Jumat, 02 Mei 2025

Prinsip Rasionalitas dalam Berpikir Filosofis: Pilar Nalar, Argumen, dan Kebenaran

Prinsip Rasionalitas dalam Berpikir Filosofis

Pilar Nalar, Argumen, dan Kebenaran


Alihkan ke: Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang prinsip rasionalitas sebagai salah satu fondasi utama dalam berpikir filosofis. Rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai kemampuan logis formal, melainkan juga sebagai prinsip normatif yang membimbing penalaran yang masuk akal, koheren, dan dapat dipertanggungjawabkan secara epistemik maupun etis. Melalui kajian historis, artikel ini menelusuri perkembangan konsep rasionalitas dari filsafat Yunani Kuno, pemikiran skolastik Abad Pertengahan, rasionalisme modern, hingga respons kritis dalam filsafat kontemporer seperti eksistensialisme, feminisme, dan postmodernisme. Selain mengeksplorasi hubungan antara rasionalitas dan logika, artikel ini juga menyoroti peran rasionalitas dalam etika dan epistemologi, serta aplikasinya dalam konteks kehidupan modern—mulai dari pengambilan keputusan, praktik ilmiah, kebijakan publik, hingga dialog sosial. Dengan mengacu pada sumber-sumber referensi akademik yang kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa prinsip rasionalitas tetap relevan dan vital bagi pembangunan pemikiran kritis, kehidupan sosial yang etis, dan kemajuan peradaban manusia di tengah kompleksitas dunia kontemporer.

Kata Kunci: Rasionalitas, logika, filsafat, etika, epistemologi, rasionalisme, kritik postmodern, berpikir kritis, komunikasi etis, ilmu pengetahuan.


PEMBAHASAN

Prinsip Rasionalitas dalam Berpikir Filosofis


1.           Pendahuluan

Dalam ranah filsafat, berpikir tidak sekadar aktivitas mental biasa, melainkan upaya sadar dan sistematis untuk mengeksplorasi realitas, nilai, serta makna dengan menggunakan akal budi sebagai alat utama. Salah satu prinsip dasar yang menjadi fondasi dari keseluruhan bangunan berpikir filosofis adalah prinsip rasionalitas. Prinsip ini menuntut agar seseorang menggunakan nalar secara konsisten, logis, dan objektif dalam proses penalaran dan pengambilan kesimpulan. Rasionalitas bukan hanya alat bantu teknis dalam berpikir, melainkan juga cerminan dari integritas intelektual dan komitmen terhadap pencarian kebenaran.

Dalam sejarah filsafat Barat, rasionalitas telah menjadi pijakan utama sejak masa Yunani Kuno. Socrates, misalnya, menekankan pentingnya dialog rasional sebagai sarana untuk menguji ide-ide dan mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan keadilan. Melalui metode elenktikanya, ia menunjukkan bahwa pemikiran yang tidak diuji tidak layak untuk dijalani.¹ Rasionalitas kemudian menjadi pusat perhatian dalam rasionalisme modern yang dipelopori oleh René Descartes, yang terkenal dengan ungkapan Cogito, ergo sum sebagai titik tolak epistemologis yang berbasis pada akal sebagai dasar kepastian.²

Secara umum, prinsip rasionalitas menghendaki agar penalaran dilakukan secara koheren, berdasarkan premis yang dapat dipertanggungjawabkan, serta terbuka terhadap pengujian kritis.³ Rasionalitas memungkinkan manusia membedakan antara keyakinan yang masuk akal dan prasangka, antara pengetahuan yang sah dan asumsi yang tidak berdasar.⁴ Dalam konteks ini, prinsip rasionalitas menjadi landasan epistemik untuk membangun sistem pengetahuan yang dapat diverifikasi dan diterima secara intersubjektif.

Namun, dalam perkembangan pemikiran filsafat kontemporer, prinsip rasionalitas tidak luput dari kritik. Sebagian pemikir postmodern, seperti Michel Foucault dan Richard Rorty, mempertanyakan universalitas dan netralitas klaim rasionalitas, dengan menunjukkan bahwa apa yang dianggap rasional sering kali dibentuk oleh kekuasaan, sejarah, dan bahasa.⁵ Meskipun demikian, banyak filsuf modern tetap mempertahankan pentingnya rasionalitas, bukan sebagai doktrin absolut, melainkan sebagai prinsip kerja yang memungkinkan terjadinya dialog, klarifikasi konsep, dan pemecahan masalah secara sistematis.⁶

Oleh karena itu, pembahasan tentang prinsip rasionalitas dalam berpikir filosofis menjadi sangat penting, bukan hanya sebagai kajian konseptual, tetapi juga sebagai refleksi kritis atas bagaimana kita membangun argumen, mengevaluasi ide, serta menjelajahi kompleksitas realitas dengan tanggung jawab intelektual. Artikel ini akan menguraikan pengertian, sejarah perkembangan, penerapan, dan tantangan terhadap prinsip rasionalitas dalam konteks filsafat, disertai dengan referensi akademik yang relevan untuk memperkuat keabsahan analisis.


Footnotes

[1]                Plato, The Apology of Socrates, terj. Benjamin Jowett (New York: The Modern Library, 1956), 38a.

[2]                René Descartes, Discourse on the Method, terj. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 17.

[3]                Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical Inquiry (Oxford: Oxford University Press, 1988), 3.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 21.

[5]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, terj. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 211–212; Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 6–7.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 9–10.


2.           Definisi dan Hakikat Prinsip Rasionalitas

Prinsip rasionalitas merupakan asas dasar dalam filsafat yang mengandaikan bahwa pemikiran manusia seyogianya tunduk pada kaidah-kaidah akal sehat, koherensi logis, dan justifikasi epistemik. Rasionalitas dalam konteks filsafat bukan semata-mata penggunaan logika formal, melainkan juga keterbukaan terhadap argumentasi, konsistensi dalam berpikir, serta kesediaan untuk menyesuaikan kepercayaan berdasarkan bukti dan alasan yang memadai.¹ Dengan kata lain, prinsip rasionalitas menuntut agar seseorang tidak hanya berpikir, tetapi berpikir secara benar—yakni berpikir berdasarkan prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual.

Secara terminologis, rasionalitas berasal dari kata Latin ratio, yang berarti “akal” atau “nalar.” Dalam filsafat Barat, rasionalitas telah lama dipandang sebagai atribut utama manusia sebagai makhluk berpikir (homo rationalis).² Nicholas Rescher mendefinisikan rasionalitas sebagai "kecenderungan untuk bertindak, berpikir, dan mempercayai dengan alasan-alasan yang baik dan memadai," dan membedakan antara rasionalitas teoretis (yang berkaitan dengan penalaran tentang apa yang benar) dan rasionalitas praktis (yang berkaitan dengan tindakan yang pantas dilakukan).³ Pembagian ini mencerminkan luasnya cakupan prinsip rasionalitas, yang tidak hanya mencakup ranah logika dan epistemologi, tetapi juga etika dan keputusan praktis.

Dalam konteks penalaran ilmiah dan filosofis, prinsip rasionalitas berfungsi sebagai pedoman untuk membangun argumen yang valid dan menyaring kepercayaan yang tidak berdasar. Robert Audi menegaskan bahwa rasionalitas adalah “landasan untuk pembenaran epistemik dan kriteria utama untuk penilaian intelektual,” yang menjadikannya inti dari proses berpikir kritis.⁴ Rasionalitas menuntut kejelasan konsep, hubungan premis-konklusi yang sah, serta sensitivitas terhadap kekeliruan logis atau bias kognitif yang dapat merusak validitas kesimpulan.

Lebih lanjut, rasionalitas harus dibedakan dari rasionalisme sebagai aliran filsafat. Rasionalitas adalah prinsip umum dalam berpikir, sedangkan rasionalisme adalah posisi epistemologis yang mengutamakan akal sebagai sumber utama pengetahuan, berlawanan dengan empirisme yang menekankan pengalaman inderawi.⁵ Dengan demikian, prinsip rasionalitas bersifat lebih universal dan aplikatif, karena dapat diadopsi oleh berbagai aliran filsafat selama mereka menghargai integritas argumen dan penalaran logis.

Terdapat pula perbedaan antara rasionalitas internal dan rasionalitas eksternal. Rasionalitas internal berkaitan dengan koherensi internal sistem kepercayaan seseorang, sedangkan rasionalitas eksternal merujuk pada kesesuaian kepercayaan tersebut dengan realitas objektif atau bukti empiris.⁶ Distingsi ini penting dalam memahami bagaimana suatu keyakinan bisa tampak masuk akal dari dalam kerangka berpikir seseorang, tetapi tetap bisa dikritisi dari luar berdasarkan standar epistemik yang lebih luas.

Secara keseluruhan, prinsip rasionalitas tidak dapat dilepaskan dari upaya filsafat untuk mencapai pemahaman yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa prinsip ini, berpikir filosofis kehilangan arah dan fondasinya. Oleh karena itu, penguasaan atas prinsip rasionalitas merupakan prasyarat untuk menjadi subjek epistemik yang matang, dan sekaligus menjadi landasan normatif bagi diskursus intelektual yang sehat.


Footnotes

[1]                Jonathan Adler, “Epistemological Problems of Rationality,” The Oxford Handbook of Rationality, ed. Alfred R. Mele and Piers Rawling (Oxford: Oxford University Press, 2004), 236–238.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, Volume 1: Ancient Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), 9.

[3]                Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical Inquiry (Oxford: Oxford University Press, 1988), 15–17.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 106.

[5]                Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant (London: Routledge, 1991), 4–5.

[6]                Alvin Goldman, “What Is Justified Belief?” in Epistemology: An Anthology, ed. Ernest Sosa, Jaegwon Kim, Jeremy Fantl, and Matthew McGrath (Malden, MA: Blackwell, 2008), 336–339.


3.           Sejarah dan Evolusi Prinsip Rasionalitas dalam Filsafat

Prinsip rasionalitas memiliki akar historis yang sangat panjang dan berperan sentral dalam perkembangan filsafat dari masa ke masa. Sejak zaman Yunani Kuno, filsuf-filsuf besar telah menjadikan nalar sebagai alat utama untuk memahami hakikat dunia, eksistensi manusia, dan struktur kebenaran. Evolusi prinsip ini tidak hanya menunjukkan dinamika pemikiran manusia, tetapi juga menampilkan pergeseran paradigma dalam memahami akal, pengalaman, dan batasan rasionalitas itu sendiri.

3.1.       Rasionalitas dalam Filsafat Yunani Kuno

Di masa awal filsafat Barat, rasionalitas sudah tampak menonjol dalam pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates mengajarkan pentingnya dialog kritis untuk menguji asumsi dan mencapai definisi moral yang jelas. Melalui metode elenchus (tanya jawab kritis), ia mendorong pemurnian ide-ide yang didasarkan pada pertimbangan rasional, bukan semata tradisi atau opini.¹ Bagi Plato, dunia nyata hanyalah bayangan dari dunia ide yang hanya dapat diakses melalui rasio (nous).² Aristoteles kemudian mengembangkan struktur logika formal sebagai kerangka berpikir rasional yang sistematis, dan menyusun prinsip-prinsip silogistik sebagai alat analisis argumentatif.³

3.2.       Rasionalitas dalam Filsafat Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, prinsip rasionalitas dikembangkan dalam kerangka teologi skolastik, terutama oleh tokoh-tokoh seperti Augustinus dan Thomas Aquinas. Rasionalitas digunakan untuk mendukung iman melalui pendekatan fides et ratio (iman dan akal). Thomas Aquinas menegaskan bahwa wahyu ilahi tidak bertentangan dengan akal manusia; keduanya justru saling menguatkan.⁴ Dalam konteks ini, prinsip rasionalitas tidak ditinggalkan, tetapi disesuaikan dengan kerangka religius dan teologis yang dominan pada masa itu.

3.3.       Rasionalitas dalam Era Modern: Rasionalisme dan Pencerahan

Zaman modern ditandai dengan kebangkitan rasionalisme sebagai fondasi epistemologi, terutama oleh René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz. Descartes mendasarkan filsafatnya pada methodic doubt dan menyimpulkan bahwa akal adalah satu-satunya landasan yang tidak dapat diragukan: Cogito, ergo sum.⁵ Spinoza menyusun sistem etika berdasarkan prinsip deduktif-geometris, sedangkan Leibniz mengembangkan prinsip sebab yang cukup (principle of sufficient reason) sebagai hukum universal rasionalitas.⁶ Era Pencerahan (Enlightenment) juga mengangkat rasionalitas sebagai kekuatan pembebas dari takhayul dan otoritas dogmatis, sebagaimana ditekankan oleh Immanuel Kant dalam semboyannya Sapere aude! (Beranilah berpikir sendiri).⁷

3.4.       Tantangan terhadap Rasionalitas: Romantisisme, Eksistensialisme, dan Postmodernisme

Namun, dominasi rasionalitas dalam filsafat tidak berlangsung tanpa kritik. Gerakan Romantisisme menyoroti keterbatasan akal dan mengangkat pentingnya perasaan, intuisi, dan imajinasi. Tokoh-tokoh seperti Kierkegaard dan Nietzsche menolak supremasi akal dalam menjelaskan eksistensi manusia yang penuh paradoks.⁸ Dalam abad ke-20, kritik terhadap rasionalitas semakin tajam melalui arus postmodernisme. Michel Foucault dan Jacques Derrida, misalnya, menunjukkan bahwa apa yang disebut “rasional” sering kali merupakan hasil konstruksi historis yang mencerminkan struktur kuasa dan eksklusi.⁹ Kritik ini menantang asumsi netralitas dan universalitas prinsip rasionalitas.

3.5.       Rasionalitas dalam Filsafat Kontemporer

Dalam filsafat kontemporer, prinsip rasionalitas dipertahankan namun juga direvisi. Jürgen Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif yang menempatkan rasionalitas dalam intersubjektivitas dialogis, bukan dalam monolog internal.¹⁰ Rasionalitas dilihat sebagai kemampuan untuk memberi alasan yang dapat diterima dalam ruang publik yang rasional. Di sisi lain, para filsuf ilmu seperti Karl Popper dan Thomas Kuhn memperdebatkan bentuk dan dinamika rasionalitas dalam sains, memperlihatkan bahwa rasionalitas ilmiah bersifat historis, terbuka, dan bisa berkembang.¹¹

Dengan demikian, sejarah prinsip rasionalitas dalam filsafat menunjukkan bahwa meskipun bentuk dan penekanan konsep ini berubah dari zaman ke zaman, perannya sebagai fondasi pemikiran yang bernalar tetap vital dan tak tergantikan. Prinsip rasionalitas berkembang dari sekadar alat logika menjadi kerangka refleksi kritis dan komunikatif dalam memahami realitas yang kompleks.


Footnotes

[1]                Plato, Euthyphro, Apology, Crito, terj. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 1996), 38a–c.

[2]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.

[3]                Aristotle, Organon, dalam The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 1.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–I, q.1, a.1.

[5]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17.

[6]                G. W. Leibniz, “The Principles of Philosophy, or, The Monadology,” in Philosophical Essays, ed. and trans. Roger Ariew and Daniel Garber (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 210–215.

[7]                Immanuel Kant, What is Enlightenment?, trans. Mary C. Smith (New York: Columbia University Press, 1996), 1.

[8]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 43–45; Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Shaun Whiteside (London: Penguin, 1993), 88.

[9]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–29; Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), xi–xiii.

[10]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–2.

[11]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33; Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52–53.


4.           Rasionalitas dan Logika: Hubungan dan Perbedaannya

Rasionalitas dan logika adalah dua konsep inti dalam filsafat yang kerap digunakan secara bergantian, namun sejatinya memiliki cakupan dan fungsi yang berbeda meskipun saling berkaitan erat. Rasionalitas mencerminkan kemampuan dan kecenderungan untuk berpikir secara masuk akal, sistematis, dan beralasan, sementara logika adalah perangkat normatif yang menyediakan aturan-aturan formal bagi validitas penalaran. Dengan demikian, logika dapat dipandang sebagai instrumen utama dalam pelaksanaan rasionalitas, namun rasionalitas tidak terbatas hanya pada penerapan logika formal.

4.1.       Logika sebagai Alat Rasionalitas

Logika memberikan kerangka aturan yang memungkinkan seseorang menyusun argumen yang sah secara struktural. Dalam bentuknya yang paling dasar, logika formal, seperti silogisme Aristotelian atau logika proposisional modern, menyediakan prinsip-prinsip seperti hukum identitas (A = A), hukum non-kontradiksi (A ≠ ¬A), dan hukum excluded middle (A ¬A), yang menjadi syarat dasar bagi pemikiran yang koheren.¹ Melalui struktur logis ini, pemikir dapat mengevaluasi validitas deduksi, menilai konsistensi argumen, dan menghindari kekeliruan berpikir (fallacies).

Namun, logika bersifat netral terhadap isi—ia hanya mengatur bentuk argumen, bukan kebenaran materiil dari premis. Misalnya, argumen “Semua unicorn adalah makhluk berkaki empat; Pegasus adalah unicorn; maka Pegasus adalah makhluk berkaki empat” adalah valid secara logis, meskipun isi premisnya fiktif.² Dalam hal ini, logika melayani fungsi penting dalam rasionalitas teoretis, tetapi tidak mencakup dimensi-dimensi lain dari berpikir rasional, seperti penilaian pragmatis atau pertimbangan etis.

4.2.       Rasionalitas sebagai Praktik Intelektual Lebih Luas

Rasionalitas tidak hanya mencakup logika formal, tetapi juga mencakup aspek-aspek seperti konsistensi kepercayaan, kemampuan untuk memperbarui keyakinan berdasarkan bukti, serta kepekaan terhadap konteks sosial dan moral dari keputusan.³ Robert Audi menyatakan bahwa “rasionalitas mencakup pertimbangan evaluatif yang melampaui aturan inferensi logis semata.”_⁴ Dengan kata lain, seseorang dapat membuat argumen yang logis tetapi tidak rasional dalam konteks tertentu, misalnya ketika informasi penting diabaikan atau ketika motivasi bias mengganggu proses berpikir.

Lebih jauh lagi, filsuf seperti Herbert Simon memperkenalkan konsep bounded rationality untuk menjelaskan bahwa dalam praktik kehidupan nyata, manusia sering membuat keputusan dengan rasionalitas yang terbatas oleh waktu, informasi, dan kapasitas kognitif.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa prinsip rasionalitas melibatkan pertimbangan realistis tentang bagaimana akal bekerja dalam kondisi konkret, sedangkan logika cenderung mengasumsikan idealitas proses berpikir.

4.3.       Rasionalitas Deduktif, Induktif, dan Abduktif

Dalam kerangka hubungan ini, bentuk-bentuk penalaran seperti deduksi, induksi, dan abduksi merupakan ekspresi rasionalitas dalam beragam bentuk. Penalaran deduktif tunduk ketat pada logika formal; kesimpulannya pasti jika premis benar. Penalaran induktif menyimpulkan generalisasi berdasarkan observasi terbatas, sedangkan penalaran abduktif (atau inferensi ke penjelasan terbaik) mencari penjelasan paling masuk akal dari data yang tersedia.⁶ Logika deduktif bersifat normatif dan formal, sedangkan induksi dan abduksi lebih bersifat probabilistik dan kontekstual—namun semuanya tetap berada dalam ranah rasionalitas.

4.4.       Logika dalam Rasionalitas Praktis dan Komunikatif

Dalam filsafat kontemporer, rasionalitas juga dipahami sebagai fenomena dialogis dan komunikatif. Jürgen Habermas mengembangkan konsep rasionalitas komunikatif, di mana kebenaran suatu klaim tidak hanya diuji melalui logika, tetapi juga dalam proses diskursus yang terbuka dan bebas dari dominasi.⁷ Dalam kerangka ini, logika tetap penting, namun hanya sebagai bagian dari proses dialogis yang lebih luas, yang melibatkan aspek etika, sosial, dan pragmatik.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 11–14.

[2]                Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 5–6.

[3]                Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical Inquiry (Oxford: Oxford University Press, 1988), 23–25.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 110.

[5]                Herbert A. Simon, “A Behavioral Model of Rational Choice,” Quarterly Journal of Economics 69, no. 1 (1955): 99–118.

[6]                Charles S. Peirce, “The Fixation of Belief,” dalam The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 109–123.

[7]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 8–10.


5.           Prinsip Rasionalitas dalam Etika dan Epistemologi

Prinsip rasionalitas memainkan peran fundamental dalam dua cabang utama filsafat: etika dan epistemologi. Dalam konteks etika, rasionalitas memungkinkan individu menilai tindakan secara moral berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya dorongan emosional atau tradisi buta. Dalam epistemologi, rasionalitas adalah prasyarat utama dalam pembentukan keyakinan yang sah, serta menjadi dasar evaluasi terhadap pengetahuan, justifikasi, dan kebenaran. Keduanya menunjukkan bahwa rasionalitas bukan semata kerangka teknis logis, melainkan juga norma evaluatif dalam kehidupan intelektual dan moral manusia.

5.1.       Rasionalitas sebagai Dasar dalam Pengambilan Keputusan Etis

Dalam filsafat moral, prinsip rasionalitas membantu menghindarkan keputusan etis dari sikap impulsif, subjektivisme ekstrem, atau relativisme nilai yang tak terkontrol. Filsuf Immanuel Kant menekankan pentingnya rasionalitas dalam membentuk imperatif moral yang bersifat universal. Menurut Kant, suatu tindakan hanya dapat dikatakan bermoral jika prinsip yang mendasarinya dapat dijadikan hukum universal, yaitu melalui categorical imperative yang berasal dari akal praktis.¹ Rasionalitas di sini bukan hanya syarat untuk berpikir etis, tetapi juga merupakan sumber otonomi moral.

Dalam filsafat utilitarianisme, prinsip rasionalitas mengambil bentuk kalkulasi manfaat dan kerugian secara logis untuk menentukan tindakan terbaik. John Stuart Mill, misalnya, mengusulkan bahwa pertimbangan etis rasional mencakup evaluasi terhadap kualitas dan kuantitas kebahagiaan yang dihasilkan suatu tindakan.² Meskipun pendekatan ini menekankan dimensi konsekuensial, penalaran rasional tetap menjadi perangkat utama dalam mengukur dampak moral dari pilihan tindakan.

Dalam konteks kontemporer, Thomas Scanlon mengembangkan pendekatan konstruktivis rasional dalam etika kontraktualis, yang menyatakan bahwa tindakan adalah salah jika tidak dapat dibenarkan kepada orang lain berdasarkan alasan yang tidak dapat mereka tolak.³ Ini menunjukkan bahwa rasionalitas etis juga melibatkan dimensi intersubjektif dan dialogis, bukan hanya perhitungan individual.

5.2.       Rasionalitas sebagai Fondasi Epistemik

Dalam epistemologi, rasionalitas merupakan tolok ukur bagi keabsahan keyakinan dan justifikasi pengetahuan. Suatu kepercayaan dikatakan rasional jika didasarkan pada alasan yang kuat, bukti yang memadai, serta tahan terhadap pengujian kritis.⁴ Alvin Plantinga membedakan antara rasionalitas deontik (berkewajiban rasional), evaluatif (baik secara rasional), dan struktur internal (rasional dalam kondisi kognitif normal).⁵ Perbedaan ini menunjukkan bahwa prinsip rasionalitas epistemik bersifat kompleks dan dapat dipahami dari berbagai perspektif normatif.

Lebih lanjut, Laurence BonJour menggarisbawahi bahwa rasionalitas diperlukan agar seseorang tidak hanya percaya bahwa sesuatu itu benar, tetapi juga mengetahui mengapa hal itu benar.⁶ Rasionalitas tidak hanya membedakan antara pengetahuan dan keyakinan, tetapi juga menjadi dasar untuk membangun sistem kepercayaan yang koheren dan dapat dibenarkan. Dalam teori coherentism, misalnya, kepercayaan dianggap rasional jika ia terintegrasi secara harmonis dalam jaringan kepercayaan yang saling mendukung.⁷

Dalam filsafat ilmu, prinsip rasionalitas juga membimbing praktik ilmiah: dari perumusan hipotesis, pengujian empirik, hingga revisi teori. Karl Popper menekankan pentingnya critical rationalism, yakni bahwa teori ilmiah yang baik adalah yang terbuka terhadap falsifikasi.⁸ Dengan demikian, rasionalitas menjadi prinsip penggerak bagi dinamika pengetahuan ilmiah yang progresif dan terbuka terhadap koreksi.

5.3.       Rasionalitas, Objektivitas, dan Komitmen Kebenaran

Baik dalam etika maupun epistemologi, rasionalitas memiliki relasi erat dengan objektivitas dan komitmen terhadap kebenaran. Dalam ranah etis, objektivitas memungkinkan seseorang mempertimbangkan kepentingan moral pihak lain secara adil. Dalam ranah epistemik, rasionalitas menjamin bahwa keyakinan tidak semata bersifat dogmatis atau didasarkan pada preferensi personal.⁹ Rasionalitas, dengan demikian, bukan sekadar alat, melainkan juga sikap intelektual dan moral terhadap kebenaran—yang mengharuskan keterbukaan, evaluasi kritis, dan tanggung jawab dalam berpikir.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.

[2]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 13–15.

[3]                T. M. Scanlon, What We Owe to Each Other (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 153–157.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 115–118.

[5]                Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (New York: Oxford University Press, 1993), 40–42.

[6]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 8–9.

[7]                Ernest Sosa, “The Raft and the Pyramid: Coherence versus Foundations in the Theory of Knowledge,” Midwest Studies in Philosophy 5, no. 1 (1980): 3–26.

[8]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 44–46.

[9]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 17–18.


6.           Kritik terhadap Rasionalitas dan Respons Filosofis

Meskipun prinsip rasionalitas telah lama menjadi pilar utama dalam berpikir filosofis, ia tidak lepas dari kritik, baik dari dalam tradisi filsafat sendiri maupun dari perspektif multidisipliner. Kritik terhadap rasionalitas mencakup berbagai aspek, mulai dari keberatan terhadap klaim universalitasnya, keraguan terhadap netralitasnya, hingga pertanyaan tentang keterbatasannya dalam menjelaskan pengalaman manusia secara utuh. Berbagai aliran filsafat seperti eksistensialisme, feminisme, postmodernisme, hingga filsafat bahasa telah mengajukan kritik mendalam terhadap asumsi-asumsi dasar yang mendasari konsep rasionalitas tradisional. Namun, kritik-kritik ini juga memicu respons yang memperkaya pemahaman kita tentang fungsi dan batas rasionalitas dalam kehidupan intelektual.

6.1.       Kritik Eksistensialis dan Fenomenologis

Para filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard, Martin Heidegger, dan Jean-Paul Sartre menolak dominasi rasionalitas abstrak dalam menjelaskan eksistensi manusia yang bersifat unik, subjektif, dan tak terduga. Kierkegaard menegaskan bahwa kebenaran subjektif, yang diperoleh melalui lompatan iman dan pengalaman personal, lebih autentik daripada klaim rasional objektif.¹ Heidegger, dalam Being and Time, menunjukkan bahwa struktur eksistensial manusia (Dasein) tidak dapat direduksi ke dalam skema logis atau sistem rasional.² Bagi Sartre, rasionalitas adalah struktur yang sering kali gagal memahami kebebasan radikal manusia dan keterasingannya dalam dunia.³ Kritik eksistensialis ini menyoroti keterbatasan rasionalitas dalam menjangkau dimensi eksistensial dan afektif dari kehidupan manusia.

6.2.       Kritik Postmodern: Relativitas, Kekuasaan, dan Bahasa

Aliran postmodern mengajukan kritik radikal terhadap klaim universalitas dan netralitas rasionalitas. Michel Foucault memandang bahwa yang disebut “rasional” dalam sejarah Barat sering kali merupakan hasil dari konstruksi diskursif yang sarat dengan relasi kuasa.⁴ Rasionalitas, menurutnya, bukanlah kebenaran objektif yang netral, melainkan produk dari rezim pengetahuan yang hegemonik. Jacques Derrida dalam pendekatan deconstruction-nya membongkar asumsi metafisika kehadiran yang selama ini menopang sistem rasionalitas Barat, dan menekankan ketidakstabilan makna dalam bahasa.⁵ Kritik ini memperlihatkan bahwa rasionalitas tidak bebas dari konteks historis, kultural, dan linguistik yang membentuknya.

6.3.       Kritik dari Perspektif Feminisme dan Ilmu Sosial

Filsuf feminis seperti Sandra Harding dan Alison Jaggar mengkritik rasionalitas sebagai kategori yang secara historis dibangun dalam kerangka patriarkis dan eksklusif terhadap pengalaman perempuan serta kelompok marjinal.⁶ Rasionalitas, dalam pandangan mereka, sering disandingkan dengan maskulinitas dan dipertentangkan dengan emosi, intuisi, dan relasi empatik yang justru penting dalam kehidupan manusia.⁷ Demikian pula dalam ilmu sosial, para teoritikus seperti Bruno Latour mengkritik pemisahan tegas antara sains yang “rasional” dan masyarakat yang “irasional,” serta menunjukkan bagaimana produksi pengetahuan ilmiah juga dipengaruhi oleh jaringan sosial dan institusional.⁸

6.4.       Respons Filosofis terhadap Kritik

Sebagai respons terhadap kritik tersebut, para filsuf kontemporer tidak menolak rasionalitas secara total, tetapi merekonstruksinya dalam bentuk yang lebih inklusif, kontekstual, dan reflektif. Jürgen Habermas, misalnya, mengembangkan konsep rasionalitas komunikatif, yang tidak mendasarkan klaim rasionalitas pada dominasi teknokratis atau logika formal semata, tetapi pada kesediaan partisipatif untuk memberi dan menerima alasan secara terbuka dalam diskursus.⁹ Richard Rorty menyarankan agar kita meninggalkan pencarian fondasi rasionalitas universal dan menerima pluralitas alasan yang berakar pada konteks budaya dan praktik diskursif.¹⁰

Lebih lanjut, filsuf seperti Nicholas Rescher berpendapat bahwa rasionalitas tetap merupakan norma penting dalam kehidupan intelektual dan sosial, asalkan kita menyadari keterbatasannya dan menyesuaikan penggunaannya dengan domain yang relevan.¹¹ Dalam pendekatan ini, rasionalitas dipahami bukan sebagai sistem absolut, tetapi sebagai kerangka normatif terbuka yang memungkinkan dialog, koreksi diri, dan pertumbuhan pengetahuan dalam masyarakat pluralistik.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 189–191.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–36.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568–570.

[4]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 215–217.

[5]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–280.

[6]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 123–125.

[7]                Alison M. Jaggar, “Love and Knowledge: Emotion in Feminist Epistemology,” Inquiry 32, no. 2 (1989): 151–176.

[8]                Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 6–8.

[9]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–88.

[10]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 384–386.

[11]             Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical Inquiry (Oxford: Oxford University Press, 1988), 169–171.


7.           Aplikasi Prinsip Rasionalitas dalam Kehidupan Modern

Prinsip rasionalitas tidak hanya relevan dalam dunia filsafat teoritis, tetapi juga memiliki peran krusial dalam membentuk perilaku, pengambilan keputusan, dan tata kelola kehidupan modern. Dalam era yang ditandai oleh kompleksitas informasi, dinamika sosial yang cepat, serta tantangan global seperti perubahan iklim dan polarisasi politik, penerapan rasionalitas menjadi semakin penting sebagai fondasi bagi pemikiran kritis, pengambilan kebijakan yang adil, serta komunikasi yang etis dan produktif. Rasionalitas modern tidak lagi sekadar soal konsistensi logis, tetapi juga keterbukaan terhadap bukti, kejelasan argumentasi, dan tanggung jawab intelektual dalam praktik sehari-hari.

7.1.       Rasionalitas dalam Pengambilan Keputusan Individu dan Sosial

Di tingkat individu, rasionalitas membantu dalam membuat keputusan yang lebih tepat, berdasarkan pertimbangan informasi yang relevan, pemahaman sebab-akibat, serta evaluasi risiko dan konsekuensi. Teori expected utility dalam ekonomi dan psikologi, misalnya, mengandalkan prinsip rasionalitas sebagai asumsi dasar perilaku manusia dalam memilih opsi yang memaksimalkan manfaat.¹ Namun, penelitian dalam bidang behavioral economics oleh tokoh seperti Daniel Kahneman dan Amos Tversky menunjukkan bahwa manusia seringkali menyimpang dari pola rasionalitas ideal karena bias kognitif dan heuristik.² Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan rasionalitas dalam kehidupan nyata perlu dilengkapi dengan refleksi kritis terhadap keterbatasan pikiran manusia.

Pada level sosial, prinsip rasionalitas mendasari diskusi publik dan deliberasi demokratis. Dalam pandangan Jürgen Habermas, rasionalitas komunikatif memungkinkan masyarakat pluralistik untuk mencapai kesepakatan melalui pertukaran argumen yang terbuka, setara, dan non-koersif.³ Forum publik yang sehat bergantung pada warga negara yang mampu berargumen dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan bersedia mengoreksi posisi mereka jika terbukti keliru.

7.2.       Rasionalitas dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Rasionalitas juga merupakan jantung dari praktik ilmiah modern. Metodologi sains mengandalkan prinsip inferensi logis, pengujian hipotesis, dan keterbukaan terhadap falsifikasi sebagai bentuk komitmen terhadap pencarian kebenaran.⁴ Prinsip ini melahirkan pencapaian besar dalam teknologi dan medis, tetapi juga menghadirkan dilema etis dan ekologis yang memerlukan kontrol rasional dalam penerapannya. Di sinilah muncul kebutuhan akan integrasi antara rasionalitas teknis dan rasionalitas substantif, sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber, yakni bahwa kemajuan teknologi harus diarahkan oleh nilai-nilai dan tujuan etis yang rasional.⁵

Dalam era digital dan informasi, tantangan baru muncul dalam bentuk disinformasi, echo chambers, dan algoritma yang memperkuat polarisasi. Untuk itu, rasionalitas tidak cukup hanya dalam bentuk logika internal, tetapi harus diperluas ke literasi informasi, berpikir kritis, dan skeptisisme metodologis terhadap klaim yang belum tervalidasi.⁶

7.3.       Rasionalitas dalam Praktik Etika dan Hukum

Di bidang etika terapan dan hukum, rasionalitas menyediakan kerangka untuk menimbang keadilan, hak, dan tanggung jawab. Praktik yudisial yang adil mengharuskan pertimbangan bukti secara objektif dan penalaran hukum yang transparan, sesuai dengan asas due process.⁷ Dalam bioetika, penilaian rasional digunakan untuk menyusun kebijakan medis, distribusi sumber daya, dan penanganan dilema seperti euthanasia atau rekayasa genetik.⁸ Rasionalitas moral di sini mencakup empati yang ditransformasikan ke dalam pertimbangan rasional yang adil dan bertanggung jawab.

7.4.       Rasionalitas dan Tantangan Global

Dalam konteks global, tantangan seperti perubahan iklim, konflik geopolitik, dan ketimpangan ekonomi menuntut respons yang berbasis pada rasionalitas kolektif. Solusi terhadap krisis ini tidak dapat dicapai melalui ideologi atau insting semata, melainkan melalui dialog lintas budaya, kerja sama ilmiah, dan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).⁹ Rasionalitas menyediakan alat untuk menyusun prioritas, mengevaluasi alternatif, dan mengelola sumber daya dengan efektif dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                John von Neumann dan Oskar Morgenstern, Theory of Games and Economic Behavior, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 1953), 8–10.

[2]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–25.

[3]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–109.

[4]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 2002), 33–36.

[5]                Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 24–27.

[6]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 51–55.

[7]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 111–115.

[8]                Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013), 27–30.

[9]                Steven Pinker, Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress (New York: Viking, 2018), 187–192.


8.           Simpulan

Prinsip rasionalitas merupakan fondasi tak tergantikan dalam berpikir filosofis, yang mengarahkan manusia untuk menggunakan akalnya secara terstruktur, konsisten, dan terbuka terhadap evaluasi kritis. Sebagai pilar utama dalam filsafat, rasionalitas tidak hanya mendukung validitas argumen logis, tetapi juga memainkan peran sentral dalam membentuk landasan etika, epistemologi, ilmu pengetahuan, dan kehidupan sosial secara keseluruhan.¹

Sejarah panjang prinsip rasionalitas menunjukkan bagaimana gagasan ini berkembang dari warisan logika klasik Aristoteles, rasionalisme Descartes, hingga ke bentuk-bentuk rasionalitas kontemporer yang lebih dialogis dan intersubjektif, seperti yang diajukan oleh Habermas.² Evolusi ini membuktikan bahwa rasionalitas bukanlah suatu dogma statis, melainkan prinsip normatif yang terus disesuaikan dengan tantangan historis dan kultural.

Namun, rasionalitas bukan tanpa kritik. Perspektif eksistensialis, feminis, postmodern, dan kritis telah membongkar mitos-mitos universalisme, netralitas, dan superioritas rasionalitas formal yang selama ini mendominasi wacana filosofis.³ Kritik-kritik tersebut membuka ruang untuk refleksi yang lebih dalam dan konstruktif terhadap keterbatasan serta dimensi etis dari penggunaan rasio. Alih-alih melemahkan prinsip rasionalitas, pendekatan ini justru memperkaya dan memperluas pemahamannya dalam konteks kemanusiaan yang kompleks dan pluralistik.⁴

Di era modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi, ledakan informasi, dan tantangan global, rasionalitas dibutuhkan lebih dari sebelumnya—bukan sebagai alat dominasi, tetapi sebagai sarana refleksi, klarifikasi nilai, dan pencarian solusi kolektif. Aplikasi rasionalitas dalam bidang seperti pengambilan keputusan, kebijakan publik, ilmu pengetahuan, etika terapan, dan dialog antarbudaya menjadi bukti bahwa prinsip ini tetap relevan dan esensial bagi pembangunan peradaban yang beradab dan berkeadilan.⁵

Dengan demikian, mempertahankan dan mengembangkan prinsip rasionalitas adalah tanggung jawab filosofis dan etis yang harus diemban oleh siapa pun yang ingin berkontribusi pada kehidupan intelektual yang sehat, sistem nilai yang rasional, serta masyarakat yang terbuka dan bertanggung jawab. Seperti ditegaskan oleh Nicholas Rescher, "rasionalitas bukan hanya soal berpikir benar, melainkan juga tentang hidup dengan integritas intelektual."_⁶


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 106–108.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 15–17.

[3]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 211–212; Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 123–125.

[4]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 386.

[5]                Steven Pinker, Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress (New York: Viking, 2018), 190–192.

[6]                Nicholas Rescher, Rationality: A Philosophical Inquiry (Oxford: Oxford University Press, 1988), 173.


Daftar Pustaka

Audi, R. (2011). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.). Oxford University Press.

BonJour, L. (1985). The structure of empirical knowledge. Harvard University Press.

Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2014). Introduction to logic (14th ed.). Routledge.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Harvard University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Reason and the rationalization of society (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Harding, S. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Cornell University Press.

Haack, S. (1978). Philosophy of logics. Cambridge University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Jaggar, A. M. (1989). Love and knowledge: Emotion in feminist epistemology. Inquiry, 32(2), 151–176. https://doi.org/10.1080/00201748908602185

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Kant, I. (1996). What is enlightenment? (M. C. Smith, Trans.). Columbia University Press. (Original work published 1784)

Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press.

Latour, B. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard University Press.

Leibniz, G. W. (1989). The principles of philosophy, or, The monadology. In R. Ariew & D. Garber (Eds. & Trans.), Philosophical essays (pp. 210–215). Hackett Publishing. (Original work published 1714)

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1861)

Neumann, J. von, & Morgenstern, O. (1953). Theory of games and economic behavior (3rd ed.). Princeton University Press.

Peirce, C. S. (1992). The fixation of belief. In N. Houser & C. Kloesel (Eds.), The essential Peirce: Selected philosophical writings (Vol. 1, pp. 109–123). Indiana University Press. (Original work published 1877)

Pinker, S. (2018). Enlightenment now: The case for reason, science, humanism, and progress. Viking.

Plantinga, A. (1993). Warrant and proper function. Oxford University Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published ca. 380 BCE)

Plato. (1996). Euthyphro, Apology, Crito (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.

Popper, K. (2002). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge. (Original work published 1963)

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1934)

Rescher, N. (1988). Rationality: A philosophical inquiry. Oxford University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Scanlon, T. M. (1998). What we owe to each other. Harvard University Press.

Simon, H. A. (1955). A behavioral model of rational choice. Quarterly Journal of Economics, 69(1), 99–118. https://doi.org/10.2307/1884852

Sosa, E. (1980). The raft and the pyramid: Coherence versus foundations in the theory of knowledge. Midwest Studies in Philosophy, 5(1), 3–26. https://doi.org/10.1111/j.1475-4975.1980.tb00484.x

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar