Kritik terhadap Filsafat
Refleksi Lintas Zaman dan Disiplin
Alihkan ke: Pengantar Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji berbagai bentuk kritik
terhadap filsafat yang muncul baik dari kalangan internal—yakni para filsuf
sendiri—maupun dari eksternal, seperti ilmuwan, teolog, dan praktisi modern.
Kritik internal mencakup pandangan skeptisisme Yunani, revisi epistemologis
oleh Kant, dekonstruksi nilai oleh Nietzsche, analisis bahasa oleh
Wittgenstein, hingga postmodernisme yang menolak fondasi kebenaran tunggal.
Sementara itu, kritik eksternal berasal dari positivisme ilmiah, teori sains,
kritik ideologis Marx, keberatan teologis, serta tekanan dari dunia praktis dan
teknologi. Meskipun kritik-kritik tersebut mempertanyakan validitas, metode,
dan relevansi filsafat, artikel ini menyimpulkan bahwa kritik justru menjadi
elemen vital dalam dinamika dan pembaruan filsafat. Melalui sintesis dan
refleksi, artikel ini menawarkan paradigma filsafat yang lebih terbuka,
kontekstual, dan transformatif—dalam dialog dengan ilmu pengetahuan, etika
terapan, dan kebutuhan manusia modern. Dengan demikian, filsafat bukanlah
disiplin yang usang, melainkan ruang refleksi kritis yang terus hidup dan berkembang
dalam menghadapi kompleksitas zaman.
Kata Kunci: Filsafat, Kritik Internal, Kritik Eksternal,
Positivisme, Postmodernisme, Filsafat Terapan, Epistemologi, Relevansi Filsafat.
PEMBAHASAN
Kritik terhadap Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Masalah
Filsafat sebagai
disiplin ilmu telah hadir sejak awal peradaban manusia sebagai usaha rasional
untuk memahami hakikat realitas, kebenaran, dan eksistensi manusia. Namun,
sepanjang sejarahnya, filsafat tidak pernah luput dari kritik. Kritik tersebut
datang tidak hanya dari luar, yakni dari ilmu-ilmu alam, sosial, atau agama,
tetapi juga dari dalam tubuh filsafat sendiri oleh para filsuf yang menggugat
dasar, metode, dan klaim-klaim metafisiknya.
Seiring kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat kerap dipertanyakan relevansinya.
Auguste Comte, dalam gagasannya tentang positivisme, bahkan menyatakan bahwa
filsafat metafisik hanyalah tahap peralihan menuju pengetahuan ilmiah yang
empiris dan eksak, yang dianggap lebih bermanfaat secara praktis bagi umat
manusia.¹ Sementara itu, Karl Popper menegaskan bahwa filsafat harus tunduk
pada prinsip falsifiabilitas sebagaimana sains, karena jika tidak, ia akan
terjerumus ke dalam dogmatisme.² Kritik-kritik semacam ini menimbulkan
pertanyaan penting: apakah filsafat telah kehilangan tempatnya dalam
perkembangan ilmu pengetahuan modern, ataukah justru masih memegang peran
penting sebagai pengarah dalam refleksi epistemologis dan etis?
Di sisi lain, para
filsuf seperti Immanuel Kant dan Ludwig Wittgenstein pun mengajukan kritik
terhadap praktik dan metode filsafat pada zamannya. Kant mengkritik metafisika
dogmatis yang spekulatif tanpa dasar pengalaman, sedangkan Wittgenstein
mempersoalkan ketidakjelasan bahasa dalam filsafat yang dianggapnya menimbulkan
kekeliruan pemikiran.³-⁴ Kritik dari dalam ini membuktikan bahwa filsafat
adalah disiplin yang terus-menerus mengoreksi dan meninjau dirinya sendiri,
suatu sifat yang justru menjadi kekuatannya.
Dalam dunia modern
yang kian pragmatis, filsafat semakin dipertanyakan. Apakah filsafat masih
relevan di tengah dominasi teknologi, data, dan efisiensi? Ataukah
kritik-kritik yang terus berdatangan justru memperkaya dan memperdalam peran
filsafat itu sendiri dalam memberikan makna dan orientasi hidup manusia?
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah:
1)
Apa saja bentuk kritik terhadap
filsafat yang berkembang dari masa ke masa?
2)
Siapa saja tokoh-tokoh utama yang
melontarkan kritik terhadap filsafat, baik dari dalam maupun luar disiplin ini?
3)
Bagaimana sintesis dapat dilakukan
terhadap keragaman kritik tersebut?
4)
Apa implikasi kritik terhadap
filsafat bagi masa kini dan masa depan?
1.3.
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)
Menginventarisasi dan mengkaji
berbagai bentuk kritik terhadap filsafat sepanjang sejarah.
2)
Menganalisis secara mendalam
kritik internal dan eksternal yang ditujukan kepada filsafat.
3)
Menyusun sintesis konseptual
terhadap berbagai kritik tersebut.
4)
Menawarkan refleksi atas relevansi
dan peran filsafat di tengah dinamika ilmu dan kehidupan modern.
1.4.
Metodologi Penulisan
Penulisan artikel
ini menggunakan metode studi pustaka (library research) dengan pendekatan
historis-filosofis dan analisis reflektif. Data dikumpulkan dari karya-karya
klasik dan kontemporer dalam filsafat, ilmu pengetahuan, serta telaah
interdisipliner yang berkaitan dengan kritik terhadap filsafat. Analisis
dilakukan secara tematik dan dialektik untuk mengungkap pola, intensi, serta
kontribusi kritik terhadap perkembangan filsafat.
1.5.
Tinjauan Pustaka Singkat
Kritik terhadap
filsafat dapat dilacak sejak era Yunani Kuno melalui tradisi skeptisisme yang
dikembangkan oleh Pyrrho dan Sextus Empiricus.⁵ Pada abad ke-18, Immanuel Kant
mencoba merekonstruksi filsafat metafisika yang sebelumnya dikritik habis oleh
David Hume, dengan menetapkan batas-batas rasio murni.⁶ Di abad ke-19,
Nietzsche melancarkan kritik terhadap moralitas dan rasionalitas filsafat Barat
yang dianggapnya menindas kehidupan.⁷ Pada abad ke-20, Popper dan Kuhn
mengajukan kritik melalui filsafat sains, dengan menggugat klaim netralitas dan
objektivitas sains yang sering dijadikan sandaran dalam menilai filsafat.⁸-⁹
Catatan Kaki
[1]
Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet
Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 1–5.
[2]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 33–35.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A19–B33.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.
K. Ogden (London: Routledge, 1922), Proposition 4.003–6.54.
[5]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.1–4.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford:
Oxford University Press, 2007), Section IV.
[7]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 2–9.
[8]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–12.
[9]
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 2010),
xvii–xx.
2.
Landasan
Konseptual Filsafat
2.1.
Definisi dan Hakikat Filsafat
Secara etimologis,
istilah "filsafat" berasal dari bahasa Yunani philosophia,
yang berarti "cinta kebijaksanaan" (philo
= cinta, sophia
= kebijaksanaan). Penggunaan pertama istilah ini sering dikaitkan dengan
Pythagoras, yang menyatakan dirinya bukan seorang bijak, melainkan seorang
pecinta kebijaksanaan.¹ Filsafat tidak sekadar ilmu yang menjelaskan fakta,
tetapi merupakan kegiatan reflektif dan kritis yang bertujuan memahami dasar
realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai.
Secara konseptual,
filsafat dapat didefinisikan sebagai disiplin intelektual yang menggunakan
penalaran logis dan argumentasi sistematis untuk menelaah pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang keberadaan, pengetahuan, kebenaran, etika, estetika, dan makna
hidup.² Filsafat tidak terikat pada objek material tertentu sebagaimana
ilmu-ilmu khusus, tetapi pada persoalan-persoalan dasar yang berada di balik semua
pengalaman dan pengetahuan manusia.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Bertrand Russell, filsafat berada pada wilayah antara teologi
dan sains: seperti teologi, ia berurusan dengan pertanyaan spekulatif; seperti
sains, ia mengedepankan argumentasi rasional.³ Maka filsafat tidak bertujuan
memberikan jawaban final, melainkan memperluas pemahaman dan kesadaran kritis
terhadap kenyataan.
2.2.
Tujuan dan Fungsi Filsafat
Fungsi utama
filsafat adalah menyelidiki prinsip-prinsip pertama (first
principles) dan mengembangkan kesadaran reflektif. Tujuan ini
mencakup:
·
Epistemologis:
Menelusuri hakikat dan batas pengetahuan manusia.⁴
·
Metafisis:
Menyelidiki hakikat realitas, seperti keberadaan, kausalitas, dan waktu.
·
Etis
dan Estetis: Mengkaji nilai-nilai moral dan keindahan dalam
kehidupan manusia.
·
Logis
dan Analitis: Merumuskan prinsip-prinsip berpikir yang valid
dan konsisten.
Filsafat juga
memiliki fungsi praktis dalam mengembangkan
cara berpikir kritis, dialogis, dan sistematis. Dalam dunia pendidikan dan
kebudayaan, filsafat memberi kerangka konseptual untuk menilai, membimbing, dan
mengarahkan praktik hidup manusia menuju kebijaksanaan.⁵
2.3.
Ciri Khas Metode Filosofis
Filsafat dibedakan
dari disiplin lain bukan pada objeknya, melainkan pada cara
berpikirnya. Ciri khas metode filosofis mencakup:
·
Refleksif:
Proses mendalam terhadap pengalaman dan konsep.
·
Kritis:
Tidak menerima begitu saja asumsi-asumsi, tetapi mengujinya.
·
Rasional:
Mengedepankan penalaran logis dan argumentatif.
·
Universal:
Tidak terbatas pada konteks, tetapi berusaha menjangkau kebenaran umum.
·
Spekulatif:
Terbuka terhadap pemikiran konseptual dan kemungkinan alternatif.
Metode ini
membedakan filsafat dari ilmu empiris yang bergantung pada observasi dan
eksperimen. Namun, keduanya dapat saling melengkapi, sebagaimana diperlihatkan
dalam filsafat sains.⁶
2.4.
Perbedaan Filsafat dengan Ilmu Positif dan
Agama
Filsafat, ilmu, dan
agama memiliki wilayah kerja yang sering beririsan, namun pendekatan mereka
berbeda secara prinsip:
·
Ilmu
Positif (positive sciences) berangkat dari observasi
empiris, berpijak pada fakta terukur, dan bertujuan menyusun hukum-hukum kausal
yang dapat diuji. Misalnya, fisika menjelaskan gerak berdasarkan hukum Newton
atau relativitas.⁷
·
Agama
menyajikan jawaban transendental yang bersifat normatif dan dogmatis. Ia
menuntut iman dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai sumber kebenaran.
·
Filsafat
berada di antara keduanya. Ia menggunakan akal untuk menelaah dasar kebenaran
ilmiah sekaligus mengevaluasi klaim-klaim keagamaan secara rasional. Filsafat
bersifat terbuka dan tidak dogmatis, namun juga tidak sepenuhnya empiris.
Karl Jaspers
menyebut filsafat sebagai "usaha sadar manusia untuk mencari
keseluruhan," yaitu refleksi terhadap makna totalitas pengalaman hidup
manusia, termasuk sains dan iman.⁸ Dengan demikian, filsafat bukan pesaing ilmu
atau agama, tetapi penengah yang memfasilitasi dialog kritis dan konstruktif di
antara keduanya.
Catatan Kaki
[1]
Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 8.13.
[2]
Richard H. Popkin and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple
(New York: Doubleday, 1993), 1–3.
[3]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1959), 90–91.
[4]
Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western
Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2004), 226–229.
[5]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 300–302.
[6]
Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory
(New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 9–15.
[7]
Carl G. Hempel, Philosophy of Natural Science (Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, 1966), 2–10.
[8]
Karl Jaspers, Way to Wisdom: An Introduction to Philosophy,
trans. Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 1954), 15–19.
3.
Kritik
Internal dalam Tradisi Filsafat
Kritik terhadap
filsafat tidak hanya datang dari luar disiplin ini, tetapi juga muncul dari
para filsuf sendiri yang merefleksikan dan mengoreksi kecenderungan internal
filsafat pada zamannya. Kritik internal ini menjadi salah satu daya pembaruan
utama dalam sejarah filsafat, menjadikan filsafat sebagai disiplin yang
dinamis, terbuka terhadap perbaikan, dan bersifat otokritik.
3.1.
Skeptisisme Yunani: Pyrrho dan Sextus Empiricus
Salah satu bentuk
kritik awal dalam filsafat muncul dari mazhab skeptisisme, yang mempertanyakan
kemungkinan pengetahuan yang pasti. Pyrrho dari Elis (360–270 SM) mengajukan
pandangan bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu secara pasti,
sehingga sebaiknya menangguhkan penilaian (epoché) dan hidup dengan ketenangan
(ataraxia)⁽¹⁾.
Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Sextus Empiricus, yang dalam Outlines
of Pyrrhonism mengkritik klaim-klaim dogmatis dalam metafisika
maupun etika⁽²⁾.
Skeptisisme ini
tidak bersifat nihilistik, melainkan merupakan ajakan untuk bersikap kritis
terhadap klaim-klaim pengetahuan yang terlalu yakin, termasuk dalam tradisi
filsafat itu sendiri. Dalam hal ini, skeptisisme telah memberi kontribusi
penting pada semangat keraguan metodis yang kelak memengaruhi pemikir modern
seperti Descartes.
3.2.
Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika
Tradisional
Immanuel Kant
(1724–1804) dikenal sebagai filsuf yang merevolusi cara pandang terhadap
filsafat, khususnya dalam bidang metafisika dan epistemologi. Dalam Critique
of Pure Reason, Kant mengkritik metafisika dogmatis yang berusaha
memahami realitas semata-mata melalui akal tanpa dasar pengalaman empiris⁽³⁾.
Ia menyatakan bahwa banyak persoalan metafisis—seperti eksistensi Tuhan atau
kebebasan kehendak—tidak dapat dibuktikan secara rasional karena melampaui
batas-batas pengalaman manusia.
Kant mengajukan
revolusi kopernikan dalam filsafat: bukan pikiran yang menyesuaikan diri pada
objek, tetapi objek yang ditangkap melalui struktur a priori dalam akal budi
manusia. Kritik ini mengubah orientasi filsafat dari spekulasi metafisik ke
analisis epistemologis, sehingga membuka jalan bagi tradisi filsafat kritis dan
analitik di abad-abad berikutnya⁽⁴⁾.
3.3.
Nietzsche dan Dekonstruksi Nilai-Nilai Filsafat
Barat
Friedrich Nietzsche
(1844–1900) melontarkan kritik tajam terhadap filsafat moral dan metafisika
Barat, yang menurutnya sarat dengan nilai-nilai dekaden dan penyangkalan
terhadap kehidupan. Dalam Beyond Good and Evil, ia menyebut
para filsuf sebagai “dogmatis” yang menyembunyikan kehendak kuasa di balik
idealisme moral dan rasionalisme⁽⁵⁾.
Nietzsche menolak
dualisme metafisis antara dunia nyata dan dunia ideal (Platonisme), serta
menolak moralitas Kristen yang memuja kelemahan. Ia menyerukan penilaian ulang
terhadap semua nilai (Umwertung aller Werte) sebagai
bentuk pembebasan dari filsafat konvensional yang stagnan. Kritik Nietzsche
menjadi fondasi bagi pemikiran eksistensialis, post-strukturalis, dan
postmodernis di abad ke-20⁽⁶⁾.
3.4.
Wittgenstein dan Keterbatasan Bahasa Filosofis
Ludwig Wittgenstein
(1889–1951) memberikan kritik mendalam terhadap bahasa dalam filsafat. Dalam
karya awalnya Tractatus Logico-Philosophicus, ia
berupaya menunjukkan bahwa banyak pernyataan filsafat bersifat nonsensikal
karena melampaui batas kemampuan bahasa untuk menyatakan fakta logis⁽⁷⁾.
Baginya, “apa yang tidak dapat dikatakan dengan jelas, harus dibungkam.”
Dalam fase filsafat
lanjutannya, terutama dalam Philosophical Investigations,
Wittgenstein mengubah pendekatannya dan menyatakan bahwa makna bahasa
tergantung pada konteks penggunaan dalam language-games. Kritiknya
menekankan bahwa filsafat tidak semestinya menciptakan teori besar, melainkan
membongkar kekeliruan konseptual melalui analisis bahasa sehari-hari⁽⁸⁾.
3.5.
Postmodernisme dan Penolakan terhadap
Fondasionalisme
Tradisi postmodern,
terutama melalui tokoh seperti Jean-François Lyotard, Richard Rorty, dan
Jacques Derrida, menolak fondasionalisme epistemologis yang menjadi warisan
tradisi filsafat Barat. Dalam The Postmodern Condition, Lyotard
menyatakan bahwa "narasi besar" (grand narratives) seperti
Pencerahan, Marxisme, dan rasionalisme tidak lagi dapat dipercaya secara
mutlak⁽⁹⁾. Ia menyoroti bahwa filsafat telah lama mengklaim universalitas dan
legitimasi tunggal, padahal kenyataan bersifat plural, terfragmentasi, dan
kontekstual.
Rorty, dalam Philosophy
and the Mirror of Nature, mengkritik filsafat modern yang ingin
menjadi semacam “cermin” realitas dengan objektivitas netral. Baginya, filsafat
harus melepaskan ambisi metafisis dan mengadopsi pendekatan ironis dan
pragmatis terhadap kebenaran dan diskursus sosial¹⁰.
Refleksi Antarkritik: Filsafat sebagai
Otokritik Berkelanjutan
Kritik internal dari
para filsuf ini tidak dapat dilihat sebagai penghancuran filsafat, melainkan
sebagai bagian dari proses pematangan dan pembaruan disiplin. Filsafat yang
sehat adalah filsafat yang mampu mengkritisi dirinya sendiri, membuka ruang
bagi interpretasi baru, dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan
akarnya yang reflektif dan kritis.
Catatan Kaki
[1]
Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–63.
[2]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.1–4.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A19–B33.
[4]
Nicholas Rescher, Kant and the Reach of Reason: Studies in Kant’s
Theory of Rational Systematization (Cambridge: Cambridge University Press,
2000), 10–17.
[5]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §1–23.
[6]
Brian Leiter, Nietzsche on Morality (London: Routledge, 2002),
39–58.
[7]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
C.K. Ogden (London: Routledge, 1922), Proposition 7.
[8]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§23–43.
[9]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.
[10]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 3–17.
4.
Kritik
Eksternal terhadap Filsafat
Kritik eksternal
terhadap filsafat muncul dari luar disiplin itu sendiri—baik dari ilmu alam,
ilmu sosial, teologi, maupun dunia praktis. Kritik-kritik ini sering kali
mempertanyakan relevansi, metode, dan kontribusi filsafat dalam menjawab
persoalan nyata manusia dan masyarakat. Kendati demikian, kritik tersebut juga
berperan penting dalam mendorong filsafat untuk lebih reflektif, relevan, dan
terintegrasi dengan dinamika ilmu serta kehidupan.
4.1.
Kritik dari Ilmu Alam: Positivisme dan
Empirisme
Salah satu kritik
paling signifikan datang dari kalangan ilmuwan dan filsuf ilmu yang
mengembangkan pendekatan positivistik. Auguste Comte
(1798–1857), sebagai pelopor positivisme, menyatakan bahwa filsafat metafisik
adalah tahap peralihan dalam evolusi intelektual manusia, yang akhirnya akan
tergantikan oleh ilmu empiris yang dapat diuji secara sistematis⁽¹⁾. Dalam Cours de
Philosophie Positive, ia menekankan bahwa hanya pengetahuan ilmiah
yang dapat dianggap valid.
Positivisme kemudian
dikembangkan oleh para anggota lingkaran Wina seperti Rudolf
Carnap, yang menegaskan bahwa proposisi filsafat yang tidak dapat diverifikasi
secara empiris adalah tidak bermakna⁽²⁾. Kritik ini secara langsung menyerang
validitas metafisika, etika normatif, dan bahkan sebagian besar diskursus
filsafat tradisional.
4.2.
Kritik dari Filsafat Sains: Popper dan Kuhn
Karl Popper
memberikan kritik tajam terhadap kecenderungan filsafat untuk menetapkan
sistem-sistem tertutup yang tidak dapat diuji secara empiris. Dalam The
Logic of Scientific Discovery, ia menegaskan bahwa kriteria suatu
teori ilmiah adalah falsifiabilitas, bukan
verifikasi. Dengan demikian, banyak teori filosofis tidak memenuhi kriteria
ilmiah karena tidak bisa dibantah secara empiris⁽³⁾.
Sementara itu,
Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions
menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak bersifat linear dan rasional
sebagaimana diasumsikan filsafat ilmu klasik. Ilmu berkembang melalui
pergantian paradigma yang bersifat revolusioner dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosial, psikologis, bahkan politik⁽⁴⁾. Kritik Kuhn melemahkan
klaim objektivitas sains, dan secara implisit, menggugat filsafat yang
mengidealkan rasionalitas ilmiah.
4.3.
Kritik dari Ilmu Sosial: Marx dan Ideologi
Karl Marx menolak filsafat
idealisme Hegelian dan seluruh sistem filsafat spekulatif yang dianggapnya
mengaburkan kenyataan material. Ia menyebut filsafat sebagai bentuk “kesadaran
palsu” yang menjauhkan manusia dari kondisi material konkret. Dalam Theses
on Feuerbach, Marx menyatakan bahwa tugas filsafat bukanlah
menafsirkan dunia, melainkan mengubahnya⁽⁵⁾.
Dengan demikian,
kritik Marx bersifat praksis: ia menolak filsafat yang hanya berspekulasi tanpa
kontribusi nyata terhadap perubahan sosial. Filsafat yang tercerabut dari
realitas sosial dianggap menjadi alat dominasi kelas dan justifikasi status
quo.
4.4.
Kritik dari Teologi: Filsafat sebagai Ancaman
terhadap Wahyu
Dari sudut pandang
teologis, filsafat sering dicurigai karena pendekatannya yang spekulatif dan
rasional dalam menyentuh persoalan-persoalan ketuhanan. Dalam sejarah pemikiran
Islam klasik, misalnya, Imam Al-Ghazali mengkritik keras para filsuf seperti Ibn
Sina dan Al-Farabi dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, menuduh
mereka telah terjerumus ke dalam kesesatan karena mencampurkan akal spekulatif
dengan urusan wahyu⁽⁶⁾.
Pandangan serupa
juga muncul dalam tradisi Kristen, di mana Tertullian pernah bertanya secara
retoris, “Apa hubungan Yerusalem dengan Athena?”—menunjukkan ketegangan
antara iman dan filsafat⁽⁷⁾. Kritik ini menunjukkan bahwa filsafat dianggap
dapat menggiring pada relativisme dan merusak otoritas wahyu jika tidak
dikendalikan secara teologis.
4.5.
Kritik dari Sains Kognitif dan Psikologi
Perkembangan
neurosains dan psikologi kognitif juga memberikan kritik terhadap asumsi-asumsi
dasar dalam filsafat, terutama dalam epistemologi dan etika. Penelitian dalam
bidang ini menunjukkan bahwa proses berpikir manusia tidak selalu rasional,
dan banyak keputusan moral atau keyakinan intelektual dibentuk oleh emosi,
intuisi, atau bias bawaan.
Daniel Kahneman
dalam Thinking,
Fast and Slow menyebut bahwa sistem berpikir manusia dibagi menjadi
dua: sistem cepat (intuitif) dan lambat (rasional), di mana yang pertama lebih
dominan⁽⁸⁾. Hal ini menggugat anggapan filsafat bahwa manusia adalah makhluk
yang secara konsisten rasional dalam berpikir dan bertindak.
4.6.
Kritik dari Dunia Praktis: Teknokrasi dan
Efektivitas
Kritik terakhir
berasal dari dunia praksis yang menuntut efisiensi, kecepatan, dan hasil
konkret. Dalam era modern yang didominasi oleh teknologi, filsafat dianggap
lambat, terlalu abstrak, dan tidak memiliki kegunaan praktis. Richard Posner,
misalnya, dalam The Problematics of Moral and Legal Theory,
menyebut filsafat moral sebagai “tidak relevan” dan “tidak membantu”
dalam praktik hukum dan kebijakan publik⁽⁹⁾.
Dengan logika
utilitarianisme, segala sesuatu diukur dari output-nya. Filsafat, dengan wacana
panjang dan kesimpulan terbuka, sering kali kalah dari pendekatan teknokratik
yang menjanjikan solusi cepat dan terukur. Inilah tantangan berat yang dihadapi
filsafat dalam membuktikan signifikansinya di tengah era informasi dan
pragmatisme.
Refleksi Penutup
Kritik-kritik
eksternal terhadap filsafat, meskipun tajam dan kadang reduksionistik, tetap
berperan penting dalam memaksa filsafat merefleksikan dirinya. Filsafat yang
menutup diri dari kritik eksternal akan terjebak dalam menara gading akademik.
Namun filsafat yang terbuka terhadap interaksi dengan ilmu, agama, dan praktik
kehidupan akan memperkaya dirinya dan tetap relevan dalam menjawab tantangan
zaman.
Catatan Kaki
[1]
Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet
Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 1–5.
[2]
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis
of Language,” in Logical Positivism, ed. A.J. Ayer (New York: Free
Press, 1959), 60–81.
[3]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 33–35.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–12.
[5]
Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader,
ed. Robert C. Tucker (New York: Norton, 1978), 143.
[6]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura as
The Incoherence of the Philosophers (Provo, UT: Brigham Young
University Press, 2000), 1–5.
[7]
Tertullian, Prescription Against Heretics, in The
Ante-Nicene Fathers, Vol. III, ed. Alexander Roberts and James Donaldson
(Buffalo: Christian Literature Publishing Co., 1885), 246.
[8]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 20–35.
[9]
Richard A. Posner, The Problematics of Moral and Legal Theory
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 1–15.
5.
Sintesis
dan Refleksi atas Kritik-Kritik Tersebut
Kritik terhadap
filsafat—baik dari dalam maupun luar disiplin ini—telah menyingkap tidak hanya
keterbatasan metodologis dan spekulatif, tetapi juga potensi filsafat untuk
berkembang secara reflektif, adaptif, dan relevan. Kritik bukanlah akhir dari
filsafat, melainkan justru menjadi denyut kehidupan intelektualnya. Dalam bab
ini, disajikan sintesis atas beragam kritik tersebut dan refleksi atas kemungkinan
filsafat masa depan yang lebih kontekstual dan bermakna.
5.1.
Kritik sebagai Pemacu Perkembangan Filsafat
Sejarah filsafat
menunjukkan bahwa kritik terhadap paradigma sebelumnya sering menjadi landasan
bagi kelahiran paradigma baru. Filsafat berkembang melalui semangat autokritik,
bukan dengan mengokohkan dogma. Kant merevolusi filsafat modern dengan
mengkritik metafisika dogmatis, membuka jalan bagi idealisme transendental.¹
Nietzsche memecah fondasi moral dan metafisika Barat untuk memulihkan filsafat
pada pengalaman manusia yang otentik.²
Demikian pula,
kritik dari tradisi analitik terhadap bahasa dan logika filsafat telah membantu
mengembangkan cabang filsafat bahasa dan filsafat ilmu yang lebih presisi.
Kritik bukan penghancuran, melainkan pemurnian filsafat dari klaim-klaim yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis.³
5.2.
Dialog Interdisipliner: Bukan Kompetisi, tetapi
Komplementasi
Kritik dari luar
filsafat—baik dari sains, agama, maupun dunia praktis—tidak semestinya
dipandang sebagai ancaman. Justru, dialog dengan disiplin lain memperkaya
filsafat dan menjadikan refleksinya lebih kontekstual.
Misalnya, respons
terhadap kritik sains melahirkan filsafat sains yang kini
menjadi landasan epistemologis bagi ilmuwan sendiri.⁴ Kritik dari agama mendorong
pengembangan filsafat agama, yang
mengupayakan rasionalisasi iman tanpa menafikan wahyu.⁵ Bahkan kritik dari
teknologi dan psikologi memunculkan ranah seperti filsafat
teknologi dan neurofilsafat.
Dengan demikian,
filsafat menemukan tempatnya bukan dalam isolasi, tetapi dalam perjumpaan
kritis dengan wacana-wacana kontemporer. Seperti diungkapkan oleh Jürgen
Habermas, filsafat harus membuka diri terhadap “diskursus publik rasional”
yang bersifat lintas bidang.⁶
5.3.
Reformulasi Tujuan Filsafat dalam Dunia Modern
Kritik terhadap
abstraksi, idealisme kosong, dan spekulasi tak berdasar menuntut filsafat untuk
mereformulasi misinya. Filsafat kontemporer tidak lagi cukup hanya menjawab
pertanyaan “apa itu realitas?”, tetapi juga “apa gunanya berpikir
filosofis dalam kehidupan konkret?”
Sejumlah filsuf
seperti Martha Nussbaum dan Alasdair MacIntyre menunjukkan bahwa filsafat moral
harus kembali menyentuh realitas kehidupan, bukan sekadar merumuskan teori
etika yang steril.⁷-⁸ Filsafat harus memberi makna, bukan hanya kebenaran
teoritis; harus membentuk kebijaksanaan, bukan hanya konsep.
Reformulasi ini juga
menuntut pendekatan baru dalam pendidikan filsafat, agar tidak terjebak pada
hafalan pemikiran klasik, tetapi mendorong keterlibatan kritis terhadap
persoalan kontemporer—dari keadilan sosial hingga kecerdasan buatan.
5.4.
Kebangkitan Filsafat Praktis: Etika Terapan,
Bioetika, dan Filsafat Teknologi
Salah satu respon
konkret terhadap kritik filsafat adalah tumbuhnya filsafat
praktis (applied philosophy), yakni cabang-cabang filsafat yang
langsung bergumul dengan masalah-masalah aktual. Etika terapan, bioetika,
filsafat lingkungan, dan filsafat teknologi merupakan bentuk konkret bagaimana
filsafat tetap vital dalam konteks modern.
Sebagai contoh,
diskusi mengenai hak digital, rekayasa genetika, dan kecerdasan buatan tidak
dapat hanya dijawab oleh teknisi atau ekonom. Dibutuhkan pertimbangan etis dan
filosofis untuk menjamin martabat manusia dan keberlanjutan kehidupan.⁹
Dalam konteks ini,
filsafat menunjukkan bahwa relevansinya terletak bukan pada penyediaan jawaban
final, tetapi dalam membentuk kerangka etis dan logis dalam pengambilan
keputusan publik dan personal.
5.5.
Menuju Paradigma Transformatif: Kritis,
Reflektif, dan Humanistik
Maka filsafat masa
kini dan masa depan harus beranjak dari paradigma kontemplatif yang elitis ke
paradigma transformatif yang menyentuh realitas sosial. Hal ini menuntut tiga
prinsip utama:
·
Kritis:
tidak menerima begitu saja asumsi kebudayaan, ideologi, atau kemajuan
teknologi.
·
Reflektif:
mengkaji makna terdalam dari tindakan dan struktur masyarakat.
·
Humanistik:
berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, martabat, dan keadilan.
Dalam semangat ini,
filsafat menjelma menjadi ruang diskusi publik, wacana sosial, dan bahkan
strategi kebudayaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Cornel West, filsafat bukan
hanya tentang “teori,” tetapi tentang “keberanian moral” untuk
berpikir berbeda demi kemanusiaan.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A19–B33.
[2]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §§1–23.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§23–43.
[4]
Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory
(New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 9–15.
[5]
William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction
(Belmont: Wadsworth, 2006), 1–10.
[6]
Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion, trans.
Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 2–12.
[7]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 17–19.
[8]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 1–7.
[9]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 105–109.
[10]
Cornel West, The American Evasion of Philosophy: A Genealogy of
Pragmatism (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 204–210.
6.
Penutup
6.1.
Kesimpulan Umum
Sepanjang
sejarahnya, filsafat telah menjadi medan dialektika yang dinamis, tidak hanya
karena keragaman aliran dan pandangannya, tetapi juga karena rentetan kritik
yang diarahkan kepadanya—baik dari dalam maupun luar. Kritik internal yang
dilontarkan oleh para filsuf seperti Pyrrho, Kant, Nietzsche, dan Wittgenstein
menunjukkan adanya kesadaran filosofis yang bersifat autokritik,
yakni kesanggupan filsafat untuk menguji dirinya sendiri secara mendalam dan
reflektif.¹
Di sisi lain, kritik
eksternal dari positivisme ilmiah, teologi normatif, serta dunia praktis dan
teknologi, menunjukkan bahwa filsafat harus senantiasa membuktikan relevansinya
dalam menjawab persoalan konkret kehidupan.² Kritik-kritik ini mempersoalkan
validitas, metode, dan peran praktis filsafat dalam dunia modern yang menuntut
efisiensi, kejelasan, dan dampak nyata.
Namun, dari
keseluruhan kritik yang telah dianalisis, tampak bahwa filsafat tidak
kehilangan jati dirinya. Justru kritik-kritik tersebut mendorong filsafat untuk
berevolusi: dari metafisika spekulatif menuju epistemologi kritis, dari
kontemplasi elitis menuju etika terapan, dan dari narasi besar menuju
pluralitas wacana.
6.2.
Implikasi bagi Dunia Ilmu dan Pendidikan
Dalam ranah
keilmuan, filsafat tetap memiliki fungsi epistemologis dan metodologis yang
penting, yakni memberikan fondasi konseptual dan kerangka berpikir kritis
terhadap disiplin ilmu lainnya. Misalnya, perdebatan tentang dasar-dasar ilmu
pengetahuan dalam epistemologi—dari empirisme hingga konstruktivisme—berakar
dari refleksi filosofis yang mendalam.³ Oleh karena itu, pengabaian terhadap
filsafat akan mengarah pada kekosongan reflektif dan potensi degradasi nalar
ilmiah menjadi sekadar teknokratisme.
Dalam bidang
pendidikan, kritik terhadap filsafat seharusnya tidak dijadikan alasan untuk
menyingkirkannya dari kurikulum, melainkan untuk memperbaharui cara filsafat
diajarkan. Filsafat harus diajarkan bukan sebagai rangkaian hafalan pemikiran
klasik, melainkan sebagai praktik berpikir kritis, dialogis, dan transformatif
yang membekali peserta didik untuk menghadapi kompleksitas zaman.⁴
6.3.
Saran untuk Pengembangan Kajian Lanjutan
Sebagai bentuk
refleksi ke depan, beberapa saran dapat diajukan:
1)
Integrasi Filsafat dan
Disiplin Lain
Diperlukan upaya interdisipliner yang lebih kuat
antara filsafat dengan ilmu-ilmu sosial, sains, teknologi, dan bahkan seni,
untuk menjembatani kesenjangan antara pemikiran abstrak dan kenyataan praktis.
2)
Kontekstualisasi
Filsafat
Kajian filsafat perlu lebih banyak mengangkat
problematika lokal, budaya, dan sejarah masyarakat masing-masing, agar tidak
terjebak pada imitasi terhadap pemikiran Barat semata.⁵
3)
Filsafat Publik
Diperlukan penguatan ruang-ruang filsafat
publik—seminar, media massa, diskusi komunitas—untuk mendekatkan filsafat
dengan masyarakat umum dan membangkitkan minat berpikir reflektif dalam
kehidupan sosial.
Refleksi Penutup
Kritik terhadap
filsafat bukan tanda kematian, melainkan tanda kehidupan. Ia menunjukkan bahwa
filsafat bukan dogma mati, tetapi medan terbuka bagi pertanyaan, perdebatan,
dan penemuan makna. Filsafat yang dikritik, diuji, dan dipertanyakan adalah
filsafat yang hidup—dan dalam kehidupan intelektual, hidup
adalah keberanian untuk berpikir.
Sebagaimana
dikatakan oleh Hannah Arendt, "berpikir bukanlah aktivitas untuk
menemukan kebenaran mutlak, melainkan untuk mencegah kejatuhan dalam kebodohan."⁶
Dengan semangat tersebut, filsafat akan terus menjadi lentera bagi jiwa manusia
dalam menavigasi kompleksitas dunia modern yang serba cepat, dangkal, dan tak
menentu.
Catatan Kaki
[1]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§23–43.
[2]
Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet
Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 1–5.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–12.
[4]
Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2003), 5–7.
[5]
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 14–15.
[6]
Hannah Arendt, The Life of the Mind (New York: Harcourt, 1978),
5–6.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the
philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
(Original work published ca. 1095)
Arendt, H. (1978). The life of the mind.
Harcourt.
Bunge, M. (1998). Philosophy of science: From
problem to theory. Transaction Publishers.
Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics
through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical
positivism (pp. 60–81). Free Press.
Comte, A. (1896). The positive philosophy
(H. Martineau, Trans.). George Bell and Sons.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
Macmillan.
Diogenes Laërtius. (1925). Lives of eminent
philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Feyerabend, P. (2010). Against method.
Verso.
Habermas, J. (2008). Between naturalism and
religion (C. Cronin, Trans.). Polity Press.
Hempel, C. G. (1966). Philosophy of natural
science. Prentice-Hall.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781)
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. University of Chicago Press.
Leiter, B. (2002). Nietzsche on morality.
Routledge.
Lipman, M. (2003). Thinking in education
(2nd ed.). Cambridge University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue.
University of Notre Dame Press.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika dasar:
Masalah-masalah pokok filsafat moral. Kanisius.
Marx, K. (1978). Theses on Feuerbach. In R. C. Tucker
(Ed.), The Marx-Engels reader (pp. 143–145). Norton.
Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1886)
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Popkin, R. H., & Stroll, A. (1993). Philosophy
made simple. Doubleday.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery. Routledge. (Original work published 1934)
Posner, R. A. (1999). The problematics of moral
and legal theory. Harvard University Press.
Rescher, N. (2000). Kant and the reach of
reason: Studies in Kant’s theory of rational systematization. Cambridge
University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Rowe, W. L. (2006). Philosophy of religion: An
introduction (4th ed.). Wadsworth.
Russell, B. (1959). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism
(R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Tertullian. (1885). Prescription against heretics.
In A. Roberts & J. Donaldson (Eds.), The ante-Nicene fathers (Vol.
III, pp. 240–263). Christian Literature Publishing Co.
West, C. (1989). The American evasion of
philosophy: A genealogy of pragmatism. University of Wisconsin Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar