Senin, 12 Mei 2025

Sejarah Filsafat Abad ke-20: Transformasi Kesadaran Kritis

Sejarah Filsafat Abad ke-20

Transformasi Kesadaran Kritis


Alihkan ke: Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif dinamika dan transformasi pemikiran filsafat abad ke-20 dengan menggunakan pendekatan sinkronik dan diakronik. Pendekatan diakronik menelusuri evolusi historis dari fenomenologi, eksistensialisme, teori kritis, hingga pascastrukturalisme sebagai respons terhadap krisis modernitas, perang dunia, dan gejolak sosial-politik. Sementara itu, pendekatan sinkronik memetakan tema-tema besar yang berkembang sejajar—seperti bahasa, subjektivitas, kuasa, etika, dan politik—yang melintasi batas aliran dan tradisi filsafat. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, artikel ini menunjukkan bagaimana filsafat abad ke-20 tidak hanya membongkar fondasi metafisika klasik, tetapi juga melahirkan kesadaran kritis baru yang relevan bagi tantangan kontemporer. Warisan filsafat abad ke-20 tidak berupa sistem tertutup, melainkan terbuka pada pluralitas, refleksi etis, dan praksis transformatif dalam menghadapi realitas yang terus berubah.

Kata Kunci: filsafat abad ke-20, pendekatan sinkronik, pendekatan diakronik, kesadaran kritis, fenomenologi, eksistensialisme, teori kritis, pascastrukturalisme, dekonstruksi, etika kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Sejarah Filsafat Abad ke-20


1.           Pendahuluan

Abad ke-20 menandai sebuah babak radikal dalam sejarah filsafat, ditandai oleh pergeseran paradigma, perpecahan metodologis, dan pencarian baru akan makna, kebenaran, serta subjek manusia. Tidak seperti abad-abad sebelumnya yang berpusat pada fondasi metafisis yang relatif stabil, abad ke-20 menghadirkan kompleksitas baru dalam pemikiran, yang diwarnai oleh ketegangan antara rasionalisme ilmiah, kritik ideologis, dan pencarian eksistensial. Perubahan ini tidak dapat dipahami secara utuh tanpa mempertimbangkan dinamika historis (pendekatan diakronik) dan keterkaitan tematis lintas wilayah pemikiran (pendekatan sinkronik).

Secara historis (diakronik), filsafat abad ke-20 berkembang melalui lintasan waktu yang terfragmentasi, dari krisis modernitas pasca-Perang Dunia I hingga kemunculan filsafat postmodern setelah Perang Dunia II. Filsuf-filsuf seperti Edmund Husserl dan Martin Heidegger mencoba meredefinisi dasar-dasar pengetahuan dan keberadaan melalui pendekatan fenomenologi, sementara tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir menegaskan peran kebebasan dan tanggung jawab personal dalam kerangka eksistensialisme. Di sisi lain, perkembangan filsafat analitik di Inggris dan Amerika Serikat melalui tokoh seperti Bertrand Russell, G. E. Moore, dan Ludwig Wittgenstein memberikan penekanan pada bahasa, logika, dan klarifikasi konseptual sebagai bentuk kritik terhadap metafisika klasik¹.

Di waktu yang sama, pendekatan sinkronik mengungkapkan adanya struktur-struktur tema besar yang saling berkelindan dalam ruang wacana abad ke-20. Tema-tema seperti krisis subjek, dekonstruksi makna, kritik terhadap rasionalitas modern, dan perjuangan emansipatoris atas struktur kekuasaan menjadi medan utama refleksi filsafat. Filsafat tidak lagi berdiri sebagai disiplin yang otonom, melainkan berkelindan erat dengan ilmu sosial, sastra, feminisme, studi budaya, dan teori politik². Foucault, Derrida, Habermas, dan Rorty adalah beberapa figur yang memperluas ranah filsafat menjadi arena kritik terhadap wacana dan institusi dominan.

Kedua pendekatan tersebut—sinkronik dan diakronik—saling melengkapi dalam menggambarkan transformasi kesadaran kritis filsafat abad ke-20. Pendekatan diakronik memungkinkan kita melihat evolusi ide dalam lintasan waktu tertentu, sedangkan pendekatan sinkronik menekankan jaringan tema dan pemikiran yang berkembang secara serentak. Dalam konteks inilah, filsafat abad ke-20 tidak hanya dipahami sebagai perkembangan gagasan dari satu tokoh ke tokoh lain, melainkan sebagai medan kompleks di mana pergulatan epistemologis, ontologis, dan politis berlangsung dalam simultanitas dan tensi yang tinggi³.

Dengan demikian, artikel ini bertujuan menyajikan kajian historis dan tematis secara integral terhadap sejarah filsafat abad ke-20 melalui dua lensa utama: sinkronik dan diakronik. Melalui pendekatan ini, diharapkan pembaca memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh atas krisis, pergulatan, dan kontribusi pemikiran filsafat dalam merespons tantangan modernitas dan pascamodernitas.


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 783–799.

[2]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 135–145.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 281–287.


2.           Konteks Historis dan Epistemologis Abad ke-20

Abad ke-20 merupakan periode gejolak intelektual yang luar biasa dalam sejarah filsafat. Dunia menghadapi peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang fondasi peradaban modern: dua Perang Dunia, munculnya rezim totaliter, Holocaust, dekolonisasi, serta revolusi teknologi dan informasi. Semua itu menimbulkan krisis dalam kepercayaan terhadap kemajuan, rasionalitas, dan proyek Pencerahan yang telah lama menjadi pilar pemikiran Barat. Dalam konteks inilah, filsafat abad ke-20 tidak hanya berfungsi sebagai refleksi atas dunia yang sedang berubah, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekonstruksi dan menegosiasi ulang makna-makna dasar dalam pengetahuan, keberadaan, dan kebudayaan¹.

Secara historis (pendekatan diakronik), abad ke-20 menandai sebuah pergeseran tajam dari filsafat sistematik-metafisik yang bercorak universal dan total, menuju filsafat yang bersifat kritis, partikular, dan historis. Para filsuf mulai meragukan kemampuan rasio untuk menangkap realitas secara objektif dan total. Sebagai respons terhadap kehancuran akibat perang dan krisis moral, pemikiran filsafat mengarah pada problem-problem eksistensial dan politis: kecemasan, alienasi, makna hidup, kejahatan politik, dan kebebasan individu. Tokoh seperti Martin Heidegger menyatakan bahwa krisis modernitas adalah akibat keterasingan manusia dari makna Being itu sendiri². Sementara itu, pemikir seperti Adorno dan Horkheimer dari Mazhab Frankfurt mengkritik "rasio instrumental" yang melayani dominasi kapitalistik dan teknokratis, yang justru berujung pada barbarisme modern³.

Di sisi lain, pendekatan sinkronik memungkinkan kita memahami medan epistemologis yang saling berjejaring dalam periode yang sama. Filsafat analitik berkembang di dunia Anglo-Amerika dengan fokus pada logika simbolik, bahasa, dan epistemologi ilmiah. Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein membentuk fondasi awal pendekatan ini, yang berkembang dengan semangat klarifikasi konseptual dan pemurnian bahasa⁴. Di Eropa daratan, gerakan fenomenologi Husserl mengawali penelusuran kembali kepada pengalaman subyektif dan kesadaran murni (reduction), yang kemudian ditransformasikan oleh Heidegger menjadi analisis ontologis yang eksistensial. Dari sini, tumbuh eksistensialisme, strukturalisme, dan pascastrukturalisme sebagai aliran yang menginterogasi struktur budaya, bahasa, dan kekuasaan dalam kehidupan manusia modern⁵.

Pada titik ini, epistemologi tidak lagi dipahami dalam kerangka representasional yang netral, tetapi sebagai praktik diskursif yang dipengaruhi oleh konteks sejarah, ideologi, dan kekuasaan. Foucault misalnya, mengusulkan bahwa "pengetahuan" tidak pernah bebas dari relasi kuasa; setiap rezim kebenaran selalu bersifat historis dan terbentuk melalui praktik sosial tertentu⁶. Ini merupakan penolakan terhadap klaim netralitas epistemologis yang mendominasi tradisi modern. Di tempat lain, tokoh seperti Thomas Kuhn menunjukkan bahwa sains sendiri tidak bebas nilai, melainkan tunduk pada revolusi paradigmatik yang mencerminkan perubahan struktur komunitas ilmiah dan wacana dominan⁷.

Dengan demikian, konteks filsafat abad ke-20 dibentuk oleh dua kutub besar: pertama, kehancuran historis yang mengguncang optimisme modern; dan kedua, fragmentasi epistemologis yang menggoyahkan klaim universalitas rasionalitas. Dalam lanskap ini, filsafat tidak lagi berbicara dari menara gading metafisika, melainkan terlibat aktif dalam menelaah bahasa, budaya, subjektivitas, dan relasi kuasa. Pendekatan sinkronik dan diakronik memungkinkan kita merangkai kompleksitas ini menjadi pemahaman yang lebih utuh atas lanskap pemikiran yang plural, dinamis, dan reflektif.


Catatan Kaki

[1]                Richard J. Bernstein, The Philosophical Profiles: Essays in a Pragmatic Mode (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1986), 47.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210–211.

[3]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), xvii–xix.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 1961), 3–5.

[5]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), viii–x.

[6]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–122.


3.           Pendekatan Diakronik: Periodisasi dan Transformasi Pemikiran

Pendekatan diakronik dalam kajian filsafat abad ke-20 berfokus pada evolusi ide-ide filosofis seiring perjalanan waktu, memperlihatkan bagaimana aliran-aliran besar bermunculan sebagai respons terhadap tantangan historis dan epistemologis yang berubah. Dengan mengamati periodisasi yang bertahap, kita dapat melacak transformasi radikal dalam orientasi filosofis dari awal abad yang masih dibayangi oleh sistem-sistem besar modern hingga penghujung abad yang sarat dengan kritik dekonstruktif dan relativisme pascamodern.

3.1.       Awal Abad ke-20 (1900–1945): Krisis Fondasional dan Kelahiran Eksistensialisme

Awal abad ke-20 merupakan masa pergolakan intelektual yang besar. Di satu sisi, positivisme logis—yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Rudolf Carnap dan kelompok Wina—berusaha mempertahankan warisan saintifik modern dengan menekankan verifikasi empiris dan logika formal sebagai fondasi pengetahuan yang valid¹. Namun, di sisi lain, muncul gelombang pemikiran yang menentang reduksi realitas pada angka dan proposisi ilmiah. Edmund Husserl memelopori gerakan fenomenologi untuk kembali kepada "kesadaran murni" dan struktur esensial pengalaman².

Transformasi lebih lanjut terjadi ketika Martin Heidegger menggeser fenomenologi Husserl ke arah analisis ontologis eksistensial. Dalam Being and Time, Heidegger mengungkapkan bahwa pertanyaan fundamental filsafat adalah pertanyaan tentang makna Being, yang selama ini terabaikan dalam tradisi metafisika Barat³. Melalui konsep Dasein, Heidegger menyoroti keterlemparan manusia dalam dunia, keterbatasan eksistensialnya, dan pentingnya otentisitas dalam menghadapi kematian. Ide-ide ini menjadi benih bagi filsafat eksistensialisme yang kemudian dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir.

Sartre menolak keberadaan esensi a priori dan menegaskan kebebasan manusia sebagai kutukan dan berkah: manusia harus menentukan eksistensinya sendiri tanpa rujukan metafisis⁴. De Beauvoir memperluas dimensi eksistensial ini ke dalam kritik terhadap relasi gender dan posisi perempuan dalam dunia yang patriarkal⁵. Filsafat pada periode ini secara umum didorong oleh kesadaran akan krisis makna, kehancuran tatanan modern, dan pencarian otentisitas manusia dalam situasi dunia yang absurd dan terancam.

3.2.       Pertengahan Abad ke-20 (1945–1970): Kritik Ideologi dan Proyek Emansipatoris

Setelah Perang Dunia II dan kengerian Holocaust, filsafat mengalami pergeseran ke arah kritik atas ideologi, struktur kekuasaan, dan dominasi sistemik. Mazhab Frankfurt memainkan peran sentral dalam mengembangkan teori kritis yang menggabungkan Marxisme, psikoanalisis, dan estetika untuk mengekspos bagaimana rasionalitas modern telah dikolonisasi oleh logika dominasi⁶. Tokoh-tokoh seperti Adorno dan Horkheimer menyoroti bagaimana “pencerahan” justru berubah menjadi alat pembenaran penindasan, melalui apa yang mereka sebut sebagai "dialektika pencerahan"⁷.

Pada saat yang sama, Hannah Arendt menekankan perlunya pemahaman baru atas politik, kejahatan, dan tanggung jawab. Dalam karyanya The Human Condition dan Eichmann in Jerusalem, Arendt menyoroti banalitas kejahatan sebagai hasil dari ketidakmampuan berpikir secara reflektif di tengah birokrasi modern⁸. Filsafat feminis eksistensialis yang dipelopori oleh Simone de Beauvoir juga berkembang pesat dalam periode ini, memadukan kesadaran eksistensial dengan perjuangan sosial dan pembebasan perempuan⁹.

Periode ini ditandai oleh pemikiran yang sangat sadar akan trauma sejarah dan mencoba membangun basis rasional baru yang bersifat kritis dan emansipatoris, bukan sekadar normatif. Rasio tidak lagi diasumsikan sebagai netral dan objektif, tetapi sebagai medan pertarungan ideologis yang perlu dikritisi secara historis.

3.3.       Akhir Abad ke-20 (1970–2000): Pascastrukturalisme, Dekonstruksi, dan Krisis Subjek

Paruh akhir abad ke-20 ditandai oleh dekonstruksi terhadap struktur-struktur besar pemikiran modern. Pascastrukturalisme dan postmodernisme menjadi aliran dominan yang menolak logika totalisasi, stabilitas makna, dan subjek yang koheren. Michel Foucault memetakan bagaimana kuasa dan pengetahuan saling mengkonstruksi dalam institusi-institusi sosial seperti rumah sakit, penjara, dan sekolah¹⁰. Bagi Foucault, subjek tidak lagi menjadi pusat kesadaran yang otonom, melainkan produk dari “rejim kebenaran” yang historis.

Jacques Derrida, dalam pendekatannya yang dikenal sebagai dekonstruksi, memperlihatkan ketidakstabilan dalam sistem bahasa itu sendiri. Ia membongkar oposisi biner dalam teks-teks filosofis Barat dan memperlihatkan bahwa makna selalu tertunda (différance) dan tidak pernah hadir secara penuh¹¹. Dalam konteks ini, filsafat tidak lagi mencari fondasi yang stabil, melainkan menggali ketegangan, ironi, dan pergeseran dalam wacana itu sendiri.

Pada saat yang sama, filsafat analitik juga mengalami transformasi, dari pendekatan logis-positivistik menuju pragmatisme linguistik dan antifondasionalisme. Richard Rorty, misalnya, menolak gagasan objektivitas epistemologis dan menekankan solidaritas dalam praktik diskursif sebagai basis kebenaran¹². Kritik terhadap universalisme, rasionalitas transendental, dan klaim-klaim objektif menjadi tema sentral dalam lanskap filsafat akhir abad ke-20.


Simpulan Sementara

Melalui pendekatan diakronik, kita melihat bagaimana sejarah filsafat abad ke-20 bukanlah narasi linier, melainkan rangkaian reaksi terhadap krisis, trauma, dan disorientasi intelektual. Dari pencarian esensialitas pengalaman (fenomenologi), keterlemparan eksistensial (eksistensialisme), kritik ideologi (teori kritis), hingga dekonstruksi bahasa dan subjektivitas (postmodernisme), semuanya mencerminkan transisi dari keyakinan pada fondasi universal menuju kesadaran kritis akan pluralitas dan kontingensi. Transformasi ini menandai abad ke-20 sebagai masa di mana filsafat tidak lagi berbicara dengan kepastian mutlak, tetapi dengan kewaspadaan hermeneutik dan kesadaran historis.


Catatan Kaki

[1]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books, 2001), 31–34.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer Academic, 1983), 43–55.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 36–49.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.

[5]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2010), 267–273.

[6]                Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and Modernity (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 93.

[7]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 1–34.

[8]                Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Penguin, 2006), 135–139.

[9]                Elizabeth Fallaize, The Novels of Simone de Beauvoir (London: Routledge, 1988), 84–87.

[10]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–202.

[11]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.

[12]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 357–363.


4.           Pendekatan Sinkronik: Tema-tema Kunci Filsafat Abad ke-20

Pendekatan sinkronik dalam filsafat memungkinkan pembacaan lintas arus dan lintas wilayah pemikiran secara simultan dalam kerangka waktu yang relatif sama. Alih-alih menelusuri urutan kronologis, pendekatan ini menyoroti keterkaitan tematis yang berkembang sejajar di berbagai tradisi dan konteks geografis. Dalam konteks abad ke-20, sejumlah tema besar muncul sebagai respons terhadap krisis epistemologis, politis, dan eksistensial yang mengiringi modernitas dan pascamodernitas. Tema-tema tersebut tidak hanya menjadi inti refleksi filosofis, tetapi juga menjembatani diskursus lintas disiplin seperti linguistik, psikoanalisis, feminisme, teori budaya, dan ilmu sosial.

4.1.       Filsafat Bahasa dan Analitik: Kejelasan Konseptual dan Krisis Representasi

Filsafat bahasa merupakan salah satu medan utama refleksi filsafat analitik abad ke-20. Tokoh-tokoh seperti Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, Gottlob Frege, dan W.V.O. Quine menekankan pentingnya analisis bahasa dalam menjernihkan persoalan filosofis. Proyek filsafat tidak lagi dipahami sebagai pencarian hakikat metafisis, melainkan sebagai klarifikasi terhadap kekacauan konseptual melalui logika simbolik¹.

Wittgenstein, dalam karya Tractatus Logico-Philosophicus, menyatakan bahwa batas-batas bahasa adalah batas-batas dunia². Namun dalam Philosophical Investigations, ia meninggalkan pandangan atomistik dan mengembangkan pendekatan language games, menekankan bahwa makna bersifat kontekstual dan tergantung pada praktik penggunaan sosial³. Dengan demikian, terjadi pergeseran dari bahasa sebagai cermin realitas menuju bahasa sebagai praktik sosial—sebuah transformasi yang mempertemukan filsafat analitik dengan wacana hermeneutik dan pragmatis.

4.2.       Eksistensialisme dan Fenomenologi: Subjektivitas, Kebebasan, dan Pengalaman

Eksistensialisme dan fenomenologi menyoroti keberadaan manusia yang konkret, dilematis, dan terlempar dalam dunia. Fenomenologi Husserl membuka jalan bagi analisis struktural kesadaran, dengan konsep intentionalitas sebagai hubungan esensial antara subjek dan objek pengalaman⁴. Heidegger melanjutkan ini ke dalam dimensi ontologis, di mana eksistensi manusia (Dasein) adalah entitas yang sadar akan keberadaannya yang sementara, dilematis, dan penuh ketakutan terhadap kematian⁵.

Eksistensialisme, sebagaimana dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre, menyuarakan kebebasan manusia sebagai sesuatu yang radikal: "eksistensi mendahului esensi". Dalam kerangka ini, manusia menjadi pencipta maknanya sendiri dalam dunia yang absurd dan tanpa fondasi metafisik⁶. Simone de Beauvoir memperluas horizon ini ke dalam dimensi gender dan pengalaman perempuan, sehingga eksistensialisme tidak hanya menjadi filsafat tentang eksistensi individual, tetapi juga tentang relasi kekuasaan dan pembebasan⁷.

4.3.       Strukturalisme dan Pascastrukturalisme: Bahasa, Makna, dan Ketegangan Diskursif

Di pertengahan hingga akhir abad ke-20, lahir arus pemikiran yang menekankan bahwa realitas sosial, budaya, dan bahkan psikologi dibentuk oleh struktur yang mendasarinya. Strukturalisme, yang berakar dari linguistik Ferdinand de Saussure, menyatakan bahwa makna tidak melekat pada entitas, melainkan lahir dari perbedaan dalam sistem tanda⁸. Tokoh seperti Claude Lévi-Strauss, Roland Barthes, dan Jacques Lacan menerapkan kerangka ini dalam antropologi, semiotika, dan psikoanalisis.

Namun, pascastrukturalisme—melalui tokoh seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida—menolak stabilitas struktur itu sendiri. Derrida menunjukkan bahwa teks selalu mengandung aporias dan kontradiksi internal, serta bahwa makna selalu tertunda dalam proses yang disebut différance⁹. Foucault, dalam analisisnya terhadap wacana dan kekuasaan, menunjukkan bahwa "kebenaran" bukanlah cerminan objektif dari realitas, melainkan hasil dari konfigurasi historis kekuasaan yang menentukan apa yang bisa dikatakan dan dipikirkan¹⁰.

4.4.       Teori Kritis dan Emansipasi: Rasionalitas, Ideologi, dan Pembebasan

Mazhab Frankfurt mengembangkan teori kritis sebagai alternatif terhadap positivisme dan filsafat sistem. Mereka berusaha menggabungkan Marxisme, psikoanalisis, dan kritik budaya untuk mengungkap bagaimana struktur sosial modern memproduksi bentuk-bentuk dominasi yang tersembunyi dalam praktik sehari-hari. Dalam Dialectic of Enlightenment, Adorno dan Horkheimer mengungkap paradoks bahwa rasionalitas pencerahan justru mengarah pada dominasi teknokratis dan hilangnya otonomi individu¹¹.

Jürgen Habermas, generasi kedua Frankfurt, berusaha merehabilitasi rasionalitas dalam bentuk komunikasi yang tidak didominasi—sebuah upaya untuk merumuskan rasio sebagai dasar etika intersubjektif, bukan sebagai alat instrumental¹². Teori kritis tidak hanya bersifat analitik, tetapi juga normatif dan emansipatoris: ia mengarah pada pembebasan dari belenggu ideologi, ketundukan sistemik, dan alienasi sosial.

4.5.       Filsafat Etika dan Politik: Keadilan, Identitas, dan Pluralitas Moral

Isu etika dan politik menjadi tema dominan dalam konteks pascatotalitarian dan pascakolonial. Hannah Arendt menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena tindakan politis yang plural dan bebas dari dominasi negara dan pasar¹³. John Rawls, melalui A Theory of Justice, mengembangkan pendekatan deontologis berbasis “veil of ignorance” untuk merumuskan keadilan sebagai fairness¹⁴. Di sisi lain, filsuf seperti Alasdair MacIntyre dan Charles Taylor menyoroti pentingnya tradisi dan komunitas dalam pembentukan nilai moral, sebagai respons terhadap individualisme liberal.

Dalam diskursus feminis dan postkolonial, muncul kritik terhadap filsafat Barat yang universalistik dan mengabaikan pengalaman marjinal. Tokoh seperti bell hooks, Gayatri Spivak, dan Judith Butler menekankan bahwa identitas adalah konstruksi sosial yang dibentuk dalam relasi kuasa dan wacana¹⁵. Dengan demikian, filsafat abad ke-20 berkembang ke arah inklusivitas perspektif dan kesadaran akan keragaman epistemik dan moral.


Kesimpulan Sementara

Melalui pendekatan sinkronik, tema-tema besar filsafat abad ke-20 tidak hanya dilihat sebagai aliran yang terpisah, melainkan sebagai jejaring konseptual yang saling bertaut. Baik filsafat bahasa, eksistensialisme, strukturalisme, teori kritis, maupun etika politik, semuanya berkontribusi dalam membentuk medan pemikiran yang menandai pergeseran dari kepastian metafisis ke kesadaran kritis akan kontingensi, relasi kuasa, dan pluralitas makna. Sinkronikitas pemikiran ini memperkaya pemahaman kita terhadap kompleksitas transformasi kesadaran dalam lanskap intelektual abad ke-20.


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, Our Knowledge of the External World (London: Allen & Unwin, 1914), 1–10.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 1961), proposition 5.6.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1958), §§23–25.

[4]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer, 1983), 78–83.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 53–54.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 34–39.

[7]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2010), 283–288.

[8]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), 67–71.

[9]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–27.

[10]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon, 1972), 80–85.

[11]             Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–101.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 21–45.

[13]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 175–180.

[14]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 136–142.

[15]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 3–5.


5.           Perbandingan Sinkronik–Diakronik: Integrasi dan Ketegangan

Pendekatan sinkronik dan diakronik dalam kajian filsafat abad ke-20 tidak berdiri sebagai metode yang saling menegasikan, melainkan membuka peluang integrasi yang produktif sekaligus mengungkapkan ketegangan epistemologis yang inheren dalam dinamika pemikiran. Keduanya memberikan kontribusi penting dalam memahami kompleksitas sejarah intelektual, terutama dalam periode yang sarat dengan fragmentasi ide, krisis nilai, dan pergeseran mendasar dalam pandangan tentang subjek, realitas, dan makna.

5.1.       Pendekatan Diakronik: Dinamika Historis dan Evolusi Pemikiran

Pendekatan diakronik menekankan dimensi kronologis dan transformasional dalam sejarah pemikiran. Melalui lensa ini, kita dapat melihat bahwa filsafat abad ke-20 bergerak dari keyakinan rasionalistik modern menuju kritik atas fondasi-fondasi itu sendiri. Gerakan ini terentang dari fenomenologi transendental Husserl, eksistensialisme Heidegger dan Sartre, teori kritis Mazhab Frankfurt, hingga postmodernisme dekonstruktif Derrida dan Foucault. Setiap fase membawa koreksi atau perlawanan terhadap pendahulunya, menandai bahwa filsafat abad ke-20 lebih bersifat reaktif, reflektif, dan dekonstruktif ketimbang konstruktif dalam pola linier¹.

Dalam aspek ini, sejarah filsafat tidak bisa dilepaskan dari sejarah sosial dan politiknya. Sebagai contoh, kemunculan teori kritis pasca-Perang Dunia II bukan hanya hasil spekulasi akademik, tetapi juga tanggapan terhadap barbarisme modern yang dilakukan oleh rezim fasis melalui instrumen rasionalitas teknokratik². Begitu pula dengan berkembangnya feminisme eksistensialis dan postkolonialisme, yang merupakan respons terhadap marjinalisasi historis yang dilembagakan oleh struktur sosial dominan. Maka, pendekatan diakronik memberi pemahaman tentang mengapa suatu gagasan muncul pada waktu tertentu, dalam konteks historis yang khas.

5.2.       Pendekatan Sinkronik: Pola Tematik dan Relasi Intersubjektif

Sementara itu, pendekatan sinkronik membantu kita memahami bahwa tema-tema besar dalam filsafat abad ke-20 tidak berkembang secara tunggal dan berurutan, melainkan saling bersilangan secara simultan. Di pertengahan abad ke-20, misalnya, teori kritis Mazhab Frankfurt di Jerman berkembang bersamaan dengan filsafat analitik bahasa di Inggris dan Amerika, serta eksistensialisme di Prancis. Meskipun tampak terisolasi, ketiganya berbagi kekhawatiran atas kegagalan metafisika klasik dan implikasi sosial dari krisis modernitas. Pendekatan ini memungkinkan pemetaan medan intelektual yang lebih luas, memperlihatkan korelasi lintas tradisi, meskipun mungkin tidak berkomunikasi secara langsung³.

Melalui pendekatan ini pula, filsafat analitik yang semula dipandang sebagai antitesis dari pemikiran kontinental, mulai dikaji ulang sebagai bagian dari medan diskursif yang lebih luas. Karya-karya akhir Wittgenstein, Quine, dan Rorty, misalnya, menunjukkan keterbukaan terhadap tema-tema yang juga digarap oleh kontinentalisme seperti bahasa, subjek, dan relativitas kebenaran⁴. Ini menunjukkan bahwa pembacaan sinkronik dapat mengaburkan batas-batas artifisial antara aliran-aliran filsafat yang selama ini terpolarisasi.

5.3.       Integrasi: Sintesis Reflektif antara Historisitas dan Strukturalitas

Integrasi antara pendekatan sinkronik dan diakronik memungkinkan kita melihat bahwa tema-tema kunci dalam filsafat tidak hanya hadir sebagai konsekuensi dari perkembangan historis, tetapi juga sebagai bagian dari jaringan konseptual yang saling melintasi. Misalnya, tema kebebasan tidak hanya mengalami perkembangan historis dari Kant ke Sartre, tetapi juga memiliki struktur tematik yang hadir dalam berbagai diskursus mulai dari etika, politik, hingga feminisme. Begitu pula dengan problem bahasa yang dibahas oleh Saussure, Wittgenstein, Derrida, dan Foucault dalam tradisi dan waktu yang berbeda namun memperlihatkan keterhubungan konseptual⁵.

Pendekatan integratif ini sejalan dengan metode genealogis yang dikembangkan Foucault—yang bukan semata kronologis atau tematik, melainkan penggalian historis atas bagaimana gagasan terbentuk melalui praktik-praktik sosial tertentu⁶. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya deskriptif, tetapi juga kritis dan reflektif, menyatukan pemahaman tentang dinamika sejarah dan struktur ide dalam satu bingkai interpretatif.

5.4.       Ketegangan: Fragmentasi vs. Totalitas, Kritik vs. Sintesis

Meskipun integrasi dimungkinkan, terdapat pula ketegangan epistemologis yang melekat dalam dua pendekatan ini. Pendekatan diakronik cenderung menekankan narasi dan kontinuitas historis, yang berisiko menyederhanakan atau bahkan mengabaikan disjungsi dan keberagaman wacana. Sementara itu, pendekatan sinkronik, meskipun menyoroti kompleksitas dan pertautan antaride, berisiko kehilangan konteks sejarah konkret yang membentuk ide tersebut. Dalam tradisi postmodern, kritik terhadap grand narrative seperti yang dilakukan oleh Lyotard justru memperlihatkan ketegangan ini secara tajam: sejarah bukan lagi urutan progresif, tetapi kaleidoskop diskursif yang tak memiliki pusat tunggal⁷.

Tantangan utama adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara membaca filsafat sebagai produk sejarah dan sebagai medan konseptual yang kompleks. Di sinilah perlunya kesadaran metodologis dalam setiap kajian filsafat: bahwa setiap pembacaan harus senantiasa terbuka terhadap dialog antara waktu dan struktur, antara narasi dan jaringan, antara posisi historis dan intensitas konseptual.


Simpulan Sementara

Perbandingan antara pendekatan sinkronik dan diakronik dalam kajian filsafat abad ke-20 membuka ruang refleksi metodologis yang penting. Keduanya tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi dalam menyusun pemahaman utuh tentang dinamika pemikiran modern. Jika diakronik memberi arah temporal pada perubahan, maka sinkronik memberi kedalaman pada kerangka wacana yang berlangsung secara simultan. Dalam dunia filsafat yang semakin plural dan reflektif, integrasi kedua pendekatan ini bukan hanya bermanfaat, melainkan niscaya.


Catatan Kaki

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 390–395.

[2]                Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History of the Frankfurt School and the Institute of Social Research, 1923–1950 (Berkeley: University of California Press, 1996), 259–260.

[3]                Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 138–141.

[4]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 385–388.

[5]                Robert C. Solomon, Continental Philosophy Since 1750: The Rise and Fall of the Self (Oxford: Oxford University Press, 1988), 212–215.

[6]                Michel Foucault, Nietzsche, Genealogy, History, in Language, Counter-Memory, Practice, ed. Donald F. Bouchard, trans. Donald F. Bouchard and Sherry Simon (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 139–164.

[7]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.


6.           Warisan Filsafat Abad ke-20 bagi Dunia Kontemporer

Warisan filsafat abad ke-20 terhadap dunia kontemporer tidak semata-mata berupa teori atau sistem pemikiran, tetapi juga berupa transformasi cara berpikir, bertanya, dan memahami diri serta masyarakat. Melalui pendekatan sinkronik dan diakronik, kita dapat melihat bagaimana gagasan-gagasan filsafat abad ke-20 membentuk infrastruktur intelektual yang menopang berbagai bidang kehidupan modern: dari pendidikan, politik, budaya, etika, hingga ilmu pengetahuan. Dalam lintasan sejarahnya, pemikiran filsafat abad ini telah membongkar mitos kemajuan linier, menggeser pusat epistemologis dari subjek universal ke relasi sosial dan bahasa, serta memperluas horizon etika dalam konteks pluralitas dan keadilan global.

6.1.       Dekonstruksi Rasionalitas Modern dan Kelahiran Kesadaran Kritis

Salah satu warisan paling signifikan dari filsafat abad ke-20 adalah kritik terhadap rasionalitas modern dan proyek pencerahan. Teori kritis Mazhab Frankfurt membuka mata terhadap bagaimana nalar instrumental yang dipuja dalam modernitas justru dapat berubah menjadi alat dominasi sosial dan politik¹. Dalam Dialectic of Enlightenment, Adorno dan Horkheimer menunjukkan bahwa rasionalitas, ketika dilepaskan dari dimensi reflektif dan emansipatoris, dapat membenarkan kekejaman atas nama efisiensi dan kemajuan². Perspektif ini masih relevan hari ini ketika dunia menyaksikan dominasi teknologi, birokratisasi kehidupan, dan erosi nilai-nilai humanistik.

Pemikiran Foucault melanjutkan warisan kritik ini melalui dekonstruksi terhadap konsep kuasa dan wacana. Ia memperlihatkan bahwa institusi modern seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara tidak netral, melainkan dibentuk oleh konfigurasi kuasa-pengetahuan yang menentukan bagaimana subjek diproduksi, dikontrol, dan dibentuk³. Kesadaran semacam ini menjadi fondasi penting dalam analisis institusional, studi kebijakan, serta kritik budaya kontemporer.

6.2.       Perluasan Ranah Etika dan Politik: Identitas, Gender, dan Keadilan

Filsafat abad ke-20 juga meninggalkan jejak penting dalam perluasan horizon etika dan politik. Dari filsafat eksistensialisme, kita belajar bahwa kebebasan bukan sekadar pilihan, melainkan tanggung jawab eksistensial manusia dalam membentuk makna hidupnya⁴. Pandangan ini diperluas oleh pemikiran feminis seperti Simone de Beauvoir dan Judith Butler, yang menekankan bahwa identitas gender bukan sesuatu yang esensial, tetapi dibentuk melalui relasi sosial, norma budaya, dan pengulangan performatif⁵.

Dalam bidang politik dan hukum, filsafat politik John Rawls dengan A Theory of Justice memberikan model konseptual tentang keadilan distributif berbasis prinsip fairness, yang menjadi rujukan penting dalam teori keadilan sosial dan desain kebijakan publik di berbagai negara⁶. Sementara itu, pemikir seperti Amartya Sen dan Martha Nussbaum, dengan pendekatan capabilities, mengembangkan warisan ini dalam konteks pembangunan manusia dan keadilan global⁷. Filsafat politik pasca-Rawlsian kini berupaya menjawab tantangan pluralitas nilai dan ketidaksetaraan struktural dalam masyarakat global.

6.3.       Reorientasi Ilmu Pengetahuan dan Kritik terhadap Objektivitas Netral

Abad ke-20 juga mewariskan kesadaran kritis terhadap epistemologi ilmu pengetahuan. Melalui karya Thomas Kuhn, paradigma ilmiah dipahami sebagai konstruksi historis dan sosial yang tunduk pada revolusi konseptual, bukan sebagai akumulasi linier menuju kebenaran objektif⁸. Pemikiran ini menggugurkan asumsi positivistik bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai, dan membuka ruang untuk melihat sains sebagai praktik budaya yang dipengaruhi oleh komunitas ilmiah, bahasa, dan kekuasaan institusional.

Dalam filsafat analitik sendiri, terutama melalui tokoh seperti W.V.O. Quine dan Richard Rorty, terjadi pergeseran dari fondasionalisme ke arah antifondasionalisme dan pragmatisme linguistik. Rorty menolak gagasan kebenaran sebagai korespondensi dan lebih menekankan solidaritas sosial serta perbincangan publik sebagai dasar berpikir filosofis yang lebih inklusif dan demokratis⁹. Warisan ini kini hidup dalam berbagai bentuk pemikiran post-analitik dan pluralisme epistemologis yang berkembang dalam studi-studi interdisipliner.

6.4.       Refleksi Kultural dan Humanisme Baru dalam Dunia Global

Dalam konteks globalisasi, filsafat abad ke-20 mengajarkan kehati-hatian terhadap universalisme yang bersifat hegemonik. Pemikiran postkolonial seperti yang dikembangkan oleh Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha membuka kesadaran bahwa wacana Barat tidak netral, melainkan sarat kepentingan politik dan kultural dalam konstruksi Timur sebagai liyan (the Other)¹⁰. Kesadaran ini menjadi fondasi penting dalam kajian budaya, pendidikan global, dan gerakan dekolonisasi pengetahuan.

Selain itu, muncul juga bentuk-bentuk humanisme baru yang tidak lagi berpusat pada subjek metafisis yang otonom, tetapi pada relasi, dialog, dan tanggung jawab antar-subjektif sebagaimana diteorikan oleh Emmanuel Levinas. Etika sebagai tanggung jawab kepada yang Lain (l’Autre) menawarkan dasar moral yang lebih relasional, afektif, dan mendalam dalam merespons krisis kemanusiaan kontemporer¹¹.


Kesimpulan Sementara

Warisan filsafat abad ke-20 bagi dunia kontemporer tidak terletak pada doktrin yang tetap, melainkan pada kepekaan metodologis, keberanian hermeneutik, dan keterbukaan etis terhadap kompleksitas zaman. Ia meninggalkan kesadaran kritis bahwa filsafat tidak lagi bisa berdiri sebagai penjaga sistem tertutup, melainkan harus hadir sebagai ruang dialog, refleksi, dan resistensi terhadap absolutisme, dominasi, dan reduksionisme. Melalui warisan ini, filsafat menjadi alat navigasi untuk memahami tantangan eksistensial, politik, dan epistemologis dalam dunia yang terus berubah.


Catatan Kaki

[1]                Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and Modernity (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 58–60.

[2]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), xvi–xx.

[3]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–35.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 53–55.

[5]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 7–9.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–14.

[7]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 72–78.

[8]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–122.

[9]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), xv–xviii.

[10]             Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 1–6.

[11]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–36.


7.           Penutup

Filsafat abad ke-20 merupakan titik balik penting dalam sejarah pemikiran manusia. Tidak hanya sebagai kelanjutan dari tradisi modern yang mendahuluinya, melainkan juga sebagai medan pembongkaran, pembaruan, dan pergeseran paradigma yang mendalam. Melalui pendekatan diakronik, kita menyaksikan bagaimana filsafat bergerak dalam dialektika antara kesinambungan dan diskontinuitas, dari fenomenologi dan eksistensialisme awal abad, menuju teori kritis, pascastrukturalisme, dan pluralisme etis di akhir abad. Setiap tahap bukan hanya mencerminkan perubahan ide, tetapi juga resonansi dari konteks sejarah yang lebih luas—perang, kolonialisme, totalitarianisme, dan globalisasi¹.

Sementara itu, pendekatan sinkronik mengungkap jalinan tema-tema konseptual yang berkembang secara simultan: krisis subjek, desentralisasi kebenaran, kritik terhadap nalar dominan, serta upaya untuk memperluas cakupan etika dan politik. Filsafat abad ke-20 mempertemukan proyek-proyek reflektif dari berbagai tradisi—kontinental maupun analitik—dalam suatu lanskap diskursif yang lebih terbuka, interdisipliner, dan kritis. Tema-tema besar seperti bahasa, kuasa, subjektivitas, dan identitas tidak lagi dibatasi oleh batas-batas aliran, melainkan menyeberangi wilayah pengetahuan dalam cara yang tak terduga².

Dengan menggabungkan pendekatan diakronik dan sinkronik, kita dapat memahami bahwa filsafat abad ke-20 bukan sekadar arsip pemikiran yang terisolasi dalam ruang waktu, tetapi sebuah jaringan dinamis gagasan yang terus hidup, mempengaruhi, dan dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan politik. Filsafat tidak lagi menjadi “pencari kebenaran” dalam arti klasik, tetapi menjadi praktik reflektif yang sadar akan keterbatasannya sendiri, dan yang secara aktif mengkritisi kerangka-kerangka dominan yang membentuk pemahaman manusia tentang realitas³.

Warisan abad ke-20 adalah warisan kesadaran kritis—sebuah bentuk kewaspadaan terhadap absolutisme, determinisme, dan klaim-klaim universal yang tidak memperhitungkan kompleksitas manusia. Dalam dunia kontemporer yang terus menghadapi fragmentasi makna, krisis lingkungan, disinformasi, serta ketimpangan global, warisan ini menjadi semakin relevan. Filsafat abad ke-20 mengajarkan bahwa berpikir tidak cukup untuk memahami, melainkan harus juga membuka kemungkinan untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab⁴.

Oleh karena itu, transformasi kesadaran kritis yang diwariskan oleh filsafat abad ke-20 tidak dapat disimpulkan sebagai doktrin tertutup, tetapi sebagai proses terbuka yang terus bergerak: dari keterbukaan terhadap yang lain, dari pengakuan akan keragaman makna, hingga perwujudan solidaritas di tengah dunia yang plural. Filsafat di abad ke-20 adalah filsafat yang tidak berhenti pada logos, tetapi merambah ke etos; tidak berhenti pada sistem, tetapi menghidupkan praksis reflektif dalam kehidupan sehari-hari⁵.


Catatan Kaki

[1]                Richard J. Bernstein, The Restructuring of Social and Political Theory (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1976), 83–85.

[2]                Robert C. Solomon and Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1996), 234–237.

[3]                Michel Foucault, What Is Enlightenment?, in The Foucault Reader, ed. Paul Rabinow (New York: Pantheon Books, 1984), 32–50.

[4]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–44.

[5]                Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), 90–94.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1944)

Ayer, A. J. (2001). Language, truth and logic. Penguin Books. (Original work published 1936)

Beauvoir, S. de. (2010). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Bernstein, R. J. (1976). The restructuring of social and political theory. University of Pennsylvania Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1984). What is enlightenment? In P. Rabinow (Ed.), The Foucault reader (pp. 32–50). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans., 2nd ed.). Continuum. (Original work published 1960)

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Kluwer Academic.

Jay, M. (1996). The dialectical imagination: A history of the Frankfurt School and the Institute of Social Research, 1923–1950. University of California Press.

Kellner, D. (1989). Critical theory, Marxism, and modernity. Johns Hopkins University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Levinas, E. (1985). Ethics and infinity: Conversations with Philippe Nemo (R. A. Cohen, Trans.). Duquesne University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1984). After virtue (2nd ed.). University of Notre Dame Press.

Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Russell, B. (1914). Our knowledge of the external world. Allen & Unwin.

Said, E. W. (1979). Orientalism. Vintage Books.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work published 1943)

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Knopf.

Solomon, R. C., & Higgins, K. M. (1996). A short history of philosophy. Oxford University Press.

Tarnas, R. (1991). The passion of the Western mind. Ballantine Books.

Toulmin, S. (1990). Cosmopolis: The hidden agenda of modernity. University of Chicago Press.

Wittgenstein, L. (1958). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Wittgenstein, L. (1961). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge. (Original work published 1921)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar