Esensi dalam Metafisika
Hakikat, Peran Ontologis, dan Implikasinya terhadap
Pemikiran Filsafat
Alihkan ke: Metafisika.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif tentang
konsep esensi dalam metafisika, dengan menelaah perannya dalam struktur
realitas, pengetahuan, nilai, dan identitas. Dimulai dari pandangan klasik
Aristoteles dan skolastisisme, dilanjutkan dengan eksplorasi dalam tradisi
Islam (Ibn Sina dan Mulla Sadra), hingga kritik tajam dari empirisisme,
eksistensialisme, dan post-strukturalisme, artikel ini menelusuri bagaimana
esensi menjadi medan dialektika antara kestabilan dan perubahan. Melalui
pendekatan komparatif lintas tradisi filsafat—Barat, Islam, Vedānta, Buddhisme
Mahāyāna, dan Taoisme—ditekankan bahwa pemahaman terhadap esensi sangat dipengaruhi
oleh horizon ontologis dan kosmologis masing-masing. Artikel ini juga menyoroti
implikasi ontologis dan etis dari esensi dalam menjelaskan identitas, norma
moral, martabat manusia, dan tanggung jawab etis, serta mengusulkan perlunya
esensialisme kritis yang terbuka terhadap konteks dan dinamika realitas. Dengan
landasan argumentasi filosofis dan referensi lintas budaya, tulisan ini
berkontribusi pada revitalisasi wacana metafisika yang bersifat reflektif,
integratif, dan transkultural.
Kata Kunci: Esensi, Metafisika, Ontologi, Epistemologi, Etika,
Tradisi Filsafat, Eksistensialisme, Perbandingan Lintas Budaya, Identitas,
Filsafat Islam.
PEMBAHASAN
Kajian tentang Esensi dalam Metafisika
1.
Pendahuluan
Metafisika, sebagai
cabang filsafat yang tertua dan paling mendasar, bertujuan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan hakiki mengenai keberadaan, realitas, dan struktur
terdalam dari segala sesuatu. Dalam kerangka metafisika ini, konsep esensi
atau hakikat sesuatu memegang peranan sentral. Esensi merujuk pada apa
dari sesuatu yang membuatnya menjadi dirinya sendiri dan bukan yang lain.
Konsep ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi, membedakan, dan memahami
suatu entitas secara konsisten dalam kerangka realitas ontologis.
Sejak zaman Yunani
Kuno, filsuf-filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles
telah memulai eksplorasi sistematis terhadap hakikat esensial dari segala
sesuatu. Plato mengemukakan gagasan bahwa benda-benda dunia ini hanyalah
bayangan dari bentuk-bentuk ideal yang tak berubah, yang disebut Forms
atau Ideas,
dan esensi suatu benda adalah partisipasinya dalam bentuk ideal itu.¹ Sementara
itu, Aristoteles menggeser fokus dari dunia ideal ke dunia nyata, dengan
menekankan bahwa esensi melekat pada substansi melalui bentuk (form)
yang bersama materi membentuk keberadaan aktual.²
Dalam tradisi
filsafat Islam dan Skolastik, persoalan esensi berkembang lebih lanjut. Ibn Sina
(Avicenna) memperkenalkan distingsi penting antara essentia (esensi) dan existentia
(eksistensi), yang kemudian diadopsi dan dimodifikasi oleh Thomas
Aquinas. Menurut mereka, esensi adalah “apa”-nya
sesuatu, sedangkan eksistensi adalah “bahwa”-nya sesuatu—artinya, bahwa
sesuatu itu sungguh ada.³ Distingsi ini sangat memengaruhi teologi dan filsafat
Barat abad pertengahan dan terus menjadi bahan diskusi metafisik hingga kini.
Di era modern dan
kontemporer, konsep esensi mendapat tantangan dari berbagai pemikiran yang
bersifat nominalis, empiris, dan eksistensialis. Jean-Paul
Sartre, misalnya, menolak esensialisme tradisional dengan
ungkapan terkenalnya bahwa “eksistensi mendahului esensi”, menyatakan
bahwa manusia tidak memiliki esensi bawaan dan membentuk dirinya sendiri
melalui kebebasan dan pilihan.⁴ Namun demikian, perdebatan ini justru
memperlihatkan betapa penting dan mendasarnya konsep esensi dalam berbagai
sistem filsafat.
Artikel ini
bertujuan untuk menyelami lebih dalam hakikat esensi, melacak asal-usul dan
perkembangannya dalam sejarah filsafat, menganalisis peran ontologisnya dalam
struktur realitas, serta meninjau relevansi dan kritik kontemporer terhadap
konsep tersebut. Dengan pendekatan yang mencakup perspektif klasik, modern, dan
lintas tradisi, kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang utuh dan
kritis terhadap salah satu pilar utama dalam bangunan metafisika.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 196–201.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
682–685.
[3]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 29–35.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
2.
Konsep Dasar Esensi
Dalam diskursus
metafisika, esensi (Latin: essentia)
merujuk pada inti atau hakikat sesuatu yang menjadikannya apa
adanya dan membedakannya dari segala yang lain. Esensi bukan
sekadar sifat atau karakteristik yang dimiliki suatu entitas, melainkan
merupakan unsur mendasar yang menentukan identitas ontologisnya. Konsep ini
mendasari banyak pertanyaan filosofis: Apa yang menjadikan seekor kuda tetap
kuda, walau warna, ukuran, atau tempatnya berubah? Apa yang membedakan manusia
dari makhluk lain?
Secara klasik, esensi
sering dibedakan dari eksistensi. Jika eksistensi adalah
keberadaan aktual suatu hal (“bahwa” ia ada), maka esensi adalah
definisi atau bentuk dari sesuatu (“apa” ia itu). Dalam kerangka
pemikiran Ibn Sina (Avicenna), esensi bisa
dipahami tanpa perlu eksistensi—esensi manusia dapat dibayangkan meski
belum ada manusia tertentu yang eksis.¹ Oleh karena itu, esensi dipandang lebih
stabil dan tetap dibandingkan eksistensi yang bersifat kontingen dan
berubah-ubah.
Aristoteles,
yang meletakkan dasar logika dan ontologi Barat, menyatakan bahwa esensi adalah
“apa
yang sesuatu itu adalah” (to ti ēn einai).² Ia membedakan
antara substansi (ousia) yang primer, yaitu entitas
individual seperti "Sokrates", dan esensinya, yaitu “manusia.”
Dengan demikian, esensi adalah prinsip formalis yang membuat suatu entitas
menjadi dirinya, bukan yang lain.³ Ini juga menjadi dasar sistem klasifikasi
dalam logika dan sains: esensi memungkinkan pembentukan genus dan spesies.
Dalam pembahasan
lebih lanjut, filsafat membuat distingsi antara esensi dan aksidensi.
Sifat esensial adalah sifat yang tanpanya suatu entitas tidak lagi menjadi
dirinya. Sebaliknya, aksidensi adalah sifat-sifat yang dapat berubah tanpa
mengubah identitas hakiki suatu entitas. Misalnya, bentuk rasionalitas dalam
manusia adalah esensial, sementara warna kulit atau tinggi badan adalah
aksidensial.⁴ Perbedaan ini penting tidak hanya secara metafisik, tetapi juga
dalam epistemologi dan etika, sebab ia menyangkut pengenalan terhadap “identitas
sejati.”
Esensi
juga sering dikaitkan dengan definisi, terutama dalam logika
klasik Aristoteles. Definisi yang sempurna harus mencerminkan esensi dari suatu
hal, bukan sekadar daftar ciri-ciri luarnya.⁵ Hal ini kemudian diadopsi dalam
pemikiran skolastik, khususnya dalam sistematika ilmu-ilmu alam dan teologi
abad pertengahan. Dengan mengenali esensi, manusia dapat mencapai pengetahuan
yang pasti dan universal.
Namun demikian,
pemahaman tentang esensi tidak bersifat seragam. Filsafat kontemporer banyak
mengkritik esensialisme, dengan menyatakan bahwa banyak konsep yang dianggap
esensial justru terbentuk secara sosial, historis, atau linguistik. Akan
tetapi, secara filosofis, esensi tetap menjadi dasar bagi perdebatan
ontologis, epistemologis, dan etis, menjadikannya sebagai pusat
perhatian dalam diskursus metafisika klasik maupun modern.
Footnotes
[1]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 162–165.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
688–691.
[3]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 45.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.7, trans. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[5]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 142.
3.
Sejarah Pemikiran tentang Esensi
Gagasan tentang esensi
telah menjadi salah satu tema utama dalam sejarah filsafat, berkembang dari
spekulasi metafisis awal di Yunani Kuno hingga kritik postmodern kontemporer.
Setiap zaman filsafat memiliki cara tersendiri dalam memahami apa itu esensi,
bagaimana ia diketahui, dan apa perannya dalam struktur realitas.
3.1.
Filsafat Yunani Kuno
Dalam tradisi
filsafat Barat, pembahasan sistematis tentang esensi dimulai dengan Plato.
Ia berpendapat bahwa realitas sejati terletak dalam dunia ide (Forms), bukan
dalam benda-benda indrawi yang bersifat sementara dan berubah. Esensi dari
sesuatu terletak pada partisipasinya dalam bentuk idealnya: seekor kuda di
dunia nyata adalah kuda karena ia meniru Kudaan ideal dalam dunia ide.¹
Dalam pandangan ini, esensi bersifat transenden dan tetap, tak tergantung pada
eksistensi partikular.
Berbeda dari
gurunya, Aristoteles memindahkan pusat
perhatian dari dunia ide ke dunia konkret. Menurutnya, esensi tidak berada di
luar benda, melainkan melekat dalam substansi itu sendiri. Dalam karyanya Metaphysics,
Aristoteles mendefinisikan esensi sebagai “apa yang sesuatu itu adalah”
(to ti ēn
einai).² Ia memperkenalkan konsep substansi primer (seperti
Sokrates sebagai individu) dan substansi sekunder (seperti
"manusia" sebagai spesies). Bagi Aristoteles, esensi tidak
dapat dipisahkan dari materi dan eksistensi aktualnya, tetapi tetap menjadi
prinsip pembeda yang penting secara ontologis.³
3.2.
Filsafat Islam dan Skolastik
Konsep esensi
kemudian diperdalam dalam tradisi filsafat Islam, terutama oleh Ibn Sina
(Avicenna). Ia mengemukakan distingsi tegas antara essentia
dan existentia,
yang menjadi salah satu fondasi utama metafisika Islam. Dalam kerangka ini,
esensi adalah universal dan dapat dibayangkan tanpa keberadaan aktual,
sedangkan eksistensi adalah aktualisasi dari potensi tersebut.⁴ Distingsi ini
sangat memengaruhi filsafat skolastik Kristen.
Thomas
Aquinas, tokoh skolastik terkemuka, mengintegrasikan pemikiran
Aristoteles dan Ibn Sina ke dalam teologi Kristen. Bagi Aquinas, hanya Tuhan
yang esensinya identik dengan eksistensinya. Segala makhluk lain memiliki
esensi yang berbeda dari eksistensinya, dan karenanya bergantung pada penyebab
luar untuk eksis.⁵ Dalam sistemnya, esensi menjadi dasar penting dalam memahami
penciptaan, hierarki makhluk, dan pengetahuan teologis.
3.3.
Modernisme dan Kritik Esensialisme
Masuk ke zaman
modern, sejumlah filsuf mulai mempertanyakan validitas konsep esensi. René
Descartes, meski masih mempertahankan dualisme substansi
(pikiran dan tubuh), cenderung mereduksi esensi pada atribut dasar seperti
berpikir (bagi substansi pikiran) dan ekstensi (bagi substansi materi).⁶
Selanjutnya, David
Hume dan tradisi empirisisme Inggris meragukan keberadaan
entitas metafisis seperti esensi. Hume berargumen bahwa semua ide berasal dari
impresi-indrawi, dan konsep seperti substansi atau esensi hanyalah kebiasaan
berpikir yang tidak berdasar dalam pengalaman langsung.⁷ Kritik ini menjadi
awal dari gerakan nominalisme modern yang menolak realitas objektif dari esensi
universal.
3.4.
Filsafat Kontemporer: Eksistensialisme dan
Dekonstruksi
Abad ke-20
menghadirkan tantangan yang lebih tajam terhadap esensialisme, terutama dari
gerakan eksistensialis. Jean-Paul
Sartre menyatakan bahwa dalam kasus manusia, “eksistensi
mendahului esensi” – artinya, manusia tidak diciptakan dengan hakikat
tertentu, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan.⁸
Ini merupakan penolakan terhadap esensialisme metafisik yang menyatakan adanya
kodrat manusia yang tetap.
Di sisi lain, dalam
wacana postmodernisme
dan dekonstruksi, tokoh seperti Jacques Derrida menolak
kehadiran makna esensial dalam bahasa maupun objek. Esensi dianggap sebagai
konstruksi dari jaringan tanda dan perbedaan, bukan sebagai inti tetap dari
suatu makna.⁹ Dengan ini, konsep esensi tidak lagi menjadi dasar pengetahuan,
melainkan dipersoalkan secara radikal.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 197–201.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
683–690.
[3]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 112.
[4]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 170–175.
[5]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 38–40.
[6]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–60.
[7]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 20–26.
[8]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[9]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 10–12.
4.
Esensi dalam Ontologi
Dalam kerangka
metafisika, ontologi merupakan studi
tentang keberadaan secara umum, yakni tentang apa yang "ada"
dan bagaimana entitas-entitas itu diklasifikasikan serta dihubungkan satu sama
lain. Di dalam struktur ini, esensi memiliki peran
fundamental sebagai prinsip pembeda yang menjelaskan identitas,
keberlangsungan,
dan keniscayaan
suatu entitas. Tanpa konsep esensi, tidak mungkin membedakan antara realitas
yang sejati dan hanya tampak belaka.
4.1.
Esensi sebagai Prinsip Identitas
Esensi bertindak
sebagai inti hakiki yang memungkinkan kita mengatakan bahwa sesuatu adalah “itu”
dan bukan “yang lain”. Aristoteles menyatakan bahwa
"esensi adalah 'apa itu adalah' (to ti ēn einai)", yaitu
struktur mendalam yang memungkinkan suatu entitas mempertahankan identitasnya
dalam perubahan.¹ Dengan kata lain, meskipun suatu benda dapat mengalami
transformasi aksidensial—seperti perubahan warna atau bentuk—identitas
ontologisnya tetap jika esensinya tidak berubah.
Misalnya, seekor
kucing yang kehilangan satu kakinya tetaplah seekor kucing karena perubahan
tersebut tidak menyentuh esensinya sebagai makhluk hidup felin yang memiliki
sifat-sifat dasar tertentu. Dalam konteks ini, esensi berfungsi sebagai landasan ontologis
bagi kesinambungan eksistensial.
4.2.
Esensi dan Struktur Substansi
Dalam filsafat
klasik, terutama dalam kerangka ontologi substansial, esensi
menyatu dengan pengertian substansi (ousia)—entitas
yang berdiri sendiri dan menjadi dasar bagi semua aksiden yang melekat padanya.
Menurut Thomas Aquinas, substansi
didefinisikan melalui esensinya, dan aksiden hanya mungkin dipahami dalam
hubungannya dengan substansi tersebut.²
Lebih lanjut, bagi
Aquinas dan pengikutnya, substansi tersusun dari forma
(bentuk) dan materia (materi), di mana forma
merupakan esensi aktual yang menginformasikan materi.³ Dengan demikian, esensi
merupakan unsur formal yang memberikan struktur, arah, dan kemungkinan
eksistensial bagi setiap entitas material.
4.3.
Esensi dan Keperluan Metafisik (Necessity)
Esensi juga dikaitkan
dengan gagasan keniscayaan metafisik. Sesuatu
dikatakan secara esensial X jika tidak mungkin ada tanpa menjadi X. Misalnya,
manusia secara esensial adalah makhluk rasional: jika tidak memiliki
rasionalitas, maka ia bukan manusia dalam pengertian metafisik.⁴ Hal ini
penting untuk membedakan sifat-sifat yang kontingen (dapat berubah atau tidak
perlu dimiliki) dengan yang esensial (mutlak diperlukan agar entitas itu
menjadi dirinya sendiri).
Dalam ontologi
modal, yang berkembang di abad ke-20, Saul
Kripke memperkenalkan pembedaan antara kebenaran
esensial dan kebenaran kontingen dalam
kerangka kemungkinan dunia (possible worlds).⁵ Menurut Kripke,
ada properti-properti yang harus dimiliki oleh suatu entitas di semua dunia
yang mungkin jika ia hendak tetap menjadi entitas yang sama. Ini menegaskan
bahwa esensi
bersifat non-negosiasional dalam kerangka ontologis, bahkan
dalam pemikiran kontemporer yang lebih analitis.
4.4.
Esensi dalam Hierarki Ontologis
Dalam banyak sistem
metafisika tradisional, esensi juga berfungsi untuk mengklasifikasikan
keberadaan dalam tingkatan ontologis. Filsafat Islam dan
skolastik, misalnya, membedakan antara esensi makhluk dan esensi Tuhan. Hanya
Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya—yakni,
Tuhan tidak memiliki potensi yang belum teraktualkan—sementara semua makhluk
memiliki esensi yang membutuhkan aktualisasi eksternal untuk eksis.⁶ Ini
menunjukkan bahwa esensi juga memuat implikasi ontoteologis: ia bukan hanya
struktur benda, tapi juga mencerminkan modus keberadaan yang lebih tinggi
atau rendah.
Kesimpulan Sementara
Secara keseluruhan,
esensi memainkan peran ontologis yang vital sebagai prinsip identitas, pembeda
antara substansi dan aksiden, landasan bagi keperluan metafisik, serta elemen
klasifikatif dalam struktur realitas. Tanpa esensi, konsep tentang “apa itu
sesuatu” kehilangan arah, dan seluruh bangunan metafisika akan runtuh ke
dalam relativisme atau nihilisme ontologis.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
682–685.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.5, trans. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[3]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 152.
[4]
David Oderberg, Real Essentialism (New York: Routledge, 2007),
30–34.
[5]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 110–116.
[6]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 185–188.
5.
Esensi dalam Epistemologi
Jika dalam ontologi
esensi dipahami sebagai prinsip identitas dan pembeda dalam struktur realitas,
maka dalam epistemologi, esensi menjadi fondasi pengetahuan universal dan objektif.
Esensi memungkinkan pikiran manusia untuk mengenali, mengklasifikasikan, dan
memahami berbagai entitas melalui konsep-konsep umum. Tanpa gagasan tentang
esensi, pengetahuan akan terfragmentasi dan bersifat murni individual atau
partikular.
5.1.
Esensi dan Pengetahuan Universal
Salah satu peran
utama esensi dalam epistemologi adalah sebagai dasar bagi universalia—yakni
konsep umum seperti “manusia”, “kuda”, atau “pohon”—yang
dapat diterapkan pada berbagai individu. Dalam pemikiran Aristoteles,
esensi suatu benda adalah yang diketahui oleh intelek melalui proses abstraksi,
yaitu pemisahan bentuk (form) dari materi partikular.¹ Intelek menangkap apa
sesuatu itu, bukan siapa atau di mana ia berada.
Demikian pula, Thomas
Aquinas menyatakan bahwa “pengetahuan hanya terjadi ketika
bentuk (baca: esensi) dari sesuatu hadir dalam intelek.”²
Pengetahuan manusia bergantung pada kemampuan menangkap bentuk-bentuk universal
dari realitas konkret, dan karenanya, esensi menjadi jembatan epistemik antara
dunia realitas dan dunia pemikiran.
5.2.
Esensi dan Definisi Ilmiah
Dalam epistemologi
klasik dan logika tradisional, definisi yang benar adalah
definisi yang mengungkapkan esensi sesuatu, bukan hanya
ciri-ciri luarnya. Definisi Aristotelian terdiri atas genus (keluarga
umum) dan differentia (pembeda esensial), seperti dalam
definisi manusia sebagai “animal rationale” (hewan yang rasional).³ Tanpa
pemahaman tentang esensi, pengetahuan akan terbatas pada ciri-ciri aksidensial
yang tidak menjelaskan inti dari suatu hal.
Hal ini penting
dalam ilmu pengetahuan karena esensi menjadi landasan klasifikasi ilmiah.
Dalam biologi Aristotelian, misalnya, spesies didefinisikan berdasarkan sifat
esensial tertentu.⁴ Walaupun model ini kemudian dikritik oleh filsafat ilmu
modern karena tidak cukup fleksibel untuk menjelaskan variasi evolusioner,
tetap saja ia menyediakan dasar epistemologis yang kuat untuk memahami struktur
pengetahuan manusia.
5.3.
Esensi dan Intuisi Intelektual
Dalam tradisi filsafat
Islam, terutama pada pemikiran Ibn Sina dan Suhrawardi,
esensi dapat diketahui tidak hanya melalui abstraksi empiris, tetapi juga
melalui intuisi intelektual (ʿaqlīyah dhawqīyah).
Menurut mereka, akal manusia memiliki kapasitas untuk menangkap realitas
esensial secara langsung, tanpa perantara pengalaman inderawi.⁵ Pandangan ini
mengakui hierarki pengetahuan, dari pengalaman empiris menuju pemahaman
esensial yang bersifat immateri dan universal.
5.4.
Kritik Empirisisme dan Positivisme
Namun, konsep esensi
dalam epistemologi tidak luput dari kritik. David Hume, tokoh utama
empirisme, menyangsikan validitas konsep universal dan esensi. Ia berargumen
bahwa semua ide harus berakar pada impresi indrawi; karenanya, “esensi”
hanyalah generalisasi kebiasaan dari pengalaman berulang, bukan pengetahuan
tentang realitas objektif.⁶
Dalam positivisme
logis abad ke-20, ide-ide metafisik seperti esensi dianggap tak
bermakna secara kognitif karena tidak dapat diverifikasi secara
empiris. Tokoh seperti A.J. Ayer menolak pembicaraan
tentang hakikat atau esensi sebagai “nonsense”, karena tidak
terverifikasi oleh metode ilmiah.⁷ Hal ini menandai pemisahan tajam antara
metafisika dan epistemologi dalam filsafat modern.
5.5.
Revitalisasi Konsep Esensi dalam Epistemologi
Kontemporer
Namun demikian,
beberapa filsuf kontemporer, seperti David Oderberg dan Edward
Feser, kembali menegaskan bahwa tanpa konsep esensi, kita
kehilangan dasar untuk menyusun proposisi ilmiah dan moral yang stabil. Mereka
berargumen bahwa banyak bentuk pengetahuan—termasuk ilmu pengetahuan, logika,
dan etika—secara implisit bergantung pada pemahaman bahwa ada sifat-sifat
esensial yang menentukan identitas dan fungsi sesuatu.⁸
Kesimpulan Sementara
Peran esensi dalam
epistemologi sangat mendalam: ia membentuk struktur konseptual, dasar definisi,
dan validitas pengetahuan. Walaupun dikritik oleh pendekatan empiris dan
positivistik, gagasan tentang esensi tetap menjadi kerangka
dasar bagi upaya manusia untuk memahami dunia secara objektif dan koheren.
Footnotes
[1]
Aristotle, De Anima, trans. J.A. Smith, in The Basic Works
of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
556–560.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.14, a.1, trans. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[3]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae,
2019), 123–125.
[4]
David Oderberg, Real Essentialism (New York: Routledge, 2007),
45–49.
[5]
Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John
Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1999),
91–93.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 28–33.
[7]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 33–34.
[8]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 189–193.
6.
Kritik terhadap Konsep Esensi
Walaupun konsep esensi
telah menjadi salah satu pilar utama dalam metafisika klasik dan epistemologi
tradisional, pemikiran modern dan kontemporer menunjukkan kecenderungan kritis,
bahkan penolakan terhadap gagasan ini. Kritik terhadap esensi muncul dari
berbagai perspektif: nominalisme, empirisisme,
eksistensialisme,
hingga dekonstruksionisme
dan konstruktivisme
sosial. Penolakan ini seringkali menyangkut tuduhan bahwa esensi
bersifat terlalu statis, esensialis, dan mengekang dinamika realitas dan
kebebasan individu.
6.1.
Kritik Nominalisme: Penolakan terhadap
Universal
Salah satu kritik
awal datang dari aliran nominalisme, terutama pada abad
pertengahan yang dipelopori oleh William of Ockham. Menurut
Ockham, entitas universal seperti "manusia", "hewan",
atau "keadilan" tidak memiliki eksistensi nyata
di luar pikiran. Yang ada hanyalah individu-individu partikular, sementara
istilah umum hanyalah nama-nama (nomina) yang
digunakan untuk mempermudah komunikasi.¹ Oleh karena itu, berbicara tentang
"esensi manusia" dianggap tidak lebih dari kebiasaan
linguistik, bukan realitas metafisik.
Nominalisme ini
kemudian mengakar kuat dalam pemikiran empiris modern dan menjadi tantangan
serius bagi realisme esensial Aristotelian.
6.2.
Kritik Empirisisme: Reduksi pada Indrawi
Dalam tradisi empirisme
modern, seperti yang digagas oleh John
Locke dan David Hume, pengetahuan tentang
dunia dianggap hanya dapat diperoleh dari pengalaman inderawi. Locke membedakan
antara "real essence" (hakikat nyata) dan "nominal
essence" (definisi buatan manusia), tetapi menyatakan bahwa esensi
nyata tidak dapat diketahui secara pasti oleh manusia karena
sifatnya yang tersembunyi di balik fenomena.²
Hume melangkah lebih
jauh dengan menyangkal realitas metafisik seperti esensi atau substansi. Ia
menyatakan bahwa kita tidak pernah mengalami “esensi manusia” dalam
persepsi kita, hanya serangkaian kesan dan ide yang dikaitkan secara
kebiasaan.³ Dengan demikian, klaim mengenai esensi dianggap sebagai spekulasi
yang tidak berdasar dalam pengalaman nyata.
6.3.
Kritik Eksistensialisme: Eksistensi Mendahului
Esensi
Kritik paling
radikal terhadap esensi muncul dari filsafat eksistensialisme, khususnya
dalam pemikiran Jean-Paul Sartre. Dalam bukunya
Existentialism
Is a Humanism, Sartre menyatakan bahwa “eksistensi
mendahului esensi”, yang berarti bahwa manusia tidak
dilahirkan dengan hakikat bawaan, tetapi membentuk
dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan.⁴
Pernyataan ini menolak
seluruh fondasi metafisika klasik yang mengasumsikan bahwa manusia (dan entitas
lainnya) memiliki identitas tetap yang mendahului pengalaman. Menurut
eksistensialisme, esensialisme membatasi kebebasan dan tanggung
jawab manusia, serta mendorong determinisme dan pandangan
statis terhadap kehidupan.
6.4.
Kritik Post-Strukturalisme dan Dekonstruksi
Dalam filsafat
kontemporer, terutama dalam arus post-strukturalisme dan dekonstruksionisme,
kritik terhadap esensi menjadi lebih tajam dan bersifat epistemologis serta
semiotik. Jacques Derrida, dalam karyanya
Of
Grammatology, menolak keberadaan makna tetap (esensial) dalam
bahasa. Baginya, makna selalu bergeser melalui sistem perbedaan (différance),
dan karenanya tidak ada pusat tetap yang
dapat dianggap sebagai esensi.⁵
Pandangan ini
berimplikasi luas tidak hanya bagi bahasa, tetapi juga bagi filsafat identitas,
moralitas, dan bahkan ontologi. Segala bentuk esensialisme dilihat sebagai
bentuk kekuasaan yang ingin membakukan makna dan mengendalikan perbedaan.
6.5.
Kritik Konstruktivisme Sosial: Esensi sebagai
Produk Sosial
Dalam teori konstruktivisme
sosial, esensi tidak dilihat sebagai sesuatu yang melekat dalam
realitas itu sendiri, tetapi sebagai hasil konstruksi budaya, sejarah, dan
kekuasaan. Tokoh seperti Michel Foucault menunjukkan
bagaimana identitas seperti "perempuan", "penyakit
mental", atau "penjahat" dibentuk
secara diskursif, bukan berasal dari esensi biologis atau
metafisik.⁶
Kritik ini sangat
berpengaruh dalam wacana kontemporer tentang gender, ras, dan politik
identitas. Dalam konteks ini, esensialisme dipandang berbahaya
karena digunakan untuk melegitimasi stereotip, diskriminasi, dan dominasi
sosial.
Kesimpulan Sementara
Kritik-kritik
terhadap konsep esensi menyoroti pentingnya pendekatan dinamis terhadap
realitas dan pengetahuan. Meskipun esensi tetap berguna dalam menjelaskan
struktur dan identitas, banyak pemikir kontemporer memperingatkan bahwa penerapan
esensialisme yang kaku dapat membatasi kebebasan, pluralitas, dan pemahaman
kritis terhadap realitas yang kompleks. Oleh karena itu,
pembelaan terhadap esensi dalam metafisika modern harus bersifat kontekstual,
reflektif, dan terbuka terhadap koreksi.
Footnotes
[1]
William of Ockham, Ockham’s Theory of Terms, trans. Michael J.
Loux (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1974), 39–45.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 22–27.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–26.
[5]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 23–27.
[6]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 25–30.
7.
Relevansi Konsep Esensi dalam Filsafat
Kontemporer
Meskipun konsep esensi
telah banyak dikritik sejak era modern, terutama oleh empirisisme,
eksistensialisme, dan post-strukturalisme, gagasan ini tidak serta-merta
kehilangan relevansi dalam filsafat kontemporer.
Sebaliknya, terjadi revitalisasi dan reinterpretasi
terhadap esensi dalam berbagai bidang, mulai dari metafisika analitik hingga
etika, filsafat identitas, biologi filosofis, dan filsafat Islam kontemporer.
Dalam konteks ini, esensi tidak lagi dipandang sebagai kebenaran absolut dan
statis, tetapi sebagai prinsip ontologis dan epistemologis yang perlu
ditafsirkan secara kontekstual dan kritis.
7.1.
Realisme Metafisika Kontemporer: Pembelaan
terhadap Esensi
Dalam tradisi filsafat
analitik, filsuf seperti David Oderberg dan Edward
Feser membela konsep esensi dalam kerangka essentialism
metafisik. Menurut mereka, esensi sangat diperlukan untuk
memahami struktur ontologis dunia, terutama dalam menjelaskan sifat tetap dari
entitas alami seperti spesies biologis, hukum alam, dan kausalitas.¹
Oderberg, dalam Real
Essentialism, menolak pandangan bahwa esensi hanyalah konstruksi
linguistik atau konseptual. Ia berargumen bahwa tanpa asumsi tentang esensi,
kita tidak dapat menjelaskan mengapa air selalu membeku pada 0°C atau mengapa
spesies tertentu memiliki sifat khas yang bertahan melintasi individu.² Esensi
dalam pandangan ini dipulihkan sebagai dasar explanatory power dalam ilmu
pengetahuan.
7.2.
Ontologi Modal: Esensi dan Kemungkinan Dunia
Dalam filsafat modal
kontemporer, tokoh seperti Saul Kripke dan Kit Fine
menunjukkan bahwa esensi memiliki peran penting dalam memahami modalitas
metafisik, yaitu bagaimana sesuatu bisa atau tidak bisa ada
dalam berbagai possible worlds. Kripke menegaskan
bahwa beberapa predikat adalah esensial bagi suatu
entitas—misalnya, bahwa “air adalah H₂O” bukanlah kebetulan, tetapi
suatu keniscayaan
esensial.³
Dengan demikian,
esensi berfungsi sebagai prinsip identitas lintas dunia yang memungkinkan kita
memahami konsep keharusan (necessity) dan kemungkinan (possibility) dengan
lebih koheren dalam kerangka ontologi formal.
7.3.
Esensi dalam Filsafat Identitas dan Gender
Konsep esensi juga
mendapat tempat dalam diskusi tentang identitas personal dan gender.
Di satu sisi, kaum konstruktivis sosial menolak
esensialisme gender sebagai bentuk penindasan. Namun di sisi lain, sebagian
pemikir feminis kontemporer seperti Serene Khader mengajukan konsep
"esensialisme
kontekstual", yaitu pendekatan yang mengakui keberadaan
struktur dasar dalam pengalaman perempuan tanpa mengabaikan keragaman dan
dinamika historis.⁴
Dalam konteks ini,
esensi tidak dipandang sebagai sifat tetap yang universal, tetapi sebagai pola
pengalaman dan struktur makna yang relatif stabil dan bermakna dalam kerangka
budaya tertentu.
7.4.
Esensi dan Filsafat Biologi
Dalam bidang filsafat
biologi, terjadi perdebatan tajam antara esensialisme
klasik dan pendekatan evolusioner. Para kritikus esensialisme
seperti Elliott Sober berpendapat bahwa
teori evolusi Darwinian menentang esensi biologis karena spesies bersifat
dinamis dan berubah-ubah.⁵
Namun, belakangan
muncul pendekatan baru seperti esensialisme struktural, yang
menyatakan bahwa walaupun spesies dapat berubah, mereka tetap memiliki struktur
dasar genetik atau fungsional yang memungkinkan klasifikasi ilmiah. Dalam
pandangan ini, esensi dipahami secara fungsional dan dinamis,
bukan sebagai bentuk ideal Platoan.
7.5.
Esensi dalam Filsafat Islam Kontemporer
Dalam filsafat
Islam kontemporer, tokoh seperti Seyyed
Hossein Nasr dan Syed Muhammad Naquib al-Attas
menegaskan pentingnya esensi sebagai prinsip ontologis dan spiritual. Nasr
menekankan bahwa modernitas telah kehilangan pemahaman tentang esensi,
menggantikannya dengan relativisme dan fragmentasi pengetahuan. Ia mengadvokasi
kembali ke pemahaman esensial dan hierarkis tentang realitas,
sebagaimana dalam kosmologi tradisional Islam.⁶
Demikian pula,
al-Attas mengembangkan konsep ta'dib (pendidikan) yang
berlandaskan pada pengakuan terhadap esensi manusia sebagai
makhluk berakal dan bermoral, yang harus dibina menuju
kesempurnaan fitrahnya.⁷ Ini menegaskan bahwa esensi bukan hanya istilah
metafisika, tetapi juga fondasi aksiologis dan praksis pendidikan Islam.
Kesimpulan Sementara
Relevansi esensi
dalam filsafat kontemporer menunjukkan bahwa, meskipun dikritik keras, gagasan
ini tetap tak tergantikan sebagai instrumen konseptual
untuk menjelaskan struktur identitas, modalitas, ilmu pengetahuan, dan etika.
Tantangan kontemporer justru mendorong kita untuk merefleksikan
kembali esensi secara lebih dinamis, kontekstual, dan multidisipliner.
Footnotes
[1]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 145–147.
[2]
David S. Oderberg, Real Essentialism (New York: Routledge,
2007), 22–30.
[3]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 110–120.
[4]
Serene J. Khader, Decolonizing Universalism: A Transnational
Feminist Ethic (New York: Oxford University Press, 2018), 45–48.
[5]
Elliott Sober, The Nature of Selection: Evolutionary Theory in
Philosophical Focus (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 156–158.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 65–70.
[7]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 12–16.
8.
Komparasi Lintas Tradisi Filsafat
Konsep esensi
tidak hanya menjadi bagian penting dalam filsafat Barat, tetapi juga mendapat
tempat sentral dalam berbagai tradisi filsafat lain seperti filsafat
Islam, filsafat India, dan filsafat
Timur lainnya, seperti Taoisme dan Buddhisme Mahāyāna.
Masing-masing tradisi menghadirkan perspektif yang unik dan memperkaya
pemahaman kita tentang hakikat, keberadaan, dan struktur realitas. Perbandingan
lintas tradisi ini menunjukkan bahwa konsep esensi, walaupun dipahami dan
dirumuskan secara berbeda, merupakan upaya universal untuk menjelaskan identitas,
perubahan, dan kebenaran dalam kerangka kosmologis dan ontologis.
8.1.
Filsafat Barat: Aristoteles dan Thomas Aquinas
Dalam filsafat Barat
klasik, Aristoteles menekankan bahwa
esensi adalah “apa yang sesuatu itu adalah” (to ti ēn einai), yang bersifat
imanen dan aktual dalam substansi individual.¹ Esensi bukan entitas terpisah
(seperti dalam pandangan Plato), melainkan bagian integral dari bentuk yang
menginformasikan materi. Thomas Aquinas kemudian
mengintegrasikan konsep ini ke dalam teologi Kristen, dengan membedakan antara essentia
dan existentia,
dan menyatakan bahwa hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya.²
Konsep esensi dalam
filsafat Barat digunakan sebagai dasar untuk logika klasifikasi, epistemologi,
dan teologi, serta menjadi fondasi utama bagi metafisika skolastik.
8.2.
Filsafat Islam: Ibn Sina dan Mulla Sadra
Dalam filsafat
Islam, terutama pada Ibn Sina, esensi dipahami
sebagai “apa”-nya sesuatu yang dapat dibedakan dari eksistensinya.
Menurutnya, esensi dapat dibayangkan secara terpisah dari eksistensi, kecuali
dalam kasus Tuhan.³ Esensi juga menjadi dasar klasifikasi ontologis antara wajib
al-wujud (Yang Wajib Ada) dan mumkin al-wujud (yang mungkin ada),
menjadikan konsep ini sangat penting dalam metafisika dan teologi Islam.
Namun, Mulla
Sadra dari mazhab Hikmah Muta‘aliyah memberikan reinterpretasi
dengan menyatakan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi,
dalam doktrin ashālat al-wujūd (primordialitas
eksistensi).⁴ Meski demikian, esensi tetap memainkan peran penting sebagai
identitas potensial dari eksistensi, menjadikannya bagian integral dari
dinamika perubahan dan kesempurnaan.
8.3.
Filsafat India: Upaniṣad, Vedānta, dan Buddhisme
Dalam filsafat
India, konsep esensi (sering dikaitkan dengan ātman,
svabhāva,
atau brahman)
menempati kedudukan metafisis yang tinggi. Dalam tradisi Vedānta,
misalnya, esensi semua realitas adalah Brahman, yaitu realitas
absolut, tak berubah, dan tak terbagi. Segala bentuk pluralitas adalah ilusi (māyā),
dan tujuan tertinggi manusia adalah menyadari kesatuan antara ātman
(diri sejati) dan brahman.⁵
Sebaliknya, dalam Buddhisme
Mahāyāna, terutama aliran Madhyamaka yang dipelopori oleh
Nāgārjuna, doktrin śūnyatā (kekosongan) menyangkal
adanya esensi
tetap dalam segala fenomena. Menurut pandangan ini, segala
sesuatu bersifat bergantungan (pratītyasamutpāda) dan karenanya tanpa
hakikat mandiri (niḥsvabhāva).⁶ Kritik terhadap esensi ini
menjadi salah satu pilar pembeda utama antara Buddhisme dan tradisi metafisika
esensialis lainnya.
8.4.
Filsafat Timur Lainnya: Taoisme dan Konsepsi
Dinamis
Dalam Taoisme,
seperti terlihat dalam ajaran Laozi di Dao De
Jing, tidak ditemukan konsep esensi dalam pengertian ontologis
formal, tetapi terdapat pemahaman bahwa realitas adalah perubahan yang terus-menerus
dan tidak terdefinisikan. Esensi dalam konteks ini digantikan
oleh prinsip Dao, yaitu "Jalan"
yang menjadi sumber dan pola dinamis dari segala sesuatu.⁷
Alih-alih menyelidiki
“apa itu sesuatu”, Taoisme justru menekankan “bagaimana sesuatu
berada dan berubah”. Hal ini menyajikan kritik implisit terhadap pendekatan
yang terlalu esensialis, dan mengarah pada pandangan yang lebih cair terhadap
realitas.
8.5.
Perbandingan dan Implikasi Filosofis
Pemahaman tentang esensi
di berbagai tradisi filsafat mencerminkan pandangan ontologis dan kosmologis
yang sangat berbeda. Masing-masing tradisi membawa perspektif khas yang
menyoroti baik peran penting maupun keterbatasan konsep esensi dalam
menjelaskan realitas.
8.5.1.
Filsafat
Barat (Aristoteles)
·
Esensi
dipahami sebagai bentuk (form) yang imanen dalam substansi.
·
Esensi tidak terpisah dari
benda; ia adalah prinsip yang menjadikan suatu entitas menjadi dirinya.
·
Berfungsi sebagai dasar
bagi sistem klasifikasi, penalaran logis, dan pengetahuan ilmiah.
·
Mendasari struktur
pemikiran filsafat Barat sejak zaman klasik hingga skolastik.
8.5.2.
Filsafat
Islam (Ibn Sina dan Mulla Sadra)
·
Ibn
Sina memandang esensi sebagai terpisah dari eksistensi dan
mendasari klasifikasi ontologis antara makhluk dan Tuhan.
·
Mulla
Sadra memperkenalkan konsep ashālat al-wujūd
(keprimordialan eksistensi), namun tetap mempertahankan fungsi esensi sebagai
potensi identitas.
·
Esensi berperan penting
dalam metafisika, kosmologi Islam, dan kerangka etika spiritual.
8.5.3.
Filsafat
India (Vedānta)
·
Esensi
diidentifikasi dengan Brahman, yaitu realitas tertinggi dan
absolut.
·
Seluruh entitas dianggap
sebagai manifestasi dari Brahman; pluralitas hanya bersifat ilusif (māyā).
·
Konsep esensi menjadi dasar
spiritualitas dan pembebasan (mokṣa).
8.5.4.
Filsafat
Buddhis (Mahāyāna, Madhyamaka)
·
Menolak
konsep esensi: semua fenomena bersifat kosong (śūnyatā) dan
saling bergantungan (pratītyasamutpāda).
·
Tidak ada substansi atau
hakikat yang tetap; realitas bersifat dinamis dan tanpa identitas tetap.
·
Kritik ini menjadi salah
satu fondasi anti-esensialisme filosofis yang radikal.
8.5.5.
Filsafat
Timur Lainnya (Taoisme)
·
Tidak
mengenal esensi sebagai entitas formal atau tetap.
·
Prinsip Dao
menggantikan konsep esensi: ia adalah sumber dan irama perubahan dari segala
sesuatu.
·
Realitas dianggap cair, tak
terdefinisikan, dan mengalir secara alami (wu wei).
8.5.6.
Implikasi
Filosofis Umum:
·
Tradisi
Barat dan Islam cenderung melihat esensi sebagai struktur
internal dan tetap yang mendasari realitas.
·
Tradisi
India dan Timur menekankan non-dualisme,
kekosongan, atau dinamika,
yang mengarah pada penolakan atau redefinisi terhadap esensi.
·
Perbandingan
ini mengajak refleksi lintas tradisi bahwa konsep “apa itu
sesuatu” bisa dipahami secara esensialis maupun anti-esensialis, tergantung
pada horizon metafisik yang digunakan.
Komparasi ini menunjukkan
bahwa pemahaman tentang esensi berakar pada pandangan
kosmologis dan eksistensial yang khas dalam masing-masing
tradisi. Dalam tradisi Barat dan Islam, esensi memainkan peran strukturatif dan
hierarkis. Dalam tradisi India dan Timur, esensi cenderung dilihat sebagai
ilusi atau diredefinisikan dalam bentuk yang lebih spiritual dan non-dualistik.
Kesimpulan Sementara
Pemahaman lintas tradisi
terhadap esensi memperkaya diskursus metafisika dengan memperlihatkan
pluralitas pendekatan terhadap pertanyaan yang sama: Apa hakikat sesuatu?
Komparasi ini bukan hanya membuka ruang dialog antar-peradaban, tetapi juga
mendorong pembaruan filosofis yang transkultural,
reflektif, dan integratif dalam menjawab problem metafisika di
era kontemporer.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 682–685.
[2]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 37–39.
[3]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 165–170.
[4]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of Mulla Sadra,
trans. Ibrahim Kalin (London: I.B. Tauris, 2010), 52–55.
[5]
Radhakrishnan, Sarvepalli, The Principal Upanishads (London:
George Allen & Unwin, 1953), 70–74.
[6]
Nāgārjuna, The Fundamental Wisdom of the Middle Way, trans.
Jay Garfield (Oxford: Oxford University Press, 1995), 25–30.
[7]
Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (New York: Penguin Books,
1963), §1–5.
9.
Implikasi Ontologis dan Etis
Konsep esensi,
selain memiliki dimensi ontologis dan epistemologis yang kuat, juga membawa konsekuensi
etis yang signifikan. Pemahaman tentang apa
sesuatu itu secara mendalam turut menentukan bagaimana sesuatu seharusnya
ada dan diperlakukan. Oleh karena itu,
dalam sejarah filsafat, diskursus mengenai esensi bukan hanya menyangkut
struktur metafisik realitas, tetapi juga menyentuh dasar-dasar moralitas,
tujuan hidup, dan nilai.
9.1.
Implikasi Ontologis: Struktur, Keberadaan, dan
Hierarki
1)
Penentuan Identitas dan
Kategori
Esensi menyediakan dasar bagi klasifikasi
ontologis seperti manusia, hewan, benda mati, bahkan makhluk metafisik.
Aristoteles memandang esensi sebagai prinsip identitas yang memungkinkan
penggolongan realitas.¹ Tanpa esensi, tidak ada struktur yang stabil untuk
memahami keberadaan.
Dalam konteks ini, hierarki
ontologis terbentuk, sebagaimana dalam pemikiran skolastik dan
filsafat Islam: Tuhan sebagai wajib al-wujūd, manusia sebagai makhluk
rasional, dan hewan sebagai makhluk dengan jiwa vegetatif dan sensitif.²
2)
Keteraturan dan
Teleologi Kosmis
Dalam pandangan esensialis, setiap
entitas memiliki tujuan (telos) yang melekat pada esensinya.
Manusia, sebagai makhluk rasional, dianggap memiliki tujuan untuk mencapai
kebahagiaan melalui kebajikan.³
Esensi menjadi panduan ontologis
tentang bagaimana sesuatu seharusnya berkembang atau berfungsi secara optimal
dalam tatanan kosmis. Hal ini menjadi dasar pemikiran Aristotelian dan juga
tradisi natural law.
9.2.
Implikasi Etis: Hakikat, Nilai, dan Kewajiban
1)
Esensi dan Norma Moral
Dalam filsafat moral klasik, esensi manusia
sebagai makhluk rasional dan berkehendak bebas menjadi dasar normativitas etis.
Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum moral alamiah (lex naturalis)
berpijak pada esensi manusia sebagai makhluk ciptaan yang dikehendaki menuju
kebaikan.⁴
Dengan mengenali esensi manusia, seseorang dapat
mengetahui kodrat moralnya dan merumuskan tindakan yang sesuai dengan
nilai-nilai kebaikan universal (seperti keadilan, kejujuran, dan kesetiaan).
2)
Hak dan Martabat
Pemikiran kontemporer juga menjadikan esensi
sebagai dasar martabat manusia. Dalam dokumen Universal
Declaration of Human Rights, pengakuan terhadap “martabat yang melekat”
mencerminkan suatu asumsi esensialis bahwa manusia memiliki hakikat tertentu
yang harus dihormati.⁵
Filsuf personalis seperti Jacques
Maritain menegaskan bahwa hak asasi manusia lahir dari
pengakuan terhadap esensi spiritual manusia yang melampaui utilitas atau
konstruksi sosial.⁶
3)
Tanggung Jawab dan
Pengembangan Diri
Pemahaman tentang esensi sebagai potensi
memungkinkan dasar bagi etika pengembangan diri (virtue
ethics). Jika manusia memiliki potensi esensial untuk menjadi bijaksana
atau adil, maka tugas etisnya adalah mengaktualkan potensi
tersebut melalui kebiasaan dan pendidikan.
Ini juga berlaku dalam filsafat Islam: fitrah
manusia sebagai makhluk bertauhid menjadi dasar tanggung jawab etis untuk
menjalani hidup sesuai dengan perintah Ilahi.⁷
9.3.
Tantangan Etis terhadap Esensialisme
Meskipun banyak
etika tradisional dibangun di atas dasar esensi, beberapa
kritik kontemporer memperingatkan bahaya dari penerapan
esensialisme secara kaku:
·
Dalam isu gender
dan seksualitas, esensialisme sering digunakan untuk
membenarkan stereotip dan peran yang membatasi. Filsuf feminis seperti Judith
Butler mengkritik bahwa klaim tentang “esensi perempuan”
sering kali digunakan untuk menopang struktur patriarki.⁸
·
Dalam ranah politik dan
sosial, klaim esensialis terhadap ras, etnis, atau budaya dapat menjadi sumber
eksklusi dan dominasi, sebagaimana terlihat dalam wacana kolonialisme atau
nasionalisme ekstrem.
Namun demikian,
kritik-kritik ini tidak harus menolak konsep esensi secara total, melainkan
mengarahkan agar pemahaman esensial dilakukan secara reflektif,
terbuka, dan etis, bukan sebagai alat penindasan atau
generalisasi buta.
Kesimpulan Sementara
Esensi tidak hanya
memberikan struktur bagi pemahaman realitas (ontologi), tetapi juga menjadi dasar
normatif bagi etika dan hukum. Dengan menegaskan hakikat
manusia sebagai makhluk bernalar dan bermoral, konsep esensi tetap relevan
sebagai kerangka dalam membangun nilai, martabat, dan tanggung jawab etis di
tengah dunia yang semakin cair dan relativistik. Namun, penerapannya harus
dilakukan dengan kebijaksanaan dan kesadaran konteks
agar tidak terjebak dalam absolutisme atau diskriminasi.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
682–685.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2–5, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book I.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.94, a.2.
[5]
United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948,
Preamble and Article 1.
[6]
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 76–78.
[7]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 44–45.
[8]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 6–9.
10.
Simpulan dan Refleksi Filosofis
Kajian mengenai esensi
dalam metafisika memperlihatkan betapa mendalam dan luasnya
peran konsep ini dalam membentuk struktur pemikiran filosofis, dari ontologi
dan epistemologi, hingga etika dan praksis sosial. Dari
Aristoteles hingga Derrida, dari Ibn Sina hingga Nāgārjuna, esensi telah
menjadi medan dialektika universal dalam pencarian makna hakiki dari
keberadaan.
10.1.
Simpulan Utama:
1)
Esensi sebagai Prinsip Identitas
dan Ketetapan
Dalam tradisi filsafat klasik dan skolastik,
esensi dipahami sebagai prinsip yang menentukan “apa itu sesuatu”,
membedakannya dari segala yang lain.¹
Tanpa konsep ini, filsafat kehilangan dasar untuk
menjelaskan perubahan, kontinuitas, dan pengenalan.
2)
Perbedaan antara Esensi
dan Eksistensi
Filsafat Islam dan skolastik memperjelas
distingsi antara essentia dan existentia, menempatkan esensi
sebagai potensi identitas dan eksistensi sebagai aktualisasi.²
Hanya Tuhan yang esensinya identik dengan
eksistensinya, sedang segala makhluk berada dalam kontingensi.
3)
Esensi dan Pengetahuan
Dalam epistemologi, esensi memungkinkan manusia
untuk mengenal dunia secara universal melalui abstraksi dan definisi.³
Meskipun dikritik oleh empirisisme dan positivisme,
gagasan esensi tetap menjadi pilar dalam sistem ilmu dan logika.
4)
Esensi dalam Etika dan
Nilai
Esensi manusia sebagai makhluk rasional dan moral
menjadi dasar bagi teori etika, hukum alam, dan hak asasi manusia.⁴
Namun, penerapan esensialisme yang kaku dapat
menimbulkan bias, stereotip, dan penindasan struktural.
5)
Pluralitas Pandangan
Lintas Tradisi
Dalam komparasi lintas tradisi, tampak bahwa
esensi dipahami secara beragam: sebagai prinsip ilahi (Vedānta), ilusi
(Buddhisme), atau pola dinamis (Taoisme).⁵
Hal ini memperlihatkan bahwa esensi bukan sekadar
kategori tetap, melainkan juga refleksi dari kosmologi
dan etos masing-masing peradaban.
10.2.
Refleksi Filosofis
·
Esensi
dan Ketegangan Antara Kestabilan dan Perubahan:
Konsep esensi merepresentasikan aspirasi filsafat
untuk menemukan tatanan yang tetap
di tengah dunia yang senantiasa berubah. Namun demikian, sejarah filsafat juga
memperlihatkan bahwa realitas tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh definisi
statis. Maka, pemikiran tentang esensi harus disandingkan dengan pemahaman
terhadap dinamika dan kontingensi.
·
Kebutuhan
Akan Esensialisme Kritis:
Di tengah arus relativisme kontemporer, esensialisme
tidak harus ditinggalkan, melainkan harus direformulasi secara kritis
dan reflektif. Esensi dapat difungsikan sebagai kerangka untuk
memahami identitas, tanggung jawab moral, dan struktur kognitif, selama
tidak digunakan untuk menjustifikasi eksklusivisme atau reduksionisme.⁶
·
Dari
Metafisika ke Etika Global:
Dalam dunia yang plural dan terfragmentasi,
pemahaman lintas budaya terhadap esensi dapat menjadi jembatan
dialog filosofis global. Pengakuan bahwa setiap tradisi
memiliki cara tersendiri dalam memahami “hakikat” mengantar kita pada etos
kerendahan hati filosofis, yang tidak menafikan perbedaan,
tetapi mengupayakan keterpahaman.
Penutup
Dengan meninjau
kembali konsep esensi melalui lensa sejarah, perbandingan tradisi, dan refleksi
kritis, kita tidak hanya merevitalisasi wacana metafisika klasik, tetapi juga membuka
jalan bagi filsafat yang lebih manusiawi, interkultural, dan bertanggung jawab
secara etis. Esensi, pada akhirnya, bukan sekadar pertanyaan
tentang “apa itu sesuatu”, melainkan juga tentang bagaimana
kita memahami diri, dunia, dan tanggung jawab kita di dalamnya.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
683–690.
[2]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 29–38.
[3]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 111–117.
[4]
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of
Chicago Press, 1951), 74–76.
[5]
Nāgārjuna, The Fundamental Wisdom of the Middle Way, trans.
Jay Garfield (Oxford: Oxford University Press, 1995), 25–30; Laozi, Dao De
Jing, trans. D.C. Lau (New York: Penguin Books, 1963), §1–5.
[6]
Judith Butler, Undoing Gender (New York: Routledge, 2004),
182–185.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger
Bros.
Aquinas, T. (1968). On
being and essence (A. Maurer, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval
Studies.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Aristotle. (2001). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle
(pp. 681–926). Modern Library.
Aristotle. (2001). De
anima (J. A. Smith, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of
Aristotle (pp. 535–603). Modern Library.
Ayer, A. J. (1952). Language,
truth and logic. Dover Publications.
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Butler, J. (2004). Undoing
gender. Routledge.
Derrida, J. (1997). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
(Original work published 1967)
Feser, E. (2014). Scholastic
metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.
Feser, E. (2019). Aristotle’s
revenge: The metaphysical foundations of physical and biological science.
Editiones Scholasticae.
Foucault, M. (1977). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.
Garfield, J. (Trans.).
(1995). The fundamental wisdom of the middle way: Nāgārjuna's
Mūlamadhyamakakārikā. Oxford University Press.
Hume, D. (1993). An
enquiry concerning human understanding (E. Steinberg, Ed.). Hackett Publishing.
(Original work published 1748)
Khader, S. J. (2018). Decolonizing
universalism: A transnational feminist ethic. Oxford University Press.
Kripke, S. (1980). Naming
and necessity. Harvard University Press.
Laozi. (1963). Tao te
ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin Books.
Locke, J. (1975). An
essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford
University Press. (Original work published 1690)
Maritain, J. (1951). Man
and the state. University of Chicago Press.
Mulla Sadra. (2010). The
transcendent philosophy of Mulla Sadra (I. Kalin, Trans.). I.B. Tauris.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. State University of New York Press.
Nāgārjuna. (1995). The
fundamental wisdom of the middle way (J. Garfield, Trans.). Oxford
University Press.
Oderberg, D. S. (2007). Real
essentialism. Routledge.
Plato. (1992). The
Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.
Sober, E. (1984). The
nature of selection: Evolutionary theory in philosophical focus.
University of Chicago Press.
Suhrawardi. (1999). The
philosophy of illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham
Young University Press.
United Nations. (1948). Universal
declaration of human rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
Tidak ada komentar:
Posting Komentar