Antroposentrisme dalam Etika
Kajian Komprehensif Berbasis Referensi Kredibel
Alihkan ke: Etika Lingkungan
Abstrak
Antroposentrisme merupakan
paradigma etika yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral dan
kepentingan. Artikel ini membahas perkembangan historis antroposentrisme dari
filsafat Yunani Kuno, teologi Abad Pertengahan, hingga pemikiran modern seperti
rasionalisme dan ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip utama antroposentrisme,
termasuk kedudukan manusia sebagai pemegang otoritas moral tertinggi serta
tanggung jawabnya terhadap lingkungan, dikaji secara mendalam. Kritik terhadap
antroposentrisme juga dieksplorasi, terutama dari perspektif ekosentrisme dan
biosentrisme, yang menekankan bahwa alam dan makhluk lain memiliki nilai
intrinsik yang setara dengan manusia. Dalam konteks kontemporer,
antroposentrisme masih berpengaruh dalam kebijakan lingkungan, bioetika, dan
teknologi, meskipun mengalami revisi melalui konsep weak anthropocentrism
dan pendekatan post-anthropocentric ethics. Dengan meningkatnya
tantangan global seperti perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam,
diperlukan sintesis etika yang lebih inklusif antara kepentingan manusia dan
keberlanjutan ekologi. Artikel ini menegaskan bahwa masa depan etika harus lebih
seimbang dengan mempertimbangkan hak-hak alam dan ekosistem dalam pengambilan
keputusan moral dan kebijakan publik.
Kata Kunci: Antroposentrisme, Etika Lingkungan, Biosentrisme,
Ekosentrisme, Pembangunan Berkelanjutan, Post-Anthropocentric Ethics, Filsafat
Moral, Bioetika, Krisis Ekologi, Stewardship.
PEMBAHASAN
Antroposentrisme (Human-Centered Ethics)
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Konsep Antroposentrisme dalam
Etika
Antroposentrisme merupakan
salah satu pendekatan utama dalam filsafat etika yang menempatkan manusia
sebagai pusat nilai moral dan kepentingan. Pendekatan ini menegaskan bahwa
manusia memiliki kedudukan istimewa dalam sistem moral, baik dalam hubungan
dengan sesama manusia maupun dengan entitas non-manusia, seperti hewan,
tumbuhan, dan lingkungan alam.¹ Konsep ini telah menjadi landasan utama dalam
berbagai pemikiran filsafat, hukum, dan kebijakan lingkungan, terutama dalam
konteks peradaban modern yang didominasi oleh eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya alam demi kemajuan manusia.
Sejak zaman Yunani Kuno,
filsuf seperti Aristoteles dan Plato telah mengembangkan pemikiran yang
menekankan dominasi manusia atas alam.² Dalam karyanya Politics,
Aristoteles berpendapat bahwa alam telah dirancang untuk kepentingan manusia,
dan hewan serta tumbuhan diciptakan untuk dimanfaatkan oleh manusia.³ Pandangan
ini terus berkembang dalam tradisi filsafat Barat, terutama dalam pemikiran
abad Pencerahan yang semakin mengukuhkan posisi manusia sebagai makhluk
rasional yang memiliki otoritas moral tertinggi. Immanuel Kant, misalnya, dalam
Groundwork of the Metaphysics of Morals, menegaskan bahwa manusia
adalah satu-satunya makhluk yang memiliki nilai intrinsik karena kemampuannya
dalam bertindak berdasarkan rasionalitas dan prinsip moral.⁴
Namun, dalam beberapa dekade
terakhir, pandangan antroposentris mengalami kritik tajam, terutama dari
gerakan lingkungan dan ekofilosofi yang menekankan pentingnya nilai intrinsik
pada alam dan makhluk hidup lainnya.⁵ Para pemikir seperti Aldo Leopold dan
Arne Naess mengembangkan konsep ekosentrisme dan biosentrisme yang berusaha
menentang dominasi moral manusia atas lingkungan.⁶ Meskipun demikian,
antroposentrisme tetap menjadi kerangka etika yang dominan, terutama dalam
kebijakan pembangunan berkelanjutan dan pemikiran etika terapan kontemporer.
1.2.
Relevansi Antroposentrisme dalam Kajian
Filsafat dan Moralitas
Kajian mengenai
antroposentrisme dalam etika sangat relevan dalam memahami bagaimana manusia
membentuk sistem moral yang mengatur hubungan mereka dengan alam dan sesama.⁷
Pandangan ini menjadi dasar bagi berbagai cabang etika, seperti etika
lingkungan, bioetika, dan etika teknologi, yang semuanya berusaha menjawab
pertanyaan fundamental mengenai kedudukan manusia dalam tatanan moral semesta.
Dalam konteks lingkungan, pendekatan
antroposentris sering kali digunakan sebagai justifikasi untuk eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan.⁸ Namun, terdapat pula varian
antroposentrisme yang lebih moderat, yang dikenal sebagai weak
anthropocentrism, yang menekankan tanggung jawab manusia dalam menjaga
keseimbangan ekologi tanpa mengesampingkan kebutuhan pembangunan dan kemajuan
peradaban.⁹ Oleh karena itu, kajian mengenai antroposentrisme tidak hanya
berperan dalam membentuk kebijakan publik, tetapi juga dalam mengarahkan tindakan
moral individu terhadap lingkungan dan entitas non-manusia.
1.3.
Tujuan dan Ruang Lingkup Pembahasan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk
memberikan kajian komprehensif mengenai konsep antroposentrisme dalam etika
dengan menelusuri asal-usul pemikirannya, prinsip-prinsip utama yang
melandasinya, serta kritik yang muncul terhadapnya. Dengan mengacu pada
berbagai referensi akademik yang kredibel, pembahasan akan mencakup sejarah
perkembangan konsep ini dalam filsafat, penerapannya dalam berbagai bidang
etika, serta relevansinya dalam konteks kontemporer, khususnya dalam menghadapi
tantangan lingkungan dan teknologi yang berkembang pesat.
Pembahasan dalam artikel ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai kelebihan dan
keterbatasan antroposentrisme, serta bagaimana pendekatan ini dapat
dikombinasikan dengan perspektif etika lainnya untuk menciptakan paradigma
moral yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
23.
[2]
Richard Sorabji, Animal Minds and Human Morals: The Origins of
the Western Debate (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 45-46.
[3]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:428.
[5]
J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic: More Essays in
Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1999), 12.
[6]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York:
Oxford University Press, 1949), 224-225.
[7]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
89.
[8]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward
an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 55.
[9]
Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety?
(Princeton: Princeton University Press, 1987), 99.
2.
Pengertian Antroposentrisme dalam Etika
2.1.
Definisi Antroposentrisme (Human-Centered
Ethics)
Antroposentrisme merupakan
suatu pendekatan dalam etika yang menempatkan manusia sebagai pusat dari
nilai-nilai moral dan kebijakan etis.¹ Pandangan ini menegaskan bahwa hanya
manusia yang memiliki nilai intrinsik dalam sistem moral, sedangkan makhluk
lain serta lingkungan hanya memiliki nilai instrumental sejauh mereka berguna
bagi kesejahteraan manusia.² Konsep ini sering dikaitkan dengan filsafat
humanisme dan rasionalisme, yang menekankan peran manusia sebagai makhluk yang
memiliki kesadaran, akal budi, dan hak moral tertinggi.
Menurut Bryan G. Norton,
seorang filsuf lingkungan, antroposentrisme adalah suatu paradigma yang
menekankan kepentingan manusia sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputusan etis, terutama dalam kebijakan lingkungan.³ Dalam pendekatan ini,
alam dipandang sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan
manusia, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun teknologi.⁴ Meskipun
demikian, ada perbedaan antara strong anthropocentrism
(antroposentrisme kuat) yang melihat alam sebagai alat bagi kepentingan manusia
tanpa batasan, dan weak anthropocentrism
(antroposentrisme lemah) yang tetap mengakui perlunya perlindungan lingkungan
demi kesejahteraan jangka panjang manusia.⁵
Dalam filsafat etika,
antroposentrisme sering diposisikan berlawanan dengan pandangan ekosentrisme
dan biosentrisme.⁶ Ekosentrisme menekankan bahwa alam secara keseluruhan
memiliki nilai intrinsik, sementara biosentrisme berfokus pada nilai kehidupan
semua makhluk hidup.⁷ Perbedaan ini menciptakan perdebatan panjang dalam etika
lingkungan dan kebijakan ekologis, di mana antroposentrisme sering dikritik
sebagai penyebab eksploitasi alam yang tidak berkelanjutan.
2.2.
Perbedaan Antroposentrisme dengan Ekosentrisme
dan Biosentrisme
Antroposentrisme memiliki
karakteristik utama yang membedakannya dari dua pendekatan etika lingkungan
lainnya, yaitu ekosentrisme dan biosentrisme. Untuk memahami perbedaan
tersebut, berikut adalah ringkasan karakteristik dari masing-masing pendekatan:
1)
Antroposentrisme:
Manusia adalah pusat nilai moral, dan lingkungan hanya memiliki nilai sejauh
bermanfaat bagi manusia.⁸
2)
Ekosentrisme:
Seluruh ekosistem memiliki nilai intrinsik, bukan hanya manusia.⁹
3)
Biosentrisme:
Semua makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan, memiliki nilai moral yang
melekat.¹⁰
Perbedaan mendasar ini
berimplikasi pada kebijakan lingkungan yang diterapkan oleh berbagai negara dan
organisasi. Sebagai contoh, pendekatan antroposentris sering terlihat dalam
kebijakan pembangunan ekonomi yang mengutamakan eksploitasi sumber daya alam
untuk kepentingan manusia, seperti eksploitasi hutan dan pertambangan.
Sebaliknya, kebijakan yang didasarkan pada ekosentrisme cenderung lebih
mendukung konservasi lingkungan dan keseimbangan ekosistem.¹¹
Meskipun sering dikritik
sebagai pendekatan yang berpotensi merusak lingkungan, antroposentrisme masih
menjadi paradigma dominan dalam kebijakan global.¹² Dalam perkembangannya,
banyak ahli yang berusaha mengombinasikan elemen-elemen dari pendekatan lain
untuk menciptakan model etika lingkungan yang lebih seimbang dan
berkelanjutan.¹³
2.3.
Dasar Filosofis dari Pandangan Antroposentrisme
Antroposentrisme memiliki
akar filosofis yang kuat dalam sejarah pemikiran manusia. Sejak zaman Yunani
Kuno, Aristoteles telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna
dalam tatanan alam karena memiliki rasionalitas yang membedakannya dari hewan
dan tumbuhan.¹⁴ Dalam Politics, ia menegaskan bahwa hewan dan tumbuhan
diciptakan untuk melayani kebutuhan manusia, baik sebagai sumber pangan maupun
alat kerja.¹⁵
Pandangan ini diperkuat dalam
filsafat modern, terutama oleh René Descartes dan Immanuel Kant. Descartes,
dalam Discourse on the Method, berpendapat bahwa hewan hanyalah mesin biologis
tanpa kesadaran, sehingga mereka tidak memiliki nilai moral yang sejajar dengan
manusia.¹⁶ Sementara itu, Kant, dalam Groundwork of the Metaphysics of
Morals, mengembangkan konsep categorical imperative yang
menekankan bahwa hanya manusia yang memiliki kehendak rasional, dan oleh karena
itu, hanya manusia yang memiliki nilai intrinsik dalam sistem etika.¹⁷
Pandangan antroposentris juga
sangat berpengaruh dalam etika lingkungan kontemporer, terutama dalam
pendekatan sustainable development yang mengutamakan kesejahteraan
manusia sebagai tujuan utama.¹⁸ Namun, dalam perkembangannya, muncul berbagai
revisi terhadap paradigma ini, seperti yang dikemukakan oleh J. Baird
Callicott, yang menyarankan pendekatan post-anthropocentrism yang
tetap mempertahankan peran manusia tetapi dengan lebih banyak perhatian
terhadap ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.¹⁹
Dengan demikian,
antroposentrisme tetap menjadi paradigma utama dalam filsafat etika, meskipun
terus mengalami perkembangan dan kritik yang membentuk pemahaman yang lebih
luas tentang hubungan manusia dengan alam.
Catatan Kaki
[1]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
27.
[2]
J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic: More Essays in
Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1999), 13.
[3]
Norton, Sustainability, 30.
[4]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward
an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 58.
[5]
Norton, Sustainability, 35.
[6]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
91.
[7]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York:
Oxford University Press, 1949), 228.
[8]
Norton, Why Preserve Natural Variety?
(Princeton: Princeton University Press, 1987), 102.
[9]
Eckersley, Environmentalism and Political Theory,
62.
[10]
Rolston, Environmental Ethics, 94.
[11]
Norton, Sustainability, 41.
[12]
Eckersley, Environmentalism and Political Theory,
68.
[13]
Callicott, Beyond the Land Ethic, 19.
[14]
Richard Sorabji, Animal Minds and Human Morals: The Origins of
the Western Debate (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 51.
[15]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.
[16]
René Descartes, Discourse on the Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 32.
[17]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:429.
[18]
Norton, Sustainability, 49.
[19]
Callicott, Beyond the Land Ethic, 26.
3.
Sejarah dan Perkembangan Pemikiran
Antroposentrisme
3.1.
Pengaruh Filsafat Yunani Kuno terhadap
Antroposentrisme
Konsep antroposentrisme dalam
etika memiliki akar yang kuat dalam filsafat Yunani Kuno. Pemikiran filsafat
pada masa ini banyak berfokus pada posisi manusia dalam tatanan kosmos serta
hubungan antara manusia dan alam. Salah satu pemikir utama yang memberikan
kontribusi terhadap gagasan antroposentrisme adalah Aristoteles. Dalam karyanya
Politics, ia menyatakan bahwa alam memiliki hierarki di mana manusia
menempati posisi tertinggi karena kapasitas rasionalnya.¹ Aristoteles juga
berpendapat bahwa hewan dan tumbuhan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
manusia, baik sebagai sumber makanan maupun sebagai sarana kerja.²
Plato, dalam Republic,
juga menunjukkan kecenderungan antroposentris dengan mengutamakan rasionalitas
manusia sebagai puncak keberadaan moral.³ Sementara itu, filsuf seperti
Protagoras mengungkapkan konsep "manusia sebagai ukuran segala
sesuatu" (homo mensura), yang menegaskan bahwa realitas dan nilai
moral hanya dapat dipahami dari perspektif manusia.⁴ Pemikiran ini menjadi
dasar bagi etika humanisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala
nilai moral dan eksistensi.
3.2.
Antroposentrisme dalam Filsafat Abad Pertengahan
dan Pengaruh Teologi
Pada Abad Pertengahan,
pemikiran antroposentrisme berkembang dengan pengaruh kuat dari teologi
Kristen. Pemikir seperti Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas mengadopsi
konsep bahwa manusia adalah makhluk istimewa yang diciptakan menurut gambar dan
rupa Tuhan (imago Dei).⁵ Dalam Summa Theologica, Aquinas
menguraikan bahwa segala sesuatu di dunia diciptakan untuk melayani kebutuhan
manusia, sementara manusia sendiri memiliki tugas untuk menjaga dan mengelola
ciptaan Tuhan.⁶
Namun, pendekatan ini tidak
selalu berarti eksploitasi alam secara bebas. Dalam banyak ajaran teologis,
manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memelihara lingkungan, meskipun
tetap dalam paradigma antroposentris.⁷ Pemikiran ini kemudian berkontribusi
terhadap munculnya konsep stewardship (penatalayanan) dalam etika lingkungan
modern, yang menekankan bahwa manusia memiliki hak atas sumber daya alam tetapi
juga kewajiban untuk mengelolanya secara bijaksana.⁸
3.3.
Antroposentrisme dalam Filsafat Modern:
Rasionalisme dan Ilmu Pengetahuan
Pada masa Pencerahan
(Enlightenment), antroposentrisme semakin menguat dengan berkembangnya filsafat
rasionalisme dan ilmu pengetahuan modern. René Descartes, dalam Discourse
on the Method, menegaskan bahwa manusia memiliki status unik karena
kemampuannya untuk berpikir (cogito, ergo sum).⁹ Descartes juga
mengembangkan konsep dualism yang memisahkan manusia sebagai makhluk
rasional dari dunia material, termasuk hewan dan lingkungan yang dianggap tidak
memiliki kesadaran.¹⁰ Pandangan ini memperkuat persepsi bahwa alam hanyalah
sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia tanpa pertimbangan nilai
intrinsik.
Immanuel Kant juga memberikan
kontribusi besar terhadap antroposentrisme dalam etika. Dalam Groundwork of
the Metaphysics of Morals, ia menjelaskan bahwa manusia memiliki nilai
intrinsik karena kemampuannya dalam bertindak berdasarkan prinsip rasional.¹¹
Kant menegaskan bahwa hanya manusia yang memiliki kehendak moral, sementara
alam dan makhluk lain hanya memiliki nilai instrumental.¹² Pemikiran ini
semakin memperkuat posisi manusia sebagai pusat etika moral, yang kemudian
mempengaruhi berbagai teori etika modern.
Selain itu, munculnya
Revolusi Ilmiah pada abad ke-16 dan ke-17 semakin mengukuhkan dominasi manusia
atas alam. Francis Bacon, dalam Novum Organum, mengusulkan metode
ilmiah yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengendalikan alam demi
kesejahteraan manusia.¹³ Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian
memungkinkan eksploitasi sumber daya alam secara lebih intensif, yang pada
akhirnya memperkuat paradigma antroposentris dalam kebijakan ekonomi dan
lingkungan.
3.4.
Perkembangan Antroposentrisme dalam Etika
Lingkungan Kontemporer
Pada abad ke-20,
antroposentrisme menghadapi kritik tajam dari gerakan lingkungan dan filosofi
ekologi. Aldo Leopold, dalam A Sand County Almanac, memperkenalkan
konsep land ethic yang menolak pandangan bahwa alam hanya memiliki
nilai instrumental bagi manusia.¹⁴ Ia berargumen bahwa ekosistem harus dihargai
sebagai suatu kesatuan yang memiliki nilai intrinsik, bukan hanya sebagai
sumber daya bagi manusia.¹⁵
Arne Naess, seorang filsuf
Norwegia, mengembangkan konsep deep ecology, yang berlawanan dengan
paradigma antroposentris dan menekankan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki
nilai moral yang sama.¹⁶ Gerakan ini mendorong perubahan dalam cara pandang
manusia terhadap alam, menantang pandangan antroposentrisme yang telah lama
mendominasi pemikiran etika.
Meskipun demikian,
antroposentrisme masih tetap relevan dalam kebijakan lingkungan modern,
terutama dalam pendekatan sustainable development (pembangunan
berkelanjutan).¹⁷ Konsep ini berusaha menggabungkan kesejahteraan manusia
dengan keberlanjutan ekologi, menciptakan pendekatan etika yang lebih seimbang
antara kepentingan manusia dan kelestarian alam.¹⁸
Seiring perkembangan zaman,
antroposentrisme mengalami berbagai revisi dan adaptasi dalam berbagai bidang,
termasuk etika teknologi, bioetika, dan kebijakan lingkungan global. Pemikiran
ini terus berkembang untuk menjawab tantangan baru, seperti perubahan iklim,
kelangkaan sumber daya, dan etika kecerdasan buatan.¹⁹ Dengan demikian,
meskipun mendapat kritik, antroposentrisme tetap menjadi paradigma dominan yang
membentuk cara manusia memahami hubungan mereka dengan dunia di sekitarnya.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.
[2]
Richard Sorabji, Animal Minds and Human Morals: The Origins of
the Western Debate (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 45-46.
[3]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 369b.
[4]
Protagoras, fragmen dalam The Presocratic Philosophers, ed.
G. S. Kirk et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 80.
[5]
Augustine, The City of God, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin Books, 2003), 22.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 96, a.
1.
[7]
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 56.
[8]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
89.
[9]
René Descartes, Discourse on the Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 32.
[10]
Ibid., 34.
[11]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:428.
[12]
Ibid., 4:435.
[13]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach
and John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), 121.
[14]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York:
Oxford University Press, 1949), 224-225.
[15]
Ibid., 228.
[16]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 175.
[17]
Norton, Sustainability, 49.
[18]
Ibid., 53.
[19]
Callicott, Beyond the Land Ethic, 26.
4.
Prinsip-Prinsip Utama Antroposentrisme
4.1.
Kedudukan Manusia sebagai Pusat Nilai Moral
Salah satu prinsip utama
dalam antroposentrisme adalah anggapan bahwa manusia merupakan entitas dengan
nilai moral tertinggi di alam semesta.¹ Dalam paradigma ini, hanya manusia yang
memiliki kesadaran rasional (rational consciousness), kapasitas etika,
dan kemampuan untuk membuat keputusan moral yang berdampak luas.² Immanuel
Kant, dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, menyatakan bahwa
manusia memiliki nilai intrinsik (intrinsic worth) karena hanya
manusia yang dapat bertindak berdasarkan prinsip moral yang rasional.³ Dalam
perspektif Kantian, semua makhluk lain di dunia ini hanya memiliki nilai
instrumental, yaitu nilai yang bergantung pada sejauh mana mereka berguna bagi
kepentingan manusia.⁴
Pandangan ini juga tercermin
dalam filsafat Yunani Kuno. Aristoteles dalam Politics menyatakan
bahwa manusia menempati posisi tertinggi dalam hierarki alam karena memiliki
rasionalitas yang membedakannya dari hewan dan tumbuhan.⁵ Dalam tradisi Kristen
dan pemikiran teologis Abad Pertengahan, konsep ini diperkuat oleh gagasan
bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan (imago Dei),
sehingga memiliki otoritas moral dan tanggung jawab terhadap alam.⁶
Namun, dalam perkembangannya,
pandangan ini mendapat kritik dari berbagai aliran pemikiran yang menekankan
pentingnya nilai intrinsik bagi makhluk non-manusia, seperti ekosentrisme dan
biosentrisme.⁷ Meskipun demikian, antroposentrisme tetap menjadi landasan bagi
banyak sistem etika, termasuk dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan lingkungan
modern.⁸
4.2.
Tanggung Jawab Manusia terhadap Lingkungan dan
Makhluk Lain
Meskipun antroposentrisme
sering dikaitkan dengan eksploitasi alam, beberapa varian dari pendekatan ini,
seperti weak anthropocentrism (antroposentrisme lemah), menekankan
bahwa manusia memiliki tanggung jawab etis terhadap lingkungan dan makhluk
lain.⁹ Bryan G. Norton dalam Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management menjelaskan bahwa meskipun manusia merupakan pusat
nilai moral, mereka juga memiliki kewajiban untuk mengelola alam secara
berkelanjutan demi kesejahteraan generasi mendatang.¹⁰
Konsep ini sering dikaitkan
dengan prinsip stewardship (penatalayanan), yang berasal dari tradisi
teologis dan etika lingkungan modern.¹¹ Prinsip ini menegaskan bahwa meskipun
manusia memiliki hak untuk menggunakan sumber daya alam, mereka juga memiliki
kewajiban moral untuk tidak merusaknya secara berlebihan.¹² Robyn Eckersley
dalam Environmentalism and Political Theory menekankan bahwa tanggung
jawab manusia terhadap lingkungan tidak semata-mata didasarkan pada kepentingan
manusia saja, tetapi juga pada kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan
ekosistem yang menopang kehidupan.¹³
Dalam konteks kebijakan
lingkungan global, pendekatan ini terlihat dalam konsep sustainable
development (pembangunan berkelanjutan), yang menggabungkan prinsip
antroposentris dengan kesadaran ekologis.¹⁴ Tujuannya adalah untuk memastikan
bahwa pemanfaatan sumber daya alam tidak hanya menguntungkan manusia saat ini,
tetapi juga tidak merugikan generasi mendatang.¹⁵
4.3.
Etika Utilitarianisme dan Deontologi dalam
Perspektif Antroposentris
Antroposentrisme dalam etika
sering dikaitkan dengan dua teori moral utama, yaitu utilitarianisme
dan deontologi. Kedua teori ini memberikan
justifikasi filosofis terhadap pendekatan antroposentris dalam pengambilan
keputusan etis.
4.3.1.
Utilitarianisme
Antroposentris
Dalam perspektif
utilitarianisme, keputusan etis harus didasarkan pada prinsip "kebaikan
terbesar bagi jumlah terbesar orang" (the greatest happiness principle).¹⁶
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menegaskan bahwa tindakan yang benar adalah
tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi manusia.¹⁷ Dalam konteks
antroposentrisme, pendekatan ini sering digunakan dalam kebijakan ekonomi dan
lingkungan, di mana eksploitasi sumber daya alam dapat dibenarkan jika
manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya bagi masyarakat.¹⁸
Misalnya, dalam kebijakan
deforestasi untuk pembangunan infrastruktur, pendekatan utilitarian dapat
digunakan untuk menimbang manfaat ekonomi jangka pendek terhadap dampak
lingkungan jangka panjang.¹⁹ Pendekatan ini sering dikritik karena cenderung
mengabaikan nilai intrinsik dari alam dan makhluk hidup lainnya.²⁰
4.3.2.
Deontologi
Antroposentris
Berbeda dengan
utilitarianisme yang berfokus pada konsekuensi, deontologi menekankan bahwa
tindakan moral harus didasarkan pada kewajiban dan prinsip moral yang tetap.²¹
Dalam perspektif Kantian, manusia memiliki dignity yang membuatnya
wajib diperlakukan sebagai tujuan (end in itself), bukan sebagai alat
(means to an end).²² Namun, dalam kerangka antroposentris, konsep ini
sering diterapkan secara eksklusif pada manusia, dengan mengesampingkan hak-hak
moral bagi makhluk lain.²³
Sebagai contoh, dalam
bioetika, banyak argumen yang membela hak manusia atas pengembangan
bioteknologi, meskipun teknologi tersebut dapat berdampak negatif pada spesies
lain.²⁴ Pandangan ini sering menjadi dasar bagi kebijakan tentang hak asasi
manusia, tetapi sekaligus menimbulkan dilema etis terkait perlakuan terhadap
hewan dan lingkungan.²⁵
Kesimpulan
Prinsip-prinsip utama dalam
antroposentrisme menegaskan bahwa manusia adalah pusat nilai moral, memiliki
tanggung jawab terhadap lingkungan, dan dapat menggunakan prinsip etika seperti
utilitarianisme dan deontologi dalam pengambilan keputusan moral. Meskipun
pendekatan ini telah lama mendominasi pemikiran etika, kritik dari ekosentrisme
dan biosentrisme semakin menantang keberadaannya. Namun, dalam kebijakan
lingkungan modern, banyak pemikir berusaha menyintesiskan pendekatan
antroposentris dengan kesadaran ekologis untuk menciptakan sistem etika yang
lebih berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:428.
[2]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
87.
[3]
Kant, Groundwork, 4:432.
[4]
Ibid., 4:435.
[5]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 96, a.
1.
[7]
J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic (Albany: SUNY
Press, 1999), 13.
[8]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
29.
[9]
Norton, Sustainability, 34.
[10]
Ibid., 38.
[11]
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 56.
[12]
Eckersley, Environmentalism and Political Theory,
59.
[13]
Ibid., 63.
[14]
Norton, Sustainability, 45.
[15]
Ibid., 48.
[16]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 14.
[17]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 17.
[18]
Norton, Sustainability, 52.
[19]
Ibid., 55.
[20]
Callicott, Beyond the Land Ethic, 21.
[21]
Kant, Groundwork, 4:437.
[22]
Ibid.
[23]
Ibid., 4:439.
[24]
Rolston, Environmental Ethics, 90.
[25]
Attfield, Environmental Ethics, 66.
5.
Kritik terhadap Antroposentrisme
5.1.
Kritik dari Perspektif Ekosentrisme dan
Biosentrisme
Salah satu kritik utama
terhadap antroposentrisme berasal dari perspektif ekosentrisme
dan biosentrisme, yang menolak gagasan bahwa manusia
adalah satu-satunya entitas dengan nilai moral intrinsik.¹ Ekosentrisme
berpendapat bahwa seluruh ekosistem memiliki nilai moral tersendiri, bukan
hanya manusia.² Pendekatan ini dipopulerkan oleh Aldo Leopold dalam konsep land
ethic, yang menyatakan bahwa "sesuatu itu benar jika ia
mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik."³
Sementara itu, biosentrisme
menegaskan bahwa semua makhluk hidup, baik manusia maupun non-manusia, memiliki
nilai intrinsik dan hak moral yang sama.⁴ Arne Naess, pencetus gerakan deep
ecology, menolak antroposentrisme dan menegaskan bahwa manusia hanyalah
bagian kecil dari jaringan kehidupan yang luas.⁵ Ia mengkritik eksploitasi alam
yang dilakukan manusia dan mengusulkan pendekatan etika yang lebih menghormati
semua bentuk kehidupan.⁶
Para kritikus berpendapat
bahwa antroposentrisme telah menjadi penyebab utama eksploitasi alam, polusi,
dan kepunahan spesies.⁷ Dengan menempatkan kepentingan manusia di atas semua
hal, pendekatan ini dianggap mengabaikan keseimbangan ekologis dan
keberlanjutan lingkungan.⁸ Holmes Rolston III berargumen bahwa jika hanya
manusia yang memiliki nilai moral intrinsik, maka tindakan seperti deforestasi
dan perburuan hewan untuk kepentingan ekonomi dapat dibenarkan secara etis,
meskipun tindakan tersebut merusak ekosistem secara luas.⁹
5.2.
Argumen dalam Filsafat Lingkungan
Dalam filsafat lingkungan,
banyak pemikir menentang antroposentrisme karena dampaknya terhadap kebijakan ekologis.
Robyn Eckersley dalam Environmentalism and Political Theory
berpendapat bahwa paradigma antroposentris telah mendorong eksploitasi sumber
daya alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.¹⁰ Ia mengusulkan
pendekatan ekopolitik yang lebih inklusif dan mempertimbangkan hak alam sebagai
bagian dari kebijakan moral dan hukum.¹¹
Selain itu, J. Baird
Callicott mengkritik antroposentrisme dengan menunjukkan bahwa pendekatan ini
menciptakan hierarki nilai yang tidak adil antara manusia dan alam.¹² Menurutnya,
dalam sistem moral yang lebih adil, ekosistem harus dilihat sebagai entitas
dengan haknya sendiri, bukan hanya sebagai alat bagi kepentingan manusia.¹³
Dalam konteks etika
lingkungan kontemporer, banyak akademisi yang mendukung pergeseran dari paradigma
antroposentris ke paradigma yang lebih ekosentris.¹⁴ Contohnya, dalam kebijakan
perubahan iklim, pendekatan yang terlalu antroposentris sering kali gagal
mempertimbangkan dampak ekologis yang luas, sementara pendekatan ekosentris
lebih fokus pada keberlanjutan jangka panjang.¹⁵
5.3.
Implikasi Antroposentrisme terhadap Krisis
Ekologis dan Eksploitasi Sumber Daya
Antroposentrisme sering
disalahkan sebagai penyebab utama berbagai krisis ekologis yang dihadapi dunia
saat ini.¹⁶ Dengan menempatkan kepentingan manusia di atas kepentingan
ekosistem, pendekatan ini telah menyebabkan deforestasi besar-besaran,
pencemaran lingkungan, dan kepunahan spesies.¹⁷ Lynn White Jr., dalam esainya
yang terkenal The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, berpendapat
bahwa warisan filsafat dan agama yang bersifat antroposentris telah mendorong
eksploitasi alam secara berlebihan.¹⁸
Pendekatan pembangunan
ekonomi yang berbasis pada pertumbuhan tanpa batas juga merupakan hasil dari
paradigma antroposentris.¹⁹ Dalam ekonomi neoklasik, alam sering kali dianggap
sebagai "modal alam" yang dapat dieksploitasi sebebas-bebasnya
untuk kepentingan manusia.²⁰ Konsep ini telah dikritik oleh banyak ekonom
lingkungan, seperti Herman Daly, yang mengusulkan model steady-state
economy yang lebih berkelanjutan.²¹
Selain itu, pendekatan
antroposentris dalam kebijakan lingkungan sering kali mengabaikan hak-hak
komunitas lokal dan masyarakat adat yang memiliki hubungan spiritual dan
ekologis yang lebih erat dengan alam.²² Misalnya, proyek-proyek eksploitasi
sumber daya seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit sering dilakukan
tanpa mempertimbangkan dampak terhadap komunitas lokal yang bergantung pada
ekosistem untuk kehidupan mereka.²³
5.4.
Alternatif terhadap Antroposentrisme: Menuju Paradigma
Post-Anthropocentric
Sebagai respons terhadap
kritik yang berkembang, banyak pemikir telah mengusulkan konsep post-anthropocentric
ethics, yang berusaha mengakomodasi kepentingan ekologi tanpa
menghilangkan peran manusia dalam sistem moral.²⁴ Konsep ini berusaha mencari
titik tengah antara antroposentrisme dan ekosentrisme dengan mengembangkan
pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.²⁵
Bryan G. Norton mengusulkan
pendekatan weak anthropocentrism,
yang tetap menempatkan manusia sebagai pusat moral, tetapi dengan
mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan.²⁶ Pendekatan ini
menekankan bahwa menjaga ekosistem adalah kepentingan manusia sendiri karena
keberlanjutan ekologis secara langsung berdampak pada kesejahteraan manusia.²⁷
Dalam kebijakan lingkungan,
pendekatan seperti Earth Jurisprudence (hukum bumi) yang dikembangkan
oleh Christopher D. Stone dan Cormac Cullinan, mulai mempertimbangkan hak hukum
bagi alam.²⁸ Beberapa negara seperti Ekuador dan Bolivia telah memasukkan hak alam
dalam konstitusi mereka, yang menandakan pergeseran dari paradigma
antroposentris menuju model yang lebih inklusif secara ekologis.²⁹
Kesimpulan
Kritik terhadap
antroposentrisme telah berkembang dalam berbagai bidang, terutama dalam
filsafat lingkungan dan kebijakan ekologi. Pendekatan ini dikritik karena
dianggap sebagai penyebab eksploitasi alam dan krisis ekologis global.
Alternatif seperti ekosentrisme, biosentrisme, dan paradigma
post-anthropocentric telah berkembang sebagai upaya untuk menciptakan etika
yang lebih berkelanjutan. Meskipun antroposentrisme masih mendominasi pemikiran
etika dan kebijakan lingkungan, berbagai revisi terhadap paradigma ini
menunjukkan adanya pergeseran menuju pendekatan yang lebih seimbang antara
kepentingan manusia dan alam.
Catatan Kaki
[1]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York:
Oxford University Press, 1949), 225.
[2]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
98.
[3]
Leopold, A Sand County Almanac, 224.
[4]
J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic (Albany: SUNY
Press, 1999), 14.
[5]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 178.
[6]
Ibid.
[7]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward
an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 60.
[8]
Ibid., 64.
[9]
Rolston, Environmental Ethics, 101.
[10]
Eckersley, Environmentalism and Political Theory,
69.
[11]
Ibid., 72.
[12]
Callicott, Beyond the Land Ethic, 21.
[13]
Ibid., 24.
[14]
Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
53.
[15]
Ibid., 56.
[16]
Lynn White Jr., The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,
Science 155, no. 3767 (1967): 1203.
[17]
Herman Daly, Steady-State Economics (Washington:
Island Press, 1991), 33.
[18]
Norton, Sustainability, 58.
[19]
Christopher D. Stone, Should Trees Have Standing?
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 45.
[20]
Ibid., 47.
[21]
Herman Daly, Steady-State Economics
(Washington: Island Press, 1991), 57.
[22]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and
Development (London: Zed Books, 1989), 42.
[23]
Arturo Escobar, Encountering Development: The
Making and Unmaking of the Third World (Princeton: Princeton University
Press, 1995), 99.
[24]
Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety?
(Princeton: Princeton University Press, 1987), 109.
[25]
Christopher Preston, Saving Creation: Nature and
Faith in the Life of Holmes Rolston III (San Antonio: Trinity University
Press, 2009), 151.
[26]
Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management, 77.
[27]
Ibid., 80.
[28]
Christopher D. Stone, Should Trees Have
Standing? (Oxford: Oxford University Press, 2010), 92.
[29]
Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth
Justice (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2011), 113.
6.
Antroposentrisme dalam Konteks Kontemporer
6.1.
Relevansi Antroposentrisme dalam Kebijakan
Lingkungan dan Keberlanjutan
Di era kontemporer,
antroposentrisme masih menjadi paradigma dominan dalam berbagai kebijakan
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).¹
Pendekatan ini digunakan untuk menyeimbangkan kepentingan manusia dengan
kebutuhan ekosistem, meskipun tetap menempatkan kesejahteraan manusia sebagai
prioritas utama.² Konsep pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh United
Nations Brundtland Commission menegaskan bahwa kebijakan lingkungan harus
mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi
mendatang.³
Bryan G. Norton mengembangkan
konsep weak anthropocentrism,
yang tetap mempertahankan posisi manusia sebagai pusat moral, tetapi dengan
mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan.⁴ Dalam pendekatan
ini, eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian
agar ekosistem tetap lestari untuk masa depan.⁵
Pendekatan ini juga terlihat
dalam kebijakan energi bersih dan mitigasi perubahan iklim, seperti yang
dikembangkan dalam Paris Agreement, di mana negara-negara berkomitmen
untuk mengurangi emisi karbon demi kesejahteraan manusia jangka panjang.⁶
Namun, kritik terhadap pendekatan ini tetap muncul dari kalangan ekosentris dan
biosentris yang berpendapat bahwa kebijakan berbasis antroposentrisme cenderung
bersifat pragmatis dan tidak benar-benar menghormati hak-hak alam secara
intrinsik.⁷
6.2.
Implikasi Antroposentrisme dalam Bioetika dan
Teknologi
Dalam bidang bioetika,
antroposentrisme memainkan peran penting dalam berbagai perdebatan etis
mengenai hak asasi manusia, teknologi medis, dan penelitian ilmiah.⁸ Misalnya,
dalam diskusi mengenai rekayasa genetika dan bioteknologi, pendekatan
antroposentris digunakan untuk menjustifikasi pengembangan teknologi yang
bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia, meskipun teknologi tersebut
mungkin memiliki dampak yang tidak terprediksi terhadap ekosistem dan spesies
lain.⁹
Sebagai contoh, eksplorasi
teknologi CRISPR-Cas9 dalam
rekayasa genetika manusia sering kali dibenarkan berdasarkan prinsip
antroposentris bahwa manusia memiliki hak untuk mengubah kode genetik mereka
demi meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup.¹⁰ Namun, etika lingkungan yang
lebih ekosentris menyoroti bahwa manipulasi genetika juga dapat berdampak pada
keseimbangan ekosistem, misalnya dalam kasus rekayasa genetika pada tanaman dan
hewan yang dapat mengubah rantai makanan alami.¹¹
Teknologi kecerdasan buatan (artificial
intelligence, AI) juga menimbulkan pertanyaan etis dalam konteks
antroposentrisme.¹² Sebagian besar diskusi etika AI berpusat pada dampaknya
terhadap kesejahteraan manusia, seperti efeknya terhadap pekerjaan, privasi,
dan hak asasi manusia.¹³ Namun, pendekatan ini dikritik karena mengabaikan
dampak jangka panjang AI terhadap lingkungan dan spesies lain, terutama terkait
dengan konsumsi energi yang tinggi dari sistem komputasi AI dan penggunaannya
dalam eksploitasi sumber daya alam.¹⁴
6.3.
Perspektif Agama dan Spiritualitas terhadap
Antroposentrisme
Berbagai tradisi agama dan
spiritualitas telah memberikan kontribusi terhadap wacana antroposentrisme dalam
konteks kontemporer. Dalam teologi Kristen, misalnya, konsep stewardship
atau penatalayanan lingkungan menekankan bahwa manusia memiliki tanggung jawab
moral untuk menjaga alam sebagai bagian dari mandat Tuhan.¹⁵ Gagasan ini telah
digunakan dalam banyak dokumen gerejawi, termasuk ensiklik Laudato Si’
yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus, yang menyerukan perlunya tanggung jawab
manusia dalam menghadapi krisis lingkungan.¹⁶
Dalam Islam, konsep khalifah
(pemimpin di bumi) juga menegaskan peran manusia sebagai penjaga lingkungan.¹⁷
Al-Qur'an menyatakan bahwa manusia diberikan amanah untuk mengelola bumi dengan
adil dan tidak melakukan kerusakan (fasad).¹⁸ Namun, pendekatan ini
tetap dalam kerangka antroposentris, karena manusia masih dianggap sebagai pemegang
otoritas utama dalam hubungan dengan alam.¹⁹
Tradisi spiritual lainnya,
seperti filsafat Hindu dan Buddhisme, cenderung lebih dekat dengan pendekatan
biosentris dan ekosentris.²⁰ Dalam ajaran Buddhisme, misalnya, konsep ahimsa
(tanpa kekerasan) tidak hanya berlaku bagi manusia tetapi juga bagi semua
makhluk hidup.²¹ Ini menantang paradigma antroposentris dengan menekankan bahwa
semua kehidupan memiliki nilai moral yang setara.²²
6.4.
Antroposentrisme dan Tantangan Global
Dalam menghadapi tantangan
global seperti perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan kepunahan massal
spesies, pendekatan antroposentris terus dipertanyakan.²³ Banyak ilmuwan dan
filsuf menyoroti bahwa kebijakan berbasis antroposentrisme sering kali gagal
menangani krisis ekologi karena lebih berfokus pada kepentingan jangka pendek
manusia.²⁴
Misalnya, kebijakan mitigasi
perubahan iklim sering kali lebih menekankan pada dampaknya terhadap ekonomi
dan kesejahteraan manusia, dibandingkan pada dampaknya terhadap ekosistem
secara keseluruhan.²⁵ Para pemikir seperti Naomi Klein dalam This Changes
Everything mengkritik bagaimana kapitalisme berbasis antroposentris telah
memperburuk perubahan iklim dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi di atas
keberlanjutan lingkungan.²⁶
Sebagai respons terhadap
tantangan ini, konsep post-anthropocentric ethics
mulai dikembangkan untuk mencari keseimbangan antara kepentingan manusia dan
kelestarian alam.²⁷ Pendekatan ini mengusulkan sistem moral yang lebih inklusif
terhadap hak-hak alam dan spesies non-manusia, dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip ekologis dalam pengambilan keputusan etis.²⁸
Kesimpulan
Antroposentrisme masih
memainkan peran dominan dalam berbagai aspek kehidupan kontemporer, mulai dari
kebijakan lingkungan, bioetika, hingga teknologi. Namun, pendekatan ini semakin
banyak dikritik karena dianggap tidak cukup responsif terhadap krisis ekologis
global. Meskipun demikian, adaptasi seperti weak anthropocentrism
dan konsep stewardship menunjukkan
bahwa pendekatan ini masih dapat berkembang untuk menyesuaikan dengan tantangan
zaman.
Di sisi lain, perdebatan
antara antroposentrisme dan paradigma yang lebih ekologis terus berkembang,
menandakan perlunya sintesis yang lebih seimbang antara kepentingan manusia dan
kelestarian alam. Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif eksploitasi
sumber daya, masa depan etika kontemporer mungkin akan semakin bergerak menuju
pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
United Nations, Our Common Future (Oxford: Oxford
University Press, 1987), 43.
[2]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
27.
[3]
United Nations, Our Common Future, 51.
[4]
Norton, Sustainability, 34.
[5]
Ibid., 38.
[6]
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), The
Paris Agreement, 2015, 3.
[7]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory
(Albany: SUNY Press, 1992), 60.
[8]
J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic (Albany: SUNY
Press, 1999), 14.
[9]
Julian Savulescu, Unfit for the Future: The Need for Moral
Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2012), 92.
[10]
Ibid., 95.
[11]
Eckersley, Environmentalism and Political Theory,
75.
[12]
Luciano Floridi, The Ethics of Artificial Intelligence
(Oxford: Oxford University Press, 2021), 61.
[13]
Ibid., 67.
[14]
Ibid., 72.
[15]
Pope Francis, Laudato Si’ (Vatican: Vatican
Press, 2015), 23.
[16]
Ibid., 34.
[17]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature (Chicago: ABC
International, 1997), 41.
[18]
Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah 2:30.
[19]
Nasr, Man and Nature, 53.
[20]
Christopher Key Chapple, Hindu Ethics: Purity, Abortion, and Euthanasia
(Albany: SUNY Press, 2001), 109.
[21]
Ibid., 114.
[22]
Ibid., 117.
[23]
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 89.
[24]
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the
New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 102.
[25]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 57.
[26]
Ibid., 61.
[27]
Tim Benton, Human Planet: How We Created the
Anthropocene (New Haven: Yale University Press, 2021), 145.
[28]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 133.
7.
Kesimpulan
Antroposentrisme tetap
menjadi paradigma dominan dalam etika, filsafat lingkungan, dan kebijakan
sosial.¹ Sebagai pendekatan yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral,
antroposentrisme telah berkontribusi pada perkembangan peradaban, ilmu
pengetahuan, dan teknologi, tetapi juga menghadapi kritik tajam dari kalangan
ekosentrisme dan biosentrisme.² Dalam pembahasan artikel ini, kita telah
menelusuri asal-usul historis antroposentrisme, prinsip-prinsip utamanya,
kritik yang muncul terhadapnya, serta relevansinya dalam konteks kontemporer.
Secara historis,
antroposentrisme telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno dengan pemikiran
Aristoteles dan Plato, yang menekankan rasionalitas manusia sebagai dasar nilai
moral tertinggi.³ Pemikiran ini kemudian diperkuat dalam filsafat modern oleh
Immanuel Kant, René Descartes, dan berbagai pemikir Pencerahan yang semakin
menegaskan bahwa manusia memiliki hak moral lebih tinggi dibandingkan makhluk
lainnya.⁴ Paradigma ini terus berlanjut dalam berbagai aspek kehidupan modern,
termasuk kebijakan lingkungan, bioetika, dan teknologi.
Meskipun memberikan banyak
kontribusi terhadap kemajuan manusia, antroposentrisme telah dikritik karena
dianggap menjadi penyebab utama eksploitasi sumber daya alam dan krisis
ekologis.⁵ Pendekatan ini sering digunakan sebagai dasar pembenaran bagi
eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya demi
kepentingan ekonomi dan pembangunan.⁶ Kritik dari perspektif ekosentrisme dan
biosentrisme, sebagaimana dikembangkan oleh Aldo Leopold dan Arne Naess,
menegaskan bahwa manusia seharusnya tidak menjadi satu-satunya entitas dengan
nilai intrinsik dalam sistem etika.⁷
Dalam konteks kontemporer,
antroposentrisme masih memiliki peran penting, tetapi telah mengalami berbagai
adaptasi dan revisi. Pendekatan seperti weak anthropocentrism,
sebagaimana dikembangkan oleh Bryan G. Norton, berusaha menyeimbangkan
kepentingan manusia dengan kesadaran ekologis untuk menciptakan sistem moral
yang lebih berkelanjutan.⁸ Selain itu, konsep stewardship,
yang banyak ditemukan dalam ajaran agama seperti Islam dan Kristen, menegaskan
bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga alam sebagai bagian
dari amanah Tuhan.⁹
Namun, tantangan besar masih
dihadapi oleh pendekatan antroposentrisme dalam merespons perubahan iklim,
kelangkaan sumber daya, dan dampak negatif dari kemajuan teknologi.¹⁰ Naomi
Klein dalam This Changes Everything mengkritik bagaimana kapitalisme
berbasis antroposentris telah mempercepat degradasi lingkungan melalui
eksploitasi yang tidak berkelanjutan.¹¹ Sebagai alternatif, banyak akademisi
dan filsuf mengusulkan pendekatan post-anthropocentric
ethics, yang mencoba mengakomodasi keseimbangan antara
kepentingan manusia dan hak-hak ekologis secara lebih luas.¹²
Dalam menghadapi tantangan
masa depan, antroposentrisme perlu terus dikembangkan dengan pendekatan yang
lebih inklusif dan ekologis.¹³ Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya
keseimbangan antara kepentingan manusia dan keberlanjutan lingkungan, sistem
etika masa depan harus mampu mengakomodasi prinsip-prinsip ekosentrisme dan
biosentrisme tanpa sepenuhnya menghilangkan peran manusia sebagai agen moral
utama.¹⁴
Dengan demikian, meskipun
antroposentrisme tetap menjadi paradigma dominan dalam etika dan kebijakan
global, kritik dan revisi terhadapnya menunjukkan bahwa sistem moral yang lebih
berkelanjutan harus mampu mengintegrasikan perspektif yang lebih luas.¹⁵ Masa
depan etika tidak hanya bergantung pada bagaimana manusia memahami peran mereka
di dunia, tetapi juga pada sejauh mana mereka dapat hidup secara harmonis
dengan alam dan semua bentuk kehidupan yang ada di dalamnya.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
27.
[2]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988),
88.
[3]
Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:428.
[5]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory
(Albany: SUNY Press, 1992), 60.
[6]
J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic (Albany: SUNY
Press, 1999), 14.
[7]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York:
Oxford University Press, 1949), 224.
[8]
Norton, Sustainability, 34.
[9]
Pope Francis, Laudato Si’ (Vatican: Vatican
Press, 2015), 23.
[10]
Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the
Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 89.
[11]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 61.
[12]
Tim Benton, Human Planet: How We Created the Anthropocene
(New Haven: Yale University Press, 2021), 145.
[13]
Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic
Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 102.
[14]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a
21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 133.
[15]
Christopher D. Stone, Should Trees Have Standing?
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 92.
[16]
Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice
(White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2011), 113.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve,
Trans.). Hackett Publishing.
Bacon, F. (1994). Novum Organum (P. Urbach
& J. Gibson, Trans.). Open Court.
Benton, T. (2021). Human Planet: How We Created
the Anthropocene. Yale University Press.
Callicott, J. B. (1999). Beyond the Land Ethic:
More Essays in Environmental Philosophy. SUNY Press.
Chapple, C. K. (2001). Hindu Ethics: Purity,
Abortion, and Euthanasia. SUNY Press.
Cullinan, C. (2011). Wild Law: A Manifesto for
Earth Justice. Chelsea Green Publishing.
Daly, H. (1991). Steady-State Economics.
Island Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on the Method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Eckersley, R. (1992). Environmentalism and
Political Theory: Toward an Ecocentric Approach. SUNY Press.
Floridi, L. (2021). The Ethics of Artificial
Intelligence. Oxford University Press.
Francis, P. (2015). Laudato Si’. Vatican
Press.
Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The Fate of
Humans in the Anthropocene. Polity Press.
Kant, I. (1997). Groundwork of the Metaphysics
of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Klein, N. (2014). This Changes Everything:
Capitalism vs. The Climate. Simon & Schuster.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight Lectures
on the New Climatic Regime. Polity Press.
Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac.
Oxford University Press.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher,
Ed.). Hackett Publishing.
Naess, A. (1989). Ecology, Community and
Lifestyle. Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1997). Man and Nature. ABC
International.
Norton, B. G. (1987). Why Preserve Natural
Variety? Princeton University Press.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A
Philosophy of Adaptive Ecosystem Management. University of Chicago Press.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett Publishing.
Preston, C. (2009). Saving Creation: Nature and
Faith in the Life of Holmes Rolston III. Trinity University Press.
Raworth, K. (2017). Doughnut Economics: Seven
Ways to Think Like a 21st-Century Economist. Random House.
Rolston III, H. (1988). Environmental Ethics:
Duties to and Values in the Natural World. Temple University Press.
Savulescu, J. (2012). Unfit for the Future: The
Need for Moral Enhancement. Oxford University Press.
Shiva, V. (1989). Staying Alive: Women, Ecology
and Development. Zed Books.
Sorabji, R. (1993). Animal Minds and Human
Morals: The Origins of the Western Debate. Cornell University Press.
Stone, C. D. (2010). Should Trees Have Standing?
Oxford University Press.
United Nations. (1987). Our Common Future.
Oxford University Press.
United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC). (2015). The Paris Agreement.
White Jr., L. (1967). The Historical Roots of
Our Ecologic Crisis. Science, 155(3767), 1203-1207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar