Jumat, 23 Mei 2025

Esensi dalam Metafisika: Hakikat, Peran Ontologis, dan Implikasinya terhadap Pemikiran Filsafat

Esensi dalam Metafisika

Hakikat, Peran Ontologis, dan Implikasinya terhadap Pemikiran Filsafat


Alihkan ke: Metafisika.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif tentang konsep esensi dalam metafisika, dengan menelaah perannya dalam struktur realitas, pengetahuan, nilai, dan identitas. Dimulai dari pandangan klasik Aristoteles dan skolastisisme, dilanjutkan dengan eksplorasi dalam tradisi Islam (Ibn Sina dan Mulla Sadra), hingga kritik tajam dari empirisisme, eksistensialisme, dan post-strukturalisme, artikel ini menelusuri bagaimana esensi menjadi medan dialektika antara kestabilan dan perubahan. Melalui pendekatan komparatif lintas tradisi filsafat—Barat, Islam, Vedānta, Buddhisme Mahāyāna, dan Taoisme—ditekankan bahwa pemahaman terhadap esensi sangat dipengaruhi oleh horizon ontologis dan kosmologis masing-masing. Artikel ini juga menyoroti implikasi ontologis dan etis dari esensi dalam menjelaskan identitas, norma moral, martabat manusia, dan tanggung jawab etis, serta mengusulkan perlunya esensialisme kritis yang terbuka terhadap konteks dan dinamika realitas. Dengan landasan argumentasi filosofis dan referensi lintas budaya, tulisan ini berkontribusi pada revitalisasi wacana metafisika yang bersifat reflektif, integratif, dan transkultural.

Kata Kunci: Esensi, Metafisika, Ontologi, Epistemologi, Etika, Tradisi Filsafat, Eksistensialisme, Perbandingan Lintas Budaya, Identitas, Filsafat Islam.


PEMBAHASAN

Kajian tentang Esensi dalam Metafisika


1.           Pendahuluan

Metafisika, sebagai cabang filsafat yang tertua dan paling mendasar, bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan hakiki mengenai keberadaan, realitas, dan struktur terdalam dari segala sesuatu. Dalam kerangka metafisika ini, konsep esensi atau hakikat sesuatu memegang peranan sentral. Esensi merujuk pada apa dari sesuatu yang membuatnya menjadi dirinya sendiri dan bukan yang lain. Konsep ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi, membedakan, dan memahami suatu entitas secara konsisten dalam kerangka realitas ontologis.

Sejak zaman Yunani Kuno, filsuf-filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles telah memulai eksplorasi sistematis terhadap hakikat esensial dari segala sesuatu. Plato mengemukakan gagasan bahwa benda-benda dunia ini hanyalah bayangan dari bentuk-bentuk ideal yang tak berubah, yang disebut Forms atau Ideas, dan esensi suatu benda adalah partisipasinya dalam bentuk ideal itu.¹ Sementara itu, Aristoteles menggeser fokus dari dunia ideal ke dunia nyata, dengan menekankan bahwa esensi melekat pada substansi melalui bentuk (form) yang bersama materi membentuk keberadaan aktual.²

Dalam tradisi filsafat Islam dan Skolastik, persoalan esensi berkembang lebih lanjut. Ibn Sina (Avicenna) memperkenalkan distingsi penting antara essentia (esensi) dan existentia (eksistensi), yang kemudian diadopsi dan dimodifikasi oleh Thomas Aquinas. Menurut mereka, esensi adalah “apa”-nya sesuatu, sedangkan eksistensi adalah “bahwa”-nya sesuatu—artinya, bahwa sesuatu itu sungguh ada.³ Distingsi ini sangat memengaruhi teologi dan filsafat Barat abad pertengahan dan terus menjadi bahan diskusi metafisik hingga kini.

Di era modern dan kontemporer, konsep esensi mendapat tantangan dari berbagai pemikiran yang bersifat nominalis, empiris, dan eksistensialis. Jean-Paul Sartre, misalnya, menolak esensialisme tradisional dengan ungkapan terkenalnya bahwa “eksistensi mendahului esensi”, menyatakan bahwa manusia tidak memiliki esensi bawaan dan membentuk dirinya sendiri melalui kebebasan dan pilihan.⁴ Namun demikian, perdebatan ini justru memperlihatkan betapa penting dan mendasarnya konsep esensi dalam berbagai sistem filsafat.

Artikel ini bertujuan untuk menyelami lebih dalam hakikat esensi, melacak asal-usul dan perkembangannya dalam sejarah filsafat, menganalisis peran ontologisnya dalam struktur realitas, serta meninjau relevansi dan kritik kontemporer terhadap konsep tersebut. Dengan pendekatan yang mencakup perspektif klasik, modern, dan lintas tradisi, kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang utuh dan kritis terhadap salah satu pilar utama dalam bangunan metafisika.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 196–201.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 682–685.

[3]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 29–35.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.


2.           Konsep Dasar Esensi

Dalam diskursus metafisika, esensi (Latin: essentia) merujuk pada inti atau hakikat sesuatu yang menjadikannya apa adanya dan membedakannya dari segala yang lain. Esensi bukan sekadar sifat atau karakteristik yang dimiliki suatu entitas, melainkan merupakan unsur mendasar yang menentukan identitas ontologisnya. Konsep ini mendasari banyak pertanyaan filosofis: Apa yang menjadikan seekor kuda tetap kuda, walau warna, ukuran, atau tempatnya berubah? Apa yang membedakan manusia dari makhluk lain?

Secara klasik, esensi sering dibedakan dari eksistensi. Jika eksistensi adalah keberadaan aktual suatu hal (“bahwa” ia ada), maka esensi adalah definisi atau bentuk dari sesuatu (“apa” ia itu). Dalam kerangka pemikiran Ibn Sina (Avicenna), esensi bisa dipahami tanpa perlu eksistensi—esensi manusia dapat dibayangkan meski belum ada manusia tertentu yang eksis.¹ Oleh karena itu, esensi dipandang lebih stabil dan tetap dibandingkan eksistensi yang bersifat kontingen dan berubah-ubah.

Aristoteles, yang meletakkan dasar logika dan ontologi Barat, menyatakan bahwa esensi adalah “apa yang sesuatu itu adalah” (to ti ēn einai).² Ia membedakan antara substansi (ousia) yang primer, yaitu entitas individual seperti "Sokrates", dan esensinya, yaitu “manusia.” Dengan demikian, esensi adalah prinsip formalis yang membuat suatu entitas menjadi dirinya, bukan yang lain.³ Ini juga menjadi dasar sistem klasifikasi dalam logika dan sains: esensi memungkinkan pembentukan genus dan spesies.

Dalam pembahasan lebih lanjut, filsafat membuat distingsi antara esensi dan aksidensi. Sifat esensial adalah sifat yang tanpanya suatu entitas tidak lagi menjadi dirinya. Sebaliknya, aksidensi adalah sifat-sifat yang dapat berubah tanpa mengubah identitas hakiki suatu entitas. Misalnya, bentuk rasionalitas dalam manusia adalah esensial, sementara warna kulit atau tinggi badan adalah aksidensial.⁴ Perbedaan ini penting tidak hanya secara metafisik, tetapi juga dalam epistemologi dan etika, sebab ia menyangkut pengenalan terhadap “identitas sejati.”

Esensi juga sering dikaitkan dengan definisi, terutama dalam logika klasik Aristoteles. Definisi yang sempurna harus mencerminkan esensi dari suatu hal, bukan sekadar daftar ciri-ciri luarnya.⁵ Hal ini kemudian diadopsi dalam pemikiran skolastik, khususnya dalam sistematika ilmu-ilmu alam dan teologi abad pertengahan. Dengan mengenali esensi, manusia dapat mencapai pengetahuan yang pasti dan universal.

Namun demikian, pemahaman tentang esensi tidak bersifat seragam. Filsafat kontemporer banyak mengkritik esensialisme, dengan menyatakan bahwa banyak konsep yang dianggap esensial justru terbentuk secara sosial, historis, atau linguistik. Akan tetapi, secara filosofis, esensi tetap menjadi dasar bagi perdebatan ontologis, epistemologis, dan etis, menjadikannya sebagai pusat perhatian dalam diskursus metafisika klasik maupun modern.


Footnotes

[1]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 162–165.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 688–691.

[3]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.7, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[5]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 142.


3.           Sejarah Pemikiran tentang Esensi

Gagasan tentang esensi telah menjadi salah satu tema utama dalam sejarah filsafat, berkembang dari spekulasi metafisis awal di Yunani Kuno hingga kritik postmodern kontemporer. Setiap zaman filsafat memiliki cara tersendiri dalam memahami apa itu esensi, bagaimana ia diketahui, dan apa perannya dalam struktur realitas.

3.1.       Filsafat Yunani Kuno

Dalam tradisi filsafat Barat, pembahasan sistematis tentang esensi dimulai dengan Plato. Ia berpendapat bahwa realitas sejati terletak dalam dunia ide (Forms), bukan dalam benda-benda indrawi yang bersifat sementara dan berubah. Esensi dari sesuatu terletak pada partisipasinya dalam bentuk idealnya: seekor kuda di dunia nyata adalah kuda karena ia meniru Kudaan ideal dalam dunia ide.¹ Dalam pandangan ini, esensi bersifat transenden dan tetap, tak tergantung pada eksistensi partikular.

Berbeda dari gurunya, Aristoteles memindahkan pusat perhatian dari dunia ide ke dunia konkret. Menurutnya, esensi tidak berada di luar benda, melainkan melekat dalam substansi itu sendiri. Dalam karyanya Metaphysics, Aristoteles mendefinisikan esensi sebagai “apa yang sesuatu itu adalah” (to ti ēn einai).² Ia memperkenalkan konsep substansi primer (seperti Sokrates sebagai individu) dan substansi sekunder (seperti "manusia" sebagai spesies). Bagi Aristoteles, esensi tidak dapat dipisahkan dari materi dan eksistensi aktualnya, tetapi tetap menjadi prinsip pembeda yang penting secara ontologis.³

3.2.       Filsafat Islam dan Skolastik

Konsep esensi kemudian diperdalam dalam tradisi filsafat Islam, terutama oleh Ibn Sina (Avicenna). Ia mengemukakan distingsi tegas antara essentia dan existentia, yang menjadi salah satu fondasi utama metafisika Islam. Dalam kerangka ini, esensi adalah universal dan dapat dibayangkan tanpa keberadaan aktual, sedangkan eksistensi adalah aktualisasi dari potensi tersebut.⁴ Distingsi ini sangat memengaruhi filsafat skolastik Kristen.

Thomas Aquinas, tokoh skolastik terkemuka, mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dan Ibn Sina ke dalam teologi Kristen. Bagi Aquinas, hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya. Segala makhluk lain memiliki esensi yang berbeda dari eksistensinya, dan karenanya bergantung pada penyebab luar untuk eksis.⁵ Dalam sistemnya, esensi menjadi dasar penting dalam memahami penciptaan, hierarki makhluk, dan pengetahuan teologis.

3.3.       Modernisme dan Kritik Esensialisme

Masuk ke zaman modern, sejumlah filsuf mulai mempertanyakan validitas konsep esensi. René Descartes, meski masih mempertahankan dualisme substansi (pikiran dan tubuh), cenderung mereduksi esensi pada atribut dasar seperti berpikir (bagi substansi pikiran) dan ekstensi (bagi substansi materi).⁶

Selanjutnya, David Hume dan tradisi empirisisme Inggris meragukan keberadaan entitas metafisis seperti esensi. Hume berargumen bahwa semua ide berasal dari impresi-indrawi, dan konsep seperti substansi atau esensi hanyalah kebiasaan berpikir yang tidak berdasar dalam pengalaman langsung.⁷ Kritik ini menjadi awal dari gerakan nominalisme modern yang menolak realitas objektif dari esensi universal.

3.4.       Filsafat Kontemporer: Eksistensialisme dan Dekonstruksi

Abad ke-20 menghadirkan tantangan yang lebih tajam terhadap esensialisme, terutama dari gerakan eksistensialis. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa dalam kasus manusia, “eksistensi mendahului esensi” – artinya, manusia tidak diciptakan dengan hakikat tertentu, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan.⁸ Ini merupakan penolakan terhadap esensialisme metafisik yang menyatakan adanya kodrat manusia yang tetap.

Di sisi lain, dalam wacana postmodernisme dan dekonstruksi, tokoh seperti Jacques Derrida menolak kehadiran makna esensial dalam bahasa maupun objek. Esensi dianggap sebagai konstruksi dari jaringan tanda dan perbedaan, bukan sebagai inti tetap dari suatu makna.⁹ Dengan ini, konsep esensi tidak lagi menjadi dasar pengetahuan, melainkan dipersoalkan secara radikal.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 197–201.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 683–690.

[3]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 112.

[4]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 170–175.

[5]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 38–40.

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–60.

[7]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 20–26.

[8]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[9]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 10–12.


4.           Esensi dalam Ontologi

Dalam kerangka metafisika, ontologi merupakan studi tentang keberadaan secara umum, yakni tentang apa yang "ada" dan bagaimana entitas-entitas itu diklasifikasikan serta dihubungkan satu sama lain. Di dalam struktur ini, esensi memiliki peran fundamental sebagai prinsip pembeda yang menjelaskan identitas, keberlangsungan, dan keniscayaan suatu entitas. Tanpa konsep esensi, tidak mungkin membedakan antara realitas yang sejati dan hanya tampak belaka.

4.1.       Esensi sebagai Prinsip Identitas

Esensi bertindak sebagai inti hakiki yang memungkinkan kita mengatakan bahwa sesuatu adalah “itu” dan bukan “yang lain”. Aristoteles menyatakan bahwa "esensi adalah 'apa itu adalah' (to ti ēn einai)", yaitu struktur mendalam yang memungkinkan suatu entitas mempertahankan identitasnya dalam perubahan.¹ Dengan kata lain, meskipun suatu benda dapat mengalami transformasi aksidensial—seperti perubahan warna atau bentuk—identitas ontologisnya tetap jika esensinya tidak berubah.

Misalnya, seekor kucing yang kehilangan satu kakinya tetaplah seekor kucing karena perubahan tersebut tidak menyentuh esensinya sebagai makhluk hidup felin yang memiliki sifat-sifat dasar tertentu. Dalam konteks ini, esensi berfungsi sebagai landasan ontologis bagi kesinambungan eksistensial.

4.2.       Esensi dan Struktur Substansi

Dalam filsafat klasik, terutama dalam kerangka ontologi substansial, esensi menyatu dengan pengertian substansi (ousia)—entitas yang berdiri sendiri dan menjadi dasar bagi semua aksiden yang melekat padanya. Menurut Thomas Aquinas, substansi didefinisikan melalui esensinya, dan aksiden hanya mungkin dipahami dalam hubungannya dengan substansi tersebut.²

Lebih lanjut, bagi Aquinas dan pengikutnya, substansi tersusun dari forma (bentuk) dan materia (materi), di mana forma merupakan esensi aktual yang menginformasikan materi.³ Dengan demikian, esensi merupakan unsur formal yang memberikan struktur, arah, dan kemungkinan eksistensial bagi setiap entitas material.

4.3.       Esensi dan Keperluan Metafisik (Necessity)

Esensi juga dikaitkan dengan gagasan keniscayaan metafisik. Sesuatu dikatakan secara esensial X jika tidak mungkin ada tanpa menjadi X. Misalnya, manusia secara esensial adalah makhluk rasional: jika tidak memiliki rasionalitas, maka ia bukan manusia dalam pengertian metafisik.⁴ Hal ini penting untuk membedakan sifat-sifat yang kontingen (dapat berubah atau tidak perlu dimiliki) dengan yang esensial (mutlak diperlukan agar entitas itu menjadi dirinya sendiri).

Dalam ontologi modal, yang berkembang di abad ke-20, Saul Kripke memperkenalkan pembedaan antara kebenaran esensial dan kebenaran kontingen dalam kerangka kemungkinan dunia (possible worlds).⁵ Menurut Kripke, ada properti-properti yang harus dimiliki oleh suatu entitas di semua dunia yang mungkin jika ia hendak tetap menjadi entitas yang sama. Ini menegaskan bahwa esensi bersifat non-negosiasional dalam kerangka ontologis, bahkan dalam pemikiran kontemporer yang lebih analitis.

4.4.       Esensi dalam Hierarki Ontologis

Dalam banyak sistem metafisika tradisional, esensi juga berfungsi untuk mengklasifikasikan keberadaan dalam tingkatan ontologis. Filsafat Islam dan skolastik, misalnya, membedakan antara esensi makhluk dan esensi Tuhan. Hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya—yakni, Tuhan tidak memiliki potensi yang belum teraktualkan—sementara semua makhluk memiliki esensi yang membutuhkan aktualisasi eksternal untuk eksis.⁶ Ini menunjukkan bahwa esensi juga memuat implikasi ontoteologis: ia bukan hanya struktur benda, tapi juga mencerminkan modus keberadaan yang lebih tinggi atau rendah.


Kesimpulan Sementara

Secara keseluruhan, esensi memainkan peran ontologis yang vital sebagai prinsip identitas, pembeda antara substansi dan aksiden, landasan bagi keperluan metafisik, serta elemen klasifikatif dalam struktur realitas. Tanpa esensi, konsep tentang “apa itu sesuatu” kehilangan arah, dan seluruh bangunan metafisika akan runtuh ke dalam relativisme atau nihilisme ontologis.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 682–685.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.5, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 152.

[4]                David Oderberg, Real Essentialism (New York: Routledge, 2007), 30–34.

[5]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 110–116.

[6]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 185–188.


5.           Esensi dalam Epistemologi

Jika dalam ontologi esensi dipahami sebagai prinsip identitas dan pembeda dalam struktur realitas, maka dalam epistemologi, esensi menjadi fondasi pengetahuan universal dan objektif. Esensi memungkinkan pikiran manusia untuk mengenali, mengklasifikasikan, dan memahami berbagai entitas melalui konsep-konsep umum. Tanpa gagasan tentang esensi, pengetahuan akan terfragmentasi dan bersifat murni individual atau partikular.

5.1.       Esensi dan Pengetahuan Universal

Salah satu peran utama esensi dalam epistemologi adalah sebagai dasar bagi universalia—yakni konsep umum seperti “manusia”, “kuda”, atau “pohon”—yang dapat diterapkan pada berbagai individu. Dalam pemikiran Aristoteles, esensi suatu benda adalah yang diketahui oleh intelek melalui proses abstraksi, yaitu pemisahan bentuk (form) dari materi partikular.¹ Intelek menangkap apa sesuatu itu, bukan siapa atau di mana ia berada.

Demikian pula, Thomas Aquinas menyatakan bahwa “pengetahuan hanya terjadi ketika bentuk (baca: esensi) dari sesuatu hadir dalam intelek.”² Pengetahuan manusia bergantung pada kemampuan menangkap bentuk-bentuk universal dari realitas konkret, dan karenanya, esensi menjadi jembatan epistemik antara dunia realitas dan dunia pemikiran.

5.2.       Esensi dan Definisi Ilmiah

Dalam epistemologi klasik dan logika tradisional, definisi yang benar adalah definisi yang mengungkapkan esensi sesuatu, bukan hanya ciri-ciri luarnya. Definisi Aristotelian terdiri atas genus (keluarga umum) dan differentia (pembeda esensial), seperti dalam definisi manusia sebagai “animal rationale” (hewan yang rasional).³ Tanpa pemahaman tentang esensi, pengetahuan akan terbatas pada ciri-ciri aksidensial yang tidak menjelaskan inti dari suatu hal.

Hal ini penting dalam ilmu pengetahuan karena esensi menjadi landasan klasifikasi ilmiah. Dalam biologi Aristotelian, misalnya, spesies didefinisikan berdasarkan sifat esensial tertentu.⁴ Walaupun model ini kemudian dikritik oleh filsafat ilmu modern karena tidak cukup fleksibel untuk menjelaskan variasi evolusioner, tetap saja ia menyediakan dasar epistemologis yang kuat untuk memahami struktur pengetahuan manusia.

5.3.       Esensi dan Intuisi Intelektual

Dalam tradisi filsafat Islam, terutama pada pemikiran Ibn Sina dan Suhrawardi, esensi dapat diketahui tidak hanya melalui abstraksi empiris, tetapi juga melalui intuisi intelektual (ʿaqlīyah dhawqīyah). Menurut mereka, akal manusia memiliki kapasitas untuk menangkap realitas esensial secara langsung, tanpa perantara pengalaman inderawi.⁵ Pandangan ini mengakui hierarki pengetahuan, dari pengalaman empiris menuju pemahaman esensial yang bersifat immateri dan universal.

5.4.       Kritik Empirisisme dan Positivisme

Namun, konsep esensi dalam epistemologi tidak luput dari kritik. David Hume, tokoh utama empirisme, menyangsikan validitas konsep universal dan esensi. Ia berargumen bahwa semua ide harus berakar pada impresi indrawi; karenanya, “esensi” hanyalah generalisasi kebiasaan dari pengalaman berulang, bukan pengetahuan tentang realitas objektif.⁶

Dalam positivisme logis abad ke-20, ide-ide metafisik seperti esensi dianggap tak bermakna secara kognitif karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Tokoh seperti A.J. Ayer menolak pembicaraan tentang hakikat atau esensi sebagai “nonsense”, karena tidak terverifikasi oleh metode ilmiah.⁷ Hal ini menandai pemisahan tajam antara metafisika dan epistemologi dalam filsafat modern.

5.5.       Revitalisasi Konsep Esensi dalam Epistemologi Kontemporer

Namun demikian, beberapa filsuf kontemporer, seperti David Oderberg dan Edward Feser, kembali menegaskan bahwa tanpa konsep esensi, kita kehilangan dasar untuk menyusun proposisi ilmiah dan moral yang stabil. Mereka berargumen bahwa banyak bentuk pengetahuan—termasuk ilmu pengetahuan, logika, dan etika—secara implisit bergantung pada pemahaman bahwa ada sifat-sifat esensial yang menentukan identitas dan fungsi sesuatu.⁸


Kesimpulan Sementara

Peran esensi dalam epistemologi sangat mendalam: ia membentuk struktur konseptual, dasar definisi, dan validitas pengetahuan. Walaupun dikritik oleh pendekatan empiris dan positivistik, gagasan tentang esensi tetap menjadi kerangka dasar bagi upaya manusia untuk memahami dunia secara objektif dan koheren.


Footnotes

[1]                Aristotle, De Anima, trans. J.A. Smith, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 556–560.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.14, a.1, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 123–125.

[4]                David Oderberg, Real Essentialism (New York: Routledge, 2007), 45–49.

[5]                Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1999), 91–93.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 28–33.

[7]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 33–34.

[8]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 189–193.


6.           Kritik terhadap Konsep Esensi

Walaupun konsep esensi telah menjadi salah satu pilar utama dalam metafisika klasik dan epistemologi tradisional, pemikiran modern dan kontemporer menunjukkan kecenderungan kritis, bahkan penolakan terhadap gagasan ini. Kritik terhadap esensi muncul dari berbagai perspektif: nominalisme, empirisisme, eksistensialisme, hingga dekonstruksionisme dan konstruktivisme sosial. Penolakan ini seringkali menyangkut tuduhan bahwa esensi bersifat terlalu statis, esensialis, dan mengekang dinamika realitas dan kebebasan individu.

6.1.       Kritik Nominalisme: Penolakan terhadap Universal

Salah satu kritik awal datang dari aliran nominalisme, terutama pada abad pertengahan yang dipelopori oleh William of Ockham. Menurut Ockham, entitas universal seperti "manusia", "hewan", atau "keadilan" tidak memiliki eksistensi nyata di luar pikiran. Yang ada hanyalah individu-individu partikular, sementara istilah umum hanyalah nama-nama (nomina) yang digunakan untuk mempermudah komunikasi.¹ Oleh karena itu, berbicara tentang "esensi manusia" dianggap tidak lebih dari kebiasaan linguistik, bukan realitas metafisik.

Nominalisme ini kemudian mengakar kuat dalam pemikiran empiris modern dan menjadi tantangan serius bagi realisme esensial Aristotelian.

6.2.       Kritik Empirisisme: Reduksi pada Indrawi

Dalam tradisi empirisme modern, seperti yang digagas oleh John Locke dan David Hume, pengetahuan tentang dunia dianggap hanya dapat diperoleh dari pengalaman inderawi. Locke membedakan antara "real essence" (hakikat nyata) dan "nominal essence" (definisi buatan manusia), tetapi menyatakan bahwa esensi nyata tidak dapat diketahui secara pasti oleh manusia karena sifatnya yang tersembunyi di balik fenomena.²

Hume melangkah lebih jauh dengan menyangkal realitas metafisik seperti esensi atau substansi. Ia menyatakan bahwa kita tidak pernah mengalami “esensi manusia” dalam persepsi kita, hanya serangkaian kesan dan ide yang dikaitkan secara kebiasaan.³ Dengan demikian, klaim mengenai esensi dianggap sebagai spekulasi yang tidak berdasar dalam pengalaman nyata.

6.3.       Kritik Eksistensialisme: Eksistensi Mendahului Esensi

Kritik paling radikal terhadap esensi muncul dari filsafat eksistensialisme, khususnya dalam pemikiran Jean-Paul Sartre. Dalam bukunya Existentialism Is a Humanism, Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, yang berarti bahwa manusia tidak dilahirkan dengan hakikat bawaan, tetapi membentuk dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan.⁴

Pernyataan ini menolak seluruh fondasi metafisika klasik yang mengasumsikan bahwa manusia (dan entitas lainnya) memiliki identitas tetap yang mendahului pengalaman. Menurut eksistensialisme, esensialisme membatasi kebebasan dan tanggung jawab manusia, serta mendorong determinisme dan pandangan statis terhadap kehidupan.

6.4.       Kritik Post-Strukturalisme dan Dekonstruksi

Dalam filsafat kontemporer, terutama dalam arus post-strukturalisme dan dekonstruksionisme, kritik terhadap esensi menjadi lebih tajam dan bersifat epistemologis serta semiotik. Jacques Derrida, dalam karyanya Of Grammatology, menolak keberadaan makna tetap (esensial) dalam bahasa. Baginya, makna selalu bergeser melalui sistem perbedaan (différance), dan karenanya tidak ada pusat tetap yang dapat dianggap sebagai esensi.⁵

Pandangan ini berimplikasi luas tidak hanya bagi bahasa, tetapi juga bagi filsafat identitas, moralitas, dan bahkan ontologi. Segala bentuk esensialisme dilihat sebagai bentuk kekuasaan yang ingin membakukan makna dan mengendalikan perbedaan.

6.5.       Kritik Konstruktivisme Sosial: Esensi sebagai Produk Sosial

Dalam teori konstruktivisme sosial, esensi tidak dilihat sebagai sesuatu yang melekat dalam realitas itu sendiri, tetapi sebagai hasil konstruksi budaya, sejarah, dan kekuasaan. Tokoh seperti Michel Foucault menunjukkan bagaimana identitas seperti "perempuan", "penyakit mental", atau "penjahat" dibentuk secara diskursif, bukan berasal dari esensi biologis atau metafisik.⁶

Kritik ini sangat berpengaruh dalam wacana kontemporer tentang gender, ras, dan politik identitas. Dalam konteks ini, esensialisme dipandang berbahaya karena digunakan untuk melegitimasi stereotip, diskriminasi, dan dominasi sosial.


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik terhadap konsep esensi menyoroti pentingnya pendekatan dinamis terhadap realitas dan pengetahuan. Meskipun esensi tetap berguna dalam menjelaskan struktur dan identitas, banyak pemikir kontemporer memperingatkan bahwa penerapan esensialisme yang kaku dapat membatasi kebebasan, pluralitas, dan pemahaman kritis terhadap realitas yang kompleks. Oleh karena itu, pembelaan terhadap esensi dalam metafisika modern harus bersifat kontekstual, reflektif, dan terbuka terhadap koreksi.


Footnotes

[1]                William of Ockham, Ockham’s Theory of Terms, trans. Michael J. Loux (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1974), 39–45.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 22–27.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–26.

[5]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 23–27.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 25–30.


7.           Relevansi Konsep Esensi dalam Filsafat Kontemporer

Meskipun konsep esensi telah banyak dikritik sejak era modern, terutama oleh empirisisme, eksistensialisme, dan post-strukturalisme, gagasan ini tidak serta-merta kehilangan relevansi dalam filsafat kontemporer. Sebaliknya, terjadi revitalisasi dan reinterpretasi terhadap esensi dalam berbagai bidang, mulai dari metafisika analitik hingga etika, filsafat identitas, biologi filosofis, dan filsafat Islam kontemporer. Dalam konteks ini, esensi tidak lagi dipandang sebagai kebenaran absolut dan statis, tetapi sebagai prinsip ontologis dan epistemologis yang perlu ditafsirkan secara kontekstual dan kritis.

7.1.       Realisme Metafisika Kontemporer: Pembelaan terhadap Esensi

Dalam tradisi filsafat analitik, filsuf seperti David Oderberg dan Edward Feser membela konsep esensi dalam kerangka essentialism metafisik. Menurut mereka, esensi sangat diperlukan untuk memahami struktur ontologis dunia, terutama dalam menjelaskan sifat tetap dari entitas alami seperti spesies biologis, hukum alam, dan kausalitas.¹

Oderberg, dalam Real Essentialism, menolak pandangan bahwa esensi hanyalah konstruksi linguistik atau konseptual. Ia berargumen bahwa tanpa asumsi tentang esensi, kita tidak dapat menjelaskan mengapa air selalu membeku pada 0°C atau mengapa spesies tertentu memiliki sifat khas yang bertahan melintasi individu.² Esensi dalam pandangan ini dipulihkan sebagai dasar explanatory power dalam ilmu pengetahuan.

7.2.       Ontologi Modal: Esensi dan Kemungkinan Dunia

Dalam filsafat modal kontemporer, tokoh seperti Saul Kripke dan Kit Fine menunjukkan bahwa esensi memiliki peran penting dalam memahami modalitas metafisik, yaitu bagaimana sesuatu bisa atau tidak bisa ada dalam berbagai possible worlds. Kripke menegaskan bahwa beberapa predikat adalah esensial bagi suatu entitas—misalnya, bahwa “air adalah H₂O” bukanlah kebetulan, tetapi suatu keniscayaan esensial

Dengan demikian, esensi berfungsi sebagai prinsip identitas lintas dunia yang memungkinkan kita memahami konsep keharusan (necessity) dan kemungkinan (possibility) dengan lebih koheren dalam kerangka ontologi formal.

7.3.       Esensi dalam Filsafat Identitas dan Gender

Konsep esensi juga mendapat tempat dalam diskusi tentang identitas personal dan gender. Di satu sisi, kaum konstruktivis sosial menolak esensialisme gender sebagai bentuk penindasan. Namun di sisi lain, sebagian pemikir feminis kontemporer seperti Serene Khader mengajukan konsep "esensialisme kontekstual", yaitu pendekatan yang mengakui keberadaan struktur dasar dalam pengalaman perempuan tanpa mengabaikan keragaman dan dinamika historis.⁴

Dalam konteks ini, esensi tidak dipandang sebagai sifat tetap yang universal, tetapi sebagai pola pengalaman dan struktur makna yang relatif stabil dan bermakna dalam kerangka budaya tertentu.

7.4.       Esensi dan Filsafat Biologi

Dalam bidang filsafat biologi, terjadi perdebatan tajam antara esensialisme klasik dan pendekatan evolusioner. Para kritikus esensialisme seperti Elliott Sober berpendapat bahwa teori evolusi Darwinian menentang esensi biologis karena spesies bersifat dinamis dan berubah-ubah.⁵

Namun, belakangan muncul pendekatan baru seperti esensialisme struktural, yang menyatakan bahwa walaupun spesies dapat berubah, mereka tetap memiliki struktur dasar genetik atau fungsional yang memungkinkan klasifikasi ilmiah. Dalam pandangan ini, esensi dipahami secara fungsional dan dinamis, bukan sebagai bentuk ideal Platoan.

7.5.       Esensi dalam Filsafat Islam Kontemporer

Dalam filsafat Islam kontemporer, tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr dan Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan pentingnya esensi sebagai prinsip ontologis dan spiritual. Nasr menekankan bahwa modernitas telah kehilangan pemahaman tentang esensi, menggantikannya dengan relativisme dan fragmentasi pengetahuan. Ia mengadvokasi kembali ke pemahaman esensial dan hierarkis tentang realitas, sebagaimana dalam kosmologi tradisional Islam.⁶

Demikian pula, al-Attas mengembangkan konsep ta'dib (pendidikan) yang berlandaskan pada pengakuan terhadap esensi manusia sebagai makhluk berakal dan bermoral, yang harus dibina menuju kesempurnaan fitrahnya.⁷ Ini menegaskan bahwa esensi bukan hanya istilah metafisika, tetapi juga fondasi aksiologis dan praksis pendidikan Islam.


Kesimpulan Sementara

Relevansi esensi dalam filsafat kontemporer menunjukkan bahwa, meskipun dikritik keras, gagasan ini tetap tak tergantikan sebagai instrumen konseptual untuk menjelaskan struktur identitas, modalitas, ilmu pengetahuan, dan etika. Tantangan kontemporer justru mendorong kita untuk merefleksikan kembali esensi secara lebih dinamis, kontekstual, dan multidisipliner.


Footnotes

[1]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 145–147.

[2]                David S. Oderberg, Real Essentialism (New York: Routledge, 2007), 22–30.

[3]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 110–120.

[4]                Serene J. Khader, Decolonizing Universalism: A Transnational Feminist Ethic (New York: Oxford University Press, 2018), 45–48.

[5]                Elliott Sober, The Nature of Selection: Evolutionary Theory in Philosophical Focus (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 156–158.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 65–70.

[7]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 12–16.


8.           Komparasi Lintas Tradisi Filsafat

Konsep esensi tidak hanya menjadi bagian penting dalam filsafat Barat, tetapi juga mendapat tempat sentral dalam berbagai tradisi filsafat lain seperti filsafat Islam, filsafat India, dan filsafat Timur lainnya, seperti Taoisme dan Buddhisme Mahāyāna. Masing-masing tradisi menghadirkan perspektif yang unik dan memperkaya pemahaman kita tentang hakikat, keberadaan, dan struktur realitas. Perbandingan lintas tradisi ini menunjukkan bahwa konsep esensi, walaupun dipahami dan dirumuskan secara berbeda, merupakan upaya universal untuk menjelaskan identitas, perubahan, dan kebenaran dalam kerangka kosmologis dan ontologis.

8.1.       Filsafat Barat: Aristoteles dan Thomas Aquinas

Dalam filsafat Barat klasik, Aristoteles menekankan bahwa esensi adalah “apa yang sesuatu itu adalah” (to ti ēn einai), yang bersifat imanen dan aktual dalam substansi individual.¹ Esensi bukan entitas terpisah (seperti dalam pandangan Plato), melainkan bagian integral dari bentuk yang menginformasikan materi. Thomas Aquinas kemudian mengintegrasikan konsep ini ke dalam teologi Kristen, dengan membedakan antara essentia dan existentia, dan menyatakan bahwa hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya.²

Konsep esensi dalam filsafat Barat digunakan sebagai dasar untuk logika klasifikasi, epistemologi, dan teologi, serta menjadi fondasi utama bagi metafisika skolastik.

8.2.       Filsafat Islam: Ibn Sina dan Mulla Sadra

Dalam filsafat Islam, terutama pada Ibn Sina, esensi dipahami sebagai “apa”-nya sesuatu yang dapat dibedakan dari eksistensinya. Menurutnya, esensi dapat dibayangkan secara terpisah dari eksistensi, kecuali dalam kasus Tuhan.³ Esensi juga menjadi dasar klasifikasi ontologis antara wajib al-wujud (Yang Wajib Ada) dan mumkin al-wujud (yang mungkin ada), menjadikan konsep ini sangat penting dalam metafisika dan teologi Islam.

Namun, Mulla Sadra dari mazhab Hikmah Muta‘aliyah memberikan reinterpretasi dengan menyatakan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi, dalam doktrin ashālat al-wujūd (primordialitas eksistensi).⁴ Meski demikian, esensi tetap memainkan peran penting sebagai identitas potensial dari eksistensi, menjadikannya bagian integral dari dinamika perubahan dan kesempurnaan.

8.3.       Filsafat India: Upaniṣad, Vedānta, dan Buddhisme

Dalam filsafat India, konsep esensi (sering dikaitkan dengan ātman, svabhāva, atau brahman) menempati kedudukan metafisis yang tinggi. Dalam tradisi Vedānta, misalnya, esensi semua realitas adalah Brahman, yaitu realitas absolut, tak berubah, dan tak terbagi. Segala bentuk pluralitas adalah ilusi (māyā), dan tujuan tertinggi manusia adalah menyadari kesatuan antara ātman (diri sejati) dan brahman.⁵

Sebaliknya, dalam Buddhisme Mahāyāna, terutama aliran Madhyamaka yang dipelopori oleh Nāgārjuna, doktrin śūnyatā (kekosongan) menyangkal adanya esensi tetap dalam segala fenomena. Menurut pandangan ini, segala sesuatu bersifat bergantungan (pratītyasamutpāda) dan karenanya tanpa hakikat mandiri (niḥsvabhāva).⁶ Kritik terhadap esensi ini menjadi salah satu pilar pembeda utama antara Buddhisme dan tradisi metafisika esensialis lainnya.

8.4.       Filsafat Timur Lainnya: Taoisme dan Konsepsi Dinamis

Dalam Taoisme, seperti terlihat dalam ajaran Laozi di Dao De Jing, tidak ditemukan konsep esensi dalam pengertian ontologis formal, tetapi terdapat pemahaman bahwa realitas adalah perubahan yang terus-menerus dan tidak terdefinisikan. Esensi dalam konteks ini digantikan oleh prinsip Dao, yaitu "Jalan" yang menjadi sumber dan pola dinamis dari segala sesuatu.⁷

Alih-alih menyelidiki “apa itu sesuatu”, Taoisme justru menekankan “bagaimana sesuatu berada dan berubah”. Hal ini menyajikan kritik implisit terhadap pendekatan yang terlalu esensialis, dan mengarah pada pandangan yang lebih cair terhadap realitas.

8.5.       Perbandingan dan Implikasi Filosofis

Pemahaman tentang esensi di berbagai tradisi filsafat mencerminkan pandangan ontologis dan kosmologis yang sangat berbeda. Masing-masing tradisi membawa perspektif khas yang menyoroti baik peran penting maupun keterbatasan konsep esensi dalam menjelaskan realitas.

8.5.1.      Filsafat Barat (Aristoteles)

·                     Esensi dipahami sebagai bentuk (form) yang imanen dalam substansi.

·                     Esensi tidak terpisah dari benda; ia adalah prinsip yang menjadikan suatu entitas menjadi dirinya.

·                     Berfungsi sebagai dasar bagi sistem klasifikasi, penalaran logis, dan pengetahuan ilmiah.

·                     Mendasari struktur pemikiran filsafat Barat sejak zaman klasik hingga skolastik.

8.5.2.      Filsafat Islam (Ibn Sina dan Mulla Sadra)

·                     Ibn Sina memandang esensi sebagai terpisah dari eksistensi dan mendasari klasifikasi ontologis antara makhluk dan Tuhan.

·                     Mulla Sadra memperkenalkan konsep ashālat al-wujūd (keprimordialan eksistensi), namun tetap mempertahankan fungsi esensi sebagai potensi identitas.

·                     Esensi berperan penting dalam metafisika, kosmologi Islam, dan kerangka etika spiritual.

8.5.3.      Filsafat India (Vedānta)

·                     Esensi diidentifikasi dengan Brahman, yaitu realitas tertinggi dan absolut.

·                     Seluruh entitas dianggap sebagai manifestasi dari Brahman; pluralitas hanya bersifat ilusif (māyā).

·                     Konsep esensi menjadi dasar spiritualitas dan pembebasan (mokṣa).

8.5.4.      Filsafat Buddhis (Mahāyāna, Madhyamaka)

·                     Menolak konsep esensi: semua fenomena bersifat kosong (śūnyatā) dan saling bergantungan (pratītyasamutpāda).

·                     Tidak ada substansi atau hakikat yang tetap; realitas bersifat dinamis dan tanpa identitas tetap.

·                     Kritik ini menjadi salah satu fondasi anti-esensialisme filosofis yang radikal.

8.5.5.      Filsafat Timur Lainnya (Taoisme)

·                     Tidak mengenal esensi sebagai entitas formal atau tetap.

·                     Prinsip Dao menggantikan konsep esensi: ia adalah sumber dan irama perubahan dari segala sesuatu.

·                     Realitas dianggap cair, tak terdefinisikan, dan mengalir secara alami (wu wei).

8.5.6.    Implikasi Filosofis Umum:

·                     Tradisi Barat dan Islam cenderung melihat esensi sebagai struktur internal dan tetap yang mendasari realitas.

·                     Tradisi India dan Timur menekankan non-dualisme, kekosongan, atau dinamika, yang mengarah pada penolakan atau redefinisi terhadap esensi.

·                     Perbandingan ini mengajak refleksi lintas tradisi bahwa konsep “apa itu sesuatu” bisa dipahami secara esensialis maupun anti-esensialis, tergantung pada horizon metafisik yang digunakan.

Komparasi ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang esensi berakar pada pandangan kosmologis dan eksistensial yang khas dalam masing-masing tradisi. Dalam tradisi Barat dan Islam, esensi memainkan peran strukturatif dan hierarkis. Dalam tradisi India dan Timur, esensi cenderung dilihat sebagai ilusi atau diredefinisikan dalam bentuk yang lebih spiritual dan non-dualistik.


Kesimpulan Sementara

Pemahaman lintas tradisi terhadap esensi memperkaya diskursus metafisika dengan memperlihatkan pluralitas pendekatan terhadap pertanyaan yang sama: Apa hakikat sesuatu? Komparasi ini bukan hanya membuka ruang dialog antar-peradaban, tetapi juga mendorong pembaruan filosofis yang transkultural, reflektif, dan integratif dalam menjawab problem metafisika di era kontemporer.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 682–685.

[2]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 37–39.

[3]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 165–170.

[4]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of Mulla Sadra, trans. Ibrahim Kalin (London: I.B. Tauris, 2010), 52–55.

[5]                Radhakrishnan, Sarvepalli, The Principal Upanishads (London: George Allen & Unwin, 1953), 70–74.

[6]                Nāgārjuna, The Fundamental Wisdom of the Middle Way, trans. Jay Garfield (Oxford: Oxford University Press, 1995), 25–30.

[7]                Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (New York: Penguin Books, 1963), §1–5.


9.           Implikasi Ontologis dan Etis

Konsep esensi, selain memiliki dimensi ontologis dan epistemologis yang kuat, juga membawa konsekuensi etis yang signifikan. Pemahaman tentang apa sesuatu itu secara mendalam turut menentukan bagaimana sesuatu seharusnya ada dan diperlakukan. Oleh karena itu, dalam sejarah filsafat, diskursus mengenai esensi bukan hanya menyangkut struktur metafisik realitas, tetapi juga menyentuh dasar-dasar moralitas, tujuan hidup, dan nilai.

9.1.       Implikasi Ontologis: Struktur, Keberadaan, dan Hierarki

1)                  Penentuan Identitas dan Kategori

Esensi menyediakan dasar bagi klasifikasi ontologis seperti manusia, hewan, benda mati, bahkan makhluk metafisik. Aristoteles memandang esensi sebagai prinsip identitas yang memungkinkan penggolongan realitas.¹ Tanpa esensi, tidak ada struktur yang stabil untuk memahami keberadaan.

Dalam konteks ini, hierarki ontologis terbentuk, sebagaimana dalam pemikiran skolastik dan filsafat Islam: Tuhan sebagai wajib al-wujūd, manusia sebagai makhluk rasional, dan hewan sebagai makhluk dengan jiwa vegetatif dan sensitif.²

2)                  Keteraturan dan Teleologi Kosmis

Dalam pandangan esensialis, setiap entitas memiliki tujuan (telos) yang melekat pada esensinya. Manusia, sebagai makhluk rasional, dianggap memiliki tujuan untuk mencapai kebahagiaan melalui kebajikan.³

Esensi menjadi panduan ontologis tentang bagaimana sesuatu seharusnya berkembang atau berfungsi secara optimal dalam tatanan kosmis. Hal ini menjadi dasar pemikiran Aristotelian dan juga tradisi natural law.

9.2.       Implikasi Etis: Hakikat, Nilai, dan Kewajiban

1)                  Esensi dan Norma Moral

Dalam filsafat moral klasik, esensi manusia sebagai makhluk rasional dan berkehendak bebas menjadi dasar normativitas etis. Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum moral alamiah (lex naturalis) berpijak pada esensi manusia sebagai makhluk ciptaan yang dikehendaki menuju kebaikan.⁴

Dengan mengenali esensi manusia, seseorang dapat mengetahui kodrat moralnya dan merumuskan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai kebaikan universal (seperti keadilan, kejujuran, dan kesetiaan).

2)                  Hak dan Martabat

Pemikiran kontemporer juga menjadikan esensi sebagai dasar martabat manusia. Dalam dokumen Universal Declaration of Human Rights, pengakuan terhadap “martabat yang melekat” mencerminkan suatu asumsi esensialis bahwa manusia memiliki hakikat tertentu yang harus dihormati.⁵

Filsuf personalis seperti Jacques Maritain menegaskan bahwa hak asasi manusia lahir dari pengakuan terhadap esensi spiritual manusia yang melampaui utilitas atau konstruksi sosial.⁶

3)                  Tanggung Jawab dan Pengembangan Diri

Pemahaman tentang esensi sebagai potensi memungkinkan dasar bagi etika pengembangan diri (virtue ethics). Jika manusia memiliki potensi esensial untuk menjadi bijaksana atau adil, maka tugas etisnya adalah mengaktualkan potensi tersebut melalui kebiasaan dan pendidikan.

Ini juga berlaku dalam filsafat Islam: fitrah manusia sebagai makhluk bertauhid menjadi dasar tanggung jawab etis untuk menjalani hidup sesuai dengan perintah Ilahi.⁷

9.3.       Tantangan Etis terhadap Esensialisme

Meskipun banyak etika tradisional dibangun di atas dasar esensi, beberapa kritik kontemporer memperingatkan bahaya dari penerapan esensialisme secara kaku:

·                     Dalam isu gender dan seksualitas, esensialisme sering digunakan untuk membenarkan stereotip dan peran yang membatasi. Filsuf feminis seperti Judith Butler mengkritik bahwa klaim tentang “esensi perempuan” sering kali digunakan untuk menopang struktur patriarki.⁸

·                     Dalam ranah politik dan sosial, klaim esensialis terhadap ras, etnis, atau budaya dapat menjadi sumber eksklusi dan dominasi, sebagaimana terlihat dalam wacana kolonialisme atau nasionalisme ekstrem.

Namun demikian, kritik-kritik ini tidak harus menolak konsep esensi secara total, melainkan mengarahkan agar pemahaman esensial dilakukan secara reflektif, terbuka, dan etis, bukan sebagai alat penindasan atau generalisasi buta.


Kesimpulan Sementara

Esensi tidak hanya memberikan struktur bagi pemahaman realitas (ontologi), tetapi juga menjadi dasar normatif bagi etika dan hukum. Dengan menegaskan hakikat manusia sebagai makhluk bernalar dan bermoral, konsep esensi tetap relevan sebagai kerangka dalam membangun nilai, martabat, dan tanggung jawab etis di tengah dunia yang semakin cair dan relativistik. Namun, penerapannya harus dilakukan dengan kebijaksanaan dan kesadaran konteks agar tidak terjebak dalam absolutisme atau diskriminasi.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 682–685.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2–5, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book I.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.94, a.2.

[5]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948, Preamble and Article 1.

[6]                Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 76–78.

[7]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 44–45.

[8]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 6–9.


10.       Simpulan dan Refleksi Filosofis

Kajian mengenai esensi dalam metafisika memperlihatkan betapa mendalam dan luasnya peran konsep ini dalam membentuk struktur pemikiran filosofis, dari ontologi dan epistemologi, hingga etika dan praksis sosial. Dari Aristoteles hingga Derrida, dari Ibn Sina hingga Nāgārjuna, esensi telah menjadi medan dialektika universal dalam pencarian makna hakiki dari keberadaan.

10.1.    Simpulan Utama:

1)                  Esensi sebagai Prinsip Identitas dan Ketetapan

Dalam tradisi filsafat klasik dan skolastik, esensi dipahami sebagai prinsip yang menentukan “apa itu sesuatu”, membedakannya dari segala yang lain.¹

Tanpa konsep ini, filsafat kehilangan dasar untuk menjelaskan perubahan, kontinuitas, dan pengenalan.

2)                  Perbedaan antara Esensi dan Eksistensi

Filsafat Islam dan skolastik memperjelas distingsi antara essentia dan existentia, menempatkan esensi sebagai potensi identitas dan eksistensi sebagai aktualisasi.²

Hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya, sedang segala makhluk berada dalam kontingensi.

3)                  Esensi dan Pengetahuan

Dalam epistemologi, esensi memungkinkan manusia untuk mengenal dunia secara universal melalui abstraksi dan definisi.³

Meskipun dikritik oleh empirisisme dan positivisme, gagasan esensi tetap menjadi pilar dalam sistem ilmu dan logika.

4)                  Esensi dalam Etika dan Nilai

Esensi manusia sebagai makhluk rasional dan moral menjadi dasar bagi teori etika, hukum alam, dan hak asasi manusia.⁴

Namun, penerapan esensialisme yang kaku dapat menimbulkan bias, stereotip, dan penindasan struktural.

5)                  Pluralitas Pandangan Lintas Tradisi

Dalam komparasi lintas tradisi, tampak bahwa esensi dipahami secara beragam: sebagai prinsip ilahi (Vedānta), ilusi (Buddhisme), atau pola dinamis (Taoisme).⁵

Hal ini memperlihatkan bahwa esensi bukan sekadar kategori tetap, melainkan juga refleksi dari kosmologi dan etos masing-masing peradaban.

10.2.    Refleksi Filosofis

·                     Esensi dan Ketegangan Antara Kestabilan dan Perubahan:

Konsep esensi merepresentasikan aspirasi filsafat untuk menemukan tatanan yang tetap di tengah dunia yang senantiasa berubah. Namun demikian, sejarah filsafat juga memperlihatkan bahwa realitas tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh definisi statis. Maka, pemikiran tentang esensi harus disandingkan dengan pemahaman terhadap dinamika dan kontingensi.

·                     Kebutuhan Akan Esensialisme Kritis:

Di tengah arus relativisme kontemporer, esensialisme tidak harus ditinggalkan, melainkan harus direformulasi secara kritis dan reflektif. Esensi dapat difungsikan sebagai kerangka untuk memahami identitas, tanggung jawab moral, dan struktur kognitif, selama tidak digunakan untuk menjustifikasi eksklusivisme atau reduksionisme.⁶

·                     Dari Metafisika ke Etika Global:

Dalam dunia yang plural dan terfragmentasi, pemahaman lintas budaya terhadap esensi dapat menjadi jembatan dialog filosofis global. Pengakuan bahwa setiap tradisi memiliki cara tersendiri dalam memahami “hakikat” mengantar kita pada etos kerendahan hati filosofis, yang tidak menafikan perbedaan, tetapi mengupayakan keterpahaman.


Penutup

Dengan meninjau kembali konsep esensi melalui lensa sejarah, perbandingan tradisi, dan refleksi kritis, kita tidak hanya merevitalisasi wacana metafisika klasik, tetapi juga membuka jalan bagi filsafat yang lebih manusiawi, interkultural, dan bertanggung jawab secara etis. Esensi, pada akhirnya, bukan sekadar pertanyaan tentang “apa itu sesuatu”, melainkan juga tentang bagaimana kita memahami diri, dunia, dan tanggung jawab kita di dalamnya.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 683–690.

[2]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 29–38.

[3]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 111–117.

[4]                Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 74–76.

[5]                Nāgārjuna, The Fundamental Wisdom of the Middle Way, trans. Jay Garfield (Oxford: Oxford University Press, 1995), 25–30; Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (New York: Penguin Books, 1963), §1–5.

[6]                Judith Butler, Undoing Gender (New York: Routledge, 2004), 182–185.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Aquinas, T. (1968). On being and essence (A. Maurer, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926). Modern Library.

Aristotle. (2001). De anima (J. A. Smith, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 535–603). Modern Library.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Butler, J. (2004). Undoing gender. Routledge.

Derrida, J. (1997). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press. (Original work published 1967)

Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.

Feser, E. (2019). Aristotle’s revenge: The metaphysical foundations of physical and biological science. Editiones Scholasticae.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.

Garfield, J. (Trans.). (1995). The fundamental wisdom of the middle way: Nāgārjuna's Mūlamadhyamakakārikā. Oxford University Press.

Hume, D. (1993). An enquiry concerning human understanding (E. Steinberg, Ed.). Hackett Publishing. (Original work published 1748)

Khader, S. J. (2018). Decolonizing universalism: A transnational feminist ethic. Oxford University Press.

Kripke, S. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Laozi. (1963). Tao te ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin Books.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1690)

Maritain, J. (1951). Man and the state. University of Chicago Press.

Mulla Sadra. (2010). The transcendent philosophy of Mulla Sadra (I. Kalin, Trans.). I.B. Tauris.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nāgārjuna. (1995). The fundamental wisdom of the middle way (J. Garfield, Trans.). Oxford University Press.

Oderberg, D. S. (2007). Real essentialism. Routledge.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Sober, E. (1984). The nature of selection: Evolutionary theory in philosophical focus. University of Chicago Press.

Suhrawardi. (1999). The philosophy of illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University Press.

United Nations. (1948). Universal declaration of human rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar