Pemikiran Søren Kierkegaard
Eksistensialisme dan Subjektivitas dalam Filsafat
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara kritis pemikiran filsuf
dan teolog Denmark abad ke-19, Søren Kierkegaard, dengan menitikberatkan pada
kontribusinya terhadap eksistensialisme dan konsep subjektivitas dalam filsafat
modern. Kierkegaard menolak pendekatan sistematis rasional ala Hegel dan
menempatkan individu dalam pusat perhatian refleksi filosofis dan religius.
Melalui pembahasan tentang tahapan eksistensial (estetik, etis, religius),
konsep kecemasan dan keputusasaan, serta lompatan iman sebagai bentuk respons
terhadap paradoks iman, artikel ini menampilkan pemikiran Kierkegaard sebagai
bentuk kritik tajam terhadap kekristenan formalistik dan institusional.
Pengaruh Kierkegaard terhadap filsafat eksistensial, teologi dialektis, serta
psikologi modern turut dianalisis untuk menunjukkan relevansi lintas-disipliner
dari warisan intelektualnya. Di sisi lain, artikel ini juga memaparkan berbagai
kritik terhadap pendekatan Kierkegaard yang dinilai subjektif, antirasional,
dan kurang peka terhadap realitas sosial. Kesimpulan artikel menegaskan bahwa
pemikiran Kierkegaard, meskipun kompleks dan kontroversial, tetap menawarkan kontribusi
berharga dalam menjawab krisis spiritual dan eksistensial manusia modern.
Kata Kunci: Søren Kierkegaard, eksistensialisme, subjektivitas,
kecemasan, keputusasaan, lompatan iman, paradoks, kritik terhadap gereja,
filsafat modern, teologi dialektis.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Søren Kierkegaard
1.
Pendahuluan
Abad ke-19 merupakan
periode penting dalam sejarah intelektual Eropa yang ditandai oleh ketegangan
antara rasionalisme sistematis yang diwakili oleh filsafat Hegelian dan
gelombang baru pemikiran yang menekankan pengalaman pribadi, kebebasan
individu, dan keterlibatan eksistensial. Di tengah atmosfer filsafat modern
yang cenderung mengagungkan sistem dan kepastian logis, Søren Kierkegaard
(1813–1855) tampil sebagai suara disonan yang menekankan pentingnya
subjektivitas, keberadaan individual, dan hubungan personal dengan Tuhan.
Sebagai seorang filsuf, teolog, dan sastrawan religius asal Denmark,
Kierkegaard memformulasikan gagasan-gagasan yang kelak menjadi fondasi bagi
filsafat eksistensialisme modern, sekaligus memberikan kritik tajam terhadap
rasionalisme absolut dan kekristenan formalistik di zamannya.¹
Pemikiran
Kierkegaard muncul sebagai respons terhadap dominasi filsafat idealisme Jerman,
terutama gagasan Hegel yang berusaha merangkum seluruh kenyataan dalam suatu
sistem spekulatif universal. Bagi Kierkegaard, upaya semacam itu mengabaikan
dimensi eksistensial manusia yang bersifat paradoksal, penuh kecemasan, dan
ditentukan oleh pilihan-pilihan pribadi yang melibatkan tanggung jawab moral
dan religius.² Ia menolak penyamaan kebenaran dengan konsensus rasional atau
sistem logis, dan sebaliknya menyatakan bahwa “kebenaran adalah
subjektivitas” (truth is subjectivity)—yakni, bahwa kebenaran paling
sejati hanya dapat ditemukan dalam keterlibatan eksistensial pribadi.³ Dengan
demikian, Kierkegaard menegaskan bahwa filsafat yang otentik tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan nyata si pemikir, terutama dalam relasinya dengan
Tuhan dan dengan dirinya sendiri.
Di samping menjadi
pelopor eksistensialisme, Kierkegaard juga merupakan pemikir religius yang
mendalam. Dalam banyak karyanya—baik yang ditulis dengan nama asli maupun
melalui berbagai pseudonim seperti Johannes de Silentio atau Anti-Climacus—ia
mengangkat tema-tema seperti kecemasan (angst), keputusasaan (despair),
iman, lompatan iman (leap of faith), dan relasi personal
dengan Allah.⁴ Dengan gaya penulisan yang kompleks dan kaya simbolisme,
Kierkegaard tidak hanya menyampaikan argumen, tetapi mengundang pembaca untuk
mengalami dan merenungkan kehidupan mereka sendiri secara eksistensial.⁵
Tujuan utama artikel
ini adalah untuk mengkaji secara kritis inti-inti pemikiran Kierkegaard, dengan
menelusuri relevansi gagasannya tentang subjektivitas, iman, dan eksistensi
dalam konteks filsafat dan teologi modern. Kajian ini juga akan membahas
bagaimana pemikiran Kierkegaard memengaruhi perkembangan eksistensialisme abad
ke-20, sekaligus mengkaji kritik-kritik terhadap gagasannya. Untuk itu, artikel
ini akan menggunakan pendekatan hermeneutik-kritis, berdasarkan pada pembacaan
karya-karya primer Kierkegaard dan analisis dari para sarjana kontemporer.
Footnotes
[1]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 3–5.
[2]
Jon Stewart, Kierkegaard's Relations to Hegel Reconsidered
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 1–4.
[3]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to
Philosophical Fragments, ed. and trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong
(Princeton: Princeton University Press, 1992), 203.
[4]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 7–10.
[5]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s
Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University
Press, 1996), 15–18.
2.
Biografi
Intelektual Søren Kierkegaard
Søren Aabye
Kierkegaard lahir pada 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark, dalam sebuah keluarga
yang sangat religius dan intelektual. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard,
adalah seorang pedagang sukses sekaligus sosok yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan kepribadian Søren. Meskipun tidak memperoleh pendidikan formal
tinggi, Michael dikenal sebagai pemikir autodidak yang mendalam dalam pemahaman
Alkitab dan filsafat. Ia menanamkan nilai-nilai religius yang ketat, nuansa
melankolis, serta kesadaran akan dosa dan penderitaan dalam kehidupan
anak-anaknya.¹ Warisan spiritual ayahnya ini menjadi fondasi penting dalam
pemikiran Kierkegaard, terutama dalam penekanannya pada keprihatinan moral dan
hubungan individu dengan Tuhan.
Kierkegaard menempuh
pendidikan di Universitas Kopenhagen pada tahun 1830-an, mula-mula belajar
teologi, kemudian merambah bidang filsafat dan sastra.² Dalam periode ini, ia
membaca karya-karya besar dari Socrates, Plato, Kant, dan Hegel, serta
mengembangkan kekaguman sekaligus kritik terhadap idealisme Jerman yang saat
itu dominan.³ Ia juga menunjukkan ketertarikan terhadap genre sastra dan
teater, yang kelak mempengaruhi gaya penulisannya yang penuh ironi, metafora,
dan pseudonimitas. Pada tahun 1841, ia menyelesaikan disertasinya yang berjudul
On the
Concept of Irony with Constant Reference to Socrates, sebuah studi
kritis tentang ironi dalam filsafat Socrates sekaligus pembukaan bagi
pendekatan dialektika eksistensial yang akan ia kembangkan.⁴
Salah satu peristiwa
paling menentukan dalam kehidupan Kierkegaard adalah pertunangannya dengan
Regina Olsen, yang berakhir dengan keputusan sepihak dari Kierkegaard untuk
membatalkan hubungan tersebut. Ia merasa bahwa kehidupan sebagai seorang
pemikir religius yang radikal tidak dapat dijalani bersamaan dengan kehidupan
domestik yang membahagiakan.⁵ Trauma emosional ini tercermin dalam berbagai
karyanya yang mengeksplorasi tema cinta, pengorbanan, dan penderitaan
eksistensial.⁶ Kierkegaard menjalani kehidupan yang relatif terisolasi, menolak
ketenaran publik, dan lebih memilih menyampaikan gagasannya melalui
tulisan-tulisan yang sering kali diterbitkan di bawah nama samaran.
Karya-karya
Kierkegaard sangat produktif dan bervariasi, mencakup filsafat, teologi, kritik
sosial, dan literatur eksistensial. Beberapa di antaranya yang paling
berpengaruh adalah Either/Or (1843), Fear and
Trembling (1843), The Concept of Anxiety (1844), The
Sickness Unto Death (1849), dan Practice in Christianity (1850).⁷
Ia sering menggunakan pseudonim seperti Johannes de Silentio, Vigilius
Haufniensis, dan Anti-Climacus untuk menyampaikan perspektif yang berbeda, yang
mencerminkan kompleksitas dialektika eksistensial antara estetika, etika, dan
religiusitas.⁸
Kierkegaard wafat
pada usia 42 tahun, pada 11 November 1855, setelah mengalami kejatuhan
kesehatan yang parah. Namun warisan intelektualnya tidak berakhir di situ.
Meskipun pada masanya ia dianggap sebagai pemikir yang terisolasi dan bahkan
eksentrik, pemikirannya mulai diakui secara luas pada abad ke-20 dan memberikan
pengaruh besar terhadap filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan
Martin Heidegger, serta para teolog seperti Karl Barth dan Paul Tillich.⁹ Ia
kini dihormati sebagai salah satu pendiri eksistensialisme modern dan pemikir
religius yang menggugah kedalaman batin dan tanggung jawab pribadi manusia
dalam menghadapi misteri eksistensi.
Footnotes
[1]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 9–12.
[2]
Joakim Garff, Søren Kierkegaard: A Biography, trans. Bruce H.
Kirmmse (Princeton: Princeton University Press, 2005), 73–75.
[3]
Jon Stewart, Kierkegaard's Relations to Hegel Reconsidered
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 10–14.
[4]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 24–26.
[5]
Clare Carlisle, Philosopher of the Heart: The Restless Life of
Søren Kierkegaard (London: Allen Lane, 2019), 110–113.
[6]
Merold Westphal, Kierkegaard’s Concept of Faith (Grand Rapids:
Eerdmans, 2014), 27–29.
[7]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography, 251–272.
[8]
Sylvia Walsh, Living Christianly: Kierkegaard’s Dialectic of
Christian Existence (University Park: Pennsylvania State University Press,
2005), 17–20.
[9]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 22–24.
3.
Konsep
Subjektivitas dan Kebenaran Individual
Salah satu sumbangan
paling orisinal dan radikal dari Søren Kierkegaard terhadap filsafat modern
adalah pemahamannya bahwa kebenaran tidak bersifat objektif universal,
melainkan subjektif dan eksistensial.
Dalam karya monumentalnya Concluding Unscientific Postscript to
Philosophical Fragments (1846), yang ditulis dengan nama samaran
Johannes Climacus, Kierkegaard secara eksplisit menyatakan bahwa “truth
is subjectivity”.¹ Bagi Kierkegaard, kebenaran sejati tidak
ditentukan oleh korespondensi logis atau keabsahan sistem rasional semata,
melainkan oleh keterlibatan pribadi dan keberanian
eksistensial dalam menjalani kebenaran itu sendiri.
Penegasan ini muncul
sebagai kritik tajam terhadap filsafat sistematik Hegelian yang, menurut
Kierkegaard, justru menciptakan jarak antara subjek dan kebenaran.² Hegel
mencoba merangkum seluruh realitas dalam sistem rasional yang absolut, tetapi
Kierkegaard menolak pendekatan semacam itu karena mengabaikan dilema,
penderitaan, pilihan, dan lompatan iman yang harus dihadapi
setiap individu secara personal.³ Ia memandang bahwa kebenaran dalam bentuk proposisional
atau sistematis tidak mampu mengakomodasi realitas keberadaan manusia yang
konkret, penuh paradoks, dan bersifat transenden.
Dalam pandangan
Kierkegaard, “subjektivitas” bukan berarti relativisme,
tetapi menunjuk pada intensitas keberadaan pribadi dalam relasinya dengan
kebenaran.⁴ Ketika seseorang meyakini suatu kebenaran secara eksistensial—yakni
dalam penderitaan, keputusan, dan tanggung jawab pribadi—maka itulah bentuk
kebenaran tertinggi.⁵ Misalnya, pernyataan teoretis bahwa “Allah itu ada”
mungkin benar dalam tataran objektif, tetapi tidak memiliki nilai eksistensial
jika tidak mewujud dalam kehidupan dan keberanian pribadi untuk menghidupi
keyakinan tersebut. Kebenaran bukan sekadar diketahui, tetapi dihidupi
dan dialami secara eksistensial.
Karena itu,
Kierkegaard menempatkan “individualitas” (Enkelte)
sebagai titik tolak pemikiran filosofis dan religiusnya. Manusia bukan bagian
dari sistem metafisik, melainkan seorang individu yang hidup, mengalami
kecemasan, merasa putus asa, dan berusaha menemukan makna dalam hubungannya
dengan Tuhan.⁶ Dalam konteks inilah, Kierkegaard menolak segala bentuk pelarian
dari tanggung jawab eksistensial ke dalam sistem kolektif, baik yang bersifat
rasional, politik, maupun religius.
Paradoks dari
pendekatan Kierkegaard terletak pada ketegangan antara iman dan
rasio, antara keterbatasan manusia dan tuntutan akan
kebenaran mutlak. Kierkegaard tidak menolak rasio, tetapi ia
menegaskan bahwa rasio tidak memadai untuk menjangkau relasi yang paling hakiki
antara manusia dan Tuhan.⁷ Di sinilah muncul gagasannya tentang leap of
faith—lompatan iman yang tidak bisa dijembatani oleh argumen logis,
tetapi hanya dapat dilampaui melalui keberanian subjektif dan pengorbanan
diri.⁸
Konsep subjektivitas
Kierkegaard memberikan dasar bagi lahirnya eksistensialisme teistik,
sekaligus membuka ruang bagi pemikiran modern yang menghargai keberadaan
manusia dalam kompleksitas dan keterbatasannya. Ia menggeser fokus filsafat
dari abstraksi universal kepada pengalaman konkret individu yang
harus memilih, bertindak, dan bertanggung jawab atas eksistensinya sendiri.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to
Philosophical Fragments, ed. and trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong
(Princeton: Princeton University Press, 1992), 203.
[2]
Jon Stewart, Kierkegaard's Relations to Hegel Reconsidered
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 17–21.
[3]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 42–44.
[4]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s
Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University
Press, 1996), 30–33.
[5]
Clare Carlisle, Kierkegaard’s Philosophy of Becoming: Movements and
Positions (Albany: SUNY Press, 2005), 65–67.
[6]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 233–235.
[7]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 53–55.
[8]
Sylvia Walsh, Living Christianly: Kierkegaard’s Dialectic of
Christian Existence (University Park: Pennsylvania State University Press,
2005), 48–51.
4.
Tahapan
Eksistensial dalam Kehidupan Manusia
Salah satu
konstruksi filosofis paling berpengaruh dalam pemikiran Søren Kierkegaard
adalah gagasannya mengenai tiga tahapan eksistensial dalam kehidupan
manusia, yang mencerminkan perjalanan spiritual dan kesadaran
individu dalam merespons panggilan eksistensial. Gagasan ini terutama
dikembangkan dalam karya Either/Or (1843), Stages
on Life’s Way (1845), dan The Sickness Unto Death (1849).
Kierkegaard membagi proses perkembangan eksistensial manusia ke dalam tiga
tahap utama: tahap estetis, tahap
etis, dan tahap religius.¹ Ketiga tahap
ini bukanlah fase-fase kronologis yang harus dilalui semua orang, melainkan
representasi dialektis dari berbagai cara manusia memahami dan menghayati
keberadaannya.
4.1.
Tahap Estetis: Hidup dalam Kenikmatan dan
Pelarian
Tahap estetis
ditandai oleh sikap hidup yang berpusat pada kesenangan, keindahan, dan
pelarian dari penderitaan. Individu pada tahap ini menghindari komitmen dan
tanggung jawab, serta memilih untuk hidup dalam dunia pengalaman indrawi,
estetika, atau intelektual yang dangkal.² Tokoh fiktif “A” dalam Either/Or
mewakili tipe eksistensial ini, di mana kehidupan dijalani sebagai permainan tanpa
arah moral atau religius. Namun, pada akhirnya, kehidupan estetis membawa
individu pada kehampaan dan keputusasaan, karena ia gagal menemukan makna yang
mendalam dan otentik.³
4.2.
Tahap Etis: Hidup dengan Tanggung Jawab Moral
Kesadaran atas
kehampaan dalam tahap estetis dapat menggiring individu ke tahap etis, yaitu
kehidupan yang didasarkan pada komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab
terhadap diri dan sesama. Tokoh “B” dalam Either/Or,
yaitu Judge Wilhelm, adalah representasi tahap ini.⁴ Dalam tahap etis, manusia
mulai menyadari identitasnya sebagai pribadi yang memiliki tanggung jawab untuk
menjadi dirinya secara utuh melalui pilihan-pilihan yang penuh kesadaran.
Eksistensi bukan lagi sekadar permainan, melainkan perjuangan untuk hidup
secara benar dan bermakna dalam kerangka etika universal.⁵ Namun, keterbatasan
tahap ini tampak ketika manusia menyadari bahwa moralitas saja tidak cukup
untuk menebus kegagalan dan dosa yang melekat dalam dirinya.
4.3.
Tahap Religius: Hidup dalam Relasi Personal
dengan Tuhan
Tahap tertinggi dan
terdalam menurut Kierkegaard adalah tahap religius, di mana individu masuk
dalam relasi
eksistensial yang langsung, pribadi, dan paradoksal dengan Tuhan.
Tahap ini tidak hanya menuntut komitmen moral, tetapi juga iman
yang radikal dan subjektif, yang sering kali melampaui logika
rasional dan hukum etika umum.⁶ Dalam Fear and Trembling (1843), melalui
tokoh Abraham, Kierkegaard memperlihatkan bagaimana ketaatan kepada Tuhan dapat
menuntut pengorbanan yang tidak bisa dipahami secara etis—sebuah teleological
suspension of the ethical.⁷ Di sinilah konsep leap of
faith memainkan peran sentral: manusia harus melompati rasio dan
menerima absurditas iman sebagai jalan menuju relasi dengan Yang Mutlak.⁸
Pada tahap religius,
manusia mengakui keberdosaannya, menghayati penderitaan batin sebagai jalan
spiritual, dan menggantungkan eksistensinya sepenuhnya pada kasih karunia
Allah.⁹ Ini bukan sekadar bentuk ketaatan luar, melainkan transformasi batin
yang mengakar dalam kesetiaan subjektif. Relasi religius ini, menurut
Kierkegaard, adalah bentuk eksistensi paling otentik dan tertinggi yang dapat
dicapai manusia.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Either/Or, trans. Howard V. Hong and Edna
H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1987), xvii–xx.
[2]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 56–59.
[3]
Clare Carlisle, Philosopher of the Heart: The Restless Life of
Søren Kierkegaard (London: Allen Lane, 2019), 132–135.
[4]
Kierkegaard, Either/Or, 243–275.
[5]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s
Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University
Press, 1996), 55–58.
[6]
Sylvia Walsh, Living Christianly: Kierkegaard’s Dialectic of
Christian Existence (University Park: Pennsylvania State University Press,
2005), 84–88.
[7]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Howard V. Hong
and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1983), 54–57.
[8]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 76–79.
[9]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 295–299.
5.
Gagasan
tentang “Kecemasan” dan “Keputusasaan”
Søren Kierkegaard
menempatkan kecemasan (angst)
dan keputusasaan
(fortvivlelse)
sebagai dua konsep sentral dalam psikologi eksistensialnya. Keduanya bukan
sekadar kondisi mental patologis, melainkan fenomena ontologis yang melekat
pada struktur keberadaan manusia. Dalam The Concept of Anxiety (1844) dan The
Sickness Unto Death (1849), Kierkegaard menggambarkan bagaimana
manusia, sebagai makhluk yang sadar diri dan terbuka terhadap kemungkinan,
tidak dapat menghindari pengalaman kecemasan dan keputusasaan sebagai bagian
dari proses menjadi diri sendiri.¹
5.1.
Kecemasan sebagai “Penggoda” Menuju Kebebasan
Dalam The
Concept of Anxiety, Kierkegaard menyatakan bahwa kecemasan adalah
"penggoda" yang mendahului dosa.² Kecemasan muncul bukan
karena adanya bahaya eksternal, melainkan karena kesadaran
akan kemungkinan: manusia sadar bahwa ia dapat memilih, dan
dari situ muncul ketegangan antara kenyataan dan potensi, antara yang ada dan
yang bisa terjadi.³ Berbeda dengan rasa takut (fear), yang berkaitan dengan objek
konkret, kecemasan bersifat abstrak dan tidak memiliki sasaran tertentu—ia
merupakan pengalaman berdiri di ambang kemungkinan yang tak terbatas.
Kierkegaard
mencontohkan situasi ini melalui kisah Adam dalam Kitab Kejadian. Adam,
meskipun belum berdosa, merasakan kecemasan karena dihadapkan pada larangan
Allah dan kemungkinan melanggarnya.⁴ Kecemasan adalah tanda
kebebasan manusia, namun kebebasan itu dapat membawa pada
pilihan yang keliru, yakni dosa.⁵ Dalam hal ini, kecemasan memiliki fungsi
ambivalen: ia bisa menjadi jalan menuju pembaruan spiritual atau kehancuran
moral.
5.2.
Keputusasaan sebagai Penyakit Menuju Kematian
Sementara kecemasan
berkaitan dengan kemungkinan dan kebebasan, keputusasaan adalah ekspresi
kegagalan dalam menjadi diri sendiri. Dalam The Sickness Unto Death,
Kierkegaard menyebut keputusasaan sebagai “penyakit menuju kematian” (sygdommen
til døden), yaitu penolakan terhadap jati diri sejati yang
ditentukan oleh relasi dengan Tuhan.⁶ Keputusasaan bukan
semata-mata perasaan sedih atau putus harapan, tetapi kondisi spiritual di mana
seseorang kehilangan atau menolak dirinya yang sejati.
Menurut Kierkegaard,
ada beberapa bentuk keputusasaan: (1) tidak sadar bahwa dirinya berada dalam
keputusasaan; (2) sadar berada dalam keputusasaan, tetapi ingin menjadi dirinya
sendiri tanpa Tuhan; dan (3) sadar berada dalam keputusasaan, tetapi tidak ingin
menjadi diri sendiri.⁷ Semua bentuk ini mencerminkan disintegrasi
antara dimensi-dimensi diri manusia—tubuh, jiwa, dan roh—yang
seharusnya disatukan dalam hubungan dengan Tuhan sebagai dasar eksistensi.
Keputusasaan adalah
manifestasi dari keterasingan eksistensial, dan penyembuhannya hanya dapat
terjadi melalui iman dan pengakuan akan ketergantungan mutlak
kepada Allah.⁸ Dalam konteks ini, keputusasaan bukan akhir dari
segalanya, melainkan pintu masuk ke tahap religius,
di mana individu mulai memahami kedalaman dirinya dan keterpanggilan menuju
hubungan dengan Yang Mutlak.⁹
5.3.
Relevansi Psikologis dan Teologis
Gagasan Kierkegaard
tentang kecemasan dan keputusasaan memiliki dampak besar dalam bidang psikologi
eksistensial dan teologi pastoral. Pemikir seperti Rollo May dan Viktor Frankl
mengembangkan konsep-konsep ini untuk menjelaskan krisis makna dalam kehidupan
modern.¹⁰ Selain itu, teolog seperti Paul Tillich dan Karl Barth memanfaatkan
pemahaman Kierkegaard tentang keputusasaan sebagai sarana untuk membangun
antropologi teologis yang menekankan keretakan dan rekonsiliasi antara manusia
dan Tuhan.¹¹
Dengan demikian,
Kierkegaard tidak hanya merumuskan kondisi eksistensial manusia secara
mendalam, tetapi juga menawarkan kerangka pemulihan spiritual
melalui lompatan iman dan pembaruan relasi dengan Yang Ilahi.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar
Thomte and Albert B. Anderson (Princeton: Princeton University Press, 1980),
38–41.
[2]
Ibid., 44.
[3]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 70–72.
[4]
Kierkegaard, The Concept of Anxiety, 47–49.
[5]
Clare Carlisle, Kierkegaard’s Philosophy of Becoming: Movements and
Positions (Albany: SUNY Press, 2005), 89–91.
[6]
Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Howard V.
Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1980), 14.
[7]
Ibid., 48–51.
[8]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s
Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University
Press, 1996), 78–80.
[9]
Sylvia Walsh, Living Christianly: Kierkegaard’s Dialectic of
Christian Existence (University Park: Pennsylvania State University Press,
2005), 109–111.
[10]
Rollo May, The Meaning of Anxiety (New York: Norton, 1950),
56–60.
[11]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 2 (Chicago: University
of Chicago Press, 1957), 36–39.
6.
Iman,
Paradox, dan Lompatan Iman (Leap of Faith)
Dalam lanskap
pemikiran Søren Kierkegaard, iman (faith)
bukan sekadar persetujuan intelektual terhadap doktrin atau dogma, melainkan
suatu keterlibatan
eksistensial yang mutlak, yang hanya dapat dicapai melalui paradoks
dan lompatan iman (leap of faith). Kierkegaard
memandang iman sebagai puncak dari eksistensi manusia, di mana seseorang
berelasi secara langsung dan personal dengan Tuhan, melampaui batas-batas rasio
dan etika universal.¹
6.1.
Iman sebagai Pengalaman Paradoksal
Salah satu
kontribusi khas Kierkegaard adalah penggambaran iman sebagai paradoks,
yaitu situasi di mana manusia dipanggil untuk percaya pada sesuatu yang secara
rasional tampak tidak masuk akal.² Dalam Philosophical Fragments (1844) dan Concluding
Unscientific Postscript (1846), ia menekankan bahwa inkarnasi
Allah dalam pribadi Yesus Kristus merupakan paradoks tertinggi:
bahwa Yang Kekal menjadi waktu, Yang Ilahi menjadi manusia.³ Keyakinan akan
paradoks ini tidak dapat dicapai melalui argumen rasional, tetapi melalui
penyerahan diri yang penuh kepercayaan.
Menurut Kierkegaard,
iman adalah “absurd”, bukan dalam arti
irasional atau ngawur, tetapi karena ia melampaui dan menangguhkan kemampuan
penalaran manusia.⁴ Iman tidak menolak akal, namun menempatkannya pada
tempatnya: sebagai alat terbatas yang tidak dapat menjangkau realitas
transenden secara penuh. Di titik inilah, iman bukanlah hasil dari proses rasional,
melainkan sebuah keputusan eksistensial yang hanya mungkin bagi
individu yang berani masuk ke dalam ketidakpastian.
6.2.
Abraham dan Paradoks Etika
Dalam Fear and
Trembling (1843), Kierkegaard menggambarkan tokoh Abraham sebagai “ksatria
iman” (knight of faith) yang melakukan
tindakan paling paradoksal: bersedia mengorbankan anaknya, Ishak, atas perintah
Tuhan.⁵ Tindakan ini menangguhkan norma etika universal demi relasi pribadi
yang absolut dengan Allah—a phenomenon Kierkegaard sebut sebagai the
teleological suspension of the ethical.⁶
Abraham tidak
mengikuti hukum moral umum, melainkan tunduk pada perintah ilahi yang tampak
absurd. Namun, justru dalam ketundukan tanpa syarat itu, Abraham mencapai
bentuk eksistensi tertinggi. Ini menunjukkan bahwa iman
bukanlah tindakan moral atau rasional, melainkan respons eksistensial terhadap
perintah Allah yang bersifat pribadi, unik, dan melampaui etika konvensional.⁷
6.3.
Leap of Faith: Lompatan ke Dalam Ketidakpastian
Konsep “lompatan
iman” (leap of faith) adalah gambaran metaforis yang digunakan
Kierkegaard untuk menjelaskan peralihan dari pengetahuan ke kepercayaan, dari
keterbatasan akal ke ketundukan iman.⁸ Lompatan ini tidak dapat dimediasi oleh
argumen atau bukti, melainkan hanya dapat dilakukan oleh individu yang secara
sadar memilih untuk mempercayai sesuatu yang tidak pasti dengan seluruh
keberadaannya.⁹
Lompatan iman
melibatkan resiko, penderitaan, dan kesendirian,
karena individu harus berdiri sendiri di hadapan Tuhan tanpa jaminan pembenaran
rasional. Namun justru di sanalah terletak keunikan dan kemurnian iman
menurut Kierkegaard: ia adalah bentuk kepercayaan total, bukan karena bukti,
tetapi karena kesadaran akan keterbatasan diri dan ketergantungan mutlak pada
Yang Ilahi.¹⁰
6.4.
Relevansi dan Dampak Pemikiran Iman Kierkegaard
Pandangan
Kierkegaard tentang iman sangat mempengaruhi teologi eksistensial dan dialektis,
terutama pada tokoh seperti Karl Barth dan Rudolf Bultmann, yang menolak
reduksi iman menjadi moralitas atau sistem rasional.¹¹ Ia juga menjadi
inspirasi bagi filsafat eksistensial modern dalam menekankan peran keputusan
subjektif dan komitmen personal dalam pencarian makna.¹²
Secara keseluruhan,
Kierkegaard menggambarkan iman bukan sebagai jawaban, tetapi sebagai perjalanan
batin yang menuntut keberanian untuk hidup dalam ketegangan antara akal dan
wahyu, antara kegelapan dan pengharapan, antara manusia dan Allah.
Iman, bagi Kierkegaard, adalah titik temu tertinggi antara paradoks dan
eksistensi.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to
Philosophical Fragments, ed. and trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong
(Princeton: Princeton University Press, 1992), 206–209.
[2]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 97–101.
[3]
Søren Kierkegaard, Philosophical Fragments, trans. Howard V.
Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1985), 32–34.
[4]
Clare Carlisle, Kierkegaard’s Philosophy of Becoming: Movements and
Positions (Albany: SUNY Press, 2005), 119–122.
[5]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Howard V. Hong
and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1983), 15–19.
[6]
Ibid., 55.
[7]
Merold Westphal, Kierkegaard’s Concept of Faith (Grand Rapids:
Eerdmans, 2014), 41–44.
[8]
Evans, Kierkegaard: An Introduction, 103.
[9]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 271–274.
[10]
Sylvia Walsh, Living Christianly: Kierkegaard’s Dialectic of
Christian Existence (University Park: Pennsylvania State University Press,
2005), 95–97.
[11]
Paul Tillich, The Protestant Era (Chicago: University of
Chicago Press, 1948), 44–46.
[12]
Karl Barth, The Epistle to the Romans, trans. Edwyn C. Hoskyns
(Oxford: Oxford University Press, 1933), 10–12.
7.
Kritik
terhadap Gereja dan Kekristenan Formalistik
Søren Kierkegaard
dikenal tidak hanya sebagai filsuf eksistensialis dan pemikir religius, tetapi
juga sebagai kritikus paling tajam terhadap institusi gereja
pada masanya, khususnya Gereja Lutheran Denmark, yang
ia anggap telah kehilangan semangat Kekristenan sejati. Kritiknya bukan
diarahkan kepada Kekristenan sebagai ajaran spiritual, melainkan terhadap kekristenan
yang telah menjadi lembaga sosial yang mapan, birokratis, dan dangkal secara
spiritual.¹ Ia menyebut kondisi ini sebagai “Kekristenan Kristiani”
(Christendom)
yang telah menggantikan Kekristenan sejati (Christianity).
Dalam karya-karya
akhir hidupnya, terutama Attack Upon Christendom (Øieblikket),
Kierkegaard menyatakan bahwa Kekristenan telah berubah menjadi bentuk
formalitas eksternal yang menyesatkan, karena menekankan rutinitas liturgis, dogma yang
dihafal, dan kenyamanan sosial, tetapi mengabaikan panggilan
Kristus yang radikal untuk hidup dalam pengorbanan dan kesetiaan pribadi.² Ia
menyebut para pemimpin gereja sebagai orang-orang yang hidup “dalam
kebohongan religius”—memakai bahasa Injil, namun menyangkal kekuatan
transformatifnya.³
Kierkegaard menolak konsepsi
iman sebagai identitas sosial atau warisan budaya. Bagi
masyarakat Denmark saat itu, menjadi Kristen sering kali identik dengan menjadi
warga negara yang baik, lahir dari keluarga Kristen, dan mengikuti upacara
keagamaan. Kierkegaard mengecam pandangan ini karena menghapuskan
tuntutan radikal dari Injil, yang menuntut pertobatan pribadi
dan kesediaan untuk menderita demi Kristus.⁴ Kekristenan, dalam bentuk yang
dilembagakan, menurut Kierkegaard, telah menjinakkan salib dan mengkompromikan
panggilan eksistensial yang mengandung paradoks, penderitaan, dan pilihan
pribadi.⁵
Kritiknya yang
paling tajam diarahkan kepada Bishop Jakob Peter Mynster,
pemimpin Gereja Denmark yang oleh Kierkegaard dianggap telah merusak makna
sejati dari pengikut Kristus. Setelah kematian Mynster pada 1854, Kierkegaard
menggugat klaim gereja bahwa Mynster adalah “saksi kebenaran”—sebuah
gelar yang menurutnya hanya layak diberikan kepada orang-orang seperti para
rasul dan martir.⁶ Dengan menyamakan pemimpin institusional dengan saksi iman,
gereja justru merelatifkan makna penderitaan, iman, dan
keberanian eksistensial, serta menggantinya dengan stabilitas
dan kehormatan sosial.
Kierkegaard
menekankan bahwa mengikuti Kristus berarti hidup secara
paradoksal dan terasing dari dunia, bukan diterima dan dipuja.
Ia menulis, “Kekristenan tidak dapat disamakan dengan kehidupan yang tenang
dan terhormat; Kekristenan adalah penderitaan.”⁷ Oleh karena itu, ia
menyerukan agar individu keluar dari sistem institusional yang menipu,
dan kembali pada relasi pribadi dengan Kristus
yang tidak dimediasi oleh lembaga atau liturgi.⁸
Pandangan
Kierkegaard terhadap gereja bukan semata-mata kritik institusional, tetapi juga
merupakan proyek pembaruan spiritual. Ia
ingin membangkitkan kesadaran akan dimensi eksistensial dan paradoksal dari iman
Kristen, serta mengajak individu untuk bertanggung jawab penuh
atas hubungannya dengan Allah. Dalam hal ini, Kierkegaard memposisikan diri
sebagai “penggangu religius”—bukan untuk merusak gereja, tetapi untuk mengingatkan
kembali pada radikalisme Injil.⁹
Footnotes
[1]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 120–123.
[2]
Søren Kierkegaard, Attack Upon Christendom 1854–1855, ed. and
trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press,
1998), 3–6.
[3]
Ibid., 11.
[4]
Clare Carlisle, Philosopher of the Heart: The Restless Life of
Søren Kierkegaard (London: Allen Lane, 2019), 315–319.
[5]
Merold Westphal, Kierkegaard's Critique of Reason and Society
(University Park: Pennsylvania State University Press, 1991), 78–80.
[6]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 471–474.
[7]
Søren Kierkegaard, Practice in Christianity, trans. Howard V.
Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1991), 107.
[8]
Sylvia Walsh, Living Christianly: Kierkegaard’s Dialectic of
Christian Existence (University Park: Pennsylvania State University Press,
2005), 138–142.
[9]
Paul Tillich, The Protestant Era (Chicago: University of
Chicago Press, 1948), 62–65.
8.
Pengaruh
Kierkegaard dalam Filsafat dan Teologi Modern
Meskipun semasa
hidupnya Søren Kierkegaard tidak banyak dikenal di luar Denmark dan bahkan
dicemooh oleh masyarakat intelektual setempat, warisan pemikirannya justru
memperoleh resonansi besar pada abad ke-20, khususnya dalam konteks filsafat
eksistensial dan teologi dialektis. Ia diakui
sebagai “bapak eksistensialisme”, yang
menekankan pentingnya subjektivitas, keputusan pribadi, dan hubungan
eksistensial manusia dengan realitas transenden.¹ Pemikirannya menjadi titik
tolak bagi filsuf dan teolog modern dalam menghadapi krisis rasionalitas dan
kehilangan makna dalam dunia pasca-Enlightenment.
8.1.
Pengaruh dalam Filsafat Eksistensial
Kierkegaard memiliki
pengaruh besar terhadap eksistensialisme ateistik
maupun eksistensialisme
teistik. Jean-Paul Sartre, meskipun berbeda pandangan secara
teologis, mengadopsi banyak struktur eksistensial Kierkegaard, seperti
penekanan pada keputusan pribadi, kesadaran
diri, dan beban kebebasan eksistensial.²
Namun, Sartre menolak dimensi religius Kierkegaard, dan menggantinya dengan
konsep kebertanggungjawaban radikal tanpa Tuhan.
Sementara itu,
Martin Heidegger mengapresiasi Kierkegaard karena analisisnya tentang kecemasan
(Angst) dan kemungkinan eksistensial yang
mengarah pada pemahaman lebih dalam mengenai Dasein—yakni eksistensi manusia
sebagai “ada yang sadar akan keberadaannya.”³ Heidegger menyatakan bahwa
The
Concept of Anxiety milik Kierkegaard memiliki kedalaman
fenomenologis yang jarang ditemukan dalam karya para pendahulunya.⁴
Selain itu, Karl
Jaspers, seorang eksistensialis Jerman lainnya, menganggap Kierkegaard sebagai
tokoh kunci dalam membentuk kesadaran filosofis modern tentang batas-batas
rasio dan perlunya transcendensi, terutama dalam momen-momen
krisis yang tidak dapat dijelaskan oleh sains atau logika.⁵
8.2.
Pengaruh dalam Teologi Dialektis dan Teologi
Modern
Dalam bidang
teologi, Kierkegaard memberikan fondasi konseptual bagi teologi
dialektis, khususnya melalui pengaruhnya terhadap Karl
Barth. Barth mengadopsi pandangan Kierkegaard tentang jarak
tak terjembatani antara Allah dan manusia, serta perlunya wahyu
ilahi yang melampaui akal sebagai sarana utama untuk mengenal
Allah.⁶ Barth bahkan menyebut Kierkegaard sebagai "komet" yang
menyinari langit kegelapan teologi liberal abad ke-19.⁷
Rudolf Bultmann,
dalam proyek demitologisasi Kitab Suci, juga
memanfaatkan pendekatan eksistensial Kierkegaard untuk menjelaskan bagaimana
iman harus dipahami sebagai keputusan eksistensial, bukan
sekadar pengetahuan dogmatis atau penerimaan historis atas peristiwa-peristiwa
Alkitab.⁸
Teolog Protestan
lainnya seperti Paul Tillich, Reinhold Niebuhr, dan Emil Brunner, serta pemikir
Katolik seperti Gabriel Marcel dan Romano Guardini, turut menjadikan
Kierkegaard sebagai referensi dalam membangun teologi yang lebih personal,
eksistensial, dan terlibat dalam dinamika kehidupan manusia.⁹
8.3.
Relevansi Psikologis dan Kultural
Konsep kecemasan,
keputusasaan,
dan pencarian
makna dalam pemikiran Kierkegaard juga sangat berpengaruh dalam
bidang psikologi
eksistensial. Tokoh seperti Rollo May dan Viktor
Frankl menjadikan kerangka eksistensial Kierkegaard sebagai
dasar untuk memahami krisis eksistensial dan penderitaan manusia modern.¹⁰
Frankl, misalnya, menekankan bahwa makna hidup ditemukan dalam respon manusia
terhadap penderitaan, sejalan dengan pemikiran Kierkegaard tentang iman dan
penderitaan sebagai jalan menuju pemenuhan eksistensial.
Di bidang sastra dan
seni, pengaruh Kierkegaard tampak pada karya Franz Kafka, Fyodor
Dostoevsky, dan Albert Camus, yang
mengeksplorasi dilema moral, paradoks iman, serta keterasingan manusia dalam
dunia yang absurd.¹¹ Meskipun tidak selalu mengutip Kierkegaard secara
langsung, tema-tema yang mereka angkat merupakan bentuk pengolahan ulang dari
dialektika eksistensial yang telah dirintis olehnya.
8.4.
Pengaruh Kontemporer dan Relevansi Masa Kini
Pada abad ke-21,
pemikiran Kierkegaard terus mendapat perhatian dalam diskursus filsafat agama,
studi eksistensial, dan etika kontemporer.¹² Dalam dunia yang semakin kompleks
dan sekuler, gagasan Kierkegaard tentang relasi pribadi dengan Tuhan, kebutuhan
akan lompatan iman, dan panggilan menjadi diri sendiri yang otentik
menjadi semakin relevan untuk menjawab kegelisahan manusia modern yang terjebak
dalam rutinitas, relativisme moral, dan kehilangan arah hidup.
Footnotes
[1]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 112–115.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 25–29.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–184.
[4]
Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 317–318.
[5]
Karl Jaspers, Reason and Existenz, trans. William Earle (New
York: Noonday Press, 1955), 15–18.
[6]
Karl Barth, The Epistle to the Romans, trans. Edwyn C. Hoskyns
(Oxford: Oxford University Press, 1933), xii–xiii.
[7]
Paul Tillich, The Protestant Era (Chicago: University of
Chicago Press, 1948), 91–92.
[8]
Rudolf Bultmann, Existence and Faith, ed. Schubert M. Ogden
(New York: Meridian Books, 1960), 43–45.
[9]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser
(South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 56–58.
[10]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 111–113.
[11]
Clare Carlisle, Philosopher of the Heart: The Restless Life of
Søren Kierkegaard (London: Allen Lane, 2019), 262–266.
[12]
Sylvia Walsh, Kierkegaard: Thinking Christianly in an Existential
Mode (Oxford: Oxford University Press, 2009), 144–149.
9.
Kritik
terhadap Pemikiran Kierkegaard
Meskipun Søren
Kierkegaard telah diakui sebagai salah satu pemikir paling orisinal dalam
sejarah filsafat dan teologi, pemikirannya juga mengundang kritik dari berbagai
sudut pandang—baik dari kalangan rasionalis, teolog tradisional, filsuf
kontinental, hingga humanis modern. Kritik terhadap Kierkegaard mencerminkan kompleksitas
dan paradoks pemikirannya, yang tidak mudah untuk
diklasifikasikan dalam satu aliran tertentu.
9.1.
Tuduhan Subjektivisme yang Ekstrem
Salah satu kritik
paling umum terhadap Kierkegaard adalah bahwa ia menekankan
subjektivitas secara berlebihan, sehingga mengaburkan batas
antara kebenaran dan relativisme.¹ Dengan menyatakan bahwa “kebenaran adalah
subjektivitas” (truth is subjectivity), Kierkegaard
dituduh meniadakan dimensi objektif dari kebenaran,
yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan dan teologi normatif.² Beberapa
kritikus menganggap bahwa hal ini membuka jalan bagi interpretasi iman dan
etika yang terlalu individualistik, sehingga mengabaikan otoritas komunitas, tradisi, dan
wahyu universal.
Paul Ricoeur,
misalnya, mengakui kedalaman refleksi Kierkegaard, tetapi mengkritik
kecenderungannya untuk mengidealkan isolasi individu,
yang berpotensi menegasikan dimensi intersubjektif dari
keberadaan manusia.³ Dalam konteks sosial, terlalu menekankan
pengalaman subjektif dapat melahirkan atomisme moral, di mana setiap individu
merasa memiliki otoritas penuh atas kebenaran tanpa mempertimbangkan tanggung
jawab sosial.
9.2.
Ketegangan antara Iman dan Rasio
Kritik lain
diarahkan pada relasi problematis antara iman dan rasio
dalam pemikiran Kierkegaard. Banyak teolog dan filsuf—baik dari tradisi
skolastik maupun modern—menganggap bahwa Kierkegaard terlalu
meradikalkan dikotomi antara iman dan akal, sehingga terkesan anti-intelektual.⁴
Dalam Fear and
Trembling, tindakan Abraham yang menangguhkan etika demi menaati
perintah ilahi dinilai oleh sebagian pihak sebagai pembenaran
terhadap irasionalitas religius, bahkan menyerempet bahaya
fanatisme.⁵
Hans Küng, teolog
Katolik progresif, mengkritik Kierkegaard karena terlalu menekankan paradoks
dan “lompatan iman” tanpa cukup landasan epistemologis.⁶ Menurut Küng,
iman tetap membutuhkan dasar rasional yang memadai, dan ketegangan antara rasio
dan wahyu seharusnya dikelola secara dialektis, bukan dipecah secara tajam
sebagaimana dilakukan oleh Kierkegaard.
9.3.
Kritik terhadap Pandangan Etika dan Sosial
Beberapa pemikir
juga mengkritik Kierkegaard karena dianggap mengabaikan dimensi sosial dan politik dari
eksistensi manusia. Dalam banyak karya Kierkegaard, individu
ditempatkan dalam relasi langsung dengan Tuhan, namun konteks
struktural—seperti ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi—jarang
diperhatikan.⁷ Bagi para pemikir seperti Emmanuel Levinas dan
Jürgen Habermas, pendekatan semacam ini berisiko mereduksi tanggung jawab etis
kepada sesama menjadi urusan privat antara individu dan Tuhan.⁸
Sebagai akibatnya,
pemikiran Kierkegaard dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab tantangan
etika sosial kontemporer, terutama yang berkaitan dengan
keadilan sosial, pluralisme, dan solidaritas.⁹ Ia dianggap terlalu menekankan “kesendirian
eksistensial”, dan gagal membangun fondasi etika yang kokoh
dalam komunitas.
9.4.
Kesulitan Metodologis: Gaya Pseudonim dan
Dialektika Tidak Sistematis
Secara metodologis,
Kierkegaard juga menuai kritik karena gaya penulisan pseudonim dan pendekatan yang
tidak sistematis, yang sering kali membingungkan pembaca.¹⁰
Para pembaca awam maupun akademisi sering kali kesulitan membedakan antara
suara asli Kierkegaard dan persona fiktif yang ia ciptakan. Hal ini membuat
interpretasi atas pemikirannya rentan terhadap kesalahpahaman, bahkan oleh para
pengagumnya sendiri.
Martin Buber
mencatat bahwa pendekatan Kierkegaard “mengundang kekaguman dan frustrasi
sekaligus,” karena keterampilan literernya sering kali menyembunyikan
substansi teologis atau filosofis yang sebenarnya ingin disampaikan.¹¹ Di sisi
lain, gaya ini juga dipuji karena mencerminkan kompleksitas eksistensi manusia
yang tidak bisa disederhanakan dalam sistem rasional.
Kesimpulan Sementara
Meskipun menerima
banyak kritik, pemikiran Kierkegaard tetap relevan karena ia justru menyoroti aspek-aspek
kehidupan manusia yang sering diabaikan oleh sistem pemikiran modern:
seperti penderitaan, keputusan personal, paradoks iman, dan pencarian makna.
Kritik-kritik tersebut, alih-alih melemahkan signifikansi Kierkegaard, justru
menunjukkan bahwa pemikirannya memicu perdebatan yang produktif dan membuka
ruang refleksi filosofis yang dalam.
Footnotes
[1]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 105–108.
[2]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to
Philosophical Fragments, ed. and trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong
(Princeton: Princeton University Press, 1992), 203–204.
[3]
Paul Ricoeur, The Conflict of Interpretations, ed. Don Ihde
(Evanston: Northwestern University Press, 1974), 216–220.
[4]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s
Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University
Press, 1996), 92–94.
[5]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Howard V. Hong
and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1983), 30–34.
[6]
Hans Küng, Does God Exist? An Answer for Today (New York:
Doubleday, 1980), 75–77.
[7]
Clare Carlisle, Philosopher of the Heart: The Restless Life of
Søren Kierkegaard (London: Allen Lane, 2019), 282–285.
[8]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 53–55.
[9]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity,
trans. Frederick Lawrence (Cambridge: MIT Press, 1987), 131–133.
[10]
Sylvia Walsh, Kierkegaard: Thinking Christianly in an Existential
Mode (Oxford: Oxford University Press, 2009), 25–28.
[11]
Martin Buber, Between Man and Man, trans. Ronald Gregor Smith
(London: Routledge, 2002), 130–132.
10. Kesimpulan
Pemikiran Søren
Kierkegaard mewakili titik balik penting dalam sejarah filsafat dan
teologi modern, terutama karena penekanannya yang revolusioner
terhadap subjektivitas, eksistensialitas, dan relasi
personal manusia dengan Tuhan. Di tengah dominasi rasionalisme
sistematik Hegelian dan kekristenan formalistik abad ke-19, Kierkegaard tampil
sebagai suara profetik yang menegaskan bahwa kebenaran tertinggi tidak terletak dalam sistem
atau dogma, melainkan dalam keberanian eksistensial untuk menjadi diri sendiri
di hadapan Allah.¹
Konsep-konsep kunci
seperti tahapan eksistensial, kecemasan,
keputusasaan,
iman
sebagai paradoks, dan lompatan iman, semuanya
bertolak dari keprihatinan Kierkegaard akan kedangkalan spiritual dan dekadensi religius
pada zamannya.² Ia mengajak manusia untuk tidak sekadar menjadi bagian dari struktur
sosial atau keagamaan, melainkan untuk menghayati iman secara otentik, dengan seluruh
keberadaan pribadi yang sadar akan dosa, kebebasan, dan panggilan untuk
menjawab Allah secara langsung.³
Salah satu
kontribusi utama Kierkegaard adalah kemampuannya dalam mengartikulasikan
pengalaman batin manusia yang kompleks—ketakutan, kecemasan,
pengharapan, dan penderitaan—dalam bahasa yang filosofis sekaligus spiritual.⁴
Ia bukan hanya meletakkan dasar bagi eksistensialisme teistik,
tetapi juga memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan filsafat
fenomenologis, psikologi eksistensial, dan teologi
dialektis di abad ke-20.⁵ Para tokoh seperti Jean-Paul Sartre,
Martin Heidegger, Karl Barth, Rudolf Bultmann, dan Viktor Frankl mengadaptasi
serta mengembangkan berbagai aspek pemikiran Kierkegaard, meskipun sering kali
dalam arah yang berbeda secara ideologis.⁶
Namun demikian,
pemikiran Kierkegaard juga tidak lepas dari kritik. Penekanannya yang kuat pada
subjektivitas individu kerap dituduh menjurus ke relativisme
epistemologis, isolasionisme religius, dan pengabaian
terhadap dimensi sosial-ekonomi dari etika Kristen.⁷ Gaya
penulisannya yang penuh pseudonim dan anti-sistematis pun mempersulit pembacaan
konsisten terhadap corpus karyanya.⁸ Meski demikian, banyak sarjana modern
justru melihat kerumitan itu sebagai refleksi dari realitas
eksistensial manusia yang tidak linier dan tidak bisa disederhanakan oleh
sistem logis.⁹
Dalam dunia yang
semakin dilanda krisis identitas, disorientasi moral, dan kekosongan spiritual,
pemikiran Kierkegaard menghadirkan alternatif yang mendalam: bahwa
menjadi manusia berarti berani hidup dalam kebenaran subjektif,
menghadapi kecemasan dengan tanggung jawab, dan melangkah dalam iman meskipun tanpa kepastian
rasional.¹⁰ Oleh karena itu, studi terhadap pemikiran
Kierkegaard tetap relevan—bahkan sangat mendesak—untuk merevitalisasi
kesadaran spiritual dan tanggung jawab eksistensial dalam konteks kontemporer.
Footnotes
[1]
C. Stephen Evans, Kierkegaard: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009), 113–115.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Howard V. Hong
and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1983), 29–34.
[3]
Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Howard V.
Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1980), 14–18.
[4]
Clare Carlisle, Kierkegaard’s Philosophy of Becoming: Movements and
Positions (Albany: SUNY Press, 2005), 142–144.
[5]
Merold Westphal, Becoming a Self: A Reading of Kierkegaard’s
Concluding Unscientific Postscript (West Lafayette, IN: Purdue University
Press, 1996), 90–94.
[6]
Paul Tillich, The Protestant Era (Chicago: University of
Chicago Press, 1948), 67–70.
[7]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity,
trans. Frederick Lawrence (Cambridge: MIT Press, 1987), 129–132.
[8]
Sylvia Walsh, Kierkegaard: Thinking Christianly in an Existential
Mode (Oxford: Oxford University Press, 2009), 25–28.
[9]
Martin Buber, Between Man and Man, trans. Ronald Gregor Smith
(London: Routledge, 2002), 130–132.
[10]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 111–113.
Daftar Pustaka
Barth, K. (1933). The epistle to the Romans
(E. C. Hoskyns, Trans.). Oxford University Press.
Buber, M. (2002). Between man and man (R. G.
Smith, Trans.). Routledge. (Original work published 1947)
Bultmann, R. (1960). Existence and faith (S.
M. Ogden, Ed.). Meridian Books.
Carlisle, C. (2005). Kierkegaard’s philosophy of
becoming: Movements and positions. SUNY Press.
Carlisle, C. (2019). Philosopher of the heart:
The restless life of Søren Kierkegaard. Allen Lane.
Evans, C. S. (2009). Kierkegaard: An
introduction. Cambridge University Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning
(I. Lasch, Trans.). Beacon Press. (Original work published 1946)
Habermas, J. (1987). The philosophical discourse
of modernity: Twelve lectures (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.
Hannay, A. (2001). Kierkegaard: A biography.
Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Jaspers, K. (1955). Reason and existenz: Five
lectures (W. Earle, Trans.). Noonday Press.
Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety
(R. Thomte & A. B. Anderson, Trans.). Princeton University Press. (Original
work published 1844)
Kierkegaard, S. (1980). The sickness unto death
(H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press. (Original
work published 1849)
Kierkegaard, S. (1983). Fear and trembling
(H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press. (Original
work published 1843)
Kierkegaard, S. (1985). Philosophical fragments
(H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press. (Original
work published 1844)
Kierkegaard, S. (1991). Practice in Christianity
(H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press. (Original
work published 1850)
Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific
postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H. Hong,
Trans.). Princeton University Press. (Original work published 1846)
Kierkegaard, S. (1998). Attack upon Christendom,
1854–1855 (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University
Press.
Küng, H. (1980). Does God exist? An answer for
today (E. Quinn, Trans.). Doubleday.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Marcel, G. (2001). The mystery of being (G.
S. Fraser, Trans.). St. Augustine’s Press. (Original work published 1950)
May, R. (1950). The meaning of anxiety.
Norton.
Ricoeur, P. (1974). The conflict of
interpretations: Essays in hermeneutics (D. Ihde, Ed.). Northwestern
University Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original work
published 1946)
Tillich, P. (1948). The Protestant era (J.
L. Adams, Trans.). University of Chicago Press.
Tillich, P. (1957). Systematic theology
(Vol. 2). University of Chicago Press.
Walsh, S. (2005). Living Christianly:
Kierkegaard’s dialectic of Christian existence. Pennsylvania State
University Press.
Walsh, S. (2009). Kierkegaard: Thinking
Christianly in an existential mode. Oxford University Press.
Westphal, M. (1991). Kierkegaard’s critique of
reason and society. Pennsylvania State University Press.
Westphal, M. (1996). Becoming a self: A reading
of Kierkegaard’s Concluding Unscientific Postscript. Purdue University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar