Strukturalisme
Menelusuri Struktur Realitas dalam Wacana Modern
Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini membahas kontribusi strukturalisme
dalam filsafat ontologi, dengan menekankan bagaimana pendekatan ini menggeser
pemahaman realitas dari paradigma esensialis menuju relasional. Strukturalisme,
yang berakar dari linguistik struktural Saussure dan dikembangkan dalam bidang
antropologi, psikoanalisis, serta teori sosial oleh tokoh-tokoh seperti Claude
Lévi-Strauss, Louis Althusser, Roland Barthes, Jacques Lacan, dan Michel
Foucault, memahami realitas sebagai sistem hubungan diferensial yang tidak
tergantung pada entitas tetap. Ontologi struktural menolak gagasan substansi
dan menempatkan struktur sebagai kategori utama yang membentuk eksistensi dan
makna. Artikel ini juga mengulas transisi menuju poststrukturalisme, yang
merevisi dan memperluas horizon ontologis strukturalisme dengan pendekatan dekonstruktif,
serta mengeksplorasi penerapan ontologi struktural dalam disiplin ilmu sosial
dan humaniora. Dengan pendekatan multidisipliner dan analisis komprehensif,
artikel ini menunjukkan relevansi strukturalisme dalam menjawab tantangan
filsafat kontemporer terkait konstruksi realitas, subjek, dan makna.
Kata Kunci: Strukturalisme; Ontologi; Struktur; Relasi;
Diferensial; Poststrukturalisme; Realitas; Humaniora; Ilmu Sosial.
PEMBAHASAN
Strukturalisme dalam Filsafat Ontologi
1.
Pendahuluan
Strukturalisme merupakan salah satu pendekatan
intelektual paling berpengaruh dalam pemikiran abad ke-20 yang mengusulkan
bahwa realitas tidak dipahami melalui esensi atau substansi, melainkan melalui
sistem hubungan dan struktur yang membentuknya. Dalam konteks filsafat
ontologi, strukturalisme menawarkan alternatif terhadap tradisi metafisika
klasik yang menekankan pada entitas tetap dan substansial. Sebaliknya,
strukturalisme menekankan bahwa realitas tersusun atas jaringan diferensial
yang membentuk makna secara relasional, bukan berdasarkan identitas atau
kehadiran absolut.1
Akar strukturalisme dapat ditelusuri pada
linguistik struktural Ferdinand de Saussure, yang menekankan bahwa bahasa
merupakan sistem tanda yang maknanya dibentuk oleh perbedaan dalam struktur,
bukan oleh hubungan langsung antara kata dan objek.2 Pendekatan ini
kemudian diperluas ke dalam antropologi oleh Claude Lévi-Strauss, yang melihat
bahwa mitos dan kebudayaan memiliki struktur laten yang serupa dengan bahasa.3
Ontologi struktural, dalam konteks ini, menggeser fokus dari pencarian “apa
yang ada” secara substansial menjadi “bagaimana yang ada” itu
dikonstruksi melalui sistem simbolik dan relasional.
Strukturalisme memengaruhi hampir seluruh cabang
pemikiran humaniora dan ilmu sosial, termasuk sastra, filsafat, psikoanalisis,
dan teori budaya. Dalam filsafat, pendekatan ini melahirkan pembacaan baru
terhadap konsep-konsep fundamental seperti subjek, makna, dan
realitas—mengaburkan batas antara struktur sebagai kerangka kognitif dan struktur
sebagai ontologi dunia itu sendiri.4 Di tengah perdebatan antara
esensialisme dan konstruktivisme, strukturalisme menempati posisi menengah yang
menyarankan bahwa makna dan entitas tidak inheren pada objek, melainkan
ditentukan oleh posisi dalam sistem struktural.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengeksplorasi
kontribusi strukturalisme dalam wacana ontologis modern dengan menelusuri
landasan filosofis, prinsip utama, tokoh sentral, serta kritik dan prospeknya.
Pembahasan ini penting tidak hanya untuk memahami transformasi konsepsi tentang
realitas, tetapi juga untuk merespons tantangan filsafat kontemporer dalam
menghadapi kompleksitas dunia yang tidak lagi dapat dipahami melalui dikotomi
klasik antara realitas dan representasi.
Footnotes
[1]
Peter Caws, Structuralism: The Art of the
Intelligible (Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press, 1988), 15.
[2]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin
(New York: McGraw-Hill, 1966), 67.
[3]
Claude Lévi-Strauss, The Raw and the Cooked:
Introduction to a Science of Mythology (New York: Harper & Row, 1969),
5.
[4]
Jonathan Culler, Structuralist Poetics:
Structuralism, Linguistics and the Study of Literature (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1975), 3–7.
2.
Landasan
Historis dan Epistemologis Strukturalisme
Strukturalisme sebagai pendekatan filosofis dan
ilmiah lahir dari pergolakan intelektual abad ke-20 yang berupaya memahami
struktur terdalam dari bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Secara historis,
gerakan ini merupakan respons terhadap humanisme dan eksistensialisme, yang
dianggap terlalu menekankan pada subjektivitas dan kesadaran individu.
Sebaliknya, strukturalisme berusaha menemukan sistem-sistem objektif dan tidak
disadari yang mengatur tindakan, pemikiran, dan makna dalam kehidupan manusia.1
Akar strukturalisme yang paling penting berasal
dari linguistik struktural Ferdinand de Saussure, yang menyatakan bahwa
bahasa adalah sistem tanda (signs) yang terdiri atas hubungan arbitrer antara signifier
(penanda) dan signified (petanda). Makna suatu tanda tidak bersifat
absolut, tetapi dibentuk oleh perbedaan dari tanda-tanda lain dalam sistem
bahasa.2 Pemikiran Saussure menggeser fokus studi linguistik dari
asal-usul historis kata menuju analisis sistemik terhadap hubungan internal
antar unsur bahasa. Inilah yang menjadi fondasi epistemologis strukturalisme:
pengetahuan tidak diperoleh dari pengalaman langsung terhadap realitas, tetapi
dari sistem struktur yang membentuk makna.
Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip linguistik
ini diadopsi oleh Claude Lévi-Strauss dalam bidang antropologi. Ia
menyatakan bahwa mitos, adat istiadat, dan sistem kekerabatan dalam masyarakat
tradisional bukanlah fenomena acak, melainkan memiliki struktur mendalam yang
dapat dianalisis secara formal dan universal. Dengan menggunakan metode
analisis struktural, Lévi-Strauss menunjukkan bahwa elemen budaya—layaknya
bahasa—tersusun atas oposisi biner (binary oppositions) seperti alam-budaya,
terang-gelap, dan hidup-mati, yang membentuk kerangka pemahaman kolektif
masyarakat.3 Di sini, epistemologi strukturalisme menunjukkan
orientasinya yang kuat terhadap pencarian pola invariant dalam keragaman
fenomena budaya.
Strukturalisme juga dipengaruhi oleh pemikiran Émile
Durkheim dan Marcel Mauss, yang meletakkan dasar-dasar bagi
pemahaman kolektif dan representasi sosial sebagai entitas yang berdiri sendiri
di luar individu.4 Pemikiran mereka berkontribusi pada keyakinan
bahwa struktur sosial dan budaya memiliki realitas objektif yang dapat
dipelajari melalui metode ilmiah, terlepas dari kesadaran individu terhadapnya.
Landasan epistemologis strukturalisme ditandai oleh
tiga prinsip utama: (1) realitas dikonstruksi secara sistemik dan
relasional, (2) subjek bukan pusat makna, melainkan efek dari struktur, dan (3)
makna merupakan produk diferensial dari posisi suatu unsur dalam sistem.5
Pemikiran ini memiliki implikasi besar terhadap pemahaman ontologis, karena
menyiratkan bahwa apa yang disebut “realitas” tidak berada di luar
sistem representasi, tetapi dibentuk oleh struktur internal yang mengaturnya.
Ontologi struktural dengan demikian bukanlah ontologi benda, melainkan ontologi
relasi dan posisi.
Dengan latar historis dan kerangka epistemologis
tersebut, strukturalisme menjadi kerangka berpikir kritis yang menjembatani
antara pendekatan empiris dan filosofis dalam memahami realitas. Ia memperluas
cakrawala ontologi dari entitas-esensial menuju sistem relasional, serta
membuka jalan bagi wacana-wacana pascastrukturalis yang lebih pluralistik dan
dekonstruktif.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, Structuralism, trans. Chaninah
Maschler (New York: Basic Books, 1970), 3.
[2]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin
(New York: McGraw-Hill, 1966), 114–115.
[3]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology,
trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books,
1963), 208–210.
[4]
Marcel Mauss, The Gift: Forms and Functions of
Exchange in Archaic Societies, trans. Ian Cunnison (London: Cohen &
West, 1954), 79.
[5]
Jonathan D. Culler, Structuralist Poetics:
Structuralism, Linguistics and the Study of Literature (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1975), 14–18.
3.
Prinsip-Prinsip
Ontologis dalam Strukturalisme
Strukturalisme tidak
hanya menjadi kerangka metodologis dalam studi budaya, bahasa, dan masyarakat,
tetapi juga menawarkan pandangan khas mengenai hakikat realitas (ontologi).
Dalam filsafat ontologi, strukturalisme memunculkan pemahaman bahwa realitas
bukanlah kumpulan entitas esensial atau substansi tetap, melainkan merupakan
hasil dari jaringan hubungan dan sistem diferensial yang membentuk eksistensi
dan makna.1 Dengan demikian, pendekatan strukturalis memposisikan
struktur sebagai dimensi fundamental dari "yang ada" (being),
dan bukan sekadar alat analisis atau sistem representasi.
3.1. Realitas sebagai Struktur Relasional
Prinsip ontologis
utama strukturalisme adalah bahwa entitas tidak memiliki makna atau eksistensi
secara mandiri, tetapi hanya dapat dimengerti dalam relasi dengan unsur-unsur
lain dalam suatu sistem. Dalam konteks ini, struktur dipahami sebagai tatanan
hubungan yang bersifat formal dan tetap, yang mengatur posisi relatif dari
elemen-elemen tertentu. Dengan mengadopsi pemikiran Ferdinand de Saussure,
strukturalisme ontologis menyatakan bahwa nilai atau identitas suatu unsur
bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari diferensinya terhadap unsur
lain.2 Ontologi ini berpijak pada prinsip diferensial: yang ada
ditentukan oleh posisi dalam jaringan makna, bukan oleh substansi internal.
3.2. Anti-Essensialisme dan Penolakan terhadap Substansi
Tetap
Strukturalisme
menolak gagasan ontologi esensialis yang menganggap bahwa segala sesuatu
memiliki inti atau hakikat tetap yang mendahului relasi dan representasi.
Sebaliknya, strukturalisme menyatakan bahwa makna dan eksistensi tidak berasal
dari substansi tetap, melainkan dari konfigurasi relasional yang terus berubah
dalam sistem struktural.3 Dalam hal ini, ontologi struktural
bersifat anti-substansialis: bukan “apa” yang menjadi pusat perhatian,
tetapi “bagaimana” suatu entitas berada dan berfungsi dalam struktur.
Oleh karena itu, struktur itu sendiri menjadi “yang ada” yang sejati,
menggantikan konsep entitas otonom dalam filsafat klasik.
3.3. Relasi Biner dan Mediasi Simbolik
Strukturalisme juga
mengandalkan prinsip relasi biner sebagai mekanisme dasar penyusun struktur
realitas. Oposisi biner seperti hidup-mati, atas-bawah, laki-perempuan, dan
alam-budaya bukan hanya alat kategorisasi kognitif, tetapi juga menjadi pola
dasar dari cara manusia mengorganisasi pengalaman dan mengonstruksi realitas
simbolik.4 Ontologi struktural dengan demikian mencakup dimensi
simbolik dan semiotik: realitas tidak dapat dipahami tanpa memahami sistem
tanda dan simbol yang menengahi persepsi dan konsepsi manusia terhadap dunia.
3.4. Ketersembunyian Struktur dan Absennya Subjek
Dalam
strukturalisme, struktur dianggap mendasari realitas, namun tidak selalu tampak
secara langsung. Struktur beroperasi di balik kesadaran, dan bahkan seringkali
tidak disadari oleh agen atau subjek yang berada di dalamnya. Dalam arti ini,
subjek manusia bukanlah pusat makna, melainkan efek dari operasi struktur.
Pemikiran ini ditonjolkan oleh tokoh seperti Althusser dan Lacan, yang
menyatakan bahwa subjek tidak “menciptakan” struktur, tetapi justru
dikonstruksi olehnya.5 Ini memberikan arah ontologi yang bersifat
desentris: yang utama bukan lagi subjek, melainkan medan relasional di mana
subjek hanya menjadi simpul atau hasil.
3.5. Strukturalisme sebagai Ontologi Formal
Akhirnya,
strukturalisme dalam dimensi ontologisnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk
“ontologi formal,” yakni suatu pendekatan yang memahami realitas melalui
hukum-hukum hubungan dan posisi dalam sistem. Realitas, dalam pandangan ini,
bukanlah dunia benda konkret semata, melainkan jaringan struktur abstrak yang
mengatur dan memungkinkan eksistensi makna serta pengalaman manusia
terhadapnya.6
Dengan kelima
prinsip ini, strukturalisme menggeser pemahaman filosofis tentang realitas dari
paradigma esensial-substansial ke paradigma relasional-formal. Strukturalisme
tidak menolak keberadaan, tetapi mendefinisikan ulang bagaimana eksistensi
dimungkinkan dan dikenali melalui struktur yang mendahului dan melampaui
kesadaran manusia.
Footnotes
[1]
Gilles Deleuze, Difference and Repetition, trans. Paul Patton
(New York: Columbia University Press, 1994), 55–57.
[2]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill,
1966), 117–118.
[3]
Peter Caws, Structuralism: The Art of the Intelligible
(Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press, 1988), 98.
[4]
Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind (Chicago: University of
Chicago Press, 1966), 132–135.
[5]
Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans.
Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 127–128; Jacques Lacan, Écrits:
A Selection, trans. Alan Sheridan (New York: Norton, 1977), 2.
[6]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 11–12.
4.
Tokoh-Tokoh
Sentral dan Kontribusi Ontologisnya
Perkembangan
strukturalisme sebagai kerangka filosofis dan ilmiah tidak terlepas dari
kontribusi sejumlah tokoh penting yang merumuskan dan memperluas
prinsip-prinsip struktural ke berbagai bidang pengetahuan. Para tokoh ini tidak
hanya memperkenalkan metode analisis baru, tetapi juga memberikan kontribusi
mendalam terhadap pemahaman ontologis tentang realitas. Di antara mereka,
Claude Lévi-Strauss, Louis Althusser, Roland Barthes, Michel Foucault, dan
Jacques Lacan menonjol sebagai figur sentral dalam membentuk ontologi
strukturalis yang transdisipliner.
4.1. Claude Lévi-Strauss: Struktur Laten Budaya dan
Ontologi Relasional
Sebagai antropolog
struktural, Claude Lévi-Strauss merupakan
figur utama dalam mengembangkan gagasan bahwa budaya manusia tersusun oleh
struktur universal yang mendasari variasi permukaan dalam praktik sosial.
Menurutnya, mitos, sistem kekerabatan, dan klasifikasi sosial menunjukkan
adanya struktur laten yang tidak disadari oleh pelaku budaya, tetapi dapat
diungkap melalui analisis oposisi biner.1 Struktur tersebut bukan
hanya metode, melainkan juga bentuk keberadaan yang mengatur bagaimana
kebudayaan hadir dalam dunia.2 Dengan demikian, kontribusi ontologis
Lévi-Strauss terletak pada pemahamannya bahwa realitas budaya bersifat
struktural dan sistemik, bukan individual atau kontingen.
4.2. Louis Althusser: Struktur Sosial sebagai Realitas
Material
Dalam bidang
filsafat dan teori ideologi, Louis Althusser memberikan
kontribusi penting dengan menggambarkan masyarakat sebagai formasi struktural
yang kompleks, terdiri atas struktur ekonomi, politik, dan ideologis yang
saling berinteraksi secara relatif otonom.3 Ia menolak humanisme
esensialis dan menggantikannya dengan pandangan bahwa subjek adalah produk
struktur ideologis. Ontologi dalam pemikiran Althusser bersifat “strukturis-materialis”,
yakni struktur tidak hanya simbolik, tetapi memiliki realitas objektif dalam
reproduksi sosial.4 Baginya, yang “ada” bukanlah individu
yang bebas, melainkan posisi dalam formasi sosial yang dikonstruksi oleh
struktur.
4.3. Roland Barthes: Strukturalisme Semiologis dan
Ontologi Tanda
Roland
Barthes, dalam analisis semiotiknya, menegaskan bahwa dunia
modern dipenuhi oleh sistem tanda yang membentuk makna dalam wacana populer,
mitos, dan media massa. Dalam bukunya Mythologies, ia menunjukkan bahwa
makna sosial tidak muncul secara alami, melainkan dibentuk oleh struktur
semiotik yang bersifat arbitrer dan historis.5 Barthes melihat bahwa
realitas itu sendiri menjadi efek dari struktur tanda yang bekerja dalam
praktik diskursif. Maka, ontologi Barthes bersifat semiotik: realitas bukan apa
yang ada secara langsung, melainkan apa yang dihasilkan melalui sistem
representasi simbolik.
4.4. Jacques Lacan: Struktur Bahasa dan Ontologi Subjek
Jacques
Lacan memperkenalkan pendekatan psikoanalitik strukturalis
dengan mengintegrasikan linguistik Saussure dan strukturalisme Lévi-Strauss ke
dalam teori tentang struktur bawah sadar. Bagi Lacan, subjek tidak mendahului
bahasa, melainkan dikonstruksi oleh struktur simbolik bahasa itu sendiri.6
Dalam kerangka ini, “aku” adalah posisi dalam jaringan tanda, dan bukan
substansi esensial. Ontologi Lacanian dengan demikian menekankan bahwa realitas
psikologis dan eksistensial tunduk pada hukum struktur simbolik yang tidak bisa
diakses sepenuhnya oleh kesadaran.
4.5. Michel Foucault: Episteme, Wacana, dan Realitas
Sejarah
Meskipun sering
dianggap sebagai poststrukturalis, Michel Foucault awalnya
menggunakan kerangka strukturalis untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan dan
kekuasaan membentuk realitas historis. Dalam The Order of Things, Foucault
memperkenalkan konsep episteme sebagai struktur
pengetahuan yang tidak hanya menentukan cara berpikir, tetapi juga cara "yang
ada" dipahami dan diatur dalam setiap periode sejarah.7
Bagi Foucault, realitas tidak bersifat tetap, tetapi dikonstruksi oleh struktur
wacana yang historis dan berlapis-lapis.
Footnotes
[1]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire
Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 210–212.
[2]
Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind (Chicago: University of
Chicago Press, 1966), 16–19.
[3]
Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso,
2005), 92–94.
[4]
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,
in Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New
York: Monthly Review Press, 2001), 127–186.
[5]
Roland Barthes, Mythologies, trans. Annette Lavers (New York:
Hill and Wang, 1972), 110–112.
[6]
Jacques Lacan, Écrits: A Selection, trans. Alan Sheridan (New
York: Norton, 1977), 28–30.
[7]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences (New York: Vintage Books, 1994), xxii–xxiv.
5.
Strukturalisme
dalam Perspektif Ontologi Kontemporer
Dalam wacana
filsafat kontemporer, strukturalisme tetap memainkan peran signifikan sebagai
fondasi ontologis yang menantang konsepsi realitas berbasis esensialisme dan
substansialisme. Kendati banyak gagasan strukturalisme telah dikritik dan
direvisi oleh aliran-aliran poststrukturalis, warisan ontologisnya masih sangat
relevan, terutama dalam cara memahami realitas sebagai konstruksi sistemik dan
relasional. Strukturalisme memperluas cakrawala ontologi dari entitas tetap
menuju dinamika struktur dan posisi, menjadikan relasi sebagai kategori primer
dalam pengadaaan (being).
5.1. Reaktualisasi Prinsip Relasional dalam Kajian
Ontologi
Ontologi
strukturalisme menekankan bahwa keberadaan bukan ditentukan oleh esensi
internal, melainkan oleh posisi dalam sistem relasional. Dalam filsafat
kontemporer, prinsip ini diadopsi dan dikembangkan dalam berbagai bentuk “ontologi
relasional”, yang menolak asumsi tentang identitas tetap dan
menggantikannya dengan konsep posisi, relasi, dan jaringan.1 Dalam
konteks ini, strukturalisme menyediakan bahasa dan kerangka konseptual untuk
memahami eksistensi sebagai hasil dari konfigurasi diferensial, bukan entitas
mandiri.
5.2. Persinggungan dengan Realisme Kritis dan
Neo-Materialisme
Meskipun
strukturalisme awalnya dianggap sebagai pendekatan anti-realis, beberapa filsuf
kontemporer mengintegrasikan aspek strukturalis dengan realisme kritis, seperti
yang dilakukan oleh Roy Bhaskar dan Manuel DeLanda. Mereka memandang bahwa
struktur sosial atau realitas material memiliki eksistensi objektif yang tidak
sepenuhnya tergantung pada kesadaran manusia, seraya tetap mempertahankan sifat
sistemik dan laten dari struktur tersebut.2 Dalam perspektif ini,
strukturalisme dianggap sebagai mitra teoritis yang penting dalam memahami
realitas sebagai lapisan-lapisan relasional yang kompleks.
5.3. Dialog dengan Ontologi Pascastruktural dan
Dekonstruktif
Meskipun
poststrukturalisme sering dianggap sebagai penolakan terhadap strukturalisme,
dalam kenyataannya banyak asumsi ontologis strukturalisme tetap dipertahankan
dan dikembangkan. Jacques Derrida, misalnya,
menyatakan bahwa tidak ada makna yang hadir secara utuh, tetapi selalu tertunda
dalam jaringan diferensial—gagasan ini merupakan elaborasi radikal atas prinsip
relasional strukturalisme.3 Dalam Of Grammatology, Derrida
mendekonstruksi gagasan tentang pusat dalam struktur, tetapi tidak membatalkan
struktur itu sendiri. Ontologi yang dihasilkan adalah ontologi ketaksadaran
makna dan ketidakpastian realitas, tetapi tetap berada dalam kerangka
struktural.
5.4. Kontribusi terhadap Ontologi Media dan Teknologi
Dalam ranah studi
media dan teknologi, strukturalisme memberikan dasar epistemologis dan
ontologis untuk memahami bahwa realitas digital tidak lagi berbasis pada objek
material semata, melainkan pada relasi dalam jaringan simbolik dan kode.
Misalnya, Mark Poster dan Friedrich
Kittler menunjukkan bahwa struktur komunikasi elektronik
merekonstruksi subjektivitas manusia dan memodifikasi realitas sosial melalui
mediasi teknologi.4 Dalam konteks ini, strukturalisme digunakan
untuk merumuskan realitas bukan sebagai dunia fisik yang stabil, melainkan
sebagai hasil interaksi sistemik antara pengguna, media, dan teknologi.
5.5. Kekuatan dan Keterbatasan Ontologi Strukturalisme
Meskipun
strukturalisme memberikan kerangka yang kuat untuk memahami realitas sebagai
sistem relasional, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Di antaranya adalah
tuduhan bahwa strukturalisme cenderung ahistoris, deterministik, dan terlalu
mengabaikan peran agensi manusia.5 Kritik ini kemudian menjadi pintu
masuk bagi pendekatan yang lebih dinamis dan terbuka dalam ontologi
kontemporer, seperti teori kompleksitas, ontologi jaringan (network ontology),
dan materialisme spekulatif.
Namun demikian,
kekuatan strukturalisme terletak pada kemampuannya untuk menyingkap “struktur
dari yang tersembunyi”, dan untuk menunjukkan bahwa eksistensi tidak pernah
bersifat mandiri, melainkan selalu tersituasikan dalam relasi dan sistem. Oleh
karena itu, strukturalisme tetap menjadi komponen penting dalam lanskap
filsafat ontologi modern, meskipun sering tampil dalam bentuk yang telah
direkonstruksi atau dikritisi.
Footnotes
[1]
Manuel DeLanda, A New Philosophy of Society: Assemblage Theory and Social
Complexity (London: Continuum, 2006), 5–6.
[2]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
2008), xiii–xiv.
[3]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 156–159.
[4]
Mark Poster, The Second Media Age (Cambridge: Polity Press,
1995), 28; Friedrich Kittler, Gramophone, Film, Typewriter, trans.
Geoffrey Winthrop-Young and Michael Wutz (Stanford: Stanford University Press,
1999), 1–3.
[5]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 2008), 111–112.
6.
Strukturalisme
dan Transisi ke Poststrukturalisme
Strukturalisme telah
menjadi fondasi penting dalam perkembangan teori kritis dan ontologi
kontemporer, tetapi warisan ini tidak bertahan tanpa tantangan. Pada paruh
kedua abad ke-20, muncul reaksi intelektual yang mempertanyakan asumsi-asumsi
strukturalisme, terutama mengenai kestabilan struktur, universalitas sistem
tanda, dan posisi subjek dalam struktur. Reaksi ini melahirkan apa yang kemudian
disebut sebagai poststrukturalisme—sebuah medan
pemikiran yang secara kritis melampaui strukturalisme sambil tetap mewarisi
beberapa prinsip dasarnya.1 Peralihan ini bukan merupakan penolakan
total, melainkan transformasi paradigma yang memperkaya pemahaman ontologis
tentang realitas, makna, dan eksistensi.
6.1. Kritik terhadap Stabilitas Struktur
Salah satu kritik
utama poststrukturalisme terhadap strukturalisme adalah keberatan terhadap
klaim bahwa struktur memiliki kestabilan universal dan otonomi yang dapat
dianalisis secara formal. Jacques Derrida, dalam karyanya
Structure,
Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences, menegaskan
bahwa setiap struktur selalu memiliki "pusat" yang mengatur
dan menstabilkannya, tetapi pusat ini bersifat paradoksal karena ia sekaligus
bagian dari struktur dan berada di luar struktur.2 Derrida menyebut
kondisi ini sebagai bricolage, yakni penggunaan
elemen-elemen yang sudah ada untuk menyusun sistem baru, tanpa fondasi tetap.
Dalam kerangka ini, struktur tidak pernah utuh dan selesai, melainkan terbuka
terhadap permainan makna (play), yang menandai ketidaktentuan
ontologis dalam setiap sistem pengetahuan.
6.2. Perubahan dari Sistem Tertutup ke Jaringan Terbuka
Poststrukturalisme
mengubah pandangan tentang struktur sebagai sistem tertutup menjadi jaringan
terbuka yang cair dan selalu dalam proses transformasi. Michel
Foucault, misalnya, menolak konsep struktur laten yang
transhistoris. Sebagai gantinya, ia mengembangkan metode arkeologi
dan genealogi
untuk menganalisis diskursus-diskursus historis yang membentuk realitas sosial
dan identitas manusia.3 Dalam karya seperti The
Archaeology of Knowledge, Foucault menyatakan bahwa apa yang kita
anggap sebagai “yang ada” sebenarnya merupakan produk dari kondisi
diskursif tertentu yang bersifat kontingen, bukan hasil dari struktur
universal.4
6.3. Desentralisasi Subjek dan Dekonstruksi Makna
Strukturalisme sudah
menantang peran subjek sebagai pencipta makna, tetapi poststrukturalisme melangkah
lebih jauh dengan mendekonstruksi konsep subjek itu sendiri. Lacan
telah menyatakan bahwa subjek adalah efek dari struktur bahasa,5
tetapi Derrida menunjukkan bahwa bahasa itu sendiri tidak memiliki pusat, dan
oleh karenanya subjek pun kehilangan fondasi tetap. Hal ini mengakibatkan
ontologi yang semakin tak stabil, di mana eksistensi manusia tidak bisa
dikaitkan dengan kehadiran langsung (presence), tetapi dengan penundaan
(différance)
dan ketaksadaran makna.6
6.4. Ontologi Diferensial dan Ketaksadaran Struktural
Dalam ontologi
poststrukturalis, makna dan keberadaan tidak bersifat tetap atau koheren,
melainkan merupakan hasil dari proses diferensial tanpa titik akhir. Différance,
istilah kunci Derrida, menggambarkan proses di mana makna selalu ditunda dan
dibedakan, sehingga tidak pernah sepenuhnya hadir dalam satu bentuk final.7
Ini berdampak pada pemahaman ontologis yang non-metafisis, yaitu realitas tidak
lagi dianggap sebagai totalitas terstruktur, melainkan sebagai medan permainan
tanda yang tak selesai, yang ditandai oleh perbedaan, ketidakhadiran, dan
ketidakstabilan.
6.5. Warisan dan Relevansi Strukturalisme dalam
Poststrukturalisme
Meskipun
poststrukturalisme sering dianggap sebagai antitesis terhadap strukturalisme,
banyak pemikir poststrukturalis tetap bergantung pada perangkat analisis
struktural untuk membongkar wacana, ideologi, dan sistem pengetahuan. Dengan
kata lain, strukturalisme menyediakan “mesin analisis” yang diambil
alih, dibongkar, dan dimodifikasi oleh pemikir poststrukturalis untuk tujuan
yang lebih pluralistik, kontingensial, dan subversif.8 Oleh karena
itu, transisi dari strukturalisme ke poststrukturalisme bukanlah diskontinuitas
mutlak, tetapi transformasi dialektis dalam memahami struktur, subjek, dan
eksistensi.
Footnotes
[1]
Catherine Belsey, Poststructuralism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 3–5.
[2]
Jacques Derrida, “Structure, Sign and Play in the Discourse of the
Human Sciences,” in Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago:
University of Chicago Press, 1978), 278–293.
[3]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 3–17.
[4]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23.
[5]
Jacques Lacan, Écrits: A Selection, trans. Alan Sheridan (New
York: Norton, 1977), 68.
[6]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 61–65.
[7]
Ibid., 62.
[8]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1982), 86–89.
7.
Aplikasi
Ontologi Struktural dalam Ilmu Sosial dan Humaniora
Strukturalisme tidak
hanya membentuk fondasi teori dalam linguistik dan filsafat, tetapi juga
memberikan kontribusi signifikan dalam ilmu sosial dan humaniora melalui
penerapan prinsip ontologisnya. Pendekatan ini memungkinkan para ilmuwan untuk
memahami bahwa realitas sosial, budaya, dan simbolik tidak bersifat objektif
dan mandiri, melainkan dikonstruksi oleh sistem relasional yang tak kasatmata,
yang mengatur makna dan keberadaan secara laten. Dengan demikian,
strukturalisme menawarkan paradigma analisis yang melihat realitas sebagai
jaringan posisi dalam sistem, bukan sebagai kumpulan entitas yang berdiri
sendiri.
7.1. Antropologi Struktural: Membaca Budaya sebagai
Sistem Tanda
Dalam antropologi, Claude
Lévi-Strauss menggunakan ontologi struktural untuk memahami
bahwa fenomena budaya seperti mitos, sistem kekerabatan, dan adat istiadat
adalah manifestasi dari struktur universal dalam pikiran manusia. Dengan
menerapkan prinsip oposisi biner (binary oppositions), Lévi-Strauss berargumen
bahwa struktur kebudayaan mencerminkan logika bawah sadar yang bersifat formal
dan relasional, seperti alam vs. budaya atau hidup vs. mati.1
Budaya, dalam kerangka ini, bukan hasil tindakan bebas individu, tetapi
artikulasi dari sistem simbolik yang mendasarinya.
7.2. Kajian Sastra dan Semiologi: Karya sebagai Struktur
Makna
Di bidang sastra dan
studi semiotik, Roland Barthes menerapkan
prinsip ontologis struktural dalam menganalisis teks sebagai sistem tanda. Ia
menyatakan bahwa teks bukanlah ekspresi subjektivitas pengarang, melainkan
jaringan relasi yang terbuka terhadap pembacaan dan penafsiran tanpa akhir.2
Dalam S/Z,
Barthes membedakan antara kode-kode naratif yang saling berinteraksi dalam
membentuk makna, dan menunjukkan bahwa makna tidak bersifat tetap, melainkan
dihasilkan oleh posisi tanda dalam struktur teks.3 Pendekatan ini
memperkuat asumsi ontologis bahwa realitas tekstual bersifat struktural dan
tidak terpusat.
7.3. Sosiologi dan Teori Ideologi: Subjek sebagai Efek
Struktur
Dalam teori sosial, Louis
Althusser menerapkan ontologi struktural untuk menganalisis
ideologi dan struktur sosial. Ia menyatakan bahwa subjek manusia dibentuk oleh
aparatus ideologis negara (ISA) melalui proses interpolasi, yaitu mekanisme
simbolik yang “memanggil” individu untuk menempati posisi tertentu dalam
struktur sosial.4 Konsep ini memperlihatkan bahwa subjek bukan agen
otonom, melainkan efek dari struktur yang lebih besar. Dengan demikian,
ontologi struktural memberikan penjelasan bagaimana individu dan masyarakat
saling mengkonstruksi dalam tatanan simbolik yang tidak disadari.
7.4. Kajian Budaya dan Media: Representasi sebagai
Realitas Tersusun
Dalam kajian budaya
dan media, strukturalisme menjadi pendekatan penting untuk memahami bahwa
realitas yang disampaikan melalui media adalah konstruksi simbolik, bukan
refleksi objektif. Teori representasi yang dikembangkan oleh para pemikir
seperti Stuart Hall berakar pada
prinsip struktural bahwa makna tidak melekat pada objek, tetapi terbentuk
melalui relasi antara tanda, kode, dan konvensi sosial.5 Dalam
konteks ini, representasi budaya dipahami sebagai realitas ontologis
kedua—realitas simbolik yang mengatur bagaimana dunia dipahami dan dialami.
7.5. Psikoanalisis dan Ontologi Subjek
Jacques
Lacan, dalam pendekatan psikoanalitik struktural, mengembangkan
pandangan bahwa subjek manusia adalah efek dari struktur simbolik bahasa. Dunia
bawah sadar, menurut Lacan, tidak berbicara melalui citra atau perasaan, tetapi
melalui bahasa yang sudah terstruktur sebelumnya.6 Hal ini
menegaskan bahwa struktur simbolik lebih mendahului subjek, dan bahwa
eksistensi manusia hanya dapat dimengerti dalam kerangka relasi simbolik yang
mengatur pengalaman subjektif secara tak sadar. Psikoanalisis Lacanian menjadi
kontribusi besar dalam menerapkan ontologi struktural dalam pemahaman
eksistensi manusia sebagai struktur yang dilalui bahasa.
Footnotes
[1]
Claude Lévi-Strauss, The Raw and the Cooked: Introduction to a
Science of Mythology, trans. John and Doreen Weightman (New York: Harper
& Row, 1969), 9–12.
[2]
Roland Barthes, “The Death of the Author,” in Image-Music-Text,
trans. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 142–148.
[3]
Roland Barthes, S/Z, trans. Richard Miller (New York: Hill and
Wang, 1974), 17–20.
[4]
Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans.
Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 170–186.
[5]
Stuart Hall, “The Work of Representation,” in Representation:
Cultural Representations and Signifying Practices, ed. Stuart Hall (London:
Sage, 1997), 13–74.
[6]
Jacques Lacan, The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis,
ed. Jacques-Alain Miller, trans. Alan Sheridan (New York: Norton, 1998),
203–205.
8.
Kesimpulan
Strukturalisme, sebagai salah satu aliran pemikiran
paling berpengaruh dalam filsafat dan ilmu sosial abad ke-20, telah menawarkan
kerangka ontologis yang radikal dan inovatif dalam memahami realitas. Dengan
menolak esensialisme dan pendekatan substansialis, strukturalisme mengalihkan
fokus pemikiran filsafat dari entitas yang tetap dan otonom menuju relasi dan
posisi dalam sistem. Struktur, dalam perspektif ini, bukan hanya alat
epistemik, tetapi juga bentuk dasar dari “yang ada”—sebuah lapisan laten
yang mengatur eksistensi dan makna tanpa bergantung pada kesadaran subjek.1
Prinsip utama strukturalisme seperti
diferensialitas makna, relasionalitas antarunsur, dan ketersembunyian struktur
telah mengubah cara kita memahami bahasa, budaya, masyarakat, dan subjek.
Realitas tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang langsung hadir (presence),
tetapi sebagai konstruksi sistemik yang diproduksi melalui relasi antar posisi
dalam jaringan tanda.2 Kontribusi ini tidak hanya berdampak pada
ranah teoritis, tetapi juga metodologis dalam berbagai disiplin seperti
antropologi, sastra, psikoanalisis, media, dan sosiologi.
Namun demikian, strukturalisme tidak terhindar dari
kritik. Klaim tentang stabilitas struktur, universalisme logika biner, dan
kecenderungan ahistoris telah mendorong lahirnya poststrukturalisme yang
mempertanyakan fondasi-fondasi tersebut. Tokoh-tokoh seperti Derrida dan
Foucault tetap menggunakan perangkat analisis struktural, tetapi menggugat
otoritas dan pusat dari struktur itu sendiri, sehingga membuka jalan bagi
ontologi yang lebih cair, dekonstruktif, dan kontingensial.3
Transisi ini menegaskan bahwa meskipun strukturalisme memiliki keterbatasan, ia
tetap menjadi kerangka teoritis yang esensial dalam sejarah pemikiran
kontemporer.
Dalam konteks kontemporer, warisan strukturalisme
tetap relevan, khususnya dalam diskusi ontologis tentang jaringan, sistem, dan
mediasi teknologi. Dalam era digital dan hipermodern, pemahaman bahwa realitas
tersusun secara struktural dan dimediasi oleh sistem tanda—bukan hadir secara
langsung—semakin mendesak untuk ditelaah.4 Oleh karena itu, meskipun
struktur dalam pengertian klasik mungkin telah direvisi, prinsip dasar ontologi
struktural tetap menjadi fondasi penting dalam wacana filsafat dan humaniora
mutakhir.
Akhirnya, strukturalisme tidak hanya harus dilihat
sebagai satu fase dalam sejarah intelektual, tetapi juga sebagai sumbangan
metodologis dan ontologis yang terus bergema dalam cara kita memahami
eksistensi, makna, dan hubungan antar realitas. Ia mengajarkan bahwa “yang
ada” bukanlah apa yang berdiri sendiri, melainkan apa yang diposisikan,
dibedakan, dan diartikulasikan dalam medan relasi yang kompleks dan terus
berubah.
Footnotes
[1]
Peter Caws, Structuralism: The Art of the
Intelligible (Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press, 1988), 15–16.
[2]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin
(New York: McGraw-Hill, 1966), 114–118.
[3]
Jacques Derrida, Writing and Difference,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293; Michel
Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New
York: Pantheon, 1972), 22–25.
[4]
Mark Poster, The Mode of Information:
Poststructuralism and Social Context (Chicago: University of Chicago Press,
1990), 65–68.
Daftar Pustaka
Althusser, L. (2001). Lenin and philosophy and
other essays (B. Brewster, Trans.). Monthly Review Press. (Original work
published 1971)
Althusser, L. (2005). For Marx (B. Brewster,
Trans.). Verso. (Original work published 1965)
Barthes, R. (1972). Mythologies (A. Lavers,
Trans.). Hill and Wang. (Original work published 1957)
Barthes, R. (1974). S/Z (R. Miller, Trans.).
Hill and Wang. (Original work published 1970)
Barthes, R. (1977). The death of the author. In Image-music-text
(S. Heath, Trans., pp. 142–148). Hill and Wang.
Bhaskar, R. (2008). A realist theory of science
(2nd ed.). Verso. (Original work published 1975)
Belsey, C. (2002). Poststructuralism: A very
short introduction. Oxford University Press.
Caws, P. (1988). Structuralism: The art of the
intelligible. Humanities Press.
Culler, J. (1975). Structuralist poetics:
Structuralism, linguistics, and the study of literature. Cornell University
Press.
Culler, J. (1982). On deconstruction: Theory and
criticism after structuralism. Cornell University Press.
DeLanda, M. (2006). A new philosophy of society:
Assemblage theory and social complexity. Continuum.
Derrida, J. (1978). Structure, sign and play in the
discourse of the human sciences. In Writing and difference (A. Bass,
Trans., pp. 278–293). University of Chicago Press. (Original work presented
1966)
Derrida, J. (1997). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press. (Original work published 1967)
Eagleton, T. (2008). Literary theory: An
introduction (2nd ed.). University of Minnesota Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books. (Original work
published 1969)
Foucault, M. (1994). The order of things: An
archaeology of the human sciences. Vintage Books. (Original work published
1966)
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1975)
Hall, S. (1997). The work of representation. In S.
Hall (Ed.), Representation: Cultural representations and signifying
practices (pp. 13–74). Sage.
Kittler, F. (1999). Gramophone, film, typewriter
(G. Winthrop-Young & M. Wutz, Trans.). Stanford University Press. (Original
work published 1986)
Lacan, J. (1977). Écrits: A selection (A.
Sheridan, Trans.). Norton.
Lacan, J. (1998). The four fundamental concepts
of psychoanalysis (J.-A. Miller, Ed., A. Sheridan, Trans.). Norton.
(Original work published 1973)
Lévi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology
(C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.
Lévi-Strauss, C. (1966). The savage mind.
University of Chicago Press. (Original work published 1962)
Lévi-Strauss, C. (1969). The raw and the cooked:
Introduction to a science of mythology (J. & D. Weightman, Trans.).
Harper & Row. (Original work published 1964)
Mauss, M. (1954). The gift: Forms and functions
of exchange in archaic societies (I. Cunnison, Trans.). Cohen & West.
(Original work published 1925)
Piaget, J. (1970). Structuralism (C.
Maschler, Trans.). Basic Books.
Poster, M. (1990). The mode of information:
Poststructuralism and social context. University of Chicago Press.
Poster, M. (1995). The second media age.
Polity Press.
Saussure, F. de. (1966). Course in general
linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds., W. Baskin, Trans.).
McGraw-Hill. (Original work published 1916)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar