Pemikiran Jacques Derrida
Menelusuri Jejak Dekonstruksi
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
filsuf Prancis kontemporer Jacques Derrida, dengan fokus utama pada konsep
dekonstruksi sebagai pendekatan kritis dalam filsafat, bahasa, dan budaya.
Dimulai dengan penelusuran biografi intelektual Derrida, tulisan ini
mengeksplorasi gagasan-gagasan kuncinya seperti différance, kritik
terhadap logosentrisme, dan konsep metafisika kehadiran. Selanjutnya, dibahas
pula aplikasi dan implikasi dekonstruksi dalam berbagai disiplin, termasuk
kritik sastra, etika, politik, teologi, serta studi budaya dan
postkolonialisme. Artikel ini juga menyoroti kritik-kritik utama terhadap
Derrida dari berbagai aliran filsafat, khususnya filsafat analitik, serta
bagaimana pemikirannya tetap memiliki relevansi kuat dalam menjawab tantangan
intelektual di era post-truth dan pluralisme makna. Dengan mendasarkan
pembahasannya pada referensi akademik yang kredibel, tulisan ini menunjukkan
bahwa warisan Derrida tidak terletak pada sistem filsafat yang tertutup,
melainkan pada komitmennya terhadap keterbukaan, keadilan, dan tanggung jawab
etis terhadap yang lain.
Kata kunci: Jacques
Derrida, dekonstruksi, différance, metafisika kehadiran, logosentrisme, etika,
filsafat kontemporer, post-strukturalisme, kritik sastra, tanggung jawab etis.
PEMBAHASAN
Pemikiran Jacques Derrida dalam Konteks Filsafat
Kontemporer
1.
Pendahuluan
Filsafat Prancis abad ke-20 menyaksikan kemunculan
berbagai arus pemikiran yang menandai pergeseran besar dalam wacana intelektual
Barat. Setelah dominasi filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre dan
fenomenologi Maurice Merleau-Ponty, muncul generasi baru pemikir yang menantang
fondasi metafisika Barat dan menegosiasikan ulang relasi antara bahasa, makna,
dan realitas. Dalam konteks ini, Jacques Derrida (1930–2004) tampil sebagai
sosok sentral yang menawarkan pembacaan radikal terhadap teks-teks klasik
filsafat Barat melalui pendekatan yang kemudian dikenal sebagai dekonstruksi.
Derrida pertama kali dikenal luas di kancah
intelektual internasional melalui tiga karya monumentalnya yang diterbitkan
secara bersamaan pada tahun 1967: Of Grammatology, Writing and
Difference, dan Speech and Phenomena. Ketiga karya ini tidak hanya
menandai pemisahan dari metode strukturalis yang dominan saat itu, tetapi juga
memperkenalkan paradigma baru yang menggugat dasar-dasar logika biner dan
metafisika kehadiran yang telah mengakar dalam tradisi Barat sejak Plato hingga
Husserl.¹
Konsep-konsep utama yang diperkenalkan
Derrida—seperti différance, kritik terhadap logosentrisme, dan pembacaan
tekstual tanpa pusat makna yang tetap—memicu reorientasi besar dalam filsafat
kontemporer, linguistik, kritik sastra, dan bahkan studi teologi.²
Dekonstruksi, dalam pengertian Derrida, bukanlah suatu metode yang bersifat
destruktif, melainkan sebuah strategi pembacaan kritis yang bertujuan untuk
membuka lapisan-lapisan tersembunyi dalam teks serta mengungkap ketegangan
internal dalam sistem pemaknaan itu sendiri.³
Posisi Derrida dalam peta pemikiran kontemporer
sangatlah unik. Ia tidak hanya menantang pendasaran filosofis dari para
pendahulunya, tetapi juga menolak disederhanakan sebagai bagian dari gerakan
filsafat tertentu, seperti post-strukturalisme atau nihilisme.⁴ Alih-alih
menawarkan sistem filsafat yang tertutup, Derrida menyerukan kewaspadaan
terus-menerus terhadap tendensi totalisasi, absolutisme, dan klaim-klaim
kehadiran makna yang utuh.⁵ Hal ini menjadikan pemikiran Derrida sangat relevan
dalam menjawab tantangan intelektual pascamodern, terutama dalam konteks
keragaman, ambiguitas, dan pluralitas makna yang mewarnai diskursus global
dewasa ini.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara
sistematis dan kritis fondasi-fondasi pemikiran Jacques Derrida, baik secara
konseptual maupun aplikatif, dengan menelusuri asal-usul dekonstruksi,
prinsip-prinsip utamanya, kritik-kritik yang dilontarkan terhadapnya, serta
pengaruh luasnya dalam berbagai disiplin ilmu. Kajian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang utuh dan proporsional terhadap kontribusi Derrida
dalam mengembangkan horizon filsafat kontemporer.
Catatan
Kaki
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976);
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago:
University of Chicago Press, 1978); Jacques Derrida, Speech and Phenomena,
trans. David B. Allison (Evanston: Northwestern University Press, 1973).
[2]
Christopher Norris, Deconstruction: Theory and
Practice (London: Routledge, 2002), 21–25; Leonard Lawlor, Derrida and
Husserl: The Basic Problem of Phenomenology (Bloomington: Indiana
University Press, 2002), 13–16.
[3]
John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques
Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press,
1997), 46–52.
[4]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very
Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 61–66.
[5]
Gayatri Chakravorty Spivak, "Translator’s
Preface," in Derrida, Of Grammatology, lxxviii–lxxxvi.
2.
Biografi Intelektual Jacques Derrida
Jacques Derrida lahir pada 15 Juli 1930 di El-Biar,
sebuah wilayah pinggiran kota Aljazair, yang saat itu masih menjadi koloni
Prancis. Ia dibesarkan dalam keluarga Yahudi Sefardim yang berbahasa Prancis,
dan masa kecilnya ditandai oleh diskriminasi struktural akibat kebijakan
anti-Semit yang diberlakukan oleh rezim Vichy selama Perang Dunia II.¹
Pengalaman marginalisasi ini kelak memengaruhi sensibilitas filosofis Derrida
terhadap eksklusi, otoritas, dan struktur dominasi dalam wacana Barat.
Pendidikan filsafat formalnya dimulai di Lycée
Bugeaud, Aljazair, sebelum melanjutkan ke Prancis daratan untuk masuk ke École
Normale Supérieure (ENS) di Paris, salah satu institusi pendidikan paling
prestisius di Prancis. Di ENS, Derrida mempelajari karya-karya klasik filsafat,
termasuk Plato, Kant, Hegel, Husserl, dan Heidegger. Ia juga dipengaruhi oleh
filsafat eksistensialisme yang tengah berkembang, serta linguistik struktural
yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure dan para tokoh strukturalis seperti
Claude Lévi-Strauss dan Roland Barthes.²
Pengaruh Edmund Husserl sangat menonjol dalam karya
awal Derrida. Tesis doktornya yang diselesaikan pada tahun 1954—dan kemudian
diterbitkan sebagai The Problem of Genesis in Husserl’s Philosophy—menggambarkan
keterlibatan intens Derrida dengan fenomenologi dan masalah asal-usul makna.³
Namun, alih-alih menerima premis fenomenologi secara utuh, Derrida justru mulai
mengembangkan pendekatan kritis terhadap asumsi-asumsi dasar Husserl, terutama
terkait konsep "kehadiran makna" dan "intensionalitas
kesadaran".⁴
Derrida mulai dikenal di kalangan akademik
internasional setelah mempresentasikan makalahnya yang berjudul Structure,
Sign and Play in the Discourse of the Human Sciences pada konferensi tahun
1966 di Johns Hopkins University, Amerika Serikat. Makalah ini dianggap sebagai
titik awal peralihan dari strukturalisme ke post-strukturalisme, karena secara
radikal menggugat kepercayaan terhadap struktur tetap dan pusat makna dalam
bahasa dan ilmu sosial.⁵ Tak lama kemudian, publikasi tiga karya utamanya pada
tahun 1967—Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech
and Phenomena—membuat namanya diperhitungkan sebagai tokoh penting dalam
perkembangan filsafat kontemporer.⁶
Sepanjang kariernya, Derrida banyak mengajar di
berbagai institusi terkemuka, termasuk École des Hautes Études en Sciences
Sociales (EHESS) di Paris dan University of California, Irvine. Ia juga aktif
mendirikan Collège International de Philosophie di Paris pada tahun 1983
sebagai wadah pembelajaran filsafat yang lintas-disipliner dan terbuka terhadap
pendekatan eksperimental.⁷ Karyanya yang produktif mencakup lebih dari 40 buku
dan ratusan esai yang membahas berbagai topik mulai dari bahasa, sastra, hukum,
politik, hingga agama.
Yang khas dari intelektualitas Derrida adalah
penolakannya terhadap sistem pemikiran yang tertutup. Ia menolak kategorisasi
yang rigid, bahkan terhadap dirinya sendiri. Ketika dicap sebagai
post-strukturalis atau nihilistik, Derrida tidak menampik secara langsung,
tetapi justru mengungkap bagaimana label-label tersebut mereproduksi struktur
kekuasaan epistemologis yang ia kritik.⁸ Pemikiran Derrida berkembang bukan
dalam bentuk sistematis yang linier, melainkan melalui pembacaan yang berlapis
dan reflektif terhadap teks serta konteks.
Hingga akhir hayatnya pada tahun 2004, Derrida
tetap menjadi figur yang kontroversial sekaligus inspiratif dalam wacana
filsafat kontemporer. Warisannya tidak hanya mencakup metode dekonstruksi,
tetapi juga semangat kritis yang menolak finalitas, mempersoalkan pusat-pusat
otoritas, dan membuka kemungkinan tak terbatas dalam interpretasi makna.
Catatan
Kaki
[1]
Geoffrey Bennington and Jacques Derrida, Jacques
Derrida (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 322–325.
[2]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very
Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 62–66.
[3]
Jacques Derrida, The Problem of Genesis in
Husserl’s Philosophy, trans. Marian Hobson (Chicago: University of Chicago
Press, 2003).
[4]
Leonard Lawlor, Derrida and Husserl: The Basic
Problem of Phenomenology (Bloomington: Indiana University Press, 2002),
13–25.
[5]
Jacques Derrida, “Structure, Sign and Play in the
Discourse of the Human Sciences,” in Writing and Difference, trans. Alan
Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.
[6]
Derrida, Of Grammatology; Derrida, Speech
and Phenomena; Derrida, Writing and Difference.
[7]
John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques
Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press,
1997), 33.
[8]
Christopher Norris, Deconstruction: Theory and
Practice (London: Routledge, 2002), 58–64.
3.
Konsep Dasar Pemikiran Derrida
Pemikiran Jacques
Derrida ditandai oleh upaya radikal untuk menggugat fondasi metafisik,
epistemologis, dan linguistik dalam filsafat Barat. Pusat dari seluruh proyek
intelektualnya adalah dekonstruksi, sebuah istilah
yang sering disalahpahami sebagai tindakan destruktif, padahal dalam
terminologi Derrida, dekonstruksi justru merupakan strategi pembacaan kritis
terhadap struktur makna dalam teks, tradisi, dan bahasa.¹ Konsep-konsep kunci
seperti dekonstruksi,
différance,
logosentrisme,
dan metafisika
kehadiran membentuk kerangka konseptual utama dari filsafat
Derrida.
3.1.
Dekonstruksi: Definisi dan
Metodologi
Dekonstruksi
bukanlah metode filsafat dalam pengertian konvensional, melainkan praktik
pemikiran yang bekerja dengan cara memperlihatkan kontradiksi, paradoks, dan
ketegangan internal dalam teks. Derrida sendiri menolak memberikan definisi
yang final terhadap istilah ini karena mendefinisikan berarti menetapkan batas
yang justru ingin ia gugat.² Namun, secara umum, dekonstruksi bertujuan untuk
menunjukkan bahwa setiap sistem pemaknaan mengandung instabilitas dan selalu
rentan terhadap pembalikan struktur yang menopangnya.
Derrida
mempraktikkan dekonstruksi dengan cara “membaca secara dekat” teks-teks
klasik filsafat Barat, seperti karya Plato, Rousseau, Husserl, dan Heidegger,
guna menyingkap bagaimana teks-teks tersebut mengandalkan oposisi biner—seperti
wicara/ tulisan, kehadiran/ ketidakhadiran, substansi/ bayangan—yang secara
hierarkis menempatkan satu unsur sebagai superior.³ Dekonstruksi berusaha
mendestabilisasi oposisi-oposisi ini dengan cara memperlihatkan bahwa “unsur
sekunder” justru diperlukan agar “unsur primer” dapat dipahami.
3.2.
Différance dan Ketidakhadiran Makna
Salah satu
kontribusi konseptual paling penting dari Derrida adalah istilah différance—sebuah
neologisme dari kata kerja différer dalam bahasa Prancis yang
berarti sekaligus “menunda” (to defer) dan “berbeda” (to
differ).⁴ Derrida menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bahwa
makna tidak pernah hadir secara utuh dalam satu waktu, melainkan selalu ditunda
dan bergantung pada perbedaan dengan istilah lain dalam jaringan bahasa.
Dengan demikian,
makna bukanlah sesuatu yang stabil atau “diberikan” secara langsung,
melainkan produk dari perbedaan dan penundaan dalam sistem tanda.⁵ Dalam
kerangka ini, Derrida menolak asumsi bahwa terdapat pusat makna yang mutlak,
dan sebagai gantinya ia menegaskan bahwa seluruh sistem bahasa bersifat tak
terpusat dan terbuka terhadap interpretasi tanpa akhir. Hal ini menjadikan différance
sebagai senjata utama untuk menggugat klaim-klaim metafisika yang menjanjikan
kehadiran penuh makna.
3.3.
Kritik terhadap Logosentrisme dan
Metafisika Kehadiran
Derrida menyoroti
bahwa sepanjang sejarahnya, filsafat Barat menunjukkan kecenderungan yang
disebutnya sebagai logosentrisme, yaitu
pengutamaan rasionalitas logika, kehadiran, dan suara sebagai sumber makna yang
lebih “murni” dibanding tulisan.⁶ Pandangan ini, menurut Derrida,
berpangkal pada apa yang ia sebut sebagai metafisika kehadiran, yakni
kepercayaan bahwa makna hadir secara utuh dalam kesadaran, ucapan, atau
pengalaman langsung.
Dalam Of
Grammatology, Derrida menunjukkan bagaimana tulisan, yang selama
ini dianggap sekunder atau sebagai representasi dari suara dan pikiran,
sebenarnya justru memperlihatkan sifat non-hadir dari makna itu sendiri.⁷
Tulisan bukanlah sekadar salinan dari suara atau makna, tetapi menunjukkan
bahwa makna selalu ditunda dan tidak pernah bisa dihadirkan sepenuhnya.
Dengan menggugat
metafisika kehadiran, Derrida tidak bermaksud meniadakan makna, tetapi
menunjukkan bahwa makna bersifat tak final, kontingen, dan selalu bergantung
pada konteks dan perbedaan.⁸ Ini merupakan langkah radikal yang memengaruhi
banyak bidang, mulai dari teori sastra hingga etika, hukum, dan teologi.
3.4.
Bahasa, Teks, dan Ketakberhinggaan
Interpretasi
Bagi Derrida, teks
tidak terbatas pada tulisan semata, melainkan mencakup segala sistem tanda yang
bisa dibaca dan ditafsirkan.⁹ Ia terkenal dengan ungkapan “il n’y a pas de
hors-texte” (“tidak ada sesuatu di luar teks”), yang sering
disalahartikan secara ekstrem. Maksud Derrida bukanlah bahwa realitas itu tidak
ada, tetapi bahwa realitas hanya bisa diakses melalui representasi linguistik,
dan karenanya tidak pernah bebas dari mediasi tanda.
Dari sinilah muncul
konsep intertekstualitas
radikal, di mana setiap teks senantiasa mengandung jejak-jejak
dari teks lain yang mendahuluinya, sehingga makna tidak pernah otonom atau
sepenuhnya baru.¹⁰ Hal ini membuat pembacaan menjadi proses tak berkesudahan,
di mana setiap interpretasi membuka ruang bagi interpretasi lain.
Catatan
Kaki
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 4–6.
[2]
Ibid., xvii–xviii.
[3]
Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago:
University of Chicago Press, 1978), 278–294.
[4]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–28.
[5]
Leonard Lawlor, Derrida and Husserl: The Basic Problem of
Phenomenology (Bloomington: Indiana University Press, 2002), 40–45.
[6]
Christopher Norris, Deconstruction: Theory and Practice
(London: Routledge, 2002), 17–20.
[7]
Derrida, Of Grammatology, 7–10.
[8]
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction,
and the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press, 1987),
97–100.
[9]
Derrida, Of Grammatology, 158–159.
[10]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Translator’s Preface,” in Derrida, Of
Grammatology, lxxiv–lxxxvi.
4.
Aplikasi dan Implikasi Dekonstruksi
Dekonstruksi sebagai
pendekatan kritis bukan hanya beroperasi dalam ruang filsafat murni, tetapi
juga memiliki resonansi luas dalam berbagai bidang ilmu dan
praktik sosial, mulai dari sastra, linguistik, etika, politik,
hukum, hingga teologi. Fleksibilitas konsep ini menjadikannya alat intelektual
yang produktif untuk mempertanyakan otoritas makna, ideologi dominan, dan struktur
oposisi biner dalam wacana apa pun. Derrida sendiri menolak membatasi
dekonstruksi pada satu domain spesifik, seraya menegaskan bahwa “dekonstruksi
terjadi di mana pun konsep-konsep dipertaruhkan.”¹
4.1.
Dalam Kritik Sastra dan Teori Bahasa
Dekonstruksi memperoleh
pengaruh awal yang kuat di bidang kritik sastra melalui
tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J. Hillis Miller, dan Barbara Johnson, yang
memperkenalkannya dalam konteks American literary theory sejak dekade 1970-an.²
Dalam praktik ini, dekonstruksi dipakai untuk menunjukkan bahwa teks sastra
tidak memiliki makna tunggal yang utuh dan stabil. Sebaliknya, makna teks
selalu bersifat terpecah, ambigu, dan terstruktur oleh ketegangan antara apa
yang dikatakan dan yang tidak dikatakan.³
Dekonstruksi juga mempersoalkan
asumsi dalam linguistik struktural, terutama
terhadap gagasan bahwa bahasa adalah sistem tertutup yang koheren. Derrida
menunjukkan bahwa dalam setiap upaya untuk menyusun makna, bahasa justru
membuka celah bagi penundaan dan penggeseran makna yang tak berkesudahan.⁴
Dengan demikian, membaca menjadi kegiatan yang tak pernah selesai dan selalu
terbuka terhadap kemungkinan baru.
4.2.
Dalam Etika dan Politik
Derrida menolak
dikategorikan sebagai pemikir politik konvensional, tetapi sejumlah karya
pentingnya menunjukkan bahwa dekonstruksi juga memiliki dimensi etis dan
politis yang mendalam. Dalam The Politics of Friendship dan Rogues:
Two Essays on Reason, Derrida menyelidiki bagaimana konsep-konsep
politik klasik seperti demokrasi, kewarganegaraan, dan kedaulatan dibentuk oleh
oposisi-oposisi yang rentan terhadap dekonstruksi.⁵
Secara etis, Derrida
membahas konsep keadilan (justice) sebagai
sesuatu yang melampaui hukum positif. Hukum
bisa didekonstruksi karena ia dibentuk oleh keputusan, institusi, dan bahasa,
tetapi keadilan, bagi Derrida, adalah sesuatu yang “tak terdekonstruksi”
karena ia bersifat tak terjangkau, selalu datang dari masa depan sebagai janji
etis yang belum terealisasi.⁶ Ini mengarah pada tanggung jawab etis yang radikal,
karena kita harus bertindak tanpa jaminan akan keadilan yang mutlak.
Selain itu, dalam
teks seperti Of Hospitality, Derrida
mengeksplorasi keramahan (hospitality) sebagai
kategori etis dan politis yang sarat dengan paradoks.⁷ Ia menunjukkan bahwa
bentuk keramahan yang “mutlak” akan bertentangan dengan hukum dan aturan
keramahan itu sendiri, sehingga membuka ruang bagi ketegangan etis yang tak
terhapuskan. Hal ini menjadi relevan dalam diskusi kontemporer tentang
pengungsi, migran, dan tanggung jawab global.
4.3.
Dalam Teologi dan Post-Sekularisme
Salah satu
kontribusi paling mengejutkan Derrida muncul dalam ranah teologi
dan spiritualitas, khususnya dalam apa yang disebut sebagai theological
turn in continental philosophy. Dalam The Gift of Death dan Acts of
Religion, Derrida membahas agama dari perspektif dekonstruktif,
tidak untuk mengukuhkan atau menolak iman, melainkan untuk membuka diskusi
tentang ketakterhinggaan, rahasia, dan tanggung jawab
terhadap Yang Lain.⁸
Derrida menolak
fondasi ontoteologis dalam filsafat
Barat—yakni kepercayaan bahwa Tuhan dapat dipahami melalui struktur ontologis
dan logis—dan mengusulkan bahwa iman dan pengorbanan mengandung
elemen aporia (ketidakpastian) yang justru memperkuat dimensi etis dari
keberagamaan.⁹ Bagi Derrida, iman adalah pengalaman yang melibatkan risiko,
kerentanan, dan keterbukaan terhadap yang tidak bisa dipastikan, sehingga
menjadi model bagi etika tanggung jawab yang tak bersyarat.
4.4.
Relevansi Sosial dan Kultural
Dekonstruksi juga
memberikan sumbangan penting dalam studi feminis, postkolonial, dan budaya populer.
Para pemikir seperti Hélène Cixous, Spivak, dan Bhabha menggunakan dekonstruksi
untuk menunjukkan bagaimana identitas gender, ras, dan bangsa dibentuk oleh
narasi dominan yang dapat dipertanyakan dan dibalik.¹⁰ Dalam konteks ini,
dekonstruksi tidak hanya bersifat teoritis, tetapi menjadi praktik
pembebasan epistemologis dari struktur-struktur dominasi yang
membungkam suara-suara pinggiran.
Catatan
Kaki
[1]
Jacques Derrida, Limited Inc, trans. Samuel Weber (Evanston:
Northwestern University Press, 1988), 136.
[2]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 85–89.
[3]
Paul de Man, Blindness and Insight: Essays in the Rhetoric of
Contemporary Criticism (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1983),
11–18.
[4]
Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 74–76.
[5]
Jacques Derrida, The Politics of Friendship, trans. George
Collins (London: Verso, 2005); Derrida, Rogues: Two Essays on Reason,
trans. Pascale-Anne Brault and Michael Naas (Stanford: Stanford University
Press, 2005).
[6]
Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”,
in Acts of Religion, ed. Gil Anidjar (New York: Routledge, 2002),
228–229.
[7]
Jacques Derrida, Of Hospitality: Anne Dufourmantelle Invites
Jacques Derrida to Respond, trans. Rachel Bowlby (Stanford: Stanford
University Press, 2000), 23–26.
[8]
Jacques Derrida, The Gift of Death, trans. David Wills
(Chicago: University of Chicago Press, 1995), 25–28.
[9]
John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion
without Religion (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 76–85.
[10]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, eds. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
5.
Kritik terhadap Derrida
Meskipun Jacques
Derrida diakui sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam filsafat
kontemporer, pemikirannya juga telah menjadi sumber kontroversi dan kritik tajam,
baik dari kalangan filsuf analitik, strukturalis, hingga pemikir postmodern
sendiri. Kritik terhadap Derrida umumnya berkisar pada persoalan ketidakjelasan
terminologi, tuduhan relativisme, kerumitan
gaya bahasa, serta implikasi epistemologis dan etis dari
dekonstruksi.
5.1.
Tuduhan Relativisme dan Nihilisme
Salah satu kritik
paling umum terhadap pemikiran Derrida datang dari tuduhan bahwa dekonstruksi
mengarah pada relativisme ekstrem. Dengan menyangkal adanya
pusat makna yang stabil dan menolak keberadaan “kehadiran penuh” dalam
bahasa, banyak pengkritik menilai bahwa Derrida justru meniadakan kemungkinan
pengetahuan objektif. Richard Rorty, meskipun bersimpati terhadap
post-strukturalisme, mengakui bahwa pemikiran Derrida telah disalahpahami
sebagai upaya untuk “menghapus kebenaran”.¹
Kritikus lain
seperti John Searle lebih tajam dalam kritiknya. Dalam perdebatan terkenal
antara Derrida dan Searle mengenai Speech Act Theory, Searle menuduh
Derrida “menolak asumsi dasar komunikasi” dan mempermainkan ambiguitas
untuk menghindari argumen rasional.² Menurut Searle, gaya Derrida terlalu kabur
dan tidak produktif untuk diskursus filosofis yang jelas dan sistematis.
Namun, para pembela
Derrida—seperti Christopher Norris dan John Caputo—menegaskan bahwa Derrida
bukan relativis atau nihilistik, melainkan berusaha menunjukkan
bahwa makna selalu bersifat terbuka dan ditentukan secara kontekstual.³ Bagi
Derrida, keterbukaan terhadap makna bukan bentuk kekacauan, tetapi justru
landasan etika karena menuntut tanggung jawab terus-menerus dalam proses
interpretasi.
5.2.
Kritik terhadap Gaya Bahasa dan
Hermetisisme
Gaya penulisan
Derrida kerap dianggap sulit diakses, penuh permainan kata, neologisme, dan
lapisan-lapisan makna yang kompleks. Hal ini menyebabkan banyak akademisi
menilai tulisannya sebagai hermetik atau “tertutup” bagi
pemahaman awam. Filsuf analitik seperti A.J. Ayer dan Bryan Magee menyatakan
bahwa gaya semacam ini menjauhkan filsafat dari tugas utamanya: menjelaskan
dengan jernih dan sistematis.⁴
Namun, gaya Derrida
bukan semata estetika intelektual. Ia sengaja mengadopsi bentuk penulisan yang
tidak konvensional sebagai bagian dari praktik dekonstruksi itu sendiri.
Baginya, struktur tulisan—termasuk permainan tanda, metafora, dan
ambiguitas—merupakan medan tempat ide dan ideologi diproduksi serta
dilanggengkan.⁵ Penolakan terhadap bahasa yang “transparan” merupakan kritik
terhadap asumsi bahwa bahasa dapat menyampaikan makna secara langsung tanpa
mediasi.
5.3.
Masalah Etika dan Politik: Tanggung
Jawab Tanpa Fondasi?
Kritik lain muncul
dari pertanyaan tentang fondasi etis dan politis dari dekonstruksi.
Jika semua sistem makna dapat didekonstruksi, apakah mungkin berbicara tentang
tanggung jawab, keadilan, atau tindakan politik yang bermakna? Habermas,
misalnya, menuduh Derrida gagal menyediakan landasan normatif yang dapat
dipertanggungjawabkan secara publik, dan justru terjebak dalam
ketidakpastian reflektif yang paralisis.⁶
Derrida menanggapi
kritik ini dengan menyatakan bahwa justru ketakterjaminan dan keterbukaan terhadap yang
lain adalah fondasi etis sejati. Dalam konsepnya tentang justice
beyond law, ia menekankan bahwa keadilan bukan produk sistem
normatif yang pasti, melainkan keterbukaan terhadap singularitas dan pengalaman
yang tak terwakilkan.⁷ Sikap ini memang tidak menjanjikan kepastian, tetapi
membuka ruang bagi kepekaan dan tanggung jawab radikal terhadap Yang Lain.
5.4.
Respons dan Rehabilitasi Pemikiran
Derrida
Meski menuai kritik,
pemikiran Derrida juga mengalami rehabilitasi intelektual,
terutama sejak dekade 1990-an, ketika banyak akademisi mulai mengintegrasikan
dekonstruksi dalam kajian feminisme, hukum, teologi, dan studi postkolonial.⁸
Pendekatan dekonstruktif dinilai mampu membongkar logika hegemoni dan membuka
ruang bagi kritik terhadap eksklusi epistemik dalam wacana dominan.
Derrida sendiri
tidak pernah mengklaim bahwa dekonstruksi adalah jalan tunggal menuju
kebenaran. Ia justru menekankan bahwa setiap posisi filosofis selalu memikul
jejak-jejak dari oposisi dan sejarah yang melingkupinya.⁹
Dengan demikian, kritik terhadap Derrida sering kali mencerminkan ketegangan
yang justru menjadi medan produktif bagi refleksi filsafat kontemporer.
Catatan
Kaki
[1]
Richard Rorty, Consequences of Pragmatism (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1982), 123–125.
[2]
John Searle, “Reiterating the Differences: A Reply to Derrida,” Glyph
1 (1977): 198–208.
[3]
Christopher Norris, Deconstruction: Theory and Practice
(London: Routledge, 2002), 87–91; John D. Caputo, Radical Hermeneutics:
Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington:
Indiana University Press, 1987), 116–120.
[4]
Bryan Magee, Confessions of a Philosopher (London: Weidenfeld
& Nicolson, 1997), 354–356.
[5]
Jacques Derrida, Dissemination, trans. Barbara Johnson
(Chicago: University of Chicago Press, 1981), 3–9.
[6]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity,
trans. Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 181–183.
[7]
Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of
Authority”, in Acts of Religion, ed. Gil Anidjar (New York:
Routledge, 2002), 244–247.
[8]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, eds. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[9]
Derrida, Positions, trans. Alan Bass (Chicago: University of
Chicago Press, 1981), 41–43.
6.
Warisan Intelektual dan Relevansi Kontemporer
Sejak kemunculannya
pada paruh kedua abad ke-20, pemikiran Jacques Derrida telah meninggalkan jejak
yang mendalam dan luas dalam berbagai ranah intelektual. Warisan Derrida tidak
terbatas pada konsep “dekonstruksi” sebagai metode pembacaan teks,
tetapi mencakup pergeseran paradigma dalam memahami bahasa,
makna, subjektivitas, etika, dan relasi sosial.¹ Kekuatan
warisan intelektual Derrida terletak pada daya kritiknya terhadap struktur yang
mapan, serta pada kemampuannya membuka kemungkinan interpretasi baru terhadap
ide-ide yang sebelumnya dianggap stabil.
6.1.
Pengaruh dalam Dunia Akademik dan
Lintas Disiplin
Dekonstruksi telah
berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan sejumlah bidang studi
seperti kritik sastra, filsafat
bahasa, teori hukum, teologi,
studi
budaya, feminisme, dan studi
postkolonial.² Di dunia akademik Anglo-Amerika, Derrida sempat
menjadi figur kontroversial, namun pada akhirnya dihormati karena memperluas
batas-batas filsafat dan menghubungkannya dengan teori-teori sosial dan budaya
kontemporer.
Di bidang teori
hukum, misalnya, Derrida memengaruhi munculnya critical
legal studies yang berupaya menggugat fondasi positivistik dan
normatif dari hukum melalui pembacaan kritis terhadap teks-teks legal.³ Dalam
teologi, pendekatan dekonstruktif Derrida mengilhami pemikiran seperti radical
theology yang meredefinisi konsep iman, kehadiran ilahi, dan
kenabian dalam horizon pascamodern.⁴
6.2.
Relevansi dalam Konteks Global
Kontemporer
Di tengah krisis
makna, kebenaran, dan otoritas dalam era post-truth, pemikiran Derrida
menawarkan perspektif kritis yang tetap relevan. Gagasan bahwa makna selalu
bersifat tertunda dan terbuka terhadap interpretasi baru sangat berguna untuk
membaca wacana politik, media, dan identitas yang semakin kompleks dan
terfragmentasi.⁵ Dalam dunia yang ditandai oleh polarisasi ideologis dan
dominasi narasi besar, dekonstruksi mendorong pembacaan yang lebih sensitif
terhadap perbedaan, ambiguitas, dan marginalitas.
Selain itu, konsep
Derrida tentang tanggung jawab etis terhadap Yang Lain
sangat berguna dalam memahami persoalan migrasi global, keadilan ekologis, dan
relasi antarbudaya.⁶ Ia menekankan bahwa keputusan etis selalu terjadi dalam
kondisi ketakterjaminan, dan justru dalam kerentanan itulah letak martabat
manusia sebagai subjek etis.
6.3.
Keberlanjutan dalam Generasi
Intelektual Baru
Warisan Derrida
tidak hanya hidup dalam teks-teks akademik, tetapi juga dalam karya-karya para
filsuf dan pemikir kontemporer yang mengembangkan dekonstruksi dalam arah baru.
Tokoh seperti Judith Butler, Homi K.
Bhabha, dan Gayatri Chakravorty Spivak
memanfaatkan pendekatan dekonstruktif untuk mengkritik wacana dominan dalam
gender, ras, dan kolonialisme.⁷ Bahkan dalam ranah teori teknologi dan studi
digital, dekonstruksi digunakan untuk menelusuri jejak
kekuasaan dalam algoritma, data, dan logika jaringan informasi.⁸
Keengganan Derrida
untuk merumuskan sistem filsafat yang tertutup justru menjadikan warisannya
sangat terbuka dan produktif secara kreatif. Ia
tidak mewariskan doktrin, tetapi sebuah sikap intelektual yang radikal dan tak
kenal kompromi terhadap kesewenang-wenangan epistemik, sebuah
komitmen untuk terus “membaca kembali” dan “mempertanyakan kembali”
apa yang dianggap pasti.
Catatan
Kaki
[1]
Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1987), 5–9.
[2]
Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after
Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 124–130.
[3]
Costas Douzinas and Ronnie Warrington, Postmodern Jurisprudence:
The Law of Text in the Texts of Law (London: Routledge, 1991), 12–18.
[4]
John D. Caputo, The Weakness of God: A Theology of the Event
(Bloomington: Indiana University Press, 2006), 29–34.
[5]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
89–91.
[6]
Jacques Derrida, Adieu to Emmanuel Levinas, trans.
Pascale-Anne Brault and Michael Naas (Stanford: Stanford University Press,
1999), 45–48.
[7]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990); Homi K. Bhabha, The Location of
Culture (London: Routledge, 1994); Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the
Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, eds.
Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press,
1988), 271–313.
[8]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in
Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), 17–21.
7.
Penutup
Pemikiran Jacques Derrida telah memberikan
kontribusi yang sangat penting dalam pembaruan wacana filsafat kontemporer.
Melalui pendekatan dekonstruksi, Derrida tidak hanya menggugat
asumsi-asumsi metafisika tradisional yang mengutamakan kehadiran, kesatuan, dan
kestabilan makna, tetapi juga membuka jalan bagi cara berpikir baru yang lebih
sadar akan keretakan, ambiguitas, dan kompleksitas dalam setiap sistem
pengetahuan.¹ Dalam konteks ini, Derrida menandai pergeseran penting dari
filsafat yang berupaya menemukan fondasi yang kokoh menuju filsafat yang
merayakan ketakterdugaan dan keterbukaan terhadap makna-makna alternatif.
Derrida tidak menawarkan sistem filsafat dalam arti
klasik, tetapi justru menunjukkan bahwa segala bentuk sistem selalu
mengandung jejak-jejak yang membayanginya, yang pada gilirannya dapat
mengganggu, mengguncang, atau bahkan meniadakan klaim totalitasnya sendiri.²
Oleh karena itu, dekonstruksi bukanlah metode destruktif, melainkan suatu praktik
hermeneutis yang kritis dan etis, yang menuntut kewaspadaan terhadap
kekuasaan yang tersembunyi dalam bahasa, teks, dan institusi.
Relevansi pemikiran Derrida semakin nyata di tengah
dinamika sosial-budaya kontemporer yang ditandai oleh krisis identitas,
relativisme nilai, serta melebarnya jurang antara diskursus normatif dan
realitas pengalaman. Dalam situasi seperti ini, dekonstruksi menawarkan
kerangka untuk membaca kembali struktur-struktur dominan, membuka ruang bagi
suara-suara yang terpinggirkan, serta mengembangkan bentuk tanggung jawab
baru terhadap yang lain.³ Derrida sendiri tidak pernah mengklaim bahwa
dekonstruksi akan menyelesaikan persoalan, tetapi ia memberikan alat konseptual
untuk bertanya lebih tajam, meragukan lebih dalam, dan mendengarkan lebih
saksama terhadap kompleksitas realitas.
Dengan demikian, warisan filsafat Derrida tidak
hanya terletak pada teorinya tentang teks dan bahasa, tetapi juga pada komitmennya
terhadap keadilan, keterbukaan, dan kerendahan hati epistemologis.⁴
Pemikiran Derrida tetap menjadi sumber inspirasi yang subur bagi generasi
intelektual berikutnya, karena ia tidak memberikan jawaban final, melainkan
mendorong pencarian yang terus-menerus dan tanggung jawab yang tak kunjung
usai.
Catatan
Kaki
[1]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
xvii–xviii.
[2]
Derrida, Writing and Difference, trans. Alan
Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.
[3]
John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques
Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press,
1997), 97–102.
[4]
Simon Critchley, Ethics-Politics-Subjectivity:
Essays on Derrida, Levinas and Contemporary French Thought (London: Verso,
1999), 55–59.
Daftar Pustaka
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Bennington, G., &
Derrida, J. (1993). Jacques Derrida. University of Chicago Press.
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Caputo, J. D. (1987). Radical
hermeneutics: Repetition, deconstruction, and the hermeneutic project.
Indiana University Press.
Caputo, J. D. (1997). The
prayers and tears of Jacques Derrida: Religion without religion. Indiana
University Press.
Caputo, J. D. (2006). The
weakness of God: A theology of the event. Indiana University Press.
Critchley, S. (2001). Continental
philosophy: A very short introduction. Oxford University Press.
Critchley, S. (1999). Ethics-politics-subjectivity:
Essays on Derrida, Levinas and contemporary French thought. Verso.
Culler, J. (1982). On
deconstruction: Theory and criticism after structuralism. Cornell
University Press.
De Man, P. (1983). Blindness
and insight: Essays in the rhetoric of contemporary criticism (2nd ed.).
University of Minnesota Press.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
(Original work published 1967)
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press. (Original
work published 1967)
Derrida, J. (1981). Dissemination
(B. Johnson, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published
1972)
Derrida, J. (1982). Margins
of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1988). Limited
Inc (S. Weber & J. Mehlman, Trans.). Northwestern University Press.
Derrida, J. (1995). The
gift of death (D. Wills, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1999). Adieu
to Emmanuel Levinas (P.-A. Brault & M. Naas, Trans.). Stanford
University Press.
Derrida, J. (2000). Of
hospitality: Anne Dufourmantelle invites Jacques Derrida to respond (R.
Bowlby, Trans.). Stanford University Press.
Derrida, J. (2002). Acts
of religion (G. Anidjar, Ed.). Routledge.
Derrida, J. (2005). Rogues:
Two essays on reason (P.-A. Brault & M. Naas, Trans.). Stanford
University Press.
Derrida, J. (2005). The
politics of friendship (G. Collins, Trans.). Verso.
Douzinas, C., &
Warrington, R. (1991). Postmodern jurisprudence: The law of text in the
texts of law. Routledge.
Habermas, J. (1987). The
philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. Lawrence,
Trans.). MIT Press.
Hayles, N. K. (1999). How
we became posthuman: Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics.
University of Chicago Press.
Lawlor, L. (2002). Derrida
and Husserl: The basic problem of phenomenology. Indiana University Press.
Magee, B. (1997). Confessions
of a philosopher. Weidenfeld & Nicolson.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Norris, C. (1987). Derrida.
Harvard University Press.
Norris, C. (2002). Deconstruction:
Theory and practice (3rd ed.). Routledge.
Rorty, R. (1982). Consequences
of pragmatism. University of Minnesota Press.
Searle, J. (1977).
Reiterating the differences: A reply to Derrida. Glyph, 1, 198–208.
Spivak, G. C. (1988). Can
the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and
the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar