Selasa, 13 Mei 2025

Kritik terhadap Filsafat: Refleksi Lintas Zaman dan Disiplin

Kritik terhadap Filsafat

Refleksi Lintas Zaman dan Disiplin


Alihkan ke: Pengantar Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji berbagai bentuk kritik terhadap filsafat yang muncul baik dari kalangan internal—yakni para filsuf sendiri—maupun dari eksternal, seperti ilmuwan, teolog, dan praktisi modern. Kritik internal mencakup pandangan skeptisisme Yunani, revisi epistemologis oleh Kant, dekonstruksi nilai oleh Nietzsche, analisis bahasa oleh Wittgenstein, hingga postmodernisme yang menolak fondasi kebenaran tunggal. Sementara itu, kritik eksternal berasal dari positivisme ilmiah, teori sains, kritik ideologis Marx, keberatan teologis, serta tekanan dari dunia praktis dan teknologi. Meskipun kritik-kritik tersebut mempertanyakan validitas, metode, dan relevansi filsafat, artikel ini menyimpulkan bahwa kritik justru menjadi elemen vital dalam dinamika dan pembaruan filsafat. Melalui sintesis dan refleksi, artikel ini menawarkan paradigma filsafat yang lebih terbuka, kontekstual, dan transformatif—dalam dialog dengan ilmu pengetahuan, etika terapan, dan kebutuhan manusia modern. Dengan demikian, filsafat bukanlah disiplin yang usang, melainkan ruang refleksi kritis yang terus hidup dan berkembang dalam menghadapi kompleksitas zaman.

Kata Kunci: Filsafat, Kritik Internal, Kritik Eksternal, Positivisme, Postmodernisme, Filsafat Terapan, Epistemologi, Relevansi Filsafat.


PEMBAHASAN

Kritik terhadap Filsafat


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Filsafat sebagai disiplin ilmu telah hadir sejak awal peradaban manusia sebagai usaha rasional untuk memahami hakikat realitas, kebenaran, dan eksistensi manusia. Namun, sepanjang sejarahnya, filsafat tidak pernah luput dari kritik. Kritik tersebut datang tidak hanya dari luar, yakni dari ilmu-ilmu alam, sosial, atau agama, tetapi juga dari dalam tubuh filsafat sendiri oleh para filsuf yang menggugat dasar, metode, dan klaim-klaim metafisiknya.

Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat kerap dipertanyakan relevansinya. Auguste Comte, dalam gagasannya tentang positivisme, bahkan menyatakan bahwa filsafat metafisik hanyalah tahap peralihan menuju pengetahuan ilmiah yang empiris dan eksak, yang dianggap lebih bermanfaat secara praktis bagi umat manusia.¹ Sementara itu, Karl Popper menegaskan bahwa filsafat harus tunduk pada prinsip falsifiabilitas sebagaimana sains, karena jika tidak, ia akan terjerumus ke dalam dogmatisme.² Kritik-kritik semacam ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah filsafat telah kehilangan tempatnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, ataukah justru masih memegang peran penting sebagai pengarah dalam refleksi epistemologis dan etis?

Di sisi lain, para filsuf seperti Immanuel Kant dan Ludwig Wittgenstein pun mengajukan kritik terhadap praktik dan metode filsafat pada zamannya. Kant mengkritik metafisika dogmatis yang spekulatif tanpa dasar pengalaman, sedangkan Wittgenstein mempersoalkan ketidakjelasan bahasa dalam filsafat yang dianggapnya menimbulkan kekeliruan pemikiran.³-⁴ Kritik dari dalam ini membuktikan bahwa filsafat adalah disiplin yang terus-menerus mengoreksi dan meninjau dirinya sendiri, suatu sifat yang justru menjadi kekuatannya.

Dalam dunia modern yang kian pragmatis, filsafat semakin dipertanyakan. Apakah filsafat masih relevan di tengah dominasi teknologi, data, dan efisiensi? Ataukah kritik-kritik yang terus berdatangan justru memperkaya dan memperdalam peran filsafat itu sendiri dalam memberikan makna dan orientasi hidup manusia?

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah:

1)                  Apa saja bentuk kritik terhadap filsafat yang berkembang dari masa ke masa?

2)                  Siapa saja tokoh-tokoh utama yang melontarkan kritik terhadap filsafat, baik dari dalam maupun luar disiplin ini?

3)                  Bagaimana sintesis dapat dilakukan terhadap keragaman kritik tersebut?

4)                  Apa implikasi kritik terhadap filsafat bagi masa kini dan masa depan?

1.3.       Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menginventarisasi dan mengkaji berbagai bentuk kritik terhadap filsafat sepanjang sejarah.

2)                  Menganalisis secara mendalam kritik internal dan eksternal yang ditujukan kepada filsafat.

3)                  Menyusun sintesis konseptual terhadap berbagai kritik tersebut.

4)                  Menawarkan refleksi atas relevansi dan peran filsafat di tengah dinamika ilmu dan kehidupan modern.

1.4.       Metodologi Penulisan

Penulisan artikel ini menggunakan metode studi pustaka (library research) dengan pendekatan historis-filosofis dan analisis reflektif. Data dikumpulkan dari karya-karya klasik dan kontemporer dalam filsafat, ilmu pengetahuan, serta telaah interdisipliner yang berkaitan dengan kritik terhadap filsafat. Analisis dilakukan secara tematik dan dialektik untuk mengungkap pola, intensi, serta kontribusi kritik terhadap perkembangan filsafat.

1.5.       Tinjauan Pustaka Singkat

Kritik terhadap filsafat dapat dilacak sejak era Yunani Kuno melalui tradisi skeptisisme yang dikembangkan oleh Pyrrho dan Sextus Empiricus.⁵ Pada abad ke-18, Immanuel Kant mencoba merekonstruksi filsafat metafisika yang sebelumnya dikritik habis oleh David Hume, dengan menetapkan batas-batas rasio murni.⁶ Di abad ke-19, Nietzsche melancarkan kritik terhadap moralitas dan rasionalitas filsafat Barat yang dianggapnya menindas kehidupan.⁷ Pada abad ke-20, Popper dan Kuhn mengajukan kritik melalui filsafat sains, dengan menggugat klaim netralitas dan objektivitas sains yang sering dijadikan sandaran dalam menilai filsafat.⁸-⁹


Catatan Kaki

[1]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 1–5.

[2]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–35.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A19–B33.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), Proposition 4.003–6.54.

[5]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.1–4.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), Section IV.

[7]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 2–9.

[8]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–12.

[9]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 2010), xvii–xx.


2.           Landasan Konseptual Filsafat

2.1.       Definisi dan Hakikat Filsafat

Secara etimologis, istilah "filsafat" berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti "cinta kebijaksanaan" (philo = cinta, sophia = kebijaksanaan). Penggunaan pertama istilah ini sering dikaitkan dengan Pythagoras, yang menyatakan dirinya bukan seorang bijak, melainkan seorang pecinta kebijaksanaan.¹ Filsafat tidak sekadar ilmu yang menjelaskan fakta, tetapi merupakan kegiatan reflektif dan kritis yang bertujuan memahami dasar realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai.

Secara konseptual, filsafat dapat didefinisikan sebagai disiplin intelektual yang menggunakan penalaran logis dan argumentasi sistematis untuk menelaah pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan, pengetahuan, kebenaran, etika, estetika, dan makna hidup.² Filsafat tidak terikat pada objek material tertentu sebagaimana ilmu-ilmu khusus, tetapi pada persoalan-persoalan dasar yang berada di balik semua pengalaman dan pengetahuan manusia.

Sebagaimana dikemukakan oleh Bertrand Russell, filsafat berada pada wilayah antara teologi dan sains: seperti teologi, ia berurusan dengan pertanyaan spekulatif; seperti sains, ia mengedepankan argumentasi rasional.³ Maka filsafat tidak bertujuan memberikan jawaban final, melainkan memperluas pemahaman dan kesadaran kritis terhadap kenyataan.

2.2.       Tujuan dan Fungsi Filsafat

Fungsi utama filsafat adalah menyelidiki prinsip-prinsip pertama (first principles) dan mengembangkan kesadaran reflektif. Tujuan ini mencakup:

·                     Epistemologis: Menelusuri hakikat dan batas pengetahuan manusia.⁴

·                     Metafisis: Menyelidiki hakikat realitas, seperti keberadaan, kausalitas, dan waktu.

·                     Etis dan Estetis: Mengkaji nilai-nilai moral dan keindahan dalam kehidupan manusia.

·                     Logis dan Analitis: Merumuskan prinsip-prinsip berpikir yang valid dan konsisten.

Filsafat juga memiliki fungsi praktis dalam mengembangkan cara berpikir kritis, dialogis, dan sistematis. Dalam dunia pendidikan dan kebudayaan, filsafat memberi kerangka konseptual untuk menilai, membimbing, dan mengarahkan praktik hidup manusia menuju kebijaksanaan.⁵

2.3.       Ciri Khas Metode Filosofis

Filsafat dibedakan dari disiplin lain bukan pada objeknya, melainkan pada cara berpikirnya. Ciri khas metode filosofis mencakup:

·                     Refleksif: Proses mendalam terhadap pengalaman dan konsep.

·                     Kritis: Tidak menerima begitu saja asumsi-asumsi, tetapi mengujinya.

·                     Rasional: Mengedepankan penalaran logis dan argumentatif.

·                     Universal: Tidak terbatas pada konteks, tetapi berusaha menjangkau kebenaran umum.

·                     Spekulatif: Terbuka terhadap pemikiran konseptual dan kemungkinan alternatif.

Metode ini membedakan filsafat dari ilmu empiris yang bergantung pada observasi dan eksperimen. Namun, keduanya dapat saling melengkapi, sebagaimana diperlihatkan dalam filsafat sains.⁶

2.4.       Perbedaan Filsafat dengan Ilmu Positif dan Agama

Filsafat, ilmu, dan agama memiliki wilayah kerja yang sering beririsan, namun pendekatan mereka berbeda secara prinsip:

·                     Ilmu Positif (positive sciences) berangkat dari observasi empiris, berpijak pada fakta terukur, dan bertujuan menyusun hukum-hukum kausal yang dapat diuji. Misalnya, fisika menjelaskan gerak berdasarkan hukum Newton atau relativitas.⁷

·                     Agama menyajikan jawaban transendental yang bersifat normatif dan dogmatis. Ia menuntut iman dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai sumber kebenaran.

·                     Filsafat berada di antara keduanya. Ia menggunakan akal untuk menelaah dasar kebenaran ilmiah sekaligus mengevaluasi klaim-klaim keagamaan secara rasional. Filsafat bersifat terbuka dan tidak dogmatis, namun juga tidak sepenuhnya empiris.

Karl Jaspers menyebut filsafat sebagai "usaha sadar manusia untuk mencari keseluruhan," yaitu refleksi terhadap makna totalitas pengalaman hidup manusia, termasuk sains dan iman.⁸ Dengan demikian, filsafat bukan pesaing ilmu atau agama, tetapi penengah yang memfasilitasi dialog kritis dan konstruktif di antara keduanya.


Catatan Kaki

[1]                Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 8.13.

[2]                Richard H. Popkin and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple (New York: Doubleday, 1993), 1–3.

[3]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1959), 90–91.

[4]                Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2004), 226–229.

[5]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 300–302.

[6]                Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 9–15.

[7]                Carl G. Hempel, Philosophy of Natural Science (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966), 2–10.

[8]                Karl Jaspers, Way to Wisdom: An Introduction to Philosophy, trans. Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 1954), 15–19.


3.           Kritik Internal dalam Tradisi Filsafat

Kritik terhadap filsafat tidak hanya datang dari luar disiplin ini, tetapi juga muncul dari para filsuf sendiri yang merefleksikan dan mengoreksi kecenderungan internal filsafat pada zamannya. Kritik internal ini menjadi salah satu daya pembaruan utama dalam sejarah filsafat, menjadikan filsafat sebagai disiplin yang dinamis, terbuka terhadap perbaikan, dan bersifat otokritik.

3.1.       Skeptisisme Yunani: Pyrrho dan Sextus Empiricus

Salah satu bentuk kritik awal dalam filsafat muncul dari mazhab skeptisisme, yang mempertanyakan kemungkinan pengetahuan yang pasti. Pyrrho dari Elis (360–270 SM) mengajukan pandangan bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu secara pasti, sehingga sebaiknya menangguhkan penilaian (epoché) dan hidup dengan ketenangan (ataraxia)⁽¹⁾. Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Sextus Empiricus, yang dalam Outlines of Pyrrhonism mengkritik klaim-klaim dogmatis dalam metafisika maupun etika⁽²⁾.

Skeptisisme ini tidak bersifat nihilistik, melainkan merupakan ajakan untuk bersikap kritis terhadap klaim-klaim pengetahuan yang terlalu yakin, termasuk dalam tradisi filsafat itu sendiri. Dalam hal ini, skeptisisme telah memberi kontribusi penting pada semangat keraguan metodis yang kelak memengaruhi pemikir modern seperti Descartes.

3.2.       Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika Tradisional

Immanuel Kant (1724–1804) dikenal sebagai filsuf yang merevolusi cara pandang terhadap filsafat, khususnya dalam bidang metafisika dan epistemologi. Dalam Critique of Pure Reason, Kant mengkritik metafisika dogmatis yang berusaha memahami realitas semata-mata melalui akal tanpa dasar pengalaman empiris⁽³⁾. Ia menyatakan bahwa banyak persoalan metafisis—seperti eksistensi Tuhan atau kebebasan kehendak—tidak dapat dibuktikan secara rasional karena melampaui batas-batas pengalaman manusia.

Kant mengajukan revolusi kopernikan dalam filsafat: bukan pikiran yang menyesuaikan diri pada objek, tetapi objek yang ditangkap melalui struktur a priori dalam akal budi manusia. Kritik ini mengubah orientasi filsafat dari spekulasi metafisik ke analisis epistemologis, sehingga membuka jalan bagi tradisi filsafat kritis dan analitik di abad-abad berikutnya⁽⁴⁾.

3.3.       Nietzsche dan Dekonstruksi Nilai-Nilai Filsafat Barat

Friedrich Nietzsche (1844–1900) melontarkan kritik tajam terhadap filsafat moral dan metafisika Barat, yang menurutnya sarat dengan nilai-nilai dekaden dan penyangkalan terhadap kehidupan. Dalam Beyond Good and Evil, ia menyebut para filsuf sebagai “dogmatis” yang menyembunyikan kehendak kuasa di balik idealisme moral dan rasionalisme⁽⁵⁾.

Nietzsche menolak dualisme metafisis antara dunia nyata dan dunia ideal (Platonisme), serta menolak moralitas Kristen yang memuja kelemahan. Ia menyerukan penilaian ulang terhadap semua nilai (Umwertung aller Werte) sebagai bentuk pembebasan dari filsafat konvensional yang stagnan. Kritik Nietzsche menjadi fondasi bagi pemikiran eksistensialis, post-strukturalis, dan postmodernis di abad ke-20⁽⁶⁾.

3.4.       Wittgenstein dan Keterbatasan Bahasa Filosofis

Ludwig Wittgenstein (1889–1951) memberikan kritik mendalam terhadap bahasa dalam filsafat. Dalam karya awalnya Tractatus Logico-Philosophicus, ia berupaya menunjukkan bahwa banyak pernyataan filsafat bersifat nonsensikal karena melampaui batas kemampuan bahasa untuk menyatakan fakta logis⁽⁷⁾. Baginya, “apa yang tidak dapat dikatakan dengan jelas, harus dibungkam.

Dalam fase filsafat lanjutannya, terutama dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein mengubah pendekatannya dan menyatakan bahwa makna bahasa tergantung pada konteks penggunaan dalam language-games. Kritiknya menekankan bahwa filsafat tidak semestinya menciptakan teori besar, melainkan membongkar kekeliruan konseptual melalui analisis bahasa sehari-hari⁽⁸⁾.

3.5.       Postmodernisme dan Penolakan terhadap Fondasionalisme

Tradisi postmodern, terutama melalui tokoh seperti Jean-François Lyotard, Richard Rorty, dan Jacques Derrida, menolak fondasionalisme epistemologis yang menjadi warisan tradisi filsafat Barat. Dalam The Postmodern Condition, Lyotard menyatakan bahwa "narasi besar" (grand narratives) seperti Pencerahan, Marxisme, dan rasionalisme tidak lagi dapat dipercaya secara mutlak⁽⁹⁾. Ia menyoroti bahwa filsafat telah lama mengklaim universalitas dan legitimasi tunggal, padahal kenyataan bersifat plural, terfragmentasi, dan kontekstual.

Rorty, dalam Philosophy and the Mirror of Nature, mengkritik filsafat modern yang ingin menjadi semacam “cermin” realitas dengan objektivitas netral. Baginya, filsafat harus melepaskan ambisi metafisis dan mengadopsi pendekatan ironis dan pragmatis terhadap kebenaran dan diskursus sosial¹⁰.


Refleksi Antarkritik: Filsafat sebagai Otokritik Berkelanjutan

Kritik internal dari para filsuf ini tidak dapat dilihat sebagai penghancuran filsafat, melainkan sebagai bagian dari proses pematangan dan pembaruan disiplin. Filsafat yang sehat adalah filsafat yang mampu mengkritisi dirinya sendiri, membuka ruang bagi interpretasi baru, dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan akarnya yang reflektif dan kritis.


Catatan Kaki

[1]                Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–63.

[2]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.1–4.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A19–B33.

[4]                Nicholas Rescher, Kant and the Reach of Reason: Studies in Kant’s Theory of Rational Systematization (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 10–17.

[5]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §1–23.

[6]                Brian Leiter, Nietzsche on Morality (London: Routledge, 2002), 39–58.

[7]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922), Proposition 7.

[8]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§23–43.

[9]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.

[10]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 3–17.


4.           Kritik Eksternal terhadap Filsafat

Kritik eksternal terhadap filsafat muncul dari luar disiplin itu sendiri—baik dari ilmu alam, ilmu sosial, teologi, maupun dunia praktis. Kritik-kritik ini sering kali mempertanyakan relevansi, metode, dan kontribusi filsafat dalam menjawab persoalan nyata manusia dan masyarakat. Kendati demikian, kritik tersebut juga berperan penting dalam mendorong filsafat untuk lebih reflektif, relevan, dan terintegrasi dengan dinamika ilmu serta kehidupan.

4.1.       Kritik dari Ilmu Alam: Positivisme dan Empirisme

Salah satu kritik paling signifikan datang dari kalangan ilmuwan dan filsuf ilmu yang mengembangkan pendekatan positivistik. Auguste Comte (1798–1857), sebagai pelopor positivisme, menyatakan bahwa filsafat metafisik adalah tahap peralihan dalam evolusi intelektual manusia, yang akhirnya akan tergantikan oleh ilmu empiris yang dapat diuji secara sistematis⁽¹⁾. Dalam Cours de Philosophie Positive, ia menekankan bahwa hanya pengetahuan ilmiah yang dapat dianggap valid.

Positivisme kemudian dikembangkan oleh para anggota lingkaran Wina seperti Rudolf Carnap, yang menegaskan bahwa proposisi filsafat yang tidak dapat diverifikasi secara empiris adalah tidak bermakna⁽²⁾. Kritik ini secara langsung menyerang validitas metafisika, etika normatif, dan bahkan sebagian besar diskursus filsafat tradisional.

4.2.       Kritik dari Filsafat Sains: Popper dan Kuhn

Karl Popper memberikan kritik tajam terhadap kecenderungan filsafat untuk menetapkan sistem-sistem tertutup yang tidak dapat diuji secara empiris. Dalam The Logic of Scientific Discovery, ia menegaskan bahwa kriteria suatu teori ilmiah adalah falsifiabilitas, bukan verifikasi. Dengan demikian, banyak teori filosofis tidak memenuhi kriteria ilmiah karena tidak bisa dibantah secara empiris⁽³⁾.

Sementara itu, Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak bersifat linear dan rasional sebagaimana diasumsikan filsafat ilmu klasik. Ilmu berkembang melalui pergantian paradigma yang bersifat revolusioner dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, psikologis, bahkan politik⁽⁴⁾. Kritik Kuhn melemahkan klaim objektivitas sains, dan secara implisit, menggugat filsafat yang mengidealkan rasionalitas ilmiah.

4.3.       Kritik dari Ilmu Sosial: Marx dan Ideologi

Karl Marx menolak filsafat idealisme Hegelian dan seluruh sistem filsafat spekulatif yang dianggapnya mengaburkan kenyataan material. Ia menyebut filsafat sebagai bentuk “kesadaran palsu” yang menjauhkan manusia dari kondisi material konkret. Dalam Theses on Feuerbach, Marx menyatakan bahwa tugas filsafat bukanlah menafsirkan dunia, melainkan mengubahnya⁽⁵⁾.

Dengan demikian, kritik Marx bersifat praksis: ia menolak filsafat yang hanya berspekulasi tanpa kontribusi nyata terhadap perubahan sosial. Filsafat yang tercerabut dari realitas sosial dianggap menjadi alat dominasi kelas dan justifikasi status quo.

4.4.       Kritik dari Teologi: Filsafat sebagai Ancaman terhadap Wahyu

Dari sudut pandang teologis, filsafat sering dicurigai karena pendekatannya yang spekulatif dan rasional dalam menyentuh persoalan-persoalan ketuhanan. Dalam sejarah pemikiran Islam klasik, misalnya, Imam Al-Ghazali mengkritik keras para filsuf seperti Ibn Sina dan Al-Farabi dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, menuduh mereka telah terjerumus ke dalam kesesatan karena mencampurkan akal spekulatif dengan urusan wahyu⁽⁶⁾.

Pandangan serupa juga muncul dalam tradisi Kristen, di mana Tertullian pernah bertanya secara retoris, “Apa hubungan Yerusalem dengan Athena?”—menunjukkan ketegangan antara iman dan filsafat⁽⁷⁾. Kritik ini menunjukkan bahwa filsafat dianggap dapat menggiring pada relativisme dan merusak otoritas wahyu jika tidak dikendalikan secara teologis.

4.5.       Kritik dari Sains Kognitif dan Psikologi

Perkembangan neurosains dan psikologi kognitif juga memberikan kritik terhadap asumsi-asumsi dasar dalam filsafat, terutama dalam epistemologi dan etika. Penelitian dalam bidang ini menunjukkan bahwa proses berpikir manusia tidak selalu rasional, dan banyak keputusan moral atau keyakinan intelektual dibentuk oleh emosi, intuisi, atau bias bawaan.

Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow menyebut bahwa sistem berpikir manusia dibagi menjadi dua: sistem cepat (intuitif) dan lambat (rasional), di mana yang pertama lebih dominan⁽⁸⁾. Hal ini menggugat anggapan filsafat bahwa manusia adalah makhluk yang secara konsisten rasional dalam berpikir dan bertindak.

4.6.       Kritik dari Dunia Praktis: Teknokrasi dan Efektivitas

Kritik terakhir berasal dari dunia praksis yang menuntut efisiensi, kecepatan, dan hasil konkret. Dalam era modern yang didominasi oleh teknologi, filsafat dianggap lambat, terlalu abstrak, dan tidak memiliki kegunaan praktis. Richard Posner, misalnya, dalam The Problematics of Moral and Legal Theory, menyebut filsafat moral sebagai “tidak relevan” dan “tidak membantu” dalam praktik hukum dan kebijakan publik⁽⁹⁾.

Dengan logika utilitarianisme, segala sesuatu diukur dari output-nya. Filsafat, dengan wacana panjang dan kesimpulan terbuka, sering kali kalah dari pendekatan teknokratik yang menjanjikan solusi cepat dan terukur. Inilah tantangan berat yang dihadapi filsafat dalam membuktikan signifikansinya di tengah era informasi dan pragmatisme.


Refleksi Penutup

Kritik-kritik eksternal terhadap filsafat, meskipun tajam dan kadang reduksionistik, tetap berperan penting dalam memaksa filsafat merefleksikan dirinya. Filsafat yang menutup diri dari kritik eksternal akan terjebak dalam menara gading akademik. Namun filsafat yang terbuka terhadap interaksi dengan ilmu, agama, dan praktik kehidupan akan memperkaya dirinya dan tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman.


Catatan Kaki

[1]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 1–5.

[2]                Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language,” in Logical Positivism, ed. A.J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 60–81.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–35.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–12.

[5]                Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: Norton, 1978), 143.

[6]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura as The Incoherence of the Philosophers (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 1–5.

[7]                Tertullian, Prescription Against Heretics, in The Ante-Nicene Fathers, Vol. III, ed. Alexander Roberts and James Donaldson (Buffalo: Christian Literature Publishing Co., 1885), 246.

[8]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–35.

[9]                Richard A. Posner, The Problematics of Moral and Legal Theory (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 1–15.


5.           Sintesis dan Refleksi atas Kritik-Kritik Tersebut

Kritik terhadap filsafat—baik dari dalam maupun luar disiplin ini—telah menyingkap tidak hanya keterbatasan metodologis dan spekulatif, tetapi juga potensi filsafat untuk berkembang secara reflektif, adaptif, dan relevan. Kritik bukanlah akhir dari filsafat, melainkan justru menjadi denyut kehidupan intelektualnya. Dalam bab ini, disajikan sintesis atas beragam kritik tersebut dan refleksi atas kemungkinan filsafat masa depan yang lebih kontekstual dan bermakna.

5.1.       Kritik sebagai Pemacu Perkembangan Filsafat

Sejarah filsafat menunjukkan bahwa kritik terhadap paradigma sebelumnya sering menjadi landasan bagi kelahiran paradigma baru. Filsafat berkembang melalui semangat autokritik, bukan dengan mengokohkan dogma. Kant merevolusi filsafat modern dengan mengkritik metafisika dogmatis, membuka jalan bagi idealisme transendental.¹ Nietzsche memecah fondasi moral dan metafisika Barat untuk memulihkan filsafat pada pengalaman manusia yang otentik.²

Demikian pula, kritik dari tradisi analitik terhadap bahasa dan logika filsafat telah membantu mengembangkan cabang filsafat bahasa dan filsafat ilmu yang lebih presisi. Kritik bukan penghancuran, melainkan pemurnian filsafat dari klaim-klaim yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis.³

5.2.       Dialog Interdisipliner: Bukan Kompetisi, tetapi Komplementasi

Kritik dari luar filsafat—baik dari sains, agama, maupun dunia praktis—tidak semestinya dipandang sebagai ancaman. Justru, dialog dengan disiplin lain memperkaya filsafat dan menjadikan refleksinya lebih kontekstual.

Misalnya, respons terhadap kritik sains melahirkan filsafat sains yang kini menjadi landasan epistemologis bagi ilmuwan sendiri.⁴ Kritik dari agama mendorong pengembangan filsafat agama, yang mengupayakan rasionalisasi iman tanpa menafikan wahyu.⁵ Bahkan kritik dari teknologi dan psikologi memunculkan ranah seperti filsafat teknologi dan neurofilsafat.

Dengan demikian, filsafat menemukan tempatnya bukan dalam isolasi, tetapi dalam perjumpaan kritis dengan wacana-wacana kontemporer. Seperti diungkapkan oleh Jürgen Habermas, filsafat harus membuka diri terhadap “diskursus publik rasional” yang bersifat lintas bidang.⁶

5.3.       Reformulasi Tujuan Filsafat dalam Dunia Modern

Kritik terhadap abstraksi, idealisme kosong, dan spekulasi tak berdasar menuntut filsafat untuk mereformulasi misinya. Filsafat kontemporer tidak lagi cukup hanya menjawab pertanyaan “apa itu realitas?”, tetapi juga “apa gunanya berpikir filosofis dalam kehidupan konkret?

Sejumlah filsuf seperti Martha Nussbaum dan Alasdair MacIntyre menunjukkan bahwa filsafat moral harus kembali menyentuh realitas kehidupan, bukan sekadar merumuskan teori etika yang steril.⁷-⁸ Filsafat harus memberi makna, bukan hanya kebenaran teoritis; harus membentuk kebijaksanaan, bukan hanya konsep.

Reformulasi ini juga menuntut pendekatan baru dalam pendidikan filsafat, agar tidak terjebak pada hafalan pemikiran klasik, tetapi mendorong keterlibatan kritis terhadap persoalan kontemporer—dari keadilan sosial hingga kecerdasan buatan.

5.4.       Kebangkitan Filsafat Praktis: Etika Terapan, Bioetika, dan Filsafat Teknologi

Salah satu respon konkret terhadap kritik filsafat adalah tumbuhnya filsafat praktis (applied philosophy), yakni cabang-cabang filsafat yang langsung bergumul dengan masalah-masalah aktual. Etika terapan, bioetika, filsafat lingkungan, dan filsafat teknologi merupakan bentuk konkret bagaimana filsafat tetap vital dalam konteks modern.

Sebagai contoh, diskusi mengenai hak digital, rekayasa genetika, dan kecerdasan buatan tidak dapat hanya dijawab oleh teknisi atau ekonom. Dibutuhkan pertimbangan etis dan filosofis untuk menjamin martabat manusia dan keberlanjutan kehidupan.⁹

Dalam konteks ini, filsafat menunjukkan bahwa relevansinya terletak bukan pada penyediaan jawaban final, tetapi dalam membentuk kerangka etis dan logis dalam pengambilan keputusan publik dan personal.

5.5.       Menuju Paradigma Transformatif: Kritis, Reflektif, dan Humanistik

Maka filsafat masa kini dan masa depan harus beranjak dari paradigma kontemplatif yang elitis ke paradigma transformatif yang menyentuh realitas sosial. Hal ini menuntut tiga prinsip utama:

·                     Kritis: tidak menerima begitu saja asumsi kebudayaan, ideologi, atau kemajuan teknologi.

·                     Reflektif: mengkaji makna terdalam dari tindakan dan struktur masyarakat.

·                     Humanistik: berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, martabat, dan keadilan.

Dalam semangat ini, filsafat menjelma menjadi ruang diskusi publik, wacana sosial, dan bahkan strategi kebudayaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Cornel West, filsafat bukan hanya tentang “teori,” tetapi tentang “keberanian moral” untuk berpikir berbeda demi kemanusiaan.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A19–B33.

[2]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), §§1–23.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§23–43.

[4]                Mario Bunge, Philosophy of Science: From Problem to Theory (New Brunswick: Transaction Publishers, 1998), 9–15.

[5]                William L. Rowe, Philosophy of Religion: An Introduction (Belmont: Wadsworth, 2006), 1–10.

[6]                Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion, trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 2–12.

[7]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 17–19.

[8]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 1–7.

[9]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 105–109.

[10]             Cornel West, The American Evasion of Philosophy: A Genealogy of Pragmatism (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 204–210.


6.           Penutup

6.1.       Kesimpulan Umum

Sepanjang sejarahnya, filsafat telah menjadi medan dialektika yang dinamis, tidak hanya karena keragaman aliran dan pandangannya, tetapi juga karena rentetan kritik yang diarahkan kepadanya—baik dari dalam maupun luar. Kritik internal yang dilontarkan oleh para filsuf seperti Pyrrho, Kant, Nietzsche, dan Wittgenstein menunjukkan adanya kesadaran filosofis yang bersifat autokritik, yakni kesanggupan filsafat untuk menguji dirinya sendiri secara mendalam dan reflektif.¹

Di sisi lain, kritik eksternal dari positivisme ilmiah, teologi normatif, serta dunia praktis dan teknologi, menunjukkan bahwa filsafat harus senantiasa membuktikan relevansinya dalam menjawab persoalan konkret kehidupan.² Kritik-kritik ini mempersoalkan validitas, metode, dan peran praktis filsafat dalam dunia modern yang menuntut efisiensi, kejelasan, dan dampak nyata.

Namun, dari keseluruhan kritik yang telah dianalisis, tampak bahwa filsafat tidak kehilangan jati dirinya. Justru kritik-kritik tersebut mendorong filsafat untuk berevolusi: dari metafisika spekulatif menuju epistemologi kritis, dari kontemplasi elitis menuju etika terapan, dan dari narasi besar menuju pluralitas wacana.

6.2.       Implikasi bagi Dunia Ilmu dan Pendidikan

Dalam ranah keilmuan, filsafat tetap memiliki fungsi epistemologis dan metodologis yang penting, yakni memberikan fondasi konseptual dan kerangka berpikir kritis terhadap disiplin ilmu lainnya. Misalnya, perdebatan tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan dalam epistemologi—dari empirisme hingga konstruktivisme—berakar dari refleksi filosofis yang mendalam.³ Oleh karena itu, pengabaian terhadap filsafat akan mengarah pada kekosongan reflektif dan potensi degradasi nalar ilmiah menjadi sekadar teknokratisme.

Dalam bidang pendidikan, kritik terhadap filsafat seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menyingkirkannya dari kurikulum, melainkan untuk memperbaharui cara filsafat diajarkan. Filsafat harus diajarkan bukan sebagai rangkaian hafalan pemikiran klasik, melainkan sebagai praktik berpikir kritis, dialogis, dan transformatif yang membekali peserta didik untuk menghadapi kompleksitas zaman.⁴

6.3.       Saran untuk Pengembangan Kajian Lanjutan

Sebagai bentuk refleksi ke depan, beberapa saran dapat diajukan:

1)                  Integrasi Filsafat dan Disiplin Lain

Diperlukan upaya interdisipliner yang lebih kuat antara filsafat dengan ilmu-ilmu sosial, sains, teknologi, dan bahkan seni, untuk menjembatani kesenjangan antara pemikiran abstrak dan kenyataan praktis.

2)                  Kontekstualisasi Filsafat

Kajian filsafat perlu lebih banyak mengangkat problematika lokal, budaya, dan sejarah masyarakat masing-masing, agar tidak terjebak pada imitasi terhadap pemikiran Barat semata.⁵

3)                  Filsafat Publik

Diperlukan penguatan ruang-ruang filsafat publik—seminar, media massa, diskusi komunitas—untuk mendekatkan filsafat dengan masyarakat umum dan membangkitkan minat berpikir reflektif dalam kehidupan sosial.


Refleksi Penutup

Kritik terhadap filsafat bukan tanda kematian, melainkan tanda kehidupan. Ia menunjukkan bahwa filsafat bukan dogma mati, tetapi medan terbuka bagi pertanyaan, perdebatan, dan penemuan makna. Filsafat yang dikritik, diuji, dan dipertanyakan adalah filsafat yang hidup—dan dalam kehidupan intelektual, hidup adalah keberanian untuk berpikir.

Sebagaimana dikatakan oleh Hannah Arendt, "berpikir bukanlah aktivitas untuk menemukan kebenaran mutlak, melainkan untuk mencegah kejatuhan dalam kebodohan."⁶ Dengan semangat tersebut, filsafat akan terus menjadi lentera bagi jiwa manusia dalam menavigasi kompleksitas dunia modern yang serba cepat, dangkal, dan tak menentu.


Catatan Kaki

[1]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§23–43.

[2]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell and Sons, 1896), 1–5.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–12.

[4]                Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 5–7.

[5]                Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 14–15.

[6]                Hannah Arendt, The Life of the Mind (New York: Harcourt, 1978), 5–6.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press. (Original work published ca. 1095)

Arendt, H. (1978). The life of the mind. Harcourt.

Bunge, M. (1998). Philosophy of science: From problem to theory. Transaction Publishers.

Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism (pp. 60–81). Free Press.

Comte, A. (1896). The positive philosophy (H. Martineau, Trans.). George Bell and Sons.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Diogenes Laërtius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Feyerabend, P. (2010). Against method. Verso.

Habermas, J. (2008). Between naturalism and religion (C. Cronin, Trans.). Polity Press.

Hempel, C. G. (1966). Philosophy of natural science. Prentice-Hall.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Leiter, B. (2002). Nietzsche on morality. Routledge.

Lipman, M. (2003). Thinking in education (2nd ed.). Cambridge University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Magnis-Suseno, F. (1987). Etika dasar: Masalah-masalah pokok filsafat moral. Kanisius.

Marx, K. (1978). Theses on Feuerbach. In R. C. Tucker (Ed.), The Marx-Engels reader (pp. 143–145). Norton.

Nietzsche, F. (1989). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1886)

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Popkin, R. H., & Stroll, A. (1993). Philosophy made simple. Doubleday.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1934)

Posner, R. A. (1999). The problematics of moral and legal theory. Harvard University Press.

Rescher, N. (2000). Kant and the reach of reason: Studies in Kant’s theory of rational systematization. Cambridge University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rowe, W. L. (2006). Philosophy of religion: An introduction (4th ed.). Wadsworth.

Russell, B. (1959). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Tertullian. (1885). Prescription against heretics. In A. Roberts & J. Donaldson (Eds.), The ante-Nicene fathers (Vol. III, pp. 240–263). Christian Literature Publishing Co.

West, C. (1989). The American evasion of philosophy: A genealogy of pragmatism. University of Wisconsin Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar