Rabu, 23 April 2025

Kosmologi: Memahami Alam Semesta dari Awal Hingga Akhir

Kosmologi

Memahami Alam Semesta dari Awal Hingga Akhir


Alihkan ke: Astronomi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji kosmologi sebagai salah satu cabang utama dalam ilmu astronomi dan fisika teoretis yang berfokus pada pemahaman struktur, asal-usul, evolusi, dan nasib akhir alam semesta. Melalui pendekatan multidisipliner yang menggabungkan observasi astrofisika, teori relativitas umum, mekanika kuantum, serta refleksi filosofis, artikel ini memetakan perkembangan historis kosmologi dari masa kuno hingga era modern. Pembahasan mencakup model kosmologi standar (ΛCDM), teori inflasi, pengamatan radiasi latar gelombang mikro kosmis (CMB), hingga wacana kontemporer seputar materi gelap, energi gelap, dan prinsip antropik. Selain menelaah aspek eksperimental dan observasional dalam kosmologi modern, artikel ini juga mengangkat tantangan epistemologis dan metafisik yang belum terpecahkan, seperti ketegangan nilai konstanta Hubble, serta keterbatasan dalam memahami struktur besar dan hukum fisika pada skala ekstrem. Kesimpulan artikel menyoroti bahwa kosmologi tidak hanya berkembang sebagai ilmu empirik, tetapi juga sebagai sarana reflektif yang menghubungkan sains dengan filsafat dan spiritualitas. Dengan dukungan teknologi observasi dan teori baru, masa depan kosmologi diharapkan akan menjawab lebih banyak pertanyaan fundamental tentang semesta dan eksistensi manusia di dalamnya.

Kata Kunci: Kosmologi, alam semesta, Big Bang, relativitas umum, energi gelap, materi gelap, inflasi kosmik, CMB, multiverse, prinsip antropik, ketegangan Hubble, struktur besar semesta, filsafat sains.


PEMBAHASAN

Kosmologi Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Kosmologi adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur, asal-usul, evolusi, dan nasib akhir alam semesta secara keseluruhan. Berbeda dengan cabang astronomi lain yang cenderung memusatkan perhatian pada objek atau sistem tertentu seperti bintang, planet, atau galaksi, kosmologi berurusan dengan gambaran makro dari keseluruhan ruang dan waktu. Dalam pengertian modern, kosmologi adalah disiplin ilmiah yang berpijak pada prinsip-prinsip fisika, khususnya relativitas umum dan mekanika kuantum, guna memahami dinamika semesta dalam skala yang paling luas.¹

Pertanyaan-pertanyaan kosmologis seperti "Dari mana alam semesta berasal?", "Bagaimana ia berkembang?", dan "Apa yang akan terjadi di masa depan?" telah menjadi fokus intelektual umat manusia sejak zaman kuno. Meskipun awalnya dimaknai secara mitologis dan filosofis, perkembangan ilmu pengetahuan modern, terutama sejak abad ke-20, telah menjadikan kosmologi sebagai cabang sains yang sangat empiris dan matematis.² Dengan kemajuan teknologi observasi seperti teleskop ruang angkasa dan detektor gelombang mikro kosmis, kini para ilmuwan mampu merekonstruksi sejarah alam semesta hingga sepersekian detik setelah terjadinya peristiwa Big Bang.³

Kosmologi modern berkembang berdasarkan dua pilar utama: teori relativitas umum yang dikembangkan oleh Albert Einstein pada 1915, dan kosmologi pengamatan, yang secara sistematis menguji prediksi-prediksi teori tersebut melalui pengamatan astronomis. Teori relativitas umum merevolusi pandangan klasik Newtonian mengenai gravitasi dan memperkenalkan konsep bahwa massa dan energi dapat membengkokkan ruang dan waktu.⁴ Sementara itu, kosmologi observasional menunjukkan bahwa alam semesta terus mengalami ekspansi, fenomena yang pertama kali dibuktikan oleh Edwin Hubble pada 1929 melalui pengamatan terhadap galaksi-galaksi yang menjauhi satu sama lain.⁵

Urgensi kosmologi sebagai bidang kajian tidak hanya terletak pada nilai ilmiahnya, tetapi juga pada implikasinya terhadap pandangan dunia manusia. Dengan mempelajari struktur dan dinamika kosmik, manusia memperluas batas pengetahuan mengenai keberadaan dirinya, menempatkan Bumi dalam konteks yang lebih besar, dan mengevaluasi ulang posisi manusia dalam semesta yang sangat luas.⁶ Dalam arti ini, kosmologi tidak hanya merupakan studi ilmiah, tetapi juga berkontribusi terhadap refleksi filosofis dan bahkan spiritual tentang hakikat eksistensi.


Footnotes

[1]                Andrew Liddle, An Introduction to Modern Cosmology, 3rd ed. (Chichester: Wiley, 2015), 1.

[2]                Steven Weinberg, The First Three Minutes: A Modern View of the Origin of the Universe (New York: Basic Books, 2005), 4.

[3]                Scott Dodelson, Modern Cosmology (Amsterdam: Academic Press, 2003), 6.

[4]                P. J. E. Peebles, Principles of Physical Cosmology (Princeton: Princeton University Press, 1993), 56.

[5]                Edward W. Kolb and Michael S. Turner, The Early Universe (Reading, MA: Addison-Wesley, 1990), 88.

[6]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam, 1998), 171.


2.           Sejarah Singkat Perkembangan Kosmologi

Perkembangan kosmologi sebagai cabang ilmu tidak dapat dipisahkan dari transformasi mendasar dalam cara manusia memandang alam semesta. Sejarah kosmologi mencerminkan pergeseran besar dari penjelasan mitologis menuju pemahaman ilmiah yang didasarkan pada observasi, eksperimentasi, dan prinsip-prinsip fisika matematis.

2.1.       Kosmologi Kuno dan Klasik

Pada masa kuno, manusia memandang langit sebagai ranah ketuhanan dan simbol keteraturan. Bangsa Babilonia, Mesir, dan India kuno telah mengembangkan pandangan kosmologis berdasarkan pengamatan terhadap pergerakan benda langit, yang kemudian dikaitkan dengan kepercayaan spiritual.¹ Dalam tradisi Yunani, tokoh seperti Anaximander dan Pythagoras mulai merumuskan model semesta berdasarkan prinsip rasional, namun masih terikat pada asumsi geosentris—yakni bahwa Bumi berada di pusat alam semesta.²

Model geosentris mencapai puncaknya dalam sistem Ptolemaik yang dikembangkan oleh Claudius Ptolemaeus (Ptolemy) pada abad ke-2 M. Sistem ini bertahan selama lebih dari seribu tahun dan diadopsi luas dalam kosmologi Islam klasik maupun Eropa abad pertengahan.³

2.2.       Revolusi Ilmiah dan Lahirnya Kosmologi Modern

Revolusi ilmiah pada abad ke-16 dan 17 menjadi titik balik dalam sejarah kosmologi. Nicolaus Copernicus memperkenalkan model heliosentris, di mana Matahari—bukan Bumi—menjadi pusat perputaran benda-benda langit.⁴ Model ini diperkuat oleh pengamatan Galileo Galilei dengan teleskop dan disempurnakan oleh Johannes Kepler dengan hukum-hukum gerak planetnya.⁵

Perkembangan ini membuka jalan bagi Isaac Newton untuk merumuskan hukum gravitasi universal yang menjelaskan gerak benda langit secara matematis. Dalam konteks Newtonian ini, semesta dipandang sebagai ruang absolut yang statis dan tak terbatas, di mana gaya gravitasi bekerja secara instan di seluruh penjuru.⁶ Meskipun revolusioner, model ini belum menjawab pertanyaan tentang asal-usul dan evolusi semesta secara menyeluruh.

2.3.       Kosmologi Relativistik dan Ekspansi Semesta

Lompatan besar berikutnya terjadi pada awal abad ke-20 ketika Albert Einstein memperkenalkan teori relativitas umum (1915), yang memformulasikan gravitasi sebagai kelengkungan ruang-waktu akibat keberadaan massa dan energi.⁷ Ini membuka kemungkinan bagi model semesta yang dinamis, sesuatu yang semula ditolak Einstein sendiri dengan memperkenalkan konstanta kosmologis untuk mempertahankan model statis.

Namun, pada akhir 1920-an, astronom Edwin Hubble menemukan bahwa galaksi-galaksi tampak bergerak menjauhi satu sama lain, suatu fenomena yang disebut redshift kosmologis.⁸ Penemuan ini menjadi bukti bahwa alam semesta sedang mengalami ekspansi, yang kemudian menjadi fondasi bagi teori Big Bang. Teori ini menyatakan bahwa semesta berasal dari kondisi sangat panas dan padat sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu.

2.4.       Era Kosmologi Observasional dan Teoretis

Sejak pertengahan abad ke-20 hingga kini, kosmologi mengalami perkembangan pesat dengan kontribusi dari fisika partikel, astronomi observasional, dan teori kuantum. Penemuan radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis (CMB) oleh Arno Penzias dan Robert Wilson pada tahun 1965 mendukung prediksi Big Bang dan mengukuhkan model kosmologi standar.⁹

Perkembangan instrumen observasi seperti teleskop ruang angkasa Hubble, proyek Planck, dan misi WMAP telah menghasilkan data presisi tinggi mengenai struktur besar alam semesta, distribusi materi gelap, dan percepatan ekspansi akibat energi gelap.¹⁰ Sementara itu, teori-teori baru seperti inflasi kosmik, multiverse, dan kosmologi kuantum terus dikembangkan untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang belum terpecahkan.


Footnotes

[1]                John North, Cosmos: An Illustrated History of Astronomy and Cosmology (Chicago: University of Chicago Press, 2008), 17–22.

[2]                Thomas Heath, A History of Greek Mathematics (Oxford: Clarendon Press, 1921), 254.

[3]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 47.

[4]                Nicolaus Copernicus, On the Revolutions of the Celestial Spheres, trans. Charles Glenn Wallis (Amherst, NY: Prometheus Books, 1995), 5.

[5]                James Reston Jr., Galileo: A Life (New York: HarperCollins, 1994), 89–91.

[6]                Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press, 1999), 101.

[7]                Albert Einstein, The Meaning of Relativity (Princeton: Princeton University Press, 1955), 35.

[8]                Edwin Hubble, “A Relation between Distance and Radial Velocity among Extra-Galactic Nebulae,” Proceedings of the National Academy of Sciences 15, no. 3 (1929): 168–173.

[9]                Arno A. Penzias and Robert W. Wilson, “A Measurement of Excess Antenna Temperature at 4080 Mc/s,” Astrophysical Journal 142 (1965): 419–421.

[10]             Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI. Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.


3.           Dasar-Dasar Fisika Kosmologi

Kosmologi modern tidak dapat dipahami tanpa fondasi yang kokoh dari fisika teoretis, terutama teori relativitas umum, mekanika kuantum, dan termodinamika. Ketiga pilar ini memungkinkan para ilmuwan menyusun model matematis tentang asal-usul, struktur, evolusi, dan masa depan alam semesta. Oleh karena itu, dasar-dasar fisika kosmologi menjadi kunci dalam merumuskan kerangka kerja ilmiah untuk memahami dinamika kosmik.

3.1.       Relativitas Umum dan Geometri Ruang-Waktu

Teori relativitas umum, yang dikembangkan oleh Albert Einstein pada tahun 1915, merevolusi konsep gravitasi dari gaya yang bekerja di antara dua benda menjadi hasil dari kelengkungan ruang-waktu yang disebabkan oleh distribusi massa dan energi.¹ Dalam konteks kosmologi, teori ini menyediakan dasar matematis bagi model-model alam semesta, termasuk persamaan medan Einstein yang terkenal:

Gμν + Λgμν = [8πG/c4] × Tμν

Persamaan ini menghubungkan geometri ruang-waktu (kiri) dengan distribusi materi dan energi (kanan).² Model Friedmann-Lemaître-Robertson-Walker (FLRW), yang diturunkan dari relativitas umum dengan asumsi homogenitas dan isotropi, menjadi model dasar dalam kosmologi modern.³

3.2.       Prinsip Kosmologis dan Simetri Semesta

Salah satu asumsi penting dalam kosmologi fisik adalah prinsip kosmologis, yang menyatakan bahwa pada skala besar, alam semesta bersifat homogen dan isotropik.⁴ Ini berarti tidak ada titik atau arah istimewa dalam semesta jika diamati dari sudut pandang yang cukup luas. Prinsip ini bukan hanya postulat filosofis, melainkan telah dikonfirmasi secara empiris melalui distribusi galaksi dan isotropi latar belakang gelombang mikro kosmis (CMB).⁵

3.3.       Termodinamika Kosmik

Termodinamika berperan penting dalam menjelaskan evolusi energi dan suhu alam semesta, terutama pada fase-fase awal setelah Big Bang. Entropi semesta diperkirakan meningkat seiring waktu, dan hukum kedua termodinamika menjadi kunci dalam menjelaskan arah panah waktu secara kosmologis.⁶ Dalam kerangka kosmologi termal, alam semesta dini dipenuhi oleh plasma partikel yang berada dalam kesetimbangan termal, yang kemudian mengalami pendinginan drastis selama ekspansi.

3.4.       Peran Materi dan Energi: Biasa, Gelap, dan Kosmik

Dalam model kosmologi saat ini, total energi alam semesta diklasifikasikan ke dalam tiga komponen utama: materi biasa (barionik), materi gelap, dan energi gelap. Materi barionik menyusun benda-benda seperti bintang dan planet, tetapi hanya menyumbang sekitar 5% dari total energi semesta.⁷

Sekitar 27% terdiri dari materi gelap, yang tidak memancarkan cahaya tetapi memengaruhi gerak galaksi dan struktur besar melalui gravitasi. Sementara itu, 68% sisanya terdiri dari energi gelap, entitas misterius yang diduga menyebabkan percepatan ekspansi alam semesta.⁸ Sumber-sumber observasional seperti supernova tipe Ia dan survei galaksi menjadi dasar empirik dari estimasi ini.

3.5.       Konektivitas dengan Fisika Partikel dan Teori Kuantum

Kosmologi juga terhubung erat dengan fisika partikel, khususnya dalam memahami kondisi alam semesta dini pada energi sangat tinggi, di mana hukum fisika klasik tidak lagi berlaku. Dalam fase-fase awal setelah Big Bang (dalam orde 10−36 hingga 10−6 detik), interaksi partikel-elementer seperti quark, lepton, dan boson menjadi sangat dominan.⁹ Teori-teori seperti Model Standar fisika partikel dan pendekatan inflasi kuantum digunakan untuk menjelaskan asal-usul fluktuasi densitas yang menjadi bibit struktur kosmik.¹⁰


Footnotes

[1]                Albert Einstein, The Meaning of Relativity (Princeton: Princeton University Press, 1955), 77.

[2]                Charles W. Misner, Kip S. Thorne, and John Archibald Wheeler, Gravitation (San Francisco: W. H. Freeman, 1973), 408.

[3]                Steven Weinberg, Cosmology (Oxford: Oxford University Press, 2008), 25.

[4]                Edward Harrison, Cosmology: The Science of the Universe, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 285.

[5]                Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI. Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.

[6]                Sean Carroll, From Eternity to Here: The Quest for the Ultimate Theory of Time (New York: Dutton, 2010), 169.

[7]                P. J. E. Peebles and Bharat Ratra, “The Cosmological Constant and Dark Energy,” Reviews of Modern Physics 75, no. 2 (2003): 559–606.

[8]                Adam G. Riess et al., “Observational Evidence from Supernovae for an Accelerating Universe and a Cosmological Constant,” The Astronomical Journal 116, no. 3 (1998): 1009–1038.

[9]                Edward W. Kolb and Michael S. Turner, The Early Universe (Reading, MA: Addison-Wesley, 1990), 123.

[10]             Alan H. Guth, The Inflationary Universe: The Quest for a New Theory of Cosmic Origins (New York: Basic Books, 1997), 134.


4.           Model dan Teori Kosmologi Modern

Kosmologi modern telah berkembang pesat dengan berbagai model dan teori yang berupaya menjelaskan asal-usul, struktur, dan evolusi alam semesta. Beberapa model utama yang mendominasi diskursus ilmiah saat ini meliputi:

4.1.       Model Lambda-CDM (ΛCDM): Model Standar Kosmologi

Model ΛCDM merupakan model kosmologi standar yang paling banyak diterima saat ini. Model ini menggabungkan relativitas umum dengan asumsi adanya materi gelap dingin (Cold Dark Matter) dan konstanta kosmologis (Λ) yang mewakili energi gelap. Model ini berhasil menjelaskan berbagai observasi, termasuk latar belakang gelombang mikro kosmis (CMB), distribusi galaksi, dan percepatan ekspansi alam semesta.¹

4.2.       Teori Inflasi Kosmik

Teori inflasi kosmik dikembangkan untuk menjelaskan homogenitas, isotropi, dan kelengkungan datar alam semesta yang diamati. Teori ini mengusulkan bahwa alam semesta mengalami ekspansi eksponensial yang sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat setelah Big Bang.² Inflasi juga memprediksi spektrum fluktuasi kuantum yang menjadi cikal bakal struktur besar seperti galaksi dan gugus galaksi.³

4.3.       Model Alternatif: Teori Steady-State dan Teori Big Bounce

Sebelum dominasi model Big Bang, teori Steady-State mengusulkan bahwa alam semesta tidak memiliki awal atau akhir dan tetap konstan dalam kepadatan melalui penciptaan materi baru secara terus-menerus.⁴ Namun, penemuan CMB dan bukti ekspansi alam semesta menggeser konsensus ilmiah ke arah model Big Bang.

Teori Big Bounce, di sisi lain, mengusulkan bahwa alam semesta mengalami siklus kontraksi dan ekspansi tanpa awal atau akhir. Model ini berusaha menghindari singularitas awal dan memberikan alternatif terhadap inflasi.⁵

4.4.       Kosmologi Modifikasi: Teori Gravitasi yang Dimodifikasi

Beberapa ilmuwan mengembangkan teori gravitasi yang dimodifikasi untuk menjelaskan fenomena kosmologis tanpa mengandalkan energi gelap atau materi gelap. Contohnya termasuk teori f(R) gravity dan teori bumblebee yang mengusulkan pelanggaran simetri Lorentz.⁶ Teori-teori ini berusaha menjelaskan percepatan ekspansi alam semesta dan distribusi materi tanpa komponen gelap yang belum terdeteksi secara langsung.

4.5.       Model Multiverse dan Kosmologi Kuantum

Beberapa interpretasi dari teori inflasi dan mekanika kuantum mengarah pada konsep multiverse, di mana alam semesta kita hanyalah salah satu dari banyak alam semesta yang mungkin ada.⁷ Meskipun menarik, konsep ini masih bersifat spekulatif dan sulit untuk diuji secara empiris.


Footnotes

[1]                Steven Weinberg, Cosmology (Oxford: Oxford University Press, 2008), 25.

[2]                Alan H. Guth, The Inflationary Universe: The Quest for a New Theory of Cosmic Origins (New York: Basic Books, 1997), 134.

[3]                David I. Kaiser, “Primordial Black Holes as Dark Matter Candidates,” Black Hole Initiative, Harvard University, December 12, 2022.

[4]                Fred Hoyle, “A New Model for the Expanding Universe,” Monthly Notices of the Royal Astronomical Society 108, no. 5 (1948): 372–382.

[5]                Paul J. Steinhardt and Neil Turok, “A Cyclic Model of the Universe,” Science 296, no. 5572 (2002): 1436–1439.

[6]                Xincheng Zhu, Rui Xu, and Dandan Xu, “Bumblebee Cosmology: Tests Using Distance- and Time-Redshift Probes,” arXiv preprint arXiv:2411.18559 (2024).

[7]                Max Tegmark, “Parallel Universes,” Scientific American 288, no. 5 (2003): 40–51.


5.           Struktur dan Evolusi Alam Semesta

Struktur alam semesta yang kita kenal saat ini tidak terbentuk secara instan, melainkan merupakan hasil dari proses evolusi panjang yang dimulai dari kondisi awal yang sangat panas dan padat. Dalam konteks kosmologi modern, evolusi alam semesta meliputi pembentukan struktur skala besar seperti galaksi, gugus galaksi, dan jaringan kosmik (cosmic web), yang semuanya dipengaruhi oleh interaksi gravitasi, ekspansi kosmis, serta komposisi materi dan energi yang mendasarinya.

5.1.       Struktur Skala Besar Alam Semesta

Hasil observasi astronomi menunjukkan bahwa materi di alam semesta terdistribusi dalam pola filamen yang membentuk jaringan kosmik, dengan galaksi-galaksi dan gugus-gugus galaksi membentuk simpul (nodes) dan dikelilingi oleh ruang-ruang kosong (voids). Struktur ini terbentuk dari fluktuasi densitas kecil pada masa awal alam semesta yang kemudian berkembang melalui proses yang dikenal sebagai ketidakstabilan gravitasi

Simulasi komputer kosmologis seperti Millennium Simulation dan IllustrisTNG telah merekonstruksi evolusi struktur skala besar dari waktu ke waktu berdasarkan parameter kosmologi yang diobservasi.² Simulasi ini menunjukkan bahwa materi gelap memiliki peran sentral dalam membentuk kerangka gravitasi yang menjadi fondasi struktur kosmik.

5.2.       Pembentukan Galaksi dan Gugus Galaksi

Galaksi terbentuk dari kondensasi gas dalam potensi gravitasi yang dibentuk oleh materi gelap.³ Proses ini menghasilkan berbagai jenis galaksi, seperti spiral, elips, dan tidak beraturan, yang terus berkembang melalui merger (penggabungan) dan akresi gas antar galaksi. Pembentukan gugus galaksi terjadi dalam skala yang lebih besar, mencakup ratusan hingga ribuan galaksi yang terikat gravitasi.⁴ Gugus-gugus ini merupakan struktur terbesar yang stabil secara gravitasi di alam semesta.

5.3.       Peran Materi Gelap dan Energi Gelap

Materi gelap, meskipun tidak dapat dilihat secara langsung, memainkan peran penting dalam mempercepat proses pembentukan struktur melalui tarikan gravitasinya. Bukti keberadaan materi gelap berasal dari kurva rotasi galaksi, lensa gravitasi, dan anisotropi pada radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis (CMB).⁵

Sebaliknya, energi gelap justru bekerja sebaliknya—mendorong percepatan ekspansi alam semesta, yang pertama kali dideteksi melalui pengamatan supernova tipe Ia pada akhir 1990-an.⁶ Peran energi gelap dalam evolusi struktur alam semesta masih menjadi salah satu misteri kosmologi kontemporer, terutama karena ia memengaruhi kecepatan dan arah pertumbuhan struktur pada skala sangat besar.

5.4.       Evolusi Kosmis dari Big Bang hingga Kini

Tahapan evolusi alam semesta dapat dijelaskan melalui kerangka kosmologi termal, yang dimulai dari fase inflasi, dilanjutkan dengan nukleosintesis primordial (pembentukan unsur ringan), rekombinasi (pembentukan atom netral), dan dekoupling foton yang meninggalkan jejak berupa radiasi latar CMB.⁷

Setelah fase rekombinasi, semesta memasuki Zaman Kegelapan Kosmis hingga akhirnya cahaya dari bintang-bintang pertama menerangi kembali alam semesta dalam fase yang disebut reionisasi. Selanjutnya, galaksi-galaksi dan struktur besar terbentuk dan terus berevolusi hingga mencapai konfigurasi yang kita amati hari ini melalui teleskop modern.


Footnotes

[1]                P. J. E. Peebles, Principles of Physical Cosmology (Princeton: Princeton University Press, 1993), 324.

[2]                Volker Springel et al., “Simulations of the Formation, Evolution and Clustering of Galaxies and Quasars,” Nature 435, no. 7042 (2005): 629–636.

[3]                Abraham Loeb and Steven R. Furlanetto, The First Galaxies in the Universe (Princeton: Princeton University Press, 2013), 101.

[4]                Malcolm S. Longair, Galaxy Formation, 2nd ed. (Berlin: Springer, 2008), 398.

[5]                Vera C. Rubin, W. Kent Ford Jr., and Norbert Thonnard, “Rotational Properties of 21 Sc Galaxies with a Large Range of Luminosities and Radii,” Astrophysical Journal 238 (1980): 471–487.

[6]                Adam G. Riess et al., “Observational Evidence from Supernovae for an Accelerating Universe and a Cosmological Constant,” The Astronomical Journal 116, no. 3 (1998): 1009–1038.

[7]                Edward W. Kolb and Michael S. Turner, The Early Universe (Reading, MA: Addison-Wesley, 1990), 229–245.


6.           Nasib Akhir Alam Semesta

Pertanyaan tentang bagaimana alam semesta akan berakhir merupakan salah satu isu paling fundamental dalam kosmologi modern. Berdasarkan teori fisika dan data observasional yang ada saat ini, para ilmuwan telah mengembangkan sejumlah skenario yang menggambarkan kemungkinan nasib akhir semesta. Setiap skenario sangat bergantung pada parameter kosmologis utama, seperti kepadatan materi dan energi, serta sifat energi gelap yang masih belum sepenuhnya dipahami.

6.1.       Parameter Penentu Nasib Semesta

Nasib akhir alam semesta sangat bergantung pada parameter kosmologis, terutama densitas energi totaltotal) dan konstanta kosmologis (Λ). Jika Ω > 1, semesta dikatakan tertutup dan akan mengalami kontraksi; jika Ω < 1, semesta terbuka dan akan terus mengembang selamanya; sementara jika Ω = 1, semesta bersifat datar dan ekpansi asimtotik dapat berlangsung tak hingga.¹ Observasi dari misi Planck dan WMAP menunjukkan bahwa alam semesta kita sangat dekat dengan keadaan datar (Ωtotal ≈ 1) dengan dominasi energi gelap.²

6.2.       Skenario Big Freeze (Pendinginan Total)

Skenario ini menyatakan bahwa alam semesta akan terus mengembang dan mendingin tanpa batas waktu. Seiring waktu, pembentukan bintang akan berhenti, bintang-bintang yang ada akan padam, dan galaksi akan menyebar hingga tidak dapat lagi saling berinteraksi secara gravitasi.³ Pada akhirnya, hanya partikel-partikel ringan seperti elektron, neutrino, dan foton yang akan tersisa dalam kehampaan ruang yang dingin dan gelap.⁴ Ini adalah konsekuensi alami dari dominasi energi gelap dalam model ΛCDM.

6.3.       Skenario Big Crunch (Keruntuhan Kembali)

Jika densitas materi semesta lebih tinggi daripada yang diperkirakan saat ini, gravitasi dapat menghentikan ekspansi dan membalikkan arah geraknya, menyebabkan seluruh struktur alam semesta runtuh kembali ke dalam singularitas yang sangat padat.⁵ Skenario ini dikenal sebagai Big Crunch, dan secara filosofis merupakan kebalikan dari Big Bang. Namun, bukti observasional terkini tidak mendukung kemungkinan ini, karena ekspansi semesta justru semakin cepat.⁶

6.4.       Skenario Big Rip (Pengoyakan Ruang-Waktu)

Big Rip adalah skenario paling ekstrem yang bergantung pada sifat energi gelap. Jika energi gelap memiliki persamaan keadaan (equation of state) w < −1, maka tekanan negatifnya akan terus meningkat, sehingga percepatan ekspansi juga meningkat secara eksponensial.⁷ Akibatnya, ikatan gravitasi, elektromagnetik, dan bahkan nuklir akan terkoyak, menghancurkan galaksi, bintang, planet, dan bahkan struktur atomik dalam rentang waktu tertentu.⁸

6.5.       Model Oscillating Universe dan Big Bounce

Beberapa model teoretis mengusulkan bahwa alam semesta tidak berawal atau berakhir, tetapi mengalami siklus ekspansi dan kontraksi secara berulang. Model ini dikenal sebagai oscillating universe atau Big Bounce, yang bertujuan untuk menghindari singularitas absolut.⁹ Namun, meskipun menarik dari sudut pandang filosofis dan metafisika, model ini masih sangat spekulatif dan kekurangan bukti empiris yang kuat.


Footnotes

[1]                Edward Harrison, Cosmology: The Science of the Universe, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 353–355.

[2]                Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI. Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.

[3]                Paul C. W. Davies, The Last Three Minutes: Conjectures About the Ultimate Fate of the Universe (New York: Basic Books, 1994), 42.

[4]                Fred C. Adams and Gregory Laughlin, “A Dying Universe: The Long Term Fate and Evolution of Astrophysical Objects,” Reviews of Modern Physics 69, no. 2 (1997): 337–372.

[5]                Joseph Silk, The Big Bang, 3rd ed. (New York: W. H. Freeman, 2001), 276.

[6]                Adam G. Riess et al., “Type Ia Supernova Discoveries at z > 1 from the Hubble Space Telescope: Evidence for Past Deceleration and Constraints on Dark Energy Evolution,” The Astrophysical Journal 607, no. 2 (2004): 665–687.

[7]                Robert R. Caldwell, Marc Kamionkowski, and Nevin N. Weinberg, “Phantom Energy and Cosmic Doomsday,” Physical Review Letters 91, no. 7 (2003): 071301.

[8]                Ibid., 071301.

[9]                Paul J. Steinhardt and Neil Turok, “A Cyclic Model of the Universe,” Science 296, no. 5572 (2002): 1436–1439.


7.           Kosmologi dan Filsafat

Kosmologi, sebagai kajian ilmiah tentang alam semesta secara keseluruhan, memiliki titik temu yang sangat erat dengan filsafat. Hubungan ini tidak hanya historis, tetapi juga epistemologis dan metafisik. Sejak zaman Yunani kuno hingga era kosmologi modern, pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang asal-usul, struktur, dan nasib semesta senantiasa menyentuh wilayah-wilayah filsafat yang paling mendalam: hakikat realitas, eksistensi, ruang dan waktu, serta posisi manusia dalam jagat raya.

7.1.       Akar Filosofis Kosmologi

Kosmologi memiliki akar yang kuat dalam filsafat alam (natural philosophy). Tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles telah menyusun model kosmik berdasarkan prinsip logika dan metafisika.¹ Aristoteles, misalnya, mengemukakan konsep prime mover (penggerak pertama) sebagai penyebab utama dari gerak kosmis, sebuah gagasan yang kelak berpengaruh dalam teologi skolastik.² Dalam Islam, tokoh seperti al-Farabi dan Ibn Sina juga mengembangkan kosmologi metafisik dengan struktur hierarkis semesta yang berujung pada Tuhan sebagai Akal Pertama.³

7.2.       Pertanyaan Metafisik dan Kosmologis

Kosmologi modern, meskipun sangat matematis dan empiris, tidak luput dari pertanyaan metafisik:

·                     Mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali?

·                     Apakah alam semesta memiliki permulaan mutlak, ataukah abadi?

·                     Apakah hukum fisika itu kontingen atau niscaya?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab sepenuhnya oleh metode ilmiah murni dan memerlukan pendekatan filosofis.⁴ Misalnya, teori Big Bang dapat memodelkan keadaan sangat awal dari alam semesta, tetapi tidak dapat menjelaskan “mengapa” kondisi awal itu ada atau dari mana hukum-hukum yang mengaturnya berasal.⁵

7.3.       Wacana Kosmologi dan Teologi

Kosmologi juga berinteraksi dengan teologi, khususnya dalam konteks penciptaan. Banyak filsuf dan teolog memandang model Big Bang sebagai sejalan dengan gagasan tentang penciptaan ex nihilo (dari ketiadaan), sebagaimana diyakini dalam tradisi agama samawi.⁶ Namun, ada pula yang memperingatkan bahwa penggunaan sains untuk membuktikan keberadaan Tuhan dapat menimbulkan kesalahan kategori, karena sains berbicara tentang bagaimana, sementara agama dan filsafat berbicara tentang mengapa.⁷

7.4.       Kosmologi dan Antroposentrisme: Prinsip Antropik

Salah satu isu filosofis yang hangat dibahas adalah prinsip antropik, yakni gagasan bahwa hukum-hukum alam tampaknya disetel sedemikian rupa agar memungkinkan keberadaan kehidupan cerdas.⁸ Hal ini menimbulkan spekulasi: apakah semesta secara kebetulan mendukung kehidupan, ataukah ada tujuan teleologis di baliknya? Dalam versi ekstrem, prinsip antropik digunakan untuk mendukung hipotesis multiverse, di mana kita hanya menghuni satu dari banyak alam semesta yang secara statistik memungkinkan kehidupan.⁹

7.5.       Etika dan Kosmologi: Implikasi Eksistensial

Pemahaman tentang tempat manusia dalam semesta juga membawa konsekuensi etis dan eksistensial. Dalam pandangan Carl Sagan, kesadaran bahwa kita adalah bagian dari alam semesta yang sangat luas dan kuno seharusnya menumbuhkan rasa kerendahan hati dan tanggung jawab terhadap planet ini.¹⁰ Kosmologi, dalam arti ini, tidak hanya menyampaikan pengetahuan ilmiah, tetapi juga membentuk cara pandang kita terhadap makna hidup, tempat manusia di alam raya, dan nilai kehidupan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett, 2000), 29d–36d.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago: Encyclopædia Britannica, 1952), Book XII.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 121–126.

[4]                Nicholas Rescher, The Limits of Science (Berkeley: University of California Press, 1984), 104.

[5]                Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 180.

[6]                William Lane Craig and James D. Sinclair, “The Kalam Cosmological Argument,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 183–286.

[7]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 112.

[8]                John D. Barrow and Frank J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Oxford University Press, 1986), 21–35.

[9]                Max Tegmark, “Parallel Universes,” Scientific American 288, no. 5 (2003): 40–51.

[10]             Carl Sagan, Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space (New York: Random House, 1994), 6–10.


8.           Kosmologi Eksperimental dan Observasional

Kosmologi, meskipun bersifat teoretis dalam banyak hal, sangat bergantung pada data empiris yang diperoleh melalui observasi dan eksperimen. Perkembangan teknologi astronomi dalam beberapa dekade terakhir telah memungkinkan kosmologi menjadi ilmu kuantitatif yang presisi, dengan pengujian hipotesis melalui pengamatan gelombang elektromagnetik, radiasi kosmis, gelombang gravitasi, dan struktur besar alam semesta. Kemajuan ini memperkuat status kosmologi sebagai ilmu yang semakin mendekati objektivitas empiris.

8.1.       Pengamatan Radiasi Latar Gelombang Mikro Kosmis (CMB)

Salah satu tonggak penting dalam kosmologi observasional adalah penemuan Cosmic Microwave Background (CMB) oleh Arno Penzias dan Robert Wilson pada tahun 1965.¹ CMB merupakan sisa radiasi dari alam semesta awal, sekitar 380.000 tahun setelah Big Bang, yang memberikan bukti kuat bagi teori Big Bang dan menjadi peta paling awal dari alam semesta yang bisa diamati.

Misi seperti COBE, WMAP, dan Planck telah mengukur anisotropi suhu CMB dengan ketelitian tinggi, memungkinkan para ilmuwan memperkirakan parameter kosmologis utama seperti kepadatan materi, kurvatur ruang, serta fraksi energi gelap dan materi gelap.²

8.2.       Teleskop Ruang Angkasa dan Observatorium Bumi

Kosmologi modern sangat bergantung pada instrumen observasional canggih. Teleskop Hubble, misalnya, telah memungkinkan astronom untuk mengamati galaksi pada jarak miliaran tahun cahaya, memberi gambaran tentang struktur dan evolusi kosmis dari waktu ke waktu.³ Teleskop-teleskop seperti James Webb Space Telescope (JWST) kini memperluas kemampuan ini hingga ke spektrum inframerah, yang berguna untuk mengamati galaksi tertua dan paling jauh.⁴

Di bumi, observatorium seperti Sloan Digital Sky Survey (SDSS) dan Dark Energy Survey (DES) telah memetakan jutaan galaksi, memungkinkan pemetaan tiga dimensi struktur besar alam semesta dan memperkuat analisis statistik terhadap distribusi materi.⁵

8.3.       Gelombang Gravitasi dan Kosmologi Multi-Messenger

Penemuan gelombang gravitasi oleh kolaborasi LIGO-Virgo pada 2015 menandai babak baru dalam kosmologi eksperimental.⁶ Gelombang gravitasi yang dihasilkan oleh merger lubang hitam atau bintang neutron memberikan cara baru untuk menyelidiki alam semesta, termasuk pengukuran jarak kosmologis melalui metode “standard sirens.”⁷ Dalam konteks ini, kosmologi multi-messenger—gabungan pengamatan elektromagnetik, gelombang gravitasi, dan partikel—semakin menambah kedalaman analisis struktur dan dinamika semesta.

8.4.       Peran Komputasi dan Simulasi Kosmologis

Simulasi numerik telah menjadi alat penting dalam membandingkan prediksi teori kosmologi dengan observasi. Simulasi seperti IllustrisTNG dan Millennium Simulation memperlihatkan bagaimana galaksi dan struktur besar terbentuk dalam konteks ΛCDM, serta memungkinkan eksplorasi parameter yang sulit diuji secara langsung.⁸ Peran kecerdasan buatan (AI) juga meningkat dalam pengolahan big data dari survei kosmologis, mempercepat klasifikasi dan analisis data.

8.5.       Tantangan Observasional dan Masa Depan

Meskipun kemajuan besar telah dicapai, tantangan tetap ada. Energi gelap dan materi gelap, misalnya, belum dapat dideteksi secara langsung. Instrumen masa depan seperti Euclid (ESA), Roman Space Telescope (NASA), dan CMB-S4 diharapkan dapat memberikan data lebih akurat dan menyempurnakan pemahaman tentang parameter kosmologis dan struktur semesta awal.⁹


Footnotes

[1]                Arno A. Penzias and Robert W. Wilson, “A Measurement of Excess Antenna Temperature at 4080 Mc/s,” Astrophysical Journal 142 (1965): 419–421.

[2]                Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI. Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.

[3]                Mario Livio, The Hubble Space Telescope: Imaging the Universe (New York: Harry N. Abrams, 2004), 42.

[4]                Klaus Pontoppidan et al., “The James Webb Space Telescope: Launch, Deployment, and Early Results,” Nature Astronomy 6 (2022): 1235–1242.

[5]                Daniel J. Eisenstein et al., “SDSS-III: Massive Spectroscopic Surveys of the Distant Universe, the Milky Way, and Extra-Solar Planetary Systems,” Astronomical Journal 142, no. 3 (2011): 72.

[6]                B. P. Abbott et al., “Observation of Gravitational Waves from a Binary Black Hole Merger,” Physical Review Letters 116, no. 6 (2016): 061102.

[7]                Daniel Holz and Scott Hughes, “Using Gravitational-Wave Standard Sirens,” Astrophysical Journal 629, no. 1 (2005): 15–22.

[8]                Volker Springel et al., “First Results from the IllustrisTNG Simulations,” Monthly Notices of the Royal Astronomical Society 475, no. 1 (2018): 676–698.

[9]                Euclid Collaboration, “Euclid Definition Study Report,” ESA/SRE (2011) 12: 1–178; Roman Science Team, “The Nancy Grace Roman Space Telescope,” arXiv preprint arXiv:1503.03757 (2015).


9.           Tantangan dan Masa Depan Kosmologi

Kosmologi modern telah mencapai kemajuan signifikan dalam memahami struktur dan evolusi alam semesta. Namun, sejumlah tantangan fundamental masih menghambat pemahaman menyeluruh. Tantangan-tantangan ini mencakup aspek teoritis, observasional, dan eksperimental yang saling terkait, serta membuka peluang bagi terobosan ilmiah di masa depan.

9.1.       Materi Gelap dan Energi Gelap: Misteri Kosmik yang Belum Terpecahkan

Sekitar 95% dari total energi alam semesta terdiri dari materi gelap dan energi gelap, dua komponen yang hingga kini belum terdeteksi secara langsung. Materi gelap diduga bertanggung jawab atas struktur skala besar melalui pengaruh gravitasinya, sementara energi gelap diyakini menyebabkan percepatan ekspansi alam semesta.¹ Meskipun berbagai eksperimen telah dilakukan untuk mendeteksi partikel materi gelap, seperti WIMP (Weakly Interacting Massive Particles), hasilnya masih belum meyakinkan.² Demikian pula, sifat dan asal-usul energi gelap tetap menjadi misteri, meskipun beberapa model teoritis, termasuk teori medan skalar dan modifikasi gravitasi, telah diajukan.³

9.2.       Ketegangan Hubble: Perbedaan Pengukuran Laju Ekspansi Alam Semesta

Salah satu tantangan utama dalam kosmologi saat ini adalah ketidaksesuaian antara nilai konstanta Hubble (H₀) yang diperoleh dari pengamatan latar belakang gelombang mikro kosmis (CMB) dan yang diperoleh dari pengamatan supernova tipe Ia di alam semesta lokal.⁴ Perbedaan ini, yang dikenal sebagai "ketegangan Hubble," memunculkan pertanyaan tentang kemungkinan adanya fisika baru atau kesalahan sistematis dalam pengukuran. Beberapa hipotesis, seperti keberadaan energi gelap awal (early dark energy) atau variasi lokal dalam kepadatan materi, telah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini.⁵

9.3.       Struktur Skala Besar dan Prinsip Kosmologis

Prinsip kosmologis menyatakan bahwa alam semesta homogen dan isotropik pada skala besar. Namun, penemuan struktur kosmik berskala besar, seperti "Big Ring" dan "Giant Arc," menantang asumsi ini.⁶ Jika struktur-struktur ini dikonfirmasi, mereka dapat mengindikasikan bahwa alam semesta tidak sehomogen yang selama ini diasumsikan, sehingga memerlukan revisi terhadap model kosmologi standar.

9.4.       Tantangan dalam Model ΛCDM dan Skala Kecil

Model ΛCDM (Lambda Cold Dark Matter) telah berhasil menjelaskan banyak aspek kosmologi, tetapi menghadapi tantangan pada skala galaksi dan subgalaksi. Masalah seperti "cuspy halo problem," "missing satellites problem," dan "too big to fail problem" menunjukkan bahwa prediksi model ini tidak sepenuhnya konsisten dengan observasi pada skala kecil.⁷ Beberapa solusi yang diajukan termasuk umpan balik baryonik dan modifikasi sifat materi gelap, tetapi belum ada konsensus yang dicapai.

9.5.       Masa Depan Kosmologi: Eksperimen dan Observasi Mendatang

Kemajuan dalam kosmologi sangat bergantung pada pengembangan instrumen observasi dan eksperimen baru. Misi seperti Euclid dan Nancy Grace Roman Space Telescope diharapkan dapat memberikan data lebih akurat tentang energi gelap dan struktur alam semesta.⁸ Selain itu, deteksi gelombang gravitasi oleh LIGO dan Virgo membuka jendela baru untuk mempelajari fenomena kosmik ekstrem, seperti merger lubang hitam dan bintang neutron.⁹


Footnotes

[1]                Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI. Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.

[2]                Gianfranco Bertone, Dan Hooper, and Joseph Silk, “Particle Dark Matter: Evidence, Candidates and Constraints,” Physics Reports 405, no. 5–6 (2005): 279–390.

[3]                Edmund J. Copeland, M. Sami, and Shinji Tsujikawa, “Dynamics of Dark Energy,” International Journal of Modern Physics D 15, no. 11 (2006): 1753–1936.

[4]                Adam G. Riess et al., “A 2.4% Determination of the Local Value of the Hubble Constant,” The Astrophysical Journal 826, no. 1 (2016): 56.

[5]                Vivian Poulin et al., “Early Dark Energy Can Resolve the Hubble Tension,” Physical Review Letters 122, no. 22 (2019): 221301.

[6]                Alexia Lopez et al., “A Giant Arc of Galaxies in the Northern Sky,” Monthly Notices of the Royal Astronomical Society 505, no. 1 (2021): L1–L5.

[7]                Stacy S. McGaugh, “A Tale of Two Paradigms: The Mutual Incommensurability of ΛCDM and MOND,” Canadian Journal of Physics 93, no. 2 (2015): 250–259.

[8]                Euclid Collaboration, “Euclid Definition Study Report,” ESA/SRE (2011): 12.

[9]                B. P. Abbott et al., “Observation of Gravitational Waves from a Binary Black Hole Merger,” Physical Review Letters 116, no. 6 (2016): 061102.


10.       Kesimpulan

Kosmologi modern telah membawa manusia pada pemahaman yang sangat dalam dan luas mengenai alam semesta—dari asal-usulnya dalam peristiwa Big Bang, melalui evolusi struktur kosmis, hingga spekulasi tentang nasib akhirnya. Ilmu ini telah bergeser dari spekulasi filosofis kuno menjadi bidang sains empiris yang sangat kuantitatif, berkat kemajuan dalam fisika teoretis, teknologi observasi, dan komputasi simulatif.

Model ΛCDM tetap menjadi kerangka kerja kosmologi paling kokoh saat ini, menjelaskan secara konsisten berbagai fenomena mulai dari anisotropi CMB, distribusi galaksi, hingga percepatan ekspansi semesta.¹ Namun, kosmologi juga dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendalam yang belum terjawab secara tuntas—seperti hakikat energi gelap, materi gelap, asal-usul fluktuasi kuantum awal, dan potensi keberadaan multiverse.² Ketegangan nilai Hubble (H₀), serta penemuan struktur kosmik berskala luar biasa besar, menunjukkan bahwa masih ada kemungkinan ruang bagi revisi terhadap model-model yang telah mapan.³

Selain pertanyaan-pertanyaan empiris, kosmologi tetap menjalin hubungan erat dengan filsafat dan teologi. Ia tidak hanya menjelaskan bagaimana semesta berfungsi, tetapi juga memicu refleksi mendalam tentang mengapa semesta ini ada, dan apa makna keberadaan manusia dalam hamparan kosmos yang begitu luas dan kuno.⁴ Perspektif ini menunjukkan bahwa kosmologi bukan hanya disiplin ilmiah, tetapi juga pencarian intelektual dan spiritual umat manusia yang abadi.

Ke depan, harapan besar ditempatkan pada misi-misi ilmiah baru seperti Euclid, JWST, dan Roman Space Telescope yang akan memperluas cakrawala observasional kita, serta pada teori-teori fisika fundamental baru yang mungkin menjembatani kesenjangan antara relativitas umum dan mekanika kuantum.⁵ Melalui sinergi antara observasi, teori, dan filsafat, kosmologi akan terus menjadi medan intelektual yang subur bagi eksplorasi ilmu pengetahuan dan pemahaman eksistensial yang mendalam.


Footnotes

[1]                Steven Weinberg, Cosmology (Oxford: Oxford University Press, 2008), 338–341.

[2]                Alan H. Guth, The Inflationary Universe: The Quest for a New Theory of Cosmic Origins (New York: Basic Books, 1997), 223.

[3]                Adam G. Riess et al., “A 2.4% Determination of the Local Value of the Hubble Constant,” The Astrophysical Journal 826, no. 1 (2016): 56.

[4]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 179–183.

[5]                Klaus Pontoppidan et al., “The James Webb Space Telescope: Launch, Deployment, and Early Results,” Nature Astronomy 6 (2022): 1235–1242.


Daftar Pustaka

Abbott, B. P., Abbott, R., Abbott, T. D., Abernathy, M. R., Acernese, F., Ackley, K., ... & LIGO Scientific Collaboration and Virgo Collaboration. (2016). Observation of gravitational waves from a binary black hole merger. Physical Review Letters, 116(6), 061102. https://doi.org/10.1103/PhysRevLett.116.061102

Adams, F. C., & Laughlin, G. (1997). A dying universe: The long-term fate and evolution of astrophysical objects. Reviews of Modern Physics, 69(2), 337–372. https://doi.org/10.1103/RevModPhys.69.337

Barbour, I. G. (1997). Religion and science: Historical and contemporary issues. San Francisco, CA: HarperSanFrancisco.

Barrow, J. D., & Tipler, F. J. (1986). The anthropic cosmological principle. Oxford, UK: Oxford University Press.

Bertone, G., Hooper, D., & Silk, J. (2005). Particle dark matter: Evidence, candidates and constraints. Physics Reports, 405(5–6), 279–390. https://doi.org/10.1016/j.physrep.2004.08.031

Caldwell, R. R., Kamionkowski, M., & Weinberg, N. N. (2003). Phantom energy and cosmic doomsday. Physical Review Letters, 91(7), 071301. https://doi.org/10.1103/PhysRevLett.91.071301

Copeland, E. J., Sami, M., & Tsujikawa, S. (2006). Dynamics of dark energy. International Journal of Modern Physics D, 15(11), 1753–1936. https://doi.org/10.1142/S021827180600942X

Davies, P. C. W. (1994). The last three minutes: Conjectures about the ultimate fate of the universe. New York, NY: Basic Books.

Eisenstein, D. J., Weinberg, D. H., Agol, E., Aihara, H., Allende Prieto, C., Anderson, S. F., ... & York, D. G. (2011). SDSS-III: Massive spectroscopic surveys of the distant universe, the Milky Way, and extra-solar planetary systems. The Astronomical Journal, 142(3), 72. https://doi.org/10.1088/0004-6256/142/3/72

Euclid Collaboration. (2011). Euclid definition study report (ESA/SRE 12). European Space Agency. https://sci.esa.int/web/euclid/-/euclid-definition-study-report

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York, NY: Columbia University Press.

Guth, A. H. (1997). The inflationary universe: The quest for a new theory of cosmic origins. New York, NY: Basic Books.

Harrison, E. (2000). Cosmology: The science of the universe (2nd ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. New York, NY: Bantam Books.

Holz, D. E., & Hughes, S. A. (2005). Using gravitational-wave standard sirens. The Astrophysical Journal, 629(1), 15–22. https://doi.org/10.1086/431341

Kaiser, D. I. (2022). Primordial black holes as dark matter candidates. Black Hole Initiative, Harvard University.

Kolb, E. W., & Turner, M. S. (1990). The early universe. Reading, MA: Addison-Wesley.

Livio, M. (2004). The Hubble Space Telescope: Imaging the universe. New York, NY: Harry N. Abrams.

Loeb, A., & Furlanetto, S. R. (2013). The first galaxies in the universe. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Lopez, A., Clowes, R. G., & Raghunathan, S. (2021). A giant arc of galaxies in the northern sky. Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, 505(1), L1–L5. https://doi.org/10.1093/mnrasl/slab041

McGaugh, S. S. (2015). A tale of two paradigms: The mutual incommensurability of ΛCDM and MOND. Canadian Journal of Physics, 93(2), 250–259. https://doi.org/10.1139/cjp-2014-0203

Peebles, P. J. E. (1993). Principles of physical cosmology. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Penzias, A. A., & Wilson, R. W. (1965). A measurement of excess antenna temperature at 4080 Mc/s. The Astrophysical Journal, 142, 419–421. https://doi.org/10.1086/148307

Planck Collaboration. (2020). Planck 2018 results. VI. Cosmological parameters. Astronomy & Astrophysics, 641, A6. https://doi.org/10.1051/0004-6361/201833910

Pontoppidan, K. M., Blome, C., Sargent, B., Pirzkal, N., Eisenhamer, J., & Perrin, M. (2022). The James Webb Space Telescope: Launch, deployment, and early results. Nature Astronomy, 6, 1235–1242. https://doi.org/10.1038/s41550-022-01744-0

Poulin, V., Smith, T. L., Karwal, T., & Kamionkowski, M. (2019). Early dark energy can resolve the Hubble tension. Physical Review Letters, 122(22), 221301. https://doi.org/10.1103/PhysRevLett.122.221301

Rescher, N. (1984). The limits of science. Berkeley, CA: University of California Press.

Riess, A. G., Macri, L. M., Hoffmann, S. L., Scolnic, D., Casertano, S., Filippenko, A. V., ... & Jones, D. O. (2016). A 2.4% determination of the local value of the Hubble constant. The Astrophysical Journal, 826(1), 56. https://doi.org/10.3847/0004-637X/826/1/56

Rubin, V. C., Ford, W. K., Jr., & Thonnard, N. (1980). Rotational properties of 21 Sc galaxies with a large range of luminosities and radii. The Astrophysical Journal, 238, 471–487. https://doi.org/10.1086/158003

Sagan, C. (1994). Pale blue dot: A vision of the human future in space. New York, NY: Random House.

Silk, J. (2001). The Big Bang (3rd ed.). New York, NY: W. H. Freeman.

Springel, V., White, S. D. M., Jenkins, A., Frenk, C. S., Yoshida, N., Gao, L., ... & Navarro, J. F. (2005). Simulations of the formation, evolution and clustering of galaxies and quasars. Nature, 435(7042), 629–636. https://doi.org/10.1038/nature03597

Springel, V., Pakmor, R., Zier, O., & Reinecke, M. (2018). First results from the IllustrisTNG simulations: Matter and galaxy clustering. Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, 475(1), 676–698. https://doi.org/10.1093/mnras/stx3304

Steinhardt, P. J., & Turok, N. (2002). A cyclic model of the universe. Science, 296(5572), 1436–1439. https://doi.org/10.1126/science.1070462

Tegmark, M. (2003). Parallel universes. Scientific American, 288(5), 40–51. https://doi.org/10.1038/scientificamerican0503-40

Weinberg, S. (2008). Cosmology. Oxford, UK: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar