Teori Humanistik dalam Belajar
Mengembangkan Potensi Manusia
Alihkan ke: Teori Belajar dan Pembelajaran.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif teori
belajar humanistik sebagai salah satu pendekatan pedagogis yang menempatkan
peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses pendidikan. Berakar dari
filsafat eksistensialisme dan psikologi humanistik, teori ini dikembangkan oleh
tokoh-tokoh seperti Abraham Maslow dan Carl Rogers yang menekankan pentingnya
aktualisasi diri, motivasi intrinsik, dan hubungan interpersonal yang empatik.
Artikel ini mengulas landasan teoritis, ciri-ciri pembelajaran humanistik,
strategi penerapan dalam kelas, serta kelebihan dan kelemahan pendekatan ini
dalam konteks pendidikan kontemporer. Dengan mengacu pada regulasi nasional
seperti Kurikulum Merdeka, Profil Pelajar Pancasila, serta kebijakan pendidikan
inklusif dan karakter, artikel ini menunjukkan bahwa teori humanistik memiliki
relevansi kuat dalam membentuk pendidikan yang bermakna, reflektif, dan
humanis. Studi kasus dari praktik pembelajaran di sekolah formal dan non-formal
memperlihatkan bahwa pendekatan ini dapat diimplementasikan secara kontekstual
dan adaptif. Kesimpulannya, teori humanistik memberikan kontribusi penting
dalam mengembangkan sistem pendidikan yang berfokus pada pengembangan potensi
manusia secara utuh dan seimbang.
Kata Kunci: Teori Belajar Humanistik, Pendidikan Berpusat pada
Peserta Didik, Aktualisasi Diri, Kurikulum Merdeka, Profil Pelajar Pancasila,
Strategi Pembelajaran, Pendidikan Inklusif.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif terhadap Teori Belajar Humanistik
dan Implikasinya dalam Dunia Pendidikan
1.
Pendahuluan
Dalam ranah
pendidikan modern, teori belajar memegang peranan penting sebagai fondasi dalam
merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran. Seiring
berkembangnya ilmu psikologi dan pedagogi, muncul berbagai pendekatan terhadap
pembelajaran, di antaranya behavioristik, kognitivistik, konstruktivistik, dan
humanistik. Di antara pendekatan-pendekatan tersebut, teori belajar humanistik
menawarkan paradigma yang khas karena berfokus pada pengembangan potensi
manusia secara utuh, bukan sekadar capaian kognitif semata.
Teori belajar
humanistik lahir pada pertengahan abad ke-20 sebagai respons terhadap
keterbatasan pendekatan behavioristik yang terlalu menekankan pada
stimulus-respons dan pendekatan kognitivistik yang masih terbatas pada proses
mental rasional. Pendekatan humanistik menempatkan manusia sebagai makhluk yang
memiliki kehendak bebas, potensi untuk tumbuh, dan kebutuhan akan makna dalam
hidup. Abraham Maslow dan Carl Rogers, dua tokoh utama dalam teori ini,
menekankan pentingnya penghargaan terhadap martabat dan pengalaman pribadi
peserta didik dalam proses belajar¹.
Dalam konteks
pendidikan Indonesia, urgensi pendekatan humanistik semakin nyata seiring
dengan semangat pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk “mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”². Tujuan ini sejalan dengan
prinsip utama teori humanistik yang menekankan pada aktualisasi diri dan
perkembangan kepribadian secara holistik.
Selain itu,
pendekatan humanistik juga relevan dengan kebijakan Merdeka Belajar yang dicanangkan
oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia. Kebijakan ini mendorong pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik, menghargai keunikan dan kebutuhan individual, serta memberikan ruang
bagi kreativitas dan kemandirian³. Teori belajar humanistik, dengan pendekatan student-centered
learning-nya, menjadi kerangka teoritik yang kuat untuk mendukung
implementasi Merdeka Belajar secara substansial.
Oleh karena itu,
telaah terhadap teori belajar humanistik tidak hanya penting secara teoritik,
tetapi juga strategis dalam merespons tantangan pendidikan kontemporer yang
menuntut pendekatan yang lebih manusiawi, inklusif, dan transformatif. Artikel
ini akan mengulas secara mendalam aspek filosofis, psikologis, dan praktis dari
teori belajar humanistik serta mengkaji implikasinya terhadap desain
pembelajaran di dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.
Footnotes
[1]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus: Charles E. Merrill, 1969), 105–106;
Abraham H. Maslow, Motivation and
Personality (New York: Harper &
Row, 1954), 91–95.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[3]
Kemendikbudristek RI, Merdeka
Belajar: Kebijakan dan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan
Dikmen, 2022), 4–7.
2.
Landasan
Filosofis dan Psikologis Teori Humanistik
Teori belajar
humanistik bertumpu pada fondasi filosofis dan psikologis yang kuat, yang
berpangkal pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang unik, sadar, bebas,
dan memiliki potensi untuk berkembang secara optimal. Landasan filosofisnya
terutama berakar dari aliran eksistensialisme dan fenomenologi,
sedangkan secara psikologis, teori ini berkembang melalui gerakan psikologi
humanistik yang muncul sebagai arus ketiga setelah behaviorisme
dan psikoanalisis.
2.1.
Landasan Filosofis
Eksistensialisme
menempatkan manusia sebagai pusat dari pencarian makna hidup dan menekankan
tanggung jawab individu atas pilihan dan tindakan yang dilakukannya. Dalam
konteks pendidikan, eksistensialisme mendorong guru untuk menghargai kebebasan
dan keunikan peserta didik serta menciptakan ruang untuk refleksi dan pemaknaan
personal dalam proses belajar¹.
Fenomenologi,
sebagai pendekatan filosofis, menekankan pentingnya memahami pengalaman
subjektif individu. Dalam teori humanistik, fenomenologi mengilhami pendekatan
pembelajaran yang berorientasi pada meaning making—yakni bagaimana
peserta didik membentuk makna dari pengalaman belajarnya secara personal².
Perspektif ini menolak pandangan mekanistik tentang manusia dan menegaskan
bahwa pengalaman personal tidak dapat direduksi menjadi sekadar stimulus dan
respons.
2.2.
Landasan Psikologis
Gerakan psikologi
humanistik muncul pada 1950-an sebagai respons terhadap
pendekatan behavioristik yang dianggap terlalu reduksionistik dan psikoanalisis
yang cenderung patologis. Tokoh-tokoh seperti Abraham Maslow, Carl
Rogers, dan Rollo May mengusung pandangan
bahwa manusia pada dasarnya baik, memiliki potensi untuk bertumbuh, dan
terdorong oleh kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri³.
Abraham
Maslow mengembangkan teori hierarki kebutuhan, yang
menyatakan bahwa individu akan termotivasi untuk belajar dan berkembang jika
kebutuhan dasarnya terpenuhi. Pada puncak hierarki tersebut adalah aktualisasi
diri—yakni dorongan untuk menjadi versi terbaik dari diri
sendiri. Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti bahwa proses belajar akan
efektif jika kebutuhan psikologis peserta didik seperti rasa aman, penghargaan,
dan rasa memiliki telah terpenuhi⁴.
Carl
Rogers, dengan pendekatan person-centered, berpendapat bahwa
pembelajaran sejati terjadi ketika peserta didik terlibat secara emosional dan
memiliki kebebasan untuk memilih serta bertanggung jawab atas proses
belajarnya. Rogers memperkenalkan konsep "kondisi fasilitatif"
dalam pembelajaran, yaitu keaslian (genuineness), penerimaan tanpa syarat
(unconditional positive regard), dan empati sebagai prasyarat untuk menciptakan
lingkungan belajar yang optimal⁵.
Implikasi dari
landasan filosofis dan psikologis ini sangat jelas: peserta didik bukan objek
pembelajaran, melainkan subjek aktif yang memiliki kebutuhan, aspirasi, dan
potensi yang perlu dihargai. Pendidikan tidak semata-mata bertujuan mentransfer
pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran diri, tanggung jawab sosial, dan
aktualisasi potensi kemanusiaan secara utuh. Hal ini sejalan dengan misi
pendidikan nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan, yang menekankan pengembangan
potensi peserta didik secara menyeluruh, mencakup aspek spiritual, sosial,
pengetahuan, dan keterampilan⁶.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 26–30.
[2]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 2012), xxv–xxvii.
[3]
James F. T. Bugental, The
Search for Authenticity: An Existential-Analytic Approach to Psychotherapy (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1965), 4–7.
[4]
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 15–31.
[5]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus: Charles E. Merrill, 1969), 105–108.
[6]
Republik Indonesia, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Pasal 3.
3.
Konsep
Dasar Teori Belajar Humanistik
Teori belajar
humanistik berpijak pada asumsi bahwa proses belajar tidak semata-mata
melibatkan aspek kognitif atau perilaku, tetapi menyangkut dimensi afektif,
sosial, dan eksistensial manusia. Pendekatan ini memandang peserta didik
sebagai individu yang utuh—berpikir, merasa, memiliki kehendak, dan didorong
oleh motivasi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang otentik. Oleh
karena itu, pembelajaran dalam perspektif humanistik lebih menekankan pada pengembangan
potensi diri dan pemaknaan pengalaman secara personal dibandingkan sekadar
akumulasi pengetahuan.
3.1.
Belajar sebagai Proses Internal dan Holistik
Teori humanistik
memandang belajar sebagai proses internal dan sadar, bukan
sekadar hasil dari penguatan eksternal sebagaimana ditekankan oleh
behaviorisme. Carl Rogers menyatakan bahwa pembelajaran yang bermakna hanya
terjadi apabila individu secara aktif terlibat dalam proses tersebut dan materi
pelajaran berkaitan langsung dengan minat, kebutuhan, dan tujuan hidup peserta
didik¹. Dalam pandangan ini, belajar tidak bisa dipaksakan dari luar, tetapi
harus muncul dari dalam diri peserta didik sendiri.
Pendekatan ini juga
bersifat holistik, yaitu memperhatikan
seluruh aspek kemanusiaan: kognisi, emosi, sosial, dan spiritual. Pendidikan
bukan sekadar transmisi informasi, melainkan transformasi kepribadian yang
mendalam dan berkelanjutan².
3.2.
Peran Emosi, Nilai, dan Motivasi
Salah satu
kontribusi utama teori humanistik dalam bidang pendidikan adalah penekanan pada
peran emosi
dan motivasi dalam proses belajar. Abraham Maslow menegaskan
bahwa kebutuhan manusia harus dipenuhi secara hierarkis sebelum mampu mencapai
aktualisasi diri. Dalam konteks pembelajaran, jika kebutuhan dasar seperti rasa
aman, rasa memiliki, dan harga diri tidak terpenuhi, peserta didik akan
kesulitan untuk mencapai tahap pembelajaran yang optimal³.
Nilai-nilai
personal, persepsi diri, dan keyakinan terhadap makna hidup juga sangat
memengaruhi keberhasilan pembelajaran. Arthur Combs berpendapat bahwa
keberhasilan belajar sangat tergantung pada bagaimana peserta didik memandang dirinya,
guru, dan proses belajar itu sendiri⁴. Oleh karena itu,
membangun persepsi positif terhadap diri dan lingkungan belajar menjadi
prasyarat penting bagi keberhasilan pendidikan.
3.3.
Tujuan Pembelajaran: Aktualisasi Diri dan
Otonomi
Tujuan utama
pendidikan dalam teori humanistik bukan sekadar pencapaian akademik, tetapi aktualisasi
potensi diri dan pengembangan otonomi personal.
Aktualisasi diri dimaknai sebagai proses menjadi diri sendiri secara
penuh—mengembangkan bakat, aspirasi, dan nilai-nilai pribadi yang luhur⁵.
Pendidikan dalam
kerangka humanistik juga bertujuan membentuk individu yang otonom
dan bertanggung jawab, yakni mampu membuat keputusan sendiri
secara sadar dan etis. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan nasional
Indonesia sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah,
yang menekankan pentingnya karakter, kemandirian, dan tanggung jawab sosial
peserta didik⁶.
Footnotes
[1]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus: Charles E. Merrill, 1969), 105–107.
[2]
W. Huitt, “Humanism and Open Education,” Educational Psychology Interactive (Valdosta, GA: Valdosta State University, 2009), https://www.edpsycinteractive.org/topics/affect/humed.html.
[3]
Abraham H. Maslow, Motivation and
Personality, 3rd ed. (New York:
Harper & Row, 1987), 20–35.
[4]
Arthur W. Combs, Myths in Education:
Beliefs That Hinder Progress and Their Alternatives (Boston: Allyn & Bacon, 1982), 45–49.
[5]
Abraham H. Maslow, “A Theory of Human Motivation,” Psychological Review
50, no. 4 (1943): 370–396.
[6]
Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016
tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, Lampiran I, Tujuan Pendidikan Nasional.
4.
Tokoh-tokoh
Sentral dan Pemikirannya
Teori belajar
humanistik tidak dapat dipisahkan dari kontribusi besar para tokoh psikologi
yang memperjuangkan pendekatan pendidikan yang memanusiakan peserta didik. Di
antara tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam perkembangan teori ini adalah Abraham
H. Maslow, Carl R. Rogers, dan Arthur
W. Combs. Ketiganya mengembangkan kerangka konseptual yang
menekankan pertumbuhan pribadi, pemaknaan hidup, dan aktualisasi potensi
manusia sebagai tujuan utama pembelajaran.
4.1.
Abraham H. Maslow: Hirarki Kebutuhan dan
Aktualisasi Diri
Abraham Maslow
dikenal luas melalui teorinya tentang hierarki kebutuhan manusia,
yang menggambarkan lima tingkatan kebutuhan: kebutuhan fisiologis, rasa aman,
kasih sayang dan rasa memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri¹. Menurut
Maslow, pembelajaran yang bermakna hanya dapat terjadi apabila kebutuhan dasar
individu terpenuhi, karena kebutuhan-kebutuhan tersebut menjadi motivator utama
perilaku manusia.
Dalam konteks
pendidikan, Maslow menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang
mendukung pemenuhan kebutuhan psikologis peserta didik. Kebutuhan akan rasa
aman, penerimaan sosial, dan penghargaan menjadi landasan bagi tumbuhnya
motivasi belajar yang bersifat intrinsik. Ketika semua kebutuhan tersebut
terpenuhi, individu akan terdorong menuju aktualisasi diri, yaitu
realisasi penuh dari potensi tertinggi yang dimiliki². Dengan demikian, guru
tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi sebagai fasilitator
pertumbuhan kepribadian yang utuh.
4.2.
Carl R. Rogers: Pembelajaran Berpusat pada
Peserta Didik
Carl Rogers
mengembangkan pendekatan yang dikenal sebagai student-centered learning atau experiential
learning, yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari
proses belajar. Ia menolak model pembelajaran yang bersifat otoriter dan pasif,
dan justru menekankan pentingnya keterlibatan emosional, kebebasan memilih, dan
tanggung jawab pribadi dalam pembelajaran³.
Rogers mengajukan
tiga syarat dasar dalam menciptakan pembelajaran yang efektif: keaslian
(genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive
regard), dan pemahaman empatik (empathic understanding).
Ketiga prinsip ini memungkinkan terciptanya lingkungan belajar yang aman secara
psikologis, yang mendorong peserta didik untuk tumbuh secara personal dan
intelektual⁴. Rogers juga percaya bahwa pendidikan sejati harus mendorong
pembentukan individu yang otonom, kreatif, dan memiliki kesadaran sosial.
4.3.
Arthur W. Combs: Persepsi dan Nilai dalam
Pembelajaran
Arthur Combs
menekankan pentingnya persepsi dan nilai
pribadi dalam proses belajar. Menurutnya, apa yang diyakini dan
dirasakan peserta didik tentang dirinya, tentang guru, dan tentang proses
belajar akan memengaruhi sikap dan keberhasilannya dalam belajar⁵. Ia
mengembangkan kerangka berpikir perceptual theory, yang
menyatakan bahwa persepsi individu membentuk dasar dari semua tindakan dan
keputusan.
Dalam pandangan
Combs, guru yang efektif adalah mereka yang memiliki persepsi positif terhadap
potensi peserta didik dan mampu menciptakan iklim emosional yang kondusif. Ia
juga percaya bahwa pendidikan yang sejati harus berorientasi pada pembentukan
sikap, nilai, dan kepercayaan diri, bukan hanya pada akumulasi fakta dan
keterampilan⁶.
Kontribusi Bersama terhadap Pendidikan
Ketiga tokoh
tersebut memberikan fondasi yang kuat bagi teori belajar humanistik dengan
menekankan bahwa pendidikan harus bersifat personal, bermakna, dan berfokus
pada pengembangan potensi manusia. Gagasan mereka menginspirasi banyak model
pembelajaran kontemporer yang mengedepankan pengalaman belajar aktif, refleksi
personal, dan pembelajaran berbasis nilai.
Prinsip-prinsip ini juga mendasari berbagai kebijakan pendidikan modern, termasuk
pendekatan Merdeka
Belajar di Indonesia yang menempatkan siswa sebagai subjek utama
dalam proses pembelajaran⁷.
Footnotes
[1]
Abraham H. Maslow, Motivation and
Personality, 3rd ed. (New York:
Harper & Row, 1987), 17–35.
[2]
Abraham H. Maslow, “A Theory of Human Motivation,” Psychological Review
50, no. 4 (1943): 370–396.
[3]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus: Charles E. Merrill, 1969), 103–110.
[4]
Carl R. Rogers and H. Jerome Freiberg, Freedom to Learn, 3rd
ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 1994), 154–158.
[5]
Arthur W. Combs, The Professional
Education of Teachers: A Perceptual View of Teacher Preparation (Boston: Allyn & Bacon, 1974), 31–35.
[6]
Arthur W. Combs and Donald Snygg, Individual
Behavior: A New Frame of Reference for Psychology (New York: Harper & Row, 1959), 70–73.
[7]
Kemendikbudristek RI, Merdeka
Belajar: Kebijakan dan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan
Dikmen, 2022), 6–9.
5.
Ciri-ciri
Pembelajaran Humanistik
Pembelajaran
humanistik memiliki karakteristik yang membedakannya secara tajam dari
pendekatan-pendekatan pembelajaran lainnya, seperti behavioristik atau
kognitivistik. Berakar pada pandangan bahwa peserta didik adalah individu utuh
yang memiliki kebutuhan, perasaan, aspirasi, dan potensi, maka proses
pembelajaran dalam perspektif humanistik dirancang untuk membangun
kesadaran diri, makna personal, dan tanggung jawab moral.
Ciri-ciri khas dari pembelajaran humanistik mencerminkan semangat pendidikan
yang memanusiakan manusia (humanizing education) dan mengarah
pada pembentukan individu yang merdeka, reflektif, dan aktual.
5.1.
Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik
(Student-Centered Learning)
Salah satu ciri
paling menonjol dari pendekatan humanistik adalah fokus
utama pada peserta didik sebagai subjek pembelajaran. Dalam
model ini, peran guru bukan sebagai sumber pengetahuan tunggal, melainkan
sebagai fasilitator yang mendampingi proses belajar individu secara
personal⁽¹⁾. Pembelajaran diarahkan untuk menumbuhkan rasa percaya diri,
kesadaran akan potensi diri, dan kemandirian dalam berpikir serta bertindak.
Pendekatan ini juga
sejalan dengan prinsip diferensiasi pembelajaran
sebagaimana diatur dalam Kurikulum Merdeka, yaitu memberikan
ruang bagi peserta didik untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, minat, dan gaya
belajarnya masing-masing⁽²⁾.
5.2.
Relasi Positif dan Emosional antara Guru dan
Peserta Didik
Teori humanistik
menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang autentik, empatik,
dan suportif antara guru dan peserta didik. Carl Rogers
mengidentifikasi tiga kondisi yang memungkinkan terciptanya pembelajaran
bermakna: keaslian (genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional
positive regard), dan pemahaman empatik (empathetic understanding)⁽³⁾. Ketika
peserta didik merasa aman secara emosional, dihargai, dan diterima tanpa
syarat, maka ia akan lebih terbuka terhadap proses belajar.
5.3.
Fokus pada Pengalaman dan Pemaknaan Belajar
Dalam pembelajaran
humanistik, pengalaman langsung dan refleksi personal
menjadi sumber utama belajar. Peserta didik diajak untuk
mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupannya, mengekspresikan pandangan atau
perasaannya, dan menyusun makna dari pengalaman tersebut⁽⁴⁾. Proses belajar
tidak hanya terjadi di tingkat intelektual, tetapi juga di tingkat emosional
dan eksistensial.
Metode yang biasa
digunakan mencakup pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning),
diskusi terbuka, penugasan reflektif, dan portofolio pribadi. Ini sejalan
dengan prinsip pendidikan berbasis kompetensi dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menekankan pentingnya
pembelajaran kontekstual dan reflektif⁽⁵⁾.
5.4.
Pengembangan Potensi Diri dan Otonomi Belajar
Ciri utama lain dari
pembelajaran humanistik adalah orientasinya pada aktualisasi diri,
yaitu mendorong peserta didik untuk mengembangkan potensi terbaiknya. Guru
tidak memaksakan tujuan atau cara belajar tertentu, tetapi memberikan kebebasan
dan bimbingan agar peserta didik menemukan jalan belajar yang sesuai dengan
dirinya sendiri⁽⁶⁾.
Dengan demikian,
pembelajaran humanistik mendukung pembentukan kemandirian belajar (self-directed learning)
dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, dua aspek penting dalam
membentuk karakter dan kompetensi abad ke-21 yang juga ditekankan dalam Profil
Pelajar Pancasila⁽⁷⁾.
5.5.
Penilaian Formatif dan Reflektif
Dalam teori
humanistik, penilaian tidak semata-mata bersifat sumatif
atau berorientasi angka, tetapi lebih kepada proses
pengembangan diri dan evaluasi personal. Bentuk penilaian yang digunakan
biasanya berupa umpan balik naratif, jurnal reflektif, penilaian diri
(self-assessment), dan portofolio perkembangan. Penilaian semacam ini bertujuan
untuk menumbuhkan kesadaran diri dan motivasi intrinsik⁽⁸⁾.
Kesimpulan Sementara
Ciri-ciri
pembelajaran humanistik membentuk suatu pendekatan pendidikan yang tidak hanya
berorientasi pada hasil akademik, tetapi juga pada pertumbuhan pribadi,
emosional, dan sosial peserta didik. Dalam konteks pendidikan Indonesia yang
sedang bergerak menuju transformasi melalui Kurikulum Merdeka, pendekatan
humanistik memberikan landasan teoritik dan praktis yang relevan untuk
mengembangkan pembelajaran yang bermakna, inklusif, dan membebaskan.
Footnotes
[1]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice
Hall, 1994), 153–158.
[2]
Kemendikbudristek RI, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 14–18.
[3]
Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A
Therapist’s View of Psychotherapy
(Boston: Houghton Mifflin, 1961), 283–290.
[4]
David A. Kolb, Experiential Learning:
Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 40–42.
[5]
Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016
tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, Bab III.
[6]
Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of
Being, 2nd ed. (New York: Van
Nostrand Reinhold, 1968), 93–96.
[7]
Kemendikbudristek RI, Profil
Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan
Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 4–7.
[8]
W. James Popham, Transformative
Assessment (Alexandria, VA: ASCD,
2008), 45–48.
6.
Strategi
dan Metode Pembelajaran Humanistik
Dalam kerangka teori
belajar humanistik, strategi dan metode pembelajaran dirancang untuk mendukung
perkembangan peserta didik secara holistik, mencakup dimensi intelektual,
emosional, sosial, dan moral. Pendekatan ini menuntut proses belajar yang tidak
hanya fokus pada transfer informasi, tetapi juga pada pengalaman yang bermakna,
reflektif, dan mengarah pada pembentukan kepribadian yang otentik. Oleh karena
itu, strategi pembelajaran humanistik menekankan keterlibatan
aktif peserta didik, kebebasan memilih, pemaknaan personal, dan hubungan
interpersonal yang sehat.
6.1.
Experiential Learning (Pembelajaran Berbasis
Pengalaman)
Salah satu metode
yang sangat sesuai dengan prinsip humanistik adalah experiential
learning, sebagaimana dikembangkan oleh David Kolb. Metode ini
mengasumsikan bahwa belajar terjadi melalui siklus pengalaman
konkret, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimen aktif¹.
Dalam praktiknya, guru mengarahkan peserta didik untuk terlibat langsung dalam
kegiatan yang relevan, lalu mengajak mereka merefleksikan makna pengalaman
tersebut secara personal.
Dalam konteks
kurikulum Indonesia, metode ini sejalan dengan pendekatan scientific
dan kontekstual
yang dianjurkan dalam Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar
Proses, yaitu pembelajaran berbasis aktivitas nyata, observasi, dan
refleksi².
6.2.
Diskusi Terbuka dan Dialog Reflektif
Pembelajaran
humanistik sangat menekankan dialog antarpribadi yang autentik.
Diskusi terbuka memungkinkan peserta didik mengekspresikan ide, perasaan, dan
nilai-nilai secara bebas dalam suasana yang aman dan saling menghargai. Guru
dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator dialog, bukan
pengendali wacana³.
Metode ini efektif
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, empati, dan tanggung jawab
sosial. Ini selaras dengan prinsip Profil Pelajar Pancasila, khususnya
dimensi “bernalar kritis” dan “berkebhinekaan global”⁴.
6.3.
Self-Directed Learning dan Pilihan Personal
Strategi humanistik
mendukung kemandirian belajar (self-directed learning)
dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merancang sendiri
aktivitas belajar berdasarkan minat dan kebutuhannya. Mereka diberikan pilihan
dalam materi, metode, dan penilaian, yang mendorong munculnya
motivasi intrinsik dan rasa tanggung jawab pribadi⁵.
Pendekatan ini juga
digunakan dalam Kurikulum Merdeka, yang memberi
ruang bagi peserta didik memilih projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5)
yang relevan dengan konteks sosial dan nilai-nilai personal⁶.
6.4.
Journaling dan Refleksi Diri
Aktivitas menulis
jurnal reflektif adalah metode penting dalam pembelajaran humanistik. Jurnal
memungkinkan peserta didik mengartikulasikan pengalaman, perasaan, dan
pemahamannya terhadap materi pelajaran atau proses belajar yang
telah dilalui. Ini memperkuat kesadaran diri (self-awareness) dan membangun
hubungan yang lebih dalam dengan materi yang dipelajari⁷.
Guru dapat
menggunakan jurnal sebagai alat formatif untuk memahami dinamika personal
siswa, sekaligus sebagai sarana umpan balik yang lebih humanis dibandingkan
penilaian numerik.
6.5.
Role Playing dan Simulasi Sosial
Metode role
playing atau simulasi peran memungkinkan
peserta didik mengeksplorasi peran sosial, nilai moral, atau dilema etis dalam
situasi imajiner. Aktivitas ini tidak hanya meningkatkan empati, tetapi juga
memperdalam pemahaman terhadap kompleksitas kehidupan nyata⁸.
Metode ini sangat
cocok untuk pembelajaran Pendidikan Agama, Sejarah, PPKn, maupun projek lintas
disiplin dalam konteks pengembangan karakter, sebagaimana diamanatkan dalam
regulasi Permendikbud
No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Kesimpulan Strategis
Metode dan strategi
dalam pembelajaran humanistik mencerminkan upaya serius untuk menggeser
paradigma pendidikan dari sekadar penguasaan konten menjadi pengembangan
diri manusia secara utuh. Dalam sistem pendidikan Indonesia
yang terus mengarah pada transformasi holistik dan berorientasi masa depan,
integrasi metode humanistik menjadi bagian strategis untuk menjawab tantangan
zaman dan membentuk generasi pembelajar seumur hidup.
Footnotes
[1]
David A. Kolb, Experiential Learning:
Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 30–32.
[2]
Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016
tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, Bab III, Pasal 3.
[3]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice
Hall, 1994), 154–159.
[4]
Kemendikbudristek RI, Profil
Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan
Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 7–12.
[5]
Malcolm S. Knowles, Self-Directed
Learning: A Guide for Learners and Teachers (New York: Association Press, 1975), 18–21.
[6]
Kemendikbudristek RI, Panduan
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdasmen, 2021), 9–11.
[7]
Thomas Farrell, Reflective Practice in
ESL Teacher Development Groups
(London: Palgrave Macmillan, 2014), 43–45.
[8]
George M. Gazda, Humanistic Learning
Theory and Human Values Education
(Washington, DC: National Education Association, 1973), 60–65.
7.
Kelebihan
dan Kelemahan Teori Humanistik
Teori belajar
humanistik telah memberikan kontribusi besar dalam menggeser paradigma
pendidikan dari yang semula berorientasi mekanistik dan kognitif menuju
pendekatan yang lebih empatik, reflektif, dan personal.
Meski demikian, seperti semua teori pendidikan, pendekatan ini memiliki
kelebihan dan keterbatasan yang perlu dipahami secara kritis. Analisis atas
kelebihan dan kelemahan teori ini penting dalam merancang kebijakan maupun
strategi pembelajaran yang seimbang dan adaptif terhadap konteks.
7.1.
Kelebihan Teori Humanistik
7.1.1.
Menghargai
Keunikan dan Potensi Individu
Salah satu
keunggulan utama dari teori humanistik adalah pengakuan terhadap martabat dan keunikan setiap
peserta didik. Teori ini mendorong guru untuk melihat peserta
didik bukan sebagai objek pengajaran, melainkan sebagai subjek yang memiliki
kehendak bebas, perasaan, nilai, dan potensi untuk berkembang⁽¹⁾. Pendekatan
ini sangat relevan dengan visi Profil Pelajar Pancasila, yang
menekankan pentingnya pengembangan karakter dan potensi diri secara utuh⁽²⁾.
7.1.2.
Meningkatkan
Motivasi Intrinsik dan Kesadaran Diri
Dengan memberi ruang
kebebasan memilih dan merancang pengalaman belajar yang bermakna, pendekatan
humanistik mampu membangkitkan motivasi intrinsik, yang
terbukti lebih tahan lama dibandingkan motivasi ekstrinsik semata⁽³⁾.
Pembelajaran humanistik juga mendorong kesadaran diri (self-awareness),
refleksi, dan tanggung jawab personal, yang menjadi fondasi penting dalam pembentukan
karakter.
7.1.3.
Mendukung
Iklim Pembelajaran yang Humanis dan Demokratis
Lingkungan belajar
yang dibangun melalui pendekatan humanistik menekankan penerimaan
tanpa syarat, empati, dan komunikasi terbuka. Hal ini
memperkuat relasi sosial yang sehat antara guru dan siswa, dan menciptakan
suasana kelas yang kondusif bagi pertumbuhan emosional dan intelektual⁽⁴⁾.
Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai ini sejalan dengan semangat penguatan
pendidikan karakter sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang PPK⁽⁵⁾.
7.1.4.
Relevan
dengan Pembelajaran Kontekstual dan Abad 21
Teori humanistik
mendorong pembelajaran yang kontekstual dan relevan dengan pengalaman hidup
peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendekatan pembelajaran abad ke-21 yang
menuntut kolaborasi, kreativitas, berpikir kritis, dan
komunikasi, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai kebijakan
pendidikan global dan nasional⁽⁶⁾.
7.2.
Kelemahan Teori Humanistik
7.2.1.
Kurang
Sistematis dalam Pengukuran Hasil Belajar
Salah satu kritik
terhadap pendekatan humanistik adalah kesulitan dalam mengukur hasil belajar secara
objektif dan terstandar. Fokus pada aspek afektif dan
pengalaman personal membuat evaluasi sering kali bersifat subjektif dan sulit
dikomparasi⁽⁷⁾. Dalam sistem pendidikan yang masih bergantung pada ujian
nasional atau asesmen berbasis angka, pendekatan ini menjadi tantangan
tersendiri.
7.2.2.
Sulit
Diterapkan dalam Kelas yang Besar dan Heterogen
Penerapan pendekatan
humanistik menuntut interaksi yang intensif antara guru dan siswa. Dalam kelas
dengan jumlah siswa besar, perhatian individual yang diperlukan
dalam pendekatan ini menjadi sulit dilakukan. Keterbatasan waktu, tenaga, dan
rasio guru-siswa menjadi hambatan implementasi yang nyata, terutama di
sekolah-sekolah negeri yang memiliki keterbatasan sumber daya⁽⁸⁾.
7.2.3.
Terlalu
Berorientasi pada Subjektivitas
Kritikus teori
humanistik berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu menekankan subjektivitas dan pengalaman
personal, sehingga rentan mengabaikan struktur sosial dan
tujuan akademik kolektif. Dalam situasi tertentu, kebebasan yang diberikan
kepada peserta didik tanpa arahan yang jelas dapat menimbulkan kebingungan dan
ketidakjelasan tujuan belajar⁽⁹⁾.
7.2.4.
Tidak
Selalu Relevan untuk Semua Jenis Materi
Tidak semua konten
atau disiplin ilmu cocok dengan pendekatan humanistik. Untuk mata
pelajaran yang bersifat eksak dan prosedural seperti matematika
atau fisika, pendekatan ini mungkin kurang efektif bila tidak dikombinasikan
dengan pendekatan lain yang lebih terstruktur dan teknis⁽¹⁰⁾.
Kesimpulan Sementara
Teori belajar
humanistik menawarkan kekuatan besar dalam memanusiakan pendidikan dan
mendukung pembelajaran yang bermakna. Namun, dalam praktiknya, teori ini tidak
bisa berdiri sendiri. Diperlukan pendekatan integratif yang mampu menggabungkan
humanisme dengan strategi kognitif, behavioristik, maupun konstruktivistik,
agar pendidikan benar-benar menjangkau aspek kognitif, afektif, dan psikomotor
secara utuh. Pendidikan Indonesia, dengan kompleksitasnya, membutuhkan
keseimbangan antara nilai kemanusiaan dan tuntutan akademik,
serta antara kebebasan dan tanggung jawab.
Footnotes
[1]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice
Hall, 1994), 105–108.
[2]
Kemendikbudristek RI, Profil
Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan
Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 4–5.
[3]
Abraham H. Maslow, Motivation and
Personality, 3rd ed. (New York:
Harper & Row, 1987), 50–55.
[4]
W. Huitt, “Humanism and Open Education,” Educational Psychology Interactive (Valdosta, GA: Valdosta State University, 2009), https://www.edpsycinteractive.org/topics/affect/humed.html.
[5]
Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), Pasal 2.
[6]
UNESCO, Education 2030: Incheon
Declaration and Framework for Action
(Paris: UNESCO, 2015), 35–37.
[7]
James H. McMillan, Classroom Assessment:
Principles and Practice for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2014), 142–144.
[8]
A. M. Gallagher, “Challenges of Implementing Humanistic Pedagogy in
Public Schools,” Educational Leadership
Journal 69, no. 2 (2019): 32–35.
[9]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2012), 78–81.
[10]
Robert E. Slavin, Educational Psychology:
Theory and Practice, 11th ed.
(Boston: Pearson, 2018), 285–287.
8.
Implikasi
Teori Humanistik dalam Konteks Pendidikan Kontemporer
Dalam menghadapi
tantangan abad ke-21—yang ditandai oleh perubahan sosial, kemajuan teknologi,
kompleksitas global, dan krisis kemanusiaan—pendidikan dituntut untuk tidak
hanya mencetak individu yang kompeten secara kognitif, tetapi juga berkarakter,
adaptif, reflektif, dan memiliki kesadaran diri yang tinggi.
Teori belajar humanistik, dengan orientasinya pada pengembangan potensi manusia
secara utuh, menjadi salah satu pendekatan yang relevan dan krusial untuk
menjawab tantangan tersebut.
8.1.
Penguatan Pendidikan Berbasis Karakter dan
Nilai
Teori humanistik
mendukung pendekatan pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai universal seperti
empati, kejujuran, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Dalam konteks Indonesia, hal ini sejalan dengan arah kebijakan Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK) yang tertuang dalam Permendikbud
No. 20 Tahun 2018, yang menegaskan pentingnya integrasi nilai
karakter ke dalam setiap aspek pembelajaran¹.
Dengan menekankan
aspek afektif dan pembentukan kepribadian, teori humanistik berkontribusi dalam
menciptakan lingkungan belajar yang mendorong peserta didik menjadi pribadi
yang berintegritas, peduli sosial, dan memiliki kesadaran moral. Ini mendukung
terwujudnya Profil Pelajar Pancasila, yang
menjadi tujuan strategis pendidikan nasional saat ini².
8.2.
Relevansi dalam Implementasi Kurikulum Merdeka
Kurikulum
Merdeka yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia menekankan prinsip pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik, fleksibilitas dalam perencanaan pembelajaran, dan
penguatan dimensi karakter serta potensi individual. Nilai-nilai ini merupakan
manifestasi langsung dari prinsip-prinsip teori humanistik³.
Dalam Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka, guru didorong untuk
melakukan diferensiasi proses, konten, dan produk belajar,
berdasarkan minat, kesiapan, dan profil belajar siswa⁴. Hal ini mencerminkan
semangat Carl Rogers tentang student-centered learning, di mana
setiap peserta didik diperlakukan sebagai individu unik yang layak mendapatkan
pengalaman belajar yang relevan dengan dirinya.
8.3.
Dukungan terhadap Strategi Pendidikan Inklusif
dan Responsif
Teori humanistik
memandang setiap individu sebagai makhluk yang berhak belajar tanpa diskriminasi dan dengan
penghargaan terhadap perbedaan. Dalam konteks pendidikan
inklusif, pendekatan humanistik sangat cocok karena menekankan pentingnya
relasi interpersonal, pemahaman empatik, dan penghormatan terhadap kebutuhan
khusus⁵.
Kebijakan Pendidikan
Inklusif untuk Semua yang diusung oleh UNESCO serta Permendikbud
No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif di Indonesia
menekankan prinsip kesetaraan akses pendidikan, yang dapat diperkaya melalui
pendekatan humanistik yang adaptif dan berbasis empati⁶.
8.4.
Penguatan Kecakapan Abad ke-21 dan Pembelajaran
Seumur Hidup
Teori humanistik
sangat mendukung pembentukan kompetensi-kompetensi utama abad ke-21
seperti kreativitas, kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi.
Semua ini tidak hanya memerlukan penguasaan pengetahuan, tetapi juga
pengembangan kepribadian, keberanian mengambil risiko, dan kesadaran diri⁷.
Lebih jauh,
pendekatan humanistik memfasilitasi berkembangnya pembelajar
sepanjang hayat (lifelong learners), karena menanamkan motivasi
intrinsik, kemandirian belajar, dan rasa cinta terhadap proses belajar itu
sendiri. Prinsip ini selaras dengan Sustainable Development Goal 4 (SDG-4)
yang menekankan inklusivitas dan keberlanjutan dalam pendidikan⁸.
8.5.
Peran Guru sebagai Fasilitator Transformasi
Implikasi lain dari
teori humanistik adalah pergeseran peran guru dari pengajar menjadi fasilitator
pertumbuhan. Guru tidak lagi semata-mata menyampaikan materi,
tetapi mendampingi, menginspirasi, dan menciptakan suasana kelas yang suportif
secara emosional dan sosial⁹. Ini menuntut pelatihan dan pengembangan
profesional yang memadai, terutama dalam membangun kompetensi
sosial-emosional dan relasional guru.
Kesimpulan Sementara
Dalam konteks
pendidikan kontemporer yang mengedepankan nilai kemanusiaan, pembelajaran yang
bermakna, dan pengembangan potensi multidimensional peserta didik, teori
belajar humanistik menawarkan kerangka yang sangat relevan dan aplikatif.
Integrasi teori ini ke dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, terutama
melalui Kurikulum Merdeka, penguatan karakter, dan pendidikan inklusif,
merupakan langkah strategis menuju sistem pendidikan yang lebih berkeadilan,
reflektif, dan transformatif.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK), Pasal 2.
[2]
Kemendikbudristek RI, Profil
Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan
Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 4–8.
[3]
Kemendikbudristek RI, Kurikulum
Merdeka: Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 5–11.
[4]
Ibid., 14–17.
[5]
Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A
Therapist’s View of Psychotherapy
(Boston: Houghton Mifflin, 1961), 284–286.
[6]
Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 2.
[7]
Trilling, Bernie, and Charles Fadel, 21st
Century Skills: Learning for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 55–61.
[8]
UNESCO, Education 2030: Incheon
Declaration and Framework for Action for the Implementation of Sustainable
Development Goal 4 (Paris: UNESCO,
2015), 16–19.
[9]
Nel Noddings, Caring: A Relational
Approach to Ethics and Moral Education,
2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2005), 172–176.
9.
Studi
Kasus dan Implementasi Praktis
Teori belajar
humanistik tidak hanya memiliki kekuatan konseptual, tetapi juga telah
menemukan bentuk penerapan yang nyata dalam praktik pendidikan, baik di
Indonesia maupun secara global. Implementasi teori ini tampak dalam model-model
sekolah alternatif, pendekatan pembelajaran individual, serta kebijakan
pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter dan kemerdekaan belajar.
Bagian ini akan memaparkan beberapa studi kasus dan contoh konkret implementasi
teori humanistik dalam praktik pendidikan kontemporer.
9.1.
Studi Kasus: Sekolah Alam Indonesia
Sekolah
Alam Indonesia, yang berdiri sejak tahun 1998, merupakan salah
satu contoh penerapan pendekatan humanistik dalam pendidikan di Indonesia.
Sekolah ini mengembangkan pembelajaran yang memadukan alam, pengalaman hidup
nyata, nilai spiritual, dan kemerdekaan belajar. Dalam prosesnya, siswa
dibimbing untuk mengenali minat dan bakat mereka, diberi ruang berekspresi,
serta dilibatkan secara aktif dalam merancang kegiatan pembelajaran mereka
sendiri¹.
Pembelajaran
berbasis pengalaman (experiential learning),
pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), dan
pendekatan reflektif menjadi metode utama yang digunakan. Guru berperan sebagai
fasilitator, bukan sebagai otoritas absolut, sebagaimana dianjurkan dalam
prinsip Carl Rogers tentang pembelajaran berpusat pada peserta didik².
Implementasi ini
sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka dan Profil
Pelajar Pancasila yang menekankan pembelajaran kontekstual,
kolaboratif, dan berbasis nilai³.
9.2.
Implementasi di Sekolah Formal: Praktik di
Kelas Inklusif SMP Negeri 2 Sleman
SMP Negeri 2 Sleman,
Yogyakarta, menjadi salah satu contoh sukses penerapan pendekatan humanistik
dalam konteks pendidikan inklusif. Sekolah
ini membuka ruang bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk belajar bersama
dengan siswa reguler dalam suasana saling menerima dan saling menghormati.
Guru-guru dilatih untuk mengembangkan empati, komunikasi non-verbal, dan
pendekatan diferensiatif untuk menyesuaikan materi dan strategi belajar⁴.
Penerapan strategi person-centered
learning membantu siswa berkebutuhan khusus membangun rasa percaya
diri dan mengalami pembelajaran yang bermakna sesuai potensi masing-masing. Hal
ini merupakan bentuk konkret dari penerapan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif, yang mensyaratkan lingkungan belajar yang
ramah dan partisipatif⁵.
9.3.
Program P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar
Pancasila)
Salah satu
implementasi berskala nasional dari pendekatan humanistik adalah Program
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam Kurikulum Merdeka.
Program ini mendorong peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan yang berakar
pada kehidupan nyata, bermuatan nilai, dan memfasilitasi refleksi personal⁶.
Misalnya, dalam P5
bertema “Kearifan Lokal”, siswa diajak untuk menggali potensi budaya di daerahnya,
berinteraksi dengan masyarakat, dan menuliskan refleksi pribadi dalam jurnal
atau portofolio. Guru bertindak sebagai fasilitator, mendorong pemaknaan
mendalam terhadap pengalaman, bukan sekadar menilai hasil kerja akhir. Hal ini
sejalan dengan pendekatan experiential dan reflective
learning dalam teori humanistik⁷.
9.4.
Pembelajaran Berbasis Konseling Humanistik di
Madrasah
Di beberapa madrasah
aliyah (MA), khususnya madrasah berbasis boarding school,
pendekatan humanistik mulai diterapkan melalui model bimbingan
dan konseling berbasis empati dan refleksi. Guru atau
pembimbing melakukan pendekatan personal untuk memahami kondisi psikologis
siswa dan membangun relasi yang positif. Proses pembelajaran dipadukan dengan
kegiatan seperti journaling, sharing session, dan mentoring nilai-nilai
keislaman secara kontekstual⁸.
Pendekatan ini
memungkinkan siswa mengekspresikan nilai-nilai personal, mengelola konflik
batin, dan tumbuh dalam lingkungan yang memanusiakan, sebagaimana prinsip dasar
teori Carl Rogers dan Maslow tentang aktualisasi diri.
Kesimpulan Sementara
Berbagai studi kasus
di atas menunjukkan bahwa teori belajar humanistik tidak hanya dapat diterapkan
dalam sekolah alternatif, tetapi juga relevan dan mungkin diimplementasikan dalam
sistem pendidikan formal. Melalui penerapan strategi seperti student-centered
learning, pembelajaran berbasis proyek, refleksi personal, dan
konseling empatik, pendekatan ini mendukung terciptanya pembelajaran yang
bermakna, demokratis, dan transformatif. Ini sejalan dengan cita-cita
pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003,
yaitu pendidikan yang “mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh
dan berkesinambungan”⁹.
Footnotes
[1]
Sekolah Alam Indonesia, “Filosofi Pendidikan,” diakses 17 Mei 2025, https://sekolahalamindonesia.sch.id/filosofi/.
[2]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice
Hall, 1994), 103–107.
[3]
Kemendikbudristek RI, Kurikulum
Merdeka: Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 6–9.
[4]
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Yogyakarta, Laporan Praktik Baik Pendidikan Inklusif di Sleman (Yogyakarta: LPMP DIY, 2020), 15–18.
[5]
Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, Pasal 2.
[6]
Kemendikbudristek RI, Panduan
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 7–12.
[7]
David A. Kolb, Experiential Learning:
Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 38–41.
[8]
Nurul Huda, “Pendekatan Humanistik dalam Konseling Islam di Madrasah,” Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam 5, no. 2 (2021): 101–109.
[9]
Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
10. Kesimpulan dan Rekomendasi
10.1.
Kesimpulan
Teori belajar
humanistik hadir sebagai respons terhadap pendekatan behavioristik dan
kognitivistik yang cenderung mengabaikan aspek personal, emosional, dan
nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Dengan menekankan pentingnya pengembangan
potensi manusia secara utuh, teori ini memandang peserta didik
sebagai subjek aktif yang memiliki kehendak bebas, nilai personal, dan motivasi
untuk bertumbuh menuju aktualisasi diri.
Landasan filosofis
teori ini berasal dari eksistensialisme dan fenomenologi, sementara dari sisi
psikologis berakar pada pemikiran Abraham Maslow dan Carl Rogers. Kedua tokoh
ini menegaskan bahwa belajar hanya akan bermakna bila terkait dengan
pengalaman, nilai, dan kebutuhan internal peserta didik¹.
Penerapan teori
humanistik terbukti mampu menumbuhkan motivasi intrinsik, kesadaran diri,
empati, dan otonomi belajar. Hal ini terlihat dari berbagai
studi kasus di lembaga pendidikan alternatif dan formal, termasuk implementasi
kebijakan nasional seperti Kurikulum Merdeka dan Program
P5 yang menekankan pembelajaran kontekstual dan berpusat pada
peserta didik².
Namun, seperti teori
lainnya, pendekatan humanistik juga memiliki keterbatasan. Evaluasi yang
bersifat subjektif, sulitnya penerapan dalam kelas besar, dan ketidakcocokan
dengan mata pelajaran teknis menjadi tantangan tersendiri³. Oleh karena itu,
pendekatan ini perlu diintegrasikan secara bijak dengan strategi pembelajaran
lain yang saling melengkapi.
Secara keseluruhan,
teori belajar humanistik sangat relevan dalam menjawab tuntutan pendidikan abad
ke-21, terutama dalam membentuk peserta didik yang berkarakter,
reflektif, mandiri, dan cinta belajar sepanjang hayat,
sebagaimana visi Profil Pelajar Pancasila dalam
sistem pendidikan Indonesia⁴.
10.2.
Rekomendasi
Berdasarkan uraian
dan temuan di atas, terdapat beberapa rekomendasi penting bagi para pemangku
kepentingan pendidikan:
10.2.1.
Bagi
Pendidik
·
Menerapkan prinsip student-centered
learning melalui strategi pembelajaran berbasis pengalaman,
refleksi, dan diferensiasi.
·
Mengembangkan kemampuan
empatik dan komunikasi interpersonal untuk menciptakan lingkungan belajar yang
suportif secara emosional.
·
Mendorong peserta didik
untuk aktif mengeksplorasi nilai-nilai personal dan sosial dalam setiap proses
belajar.
10.2.2.
Bagi
Lembaga Pendidikan
·
Memberikan pelatihan guru
terkait pendekatan humanistik, khususnya dalam hal asesmen formatif,
pembelajaran reflektif, dan dukungan emosional siswa.
·
Mendesain kurikulum dan
kegiatan pembelajaran yang memberi ruang aktualisasi diri dan keberagaman gaya
belajar siswa.
·
Menyediakan sarana
pembelajaran yang memungkinkan terjadinya pembelajaran berbasis pengalaman,
kolaboratif, dan kontekstual.
10.2.3.
Bagi
Pembuat Kebijakan
·
Mengintegrasikan
prinsip-prinsip humanistik secara eksplisit dalam dokumen kebijakan dan
regulasi pendidikan nasional.
·
Mendorong sekolah dan
madrasah untuk mengembangkan model-model inovatif berbasis pendekatan
humanistik.
·
Memperkuat sinergi antara
teori belajar humanistik dengan kerangka Profil Pelajar
Pancasila, PPK, dan SDG
4: Pendidikan Berkualitas untuk Semua⁵.
Footnotes
[1]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice
Hall, 1994), 103–108; Abraham H. Maslow, Motivation
and Personality, 3rd ed. (New York:
Harper & Row, 1987), 17–35.
[2]
Kemendikbudristek RI, Kurikulum
Merdeka: Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, 2022), 6–11.
[3]
Robert E. Slavin, Educational Psychology:
Theory and Practice, 11th ed.
(Boston: Pearson, 2018), 284–287.
[4]
Kemendikbudristek RI, Profil
Pelajar Pancasila (Jakarta: Badan
Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2021), 4–9.
[5]
UNESCO, Education 2030: Incheon
Declaration and Framework for Action for the Implementation of Sustainable
Development Goal 4 (Paris: UNESCO,
2015), 9–15.
Daftar Pustaka
Combs, A. W. (1982). Myths in education: Beliefs
that hinder progress and their alternatives. Allyn & Bacon.
Combs, A. W., & Snygg, D. (1959). Individual
behavior: A new frame of reference for psychology. Harper & Row.
Farrell, T. S. C. (2014). Reflective practice in
ESL teacher development groups. Palgrave Macmillan.
Gazda, G. M. (1973). Humanistic learning theory
and human values education. National Education Association.
Huitt, W. (2009). Humanism and open education. Educational
Psychology Interactive. https://www.edpsycinteractive.org/topics/affect/humed.html
Kemendikbudristek RI. (2018). Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Jakarta: Kemendikbud.
Kemendikbudristek RI. (2021). Profil Pelajar
Pancasila. Jakarta: Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan.
Kemendikbudristek RI. (2022). Kurikulum Merdeka:
Panduan pembelajaran dan asesmen. Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD,
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kemendikbudristek RI. (2022). Panduan Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD,
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kolb, D. A. (1984). Experiential learning:
Experience as the source of learning and development. Prentice Hall.
Knowles, M. S. (1975). Self-directed learning: A
guide for learners and teachers. Association Press.
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DIY.
(2020). Laporan praktik baik pendidikan inklusif di Sleman. Yogyakarta:
LPMP DIY.
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation.
Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346
Maslow, A. H. (1968). Toward a psychology of
being (2nd ed.). Van Nostrand Reinhold.
Maslow, A. H. (1987). Motivation and personality
(3rd ed.). Harper & Row.
McMillan, J. H. (2014). Classroom assessment:
Principles and practice for effective standards-based instruction (6th
ed.). Pearson.
Noddings, N. (2005). Caring: A relational
approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California
Press.
Noddings, N. (2012). Philosophy of education
(3rd ed.). Westview Press.
Popham, W. J. (2008). Transformative assessment.
ASCD.
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi
Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau
Bakat Istimewa. Jakarta: Depdiknas.
Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Kemendikbud.
Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A
therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.
Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn.
Charles E. Merrill.
Rogers, C. R., & Freiberg, H. J. (1994). Freedom
to learn (3rd ed.). Merrill/Prentice Hall.
Sekolah Alam Indonesia. (n.d.). Filosofi
pendidikan. Retrieved May 17, 2025, from https://sekolahalamindonesia.sch.id/filosofi/
Slavin, R. E. (2018). Educational psychology:
Theory and practice (11th ed.). Pearson.
Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st
century skills: Learning for life in our times. Jossey-Bass.
UNESCO. (2015). Education 2030: Incheon
declaration and framework for action for the implementation of Sustainable
Development Goal 4. Paris: UNESCO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar