Kamis, 29 Mei 2025

Teori Humanistik dalam Belajar: Mengembangkan Potensi Manusia

Teori Humanistik dalam Belajar

Mengembangkan Potensi Manusia


Alihkan ke: Teori Belajar dan Pembelajaran.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif teori belajar humanistik sebagai salah satu pendekatan pedagogis yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses pendidikan. Berakar dari filsafat eksistensialisme dan psikologi humanistik, teori ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Abraham Maslow dan Carl Rogers yang menekankan pentingnya aktualisasi diri, motivasi intrinsik, dan hubungan interpersonal yang empatik. Artikel ini mengulas landasan teoritis, ciri-ciri pembelajaran humanistik, strategi penerapan dalam kelas, serta kelebihan dan kelemahan pendekatan ini dalam konteks pendidikan kontemporer. Dengan mengacu pada regulasi nasional seperti Kurikulum Merdeka, Profil Pelajar Pancasila, serta kebijakan pendidikan inklusif dan karakter, artikel ini menunjukkan bahwa teori humanistik memiliki relevansi kuat dalam membentuk pendidikan yang bermakna, reflektif, dan humanis. Studi kasus dari praktik pembelajaran di sekolah formal dan non-formal memperlihatkan bahwa pendekatan ini dapat diimplementasikan secara kontekstual dan adaptif. Kesimpulannya, teori humanistik memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan sistem pendidikan yang berfokus pada pengembangan potensi manusia secara utuh dan seimbang.


Kata Kunci: Teori Belajar Humanistik, Pendidikan Berpusat pada Peserta Didik, Aktualisasi Diri, Kurikulum Merdeka, Profil Pelajar Pancasila, Strategi Pembelajaran, Pendidikan Inklusif.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif terhadap Teori Belajar Humanistik dan Implikasinya dalam Dunia Pendidikan


1.           Pendahuluan

Dalam ranah pendidikan modern, teori belajar memegang peranan penting sebagai fondasi dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran. Seiring berkembangnya ilmu psikologi dan pedagogi, muncul berbagai pendekatan terhadap pembelajaran, di antaranya behavioristik, kognitivistik, konstruktivistik, dan humanistik. Di antara pendekatan-pendekatan tersebut, teori belajar humanistik menawarkan paradigma yang khas karena berfokus pada pengembangan potensi manusia secara utuh, bukan sekadar capaian kognitif semata.

Teori belajar humanistik lahir pada pertengahan abad ke-20 sebagai respons terhadap keterbatasan pendekatan behavioristik yang terlalu menekankan pada stimulus-respons dan pendekatan kognitivistik yang masih terbatas pada proses mental rasional. Pendekatan humanistik menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas, potensi untuk tumbuh, dan kebutuhan akan makna dalam hidup. Abraham Maslow dan Carl Rogers, dua tokoh utama dalam teori ini, menekankan pentingnya penghargaan terhadap martabat dan pengalaman pribadi peserta didik dalam proses belajar¹.

Dalam konteks pendidikan Indonesia, urgensi pendekatan humanistik semakin nyata seiring dengan semangat pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”². Tujuan ini sejalan dengan prinsip utama teori humanistik yang menekankan pada aktualisasi diri dan perkembangan kepribadian secara holistik.

Selain itu, pendekatan humanistik juga relevan dengan kebijakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Kebijakan ini mendorong pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, menghargai keunikan dan kebutuhan individual, serta memberikan ruang bagi kreativitas dan kemandirian³. Teori belajar humanistik, dengan pendekatan student-centered learning-nya, menjadi kerangka teoritik yang kuat untuk mendukung implementasi Merdeka Belajar secara substansial.

Oleh karena itu, telaah terhadap teori belajar humanistik tidak hanya penting secara teoritik, tetapi juga strategis dalam merespons tantangan pendidikan kontemporer yang menuntut pendekatan yang lebih manusiawi, inklusif, dan transformatif. Artikel ini akan mengulas secara mendalam aspek filosofis, psikologis, dan praktis dari teori belajar humanistik serta mengkaji implikasinya terhadap desain pembelajaran di dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.


Footnotes

[1]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus: Charles E. Merrill, 1969), 105–106; Abraham H. Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row, 1954), 91–95.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

[3]                Kemendikbudristek RI, Merdeka Belajar: Kebijakan dan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 4–7.


2.           Landasan Filosofis dan Psikologis Teori Humanistik

Teori belajar humanistik bertumpu pada fondasi filosofis dan psikologis yang kuat, yang berpangkal pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang unik, sadar, bebas, dan memiliki potensi untuk berkembang secara optimal. Landasan filosofisnya terutama berakar dari aliran eksistensialisme dan fenomenologi, sedangkan secara psikologis, teori ini berkembang melalui gerakan psikologi humanistik yang muncul sebagai arus ketiga setelah behaviorisme dan psikoanalisis.

2.1.       Landasan Filosofis

Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai pusat dari pencarian makna hidup dan menekankan tanggung jawab individu atas pilihan dan tindakan yang dilakukannya. Dalam konteks pendidikan, eksistensialisme mendorong guru untuk menghargai kebebasan dan keunikan peserta didik serta menciptakan ruang untuk refleksi dan pemaknaan personal dalam proses belajar¹.

Fenomenologi, sebagai pendekatan filosofis, menekankan pentingnya memahami pengalaman subjektif individu. Dalam teori humanistik, fenomenologi mengilhami pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada meaning making—yakni bagaimana peserta didik membentuk makna dari pengalaman belajarnya secara personal². Perspektif ini menolak pandangan mekanistik tentang manusia dan menegaskan bahwa pengalaman personal tidak dapat direduksi menjadi sekadar stimulus dan respons.

2.2.       Landasan Psikologis

Gerakan psikologi humanistik muncul pada 1950-an sebagai respons terhadap pendekatan behavioristik yang dianggap terlalu reduksionistik dan psikoanalisis yang cenderung patologis. Tokoh-tokoh seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Rollo May mengusung pandangan bahwa manusia pada dasarnya baik, memiliki potensi untuk bertumbuh, dan terdorong oleh kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri³.

Abraham Maslow mengembangkan teori hierarki kebutuhan, yang menyatakan bahwa individu akan termotivasi untuk belajar dan berkembang jika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Pada puncak hierarki tersebut adalah aktualisasi diri—yakni dorongan untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti bahwa proses belajar akan efektif jika kebutuhan psikologis peserta didik seperti rasa aman, penghargaan, dan rasa memiliki telah terpenuhi⁴.

Carl Rogers, dengan pendekatan person-centered, berpendapat bahwa pembelajaran sejati terjadi ketika peserta didik terlibat secara emosional dan memiliki kebebasan untuk memilih serta bertanggung jawab atas proses belajarnya. Rogers memperkenalkan konsep "kondisi fasilitatif" dalam pembelajaran, yaitu keaslian (genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), dan empati sebagai prasyarat untuk menciptakan lingkungan belajar yang optimal⁵.

Implikasi dari landasan filosofis dan psikologis ini sangat jelas: peserta didik bukan objek pembelajaran, melainkan subjek aktif yang memiliki kebutuhan, aspirasi, dan potensi yang perlu dihargai. Pendidikan tidak semata-mata bertujuan mentransfer pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran diri, tanggung jawab sosial, dan aktualisasi potensi kemanusiaan secara utuh. Hal ini sejalan dengan misi pendidikan nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang menekankan pengembangan potensi peserta didik secara menyeluruh, mencakup aspek spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan⁶.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 26–30.

[2]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2012), xxv–xxvii.

[3]                James F. T. Bugental, The Search for Authenticity: An Existential-Analytic Approach to Psychotherapy (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1965), 4–7.

[4]                Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 15–31.

[5]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus: Charles E. Merrill, 1969), 105–108.

[6]                Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 3.


3.           Konsep Dasar Teori Belajar Humanistik

Teori belajar humanistik berpijak pada asumsi bahwa proses belajar tidak semata-mata melibatkan aspek kognitif atau perilaku, tetapi menyangkut dimensi afektif, sosial, dan eksistensial manusia. Pendekatan ini memandang peserta didik sebagai individu yang utuh—berpikir, merasa, memiliki kehendak, dan didorong oleh motivasi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang otentik. Oleh karena itu, pembelajaran dalam perspektif humanistik lebih menekankan pada pengembangan potensi diri dan pemaknaan pengalaman secara personal dibandingkan sekadar akumulasi pengetahuan.

3.1.       Belajar sebagai Proses Internal dan Holistik

Teori humanistik memandang belajar sebagai proses internal dan sadar, bukan sekadar hasil dari penguatan eksternal sebagaimana ditekankan oleh behaviorisme. Carl Rogers menyatakan bahwa pembelajaran yang bermakna hanya terjadi apabila individu secara aktif terlibat dalam proses tersebut dan materi pelajaran berkaitan langsung dengan minat, kebutuhan, dan tujuan hidup peserta didik¹. Dalam pandangan ini, belajar tidak bisa dipaksakan dari luar, tetapi harus muncul dari dalam diri peserta didik sendiri.

Pendekatan ini juga bersifat holistik, yaitu memperhatikan seluruh aspek kemanusiaan: kognisi, emosi, sosial, dan spiritual. Pendidikan bukan sekadar transmisi informasi, melainkan transformasi kepribadian yang mendalam dan berkelanjutan².

3.2.       Peran Emosi, Nilai, dan Motivasi

Salah satu kontribusi utama teori humanistik dalam bidang pendidikan adalah penekanan pada peran emosi dan motivasi dalam proses belajar. Abraham Maslow menegaskan bahwa kebutuhan manusia harus dipenuhi secara hierarkis sebelum mampu mencapai aktualisasi diri. Dalam konteks pembelajaran, jika kebutuhan dasar seperti rasa aman, rasa memiliki, dan harga diri tidak terpenuhi, peserta didik akan kesulitan untuk mencapai tahap pembelajaran yang optimal³.

Nilai-nilai personal, persepsi diri, dan keyakinan terhadap makna hidup juga sangat memengaruhi keberhasilan pembelajaran. Arthur Combs berpendapat bahwa keberhasilan belajar sangat tergantung pada bagaimana peserta didik memandang dirinya, guru, dan proses belajar itu sendiri⁴. Oleh karena itu, membangun persepsi positif terhadap diri dan lingkungan belajar menjadi prasyarat penting bagi keberhasilan pendidikan.

3.3.       Tujuan Pembelajaran: Aktualisasi Diri dan Otonomi

Tujuan utama pendidikan dalam teori humanistik bukan sekadar pencapaian akademik, tetapi aktualisasi potensi diri dan pengembangan otonomi personal. Aktualisasi diri dimaknai sebagai proses menjadi diri sendiri secara penuh—mengembangkan bakat, aspirasi, dan nilai-nilai pribadi yang luhur⁵.

Pendidikan dalam kerangka humanistik juga bertujuan membentuk individu yang otonom dan bertanggung jawab, yakni mampu membuat keputusan sendiri secara sadar dan etis. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menekankan pentingnya karakter, kemandirian, dan tanggung jawab sosial peserta didik⁶.


Footnotes

[1]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus: Charles E. Merrill, 1969), 105–107.

[2]                W. Huitt, “Humanism and Open Education,” Educational Psychology Interactive (Valdosta, GA: Valdosta State University, 2009), https://www.edpsycinteractive.org/topics/affect/humed.html.

[3]                Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 20–35.

[4]                Arthur W. Combs, Myths in Education: Beliefs That Hinder Progress and Their Alternatives (Boston: Allyn & Bacon, 1982), 45–49.

[5]                Abraham H. Maslow, “A Theory of Human Motivation,” Psychological Review 50, no. 4 (1943): 370–396.

[6]                Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, Lampiran I, Tujuan Pendidikan Nasional.


4.           Tokoh-tokoh Sentral dan Pemikirannya

Teori belajar humanistik tidak dapat dipisahkan dari kontribusi besar para tokoh psikologi yang memperjuangkan pendekatan pendidikan yang memanusiakan peserta didik. Di antara tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam perkembangan teori ini adalah Abraham H. Maslow, Carl R. Rogers, dan Arthur W. Combs. Ketiganya mengembangkan kerangka konseptual yang menekankan pertumbuhan pribadi, pemaknaan hidup, dan aktualisasi potensi manusia sebagai tujuan utama pembelajaran.

4.1.       Abraham H. Maslow: Hirarki Kebutuhan dan Aktualisasi Diri

Abraham Maslow dikenal luas melalui teorinya tentang hierarki kebutuhan manusia, yang menggambarkan lima tingkatan kebutuhan: kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang dan rasa memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri¹. Menurut Maslow, pembelajaran yang bermakna hanya dapat terjadi apabila kebutuhan dasar individu terpenuhi, karena kebutuhan-kebutuhan tersebut menjadi motivator utama perilaku manusia.

Dalam konteks pendidikan, Maslow menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pemenuhan kebutuhan psikologis peserta didik. Kebutuhan akan rasa aman, penerimaan sosial, dan penghargaan menjadi landasan bagi tumbuhnya motivasi belajar yang bersifat intrinsik. Ketika semua kebutuhan tersebut terpenuhi, individu akan terdorong menuju aktualisasi diri, yaitu realisasi penuh dari potensi tertinggi yang dimiliki². Dengan demikian, guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi sebagai fasilitator pertumbuhan kepribadian yang utuh.

4.2.       Carl R. Rogers: Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik

Carl Rogers mengembangkan pendekatan yang dikenal sebagai student-centered learning atau experiential learning, yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses belajar. Ia menolak model pembelajaran yang bersifat otoriter dan pasif, dan justru menekankan pentingnya keterlibatan emosional, kebebasan memilih, dan tanggung jawab pribadi dalam pembelajaran³.

Rogers mengajukan tiga syarat dasar dalam menciptakan pembelajaran yang efektif: keaslian (genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), dan pemahaman empatik (empathic understanding). Ketiga prinsip ini memungkinkan terciptanya lingkungan belajar yang aman secara psikologis, yang mendorong peserta didik untuk tumbuh secara personal dan intelektual⁴. Rogers juga percaya bahwa pendidikan sejati harus mendorong pembentukan individu yang otonom, kreatif, dan memiliki kesadaran sosial.

4.3.       Arthur W. Combs: Persepsi dan Nilai dalam Pembelajaran

Arthur Combs menekankan pentingnya persepsi dan nilai pribadi dalam proses belajar. Menurutnya, apa yang diyakini dan dirasakan peserta didik tentang dirinya, tentang guru, dan tentang proses belajar akan memengaruhi sikap dan keberhasilannya dalam belajar⁵. Ia mengembangkan kerangka berpikir perceptual theory, yang menyatakan bahwa persepsi individu membentuk dasar dari semua tindakan dan keputusan.

Dalam pandangan Combs, guru yang efektif adalah mereka yang memiliki persepsi positif terhadap potensi peserta didik dan mampu menciptakan iklim emosional yang kondusif. Ia juga percaya bahwa pendidikan yang sejati harus berorientasi pada pembentukan sikap, nilai, dan kepercayaan diri, bukan hanya pada akumulasi fakta dan keterampilan⁶.


Kontribusi Bersama terhadap Pendidikan

Ketiga tokoh tersebut memberikan fondasi yang kuat bagi teori belajar humanistik dengan menekankan bahwa pendidikan harus bersifat personal, bermakna, dan berfokus pada pengembangan potensi manusia. Gagasan mereka menginspirasi banyak model pembelajaran kontemporer yang mengedepankan pengalaman belajar aktif, refleksi personal, dan pembelajaran berbasis nilai. Prinsip-prinsip ini juga mendasari berbagai kebijakan pendidikan modern, termasuk pendekatan Merdeka Belajar di Indonesia yang menempatkan siswa sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran⁷.


Footnotes

[1]                Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 17–35.

[2]                Abraham H. Maslow, “A Theory of Human Motivation,” Psychological Review 50, no. 4 (1943): 370–396.

[3]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus: Charles E. Merrill, 1969), 103–110.

[4]                Carl R. Rogers and H. Jerome Freiberg, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 1994), 154–158.

[5]                Arthur W. Combs, The Professional Education of Teachers: A Perceptual View of Teacher Preparation (Boston: Allyn & Bacon, 1974), 31–35.

[6]                Arthur W. Combs and Donald Snygg, Individual Behavior: A New Frame of Reference for Psychology (New York: Harper & Row, 1959), 70–73.

[7]                Kemendikbudristek RI, Merdeka Belajar: Kebijakan dan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 6–9.


5.           Ciri-ciri Pembelajaran Humanistik

Pembelajaran humanistik memiliki karakteristik yang membedakannya secara tajam dari pendekatan-pendekatan pembelajaran lainnya, seperti behavioristik atau kognitivistik. Berakar pada pandangan bahwa peserta didik adalah individu utuh yang memiliki kebutuhan, perasaan, aspirasi, dan potensi, maka proses pembelajaran dalam perspektif humanistik dirancang untuk membangun kesadaran diri, makna personal, dan tanggung jawab moral. Ciri-ciri khas dari pembelajaran humanistik mencerminkan semangat pendidikan yang memanusiakan manusia (humanizing education) dan mengarah pada pembentukan individu yang merdeka, reflektif, dan aktual.

5.1.       Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik (Student-Centered Learning)

Salah satu ciri paling menonjol dari pendekatan humanistik adalah fokus utama pada peserta didik sebagai subjek pembelajaran. Dalam model ini, peran guru bukan sebagai sumber pengetahuan tunggal, melainkan sebagai fasilitator yang mendampingi proses belajar individu secara personal⁽¹⁾. Pembelajaran diarahkan untuk menumbuhkan rasa percaya diri, kesadaran akan potensi diri, dan kemandirian dalam berpikir serta bertindak.

Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip diferensiasi pembelajaran sebagaimana diatur dalam Kurikulum Merdeka, yaitu memberikan ruang bagi peserta didik untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, minat, dan gaya belajarnya masing-masing⁽²⁾.

5.2.       Relasi Positif dan Emosional antara Guru dan Peserta Didik

Teori humanistik menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang autentik, empatik, dan suportif antara guru dan peserta didik. Carl Rogers mengidentifikasi tiga kondisi yang memungkinkan terciptanya pembelajaran bermakna: keaslian (genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), dan pemahaman empatik (empathetic understanding)⁽³⁾. Ketika peserta didik merasa aman secara emosional, dihargai, dan diterima tanpa syarat, maka ia akan lebih terbuka terhadap proses belajar.

5.3.       Fokus pada Pengalaman dan Pemaknaan Belajar

Dalam pembelajaran humanistik, pengalaman langsung dan refleksi personal menjadi sumber utama belajar. Peserta didik diajak untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupannya, mengekspresikan pandangan atau perasaannya, dan menyusun makna dari pengalaman tersebut⁽⁴⁾. Proses belajar tidak hanya terjadi di tingkat intelektual, tetapi juga di tingkat emosional dan eksistensial.

Metode yang biasa digunakan mencakup pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning), diskusi terbuka, penugasan reflektif, dan portofolio pribadi. Ini sejalan dengan prinsip pendidikan berbasis kompetensi dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menekankan pentingnya pembelajaran kontekstual dan reflektif⁽⁵⁾.

5.4.       Pengembangan Potensi Diri dan Otonomi Belajar

Ciri utama lain dari pembelajaran humanistik adalah orientasinya pada aktualisasi diri, yaitu mendorong peserta didik untuk mengembangkan potensi terbaiknya. Guru tidak memaksakan tujuan atau cara belajar tertentu, tetapi memberikan kebebasan dan bimbingan agar peserta didik menemukan jalan belajar yang sesuai dengan dirinya sendiri⁽⁶⁾.

Dengan demikian, pembelajaran humanistik mendukung pembentukan kemandirian belajar (self-directed learning) dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, dua aspek penting dalam membentuk karakter dan kompetensi abad ke-21 yang juga ditekankan dalam Profil Pelajar Pancasila⁽⁷⁾.

5.5.       Penilaian Formatif dan Reflektif

Dalam teori humanistik, penilaian tidak semata-mata bersifat sumatif atau berorientasi angka, tetapi lebih kepada proses pengembangan diri dan evaluasi personal. Bentuk penilaian yang digunakan biasanya berupa umpan balik naratif, jurnal reflektif, penilaian diri (self-assessment), dan portofolio perkembangan. Penilaian semacam ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran diri dan motivasi intrinsik⁽⁸⁾.


Kesimpulan Sementara

Ciri-ciri pembelajaran humanistik membentuk suatu pendekatan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada hasil akademik, tetapi juga pada pertumbuhan pribadi, emosional, dan sosial peserta didik. Dalam konteks pendidikan Indonesia yang sedang bergerak menuju transformasi melalui Kurikulum Merdeka, pendekatan humanistik memberikan landasan teoritik dan praktis yang relevan untuk mengembangkan pembelajaran yang bermakna, inklusif, dan membebaskan.


Footnotes

[1]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 1994), 153–158.

[2]                Kemendikbudristek RI, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 14–18.

[3]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 283–290.

[4]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 40–42.

[5]                Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, Bab III.

[6]                Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand Reinhold, 1968), 93–96.

[7]                Kemendikbudristek RI, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 4–7.

[8]                W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA: ASCD, 2008), 45–48.


6.           Strategi dan Metode Pembelajaran Humanistik

Dalam kerangka teori belajar humanistik, strategi dan metode pembelajaran dirancang untuk mendukung perkembangan peserta didik secara holistik, mencakup dimensi intelektual, emosional, sosial, dan moral. Pendekatan ini menuntut proses belajar yang tidak hanya fokus pada transfer informasi, tetapi juga pada pengalaman yang bermakna, reflektif, dan mengarah pada pembentukan kepribadian yang otentik. Oleh karena itu, strategi pembelajaran humanistik menekankan keterlibatan aktif peserta didik, kebebasan memilih, pemaknaan personal, dan hubungan interpersonal yang sehat.

6.1.       Experiential Learning (Pembelajaran Berbasis Pengalaman)

Salah satu metode yang sangat sesuai dengan prinsip humanistik adalah experiential learning, sebagaimana dikembangkan oleh David Kolb. Metode ini mengasumsikan bahwa belajar terjadi melalui siklus pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimen aktif¹. Dalam praktiknya, guru mengarahkan peserta didik untuk terlibat langsung dalam kegiatan yang relevan, lalu mengajak mereka merefleksikan makna pengalaman tersebut secara personal.

Dalam konteks kurikulum Indonesia, metode ini sejalan dengan pendekatan scientific dan kontekstual yang dianjurkan dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses, yaitu pembelajaran berbasis aktivitas nyata, observasi, dan refleksi².

6.2.       Diskusi Terbuka dan Dialog Reflektif

Pembelajaran humanistik sangat menekankan dialog antarpribadi yang autentik. Diskusi terbuka memungkinkan peserta didik mengekspresikan ide, perasaan, dan nilai-nilai secara bebas dalam suasana yang aman dan saling menghargai. Guru dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator dialog, bukan pengendali wacana³.

Metode ini efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, empati, dan tanggung jawab sosial. Ini selaras dengan prinsip Profil Pelajar Pancasila, khususnya dimensi “bernalar kritis” dan “berkebhinekaan global”⁴.

6.3.       Self-Directed Learning dan Pilihan Personal

Strategi humanistik mendukung kemandirian belajar (self-directed learning) dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merancang sendiri aktivitas belajar berdasarkan minat dan kebutuhannya. Mereka diberikan pilihan dalam materi, metode, dan penilaian, yang mendorong munculnya motivasi intrinsik dan rasa tanggung jawab pribadi⁵.

Pendekatan ini juga digunakan dalam Kurikulum Merdeka, yang memberi ruang bagi peserta didik memilih projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) yang relevan dengan konteks sosial dan nilai-nilai personal⁶.

6.4.       Journaling dan Refleksi Diri

Aktivitas menulis jurnal reflektif adalah metode penting dalam pembelajaran humanistik. Jurnal memungkinkan peserta didik mengartikulasikan pengalaman, perasaan, dan pemahamannya terhadap materi pelajaran atau proses belajar yang telah dilalui. Ini memperkuat kesadaran diri (self-awareness) dan membangun hubungan yang lebih dalam dengan materi yang dipelajari⁷.

Guru dapat menggunakan jurnal sebagai alat formatif untuk memahami dinamika personal siswa, sekaligus sebagai sarana umpan balik yang lebih humanis dibandingkan penilaian numerik.

6.5.       Role Playing dan Simulasi Sosial

Metode role playing atau simulasi peran memungkinkan peserta didik mengeksplorasi peran sosial, nilai moral, atau dilema etis dalam situasi imajiner. Aktivitas ini tidak hanya meningkatkan empati, tetapi juga memperdalam pemahaman terhadap kompleksitas kehidupan nyata⁸.

Metode ini sangat cocok untuk pembelajaran Pendidikan Agama, Sejarah, PPKn, maupun projek lintas disiplin dalam konteks pengembangan karakter, sebagaimana diamanatkan dalam regulasi Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).


Kesimpulan Strategis

Metode dan strategi dalam pembelajaran humanistik mencerminkan upaya serius untuk menggeser paradigma pendidikan dari sekadar penguasaan konten menjadi pengembangan diri manusia secara utuh. Dalam sistem pendidikan Indonesia yang terus mengarah pada transformasi holistik dan berorientasi masa depan, integrasi metode humanistik menjadi bagian strategis untuk menjawab tantangan zaman dan membentuk generasi pembelajar seumur hidup.


Footnotes

[1]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 30–32.

[2]                Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, Bab III, Pasal 3.

[3]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 1994), 154–159.

[4]                Kemendikbudristek RI, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 7–12.

[5]                Malcolm S. Knowles, Self-Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers (New York: Association Press, 1975), 18–21.

[6]                Kemendikbudristek RI, Panduan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdasmen, 2021), 9–11.

[7]                Thomas Farrell, Reflective Practice in ESL Teacher Development Groups (London: Palgrave Macmillan, 2014), 43–45.

[8]                George M. Gazda, Humanistic Learning Theory and Human Values Education (Washington, DC: National Education Association, 1973), 60–65.


7.           Kelebihan dan Kelemahan Teori Humanistik

Teori belajar humanistik telah memberikan kontribusi besar dalam menggeser paradigma pendidikan dari yang semula berorientasi mekanistik dan kognitif menuju pendekatan yang lebih empatik, reflektif, dan personal. Meski demikian, seperti semua teori pendidikan, pendekatan ini memiliki kelebihan dan keterbatasan yang perlu dipahami secara kritis. Analisis atas kelebihan dan kelemahan teori ini penting dalam merancang kebijakan maupun strategi pembelajaran yang seimbang dan adaptif terhadap konteks.

7.1.       Kelebihan Teori Humanistik

7.1.1.    Menghargai Keunikan dan Potensi Individu

Salah satu keunggulan utama dari teori humanistik adalah pengakuan terhadap martabat dan keunikan setiap peserta didik. Teori ini mendorong guru untuk melihat peserta didik bukan sebagai objek pengajaran, melainkan sebagai subjek yang memiliki kehendak bebas, perasaan, nilai, dan potensi untuk berkembang⁽¹⁾. Pendekatan ini sangat relevan dengan visi Profil Pelajar Pancasila, yang menekankan pentingnya pengembangan karakter dan potensi diri secara utuh⁽²⁾.

7.1.2.      Meningkatkan Motivasi Intrinsik dan Kesadaran Diri

Dengan memberi ruang kebebasan memilih dan merancang pengalaman belajar yang bermakna, pendekatan humanistik mampu membangkitkan motivasi intrinsik, yang terbukti lebih tahan lama dibandingkan motivasi ekstrinsik semata⁽³⁾. Pembelajaran humanistik juga mendorong kesadaran diri (self-awareness), refleksi, dan tanggung jawab personal, yang menjadi fondasi penting dalam pembentukan karakter.

7.1.3.      Mendukung Iklim Pembelajaran yang Humanis dan Demokratis

Lingkungan belajar yang dibangun melalui pendekatan humanistik menekankan penerimaan tanpa syarat, empati, dan komunikasi terbuka. Hal ini memperkuat relasi sosial yang sehat antara guru dan siswa, dan menciptakan suasana kelas yang kondusif bagi pertumbuhan emosional dan intelektual⁽⁴⁾. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai ini sejalan dengan semangat penguatan pendidikan karakter sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang PPK⁽⁵⁾.

7.1.4.      Relevan dengan Pembelajaran Kontekstual dan Abad 21

Teori humanistik mendorong pembelajaran yang kontekstual dan relevan dengan pengalaman hidup peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendekatan pembelajaran abad ke-21 yang menuntut kolaborasi, kreativitas, berpikir kritis, dan komunikasi, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai kebijakan pendidikan global dan nasional⁽⁶⁾.

7.2.       Kelemahan Teori Humanistik

7.2.1.      Kurang Sistematis dalam Pengukuran Hasil Belajar

Salah satu kritik terhadap pendekatan humanistik adalah kesulitan dalam mengukur hasil belajar secara objektif dan terstandar. Fokus pada aspek afektif dan pengalaman personal membuat evaluasi sering kali bersifat subjektif dan sulit dikomparasi⁽⁷⁾. Dalam sistem pendidikan yang masih bergantung pada ujian nasional atau asesmen berbasis angka, pendekatan ini menjadi tantangan tersendiri.

7.2.2.      Sulit Diterapkan dalam Kelas yang Besar dan Heterogen

Penerapan pendekatan humanistik menuntut interaksi yang intensif antara guru dan siswa. Dalam kelas dengan jumlah siswa besar, perhatian individual yang diperlukan dalam pendekatan ini menjadi sulit dilakukan. Keterbatasan waktu, tenaga, dan rasio guru-siswa menjadi hambatan implementasi yang nyata, terutama di sekolah-sekolah negeri yang memiliki keterbatasan sumber daya⁽⁸⁾.

7.2.3.      Terlalu Berorientasi pada Subjektivitas

Kritikus teori humanistik berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu menekankan subjektivitas dan pengalaman personal, sehingga rentan mengabaikan struktur sosial dan tujuan akademik kolektif. Dalam situasi tertentu, kebebasan yang diberikan kepada peserta didik tanpa arahan yang jelas dapat menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan tujuan belajar⁽⁹⁾.

7.2.4.      Tidak Selalu Relevan untuk Semua Jenis Materi

Tidak semua konten atau disiplin ilmu cocok dengan pendekatan humanistik. Untuk mata pelajaran yang bersifat eksak dan prosedural seperti matematika atau fisika, pendekatan ini mungkin kurang efektif bila tidak dikombinasikan dengan pendekatan lain yang lebih terstruktur dan teknis⁽¹⁰⁾.


Kesimpulan Sementara

Teori belajar humanistik menawarkan kekuatan besar dalam memanusiakan pendidikan dan mendukung pembelajaran yang bermakna. Namun, dalam praktiknya, teori ini tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan pendekatan integratif yang mampu menggabungkan humanisme dengan strategi kognitif, behavioristik, maupun konstruktivistik, agar pendidikan benar-benar menjangkau aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara utuh. Pendidikan Indonesia, dengan kompleksitasnya, membutuhkan keseimbangan antara nilai kemanusiaan dan tuntutan akademik, serta antara kebebasan dan tanggung jawab.


Footnotes

[1]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 1994), 105–108.

[2]                Kemendikbudristek RI, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 4–5.

[3]                Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 50–55.

[4]                W. Huitt, “Humanism and Open Education,” Educational Psychology Interactive (Valdosta, GA: Valdosta State University, 2009), https://www.edpsycinteractive.org/topics/affect/humed.html.

[5]                Republik Indonesia, Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), Pasal 2.

[6]                UNESCO, Education 2030: Incheon Declaration and Framework for Action (Paris: UNESCO, 2015), 35–37.

[7]                James H. McMillan, Classroom Assessment: Principles and Practice for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2014), 142–144.

[8]                A. M. Gallagher, “Challenges of Implementing Humanistic Pedagogy in Public Schools,” Educational Leadership Journal 69, no. 2 (2019): 32–35.

[9]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2012), 78–81.

[10]             Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson, 2018), 285–287.


8.           Implikasi Teori Humanistik dalam Konteks Pendidikan Kontemporer

Dalam menghadapi tantangan abad ke-21—yang ditandai oleh perubahan sosial, kemajuan teknologi, kompleksitas global, dan krisis kemanusiaan—pendidikan dituntut untuk tidak hanya mencetak individu yang kompeten secara kognitif, tetapi juga berkarakter, adaptif, reflektif, dan memiliki kesadaran diri yang tinggi. Teori belajar humanistik, dengan orientasinya pada pengembangan potensi manusia secara utuh, menjadi salah satu pendekatan yang relevan dan krusial untuk menjawab tantangan tersebut.

8.1.       Penguatan Pendidikan Berbasis Karakter dan Nilai

Teori humanistik mendukung pendekatan pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai universal seperti empati, kejujuran, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Dalam konteks Indonesia, hal ini sejalan dengan arah kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang tertuang dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2018, yang menegaskan pentingnya integrasi nilai karakter ke dalam setiap aspek pembelajaran¹.

Dengan menekankan aspek afektif dan pembentukan kepribadian, teori humanistik berkontribusi dalam menciptakan lingkungan belajar yang mendorong peserta didik menjadi pribadi yang berintegritas, peduli sosial, dan memiliki kesadaran moral. Ini mendukung terwujudnya Profil Pelajar Pancasila, yang menjadi tujuan strategis pendidikan nasional saat ini².

8.2.       Relevansi dalam Implementasi Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia menekankan prinsip pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, fleksibilitas dalam perencanaan pembelajaran, dan penguatan dimensi karakter serta potensi individual. Nilai-nilai ini merupakan manifestasi langsung dari prinsip-prinsip teori humanistik³.

Dalam Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka, guru didorong untuk melakukan diferensiasi proses, konten, dan produk belajar, berdasarkan minat, kesiapan, dan profil belajar siswa⁴. Hal ini mencerminkan semangat Carl Rogers tentang student-centered learning, di mana setiap peserta didik diperlakukan sebagai individu unik yang layak mendapatkan pengalaman belajar yang relevan dengan dirinya.

8.3.       Dukungan terhadap Strategi Pendidikan Inklusif dan Responsif

Teori humanistik memandang setiap individu sebagai makhluk yang berhak belajar tanpa diskriminasi dan dengan penghargaan terhadap perbedaan. Dalam konteks pendidikan inklusif, pendekatan humanistik sangat cocok karena menekankan pentingnya relasi interpersonal, pemahaman empatik, dan penghormatan terhadap kebutuhan khusus⁵.

Kebijakan Pendidikan Inklusif untuk Semua yang diusung oleh UNESCO serta Permendikbud No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif di Indonesia menekankan prinsip kesetaraan akses pendidikan, yang dapat diperkaya melalui pendekatan humanistik yang adaptif dan berbasis empati⁶.

8.4.       Penguatan Kecakapan Abad ke-21 dan Pembelajaran Seumur Hidup

Teori humanistik sangat mendukung pembentukan kompetensi-kompetensi utama abad ke-21 seperti kreativitas, kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi. Semua ini tidak hanya memerlukan penguasaan pengetahuan, tetapi juga pengembangan kepribadian, keberanian mengambil risiko, dan kesadaran diri⁷.

Lebih jauh, pendekatan humanistik memfasilitasi berkembangnya pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners), karena menanamkan motivasi intrinsik, kemandirian belajar, dan rasa cinta terhadap proses belajar itu sendiri. Prinsip ini selaras dengan Sustainable Development Goal 4 (SDG-4) yang menekankan inklusivitas dan keberlanjutan dalam pendidikan⁸.

8.5.       Peran Guru sebagai Fasilitator Transformasi

Implikasi lain dari teori humanistik adalah pergeseran peran guru dari pengajar menjadi fasilitator pertumbuhan. Guru tidak lagi semata-mata menyampaikan materi, tetapi mendampingi, menginspirasi, dan menciptakan suasana kelas yang suportif secara emosional dan sosial⁹. Ini menuntut pelatihan dan pengembangan profesional yang memadai, terutama dalam membangun kompetensi sosial-emosional dan relasional guru.


Kesimpulan Sementara

Dalam konteks pendidikan kontemporer yang mengedepankan nilai kemanusiaan, pembelajaran yang bermakna, dan pengembangan potensi multidimensional peserta didik, teori belajar humanistik menawarkan kerangka yang sangat relevan dan aplikatif. Integrasi teori ini ke dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, terutama melalui Kurikulum Merdeka, penguatan karakter, dan pendidikan inklusif, merupakan langkah strategis menuju sistem pendidikan yang lebih berkeadilan, reflektif, dan transformatif.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), Pasal 2.

[2]                Kemendikbudristek RI, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 4–8.

[3]                Kemendikbudristek RI, Kurikulum Merdeka: Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 5–11.

[4]                Ibid., 14–17.

[5]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 284–286.

[6]                Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 2.

[7]                Trilling, Bernie, and Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 55–61.

[8]                UNESCO, Education 2030: Incheon Declaration and Framework for Action for the Implementation of Sustainable Development Goal 4 (Paris: UNESCO, 2015), 16–19.

[9]                Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2005), 172–176.


9.           Studi Kasus dan Implementasi Praktis

Teori belajar humanistik tidak hanya memiliki kekuatan konseptual, tetapi juga telah menemukan bentuk penerapan yang nyata dalam praktik pendidikan, baik di Indonesia maupun secara global. Implementasi teori ini tampak dalam model-model sekolah alternatif, pendekatan pembelajaran individual, serta kebijakan pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter dan kemerdekaan belajar. Bagian ini akan memaparkan beberapa studi kasus dan contoh konkret implementasi teori humanistik dalam praktik pendidikan kontemporer.

9.1.       Studi Kasus: Sekolah Alam Indonesia

Sekolah Alam Indonesia, yang berdiri sejak tahun 1998, merupakan salah satu contoh penerapan pendekatan humanistik dalam pendidikan di Indonesia. Sekolah ini mengembangkan pembelajaran yang memadukan alam, pengalaman hidup nyata, nilai spiritual, dan kemerdekaan belajar. Dalam prosesnya, siswa dibimbing untuk mengenali minat dan bakat mereka, diberi ruang berekspresi, serta dilibatkan secara aktif dalam merancang kegiatan pembelajaran mereka sendiri¹.

Pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning), pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), dan pendekatan reflektif menjadi metode utama yang digunakan. Guru berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai otoritas absolut, sebagaimana dianjurkan dalam prinsip Carl Rogers tentang pembelajaran berpusat pada peserta didik².

Implementasi ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka dan Profil Pelajar Pancasila yang menekankan pembelajaran kontekstual, kolaboratif, dan berbasis nilai³.

9.2.       Implementasi di Sekolah Formal: Praktik di Kelas Inklusif SMP Negeri 2 Sleman

SMP Negeri 2 Sleman, Yogyakarta, menjadi salah satu contoh sukses penerapan pendekatan humanistik dalam konteks pendidikan inklusif. Sekolah ini membuka ruang bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan siswa reguler dalam suasana saling menerima dan saling menghormati. Guru-guru dilatih untuk mengembangkan empati, komunikasi non-verbal, dan pendekatan diferensiatif untuk menyesuaikan materi dan strategi belajar⁴.

Penerapan strategi person-centered learning membantu siswa berkebutuhan khusus membangun rasa percaya diri dan mengalami pembelajaran yang bermakna sesuai potensi masing-masing. Hal ini merupakan bentuk konkret dari penerapan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, yang mensyaratkan lingkungan belajar yang ramah dan partisipatif⁵.

9.3.       Program P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila)

Salah satu implementasi berskala nasional dari pendekatan humanistik adalah Program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam Kurikulum Merdeka. Program ini mendorong peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan yang berakar pada kehidupan nyata, bermuatan nilai, dan memfasilitasi refleksi personal⁶.

Misalnya, dalam P5 bertema “Kearifan Lokal”, siswa diajak untuk menggali potensi budaya di daerahnya, berinteraksi dengan masyarakat, dan menuliskan refleksi pribadi dalam jurnal atau portofolio. Guru bertindak sebagai fasilitator, mendorong pemaknaan mendalam terhadap pengalaman, bukan sekadar menilai hasil kerja akhir. Hal ini sejalan dengan pendekatan experiential dan reflective learning dalam teori humanistik⁷.

9.4.       Pembelajaran Berbasis Konseling Humanistik di Madrasah

Di beberapa madrasah aliyah (MA), khususnya madrasah berbasis boarding school, pendekatan humanistik mulai diterapkan melalui model bimbingan dan konseling berbasis empati dan refleksi. Guru atau pembimbing melakukan pendekatan personal untuk memahami kondisi psikologis siswa dan membangun relasi yang positif. Proses pembelajaran dipadukan dengan kegiatan seperti journaling, sharing session, dan mentoring nilai-nilai keislaman secara kontekstual⁸.

Pendekatan ini memungkinkan siswa mengekspresikan nilai-nilai personal, mengelola konflik batin, dan tumbuh dalam lingkungan yang memanusiakan, sebagaimana prinsip dasar teori Carl Rogers dan Maslow tentang aktualisasi diri.


Kesimpulan Sementara

Berbagai studi kasus di atas menunjukkan bahwa teori belajar humanistik tidak hanya dapat diterapkan dalam sekolah alternatif, tetapi juga relevan dan mungkin diimplementasikan dalam sistem pendidikan formal. Melalui penerapan strategi seperti student-centered learning, pembelajaran berbasis proyek, refleksi personal, dan konseling empatik, pendekatan ini mendukung terciptanya pembelajaran yang bermakna, demokratis, dan transformatif. Ini sejalan dengan cita-cita pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, yaitu pendidikan yang “mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh dan berkesinambungan”⁹.


Footnotes

[1]                Sekolah Alam Indonesia, “Filosofi Pendidikan,” diakses 17 Mei 2025, https://sekolahalamindonesia.sch.id/filosofi/.

[2]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 1994), 103–107.

[3]                Kemendikbudristek RI, Kurikulum Merdeka: Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 6–9.

[4]                Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Yogyakarta, Laporan Praktik Baik Pendidikan Inklusif di Sleman (Yogyakarta: LPMP DIY, 2020), 15–18.

[5]                Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, Pasal 2.

[6]                Kemendikbudristek RI, Panduan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 7–12.

[7]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 38–41.

[8]                Nurul Huda, “Pendekatan Humanistik dalam Konseling Islam di Madrasah,” Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam 5, no. 2 (2021): 101–109.

[9]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.


10.       Kesimpulan dan Rekomendasi

10.1.    Kesimpulan

Teori belajar humanistik hadir sebagai respons terhadap pendekatan behavioristik dan kognitivistik yang cenderung mengabaikan aspek personal, emosional, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Dengan menekankan pentingnya pengembangan potensi manusia secara utuh, teori ini memandang peserta didik sebagai subjek aktif yang memiliki kehendak bebas, nilai personal, dan motivasi untuk bertumbuh menuju aktualisasi diri.

Landasan filosofis teori ini berasal dari eksistensialisme dan fenomenologi, sementara dari sisi psikologis berakar pada pemikiran Abraham Maslow dan Carl Rogers. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa belajar hanya akan bermakna bila terkait dengan pengalaman, nilai, dan kebutuhan internal peserta didik¹.

Penerapan teori humanistik terbukti mampu menumbuhkan motivasi intrinsik, kesadaran diri, empati, dan otonomi belajar. Hal ini terlihat dari berbagai studi kasus di lembaga pendidikan alternatif dan formal, termasuk implementasi kebijakan nasional seperti Kurikulum Merdeka dan Program P5 yang menekankan pembelajaran kontekstual dan berpusat pada peserta didik².

Namun, seperti teori lainnya, pendekatan humanistik juga memiliki keterbatasan. Evaluasi yang bersifat subjektif, sulitnya penerapan dalam kelas besar, dan ketidakcocokan dengan mata pelajaran teknis menjadi tantangan tersendiri³. Oleh karena itu, pendekatan ini perlu diintegrasikan secara bijak dengan strategi pembelajaran lain yang saling melengkapi.

Secara keseluruhan, teori belajar humanistik sangat relevan dalam menjawab tuntutan pendidikan abad ke-21, terutama dalam membentuk peserta didik yang berkarakter, reflektif, mandiri, dan cinta belajar sepanjang hayat, sebagaimana visi Profil Pelajar Pancasila dalam sistem pendidikan Indonesia⁴.


10.2.    Rekomendasi

Berdasarkan uraian dan temuan di atas, terdapat beberapa rekomendasi penting bagi para pemangku kepentingan pendidikan:

10.2.1.  Bagi Pendidik

·                     Menerapkan prinsip student-centered learning melalui strategi pembelajaran berbasis pengalaman, refleksi, dan diferensiasi.

·                     Mengembangkan kemampuan empatik dan komunikasi interpersonal untuk menciptakan lingkungan belajar yang suportif secara emosional.

·                     Mendorong peserta didik untuk aktif mengeksplorasi nilai-nilai personal dan sosial dalam setiap proses belajar.

10.2.2.  Bagi Lembaga Pendidikan

·                     Memberikan pelatihan guru terkait pendekatan humanistik, khususnya dalam hal asesmen formatif, pembelajaran reflektif, dan dukungan emosional siswa.

·                     Mendesain kurikulum dan kegiatan pembelajaran yang memberi ruang aktualisasi diri dan keberagaman gaya belajar siswa.

·                     Menyediakan sarana pembelajaran yang memungkinkan terjadinya pembelajaran berbasis pengalaman, kolaboratif, dan kontekstual.

10.2.3.  Bagi Pembuat Kebijakan

·                     Mengintegrasikan prinsip-prinsip humanistik secara eksplisit dalam dokumen kebijakan dan regulasi pendidikan nasional.

·                     Mendorong sekolah dan madrasah untuk mengembangkan model-model inovatif berbasis pendekatan humanistik.

·                     Memperkuat sinergi antara teori belajar humanistik dengan kerangka Profil Pelajar Pancasila, PPK, dan SDG 4: Pendidikan Berkualitas untuk Semua⁵.


Footnotes

[1]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 1994), 103–108; Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 17–35.

[2]                Kemendikbudristek RI, Kurikulum Merdeka: Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 6–11.

[3]                Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 11th ed. (Boston: Pearson, 2018), 284–287.

[4]                Kemendikbudristek RI, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 4–9.

[5]                UNESCO, Education 2030: Incheon Declaration and Framework for Action for the Implementation of Sustainable Development Goal 4 (Paris: UNESCO, 2015), 9–15.


Daftar Pustaka

Combs, A. W. (1982). Myths in education: Beliefs that hinder progress and their alternatives. Allyn & Bacon.

Combs, A. W., & Snygg, D. (1959). Individual behavior: A new frame of reference for psychology. Harper & Row.

Farrell, T. S. C. (2014). Reflective practice in ESL teacher development groups. Palgrave Macmillan.

Gazda, G. M. (1973). Humanistic learning theory and human values education. National Education Association.

Huitt, W. (2009). Humanism and open education. Educational Psychology Interactive. https://www.edpsycinteractive.org/topics/affect/humed.html

Kemendikbudristek RI. (2018). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Jakarta: Kemendikbud.

Kemendikbudristek RI. (2021). Profil Pelajar Pancasila. Jakarta: Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan.

Kemendikbudristek RI. (2022). Kurikulum Merdeka: Panduan pembelajaran dan asesmen. Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kemendikbudristek RI. (2022). Panduan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Prentice Hall.

Knowles, M. S. (1975). Self-directed learning: A guide for learners and teachers. Association Press.

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DIY. (2020). Laporan praktik baik pendidikan inklusif di Sleman. Yogyakarta: LPMP DIY.

Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346

Maslow, A. H. (1968). Toward a psychology of being (2nd ed.). Van Nostrand Reinhold.

Maslow, A. H. (1987). Motivation and personality (3rd ed.). Harper & Row.

McMillan, J. H. (2014). Classroom assessment: Principles and practice for effective standards-based instruction (6th ed.). Pearson.

Noddings, N. (2005). Caring: A relational approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.

Noddings, N. (2012). Philosophy of education (3rd ed.). Westview Press.

Popham, W. J. (2008). Transformative assessment. ASCD.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Jakarta: Depdiknas.

Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.

Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.

Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.

Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn. Charles E. Merrill.

Rogers, C. R., & Freiberg, H. J. (1994). Freedom to learn (3rd ed.). Merrill/Prentice Hall.

Sekolah Alam Indonesia. (n.d.). Filosofi pendidikan. Retrieved May 17, 2025, from https://sekolahalamindonesia.sch.id/filosofi/

Slavin, R. E. (2018). Educational psychology: Theory and practice (11th ed.). Pearson.

Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st century skills: Learning for life in our times. Jossey-Bass.

UNESCO. (2015). Education 2030: Incheon declaration and framework for action for the implementation of Sustainable Development Goal 4. Paris: UNESCO.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar