Sabtu, 31 Mei 2025

Pemikiran George Berkeley: Immaterialisme, Epistemologi, dan Sintesis Filsafat serta Teologi dalam Tradisi Anglikan

Pemikiran George Berkeley

Immaterialisme, Epistemologi, dan Sintesis Filsafat serta Teologi dalam Tradisi Anglikan


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran filsuf dan uskup Anglikan George Berkeley (1685–1753), dengan menyoroti doktrin immaterialisme yang menjadi fondasi utama sistem filsafatnya. Berkeley menolak eksistensi substansi material yang independen dari persepsi dan menyatakan bahwa realitas dunia sepenuhnya terdiri atas ide-ide yang hadir dalam kesadaran. Dengan mengusung prinsip esse est percipi (“menjadi adalah dipersepsi”), Berkeley membangun suatu sistem epistemologi yang berbasis pada pengalaman inderawi dan peran aktif pikiran, sembari mempertahankan posisi teistik melalui konsep Tuhan sebagai Perseptor Universal. Artikel ini mengeksplorasi konteks historis dan intelektual kelahiran pemikiran Berkeley, hubungan antara filsafat dan teologi dalam tradisi Anglikan, serta tanggapan terhadap materialisme dan sains mekanistik. Ditekankan pula pengaruh Berkeley dalam sejarah filsafat, baik dalam idealisme, fenomenologi, maupun filsafat pikiran, serta relevansi kontemporernya dalam diskusi realitas virtual, kesadaran, dan kritik terhadap reduksionisme ilmiah. Dengan pendekatan interdisipliner, artikel ini menegaskan bahwa pemikiran Berkeley tetap bernilai sebagai tawaran metafisika dan teologi yang integral, yang menggabungkan rasionalitas filosofis dengan spiritualitas Kristen.

Kata Kunci: George Berkeley; immaterialisme; epistemologi empiris; idealisme subjektif; filsafat dan teologi; persepsi; Tuhan; realitas virtual; filsafat pikiran; materialisme.


PEMBAHASAN

Pemikiran Berkeley dalam Konteks Filsafat Modern


1.           Pendahuluan

George Berkeley (1685–1753) merupakan salah satu filsuf besar dari tradisi empirisme Inggris yang sekaligus menempati posisi unik sebagai tokoh gerejawi dalam lingkungan Anglikan. Ia dikenal luas melalui doktrin filsafatnya yang disebut immaterialisme atau idealismenya, yang meradikalkan prinsip-prinsip empirisme dengan menyatakan bahwa realitas material tidak memiliki eksistensi independen dari persepsi pikiran. Dalam pandangannya yang radikal namun teologis ini, keberadaan segala sesuatu bergantung pada persepsi, dan segala yang ada terus-menerus dipelihara eksistensinya oleh persepsi Tuhan sebagai perceptor universal1.

Pemikiran Berkeley lahir dalam konteks dinamika filsafat modern awal yang menyaksikan munculnya revolusi ilmiah Newtonian dan perkembangan epistemologi empiris yang diwakili oleh John Locke. Berbeda dari Locke yang menerima eksistensi materi eksternal sebagai penyebab ide-ide dalam pikiran, Berkeley menolak sepenuhnya keberadaan materi sebagai substansi terpisah dari persepsi. Ia justru menyatakan bahwa semua objek fisik hanyalah kumpulan ide yang diterima dalam pikiran dan tidak ada secara independen di luar pikiran2.

Sebagai seorang uskup dalam Gereja Anglikan, Berkeley menyelaraskan gagasan filsafatnya dengan doktrin teologis, terutama dalam usahanya melawan ateisme, skeptisisme, dan materialisme mekanistik yang mulai merambah pemikiran Eropa sejak abad ke-17. Dengan mengembangkan sistem filsafat yang berakar pada pengalaman inderawi namun berujung pada keharusan eksistensi Tuhan, Berkeley menawarkan sintesis yang khas antara filsafat dan teologi. Gagasannya bukan sekadar reaksi atas persoalan filsafat spekulatif, tetapi juga suatu upaya apologetik untuk mempertahankan agama dan keimanan dalam zaman rasionalitas baru3.

Signifikansi pemikiran Berkeley tidak hanya terbatas pada perdebatan metafisika, tetapi juga menyentuh ranah epistemologi, filsafat bahasa, dan bahkan teori persepsi yang masih diperdebatkan dalam konteks kontemporer. Oleh karena itu, memahami pemikiran George Berkeley menjadi penting untuk menelusuri akar-akar idealisme modern sekaligus menilai relevansi ide-ide metafisik dan teologis dalam lanskap intelektual saat ini4.


Footnotes

[1]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett, 1982), 25–30.

[2]                John P. Wright, “Berkeley, the Mind, and the Natural World,” in The Cambridge Companion to Berkeley, ed. Kenneth P. Winkler (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 94–95.

[3]                A. A. Luce, Berkeley's Immaterialism: A Commentary on His Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (London: Thomas Nelson, 1945), 3–7.

[4]                Georges Dicker, Berkeley's Idealism: A Critical Examination (Oxford: Oxford University Press, 2011), 1–5.


2.           Biografi Intelektual George Berkeley

George Berkeley lahir pada 12 Maret 1685 di County Kilkenny, Irlandia, sebagai bagian dari komunitas Anglo-Irish yang merupakan bagian dari kelas menengah berpendidikan dalam struktur kolonial Inggris di Irlandia1. Pada usia lima belas tahun, Berkeley diterima di Trinity College Dublin, institusi akademik paling terkemuka di Irlandia kala itu, di mana ia mempelajari matematika, logika, bahasa klasik, dan filsafat, serta mengembangkan minat yang mendalam terhadap persoalan metafisika dan teori pengetahuan2.

Berkeley memperoleh gelar B.A. pada tahun 1704 dan M.A. pada 1707. Selama masa studinya, ia mulai menunjukkan ketertarikan terhadap pemikiran filsuf-filsuf besar seperti Descartes, Locke, dan Malebranche. Namun demikian, ia segera mengembangkan pendekatan kritis terhadap gagasan-gagasan mereka, khususnya terhadap konsep “substansi material” yang ia anggap tidak dapat dipertahankan secara logis maupun empiris3. Pada usia muda, yaitu pada tahun 1709, Berkeley menerbitkan karya An Essay Towards a New Theory of Vision, yang menjadi cikal bakal dari sistem filsafatnya yang lebih matang dalam A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710)4.

Karier akademik Berkeley berkembang pesat. Ia menjadi fellow di Trinity College dan terlibat dalam pengajaran serta perdebatan filosofis di lingkungan universitas. Namun keterlibatannya dalam dunia akademik tidak memisahkannya dari komitmen religius. Sejak awal, Berkeley menunjukkan perhatian yang besar terhadap teologi, dan hal ini tampak dalam cara ia menautkan epistemologi empiris dengan pembelaan terhadap iman Kristen. Dalam catatannya, Berkeley menyatakan bahwa ia memandang filsafat sebagai jalan untuk “menghilangkan skeptisisme, atheisme, dan ketidakpercayaan” yang mengancam iman orang-orang sezamannya5.

Pada tahun 1721, Berkeley ditahbiskan sebagai uskup Anglikan dan kemudian diangkat menjadi Uskup Cloyne pada tahun 1734. Dalam kapasitas ini, ia tetap aktif menulis dan terlibat dalam persoalan sosial serta keagamaan. Salah satu kontribusinya yang menonjol di masa itu adalah upaya untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi misionaris di Bermuda, dengan maksud menyebarkan pendidikan dan ajaran Kristen ke Dunia Baru. Meskipun proyek ini tidak terlaksana karena masalah politik dan pendanaan, rencana tersebut memperlihatkan visi Berkeley yang memadukan pemikiran filosofis dengan komitmen pastoral6.

George Berkeley wafat pada 14 Januari 1753 di Oxford. Meskipun semasa hidupnya pemikirannya banyak disalahpahami dan bahkan dikritik keras oleh beberapa filsuf seperti Thomas Reid dan David Hume, namun warisan intelektualnya tetap kuat, dan ia kini diakui sebagai tokoh penting dalam tradisi idealisme serta filsafat modern. Integrasi antara refleksi metafisik dan keimanan religius menjadikan Berkeley sebagai sosok unik yang menghubungkan dunia filsafat dan teologi dalam satu kesatuan sistemik yang konsisten7.


Footnotes

[1]                David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 1–2.

[2]                Kenneth P. Winkler, ed., The Cambridge Companion to Berkeley (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 6–7.

[3]                A. A. Luce, Berkeley's Immaterialism: A Commentary on His Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (London: Thomas Nelson, 1945), 15–18.

[4]                George Berkeley, An Essay Towards a New Theory of Vision, ed. David R. Wilkins (Dublin: Trinity College Dublin, 2000), 3–5.

[5]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett, 1982), xiii.

[6]                Tom Jones, George Berkeley: A Philosophical Life (Princeton: Princeton University Press, 2021), 213–220.

[7]                Georges Dicker, Berkeley's Idealism: A Critical Examination (Oxford: Oxford University Press, 2011), 10–13.


3.           Konteks Historis dan Filsafat Modern Awal

Pemikiran George Berkeley lahir dan berkembang dalam lanskap intelektual yang dinamis dan penuh gejolak di Eropa pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Masa ini merupakan titik balik dalam sejarah filsafat Barat, ditandai oleh lahirnya filsafat modern yang menolak otoritas skolastik dan berusaha membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman, akal, dan observasi sistematis terhadap alam. Periode ini juga menyaksikan berkembangnya ilmu pengetahuan eksperimental pasca-revolusi ilmiah, yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Isaac Newton dan Francis Bacon1.

Dalam ranah filsafat, dominasi filsafat skolastik berbasis Aristotelianisme mulai digantikan oleh dua kubu besar: rasionalisme kontinental, seperti yang diwakili oleh René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz; serta empirisme Inggris, yang dikembangkan oleh John Locke, George Berkeley, dan kemudian David Hume2. Rasionalisme menekankan kemampuan akal murni untuk mencapai kebenaran metafisik tanpa bantuan pengalaman inderawi, sedangkan empirisme menekankan bahwa semua pengetahuan bersumber dari pengalaman dan persepsi indera.

John Locke (1632–1704) sebagai pendahulu langsung Berkeley memberikan fondasi penting bagi empirisme Inggris melalui karya An Essay Concerning Human Understanding (1690), di mana ia menyatakan bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa (kertas kosong) yang diisi oleh pengalaman3. Namun, Locke tetap mempertahankan keberadaan dunia material sebagai penyebab dari ide-ide yang diterima oleh indera. Inilah titik yang kemudian dikritik oleh Berkeley, yang menilai bahwa keberadaan materi eksternal sebagai substansi tak terindera adalah asumsi metafisik yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman langsung4.

Selain konteks filosofis, perlu dipahami pula bahwa pemikiran Berkeley terbentuk dalam suasana teologis dan kultural Inggris pasca-Reformasi. Gereja Anglikan, sebagai institusi dominan, tengah berada dalam upaya meneguhkan kembali otoritas religius di tengah arus skeptisisme dan materialisme yang mulai mengakar. Para teolog dan filsuf Kristen mulai melihat filsafat sebagai alat apologetik untuk membela iman terhadap ancaman dari mekanisme ilmiah dan atheisme filosofis, seperti yang terlihat dalam pemikiran Hobbes dan kemudian berkembang dalam bentuk deisme5.

Berkeley memosisikan dirinya dalam perlintasan antara empirisme dan teologi Kristen. Ia tidak hanya ingin merumuskan teori pengetahuan berdasarkan pengalaman inderawi, tetapi juga menggunakannya untuk menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan justru merupakan satu-satunya fondasi stabil bagi segala pengetahuan dan eksistensi. Dengan demikian, filsafat Berkeley harus dipahami bukan hanya sebagai respon terhadap empirisme Locke atau sains Newtonian, tetapi juga sebagai proyek intelektual untuk mempertahankan iman Kristen dalam bahasa filsafat yang relevan dengan zaman modern6.

Kritik Berkeley terhadap substansi material dapat dilihat sebagai bagian dari usaha untuk membersihkan filsafat dari konsep-konsep metafisis yang tidak dapat diuji. Dalam hal ini, ia sejalan dengan semangat anti-skolastik zamannya, namun berbeda dari para empiris lain karena ia menggantikan substansi material dengan ide-ide dalam pikiran, dan menunjuk Tuhan sebagai penghubung permanen antara persepsi dan stabilitas dunia yang kita alami7.


Footnotes

[1]                Peter Anstey, The Philosophy of Robert Boyle (London: Routledge, 2000), 12–15; Steven Shapin, The Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 30–36.

[2]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (London: Routledge, 2001), 21–25.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–106.

[4]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett, 1982), §18–23.

[5]                David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 51–53.

[6]                Kenneth P. Winkler, ed., The Cambridge Companion to Berkeley (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 33–35.

[7]                Georges Dicker, Berkeley’s Idealism: A Critical Examination (Oxford: Oxford University Press, 2011), 20–22.


4.           Filsafat Immaterialisme

Filsafat George Berkeley mencapai puncaknya dalam doktrin yang ia sebut immaterialisme, yang secara fundamental menolak keberadaan materi sebagai substansi independen dari pikiran. Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang disebut “benda” sebenarnya hanyalah kumpulan ide yang hadir dalam kesadaran; dengan kata lain, eksistensi sesuatu bergantung sepenuhnya pada keberadaannya sebagai objek persepsi. Konsep utama Berkeley dapat diringkas dalam ungkapan terkenalnya: esse est percipi—“menjadi adalah dipersepsi1.

Berbeda dengan John Locke yang mengemukakan adanya primary qualities (seperti bentuk dan gerakan) yang inheren dalam benda dan secondary qualities (seperti warna dan rasa) yang bersifat subyektif, Berkeley menolak dikotomi ini. Ia berargumen bahwa semua kualitas, baik primer maupun sekunder, eksis hanya dalam persepsi. Ia menulis: “The table I write on, I say, exists... but that means only that I see and feel it; and if I were out of my study I should say it existed—meaning that if I were in my study I might perceive it.”2 Dengan demikian, tidak ada benda yang eksis secara independen di luar persepsi; semua eksistensi bersifat mental.

Dalam A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), Berkeley mengajukan kritik mendalam terhadap gagasan substance material, yang menurutnya tidak hanya tidak dapat dibuktikan, tetapi juga menimbulkan kebingungan metafisik. Ia menolak kepercayaan pada dunia fisik eksternal yang tidak dapat dijangkau langsung oleh persepsi manusia, karena keberadaan semacam itu memerlukan suatu “substansi” yang tidak pernah hadir dalam pengalaman langsung3. Ia menganggap kepercayaan pada materi sebagai bentuk spekulasi metafisik yang tidak berdasar.

Sebagai ganti dari realitas material, Berkeley mengajukan sistem metafisika yang berbasis pada pikiran (mind) dan ide (ideas). Dalam sistem ini, hanya ada dua jenis eksistensi yang sahih: pikiran aktif (yaitu spirit, seperti manusia dan Tuhan) dan ide pasif (objek persepsi). Pikiranlah yang merasakan, memersepsi, dan mengatur ide-ide ini. Semua hal yang kita sebut “dunia luar” adalah rangkaian ide yang ditanamkan dalam kesadaran oleh sebab yang lebih tinggi, yaitu Tuhan4.

Peran Tuhan dalam filsafat Berkeley sangat penting. Untuk menjawab keberatan bahwa benda-benda akan lenyap ketika tidak dipersepsi oleh manusia, Berkeley menjelaskan bahwa ide-ide tetap eksis karena selalu dipersepsi oleh Tuhan, Sang Perseptor Universal. Tuhan menjamin kontinuitas dan keteraturan dunia fenomenal melalui persepsi-Nya yang tidak terputus. Ia menyatakan bahwa: “The ideas imprinted on the senses by the Author of Nature are called real things.”5 Maka, dunia ini bukanlah dunia material, melainkan dunia ide yang konsisten karena diciptakan dan dipelihara oleh Tuhan dalam tatanan yang teratur.

Immaterialisme Berkeley bukan sekadar teori epistemologis atau metafisik, tetapi juga bersifat apologetik. Dengan menolak materi dan menyandarkan eksistensi dunia pada Tuhan, ia menentang ateisme dan skeptisisme yang tumbuh dalam dunia intelektual modern. Ia percaya bahwa jika dunia dipahami sebagai tatanan persepsi yang diberikan Tuhan, maka kehadiran ilahi dapat dirasakan dalam setiap aspek pengalaman manusia6.

Meski demikian, filsafat Berkeley menuai banyak kritik, terutama dari mereka yang menilai bahwa immaterialisme sulit diterima secara intuitif. Thomas Reid, misalnya, menuduh Berkeley mengingkari realitas dunia luar dan jatuh dalam subjektivisme radikal7. Namun demikian, warisan Berkeley tetap berpengaruh, terutama dalam perkembangan idealisme, fenomenologi, dan teori persepsi dalam filsafat modern.


Footnotes

[1]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett, 1982), §3.

[2]                George Berkeley, Three Dialogues between Hylas and Philonous, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 35.

[3]                A. A. Luce, Berkeley's Immaterialism: A Commentary on His Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (London: Thomas Nelson, 1945), 29–31.

[4]                Kenneth P. Winkler, “Berkeley and the Doctrine of Signs,” in The Cambridge Companion to Berkeley, ed. Kenneth P. Winkler (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 151–152.

[5]                Berkeley, Principles of Human Knowledge, §33.

[6]                David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 73–75.

[7]                Thomas Reid, An Inquiry into the Human Mind on the Principles of Common Sense, ed. Derek R. Brookes (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1997), 50–55.


5.           Epistemologi dan Teori Pengetahuan

George Berkeley meletakkan fondasi pemikirannya dalam kerangka epistemologi empiris, namun ia merevolusi pendekatan tersebut dengan mengusulkan bahwa seluruh pengetahuan bersumber dari persepsi inderawi dan pikiran, tanpa mengandaikan keberadaan materi eksternal. Sebagai filsuf yang berdiri dalam tradisi empirisme Inggris, Berkeley menerima prinsip dasar bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Namun, ia melangkah lebih jauh dari John Locke dengan menyangkal bahwa pengalaman menunjuk pada realitas eksternal yang berdiri sendiri1.

Dalam A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley membagi entitas epistemik ke dalam dua kategori besar: ide-ide (ideas) dan pikiran yang mempersepsikan (spirits). Ide-ide adalah obyek dari persepsi, dan hanya ada sejauh mereka dipersepsikan. Pikiran aktif (seperti manusia dan Tuhan) adalah subjek dari persepsi, yakni entitas yang mempersepsikan, berpikir, dan menghendaki2. Dengan demikian, dunia empiris bukanlah sekumpulan objek fisik yang berdiri independen, melainkan kumpulan ide yang hadir dalam kesadaran subjek.

Epistemologi Berkeley sangat erat kaitannya dengan kritiknya terhadap abstraksi. Ia menolak konsep “ide abstrak” sebagaimana dikembangkan oleh Locke, yang menyatakan bahwa manusia dapat membentuk ide umum (misalnya ide tentang “warna” tanpa warna tertentu, atau “benda” tanpa bentuk spesifik). Bagi Berkeley, semua ide selalu partikular dan konkret; gagasan tentang ide abstrak hanyalah ilusi metafisik yang tidak koheren secara epistemologis3. Dalam hal ini, Berkeley menegaskan bahwa pengetahuan tidak dibangun dari abstraksi metafisik, melainkan dari persepsi nyata yang langsung dan konkret.

Pengetahuan yang sahih, menurut Berkeley, adalah pengetahuan yang diperoleh dari hubungan tetap dan teratur antara ide-ide dalam pengalaman kita. Misalnya, ketika seseorang melihat bola jatuh ke tanah setelah dilempar, ia tidak mengetahui sebab-akibat secara metafisik, tetapi mengenali regularitas ide yang muncul dalam pengalaman. Oleh karena itu, epistemologi Berkeley menolak esensi tersembunyi (hidden essences) dari benda-benda, sebagaimana diyakini dalam tradisi skolastik atau mekanisme ilmiah awal4. Ilmu pengetahuan, bagi Berkeley, bukanlah pengetahuan tentang sebab-sebab transenden, tetapi tentang pola-pola ide yang dikodratkan oleh Tuhan.

Terkait dengan prinsip esse est percipi, Berkeley berpendapat bahwa eksistensi suatu objek dalam dunia pengetahuan sepenuhnya bergantung pada keberadaannya dalam persepsi atau kemungkinan untuk dipersepsikan. Namun, karena manusia tidak selalu mempersepsikan segala sesuatu setiap saat, maka diperlukan entitas yang selalu mempersepsikan seluruh ciptaan secara kontinyu, yaitu Tuhan. Dalam sistem epistemologinya, Tuhan menjamin objektivitas pengetahuan melalui persepsi ilahi yang bersifat universal dan tak terputus5.

Dengan menekankan bahwa ide tidak dapat mewakili apa pun di luar persepsi, Berkeley juga mengkritik representasionalisme dalam epistemologi—gagasan bahwa ide-ide mental mewakili benda eksternal yang tidak langsung. Ia menyatakan bahwa “kita tidak memiliki akses atau alasan untuk percaya pada dunia yang tersembunyi di balik persepsi kita,” karena semua yang dapat diketahui hadir langsung dalam pikiran6.

Filsafat pengetahuan Berkeley, meskipun sering dituduh subjektif atau bahkan solipsistik, sebenarnya berusaha mempertahankan objektivitas dan kepastian pengetahuan dengan memusatkan semua epistemologi pada pengalaman langsung yang dijamin oleh persepsi Tuhan. Dengan demikian, sistem epistemologi Berkeley tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap spekulasi metafisika, tetapi juga sebagai fondasi teologis bagi keyakinan terhadap tatanan dan rasionalitas dunia yang dapat dipahami7.


Footnotes

[1]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2.

[2]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett, 1982), §§2–3.

[3]                George Berkeley, Introduction to the Principles of Human Knowledge, in Principles, ed. Winkler, §10–14; lihat juga Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 45–49.

[4]                A. A. Luce, Berkeley's Immaterialism: A Commentary on His Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (London: Thomas Nelson, 1945), 83–86.

[5]                Berkeley, Principles, §§29–33; David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71–73.

[6]                Georges Dicker, Berkeley’s Idealism: A Critical Examination (Oxford: Oxford University Press, 2011), 27–30.

[7]                Tom Jones, George Berkeley: A Philosophical Life (Princeton: Princeton University Press, 2021), 167–170.


6.           Implikasi Teologis: Tuhan sebagai Perseptor Universal

Filsafat immaterialisme George Berkeley tidak dapat dipisahkan dari kerangka teologis yang mendasarinya. Sebagai seorang uskup dalam Gereja Anglikan, Berkeley memandang bahwa seluruh filsafatnya harus sejalan dengan dan bahkan memperkuat keyakinan terhadap keberadaan dan kehadiran Tuhan. Dalam sistem metafisika dan epistemologi yang ia bangun, Tuhan berperan sebagai Perseptor Universal, yakni entitas ilahi yang menjamin kesinambungan eksistensi dunia dan menjadikannya dapat dikenali secara teratur oleh manusia1.

Bagi Berkeley, keberadaan segala sesuatu bergantung pada persepsi. Namun karena manusia tidak selalu mempersepsikan segala sesuatu secara bersamaan, maka tanpa kehadiran perseptor yang selalu aktif, eksistensi benda-benda akan menjadi tidak stabil. Untuk menghindari kesimpulan yang absurd bahwa benda-benda hilang ketika tak dipersepsikan oleh manusia, Berkeley menegaskan bahwa Tuhan adalah pikiran abadi yang senantiasa mempersepsikan semua ide yang membentuk dunia. Dengan demikian, realitas dunia dijamin keberlanjutannya oleh persepsi ilahi yang konstan dan menyeluruh2.

Konsepsi ini terlihat jelas dalam Principles of Human Knowledge, ketika Berkeley menyatakan bahwa ide-ide yang tampak kepada kita dalam pengalaman bukanlah sekadar produk subjektivitas manusia, melainkan hasil dari kehendak dan hukum ilahi yang ditanamkan secara langsung dalam kesadaran kita: “The ideas imprinted on the senses by the Author of nature are called real things.”3 Dengan kata lain, keteraturan dan keajegan alam bukan berasal dari hukum-hukum mekanistik atau kekuatan fisik material, tetapi dari kehendak Tuhan yang mengatur persepsi kita.

Implikasi teologis dari pandangan ini sangat kuat. Dalam kerangka Anglikanisme, yang mencoba menegaskan kembali posisi spiritualitas Kristen dalam menghadapi skeptisisme dan ateisme zaman Pencerahan, filsafat Berkeley memberikan dasar metafisik bagi iman terhadap Tuhan yang personal, aktif, dan terus-menerus hadir dalam ciptaan. Filsafat ini menjadi benteng apologetik terhadap naturalisme materialistik dan deisme pasif yang mereduksi Tuhan menjadi pencipta yang tak lagi campur tangan dalam dunia4.

Lebih lanjut, Berkeley mengintegrasikan konsep providentia Dei—yakni pemeliharaan ilahi—ke dalam struktur metafisiknya. Dunia bukan hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga ditopang oleh persepsi-Nya secara terus-menerus. Oleh sebab itu, keberadaan objek-objek alam tidak bersifat otonom, tetapi sepenuhnya bersandar pada actus Dei yang bersifat kontinyu dan aktif5. Ini membedakan Berkeley dari Spinoza, yang menyamakan Tuhan dengan alam (pantheisme), karena dalam filsafat Berkeley, Tuhan tetap transenden, meskipun sepenuhnya imanen dalam aktivitas persepsi-Nya.

Selain itu, dengan menempatkan Tuhan sebagai perseptor universal, Berkeley membangun suatu sistem yang menolak skeptisisme radikal. Karena Tuhan adalah sumber keteraturan dan konsistensi ide-ide dalam pengalaman manusia, maka pengetahuan manusia terhadap dunia dapat dipercaya, sejauh dunia itu merepresentasikan hukum dan rancangan ilahi. Oleh karena itu, bagi Berkeley, kepercayaan terhadap realitas dunia dan terhadap keberadaan Tuhan saling menopang dalam satu sistem yang terpadu6.

Dalam konteks teologi Anglikan pada awal abad ke-18, gagasan ini sangat penting. Ketika banyak filsuf lain mulai memisahkan antara iman dan akal, Berkeley menunjukkan bahwa sistem empiris yang konsisten dapat sekaligus menjadi landasan iman religius yang rasional. Bahkan, dengan memusatkan realitas pada pikiran dan menempatkan Tuhan sebagai pusat dari semua persepsi, ia membuka jalan bagi pemahaman iman yang berakar dalam pengalaman langsung dan kesadaran manusia7.


Footnotes

[1]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 121–123.

[2]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett, 1982), §§29–33.

[3]                Ibid., §33.

[4]                David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 80–83.

[5]                A. A. Luce, Berkeley's Immaterialism: A Commentary on His Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (London: Thomas Nelson, 1945), 144–146.

[6]                Georges Dicker, Berkeley’s Idealism: A Critical Examination (Oxford: Oxford University Press, 2011), 37–40.

[7]                Tom Jones, George Berkeley: A Philosophical Life (Princeton: Princeton University Press, 2021), 193–195.


7.           Kritik terhadap Materialisme dan Ilmu Pengetahuan

Salah satu kontribusi paling signifikan dari George Berkeley dalam wacana filsafat modern adalah kritiknya yang tajam terhadap materialisme, khususnya dalam konteks filsafat alam dan perkembangan sains mekanistik pada abad ke-17 dan ke-18. Dalam kerangka pemikiran Berkeley, materialisme dianggap sebagai doktrin yang tidak hanya keliru secara metafisik, tetapi juga berbahaya secara teologis dan moral, karena mengarah pada ateisme, skeptisisme, dan reduksi nilai-nilai spiritual manusia menjadi sekadar fenomena mekanik1.

Materialisme, sebagaimana dimaksud Berkeley, adalah pandangan yang menyatakan bahwa realitas pada dasarnya terdiri dari benda-benda material yang eksis secara independen dari persepsi, dan bahwa proses-proses alam dapat dijelaskan sepenuhnya melalui hukum-hukum fisika yang mekanistik. Model ini sangat dipengaruhi oleh karya Isaac Newton, yang mengembangkan sistem mekanika universal berdasarkan prinsip-prinsip gerak dan gaya gravitasi. Bagi Berkeley, meskipun ia menghormati kontribusi Newton terhadap ilmu pengetahuan, ia menolak asumsi metafisik bahwa materi dan gaya merupakan realitas independen yang eksis tanpa pikiran2.

Dalam Principles of Human Knowledge, Berkeley menegaskan bahwa gagasan tentang materi eksternal sebagai “substansi” di luar pengalaman adalah hasil dari abstraksi yang keliru dan spekulasi filosofis yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman langsung. Ia menulis: “There is not any other substance than spirit, or that which perceives3. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa semua fenomena alam hanyalah ide-ide yang hadir dalam persepsi manusia dan secara tetap dijaga oleh Tuhan sebagai Perseptor Universal.

Kritik Berkeley terhadap sains mekanistik juga diarahkan kepada kecenderungan ilmuwan zaman itu untuk menggantikan Tuhan dengan hukum-hukum alam yang dianggap bekerja secara otomatis dan mandiri. Menurut Berkeley, pandangan semacam ini berbahaya karena mereduksi tatanan dunia menjadi sistem tanpa makna moral atau tujuan spiritual. Ia menulis bahwa hukum-hukum alam hanyalah “metode biasa” yang dipakai Tuhan untuk mengatur pengalaman manusia, bukan kekuatan yang eksis secara independen4.

Namun demikian, Berkeley tidak menolak ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Ia justru menghargai sains sebagai sarana untuk membaca dan memahami keteraturan alam sebagai ekspresi kehendak ilahi. Akan tetapi, sains harus dibingkai dalam kerangka metafisika idealisme teistik yang menjadikan Tuhan sebagai sumber utama keteraturan alam. Dalam pandangannya, ilmu pengetahuan yang sehat adalah sains yang tidak mengklaim lebih dari apa yang dapat dibuktikan secara empiris, dan yang mengakui keterbatasannya dalam menjelaskan hakikat terdalam realitas5.

Dalam hal ini, Berkeley mengambil posisi unik: ia menerima keabsahan pengalaman inderawi dan studi terhadap hukum-hukum alam, namun menolak ontologi materialisme yang menyertainya. Realitas fisik, bagi Berkeley, bukanlah entitas padat dan diam yang bekerja berdasarkan kekuatan buta, tetapi representasi dari tatanan ide yang disusun oleh Tuhan untuk disingkapkan melalui pengalaman manusia6.

Sikap kritis Berkeley terhadap materialisme juga membawanya pada kritik terhadap bahasa ilmiah yang cenderung menyamakan simbol matematika atau hukum mekanika dengan realitas sejati. Ia mengingatkan bahwa istilah-istilah seperti “gaya”, “tarikan”, atau “gravitasi” hanyalah label yang digunakan untuk menggambarkan pola persepsi, bukan entitas metafisik yang berdiri sendiri7.

Dengan demikian, kritik Berkeley terhadap materialisme bukanlah bentuk penolakan terhadap rasionalitas atau kemajuan ilmu pengetahuan, melainkan upaya untuk merebut kembali peran spiritual dan ilahi dalam memahami alam. Ia berusaha menunjukkan bahwa epistemologi dan metafisika yang sehat harus bertolak dari pengalaman langsung dan berpuncak pada pengakuan terhadap Tuhan sebagai dasar semua eksistensi dan keteraturan.


Footnotes

[1]                David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 86–89.

[2]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 145–148.

[3]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett, 1982), §7.

[4]                George Berkeley, Three Dialogues between Hylas and Philonous, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 86–88.

[5]                A. A. Luce, Berkeley's Immaterialism: A Commentary on His Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (London: Thomas Nelson, 1945), 172–176.

[6]                Georges Dicker, Berkeley’s Idealism: A Critical Examination (Oxford: Oxford University Press, 2011), 58–60.

[7]                Tom Jones, George Berkeley: A Philosophical Life (Princeton: Princeton University Press, 2021), 207–210.


8.           Pengaruh dan Kritik terhadap Pemikiran Berkeley

Pemikiran George Berkeley, khususnya doktrin immaterialisme, menimbulkan resonansi yang kompleks dalam perkembangan filsafat modern. Di satu sisi, gagasannya memengaruhi sejumlah tradisi besar, terutama idealisme dan fenomenologi; namun di sisi lain, ia juga menjadi sasaran kritik tajam dari para filsuf realis, empiris, dan skeptis yang meragukan kelayakan ontologi dan epistemologi berbasis persepsi semata.

8.1.       Pengaruh terhadap Tradisi Idealisme dan Epistemologi Modern

Berkeley sering dianggap sebagai pendahulu langsung dari idealisme transendental Kantian maupun idealisme absolut Jerman. Walaupun Immanuel Kant sendiri tidak secara eksplisit menyebut Berkeley sebagai pengaruh utama, banyak cendekiawan menyatakan bahwa problem yang dikemukakan oleh Berkeley—terutama soal hubungan antara persepsi, subjek, dan objek—menjadi landasan bagi Kant dalam merumuskan konsep bahwa “ruang dan waktu adalah bentuk intuisi subjektif1. Kant memuji Berkeley karena “mengangkat persoalan penting tentang kemungkinan pengalaman tanpa menyandarkannya pada keberadaan material yang tidak dikenal secara langsung2.

Dalam konteks filsafat Inggris, pengaruh Berkeley lebih terasa pada idealisme British abad ke-19, sebagaimana terlihat dalam karya F. H. Bradley dan J. M. E. McTaggart. Keduanya, meskipun mengembangkan sistem metafisika yang berbeda, menjadikan mind-dependence of reality sebagai prinsip sentral dari ontologi mereka. Di sisi lain, filsafat fenomenologi, terutama dalam karya Edmund Husserl, juga menunjukkan resonansi tertentu dengan Berkeley, terutama dalam hal penekanan terhadap pengalaman subyektif sebagai basis semua pengertian tentang objek3.

Di luar ranah metafisika, pemikiran Berkeley memberikan kontribusi signifikan terhadap teori persepsi dan filsafat bahasa. Dalam Three Dialogues between Hylas and Philonous, Berkeley telah mengantisipasi banyak argumen tentang representasi, fenomenalisme, dan semantik pengalaman—tema yang kemudian menjadi pusat perhatian dalam filsafat analitik kontemporer4.

8.2.       Kritik dari Para Filsuf Sezaman dan Setelahnya

Meski memiliki dampak luas, pemikiran Berkeley tidak lepas dari kritik, bahkan sejak masa hidupnya. Salah satu kritik paling terkenal datang dari Thomas Reid, pendiri Scottish Common Sense School, yang menyatakan bahwa immaterialisme Berkeley secara logis mengarah pada solipsisme, yaitu pandangan bahwa hanya diri sendiri yang eksis. Reid menegaskan bahwa akal sehat menolak ide bahwa meja yang kita lihat hanya ada jika kita memersepsikannya5.

David Hume, meskipun mengagumi konsistensi logis dari argumen Berkeley, secara tidak langsung mengkritik kesimpulan teistik Berkeley dengan mengembangkan skeptisisme empiris yang lebih radikal. Hume menolak keyakinan akan kausalitas dan bahkan identitas personal yang terus-menerus, yang membuatnya menjauh dari kesimpulan metafisik maupun teologis yang ditegaskan oleh Berkeley6.

Di era modern, banyak filsuf analitik seperti Bertrand Russell dan G. E. Moore mengkritik Berkeley karena mengaburkan perbedaan antara aktualitas dan kemungkinan, serta karena terlalu bergantung pada prinsip bahwa semua eksistensi bersifat “dipersepsi”. Moore, dalam The Refutation of Idealism (1903), mengajukan argumen bahwa keberadaan kesadaran tidak bisa diidentikkan dengan isi dari persepsi itu sendiri, karena keduanya memiliki sifat logis yang berbeda7.

Namun demikian, pada abad ke-20 dan 21, terjadi revaluasi positif terhadap pemikiran Berkeley, terutama dalam studi filsafat pikiran dan kognisi. Beberapa filsuf kontemporer seperti John Foster dan Howard Robinson melihat bahwa idealisme Berkeley dapat memberikan solusi menarik terhadap masalah mental causation dan nature of phenomenal consciousness yang sulit dijelaskan oleh fisikalisme murni8.

8.3.       Penilaian Umum

Berkeley tetap merupakan tokoh yang kontroversial namun visioner. Keberaniannya menantang konsensus filosofis zamannya tentang materi, persepsi, dan Tuhan memperlihatkan karakter seorang pemikir orisinal yang tidak puas dengan dogma-dogma rasionalisme maupun empirisme. Dengan mengintegrasikan filsafat dan teologi dalam satu sistem yang koheren, ia bukan hanya menyumbangkan teori metafisik yang kompleks, tetapi juga menegaskan bahwa dunia ini bermakna karena keberadaannya berakar pada Tuhan dan persepsi ilahi yang menyertainya9.


Footnotes

[1]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 38–41.

[2]                Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. James W. Ellington (Indianapolis: Hackett, 2001), §13.

[3]                Dan Zahavi, Husserl’s Phenomenology (Stanford: Stanford University Press, 2003), 45–47.

[4]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 194–197.

[5]                Thomas Reid, Essays on the Intellectual Powers of Man, ed. Derek R. Brookes (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2002), 210–213.

[6]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David Fate Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000), Book I, Part IV.

[7]                G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48 (1903): 433–453.

[8]                John Foster, The Case for Idealism (London: Routledge, 1982), 119–126; Howard Robinson, Perception (London: Routledge, 1994), 97–103.

[9]                David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 174–176.


9.           Relevansi Pemikiran Berkeley di Era Kontemporer

Meskipun hidup pada awal abad ke-18, pemikiran George Berkeley tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam berbagai wacana filsafat kontemporer, khususnya dalam filsafat pikiran, epistemologi, teologi, serta perdebatan tentang realitas virtual dan kecerdasan buatan. Paradigma immaterialisme yang ia gagas, yang pada masanya ditolak oleh banyak pemikir karena dianggap bertentangan dengan akal sehat, kini mendapatkan perhatian baru di tengah krisis representasi dalam metafisika modern dan perkembangan teknologi digital.

9.1.       Relevansi dalam Filsafat Pikiran dan Kesadaran

Salah satu arena utama di mana pemikiran Berkeley mengalami kebangkitan adalah dalam filsafat pikiran kontemporer, terutama dalam diskusi tentang qualia, phenomenal consciousness, dan mental causation. Beberapa filsuf modern seperti John Foster dan Howard Robinson telah menyatakan bahwa immaterialisme Berkeley mampu memberikan kerangka ontologis yang kuat untuk menjelaskan pengalaman sadar yang tidak dapat direduksi menjadi proses fisik semata1. Dalam konteks ini, idealisme Berkeley dianggap lebih unggul dibandingkan fisikalisme materialistik yang masih kesulitan menjelaskan mengapa dan bagaimana pengalaman subjektif bisa muncul dari otak yang bersifat material.

Dalam era pasca-Dennett dan pasca-reduksionisme, banyak filsuf yang kembali mempertanyakan validitas dualisme dan monisme material. Dengan menghidupkan kembali prinsip Berkeley bahwa eksistensi bergantung pada persepsi, beberapa pemikir kontemporer seperti Bernardo Kastrup bahkan menyatakan bahwa idealismelah, bukan materialisme, yang paling cocok menjelaskan realitas mental dan fisik secara konsisten2.

9.2.       Implikasi dalam Diskusi Realitas Virtual dan Simulasi

Perkembangan realitas virtual (VR), augmented reality (AR), dan hipotesis simulasi dalam sains-teknologi telah memunculkan kembali gagasan bahwa realitas tidak harus bersifat material dan objektif dalam pengertian tradisional, melainkan mungkin sepenuhnya bergantung pada struktur perseptual atau “kode informasi”. Dalam kerangka ini, teori Berkeley tentang dunia sebagai kumpulan ide dalam pikiran memperoleh resonansi baru. Jika dunia virtual yang sangat kompleks dapat dirasakan nyata oleh penggunanya, maka perbedaan antara “materi” dan “ide” menjadi semakin kabur. Beberapa filsuf teknologi bahkan menyebut Berkeley sebagai “visioner ontologis” yang memprediksi dunia virtual jauh sebelum teknologi memungkinkan terwujudnya hal itu3.

Sebagai contoh, gagasan bahwa benda hanya ada sejauh dipersepsikan dapat dihubungkan dengan prinsip dalam pemrograman dan simulasi digital, di mana objek hanya “dimunculkan” (rendered) ketika dibutuhkan oleh sistem—paralel dengan esse est percipi Berkeley.

9.3.       Kontribusi dalam Epistemologi Posmodern dan Konstruktivisme

Dalam epistemologi kontemporer, khususnya dalam arus postmodernisme dan konstruktivisme epistemologis, pandangan Berkeley yang menekankan peran aktif subjek dalam membentuk realitas menjadi sangat relevan. Gagasan bahwa dunia tidak “ditemukan” secara pasif tetapi “diciptakan” melalui persepsi dan interpretasi telah menjadi arus utama dalam pemikiran filsafat ilmu dan teori pengetahuan modern. Meskipun Berkeley bukan konstruktivis dalam pengertian kontemporer, kerangka idealisme subjektifnya menjadi cikal bakal bagi banyak teori pengetahuan yang mengutamakan interaksi antara subjek dan objek4.

9.4.       Resonansi Teologis dan Spiritualitas Modern

Di tengah era sekularisme dan relativisme, pemikiran Berkeley juga memperoleh tempat baru dalam diskusi teologi dan spiritualitas modern, khususnya dalam pendekatan yang mencoba menjembatani antara sains dan agama. Dalam sistem Berkeley, keberadaan Tuhan tidak hanya menjadi fondasi iman, melainkan juga prasyarat ontologis bagi eksistensi dunia dan kepastian pengetahuan. Gagasan ini menarik bagi teologi kontemporer yang ingin merehabilitasi makna spiritual dalam kerangka filsafat modern yang telah didominasi oleh naturalisme5.

Pendekatan Berkeley juga memberikan alternatif terhadap deisme pasif dan ateisme agresif, dengan menunjukkan bahwa penegasan terhadap Tuhan bisa muncul bukan dari wahyu semata, tetapi juga dari refleksi rasional tentang hakikat eksistensi dan persepsi.

9.5.       Etika dan Kritik terhadap Reduksionisme Ilmiah

Akhirnya, pemikiran Berkeley berkontribusi terhadap kritik etis terhadap reduksionisme ilmiah yang memandang manusia hanya sebagai mekanisme biologis. Dengan menyatakan bahwa realitas adalah konstruksi spiritual dalam persepsi, Berkeley menegaskan kembali martabat kesadaran manusia dan menyodorkan alternatif terhadap visi dunia yang dingin dan nihilistik. Dalam konteks krisis ekologis, alienasi digital, dan dekadensi moral modern, immaterialisme Berkeley dapat dilihat sebagai filosofi pemulihan makna, baik dalam relasi manusia dengan dunia maupun dalam hubungan manusia dengan Yang Transenden6.


Footnotes

[1]                John Foster, The Case for Idealism (London: Routledge, 1982), 143–145; Howard Robinson, Perception (London: Routledge, 1994), 114–118.

[2]                Bernardo Kastrup, The Idea of the World: A Multi-Disciplinary Argument for the Mental Nature of Reality (Winchester: Iff Books, 2019), 27–33.

[3]                Tom Jones, George Berkeley: A Philosophical Life (Princeton: Princeton University Press, 2021), 275–279.

[4]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 199–202.

[5]                David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 182–185.

[6]                Georges Dicker, Berkeley’s Idealism: A Critical Examination (Oxford: Oxford University Press, 2011), 87–90.


10.       Kesimpulan

George Berkeley merupakan salah satu tokoh paling orisinal dalam sejarah filsafat modern yang berhasil menyusun sistem pemikiran utuh dan radikal yang memadukan epistemologi empiris, metafisika idealis, dan teologi Kristen ke dalam suatu sintesis yang koheren. Melalui doktrin immaterialisme—yang terkenal dengan prinsip esse est percipi (“menjadi adalah dipersepsi”)—Berkeley menolak gagasan bahwa dunia terdiri atas substansi material yang berdiri independen dari pikiran, dan menggantinya dengan pandangan bahwa realitas sepenuhnya bergantung pada persepsi yang dilakukan oleh pikiran, terutama pikiran ilahi1.

Dalam bidang epistemologi, Berkeley menunjukkan bahwa semua pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman inderawi yang disusun dalam bentuk ide-ide, dan bahwa keberadaan ide tidak memerlukan postulat tentang materi eksternal. Justru dengan meniadakan substansi material yang tidak dapat diakses oleh pengalaman, Berkeley bermaksud menyelamatkan kepastian pengetahuan dari jebakan skeptisisme dan abstraksi metafisik yang tak teruji2. Dengan ini, ia memberikan fondasi baru bagi empirisme yang bersifat teistik, serta menunjukkan bahwa pengalaman inderawi tidak bertentangan dengan iman, melainkan menjadi sarana penyingkapan kehendak ilahi dalam dunia.

Secara teologis, pemikiran Berkeley menjadikan Tuhan sebagai pusat ontologis dan epistemologis dari seluruh sistem. Tuhan bukan hanya pencipta dunia, tetapi juga perseptor universal yang menjamin kontinuitas, keteraturan, dan eksistensi dari semua ide yang dipersepsi oleh manusia. Dalam hal ini, Berkeley membedakan diri dari filsuf-filsuf sezamannya yang cenderung menurunkan peran Tuhan dalam kerangka deisme atau bahkan mengabaikannya dalam naturalisme ateistik3.

Sementara itu, dalam konstelasi filsafat modern, pemikiran Berkeley telah menjadi inspirasi penting bagi banyak aliran, mulai dari idealisme Jerman, fenomenologi, hingga filsafat pikiran kontemporer. Ia juga dikritik secara tajam, khususnya oleh realisme representasionalis dan para filsuf common sense seperti Thomas Reid dan G. E. Moore. Namun kritik-kritik tersebut, alih-alih menenggelamkan pemikirannya, justru menegaskan pentingnya posisi Berkeley sebagai pemicu perdebatan mendalam tentang hakikat realitas, persepsi, dan hubungan antara manusia dengan dunia dan Tuhan4.

Pada era kontemporer, filsafat Berkeley mengalami kebangkitan dalam berbagai konteks, termasuk diskusi tentang kesadaran, realitas virtual, epistemologi konstruktivis, dan spiritualitas pascamodern. Di tengah kemajuan teknologi dan tantangan reduksionisme ilmiah, gagasan bahwa realitas merupakan struktur pengalaman mental yang dijaga oleh rasio ilahi menjadi semakin relevan sebagai alternatif dari materialisme yang impersonal dan kering makna5.

Secara keseluruhan, pemikiran George Berkeley tidak hanya merupakan warisan metafisika klasik, tetapi juga kontribusi penting bagi pencarian makna eksistensial dalam dunia modern. Dengan mengintegrasikan filsafat, teologi, dan kesadaran akan peran manusia sebagai makhluk yang berelasi dengan Tuhan, Berkeley menghadirkan sistem pemikiran yang bukan hanya rasional dan argumentatif, tetapi juga sarat nilai-nilai spiritual dan religius yang mendalam.


Footnotes

[1]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett, 1982), §3–6.

[2]                A. A. Luce, Berkeley's Immaterialism: A Commentary on His Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (London: Thomas Nelson, 1945), 39–44.

[3]                David Berman, George Berkeley: Idealism and the Man (Oxford: Clarendon Press, 1994), 72–75.

[4]                Georges Dicker, Berkeley’s Idealism: A Critical Examination (Oxford: Oxford University Press, 2011), 47–50; Thomas Reid, Essays on the Intellectual Powers of Man, ed. Derek R. Brookes (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2002), 211–214.

[5]                Bernardo Kastrup, The Idea of the World: A Multi-Disciplinary Argument for the Mental Nature of Reality (Winchester: Iff Books, 2019), 91–95.


Daftar Pustaka

Berkeley, G. (1982). A treatise concerning the principles of human knowledge (K. P. Winkler, Ed.). Hackett Publishing Company. (Karya asli diterbitkan 1710)

Berkeley, G. (1998). Three dialogues between Hylas and Philonous (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press. (Karya asli diterbitkan 1713)

Berkeley, G. (2000). An essay towards a new theory of vision (D. R. Wilkins, Ed.). Trinity College Dublin. (Karya asli diterbitkan 1709)

Berman, D. (1994). George Berkeley: Idealism and the man. Clarendon Press.

Dicker, G. (2011). Berkeley’s idealism: A critical examination. Oxford University Press.

Foster, J. (1982). The case for idealism. Routledge.

Jones, T. (2021). George Berkeley: A philosophical life. Princeton University Press.

Kant, I. (2001). Prolegomena to any future metaphysics (J. W. Ellington, Trans.). Hackett Publishing Company. (Karya asli diterbitkan 1783)

Kastrup, B. (2019). The idea of the world: A multi-disciplinary argument for the mental nature of reality. Iff Books.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Karya asli diterbitkan 1690)

Luce, A. A. (1945). Berkeley’s immaterialism: A commentary on his Treatise concerning the principles of human knowledge. Thomas Nelson and Sons.

Moore, G. E. (1903). The refutation of idealism. Mind, 12(48), 433–453. https://doi.org/10.1093/mind/XII.48.433

Reid, T. (2002). Essays on the intellectual powers of man (D. R. Brookes, Ed.). Edinburgh University Press. (Karya asli diterbitkan 1785)

Robinson, H. (1994). Perception. Routledge.

Winkler, K. P. (1989). Berkeley: An interpretation. Clarendon Press.

Winkler, K. P. (Ed.). (2005). The Cambridge companion to Berkeley. Cambridge University Press.

Zahavi, D. (2003). Husserl’s phenomenology. Stanford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar