ontologi Strukturalisme

Meskipun strukturalisme memberikan kerangka yang kuat untuk memahami realitas sebagai sistem relasional, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Di antaranya adalah tuduhan bahwa strukturalisme cenderung ahistoris, deterministik, dan terlalu mengabaikan peran agensi manusia.5 Kritik ini kemudian menjadi pintu masuk bagi pendekatan yang lebih dinamis dan terbuka dalam ontologi kontemporer, seperti teori kompleksitas, ontologi jaringan (network ontology), dan materialisme spekulatif.

Namun demikian, kekuatan strukturalisme terletak pada kemampuannya untuk menyingkap “struktur dari yang tersembunyi”, dan untuk menunjukkan bahwa eksistensi tidak pernah bersifat mandiri, melainkan selalu tersituasikan dalam relasi dan sistem. Oleh karena itu, strukturalisme tetap menjadi komponen penting dalam lanskap filsafat ontologi modern, meskipun sering tampil dalam bentuk yang telah direkonstruksi atau dikritisi.


Footnotes

[1]                Manuel DeLanda, A New Philosophy of Society: Assemblage Theory and Social Complexity (London: Continuum, 2006), 5–6.

[2]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 2008), xiii–xiv.

[3]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 156–159.

[4]                Mark Poster, The Second Media Age (Cambridge: Polity Press, 1995), 28; Friedrich Kittler, Gramophone, Film, Typewriter, trans. Geoffrey Winthrop-Young and Michael Wutz (Stanford: Stanford University Press, 1999), 1–3.

[5]                Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 111–112.


6.           Strukturalisme dan Transisi ke Poststrukturalisme

Strukturalisme telah menjadi fondasi penting dalam perkembangan teori kritis dan ontologi kontemporer, tetapi warisan ini tidak bertahan tanpa tantangan. Pada paruh kedua abad ke-20, muncul reaksi intelektual yang mempertanyakan asumsi-asumsi strukturalisme, terutama mengenai kestabilan struktur, universalitas sistem tanda, dan posisi subjek dalam struktur. Reaksi ini melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai poststrukturalisme—sebuah medan pemikiran yang secara kritis melampaui strukturalisme sambil tetap mewarisi beberapa prinsip dasarnya.1 Peralihan ini bukan merupakan penolakan total, melainkan transformasi paradigma yang memperkaya pemahaman ontologis tentang realitas, makna, dan eksistensi.

6.1.       Kritik terhadap Stabilitas Struktur

Salah satu kritik utama poststrukturalisme terhadap strukturalisme adalah keberatan terhadap klaim bahwa struktur memiliki kestabilan universal dan otonomi yang dapat dianalisis secara formal. Jacques Derrida, dalam karyanya Structure, Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences, menegaskan bahwa setiap struktur selalu memiliki "pusat" yang mengatur dan menstabilkannya, tetapi pusat ini bersifat paradoksal karena ia sekaligus bagian dari struktur dan berada di luar struktur.2 Derrida menyebut kondisi ini sebagai bricolage, yakni penggunaan elemen-elemen yang sudah ada untuk menyusun sistem baru, tanpa fondasi tetap. Dalam kerangka ini, struktur tidak pernah utuh dan selesai, melainkan terbuka terhadap permainan makna (play), yang menandai ketidaktentuan ontologis dalam setiap sistem pengetahuan.

6.2.       Perubahan dari Sistem Tertutup ke Jaringan Terbuka

Poststrukturalisme mengubah pandangan tentang struktur sebagai sistem tertutup menjadi jaringan terbuka yang cair dan selalu dalam proses transformasi. Michel Foucault, misalnya, menolak konsep struktur laten yang transhistoris. Sebagai gantinya, ia mengembangkan metode arkeologi dan genealogi untuk menganalisis diskursus-diskursus historis yang membentuk realitas sosial dan identitas manusia.3 Dalam karya seperti The Archaeology of Knowledge, Foucault menyatakan bahwa apa yang kita anggap sebagai “yang ada” sebenarnya merupakan produk dari kondisi diskursif tertentu yang bersifat kontingen, bukan hasil dari struktur universal.4

6.3.       Desentralisasi Subjek dan Dekonstruksi Makna

Strukturalisme sudah menantang peran subjek sebagai pencipta makna, tetapi poststrukturalisme melangkah lebih jauh dengan mendekonstruksi konsep subjek itu sendiri. Lacan telah menyatakan bahwa subjek adalah efek dari struktur bahasa,5 tetapi Derrida menunjukkan bahwa bahasa itu sendiri tidak memiliki pusat, dan oleh karenanya subjek pun kehilangan fondasi tetap. Hal ini mengakibatkan ontologi yang semakin tak stabil, di mana eksistensi manusia tidak bisa dikaitkan dengan kehadiran langsung (presence), tetapi dengan penundaan (différance) dan ketaksadaran makna.6

6.4.       Ontologi Diferensial dan Ketaksadaran Struktural

Dalam ontologi poststrukturalis, makna dan keberadaan tidak bersifat tetap atau koheren, melainkan merupakan hasil dari proses diferensial tanpa titik akhir. Différance, istilah kunci Derrida, menggambarkan proses di mana makna selalu ditunda dan dibedakan, sehingga tidak pernah sepenuhnya hadir dalam satu bentuk final.7 Ini berdampak pada pemahaman ontologis yang non-metafisis, yaitu realitas tidak lagi dianggap sebagai totalitas terstruktur, melainkan sebagai medan permainan tanda yang tak selesai, yang ditandai oleh perbedaan, ketidakhadiran, dan ketidakstabilan.

6.5.       Warisan dan Relevansi Strukturalisme dalam Poststrukturalisme

Meskipun poststrukturalisme sering dianggap sebagai antitesis terhadap strukturalisme, banyak pemikir poststrukturalis tetap bergantung pada perangkat analisis struktural untuk membongkar wacana, ideologi, dan sistem pengetahuan. Dengan kata lain, strukturalisme menyediakan “mesin analisis” yang diambil alih, dibongkar, dan dimodifikasi oleh pemikir poststrukturalis untuk tujuan yang lebih pluralistik, kontingensial, dan subversif.8 Oleh karena itu, transisi dari strukturalisme ke poststrukturalisme bukanlah diskontinuitas mutlak, tetapi transformasi dialektis dalam memahami struktur, subjek, dan eksistensi.


Footnotes

[1]                Catherine Belsey, Poststructuralism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 3–5.

[2]                Jacques Derrida, “Structure, Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences,” in Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.

[3]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 3–17.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23.

[5]                Jacques Lacan, Écrits: A Selection, trans. Alan Sheridan (New York: Norton, 1977), 68.

[6]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 61–65.

[7]                Ibid., 62.

[8]                Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 86–89.


7.           Aplikasi Ontologi Struktural dalam Ilmu Sosial dan Humaniora

Strukturalisme tidak hanya membentuk fondasi teori dalam linguistik dan filsafat, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan dalam ilmu sosial dan humaniora melalui penerapan prinsip ontologisnya. Pendekatan ini memungkinkan para ilmuwan untuk memahami bahwa realitas sosial, budaya, dan simbolik tidak bersifat objektif dan mandiri, melainkan dikonstruksi oleh sistem relasional yang tak kasatmata, yang mengatur makna dan keberadaan secara laten. Dengan demikian, strukturalisme menawarkan paradigma analisis yang melihat realitas sebagai jaringan posisi dalam sistem, bukan sebagai kumpulan entitas yang berdiri sendiri.

7.1.       Antropologi Struktural: Membaca Budaya sebagai Sistem Tanda

Dalam antropologi, Claude Lévi-Strauss menggunakan ontologi struktural untuk memahami bahwa fenomena budaya seperti mitos, sistem kekerabatan, dan adat istiadat adalah manifestasi dari struktur universal dalam pikiran manusia. Dengan menerapkan prinsip oposisi biner (binary oppositions), Lévi-Strauss berargumen bahwa struktur kebudayaan mencerminkan logika bawah sadar yang bersifat formal dan relasional, seperti alam vs. budaya atau hidup vs. mati.1 Budaya, dalam kerangka ini, bukan hasil tindakan bebas individu, tetapi artikulasi dari sistem simbolik yang mendasarinya.

7.2.       Kajian Sastra dan Semiologi: Karya sebagai Struktur Makna

Di bidang sastra dan studi semiotik, Roland Barthes menerapkan prinsip ontologis struktural dalam menganalisis teks sebagai sistem tanda. Ia menyatakan bahwa teks bukanlah ekspresi subjektivitas pengarang, melainkan jaringan relasi yang terbuka terhadap pembacaan dan penafsiran tanpa akhir.2 Dalam S/Z, Barthes membedakan antara kode-kode naratif yang saling berinteraksi dalam membentuk makna, dan menunjukkan bahwa makna tidak bersifat tetap, melainkan dihasilkan oleh posisi tanda dalam struktur teks.3 Pendekatan ini memperkuat asumsi ontologis bahwa realitas tekstual bersifat struktural dan tidak terpusat.

7.3.       Sosiologi dan Teori Ideologi: Subjek sebagai Efek Struktur

Dalam teori sosial, Louis Althusser menerapkan ontologi struktural untuk menganalisis ideologi dan struktur sosial. Ia menyatakan bahwa subjek manusia dibentuk oleh aparatus ideologis negara (ISA) melalui proses interpolasi, yaitu mekanisme simbolik yang “memanggil” individu untuk menempati posisi tertentu dalam struktur sosial.4 Konsep ini memperlihatkan bahwa subjek bukan agen otonom, melainkan efek dari struktur yang lebih besar. Dengan demikian, ontologi struktural memberikan penjelasan bagaimana individu dan masyarakat saling mengkonstruksi dalam tatanan simbolik yang tidak disadari.

7.4.       Kajian Budaya dan Media: Representasi sebagai Realitas Tersusun

Dalam kajian budaya dan media, strukturalisme menjadi pendekatan penting untuk memahami bahwa realitas yang disampaikan melalui media adalah konstruksi simbolik, bukan refleksi objektif. Teori representasi yang dikembangkan oleh para pemikir seperti Stuart Hall berakar pada prinsip struktural bahwa makna tidak melekat pada objek, tetapi terbentuk melalui relasi antara tanda, kode, dan konvensi sosial.5 Dalam konteks ini, representasi budaya dipahami sebagai realitas ontologis kedua—realitas simbolik yang mengatur bagaimana dunia dipahami dan dialami.

7.5.       Psikoanalisis dan Ontologi Subjek

Jacques Lacan, dalam pendekatan psikoanalitik struktural, mengembangkan pandangan bahwa subjek manusia adalah efek dari struktur simbolik bahasa. Dunia bawah sadar, menurut Lacan, tidak berbicara melalui citra atau perasaan, tetapi melalui bahasa yang sudah terstruktur sebelumnya.6 Hal ini menegaskan bahwa struktur simbolik lebih mendahului subjek, dan bahwa eksistensi manusia hanya dapat dimengerti dalam kerangka relasi simbolik yang mengatur pengalaman subjektif secara tak sadar. Psikoanalisis Lacanian menjadi kontribusi besar dalam menerapkan ontologi struktural dalam pemahaman eksistensi manusia sebagai struktur yang dilalui bahasa.


Footnotes

[1]                Claude Lévi-Strauss, The Raw and the Cooked: Introduction to a Science of Mythology, trans. John and Doreen Weightman (New York: Harper & Row, 1969), 9–12.

[2]                Roland Barthes, “The Death of the Author,” in Image-Music-Text, trans. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 142–148.

[3]                Roland Barthes, S/Z, trans. Richard Miller (New York: Hill and Wang, 1974), 17–20.

[4]                Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 170–186.

[5]                Stuart Hall, “The Work of Representation,” in Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, ed. Stuart Hall (London: Sage, 1997), 13–74.

[6]                Jacques Lacan, The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis, ed. Jacques-Alain Miller, trans. Alan Sheridan (New York: Norton, 1998), 203–205.


8.           Kesimpulan

Strukturalisme, sebagai salah satu aliran pemikiran paling berpengaruh dalam filsafat dan ilmu sosial abad ke-20, telah menawarkan kerangka ontologis yang radikal dan inovatif dalam memahami realitas. Dengan menolak esensialisme dan pendekatan substansialis, strukturalisme mengalihkan fokus pemikiran filsafat dari entitas yang tetap dan otonom menuju relasi dan posisi dalam sistem. Struktur, dalam perspektif ini, bukan hanya alat epistemik, tetapi juga bentuk dasar dari “yang ada”—sebuah lapisan laten yang mengatur eksistensi dan makna tanpa bergantung pada kesadaran subjek.1

Prinsip utama strukturalisme seperti diferensialitas makna, relasionalitas antarunsur, dan ketersembunyian struktur telah mengubah cara kita memahami bahasa, budaya, masyarakat, dan subjek. Realitas tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang langsung hadir (presence), tetapi sebagai konstruksi sistemik yang diproduksi melalui relasi antar posisi dalam jaringan tanda.2 Kontribusi ini tidak hanya berdampak pada ranah teoritis, tetapi juga metodologis dalam berbagai disiplin seperti antropologi, sastra, psikoanalisis, media, dan sosiologi.

Namun demikian, strukturalisme tidak terhindar dari kritik. Klaim tentang stabilitas struktur, universalisme logika biner, dan kecenderungan ahistoris telah mendorong lahirnya poststrukturalisme yang mempertanyakan fondasi-fondasi tersebut. Tokoh-tokoh seperti Derrida dan Foucault tetap menggunakan perangkat analisis struktural, tetapi menggugat otoritas dan pusat dari struktur itu sendiri, sehingga membuka jalan bagi ontologi yang lebih cair, dekonstruktif, dan kontingensial.3 Transisi ini menegaskan bahwa meskipun strukturalisme memiliki keterbatasan, ia tetap menjadi kerangka teoritis yang esensial dalam sejarah pemikiran kontemporer.

Dalam konteks kontemporer, warisan strukturalisme tetap relevan, khususnya dalam diskusi ontologis tentang jaringan, sistem, dan mediasi teknologi. Dalam era digital dan hipermodern, pemahaman bahwa realitas tersusun secara struktural dan dimediasi oleh sistem tanda—bukan hadir secara langsung—semakin mendesak untuk ditelaah.4 Oleh karena itu, meskipun struktur dalam pengertian klasik mungkin telah direvisi, prinsip dasar ontologi struktural tetap menjadi fondasi penting dalam wacana filsafat dan humaniora mutakhir.

Akhirnya, strukturalisme tidak hanya harus dilihat sebagai satu fase dalam sejarah intelektual, tetapi juga sebagai sumbangan metodologis dan ontologis yang terus bergema dalam cara kita memahami eksistensi, makna, dan hubungan antar realitas. Ia mengajarkan bahwa “yang ada” bukanlah apa yang berdiri sendiri, melainkan apa yang diposisikan, dibedakan, dan diartikulasikan dalam medan relasi yang kompleks dan terus berubah.


Footnotes

[1]                Peter Caws, Structuralism: The Art of the Intelligible (Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press, 1988), 15–16.

[2]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 114–118.

[3]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293; Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 22–25.

[4]                Mark Poster, The Mode of Information: Poststructuralism and Social Context (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 65–68.


Daftar Pustaka

Althusser, L. (2001). Lenin and philosophy and other essays (B. Brewster, Trans.). Monthly Review Press. (Original work published 1971)

Althusser, L. (2005). For Marx (B. Brewster, Trans.). Verso. (Original work published 1965)

Barthes, R. (1972). Mythologies (A. Lavers, Trans.). Hill and Wang. (Original work published 1957)

Barthes, R. (1974). S/Z (R. Miller, Trans.). Hill and Wang. (Original work published 1970)

Barthes, R. (1977). The death of the author. In Image-music-text (S. Heath, Trans., pp. 142–148). Hill and Wang.

Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science (2nd ed.). Verso. (Original work published 1975)

Belsey, C. (2002). Poststructuralism: A very short introduction. Oxford University Press.

Caws, P. (1988). Structuralism: The art of the intelligible. Humanities Press.

Culler, J. (1975). Structuralist poetics: Structuralism, linguistics, and the study of literature. Cornell University Press.

Culler, J. (1982). On deconstruction: Theory and criticism after structuralism. Cornell University Press.

DeLanda, M. (2006). A new philosophy of society: Assemblage theory and social complexity. Continuum.

Derrida, J. (1978). Structure, sign and play in the discourse of the human sciences. In Writing and difference (A. Bass, Trans., pp. 278–293). University of Chicago Press. (Original work presented 1966)

Derrida, J. (1997). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press. (Original work published 1967)

Eagleton, T. (2008). Literary theory: An introduction (2nd ed.). University of Minnesota Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books. (Original work published 1969)

Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage Books. (Original work published 1966)

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Hall, S. (1997). The work of representation. In S. Hall (Ed.), Representation: Cultural representations and signifying practices (pp. 13–74). Sage.

Kittler, F. (1999). Gramophone, film, typewriter (G. Winthrop-Young & M. Wutz, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1986)

Lacan, J. (1977). Écrits: A selection (A. Sheridan, Trans.). Norton.

Lacan, J. (1998). The four fundamental concepts of psychoanalysis (J.-A. Miller, Ed., A. Sheridan, Trans.). Norton. (Original work published 1973)

Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology (C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.

Lévi-Strauss, C. (1966). The savage mind. University of Chicago Press. (Original work published 1962)

Lévi-Strauss, C. (1969). The raw and the cooked: Introduction to a science of mythology (J. & D. Weightman, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1964)

Mauss, M. (1954). The gift: Forms and functions of exchange in archaic societies (I. Cunnison, Trans.). Cohen & West. (Original work published 1925)

Piaget, J. (1970). Structuralism (C. Maschler, Trans.). Basic Books.

Poster, M. (1990). The mode of information: Poststructuralism and social context. University of Chicago Press.

Poster, M. (1995). The second media age. Polity Press.

Saussure, F. de. (1966). Course in general linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds., W. Baskin, Trans.). McGraw-Hill. (Original work published 1916)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar