Prinsip Rasionalitas dalam Berpikir Filosofis
Pilar Nalar, Argumen, dan Kebenaran
Alihkan ke: Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
prinsip rasionalitas sebagai salah satu fondasi utama dalam berpikir filosofis.
Rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai kemampuan logis formal, melainkan
juga sebagai prinsip normatif yang membimbing penalaran yang masuk akal,
koheren, dan dapat dipertanggungjawabkan secara epistemik maupun etis. Melalui
kajian historis, artikel ini menelusuri perkembangan konsep rasionalitas dari
filsafat Yunani Kuno, pemikiran skolastik Abad Pertengahan, rasionalisme
modern, hingga respons kritis dalam filsafat kontemporer seperti
eksistensialisme, feminisme, dan postmodernisme. Selain mengeksplorasi hubungan
antara rasionalitas dan logika, artikel ini juga menyoroti peran rasionalitas
dalam etika dan epistemologi, serta aplikasinya dalam konteks kehidupan
modern—mulai dari pengambilan keputusan, praktik ilmiah, kebijakan publik,
hingga dialog sosial. Dengan mengacu pada sumber-sumber referensi akademik yang
kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa prinsip rasionalitas tetap relevan dan
vital bagi pembangunan pemikiran kritis, kehidupan sosial yang etis, dan
kemajuan peradaban manusia di tengah kompleksitas dunia kontemporer.
Kata Kunci: Rasionalitas, logika, filsafat, etika,
epistemologi, rasionalisme, kritik postmodern, berpikir kritis, komunikasi
etis, ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
Prinsip Rasionalitas dalam Berpikir Filosofis
1.
Pendahuluan
Dalam ranah filsafat, berpikir tidak sekadar
aktivitas mental biasa, melainkan upaya sadar dan sistematis untuk
mengeksplorasi realitas, nilai, serta makna dengan menggunakan akal budi
sebagai alat utama. Salah satu prinsip dasar yang menjadi fondasi dari
keseluruhan bangunan berpikir filosofis adalah prinsip rasionalitas.
Prinsip ini menuntut agar seseorang menggunakan nalar secara konsisten, logis,
dan objektif dalam proses penalaran dan pengambilan kesimpulan. Rasionalitas
bukan hanya alat bantu teknis dalam berpikir, melainkan juga cerminan dari
integritas intelektual dan komitmen terhadap pencarian kebenaran.
Dalam sejarah filsafat Barat, rasionalitas telah
menjadi pijakan utama sejak masa Yunani Kuno. Socrates, misalnya, menekankan
pentingnya dialog rasional sebagai sarana untuk menguji ide-ide dan mencapai
pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan keadilan. Melalui metode
elenktikanya, ia menunjukkan bahwa pemikiran yang tidak diuji tidak layak untuk
dijalani.¹ Rasionalitas kemudian menjadi pusat perhatian dalam rasionalisme
modern yang dipelopori oleh René Descartes, yang terkenal dengan ungkapan Cogito,
ergo sum sebagai titik tolak epistemologis yang berbasis pada akal sebagai
dasar kepastian.²
Secara umum, prinsip rasionalitas menghendaki agar
penalaran dilakukan secara koheren, berdasarkan premis yang dapat
dipertanggungjawabkan, serta terbuka terhadap pengujian kritis.³ Rasionalitas
memungkinkan manusia membedakan antara keyakinan yang masuk akal dan prasangka,
antara pengetahuan yang sah dan asumsi yang tidak berdasar.⁴ Dalam konteks ini,
prinsip rasionalitas menjadi landasan epistemik untuk membangun sistem
pengetahuan yang dapat diverifikasi dan diterima secara intersubjektif.
Namun, dalam perkembangan pemikiran filsafat
kontemporer, prinsip rasionalitas tidak luput dari kritik. Sebagian pemikir
postmodern, seperti Michel Foucault dan Richard Rorty, mempertanyakan
universalitas dan netralitas klaim rasionalitas, dengan menunjukkan bahwa apa
yang dianggap rasional sering kali dibentuk oleh kekuasaan, sejarah, dan
bahasa.⁵ Meskipun demikian, banyak filsuf modern tetap mempertahankan
pentingnya rasionalitas, bukan sebagai doktrin absolut, melainkan sebagai
prinsip kerja yang memungkinkan terjadinya dialog, klarifikasi konsep, dan
pemecahan masalah secara sistematis.⁶
Oleh karena itu, pembahasan tentang prinsip
rasionalitas dalam berpikir filosofis menjadi sangat penting, bukan hanya
sebagai kajian konseptual, tetapi juga sebagai refleksi kritis atas bagaimana
kita membangun argumen, mengevaluasi ide, serta menjelajahi kompleksitas
realitas dengan tanggung jawab intelektual. Artikel ini akan menguraikan
pengertian, sejarah perkembangan, penerapan, dan tantangan terhadap prinsip
rasionalitas dalam konteks filsafat, disertai dengan referensi akademik yang
relevan untuk memperkuat keabsahan analisis.
Footnotes
[1]
Plato, The Apology of Socrates, terj.
Benjamin Jowett (New York: The Modern Library, 1956), 38a.
[2]
René Descartes, Discourse on the Method,
terj. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 17.
[3]
Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical
Inquiry (Oxford: Oxford University Press, 1988), 3.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary
Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge,
2011), 21.
[5]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
terj. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 211–212; Richard
Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton
University Press, 1979), 6–7.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, Reason and the Rationalization of Society, terj.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 9–10.
2.
Definisi dan Hakikat Prinsip Rasionalitas
Prinsip rasionalitas merupakan asas dasar dalam filsafat yang
mengandaikan bahwa pemikiran manusia seyogianya tunduk pada kaidah-kaidah akal
sehat, koherensi logis, dan justifikasi epistemik. Rasionalitas dalam konteks
filsafat bukan semata-mata penggunaan logika formal, melainkan juga keterbukaan
terhadap argumentasi, konsistensi dalam berpikir, serta kesediaan untuk
menyesuaikan kepercayaan berdasarkan bukti dan alasan yang memadai.¹ Dengan
kata lain, prinsip rasionalitas menuntut agar seseorang tidak hanya berpikir,
tetapi berpikir secara benar—yakni berpikir berdasarkan prinsip-prinsip
yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual.
Secara terminologis, rasionalitas berasal dari kata
Latin ratio, yang berarti “akal” atau “nalar.” Dalam
filsafat Barat, rasionalitas telah lama dipandang sebagai atribut utama manusia
sebagai makhluk berpikir (homo rationalis).² Nicholas Rescher
mendefinisikan rasionalitas sebagai "kecenderungan untuk bertindak,
berpikir, dan mempercayai dengan alasan-alasan yang baik dan memadai,"
dan membedakan antara rasionalitas teoretis (yang berkaitan dengan
penalaran tentang apa yang benar) dan rasionalitas praktis (yang
berkaitan dengan tindakan yang pantas dilakukan).³ Pembagian ini mencerminkan
luasnya cakupan prinsip rasionalitas, yang tidak hanya mencakup ranah logika
dan epistemologi, tetapi juga etika dan keputusan praktis.
Dalam konteks penalaran ilmiah dan filosofis,
prinsip rasionalitas berfungsi sebagai pedoman untuk membangun argumen yang
valid dan menyaring kepercayaan yang tidak berdasar. Robert Audi menegaskan
bahwa rasionalitas adalah “landasan untuk pembenaran epistemik dan kriteria
utama untuk penilaian intelektual,” yang menjadikannya inti dari proses
berpikir kritis.⁴ Rasionalitas menuntut kejelasan konsep, hubungan
premis-konklusi yang sah, serta sensitivitas terhadap kekeliruan logis atau
bias kognitif yang dapat merusak validitas kesimpulan.
Lebih lanjut, rasionalitas harus dibedakan dari rasionalisme
sebagai aliran filsafat. Rasionalitas adalah prinsip umum dalam berpikir,
sedangkan rasionalisme adalah posisi epistemologis yang mengutamakan akal
sebagai sumber utama pengetahuan, berlawanan dengan empirisme yang menekankan
pengalaman inderawi.⁵ Dengan demikian, prinsip rasionalitas bersifat lebih
universal dan aplikatif, karena dapat diadopsi oleh berbagai aliran filsafat
selama mereka menghargai integritas argumen dan penalaran logis.
Terdapat pula perbedaan antara rasionalitas
internal dan rasionalitas eksternal. Rasionalitas internal berkaitan
dengan koherensi internal sistem kepercayaan seseorang, sedangkan rasionalitas
eksternal merujuk pada kesesuaian kepercayaan tersebut dengan realitas objektif
atau bukti empiris.⁶ Distingsi ini penting dalam memahami bagaimana suatu
keyakinan bisa tampak masuk akal dari dalam kerangka berpikir seseorang, tetapi
tetap bisa dikritisi dari luar berdasarkan standar epistemik yang lebih luas.
Secara keseluruhan, prinsip rasionalitas tidak
dapat dilepaskan dari upaya filsafat untuk mencapai pemahaman yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa prinsip ini, berpikir filosofis kehilangan
arah dan fondasinya. Oleh karena itu, penguasaan atas prinsip rasionalitas
merupakan prasyarat untuk menjadi subjek epistemik yang matang, dan sekaligus
menjadi landasan normatif bagi diskursus intelektual yang sehat.
Footnotes
[1]
Jonathan Adler, “Epistemological Problems of
Rationality,” The Oxford Handbook of Rationality, ed. Alfred R. Mele and
Piers Rawling (Oxford: Oxford University Press, 2004), 236–238.
[2]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume 1: Ancient Philosophy (Oxford: Oxford University Press,
2004), 9.
[3]
Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical
Inquiry (Oxford: Oxford University Press, 1988), 15–17.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary
Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge,
2011), 106.
[5]
Richard Schacht, Classical Modern Philosophers:
Descartes to Kant (London: Routledge, 1991), 4–5.
[6]
Alvin Goldman, “What Is Justified Belief?” in Epistemology:
An Anthology, ed. Ernest Sosa, Jaegwon Kim, Jeremy Fantl, and Matthew McGrath
(Malden, MA: Blackwell, 2008), 336–339.
3.
Sejarah dan Evolusi Prinsip Rasionalitas dalam
Filsafat
Prinsip rasionalitas
memiliki akar historis yang sangat panjang dan berperan sentral dalam
perkembangan filsafat dari masa ke masa. Sejak zaman Yunani Kuno, filsuf-filsuf
besar telah menjadikan nalar sebagai alat utama untuk memahami hakikat dunia,
eksistensi manusia, dan struktur kebenaran. Evolusi prinsip ini tidak hanya
menunjukkan dinamika pemikiran manusia, tetapi juga menampilkan pergeseran
paradigma dalam memahami akal, pengalaman, dan batasan rasionalitas itu
sendiri.
3.1. Rasionalitas dalam Filsafat Yunani Kuno
Di masa awal
filsafat Barat, rasionalitas sudah tampak menonjol dalam pemikiran Socrates,
Plato,
dan Aristoteles.
Socrates mengajarkan pentingnya dialog kritis untuk menguji asumsi dan mencapai
definisi moral yang jelas. Melalui metode elenchus (tanya jawab kritis), ia
mendorong pemurnian ide-ide yang didasarkan pada pertimbangan rasional, bukan
semata tradisi atau opini.¹ Bagi Plato, dunia nyata hanyalah bayangan dari
dunia ide yang hanya dapat diakses melalui rasio (nous).² Aristoteles kemudian
mengembangkan struktur logika formal sebagai kerangka berpikir rasional yang
sistematis, dan menyusun prinsip-prinsip silogistik sebagai alat analisis argumentatif.³
3.2. Rasionalitas dalam Filsafat Abad Pertengahan
Pada abad
pertengahan, prinsip rasionalitas dikembangkan dalam kerangka teologi
skolastik, terutama oleh tokoh-tokoh seperti Augustinus dan Thomas
Aquinas. Rasionalitas digunakan untuk mendukung iman melalui
pendekatan fides et
ratio (iman dan akal). Thomas Aquinas menegaskan bahwa wahyu ilahi
tidak bertentangan dengan akal manusia; keduanya justru saling menguatkan.⁴
Dalam konteks ini, prinsip rasionalitas tidak ditinggalkan, tetapi disesuaikan
dengan kerangka religius dan teologis yang dominan pada masa itu.
3.3. Rasionalitas dalam Era Modern: Rasionalisme dan
Pencerahan
Zaman modern
ditandai dengan kebangkitan rasionalisme sebagai fondasi
epistemologi, terutama oleh René Descartes, Baruch
Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz.
Descartes mendasarkan filsafatnya pada methodic doubt dan menyimpulkan
bahwa akal adalah satu-satunya landasan yang tidak dapat diragukan: Cogito,
ergo sum.⁵ Spinoza menyusun sistem etika berdasarkan prinsip
deduktif-geometris, sedangkan Leibniz mengembangkan prinsip sebab yang cukup (principle
of sufficient reason) sebagai hukum universal rasionalitas.⁶ Era Pencerahan
(Enlightenment) juga mengangkat rasionalitas sebagai kekuatan pembebas dari
takhayul dan otoritas dogmatis, sebagaimana ditekankan oleh Immanuel
Kant dalam semboyannya Sapere aude! (Beranilah berpikir
sendiri).⁷
3.4. Tantangan terhadap Rasionalitas: Romantisisme,
Eksistensialisme, dan Postmodernisme
Namun, dominasi
rasionalitas dalam filsafat tidak berlangsung tanpa kritik. Gerakan Romantisisme
menyoroti keterbatasan akal dan mengangkat pentingnya perasaan, intuisi, dan
imajinasi. Tokoh-tokoh seperti Kierkegaard dan Nietzsche
menolak supremasi akal dalam menjelaskan eksistensi manusia yang penuh paradoks.⁸
Dalam abad ke-20, kritik terhadap rasionalitas semakin tajam melalui arus postmodernisme.
Michel
Foucault dan Jacques Derrida, misalnya,
menunjukkan bahwa apa yang disebut “rasional” sering kali merupakan
hasil konstruksi historis yang mencerminkan struktur kuasa dan eksklusi.⁹
Kritik ini menantang asumsi netralitas dan universalitas prinsip rasionalitas.
3.5. Rasionalitas dalam Filsafat Kontemporer
Dalam filsafat
kontemporer, prinsip rasionalitas dipertahankan namun juga direvisi. Jürgen
Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif yang
menempatkan rasionalitas dalam intersubjektivitas dialogis, bukan dalam monolog
internal.¹⁰ Rasionalitas dilihat sebagai kemampuan untuk memberi alasan yang
dapat diterima dalam ruang publik yang rasional. Di sisi lain, para filsuf ilmu
seperti Karl Popper dan Thomas
Kuhn memperdebatkan bentuk dan dinamika rasionalitas dalam
sains, memperlihatkan bahwa rasionalitas ilmiah bersifat historis, terbuka, dan
bisa berkembang.¹¹
Dengan demikian,
sejarah prinsip rasionalitas dalam filsafat menunjukkan bahwa meskipun bentuk
dan penekanan konsep ini berubah dari zaman ke zaman, perannya sebagai fondasi
pemikiran yang bernalar tetap vital dan tak tergantikan. Prinsip rasionalitas
berkembang dari sekadar alat logika menjadi kerangka refleksi kritis dan
komunikatif dalam memahami realitas yang kompleks.
Footnotes
[1]
Plato, Euthyphro, Apology, Crito, terj. Benjamin Jowett (New
York: Dover Publications, 1996), 38a–c.
[2]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.
[3]
Aristotle, Organon, dalam The Complete Works of Aristotle,
ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 1.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–I, q.1, a.1.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17.
[6]
G. W. Leibniz, “The Principles of Philosophy, or, The Monadology,” in Philosophical
Essays, ed. and trans. Roger Ariew and Daniel Garber (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1989), 210–215.
[7]
Immanuel Kant, What is Enlightenment?, trans. Mary C. Smith
(New York: Columbia University Press, 1996), 1.
[8]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 43–45; Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy,
trans. Shaun Whiteside (London: Penguin, 1993), 88.
[9]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–29; Jacques Derrida, Writing
and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press,
1978), xi–xiii.
[10]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–2.
[11]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 33; Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52–53.
4.
Rasionalitas dan Logika: Hubungan dan
Perbedaannya
Rasionalitas dan
logika adalah dua konsep inti dalam filsafat yang kerap digunakan secara
bergantian, namun sejatinya memiliki cakupan dan fungsi yang berbeda meskipun
saling berkaitan erat. Rasionalitas mencerminkan kemampuan dan kecenderungan
untuk berpikir secara masuk akal, sistematis, dan beralasan, sementara logika
adalah perangkat normatif yang menyediakan aturan-aturan formal bagi validitas
penalaran. Dengan demikian, logika dapat dipandang sebagai instrumen utama
dalam pelaksanaan rasionalitas, namun rasionalitas tidak terbatas hanya pada
penerapan logika formal.
4.1. Logika sebagai Alat Rasionalitas
Logika memberikan
kerangka aturan yang memungkinkan seseorang menyusun argumen yang sah secara
struktural. Dalam bentuknya yang paling dasar, logika formal, seperti silogisme
Aristotelian atau logika proposisional modern, menyediakan prinsip-prinsip
seperti hukum identitas (A = A), hukum non-kontradiksi (A ≠ ¬A),
dan hukum excluded middle (A ∨ ¬A),
yang menjadi syarat dasar bagi pemikiran yang koheren.¹ Melalui struktur logis
ini, pemikir dapat mengevaluasi validitas deduksi, menilai konsistensi argumen,
dan menghindari kekeliruan berpikir (fallacies).
Namun, logika
bersifat netral terhadap isi—ia hanya mengatur bentuk argumen, bukan kebenaran
materiil dari premis. Misalnya, argumen “Semua unicorn adalah makhluk
berkaki empat; Pegasus adalah unicorn; maka Pegasus adalah makhluk berkaki
empat” adalah valid secara logis, meskipun isi premisnya fiktif.² Dalam hal
ini, logika melayani fungsi penting dalam rasionalitas teoretis, tetapi
tidak mencakup dimensi-dimensi lain dari berpikir rasional, seperti penilaian
pragmatis atau pertimbangan etis.
4.2. Rasionalitas sebagai Praktik Intelektual Lebih Luas
Rasionalitas tidak
hanya mencakup logika formal, tetapi juga mencakup aspek-aspek seperti
konsistensi kepercayaan, kemampuan untuk memperbarui keyakinan berdasarkan
bukti, serta kepekaan terhadap konteks sosial dan moral dari keputusan.³ Robert
Audi menyatakan bahwa “rasionalitas mencakup pertimbangan evaluatif yang
melampaui aturan inferensi logis semata.”_⁴ Dengan kata lain, seseorang
dapat membuat argumen yang logis tetapi tidak rasional dalam konteks tertentu,
misalnya ketika informasi penting diabaikan atau ketika motivasi bias
mengganggu proses berpikir.
Lebih jauh lagi,
filsuf seperti Herbert Simon memperkenalkan konsep bounded
rationality untuk menjelaskan bahwa dalam praktik kehidupan
nyata, manusia sering membuat keputusan dengan rasionalitas yang terbatas oleh
waktu, informasi, dan kapasitas kognitif.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa prinsip
rasionalitas melibatkan pertimbangan realistis tentang bagaimana akal bekerja
dalam kondisi konkret, sedangkan logika cenderung mengasumsikan idealitas
proses berpikir.
4.3. Rasionalitas Deduktif, Induktif, dan Abduktif
Dalam kerangka
hubungan ini, bentuk-bentuk penalaran seperti deduksi, induksi, dan abduksi
merupakan ekspresi rasionalitas dalam beragam bentuk. Penalaran deduktif tunduk
ketat pada logika formal; kesimpulannya pasti jika premis benar. Penalaran
induktif menyimpulkan generalisasi berdasarkan observasi terbatas, sedangkan
penalaran abduktif (atau inferensi ke penjelasan terbaik) mencari penjelasan
paling masuk akal dari data yang tersedia.⁶ Logika deduktif bersifat normatif
dan formal, sedangkan induksi dan abduksi lebih bersifat probabilistik dan
kontekstual—namun semuanya tetap berada dalam ranah rasionalitas.
4.4. Logika dalam Rasionalitas Praktis dan Komunikatif
Dalam filsafat
kontemporer, rasionalitas juga dipahami sebagai fenomena dialogis dan
komunikatif. Jürgen Habermas mengembangkan konsep rasionalitas
komunikatif, di mana kebenaran suatu klaim tidak hanya diuji
melalui logika, tetapi juga dalam proses diskursus yang terbuka dan bebas dari
dominasi.⁷ Dalam kerangka ini, logika tetap penting, namun hanya sebagai bagian
dari proses dialogis yang lebih luas, yang melibatkan aspek etika, sosial, dan
pragmatik.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 11–14.
[2]
Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 5–6.
[3]
Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical Inquiry
(Oxford: Oxford University Press, 1988), 23–25.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 110.
[5]
Herbert A. Simon, “A Behavioral Model of Rational Choice,” Quarterly
Journal of Economics 69, no. 1 (1955): 99–118.
[6]
Charles S. Peirce, “The Fixation of Belief,” dalam The Essential
Peirce: Selected Philosophical Writings, ed. Nathan Houser dan Christian
Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 109–123.
[7]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 8–10.
5.
Prinsip Rasionalitas dalam Etika dan Epistemologi
Prinsip rasionalitas
memainkan peran fundamental dalam dua cabang utama filsafat: etika
dan epistemologi.
Dalam konteks etika, rasionalitas memungkinkan individu menilai tindakan secara
moral berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya dorongan
emosional atau tradisi buta. Dalam epistemologi, rasionalitas adalah prasyarat
utama dalam pembentukan keyakinan yang sah, serta menjadi dasar evaluasi
terhadap pengetahuan, justifikasi, dan kebenaran. Keduanya menunjukkan bahwa
rasionalitas bukan semata kerangka teknis logis, melainkan juga norma evaluatif
dalam kehidupan intelektual dan moral manusia.
5.1. Rasionalitas sebagai Dasar dalam Pengambilan
Keputusan Etis
Dalam filsafat
moral, prinsip rasionalitas membantu menghindarkan keputusan etis dari sikap
impulsif, subjektivisme ekstrem, atau relativisme nilai yang tak terkontrol.
Filsuf Immanuel
Kant menekankan pentingnya rasionalitas dalam membentuk
imperatif moral yang bersifat universal. Menurut Kant, suatu tindakan hanya
dapat dikatakan bermoral jika prinsip yang mendasarinya dapat dijadikan hukum
universal, yaitu melalui categorical imperative yang berasal
dari akal praktis.¹ Rasionalitas di sini bukan hanya syarat untuk berpikir
etis, tetapi juga merupakan sumber otonomi moral.
Dalam filsafat
utilitarianisme, prinsip rasionalitas mengambil bentuk kalkulasi manfaat dan
kerugian secara logis untuk menentukan tindakan terbaik. John
Stuart Mill, misalnya, mengusulkan bahwa pertimbangan etis
rasional mencakup evaluasi terhadap kualitas dan kuantitas
kebahagiaan yang dihasilkan suatu tindakan.² Meskipun pendekatan ini menekankan
dimensi konsekuensial, penalaran rasional tetap menjadi perangkat utama dalam
mengukur dampak moral dari pilihan tindakan.
Dalam konteks
kontemporer, Thomas Scanlon mengembangkan
pendekatan konstruktivis rasional dalam etika kontraktualis, yang menyatakan
bahwa tindakan adalah salah jika tidak dapat dibenarkan kepada orang lain
berdasarkan alasan yang tidak dapat mereka tolak.³ Ini menunjukkan bahwa
rasionalitas etis juga melibatkan dimensi intersubjektif dan dialogis, bukan
hanya perhitungan individual.
5.2. Rasionalitas sebagai Fondasi Epistemik
Dalam epistemologi,
rasionalitas merupakan tolok ukur bagi keabsahan keyakinan dan justifikasi
pengetahuan. Suatu kepercayaan dikatakan rasional jika didasarkan pada alasan
yang kuat, bukti yang memadai, serta tahan terhadap pengujian kritis.⁴ Alvin
Plantinga membedakan antara rasionalitas deontik
(berkewajiban rasional), evaluatif (baik secara rasional),
dan struktur
internal (rasional dalam kondisi kognitif normal).⁵ Perbedaan ini
menunjukkan bahwa prinsip rasionalitas epistemik bersifat kompleks dan dapat
dipahami dari berbagai perspektif normatif.
Lebih lanjut, Laurence
BonJour menggarisbawahi bahwa rasionalitas diperlukan agar
seseorang tidak hanya percaya bahwa sesuatu itu benar,
tetapi juga mengetahui mengapa hal itu benar.⁶
Rasionalitas tidak hanya membedakan antara pengetahuan dan keyakinan, tetapi
juga menjadi dasar untuk membangun sistem kepercayaan yang koheren dan dapat
dibenarkan. Dalam teori coherentism, misalnya,
kepercayaan dianggap rasional jika ia terintegrasi secara harmonis dalam
jaringan kepercayaan yang saling mendukung.⁷
Dalam filsafat ilmu,
prinsip rasionalitas juga membimbing praktik ilmiah: dari perumusan hipotesis,
pengujian empirik, hingga revisi teori. Karl Popper menekankan
pentingnya critical
rationalism, yakni bahwa teori ilmiah yang baik adalah yang terbuka
terhadap falsifikasi.⁸ Dengan demikian, rasionalitas menjadi prinsip penggerak
bagi dinamika pengetahuan ilmiah yang progresif dan terbuka terhadap koreksi.
5.3. Rasionalitas, Objektivitas, dan Komitmen Kebenaran
Baik dalam etika
maupun epistemologi, rasionalitas memiliki relasi erat dengan objektivitas
dan komitmen
terhadap kebenaran. Dalam ranah etis, objektivitas memungkinkan
seseorang mempertimbangkan kepentingan moral pihak lain secara adil. Dalam
ranah epistemik, rasionalitas menjamin bahwa keyakinan tidak semata bersifat
dogmatis atau didasarkan pada preferensi personal.⁹ Rasionalitas, dengan demikian,
bukan sekadar alat, melainkan juga sikap intelektual dan moral
terhadap kebenaran—yang mengharuskan keterbukaan, evaluasi kritis, dan tanggung
jawab dalam berpikir.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.
[2]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 13–15.
[3]
T. M. Scanlon, What We Owe to Each Other (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1998), 153–157.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 115–118.
[5]
Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (New York: Oxford
University Press, 1993), 40–42.
[6]
Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 8–9.
[7]
Ernest Sosa, “The Raft and the Pyramid: Coherence versus Foundations in
the Theory of Knowledge,” Midwest Studies in Philosophy 5, no. 1
(1980): 3–26.
[8]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 44–46.
[9]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 17–18.
6.
Kritik terhadap Rasionalitas dan Respons
Filosofis
Meskipun prinsip
rasionalitas telah lama menjadi pilar utama dalam berpikir filosofis, ia tidak
lepas dari kritik, baik dari dalam tradisi filsafat sendiri maupun dari
perspektif multidisipliner. Kritik terhadap rasionalitas mencakup berbagai
aspek, mulai dari keberatan terhadap klaim universalitasnya, keraguan terhadap
netralitasnya, hingga pertanyaan tentang keterbatasannya dalam menjelaskan
pengalaman manusia secara utuh. Berbagai aliran filsafat seperti
eksistensialisme, feminisme, postmodernisme, hingga filsafat bahasa telah
mengajukan kritik mendalam terhadap asumsi-asumsi dasar yang mendasari konsep
rasionalitas tradisional. Namun, kritik-kritik ini juga memicu respons yang
memperkaya pemahaman kita tentang fungsi dan batas rasionalitas dalam kehidupan
intelektual.
6.1. Kritik Eksistensialis dan Fenomenologis
Para filsuf
eksistensialis seperti Søren Kierkegaard, Martin
Heidegger, dan Jean-Paul Sartre menolak
dominasi rasionalitas abstrak dalam menjelaskan eksistensi manusia yang
bersifat unik, subjektif, dan tak terduga. Kierkegaard menegaskan bahwa kebenaran
subjektif, yang diperoleh melalui lompatan iman dan pengalaman personal, lebih
autentik daripada klaim rasional objektif.¹ Heidegger, dalam Being
and Time, menunjukkan bahwa struktur eksistensial manusia (Dasein)
tidak dapat direduksi ke dalam skema logis atau sistem rasional.² Bagi Sartre,
rasionalitas adalah struktur yang sering kali gagal memahami kebebasan radikal
manusia dan keterasingannya dalam dunia.³ Kritik eksistensialis ini menyoroti
keterbatasan rasionalitas dalam menjangkau dimensi eksistensial dan afektif
dari kehidupan manusia.
6.2. Kritik Postmodern: Relativitas, Kekuasaan, dan
Bahasa
Aliran postmodern
mengajukan kritik radikal terhadap klaim universalitas dan netralitas
rasionalitas. Michel Foucault memandang bahwa
yang disebut “rasional” dalam sejarah Barat sering kali merupakan hasil
dari konstruksi diskursif yang sarat dengan relasi kuasa.⁴ Rasionalitas,
menurutnya, bukanlah kebenaran objektif yang netral, melainkan produk dari
rezim pengetahuan yang hegemonik. Jacques Derrida dalam pendekatan
deconstruction-nya
membongkar asumsi metafisika kehadiran yang selama ini menopang sistem
rasionalitas Barat, dan menekankan ketidakstabilan makna dalam bahasa.⁵ Kritik
ini memperlihatkan bahwa rasionalitas tidak bebas dari konteks historis, kultural,
dan linguistik yang membentuknya.
6.3. Kritik dari Perspektif Feminisme dan Ilmu Sosial
Filsuf feminis
seperti Sandra Harding dan Alison
Jaggar mengkritik rasionalitas sebagai kategori yang secara
historis dibangun dalam kerangka patriarkis dan eksklusif terhadap pengalaman
perempuan serta kelompok marjinal.⁶ Rasionalitas, dalam pandangan mereka,
sering disandingkan dengan maskulinitas dan dipertentangkan dengan emosi,
intuisi, dan relasi empatik yang justru penting dalam kehidupan manusia.⁷ Demikian
pula dalam ilmu sosial, para teoritikus seperti Bruno Latour mengkritik
pemisahan tegas antara sains yang “rasional” dan masyarakat yang “irasional,”
serta menunjukkan bagaimana produksi pengetahuan ilmiah juga dipengaruhi oleh
jaringan sosial dan institusional.⁸
6.4. Respons Filosofis terhadap Kritik
Sebagai respons
terhadap kritik tersebut, para filsuf kontemporer tidak menolak rasionalitas
secara total, tetapi merekonstruksinya dalam bentuk yang lebih inklusif,
kontekstual, dan reflektif. Jürgen Habermas, misalnya,
mengembangkan konsep rasionalitas komunikatif, yang
tidak mendasarkan klaim rasionalitas pada dominasi teknokratis atau logika
formal semata, tetapi pada kesediaan partisipatif untuk memberi dan menerima
alasan secara terbuka dalam diskursus.⁹ Richard Rorty menyarankan agar
kita meninggalkan pencarian fondasi rasionalitas universal dan menerima
pluralitas alasan yang berakar pada konteks budaya dan praktik diskursif.¹⁰
Lebih lanjut, filsuf
seperti Nicholas Rescher berpendapat
bahwa rasionalitas tetap merupakan norma penting dalam kehidupan intelektual
dan sosial, asalkan kita menyadari keterbatasannya dan menyesuaikan
penggunaannya dengan domain yang relevan.¹¹ Dalam pendekatan ini, rasionalitas
dipahami bukan sebagai sistem absolut, tetapi sebagai kerangka
normatif terbuka yang memungkinkan dialog, koreksi diri, dan
pertumbuhan pengetahuan dalam masyarakat pluralistik.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to
Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong
(Princeton: Princeton University Press, 1992), 189–191.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–36.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568–570.
[4]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 215–217.
[5]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.
[6]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from
Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 123–125.
[7]
Alison M. Jaggar, “Love and Knowledge: Emotion in Feminist
Epistemology,” Inquiry 32, no. 2 (1989): 151–176.
[8]
Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and
Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987),
6–8.
[9]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–88.
[10]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 384–386.
[11]
Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical Inquiry
(Oxford: Oxford University Press, 1988), 169–171.
7.
Aplikasi Prinsip Rasionalitas dalam Kehidupan
Modern
Prinsip rasionalitas
tidak hanya relevan dalam dunia filsafat teoritis, tetapi juga memiliki peran
krusial dalam membentuk perilaku, pengambilan keputusan, dan tata kelola
kehidupan modern. Dalam era yang ditandai oleh kompleksitas informasi, dinamika
sosial yang cepat, serta tantangan global seperti perubahan iklim dan
polarisasi politik, penerapan rasionalitas menjadi semakin penting sebagai
fondasi bagi pemikiran kritis, pengambilan kebijakan yang adil, serta komunikasi
yang etis dan produktif. Rasionalitas modern tidak lagi sekadar soal
konsistensi logis, tetapi juga keterbukaan terhadap bukti, kejelasan
argumentasi, dan tanggung jawab intelektual dalam praktik sehari-hari.
7.1. Rasionalitas dalam Pengambilan Keputusan Individu
dan Sosial
Di tingkat individu,
rasionalitas membantu dalam membuat keputusan yang lebih tepat, berdasarkan
pertimbangan informasi yang relevan, pemahaman sebab-akibat, serta evaluasi
risiko dan konsekuensi. Teori expected utility dalam ekonomi
dan psikologi, misalnya, mengandalkan prinsip rasionalitas sebagai asumsi dasar
perilaku manusia dalam memilih opsi yang memaksimalkan manfaat.¹ Namun,
penelitian dalam bidang behavioral economics oleh tokoh
seperti Daniel Kahneman dan Amos
Tversky menunjukkan bahwa manusia seringkali menyimpang dari
pola rasionalitas ideal karena bias kognitif dan heuristik.² Hal ini
mengindikasikan bahwa penerapan rasionalitas dalam kehidupan nyata perlu
dilengkapi dengan refleksi kritis terhadap keterbatasan pikiran manusia.
Pada level sosial,
prinsip rasionalitas mendasari diskusi publik dan deliberasi demokratis. Dalam
pandangan Jürgen Habermas, rasionalitas
komunikatif memungkinkan masyarakat pluralistik untuk mencapai kesepakatan
melalui pertukaran argumen yang terbuka, setara, dan non-koersif.³ Forum publik
yang sehat bergantung pada warga negara yang mampu berargumen dengan alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan dan bersedia mengoreksi posisi mereka jika
terbukti keliru.
7.2. Rasionalitas dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Rasionalitas juga
merupakan jantung dari praktik ilmiah modern. Metodologi sains mengandalkan
prinsip inferensi logis, pengujian hipotesis, dan keterbukaan terhadap
falsifikasi sebagai bentuk komitmen terhadap pencarian kebenaran.⁴ Prinsip ini
melahirkan pencapaian besar dalam teknologi dan medis, tetapi juga menghadirkan
dilema etis dan ekologis yang memerlukan kontrol rasional dalam penerapannya.
Di sinilah muncul kebutuhan akan integrasi antara rasionalitas
teknis dan rasionalitas substantif,
sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber, yakni bahwa kemajuan
teknologi harus diarahkan oleh nilai-nilai dan tujuan etis yang rasional.⁵
Dalam era digital
dan informasi, tantangan baru muncul dalam bentuk disinformasi,
echo
chambers, dan algoritma yang memperkuat polarisasi. Untuk itu,
rasionalitas tidak cukup hanya dalam bentuk logika internal, tetapi harus
diperluas ke literasi informasi, berpikir kritis, dan skeptisisme metodologis
terhadap klaim yang belum tervalidasi.⁶
7.3. Rasionalitas dalam Praktik Etika dan Hukum
Di bidang etika
terapan dan hukum, rasionalitas menyediakan kerangka untuk menimbang keadilan,
hak, dan tanggung jawab. Praktik yudisial yang adil mengharuskan pertimbangan
bukti secara objektif dan penalaran hukum yang transparan, sesuai dengan asas due process.⁷
Dalam bioetika, penilaian rasional digunakan untuk menyusun kebijakan medis,
distribusi sumber daya, dan penanganan dilema seperti euthanasia atau rekayasa
genetik.⁸ Rasionalitas moral di sini mencakup empati yang ditransformasikan ke
dalam pertimbangan rasional yang adil dan bertanggung jawab.
7.4. Rasionalitas dan Tantangan Global
Dalam konteks
global, tantangan seperti perubahan iklim, konflik geopolitik, dan ketimpangan
ekonomi menuntut respons yang berbasis pada rasionalitas kolektif. Solusi
terhadap krisis ini tidak dapat dicapai melalui ideologi atau insting semata,
melainkan melalui dialog lintas budaya, kerja sama ilmiah, dan kebijakan
berbasis bukti (evidence-based policy).⁹
Rasionalitas menyediakan alat untuk menyusun prioritas, mengevaluasi alternatif,
dan mengelola sumber daya dengan efektif dan berkeadilan.
Footnotes
[1]
John von Neumann dan Oskar Morgenstern, Theory of Games and
Economic Behavior, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 1953),
8–10.
[2]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 20–25.
[3]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg
(Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–109.
[4]
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (London: Routledge, 2002), 33–36.
[5]
Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus
Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 24–27.
[6]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 51–55.
[7]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1986), 111–115.
[8]
Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013), 27–30.
[9]
Steven Pinker, Enlightenment Now: The Case for Reason, Science,
Humanism, and Progress (New York: Viking, 2018), 187–192.
8.
Simpulan
Prinsip rasionalitas merupakan fondasi tak
tergantikan dalam berpikir filosofis, yang mengarahkan manusia untuk
menggunakan akalnya secara terstruktur, konsisten, dan terbuka terhadap
evaluasi kritis. Sebagai pilar utama dalam filsafat, rasionalitas tidak hanya
mendukung validitas argumen logis, tetapi juga memainkan peran sentral dalam membentuk
landasan etika, epistemologi, ilmu pengetahuan, dan kehidupan sosial secara
keseluruhan.¹
Sejarah panjang prinsip rasionalitas menunjukkan
bagaimana gagasan ini berkembang dari warisan logika klasik Aristoteles,
rasionalisme Descartes, hingga ke bentuk-bentuk rasionalitas kontemporer yang
lebih dialogis dan intersubjektif, seperti yang diajukan oleh Habermas.²
Evolusi ini membuktikan bahwa rasionalitas bukanlah suatu dogma statis,
melainkan prinsip normatif yang terus disesuaikan dengan tantangan historis dan
kultural.
Namun, rasionalitas bukan tanpa kritik. Perspektif
eksistensialis, feminis, postmodern, dan kritis telah membongkar mitos-mitos
universalisme, netralitas, dan superioritas rasionalitas formal yang selama ini
mendominasi wacana filosofis.³ Kritik-kritik tersebut membuka ruang untuk
refleksi yang lebih dalam dan konstruktif terhadap keterbatasan serta dimensi
etis dari penggunaan rasio. Alih-alih melemahkan prinsip rasionalitas,
pendekatan ini justru memperkaya dan memperluas pemahamannya dalam konteks
kemanusiaan yang kompleks dan pluralistik.⁴
Di era modern yang ditandai oleh kemajuan
teknologi, ledakan informasi, dan tantangan global, rasionalitas dibutuhkan
lebih dari sebelumnya—bukan sebagai alat dominasi, tetapi sebagai sarana
refleksi, klarifikasi nilai, dan pencarian solusi kolektif. Aplikasi
rasionalitas dalam bidang seperti pengambilan keputusan, kebijakan publik, ilmu
pengetahuan, etika terapan, dan dialog antarbudaya menjadi bukti bahwa prinsip
ini tetap relevan dan esensial bagi pembangunan peradaban yang beradab dan
berkeadilan.⁵
Dengan demikian, mempertahankan dan mengembangkan
prinsip rasionalitas adalah tanggung jawab filosofis dan etis yang harus
diemban oleh siapa pun yang ingin berkontribusi pada kehidupan intelektual yang
sehat, sistem nilai yang rasional, serta masyarakat yang terbuka dan
bertanggung jawab. Seperti ditegaskan oleh Nicholas Rescher, "rasionalitas
bukan hanya soal berpikir benar, melainkan juga tentang hidup dengan integritas
intelektual."_⁶
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary
Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge,
2011), 106–108.
[2]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 15–17.
[3]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 211–212; Sandra
Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 123–125.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 386.
[5]
Steven Pinker, Enlightenment Now: The Case for
Reason, Science, Humanism, and Progress (New York: Viking, 2018), 190–192.
[6]
Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical
Inquiry (Oxford: Oxford University Press, 1988), 173.
Daftar Pustaka
Audi, R. (2011). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Beauchamp, T. L., &
Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.).
Oxford University Press.
BonJour, L. (1985). The
structure of empirical knowledge. Harvard University Press.
Copi, I. M., Cohen, C.,
& McMahon, K. (2014). Introduction to logic (14th ed.). Routledge.
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Dworkin, R. (1986). Law’s
empire. Harvard University Press.
Foucault, M. (1972). The
archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action: Reason and the rationalization of society
(Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1996). Between
facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy
(W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Harding, S. (1991). Whose
science? Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Cornell University
Press.
Haack, S. (1978). Philosophy
of logics. Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Jaggar, A. M. (1989). Love
and knowledge: Emotion in feminist epistemology. Inquiry, 32(2),
151–176. https://doi.org/10.1080/00201748908602185
Kahneman, D. (2011). Thinking,
fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.
Kant, I. (1998). Groundwork
for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1785)
Kant, I. (1996). What
is enlightenment? (M. C. Smith, Trans.). Columbia University Press.
(Original work published 1784)
Kierkegaard, S. (1992). Concluding
unscientific postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H.
Hong, Trans.). Princeton University Press.
Latour, B. (1987). Science
in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard
University Press.
Leibniz, G. W. (1989). The
principles of philosophy, or, The monadology. In R. Ariew & D. Garber (Eds.
& Trans.), Philosophical essays (pp. 210–215). Hackett Publishing.
(Original work published 1714)
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism
(R. Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1861)
Neumann, J. von, &
Morgenstern, O. (1953). Theory of games and economic behavior (3rd
ed.). Princeton University Press.
Peirce, C. S. (1992). The
fixation of belief. In N. Houser & C. Kloesel (Eds.), The essential
Peirce: Selected philosophical writings (Vol. 1, pp. 109–123). Indiana
University Press. (Original work published 1877)
Pinker, S. (2018). Enlightenment
now: The case for reason, science, humanism, and progress. Viking.
Plantinga, A. (1993). Warrant
and proper function. Oxford University Press.
Plato. (1992). The
Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing. (Original work
published ca. 380 BCE)
Plato. (1996). Euthyphro,
Apology, Crito (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.
Popper, K. (2002). Conjectures
and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge. (Original
work published 1963)
Popper, K. (2002). The
logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1934)
Rescher, N. (1988). Rationality:
A philosophical inquiry. Oxford University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being
and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.
Scanlon, T. M. (1998). What
we owe to each other. Harvard University Press.
Simon, H. A. (1955). A
behavioral model of rational choice. Quarterly Journal of Economics,
69(1), 99–118. https://doi.org/10.2307/1884852
Sosa, E. (1980). The raft
and the pyramid: Coherence versus foundations in the theory of knowledge. Midwest
Studies in Philosophy, 5(1), 3–26. https://doi.org/10.1111/j.1475-4975.1980.tb00484.x
Sunstein, C. R. (2017). #Republic:
Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Weber, M. (1978). Economy
and society (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar