Kosmologi
Memahami Alam Semesta dari Awal Hingga Akhir
Alihkan ke: Astronomi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji kosmologi sebagai salah satu
cabang utama dalam ilmu astronomi dan fisika teoretis yang berfokus pada
pemahaman struktur, asal-usul, evolusi, dan nasib akhir alam semesta. Melalui
pendekatan multidisipliner yang menggabungkan observasi astrofisika, teori
relativitas umum, mekanika kuantum, serta refleksi filosofis, artikel ini memetakan
perkembangan historis kosmologi dari masa kuno hingga era modern. Pembahasan
mencakup model kosmologi standar (ΛCDM), teori inflasi, pengamatan radiasi
latar gelombang mikro kosmis (CMB), hingga wacana kontemporer seputar materi
gelap, energi gelap, dan prinsip antropik. Selain menelaah aspek eksperimental
dan observasional dalam kosmologi modern, artikel ini juga mengangkat tantangan
epistemologis dan metafisik yang belum terpecahkan, seperti ketegangan nilai
konstanta Hubble, serta keterbatasan dalam memahami struktur besar dan hukum
fisika pada skala ekstrem. Kesimpulan artikel menyoroti bahwa kosmologi tidak
hanya berkembang sebagai ilmu empirik, tetapi juga sebagai sarana reflektif
yang menghubungkan sains dengan filsafat dan spiritualitas. Dengan dukungan
teknologi observasi dan teori baru, masa depan kosmologi diharapkan akan
menjawab lebih banyak pertanyaan fundamental tentang semesta dan eksistensi
manusia di dalamnya.
Kata Kunci: Kosmologi, alam semesta, Big Bang, relativitas
umum, energi gelap, materi gelap, inflasi kosmik, CMB, multiverse, prinsip
antropik, ketegangan Hubble, struktur besar semesta, filsafat sains.
PEMBAHASAN
Kosmologi Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Kosmologi adalah cabang ilmu yang mempelajari
struktur, asal-usul, evolusi, dan nasib akhir alam semesta secara keseluruhan.
Berbeda dengan cabang astronomi lain yang cenderung memusatkan perhatian pada
objek atau sistem tertentu seperti bintang, planet, atau galaksi, kosmologi
berurusan dengan gambaran makro dari keseluruhan ruang dan waktu. Dalam
pengertian modern, kosmologi adalah disiplin ilmiah yang berpijak pada
prinsip-prinsip fisika, khususnya relativitas umum dan mekanika kuantum, guna
memahami dinamika semesta dalam skala yang paling luas.¹
Pertanyaan-pertanyaan kosmologis seperti "Dari
mana alam semesta berasal?", "Bagaimana ia berkembang?",
dan "Apa yang akan terjadi di masa depan?" telah menjadi fokus
intelektual umat manusia sejak zaman kuno. Meskipun awalnya dimaknai secara
mitologis dan filosofis, perkembangan ilmu pengetahuan modern, terutama sejak
abad ke-20, telah menjadikan kosmologi sebagai cabang sains yang sangat empiris
dan matematis.² Dengan kemajuan teknologi observasi seperti teleskop ruang
angkasa dan detektor gelombang mikro kosmis, kini para ilmuwan mampu
merekonstruksi sejarah alam semesta hingga sepersekian detik setelah terjadinya
peristiwa Big Bang.³
Kosmologi modern berkembang berdasarkan dua pilar
utama: teori relativitas umum yang dikembangkan oleh Albert Einstein
pada 1915, dan kosmologi pengamatan, yang secara sistematis menguji
prediksi-prediksi teori tersebut melalui pengamatan astronomis. Teori
relativitas umum merevolusi pandangan klasik Newtonian mengenai gravitasi dan
memperkenalkan konsep bahwa massa dan energi dapat membengkokkan ruang dan
waktu.⁴ Sementara itu, kosmologi observasional menunjukkan bahwa alam semesta
terus mengalami ekspansi, fenomena yang pertama kali dibuktikan oleh Edwin
Hubble pada 1929 melalui pengamatan terhadap galaksi-galaksi yang menjauhi satu
sama lain.⁵
Urgensi kosmologi sebagai bidang kajian tidak hanya
terletak pada nilai ilmiahnya, tetapi juga pada implikasinya terhadap pandangan
dunia manusia. Dengan mempelajari struktur dan dinamika kosmik, manusia
memperluas batas pengetahuan mengenai keberadaan dirinya, menempatkan Bumi
dalam konteks yang lebih besar, dan mengevaluasi ulang posisi manusia dalam
semesta yang sangat luas.⁶ Dalam arti ini, kosmologi tidak hanya merupakan
studi ilmiah, tetapi juga berkontribusi terhadap refleksi filosofis dan bahkan
spiritual tentang hakikat eksistensi.
Footnotes
[1]
Andrew Liddle, An Introduction to Modern
Cosmology, 3rd ed. (Chichester: Wiley, 2015), 1.
[2]
Steven Weinberg, The First Three Minutes: A
Modern View of the Origin of the Universe (New York: Basic Books, 2005), 4.
[3]
Scott Dodelson, Modern Cosmology (Amsterdam:
Academic Press, 2003), 6.
[4]
P. J. E. Peebles, Principles of Physical
Cosmology (Princeton: Princeton University Press, 1993), 56.
[5]
Edward W. Kolb and Michael S. Turner, The Early
Universe (Reading, MA: Addison-Wesley, 1990), 88.
[6]
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam, 1998), 171.
2.
Sejarah
Singkat Perkembangan Kosmologi
Perkembangan kosmologi sebagai cabang ilmu tidak
dapat dipisahkan dari transformasi mendasar dalam cara manusia memandang alam
semesta. Sejarah kosmologi mencerminkan pergeseran besar dari penjelasan
mitologis menuju pemahaman ilmiah yang didasarkan pada observasi, eksperimentasi,
dan prinsip-prinsip fisika matematis.
2.1.
Kosmologi Kuno dan Klasik
Pada masa kuno, manusia memandang langit sebagai
ranah ketuhanan dan simbol keteraturan. Bangsa Babilonia, Mesir, dan India kuno
telah mengembangkan pandangan kosmologis berdasarkan pengamatan terhadap
pergerakan benda langit, yang kemudian dikaitkan dengan kepercayaan spiritual.¹
Dalam tradisi Yunani, tokoh seperti Anaximander dan Pythagoras mulai merumuskan
model semesta berdasarkan prinsip rasional, namun masih terikat pada asumsi
geosentris—yakni bahwa Bumi berada di pusat alam semesta.²
Model geosentris mencapai puncaknya dalam sistem
Ptolemaik yang dikembangkan oleh Claudius Ptolemaeus (Ptolemy) pada abad ke-2
M. Sistem ini bertahan selama lebih dari seribu tahun dan diadopsi luas dalam
kosmologi Islam klasik maupun Eropa abad pertengahan.³
2.2.
Revolusi Ilmiah dan
Lahirnya Kosmologi Modern
Revolusi ilmiah pada abad ke-16 dan 17 menjadi
titik balik dalam sejarah kosmologi. Nicolaus Copernicus memperkenalkan model
heliosentris, di mana Matahari—bukan Bumi—menjadi pusat perputaran benda-benda
langit.⁴ Model ini diperkuat oleh pengamatan Galileo Galilei dengan teleskop
dan disempurnakan oleh Johannes Kepler dengan hukum-hukum gerak planetnya.⁵
Perkembangan ini membuka jalan bagi Isaac Newton
untuk merumuskan hukum gravitasi universal yang menjelaskan gerak benda langit
secara matematis. Dalam konteks Newtonian ini, semesta dipandang sebagai ruang
absolut yang statis dan tak terbatas, di mana gaya gravitasi bekerja secara
instan di seluruh penjuru.⁶ Meskipun revolusioner, model ini belum menjawab
pertanyaan tentang asal-usul dan evolusi semesta secara menyeluruh.
2.3.
Kosmologi Relativistik dan
Ekspansi Semesta
Lompatan besar berikutnya terjadi pada awal abad
ke-20 ketika Albert Einstein memperkenalkan teori relativitas umum
(1915), yang memformulasikan gravitasi sebagai kelengkungan ruang-waktu akibat
keberadaan massa dan energi.⁷ Ini membuka kemungkinan bagi model semesta yang
dinamis, sesuatu yang semula ditolak Einstein sendiri dengan memperkenalkan
konstanta kosmologis untuk mempertahankan model statis.
Namun, pada akhir 1920-an, astronom Edwin Hubble
menemukan bahwa galaksi-galaksi tampak bergerak menjauhi satu sama lain, suatu
fenomena yang disebut redshift kosmologis.⁸ Penemuan ini menjadi bukti
bahwa alam semesta sedang mengalami ekspansi, yang kemudian menjadi fondasi
bagi teori Big Bang. Teori ini menyatakan bahwa semesta berasal dari
kondisi sangat panas dan padat sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu.
2.4.
Era Kosmologi Observasional
dan Teoretis
Sejak pertengahan abad ke-20 hingga kini, kosmologi
mengalami perkembangan pesat dengan kontribusi dari fisika partikel, astronomi
observasional, dan teori kuantum. Penemuan radiasi latar belakang gelombang
mikro kosmis (CMB) oleh Arno Penzias dan Robert Wilson pada tahun 1965
mendukung prediksi Big Bang dan mengukuhkan model kosmologi standar.⁹
Perkembangan instrumen observasi seperti teleskop
ruang angkasa Hubble, proyek Planck, dan misi WMAP telah menghasilkan data
presisi tinggi mengenai struktur besar alam semesta, distribusi materi gelap,
dan percepatan ekspansi akibat energi gelap.¹⁰ Sementara itu, teori-teori baru
seperti inflasi kosmik, multiverse, dan kosmologi kuantum terus dikembangkan
untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang belum terpecahkan.
Footnotes
[1]
John North, Cosmos: An Illustrated History of
Astronomy and Cosmology (Chicago: University of Chicago Press, 2008),
17–22.
[2]
Thomas Heath, A History of Greek Mathematics
(Oxford: Clarendon Press, 1921), 254.
[3]
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 47.
[4]
Nicolaus Copernicus, On the Revolutions of the
Celestial Spheres, trans. Charles Glenn Wallis (Amherst, NY: Prometheus
Books, 1995), 5.
[5]
James Reston Jr., Galileo: A Life (New York:
HarperCollins, 1994), 89–91.
[6]
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia
Mathematica, trans. Andrew Motte (Berkeley: University of California Press,
1999), 101.
[7]
Albert Einstein, The Meaning of Relativity
(Princeton: Princeton University Press, 1955), 35.
[8]
Edwin Hubble, “A Relation between Distance and
Radial Velocity among Extra-Galactic Nebulae,” Proceedings of the National
Academy of Sciences 15, no. 3 (1929): 168–173.
[9]
Arno A. Penzias and Robert W. Wilson, “A
Measurement of Excess Antenna Temperature at 4080 Mc/s,” Astrophysical
Journal 142 (1965): 419–421.
[10]
Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI.
Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.
3.
Dasar-Dasar
Fisika Kosmologi
Kosmologi modern tidak dapat dipahami tanpa fondasi
yang kokoh dari fisika teoretis, terutama teori relativitas umum, mekanika
kuantum, dan termodinamika. Ketiga pilar ini memungkinkan para ilmuwan menyusun
model matematis tentang asal-usul, struktur, evolusi, dan masa depan alam
semesta. Oleh karena itu, dasar-dasar fisika kosmologi menjadi kunci dalam
merumuskan kerangka kerja ilmiah untuk memahami dinamika kosmik.
3.1.
Relativitas Umum dan
Geometri Ruang-Waktu
Teori relativitas umum, yang dikembangkan oleh
Albert Einstein pada tahun 1915, merevolusi konsep gravitasi dari gaya yang
bekerja di antara dua benda menjadi hasil dari kelengkungan ruang-waktu yang
disebabkan oleh distribusi massa dan energi.¹ Dalam konteks kosmologi, teori
ini menyediakan dasar matematis bagi model-model alam semesta, termasuk
persamaan medan Einstein yang terkenal:
Gμν + Λgμν = [8πG/c4] × Tμν
Persamaan ini menghubungkan geometri ruang-waktu
(kiri) dengan distribusi materi dan energi (kanan).² Model
Friedmann-Lemaître-Robertson-Walker (FLRW), yang diturunkan dari relativitas
umum dengan asumsi homogenitas dan isotropi, menjadi model dasar dalam
kosmologi modern.³
3.2.
Prinsip Kosmologis dan
Simetri Semesta
Salah satu asumsi penting dalam kosmologi fisik
adalah prinsip kosmologis, yang menyatakan bahwa pada skala besar, alam
semesta bersifat homogen dan isotropik.⁴ Ini berarti tidak ada titik atau arah
istimewa dalam semesta jika diamati dari sudut pandang yang cukup luas. Prinsip
ini bukan hanya postulat filosofis, melainkan telah dikonfirmasi secara empiris
melalui distribusi galaksi dan isotropi latar belakang gelombang mikro kosmis
(CMB).⁵
3.3.
Termodinamika Kosmik
Termodinamika berperan penting dalam menjelaskan
evolusi energi dan suhu alam semesta, terutama pada fase-fase awal setelah Big
Bang. Entropi semesta diperkirakan meningkat seiring waktu, dan hukum kedua
termodinamika menjadi kunci dalam menjelaskan arah panah waktu secara
kosmologis.⁶ Dalam kerangka kosmologi termal, alam semesta dini dipenuhi oleh
plasma partikel yang berada dalam kesetimbangan termal, yang kemudian mengalami
pendinginan drastis selama ekspansi.
3.4.
Peran Materi dan Energi:
Biasa, Gelap, dan Kosmik
Dalam model kosmologi saat ini, total energi alam
semesta diklasifikasikan ke dalam tiga komponen utama: materi biasa
(barionik), materi gelap, dan energi gelap. Materi barionik
menyusun benda-benda seperti bintang dan planet, tetapi hanya menyumbang
sekitar 5% dari total energi semesta.⁷
Sekitar 27% terdiri dari materi gelap, yang
tidak memancarkan cahaya tetapi memengaruhi gerak galaksi dan struktur besar
melalui gravitasi. Sementara itu, 68% sisanya terdiri dari energi gelap,
entitas misterius yang diduga menyebabkan percepatan ekspansi alam semesta.⁸
Sumber-sumber observasional seperti supernova tipe Ia dan survei galaksi
menjadi dasar empirik dari estimasi ini.
3.5.
Konektivitas dengan Fisika
Partikel dan Teori Kuantum
Kosmologi juga terhubung erat dengan fisika
partikel, khususnya dalam memahami kondisi alam semesta dini pada energi sangat
tinggi, di mana hukum fisika klasik tidak lagi berlaku. Dalam fase-fase awal
setelah Big Bang (dalam orde 10−36 hingga 10−6 detik),
interaksi partikel-elementer seperti quark, lepton, dan boson menjadi sangat
dominan.⁹ Teori-teori seperti Model Standar fisika partikel dan
pendekatan inflasi kuantum digunakan untuk menjelaskan asal-usul fluktuasi
densitas yang menjadi bibit struktur kosmik.¹⁰
Footnotes
[1]
Albert Einstein, The Meaning of Relativity (Princeton:
Princeton University Press, 1955), 77.
[2]
Charles W. Misner, Kip S. Thorne, and John
Archibald Wheeler, Gravitation (San Francisco: W. H. Freeman, 1973),
408.
[3]
Steven Weinberg, Cosmology (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 25.
[4]
Edward Harrison, Cosmology: The Science of the
Universe, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 285.
[5]
Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI.
Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.
[6]
Sean Carroll, From Eternity to Here: The Quest
for the Ultimate Theory of Time (New York: Dutton, 2010), 169.
[7]
P. J. E. Peebles and Bharat Ratra, “The
Cosmological Constant and Dark Energy,” Reviews of Modern Physics 75,
no. 2 (2003): 559–606.
[8]
Adam G. Riess et al., “Observational Evidence from
Supernovae for an Accelerating Universe and a Cosmological Constant,” The
Astronomical Journal 116, no. 3 (1998): 1009–1038.
[9]
Edward W. Kolb and Michael S. Turner, The Early
Universe (Reading, MA: Addison-Wesley, 1990), 123.
[10]
Alan H. Guth, The Inflationary Universe: The
Quest for a New Theory of Cosmic Origins (New York: Basic Books, 1997),
134.
4.
Model
dan Teori Kosmologi Modern
Kosmologi modern telah berkembang pesat dengan
berbagai model dan teori yang berupaya menjelaskan asal-usul, struktur, dan
evolusi alam semesta. Beberapa model utama yang mendominasi diskursus ilmiah
saat ini meliputi:
4.1.
Model Lambda-CDM (ΛCDM):
Model Standar Kosmologi
Model ΛCDM merupakan model kosmologi standar yang
paling banyak diterima saat ini. Model ini menggabungkan relativitas umum
dengan asumsi adanya materi gelap dingin (Cold Dark Matter) dan konstanta
kosmologis (Λ) yang mewakili energi gelap. Model ini berhasil menjelaskan
berbagai observasi, termasuk latar belakang gelombang mikro kosmis (CMB),
distribusi galaksi, dan percepatan ekspansi alam semesta.¹
4.2.
Teori Inflasi Kosmik
Teori inflasi kosmik dikembangkan untuk menjelaskan
homogenitas, isotropi, dan kelengkungan datar alam semesta yang diamati. Teori
ini mengusulkan bahwa alam semesta mengalami ekspansi eksponensial yang sangat
cepat dalam waktu yang sangat singkat setelah Big Bang.² Inflasi juga
memprediksi spektrum fluktuasi kuantum yang menjadi cikal bakal struktur besar
seperti galaksi dan gugus galaksi.³
4.3.
Model Alternatif: Teori
Steady-State dan Teori Big Bounce
Sebelum dominasi model Big Bang, teori Steady-State
mengusulkan bahwa alam semesta tidak memiliki awal atau akhir dan tetap konstan
dalam kepadatan melalui penciptaan materi baru secara terus-menerus.⁴ Namun,
penemuan CMB dan bukti ekspansi alam semesta menggeser konsensus ilmiah ke arah
model Big Bang.
Teori Big Bounce, di sisi lain, mengusulkan bahwa
alam semesta mengalami siklus kontraksi dan ekspansi tanpa awal atau akhir.
Model ini berusaha menghindari singularitas awal dan memberikan alternatif
terhadap inflasi.⁵
4.4.
Kosmologi Modifikasi: Teori
Gravitasi yang Dimodifikasi
Beberapa ilmuwan mengembangkan teori gravitasi yang
dimodifikasi untuk menjelaskan fenomena kosmologis tanpa mengandalkan energi
gelap atau materi gelap. Contohnya termasuk teori f(R) gravity dan teori
bumblebee yang mengusulkan pelanggaran simetri Lorentz.⁶ Teori-teori ini
berusaha menjelaskan percepatan ekspansi alam semesta dan distribusi materi
tanpa komponen gelap yang belum terdeteksi secara langsung.
4.5.
Model Multiverse dan
Kosmologi Kuantum
Beberapa interpretasi dari teori inflasi dan
mekanika kuantum mengarah pada konsep multiverse, di mana alam semesta kita
hanyalah salah satu dari banyak alam semesta yang mungkin ada.⁷ Meskipun
menarik, konsep ini masih bersifat spekulatif dan sulit untuk diuji secara
empiris.
Footnotes
[1]
Steven Weinberg, Cosmology (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 25.
[2]
Alan H. Guth, The Inflationary Universe: The
Quest for a New Theory of Cosmic Origins (New York: Basic Books, 1997),
134.
[3]
David I. Kaiser, “Primordial Black Holes as Dark
Matter Candidates,” Black Hole Initiative, Harvard University, December
12, 2022.
[4]
Fred Hoyle, “A New Model for the Expanding
Universe,” Monthly Notices of the Royal Astronomical Society 108, no. 5
(1948): 372–382.
[5]
Paul J. Steinhardt and Neil Turok, “A Cyclic Model
of the Universe,” Science 296, no. 5572 (2002): 1436–1439.
[6]
Xincheng Zhu, Rui Xu, and Dandan Xu, “Bumblebee
Cosmology: Tests Using Distance- and Time-Redshift Probes,” arXiv preprint
arXiv:2411.18559 (2024).
[7]
Max Tegmark, “Parallel Universes,” Scientific
American 288, no. 5 (2003): 40–51.
5.
Struktur
dan Evolusi Alam Semesta
Struktur alam semesta yang kita kenal saat ini
tidak terbentuk secara instan, melainkan merupakan hasil dari proses evolusi
panjang yang dimulai dari kondisi awal yang sangat panas dan padat. Dalam
konteks kosmologi modern, evolusi alam semesta meliputi pembentukan struktur
skala besar seperti galaksi, gugus galaksi, dan jaringan kosmik (cosmic web),
yang semuanya dipengaruhi oleh interaksi gravitasi, ekspansi kosmis, serta
komposisi materi dan energi yang mendasarinya.
5.1.
Struktur Skala Besar Alam
Semesta
Hasil observasi astronomi menunjukkan bahwa materi
di alam semesta terdistribusi dalam pola filamen yang membentuk jaringan
kosmik, dengan galaksi-galaksi dan gugus-gugus galaksi membentuk simpul (nodes)
dan dikelilingi oleh ruang-ruang kosong (voids). Struktur ini terbentuk dari
fluktuasi densitas kecil pada masa awal alam semesta yang kemudian berkembang
melalui proses yang dikenal sebagai ketidakstabilan gravitasi.¹
Simulasi komputer kosmologis seperti Millennium
Simulation dan IllustrisTNG telah merekonstruksi evolusi struktur
skala besar dari waktu ke waktu berdasarkan parameter kosmologi yang
diobservasi.² Simulasi ini menunjukkan bahwa materi gelap memiliki peran
sentral dalam membentuk kerangka gravitasi yang menjadi fondasi struktur
kosmik.
5.2.
Pembentukan Galaksi dan
Gugus Galaksi
Galaksi terbentuk dari kondensasi gas dalam potensi
gravitasi yang dibentuk oleh materi gelap.³ Proses ini menghasilkan berbagai
jenis galaksi, seperti spiral, elips, dan tidak beraturan, yang terus
berkembang melalui merger (penggabungan) dan akresi gas antar galaksi.
Pembentukan gugus galaksi terjadi dalam skala yang lebih besar, mencakup
ratusan hingga ribuan galaksi yang terikat gravitasi.⁴ Gugus-gugus ini
merupakan struktur terbesar yang stabil secara gravitasi di alam semesta.
5.3.
Peran Materi Gelap dan
Energi Gelap
Materi gelap, meskipun tidak dapat dilihat secara
langsung, memainkan peran penting dalam mempercepat proses pembentukan struktur
melalui tarikan gravitasinya. Bukti keberadaan materi gelap berasal dari kurva
rotasi galaksi, lensa gravitasi, dan anisotropi pada radiasi latar belakang
gelombang mikro kosmis (CMB).⁵
Sebaliknya, energi gelap justru bekerja
sebaliknya—mendorong percepatan ekspansi alam semesta, yang pertama kali
dideteksi melalui pengamatan supernova tipe Ia pada akhir 1990-an.⁶ Peran
energi gelap dalam evolusi struktur alam semesta masih menjadi salah satu
misteri kosmologi kontemporer, terutama karena ia memengaruhi kecepatan dan
arah pertumbuhan struktur pada skala sangat besar.
5.4.
Evolusi Kosmis dari Big Bang
hingga Kini
Tahapan evolusi alam semesta dapat dijelaskan
melalui kerangka kosmologi termal, yang dimulai dari fase inflasi,
dilanjutkan dengan nukleosintesis primordial (pembentukan unsur ringan),
rekombinasi (pembentukan atom netral), dan dekoupling foton yang
meninggalkan jejak berupa radiasi latar CMB.⁷
Setelah fase rekombinasi, semesta memasuki Zaman
Kegelapan Kosmis hingga akhirnya cahaya dari bintang-bintang pertama
menerangi kembali alam semesta dalam fase yang disebut reionisasi.
Selanjutnya, galaksi-galaksi dan struktur besar terbentuk dan terus berevolusi
hingga mencapai konfigurasi yang kita amati hari ini melalui teleskop modern.
Footnotes
[1]
P. J. E. Peebles, Principles of Physical
Cosmology (Princeton: Princeton University Press, 1993), 324.
[2]
Volker Springel et al., “Simulations of the
Formation, Evolution and Clustering of Galaxies and Quasars,” Nature
435, no. 7042 (2005): 629–636.
[3]
Abraham Loeb and Steven R. Furlanetto, The First
Galaxies in the Universe (Princeton: Princeton University Press, 2013),
101.
[4]
Malcolm S. Longair, Galaxy Formation, 2nd
ed. (Berlin: Springer, 2008), 398.
[5]
Vera C. Rubin, W. Kent Ford Jr., and Norbert
Thonnard, “Rotational Properties of 21 Sc Galaxies with a Large Range of
Luminosities and Radii,” Astrophysical Journal 238 (1980): 471–487.
[6]
Adam G. Riess et al., “Observational Evidence from
Supernovae for an Accelerating Universe and a Cosmological Constant,” The
Astronomical Journal 116, no. 3 (1998): 1009–1038.
[7]
Edward W. Kolb and Michael S. Turner, The Early
Universe (Reading, MA: Addison-Wesley, 1990), 229–245.
6.
Nasib
Akhir Alam Semesta
Pertanyaan tentang bagaimana alam semesta akan
berakhir merupakan salah satu isu paling fundamental dalam kosmologi modern.
Berdasarkan teori fisika dan data observasional yang ada saat ini, para ilmuwan
telah mengembangkan sejumlah skenario yang menggambarkan kemungkinan nasib
akhir semesta. Setiap skenario sangat bergantung pada parameter kosmologis
utama, seperti kepadatan materi dan energi, serta sifat energi gelap yang masih
belum sepenuhnya dipahami.
6.1.
Parameter Penentu Nasib
Semesta
Nasib akhir alam semesta sangat bergantung pada
parameter kosmologis, terutama densitas energi total (Ωtotal)
dan konstanta kosmologis (Λ). Jika Ω > 1, semesta dikatakan tertutup
dan akan mengalami kontraksi; jika Ω < 1, semesta terbuka dan akan terus
mengembang selamanya; sementara jika Ω = 1, semesta bersifat datar dan ekpansi
asimtotik dapat berlangsung tak hingga.¹ Observasi dari misi Planck dan WMAP
menunjukkan bahwa alam semesta kita sangat dekat dengan keadaan datar (Ωtotal
≈ 1) dengan dominasi energi gelap.²
6.2.
Skenario Big Freeze
(Pendinginan Total)
Skenario ini menyatakan bahwa alam semesta akan
terus mengembang dan mendingin tanpa batas waktu. Seiring waktu, pembentukan
bintang akan berhenti, bintang-bintang yang ada akan padam, dan galaksi akan
menyebar hingga tidak dapat lagi saling berinteraksi secara gravitasi.³ Pada
akhirnya, hanya partikel-partikel ringan seperti elektron, neutrino, dan foton
yang akan tersisa dalam kehampaan ruang yang dingin dan gelap.⁴ Ini adalah
konsekuensi alami dari dominasi energi gelap dalam model ΛCDM.
6.3.
Skenario Big Crunch
(Keruntuhan Kembali)
Jika densitas materi semesta lebih tinggi daripada
yang diperkirakan saat ini, gravitasi dapat menghentikan ekspansi dan
membalikkan arah geraknya, menyebabkan seluruh struktur alam semesta runtuh
kembali ke dalam singularitas yang sangat padat.⁵ Skenario ini dikenal sebagai Big
Crunch, dan secara filosofis merupakan kebalikan dari Big Bang. Namun,
bukti observasional terkini tidak mendukung kemungkinan ini, karena ekspansi
semesta justru semakin cepat.⁶
6.4.
Skenario Big Rip
(Pengoyakan Ruang-Waktu)
Big Rip adalah skenario paling ekstrem yang
bergantung pada sifat energi gelap. Jika energi gelap memiliki persamaan
keadaan (equation of state) w < −1, maka tekanan negatifnya akan terus
meningkat, sehingga percepatan ekspansi juga meningkat secara eksponensial.⁷
Akibatnya, ikatan gravitasi, elektromagnetik, dan bahkan nuklir akan terkoyak,
menghancurkan galaksi, bintang, planet, dan bahkan struktur atomik dalam
rentang waktu tertentu.⁸
6.5.
Model Oscillating Universe
dan Big Bounce
Beberapa model teoretis mengusulkan bahwa alam
semesta tidak berawal atau berakhir, tetapi mengalami siklus ekspansi dan
kontraksi secara berulang. Model ini dikenal sebagai oscillating universe
atau Big Bounce, yang bertujuan untuk menghindari singularitas absolut.⁹
Namun, meskipun menarik dari sudut pandang filosofis dan metafisika, model ini
masih sangat spekulatif dan kekurangan bukti empiris yang kuat.
Footnotes
[1]
Edward Harrison, Cosmology: The Science of the
Universe, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 353–355.
[2]
Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI.
Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.
[3]
Paul C. W. Davies, The Last Three Minutes:
Conjectures About the Ultimate Fate of the Universe (New York: Basic Books,
1994), 42.
[4]
Fred C. Adams and Gregory Laughlin, “A Dying
Universe: The Long Term Fate and Evolution of Astrophysical Objects,” Reviews
of Modern Physics 69, no. 2 (1997): 337–372.
[5]
Joseph Silk, The Big Bang, 3rd ed. (New
York: W. H. Freeman, 2001), 276.
[6]
Adam G. Riess et al., “Type Ia Supernova
Discoveries at z > 1 from the Hubble Space Telescope: Evidence for Past
Deceleration and Constraints on Dark Energy Evolution,” The Astrophysical
Journal 607, no. 2 (2004): 665–687.
[7]
Robert R. Caldwell, Marc Kamionkowski, and Nevin N.
Weinberg, “Phantom Energy and Cosmic Doomsday,” Physical Review Letters
91, no. 7 (2003): 071301.
[8]
Ibid., 071301.
[9]
Paul J. Steinhardt and Neil Turok, “A Cyclic Model
of the Universe,” Science 296, no. 5572 (2002): 1436–1439.
7.
Kosmologi
dan Filsafat
Kosmologi, sebagai kajian ilmiah tentang alam
semesta secara keseluruhan, memiliki titik temu yang sangat erat dengan
filsafat. Hubungan ini tidak hanya historis, tetapi juga epistemologis dan
metafisik. Sejak zaman Yunani kuno hingga era kosmologi modern,
pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang asal-usul, struktur, dan nasib
semesta senantiasa menyentuh wilayah-wilayah filsafat yang paling mendalam:
hakikat realitas, eksistensi, ruang dan waktu, serta posisi manusia dalam jagat
raya.
7.1.
Akar Filosofis Kosmologi
Kosmologi memiliki akar yang kuat dalam filsafat
alam (natural philosophy). Tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles telah
menyusun model kosmik berdasarkan prinsip logika dan metafisika.¹ Aristoteles,
misalnya, mengemukakan konsep prime mover (penggerak pertama) sebagai
penyebab utama dari gerak kosmis, sebuah gagasan yang kelak berpengaruh dalam
teologi skolastik.² Dalam Islam, tokoh seperti al-Farabi dan Ibn Sina juga
mengembangkan kosmologi metafisik dengan struktur hierarkis semesta yang
berujung pada Tuhan sebagai Akal Pertama.³
7.2.
Pertanyaan Metafisik dan
Kosmologis
Kosmologi modern, meskipun sangat matematis dan
empiris, tidak luput dari pertanyaan metafisik:
·
Mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali?
·
Apakah alam semesta memiliki permulaan mutlak, ataukah abadi?
·
Apakah hukum fisika itu kontingen atau niscaya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab
sepenuhnya oleh metode ilmiah murni dan memerlukan pendekatan filosofis.⁴
Misalnya, teori Big Bang dapat memodelkan keadaan sangat awal dari alam
semesta, tetapi tidak dapat menjelaskan “mengapa” kondisi awal itu ada
atau dari mana hukum-hukum yang mengaturnya berasal.⁵
7.3.
Wacana Kosmologi dan
Teologi
Kosmologi juga berinteraksi dengan teologi,
khususnya dalam konteks penciptaan. Banyak filsuf dan teolog memandang model
Big Bang sebagai sejalan dengan gagasan tentang penciptaan ex nihilo
(dari ketiadaan), sebagaimana diyakini dalam tradisi agama samawi.⁶ Namun, ada
pula yang memperingatkan bahwa penggunaan sains untuk membuktikan keberadaan
Tuhan dapat menimbulkan kesalahan kategori, karena sains berbicara tentang bagaimana,
sementara agama dan filsafat berbicara tentang mengapa.⁷
7.4.
Kosmologi dan
Antroposentrisme: Prinsip Antropik
Salah satu isu filosofis yang hangat dibahas adalah
prinsip antropik, yakni gagasan bahwa hukum-hukum alam tampaknya disetel
sedemikian rupa agar memungkinkan keberadaan kehidupan cerdas.⁸ Hal ini
menimbulkan spekulasi: apakah semesta secara kebetulan mendukung kehidupan,
ataukah ada tujuan teleologis di baliknya? Dalam versi ekstrem, prinsip
antropik digunakan untuk mendukung hipotesis multiverse, di mana kita hanya
menghuni satu dari banyak alam semesta yang secara statistik memungkinkan
kehidupan.⁹
7.5.
Etika dan Kosmologi:
Implikasi Eksistensial
Pemahaman tentang tempat manusia dalam semesta juga
membawa konsekuensi etis dan eksistensial. Dalam pandangan Carl Sagan,
kesadaran bahwa kita adalah bagian dari alam semesta yang sangat luas dan kuno
seharusnya menumbuhkan rasa kerendahan hati dan tanggung jawab terhadap planet
ini.¹⁰ Kosmologi, dalam arti ini, tidak hanya menyampaikan pengetahuan ilmiah,
tetapi juga membentuk cara pandang kita terhadap makna hidup, tempat manusia di
alam raya, dan nilai kehidupan itu sendiri.
Footnotes
[1]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl
(Indianapolis: Hackett, 2000), 29d–36d.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Chicago: Encyclopædia Britannica, 1952), Book XII.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 121–126.
[4]
Nicholas Rescher, The Limits of Science
(Berkeley: University of California Press, 1984), 104.
[5]
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand
Design (New York: Bantam Books, 2010), 180.
[6]
William Lane Craig and James D. Sinclair, “The
Kalam Cosmological Argument,” in The Blackwell Companion to Natural Theology,
ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009),
183–286.
[7]
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 112.
[8]
John D. Barrow and Frank J. Tipler, The
Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Oxford University Press, 1986),
21–35.
[9]
Max Tegmark, “Parallel Universes,” Scientific
American 288, no. 5 (2003): 40–51.
[10]
Carl Sagan, Pale Blue Dot: A Vision of the Human
Future in Space (New York: Random House, 1994), 6–10.
8.
Kosmologi
Eksperimental dan Observasional
Kosmologi, meskipun bersifat teoretis dalam banyak
hal, sangat bergantung pada data empiris yang diperoleh melalui observasi dan
eksperimen. Perkembangan teknologi astronomi dalam beberapa dekade terakhir
telah memungkinkan kosmologi menjadi ilmu kuantitatif yang presisi, dengan
pengujian hipotesis melalui pengamatan gelombang elektromagnetik, radiasi
kosmis, gelombang gravitasi, dan struktur besar alam semesta. Kemajuan ini
memperkuat status kosmologi sebagai ilmu yang semakin mendekati objektivitas
empiris.
8.1.
Pengamatan Radiasi Latar
Gelombang Mikro Kosmis (CMB)
Salah satu tonggak penting dalam kosmologi
observasional adalah penemuan Cosmic Microwave Background (CMB) oleh
Arno Penzias dan Robert Wilson pada tahun 1965.¹ CMB merupakan sisa radiasi
dari alam semesta awal, sekitar 380.000 tahun setelah Big Bang, yang memberikan
bukti kuat bagi teori Big Bang dan menjadi peta paling awal dari alam semesta
yang bisa diamati.
Misi seperti COBE, WMAP, dan Planck
telah mengukur anisotropi suhu CMB dengan ketelitian tinggi, memungkinkan para
ilmuwan memperkirakan parameter kosmologis utama seperti kepadatan materi,
kurvatur ruang, serta fraksi energi gelap dan materi gelap.²
8.2.
Teleskop Ruang Angkasa dan
Observatorium Bumi
Kosmologi modern sangat bergantung pada instrumen
observasional canggih. Teleskop Hubble, misalnya, telah memungkinkan
astronom untuk mengamati galaksi pada jarak miliaran tahun cahaya, memberi
gambaran tentang struktur dan evolusi kosmis dari waktu ke waktu.³
Teleskop-teleskop seperti James Webb Space Telescope (JWST) kini
memperluas kemampuan ini hingga ke spektrum inframerah, yang berguna untuk
mengamati galaksi tertua dan paling jauh.⁴
Di bumi, observatorium seperti Sloan Digital Sky
Survey (SDSS) dan Dark Energy Survey (DES) telah memetakan jutaan
galaksi, memungkinkan pemetaan tiga dimensi struktur besar alam semesta dan
memperkuat analisis statistik terhadap distribusi materi.⁵
8.3.
Gelombang Gravitasi dan
Kosmologi Multi-Messenger
Penemuan gelombang gravitasi oleh kolaborasi
LIGO-Virgo pada 2015 menandai babak baru dalam kosmologi eksperimental.⁶
Gelombang gravitasi yang dihasilkan oleh merger lubang hitam atau bintang
neutron memberikan cara baru untuk menyelidiki alam semesta, termasuk
pengukuran jarak kosmologis melalui metode “standard sirens.”⁷ Dalam konteks
ini, kosmologi multi-messenger—gabungan pengamatan elektromagnetik,
gelombang gravitasi, dan partikel—semakin menambah kedalaman analisis struktur
dan dinamika semesta.
8.4.
Peran Komputasi dan
Simulasi Kosmologis
Simulasi numerik telah menjadi alat penting dalam
membandingkan prediksi teori kosmologi dengan observasi. Simulasi seperti IllustrisTNG
dan Millennium Simulation memperlihatkan bagaimana galaksi dan struktur
besar terbentuk dalam konteks ΛCDM, serta memungkinkan eksplorasi parameter
yang sulit diuji secara langsung.⁸ Peran kecerdasan buatan (AI) juga
meningkat dalam pengolahan big data dari survei kosmologis, mempercepat
klasifikasi dan analisis data.
8.5.
Tantangan Observasional dan
Masa Depan
Meskipun kemajuan besar telah dicapai, tantangan
tetap ada. Energi gelap dan materi gelap, misalnya, belum dapat dideteksi
secara langsung. Instrumen masa depan seperti Euclid (ESA), Roman
Space Telescope (NASA), dan CMB-S4 diharapkan dapat memberikan data
lebih akurat dan menyempurnakan pemahaman tentang parameter kosmologis dan
struktur semesta awal.⁹
Footnotes
[1]
Arno A. Penzias and Robert W. Wilson, “A
Measurement of Excess Antenna Temperature at 4080 Mc/s,” Astrophysical
Journal 142 (1965): 419–421.
[2]
Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI.
Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.
[3]
Mario Livio, The Hubble Space Telescope: Imaging
the Universe (New York: Harry N. Abrams, 2004), 42.
[4]
Klaus Pontoppidan et al., “The James Webb Space
Telescope: Launch, Deployment, and Early Results,” Nature Astronomy 6
(2022): 1235–1242.
[5]
Daniel J. Eisenstein et al., “SDSS-III: Massive
Spectroscopic Surveys of the Distant Universe, the Milky Way, and Extra-Solar
Planetary Systems,” Astronomical Journal 142, no. 3 (2011): 72.
[6]
B. P. Abbott et al., “Observation of Gravitational
Waves from a Binary Black Hole Merger,” Physical Review Letters 116, no.
6 (2016): 061102.
[7]
Daniel Holz and Scott Hughes, “Using
Gravitational-Wave Standard Sirens,” Astrophysical Journal 629, no. 1
(2005): 15–22.
[8]
Volker Springel et al., “First Results from the
IllustrisTNG Simulations,” Monthly Notices of the Royal Astronomical Society
475, no. 1 (2018): 676–698.
[9]
Euclid Collaboration, “Euclid Definition Study
Report,” ESA/SRE (2011) 12: 1–178; Roman Science Team, “The Nancy Grace
Roman Space Telescope,” arXiv preprint arXiv:1503.03757 (2015).
9.
Tantangan
dan Masa Depan Kosmologi
Kosmologi modern telah mencapai kemajuan signifikan
dalam memahami struktur dan evolusi alam semesta. Namun, sejumlah tantangan
fundamental masih menghambat pemahaman menyeluruh. Tantangan-tantangan ini
mencakup aspek teoritis, observasional, dan eksperimental yang saling terkait,
serta membuka peluang bagi terobosan ilmiah di masa depan.
9.1.
Materi Gelap dan Energi
Gelap: Misteri Kosmik yang Belum Terpecahkan
Sekitar 95% dari total energi alam semesta terdiri
dari materi gelap dan energi gelap, dua komponen yang hingga kini belum
terdeteksi secara langsung. Materi gelap diduga bertanggung jawab atas struktur
skala besar melalui pengaruh gravitasinya, sementara energi gelap diyakini
menyebabkan percepatan ekspansi alam semesta.¹ Meskipun berbagai eksperimen
telah dilakukan untuk mendeteksi partikel materi gelap, seperti WIMP (Weakly
Interacting Massive Particles), hasilnya masih belum meyakinkan.² Demikian
pula, sifat dan asal-usul energi gelap tetap menjadi misteri, meskipun beberapa
model teoritis, termasuk teori medan skalar dan modifikasi gravitasi, telah
diajukan.³
9.2.
Ketegangan Hubble:
Perbedaan Pengukuran Laju Ekspansi Alam Semesta
Salah satu tantangan utama dalam kosmologi saat ini
adalah ketidaksesuaian antara nilai konstanta Hubble (H₀) yang diperoleh dari
pengamatan latar belakang gelombang mikro kosmis (CMB) dan yang diperoleh dari
pengamatan supernova tipe Ia di alam semesta lokal.⁴ Perbedaan ini, yang
dikenal sebagai "ketegangan Hubble," memunculkan pertanyaan
tentang kemungkinan adanya fisika baru atau kesalahan sistematis dalam
pengukuran. Beberapa hipotesis, seperti keberadaan energi gelap awal (early
dark energy) atau variasi lokal dalam kepadatan materi, telah diajukan untuk
menjelaskan fenomena ini.⁵
9.3.
Struktur Skala Besar dan
Prinsip Kosmologis
Prinsip kosmologis menyatakan bahwa alam semesta
homogen dan isotropik pada skala besar. Namun, penemuan struktur kosmik
berskala besar, seperti "Big Ring" dan "Giant Arc,"
menantang asumsi ini.⁶ Jika struktur-struktur ini dikonfirmasi, mereka dapat
mengindikasikan bahwa alam semesta tidak sehomogen yang selama ini diasumsikan,
sehingga memerlukan revisi terhadap model kosmologi standar.
9.4.
Tantangan dalam Model ΛCDM
dan Skala Kecil
Model ΛCDM (Lambda Cold Dark Matter) telah berhasil
menjelaskan banyak aspek kosmologi, tetapi menghadapi tantangan pada skala
galaksi dan subgalaksi. Masalah seperti "cuspy halo problem,"
"missing satellites problem," dan "too big to fail
problem" menunjukkan bahwa prediksi model ini tidak sepenuhnya
konsisten dengan observasi pada skala kecil.⁷ Beberapa solusi yang diajukan
termasuk umpan balik baryonik dan modifikasi sifat materi gelap, tetapi belum
ada konsensus yang dicapai.
9.5.
Masa Depan Kosmologi:
Eksperimen dan Observasi Mendatang
Kemajuan dalam kosmologi sangat bergantung pada
pengembangan instrumen observasi dan eksperimen baru. Misi seperti Euclid
dan Nancy Grace Roman Space Telescope diharapkan dapat memberikan data
lebih akurat tentang energi gelap dan struktur alam semesta.⁸ Selain itu,
deteksi gelombang gravitasi oleh LIGO dan Virgo membuka jendela baru untuk
mempelajari fenomena kosmik ekstrem, seperti merger lubang hitam dan bintang
neutron.⁹
Footnotes
[1]
Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI.
Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.
[2]
Gianfranco Bertone, Dan Hooper, and Joseph Silk,
“Particle Dark Matter: Evidence, Candidates and Constraints,” Physics
Reports 405, no. 5–6 (2005): 279–390.
[3]
Edmund J. Copeland, M. Sami, and Shinji Tsujikawa,
“Dynamics of Dark Energy,” International Journal of Modern Physics D 15,
no. 11 (2006): 1753–1936.
[4]
Adam G. Riess et al., “A 2.4% Determination of the
Local Value of the Hubble Constant,” The Astrophysical Journal 826, no.
1 (2016): 56.
[5]
Vivian Poulin et al., “Early Dark Energy Can
Resolve the Hubble Tension,” Physical Review Letters 122, no. 22 (2019):
221301.
[6]
Alexia Lopez et al., “A Giant Arc of Galaxies in
the Northern Sky,” Monthly Notices of the Royal Astronomical Society
505, no. 1 (2021): L1–L5.
[7]
Stacy S. McGaugh, “A Tale of Two Paradigms: The
Mutual Incommensurability of ΛCDM and MOND,” Canadian Journal of Physics
93, no. 2 (2015): 250–259.
[8]
Euclid Collaboration, “Euclid Definition Study Report,”
ESA/SRE (2011): 12.
[9]
B. P. Abbott et al., “Observation of Gravitational
Waves from a Binary Black Hole Merger,” Physical Review Letters 116, no.
6 (2016): 061102.
10. Kesimpulan
Kosmologi modern telah membawa manusia pada
pemahaman yang sangat dalam dan luas mengenai alam semesta—dari asal-usulnya
dalam peristiwa Big Bang, melalui evolusi struktur kosmis, hingga spekulasi
tentang nasib akhirnya. Ilmu ini telah bergeser dari spekulasi filosofis kuno
menjadi bidang sains empiris yang sangat kuantitatif, berkat kemajuan dalam
fisika teoretis, teknologi observasi, dan komputasi simulatif.
Model ΛCDM tetap menjadi kerangka kerja kosmologi
paling kokoh saat ini, menjelaskan secara konsisten berbagai fenomena mulai
dari anisotropi CMB, distribusi galaksi, hingga percepatan ekspansi semesta.¹
Namun, kosmologi juga dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendalam yang belum
terjawab secara tuntas—seperti hakikat energi gelap, materi gelap, asal-usul
fluktuasi kuantum awal, dan potensi keberadaan multiverse.² Ketegangan nilai
Hubble (H₀), serta penemuan struktur kosmik berskala luar biasa besar,
menunjukkan bahwa masih ada kemungkinan ruang bagi revisi terhadap model-model
yang telah mapan.³
Selain pertanyaan-pertanyaan empiris, kosmologi
tetap menjalin hubungan erat dengan filsafat dan teologi. Ia tidak hanya
menjelaskan bagaimana semesta berfungsi, tetapi juga memicu refleksi
mendalam tentang mengapa semesta ini ada, dan apa makna
keberadaan manusia dalam hamparan kosmos yang begitu luas dan kuno.⁴ Perspektif
ini menunjukkan bahwa kosmologi bukan hanya disiplin ilmiah, tetapi juga
pencarian intelektual dan spiritual umat manusia yang abadi.
Ke depan, harapan besar ditempatkan pada misi-misi
ilmiah baru seperti Euclid, JWST, dan Roman Space Telescope yang akan
memperluas cakrawala observasional kita, serta pada teori-teori fisika
fundamental baru yang mungkin menjembatani kesenjangan antara relativitas umum
dan mekanika kuantum.⁵ Melalui sinergi antara observasi, teori, dan filsafat,
kosmologi akan terus menjadi medan intelektual yang subur bagi eksplorasi ilmu
pengetahuan dan pemahaman eksistensial yang mendalam.
Footnotes
[1]
Steven Weinberg, Cosmology (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 338–341.
[2]
Alan H. Guth, The Inflationary Universe: The
Quest for a New Theory of Cosmic Origins (New York: Basic Books, 1997),
223.
[3]
Adam G. Riess et al., “A 2.4% Determination of the
Local Value of the Hubble Constant,” The Astrophysical Journal 826, no.
1 (2016): 56.
[4]
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 179–183.
[5]
Klaus Pontoppidan et al., “The James Webb Space
Telescope: Launch, Deployment, and Early Results,” Nature Astronomy 6
(2022): 1235–1242.
Daftar Pustaka
Abbott, B. P., Abbott, R., Abbott, T. D.,
Abernathy, M. R., Acernese, F., Ackley, K., ... & LIGO Scientific
Collaboration and Virgo Collaboration. (2016). Observation of gravitational
waves from a binary black hole merger. Physical Review Letters, 116(6),
061102. https://doi.org/10.1103/PhysRevLett.116.061102
Adams, F. C., & Laughlin, G. (1997). A dying
universe: The long-term fate and evolution of astrophysical objects. Reviews
of Modern Physics, 69(2), 337–372. https://doi.org/10.1103/RevModPhys.69.337
Barbour, I. G. (1997). Religion and science:
Historical and contemporary issues. San Francisco, CA: HarperSanFrancisco.
Barrow, J. D., & Tipler, F. J. (1986). The
anthropic cosmological principle. Oxford, UK: Oxford University Press.
Bertone, G., Hooper, D., & Silk, J. (2005).
Particle dark matter: Evidence, candidates and constraints. Physics Reports,
405(5–6), 279–390. https://doi.org/10.1016/j.physrep.2004.08.031
Caldwell, R. R., Kamionkowski, M., & Weinberg,
N. N. (2003). Phantom energy and cosmic doomsday. Physical Review Letters,
91(7), 071301. https://doi.org/10.1103/PhysRevLett.91.071301
Copeland, E. J., Sami, M., & Tsujikawa, S.
(2006). Dynamics of dark energy. International Journal of Modern Physics D,
15(11), 1753–1936. https://doi.org/10.1142/S021827180600942X
Davies, P. C. W. (1994). The last three minutes:
Conjectures about the ultimate fate of the universe. New York, NY: Basic
Books.
Eisenstein, D. J., Weinberg, D. H., Agol, E.,
Aihara, H., Allende Prieto, C., Anderson, S. F., ... & York, D. G. (2011).
SDSS-III: Massive spectroscopic surveys of the distant universe, the Milky Way,
and extra-solar planetary systems. The Astronomical Journal, 142(3), 72.
https://doi.org/10.1088/0004-6256/142/3/72
Euclid Collaboration. (2011). Euclid definition
study report (ESA/SRE 12). European Space Agency. https://sci.esa.int/web/euclid/-/euclid-definition-study-report
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). New York, NY: Columbia University Press.
Guth, A. H. (1997). The inflationary universe:
The quest for a new theory of cosmic origins. New York, NY: Basic Books.
Harrison, E. (2000). Cosmology: The science of
the universe (2nd ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
grand design. New York, NY: Bantam Books.
Holz, D. E., & Hughes, S. A. (2005). Using
gravitational-wave standard sirens. The Astrophysical Journal, 629(1),
15–22. https://doi.org/10.1086/431341
Kaiser, D. I. (2022). Primordial black holes as
dark matter candidates. Black Hole Initiative, Harvard University.
Kolb, E. W., & Turner, M. S. (1990). The
early universe. Reading, MA: Addison-Wesley.
Livio, M. (2004). The Hubble Space Telescope:
Imaging the universe. New York, NY: Harry N. Abrams.
Loeb, A., & Furlanetto, S. R. (2013). The
first galaxies in the universe. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Lopez, A., Clowes, R. G., & Raghunathan, S.
(2021). A giant arc of galaxies in the northern sky. Monthly Notices of the
Royal Astronomical Society, 505(1), L1–L5. https://doi.org/10.1093/mnrasl/slab041
McGaugh, S. S. (2015). A tale of two paradigms: The
mutual incommensurability of ΛCDM and MOND. Canadian Journal of Physics, 93(2),
250–259. https://doi.org/10.1139/cjp-2014-0203
Peebles, P. J. E. (1993). Principles of physical
cosmology. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Penzias, A. A., & Wilson, R. W. (1965). A
measurement of excess antenna temperature at 4080 Mc/s. The Astrophysical
Journal, 142, 419–421. https://doi.org/10.1086/148307
Planck Collaboration. (2020). Planck 2018 results.
VI. Cosmological parameters. Astronomy & Astrophysics, 641, A6. https://doi.org/10.1051/0004-6361/201833910
Pontoppidan, K. M., Blome, C., Sargent, B.,
Pirzkal, N., Eisenhamer, J., & Perrin, M. (2022). The James Webb Space
Telescope: Launch, deployment, and early results. Nature Astronomy, 6,
1235–1242. https://doi.org/10.1038/s41550-022-01744-0
Poulin, V., Smith, T. L., Karwal, T., &
Kamionkowski, M. (2019). Early dark energy can resolve the Hubble tension. Physical
Review Letters, 122(22), 221301. https://doi.org/10.1103/PhysRevLett.122.221301
Rescher, N. (1984). The limits of science.
Berkeley, CA: University of California Press.
Riess, A. G., Macri, L. M., Hoffmann, S. L.,
Scolnic, D., Casertano, S., Filippenko, A. V., ... & Jones, D. O. (2016). A
2.4% determination of the local value of the Hubble constant. The Astrophysical
Journal, 826(1), 56. https://doi.org/10.3847/0004-637X/826/1/56
Rubin, V. C., Ford, W. K., Jr., & Thonnard, N.
(1980). Rotational properties of 21 Sc galaxies with a large range of luminosities
and radii. The Astrophysical Journal, 238, 471–487. https://doi.org/10.1086/158003
Sagan, C. (1994). Pale blue dot: A vision of the
human future in space. New York, NY: Random House.
Silk, J. (2001). The Big Bang (3rd ed.). New
York, NY: W. H. Freeman.
Springel, V., White, S. D. M., Jenkins, A., Frenk,
C. S., Yoshida, N., Gao, L., ... & Navarro, J. F. (2005). Simulations of
the formation, evolution and clustering of galaxies and quasars. Nature, 435(7042),
629–636. https://doi.org/10.1038/nature03597
Springel, V., Pakmor, R., Zier, O., & Reinecke,
M. (2018). First results from the IllustrisTNG simulations: Matter and galaxy
clustering. Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, 475(1),
676–698. https://doi.org/10.1093/mnras/stx3304
Steinhardt, P. J., & Turok, N. (2002). A cyclic
model of the universe. Science, 296(5572), 1436–1439. https://doi.org/10.1126/science.1070462
Tegmark, M. (2003). Parallel universes. Scientific
American, 288(5), 40–51. https://doi.org/10.1038/scientificamerican0503-40
Weinberg, S. (2008). Cosmology. Oxford, UK:
Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar