Minggu, 11 Mei 2025

Sejarah Filsafat Abad Pertengahan: Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Rekonsiliasi Akal dan Wahyu

Sejarah Filsafat Abad Pertengahan

Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Rekonsiliasi Akal dan Wahyu


Alihkan ke: Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji dinamika pemikiran filsafat Abad Pertengahan (abad ke-5 hingga ke-15 M) melalui pendekatan sinkronik dan diakronik, dengan menyoroti upaya sistematis para filsuf dari tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi dalam merekonsiliasi akal rasional dengan wahyu ilahi. Pendekatan diakronik digunakan untuk melacak perkembangan historis filsafat mulai dari masa Patristik hingga fase skolastik dan transisi menuju Renaisans, sementara pendekatan sinkronik menyoroti interaksi lintas budaya yang memperlihatkan kemiripan struktur konseptual di antara ketiga agama Abrahamik. Artikel ini mengangkat tema-tema utama seperti argumen tentang eksistensi Tuhan, hubungan iman dan akal, teori universalia, struktur pengetahuan, serta etika dan hukum ilahi. Ditekankan pula warisan intelektual filsafat abad pertengahan terhadap fondasi rasionalitas modern, etika naturalis, serta institusi pendidikan tinggi. Hasil kajian menunjukkan bahwa filsafat abad pertengahan bukan hanya sebagai pewaris tradisi klasik, tetapi juga sebagai pencetak pola pikir sistematis yang relevan hingga masa kini. Artikel ini menegaskan bahwa pendekatan historis dan komparatif terhadap filsafat abad pertengahan sangat penting untuk memahami akar dialog antara iman dan nalar di dunia modern.

Kata Kunci: Filsafat Abad Pertengahan, Akal dan Wahyu, Skolastisisme, Islam-Kristen-Yahudi, Sinkronik, Diakronik, Universalia, Rasionalitas, Etika Ilahi, Warisan Intelektual.


PEMBAHASAN

Sejarah Filsafat Abad Pertengahan


1.           Pendahuluan

Filsafat Abad Pertengahan menandai suatu fase penting dalam sejarah intelektual umat manusia, khususnya dalam upaya untuk merekonsiliasi dua dimensi epistemologis utama: akal (reason) dan wahyu (revelation). Rentang waktu dari abad ke-5 hingga abad ke-15 M menyuguhkan dinamika pemikiran yang unik, di mana filsafat tidak hanya menjadi kegiatan rasional semata, tetapi juga terintegrasi erat dengan doktrin-doktrin keagamaan dalam tiga tradisi Abrahamik: Kristen, Islam, dan Yahudi. Dalam konteks ini, filsafat abad pertengahan tidak dapat dilepaskan dari peran dominan institusi keagamaan yang mengarahkan corak pemikiran ke arah teologis, sekaligus membuka ruang bagi refleksi rasional yang mendalam atas hakikat Tuhan, penciptaan, dan moralitas manusia1.

Dalam ranah Kristen, misalnya, filsafat berkembang melalui karya-karya para Bapa Gereja seperti Augustinus, yang menyatukan elemen Neoplatonisme dengan ajaran Injil. Sementara dalam Islam, para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina memanfaatkan kerangka logika Aristoteles untuk membangun sistem metafisika yang koheren, yang kemudian direspons kritis oleh Al-Ghazali dan Ibn Rushd2. Demikian pula dalam tradisi Yahudi, Maimonides berusaha menyelaraskan Taurat dengan filsafat Yunani melalui pendekatan yang cermat terhadap hukum dan akal3.

Kajian atas filsafat Abad Pertengahan dapat dilakukan melalui dua pendekatan metodologis utama, yakni pendekatan diakronik dan sinkronik. Pendekatan diakronik memungkinkan penelusuran perkembangan pemikiran filsafat secara historis dari satu periode ke periode berikutnya, menekankan kesinambungan dan transformasi intelektual dari masa Late Antiquity menuju awal Renaisans. Dalam hal ini, perhatian diarahkan pada evolusi konseptual, transmisi pengetahuan, dan respon atas tantangan zaman dalam kurun waktu seribu tahun tersebut4. Sementara itu, pendekatan sinkronik menekankan analisis perbandingan lintas tradisi filsafat yang hidup dalam periode yang relatif bersamaan, seperti interaksi antara filsafat Islam, Kristen, dan Yahudi pada abad ke-12—suatu masa yang dikenal sebagai era “transmisi besar” (the Great Translation Movement) di mana teks-teks klasik Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Latin, memfasilitasi dialog filosofis yang kaya antarperadaban5.

Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi rekonsiliasi antara akal dan wahyu dalam filsafat abad pertengahan melalui kedua pendekatan tersebut, guna mengungkap bagaimana para pemikir berupaya menyeimbangkan otoritas religius dengan kebebasan berpikir. Melalui pendekatan sinkronik dan diakronik, diharapkan dapat tergambar struktur dialog filsafat-teologi yang melintasi ruang dan waktu, serta memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan rasionalitas religius dalam peradaban global.


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 3–5.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 109–130.

[3]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 95–98.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), xxvii–xxx.

[5]                David C. Lindberg, The Beginnings of Western Science: The European Scientific Tradition in Philosophical, Religious, and Institutional Context, 600 B.C. to A.D. 1450 (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 193–197.


2.           Latar Sejarah dan Konteks Intelektual

Filsafat Abad Pertengahan tidak muncul dalam kekosongan intelektual, melainkan merupakan kelanjutan dan transformasi dari warisan filsafat klasik yang disaring, disusun ulang, dan ditafsirkan kembali dalam konteks teologis yang dominan. Periode ini bermula pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 M, yang mengakibatkan fragmentasi politik dan kemunduran kehidupan urban di Eropa. Namun, di tengah kegelapan itu, warisan intelektual Yunani dan Romawi tetap dipertahankan dan dikembangkan, terutama melalui institusi-institusi keagamaan seperti biara di Barat dan lembaga-lembaga ilmiah di dunia Islam dan Bizantium1.

Secara diakronik, transisi dari filsafat klasik ke filsafat abad pertengahan dapat dilihat dari peran tokoh-tokoh seperti Boethius dan Augustinus, yang merupakan penghubung antara tradisi rasional Greko-Romawi dengan nilai-nilai Kristen awal. Augustinus, misalnya, mengembangkan sistem pemikiran yang menggabungkan Neoplatonisme dengan ajaran Kristen, menekankan iluminasi ilahi sebagai dasar pengetahuan sejati2. Di sisi lain, Boethius menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan Porphyry ke dalam bahasa Latin dan menjadi jembatan penting dalam transmisi intelektual ke dunia Latin3.

Sementara itu, di kawasan Timur, kekaisaran Bizantium mempertahankan studi filsafat Yunani melalui kurikulum klasik yang diajarkan di sekolah-sekolah seperti Akademi Athena dan kemudian di Konstantinopel. Namun, peran yang lebih besar dalam pelestarian dan pengembangan filsafat klasik dilakukan oleh peradaban Islam, yang sejak abad ke-8 memulai proyek besar penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab di bawah dinasti Abbasiyah. Lembaga seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad menjadi pusat penerjemahan dan kajian ilmiah yang mempertemukan teks-teks filsafat dengan kebutuhan teologis dan ilmiah dunia Islam4.

Melalui pendekatan sinkronik, dapat dilihat bahwa perkembangan intelektual pada periode ini tidak terbatas pada satu wilayah atau agama saja. Pada abad ke-12, misalnya, terjadi momen konvergensi intelektual yang luar biasa, ditandai oleh kegiatan penerjemahan besar-besaran karya-karya Arab ke dalam bahasa Latin di pusat-pusat seperti Toledo dan Palermo. Proses ini memungkinkan pemikiran Islam (seperti karya Ibn Sina dan Ibn Rushd) serta filsafat Yahudi (terutama Maimonides) untuk masuk dan mempengaruhi pemikiran Kristen Eropa, termasuk tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas dan Albertus Magnus5.

Dalam konteks ini, universitas-universitas yang berkembang di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13—seperti Universitas Paris, Oxford, dan Bologna—menjadi institusi penting dalam pematangan sistem skolastik. Filsafat dan teologi dipelajari berdampingan dalam kerangka kurikulum Trivium dan Quadrivium, serta dalam bentuk disputatio yang melatih argumentasi logis atas dasar iman dan akal6.

Keseluruhan proses ini menunjukkan bahwa filsafat abad pertengahan adalah proyek lintas tradisi, lintas bahasa, dan lintas budaya, yang menyatukan pemikiran Yunani, Islam, Kristen, dan Yahudi dalam upaya besar untuk memahami realitas melalui kerangka teologis dan rasional. Dengan demikian, pemahaman atas konteks sejarah dan intelektual abad pertengahan tidak hanya menyingkap dinamika pemikiran, tetapi juga membuka jalan bagi pengakuan atas pluralitas kontribusi dalam sejarah filsafat global.


Footnotes

[1]                David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1962), 1–5.

[2]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), bk. VII.

[3]                John Marenbon, Boethius (Oxford: Oxford University Press, 2003), 25–31.

[4]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early 'Abbasid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 51–65.

[5]                Richard E. Rubenstein, Aristotle’s Children: How Christians, Muslims, and Jews Rediscovered Ancient Wisdom and Illuminated the Dark Ages (New York: Harcourt, 2003), 137–160.

[6]                Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages, vol. 1 (Oxford: Clarendon Press, 1895), 190–207.


3.           Pendekatan Diakronik: Perkembangan Historis Filsafat Abad Pertengahan

Perjalanan filsafat abad pertengahan berlangsung sepanjang hampir satu milenium, dari runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 hingga menjelang bangkitnya Renaisans pada abad ke-15. Dalam perspektif diakronik, perkembangan filsafat pada periode ini dapat dibagi ke dalam tiga fase utama: fase awal (abad ke-5 hingga ke-9), fase klasik (abad ke-10 hingga ke-13), dan fase akhir (abad ke-14 hingga ke-15). Setiap fase menampilkan dinamika yang khas dalam hal sumber inspirasi, tokoh sentral, serta bentuk rekonsiliasi antara akal dan wahyu.

3.1.       Fase Awal (abad ke-5 – ke-9 M): Transisi dan Kristenisasi Warisan Klasik

Setelah keruntuhan struktur politik Romawi, Eropa Barat mengalami kemunduran dalam sistem pendidikan dan produksi intelektual. Namun demikian, warisan pemikiran klasik dijaga oleh kalangan gereja, khususnya oleh para Bapa Gereja. Tokoh sentral dalam fase ini adalah Augustinus dari Hippo, yang menafsirkan filsafat Plato dalam kerangka teologi Kristen. Ia berpendapat bahwa akal berfungsi bukan untuk mengungguli iman, tetapi untuk memperkuatnya: intellige ut credas, crede ut intelligas (“pahamilah agar engkau percaya, percayalah agar engkau memahami”)—sebuah prinsip dasar dalam filsafat skolastik awal1.

Pada saat yang sama, Boethius menulis karya monumental Consolatio Philosophiae dan menerjemahkan serta mensistematisasi logika Aristoteles dalam bahasa Latin. Boethius menekankan pentingnya filsafat sebagai pelengkap bagi teologi dalam mencari kebenaran universal, sekaligus mempersiapkan fondasi intelektual bagi abad-abad berikutnya2.

3.2.       Fase Klasik (abad ke-10 – ke-13 M): Puncak Skolastisisme dan Sintesis Intelektual

Fase ini merupakan periode paling produktif dan sistematik dalam sejarah filsafat abad pertengahan. Di dunia Islam, para filsuf seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd mengembangkan sistem metafisika dan logika yang bercorak Aristotelian, namun tetap berakar dalam tradisi wahyu. Al-Farabi memandang filsuf sebagai imam intelektual yang mengatur masyarakat berdasarkan hukum rasional dan syariat3. Ibn Sina mengembangkan konsep wajib al-wujud (wajib wujud) sebagai dasar eksistensi Tuhan, sementara Ibn Rushd menegaskan bahwa tidak ada pertentangan esensial antara filsafat dan agama, sebagaimana tertuang dalam Tahafut al-Tahafut4.

Karya-karya tersebut kemudian masuk ke Eropa Latin melalui proyek penerjemahan besar-besaran di Toledo dan Sisilia, yang kemudian memengaruhi tokoh-tokoh Kristen seperti Albertus Magnus dan Thomas Aquinas. Aquinas, dalam karya utamanya Summa Theologiae, berusaha menyatukan teologi Kristen dengan filsafat Aristoteles, menghasilkan sistem skolastik yang menempatkan akal sebagai alat untuk memahami iman secara sistematis5. Ia mengembangkan lima argumen tentang eksistensi Tuhan (quinque viae) yang menunjukkan dedikasi terhadap pembuktian rasional dalam kerangka wahyu.

Di dunia Yahudi, Maimonides menulis Guide for the Perplexed, sebuah karya yang berusaha menyeimbangkan syariat Yahudi dengan akal filosofis Yunani. Ia membela gagasan bahwa ketidaksesuaian antara kitab suci dan akal hanyalah karena kesalahpahaman dalam interpretasi6.

3.3.       Fase Akhir (abad ke-14 – ke-15 M): Krisis Skolastik dan Cikal Bakal Renaisans

Pada periode ini, sistem skolastik mulai mengalami kritik dari dalam dan luar. Salah satu tokoh penting adalah William dari Ockham, yang memperkenalkan prinsip Ockham’s Razor—sebuah pendekatan logika yang menolak kompleksitas metafisika yang tidak perlu. Ia membedakan secara tajam antara pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan yang berasal dari akal, dan dengan demikian menandai awal pergeseran ke arah sekularisasi filsafat7.

Krisis intelektual ini dipercepat oleh transformasi sosial dan politik di akhir Abad Pertengahan, seperti munculnya universitas-universitas baru, kebangkitan bahasa vernakular, dan ketegangan antara gereja dan negara. Filsafat mulai meninggalkan dominasi teologi dan beralih ke studi tentang manusia, masyarakat, dan metode ilmiah—sebuah kecenderungan yang kemudian menjadi fondasi Renaisans dan awal modernitas8.


Kesimpulan Diakronik

Dari ketiga fase di atas, tampak jelas bahwa filsafat abad pertengahan bukanlah periode stagnasi, tetapi justru sebuah era dinamis yang penuh dialektika antara iman dan akal. Perkembangan ini berlangsung secara progresif, dari kristenisasi warisan klasik, melalui dialog transkultural antara Islam, Kristen, dan Yahudi, hingga ke pembukaan jalan bagi rasionalitas modern. Pendekatan diakronik membantu mengungkap proses transformasi tersebut, baik dalam konteks kronologi maupun dalam pergeseran paradigma intelektual.


Footnotes

[1]                Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn, NY: New City Press, 1991), XV.27.

[2]                John Marenbon, Boethius (Oxford: Oxford University Press, 2003), 45–53.

[3]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 82–89.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 187–192.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[6]                Moses Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans. M. Friedlander (New York: Dover Publications, 1956), Introduction–Part I.

[7]                Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 124–131.

[8]                Etienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (San Francisco: Ignatius Press, 1999), 109–115.


4.           Pendekatan Sinkronik: Perbandingan Tradisi Filsafat dalam Tiga Agama Abrahamik

Filsafat abad pertengahan merupakan arena dialog dan pertukaran ide antara tiga tradisi monoteistik besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Melalui pendekatan sinkronik, kita dapat mengamati bagaimana pada kurun abad ke-11 hingga ke-13 M, ketiganya mengembangkan bentuk-bentuk pemikiran yang unik, tetapi juga saling memengaruhi dalam upaya mereka merekonsiliasi akal dan wahyu. Interaksi ini tidak hanya mencerminkan keragaman pendekatan terhadap problem metafisika dan epistemologi, tetapi juga memperlihatkan adanya ruang dialektika lintas budaya dan agama dalam konteks peradaban abad pertengahan.

4.1.       Filsafat Islam Abad Pertengahan: Rasionalisme dan Teosofi

Dalam tradisi Islam, filsafat dikenal dengan istilah falsafah, dan berkembang pesat sejak abad ke-9 M melalui penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Para filsuf Muslim tidak hanya mentransmisikan pemikiran klasik, tetapi juga mengembangkannya dalam kerangka tauhid dan wahyu. Al-Farabi (w. 950 M) misalnya, menggabungkan Aristotelianisme dan Neoplatonisme dengan kosmologi Islam dan menggambarkan filsuf sebagai pemimpin ideal dalam masyarakat yang diatur oleh hukum ilahi dan akal1.

Ibn Sina (Avicenna, w. 1037 M), tokoh monumental dalam filsafat Islam, menegaskan keberadaan Tuhan sebagai wajib al-wujud (necessary being), dan menjadikan akal aktif sebagai penghubung antara manusia dan sumber kebenaran universal2. Namun, filsafat rasional Ibn Sina kemudian dikritik keras oleh Al-Ghazali (w. 1111 M), yang menulis Tahāfut al-Falāsifah dan mempertanyakan kemampuan filsafat dalam menjangkau hakikat metafisika dan eskatologi. Kritik ini dibalas oleh Ibn Rushd (Averroes, w. 1198 M), yang membela filsafat dan menegaskan bahwa wahyu dan akal tidak saling bertentangan jika ditafsirkan dengan benar3.

4.2.       Filsafat Kristen Abad Pertengahan: Skolastisisme dan Sintesis Aristotelian

Di Barat Latin, filsafat berkembang pesat melalui gerakan skolastik—sebuah pendekatan sistematis terhadap filsafat dan teologi yang berkembang di universitas-universitas abad pertengahan. Filsuf Kristen seperti Anselmus dari Canterbury (w. 1109 M) mengajukan argumen ontologis untuk eksistensi Tuhan yang mengandalkan logika murni, yakni bahwa Tuhan adalah “sesuatu yang tidak dapat dipikirkan lebih besar darinya4. Namun, puncak skolastisisme terjadi pada abad ke-13 bersama Thomas Aquinas (w. 1274 M), yang dalam Summa Theologiae menyusun sintesis besar antara ajaran Kristen dan filsafat Aristoteles.

Aquinas berpendapat bahwa wahyu dan akal adalah dua jalan menuju kebenaran yang saling melengkapi. Ia menulis, gratia non tollit naturam, sed perficit ("anugerah tidak menghapuskan kodrat, melainkan menyempurnakannya")—mewakili optimisme Kristen terhadap peran akal manusia dalam memahami iman5. Sementara itu, para pemikir seperti Bonaventura dan Duns Scotus cenderung lebih menekankan aspek spiritual dan voluntaristik dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.

4.3.       Filsafat Yahudi Abad Pertengahan: Rasionalitas dan Syariat

Tradisi Yahudi abad pertengahan juga berperan aktif dalam wacana filsafat, terutama melalui tokoh besar seperti Moses Maimonides (w. 1204 M). Dalam karyanya Dalālat al-Ḥāʾirīn (Guide for the Perplexed), Maimonides berusaha menjelaskan bagian-bagian sulit dalam Taurat melalui pendekatan rasional, sekaligus mempertahankan otoritas syariat. Ia menegaskan bahwa konflik antara akal dan wahyu hanyalah bersifat semu, karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama6.

Maimonides menerima filsafat Aristoteles sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Yahudi, dan ia mengembangkan pandangan tentang Tuhan yang transenden, tidak dapat disifatkan secara positif, serta hanya dapat diketahui melalui negatif theology (pengetahuan melalui penafian sifat)7. Ia memengaruhi pemikir Islam dan Kristen, serta menjadi jembatan filosofis antara ketiganya.


Kesimpulan Sinkronik

Pendekatan sinkronik atas filsafat abad pertengahan menyingkap adanya korespondensi struktural dalam cara ketiga agama Abrahamik mengelola ketegangan antara akal dan wahyu. Meskipun terdapat perbedaan dalam sumber otoritas dan metode penalaran, terdapat konsensus luas bahwa akal adalah alat penting dalam memahami iman, dan bahwa wahyu memberikan orientasi etis dan ontologis bagi filsafat. Dialog lintas budaya dan pemikiran ini menjadi bukti bahwa abad pertengahan, meskipun sering dicitrakan sebagai zaman kegelapan, justru merupakan era pencerahan teologis yang membuka jalan bagi kemunculan rasionalitas modern.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Selected Aphorisms, trans. D. M. Dunlop (Cambridge: Islamic Texts Society, 2001), 15–20.

[2]                Ibn Sina, Al-Shifa’ (The Book of Healing), ed. and trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 29–35.

[3]                Averroes, Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 327–342.

[4]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), ch. 2.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.1, a.8, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[6]                Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans. M. Friedlander (New York: Dover Publications, 1956), Introduction.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 156–162.


5.           Tema-Tema Utama dalam Filsafat Abad Pertengahan

Filsafat Abad Pertengahan dibentuk oleh kesadaran mendalam akan peran ganda manusia sebagai makhluk rasional dan makhluk beriman. Dalam rentang waktu sekitar seribu tahun, para pemikir dari berbagai tradisi—Islam, Kristen, dan Yahudi—mengembangkan tema-tema filosofis yang berpangkal pada rekonsiliasi antara akal dan wahyu. Meskipun dikembangkan dalam kerangka teologis yang berbeda, terdapat irisan penting dalam pertanyaan-pertanyaan dasar mereka tentang eksistensi Tuhan, asal-usul alam semesta, hakikat pengetahuan, universalia, etika, dan peran wahyu dalam kehidupan sosial-politik.

5.1.       Hubungan antara Iman dan Akal

Tema ini merupakan fondasi dari hampir seluruh karya filosofis abad pertengahan. Pertanyaan sentralnya adalah: apakah akal manusia dapat memahami hal-hal metafisik yang diturunkan melalui wahyu? Dalam konteks Kristen, Anselmus dan Aquinas menegaskan bahwa iman mendahului pemahaman (fides quaerens intellectum) tetapi tidak meniadakan peran akal1. Aquinas bahkan membagi kebenaran menjadi dua: kebenaran yang dapat dicapai oleh akal alami (seperti keberadaan Tuhan) dan kebenaran yang hanya dapat diketahui melalui wahyu (seperti Trinitas)2.

Di dunia Islam, Ibn Rushd menyatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat; jika ada, itu karena kekeliruan dalam penafsiran. Ia menulis bahwa hukum (syariat) mewajibkan umat Islam untuk merenung menggunakan akal dalam memahami Tuhan3. Di pihak lain, Al-Ghazali menolak klaim rasionalistik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip wahyu, meskipun ia tidak menolak akal sepenuhnya4.

5.2.       Argumen tentang Eksistensi Tuhan

Berbagai argumen filosofis dikembangkan untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Di Barat, argumen ontologis Anselmus menyatakan bahwa keberadaan Tuhan merupakan sesuatu yang niscaya karena Tuhan adalah “yang paling besar yang dapat dipikirkan5. Aquinas, dalam Summa Theologiae, menyusun quinque viae (lima jalan) sebagai pembuktian rasional terhadap keberadaan Tuhan, termasuk argumen dari gerak, sebab-akibat, kontingensi, gradasi, dan teleologi6.

Di kalangan filsuf Islam, Ibn Sina mengembangkan argumen wajib al-wujud, yaitu bahwa hanya Tuhan yang keberadaannya bersifat niscaya, sementara makhluk lain bersifat mungkin (mumkin al-wujud). Argumen ini berpengaruh luas baik dalam filsafat Islam maupun dalam teologi Yahudi melalui karya Maimonides7.

5.3.       Masalah Universalia

Masalah universalia—apakah konsep umum seperti “manusia” atau “keadilan” memiliki eksistensi riil atau hanya konstruksi mental—menjadi perdebatan utama dalam logika dan metafisika skolastik. Realisis seperti Anselmus dan Aquinas berpandangan bahwa universalia memiliki realitas ontologis, setidaknya dalam pikiran Tuhan. Sebaliknya, nominalis seperti Roscellinus dan William dari Ockham menolak adanya realitas objektif pada universalia dan memandangnya sebagai nama semata (flatus vocis)8.

Isu ini mencerminkan pergeseran dari metafisika ke logika analitik, dan berpengaruh besar terhadap perkembangan epistemologi dan linguistik dalam filsafat modern.

5.4.       Ilmu Pengetahuan dan Wahyu

Filsuf abad pertengahan berupaya membangun integrasi antara metode ilmiah (rasional dan empiris) dengan sumber wahyu. Di dunia Islam, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina mengembangkan sistem klasifikasi ilmu pengetahuan yang menempatkan metafisika dan teologi sebagai puncak ilmu, namun tetap mengakui sains sebagai jalan menuju pemahaman kosmis9.

Di Eropa, universitas-universitas seperti Paris dan Oxford mengembangkan kurikulum Trivium dan Quadrivium yang menggabungkan logika, retorika, matematika, musik, dan astronomi sebagai dasar pembelajaran teologi. Hal ini menunjukkan bagaimana wahyu tidak menutup ruang bagi sains, tetapi justru mendorong pencarian akan keteraturan ciptaan10.

5.5.       Etika dan Hukum Ilahi

Filsafat etika abad pertengahan banyak dibentuk oleh keyakinan bahwa hukum moral bersumber dari Tuhan. Dalam pemikiran Kristen, hukum kodrat (lex naturalis) menjadi konsep kunci—sebuah prinsip bahwa manusia, melalui akalnya, dapat memahami sebagian dari hukum ilahi yang mengatur alam semesta11. Aquinas menyatakan bahwa hukum moral harus selaras dengan hukum kodrat, dan bahwa kebaikan objektif dapat dikenali melalui akal sehat.

Dalam Islam, Ibn Miskawayh dan Nasir al-Din al-Tusi mengembangkan etika filosofis yang selaras dengan syariat, sedangkan para mutakallimun menekankan bahwa baik dan buruk ditentukan secara absolut oleh perintah Tuhan12.


Kesimpulan Tematik

Kajian sinkronik dan diakronik atas tema-tema filsafat abad pertengahan menunjukkan bahwa persoalan akal dan wahyu bukan sekadar persoalan iman, tetapi menjadi medan eksplorasi intelektual yang luas. Persoalan tentang Tuhan, pengetahuan, realitas, dan etika terus berkembang, namun selalu dikaitkan dengan otoritas ilahi yang menjadi fondasi hidup keagamaan. Filsafat abad pertengahan, dalam keragamannya, telah memberikan warisan mendalam bagi tradisi rasionalitas yang tetap relevan hingga kini.


Footnotes

[1]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), ch. 1.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.1, a.1–8, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                Averroes, Decisive Treatise and Epistle Dedicatory, trans. Charles Butterworth (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2001), 10–15.

[4]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 125–135.

[5]                Anselm, Proslogion, ch. 2.

[6]                Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 155–157.

[8]                Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 112–120.

[9]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 58–65.

[10]             Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages, vol. 1 (Oxford: Clarendon Press, 1895), 213–228.

[11]             Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 242–247.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 131–139.


6.           Warisan Filsafat Abad Pertengahan dalam Dunia Modern

Filsafat Abad Pertengahan kerap disalahpahami sebagai masa stagnasi intelektual atau “zaman kegelapan.” Namun, pandangan tersebut tidak hanya keliru secara historis, tetapi juga mengabaikan sumbangan penting periode ini terhadap kelahiran filsafat modern. Dengan menggunakan pendekatan diakronik, kita dapat melacak kesinambungan historis dari konsep-konsep skolastik ke dalam struktur pemikiran rasional, etika, dan sains modern. Sementara melalui pendekatan sinkronik, terlihat bagaimana warisan intelektual dari tiga tradisi besar—Islam, Kristen, dan Yahudi—secara bersama membentuk dasar rasionalitas dan humanisme yang terus hidup dalam berbagai bentuk hingga hari ini.

6.1.       Rasionalitas Sistematis dan Fondasi Metodologi Ilmiah

Filsafat skolastik, terutama dalam bentuk sistematisasi logika dan penalaran deduktif, mewariskan kerangka berpikir metodologis yang sangat penting bagi munculnya filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Karya Thomas Aquinas, misalnya, memperkenalkan struktur argumentatif berbasis quaestio (pertanyaan), yang mencerminkan metode berpikir sistematis dalam menganalisis argumen dan kontra-argumen—metode ini menjadi prototipe bagi format debat akademik hingga hari ini1.

Dalam Islam, filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina menyusun ensiklopedia ilmu yang menempatkan logika sebagai instrumen epistemologis utama. Pemikiran mereka tentang kategori ilmu dan hierarki pengetahuan sangat memengaruhi struktur kurikulum di dunia Islam dan Eropa Latin. Bahkan dalam filsafat modern, warisan ini tampak dalam karya René Descartes, yang mengadopsi metode deduktif dan skeptisisme metodologis yang akarnya bisa ditelusuri ke debat antara Al-Ghazali dan Ibn Rushd2.

6.2.       Etika Ilahi dan Fondasi Moralitas Modern

Pandangan bahwa hukum moral bersumber dari akal dan dapat dimengerti manusia menjadi landasan bagi teori etika modern, terutama dalam tradisi hukum kodrat (natural law). Gagasan Aquinas tentang lex naturalis meletakkan dasar bagi pemikiran moral dalam filsafat politik modern, seperti dalam pemikiran John Locke dan Thomas Jefferson, yang berbicara tentang hak kodrati manusia3.

Begitu pula dalam pemikiran Yahudi dan Islam, etika yang berakar pada wahyu tetapi dipahami secara rasional menjadi landasan dialog modern antara agama dan hak asasi manusia. Maimonides, misalnya, berargumen bahwa akal manusia dapat membedakan baik dan buruk tanpa mengabaikan wahyu sebagai otoritas moral utama4.

6.3.       Ontologi dan Teologi dalam Filsafat Modern

Konsep metafisika yang dirumuskan pada abad pertengahan—seperti actus essendi (aktualitas keberadaan), wajib al-wujud (keharusan eksistensial), dan causa prima (sebab pertama)—memberikan warisan langsung kepada para filsuf modern seperti Spinoza, Leibniz, dan Kant. Bahkan Immanuel Kant secara eksplisit menanggapi argumen ontologis Anselmus dalam Critique of Pure Reason, dengan mempertanyakan validitas logis dari keberadaan sebagai predikat5.

Dalam Islam, konsepsi Tuhan sebagai realitas yang niscaya oleh Ibn Sina, dan pembelaan terhadap kompatibilitas akal dan iman oleh Ibn Rushd, membentuk struktur awal dari deisme dan rasionalisme yang berkembang dalam Pencerahan Eropa. Penerjemahan karya-karya ini ke dalam Latin memainkan peran penting dalam membuka horizon metafisika di dunia Kristen6.

6.4.       Pendidikan, Universitas, dan Institusi Ilmu

Model pendidikan tinggi abad pertengahan, seperti Universitas Paris dan Al-Qarawiyyin, menciptakan sistem akademik berbasis fakultas dan silabus yang terorganisir. Kurikulum Trivium (gramatika, logika, retorika) dan Quadrivium (aritmetika, geometri, musik, astronomi) dari dunia Latin, serta pendekatan ensiklopedik dari dunia Islam, menjadi dasar pengembangan universitas modern.

Etika akademik, debat terbuka, dan hierarki keilmuan yang diterapkan di abad pertengahan turut membentuk struktur institusional universitas kontemporer, dengan model fakultas dan spesialisasi keilmuan7.

6.5.       Dialog Antarperadaban dan Pluralisme Intelektual

Melalui pendekatan sinkronik, terlihat bahwa filsafat abad pertengahan adalah hasil dari dialog aktif antartradisi: teks-teks Yunani diterjemahkan ke dalam Arab, dari Arab ke Latin dan Ibrani, dan sebaliknya. Dialog antara filsuf Islam seperti Ibn Rushd, filsuf Yahudi seperti Maimonides, dan filsuf Kristen seperti Aquinas menandai titik kulminasi dari pluralisme intelektual abad pertengahan. Warisan ini penting dalam konteks modern, khususnya dalam upaya membangun etika lintas agama, teologi komparatif, dan dialog antaragama di dunia global saat ini8.


Kesimpulan

Warisan filsafat abad pertengahan tidak hanya terletak pada isi pemikirannya, tetapi juga pada etos intelektual yang dibangun: keterbukaan terhadap penalaran, keberanian mengintegrasikan iman dengan akal, dan pengakuan atas pluralitas sumber kebenaran. Baik dalam filsafat modern, sains, etika, maupun pendidikan, jejak pemikiran abad pertengahan terus hidup dan berkembang. Pendekatan diakronik menunjukkan kesinambungan ide, sementara pendekatan sinkronik menegaskan pentingnya dialog budaya dan tradisi dalam membentuk dunia modern yang rasional dan spiritual sekaligus.


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.1, a.8.

[2]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), xvii; René Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12–17.

[3]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 29–36.

[4]                Moses Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans. M. Friedlander (New York: Dover Publications, 1956), Part III.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620.

[6]                Richard Rubenstein, Aristotle’s Children: How Christians, Muslims, and Jews Rediscovered Ancient Wisdom and Illuminated the Dark Ages (New York: Harcourt, 2003), 162–184.

[7]                Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages, vol. 2 (Oxford: Clarendon Press, 1895), 14–25.

[8]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 172–175.


7.           Penutup

Filsafat Abad Pertengahan merupakan tonggak penting dalam sejarah intelektual manusia, yang menghadirkan sintesis mendalam antara akal dan wahyu, antara rasionalitas dan keimanan. Melalui pendekatan diakronik, kita melihat bahwa filsafat pada masa ini bukanlah entitas statis, melainkan mengalami perkembangan historis yang progresif dari fase transisional pasca-Romawi hingga puncaknya dalam sistem skolastik yang matang. Setiap periode memperlihatkan upaya kreatif untuk menjawab tantangan zamannya melalui penggunaan akal yang dibimbing oleh wahyu ilahi.

Pada saat yang sama, pendekatan sinkronik memperlihatkan bagaimana tiga tradisi besar—Islam, Kristen, dan Yahudi—mengembangkan pemikiran filosofis yang saling bersinggungan dan berinteraksi, mencerminkan adanya dialog intelektual transreligius. Para pemikir seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rushd, Maimonides, dan Thomas Aquinas menunjukkan bahwa kebenaran tidak terikat pada batas geografis atau teologis tertentu, melainkan dapat diakses melalui nalar yang jujur dan terbuka terhadap wahyu1.

Tema-tema utama filsafat abad pertengahan—seperti eksistensi Tuhan, hubungan iman dan akal, teori universalia, metafisika, etika, dan struktur pengetahuan—tidak hanya menjadi perdebatan internal pada zamannya, tetapi juga membentuk landasan konseptual bagi filsafat modern dan kontemporer. Warisan pemikiran ini menjadi jembatan epistemologis antara dunia kuno yang metafisik dan dunia modern yang kritis dan analitik2.

Selain kontribusi substansial terhadap teori filsafat, abad pertengahan juga memberikan warisan penting dalam bentuk lembaga pendidikan (universitas), metode argumentatif (quaestiones, disputationes), dan etos keilmuan yang menghargai disiplin, logika, dan koherensi sistematis. Dengan demikian, periode ini layak diposisikan bukan sebagai “zaman kegelapan”, melainkan sebagai zaman pencerahan religius yang memberikan dasar bagi terbentuknya rasionalitas modern dalam kerangka nilai-nilai transendental3.

Relevansi filsafat abad pertengahan dalam konteks kontemporer semakin tampak saat dunia menghadapi krisis epistemologis dan fragmentasi makna. Di tengah dominasi relativisme, warisan pemikiran ini menawarkan paradigma rasional-religius yang meneguhkan bahwa akal dan wahyu bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua sumber cahaya yang jika dipadukan secara proporsional dapat menuntun manusia pada kebenaran hakiki.

Dengan menggali filsafat abad pertengahan melalui pendekatan sinkronik dan diakronik, kita tidak hanya memahami dinamika masa lampau, tetapi juga menemukan inspirasi untuk membangun jembatan dialog antara tradisi, antara iman dan ilmu, serta antara warisan masa lalu dan tantangan dunia modern. Filsafat abad pertengahan, dalam semangatnya yang menyatukan kebenaran dan kebijaksanaan, tetap menjadi warisan yang hidup—relevan, inspiratif, dan tak lekang oleh zaman4.


Footnotes

[1]                Richard Rubenstein, Aristotle’s Children: How Christians, Muslims, and Jews Rediscovered Ancient Wisdom and Illuminated the Dark Ages (New York: Harcourt, 2003), 204–226.

[2]                Etienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (San Francisco: Ignatius Press, 1999), 115–119.

[3]                John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 12–17.

[4]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 253–259.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic world: A history of philosophy without any gaps. Oxford University Press.

Adams, M. M. (1987). William Ockham. University of Notre Dame Press.

Al-Farabi. (2001). Selected aphorisms (D. M. Dunlop, Trans.). Islamic Texts Society. (Original work ca. 10th century)

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros. (Original work ca. 1265–1274)

Anselm of Canterbury. (2001). Proslogion (T. Williams, Trans.). Hackett Publishing. (Original work ca. 1078)

Descartes, R. (2006). Discourse on the method (I. Maclean, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1637)

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Clarendon Press.

Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press. (Original work published 1936)

Gilson, E. (1999). The unity of philosophical experience. Ignatius Press. (Original work published 1937)

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʿAbbasid society (2nd–4th/8th–10th centuries). Routledge.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781/1787)

Knowles, D. (1962). The evolution of medieval thought. Longman.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Maimonides, M. (1956). The guide for the perplexed (M. Friedlander, Trans.). Dover Publications. (Original work ca. 12th century)

Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of Islamic political philosophy. University of Chicago Press.

Marenbon, J. (2003). Boethius. Oxford University Press.

Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An historical and philosophical introduction. Routledge.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Rashdall, H. (1895). The universities of Europe in the Middle Ages (Vols. 1–2). Clarendon Press.

Rubenstein, R. E. (2003). Aristotle’s children: How Christians, Muslims, and Jews rediscovered ancient wisdom and illuminated the Dark Ages. Harcourt.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar