Kamis, 06 Maret 2025

Antroposentrisme dalam Etika: Kajian Komprehensif Berbasis Referensi Kredibel

Antroposentrisme dalam Etika

Kajian Komprehensif Berbasis Referensi Kredibel


Alihkan ke: Etika Lingkungan


Abstrak

Antroposentrisme merupakan paradigma etika yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral dan kepentingan. Artikel ini membahas perkembangan historis antroposentrisme dari filsafat Yunani Kuno, teologi Abad Pertengahan, hingga pemikiran modern seperti rasionalisme dan ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip utama antroposentrisme, termasuk kedudukan manusia sebagai pemegang otoritas moral tertinggi serta tanggung jawabnya terhadap lingkungan, dikaji secara mendalam. Kritik terhadap antroposentrisme juga dieksplorasi, terutama dari perspektif ekosentrisme dan biosentrisme, yang menekankan bahwa alam dan makhluk lain memiliki nilai intrinsik yang setara dengan manusia. Dalam konteks kontemporer, antroposentrisme masih berpengaruh dalam kebijakan lingkungan, bioetika, dan teknologi, meskipun mengalami revisi melalui konsep weak anthropocentrism dan pendekatan post-anthropocentric ethics. Dengan meningkatnya tantangan global seperti perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam, diperlukan sintesis etika yang lebih inklusif antara kepentingan manusia dan keberlanjutan ekologi. Artikel ini menegaskan bahwa masa depan etika harus lebih seimbang dengan mempertimbangkan hak-hak alam dan ekosistem dalam pengambilan keputusan moral dan kebijakan publik.

Kata Kunci: Antroposentrisme, Etika Lingkungan, Biosentrisme, Ekosentrisme, Pembangunan Berkelanjutan, Post-Anthropocentric Ethics, Filsafat Moral, Bioetika, Krisis Ekologi, Stewardship.


PEMBAHASAN

Antroposentrisme (Human-Centered Ethics)


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Konsep Antroposentrisme dalam Etika

Antroposentrisme merupakan salah satu pendekatan utama dalam filsafat etika yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral dan kepentingan. Pendekatan ini menegaskan bahwa manusia memiliki kedudukan istimewa dalam sistem moral, baik dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dengan entitas non-manusia, seperti hewan, tumbuhan, dan lingkungan alam.¹ Konsep ini telah menjadi landasan utama dalam berbagai pemikiran filsafat, hukum, dan kebijakan lingkungan, terutama dalam konteks peradaban modern yang didominasi oleh eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam demi kemajuan manusia.

Sejak zaman Yunani Kuno, filsuf seperti Aristoteles dan Plato telah mengembangkan pemikiran yang menekankan dominasi manusia atas alam.² Dalam karyanya Politics, Aristoteles berpendapat bahwa alam telah dirancang untuk kepentingan manusia, dan hewan serta tumbuhan diciptakan untuk dimanfaatkan oleh manusia.³ Pandangan ini terus berkembang dalam tradisi filsafat Barat, terutama dalam pemikiran abad Pencerahan yang semakin mengukuhkan posisi manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki otoritas moral tertinggi. Immanuel Kant, misalnya, dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki nilai intrinsik karena kemampuannya dalam bertindak berdasarkan rasionalitas dan prinsip moral.⁴

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pandangan antroposentris mengalami kritik tajam, terutama dari gerakan lingkungan dan ekofilosofi yang menekankan pentingnya nilai intrinsik pada alam dan makhluk hidup lainnya.⁵ Para pemikir seperti Aldo Leopold dan Arne Naess mengembangkan konsep ekosentrisme dan biosentrisme yang berusaha menentang dominasi moral manusia atas lingkungan.⁶ Meskipun demikian, antroposentrisme tetap menjadi kerangka etika yang dominan, terutama dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan dan pemikiran etika terapan kontemporer.

1.2.       Relevansi Antroposentrisme dalam Kajian Filsafat dan Moralitas

Kajian mengenai antroposentrisme dalam etika sangat relevan dalam memahami bagaimana manusia membentuk sistem moral yang mengatur hubungan mereka dengan alam dan sesama.⁷ Pandangan ini menjadi dasar bagi berbagai cabang etika, seperti etika lingkungan, bioetika, dan etika teknologi, yang semuanya berusaha menjawab pertanyaan fundamental mengenai kedudukan manusia dalam tatanan moral semesta.

Dalam konteks lingkungan, pendekatan antroposentris sering kali digunakan sebagai justifikasi untuk eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.⁸ Namun, terdapat pula varian antroposentrisme yang lebih moderat, yang dikenal sebagai weak anthropocentrism, yang menekankan tanggung jawab manusia dalam menjaga keseimbangan ekologi tanpa mengesampingkan kebutuhan pembangunan dan kemajuan peradaban.⁹ Oleh karena itu, kajian mengenai antroposentrisme tidak hanya berperan dalam membentuk kebijakan publik, tetapi juga dalam mengarahkan tindakan moral individu terhadap lingkungan dan entitas non-manusia.

1.3.       Tujuan dan Ruang Lingkup Pembahasan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk memberikan kajian komprehensif mengenai konsep antroposentrisme dalam etika dengan menelusuri asal-usul pemikirannya, prinsip-prinsip utama yang melandasinya, serta kritik yang muncul terhadapnya. Dengan mengacu pada berbagai referensi akademik yang kredibel, pembahasan akan mencakup sejarah perkembangan konsep ini dalam filsafat, penerapannya dalam berbagai bidang etika, serta relevansinya dalam konteks kontemporer, khususnya dalam menghadapi tantangan lingkungan dan teknologi yang berkembang pesat.

Pembahasan dalam artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai kelebihan dan keterbatasan antroposentrisme, serta bagaimana pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan perspektif etika lainnya untuk menciptakan paradigma moral yang lebih inklusif dan berkelanjutan.


Catatan Kaki

[1]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 23.

[2]                Richard Sorabji, Animal Minds and Human Morals: The Origins of the Western Debate (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 45-46.

[3]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:428.

[5]                J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic: More Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1999), 12.

[6]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224-225.

[7]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 89.

[8]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 55.

[9]                Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety? (Princeton: Princeton University Press, 1987), 99.


2.           Pengertian Antroposentrisme dalam Etika

2.1.       Definisi Antroposentrisme (Human-Centered Ethics)

Antroposentrisme merupakan suatu pendekatan dalam etika yang menempatkan manusia sebagai pusat dari nilai-nilai moral dan kebijakan etis.¹ Pandangan ini menegaskan bahwa hanya manusia yang memiliki nilai intrinsik dalam sistem moral, sedangkan makhluk lain serta lingkungan hanya memiliki nilai instrumental sejauh mereka berguna bagi kesejahteraan manusia.² Konsep ini sering dikaitkan dengan filsafat humanisme dan rasionalisme, yang menekankan peran manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, akal budi, dan hak moral tertinggi.

Menurut Bryan G. Norton, seorang filsuf lingkungan, antroposentrisme adalah suatu paradigma yang menekankan kepentingan manusia sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis, terutama dalam kebijakan lingkungan.³ Dalam pendekatan ini, alam dipandang sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan manusia, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun teknologi.⁴ Meskipun demikian, ada perbedaan antara strong anthropocentrism (antroposentrisme kuat) yang melihat alam sebagai alat bagi kepentingan manusia tanpa batasan, dan weak anthropocentrism (antroposentrisme lemah) yang tetap mengakui perlunya perlindungan lingkungan demi kesejahteraan jangka panjang manusia.⁵

Dalam filsafat etika, antroposentrisme sering diposisikan berlawanan dengan pandangan ekosentrisme dan biosentrisme.⁶ Ekosentrisme menekankan bahwa alam secara keseluruhan memiliki nilai intrinsik, sementara biosentrisme berfokus pada nilai kehidupan semua makhluk hidup.⁷ Perbedaan ini menciptakan perdebatan panjang dalam etika lingkungan dan kebijakan ekologis, di mana antroposentrisme sering dikritik sebagai penyebab eksploitasi alam yang tidak berkelanjutan.

2.2.       Perbedaan Antroposentrisme dengan Ekosentrisme dan Biosentrisme

Antroposentrisme memiliki karakteristik utama yang membedakannya dari dua pendekatan etika lingkungan lainnya, yaitu ekosentrisme dan biosentrisme. Untuk memahami perbedaan tersebut, berikut adalah ringkasan karakteristik dari masing-masing pendekatan:

1)                  Antroposentrisme: Manusia adalah pusat nilai moral, dan lingkungan hanya memiliki nilai sejauh bermanfaat bagi manusia.⁸

2)                  Ekosentrisme: Seluruh ekosistem memiliki nilai intrinsik, bukan hanya manusia.⁹

3)                  Biosentrisme: Semua makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan, memiliki nilai moral yang melekat.¹⁰

Perbedaan mendasar ini berimplikasi pada kebijakan lingkungan yang diterapkan oleh berbagai negara dan organisasi. Sebagai contoh, pendekatan antroposentris sering terlihat dalam kebijakan pembangunan ekonomi yang mengutamakan eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan manusia, seperti eksploitasi hutan dan pertambangan. Sebaliknya, kebijakan yang didasarkan pada ekosentrisme cenderung lebih mendukung konservasi lingkungan dan keseimbangan ekosistem.¹¹

Meskipun sering dikritik sebagai pendekatan yang berpotensi merusak lingkungan, antroposentrisme masih menjadi paradigma dominan dalam kebijakan global.¹² Dalam perkembangannya, banyak ahli yang berusaha mengombinasikan elemen-elemen dari pendekatan lain untuk menciptakan model etika lingkungan yang lebih seimbang dan berkelanjutan.¹³

2.3.       Dasar Filosofis dari Pandangan Antroposentrisme

Antroposentrisme memiliki akar filosofis yang kuat dalam sejarah pemikiran manusia. Sejak zaman Yunani Kuno, Aristoteles telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna dalam tatanan alam karena memiliki rasionalitas yang membedakannya dari hewan dan tumbuhan.¹⁴ Dalam Politics, ia menegaskan bahwa hewan dan tumbuhan diciptakan untuk melayani kebutuhan manusia, baik sebagai sumber pangan maupun alat kerja.¹⁵

Pandangan ini diperkuat dalam filsafat modern, terutama oleh René Descartes dan Immanuel Kant. Descartes, dalam Discourse on the Method, berpendapat bahwa hewan hanyalah mesin biologis tanpa kesadaran, sehingga mereka tidak memiliki nilai moral yang sejajar dengan manusia.¹⁶ Sementara itu, Kant, dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, mengembangkan konsep categorical imperative yang menekankan bahwa hanya manusia yang memiliki kehendak rasional, dan oleh karena itu, hanya manusia yang memiliki nilai intrinsik dalam sistem etika.¹⁷

Pandangan antroposentris juga sangat berpengaruh dalam etika lingkungan kontemporer, terutama dalam pendekatan sustainable development yang mengutamakan kesejahteraan manusia sebagai tujuan utama.¹⁸ Namun, dalam perkembangannya, muncul berbagai revisi terhadap paradigma ini, seperti yang dikemukakan oleh J. Baird Callicott, yang menyarankan pendekatan post-anthropocentrism yang tetap mempertahankan peran manusia tetapi dengan lebih banyak perhatian terhadap ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.¹⁹

Dengan demikian, antroposentrisme tetap menjadi paradigma utama dalam filsafat etika, meskipun terus mengalami perkembangan dan kritik yang membentuk pemahaman yang lebih luas tentang hubungan manusia dengan alam.


Catatan Kaki

[1]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 27.

[2]                J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic: More Essays in Environmental Philosophy (Albany: SUNY Press, 1999), 13.

[3]                Norton, Sustainability, 30.

[4]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 58.

[5]                Norton, Sustainability, 35.

[6]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 91.

[7]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 228.

[8]                Norton, Why Preserve Natural Variety? (Princeton: Princeton University Press, 1987), 102.

[9]                Eckersley, Environmentalism and Political Theory, 62.

[10]             Rolston, Environmental Ethics, 94.

[11]             Norton, Sustainability, 41.

[12]             Eckersley, Environmentalism and Political Theory, 68.

[13]             Callicott, Beyond the Land Ethic, 19.

[14]             Richard Sorabji, Animal Minds and Human Morals: The Origins of the Western Debate (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 51.

[15]             Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.

[16]             René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 32.

[17]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:429.

[18]             Norton, Sustainability, 49.

[19]             Callicott, Beyond the Land Ethic, 26.


3.           Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Antroposentrisme

3.1.       Pengaruh Filsafat Yunani Kuno terhadap Antroposentrisme

Konsep antroposentrisme dalam etika memiliki akar yang kuat dalam filsafat Yunani Kuno. Pemikiran filsafat pada masa ini banyak berfokus pada posisi manusia dalam tatanan kosmos serta hubungan antara manusia dan alam. Salah satu pemikir utama yang memberikan kontribusi terhadap gagasan antroposentrisme adalah Aristoteles. Dalam karyanya Politics, ia menyatakan bahwa alam memiliki hierarki di mana manusia menempati posisi tertinggi karena kapasitas rasionalnya.¹ Aristoteles juga berpendapat bahwa hewan dan tumbuhan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik sebagai sumber makanan maupun sebagai sarana kerja.²

Plato, dalam Republic, juga menunjukkan kecenderungan antroposentris dengan mengutamakan rasionalitas manusia sebagai puncak keberadaan moral.³ Sementara itu, filsuf seperti Protagoras mengungkapkan konsep "manusia sebagai ukuran segala sesuatu" (homo mensura), yang menegaskan bahwa realitas dan nilai moral hanya dapat dipahami dari perspektif manusia.⁴ Pemikiran ini menjadi dasar bagi etika humanisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala nilai moral dan eksistensi.

3.2.       Antroposentrisme dalam Filsafat Abad Pertengahan dan Pengaruh Teologi

Pada Abad Pertengahan, pemikiran antroposentrisme berkembang dengan pengaruh kuat dari teologi Kristen. Pemikir seperti Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas mengadopsi konsep bahwa manusia adalah makhluk istimewa yang diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan (imago Dei).⁵ Dalam Summa Theologica, Aquinas menguraikan bahwa segala sesuatu di dunia diciptakan untuk melayani kebutuhan manusia, sementara manusia sendiri memiliki tugas untuk menjaga dan mengelola ciptaan Tuhan.⁶

Namun, pendekatan ini tidak selalu berarti eksploitasi alam secara bebas. Dalam banyak ajaran teologis, manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memelihara lingkungan, meskipun tetap dalam paradigma antroposentris.⁷ Pemikiran ini kemudian berkontribusi terhadap munculnya konsep stewardship (penatalayanan) dalam etika lingkungan modern, yang menekankan bahwa manusia memiliki hak atas sumber daya alam tetapi juga kewajiban untuk mengelolanya secara bijaksana.⁸

3.3.       Antroposentrisme dalam Filsafat Modern: Rasionalisme dan Ilmu Pengetahuan

Pada masa Pencerahan (Enlightenment), antroposentrisme semakin menguat dengan berkembangnya filsafat rasionalisme dan ilmu pengetahuan modern. René Descartes, dalam Discourse on the Method, menegaskan bahwa manusia memiliki status unik karena kemampuannya untuk berpikir (cogito, ergo sum).⁹ Descartes juga mengembangkan konsep dualism yang memisahkan manusia sebagai makhluk rasional dari dunia material, termasuk hewan dan lingkungan yang dianggap tidak memiliki kesadaran.¹⁰ Pandangan ini memperkuat persepsi bahwa alam hanyalah sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia tanpa pertimbangan nilai intrinsik.

Immanuel Kant juga memberikan kontribusi besar terhadap antroposentrisme dalam etika. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, ia menjelaskan bahwa manusia memiliki nilai intrinsik karena kemampuannya dalam bertindak berdasarkan prinsip rasional.¹¹ Kant menegaskan bahwa hanya manusia yang memiliki kehendak moral, sementara alam dan makhluk lain hanya memiliki nilai instrumental.¹² Pemikiran ini semakin memperkuat posisi manusia sebagai pusat etika moral, yang kemudian mempengaruhi berbagai teori etika modern.

Selain itu, munculnya Revolusi Ilmiah pada abad ke-16 dan ke-17 semakin mengukuhkan dominasi manusia atas alam. Francis Bacon, dalam Novum Organum, mengusulkan metode ilmiah yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengendalikan alam demi kesejahteraan manusia.¹³ Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian memungkinkan eksploitasi sumber daya alam secara lebih intensif, yang pada akhirnya memperkuat paradigma antroposentris dalam kebijakan ekonomi dan lingkungan.

3.4.       Perkembangan Antroposentrisme dalam Etika Lingkungan Kontemporer

Pada abad ke-20, antroposentrisme menghadapi kritik tajam dari gerakan lingkungan dan filosofi ekologi. Aldo Leopold, dalam A Sand County Almanac, memperkenalkan konsep land ethic yang menolak pandangan bahwa alam hanya memiliki nilai instrumental bagi manusia.¹⁴ Ia berargumen bahwa ekosistem harus dihargai sebagai suatu kesatuan yang memiliki nilai intrinsik, bukan hanya sebagai sumber daya bagi manusia.¹⁵

Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, mengembangkan konsep deep ecology, yang berlawanan dengan paradigma antroposentris dan menekankan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai moral yang sama.¹⁶ Gerakan ini mendorong perubahan dalam cara pandang manusia terhadap alam, menantang pandangan antroposentrisme yang telah lama mendominasi pemikiran etika.

Meskipun demikian, antroposentrisme masih tetap relevan dalam kebijakan lingkungan modern, terutama dalam pendekatan sustainable development (pembangunan berkelanjutan).¹⁷ Konsep ini berusaha menggabungkan kesejahteraan manusia dengan keberlanjutan ekologi, menciptakan pendekatan etika yang lebih seimbang antara kepentingan manusia dan kelestarian alam.¹⁸

Seiring perkembangan zaman, antroposentrisme mengalami berbagai revisi dan adaptasi dalam berbagai bidang, termasuk etika teknologi, bioetika, dan kebijakan lingkungan global. Pemikiran ini terus berkembang untuk menjawab tantangan baru, seperti perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan etika kecerdasan buatan.¹⁹ Dengan demikian, meskipun mendapat kritik, antroposentrisme tetap menjadi paradigma dominan yang membentuk cara manusia memahami hubungan mereka dengan dunia di sekitarnya.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.

[2]                Richard Sorabji, Animal Minds and Human Morals: The Origins of the Western Debate (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 45-46.

[3]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 369b.

[4]                Protagoras, fragmen dalam The Presocratic Philosophers, ed. G. S. Kirk et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 80.

[5]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), 22.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 96, a. 1.

[7]                Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 56.

[8]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 89.

[9]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 32.

[10]             Ibid., 34.

[11]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:428.

[12]             Ibid., 4:435.

[13]             Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach and John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), 121.

[14]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224-225.

[15]             Ibid., 228.

[16]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 175.

[17]             Norton, Sustainability, 49.

[18]             Ibid., 53.

[19]             Callicott, Beyond the Land Ethic, 26.


4.           Prinsip-Prinsip Utama Antroposentrisme

4.1.       Kedudukan Manusia sebagai Pusat Nilai Moral

Salah satu prinsip utama dalam antroposentrisme adalah anggapan bahwa manusia merupakan entitas dengan nilai moral tertinggi di alam semesta.¹ Dalam paradigma ini, hanya manusia yang memiliki kesadaran rasional (rational consciousness), kapasitas etika, dan kemampuan untuk membuat keputusan moral yang berdampak luas.² Immanuel Kant, dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, menyatakan bahwa manusia memiliki nilai intrinsik (intrinsic worth) karena hanya manusia yang dapat bertindak berdasarkan prinsip moral yang rasional.³ Dalam perspektif Kantian, semua makhluk lain di dunia ini hanya memiliki nilai instrumental, yaitu nilai yang bergantung pada sejauh mana mereka berguna bagi kepentingan manusia.⁴

Pandangan ini juga tercermin dalam filsafat Yunani Kuno. Aristoteles dalam Politics menyatakan bahwa manusia menempati posisi tertinggi dalam hierarki alam karena memiliki rasionalitas yang membedakannya dari hewan dan tumbuhan.⁵ Dalam tradisi Kristen dan pemikiran teologis Abad Pertengahan, konsep ini diperkuat oleh gagasan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan (imago Dei), sehingga memiliki otoritas moral dan tanggung jawab terhadap alam.⁶

Namun, dalam perkembangannya, pandangan ini mendapat kritik dari berbagai aliran pemikiran yang menekankan pentingnya nilai intrinsik bagi makhluk non-manusia, seperti ekosentrisme dan biosentrisme.⁷ Meskipun demikian, antroposentrisme tetap menjadi landasan bagi banyak sistem etika, termasuk dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan lingkungan modern.⁸

4.2.       Tanggung Jawab Manusia terhadap Lingkungan dan Makhluk Lain

Meskipun antroposentrisme sering dikaitkan dengan eksploitasi alam, beberapa varian dari pendekatan ini, seperti weak anthropocentrism (antroposentrisme lemah), menekankan bahwa manusia memiliki tanggung jawab etis terhadap lingkungan dan makhluk lain.⁹ Bryan G. Norton dalam Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management menjelaskan bahwa meskipun manusia merupakan pusat nilai moral, mereka juga memiliki kewajiban untuk mengelola alam secara berkelanjutan demi kesejahteraan generasi mendatang.¹⁰

Konsep ini sering dikaitkan dengan prinsip stewardship (penatalayanan), yang berasal dari tradisi teologis dan etika lingkungan modern.¹¹ Prinsip ini menegaskan bahwa meskipun manusia memiliki hak untuk menggunakan sumber daya alam, mereka juga memiliki kewajiban moral untuk tidak merusaknya secara berlebihan.¹² Robyn Eckersley dalam Environmentalism and Political Theory menekankan bahwa tanggung jawab manusia terhadap lingkungan tidak semata-mata didasarkan pada kepentingan manusia saja, tetapi juga pada kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan.¹³

Dalam konteks kebijakan lingkungan global, pendekatan ini terlihat dalam konsep sustainable development (pembangunan berkelanjutan), yang menggabungkan prinsip antroposentris dengan kesadaran ekologis.¹⁴ Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam tidak hanya menguntungkan manusia saat ini, tetapi juga tidak merugikan generasi mendatang.¹⁵

4.3.       Etika Utilitarianisme dan Deontologi dalam Perspektif Antroposentris

Antroposentrisme dalam etika sering dikaitkan dengan dua teori moral utama, yaitu utilitarianisme dan deontologi. Kedua teori ini memberikan justifikasi filosofis terhadap pendekatan antroposentris dalam pengambilan keputusan etis.

4.3.1.    Utilitarianisme Antroposentris

Dalam perspektif utilitarianisme, keputusan etis harus didasarkan pada prinsip "kebaikan terbesar bagi jumlah terbesar orang" (the greatest happiness principle).¹⁶ Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menegaskan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi manusia.¹⁷ Dalam konteks antroposentrisme, pendekatan ini sering digunakan dalam kebijakan ekonomi dan lingkungan, di mana eksploitasi sumber daya alam dapat dibenarkan jika manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya bagi masyarakat.¹⁸

Misalnya, dalam kebijakan deforestasi untuk pembangunan infrastruktur, pendekatan utilitarian dapat digunakan untuk menimbang manfaat ekonomi jangka pendek terhadap dampak lingkungan jangka panjang.¹⁹ Pendekatan ini sering dikritik karena cenderung mengabaikan nilai intrinsik dari alam dan makhluk hidup lainnya.²⁰

4.3.2.      Deontologi Antroposentris

Berbeda dengan utilitarianisme yang berfokus pada konsekuensi, deontologi menekankan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada kewajiban dan prinsip moral yang tetap.²¹ Dalam perspektif Kantian, manusia memiliki dignity yang membuatnya wajib diperlakukan sebagai tujuan (end in itself), bukan sebagai alat (means to an end).²² Namun, dalam kerangka antroposentris, konsep ini sering diterapkan secara eksklusif pada manusia, dengan mengesampingkan hak-hak moral bagi makhluk lain.²³

Sebagai contoh, dalam bioetika, banyak argumen yang membela hak manusia atas pengembangan bioteknologi, meskipun teknologi tersebut dapat berdampak negatif pada spesies lain.²⁴ Pandangan ini sering menjadi dasar bagi kebijakan tentang hak asasi manusia, tetapi sekaligus menimbulkan dilema etis terkait perlakuan terhadap hewan dan lingkungan.²⁵


Kesimpulan

Prinsip-prinsip utama dalam antroposentrisme menegaskan bahwa manusia adalah pusat nilai moral, memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan, dan dapat menggunakan prinsip etika seperti utilitarianisme dan deontologi dalam pengambilan keputusan moral. Meskipun pendekatan ini telah lama mendominasi pemikiran etika, kritik dari ekosentrisme dan biosentrisme semakin menantang keberadaannya. Namun, dalam kebijakan lingkungan modern, banyak pemikir berusaha menyintesiskan pendekatan antroposentris dengan kesadaran ekologis untuk menciptakan sistem etika yang lebih berkelanjutan.


Catatan Kaki

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:428.

[2]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 87.

[3]                Kant, Groundwork, 4:432.

[4]                Ibid., 4:435.

[5]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 96, a. 1.

[7]                J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic (Albany: SUNY Press, 1999), 13.

[8]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 29.

[9]                Norton, Sustainability, 34.

[10]             Ibid., 38.

[11]             Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 56.

[12]             Eckersley, Environmentalism and Political Theory, 59.

[13]             Ibid., 63.

[14]             Norton, Sustainability, 45.

[15]             Ibid., 48.

[16]             Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 14.

[17]             John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 17.

[18]             Norton, Sustainability, 52.

[19]             Ibid., 55.

[20]             Callicott, Beyond the Land Ethic, 21.

[21]             Kant, Groundwork, 4:437.

[22]             Ibid.

[23]             Ibid., 4:439.

[24]             Rolston, Environmental Ethics, 90.

[25]             Attfield, Environmental Ethics, 66.


5.           Kritik terhadap Antroposentrisme

5.1.       Kritik dari Perspektif Ekosentrisme dan Biosentrisme

Salah satu kritik utama terhadap antroposentrisme berasal dari perspektif ekosentrisme dan biosentrisme, yang menolak gagasan bahwa manusia adalah satu-satunya entitas dengan nilai moral intrinsik.¹ Ekosentrisme berpendapat bahwa seluruh ekosistem memiliki nilai moral tersendiri, bukan hanya manusia.² Pendekatan ini dipopulerkan oleh Aldo Leopold dalam konsep land ethic, yang menyatakan bahwa "sesuatu itu benar jika ia mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik."³

Sementara itu, biosentrisme menegaskan bahwa semua makhluk hidup, baik manusia maupun non-manusia, memiliki nilai intrinsik dan hak moral yang sama.⁴ Arne Naess, pencetus gerakan deep ecology, menolak antroposentrisme dan menegaskan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari jaringan kehidupan yang luas.⁵ Ia mengkritik eksploitasi alam yang dilakukan manusia dan mengusulkan pendekatan etika yang lebih menghormati semua bentuk kehidupan.⁶

Para kritikus berpendapat bahwa antroposentrisme telah menjadi penyebab utama eksploitasi alam, polusi, dan kepunahan spesies.⁷ Dengan menempatkan kepentingan manusia di atas semua hal, pendekatan ini dianggap mengabaikan keseimbangan ekologis dan keberlanjutan lingkungan.⁸ Holmes Rolston III berargumen bahwa jika hanya manusia yang memiliki nilai moral intrinsik, maka tindakan seperti deforestasi dan perburuan hewan untuk kepentingan ekonomi dapat dibenarkan secara etis, meskipun tindakan tersebut merusak ekosistem secara luas.⁹

5.2.       Argumen dalam Filsafat Lingkungan

Dalam filsafat lingkungan, banyak pemikir menentang antroposentrisme karena dampaknya terhadap kebijakan ekologis. Robyn Eckersley dalam Environmentalism and Political Theory berpendapat bahwa paradigma antroposentris telah mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.¹⁰ Ia mengusulkan pendekatan ekopolitik yang lebih inklusif dan mempertimbangkan hak alam sebagai bagian dari kebijakan moral dan hukum.¹¹

Selain itu, J. Baird Callicott mengkritik antroposentrisme dengan menunjukkan bahwa pendekatan ini menciptakan hierarki nilai yang tidak adil antara manusia dan alam.¹² Menurutnya, dalam sistem moral yang lebih adil, ekosistem harus dilihat sebagai entitas dengan haknya sendiri, bukan hanya sebagai alat bagi kepentingan manusia.¹³

Dalam konteks etika lingkungan kontemporer, banyak akademisi yang mendukung pergeseran dari paradigma antroposentris ke paradigma yang lebih ekosentris.¹⁴ Contohnya, dalam kebijakan perubahan iklim, pendekatan yang terlalu antroposentris sering kali gagal mempertimbangkan dampak ekologis yang luas, sementara pendekatan ekosentris lebih fokus pada keberlanjutan jangka panjang.¹⁵

5.3.       Implikasi Antroposentrisme terhadap Krisis Ekologis dan Eksploitasi Sumber Daya

Antroposentrisme sering disalahkan sebagai penyebab utama berbagai krisis ekologis yang dihadapi dunia saat ini.¹⁶ Dengan menempatkan kepentingan manusia di atas kepentingan ekosistem, pendekatan ini telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, pencemaran lingkungan, dan kepunahan spesies.¹⁷ Lynn White Jr., dalam esainya yang terkenal The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, berpendapat bahwa warisan filsafat dan agama yang bersifat antroposentris telah mendorong eksploitasi alam secara berlebihan.¹⁸

Pendekatan pembangunan ekonomi yang berbasis pada pertumbuhan tanpa batas juga merupakan hasil dari paradigma antroposentris.¹⁹ Dalam ekonomi neoklasik, alam sering kali dianggap sebagai "modal alam" yang dapat dieksploitasi sebebas-bebasnya untuk kepentingan manusia.²⁰ Konsep ini telah dikritik oleh banyak ekonom lingkungan, seperti Herman Daly, yang mengusulkan model steady-state economy yang lebih berkelanjutan.²¹

Selain itu, pendekatan antroposentris dalam kebijakan lingkungan sering kali mengabaikan hak-hak komunitas lokal dan masyarakat adat yang memiliki hubungan spiritual dan ekologis yang lebih erat dengan alam.²² Misalnya, proyek-proyek eksploitasi sumber daya seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit sering dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak terhadap komunitas lokal yang bergantung pada ekosistem untuk kehidupan mereka.²³

5.4.       Alternatif terhadap Antroposentrisme: Menuju Paradigma Post-Anthropocentric

Sebagai respons terhadap kritik yang berkembang, banyak pemikir telah mengusulkan konsep post-anthropocentric ethics, yang berusaha mengakomodasi kepentingan ekologi tanpa menghilangkan peran manusia dalam sistem moral.²⁴ Konsep ini berusaha mencari titik tengah antara antroposentrisme dan ekosentrisme dengan mengembangkan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.²⁵

Bryan G. Norton mengusulkan pendekatan weak anthropocentrism, yang tetap menempatkan manusia sebagai pusat moral, tetapi dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan.²⁶ Pendekatan ini menekankan bahwa menjaga ekosistem adalah kepentingan manusia sendiri karena keberlanjutan ekologis secara langsung berdampak pada kesejahteraan manusia.²⁷

Dalam kebijakan lingkungan, pendekatan seperti Earth Jurisprudence (hukum bumi) yang dikembangkan oleh Christopher D. Stone dan Cormac Cullinan, mulai mempertimbangkan hak hukum bagi alam.²⁸ Beberapa negara seperti Ekuador dan Bolivia telah memasukkan hak alam dalam konstitusi mereka, yang menandakan pergeseran dari paradigma antroposentris menuju model yang lebih inklusif secara ekologis.²⁹


Kesimpulan

Kritik terhadap antroposentrisme telah berkembang dalam berbagai bidang, terutama dalam filsafat lingkungan dan kebijakan ekologi. Pendekatan ini dikritik karena dianggap sebagai penyebab eksploitasi alam dan krisis ekologis global. Alternatif seperti ekosentrisme, biosentrisme, dan paradigma post-anthropocentric telah berkembang sebagai upaya untuk menciptakan etika yang lebih berkelanjutan. Meskipun antroposentrisme masih mendominasi pemikiran etika dan kebijakan lingkungan, berbagai revisi terhadap paradigma ini menunjukkan adanya pergeseran menuju pendekatan yang lebih seimbang antara kepentingan manusia dan alam.


Catatan Kaki

[1]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 225.

[2]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 98.

[3]                Leopold, A Sand County Almanac, 224.

[4]                J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic (Albany: SUNY Press, 1999), 14.

[5]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 178.

[6]                Ibid.

[7]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 60.

[8]                Ibid., 64.

[9]                Rolston, Environmental Ethics, 101.

[10]             Eckersley, Environmentalism and Political Theory, 69.

[11]             Ibid., 72.

[12]             Callicott, Beyond the Land Ethic, 21.

[13]             Ibid., 24.

[14]             Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 53.

[15]             Ibid., 56.

[16]             Lynn White Jr., The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, Science 155, no. 3767 (1967): 1203.

[17]             Herman Daly, Steady-State Economics (Washington: Island Press, 1991), 33.

[18]             Norton, Sustainability, 58.

[19]             Christopher D. Stone, Should Trees Have Standing? (Oxford: Oxford University Press, 2010), 45.

[20]             Ibid., 47.

[21]             Herman Daly, Steady-State Economics (Washington: Island Press, 1991), 57.

[22]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development (London: Zed Books, 1989), 42.

[23]             Arturo Escobar, Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World (Princeton: Princeton University Press, 1995), 99.

[24]             Bryan G. Norton, Why Preserve Natural Variety? (Princeton: Princeton University Press, 1987), 109.

[25]             Christopher Preston, Saving Creation: Nature and Faith in the Life of Holmes Rolston III (San Antonio: Trinity University Press, 2009), 151.

[26]             Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management, 77.

[27]             Ibid., 80.

[28]             Christopher D. Stone, Should Trees Have Standing? (Oxford: Oxford University Press, 2010), 92.

[29]             Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2011), 113.


6.           Antroposentrisme dalam Konteks Kontemporer

6.1.       Relevansi Antroposentrisme dalam Kebijakan Lingkungan dan Keberlanjutan

Di era kontemporer, antroposentrisme masih menjadi paradigma dominan dalam berbagai kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).¹ Pendekatan ini digunakan untuk menyeimbangkan kepentingan manusia dengan kebutuhan ekosistem, meskipun tetap menempatkan kesejahteraan manusia sebagai prioritas utama.² Konsep pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh United Nations Brundtland Commission menegaskan bahwa kebijakan lingkungan harus mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang.³

Bryan G. Norton mengembangkan konsep weak anthropocentrism, yang tetap mempertahankan posisi manusia sebagai pusat moral, tetapi dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan.⁴ Dalam pendekatan ini, eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian agar ekosistem tetap lestari untuk masa depan.⁵

Pendekatan ini juga terlihat dalam kebijakan energi bersih dan mitigasi perubahan iklim, seperti yang dikembangkan dalam Paris Agreement, di mana negara-negara berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon demi kesejahteraan manusia jangka panjang.⁶ Namun, kritik terhadap pendekatan ini tetap muncul dari kalangan ekosentris dan biosentris yang berpendapat bahwa kebijakan berbasis antroposentrisme cenderung bersifat pragmatis dan tidak benar-benar menghormati hak-hak alam secara intrinsik.⁷

6.2.       Implikasi Antroposentrisme dalam Bioetika dan Teknologi

Dalam bidang bioetika, antroposentrisme memainkan peran penting dalam berbagai perdebatan etis mengenai hak asasi manusia, teknologi medis, dan penelitian ilmiah.⁸ Misalnya, dalam diskusi mengenai rekayasa genetika dan bioteknologi, pendekatan antroposentris digunakan untuk menjustifikasi pengembangan teknologi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia, meskipun teknologi tersebut mungkin memiliki dampak yang tidak terprediksi terhadap ekosistem dan spesies lain.⁹

Sebagai contoh, eksplorasi teknologi CRISPR-Cas9 dalam rekayasa genetika manusia sering kali dibenarkan berdasarkan prinsip antroposentris bahwa manusia memiliki hak untuk mengubah kode genetik mereka demi meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup.¹⁰ Namun, etika lingkungan yang lebih ekosentris menyoroti bahwa manipulasi genetika juga dapat berdampak pada keseimbangan ekosistem, misalnya dalam kasus rekayasa genetika pada tanaman dan hewan yang dapat mengubah rantai makanan alami.¹¹

Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) juga menimbulkan pertanyaan etis dalam konteks antroposentrisme.¹² Sebagian besar diskusi etika AI berpusat pada dampaknya terhadap kesejahteraan manusia, seperti efeknya terhadap pekerjaan, privasi, dan hak asasi manusia.¹³ Namun, pendekatan ini dikritik karena mengabaikan dampak jangka panjang AI terhadap lingkungan dan spesies lain, terutama terkait dengan konsumsi energi yang tinggi dari sistem komputasi AI dan penggunaannya dalam eksploitasi sumber daya alam.¹⁴

6.3.       Perspektif Agama dan Spiritualitas terhadap Antroposentrisme

Berbagai tradisi agama dan spiritualitas telah memberikan kontribusi terhadap wacana antroposentrisme dalam konteks kontemporer. Dalam teologi Kristen, misalnya, konsep stewardship atau penatalayanan lingkungan menekankan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga alam sebagai bagian dari mandat Tuhan.¹⁵ Gagasan ini telah digunakan dalam banyak dokumen gerejawi, termasuk ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus, yang menyerukan perlunya tanggung jawab manusia dalam menghadapi krisis lingkungan.¹⁶

Dalam Islam, konsep khalifah (pemimpin di bumi) juga menegaskan peran manusia sebagai penjaga lingkungan.¹⁷ Al-Qur'an menyatakan bahwa manusia diberikan amanah untuk mengelola bumi dengan adil dan tidak melakukan kerusakan (fasad).¹⁸ Namun, pendekatan ini tetap dalam kerangka antroposentris, karena manusia masih dianggap sebagai pemegang otoritas utama dalam hubungan dengan alam.¹⁹

Tradisi spiritual lainnya, seperti filsafat Hindu dan Buddhisme, cenderung lebih dekat dengan pendekatan biosentris dan ekosentris.²⁰ Dalam ajaran Buddhisme, misalnya, konsep ahimsa (tanpa kekerasan) tidak hanya berlaku bagi manusia tetapi juga bagi semua makhluk hidup.²¹ Ini menantang paradigma antroposentris dengan menekankan bahwa semua kehidupan memiliki nilai moral yang setara.²²

6.4.       Antroposentrisme dan Tantangan Global

Dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan kepunahan massal spesies, pendekatan antroposentris terus dipertanyakan.²³ Banyak ilmuwan dan filsuf menyoroti bahwa kebijakan berbasis antroposentrisme sering kali gagal menangani krisis ekologi karena lebih berfokus pada kepentingan jangka pendek manusia.²⁴

Misalnya, kebijakan mitigasi perubahan iklim sering kali lebih menekankan pada dampaknya terhadap ekonomi dan kesejahteraan manusia, dibandingkan pada dampaknya terhadap ekosistem secara keseluruhan.²⁵ Para pemikir seperti Naomi Klein dalam This Changes Everything mengkritik bagaimana kapitalisme berbasis antroposentris telah memperburuk perubahan iklim dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi di atas keberlanjutan lingkungan.²⁶

Sebagai respons terhadap tantangan ini, konsep post-anthropocentric ethics mulai dikembangkan untuk mencari keseimbangan antara kepentingan manusia dan kelestarian alam.²⁷ Pendekatan ini mengusulkan sistem moral yang lebih inklusif terhadap hak-hak alam dan spesies non-manusia, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologis dalam pengambilan keputusan etis.²⁸


Kesimpulan

Antroposentrisme masih memainkan peran dominan dalam berbagai aspek kehidupan kontemporer, mulai dari kebijakan lingkungan, bioetika, hingga teknologi. Namun, pendekatan ini semakin banyak dikritik karena dianggap tidak cukup responsif terhadap krisis ekologis global. Meskipun demikian, adaptasi seperti weak anthropocentrism dan konsep stewardship menunjukkan bahwa pendekatan ini masih dapat berkembang untuk menyesuaikan dengan tantangan zaman.

Di sisi lain, perdebatan antara antroposentrisme dan paradigma yang lebih ekologis terus berkembang, menandakan perlunya sintesis yang lebih seimbang antara kepentingan manusia dan kelestarian alam. Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif eksploitasi sumber daya, masa depan etika kontemporer mungkin akan semakin bergerak menuju pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.


Catatan Kaki

[1]                United Nations, Our Common Future (Oxford: Oxford University Press, 1987), 43.

[2]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 27.

[3]                United Nations, Our Common Future, 51.

[4]                Norton, Sustainability, 34.

[5]                Ibid., 38.

[6]                United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), The Paris Agreement, 2015, 3.

[7]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory (Albany: SUNY Press, 1992), 60.

[8]                J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic (Albany: SUNY Press, 1999), 14.

[9]                Julian Savulescu, Unfit for the Future: The Need for Moral Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2012), 92.

[10]             Ibid., 95.

[11]             Eckersley, Environmentalism and Political Theory, 75.

[12]             Luciano Floridi, The Ethics of Artificial Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2021), 61.

[13]             Ibid., 67.

[14]             Ibid., 72.

[15]             Pope Francis, Laudato Si’ (Vatican: Vatican Press, 2015), 23.

[16]             Ibid., 34.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature (Chicago: ABC International, 1997), 41.

[18]             Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah 2:30.

[19]             Nasr, Man and Nature, 53.

[20]             Christopher Key Chapple, Hindu Ethics: Purity, Abortion, and Euthanasia (Albany: SUNY Press, 2001), 109.

[21]             Ibid., 114.

[22]             Ibid., 117.

[23]             Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 89.

[24]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 102.

[25]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 57.

[26]             Ibid., 61.

[27]             Tim Benton, Human Planet: How We Created the Anthropocene (New Haven: Yale University Press, 2021), 145.

[28]             Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 133.


7.           Kesimpulan

Antroposentrisme tetap menjadi paradigma dominan dalam etika, filsafat lingkungan, dan kebijakan sosial.¹ Sebagai pendekatan yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai moral, antroposentrisme telah berkontribusi pada perkembangan peradaban, ilmu pengetahuan, dan teknologi, tetapi juga menghadapi kritik tajam dari kalangan ekosentrisme dan biosentrisme.² Dalam pembahasan artikel ini, kita telah menelusuri asal-usul historis antroposentrisme, prinsip-prinsip utamanya, kritik yang muncul terhadapnya, serta relevansinya dalam konteks kontemporer.

Secara historis, antroposentrisme telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno dengan pemikiran Aristoteles dan Plato, yang menekankan rasionalitas manusia sebagai dasar nilai moral tertinggi.³ Pemikiran ini kemudian diperkuat dalam filsafat modern oleh Immanuel Kant, René Descartes, dan berbagai pemikir Pencerahan yang semakin menegaskan bahwa manusia memiliki hak moral lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya.⁴ Paradigma ini terus berlanjut dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk kebijakan lingkungan, bioetika, dan teknologi.

Meskipun memberikan banyak kontribusi terhadap kemajuan manusia, antroposentrisme telah dikritik karena dianggap menjadi penyebab utama eksploitasi sumber daya alam dan krisis ekologis.⁵ Pendekatan ini sering digunakan sebagai dasar pembenaran bagi eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya demi kepentingan ekonomi dan pembangunan.⁶ Kritik dari perspektif ekosentrisme dan biosentrisme, sebagaimana dikembangkan oleh Aldo Leopold dan Arne Naess, menegaskan bahwa manusia seharusnya tidak menjadi satu-satunya entitas dengan nilai intrinsik dalam sistem etika.⁷

Dalam konteks kontemporer, antroposentrisme masih memiliki peran penting, tetapi telah mengalami berbagai adaptasi dan revisi. Pendekatan seperti weak anthropocentrism, sebagaimana dikembangkan oleh Bryan G. Norton, berusaha menyeimbangkan kepentingan manusia dengan kesadaran ekologis untuk menciptakan sistem moral yang lebih berkelanjutan.⁸ Selain itu, konsep stewardship, yang banyak ditemukan dalam ajaran agama seperti Islam dan Kristen, menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga alam sebagai bagian dari amanah Tuhan.⁹

Namun, tantangan besar masih dihadapi oleh pendekatan antroposentrisme dalam merespons perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan dampak negatif dari kemajuan teknologi.¹⁰ Naomi Klein dalam This Changes Everything mengkritik bagaimana kapitalisme berbasis antroposentris telah mempercepat degradasi lingkungan melalui eksploitasi yang tidak berkelanjutan.¹¹ Sebagai alternatif, banyak akademisi dan filsuf mengusulkan pendekatan post-anthropocentric ethics, yang mencoba mengakomodasi keseimbangan antara kepentingan manusia dan hak-hak ekologis secara lebih luas.¹²

Dalam menghadapi tantangan masa depan, antroposentrisme perlu terus dikembangkan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan ekologis.¹³ Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kepentingan manusia dan keberlanjutan lingkungan, sistem etika masa depan harus mampu mengakomodasi prinsip-prinsip ekosentrisme dan biosentrisme tanpa sepenuhnya menghilangkan peran manusia sebagai agen moral utama.¹⁴

Dengan demikian, meskipun antroposentrisme tetap menjadi paradigma dominan dalam etika dan kebijakan global, kritik dan revisi terhadapnya menunjukkan bahwa sistem moral yang lebih berkelanjutan harus mampu mengintegrasikan perspektif yang lebih luas.¹⁵ Masa depan etika tidak hanya bergantung pada bagaimana manusia memahami peran mereka di dunia, tetapi juga pada sejauh mana mereka dapat hidup secara harmonis dengan alam dan semua bentuk kehidupan yang ada di dalamnya.¹⁶


Catatan Kaki

[1]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 27.

[2]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 88.

[3]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1256b.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:428.

[5]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory (Albany: SUNY Press, 1992), 60.

[6]                J. Baird Callicott, Beyond the Land Ethic (Albany: SUNY Press, 1999), 14.

[7]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224.

[8]                Norton, Sustainability, 34.

[9]                Pope Francis, Laudato Si’ (Vatican: Vatican Press, 2015), 23.

[10]             Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene (Cambridge: Polity Press, 2017), 89.

[11]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 61.

[12]             Tim Benton, Human Planet: How We Created the Anthropocene (New Haven: Yale University Press, 2021), 145.

[13]             Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime (Cambridge: Polity Press, 2017), 102.

[14]             Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 133.

[15]             Christopher D. Stone, Should Trees Have Standing? (Oxford: Oxford University Press, 2010), 92.

[16]             Cormac Cullinan, Wild Law: A Manifesto for Earth Justice (White River Junction, VT: Chelsea Green Publishing, 2011), 113.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Bacon, F. (1994). Novum Organum (P. Urbach & J. Gibson, Trans.). Open Court.

Benton, T. (2021). Human Planet: How We Created the Anthropocene. Yale University Press.

Callicott, J. B. (1999). Beyond the Land Ethic: More Essays in Environmental Philosophy. SUNY Press.

Chapple, C. K. (2001). Hindu Ethics: Purity, Abortion, and Euthanasia. SUNY Press.

Cullinan, C. (2011). Wild Law: A Manifesto for Earth Justice. Chelsea Green Publishing.

Daly, H. (1991). Steady-State Economics. Island Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on the Method (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Eckersley, R. (1992). Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach. SUNY Press.

Floridi, L. (2021). The Ethics of Artificial Intelligence. Oxford University Press.

Francis, P. (2015). Laudato Si’. Vatican Press.

Hamilton, C. (2017). Defiant Earth: The Fate of Humans in the Anthropocene. Polity Press.

Kant, I. (1997). Groundwork of the Metaphysics of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Klein, N. (2014). This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate. Simon & Schuster.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime. Polity Press.

Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. Oxford University Press.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing.

Naess, A. (1989). Ecology, Community and Lifestyle. Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and Nature. ABC International.

Norton, B. G. (1987). Why Preserve Natural Variety? Princeton University Press.

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management. University of Chicago Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Preston, C. (2009). Saving Creation: Nature and Faith in the Life of Holmes Rolston III. Trinity University Press.

Raworth, K. (2017). Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. Random House.

Rolston III, H. (1988). Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World. Temple University Press.

Savulescu, J. (2012). Unfit for the Future: The Need for Moral Enhancement. Oxford University Press.

Shiva, V. (1989). Staying Alive: Women, Ecology and Development. Zed Books.

Sorabji, R. (1993). Animal Minds and Human Morals: The Origins of the Western Debate. Cornell University Press.

Stone, C. D. (2010). Should Trees Have Standing? Oxford University Press.

United Nations. (1987). Our Common Future. Oxford University Press.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (2015). The Paris Agreement.

White Jr., L. (1967). The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. Science, 155(3767), 1203-1207.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar