Jumat, 15 November 2024

Moralitas: Landasan, Perkembangan, dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern

Moralitas

Landasan, Perkembangan, dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep moralitas dari perspektif filsafat, dengan menelusuri landasan teoritisnya, perkembangan historis, hingga relevansinya dalam kehidupan sosial kontemporer. Moralitas, sebagai himpunan nilai dan prinsip normatif, telah menjadi inti dari perenungan etis sejak masa klasik hingga era postmodern. Kajian ini dimulai dengan definisi konseptual moralitas dan distingsinya dari etika, dilanjutkan dengan pembahasan lima pendekatan utama dalam filsafat moral, termasuk rasionalisme, empirisme, utilitarianisme, etika keutamaan, serta relativisme. Artikel ini juga mengeksplorasi pemahaman moralitas dalam tradisi filsafat Timur—Konfusianisme, Hindu-Buddha, dan Islam—sebagai kontribusi penting dalam wacana etika global. Di era modern dan postmodern, moralitas mengalami transformasi signifikan melalui kritik Nietzsche, teori kontrak sosial, psikologi moral Kohlberg, dan etika diskursif Habermas. Moralitas juga ditinjau dalam konteks kehidupan sosial kontemporer, termasuk dalam relasi dengan hukum, media digital, krisis kemanusiaan, dan pluralisme budaya. Dengan mempertimbangkan berbagai kritik dan tantangan terhadap konsep moralitas, artikel ini menegaskan bahwa moralitas tetap menjadi kompas etis yang tak tergantikan dalam membentuk kehidupan pribadi yang bermakna dan tatanan sosial yang adil. Kesadaran moral yang filosofis dan reflektif diperlukan agar umat manusia mampu menjawab tantangan zaman secara etis dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Moralitas, filsafat moral, etika, kritik moral, keutamaan, relativisme, etika global, moralitas Timur, modernitas, postmodernisme.


PEMBAHASAN

Moralitas dalam Perspektif Filsafat


1.           Pendahuluan

Moralitas merupakan salah satu konsep fundamental dalam filsafat yang telah menjadi perbincangan utama sejak zaman Yunani Kuno hingga era postmodern. Istilah "moralitas" berasal dari bahasa Latin moralitas, yang berarti "cara hidup" atau "karakter", dan memiliki kedekatan makna dengan kata Yunani ēthos, yang menjadi akar kata dari "etika". Meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian, dalam kajian filsafat, "moralitas" merujuk pada sistem nilai dan norma yang mengatur tindakan manusia, sedangkan "etika" adalah cabang filsafat yang secara sistematis menelaah prinsip-prinsip moral tersebut.1

Para filsuf besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah meletakkan fondasi penting dalam memahami apa yang disebut sebagai "hidup yang baik". Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menyatakan bahwa tujuan utama manusia adalah mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sejati, yang hanya dapat dicapai melalui praktik kebajikan atau keutamaan moral.2 Pemikiran ini kemudian dikembangkan dan dikritisi oleh filsuf-filsuf modern, seperti Immanuel Kant yang menekankan bahwa moralitas harus berlandaskan pada prinsip rasional dan bersifat universal, melalui apa yang ia sebut sebagai imperatif kategoris.3

Di sisi lain, pandangan utilitarian seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mengukur moralitas dari hasil akhir tindakan, yakni sejauh mana tindakan tersebut menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.4 Perbedaan pendekatan ini menunjukkan bahwa moralitas bukanlah konsep yang tunggal atau sederhana, melainkan medan diskusi yang luas, dinamis, dan sering kali kontradiktif.

Dalam dunia kontemporer, pembahasan tentang moralitas semakin kompleks, terutama dalam menghadapi tantangan-tantangan global seperti ketimpangan sosial, krisis lingkungan, kecanggihan teknologi, hingga konflik identitas budaya. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat moral tidak hanya bersifat teoritis, tetapi memiliki dampak langsung terhadap kehidupan praktis manusia. Oleh karena itu, memahami moralitas dalam konteks filsafat tidak hanya relevan untuk diskusi akademik, tetapi juga penting untuk membentuk kesadaran etis individu dan kolektif dalam menjawab persoalan-persoalan zaman.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif konsep moralitas dari perspektif filsafat, mencakup landasan teoritisnya, perkembangan historisnya, serta relevansinya dalam kehidupan modern. Dengan pendekatan interdisipliner dan bersumber dari literatur filsafat yang kredibel, tulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran moralitas dalam membentuk peradaban manusia.


Footnotes

[1]                James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 1–3.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a16–18.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–423.

[4]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 10–12.


2.           Pengertian Moralitas dalam Kajian Filsafat

Konsep moralitas merupakan salah satu pilar utama dalam kajian filsafat, khususnya dalam bidang etika. Secara etimologis, istilah “moralitas” berasal dari bahasa Latin moralitas, yang bermakna "adat", "kebiasaan", atau "karakter", dan merupakan padanan dari kata Yunani ēthos, yang juga berarti kebiasaan atau watak.1 Dari asal-usul bahasa ini, dapat ditarik pemahaman bahwa moralitas pada mulanya merujuk pada kebiasaan sosial atau adat yang mengatur perilaku individu dalam masyarakat. Namun dalam kerangka filsafat, moralitas melampaui sekadar adat istiadat; ia menjadi objek refleksi rasional mengenai apa yang benar dan salah, baik dan buruk, serta apa yang seharusnya dilakukan manusia.

Dalam kajian filsafat, moralitas sering dipahami sebagai seperangkat prinsip atau nilai normatif yang membimbing tindakan manusia menuju apa yang dianggap sebagai "baik secara moral". Moralitas bersifat preskriptif, yakni memberi panduan tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak, bukan hanya menjelaskan bagaimana manusia bertindak. Oleh karena itu, moralitas berbeda dari deskripsi psikologis atau sosiologis tentang perilaku manusia, meskipun ketiganya bisa saling berkaitan dalam pendekatan interdisipliner.2

Secara konseptual, para filsuf membedakan antara “moralitas” dan “etika”. Moralitas merujuk pada isi substansial dari norma-norma dan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu komunitas atau sistem kepercayaan tertentu. Sedangkan etika adalah cabang filsafat yang secara kritis dan sistematis menelaah dasar-dasar moralitas tersebut, mengevaluasi validitas dan rasionalitasnya.3 Dengan demikian, seseorang bisa saja hidup sesuai dengan suatu moralitas (misalnya moralitas agama atau moralitas budaya), tanpa pernah secara filosofis merefleksikan dasar-dasarnya—itulah peran etika untuk melakukannya.

Pandangan ini ditegaskan oleh Friedrich Nietzsche dalam karya On the Genealogy of Morals, bahwa moralitas yang diterima begitu saja tanpa refleksi kritis bisa menjadi alat penindasan atau pelanggengan kekuasaan tertentu.4 Nietzsche mengusulkan agar manusia menilai kembali moralitas (revaluation of values), agar tidak terjebak dalam dogmatisme etis yang mengekang kebebasan individual. Sebaliknya, Immanuel Kant justru berpendapat bahwa moralitas yang sejati haruslah bersifat rasional dan universal, tidak bergantung pada otoritas eksternal atau hasil yang diinginkan. Ia menyatakan bahwa “tindakan hanya memiliki nilai moral apabila dilakukan karena kewajiban, bukan karena kecenderungan atau keuntungan pribadi”._5

Dalam kajian kontemporer, moralitas juga sering dikaji dalam konteks pluralisme budaya dan globalisasi. Hal ini memunculkan perdebatan antara moral universalism (pandangan bahwa ada nilai-nilai moral universal) dan moral relativism (pandangan bahwa moralitas bergantung pada budaya atau sudut pandang individu).6 Perdebatan ini menjadi penting terutama dalam isu-isu lintas budaya seperti hak asasi manusia, keadilan gender, dan bioetika.

Dengan demikian, pemahaman tentang moralitas dalam filsafat tidak hanya bersifat deskriptif atau historis, tetapi juga sangat normatif, kritis, dan aplikatif. Ia menjadi medan refleksi mendalam bagi upaya manusia dalam mencari kehidupan yang baik, adil, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Richard Norman, The Moral Philosophers: An Introduction to Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1998), 1–2.

[2]                James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 4–5.

[3]                William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1973), 4–6.

[4]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 25–27.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:397.

[6]                Michael J. Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 186–190.


3.           Landasan-Landasan Filsafat Moral

Filsafat moral berkembang melalui beragam pendekatan yang membentuk fondasi bagi pemahaman manusia tentang tindakan yang benar dan salah. Setiap pendekatan lahir dari latar historis, budaya, dan intelektual yang berbeda, menawarkan kerangka konseptual yang khas. Berikut ini adalah beberapa landasan utama dalam filsafat moral yang menjadi titik tolak berbagai teori etika hingga saat ini.

3.1.       Rasionalisme Moral: Akal sebagai Sumber Moralitas

Rasionalisme moral berakar kuat dalam tradisi filsafat Yunani dan mencapai puncaknya dalam pemikiran Immanuel Kant. Dalam pandangan ini, akal (rasio) adalah dasar utama bagi tindakan moral. Bagi Kant, moralitas tidak bergantung pada konsekuensi atau perasaan, melainkan pada good will dan kewajiban yang didasarkan pada hukum moral universal. Prinsip moral tertinggi dalam filsafatnya dikenal sebagai imperatif kategoris, yang menyatakan: “Bertindaklah hanya menurut asas yang dapat kamu kehendaki menjadi hukum universal.”_1

Kant menekankan otonomi moral individu, yaitu kemampuan manusia untuk secara rasional menentukan tindakan yang bermoral tanpa harus tunduk pada otoritas eksternal, termasuk agama atau adat.2 Rasionalisme moral menempatkan etika sebagai persoalan logika praktis dan konsistensi internal dalam berpikir moral.

3.2.       Empirisme Moral: Moralitas Berdasarkan Perasaan dan Pengalaman

Berbeda dengan Kant, filsuf seperti David Hume menolak klaim bahwa moralitas bersumber dari akal semata. Dalam A Treatise of Human Nature, Hume berpendapat bahwa “reason is, and ought only to be the slave of the passions”, yang berarti bahwa akal hanya memainkan peran instrumen dalam mendukung dorongan emosional manusia.3 Menurut Hume, tindakan dianggap bermoral karena membangkitkan rasa simpati atau empati dalam diri manusia.

Pandangan empiris ini menekankan bahwa moralitas tumbuh dari pengalaman manusia, terutama dari hubungan sosial dan emosi bersama. Dalam hal ini, moralitas lebih bersifat intersubjektif daripada universal. Teori ini banyak memengaruhi filsuf moral kontemporer seperti Jonathan Haidt, yang mengembangkan pendekatan psikologi moral berbasis intuisi dan emosi sosial.4

3.3.       Utilitarianisme: Konsekuensi sebagai Ukuran Moralitas

Utilitarianisme merupakan pendekatan etika teleologis yang menilai tindakan berdasarkan hasil atau konsekuensinya. Jeremy Bentham sebagai pelopornya, memperkenalkan prinsip the greatest happiness of the greatest number sebagai ukuran utama moralitas. John Stuart Mill kemudian mengembangkan teori ini dengan menambahkan unsur kualitas dalam kebahagiaan, bukan hanya kuantitasnya.5

Dalam kerangka ini, tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan penderitaan. Utilitarianisme banyak digunakan dalam kebijakan publik, etika medis, dan teori keadilan distributif. Namun, pendekatan ini juga dikritik karena cenderung mengabaikan hak individu demi kepentingan kolektif.6

3.4.       Etika Keutamaan (Virtue Ethics): Karakter sebagai Fokus Moralitas

Etika keutamaan, yang pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, menekankan bahwa moralitas bukan sekadar soal tindakan benar atau salah, tetapi tentang siapa yang melakukan tindakan tersebut. Fokusnya bukan pada aturan atau konsekuensi, melainkan pada pembentukan karakter dan kebiasaan baik (habitus) yang membawa manusia menuju eudaimonia (kebahagiaan yang bernilai luhur).7

Dalam tradisi ini, kebajikan seperti keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan dipandang sebagai kualitas moral yang harus dikembangkan melalui latihan terus-menerus dan keterlibatan dalam kehidupan bermasyarakat. Etika keutamaan mengalami kebangkitan kembali dalam filsafat moral abad ke-20 melalui tokoh seperti Alasdair MacIntyre, yang mengkritik fragmentasi moral modern dan menyerukan kembali pada etika berbasis komunitas dan narasi hidup.8

3.5.       Moralitas dan Relativisme: Apakah Moral Bersifat Mutlak?

Salah satu perdebatan utama dalam filsafat moral adalah apakah moralitas bersifat universal atau relatif terhadap budaya dan konteks tertentu. Moral relativisme menyatakan bahwa tidak ada standar moral objektif yang berlaku untuk semua manusia; nilai-nilai moral tergantung pada norma-norma sosial, budaya, atau individu tertentu.9

Sebaliknya, para pendukung moral absolutisme atau universalisme seperti Martha Nussbaum dan Thomas Nagel berpendapat bahwa ada nilai-nilai moral yang bersifat transkultural dan harus dijunjung tinggi secara universal, seperti keadilan, kebebasan, dan martabat manusia. Perdebatan ini menjadi semakin penting dalam konteks dunia global yang majemuk dan pluralistik.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–423.

[2]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 65–67.

[3]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 415.

[4]                Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 31–56.

[5]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 8–12.

[6]                Bernard Williams, Utilitarianism: For and Against (Cambridge: Cambridge University Press, 1973), 93–97.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a15–20.

[8]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 1–3.

[9]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 57–59.


4.           Moralitas dalam Tradisi Filsafat Timur

Filsafat Timur menawarkan perspektif yang khas dalam memahami moralitas, berbeda dalam pendekatan namun setara dalam kedalaman dengan filsafat Barat. Dalam tradisi ini, moralitas sering tidak dipisahkan secara ketat dari dimensi spiritual, kosmologis, dan sosial. Ia bukan hanya soal aturan yang memandu tindakan individu, melainkan bagian integral dari harmoni kosmik, tatanan sosial, dan pembentukan diri yang utuh. Tiga tradisi besar yang mewakili kekayaan moralitas dalam filsafat Timur adalah Konfusianisme, Hindu-Buddha, dan Islam.

4.1.       Konfusianisme: Moralitas sebagai Tanggung Jawab Relasional dan Sosial

Dalam filsafat Konfusianisme, moralitas bertumpu pada prinsip ren () yang berarti “kemanusiaan”, “kasih sayang”, atau “kebajikan”. Prinsip ini merupakan fondasi dari seluruh tindakan etis yang idealnya diwujudkan melalui relasi sosial yang tertib dan penuh rasa hormat, seperti antara ayah-anak, penguasa-rakyat, atau guru-murid.1 Konfusius mengajarkan bahwa pembentukan moral pribadi tidak terlepas dari peran dalam komunitas dan pelaksanaan ritual sosial (li) yang benar.

Konsep junzi (君子) atau “manusia luhur” dalam ajaran Konfusius adalah gambaran ideal manusia bermoral: ia berperilaku dengan integritas, menunaikan tanggung jawabnya dengan bijaksana, dan menjadi panutan moral bagi masyarakat. Dalam pandangan ini, moralitas bukan sekadar persoalan hukum universal, melainkan keterlibatan aktif dalam menjalani peran sosial secara etis dan penuh kesadaran.2

4.2.       Hindu-Buddha: Moralitas sebagai Jalan Pembebasan Diri

Tradisi filsafat India memandang moralitas sebagai bagian dari perjalanan spiritual untuk mencapai moksha (pembebasan) atau nirvana (pencerahan). Dalam ajaran Hindu, prinsip moral utama dikenal dengan sebutan dharma, yaitu kewajiban moral dan kosmik yang harus dijalani sesuai dengan kasta, usia, dan posisi sosial seseorang. Menjalankan dharma dengan benar berarti hidup selaras dengan tatanan semesta (rta), dan menghindari adharma atau tindakan destruktif terhadap harmoni dunia.3

Dalam Buddhisme, prinsip moral berakar pada sila (kemoralan), yang menjadi bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan (Eightfold Path). Lima sila dasar bagi umat awam meliputi larangan membunuh, mencuri, berzina, berdusta, dan mengonsumsi zat yang memabukkan. Namun, moralitas dalam Buddhisme bukanlah ketaatan terhadap perintah eksternal, melainkan bagian dari disiplin batin untuk mengurangi penderitaan dan membebaskan pikiran dari keterikatan duniawi.4 Tindakan bermoral dinilai dari sejauh mana ia menyumbang pada ketenangan batin dan belas kasih terhadap semua makhluk hidup.

4.3.       Islam: Moralitas sebagai Cerminan Iman dan Ketundukan kepada Tuhan

Dalam Islam, moralitas tidak terpisahkan dari keimanan (iman) dan ketundukan total kepada kehendak Tuhan (Allah). Moralitas berakar dari wahyu Ilahi yang termaktub dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Sunnah-nya. Ajaran Islam menekankan bahwa akhlak (moralitas praktis) adalah bagian integral dari misi kerasulan: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”_5

Konsep dasar moral dalam Islam meliputi nilai-nilai seperti kejujuran (sidq), amanah (dapat dipercaya), keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmah), dan kesabaran (sabr). Etika Islam tidak hanya normatif, tetapi juga transendental, karena tindakan baik tidak hanya bernilai sosial tetapi juga merupakan bentuk ibadah kepada Tuhan.6 Filsuf Muslim klasik seperti al-Ghazali dan Ibn Miskawaih telah mengembangkan teori moral yang memadukan pandangan filosofis Yunani (khususnya etika Aristoteles) dengan spiritualitas Islam. Ibn Miskawaih, misalnya, menekankan pembentukan karakter (akhlak) melalui pembiasaan dan pendidikan ruhani menuju al-sa‘adah (kebahagiaan sejati) yang bersifat duniawi dan ukhrawi.7


Penutup Subbagian

Dari tiga tradisi filsafat Timur ini dapat disimpulkan bahwa moralitas bukan sekadar soal benar-salah dalam pengertian legalistik, melainkan suatu proses pemurnian diri, pembentukan karakter, dan partisipasi dalam harmoni sosial dan spiritual. Pendekatan ini memperluas cakrawala pemahaman moral yang tidak hanya rasional, tetapi juga kontekstual, relasional, dan transenden.


Footnotes

[1]                Confucius, The Analects, trans. D.C. Lau (New York: Penguin Books, 1979), 12.22.

[2]                Tu Weiming, Confucian Thought: Selfhood as Creative Transformation (Albany: State University of New York Press, 1985), 17–19.

[3]                Klaus K. Klostermaier, A Survey of Hinduism, 3rd ed. (Albany: State University of New York Press, 2007), 107–110.

[4]                Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2013), 53–58.

[5]                Muhammad al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, no. 273.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: State University of New York Press, 1981), 96–98.

[7]                Ibn Miskawayh, Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantin Zurayk (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1966), 12–15.


5.           Perkembangan Pemikiran Moralitas di Era Modern

Memasuki era modern, filsafat moral mengalami transformasi yang signifikan. Jika pada era klasik moralitas banyak diletakkan dalam kerangka kebajikan (virtue), kehendak rasional, atau keharmonisan kosmos, maka pada masa modern moralitas lebih banyak dibahas dalam konteks otonomi individu, struktur sosial, kritik terhadap tradisi, serta respon terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa aliran pemikiran berikut mencerminkan dinamika moralitas modern yang semakin kompleks dan sering kali bersifat kritis terhadap landasan moral klasik.

5.1.       Kritik terhadap Moralitas Tradisional: Nietzsche dan Moralitas Budak

Salah satu tokoh paling radikal dalam kritik terhadap moralitas tradisional adalah Friedrich Nietzsche. Dalam On the Genealogy of Morals, Nietzsche membedakan antara “moralitas tuan” (master morality) dan “moralitas budak” (slave morality). Moralitas tuan bersumber dari kekuatan, kemuliaan, dan afirmasi terhadap kehidupan, sedangkan moralitas budak lahir dari kelemahan dan dendam terhadap mereka yang berkuasa. Nietzsche menganggap bahwa moralitas Kristen dan moral tradisional Barat merupakan bentuk moralitas budak yang menindas potensi luhur manusia, karena menekankan penyangkalan diri dan rasa bersalah.1

Ia menyerukan perlunya “penilaian ulang terhadap semua nilai” (Umwertung aller Werte), agar manusia bebas dari dogma moral yang membelenggu dan mampu menciptakan nilai-nilai baru secara otonom. Moralitas yang autentik, menurut Nietzsche, muncul dari kehendak untuk berkuasa (will to power) dan penciptaan diri secara estetis oleh manusia unggul (Übermensch).2

5.2.       Teori Kontrak Sosial dan Rasionalisasi Moral

Pandangan lain yang menonjol pada era modern adalah teori kontrak sosial yang dikembangkan oleh Hobbes, Locke, dan Rousseau. Dalam kerangka ini, moralitas tidak bersumber dari Tuhan atau hukum alam semata, melainkan merupakan hasil kesepakatan rasional antarindividu untuk membentuk kehidupan bersama yang damai dan tertib. Thomas Hobbes, misalnya, menganggap bahwa dalam keadaan alamiah (state of nature), manusia cenderung bertindak egoistik dan penuh konflik (homo homini lupus), sehingga diperlukan kontrak untuk membentuk negara dan hukum moral.3

John Locke menambahkan bahwa manusia memiliki hak-hak alamiah seperti kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan, yang menjadi dasar legitimasi moral dan politik. Rousseau, di sisi lain, mengajukan bahwa moralitas sejati hanya mungkin jika individu tunduk pada volonté générale (kehendak umum), yang mencerminkan kepentingan kolektif dan kebaikan bersama.4

5.3.       Psikologi Moral: Lawrence Kohlberg dan Evolusi Kesadaran Etis

Pada abad ke-20, perkembangan pemikiran moral tidak hanya datang dari filsuf, tetapi juga dari psikolog seperti Lawrence Kohlberg, yang memperkenalkan teori perkembangan moral. Dalam modelnya yang berpengaruh, Kohlberg menguraikan enam tahap perkembangan moral yang terbagi dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Moralitas individu berkembang dari kepatuhan terhadap otoritas dan hukuman, menuju orientasi terhadap norma sosial, dan akhirnya pada prinsip moral universal seperti keadilan dan hak asasi manusia.5

Kohlberg menganggap bahwa semakin tinggi tahap moral seseorang, semakin otonom dan rasional pertimbangannya. Teori ini memberikan pemahaman bahwa moralitas tidak statis, tetapi bertumbuh seiring kematangan kognitif dan pengalaman hidup. Pendekatan ini kemudian dikritisi dan dikembangkan oleh tokoh seperti Carol Gilligan yang menekankan ethics of care, yakni pentingnya empati, relasi, dan tanggung jawab dalam memahami dimensi moral yang selama ini diabaikan oleh pendekatan rasionalis.6

5.4.       Moralitas dalam Dunia Postmodern: Relativisme dan Dekonstruksi

Di era postmodern, wacana moralitas menjadi semakin plural, penuh keraguan terhadap klaim universal, dan mencurigai fondasi rasional maupun teistik dalam etika. Tokoh seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida menunjukkan bahwa moralitas sering kali merupakan produk dari relasi kuasa, narasi hegemonik, dan struktur sosial yang tersembunyi. Foucault, misalnya, menyatakan bahwa moralitas tidak netral, tetapi terbentuk oleh “regimes of truth” dan praktik diskursif yang membentuk subjek moral sesuai kepentingan kekuasaan tertentu.7

Sementara itu, Derrida menyoroti pentingnya dekonstruksi dalam membaca ulang teks-teks etis, dengan menunjukkan ketegangan, kontradiksi, dan ambiguitas dalam bahasa moral. Ia memperkenalkan ide tentang “keadilan sebagai yang tak terhingga” dan pentingnya keterbukaan terhadap yang lain (the Other), dalam arti etika tidak bisa ditutup dalam sistem normatif yang rigid.8


Penutup Subbagian

Perkembangan pemikiran moralitas di era modern menunjukkan pergeseran dari fondasi moral yang bersifat metafisik dan universal menuju pendekatan yang lebih pluralistik, kritis, dan interdisipliner. Meskipun tidak selalu menghasilkan konsensus, perkembangan ini memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas dimensi moral manusia, terutama dalam menghadapi tantangan etis di dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 25–28.

[2]                Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (London: Routledge, 2015), 85–87.

[3]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 86–90.

[4]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 50–55.

[5]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Volume I: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 409–412.

[6]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 21–23.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–25.

[8]                Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 26–28.


6.           Moralitas dalam Konteks Kehidupan Sosial Kontemporer

Di tengah dinamika zaman yang terus berubah, moralitas menghadapi tantangan baru dalam berbagai ranah kehidupan sosial. Kompleksitas masyarakat modern yang ditandai oleh globalisasi, kemajuan teknologi, dan pluralisme budaya menuntut pemahaman moral yang lebih adaptif, reflektif, dan interdisipliner. Moralitas kini tidak hanya menjadi wacana filsafat, tetapi juga merupakan isu utama dalam kebijakan publik, relasi sosial, dan kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa aspek penting yang menunjukkan bagaimana moralitas hadir dan diuji dalam konteks kontemporer.

6.1.       Moralitas dan Hukum: Antara Legalitas dan Keberadaban

Salah satu arena penting dalam penerapan moralitas adalah hukum. Meski hukum dan moralitas memiliki hubungan erat, keduanya tidak identik. Hukum bersifat formal, kodifikatif, dan mengikat secara legal, sementara moralitas sering kali bersifat normatif dan tidak selalu terikat oleh otoritas negara. Hal ini mengundang pertanyaan etis: apakah semua yang legal itu juga bermoral?

Filsuf hukum seperti Ronald Dworkin menegaskan bahwa hukum harus dimaknai sebagai ekspresi dari prinsip moral dan keadilan, bukan semata perintah penguasa atau aturan positif yang netral.1 Dengan demikian, hukum yang adil haruslah selaras dengan nilai-nilai moral yang menjunjung hak asasi manusia, keadilan distributif, dan martabat individu. Dalam banyak kasus, gerakan sosial bermula dari ketegangan antara moralitas publik dan hukum yang diskriminatif, seperti dalam perjuangan hak sipil, kesetaraan gender, dan perlindungan lingkungan.

6.2.       Moralitas dalam Dunia Digital dan Media Sosial

Kemajuan teknologi digital telah menciptakan ruang sosial baru yang menghadirkan dilema moral yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Media sosial, misalnya, menjadi medan yang mempercepat penyebaran informasi sekaligus memungkinkan praktik-praktik seperti perundungan daring (cyberbullying), penyebaran hoaks, doxing, dan cancel culture. Di satu sisi, teknologi memberi peluang besar untuk aktivisme moral dan keadilan sosial. Namun di sisi lain, ia juga bisa menjadi alat kekerasan simbolik dan polarisasi moral.

Luciano Floridi, salah satu pionir dalam filsafat informasi, menyatakan bahwa era digital memerlukan kerangka etika baru yang disebut information ethics, yaitu pendekatan moral yang mempertimbangkan keberadaan dan kualitas entitas informasi sebagai nilai yang harus dihormati.2 Dalam konteks ini, perilaku bermoral di dunia digital bukan hanya soal hukum atau sopan santun daring, melainkan tanggung jawab terhadap ekosistem informasi dan relasi antarmanusia di dunia maya.

6.3.       Moralitas Lintas Budaya dan Etika Global

Globalisasi telah membawa masyarakat dunia ke dalam interaksi intensif antarbudaya, agama, dan sistem nilai. Hal ini memunculkan pertanyaan moral penting: bagaimana membangun kesepahaman etis dalam konteks keberagaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip universal seperti keadilan dan hak asasi manusia?

Filsuf seperti Martha Nussbaum dan Kwame Anthony Appiah mendorong pendekatan etika kosmopolitan, yaitu moralitas yang mengakui tanggung jawab etis terhadap sesama manusia lintas batas negara dan budaya, tanpa menghilangkan identitas lokal.3 Dalam hal ini, moralitas menjadi dasar untuk dialog antarperadaban yang menghindari relativisme ekstrem namun tetap menghormati konteks kultural masing-masing.

6.4.       Krisis Kemanusiaan dan Tanggung Jawab Moral Global

Krisis global seperti perubahan iklim, pandemi, peperangan, kemiskinan ekstrem, dan pengungsian masal menuntut tanggapan moral kolektif. Tindakan-tindakan seperti eksploitasi lingkungan, ketimpangan ekonomi global, dan kegagalan distribusi vaksin adalah isu-isu moral besar abad ini yang menunjukkan pentingnya tanggung jawab moral lintas negara dan generasi.

Filsuf kontemporer Peter Singer, dalam karya One World: The Ethics of Globalization, mengajak masyarakat global untuk berpikir etis secara luas, dengan mengedepankan prinsip kepedulian terhadap penderitaan manusia di mana pun mereka berada, tanpa batas geografis atau nasionalisme sempit.4 Pendekatan ini mendorong aksi nyata untuk mengurangi penderitaan dan memajukan keadilan sosial global sebagai panggilan moral kemanusiaan.


Penutup Subbagian

Moralitas dalam konteks kehidupan sosial kontemporer bukan lagi hanya persoalan individu atau lokal, melainkan menjadi tantangan kolektif umat manusia. Dunia yang semakin saling terhubung menuntut etika yang inklusif, responsif terhadap teknologi, dan berpijak pada prinsip-prinsip keadilan yang dapat diterima bersama. Dengan refleksi filosofis yang mendalam, moralitas tetap dapat menjadi kompas etis di tengah arus zaman yang kompleks dan ambigu.


Footnotes

[1]                Ronald Dworkin, Law's Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 190–193.

[2]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–4.

[3]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 13–16; Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (New York: W.W. Norton & Company, 2006), 57–59.

[4]                Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2004), 155–158.


7.           Kritik dan Tantangan terhadap Konsep Moralitas

Meskipun moralitas telah menjadi pilar penting dalam peradaban manusia dan kajian filsafat selama ribuan tahun, konsep ini juga tidak lepas dari berbagai kritik dan tantangan. Seiring dengan perubahan zaman dan berkembangnya ilmu pengetahuan serta kesadaran budaya, banyak pemikir mempertanyakan validitas, universalitas, dan bahkan keberadaan objektif dari nilai-nilai moral itu sendiri. Kritik terhadap moralitas tidak selalu bermaksud meniadakannya, tetapi lebih sering merupakan usaha untuk menyingkap keterbatasan, bias, atau konstruksi ideologis yang tersembunyi di baliknya.

7.1.       Apakah Moralitas Itu Universal?

Salah satu tantangan utama dalam kajian moralitas adalah pertanyaan tentang universalitas nilai moral. Apakah nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang bersifat mutlak dan berlaku untuk semua manusia, ataukah mereka tergantung pada konteks budaya, sejarah, dan lingkungan sosial?

Kaum relativis moral berpendapat bahwa tidak ada standar moral universal yang dapat diberlakukan secara mutlak di semua tempat dan waktu. Menurut Richard Rorty, nilai-nilai moral hanyalah produk dari “kontinjensi sejarah dan bahasa” dan tidak memiliki fondasi metafisik yang abadi.1 Sementara itu, pendekatan etnosentris dalam sejarah sering kali menjustifikasi dominasi budaya tertentu dengan mengklaim keunggulan moralnya, sebagaimana dikritik oleh para pemikir postkolonial seperti Edward Said dan Gayatri Spivak.

Namun demikian, sejumlah pemikir seperti Martha Nussbaum tetap mempertahankan gagasan minimal moral universalism, dengan menyusun daftar “kapabilitas dasar manusia” yang dianggap penting untuk kehidupan yang bermartabat, apa pun latar budayanya.2 Perdebatan ini menunjukkan ketegangan antara kebutuhan akan norma global dan pengakuan terhadap keragaman moral.

7.2.       Moralitas sebagai Konstruksi Sosial atau Alat Kekuasaan

Kritik penting lainnya datang dari pendekatan sosiologis dan post-strukturalis, yang melihat moralitas bukan sebagai kebenaran objektif, melainkan sebagai konstruksi sosial yang lahir dari kebutuhan untuk mempertahankan tatanan tertentu. Michel Foucault, dalam karya-karyanya, menunjukkan bagaimana diskursus moral sering kali menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan yang menundukkan individu atas nama kebaikan bersama. Ia menyebut proses ini sebagai "bio-politik", di mana tubuh dan perilaku manusia diatur melalui norma-norma moral yang tampak netral namun sesungguhnya bersifat hegemonik.3

Menurut Foucault, apa yang dianggap “bermoral” dalam suatu masyarakat bisa saja merupakan hasil dari teknik disipliner yang dibangun secara historis. Oleh karena itu, refleksi kritis terhadap moralitas harus mencakup analisis terhadap siapa yang berwenang mendefinisikan nilai moral dan untuk kepentingan siapa nilai tersebut diberlakukan.

7.3.       Tantangan Nihilisme Moral: Apakah Moralitas Masih Relevan?

Kritik terhadap moralitas mencapai bentuk paling radikal dalam pandangan nihilisme moral, yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral yang objektif, dan bahwa semua klaim moral pada akhirnya bersifat ilusi atau tidak bermakna. Friedrich Nietzsche adalah tokoh utama dalam arah pemikiran ini, ketika ia menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” sebagai metafora atas runtuhnya landasan metafisik dari nilai-nilai moral tradisional.4

Nihilisme moral bisa mengarah pada dua kutub: pertama, apatisme etis di mana manusia merasa bebas dari semua komitmen moral; kedua, kebebasan radikal yang membuka ruang penciptaan nilai-nilai baru secara otonom. Nietzsche sendiri lebih mendorong yang kedua, melalui ideal Übermensch (manusia unggul) yang menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan kehendak hidupnya sendiri.5 Namun, banyak kritik terhadap nihilisme menunjukkan bahwa pemutusan total terhadap nilai moral bisa mengarah pada kekacauan atau relativisme ekstrem.

7.4.       Problematika Moralitas dalam Dunia Plural dan Kompleks

Moralitas dihadapkan pada tantangan serius dalam masyarakat yang plural secara budaya, agama, dan ideologi. Ketika tidak ada lagi satu sistem nilai dominan, konflik moral menjadi semakin sering terjadi, baik di tingkat individu maupun dalam skala global. Perselisihan mengenai isu-isu seperti euthanasia, aborsi, hak LGBTQ+, dan keadilan ekonomi sering kali memperlihatkan bahwa tidak ada konsensus tunggal dalam menentukan “yang benar secara moral”.

Dalam konteks ini, sejumlah pemikir menawarkan pendekatan deliberatif atau diskursif terhadap moralitas, seperti yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas, yang memandang bahwa nilai moral harus dibentuk melalui diskusi rasional dan inklusif antarwarga dalam ruang publik.6 Pendekatan ini berusaha menjembatani antara relativisme dan absolutisme dengan menekankan pentingnya konsensus yang dicapai secara komunikatif.


Penutup Subbagian

Kritik dan tantangan terhadap moralitas memperlihatkan bahwa ia bukan entitas yang statis dan tertutup, melainkan medan yang senantiasa terbuka untuk ditafsirkan, diuji, dan disempurnakan. Alih-alih melemahkan, kritik terhadap moralitas justru dapat memperkuatnya dengan mendorong refleksi yang lebih mendalam, kontekstual, dan manusiawi. Dengan demikian, moralitas tetap dapat memainkan perannya sebagai penuntun dalam kehidupan manusia modern yang kompleks dan beragam.


Footnotes

[1]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 44–46.

[2]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 70–74.

[3]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books, 1978), 135–140.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[5]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 41–43.

[6]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 116–120.


8.           Relevansi dan Implikasi Moralitas

Di tengah dinamika sosial, kemajuan teknologi, dan pluralitas nilai di era modern, moralitas tetap mempertahankan peran sentralnya dalam kehidupan individu maupun kolektif. Lebih dari sekadar sistem nilai atau norma, moralitas menyentuh inti dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang sadar, bertanggung jawab, dan hidup dalam jejaring sosial yang saling terikat. Pemahaman yang mendalam terhadap relevansi dan implikasi moralitas dapat menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang adil, manusiawi, dan beradab.

8.1.       Pendidikan Moral dan Pembentukan Karakter

Salah satu bentuk paling nyata dari relevansi moralitas adalah dalam ranah pendidikan, terutama dalam pembentukan karakter dan kepribadian generasi muda. Pendidikan moral bukan sekadar penanaman aturan benar dan salah, tetapi proses pembiasaan, internalisasi nilai, serta pembentukan kebajikan yang mendalam. Aristoteles menekankan pentingnya pembentukan kebiasaan (habit) dalam meraih keutamaan moral, karena hanya melalui latihan yang terus-menerus manusia dapat mengembangkan karakter yang baik.1

Dalam konteks ini, peran pendidik bukan sekadar sebagai penyampai pengetahuan, tetapi sebagai teladan moral yang hidup. Pembentukan akhlak atau karakter juga sangat ditekankan dalam tradisi pendidikan Islam, sebagaimana ditekankan oleh al-Ghazali bahwa pendidikan sejati harus menghasilkan manusia yang baik (shāliḥ), bukan hanya pintar.2 Dengan demikian, moralitas bukan hanya relevan, tetapi esensial bagi sistem pendidikan yang ingin melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana dan bertanggung jawab secara sosial.

8.2.       Moralitas sebagai Dasar Etika Sosial dan Politik

Implikasi moralitas sangat kuat dalam ranah etika sosial dan politik, karena ia menyediakan landasan normatif bagi prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan martabat manusia. Tanpa landasan moral, hukum dan kebijakan dapat kehilangan arah dan menjadi instrumen kekuasaan yang represif. Filsuf politik seperti John Rawls menegaskan bahwa konsep “keadilan sebagai kewajaran” (justice as fairness) hanya dapat dibenarkan jika ia mampu dihormati oleh semua pihak secara rasional dan moral.3

Dalam masyarakat demokratis, moralitas berfungsi sebagai pengontrol etik yang melampaui prosedur hukum. Misalnya, dalam menanggapi isu-isu sensitif seperti korupsi, diskriminasi, atau pelanggaran hak asasi manusia, tanggapan moral masyarakat sering kali menjadi pemicu utama perubahan sosial dan perbaikan kebijakan. Oleh karena itu, moralitas berperan sebagai energi etis yang menjaga agar politik tidak jatuh ke dalam sekadar perhitungan kekuasaan atau kompromi pragmatis.

8.3.       Moralitas dan Kepemimpinan Publik

Relevansi moralitas juga sangat menonjol dalam kepemimpinan publik. Sejarah menunjukkan bahwa kualitas moral seorang pemimpin sering kali lebih menentukan keberhasilan kepemimpinannya dibandingkan kecerdasan teknis semata. Max Weber dalam esainya tentang Politics as a Vocation menegaskan pentingnya “etika tanggung jawab” (ethic of responsibility) sebagai dasar etis bagi para pemegang kekuasaan, yakni keberanian untuk bertindak sambil memikul konsekuensi moral dari setiap kebijakan yang diambil.4

Dalam masyarakat modern yang semakin kritis, publik tidak hanya menuntut pemimpin yang efisien, tetapi juga yang jujur, adil, empatik, dan memiliki integritas. Hal ini menunjukkan bahwa moralitas tetap menjadi fondasi kepercayaan publik dan legitimasi sosial.

8.4.       Moralitas sebagai Pilar Kehidupan Global dan Lintas Budaya

Dalam dunia yang semakin terhubung secara global, moralitas memiliki relevansi baru dalam etika lintas budaya dan kemanusiaan global. Tantangan seperti krisis iklim, kesenjangan ekonomi, konflik bersenjata, dan migrasi masal tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan politik atau ekonomi. Diperlukan tanggung jawab moral kolektif yang melampaui batas bangsa dan kepentingan nasional.

Filsuf seperti Hans Küng telah mendorong gagasan “etika dunia” (global ethic) yang bersumber dari nilai-nilai dasar bersama lintas agama dan budaya, seperti larangan membunuh, mencuri, berbohong, serta pentingnya keadilan dan kepedulian.5 Upaya ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat keragaman moral, ada kemungkinan membangun fondasi etik bersama yang dapat menjadi panduan moral universal dalam kehidupan global yang kompleks.


Penutup Subbagian

Moralitas bukan sekadar warisan pemikiran klasik, tetapi kekuatan hidup yang terus menuntun manusia dalam mengambil keputusan, membangun relasi, dan menentukan arah masa depan. Di tengah tantangan zaman yang sarat ambiguitas moral, moralitas tetap menjadi kompas etis yang membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik, adil, dan bermartabat. Oleh karena itu, merefleksikan, mengajarkan, dan menghidupkan nilai-nilai moral adalah tugas bersama yang tak lekang oleh waktu.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a17–25.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, trans. Nabih Amin Faris, The Book of Knowledge (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 27–30.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 11–14.

[4]                Max Weber, “Politics as a Vocation,” in From Max Weber: Essays in Sociology, trans. and ed. Hans H. Gerth and C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 77–78.

[5]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 135–138.


9.           Kesimpulan

Pembahasan tentang moralitas dalam perspektif filsafat menunjukkan bahwa moralitas bukan sekadar seperangkat aturan normatif yang diwariskan dari generasi ke generasi, melainkan suatu hasil refleksi mendalam manusia atas makna tindakan, kehidupan bersama, dan tujuan eksistensialnya. Dari akar etimologisnya dalam kata Latin moralitas dan Yunani ethos, hingga elaborasi sistematik oleh filsuf-filsuf besar seperti Aristoteles, Kant, dan Nietzsche, moralitas tampil sebagai fenomena kompleks yang mencerminkan dinamika antara akal, pengalaman, nilai, dan kekuasaan.1

Dalam konteks filsafat Barat, landasan moralitas berkembang melalui beragam pendekatan, mulai dari rasionalisme deontologis Kant, utilitarianisme Mill, hingga etika keutamaan Aristoteles. Sementara itu, tradisi filsafat Timur memperlihatkan bahwa moralitas juga merupakan hasil pembentukan relasional dan spiritual dalam kerangka kosmologis, seperti dalam Konfusianisme, Hindu-Buddha, dan Islam.2 Hal ini memperkaya cakrawala pemahaman kita bahwa moralitas tidak tunggal dalam bentuk, namun tetap serupa dalam semangat: membimbing manusia menuju kebajikan dan harmoni.

Perkembangan pemikiran modern dan postmodern memperlihatkan pergeseran tajam dalam pendekatan terhadap moralitas. Kritik Nietzsche terhadap moralitas konvensional, teori kontrak sosial para filsuf politik, serta pendekatan psikologi moral seperti yang dikembangkan oleh Kohlberg dan Gilligan, menunjukkan bahwa moralitas tidak bersifat final, tetapi senantiasa terbuka untuk direfleksikan dan dikritisi.3 Pendekatan ini penting dalam merespons pluralisme nilai dan tantangan global di era kontemporer, termasuk dalam isu-isu seperti keadilan sosial, krisis iklim, teknologi digital, dan hak asasi manusia.

Di tengah arus relativisme dan tantangan nihilisme moral, filsafat tetap memberi ruang untuk mempertahankan makna moralitas sebagai kompas etis yang dibangun secara rasional, reflektif, dan komunikatif. Sebagaimana ditegaskan oleh Jürgen Habermas, moralitas tetap penting dalam membangun ruang publik yang rasional dan inklusif, di mana nilai-nilai bersama dapat didialogkan dan disepakati secara demokratis.4

Akhirnya, moralitas tidak hanya relevan sebagai kajian filsafat normatif, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam pendidikan, politik, kepemimpinan, dan tatanan global. Ia menjadi energi nilai yang mendorong manusia untuk tidak hanya hidup, tetapi hidup dengan baik, secara bertanggung jawab, adil, dan manusiawi. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terpecah, pemahaman moral yang filosofis, terbuka, dan berakar pada nilai kemanusiaan dapat menjadi jalan menuju tatanan sosial yang lebih bermartabat.


Footnotes

[1]                James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 1–5.

[2]                Tu Weiming, Confucian Thought: Selfhood as Creative Transformation (Albany: State University of New York Press, 1985), 17–19; Klaus K. Klostermaier, A Survey of Hinduism, 3rd ed. (Albany: State University of New York Press, 2007), 107–110; Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, trans. Nabih Amin Faris, The Book of Knowledge (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 27–30.

[3]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 25–28; Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Volume I: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 409–412; Carol Gilligan, In a Different Voice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 21–23.

[4]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 116–120.


Daftar Pustaka

Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in a world of strangers. W.W. Norton & Company.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.

Derrida, J. (1995). The gift of death (D. Wills, Trans.). University of Chicago Press.

Dworkin, R. (1986). Law's empire. Harvard University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1978). The history of sexuality: Volume 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Frankena, W. K. (1973). Ethics. Prentice-Hall.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. Pantheon Books.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press.

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdzīb al-akhlāq wa taṭhīr al-a‘rāq (C. Zurayk, Ed.). Dār al-Kitāb al-Lubnānī.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Klostermaier, K. K. (2007). A survey of Hinduism (3rd ed.). State University of New York Press.

Kohlberg, L. (1981). Essays on moral development, volume I: The philosophy of moral development. Harper & Row.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. Crossroad.

Leiter, B. (2015). Nietzsche on morality (2nd ed.). Routledge.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing Company.

Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought. State University of New York Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books.

Norman, R. (1998). The moral philosophers: An introduction to ethics. Oxford University Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Rachels, J., & Rachels, S. (2019). The elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill Education.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books.

Sandel, M. J. (2009). Justice: What's the right thing to do?. Farrar, Straus and Giroux.

Singer, P. (2004). One world: The ethics of globalization (2nd ed.). Yale University Press.

Tu, W. (1985). Confucian thought: Selfhood as creative transformation. State University of New York Press.

Weber, M. (1946). Politics as a vocation. In H. H. Gerth & C. W. Mills (Eds. & Trans.), From Max Weber: Essays in sociology (pp. 77–128). Oxford University Press.

Williams, B. (1973). Utilitarianism: For and against. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar