Sejarah Filsafat Abad ke-20
Transformasi Kesadaran Kritis
Alihkan ke: Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif dinamika
dan transformasi pemikiran filsafat abad ke-20 dengan menggunakan pendekatan
sinkronik dan diakronik. Pendekatan diakronik menelusuri evolusi historis dari
fenomenologi, eksistensialisme, teori kritis, hingga pascastrukturalisme
sebagai respons terhadap krisis modernitas, perang dunia, dan gejolak
sosial-politik. Sementara itu, pendekatan sinkronik memetakan tema-tema besar
yang berkembang sejajar—seperti bahasa, subjektivitas, kuasa, etika, dan
politik—yang melintasi batas aliran dan tradisi filsafat. Dengan menggabungkan
kedua pendekatan ini, artikel ini menunjukkan bagaimana filsafat abad ke-20
tidak hanya membongkar fondasi metafisika klasik, tetapi juga melahirkan
kesadaran kritis baru yang relevan bagi tantangan kontemporer. Warisan filsafat
abad ke-20 tidak berupa sistem tertutup, melainkan terbuka pada pluralitas,
refleksi etis, dan praksis transformatif dalam menghadapi realitas yang terus
berubah.
Kata Kunci: filsafat abad ke-20, pendekatan sinkronik,
pendekatan diakronik, kesadaran kritis, fenomenologi, eksistensialisme, teori
kritis, pascastrukturalisme, dekonstruksi, etika kontemporer.
PEMBAHASAN
Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Sejarah Filsafat
Abad ke-20
1.
Pendahuluan
Abad ke-20 menandai sebuah babak radikal dalam
sejarah filsafat, ditandai oleh pergeseran paradigma, perpecahan metodologis,
dan pencarian baru akan makna, kebenaran, serta subjek manusia. Tidak seperti
abad-abad sebelumnya yang berpusat pada fondasi metafisis yang relatif stabil,
abad ke-20 menghadirkan kompleksitas baru dalam pemikiran, yang diwarnai oleh
ketegangan antara rasionalisme ilmiah, kritik ideologis, dan pencarian
eksistensial. Perubahan ini tidak dapat dipahami secara utuh tanpa
mempertimbangkan dinamika historis (pendekatan diakronik) dan keterkaitan
tematis lintas wilayah pemikiran (pendekatan sinkronik).
Secara historis (diakronik), filsafat abad ke-20
berkembang melalui lintasan waktu yang terfragmentasi, dari krisis modernitas
pasca-Perang Dunia I hingga kemunculan filsafat postmodern setelah Perang Dunia
II. Filsuf-filsuf seperti Edmund Husserl dan Martin Heidegger mencoba
meredefinisi dasar-dasar pengetahuan dan keberadaan melalui pendekatan
fenomenologi, sementara tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir
menegaskan peran kebebasan dan tanggung jawab personal dalam kerangka
eksistensialisme. Di sisi lain, perkembangan filsafat analitik di Inggris dan
Amerika Serikat melalui tokoh seperti Bertrand Russell, G. E. Moore, dan Ludwig
Wittgenstein memberikan penekanan pada bahasa, logika, dan klarifikasi
konseptual sebagai bentuk kritik terhadap metafisika klasik¹.
Di waktu yang sama, pendekatan sinkronik
mengungkapkan adanya struktur-struktur tema besar yang saling berkelindan dalam
ruang wacana abad ke-20. Tema-tema seperti krisis subjek, dekonstruksi makna,
kritik terhadap rasionalitas modern, dan perjuangan emansipatoris atas struktur
kekuasaan menjadi medan utama refleksi filsafat. Filsafat tidak lagi berdiri
sebagai disiplin yang otonom, melainkan berkelindan erat dengan ilmu sosial,
sastra, feminisme, studi budaya, dan teori politik². Foucault, Derrida,
Habermas, dan Rorty adalah beberapa figur yang memperluas ranah filsafat
menjadi arena kritik terhadap wacana dan institusi dominan.
Kedua pendekatan tersebut—sinkronik dan
diakronik—saling melengkapi dalam menggambarkan transformasi kesadaran kritis
filsafat abad ke-20. Pendekatan diakronik memungkinkan kita melihat evolusi ide
dalam lintasan waktu tertentu, sedangkan pendekatan sinkronik menekankan
jaringan tema dan pemikiran yang berkembang secara serentak. Dalam konteks
inilah, filsafat abad ke-20 tidak hanya dipahami sebagai perkembangan gagasan
dari satu tokoh ke tokoh lain, melainkan sebagai medan kompleks di mana
pergulatan epistemologis, ontologis, dan politis berlangsung dalam simultanitas
dan tensi yang tinggi³.
Dengan demikian, artikel ini bertujuan menyajikan
kajian historis dan tematis secara integral terhadap sejarah filsafat abad
ke-20 melalui dua lensa utama: sinkronik dan diakronik. Melalui pendekatan ini,
diharapkan pembaca memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh atas krisis,
pergulatan, dan kontribusi pemikiran filsafat dalam merespons tantangan
modernitas dan pascamodernitas.
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 783–799.
[2]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 135–145.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004),
281–287.
2.
Konteks
Historis dan Epistemologis Abad ke-20
Abad ke-20 merupakan periode gejolak intelektual
yang luar biasa dalam sejarah filsafat. Dunia menghadapi peristiwa-peristiwa
besar yang mengguncang fondasi peradaban modern: dua Perang Dunia, munculnya
rezim totaliter, Holocaust, dekolonisasi, serta revolusi teknologi dan
informasi. Semua itu menimbulkan krisis dalam kepercayaan terhadap kemajuan,
rasionalitas, dan proyek Pencerahan yang telah lama menjadi pilar pemikiran
Barat. Dalam konteks inilah, filsafat abad ke-20 tidak hanya berfungsi sebagai
refleksi atas dunia yang sedang berubah, tetapi juga sebagai sarana untuk
mendekonstruksi dan menegosiasi ulang makna-makna dasar dalam pengetahuan,
keberadaan, dan kebudayaan¹.
Secara historis (pendekatan diakronik), abad ke-20
menandai sebuah pergeseran tajam dari filsafat sistematik-metafisik yang
bercorak universal dan total, menuju filsafat yang bersifat kritis, partikular,
dan historis. Para filsuf mulai meragukan kemampuan rasio untuk menangkap
realitas secara objektif dan total. Sebagai respons terhadap kehancuran akibat
perang dan krisis moral, pemikiran filsafat mengarah pada problem-problem
eksistensial dan politis: kecemasan, alienasi, makna hidup, kejahatan politik, dan
kebebasan individu. Tokoh seperti Martin Heidegger menyatakan bahwa krisis
modernitas adalah akibat keterasingan manusia dari makna Being itu sendiri².
Sementara itu, pemikir seperti Adorno dan Horkheimer dari Mazhab Frankfurt
mengkritik "rasio instrumental" yang melayani dominasi kapitalistik
dan teknokratis, yang justru berujung pada barbarisme modern³.
Di sisi lain, pendekatan sinkronik memungkinkan
kita memahami medan epistemologis yang saling berjejaring dalam periode yang
sama. Filsafat analitik berkembang di dunia Anglo-Amerika dengan fokus pada
logika simbolik, bahasa, dan epistemologi ilmiah. Bertrand Russell dan Ludwig
Wittgenstein membentuk fondasi awal pendekatan ini, yang berkembang dengan
semangat klarifikasi konseptual dan pemurnian bahasa⁴. Di Eropa daratan,
gerakan fenomenologi Husserl mengawali penelusuran kembali kepada pengalaman
subyektif dan kesadaran murni (reduction), yang kemudian ditransformasikan oleh
Heidegger menjadi analisis ontologis yang eksistensial. Dari sini, tumbuh eksistensialisme,
strukturalisme, dan pascastrukturalisme sebagai aliran yang menginterogasi
struktur budaya, bahasa, dan kekuasaan dalam kehidupan manusia modern⁵.
Pada titik ini, epistemologi tidak lagi dipahami
dalam kerangka representasional yang netral, tetapi sebagai praktik diskursif
yang dipengaruhi oleh konteks sejarah, ideologi, dan kekuasaan. Foucault
misalnya, mengusulkan bahwa "pengetahuan" tidak pernah bebas
dari relasi kuasa; setiap rezim kebenaran selalu bersifat historis dan
terbentuk melalui praktik sosial tertentu⁶. Ini merupakan penolakan terhadap
klaim netralitas epistemologis yang mendominasi tradisi modern. Di tempat lain,
tokoh seperti Thomas Kuhn menunjukkan bahwa sains sendiri tidak bebas nilai,
melainkan tunduk pada revolusi paradigmatik yang mencerminkan perubahan
struktur komunitas ilmiah dan wacana dominan⁷.
Dengan demikian, konteks filsafat abad ke-20
dibentuk oleh dua kutub besar: pertama, kehancuran historis yang mengguncang
optimisme modern; dan kedua, fragmentasi epistemologis yang menggoyahkan klaim
universalitas rasionalitas. Dalam lanskap ini, filsafat tidak lagi berbicara
dari menara gading metafisika, melainkan terlibat aktif dalam menelaah bahasa,
budaya, subjektivitas, dan relasi kuasa. Pendekatan sinkronik dan diakronik memungkinkan
kita merangkai kompleksitas ini menjadi pemahaman yang lebih utuh atas lanskap
pemikiran yang plural, dinamis, dan reflektif.
Catatan Kaki
[1]
Richard J. Bernstein, The Philosophical
Profiles: Essays in a Pragmatic Mode (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1986), 47.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
210–211.
[3]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic
of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University
Press, 2002), xvii–xix.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London:
Routledge, 1961), 3–5.
[5]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), viii–x.
[6]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon, 1980), 131.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–122.
3.
Pendekatan
Diakronik: Periodisasi dan Transformasi Pemikiran
Pendekatan diakronik
dalam kajian filsafat abad ke-20 berfokus pada evolusi ide-ide filosofis
seiring perjalanan waktu, memperlihatkan bagaimana aliran-aliran besar
bermunculan sebagai respons terhadap tantangan historis dan epistemologis yang
berubah. Dengan mengamati periodisasi yang bertahap, kita dapat melacak
transformasi radikal dalam orientasi filosofis dari awal abad yang masih
dibayangi oleh sistem-sistem besar modern hingga penghujung abad yang sarat
dengan kritik dekonstruktif dan relativisme pascamodern.
3.1.
Awal Abad ke-20
(1900–1945): Krisis Fondasional dan Kelahiran Eksistensialisme
Awal abad ke-20
merupakan masa pergolakan intelektual yang besar. Di satu sisi, positivisme
logis—yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Rudolf Carnap dan kelompok
Wina—berusaha mempertahankan warisan saintifik modern dengan menekankan
verifikasi empiris dan logika formal sebagai fondasi pengetahuan yang valid¹.
Namun, di sisi lain, muncul gelombang pemikiran yang menentang reduksi realitas
pada angka dan proposisi ilmiah. Edmund Husserl memelopori gerakan fenomenologi
untuk kembali kepada "kesadaran murni" dan struktur esensial
pengalaman².
Transformasi lebih
lanjut terjadi ketika Martin Heidegger menggeser fenomenologi Husserl ke arah
analisis ontologis eksistensial. Dalam Being and Time, Heidegger
mengungkapkan bahwa pertanyaan fundamental filsafat adalah pertanyaan tentang
makna Being,
yang selama ini terabaikan dalam tradisi metafisika Barat³. Melalui konsep Dasein,
Heidegger menyoroti keterlemparan manusia dalam dunia, keterbatasan
eksistensialnya, dan pentingnya otentisitas dalam menghadapi kematian. Ide-ide
ini menjadi benih bagi filsafat eksistensialisme yang kemudian dikembangkan
oleh Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir.
Sartre menolak
keberadaan esensi a priori dan menegaskan kebebasan manusia sebagai kutukan dan
berkah: manusia harus menentukan eksistensinya sendiri tanpa rujukan
metafisis⁴. De Beauvoir memperluas dimensi eksistensial ini ke dalam kritik
terhadap relasi gender dan posisi perempuan dalam dunia yang patriarkal⁵.
Filsafat pada periode ini secara umum didorong oleh kesadaran akan krisis
makna, kehancuran tatanan modern, dan pencarian otentisitas manusia dalam
situasi dunia yang absurd dan terancam.
3.2.
Pertengahan Abad ke-20
(1945–1970): Kritik Ideologi dan Proyek Emansipatoris
Setelah Perang Dunia
II dan kengerian Holocaust, filsafat mengalami pergeseran ke arah kritik atas
ideologi, struktur kekuasaan, dan dominasi sistemik. Mazhab Frankfurt memainkan
peran sentral dalam mengembangkan teori kritis yang menggabungkan Marxisme,
psikoanalisis, dan estetika untuk mengekspos bagaimana rasionalitas modern
telah dikolonisasi oleh logika dominasi⁶. Tokoh-tokoh seperti Adorno dan Horkheimer
menyoroti bagaimana “pencerahan” justru berubah menjadi alat pembenaran
penindasan, melalui apa yang mereka sebut sebagai "dialektika
pencerahan"⁷.
Pada saat yang sama,
Hannah Arendt menekankan perlunya pemahaman baru atas politik, kejahatan, dan tanggung
jawab. Dalam karyanya The Human Condition dan Eichmann
in Jerusalem, Arendt menyoroti banalitas kejahatan sebagai hasil
dari ketidakmampuan berpikir secara reflektif di tengah birokrasi modern⁸.
Filsafat feminis eksistensialis yang dipelopori oleh Simone de Beauvoir juga
berkembang pesat dalam periode ini, memadukan kesadaran eksistensial dengan
perjuangan sosial dan pembebasan perempuan⁹.
Periode ini ditandai
oleh pemikiran yang sangat sadar akan trauma sejarah dan mencoba membangun
basis rasional baru yang bersifat kritis dan emansipatoris, bukan sekadar
normatif. Rasio tidak lagi diasumsikan sebagai netral dan objektif, tetapi
sebagai medan pertarungan ideologis yang perlu dikritisi secara historis.
3.3.
Akhir Abad ke-20
(1970–2000): Pascastrukturalisme, Dekonstruksi, dan Krisis Subjek
Paruh akhir abad
ke-20 ditandai oleh dekonstruksi terhadap struktur-struktur besar pemikiran
modern. Pascastrukturalisme dan postmodernisme menjadi aliran dominan yang
menolak logika totalisasi, stabilitas makna, dan subjek yang koheren. Michel
Foucault memetakan bagaimana kuasa dan pengetahuan saling mengkonstruksi dalam
institusi-institusi sosial seperti rumah sakit, penjara, dan sekolah¹⁰. Bagi
Foucault, subjek tidak lagi menjadi pusat kesadaran yang otonom, melainkan
produk dari “rejim kebenaran” yang historis.
Jacques Derrida,
dalam pendekatannya yang dikenal sebagai dekonstruksi, memperlihatkan
ketidakstabilan dalam sistem bahasa itu sendiri. Ia membongkar oposisi biner
dalam teks-teks filosofis Barat dan memperlihatkan bahwa makna selalu tertunda
(différance)
dan tidak pernah hadir secara penuh¹¹. Dalam konteks ini, filsafat tidak lagi
mencari fondasi yang stabil, melainkan menggali ketegangan, ironi, dan
pergeseran dalam wacana itu sendiri.
Pada saat yang sama,
filsafat analitik juga mengalami transformasi, dari pendekatan
logis-positivistik menuju pragmatisme linguistik dan antifondasionalisme.
Richard Rorty, misalnya, menolak gagasan objektivitas epistemologis dan
menekankan solidaritas dalam praktik diskursif sebagai basis kebenaran¹².
Kritik terhadap universalisme, rasionalitas transendental, dan klaim-klaim
objektif menjadi tema sentral dalam lanskap filsafat akhir abad ke-20.
Simpulan Sementara
Melalui pendekatan
diakronik, kita melihat bagaimana sejarah filsafat abad ke-20 bukanlah narasi
linier, melainkan rangkaian reaksi terhadap krisis, trauma, dan disorientasi
intelektual. Dari pencarian esensialitas pengalaman (fenomenologi), keterlemparan
eksistensial (eksistensialisme), kritik ideologi (teori kritis), hingga
dekonstruksi bahasa dan subjektivitas (postmodernisme), semuanya mencerminkan
transisi dari keyakinan pada fondasi universal menuju kesadaran kritis akan
pluralitas dan kontingensi. Transformasi ini menandai abad ke-20 sebagai masa
di mana filsafat tidak lagi berbicara dengan kepastian mutlak, tetapi dengan
kewaspadaan hermeneutik dan kesadaran historis.
Catatan Kaki
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books,
2001), 31–34.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer
Academic, 1983), 43–55.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 36–49.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.
[5]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and
Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2010), 267–273.
[6]
Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and Modernity
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 93.
[7]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 1–34.
[8]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of
Evil (New York: Penguin, 2006), 135–139.
[9]
Elizabeth Fallaize, The Novels of Simone de Beauvoir (London:
Routledge, 1988), 84–87.
[10]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–202.
[11]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.
[12]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 357–363.
4.
Pendekatan
Sinkronik: Tema-tema Kunci Filsafat Abad ke-20
Pendekatan sinkronik
dalam filsafat memungkinkan pembacaan lintas arus dan lintas wilayah pemikiran
secara simultan dalam kerangka waktu yang relatif sama. Alih-alih menelusuri
urutan kronologis, pendekatan ini menyoroti keterkaitan tematis yang berkembang
sejajar di berbagai tradisi dan konteks geografis. Dalam konteks abad ke-20,
sejumlah tema besar muncul sebagai respons terhadap krisis epistemologis,
politis, dan eksistensial yang mengiringi modernitas dan pascamodernitas.
Tema-tema tersebut tidak hanya menjadi inti refleksi filosofis, tetapi juga
menjembatani diskursus lintas disiplin seperti linguistik, psikoanalisis,
feminisme, teori budaya, dan ilmu sosial.
4.1.
Filsafat Bahasa dan
Analitik: Kejelasan Konseptual dan Krisis Representasi
Filsafat bahasa
merupakan salah satu medan utama refleksi filsafat analitik abad ke-20.
Tokoh-tokoh seperti Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, Gottlob Frege, dan
W.V.O. Quine menekankan pentingnya analisis bahasa dalam menjernihkan persoalan
filosofis. Proyek filsafat tidak lagi dipahami sebagai pencarian hakikat
metafisis, melainkan sebagai klarifikasi terhadap kekacauan konseptual melalui
logika simbolik¹.
Wittgenstein, dalam
karya Tractatus
Logico-Philosophicus, menyatakan bahwa batas-batas bahasa adalah
batas-batas dunia². Namun dalam Philosophical Investigations, ia
meninggalkan pandangan atomistik dan mengembangkan pendekatan language
games, menekankan bahwa makna bersifat kontekstual dan tergantung
pada praktik penggunaan sosial³. Dengan demikian, terjadi pergeseran dari
bahasa sebagai cermin realitas menuju bahasa sebagai praktik sosial—sebuah
transformasi yang mempertemukan filsafat analitik dengan wacana hermeneutik dan
pragmatis.
4.2.
Eksistensialisme dan
Fenomenologi: Subjektivitas, Kebebasan, dan Pengalaman
Eksistensialisme dan
fenomenologi menyoroti keberadaan manusia yang konkret, dilematis, dan
terlempar dalam dunia. Fenomenologi Husserl membuka jalan bagi analisis
struktural kesadaran, dengan konsep intentionalitas sebagai hubungan
esensial antara subjek dan objek pengalaman⁴. Heidegger melanjutkan ini ke
dalam dimensi ontologis, di mana eksistensi manusia (Dasein) adalah entitas
yang sadar akan keberadaannya yang sementara, dilematis, dan penuh ketakutan
terhadap kematian⁵.
Eksistensialisme,
sebagaimana dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre, menyuarakan kebebasan manusia
sebagai sesuatu yang radikal: "eksistensi mendahului esensi".
Dalam kerangka ini, manusia menjadi pencipta maknanya sendiri dalam dunia yang
absurd dan tanpa fondasi metafisik⁶. Simone de Beauvoir memperluas horizon ini
ke dalam dimensi gender dan pengalaman perempuan, sehingga eksistensialisme
tidak hanya menjadi filsafat tentang eksistensi individual, tetapi juga tentang
relasi kekuasaan dan pembebasan⁷.
4.3.
Strukturalisme dan
Pascastrukturalisme: Bahasa, Makna, dan Ketegangan Diskursif
Di pertengahan
hingga akhir abad ke-20, lahir arus pemikiran yang menekankan bahwa realitas
sosial, budaya, dan bahkan psikologi dibentuk oleh struktur yang mendasarinya.
Strukturalisme, yang berakar dari linguistik Ferdinand de Saussure, menyatakan
bahwa makna tidak melekat pada entitas, melainkan lahir dari perbedaan dalam
sistem tanda⁸. Tokoh seperti Claude Lévi-Strauss, Roland Barthes, dan Jacques
Lacan menerapkan kerangka ini dalam antropologi, semiotika, dan psikoanalisis.
Namun,
pascastrukturalisme—melalui tokoh seperti Michel Foucault dan Jacques
Derrida—menolak stabilitas struktur itu sendiri. Derrida menunjukkan bahwa teks
selalu mengandung aporias dan kontradiksi internal,
serta bahwa makna selalu tertunda dalam proses yang disebut différance⁹.
Foucault, dalam analisisnya terhadap wacana dan kekuasaan, menunjukkan bahwa
"kebenaran" bukanlah cerminan objektif dari realitas, melainkan
hasil dari konfigurasi historis kekuasaan yang menentukan apa yang bisa
dikatakan dan dipikirkan¹⁰.
4.4.
Teori Kritis dan
Emansipasi: Rasionalitas, Ideologi, dan Pembebasan
Mazhab Frankfurt
mengembangkan teori kritis sebagai alternatif terhadap positivisme dan filsafat
sistem. Mereka berusaha menggabungkan Marxisme, psikoanalisis, dan kritik
budaya untuk mengungkap bagaimana struktur sosial modern memproduksi
bentuk-bentuk dominasi yang tersembunyi dalam praktik sehari-hari. Dalam Dialectic
of Enlightenment, Adorno dan Horkheimer mengungkap paradoks bahwa
rasionalitas pencerahan justru mengarah pada dominasi teknokratis dan hilangnya
otonomi individu¹¹.
Jürgen Habermas,
generasi kedua Frankfurt, berusaha merehabilitasi rasionalitas dalam bentuk
komunikasi yang tidak didominasi—sebuah upaya untuk merumuskan rasio sebagai
dasar etika intersubjektif, bukan sebagai alat instrumental¹². Teori kritis
tidak hanya bersifat analitik, tetapi juga normatif dan emansipatoris: ia mengarah
pada pembebasan dari belenggu ideologi, ketundukan sistemik, dan alienasi
sosial.
4.5.
Filsafat Etika dan Politik:
Keadilan, Identitas, dan Pluralitas Moral
Isu etika dan
politik menjadi tema dominan dalam konteks pascatotalitarian dan pascakolonial.
Hannah Arendt menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena tindakan politis
yang plural dan bebas dari dominasi negara dan pasar¹³. John Rawls, melalui A Theory
of Justice, mengembangkan pendekatan deontologis berbasis “veil
of ignorance” untuk merumuskan keadilan sebagai fairness¹⁴. Di sisi lain,
filsuf seperti Alasdair MacIntyre dan Charles Taylor menyoroti pentingnya
tradisi dan komunitas dalam pembentukan nilai moral, sebagai respons terhadap
individualisme liberal.
Dalam diskursus
feminis dan postkolonial, muncul kritik terhadap filsafat Barat yang
universalistik dan mengabaikan pengalaman marjinal. Tokoh seperti bell hooks,
Gayatri Spivak, dan Judith Butler menekankan bahwa identitas adalah konstruksi
sosial yang dibentuk dalam relasi kuasa dan wacana¹⁵. Dengan demikian, filsafat
abad ke-20 berkembang ke arah inklusivitas perspektif dan kesadaran akan
keragaman epistemik dan moral.
Kesimpulan Sementara
Melalui pendekatan
sinkronik, tema-tema besar filsafat abad ke-20 tidak hanya dilihat sebagai
aliran yang terpisah, melainkan sebagai jejaring konseptual yang saling
bertaut. Baik filsafat bahasa, eksistensialisme, strukturalisme, teori kritis,
maupun etika politik, semuanya berkontribusi dalam membentuk medan pemikiran
yang menandai pergeseran dari kepastian metafisis ke kesadaran kritis akan
kontingensi, relasi kuasa, dan pluralitas makna. Sinkronikitas pemikiran ini
memperkaya pemahaman kita terhadap kompleksitas transformasi kesadaran dalam
lanskap intelektual abad ke-20.
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, Our Knowledge of the External World (London:
Allen & Unwin, 1914), 1–10.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.
F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 1961), proposition 5.6.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1958), §§23–25.
[4]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology,
trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer, 1983), 78–83.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 53–54.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 34–39.
[7]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and
Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2010), 283–288.
[8]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed.
Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical
Library, 1959), 67–71.
[9]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–27.
[10]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 80–85.
[11]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–101.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 21–45.
[13]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1998), 175–180.
[14]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 136–142.
[15]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 3–5.
5.
Perbandingan
Sinkronik–Diakronik: Integrasi dan Ketegangan
Pendekatan sinkronik
dan diakronik dalam kajian filsafat abad ke-20 tidak berdiri sebagai metode
yang saling menegasikan, melainkan membuka peluang integrasi yang produktif
sekaligus mengungkapkan ketegangan epistemologis yang inheren dalam dinamika
pemikiran. Keduanya memberikan kontribusi penting dalam memahami kompleksitas
sejarah intelektual, terutama dalam periode yang sarat dengan fragmentasi ide,
krisis nilai, dan pergeseran mendasar dalam pandangan tentang subjek, realitas,
dan makna.
5.1.
Pendekatan Diakronik:
Dinamika Historis dan Evolusi Pemikiran
Pendekatan diakronik
menekankan dimensi kronologis dan transformasional dalam sejarah pemikiran.
Melalui lensa ini, kita dapat melihat bahwa filsafat abad ke-20 bergerak dari
keyakinan rasionalistik modern menuju kritik atas fondasi-fondasi itu sendiri.
Gerakan ini terentang dari fenomenologi transendental Husserl, eksistensialisme
Heidegger dan Sartre, teori kritis Mazhab Frankfurt, hingga postmodernisme
dekonstruktif Derrida dan Foucault. Setiap fase membawa koreksi atau perlawanan
terhadap pendahulunya, menandai bahwa filsafat abad ke-20 lebih bersifat
reaktif, reflektif, dan dekonstruktif ketimbang konstruktif dalam pola linier¹.
Dalam aspek ini,
sejarah filsafat tidak bisa dilepaskan dari sejarah sosial dan politiknya.
Sebagai contoh, kemunculan teori kritis pasca-Perang Dunia II bukan hanya hasil
spekulasi akademik, tetapi juga tanggapan terhadap barbarisme modern yang
dilakukan oleh rezim fasis melalui instrumen rasionalitas teknokratik². Begitu
pula dengan berkembangnya feminisme eksistensialis dan postkolonialisme, yang
merupakan respons terhadap marjinalisasi historis yang dilembagakan oleh
struktur sosial dominan. Maka, pendekatan diakronik memberi pemahaman tentang mengapa
suatu gagasan muncul pada waktu tertentu, dalam konteks historis yang khas.
5.2.
Pendekatan Sinkronik: Pola
Tematik dan Relasi Intersubjektif
Sementara itu,
pendekatan sinkronik membantu kita memahami bahwa tema-tema besar dalam filsafat
abad ke-20 tidak berkembang secara tunggal dan berurutan, melainkan saling
bersilangan secara simultan. Di pertengahan abad ke-20, misalnya, teori kritis
Mazhab Frankfurt di Jerman berkembang bersamaan dengan filsafat analitik bahasa
di Inggris dan Amerika, serta eksistensialisme di Prancis. Meskipun tampak
terisolasi, ketiganya berbagi kekhawatiran atas kegagalan metafisika klasik dan
implikasi sosial dari krisis modernitas. Pendekatan ini memungkinkan pemetaan
medan intelektual yang lebih luas, memperlihatkan korelasi lintas tradisi,
meskipun mungkin tidak berkomunikasi secara langsung³.
Melalui pendekatan
ini pula, filsafat analitik yang semula dipandang sebagai antitesis dari
pemikiran kontinental, mulai dikaji ulang sebagai bagian dari medan diskursif
yang lebih luas. Karya-karya akhir Wittgenstein, Quine, dan Rorty, misalnya,
menunjukkan keterbukaan terhadap tema-tema yang juga digarap oleh
kontinentalisme seperti bahasa, subjek, dan relativitas kebenaran⁴. Ini
menunjukkan bahwa pembacaan sinkronik dapat mengaburkan batas-batas artifisial
antara aliran-aliran filsafat yang selama ini terpolarisasi.
5.3.
Integrasi: Sintesis
Reflektif antara Historisitas dan Strukturalitas
Integrasi antara
pendekatan sinkronik dan diakronik memungkinkan kita melihat bahwa tema-tema
kunci dalam filsafat tidak hanya hadir sebagai konsekuensi dari perkembangan
historis, tetapi juga sebagai bagian dari jaringan konseptual yang saling
melintasi. Misalnya, tema kebebasan tidak hanya mengalami
perkembangan historis dari Kant ke Sartre, tetapi juga memiliki struktur
tematik yang hadir dalam berbagai diskursus mulai dari etika, politik, hingga
feminisme. Begitu pula dengan problem bahasa yang dibahas oleh Saussure,
Wittgenstein, Derrida, dan Foucault dalam tradisi dan waktu yang berbeda namun
memperlihatkan keterhubungan konseptual⁵.
Pendekatan
integratif ini sejalan dengan metode genealogis yang dikembangkan
Foucault—yang bukan semata kronologis atau tematik, melainkan penggalian
historis atas bagaimana gagasan terbentuk melalui praktik-praktik sosial
tertentu⁶. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya deskriptif, tetapi juga
kritis dan reflektif, menyatukan pemahaman tentang dinamika sejarah dan
struktur ide dalam satu bingkai interpretatif.
5.4.
Ketegangan: Fragmentasi vs.
Totalitas, Kritik vs. Sintesis
Meskipun integrasi
dimungkinkan, terdapat pula ketegangan epistemologis yang melekat dalam dua
pendekatan ini. Pendekatan diakronik cenderung menekankan narasi dan
kontinuitas historis, yang berisiko menyederhanakan atau bahkan mengabaikan
disjungsi dan keberagaman wacana. Sementara itu, pendekatan sinkronik, meskipun
menyoroti kompleksitas dan pertautan antaride, berisiko kehilangan konteks
sejarah konkret yang membentuk ide tersebut. Dalam tradisi postmodern, kritik
terhadap grand
narrative seperti yang dilakukan oleh Lyotard justru memperlihatkan
ketegangan ini secara tajam: sejarah bukan lagi urutan progresif, tetapi
kaleidoskop diskursif yang tak memiliki pusat tunggal⁷.
Tantangan utama
adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara membaca filsafat sebagai produk
sejarah dan sebagai medan konseptual yang kompleks. Di sinilah perlunya
kesadaran metodologis dalam setiap kajian filsafat: bahwa setiap pembacaan
harus senantiasa terbuka terhadap dialog antara waktu dan struktur, antara
narasi dan jaringan, antara posisi historis dan intensitas konseptual.
Simpulan Sementara
Perbandingan antara
pendekatan sinkronik dan diakronik dalam kajian filsafat abad ke-20 membuka
ruang refleksi metodologis yang penting. Keduanya tidak saling meniadakan,
tetapi saling melengkapi dalam menyusun pemahaman utuh tentang dinamika
pemikiran modern. Jika diakronik memberi arah temporal pada perubahan, maka
sinkronik memberi kedalaman pada kerangka wacana yang berlangsung secara
simultan. Dalam dunia filsafat yang semakin plural dan reflektif, integrasi
kedua pendekatan ini bukan hanya bermanfaat, melainkan niscaya.
Catatan Kaki
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York:
Ballantine Books, 1991), 390–395.
[2]
Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History of the Frankfurt
School and the Institute of Social Research, 1923–1950 (Berkeley:
University of California Press, 1996), 259–260.
[3]
Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity
(Chicago: University of Chicago Press, 1990), 138–141.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 385–388.
[5]
Robert C. Solomon, Continental Philosophy Since 1750: The Rise and
Fall of the Self (Oxford: Oxford University Press, 1988), 212–215.
[6]
Michel Foucault, Nietzsche, Genealogy, History, in Language,
Counter-Memory, Practice, ed. Donald F. Bouchard, trans. Donald F.
Bouchard and Sherry Simon (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.
[7]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
6.
Warisan
Filsafat Abad ke-20 bagi Dunia Kontemporer
Warisan filsafat
abad ke-20 terhadap dunia kontemporer tidak semata-mata berupa teori atau
sistem pemikiran, tetapi juga berupa transformasi cara berpikir, bertanya, dan
memahami diri serta masyarakat. Melalui pendekatan sinkronik dan diakronik,
kita dapat melihat bagaimana gagasan-gagasan filsafat abad ke-20 membentuk
infrastruktur intelektual yang menopang berbagai bidang kehidupan modern: dari
pendidikan, politik, budaya, etika, hingga ilmu pengetahuan. Dalam lintasan
sejarahnya, pemikiran filsafat abad ini telah membongkar mitos kemajuan linier,
menggeser pusat epistemologis dari subjek universal ke relasi sosial dan
bahasa, serta memperluas horizon etika dalam konteks pluralitas dan keadilan
global.
6.1.
Dekonstruksi Rasionalitas
Modern dan Kelahiran Kesadaran Kritis
Salah satu warisan
paling signifikan dari filsafat abad ke-20 adalah kritik terhadap rasionalitas
modern dan proyek pencerahan. Teori kritis Mazhab Frankfurt membuka mata
terhadap bagaimana nalar instrumental yang dipuja dalam modernitas justru dapat
berubah menjadi alat dominasi sosial dan politik¹. Dalam Dialectic
of Enlightenment, Adorno dan Horkheimer menunjukkan bahwa
rasionalitas, ketika dilepaskan dari dimensi reflektif dan emansipatoris, dapat
membenarkan kekejaman atas nama efisiensi dan kemajuan². Perspektif ini masih
relevan hari ini ketika dunia menyaksikan dominasi teknologi, birokratisasi
kehidupan, dan erosi nilai-nilai humanistik.
Pemikiran Foucault
melanjutkan warisan kritik ini melalui dekonstruksi terhadap konsep kuasa dan
wacana. Ia memperlihatkan bahwa institusi modern seperti sekolah, rumah sakit,
dan penjara tidak netral, melainkan dibentuk oleh konfigurasi kuasa-pengetahuan
yang menentukan bagaimana subjek diproduksi, dikontrol, dan dibentuk³.
Kesadaran semacam ini menjadi fondasi penting dalam analisis institusional,
studi kebijakan, serta kritik budaya kontemporer.
6.2.
Perluasan Ranah Etika dan
Politik: Identitas, Gender, dan Keadilan
Filsafat abad ke-20
juga meninggalkan jejak penting dalam perluasan horizon etika dan politik. Dari
filsafat eksistensialisme, kita belajar bahwa kebebasan bukan sekadar pilihan,
melainkan tanggung jawab eksistensial manusia dalam membentuk makna hidupnya⁴.
Pandangan ini diperluas oleh pemikiran feminis seperti Simone de Beauvoir dan
Judith Butler, yang menekankan bahwa identitas gender bukan sesuatu yang
esensial, tetapi dibentuk melalui relasi sosial, norma budaya, dan pengulangan
performatif⁵.
Dalam bidang politik
dan hukum, filsafat politik John Rawls dengan A Theory of Justice memberikan
model konseptual tentang keadilan distributif berbasis prinsip fairness, yang
menjadi rujukan penting dalam teori keadilan sosial dan desain kebijakan publik
di berbagai negara⁶. Sementara itu, pemikir seperti Amartya Sen dan Martha
Nussbaum, dengan pendekatan capabilities, mengembangkan warisan
ini dalam konteks pembangunan manusia dan keadilan global⁷. Filsafat politik
pasca-Rawlsian kini berupaya menjawab tantangan pluralitas nilai dan
ketidaksetaraan struktural dalam masyarakat global.
6.3.
Reorientasi Ilmu
Pengetahuan dan Kritik terhadap Objektivitas Netral
Abad ke-20 juga
mewariskan kesadaran kritis terhadap epistemologi ilmu pengetahuan. Melalui
karya Thomas Kuhn, paradigma ilmiah dipahami sebagai konstruksi historis dan
sosial yang tunduk pada revolusi konseptual, bukan sebagai akumulasi linier
menuju kebenaran objektif⁸. Pemikiran ini menggugurkan asumsi positivistik
bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai, dan membuka ruang untuk melihat sains
sebagai praktik budaya yang dipengaruhi oleh komunitas ilmiah, bahasa, dan
kekuasaan institusional.
Dalam filsafat
analitik sendiri, terutama melalui tokoh seperti W.V.O. Quine dan Richard
Rorty, terjadi pergeseran dari fondasionalisme ke arah antifondasionalisme dan
pragmatisme linguistik. Rorty menolak gagasan kebenaran sebagai korespondensi
dan lebih menekankan solidaritas sosial serta perbincangan publik sebagai dasar
berpikir filosofis yang lebih inklusif dan demokratis⁹. Warisan ini kini hidup
dalam berbagai bentuk pemikiran post-analitik dan pluralisme epistemologis yang
berkembang dalam studi-studi interdisipliner.
6.4.
Refleksi Kultural dan
Humanisme Baru dalam Dunia Global
Dalam konteks
globalisasi, filsafat abad ke-20 mengajarkan kehati-hatian terhadap
universalisme yang bersifat hegemonik. Pemikiran postkolonial seperti yang
dikembangkan oleh Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha membuka
kesadaran bahwa wacana Barat tidak netral, melainkan sarat kepentingan politik
dan kultural dalam konstruksi Timur sebagai liyan (the Other)¹⁰. Kesadaran ini
menjadi fondasi penting dalam kajian budaya, pendidikan global, dan gerakan
dekolonisasi pengetahuan.
Selain itu, muncul
juga bentuk-bentuk humanisme baru yang tidak lagi berpusat pada subjek
metafisis yang otonom, tetapi pada relasi, dialog, dan tanggung jawab
antar-subjektif sebagaimana diteorikan oleh Emmanuel Levinas. Etika sebagai
tanggung jawab kepada yang Lain (l’Autre) menawarkan dasar moral yang lebih
relasional, afektif, dan mendalam dalam merespons krisis kemanusiaan
kontemporer¹¹.
Kesimpulan Sementara
Warisan filsafat
abad ke-20 bagi dunia kontemporer tidak terletak pada doktrin yang tetap,
melainkan pada kepekaan metodologis, keberanian hermeneutik, dan keterbukaan
etis terhadap kompleksitas zaman. Ia meninggalkan kesadaran kritis bahwa
filsafat tidak lagi bisa berdiri sebagai penjaga sistem tertutup, melainkan
harus hadir sebagai ruang dialog, refleksi, dan resistensi terhadap
absolutisme, dominasi, dan reduksionisme. Melalui warisan ini, filsafat menjadi
alat navigasi untuk memahami tantangan eksistensial, politik, dan epistemologis
dalam dunia yang terus berubah.
Catatan Kaki
[1]
Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and Modernity (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1989), 58–60.
[2]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), xvi–xx.
[3]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–35.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 53–55.
[5]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity
(New York: Routledge, 1990), 7–9.
[6]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 11–14.
[7]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999),
72–78.
[8]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago:
University of Chicago Press, 1970), 111–122.
[9]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), xv–xviii.
[10]
Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 1–6.
[11]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.
7.
Penutup
Filsafat abad ke-20 merupakan titik balik penting
dalam sejarah pemikiran manusia. Tidak hanya sebagai kelanjutan dari tradisi
modern yang mendahuluinya, melainkan juga sebagai medan pembongkaran,
pembaruan, dan pergeseran paradigma yang mendalam. Melalui pendekatan diakronik,
kita menyaksikan bagaimana filsafat bergerak dalam dialektika antara
kesinambungan dan diskontinuitas, dari fenomenologi dan eksistensialisme awal
abad, menuju teori kritis, pascastrukturalisme, dan pluralisme etis di akhir
abad. Setiap tahap bukan hanya mencerminkan perubahan ide, tetapi juga
resonansi dari konteks sejarah yang lebih luas—perang, kolonialisme,
totalitarianisme, dan globalisasi¹.
Sementara itu, pendekatan sinkronik
mengungkap jalinan tema-tema konseptual yang berkembang secara simultan: krisis
subjek, desentralisasi kebenaran, kritik terhadap nalar dominan, serta upaya
untuk memperluas cakupan etika dan politik. Filsafat abad ke-20 mempertemukan
proyek-proyek reflektif dari berbagai tradisi—kontinental maupun analitik—dalam
suatu lanskap diskursif yang lebih terbuka, interdisipliner, dan kritis.
Tema-tema besar seperti bahasa, kuasa, subjektivitas, dan identitas tidak lagi
dibatasi oleh batas-batas aliran, melainkan menyeberangi wilayah pengetahuan
dalam cara yang tak terduga².
Dengan menggabungkan pendekatan diakronik dan
sinkronik, kita dapat memahami bahwa filsafat abad ke-20 bukan sekadar arsip
pemikiran yang terisolasi dalam ruang waktu, tetapi sebuah jaringan dinamis
gagasan yang terus hidup, mempengaruhi, dan dipengaruhi oleh kondisi sosial,
budaya, dan politik. Filsafat tidak lagi menjadi “pencari kebenaran” dalam arti
klasik, tetapi menjadi praktik reflektif yang sadar akan keterbatasannya
sendiri, dan yang secara aktif mengkritisi kerangka-kerangka dominan yang membentuk
pemahaman manusia tentang realitas³.
Warisan abad ke-20 adalah warisan kesadaran
kritis—sebuah bentuk kewaspadaan terhadap absolutisme, determinisme, dan
klaim-klaim universal yang tidak memperhitungkan kompleksitas manusia. Dalam
dunia kontemporer yang terus menghadapi fragmentasi makna, krisis lingkungan,
disinformasi, serta ketimpangan global, warisan ini menjadi semakin relevan.
Filsafat abad ke-20 mengajarkan bahwa berpikir tidak cukup untuk memahami,
melainkan harus juga membuka kemungkinan untuk bertindak secara etis dan
bertanggung jawab⁴.
Oleh karena itu, transformasi kesadaran kritis yang
diwariskan oleh filsafat abad ke-20 tidak dapat disimpulkan sebagai doktrin
tertutup, tetapi sebagai proses terbuka yang terus bergerak: dari keterbukaan
terhadap yang lain, dari pengakuan akan keragaman makna, hingga perwujudan
solidaritas di tengah dunia yang plural. Filsafat di abad ke-20 adalah filsafat
yang tidak berhenti pada logos, tetapi merambah ke etos; tidak berhenti pada
sistem, tetapi menghidupkan praksis reflektif dalam kehidupan sehari-hari⁵.
Catatan Kaki
[1]
Richard J. Bernstein, The Restructuring of
Social and Political Theory (Philadelphia: University of Pennsylvania
Press, 1976), 83–85.
[2]
Robert C. Solomon and Kathleen M. Higgins, A
Short History of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1996),
234–237.
[3]
Michel Foucault, What Is Enlightenment?, in The
Foucault Reader, ed. Paul Rabinow (New York: Pantheon Books, 1984), 32–50.
[4]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–44.
[5]
Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity:
Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh:
Duquesne University Press, 1985), 90–94.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
(Original work published 1944)
Ayer, A. J. (2001). Language, truth and logic.
Penguin Books. (Original work published 1936)
Beauvoir, S. de. (2010). The second sex (C.
Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1949)
Bernstein, R. J. (1976). The restructuring of
social and political theory. University of Pennsylvania Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. Routledge.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1982). Margins of philosophy
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1984). What is enlightenment? In P.
Rabinow (Ed.), The Foucault reader (pp. 32–50). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1975)
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans., 2nd ed.). Continuum. (Original work
published 1960)
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT
Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Kluwer Academic.
Jay, M. (1996). The dialectical imagination: A
history of the Frankfurt School and the Institute of Social Research, 1923–1950.
University of California Press.
Kellner, D. (1989). Critical theory, Marxism,
and modernity. Johns Hopkins University Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Levinas, E. (1985). Ethics and infinity:
Conversations with Philippe Nemo (R. A. Cohen, Trans.). Duquesne University
Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1984). After virtue (2nd
ed.). University of Notre Dame Press.
Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity.
Cambridge University Press.
Russell, B. (1914). Our knowledge of the
external world. Allen & Unwin.
Said, E. W. (1979). Orientalism. Vintage
Books.
Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Knopf.
Solomon, R. C., & Higgins, K. M. (1996). A
short history of philosophy. Oxford University Press.
Tarnas, R. (1991). The passion of the Western
mind. Ballantine Books.
Toulmin, S. (1990). Cosmopolis: The hidden
agenda of modernity. University of Chicago Press.
Wittgenstein, L. (1958). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Wittgenstein, L. (1961). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge. (Original work published 1921)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar