Konsekuensialisme (Consequentialism)
Perspektif Etika Berdasarkan Hasil dan Implikasinya
dalam Kehidupan Modern
Alihkan ke: Etika
Normatif
Abstrak
Konsekuensialisme adalah teori etika normatif yang
menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan konsekuensi yang dihasilkan.
Artikel ini membahas konsekuensialisme secara komprehensif, mulai dari
definisi, prinsip utama, varian-varian utama seperti act consequentialism,
rule consequentialism, utilitarianisme, preferensial
utilitarianisme, hingga negative utilitarianism. Selain itu, dibahas
pula penerapan konsekuensialisme dalam berbagai bidang, termasuk kebijakan
publik, etika bisnis, etika medis, dan sistem hukum serta politik. Studi kasus
seperti penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kebijakan lockdown
selama pandemi COVID-19, serta dilema moral dalam industri farmasi dianalisis
untuk menunjukkan bagaimana konsekuensialisme dapat diterapkan dalam pengambilan
keputusan yang kompleks.
Meskipun konsekuensialisme memiliki banyak
keunggulan, teori ini juga menghadapi kritik, terutama dalam hal pengabaian hak
individu, kesulitan dalam mengukur konsekuensi, serta kemungkinan pembenaran
tindakan tidak etis demi hasil yang lebih besar. Artikel ini menyoroti
bagaimana konsekuensialisme tetap menjadi teori etika yang relevan dalam
konteks modern, terutama dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti
kecerdasan buatan (AI), krisis lingkungan, dan keadilan sosial. Dengan
mempertimbangkan tantangan dan kritik yang ada, konsekuensialisme dapat
dikombinasikan dengan pendekatan etika lainnya untuk menciptakan keputusan
moral yang lebih seimbang dan adil.
Kata Kunci: Konsekuensialisme, etika normatif, utilitarianisme,
deontologi, etika kebajikan, kebijakan publik, etika bisnis, etika medis,
sistem hukum, kecerdasan buatan, krisis lingkungan.
PEMBAHASAN
Etika Konsekuensialisme (Consequentialism)
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Etika merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang prinsip moral dan bagaimana individu atau
masyarakat menentukan tindakan yang benar atau salah. Dalam berbagai tradisi
pemikiran filsafat, muncul perdebatan mengenai dasar dari keputusan moral,
salah satunya melalui konsekuensialisme. Konsekuensialisme adalah teori etika normatif yang menilai suatu
tindakan berdasarkan hasil atau konsekuensinya, bukan berdasarkan niat atau
kewajiban moral yang melekat pada tindakan itu sendiri.¹ Pendekatan ini
memiliki implikasi luas dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kebijakan
publik, bisnis, etika medis, hingga teknologi dan sains modern.
Konsekuensialisme
menjadi salah satu teori etika yang paling berpengaruh, terutama karena
kemampuannya untuk menawarkan pedoman moral yang lebih fleksibel dibandingkan
pendekatan etika deontologis yang berlandaskan kewajiban moral yang mutlak.²
Pemikir-pemikir seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mempopulerkan
prinsip utilitarianisme, sebuah bentuk konsekuensialisme yang menyatakan bahwa
tindakan yang paling benar adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan
terbesar bagi jumlah orang terbanyak.³ Seiring perkembangan zaman,
konsekuensialisme terus mengalami perdebatan dan adaptasi, terutama dalam
menghadapi tantangan etika kontemporer seperti bioetika, keadilan sosial, dan
kecerdasan buatan.
1.2.
Tujuan Artikel
Artikel ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai konsekuensialisme
sebagai teori etika, mulai dari konsep dasar, sejarah perkembangannya, hingga
aplikasinya dalam kehidupan modern. Melalui pembahasan yang komprehensif,
artikel ini akan menguraikan bagaimana konsekuensialisme
berbeda dengan teori-teori etika lainnya, seperti deontologi dan etika kebajikan, serta bagaimana penerapannya dapat memengaruhi pengambilan keputusan
dalam berbagai bidang.
Selain itu, artikel
ini juga akan menelaah kritik-kritik terhadap konsekuensialisme, terutama yang
diajukan oleh para filsuf yang berpendapat bahwa teori ini memiliki kelemahan
dalam mempertimbangkan aspek moral yang lebih luas, seperti hak individu dan
keadilan sosial.⁴ Dengan memahami
berbagai perspektif ini, pembaca diharapkan dapat mengevaluasi sejauh mana
konsekuensialisme relevan dalam membimbing pengambilan keputusan moral di dunia
yang semakin kompleks.
1.3.
Ruang Lingkup Pembahasan
Pembahasan dalam artikel
ini akan mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan konsekuensialisme, yang dibagi ke dalam beberapa bagian utama:
1)
Definisi
dan Dasar Teoritis – Menjelaskan pengertian konsekuensialisme,
sejarah perkembangannya, serta pemikiran tokoh-tokoh utama yang berkontribusi
dalam teori ini.
2)
Prinsip
Utama Konsekuensialisme – Menguraikan konsep dasar
konsekuensialisme dan bagaimana teori ini menentukan baik atau buruknya suatu
tindakan berdasarkan konsekuensinya.
3)
Varian
dan Pendekatan Alternatif – Mengupas berbagai bentuk
konsekuensialisme, seperti utilitarianisme klasik, rule consequentialism, dan
preferensial utilitarianisme.
4)
Perbandingan
dengan Teori Etika Lainnya – Menganalisis perbedaan
konsekuensialisme dengan teori etika seperti deontologi Immanuel Kant dan etika kebajikan Aristotelian.
5)
Aplikasi
Praktis – Mengulas bagaimana konsekuensialisme diterapkan dalam
berbagai aspek kehidupan, seperti kebijakan publik, bisnis, dan etika medis.
6)
Kritik
dan Tantangan – Mengupas berbagai kritik yang diarahkan kepada
konsekuensialisme, termasuk persoalan keadilan, hak individu, serta batasan
dalam memperkirakan konsekuensi suatu tindakan.
7)
Studi
Kasus – Memberikan contoh nyata bagaimana konsekuensialisme
diterapkan dalam kasus-kasus etika kontemporer.
8)
Kesimpulan
– Menyimpulkan temuan utama dari artikel ini serta memberikan wawasan mengenai
relevansi konsekuensialisme dalam kehidupan modern.
Dengan struktur
pembahasan ini, artikel akan memberikan gambaran yang sistematis mengenai konsekuensialisme, baik dari segi teori
maupun penerapannya dalam kehidupan nyata. Pemahaman mendalam tentang konsep
ini akan membantu pembaca dalam merumuskan pendekatan etika yang lebih baik
dalam berbagai aspek kehidupan.
Catatan Kaki
[1]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 3.
[2]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 2.
[3]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 14.
[4]
Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy
(Cambridge: Harvard University Press, 1985), 95.
2.
Definisi dan Dasar Teoritis
Bagian ini
menguraikan secara mendalam mengenai konsep dasar konsekuensialisme, mencakup
definisi, akar sejarah, dan landasan pemikiran yang mendasari teori etika ini.
2.1.
Definisi Konsekuensialisme
Konsekuensialisme
adalah teori etika normatif yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya. Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap benar atau salah
tidak semata-mata dilihat dari niat di baliknya, melainkan dari dampak atau
hasil yang ditimbulkannya.1 Prinsip ini mendasari pandangan bahwa kebajikan suatu perbuatan diukur dari
sejauh mana tindakan tersebut menghasilkan manfaat atau kebaikan, seperti
peningkatan kesejahteraan atau pengurangan penderitaan. Meskipun varian utama
konsekuensialisme, yaitu utilitarianisme, menekankan pada pencapaian “kebahagiaan
terbesar bagi jumlah orang terbanyak,” terdapat pula pendekatan lain yang
mempertimbangkan aspek keadilan, hak asasi, dan konteks sosial tertentu dalam
evaluasi moral.2
2.2.
Sejarah dan Perkembangan Konsep
Akar pemikiran konsekuensialisme
dapat ditelusuri hingga era Pencerahan, terutama melalui karya-karya Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill. Bentham memperkenalkan
gagasan bahwa tujuan utama dari tindakan manusia adalah untuk memaksimalkan
kesenangan dan meminimalkan penderitaan, suatu konsep yang kemudian dikenal
sebagai utilitarianisme.3 John Stuart Mill kemudian menyempurnakan
gagasan tersebut dengan memberikan penekanan pada kualitas kebahagiaan, bukan
hanya kuantitasnya, serta mengaitkannya dengan prinsip keadilan sosial.4
Seiring berjalannya
waktu, kritik terhadap utilitarianisme tradisional mendorong pengembangan
varian-varian baru dalam konsekuensialisme. Abad ke-20 menyaksikan munculnya
pendekatan seperti preferensial utilitarianism
dan rule consequentialism yang mencoba mengakomodasi kompleksitas situasi moral
dalam konteks modern. Pendekatan-pendekatan ini tidak hanya menilai konsekuensi
secara langsung, tetapi juga mempertimbangkan aturan dan preferensi yang lebih
luas guna mengoptimalkan hasil secara kolektif.5
2.3.
Dasar Pemikiran Teoritis
Landasan teoritis
konsekuensialisme melibatkan diskursus filosofis mengenai hubungan antara niat,
tindakan, dan hasil. Pemikiran ini dikaji secara mendalam oleh para filsuf
kontemporer seperti Julia Driver dan Peter Singer. Driver menekankan pentingnya
konsistensi logis dalam penerapan prinsip evaluasi moral berdasarkan
konsekuensi, sekaligus menunjukkan keterbatasan pendekatan semacam ini apabila
dihadapkan pada dilema etika yang kompleks.6 Singer, di sisi lain,
mengembangkan konsep ini
dengan menerapkannya pada isu-isu etika global, seperti distribusi sumber daya
dan kesejahteraan hewan, sehingga memperluas ruang lingkup aplikasi
konsekuensialisme di era modern.7
Dasar pemikiran
teoritis ini, yang menggabungkan warisan utilitarian tradisional dengan
pemikiran kritis kontemporer, menjadikan konsekuensialisme sebagai kerangka
yang dinamis dalam mengkaji dan menilai moralitas. Perdebatan antara pendukung dan pengkritik teori ini
terus mengemuka, mendorong penelitian lebih lanjut mengenai keterbatasan dan
potensi penerapannya dalam berbagai ranah kehidupan.8
Catatan Kaki
[1]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 15.
[2]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 23.
[3]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 48.
[4]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker,
Son, and Bourn, 1863), 32.
[5]
Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy
(Cambridge: Harvard University Press, 1985), 67.
[6]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 90.
[7]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 45.
[8]
Ibid., 50.
3.
Prinsip Utama Konsekuensialisme
Konsekuensialisme sebagai teori etika normatif
memiliki prinsip dasar yang menentukan baik atau buruknya suatu tindakan
berdasarkan konsekuensinya. Prinsip utama yang menjadi fondasi teori ini dapat
dijabarkan dalam dua aspek utama, yaitu prinsip utilitas dan penilaian
konsekuensi. Kedua aspek ini berperan penting dalam membentuk pendekatan
konsekuensialisme dalam berbagai konteks moral dan sosial.
3.1.
Prinsip Utilitas
Salah satu bentuk paling dikenal dari
konsekuensialisme adalah utilitarianisme, yang didasarkan pada prinsip
utilitas. Prinsip ini menyatakan bahwa tindakan yang benar secara moral adalah
tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.¹
Prinsip ini pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham dalam karyanya An
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), di mana ia
mengusulkan bahwa semua tindakan harus diukur berdasarkan sejauh mana tindakan
tersebut meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.²
John Stuart Mill, seorang filsuf utilitarian
terkenal, mengembangkan lebih lanjut gagasan Bentham dengan membedakan kualitas
dan kuantitas kebahagiaan. Dalam bukunya Utilitarianism (1863), Mill
menekankan bahwa kebahagiaan bukan hanya soal jumlah kesenangan, tetapi juga
tentang kualitasnya. Ia berpendapat bahwa kebahagiaan intelektual lebih
berharga daripada kesenangan fisik, dan individu yang memiliki pengalaman lebih
luas dalam menikmati kebahagiaan lebih mampu menilai kualitasnya dibandingkan
mereka yang hanya memiliki pengalaman terbatas.³ Mill menyatakan:
“Lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas daripada babi yang puas.”⁴
Pernyataan ini menggambarkan bahwa utilitarianisme
tidak hanya mengukur kebahagiaan secara kuantitatif tetapi juga
mempertimbangkan dimensi kualitasnya. Dengan demikian, prinsip utilitas dalam
konsekuensialisme tidak hanya mempertimbangkan seberapa banyak kebahagiaan yang
dihasilkan, tetapi juga nilai dan jenis kebahagiaan yang diperoleh.
Selain utilitarianisme klasik, terdapat varian lain
seperti preferensial utilitarianisme, yang dikembangkan oleh Peter
Singer. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada kebahagiaan dalam arti
kesenangan dan penderitaan, tetapi juga mempertimbangkan pemenuhan
preferensi individu.⁵ Dalam pandangan Singer, tindakan yang benar adalah
tindakan yang paling mampu memenuhi preferensi atau kepentingan individu yang
terkena dampaknya, selama preferensi tersebut tidak merugikan orang lain.⁶
3.2.
Penilaian Konsekuensi
Konsekuensialisme menilai moralitas suatu tindakan
berdasarkan konsekuensi yang dihasilkan. Namun, terdapat beberapa cara dalam
mengevaluasi konsekuensi ini, yang membedakan berbagai pendekatan dalam
konsekuensialisme.
1)
Act Consequentialism vs. Rule Consequentialism
Konsekuensialisme
dapat dikategorikan menjadi Act Consequentialism dan Rule
Consequentialism.
(*) Act
Consequentialism berpendapat
bahwa setiap tindakan harus dievaluasi secara individual berdasarkan
konsekuensinya.⁷ Dengan kata lain, tidak ada aturan moral absolut yang harus
diikuti; yang terpenting adalah apakah tindakan tersebut menghasilkan hasil
terbaik dalam situasi tertentu. Filsuf yang mendukung pendekatan ini, seperti
Henry Sidgwick, menekankan bahwa setiap keputusan harus dibuat berdasarkan perhitungan
konsekuensi langsung dari tindakan tersebut.⁸
(*) Rule
Consequentialism, di sisi
lain, menyatakan bahwa tindakan individu sebaiknya dinilai berdasarkan aturan
moral umum yang, jika diterapkan secara konsisten, akan menghasilkan konsekuensi
terbaik bagi masyarakat.⁹ Pendekatan ini dikembangkan oleh filsuf seperti
R. M. Hare, yang berpendapat bahwa pembuatan aturan yang didasarkan pada
prinsip konsekuensial dapat memberikan panduan moral yang lebih stabil
dibandingkan penilaian berdasarkan kasus per kasus.¹⁰
2)
Total vs. Average Consequentialism
Selain
perbedaan dalam metode evaluasi, konsekuensialisme juga memiliki pendekatan
yang berbeda dalam menilai jumlah kebahagiaan atau kesejahteraan yang harus
dipertimbangkan.
(*) Total
Consequentialism menilai
moralitas suatu tindakan berdasarkan jumlah total kebahagiaan yang
dihasilkan.¹¹ Dalam pendekatan ini, semakin banyak kebahagiaan yang dihasilkan
secara keseluruhan, semakin baik tindakan tersebut.
(*) Average
Consequentialism, di sisi
lain, mempertimbangkan rata-rata kebahagiaan individu dalam
masyarakat.¹² Pendekatan ini menghindari potensi ketidakadilan yang dapat
muncul dalam total consequentialism, di mana jumlah kebahagiaan yang lebih
besar bisa saja diperoleh dengan mengorbankan kesejahteraan beberapa individu
tertentu.
3)
Negative Consequentialism
Beberapa
varian konsekuensialisme lebih menekankan pada pengurangan penderitaan
dibandingkan peningkatan kebahagiaan. Negative Utilitarianism,
misalnya, berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang meminimalkan
penderitaan sebanyak mungkin, bukan hanya yang meningkatkan kebahagiaan.¹³
Pendekatan ini sering dikaitkan dengan etika global dan kebijakan kemanusiaan,
seperti distribusi sumber daya dan pengentasan kemiskinan.¹⁴
Kesimpulan
Prinsip utama konsekuensialisme berakar pada
evaluasi moral yang didasarkan pada konsekuensi suatu tindakan. Prinsip
utilitas, yang menjadi dasar bagi banyak teori konsekuensialisme, menekankan
pentingnya kebahagiaan atau pemenuhan preferensi sebagai tolok ukur moralitas.
Selain itu, terdapat berbagai metode penilaian konsekuensi, seperti act
consequentialism vs. rule consequentialism, serta perbedaan dalam cara
mengukur kesejahteraan secara total atau rata-rata. Dengan berbagai varian ini,
konsekuensialisme tetap menjadi salah satu teori etika yang paling relevan
dalam kajian filsafat moral modern.
Catatan Kaki
[1]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 5.
[2]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 30.
[3]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 17.
[4]
Ibid., 10.
[5]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 95.
[6]
Ibid., 98.
[7]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 78.
[8]
Henry Sidgwick, The Methods of Ethics
(London: Macmillan, 1874), 215.
[9]
R. M. Hare, Moral Thinking: Its Levels, Method,
and Point (Oxford: Oxford University Press, 1981), 129.
[10]
Ibid., 140.
[11]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 420.
[12]
Ibid., 430.
[13]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies,
vol. 1 (London: Routledge, 1945), 284.
[14]
Peter Singer, The Life You Can Save: Acting Now
to End World Poverty (New York: Random House, 2009), 57.
4.
Varian dan Pendekatan Lain dalam
Konsekuensialisme
Konsekuensialisme tidak hanya terdiri dari satu
bentuk tunggal, melainkan memiliki beberapa varian yang berkembang seiring
dengan waktu. Berbagai pendekatan ini muncul sebagai respons terhadap tantangan
praktis maupun kritik teoritis terhadap konsekuensialisme klasik. Di antara
varian utama yang akan dibahas dalam bagian ini adalah Act Consequentialism
vs. Rule Consequentialism, Preferensial Utilitarianisme, serta Negative
Utilitarianism. Selain itu, juga akan diulas kritik internal terhadap
varian-varian tersebut.
4.1.
Act Consequentialism vs. Rule Consequentialism
Salah satu perbedaan utama dalam konsekuensialisme
terletak pada cara tindakan dinilai berdasarkan konsekuensinya. Dua pendekatan
yang paling dominan dalam hal ini adalah Act Consequentialism dan Rule
Consequentialism.
1)
Act Consequentialism
Pendekatan
ini berpendapat bahwa tindakan individu harus dinilai secara langsung
berdasarkan konsekuensi spesifik yang ditimbulkannya.¹ Dengan kata lain, tidak
ada aturan moral yang bersifat mutlak—setiap tindakan harus dipertimbangkan
dalam konteks tertentu dan hasil yang dihasilkannya. Henry Sidgwick, seorang
filsuf utilitarian terkenal, berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah
tindakan yang paling mungkin menghasilkan kebahagiaan terbesar dalam situasi
tertentu.²
2)
Rule Consequentialism
Sebaliknya, Rule
Consequentialism menyatakan bahwa tindakan harus dinilai berdasarkan aturan
moral yang, jika diterapkan secara konsisten, akan menghasilkan konsekuensi
terbaik dalam jangka panjang.³ Pendekatan ini dikembangkan oleh R. M. Hare dan
Brad Hooker, yang berpendapat bahwa aturan-aturan moral tertentu (seperti
larangan berbohong atau mencuri) harus diterapkan karena dalam kebanyakan
kasus, penerapan aturan tersebut akan membawa manfaat yang lebih besar bagi
masyarakat.⁴
Kritik utama terhadap Act Consequentialism
adalah bahwa pendekatan ini dapat menyebabkan ketidakpastian moral karena
setiap tindakan harus dinilai berdasarkan konsekuensinya secara langsung, yang
bisa sulit diprediksi. Sementara itu, kritik terhadap Rule Consequentialism
adalah bahwa pendekatan ini tetap harus berhadapan dengan kasus-kasus di mana
aturan moral umum tampaknya tidak menghasilkan konsekuensi terbaik dalam
situasi tertentu.⁵
4.2.
Preferensial Utilitarianisme
Preferensial Utilitarianisme (Preferential Utilitarianism)
merupakan pengembangan dari utilitarianisme klasik yang diperkenalkan oleh
filsuf seperti Peter Singer dan R. M. Hare.⁶ Alih-alih hanya
berfokus pada peningkatan kebahagiaan atau pengurangan penderitaan, varian ini
menilai tindakan berdasarkan sejauh mana tindakan tersebut memenuhi
preferensi individu yang terdampak.⁷
Pendekatan ini didasarkan pada gagasan bahwa
individu tidak hanya menginginkan kebahagiaan, tetapi juga memiliki berbagai
preferensi dan kepentingan lain yang perlu dipenuhi. Contohnya, seorang pasien
dalam kondisi terminal mungkin lebih memilih eutanasia dibandingkan perawatan
yang hanya memperpanjang penderitaannya.⁸ Dalam konteks ini, preferensial
utilitarianisme berpendapat bahwa keputusan etis yang benar adalah yang menghormati
dan memenuhi preferensi individu, sejauh hal itu tidak membahayakan kepentingan
orang lain.⁹
Kelebihan dari preferensial utilitarianisme adalah
kemampuannya untuk menangani masalah etika yang lebih kompleks dibandingkan
utilitarianisme klasik. Namun, pendekatan ini juga menghadapi tantangan dalam
hal menentukan preferensi mana yang seharusnya dihitung sebagai dasar penilaian
moral. Misalnya, jika seseorang memiliki preferensi yang irasional atau
berbasis informasi yang salah, apakah preferensinya tetap harus dihormati?¹⁰
4.3.
Negative Utilitarianism
Negative Utilitarianism adalah varian
konsekuensialisme yang menekankan bahwa tujuan utama dari tindakan moral adalah
mengurangi penderitaan sebanyak mungkin, bukan hanya meningkatkan
kebahagiaan.¹¹ Filsuf Karl Popper adalah salah satu tokoh yang
mempopulerkan pendekatan ini dengan menyatakan bahwa penderitaan memiliki
dampak yang lebih besar dibandingkan kebahagiaan, sehingga prioritas moral
harus diberikan pada upaya untuk menghindari penderitaan.¹²
Pendekatan ini sering digunakan dalam konteks
kebijakan kemanusiaan, misalnya dalam program pengentasan kemiskinan atau
reformasi sistem kesehatan yang berfokus pada pengurangan penderitaan kelompok
rentan.¹³
Namun, Negative Utilitarianism menghadapi
kritik utama, yaitu kemungkinan implikasi ekstremnya. Jika satu-satunya tujuan
moral adalah menghilangkan penderitaan, maka solusi yang tampaknya logis tetapi
tidak dapat diterima secara moral adalah menghilangkan seluruh umat manusia,
karena tanpa manusia, tidak ada penderitaan.¹⁴ Kritik ini mendorong modifikasi
teori ini agar lebih seimbang dalam mempertimbangkan kebahagiaan dan
penderitaan secara bersamaan.
4.4.
Kritik Internal terhadap Varian-Varian
Konsekuensialisme
Meskipun konsekuensialisme telah berkembang dalam
berbagai bentuknya, masing-masing varian tetap menghadapi kritik, baik dari
dalam maupun luar teori ini:
1)
Kritik terhadap Act Consequentialism:
Tidak
memberikan pedoman moral yang jelas karena setiap kasus harus dianalisis secara
individual.
Dapat
membenarkan tindakan yang secara intuitif tampak tidak bermoral jika
konsekuensinya dianggap baik (misalnya, menyiksa seseorang untuk mendapatkan
informasi yang menyelamatkan banyak nyawa).¹⁵
2)
Kritik terhadap Rule Consequentialism:
Sulit
menentukan aturan mana yang harus diadopsi secara universal.
Aturan moral
yang baik dalam banyak kasus mungkin tetap tidak menghasilkan hasil terbaik
dalam situasi tertentu.¹⁶
3)
Kritik terhadap Preferensial Utilitarianisme:
Tidak semua
preferensi individu bersifat rasional atau berbasis informasi yang benar.
Preferensi
individu sering kali bertentangan satu sama lain, sehingga sulit untuk membuat
keputusan yang memuaskan semua pihak.¹⁷
4)
Kritik terhadap Negative Utilitarianism:
Berpotensi
menghasilkan solusi ekstrem jika diterapkan secara ketat.
Tidak
memberikan keseimbangan antara pengurangan penderitaan dan peningkatan
kebahagiaan.¹⁸
Kesimpulan
Konsekuensialisme adalah teori yang dinamis dan
memiliki berbagai varian yang menawarkan solusi atas tantangan etika yang
kompleks. Act Consequentialism dan Rule Consequentialism memberikan
pendekatan yang berbeda dalam menilai moralitas tindakan, sementara Preferensial
Utilitarianisme dan Negative Utilitarianism memperluas cakupan
konsekuensialisme dengan mempertimbangkan aspek preferensi individu serta
pengurangan penderitaan. Namun, masing-masing varian tetap menghadapi kritik
yang membutuhkan penyempurnaan lebih lanjut dalam kajian etika kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 23.
[2]
Henry Sidgwick, The Methods of Ethics
(London: Macmillan, 1874), 110.
[3]
R. M. Hare, Moral Thinking: Its Levels, Method,
and Point (Oxford: Oxford University Press, 1981), 80.
[4]
Brad Hooker, Ideal Code, Real World: A
Rule-Consequentialist Theory of Morality (Oxford: Clarendon Press, 2000),
45.
[5]
Ibid., 47.
[6]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 101.
[7]
Ibid., 105.
[8]
Ibid., 110.
[9]
R. M. Hare, Moral Thinking (Oxford: Oxford
University Press, 1981), 95.
[10]
Ibid., 99.
[11]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies,
vol. 1 (London: Routledge, 1945), 284.
[12]
Ibid., 285.
[13]
Peter Singer, The Life You Can Save (New
York: Random House, 2009), 67.
[14]
Ibid., 70.
[15]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 120.
[16]
Ibid., 125.
[17]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 140.
[18]
Ibid., 145.
5.
Konsekuensialisme dalam Konteks Etika dan
Filosofi
Konsekuensialisme merupakan salah satu teori etika normatif yang paling berpengaruh dalam filsafat moral. Dalam konteks etika dan
filosofi, konsekuensialisme sering dibandingkan dengan teori-teori lain seperti
deontologi dan etika kebajikan. Selain itu, perdebatan filosofis
mengenai kelebihan dan kekurangan konsekuensialisme terus berlangsung dalam
berbagai bidang, termasuk etika politik, hukum, dan bioetika. Bagian ini akan
mengkaji bagaimana konsekuensialisme berinteraksi dengan teori-teori etika
lainnya serta menyoroti perdebatan filosofis yang mengelilinginya.
5.1.
Perbandingan dengan Deontologi dan Etika
Kebajikan
Dalam kajian etika, konsekuensialisme sering
dibandingkan dengan deontologi dan etika kebajikan karena ketiga
pendekatan ini memiliki cara yang berbeda dalam menentukan moralitas suatu
tindakan.
1)
Konsekuensialisme vs. Deontologi
(*) Konsekuensialisme menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan hasil
akhirnya. Jika tindakan tersebut menghasilkan konsekuensi terbaik bagi
mayoritas orang, maka tindakan itu dianggap benar.¹
(*) Deontologi, sebaliknya, menekankan bahwa moralitas suatu
tindakan ditentukan oleh kewajiban atau aturan moral yang absolut, terlepas
dari konsekuensinya.² Immanuel Kant, filsuf utama deontologi, berpendapat bahwa
ada prinsip moral universal yang harus selalu ditaati, seperti kejujuran dan penghormatan
terhadap martabat manusia.³
Perbandingan
ini sering dikaitkan dengan dilema etika klasik seperti "trolley
problem." Dari sudut pandang konsekuensialisme, menarik tuas untuk
mengalihkan kereta agar membunuh satu orang daripada lima adalah tindakan yang
benar karena mengurangi jumlah korban. Namun, dari perspektif deontologi,
tindakan ini tetap salah karena secara aktif menyebabkan kematian seseorang,
yang bertentangan dengan prinsip moral universal untuk tidak membunuh.⁴
2)
Konsekuensialisme vs. Etika Kebajikan
(*) Etika kebajikan, yang
berasal dari pemikiran Aristoteles, menekankan bahwa moralitas suatu tindakan
harus dilihat dalam konteks karakter dan kebiasaan moral dari individu
yang melakukannya, bukan hanya dari konsekuensi atau kepatuhan terhadap aturan
moral.⁵
(*) Menurut Aristoteles, seseorang yang bermoral adalah
mereka yang memiliki keutamaan (virtue), seperti keberanian, keadilan,
dan kebijaksanaan, yang dikembangkan melalui kebiasaan baik.⁶
Kritik utama
etika kebajikan terhadap konsekuensialisme adalah bahwa teori ini terlalu
berfokus pada hasil dan mengabaikan pentingnya karakter moral seseorang.
Sebaliknya, pendukung konsekuensialisme berargumen bahwa tujuan akhir dari
memiliki karakter yang baik juga harus diukur berdasarkan konsekuensinya dalam
kehidupan sosial.⁷
5.2.
Debat Filosofis tentang Konsekuensialisme
1)
Kelebihan Konsekuensialisme
Konsekuensialisme
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan teori etika lainnya:
(*) Fleksibilitas
moral: Tidak
terikat oleh aturan absolut, sehingga memungkinkan adaptasi dalam situasi yang
berbeda.⁸
(*) Relevansi
praktis: Dapat
diterapkan dalam kebijakan publik, ekonomi, dan hukum karena menekankan
hasil yang dapat diukur.⁹
(*) Pendekatan
yang berbasis rasionalitas:
Memungkinkan pengambilan keputusan yang berdasarkan analisis konsekuensi nyata
daripada sekadar mengikuti norma atau tradisi moral.¹⁰
2)
Kritik terhadap Konsekuensialisme
Meskipun
memiliki banyak keunggulan, konsekuensialisme juga menghadapi kritik tajam dari
berbagai sudut pandang:
(*) Dapat
membenarkan tindakan yang tidak etis: Jika moralitas hanya didasarkan pada hasil, maka tindakan
seperti berbohong, mencuri, atau bahkan membunuh bisa dianggap benar jika
menghasilkan manfaat yang lebih besar.¹¹
(*) Kesulitan
dalam mengukur konsekuensi: Tidak
semua dampak dari suatu tindakan dapat diprediksi dengan akurat, terutama dalam
situasi yang kompleks.¹²
(*) Mengabaikan
hak individu: Beberapa
bentuk konsekuensialisme (seperti utilitarianisme) sering dikritik
karena terlalu fokus pada kesejahteraan kolektif dan mengabaikan hak individu
yang lebih kecil.¹³
Kritik
terhadap konsekuensialisme ini terutama dikemukakan oleh filsuf seperti Bernard
Williams dan John Rawls. Williams berpendapat bahwa konsekuensialisme dapat
mengarah pada "alienasi moral," di mana individu dipaksa
mengorbankan nilai-nilai pribadi mereka demi konsekuensi yang lebih besar.¹⁴
Rawls, dalam A Theory of Justice, mengkritik utilitarianisme karena
berpotensi mengabaikan prinsip keadilan dalam mengejar kebahagiaan kolektif.¹⁵
Kesimpulan
Konsekuensialisme adalah teori etika yang
menawarkan pendekatan berbasis hasil dalam menentukan moralitas suatu tindakan.
Dalam perbandingannya dengan deontologi dan etika kebajikan, konsekuensialisme
menonjol karena fleksibilitasnya dalam menilai situasi berdasarkan dampak yang
dihasilkan. Namun, perdebatan filosofis menunjukkan bahwa teori ini juga
memiliki kelemahan, terutama dalam hal pengabaian terhadap hak individu dan
kesulitan dalam mengukur konsekuensi. Meskipun demikian, konsekuensialisme
tetap menjadi salah satu pendekatan yang paling berpengaruh dalam filsafat
moral dan memiliki aplikasi yang luas dalam kehidupan modern.
Catatan Kaki
[1]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 15.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
30.
[3]
Ibid., 33.
[4]
Philippa Foot, The Problem of Abortion and the
Doctrine of the Double Effect (Oxford: Oxford University Press, 1967), 5.
[5]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 45.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a.
[7]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford:
Oxford University Press, 2011), 55.
[8]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 29.
[9]
Ibid., 32.
[10]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 163.
[11]
Bernard Williams, Ethics and the Limits of
Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 100.
[12]
Ibid., 102.
[13]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 24.
[14]
Bernard Williams, Moral Luck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), 12.
[15]
John Rawls, A Theory of Justice, 30.
6.
Aplikasi Konsekuensialisme dalam Praktik
Konsekuensialisme tidak hanya menjadi perdebatan
dalam ranah akademik tetapi juga memiliki implikasi langsung dalam berbagai
aspek kehidupan. Dalam praktiknya, teori ini digunakan dalam kebijakan
publik, etika bisnis, etika medis, serta keputusan hukum
dan politik. Pendekatan berbasis konsekuensi sering menjadi kerangka dalam
pengambilan keputusan yang berdampak luas, baik pada tingkat individu maupun
masyarakat. Bagian ini akan membahas bagaimana konsekuensialisme diterapkan
dalam berbagai bidang serta tantangan yang dihadapinya.
6.1.
Kebijakan Publik dan Etika Pemerintahan
Konsekuensialisme memiliki pengaruh besar dalam
pembentukan kebijakan publik. Banyak pemerintah dan organisasi internasional
menggunakan pendekatan ini untuk merancang kebijakan yang memberikan manfaat
maksimal bagi masyarakat.
1)
Utilitarianisme dalam Kebijakan Sosial
Utilitarianisme,
sebagai salah satu bentuk utama konsekuensialisme, sering digunakan dalam
perancangan kebijakan sosial. John Stuart Mill menekankan bahwa kebijakan yang
baik adalah kebijakan yang memaksimalkan kesejahteraan sosial dan meminimalkan
penderitaan.¹ Pendekatan ini dapat terlihat dalam kebijakan seperti subsidi
kesehatan, pendidikan gratis, atau program kesejahteraan sosial yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.²
2)
Analisis Biaya dan Manfaat dalam Pengambilan Kebijakan
Salah satu
alat utama yang digunakan dalam konsekuensialisme adalah analisis biaya dan
manfaat (cost-benefit analysis).³ Pendekatan ini digunakan untuk mengevaluasi
dampak suatu kebijakan dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang
akan dihasilkan. Misalnya, dalam kebijakan lingkungan, pemerintah sering kali
mempertimbangkan manfaat jangka panjang dari pengurangan emisi karbon
dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung oleh industri.⁴
3)
Dilema Etis dalam Kebijakan Publik
Meskipun
konsekuensialisme dapat memberikan kerangka yang rasional dalam pengambilan
keputusan, ada dilema moral yang muncul. Misalnya, dalam situasi darurat
seperti pandemi, apakah lebih baik mengalokasikan sumber daya kesehatan kepada
kelompok yang memiliki peluang bertahan hidup lebih tinggi, meskipun itu
berarti mengorbankan kelompok lain?⁵ Dilema seperti ini menunjukkan bahwa
meskipun konsekuensialisme dapat menjadi panduan kebijakan, penerapannya
memerlukan pertimbangan etis yang lebih luas.
6.2.
Etika Bisnis dan Keputusan Korporat
Dalam dunia bisnis, konsekuensialisme sering
digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan strategis. Prinsip utama
yang digunakan adalah apakah suatu keputusan bisnis menghasilkan manfaat
terbesar bagi pemegang saham, karyawan, pelanggan, atau masyarakat luas.
1)
Keputusan Berdasarkan Konsekuensi Ekonomi
Prinsip
utilitarianisme sering digunakan dalam bisnis untuk memaksimalkan keuntungan
dan kepuasan pelanggan.⁶ Misalnya, perusahaan mungkin memutuskan untuk menekan
biaya produksi guna menawarkan harga lebih rendah kepada konsumen, yang pada
akhirnya meningkatkan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan.⁷
2)
Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai Bentuk Konsekuensialisme
Banyak
perusahaan kini menerapkan corporate social responsibility (CSR) sebagai
bagian dari strategi bisnis mereka.⁸ CSR berbasis konsekuensialisme menekankan
bahwa kebijakan bisnis yang bertanggung jawab secara sosial akan menghasilkan
manfaat jangka panjang, baik bagi perusahaan maupun masyarakat. Contohnya
adalah perusahaan teknologi yang menerapkan kebijakan ramah lingkungan atau
mendukung pendidikan melalui program beasiswa.⁹
3)
Tantangan dalam Konsekuensialisme Bisnis
Salah satu
kritik terhadap penerapan konsekuensialisme dalam bisnis adalah bahwa fokus
pada keuntungan dan hasil akhir sering kali mengabaikan etika dalam proses
bisnis. Misalnya, apakah sebuah perusahaan diperbolehkan memecat ratusan
karyawan jika itu berarti dapat meningkatkan profitabilitas dan memberikan
keuntungan lebih besar bagi pemegang saham?¹⁰ Keputusan seperti ini menimbulkan
dilema antara hasil jangka panjang dan dampak sosial jangka pendek.
6.3.
Etika Medis dan Penelitian Ilmiah
Bidang kedokteran dan penelitian ilmiah adalah
salah satu area di mana konsekuensialisme sering kali digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan etis.
1)
Distribusi Sumber Daya Medis
Dalam
situasi di mana sumber daya medis terbatas, seperti selama pandemi COVID-19,
banyak rumah sakit menggunakan prinsip konsekuensialisme untuk menentukan siapa
yang lebih dahulu menerima perawatan berdasarkan tingkat kemungkinan bertahan
hidup.¹¹
2)
Eksperimen Medis dan Uji Coba Klinis
Prinsip
konsekuensialisme juga mendukung praktik uji coba klinis, di mana manfaat dari
penelitian bagi masyarakat luas harus ditimbang terhadap potensi risiko bagi
individu yang berpartisipasi.¹²
3)
Dilema Eutanasia dan Hak Pasien
Salah satu
perdebatan etika medis yang paling kontroversial adalah eutanasia.¹³
Pendekatan konsekuensialis berargumen bahwa jika tindakan mengakhiri hidup
seseorang yang menderita penyakit terminal dapat mengurangi penderitaan yang
tidak perlu, maka tindakan tersebut dapat dianggap moral.¹⁴ Namun, pendekatan
ini menghadapi kritik keras dari perspektif deontologi yang berpendapat bahwa
kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik yang tidak boleh dikorbankan demi
hasil tertentu.¹⁵
6.4.
Keputusan Hukum dan Politik
Konsekuensialisme juga digunakan dalam bidang hukum
dan politik, di mana kebijakan dan peraturan sering dibuat berdasarkan dampak
yang diharapkan.
1)
Sistem Peradilan Pidana
Prinsip
konsekuensialisme sering digunakan dalam peradilan pidana, terutama dalam kasus
hukuman yang dirancang untuk mencegah kejahatan di masa depan.¹⁶ Hukuman
penjara atau denda dapat dibenarkan dalam perspektif konsekuensialis jika dapat
mengurangi tingkat kejahatan dan memberikan efek jera.¹⁷
2)
Etika Politik dan Kebijakan Global
Dalam
politik, konsekuensialisme digunakan dalam pengambilan keputusan terkait
kebijakan luar negeri, perdagangan internasional, dan perjanjian lingkungan
global.¹⁸ Misalnya, keputusan untuk melakukan intervensi militer sering kali
didasarkan pada pertimbangan konsekuensial, di mana tindakan tersebut dinilai
berdasarkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas global.¹⁹
3)
Tantangan dalam Penerapan Konsekuensialisme dalam Hukum dan Politik
Salah satu
tantangan utama dalam penerapan konsekuensialisme dalam hukum dan politik
adalah bahwa sering kali sulit untuk memprediksi semua konsekuensi dari suatu
tindakan atau kebijakan. Keputusan yang diambil berdasarkan konsekuensi yang
diproyeksikan mungkin tidak selalu menghasilkan hasil yang diharapkan, yang
dapat menyebabkan ketidakadilan atau konsekuensi yang tidak diinginkan.²⁰
Kesimpulan
Konsekuensialisme memiliki penerapan luas dalam
berbagai bidang, termasuk kebijakan publik, bisnis, etika medis, serta hukum
dan politik. Meskipun pendekatan ini menawarkan kerangka kerja yang rasional
dan berbasis hasil dalam pengambilan keputusan, ada tantangan etis yang harus
diperhitungkan. Oleh karena itu, penerapan konsekuensialisme dalam praktik
sering kali memerlukan keseimbangan dengan prinsip-prinsip etika lainnya untuk
memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan dan
kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat.
Catatan Kaki
[1]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 12.
[2]
Ibid., 15.
[3]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 70.
[4]
Ibid., 75.
[5]
Ibid., 80.
[6]
Milton Friedman, Capitalism and Freedom (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 133.
[7]
Ibid., 135.
[8]
Andrew Crane and Dirk Matten, Business Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 210.
[9]
Ibid., 215.
[10]
Ibid., 220.
[11]
Ezekiel J. Emanuel and Govind Persad, Fair
Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of Covid-19 (New England
Journal of Medicine, 2020), 2049.
[12]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2012),
92.
[13]
James Rachels, The End of Life: Euthanasia and
Morality (Oxford: Oxford University Press, 1986), 5.
[14]
Peter Singer, Rethinking Life and Death (New
York: St. Martin’s Griffin, 1995), 170.
[15]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
50.
[16]
Jeremy Bentham, The Rationale of Punishment
(London: Robert Heward, 1830), 12.
[17]
Michael Tonry, Punishment and Politics: Evidence
and Emulation in the Making of English Crime Control Policy (London:
Routledge, 2004), 57.
[18]
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge:
Harvard University Press, 1999), 35.
[19]
David Luban, The War on Terror and the Rule of
Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 105.
[20]
Bernard Williams, Ethics and the Limits of
Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 120.
7.
Kritik, Tantangan, dan Isu Kontemporer
Meskipun konsekuensialisme memiliki banyak
keunggulan dalam memberikan kerangka kerja etis yang berbasis hasil, teori ini
juga menghadapi berbagai kritik dan tantangan. Beberapa filsuf berpendapat
bahwa konsekuensialisme terlalu berfokus pada konsekuensi dan mengabaikan aspek
moral lainnya, seperti hak individu dan keadilan sosial. Selain itu,
perkembangan zaman telah membawa isu-isu kontemporer yang menantang penerapan
konsekuensialisme, terutama dalam bidang teknologi, lingkungan, dan hak asasi
manusia. Bagian ini akan mengulas tiga aspek utama: kritik teoretis terhadap
konsekuensialisme, tantangan implementasi dalam kehidupan nyata, dan
isu-isu etika kontemporer yang melibatkan konsekuensialisme.
7.1.
Kritik Teoretis terhadap Konsekuensialisme
1)
Mengabaikan Hak Individu
Salah satu
kritik utama terhadap konsekuensialisme adalah bahwa teori ini dapat
membenarkan pelanggaran terhadap hak individu jika tindakan tersebut
menghasilkan konsekuensi yang lebih besar bagi mayoritas.¹ John Rawls, dalam A
Theory of Justice, berpendapat bahwa konsekuensialisme berpotensi
mengorbankan individu demi kebaikan kolektif, yang bertentangan dengan prinsip
keadilan yang menekankan perlindungan terhadap hak dasar manusia.²
2)
Kesulitan dalam Mengukur Konsekuensi
Kritik lain
terhadap konsekuensialisme adalah bahwa konsekuensi suatu tindakan sering kali
sulit untuk diprediksi dan diukur secara objektif.³ Bernard Williams
menunjukkan bahwa konsekuensialisme sering kali bergantung pada asumsi bahwa
semua konsekuensi dapat dihitung dan dibandingkan, padahal dalam kenyataannya,
nilai moral dan dampak sosial tidak selalu dapat dikalkulasikan secara kuantitatif.⁴
3)
Masalah Tanggung Jawab Moral
Konsekuensialisme
juga dikritik karena dapat menyebabkan dilema dalam tanggung jawab moral. Jika
moralitas suatu tindakan hanya ditentukan oleh konsekuensinya, apakah seseorang
masih bertanggung jawab atas tindakan yang niatnya baik tetapi berujung pada
konsekuensi buruk?⁵ Derek Parfit menyoroti bahwa dalam beberapa kasus,
konsekuensialisme dapat mengarah pada justifikasi tindakan yang secara intuitif
tidak bermoral, hanya karena hasil akhirnya lebih menguntungkan bagi
mayoritas.⁶
7.2.
Tantangan Implementasi dalam Kehidupan Nyata
1)
Ketidakpastian dalam Pengambilan Keputusan
Salah satu
tantangan utama dalam menerapkan konsekuensialisme adalah bahwa manusia sering
kali tidak dapat memprediksi semua konsekuensi dari tindakan mereka.⁷ Dalam
konteks kebijakan publik, misalnya, keputusan yang tampak menguntungkan dalam
jangka pendek dapat memiliki dampak negatif yang tidak terduga di masa depan.
2)
Dilema Moral dalam Situasi Ekstrem
Konsekuensialisme
menghadapi tantangan serius dalam kasus-kasus di mana seseorang harus memilih
antara dua tindakan yang keduanya memiliki konsekuensi buruk.⁸ Contohnya adalah
dilema etis dalam perang, di mana pemimpin harus memutuskan apakah akan
melakukan serangan yang dapat mengurangi korban secara keseluruhan tetapi tetap
menyebabkan kematian orang-orang tak bersalah.
3)
Ketidakseimbangan Kesejahteraan
Kritikus
juga berpendapat bahwa konsekuensialisme dapat menciptakan ketimpangan
kesejahteraan karena terlalu menekankan kebahagiaan total tanpa
memperhatikan distribusinya.⁹ Misalnya, dalam sistem ekonomi berbasis
utilitarianisme, tindakan yang meningkatkan kemakmuran secara keseluruhan
tetapi memperparah kesenjangan sosial masih bisa dianggap etis.¹⁰
7.3.
Isu Kontemporer dalam Etika Konsekuensialisme
1)
Konsekuensialisme dalam Etika Teknologi dan AI
Perkembangan
kecerdasan buatan (AI) telah menghadirkan tantangan baru bagi
konsekuensialisme.¹¹ Algoritma berbasis AI sering kali mengambil keputusan
berdasarkan model prediksi yang selaras dengan prinsip utilitarianisme, seperti
dalam sistem kesehatan atau pengambilan keputusan keuangan. Namun, ini
menimbulkan pertanyaan tentang apakah etis bagi mesin untuk membuat keputusan
yang dapat memengaruhi kehidupan manusia tanpa mempertimbangkan aspek moral
yang lebih luas.¹²
2)
Etika Lingkungan dan Krisis Iklim
Konsekuensialisme
juga menghadapi tantangan dalam masalah lingkungan.¹³ Sebagian besar kebijakan
lingkungan saat ini berbasis pada analisis konsekuensial, dengan menilai dampak
dari tindakan tertentu terhadap perubahan iklim dan ekosistem.¹⁴ Namun, pendekatan
ini dikritik karena terkadang mengorbankan kebutuhan masyarakat lokal demi
keuntungan jangka panjang bagi planet secara keseluruhan.¹⁵
3)
Hak Asasi Manusia dalam Konteks Geopolitik
Dalam
diplomasi dan kebijakan luar negeri, konsekuensialisme sering digunakan sebagai
dasar untuk pembenaran tindakan politik yang kontroversial.¹⁶ Misalnya,
intervensi militer sering kali didasarkan pada premis bahwa tindakan tersebut
akan mengurangi konflik dalam jangka panjang, meskipun menyebabkan penderitaan
dalam jangka pendek.¹⁷ Namun, banyak kritikus berargumen bahwa pendekatan ini
sering kali digunakan sebagai alat politik untuk membenarkan keputusan yang
tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.¹⁸
Kesimpulan
Konsekuensialisme tetap menjadi teori etika yang
berpengaruh, tetapi tidak lepas dari kritik dan tantangan, terutama dalam
penerapannya di dunia nyata. Kritik utama terhadap konsekuensialisme mencakup
pengabaian hak individu, kesulitan dalam mengukur konsekuensi, serta masalah
tanggung jawab moral. Dalam praktiknya, konsekuensialisme menghadapi tantangan
dalam pengambilan keputusan yang penuh ketidakpastian dan dalam kasus-kasus
ekstrem yang membutuhkan pertimbangan etika yang lebih kompleks. Selain itu,
isu-isu kontemporer seperti teknologi AI, krisis lingkungan, dan geopolitik
menunjukkan bahwa konsekuensialisme harus terus berkembang agar tetap relevan
dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Catatan Kaki
[1]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 24.
[2]
Ibid., 30.
[3]
Bernard Williams, Ethics and the Limits of
Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 102.
[4]
Ibid., 105.
[5]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 153.
[6]
Ibid., 160.
[7]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 87.
[8]
Ibid., 92.
[9]
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 122.
[10]
Ibid., 127.
[11]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 72.
[12]
Ibid., 80.
[13]
Dale Jamieson, Ethics and the Environment: An
Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 58.
[14]
Ibid., 65.
[15]
Ibid., 68.
[16]
David Luban, The War on Terror and the Rule of
Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 95.
[17]
Ibid., 100.
[18]
Michael Walzer, Just and Unjust Wars: A Moral
Argument with Historical Illustrations (New York: Basic Books, 1977), 215.
8.
Studi Kasus dan Analisis
Konsekuensialisme tidak hanya menjadi teori abstrak
dalam etika normatif, tetapi juga memiliki penerapan nyata dalam berbagai
situasi kehidupan. Untuk memahami bagaimana konsekuensialisme digunakan dalam
pengambilan keputusan moral, bagian ini akan mengkaji beberapa studi kasus
historis dan kontemporer yang mencerminkan penerapan prinsip ini dalam
konteks dunia nyata. Studi kasus yang dianalisis meliputi penggunaan bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki, kebijakan lockdown selama pandemi
COVID-19, dilema moral dalam industri farmasi, serta keputusan
bisnis yang berbasis keuntungan dan kesejahteraan sosial.
8.1.
Penggunaan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki
(1945)
Salah satu contoh klasik penerapan
konsekuensialisme dalam pengambilan keputusan moral adalah keputusan Amerika
Serikat untuk menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang
Dunia II. Keputusan ini didasarkan pada argumen bahwa meskipun tindakan tersebut
menyebabkan kematian ratusan ribu orang secara langsung, konsekuensi jangka
panjangnya adalah mengakhiri perang lebih cepat dan mencegah lebih banyak
korban dari pertempuran darat yang berkepanjangan.¹
Pendukung keputusan ini, seperti filsuf utilitarian
Peter Singer, berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat dibenarkan dalam
perspektif konsekuensialisme karena mengurangi jumlah total korban yang mungkin
terjadi jika perang terus berlanjut.² Namun, kritik dari sudut pandang deontologi,
seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, berpendapat bahwa membunuh
warga sipil secara massal tidak dapat dibenarkan, terlepas dari
konsekuensinya.³
Dari sudut pandang konsekuensialisme, pertanyaan
utama yang muncul adalah: Apakah tindakan yang menyebabkan kehancuran besar
tetapi mengakhiri perang lebih cepat lebih dapat dibenarkan dibandingkan
membiarkan perang berlanjut dengan korban yang lebih besar dalam jangka
panjang? Analisis ini menunjukkan bagaimana konsekuensialisme sering kali
menghadapi dilema etika yang kompleks dalam skala global.
8.2.
Kebijakan Lockdown selama Pandemi COVID-19
Selama pandemi COVID-19, banyak negara menerapkan
kebijakan lockdown yang membatasi pergerakan warga, menutup bisnis, dan
menegakkan pembatasan sosial untuk mengendalikan penyebaran virus. Keputusan
ini didasarkan pada argumen konsekuensial bahwa dengan membatasi aktivitas
sosial, jumlah infeksi dan kematian akibat virus dapat dikurangi, meskipun hal
ini menyebabkan dampak negatif terhadap ekonomi dan kesejahteraan mental
masyarakat.⁴
Pendekatan utilitarian terhadap lockdown menilai
bahwa meskipun kebijakan ini merugikan banyak orang dalam jangka pendek,
manfaat jangka panjangnya lebih besar karena menyelamatkan lebih banyak nyawa
dan mencegah sistem kesehatan dari kolaps.⁵ Namun, kritik terhadap kebijakan
ini menyoroti bahwa konsekuensialisme terkadang gagal mempertimbangkan
ketidaksetaraan dampaknya. Amartya Sen berpendapat bahwa lockdown lebih
merugikan kelompok miskin yang bergantung pada pendapatan harian, sementara
kelompok kaya dapat lebih mudah bertahan.⁶
Analisis konsekuensialisme dalam kasus ini
menunjukkan bahwa sementara keputusan berbasis konsekuensi sering digunakan
dalam kebijakan publik, penerapannya harus mempertimbangkan dampak yang tidak
merata terhadap kelompok sosial yang berbeda.
8.3.
Dilema Moral dalam Industri Farmasi: Kasus
Harga Obat HIV
Industri farmasi menghadapi dilema moral yang
signifikan ketika harus memutuskan harga obat-obatan penting. Salah satu kasus
yang terkenal adalah keputusan perusahaan farmasi Turing Pharmaceuticals,
yang pada tahun 2015 menaikkan harga obat Daraprim—yang digunakan untuk
mengobati infeksi parasit pada pasien HIV—dari $13,50 menjadi $750 per tablet.⁷
Dari perspektif konsekuensialisme ekonomi,
perusahaan berargumen bahwa harga tinggi dapat digunakan untuk membiayai
penelitian dan pengembangan obat baru, yang pada akhirnya akan memberikan
manfaat bagi lebih banyak pasien di masa depan.⁸ Namun, dari perspektif konsekuensialisme
sosial, keputusan ini menyebabkan ribuan pasien HIV kehilangan akses terhadap
pengobatan yang mereka butuhkan, yang dapat meningkatkan angka kematian akibat
penyakit tersebut.⁹
Kasus ini menunjukkan bahwa konsekuensialisme dapat
memiliki interpretasi yang berbeda, tergantung pada apakah seseorang menilai
manfaat jangka panjang atau dampak langsung terhadap individu yang terdampak.
8.4.
Keputusan Bisnis: Antara Keuntungan dan
Tanggung Jawab Sosial
Banyak perusahaan menghadapi dilema antara
memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham dan memenuhi tanggung jawab sosial
mereka. Contohnya adalah keputusan perusahaan teknologi seperti Apple dan
Tesla, yang menerapkan standar produksi ramah lingkungan meskipun hal ini
meningkatkan biaya produksi.¹⁰
Pendekatan konsekuensialisme dalam bisnis
menyatakan bahwa perusahaan seharusnya mengambil keputusan yang menghasilkan
manfaat terbesar bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya keuntungan
finansial. Milton Friedman, seorang ekonom terkenal, berpendapat bahwa
satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan,
dengan asumsi bahwa pasar bebas akan mendistribusikan manfaat ekonomi secara
efisien.¹¹ Sebaliknya, John Rawls berpendapat bahwa perusahaan memiliki
tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kebijakan bisnis mereka tidak
merugikan kelompok yang lebih lemah dalam masyarakat.¹²
Kasus ini menunjukkan bagaimana konsekuensialisme
dalam dunia bisnis dapat berbenturan dengan teori etika lainnya, tergantung
pada bagaimana manfaat dan konsekuensi suatu keputusan dinilai.
Kesimpulan
Analisis terhadap studi kasus di atas menunjukkan
bahwa konsekuensialisme sering kali digunakan dalam pengambilan keputusan yang memiliki
dampak luas, baik dalam skala global, nasional, maupun korporasi. Namun,
penerapan konsekuensialisme dalam praktik sering menghadapi tantangan moral
yang kompleks, terutama ketika harus mempertimbangkan dampak jangka pendek
versus jangka panjang, serta keseimbangan antara kepentingan individu dan
kolektif.
Dalam situasi seperti penggunaan bom atom,
kebijakan lockdown, harga obat, dan keputusan bisnis, konsekuensialisme
memberikan kerangka kerja untuk menilai tindakan berdasarkan dampaknya. Namun,
sering kali muncul perdebatan tentang apakah manfaat keseluruhan dapat
membenarkan tindakan yang merugikan sebagian individu. Oleh karena itu,
penerapan konsekuensialisme harus selalu dikombinasikan dengan pertimbangan
etika lainnya agar dapat menghasilkan keputusan yang lebih adil dan
berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 195.
[2]
Ibid., 198.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
52.
[4]
Ezekiel J. Emanuel and Govind Persad, Fair
Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of Covid-19 (New England
Journal of Medicine, 2020), 2051.
[5]
Peter Singer, The Life You Can Save: Acting Now
to End World Poverty (New York: Random House, 2009), 72.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 140.
[7]
Marcia Angell, The Truth About the Drug
Companies: How They Deceive Us and What to Do About It (New York: Random
House, 2004), 85.
[8]
Ibid., 90.
[9]
Ibid., 93.
[10]
Andrew Crane and Dirk Matten, Business Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 250.
[11]
Milton Friedman, Capitalism and Freedom
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 133.
[12]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 35.
9.
Kesimpulan
Konsekuensialisme merupakan teori etika normatif
yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan hasil atau konsekuensinya.
Sepanjang pembahasan artikel ini, telah dikaji berbagai aspek yang terkait
dengan konsekuensialisme, mulai dari definisi dan dasar teoritis, prinsip
utama, varian-varian yang ada, hingga penerapan dalam berbagai bidang serta
tantangan yang dihadapinya. Bagian ini akan merangkum poin-poin utama yang
telah dibahas serta memberikan refleksi mengenai implikasi konsekuensialisme
dalam dunia modern dan arah penelitian di masa depan.
9.1.
Ringkasan Poin Utama
1)
Definisi dan Dasar Teoritis
Konsekuensialisme
adalah teori yang mendasarkan penilaian moral pada hasil yang dihasilkan dari
suatu tindakan.¹ Akar pemikirannya dapat ditelusuri dari filsuf klasik seperti Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill, yang mengembangkan utilitarianisme,
varian paling berpengaruh dari konsekuensialisme.²
2)
Prinsip Utama
(*) Prinsip
Utilitas, yang
menyatakan bahwa tindakan yang paling benar adalah yang menghasilkan
kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.³
(*) Penilaian
Konsekuensi, di mana
moralitas tindakan tidak dinilai dari niat atau aturan yang ada, melainkan
berdasarkan hasil akhirnya.⁴
3)
Varian dan Pendekatan Alternatif
Beberapa
bentuk konsekuensialisme yang berkembang meliputi:
(*) Act
Consequentialism dan Rule
Consequentialism, yang berbeda dalam bagaimana aturan moral diterapkan.⁵
(*) Preferensial
Utilitarianisme, yang
menekankan pemenuhan preferensi individu dibandingkan kebahagiaan secara umum.⁶
(*) Negative
Utilitarianism, yang lebih
berfokus pada pengurangan penderitaan daripada peningkatan kebahagiaan.⁷
4)
Aplikasi Konsekuensialisme dalam Praktik
Konsekuensialisme
telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk:
(*) Kebijakan
publik, seperti
dalam pengambilan keputusan terkait lockdown selama pandemi COVID-19.⁸
(*) Etika
bisnis, khususnya
dalam dilema antara keuntungan dan tanggung jawab sosial.⁹
(*) Etika medis, seperti dalam pengalokasian sumber daya kesehatan
yang terbatas.¹⁰
(*) Sistem
hukum dan politik, dalam
perancangan kebijakan yang berdampak luas pada masyarakat.¹¹
5)
Kritik dan Tantangan
Meskipun
memiliki banyak keunggulan, konsekuensialisme menghadapi berbagai kritik,
antara lain:
(*) Mengabaikan
hak individu, karena
fokus utama adalah kesejahteraan kolektif.¹²
(*) Kesulitan
dalam mengukur konsekuensi, terutama
dalam skenario yang kompleks.¹³
(*) Potensi
untuk membenarkan tindakan tidak etis, jika tindakan tersebut menghasilkan hasil yang dianggap menguntungkan
secara kolektif.¹⁴
6)
Studi Kasus dan Analisis
Beberapa
kasus yang dianalisis menunjukkan bagaimana konsekuensialisme digunakan dalam
situasi nyata, seperti:
(*) Keputusan
untuk menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang menunjukkan dilema antara dampak jangka
pendek dan jangka panjang.¹⁵
(*) Dilema
dalam industri farmasi, di mana
keuntungan finansial berbenturan dengan akses pasien terhadap obat-obatan
penting.¹⁶
9.2.
Implikasi Teoritis dan Praktis
Konsekuensialisme tetap menjadi teori yang sangat
relevan dalam konteks modern, terutama dalam pengambilan keputusan yang
membutuhkan pertimbangan rasional mengenai dampak jangka panjang.
Fleksibilitasnya memungkinkan penerapan dalam berbagai bidang, termasuk kebijakan
global, keadilan sosial, serta teknologi dan kecerdasan buatan (AI).
Namun, untuk menghindari jebakan yang dapat
mengarah pada pelanggaran hak individu atau tindakan yang tidak etis, pendekatan
konsekuensialisme harus dikombinasikan dengan prinsip-prinsip etika lainnya,
seperti deontologi dan etika kebajikan.¹⁷ Dengan demikian, pengambilan
keputusan moral dapat mempertimbangkan tidak hanya konsekuensi tetapi juga
aspek moral lain seperti keadilan dan integritas individu.
9.3.
Arah Penelitian Selanjutnya
Beberapa area yang memerlukan eksplorasi lebih
lanjut dalam konsekuensialisme meliputi:
1)
Konsekuensialisme dalam era teknologi dan AI
Bagaimana AI
dapat diterapkan secara etis dengan prinsip konsekuensialisme tanpa
mengorbankan hak individu?
Bagaimana
algoritma berbasis konsekuensialisme dapat memastikan keadilan dalam pengambilan
keputusan?¹⁸
2)
Konsekuensialisme dalam Kebijakan Lingkungan
Bagaimana
teori ini dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan keberlanjutan yang
adil?
Bagaimana
perhitungan dampak lingkungan dapat diseimbangkan dengan kepentingan ekonomi?¹⁹
3)
Konsekuensialisme dan Etika Global
Bagaimana
teori ini dapat diterapkan dalam keadilan sosial, kemiskinan global, dan
distribusi sumber daya secara etis?²⁰
Kesimpulan Akhir
Konsekuensialisme adalah teori etika yang memiliki
kekuatan besar dalam memberikan solusi berbasis hasil dalam berbagai
konteks moral dan praktis. Meskipun memiliki kelemahan dalam hal hak individu
dan pengukuran konsekuensi, teori ini tetap menjadi alat yang berguna dalam pengambilan
keputusan di dunia yang semakin kompleks. Oleh karena itu, penerapan
konsekuensialisme harus dilakukan secara hati-hati, dengan mempertimbangkan
perspektif etika lain untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya
menghasilkan manfaat yang luas tetapi juga adil dan bermoral.
Catatan Kaki
[1]
Julia Driver, Consequentialism (New York:
Routledge, 2012), 10.
[2]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1789), 30.
[3]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 15.
[4]
Ibid., 18.
[5]
R. M. Hare, Moral Thinking: Its Levels, Method,
and Point (Oxford: Oxford University Press, 1981), 80.
[6]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 100.
[7]
Ibid., 105.
[8]
Ezekiel J. Emanuel and Govind Persad, Fair
Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of Covid-19 (New England
Journal of Medicine, 2020), 2051.
[9]
Andrew Crane and Dirk Matten, Business Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 220.
[10]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2012),
92.
[11]
Bernard Williams, Ethics and the Limits of
Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 110.
[12]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 27.
[13]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 160.
[14]
Bernard Williams, Moral Luck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), 12.
[15]
Peter Singer, Practical Ethics, 210.
[16]
Marcia Angell, The Truth About the Drug
Companies (New York: Random House, 2004), 85.
[17]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a.
[18]
Nick Bostrom, Superintelligence (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 72.
[19]
Dale Jamieson, Ethics and the Environment
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 65.
[20]
Peter Singer, The Life You Can Save (New
York: Random House, 2009), 90.
Daftar Pustaka
Angell, M. (2004). The
truth about the drug companies: How they deceive us and what to do about it.
New York, NY: Random House.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Beauchamp, T. L., &
Childress, J. F. (2012). Principles of biomedical ethics (7th ed.).
New York, NY: Oxford University Press.
Bentham, J. (1789). An
introduction to the principles of morals and legislation. Oxford, UK:
Clarendon Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence:
Paths, dangers, strategies. Oxford, UK: Oxford University Press.
Crane, A., & Matten, D.
(2016). Business ethics. Oxford, UK: Oxford University Press.
Driver, J. (2012). Consequentialism.
New York, NY: Routledge.
Emanuel, E. J., &
Persad, G. (2020). Fair allocation of scarce medical resources in the time of
COVID-19. New England Journal of Medicine, 382(21), 2049–2055. https://doi.org/10.1056/NEJMsb2005114
Friedman, M. (1962). Capitalism
and freedom. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Hare, R. M. (1981). Moral
thinking: Its levels, method, and point. Oxford, UK: Oxford University
Press.
Jamieson, D. (2008). Ethics
and the environment: An introduction. Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Kant, I. (1997). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Luban, D. (2010). The
war on terror and the rule of law. Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism.
London, UK: Parker, Son, and Bourn.
Parfit, D. (1984). Reasons
and persons. Oxford, UK: Clarendon Press.
Rawls, J. (1999). A
theory of justice (Rev. ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rawls, J. (1999). The
law of peoples. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rachels, J. (1986). The
end of life: Euthanasia and morality. Oxford, UK: Oxford University Press.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. New York, NY: Alfred A. Knopf.
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Singer, P. (1995). Rethinking
life and death. New York, NY: St. Martin’s Griffin.
Singer, P. (2009). The
life you can save: Acting now to end world poverty. New York, NY: Random
House.
Tonry, M. (2004). Punishment
and politics: Evidence and emulation in the making of English crime control
policy. London, UK: Routledge.
Walzer, M. (1977). Just
and unjust wars: A moral argument with historical illustrations. New York,
NY: Basic Books.
Williams, B. (1981). Moral
luck. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Williams, B. (1985). Ethics
and the limits of philosophy. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar