Moralitas
Landasan, Perkembangan, dan Relevansinya dalam
Kehidupan Modern
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep
moralitas dari perspektif filsafat, dengan menelusuri landasan teoritisnya,
perkembangan historis, hingga relevansinya dalam kehidupan sosial kontemporer.
Moralitas, sebagai himpunan nilai dan prinsip normatif, telah menjadi inti dari
perenungan etis sejak masa klasik hingga era postmodern. Kajian ini dimulai
dengan definisi konseptual moralitas dan distingsinya dari etika, dilanjutkan
dengan pembahasan lima pendekatan utama dalam filsafat moral, termasuk
rasionalisme, empirisme, utilitarianisme, etika keutamaan, serta relativisme.
Artikel ini juga mengeksplorasi pemahaman moralitas dalam tradisi filsafat Timur—Konfusianisme,
Hindu-Buddha, dan Islam—sebagai kontribusi penting dalam wacana etika global.
Di era modern dan postmodern, moralitas mengalami transformasi signifikan
melalui kritik Nietzsche, teori kontrak sosial, psikologi moral Kohlberg, dan
etika diskursif Habermas. Moralitas juga ditinjau dalam konteks kehidupan
sosial kontemporer, termasuk dalam relasi dengan hukum, media digital, krisis
kemanusiaan, dan pluralisme budaya. Dengan mempertimbangkan berbagai kritik dan
tantangan terhadap konsep moralitas, artikel ini menegaskan bahwa moralitas
tetap menjadi kompas etis yang tak tergantikan dalam membentuk kehidupan
pribadi yang bermakna dan tatanan sosial yang adil. Kesadaran moral yang
filosofis dan reflektif diperlukan agar umat manusia mampu menjawab tantangan
zaman secara etis dan bertanggung jawab.
Kata Kunci: Moralitas, filsafat moral, etika, kritik moral,
keutamaan, relativisme, etika global, moralitas Timur, modernitas,
postmodernisme.
PEMBAHASAN
Moralitas dalam Perspektif Filsafat
1.
Pendahuluan
Moralitas merupakan
salah satu konsep fundamental dalam filsafat yang telah menjadi perbincangan
utama sejak zaman Yunani Kuno hingga era postmodern. Istilah "moralitas"
berasal dari bahasa Latin moralitas, yang berarti "cara
hidup" atau "karakter", dan memiliki kedekatan makna
dengan kata Yunani ēthos, yang menjadi akar kata dari
"etika". Meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara
bergantian, dalam kajian filsafat, "moralitas" merujuk pada
sistem nilai dan norma yang mengatur tindakan manusia, sedangkan "etika"
adalah cabang filsafat yang secara sistematis menelaah prinsip-prinsip moral
tersebut.1
Para filsuf besar
seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah meletakkan fondasi penting dalam
memahami apa yang disebut sebagai "hidup yang baik". Dalam Nicomachean
Ethics, Aristoteles menyatakan bahwa tujuan utama manusia adalah
mencapai eudaimonia
atau kebahagiaan sejati, yang hanya dapat dicapai melalui praktik kebajikan
atau keutamaan moral.2 Pemikiran ini kemudian dikembangkan dan dikritisi
oleh filsuf-filsuf modern, seperti Immanuel Kant yang menekankan bahwa
moralitas harus berlandaskan pada prinsip rasional dan bersifat universal,
melalui apa yang ia sebut sebagai imperatif kategoris.3
Di sisi lain,
pandangan utilitarian seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill mengukur moralitas dari hasil akhir tindakan, yakni sejauh mana
tindakan tersebut menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang
terbanyak.4 Perbedaan pendekatan ini menunjukkan bahwa moralitas
bukanlah konsep yang tunggal atau sederhana, melainkan medan diskusi yang luas,
dinamis, dan sering kali kontradiktif.
Dalam dunia
kontemporer, pembahasan tentang moralitas semakin kompleks, terutama dalam
menghadapi tantangan-tantangan global seperti ketimpangan sosial, krisis
lingkungan, kecanggihan teknologi, hingga konflik identitas budaya. Hal ini
menunjukkan bahwa filsafat moral tidak hanya bersifat teoritis, tetapi memiliki
dampak langsung terhadap kehidupan praktis manusia. Oleh karena itu, memahami
moralitas dalam konteks filsafat tidak hanya relevan untuk diskusi akademik,
tetapi juga penting untuk membentuk kesadaran etis individu dan kolektif dalam
menjawab persoalan-persoalan zaman.
Artikel ini
bertujuan untuk mengulas secara komprehensif konsep moralitas dari perspektif
filsafat, mencakup landasan teoritisnya, perkembangan historisnya, serta
relevansinya dalam kehidupan modern. Dengan pendekatan interdisipliner dan
bersumber dari literatur filsafat yang kredibel, tulisan ini diharapkan mampu
memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran moralitas dalam membentuk
peradaban manusia.
Footnotes
[1]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 1–3.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a16–18.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–423.
[4]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 10–12.
2.
Pengertian
Moralitas dalam Kajian Filsafat
Konsep moralitas
merupakan salah satu pilar utama dalam kajian filsafat, khususnya dalam bidang
etika. Secara etimologis, istilah “moralitas” berasal dari bahasa Latin moralitas,
yang bermakna "adat", "kebiasaan", atau "karakter",
dan merupakan padanan dari kata Yunani ēthos, yang juga berarti kebiasaan
atau watak.1 Dari asal-usul bahasa ini, dapat ditarik pemahaman
bahwa moralitas pada mulanya merujuk pada kebiasaan sosial atau adat yang
mengatur perilaku individu dalam masyarakat. Namun dalam kerangka filsafat,
moralitas melampaui sekadar adat istiadat; ia menjadi objek refleksi rasional
mengenai apa yang benar dan salah, baik dan buruk, serta apa yang seharusnya
dilakukan manusia.
Dalam kajian
filsafat, moralitas sering dipahami sebagai seperangkat prinsip atau nilai
normatif yang membimbing tindakan manusia menuju apa yang dianggap sebagai
"baik secara moral". Moralitas bersifat preskriptif, yakni
memberi panduan tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak, bukan hanya
menjelaskan bagaimana manusia bertindak. Oleh karena itu,
moralitas berbeda dari deskripsi psikologis atau sosiologis tentang perilaku
manusia, meskipun ketiganya bisa saling berkaitan dalam pendekatan
interdisipliner.2
Secara konseptual,
para filsuf membedakan antara “moralitas” dan “etika”. Moralitas
merujuk pada isi substansial dari norma-norma dan nilai-nilai moral yang
berlaku dalam suatu komunitas atau sistem kepercayaan tertentu. Sedangkan etika
adalah cabang filsafat yang secara kritis dan sistematis menelaah dasar-dasar
moralitas tersebut, mengevaluasi validitas dan rasionalitasnya.3
Dengan demikian, seseorang bisa saja hidup sesuai dengan suatu moralitas
(misalnya moralitas agama atau moralitas budaya), tanpa pernah secara filosofis
merefleksikan dasar-dasarnya—itulah peran etika untuk melakukannya.
Pandangan ini
ditegaskan oleh Friedrich Nietzsche dalam karya On the Genealogy of Morals, bahwa
moralitas yang diterima begitu saja tanpa refleksi kritis bisa menjadi alat
penindasan atau pelanggengan kekuasaan tertentu.4 Nietzsche
mengusulkan agar manusia menilai kembali moralitas
(revaluation of values), agar tidak terjebak dalam dogmatisme etis yang mengekang
kebebasan individual. Sebaliknya, Immanuel Kant justru berpendapat bahwa
moralitas yang sejati haruslah bersifat rasional dan universal, tidak
bergantung pada otoritas eksternal atau hasil yang diinginkan. Ia menyatakan
bahwa “tindakan hanya memiliki nilai moral apabila dilakukan karena
kewajiban, bukan karena kecenderungan atau keuntungan pribadi”._5
Dalam kajian
kontemporer, moralitas juga sering dikaji dalam konteks pluralisme budaya dan
globalisasi. Hal ini memunculkan perdebatan antara moral universalism (pandangan bahwa
ada nilai-nilai moral universal) dan moral relativism (pandangan bahwa
moralitas bergantung pada budaya atau sudut pandang individu).6
Perdebatan ini menjadi penting terutama dalam isu-isu lintas budaya seperti hak
asasi manusia, keadilan gender, dan bioetika.
Dengan demikian,
pemahaman tentang moralitas dalam filsafat tidak hanya bersifat deskriptif atau
historis, tetapi juga sangat normatif, kritis, dan aplikatif. Ia menjadi medan
refleksi mendalam bagi upaya manusia dalam mencari kehidupan yang baik, adil,
dan bermakna.
Footnotes
[1]
Richard Norman, The Moral Philosophers: An Introduction to Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 1–2.
[2]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 4–5.
[3]
William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs: Prentice-Hall,
1973), 4–6.
[4]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 25–27.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:397.
[6]
Michael J. Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 186–190.
3.
Landasan-Landasan
Filsafat Moral
Filsafat moral
berkembang melalui beragam pendekatan yang membentuk fondasi bagi pemahaman
manusia tentang tindakan yang benar dan salah. Setiap pendekatan lahir dari
latar historis, budaya, dan intelektual yang berbeda, menawarkan kerangka
konseptual yang khas. Berikut ini adalah beberapa landasan utama dalam filsafat
moral yang menjadi titik tolak berbagai teori etika hingga saat ini.
3.1.
Rasionalisme Moral:
Akal sebagai Sumber Moralitas
Rasionalisme moral
berakar kuat dalam tradisi filsafat Yunani dan mencapai puncaknya dalam
pemikiran Immanuel Kant. Dalam pandangan ini, akal (rasio) adalah dasar utama
bagi tindakan moral. Bagi Kant, moralitas tidak bergantung pada konsekuensi
atau perasaan, melainkan pada good will dan kewajiban yang
didasarkan pada hukum moral universal. Prinsip moral tertinggi dalam
filsafatnya dikenal sebagai imperatif kategoris, yang
menyatakan: “Bertindaklah hanya menurut asas yang dapat kamu kehendaki
menjadi hukum universal.”_1
Kant menekankan
otonomi moral individu, yaitu kemampuan manusia untuk secara rasional
menentukan tindakan yang bermoral tanpa harus tunduk pada otoritas eksternal,
termasuk agama atau adat.2 Rasionalisme moral
menempatkan etika sebagai persoalan logika praktis dan konsistensi internal
dalam berpikir moral.
3.2.
Empirisme Moral:
Moralitas Berdasarkan Perasaan dan Pengalaman
Berbeda dengan Kant,
filsuf seperti David Hume menolak klaim bahwa moralitas bersumber dari akal
semata. Dalam A Treatise of Human Nature, Hume
berpendapat bahwa “reason is, and ought only to be the slave of the passions”,
yang berarti bahwa akal hanya memainkan peran instrumen dalam mendukung
dorongan emosional manusia.3 Menurut Hume, tindakan
dianggap bermoral karena membangkitkan rasa simpati atau empati dalam diri
manusia.
Pandangan empiris
ini menekankan bahwa moralitas tumbuh dari pengalaman manusia, terutama dari
hubungan sosial dan emosi bersama. Dalam hal ini, moralitas lebih bersifat
intersubjektif daripada universal. Teori ini banyak memengaruhi filsuf moral
kontemporer seperti Jonathan Haidt, yang mengembangkan pendekatan psikologi
moral berbasis intuisi dan emosi sosial.4
3.3.
Utilitarianisme:
Konsekuensi sebagai Ukuran Moralitas
Utilitarianisme
merupakan pendekatan etika teleologis yang menilai tindakan berdasarkan hasil
atau konsekuensinya. Jeremy Bentham sebagai pelopornya, memperkenalkan prinsip the
greatest happiness of the greatest number sebagai ukuran utama
moralitas. John Stuart Mill kemudian mengembangkan teori ini dengan menambahkan
unsur kualitas dalam kebahagiaan, bukan hanya kuantitasnya.5
Dalam kerangka ini,
tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang memaksimalkan kebahagiaan
dan meminimalkan penderitaan. Utilitarianisme banyak digunakan dalam kebijakan
publik, etika medis, dan teori keadilan distributif. Namun, pendekatan ini juga
dikritik karena cenderung mengabaikan hak individu demi kepentingan kolektif.6
3.4.
Etika Keutamaan
(Virtue Ethics): Karakter sebagai Fokus Moralitas
Etika keutamaan,
yang pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Aristoteles dalam Nicomachean
Ethics, menekankan bahwa moralitas bukan sekadar soal tindakan
benar atau salah, tetapi tentang siapa yang melakukan tindakan
tersebut. Fokusnya bukan pada aturan atau konsekuensi, melainkan pada
pembentukan karakter dan kebiasaan baik (habitus) yang membawa manusia
menuju eudaimonia
(kebahagiaan yang bernilai luhur).7
Dalam tradisi ini,
kebajikan seperti keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan dipandang sebagai
kualitas moral yang harus dikembangkan melalui latihan terus-menerus dan
keterlibatan dalam kehidupan bermasyarakat. Etika keutamaan mengalami
kebangkitan kembali dalam filsafat moral abad ke-20 melalui tokoh seperti
Alasdair MacIntyre, yang mengkritik fragmentasi moral modern dan menyerukan
kembali pada etika berbasis komunitas dan narasi hidup.8
3.5.
Moralitas dan
Relativisme: Apakah Moral Bersifat Mutlak?
Salah satu
perdebatan utama dalam filsafat moral adalah apakah moralitas bersifat
universal atau relatif terhadap budaya dan konteks tertentu. Moral relativisme
menyatakan bahwa tidak ada standar moral objektif yang berlaku untuk semua
manusia; nilai-nilai moral tergantung pada norma-norma sosial, budaya, atau
individu tertentu.9
Sebaliknya, para
pendukung moral absolutisme atau universalisme seperti Martha Nussbaum dan
Thomas Nagel berpendapat bahwa ada nilai-nilai moral yang bersifat
transkultural dan harus dijunjung tinggi secara universal, seperti keadilan,
kebebasan, dan martabat manusia. Perdebatan ini menjadi semakin penting dalam
konteks dunia global yang majemuk dan pluralistik.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:421–423.
[2]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008), 65–67.
[3]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 415.
[4]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 31–56.
[5]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 8–12.
[6]
Bernard Williams, Utilitarianism: For and Against (Cambridge:
Cambridge University Press, 1973), 93–97.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a15–20.
[8]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 1–3.
[9]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 57–59.
4.
Moralitas
dalam Tradisi Filsafat Timur
Filsafat Timur
menawarkan perspektif yang khas dalam memahami moralitas, berbeda dalam
pendekatan namun setara dalam kedalaman dengan filsafat Barat. Dalam tradisi
ini, moralitas sering tidak dipisahkan secara ketat dari dimensi spiritual,
kosmologis, dan sosial. Ia bukan hanya soal aturan yang memandu tindakan
individu, melainkan bagian integral dari harmoni kosmik, tatanan sosial, dan
pembentukan diri yang utuh. Tiga tradisi besar yang mewakili kekayaan moralitas
dalam filsafat Timur adalah Konfusianisme, Hindu-Buddha,
dan Islam.
4.1.
Konfusianisme:
Moralitas sebagai Tanggung Jawab Relasional dan Sosial
Dalam filsafat
Konfusianisme, moralitas bertumpu pada prinsip ren (仁) yang
berarti “kemanusiaan”, “kasih sayang”, atau “kebajikan”.
Prinsip ini merupakan fondasi dari seluruh tindakan etis yang idealnya
diwujudkan melalui relasi sosial yang tertib dan penuh rasa hormat, seperti
antara ayah-anak, penguasa-rakyat, atau guru-murid.1
Konfusius mengajarkan bahwa pembentukan moral pribadi tidak terlepas dari peran
dalam komunitas dan pelaksanaan ritual sosial (li) yang benar.
Konsep junzi
(君子)
atau “manusia luhur” dalam ajaran Konfusius adalah gambaran ideal
manusia bermoral: ia berperilaku dengan integritas, menunaikan tanggung
jawabnya dengan bijaksana, dan menjadi panutan moral bagi masyarakat. Dalam
pandangan ini, moralitas bukan sekadar persoalan hukum universal, melainkan
keterlibatan aktif dalam menjalani peran sosial secara etis dan penuh
kesadaran.2
4.2.
Hindu-Buddha:
Moralitas sebagai Jalan Pembebasan Diri
Tradisi filsafat
India memandang moralitas sebagai bagian dari perjalanan spiritual untuk
mencapai moksha
(pembebasan) atau nirvana (pencerahan). Dalam ajaran
Hindu, prinsip moral utama dikenal dengan sebutan dharma, yaitu kewajiban moral dan
kosmik yang harus dijalani sesuai dengan kasta, usia, dan posisi sosial
seseorang. Menjalankan dharma dengan benar berarti hidup
selaras dengan tatanan semesta (rta), dan menghindari adharma
atau tindakan destruktif terhadap harmoni dunia.3
Dalam Buddhisme,
prinsip moral berakar pada sila (kemoralan), yang menjadi
bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan (Eightfold Path). Lima sila dasar bagi
umat awam meliputi larangan membunuh, mencuri, berzina, berdusta, dan
mengonsumsi zat yang memabukkan. Namun, moralitas dalam Buddhisme bukanlah
ketaatan terhadap perintah eksternal, melainkan bagian dari disiplin batin
untuk mengurangi penderitaan dan membebaskan pikiran dari keterikatan duniawi.4
Tindakan bermoral dinilai dari sejauh mana ia menyumbang pada ketenangan batin
dan belas kasih terhadap semua makhluk hidup.
4.3.
Islam: Moralitas
sebagai Cerminan Iman dan Ketundukan kepada Tuhan
Dalam Islam,
moralitas tidak terpisahkan dari keimanan (iman) dan ketundukan total kepada
kehendak Tuhan (Allah). Moralitas berakar dari wahyu Ilahi yang termaktub dalam
Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Sunnah-nya. Ajaran Islam
menekankan bahwa akhlak (moralitas praktis) adalah bagian integral dari misi
kerasulan: “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”_5
Konsep dasar moral
dalam Islam meliputi nilai-nilai seperti kejujuran (sidq), amanah (dapat dipercaya),
keadilan (‘adl),
kasih sayang (rahmah), dan kesabaran (sabr).
Etika Islam tidak hanya normatif, tetapi juga transendental, karena tindakan
baik tidak hanya bernilai sosial tetapi juga merupakan bentuk ibadah kepada
Tuhan.6 Filsuf Muslim klasik seperti al-Ghazali dan Ibn
Miskawaih telah mengembangkan teori moral yang memadukan pandangan filosofis
Yunani (khususnya etika Aristoteles) dengan spiritualitas Islam. Ibn Miskawaih,
misalnya, menekankan pembentukan karakter (akhlak) melalui pembiasaan dan
pendidikan ruhani menuju al-sa‘adah (kebahagiaan sejati)
yang bersifat duniawi dan ukhrawi.7
Penutup Subbagian
Dari tiga tradisi
filsafat Timur ini dapat disimpulkan bahwa moralitas bukan sekadar soal
benar-salah dalam pengertian legalistik, melainkan suatu proses pemurnian diri,
pembentukan karakter, dan partisipasi dalam harmoni sosial dan spiritual.
Pendekatan ini memperluas cakrawala pemahaman moral yang tidak hanya rasional,
tetapi juga kontekstual, relasional, dan transenden.
Footnotes
[1]
Confucius, The Analects, trans. D.C. Lau (New York: Penguin
Books, 1979), 12.22.
[2]
Tu Weiming, Confucian Thought: Selfhood as Creative Transformation
(Albany: State University of New York Press, 1985), 17–19.
[3]
Klaus K. Klostermaier, A Survey of Hinduism, 3rd ed. (Albany:
State University of New York Press, 2007), 107–110.
[4]
Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 53–58.
[5]
Muhammad al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, no. 273.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: State
University of New York Press, 1981), 96–98.
[7]
Ibn Miskawayh, Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, ed.
Constantin Zurayk (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1966), 12–15.
5.
Perkembangan
Pemikiran Moralitas di Era Modern
Memasuki era modern,
filsafat moral mengalami transformasi yang signifikan. Jika pada era klasik
moralitas banyak diletakkan dalam kerangka kebajikan (virtue), kehendak
rasional, atau keharmonisan kosmos, maka pada masa modern moralitas lebih
banyak dibahas dalam konteks otonomi individu, struktur
sosial, kritik terhadap tradisi, serta respon
terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa
aliran pemikiran berikut mencerminkan dinamika moralitas modern yang semakin
kompleks dan sering kali bersifat kritis terhadap landasan moral klasik.
5.1.
Kritik terhadap
Moralitas Tradisional: Nietzsche dan Moralitas Budak
Salah satu tokoh
paling radikal dalam kritik terhadap moralitas tradisional adalah Friedrich
Nietzsche. Dalam On the Genealogy of Morals,
Nietzsche membedakan antara “moralitas tuan” (master
morality) dan “moralitas budak” (slave morality). Moralitas tuan
bersumber dari kekuatan, kemuliaan, dan afirmasi terhadap kehidupan, sedangkan
moralitas budak lahir dari kelemahan dan dendam terhadap mereka yang berkuasa.
Nietzsche menganggap bahwa moralitas Kristen dan moral tradisional Barat
merupakan bentuk moralitas budak yang menindas potensi luhur manusia, karena
menekankan penyangkalan diri dan rasa bersalah.1
Ia menyerukan
perlunya “penilaian ulang terhadap semua nilai” (Umwertung
aller Werte), agar manusia bebas dari dogma moral yang membelenggu
dan mampu menciptakan nilai-nilai baru secara otonom. Moralitas yang autentik,
menurut Nietzsche, muncul dari kehendak untuk berkuasa (will to
power) dan penciptaan diri secara estetis oleh manusia unggul (Übermensch).2
5.2.
Teori Kontrak Sosial
dan Rasionalisasi Moral
Pandangan lain yang
menonjol pada era modern adalah teori kontrak sosial yang
dikembangkan oleh Hobbes, Locke, dan Rousseau. Dalam kerangka ini, moralitas
tidak bersumber dari Tuhan atau hukum alam semata, melainkan merupakan hasil
kesepakatan rasional antarindividu untuk membentuk kehidupan bersama yang damai
dan tertib. Thomas Hobbes, misalnya, menganggap bahwa dalam keadaan alamiah
(state of nature), manusia cenderung bertindak egoistik dan penuh konflik (homo
homini lupus), sehingga diperlukan kontrak untuk membentuk negara
dan hukum moral.3
John Locke
menambahkan bahwa manusia memiliki hak-hak alamiah seperti kehidupan,
kebebasan, dan kepemilikan, yang menjadi dasar legitimasi moral dan politik.
Rousseau, di sisi lain, mengajukan bahwa moralitas sejati hanya mungkin jika
individu tunduk pada volonté générale (kehendak umum),
yang mencerminkan kepentingan kolektif dan kebaikan bersama.4
5.3.
Psikologi Moral:
Lawrence Kohlberg dan Evolusi Kesadaran Etis
Pada abad ke-20, perkembangan
pemikiran moral tidak hanya datang dari filsuf, tetapi juga dari psikolog
seperti Lawrence Kohlberg, yang
memperkenalkan teori perkembangan moral. Dalam
modelnya yang berpengaruh, Kohlberg menguraikan enam tahap perkembangan moral
yang terbagi dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional. Moralitas individu berkembang dari kepatuhan terhadap
otoritas dan hukuman, menuju orientasi terhadap norma sosial, dan akhirnya pada
prinsip moral universal seperti keadilan dan hak asasi manusia.5
Kohlberg menganggap
bahwa semakin tinggi tahap moral seseorang, semakin otonom dan rasional
pertimbangannya. Teori ini memberikan pemahaman bahwa moralitas tidak statis,
tetapi bertumbuh seiring kematangan kognitif dan pengalaman hidup. Pendekatan
ini kemudian dikritisi dan dikembangkan oleh tokoh seperti Carol Gilligan yang
menekankan ethics
of care, yakni pentingnya empati, relasi, dan tanggung jawab dalam
memahami dimensi moral yang selama ini diabaikan oleh pendekatan rasionalis.6
5.4.
Moralitas dalam
Dunia Postmodern: Relativisme dan Dekonstruksi
Di era postmodern,
wacana moralitas menjadi semakin plural, penuh keraguan terhadap klaim
universal, dan mencurigai fondasi rasional maupun teistik dalam etika. Tokoh
seperti Michel Foucault dan Jacques
Derrida menunjukkan bahwa moralitas sering kali merupakan
produk dari relasi kuasa, narasi hegemonik, dan struktur sosial yang
tersembunyi. Foucault, misalnya, menyatakan bahwa moralitas tidak netral,
tetapi terbentuk oleh “regimes of truth” dan praktik diskursif yang
membentuk subjek moral sesuai kepentingan kekuasaan tertentu.7
Sementara itu,
Derrida menyoroti pentingnya dekonstruksi dalam membaca ulang
teks-teks etis, dengan menunjukkan ketegangan, kontradiksi, dan ambiguitas
dalam bahasa moral. Ia memperkenalkan ide tentang “keadilan sebagai yang tak
terhingga” dan pentingnya keterbukaan terhadap yang lain (the
Other), dalam arti etika tidak bisa ditutup dalam sistem normatif
yang rigid.8
Penutup Subbagian
Perkembangan
pemikiran moralitas di era modern menunjukkan pergeseran dari fondasi moral
yang bersifat metafisik dan universal menuju pendekatan yang lebih pluralistik,
kritis, dan interdisipliner. Meskipun tidak selalu menghasilkan konsensus,
perkembangan ini memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas dimensi moral
manusia, terutama dalam menghadapi tantangan etis di dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 25–28.
[2]
Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (London:
Routledge, 2015), 85–87.
[3]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 86–90.
[4]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 50–55.
[5]
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Volume I: The
Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981),
409–412.
[6]
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982),
21–23.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–25.
[8]
Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 26–28.
6.
Moralitas
dalam Konteks Kehidupan Sosial Kontemporer
Di tengah dinamika
zaman yang terus berubah, moralitas menghadapi tantangan baru dalam berbagai
ranah kehidupan sosial. Kompleksitas masyarakat modern yang ditandai oleh
globalisasi, kemajuan teknologi, dan pluralisme budaya menuntut pemahaman moral
yang lebih adaptif, reflektif, dan interdisipliner. Moralitas kini tidak hanya
menjadi wacana filsafat, tetapi juga merupakan isu utama dalam kebijakan
publik, relasi sosial, dan kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa
aspek penting yang menunjukkan bagaimana moralitas hadir dan diuji dalam
konteks kontemporer.
6.1.
Moralitas dan Hukum:
Antara Legalitas dan Keberadaban
Salah satu arena
penting dalam penerapan moralitas adalah hukum. Meski hukum dan moralitas
memiliki hubungan erat, keduanya tidak identik. Hukum bersifat formal,
kodifikatif, dan mengikat secara legal, sementara moralitas sering kali
bersifat normatif dan tidak selalu terikat oleh otoritas negara. Hal ini
mengundang pertanyaan etis: apakah semua yang legal itu juga bermoral?
Filsuf hukum seperti
Ronald
Dworkin menegaskan bahwa hukum harus dimaknai sebagai ekspresi
dari prinsip moral dan keadilan, bukan semata perintah penguasa atau aturan
positif yang netral.1 Dengan demikian, hukum
yang adil haruslah selaras dengan nilai-nilai moral yang menjunjung hak asasi
manusia, keadilan distributif, dan martabat individu. Dalam banyak kasus,
gerakan sosial bermula dari ketegangan antara moralitas publik dan hukum yang
diskriminatif, seperti dalam perjuangan hak sipil, kesetaraan gender, dan
perlindungan lingkungan.
6.2.
Moralitas dalam
Dunia Digital dan Media Sosial
Kemajuan teknologi
digital telah menciptakan ruang sosial baru yang menghadirkan dilema moral yang
belum pernah dihadapi sebelumnya. Media sosial, misalnya, menjadi medan yang
mempercepat penyebaran informasi sekaligus memungkinkan praktik-praktik seperti
perundungan daring (cyberbullying), penyebaran hoaks, doxing,
dan cancel
culture. Di satu sisi, teknologi memberi peluang besar untuk
aktivisme moral dan keadilan sosial. Namun di sisi lain, ia juga bisa menjadi
alat kekerasan simbolik dan polarisasi moral.
Luciano
Floridi, salah satu pionir dalam filsafat informasi, menyatakan
bahwa era digital memerlukan kerangka etika baru yang disebut information
ethics, yaitu pendekatan moral yang mempertimbangkan keberadaan dan
kualitas entitas informasi sebagai nilai yang harus dihormati.2
Dalam konteks ini, perilaku bermoral di dunia digital bukan hanya soal hukum
atau sopan santun daring, melainkan tanggung jawab terhadap ekosistem informasi
dan relasi antarmanusia di dunia maya.
6.3.
Moralitas Lintas
Budaya dan Etika Global
Globalisasi telah
membawa masyarakat dunia ke dalam interaksi intensif antarbudaya, agama, dan
sistem nilai. Hal ini memunculkan pertanyaan moral penting: bagaimana membangun
kesepahaman etis dalam konteks keberagaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip
universal seperti keadilan dan hak asasi manusia?
Filsuf seperti Martha
Nussbaum dan Kwame Anthony Appiah mendorong
pendekatan etika
kosmopolitan, yaitu moralitas yang mengakui tanggung jawab etis
terhadap sesama manusia lintas batas negara dan budaya, tanpa menghilangkan
identitas lokal.3 Dalam hal ini, moralitas
menjadi dasar untuk dialog antarperadaban yang menghindari relativisme ekstrem
namun tetap menghormati konteks kultural masing-masing.
6.4.
Krisis Kemanusiaan
dan Tanggung Jawab Moral Global
Krisis global
seperti perubahan iklim, pandemi, peperangan, kemiskinan ekstrem, dan
pengungsian masal menuntut tanggapan moral kolektif. Tindakan-tindakan seperti
eksploitasi lingkungan, ketimpangan ekonomi global, dan kegagalan distribusi
vaksin adalah isu-isu moral besar abad ini yang menunjukkan pentingnya tanggung
jawab moral lintas negara dan generasi.
Filsuf kontemporer Peter
Singer, dalam karya One World: The Ethics of Globalization,
mengajak masyarakat global untuk berpikir etis secara luas, dengan
mengedepankan prinsip kepedulian terhadap penderitaan manusia di mana pun
mereka berada, tanpa batas geografis atau nasionalisme sempit.4
Pendekatan ini mendorong aksi nyata untuk mengurangi penderitaan dan memajukan
keadilan sosial global sebagai panggilan moral kemanusiaan.
Penutup Subbagian
Moralitas dalam konteks
kehidupan sosial kontemporer bukan lagi hanya persoalan individu atau lokal,
melainkan menjadi tantangan kolektif umat manusia. Dunia yang semakin saling
terhubung menuntut etika yang inklusif, responsif terhadap teknologi, dan
berpijak pada prinsip-prinsip keadilan yang dapat diterima bersama. Dengan
refleksi filosofis yang mendalam, moralitas tetap dapat menjadi kompas etis di
tengah arus zaman yang kompleks dan ambigu.
Footnotes
[1]
Ronald Dworkin, Law's Empire (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1986), 190–193.
[2]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 1–4.
[3]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 13–16;
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers
(New York: W.W. Norton & Company, 2006), 57–59.
[4]
Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization, 2nd ed.
(New Haven: Yale University Press, 2004), 155–158.
7.
Kritik
dan Tantangan terhadap Konsep Moralitas
Meskipun moralitas
telah menjadi pilar penting dalam peradaban manusia dan kajian filsafat selama
ribuan tahun, konsep ini juga tidak lepas dari berbagai kritik dan tantangan.
Seiring dengan perubahan zaman dan berkembangnya ilmu pengetahuan serta
kesadaran budaya, banyak pemikir mempertanyakan validitas, universalitas, dan
bahkan keberadaan objektif dari nilai-nilai moral itu sendiri. Kritik terhadap
moralitas tidak selalu bermaksud meniadakannya, tetapi lebih sering merupakan
usaha untuk menyingkap keterbatasan, bias, atau konstruksi ideologis yang
tersembunyi di baliknya.
7.1.
Apakah Moralitas Itu
Universal?
Salah satu tantangan
utama dalam kajian moralitas adalah pertanyaan tentang universalitas
nilai moral. Apakah nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang
bersifat mutlak dan berlaku untuk semua manusia, ataukah mereka tergantung pada
konteks budaya, sejarah, dan lingkungan sosial?
Kaum relativis
moral berpendapat bahwa tidak ada standar moral universal yang
dapat diberlakukan secara mutlak di semua tempat dan waktu. Menurut Richard
Rorty, nilai-nilai moral hanyalah produk dari “kontinjensi sejarah dan
bahasa” dan tidak memiliki fondasi metafisik yang abadi.1
Sementara itu, pendekatan etnosentris dalam sejarah
sering kali menjustifikasi dominasi budaya tertentu dengan mengklaim keunggulan
moralnya, sebagaimana dikritik oleh para pemikir postkolonial seperti Edward
Said dan Gayatri Spivak.
Namun demikian,
sejumlah pemikir seperti Martha Nussbaum tetap mempertahankan
gagasan minimal moral universalism,
dengan menyusun daftar “kapabilitas dasar manusia” yang dianggap penting
untuk kehidupan yang bermartabat, apa pun latar budayanya.2
Perdebatan ini menunjukkan ketegangan antara kebutuhan akan norma global dan
pengakuan terhadap keragaman moral.
7.2.
Moralitas sebagai
Konstruksi Sosial atau Alat Kekuasaan
Kritik penting
lainnya datang dari pendekatan sosiologis dan post-strukturalis,
yang melihat moralitas bukan sebagai kebenaran objektif, melainkan sebagai
konstruksi sosial yang lahir dari kebutuhan untuk mempertahankan tatanan
tertentu. Michel Foucault, dalam
karya-karyanya, menunjukkan bagaimana diskursus moral sering kali menjadi
bagian dari mekanisme kekuasaan yang menundukkan individu atas nama kebaikan
bersama. Ia menyebut proses ini sebagai "bio-politik", di mana
tubuh dan perilaku manusia diatur melalui norma-norma moral yang tampak netral
namun sesungguhnya bersifat hegemonik.3
Menurut Foucault,
apa yang dianggap “bermoral” dalam suatu masyarakat bisa saja merupakan
hasil dari teknik disipliner yang dibangun secara historis. Oleh karena itu,
refleksi kritis terhadap moralitas harus mencakup analisis terhadap siapa yang
berwenang mendefinisikan nilai moral dan untuk kepentingan siapa nilai tersebut
diberlakukan.
7.3.
Tantangan Nihilisme
Moral: Apakah Moralitas Masih Relevan?
Kritik terhadap
moralitas mencapai bentuk paling radikal dalam pandangan nihilisme
moral, yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral yang
objektif, dan bahwa semua klaim moral pada akhirnya bersifat ilusi atau tidak
bermakna. Friedrich Nietzsche adalah
tokoh utama dalam arah pemikiran ini, ketika ia menyatakan bahwa “Tuhan
telah mati” sebagai metafora atas runtuhnya landasan metafisik dari
nilai-nilai moral tradisional.4
Nihilisme moral bisa
mengarah pada dua kutub: pertama, apatisme etis di mana manusia merasa bebas
dari semua komitmen moral; kedua, kebebasan radikal yang membuka ruang
penciptaan nilai-nilai baru secara otonom. Nietzsche sendiri lebih mendorong
yang kedua, melalui ideal Übermensch (manusia unggul) yang
menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan kehendak hidupnya sendiri.5
Namun, banyak kritik terhadap nihilisme menunjukkan bahwa pemutusan total
terhadap nilai moral bisa mengarah pada kekacauan atau relativisme ekstrem.
7.4.
Problematika
Moralitas dalam Dunia Plural dan Kompleks
Moralitas dihadapkan
pada tantangan serius dalam masyarakat yang plural secara budaya, agama, dan ideologi.
Ketika tidak ada lagi satu sistem nilai dominan, konflik moral menjadi semakin
sering terjadi, baik di tingkat individu maupun dalam skala global.
Perselisihan mengenai isu-isu seperti euthanasia, aborsi, hak LGBTQ+, dan
keadilan ekonomi sering kali memperlihatkan bahwa tidak ada konsensus tunggal
dalam menentukan “yang benar secara moral”.
Dalam konteks ini,
sejumlah pemikir menawarkan pendekatan deliberatif atau diskursif
terhadap moralitas, seperti yang dikembangkan oleh Jürgen
Habermas, yang memandang bahwa nilai moral harus dibentuk
melalui diskusi rasional dan inklusif antarwarga dalam ruang publik.6
Pendekatan ini berusaha menjembatani antara relativisme dan absolutisme dengan
menekankan pentingnya konsensus yang dicapai secara komunikatif.
Penutup Subbagian
Kritik dan tantangan
terhadap moralitas memperlihatkan bahwa ia bukan entitas yang statis dan
tertutup, melainkan medan yang senantiasa terbuka untuk ditafsirkan, diuji, dan
disempurnakan. Alih-alih melemahkan, kritik terhadap moralitas justru dapat
memperkuatnya dengan mendorong refleksi yang lebih mendalam, kontekstual, dan
manusiawi. Dengan demikian, moralitas tetap dapat memainkan perannya sebagai
penuntun dalam kehidupan manusia modern yang kompleks dan beragam.
Footnotes
[1]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 44–46.
[2]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 70–74.
[3]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction,
trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books, 1978), 135–140.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §125.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 41–43.
[6]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 116–120.
8.
Relevansi
dan Implikasi Moralitas
Di tengah dinamika
sosial, kemajuan teknologi, dan pluralitas nilai di era modern, moralitas tetap
mempertahankan peran sentralnya dalam kehidupan individu maupun kolektif. Lebih
dari sekadar sistem nilai atau norma, moralitas menyentuh inti dari eksistensi
manusia sebagai makhluk yang sadar, bertanggung jawab, dan hidup dalam jejaring
sosial yang saling terikat. Pemahaman yang mendalam terhadap relevansi dan
implikasi moralitas dapat menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang adil,
manusiawi, dan beradab.
8.1.
Pendidikan Moral dan
Pembentukan Karakter
Salah satu bentuk
paling nyata dari relevansi moralitas adalah dalam ranah pendidikan,
terutama dalam pembentukan karakter dan kepribadian generasi muda. Pendidikan
moral bukan sekadar penanaman aturan benar dan salah, tetapi proses pembiasaan,
internalisasi nilai, serta pembentukan kebajikan yang mendalam. Aristoteles
menekankan pentingnya pembentukan kebiasaan (habit) dalam meraih keutamaan
moral, karena hanya melalui latihan yang terus-menerus manusia dapat
mengembangkan karakter yang baik.1
Dalam konteks ini,
peran pendidik bukan sekadar sebagai penyampai pengetahuan, tetapi sebagai
teladan moral yang hidup. Pembentukan akhlak atau karakter juga sangat
ditekankan dalam tradisi pendidikan Islam, sebagaimana ditekankan oleh
al-Ghazali bahwa pendidikan sejati harus menghasilkan manusia yang baik (shāliḥ),
bukan hanya pintar.2 Dengan demikian, moralitas
bukan hanya relevan, tetapi esensial bagi sistem pendidikan yang ingin
melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana dan
bertanggung jawab secara sosial.
8.2.
Moralitas sebagai
Dasar Etika Sosial dan Politik
Implikasi moralitas
sangat kuat dalam ranah etika sosial dan politik,
karena ia menyediakan landasan normatif bagi prinsip-prinsip keadilan,
kebebasan, kesetaraan, dan martabat manusia. Tanpa landasan moral, hukum dan
kebijakan dapat kehilangan arah dan menjadi instrumen kekuasaan yang represif.
Filsuf politik seperti John Rawls menegaskan bahwa
konsep “keadilan sebagai kewajaran” (justice as fairness) hanya dapat
dibenarkan jika ia mampu dihormati oleh semua pihak secara rasional dan moral.3
Dalam masyarakat
demokratis, moralitas berfungsi sebagai pengontrol etik yang melampaui prosedur
hukum. Misalnya, dalam menanggapi isu-isu sensitif seperti korupsi,
diskriminasi, atau pelanggaran hak asasi manusia, tanggapan moral masyarakat
sering kali menjadi pemicu utama perubahan sosial dan perbaikan kebijakan. Oleh
karena itu, moralitas berperan sebagai energi etis yang menjaga agar politik
tidak jatuh ke dalam sekadar perhitungan kekuasaan atau kompromi pragmatis.
8.3.
Moralitas dan
Kepemimpinan Publik
Relevansi moralitas
juga sangat menonjol dalam kepemimpinan publik. Sejarah menunjukkan bahwa
kualitas moral seorang pemimpin sering kali lebih menentukan keberhasilan
kepemimpinannya dibandingkan kecerdasan teknis semata. Max
Weber dalam esainya tentang Politics as a Vocation menegaskan
pentingnya “etika tanggung jawab” (ethic of responsibility) sebagai
dasar etis bagi para pemegang kekuasaan, yakni keberanian untuk bertindak
sambil memikul konsekuensi moral dari setiap kebijakan yang diambil.4
Dalam masyarakat
modern yang semakin kritis, publik tidak hanya menuntut pemimpin yang efisien,
tetapi juga yang jujur, adil, empatik, dan memiliki integritas. Hal ini
menunjukkan bahwa moralitas tetap menjadi fondasi kepercayaan publik dan
legitimasi sosial.
8.4.
Moralitas sebagai
Pilar Kehidupan Global dan Lintas Budaya
Dalam dunia yang
semakin terhubung secara global, moralitas memiliki relevansi baru dalam etika
lintas budaya dan kemanusiaan global. Tantangan seperti krisis
iklim, kesenjangan ekonomi, konflik bersenjata, dan migrasi masal tidak dapat
diselesaikan hanya dengan pendekatan politik atau ekonomi. Diperlukan tanggung
jawab moral kolektif yang melampaui batas bangsa dan kepentingan nasional.
Filsuf seperti Hans
Küng telah mendorong gagasan “etika dunia” (global
ethic) yang bersumber dari nilai-nilai dasar bersama lintas agama
dan budaya, seperti larangan membunuh, mencuri, berbohong, serta pentingnya
keadilan dan kepedulian.5 Upaya ini menunjukkan
bahwa meskipun terdapat keragaman moral, ada kemungkinan membangun fondasi etik
bersama yang dapat menjadi panduan moral universal dalam kehidupan global yang
kompleks.
Penutup Subbagian
Moralitas bukan
sekadar warisan pemikiran klasik, tetapi kekuatan hidup yang terus menuntun
manusia dalam mengambil keputusan, membangun relasi, dan menentukan arah masa
depan. Di tengah tantangan zaman yang sarat ambiguitas moral, moralitas tetap
menjadi kompas etis yang membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik,
adil, dan bermartabat. Oleh karena itu, merefleksikan, mengajarkan, dan
menghidupkan nilai-nilai moral adalah tugas bersama yang tak lekang oleh waktu.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a17–25.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, trans. Nabih Amin
Faris, The Book of Knowledge (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962),
27–30.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 11–14.
[4]
Max Weber, “Politics as a Vocation,” in From Max Weber: Essays in
Sociology, trans. and ed. Hans H. Gerth and C. Wright Mills (New York:
Oxford University Press, 1946), 77–78.
[5]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic
(New York: Crossroad, 1991), 135–138.
9.
Kesimpulan
Pembahasan tentang
moralitas dalam perspektif filsafat menunjukkan bahwa moralitas bukan sekadar
seperangkat aturan normatif yang diwariskan dari generasi ke generasi,
melainkan suatu hasil refleksi mendalam manusia atas makna tindakan, kehidupan
bersama, dan tujuan eksistensialnya. Dari akar etimologisnya dalam kata Latin moralitas
dan Yunani ethos,
hingga elaborasi sistematik oleh filsuf-filsuf besar seperti Aristoteles, Kant,
dan Nietzsche, moralitas tampil sebagai fenomena kompleks yang mencerminkan
dinamika antara akal, pengalaman, nilai, dan kekuasaan.1
Dalam konteks
filsafat Barat, landasan moralitas berkembang melalui beragam pendekatan, mulai
dari rasionalisme deontologis Kant, utilitarianisme Mill, hingga etika
keutamaan Aristoteles. Sementara itu, tradisi filsafat Timur memperlihatkan
bahwa moralitas juga merupakan hasil pembentukan relasional dan spiritual dalam
kerangka kosmologis, seperti dalam Konfusianisme, Hindu-Buddha, dan Islam.2
Hal ini memperkaya cakrawala pemahaman kita bahwa moralitas tidak tunggal dalam
bentuk, namun tetap serupa dalam semangat: membimbing manusia menuju kebajikan
dan harmoni.
Perkembangan
pemikiran modern dan postmodern memperlihatkan pergeseran tajam dalam
pendekatan terhadap moralitas. Kritik Nietzsche terhadap moralitas
konvensional, teori kontrak sosial para filsuf politik, serta pendekatan
psikologi moral seperti yang dikembangkan oleh Kohlberg dan Gilligan,
menunjukkan bahwa moralitas tidak bersifat final, tetapi senantiasa terbuka
untuk direfleksikan dan dikritisi.3 Pendekatan ini penting dalam
merespons pluralisme nilai dan tantangan global di era kontemporer, termasuk
dalam isu-isu seperti keadilan sosial, krisis iklim, teknologi digital, dan hak
asasi manusia.
Di tengah arus
relativisme dan tantangan nihilisme moral, filsafat tetap memberi ruang untuk
mempertahankan makna moralitas sebagai kompas etis yang dibangun secara
rasional, reflektif, dan komunikatif. Sebagaimana ditegaskan oleh Jürgen Habermas,
moralitas tetap penting dalam membangun ruang publik yang rasional dan
inklusif, di mana nilai-nilai bersama dapat didialogkan dan disepakati secara
demokratis.4
Akhirnya, moralitas
tidak hanya relevan sebagai kajian filsafat normatif, tetapi juga memiliki
implikasi praktis dalam pendidikan, politik, kepemimpinan, dan tatanan global.
Ia menjadi energi nilai yang mendorong manusia untuk tidak hanya hidup, tetapi
hidup dengan
baik, secara bertanggung jawab, adil, dan manusiawi. Dalam dunia
yang semakin kompleks dan terpecah, pemahaman moral yang filosofis, terbuka,
dan berakar pada nilai kemanusiaan dapat menjadi jalan menuju tatanan sosial
yang lebih bermartabat.
Footnotes
[1]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2019), 1–5.
[2]
Tu Weiming, Confucian Thought: Selfhood as Creative Transformation
(Albany: State University of New York Press, 1985), 17–19; Klaus K.
Klostermaier, A Survey of Hinduism, 3rd ed. (Albany: State University
of New York Press, 2007), 107–110; Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn,
trans. Nabih Amin Faris, The Book of Knowledge (Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf, 1962), 27–30.
[3]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 25–28; Lawrence
Kohlberg, Essays on Moral Development, Volume I: The Philosophy of Moral
Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 409–412; Carol
Gilligan, In a Different Voice (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1982), 21–23.
[4]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 116–120.
Daftar Pustaka
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in
a world of strangers. W.W. Norton & Company.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.
Derrida, J. (1995). The gift of death (D.
Wills, Trans.). University of Chicago Press.
Dworkin, R. (1986). Law's empire. Harvard
University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality:
Volume 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Frankena, W. K. (1973). Ethics.
Prentice-Hall.
Gilligan, C. (1982). In a different voice:
Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.
Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good
people are divided by politics and religion. Pantheon Books.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT
Press.
Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.).
Cambridge University Press.
Hume, D. (1978). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.
Ibn Miskawayh. (1966). Tahdzīb al-akhlāq wa
taṭhīr al-a‘rāq (C. Zurayk, Ed.). Dār al-Kitāb al-Lubnānī.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Klostermaier, K. K. (2007). A survey of Hinduism
(3rd ed.). State University of New York Press.
Kohlberg, L. (1981). Essays on moral
development, volume I: The philosophy of moral development. Harper &
Row.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In
search of a new world ethic. Crossroad.
Leiter, B. (2015). Nietzsche on morality
(2nd ed.). Routledge.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher,
Ed.). Hackett Publishing Company.
Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought.
State University of New York Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra
(W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books.
Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books.
Norman, R. (1998). The moral philosophers: An
introduction to ethics. Oxford University Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women and human
development: The capabilities approach. Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.
Rachels, J., & Rachels, S. (2019). The
elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill Education.
Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev.
ed.). Harvard University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin Books.
Sandel, M. J. (2009). Justice: What's the right
thing to do?. Farrar, Straus and Giroux.
Singer, P. (2004). One world: The ethics of
globalization (2nd ed.). Yale University Press.
Tu, W. (1985). Confucian thought: Selfhood as
creative transformation. State University of New York Press.
Weber, M. (1946). Politics as a vocation. In H. H.
Gerth & C. W. Mills (Eds. & Trans.), From Max Weber: Essays in sociology
(pp. 77–128). Oxford University Press.
Williams, B. (1973). Utilitarianism: For and
against. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar