Dari Scholé ke Sekolah
Etimologi, Evolusi, dan Komersialisasi Pendidikan
Formal
Alihkan ke: Sistem Pendidikan.
Madrasah, Guru yang Membebaskan, Kurikulum Masa Depan, Pendidikan yang Menjinakkan, Sekolah Bukan Pabrik, Hak untuk Malas.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara historis dan filosofis
transformasi konsep dan institusi sekolah, mulai dari akar etimologis kata scholé
dalam tradisi Yunani Kuno hingga menjadi sistem pendidikan formal yang
terlembagakan dan bersifat komersial dalam dunia modern. Melalui pendekatan
multidisipliner yang menggabungkan analisis etimologis, sejarah pendidikan,
kritik sosiologis, dan teori kritis, artikel ini menelusuri pergeseran makna
sekolah dari ruang kontemplatif yang bebas menjadi institusi yang sarat
regulasi dan fungsi sosial-ekonomi. Dimulai dari pendidikan tradisional di
Mesopotamia, Mesir, Yunani, dan Romawi, dilanjutkan dengan institusi pendidikan
Islam dan skolastik Kristen, artikel ini menguraikan bagaimana sekolah
mengalami formalisasi melalui gerakan Renaisans, Pencerahan, dan Revolusi
Industri. Selanjutnya, dibahas pula komersialisasi pendidikan di era
globalisasi, kritik terhadap birokratisasi dan reproduksi ketimpangan dalam
pendidikan formal, serta alternatif model pendidikan seperti homeschooling, unschooling,
sekolah demokratis, dan pendidikan emansipatoris. Artikel ini menegaskan bahwa
memahami evolusi sekolah sangat penting untuk membangun sistem pendidikan yang
lebih adil, reflektif, dan humanistik di masa depan.
Kata Kunci: Sekolah, scholé, pendidikan formal, globalisasi
pendidikan, komersialisasi, kritik pendidikan, pendidikan alternatif, sejarah
pendidikan.
PEMBAHASAN
Kajian Etimologi dan Terminologi Sekolah
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu institusi paling
fundamental dalam peradaban manusia. Sebagai sistem yang bertujuan
mentransmisikan pengetahuan, nilai, dan keterampilan antargenerasi, pendidikan
telah mengalami transformasi bentuk dan makna yang sangat luas sepanjang
sejarah. Di antara sekian banyak bentuk institusi pendidikan yang dikenal umat
manusia, sekolah menempati posisi dominan dalam narasi modern tentang
pencerdasan bangsa dan pembangunan peradaban. Namun, sedikit yang menyadari
bahwa konsep dan istilah sekolah memiliki akar makna yang sangat berbeda
dari praktiknya saat ini.
Secara etimologis, kata sekolah berasal dari
bahasa Yunani scholé, yang berarti "waktu luang"—yakni
waktu yang digunakan untuk berpikir, merenung, dan berdiskusi, bukan untuk
bekerja atau mencari nafkah¹. Dalam konteks Yunani Kuno, scholé
melambangkan ideal kehidupan intelektual, di mana aktivitas belajar dipandang
sebagai pengejaran makna hidup, bukan sekadar sarana mobilitas sosial atau
ekonomi. Kata ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Latin sebagai schola,
dan dalam perkembangannya masuk ke berbagai bahasa Eropa modern serta
bahasa-bahasa Timur melalui pengaruh Islam dan kolonialisme².
Sepanjang sejarahnya, sekolah mengalami perubahan
yang signifikan dari segi bentuk, fungsi, dan nilai-nilai yang mendasarinya.
Dari lembaga informal di rumah atau kuil, sekolah berevolusi menjadi institusi
formal yang diatur negara, hingga akhirnya menjadi bagian dari industri global
bernama edu-business. Perubahan ini tidak lepas dari dinamika sejarah
sosial-politik, perkembangan ekonomi, dan perubahan paradigma pendidikan itu
sendiri³. Dalam masyarakat modern, sekolah tidak hanya menjadi tempat pembelajaran,
tetapi juga medan perebutan kepentingan ideologis, sosial, dan ekonomi, bahkan
menjadi objek komersialisasi di bawah logika pasar global⁴.
Di Indonesia, konsep sekolah modern diperkenalkan
melalui kolonialisme Belanda, yang mendirikan institusi-institusi pendidikan
untuk memenuhi kebutuhan birokrasi kolonial. Setelah kemerdekaan, sistem
pendidikan formal diadopsi dan dikembangkan secara nasional dengan orientasi
pembangunan⁵. Namun dalam dua dekade terakhir, gelombang globalisasi dan
liberalisasi ekonomi membawa pendidikan ke dalam arena kompetisi pasar, yang
mengubah relasi antara guru, siswa, dan lembaga pendidikan⁶.
Berangkat dari latar belakang tersebut, artikel ini
bertujuan untuk menelusuri akar etimologis dan terminologis kata sekolah,
menjelaskan proses evolusi sekolah sebagai institusi historis, dan menganalisis
bagaimana pendidikan formal mengalami transformasi hingga menjadi bagian dari
sistem ekonomi komersial. Dengan pendekatan historis dan konseptual, diharapkan
pembahasan ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika
pendidikan sebagai fenomena sosial-budaya yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York:
Harper & Row, 1971), 27.
[2]
James Bowen, A History of Western Education:
Volume I, The Ancient World: Orient and Greece (London: Methuen & Co.,
1972), 56–59.
[3]
Andy Green, Education and State Formation: The
Rise of Education Systems in England, France and the USA (London: Palgrave
Macmillan, 1990), 14–15.
[4]
Stephen J. Ball, Education PLC: Understanding
Private Sector Participation in Public Sector Education (London: Routledge,
2007), 5–7.
[5]
A. Teeuw, Modern Indonesian Literature (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1967), 108–110.
[6]
Michael W. Apple, Educating the “Right” Way:
Markets, Standards, God, and Inequality (New York: RoutledgeFalmer, 2001),
12–14.
2.
Kajian
Etimologi dan Terminologi Sekolah
Pemahaman terhadap
konsep sekolah
tidak dapat dilepaskan dari penelusuran akar kata dan perubahan maknanya dalam
lintasan sejarah bahasa dan budaya. Etimologi kata sekolah mengungkap transformasi
makna yang cukup tajam: dari ruang kebebasan berpikir menjadi institusi formal
yang sarat regulasi. Transformasi ini mencerminkan bukan hanya pergeseran
linguistik, tetapi juga perubahan paradigma dalam cara masyarakat memaknai
pendidikan.
2.1. Asal Usul Yunani: Scholé sebagai Waktu Luang untuk
Berpikir
Kata sekolah
berasal dari bahasa Yunani Kuno, σχολή (scholé), yang berarti “waktu luang,
istirahat, atau jeda dari kerja”¹. Namun, dalam konteks budaya intelektual
Yunani, scholé
tidak sekadar berarti waktu luang secara fisik, melainkan waktu yang
dimanfaatkan untuk aktivitas kontemplatif, diskusi filosofis, dan penyelidikan
pengetahuan. Dalam pandangan filsuf seperti Plato dan Aristoteles, scholé
menjadi simbol kehidupan intelektual yang merdeka dari beban kerja jasmani².
Dalam sistem
pendidikan Yunani, terutama di gymnasium dan akademia,
kegiatan belajar dianggap sebagai bentuk leisure yang luhur. Aristoteles
bahkan menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi (eudaimonia) dicapai melalui scholé,
yakni kehidupan yang dijalani dalam berpikir dan mencari kebenaran³. Dengan
demikian, scholé
bukan institusi fisik, melainkan kondisi eksistensial yang mendukung
pembelajaran sejati.
2.2. Latin dan Transmisi ke Bahasa Eropa
Istilah scholé
kemudian diadopsi dalam bahasa Latin menjadi schola, yang mulai digunakan dalam
konteks pendidikan institusional, terutama di lingkungan gereja Kristen. Di
sinilah makna schola mulai mengalami pergeseran:
dari makna filosofis menjadi institusi pelatihan dan pengajaran⁴. Sekolah
katedral dan sekolah biara di Eropa abad pertengahan menggunakan istilah ini
untuk menyebut tempat belajar agama, sastra Latin, dan logika.
Melalui pengaruh
Latin, istilah schola menyebar ke berbagai bahasa
Eropa: school
(Inggris), Schule
(Jerman), école
(Prancis), scuola
(Italia), dan sebagainya. Dalam proses ini, terjadi institusionalisasi makna: school
bukan lagi kondisi mental atau aktivitas filosofis, melainkan bangunan,
struktur, dan sistem yang menjalankan fungsi pengajaran formal.
2.3. Pengaruh Islam dan Bahasa Arab: Madrasah
Dalam tradisi Islam,
istilah yang sepadan dengan sekolah adalah madrasah, berasal dari akar kata
Arab darasa
yang berarti “belajar”⁵. Madrasah digunakan untuk menyebut
tempat belajar ilmu agama maupun ilmu rasional seperti matematika dan filsafat.
Pada masa keemasan peradaban Islam, madrasah memainkan peran sentral dalam
transmisi ilmu pengetahuan ke dunia Barat, termasuk melalui penerjemahan
karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab⁶.
Beberapa penulis
Barat mengakui bahwa struktur universitas modern mengambil inspirasi dari
sistem madrasah, terutama dalam hal jenjang pendidikan, pemberian ijazah (ijazah),
dan metode pembelajaran berbasis diskusi⁷. Hal ini menunjukkan bahwa konsep
sekolah sebagai institusi memiliki banyak titik temu lintas budaya.
2.4. Adopsi ke Bahasa Melayu-Indonesia: “Sekolah”
Dalam bahasa Melayu
dan Indonesia, istilah sekolah diadopsi dari bentuk
Belanda school,
yang masuk bersamaan dengan kebijakan pendidikan kolonial. Dalam konteks ini,
makna sekolah menjadi sangat birokratis dan fungsional, yakni sebagai tempat
pendidikan formal yang diorganisasi oleh negara kolonial untuk mencetak tenaga
kerja administratif dan pelayan publik⁸.
Meskipun demikian,
dalam perkembangan selanjutnya, istilah sekolah di Indonesia mengalami
perluasan makna: dari tempat pendidikan dasar hingga institusi pendidikan
tinggi, baik negeri maupun swasta, serta formal maupun informal. Namun, makna
filosofis asali dari scholé nyaris hilang dan digantikan
oleh fungsi administratif dan ekonomi pendidikan.
Footnotes
[1]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 26.
[2]
Henri-Irénée Marrou, A History of Education in Antiquity,
trans. George Lamb (New York: Sheed & Ward, 1956), 132–133.
[3]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon
Press, 1885), Book VII, 1337b.
[4]
Gabriel Compayré, The History of Pedagogy, trans. W.H. Payne
(Boston: D.C. Heath, 1899), 54–56.
[5]
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education
A.D. 800–1350 (Boulder: University of Colorado Press, 1964), 43.
[6]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 78–80.
[7]
Jonathan Lyons, The House of Wisdom: How the Arabs Transformed
Western Civilization (New York: Bloomsbury Press, 2009), 112–115.
[8]
A. Teeuw, Modern Indonesian Literature (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1967), 109.
3.
Sekolah
dalam Tradisi Kuno
Sebelum institusi
sekolah diformalkan dalam bentuk yang kita kenal sekarang, berbagai peradaban
kuno telah mengembangkan bentuk-bentuk pendidikan yang bersifat sistematis.
Meskipun belum menyerupai sekolah modern dengan kurikulum dan jenjang yang
ketat, sistem pendidikan kuno memiliki struktur, tujuan, dan metodologi
tersendiri sesuai dengan kebutuhan sosial, budaya, dan religius masyarakat pada
zamannya. Kajian terhadap bentuk-bentuk pendidikan ini membuka wawasan tentang
akar fungsional dan filosofis dari lembaga pendidikan yang kemudian berkembang menjadi
sekolah formal.
3.1. Mesir dan Mesopotamia: Pendidikan sebagai Instrumen
Administrasi Negara
Di Mesir Kuno dan
Mesopotamia (Sumeria, Babilonia, dan Asyur), pendidikan muncul sebagai bagian
dari struktur birokrasi kerajaan. Institusi pendidikan di sana bertujuan
mencetak juru tulis (scribes) yang dibutuhkan untuk
mencatat hasil pertanian, menyusun hukum, dan menjalankan administrasi
pemerintahan. Sekolah-sekolah ini, yang dikenal dengan sebutan “house
of instruction” atau edubba dalam bahasa Sumeria, memberikan
pelatihan intensif dalam menulis dengan aksara paku dan hieroglif¹.
Murid-murid belajar
dalam suasana yang sangat disiplin dan seringkali keras. Mereka diajarkan
membaca, menulis, matematika, dan hukum, terutama untuk mendukung kestabilan
negara teokratis dan kerajaan pusat. Pendidikan hanya terbatas pada anak-anak
elite atau bangsawan².
“Menulis adalah
hidup,” begitu semboyan dalam teks Mesir kuno menggambarkan status tinggi
para juru tulis. Aktivitas belajar di lingkungan ini tidak didasarkan pada
ideal kontemplatif, melainkan pada utilitas birokratis dan hierarki sosial³.
3.2. Yunani: Pendidikan sebagai Pembentukan Etika dan
Nalar
Tradisi Yunani Kuno
memberi sumbangsih penting terhadap perkembangan konsep pendidikan sebagai
pembinaan jiwa dan nalar manusia. Di kota-kota seperti Athena dan Sparta,
pendidikan dirancang untuk membentuk warga negara ideal—meskipun dengan
pendekatan yang berbeda.
Di Athena,
pendidikan bertujuan menumbuhkan arete (keutamaan), yang mencakup
kemampuan intelektual, moral, dan estetika. Institusi seperti gymnasium
dan akademia
(yang didirikan oleh Plato) menekankan pembelajaran filsafat, logika, retorika,
dan matematika. Aristoteles, dalam Lyceum-nya, mengembangkan
pendekatan empiris dan sistematis terhadap ilmu⁴. Dalam konteks ini, pendidikan
menjadi aktivitas bebas (scholé) yang dijalani demi kebaikan
hidup, bukan demi pekerjaan.
Sebaliknya, Sparta
menekankan pendidikan militer dan disiplin fisik, dengan fokus pada pembentukan
kesetiaan dan ketangguhan demi negara. Sistem pendidikan Spartan mencerminkan
fungsi pendidikan sebagai sarana integrasi sosial dan politik, bukan ekspresi
individual⁵.
3.3. Romawi: Pendidikan untuk Kepentingan Publik dan
Etika Stoik
Romawi Kuno mewarisi
banyak nilai pendidikan Yunani, namun mengarahkannya pada kepentingan praktis
dan retorika publik. Anak-anak Romawi dari kelas atas belajar di ludus
(sekolah dasar), kemudian melanjutkan ke grammaticus dan rhetor
untuk pelatihan lanjutan dalam bahasa Latin dan Yunani, serta seni persuasi.
Tujuan pendidikan di
Romawi adalah membentuk vir bonus dicendi peritus—orang
baik yang pandai berbicara⁶. Pendidikan menjadi alat untuk menyiapkan warga
negara ideal yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Di
bawah pengaruh filsafat Stoik, nilai seperti kewajiban, ketekunan, dan kendali
diri menjadi pilar utama pendidikan.
3.4. Dunia Islam: Madrasah dan Integrasi Ilmu
Agama-Rasional
Pada abad
pertengahan, dunia Islam mengembangkan sistem pendidikan formal yang dikenal
sebagai madrasah.
Berbeda dengan pendidikan di dunia Barat saat itu yang didominasi gereja,
madrasah memberikan ruang bagi pengembangan ilmu agama (ulum
al-din) dan ilmu rasional (ulum al-‘aql), termasuk logika,
matematika, kedokteran, dan astronomi⁷.
Madrasah tidak hanya
menjadi pusat pendidikan elite, tetapi juga lembaga sosial-keagamaan yang
menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Kurikulumnya mencerminkan sintesis
antara otoritas tradisi dan dinamika intelektual. Guru (mu’allim)
dan murid memiliki relasi yang berbasis pada adab, bukan sekadar transaksi
akademik⁸.
Selain madrasah,
pendidikan Islam juga berkembang melalui halaqah di masjid, rumah ulama, dan
perpustakaan umum seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad. Sistem ijazah
sebagai bentuk pengakuan keilmuan menjadi cikal bakal gelar akademik modern⁹.
Footnotes
[1]
Samuel Noah Kramer, History Begins at Sumer: Thirty-Nine Firsts in
Man’s Recorded History (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1981), 45–48.
[2]
A.F.L. Beeston, The Sumerians (London: Benn, 1972), 33.
[3]
James Bowen, A History of Western Education: Volume I, The Ancient
World: Orient and Greece (London: Methuen & Co., 1972), 12–15.
[4]
Henri-Irénée Marrou, A History of Education in Antiquity,
trans. George Lamb (New York: Sheed & Ward, 1956), 145–149.
[5]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, trans.
Gilbert Highet (New York: Oxford University Press, 1945), 303–310.
[6]
H.I. Marrou, A History of Education in Antiquity, 198–203.
[7]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 36–39.
[8]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 101–102.
[9]
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education
A.D. 800–1350 (Boulder: University of Colorado Press, 1964), 77–80.
4.
Lahirnya
Sekolah Formal di Dunia Barat
Lahirnya sekolah
formal di dunia Barat merupakan hasil proses panjang yang dipengaruhi oleh
dinamika keagamaan, sosial, dan intelektual. Dari lembaga pendidikan monastik
yang eksklusif hingga pembentukan universitas sebagai pusat ilmu pengetahuan
terbuka, perkembangan ini mencerminkan transisi besar dalam cara masyarakat
Barat mengorganisasi dan melembagakan aktivitas belajar. Sekolah, dalam bentuk
formalnya, mulai dipahami sebagai institusi yang memiliki struktur kurikulum,
otoritas pengajar, serta sistem evaluasi yang tertata.
4.1. Sekolah Katedral dan Biara: Awal Institusionalisasi
Pendidikan
Pada Abad
Pertengahan, sekitar abad ke-6 hingga ke-12, gereja menjadi institusi utama
yang mengelola pendidikan di Eropa Barat. Di bawah pengaruh Kekristenan Latin,
muncul sekolah-sekolah biara (monastic schools) dan sekolah
katedral (cathedral
schools) yang dikelola oleh ordo-ordo religius seperti Benediktin
dan Augustinian. Tujuan utama dari sekolah-sekolah ini adalah membentuk
rohaniwan yang mampu membaca teks-teks suci dan melaksanakan liturgi gerejawi¹.
Meskipun awalnya
bersifat eksklusif bagi calon imam, dalam perkembangannya, beberapa sekolah
gereja mulai membuka diri bagi kaum awam dari kalangan elite, terutama untuk
pelatihan dalam trivium (gramatika, logika,
retorika) dan quadrivium (aritmetika, musik,
geometri, astronomi)—yang kelak dikenal sebagai tujuh seni liberal². Kurikulum
ini menjadi dasar pembelajaran rasional dan dialektik dalam sistem pendidikan
Barat.
Sistem ini menjadi
awal dari kodifikasi kurikulum dan pendisiplinan pengetahuan, di mana otoritas
religius berperan sebagai pengontrol sekaligus penjaga ortodoksi³.
4.2. Universitas: Lembaga Ilmu Pengetahuan dan
Sertifikasi Keilmuan
Transformasi paling
signifikan dalam pendidikan formal di dunia Barat terjadi dengan lahirnya
universitas pada abad ke-12 dan ke-13. Universitas Bologna (Italia), Paris
(Perancis), Oxford dan Cambridge (Inggris) adalah contoh awal lembaga
pendidikan tinggi yang menggabungkan struktur keilmuan, otonomi kelembagaan,
dan pengakuan sosial terhadap kompetensi⁴.
Universitas memiliki
empat fakultas utama: seni, hukum, kedokteran, dan teologi. Di sinilah terjadi
institusionalisasi learning community yang bersifat
kolektif dan terstruktur. Gelar akademik seperti baccalaureus, magister,
dan doctor
mulai diperkenalkan sebagai bentuk legitimasi intelektual dan profesional⁵.
George Makdisi
berargumen bahwa model universitas Barat pada masa ini banyak dipengaruhi oleh
sistem madrasah
Islam, terutama dalam hal kurikulum berbasis logika dan yurisprudensi serta
pemberian ijazah
sebagai sertifikat keilmuan yang sah⁶. Namun, universitas di Barat juga
berkembang secara unik karena peran kuat negara dan gereja dalam mengontrol isi
dan arah pendidikan.
4.3. Sekolah Humanistik Renaisans: Kelahiran Pendidikan
Sekuler
Pada abad ke-14
hingga 16, gerakan Renaisans membawa perubahan mendalam dalam orientasi
pendidikan Barat. Munculnya humanisme sebagai arus pemikiran dominan menekankan
pentingnya pembelajaran teks klasik, bahasa Latin dan Yunani, serta
pengembangan potensi individual manusia. Sekolah-sekolah humanistik mulai
didirikan di kota-kota Italia seperti Florence dan Padua, dengan tokoh-tokoh
seperti Vittorino da Feltre yang menekankan pendidikan jasmani, moral, dan
estetika selain pengetahuan kognitif⁷.
Pendidikan mulai
dipandang bukan semata-mata sebagai persiapan kehidupan rohani, tetapi sebagai
pembinaan warga negara yang etis, cerdas, dan aktif secara sosial. Dengan
demikian, pendidikan formal melintasi batas institusi gereja dan mulai
diprakarsai oleh negara, komunitas kota, atau keluarga-keluarga aristokrat.
4.4. Pengaruh Reformasi dan Kontrareformasi: Sekolah
sebagai Instrumen Ideologi
Reformasi Protestan
yang dipelopori oleh Martin Luther pada awal abad ke-16 turut mempercepat
formalitas pendidikan melalui dorongan terhadap literasi Alkitab. Luther
menyerukan pendirian sekolah rakyat (Volksschule) agar semua orang dapat
membaca Kitab Suci, yang membuka ruang bagi perluasan pendidikan dasar⁸.
Sebagai tanggapan, Gereja Katolik melalui gerakan Kontrareformasi mendirikan
sekolah-sekolah Jesuit yang sangat terorganisasi dan berdisiplin tinggi.
Sekolah kemudian
menjadi medan kontestasi ideologi: Protestan menekankan pembelajaran mandiri
berbasis Kitab Suci, sementara Katolik menekankan pendidikan karakter dan
kesetiaan doktrinal. Dalam konteks ini, sekolah mulai mengambil bentuk yang
lebih mapan: memiliki jenjang, kurikulum, metode, dan regulasi yang
dikodifikasi.
Footnotes
[1]
Gabriel Compayré, The History of Pedagogy, trans. W.H. Payne
(Boston: D.C. Heath, 1899), 74–76.
[2]
James Bowen, A History of Western Education: Volume II, The Middle
Ages and the Transition to Modern Times (London: Methuen & Co., 1975),
31–34.
[3]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 37.
[4]
Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages,
ed. F.M. Powicke and A.B. Emden (Oxford: Clarendon Press, 1936), 1:58–65.
[5]
Walter Rüegg, ed., A History of the University in Europe: Volume I
– Universities in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press,
1992), 190–195.
[6]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 272–275.
[7]
Paul F. Grendler, Schooling in Renaissance Italy: Literacy and
Learning, 1300–1600 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989),
101–107.
[8]
Gerald L. Gutek, A History of the Western Educational Experience
(Prospect Heights: Waveland Press, 1995), 148–151.
5.
Sekolah
dalam Transformasi Modern: Renaisans hingga Revolusi Industri
Periode antara
Renaisans dan Revolusi Industri menandai transformasi besar dalam konsep,
struktur, dan fungsi pendidikan di dunia Barat. Sekolah secara bertahap
meninggalkan akar teologisnya dan berkembang menjadi lembaga sekuler yang
menjadi instrumen rasionalisasi sosial dan politik. Masa ini menyaksikan
bagaimana sekolah menjadi perpanjangan dari proyek modernitas: penciptaan
manusia rasional, produktif, dan patuh terhadap tatanan negara dan ekonomi
kapitalis. Pendidikan tidak lagi hanya menjadi arena pembentukan moral dan
spiritual, melainkan menjadi bagian dari perencanaan pembangunan
sosial-ekonomi.
5.1. Renaisans dan Humanisme: Pendidikan sebagai
Pembebasan Diri
Renaisans (abad
ke-14–16) merupakan titik balik dalam sejarah pemikiran Eropa yang juga membawa
pembaruan besar dalam sistem pendidikan. Para humanis seperti Erasmus dari
Rotterdam, Vittorino da Feltre, dan Juan Luis Vives menolak pendidikan
skolastik skolastik yang kaku dan dogmatis. Mereka mengembangkan pendekatan
pedagogis yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan (humanitas), kebebasan berpikir, dan
penguasaan bahasa-bahasa klasik⁽¹⁾.
Humanisme Renaisans
memperkenalkan studia humanitatis, suatu kurikulum
yang mencakup tata bahasa, retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral. Tujuan
utamanya adalah menciptakan individu yang memiliki keutamaan moral, kepekaan
estetis, dan kemampuan rasional. Sekolah-sekolah mulai didirikan oleh negara
kota atau keluarga bangsawan untuk mempersiapkan kader-kader birokrasi dan
elite terdidik yang berpandangan sekuler⁽²⁾.
Dalam hal ini,
pendidikan diposisikan sebagai sarana emansipasi intelektual, bukan lagi
sekadar reproduksi ortodoksi gerejawi.
5.2. Pencerahan (Enlightenment): Pendidikan untuk
Kemajuan dan Akal Sehat
Gerakan Pencerahan
(abad ke-17–18) semakin memperkuat orientasi sekuler dalam pendidikan. Para
pemikir seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant menegaskan
pentingnya akal budi sebagai fondasi utama dalam proses belajar. Locke,
misalnya, memandang pikiran manusia sebagai “tabula rasa” yang harus diisi
melalui pengalaman dan pembinaan moral⁽³⁾.
Sementara itu,
Rousseau dalam karyanya Émile mengusulkan pendidikan
naturalistik yang mengikuti perkembangan alamiah anak, bukan paksaan sosial. Ia
menentang sistem sekolah yang menindas kreativitas dan otonomi siswa, serta
menyerukan pendidikan yang memanusiakan dan membebaskan⁽⁴⁾. Dalam konteks yang
lebih luas, pendidikan dipandang sebagai alat untuk menciptakan warga negara
rasional yang mampu berpartisipasi dalam tatanan masyarakat yang adil dan
beradab.
Pencerahan juga
mendorong negara untuk mengambil peran aktif dalam sistem pendidikan. Di
Prusia, Frederick the Great membentuk sistem pendidikan umum (Volkschule)
dengan kurikulum standar dan pelatihan guru yang sistematis, menjadikan Prusia
sebagai model awal negara modern yang menyelenggarakan pendidikan massal⁽⁵⁾.
5.3. Revolusi Industri: Sekolah sebagai Pabrik Sosial
Revolusi Industri
(akhir abad ke-18 hingga ke-19) membawa dampak besar terhadap dunia pendidikan.
Kebutuhan akan tenaga kerja yang terampil, disiplin, dan patuh terhadap waktu
mendorong negara-negara industri untuk memperluas akses pendidikan dasar secara
sistematis. Sekolah mulai difungsikan sebagai pabrik sosial—yakni institusi yang
membentuk kebiasaan dan mentalitas pekerja pabrik: taat aturan, tepat waktu,
dan siap bekerja dalam struktur hirarkis⁽⁶⁾.
Pada masa ini,
sistem pendidikan menjadi lebih birokratis, hierarkis, dan terstandarisasi.
Sekolah dibangun dalam format kelas-kelas homogen, dengan satu guru dan puluhan
murid, mengikuti kurikulum yang seragam. Evaluasi dilakukan melalui ujian dan
sertifikasi, menandakan munculnya sistem meritokrasi pendidikan yang akan
bertahan hingga era modern⁽⁷⁾.
Di Inggris,
undang-undang Elementary Education Act tahun 1870
menandai dimulainya wajib belajar secara nasional. Negara mengambil alih
tanggung jawab pendidikan dari gereja dan komunitas, menjadikan sekolah sebagai
alat nasional untuk pembentukan moral, budaya, dan ekonomi masyarakat⁽⁸⁾.
John Taylor Gatto
menyebut sistem sekolah modern sebagai produk dari scientific management yang
diterapkan pada jiwa manusia, bukan sekadar pada mesin dan barang⁽⁹⁾.
5.4. Sekolah sebagai Arena Disiplin dan Normalisasi
Michel Foucault
dalam karyanya Discipline and Punish (1975)
menunjukkan bahwa sekolah modern tidak sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga
lembaga disipliner
yang berfungsi membentuk tubuh dan perilaku manusia. Dalam sekolah, individu
dilatih untuk duduk diam, mendengarkan otoritas, mengikuti jadwal, dan menerima
penilaian terus-menerus⁽¹⁰⁾.
Dalam kerangka ini,
sekolah menjadi bagian dari sistem panoptikon sosial yang menginternalisasi
pengawasan dan kontrol. Tujuan pendidikan bukan hanya transmisi pengetahuan,
tetapi juga internalisasi norma-norma produktivitas dan kepatuhan. Maka, fungsi
sekolah diperluas dari yang semula bersifat intelektual menjadi juga politis dan
ideologis.
Footnotes
[1]
Paul F. Grendler, Schooling in Renaissance Italy: Literacy and
Learning, 1300–1600 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989),
115–119.
[2]
Rebecca W. Bushnell, A Culture of Teaching: Early Modern Humanism
in Theory and Practice (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 48–50.
[3]
John Locke, Some Thoughts Concerning Education (London: A. and
J. Churchill, 1693), §2–5.
[4]
Jean-Jacques Rousseau, Émile, or On Education, trans. Allan
Bloom (New York: Basic Books, 1979), 37–42.
[5]
Andy Green, Education and State Formation: The Rise of Education
Systems in England, France and the USA (London: Palgrave Macmillan, 1990),
28–30.
[6]
Raymond Williams, The Long Revolution (New York: Columbia
University Press, 1961), 166–170.
[7]
E.G. West, Education and the State (Indianapolis: Liberty
Fund, 1994), 107–110.
[8]
Brian Simon, The Two Nations and the Educational Structure,
1780–1870 (London: Lawrence and Wishart, 1960), 195–200.
[9]
John Taylor Gatto, The Underground History of American Education
(New York: Oxford Village Press, 2001), 57–61.
[10]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 141–149.
6.
Sekolah
sebagai Sistem Pendidikan Formal di Abad ke-19 dan 20
Memasuki abad ke-19
dan 20, sistem pendidikan formal mengalami kodifikasi dan institusionalisasi
dalam skala nasional di berbagai negara. Sekolah tidak lagi hanya milik gereja,
bangsawan, atau kelas elite, tetapi menjadi alat negara modern untuk membentuk
warga negara produktif dan patuh. Proses ini ditandai oleh legislasi wajib
belajar, profesionalisasi guru, standarisasi kurikulum, serta perluasan akses
pendidikan ke berbagai kelompok sosial. Transformasi ini memperlihatkan
bagaimana sekolah berperan ganda: sebagai sarana emansipasi sosial dan
sekaligus alat kontrol sosial.
6.1. Legislasi Wajib Belajar dan Penguatan Negara-Bangsa
Seiring tumbuhnya
negara-bangsa modern, muncul kebutuhan akan sistem pendidikan yang terorganisir
secara nasional. Negara-negara seperti Prusia, Prancis, Inggris, dan Amerika
Serikat mulai mengembangkan sistem sekolah publik dengan undang-undang wajib
belajar. Di Prusia, sistem pendidikan nasional sudah mulai terbentuk sejak
akhir abad ke-18, namun menjadi model bagi negara lain pada abad ke-19 melalui
keberhasilan membentuk warga yang disiplin, nasionalis, dan terampil⁽¹⁾.
Inggris menyusul
dengan mengesahkan Elementary Education Act tahun 1870
yang menjadikan pendidikan dasar sebagai kewajiban negara. Prancis melangkah
lebih jauh dengan reformasi Jules Ferry (1881–1882) yang menegaskan bahwa
sekolah dasar harus bersifat gratis, sekuler, dan wajib⁽²⁾.
Amerika Serikat pun membentuk sistem common school di bawah pengaruh
Horace Mann, yang percaya bahwa pendidikan universal adalah dasar demokrasi
yang sehat⁽³⁾.
Pendidikan menjadi
pilar pembentukan identitas nasional, moralitas publik, dan loyalitas terhadap
negara.
6.2. Profesionalisasi Guru dan Birokratisasi Sekolah
Agar sistem
pendidikan berjalan efektif, dibutuhkan guru-guru profesional yang terlatih
secara pedagogis dan ideologis. Maka, berdirilah institusi pelatihan guru
(normal school) di berbagai negara untuk mencetak tenaga pengajar yang mampu
menjalankan kurikulum negara dan mendisiplinkan siswa⁽⁴⁾. Guru tidak hanya
mengajar materi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti ketertiban, kerja
keras, dan rasa tanggung jawab sosial.
Pada saat yang sama,
sekolah mulai dikelola secara birokratis seperti lembaga negara lainnya.
Kurikulum distandarkan, penilaian diukur secara kuantitatif melalui ujian, dan
administrasi dilakukan secara hierarkis. Max Weber menyebut ini sebagai “rational-legal
authority” yang melekat pada lembaga modern⁽⁵⁾. Dalam struktur ini,
siswa diklasifikasikan berdasarkan usia, prestasi, dan kemampuan, yang kelak
menciptakan sistem pelacakan sosial (social tracking).
6.3. Sekolah dan Mobilitas Sosial
Di tengah
industrialisasi dan urbanisasi yang pesat, sekolah juga dianggap sebagai sarana
mobilitas sosial. Ide meritokrasi—bahwa kesuksesan ditentukan oleh kemampuan
dan kerja keras, bukan warisan kelas—menjadi legitimasi utama dari perluasan
pendidikan publik. Seseorang yang berasal dari kelas bawah dipercaya dapat naik
ke posisi sosial yang lebih tinggi melalui prestasi akademik⁽⁶⁾.
Namun, berbagai
studi sosiologis menunjukkan bahwa sekolah formal juga mereproduksi ketimpangan
sosial. Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron mengkritik bahwa sekolah
mempromosikan “ilusi meritokrasi” dan sesungguhnya lebih banyak
mempertahankan habitus kelas dominan melalui cultural
capital yang tidak dimiliki semua anak⁽⁷⁾. Dengan demikian, sekolah
menjadi arena seleksi sosial yang tidak sepenuhnya netral.
6.4. Pendidikan Perempuan dan Kelompok Terpinggirkan
Abad ke-19 dan 20
juga menjadi periode penting bagi perjuangan akses pendidikan bagi perempuan
dan kelompok minoritas. Tokoh seperti Mary Wollstonecraft dan kemudian John
Stuart Mill mengadvokasi pentingnya pendidikan perempuan sebagai kunci
pembebasan⁽⁸⁾. Seiring waktu, sekolah-sekolah khusus perempuan mulai didirikan,
dan negara mengadopsi kebijakan inklusif dalam pendidikan.
Namun, kendala
struktural dan kultural tetap menjadi hambatan. Di banyak negara kolonial,
termasuk di wilayah Asia dan Afrika, akses pendidikan masih terbatas bagi kaum
pribumi dan perempuan. Di Amerika Serikat, segregasi rasial dalam pendidikan
bertahan hingga pertengahan abad ke-20 dan baru secara legal dihapuskan melalui
kasus Brown v.
Board of Education tahun 1954⁽⁹⁾.
6.5. Pendidikan sebagai Industri dan Institusi Global
Menjelang akhir abad
ke-20, muncul kecenderungan globalisasi dalam pendidikan. Standar pendidikan
ditetapkan melalui tes internasional seperti PISA dan TIMSS. Bahasa Inggris
menjadi bahasa pengantar pendidikan global, dan sekolah internasional
berkembang pesat sebagai bentuk kapitalisasi atas kualitas pendidikan⁽¹⁰⁾. Hal
ini membuka peluang, namun juga menimbulkan ketimpangan baru antara pendidikan
global dan lokal.
Sekolah tidak hanya
menjadi institusi nasional, tetapi juga produk global yang tunduk pada logika
pasar. Sertifikasi internasional, franchising sekolah, dan industri bimbingan
belajar menandai munculnya pendidikan sebagai sektor ekonomi tersendiri.
Footnotes
[1]
Andy Green, Education and State Formation: The Rise of Education
Systems in England, France and the USA (London: Palgrave Macmillan, 1990),
19–22.
[2]
Mona Ozouf, L’École, l’Église et la République, 1871–1914
(Paris: Seuil, 1963), 101–103.
[3]
Carl F. Kaestle, Pillars of the Republic: Common Schools and
American Society, 1780–1860 (New York: Hill and Wang, 1983), 77–80.
[4]
Linda Darling-Hammond, The Right to Learn: A Blueprint for Creating
Schools That Work (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 145–150.
[5]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 956–960.
[6]
Randall Collins, The Credential Society: An Historical Sociology of
Education and Stratification (New York: Academic Press, 1979), 121–124.
[7]
Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in
Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage, 1990),
72–74.
[8]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman
(London: Joseph Johnson, 1792), 115–117.
[9]
James T. Patterson, Brown v. Board of Education: A Civil Rights
Milestone and Its Troubled Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2001),
63–65.
[10]
Gita Steiner-Khamsi, The Global Politics of Educational Borrowing
and Lending (New York: Teachers College Press, 2004), 43–45.
7.
Sekolah
dalam Era Globalisasi dan Komersialisasi
Memasuki akhir abad
ke-20 dan awal abad ke-21, sistem pendidikan global menghadapi transformasi
signifikan sebagai akibat dari arus globalisasi ekonomi, deregulasi pasar, dan
penetrasi teknologi informasi. Sekolah, yang sebelumnya berfungsi sebagai
lembaga negara untuk membentuk warga negara dan mengurangi ketimpangan sosial,
kini mengalami repolitisasi dan rekonseptualisasi dalam kerangka
neoliberalisme. Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya dipandang sebagai hak
warga negara atau proses pembentukan karakter, tetapi juga sebagai komoditas
yang dapat diperjualbelikan, diukur, dan dikalkulasikan dalam kerangka pasar
global⁽¹⁾.
7.1. Pendidikan sebagai Komoditas Global: Munculnya
Edu-Business
Salah satu
manifestasi paling nyata dari komersialisasi pendidikan adalah berkembangnya
industri pendidikan global atau edu-business. Perusahaan-perusahaan
transnasional seperti Pearson, Kaplan, dan Cambridge Assessment menawarkan
kurikulum, tes standar, pelatihan guru, dan layanan pendidikan lainnya kepada
sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pendidikan tidak lagi hanya dikelola oleh negara
atau lembaga nirlaba, tetapi juga oleh korporasi swasta yang berorientasi pada
profit⁽²⁾.
Fenomena school
franchising seperti sekolah internasional berbasis Cambridge, IB
(International Baccalaureate), atau Montessori juga menunjukkan bagaimana model
pendidikan dapat dijual secara paket dan dipasarkan layaknya merek dagang. Di
berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak orang tua berlomba
menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan berlabel "internasional"
demi status sosial dan jaminan akses global⁽³⁾.
Dalam kerangka ini,
pendidikan direduksi menjadi layanan konsumsi dan sekolah
menjadi pasar
institusional yang bersaing menawarkan “produk” terbaik—nilai
ujian, sertifikat internasional, hingga peluang kuliah ke luar negeri.
7.2. Standarisasi Global dan Kompetisi Internasional
Komersialisasi
pendidikan juga berjalan seiring dengan proses standarisasi pendidikan dalam
skala global. Lembaga seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and
Development) mempromosikan program evaluasi internasional seperti PISA
(Programme for International Student Assessment) sebagai tolok ukur
keberhasilan sistem pendidikan suatu negara. Negara-negara berlomba menaikkan
peringkatnya dalam kompetisi ini, sering kali dengan menyesuaikan kurikulum,
metode pengajaran, dan sistem evaluasi sesuai standar global⁽⁴⁾.
Namun, kritik
terhadap standarisasi global menunjukkan bahwa pendekatan ini mengabaikan
konteks sosial-budaya lokal, menekan kreativitas pengajaran, dan menimbulkan
tekanan psikologis pada siswa dan guru. Sekolah dituntut untuk berorientasi
pada hasil (output-driven) dan mengabaikan proses pembentukan
kepribadian dan nilai kemanusiaan siswa⁽⁵⁾.
7.3. Privatisasi dan Ketimpangan Akses
Gelombang
privatisasi pendidikan yang menyertai neoliberalisasi memperbesar jurang antara
kelompok sosial. Sekolah swasta elit yang mahal berkembang pesat dengan
fasilitas canggih, sementara sekolah negeri sering kali tertinggal dalam hal
sumber daya, tenaga pengajar, dan infrastruktur. Dalam banyak kasus, sekolah
yang dikelola oleh swasta mendapatkan subsidi tidak langsung dari negara
melalui skema seperti voucher education atau public-private
partnership (PPP)⁽⁶⁾.
Michael Apple
menyebut fenomena ini sebagai bentuk “stratifikasi pendidikan”, di mana akses
terhadap kualitas pendidikan yang baik sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi
keluarga, bukan oleh kesetaraan hak sebagai warga negara⁽⁷⁾. Dalam jangka
panjang, kondisi ini memperkuat polarisasi kelas sosial dan melemahkan prinsip
keadilan dalam sistem pendidikan.
7.4. Digitalisasi dan Platformisasi Sekolah
Transformasi
pendidikan juga didorong oleh revolusi teknologi digital. Munculnya ed-tech
companies seperti Google for Education, Microsoft Education, dan
platform seperti Coursera, Khan Academy, dan Ruangguru menciptakan bentuk baru
dari ruang belajar: virtual school. Sekolah tidak lagi
terbatas secara fisik, tetapi menyatu dengan ekosistem digital yang fleksibel
dan lintas batas⁽⁸⁾.
Meskipun
digitalisasi membuka peluang akses yang lebih luas, ia juga menciptakan
ketergantungan pada infrastruktur teknologi dan data. Banyak sekolah mulai
mengadopsi sistem manajemen pembelajaran berbasis cloud, sistem penilaian
otomatis, bahkan algoritma personalisasi belajar. Dalam model ini, data siswa
menjadi aset
digital yang dapat dianalisis, disimpan, bahkan dimonetisasi oleh
pihak ketiga⁽⁹⁾.
7.5. Sekolah dan Tantangan Rehumanisasi Pendidikan
Kritik terhadap
komersialisasi dan globalisasi pendidikan mendorong munculnya gerakan
rehumanisasi pendidikan. Tokoh seperti Henry Giroux dan Paulo Freire
mengingatkan bahwa pendidikan harus dikembalikan pada prinsip pembebasan,
keadilan, dan pembentukan kesadaran kritis, bukan sekadar transmisi
informasi atau persiapan pasar tenaga kerja⁽¹⁰⁾.
Gerakan pendidikan
alternatif—seperti sekolah komunitas, homeschooling progresif, dan unschooling—menawarkan
model pendidikan yang lebih personal, kontekstual, dan transformatif. Di tengah
tekanan pasar, sekolah ditantang untuk kembali memaknai mengajar
bukan sebagai proses menjual jasa, tetapi sebagai tindakan membangun peradaban manusia.
Footnotes
[1]
Stephen J. Ball, Education PLC: Understanding Private Sector
Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 3–6.
[2]
Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 85–89.
[3]
Fazal Rizvi and Bob Lingard, Globalizing Education Policy
(London: Routledge, 2010), 113–117.
[4]
Gita Steiner-Khamsi, The Global Politics of Educational Borrowing
and Lending (New York: Teachers College Press, 2004), 52–56.
[5]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from
Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2011),
105–107.
[6]
Antoni Verger, Clara Fontdevila, and Adrià Novelli, The
Privatization of Education: A Political Economy of Global Education Reform
(New York: Teachers College Press, 2016), 22–26.
[7]
Michael W. Apple, Educating the “Right” Way: Markets, Standards,
God, and Inequality (New York: RoutledgeFalmer, 2001), 29–32.
[8]
Ben Williamson, Big Data in Education: The Digital Future of
Learning, Policy and Practice (London: Sage, 2017), 66–70.
[9]
Audrey Watters, The Hidden History of EdTech (2020), 102–105.
[10]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury,
2011), 25–30; Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra
Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–76.
8.
Kritik
dan Alternatif terhadap Model Sekolah Formal
Model sekolah formal
modern, meskipun telah menjadi fondasi sistem pendidikan di hampir seluruh
dunia, tidak luput dari kritik tajam yang datang dari berbagai kalangan—baik
filsuf pendidikan, sosiolog, aktivis, maupun praktisi. Kritik-kritik ini
umumnya menyasar pada struktur hierarkis, birokratisasi berlebihan,
standarisasi yang menekan kreativitas, serta reproduksi ketimpangan sosial yang
berlangsung di dalam sekolah. Selain mengkritik, sejumlah pemikir juga
menawarkan model pendidikan alternatif yang lebih humanistik, partisipatif, dan
kontekstual, sebagai jalan keluar dari kekakuan sistem sekolah formal.
8.1. Sekolah sebagai Institusi Disipliner dan Reproduksi
Kekuasaan
Michel Foucault,
dalam karya monumentalnya Discipline and Punish (1975),
mengemukakan bahwa sekolah modern bukan hanya tempat belajar, melainkan bagian
dari jaringan institusi yang berfungsi mendisiplinkan tubuh dan jiwa manusia.
Ia menunjukkan bahwa arsitektur sekolah, pembagian waktu, sistem penilaian, dan
pengawasan yang terus-menerus adalah mekanisme kontrol sosial yang beroperasi
secara halus tetapi efektif⁽¹⁾. Sekolah, dalam pandangan Foucault, menjadi bagian
dari “masyarakat disipliner” yang membentuk individu agar tunduk
terhadap otoritas dan norma dominan.
Selain itu, Pierre
Bourdieu dan Jean-Claude Passeron melalui Reproduction in Education, Society and Culture
(1977), menyoroti bagaimana sekolah mereproduksi struktur kelas sosial. Menurut
mereka, sistem pendidikan modern cenderung melegitimasi dominasi kelas atas
melalui apa yang disebut cultural capital—yakni kebiasaan,
gaya bicara, dan pengetahuan yang dihargai oleh institusi pendidikan tetapi
tidak dimiliki oleh semua kelas sosial⁽²⁾.
8.2. Standarisasi, Alienasi, dan Krisis Makna Pendidikan
Kritik lain terhadap
sekolah formal diarahkan pada kecenderungannya yang semakin teknokratis
dan instrumentalis.
John Taylor Gatto, dalam The Underground History of American Education
(2001), menegaskan bahwa sistem sekolah publik di Amerika telah dirancang untuk
menghasilkan warga yang patuh, bukan kreatif atau kritis. Ia menyebut sekolah
sebagai “proyek
industrialisasi jiwa” yang menekankan kepatuhan terhadap struktur waktu,
penilaian, dan hierarki, bukan pada kebebasan berpikir⁽³⁾.
Kondisi ini
menciptakan bentuk alienasi—di mana siswa merasa terasing dari proses belajar
yang sebenarnya tidak bermakna bagi kehidupan nyata mereka. Belajar menjadi
rutinitas mekanistik yang menjauhkan siswa dari minat, bakat, dan pengalaman
hidup mereka sendiri. Fenomena school burnout di kalangan pelajar
urban merupakan indikasi konkret dari krisis makna pendidikan dalam sistem
sekolah formal⁽⁴⁾.
8.3. Alternatif Model Pendidikan: Pendidikan Kritis dan
Emansipatoris
Sebagai tanggapan
terhadap krisis dalam pendidikan formal, berbagai pemikir dan praktisi
mengusulkan model alternatif yang lebih partisipatif dan kontekstual. Paulo
Freire, tokoh penting dalam pendidikan emansipatoris, dalam Pedagogy
of the Oppressed (1970) mengajukan model pendidikan dialogis yang
menolak pendekatan “banking concept of education”—di
mana guru mengisi “wadah kosong” bernama siswa dengan pengetahuan⁽⁵⁾.
Freire mengusulkan
pendidikan yang berbasis pada dialog, pengalaman konkret, dan refleksi kritis
atas realitas sosial. Dalam pendidikan semacam ini, guru dan siswa belajar
bersama sebagai subjek yang setara, dan proses belajar diarahkan untuk
membebaskan manusia dari penindasan struktural. Model ini sangat berpengaruh di
Amerika Latin, Afrika, dan komunitas-komunitas tertindas di berbagai belahan
dunia⁽⁶⁾.
8.4. Gerakan Sekolah Alternatif dan Pendidikan
Non-Formal
Seiring
berkembangnya kritik terhadap sistem sekolah formal, muncul pula gerakan
sekolah alternatif seperti sekolah demokratis (democratic schools), unschooling,
dan homeschooling progresif. Sekolah-sekolah demokratis seperti Summerhill
School (Inggris) dan Sudbury Valley School (Amerika Serikat) mengusung prinsip
partisipasi penuh siswa dalam pengambilan keputusan, tanpa paksaan kurikulum,
dan tanpa ujian standar⁽⁷⁾.
Model unschooling,
yang dikembangkan oleh John Holt, menolak struktur sekolah sepenuhnya dan
mendorong proses belajar alami melalui eksplorasi minat pribadi anak⁽⁸⁾. Dalam
kerangka ini, pendidikan bukanlah sesuatu yang diberikan, tetapi sesuatu yang
dihidupi—terjadi secara organik dalam relasi antara anak, keluarga, dan
lingkungan.
Pendidikan
non-formal juga menjadi alternatif di banyak negara berkembang, terutama dalam
komunitas marjinal yang tidak terjangkau oleh sekolah formal. Model seperti community-based
education dan lifelong learning mengakui bahwa
belajar tidak terbatas pada usia sekolah atau gedung sekolah, tetapi dapat
terjadi sepanjang hayat dalam berbagai konteks kehidupan⁽⁹⁾.
8.5. Tantangan dan Prospek Pendidikan Alternatif
Meskipun
menjanjikan, pendidikan alternatif juga menghadapi sejumlah tantangan. Di
antaranya adalah legitimasi sosial, kesulitan akreditasi, keterbatasan sumber
daya, dan resistensi budaya terhadap model pendidikan yang tidak konvensional.
Namun, di tengah krisis global—baik dalam hal keadilan sosial, krisis ekologis,
maupun digitalisasi yang cepat—pendidikan alternatif menjadi semakin relevan
sebagai upaya reimajinasi pendidikan masa depan.
Seperti ditegaskan
oleh Henry Giroux, pendidikan harus dipandang sebagai “tindakan politik”
yang membentuk kesadaran, bukan sekadar transmisi pengetahuan⁽¹⁰⁾. Maka, masa
depan pendidikan menuntut integrasi antara semangat scholé—sebagai waktu kontemplatif
dan pembebasan diri—dengan kebutuhan sosial akan transformasi struktural dan
kultural.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 138–142.
[2]
Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in
Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage, 1990),
5–7.
[3]
John Taylor Gatto, The Underground History of American Education
(New York: Oxford Village Press, 2001), 34–38.
[4]
Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond
Traditional Classrooms and “Tougher Standards” (Boston: Houghton Mifflin,
1999), 112–116.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 1970), 52–55.
[6]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011),
13–15.
[7]
A.S. Neill, Summerhill: A Radical Approach to Child Rearing
(New York: Hart Publishing, 1960), 90–92.
[8]
John Holt, Instead of Education: Ways to Help People Do Things
Better (New York: E.P. Dutton, 1976), 7–10.
[9]
David Aspin and Judith Chapman, Lifelong Learning: Concepts and
Conceptions (Dordrecht: Springer, 2007), 24–27.
[10]
Henry A. Giroux, Critical Pedagogy in Dark Times: New Analytic
Perspectives (New York: Routledge, 2020), 59–61.
9.
Kesimpulan
Kajian historis dan konseptual tentang sekolah,
dari akar etimologis scholé hingga menjadi sistem pendidikan formal dan
bahkan bersifat komersial, mengungkap perubahan mendasar dalam fungsi dan makna
pendidikan sepanjang sejarah peradaban manusia. Dari awalnya sebagai ruang
kontemplatif untuk berpikir bebas di Yunani Kuno, sekolah telah bertransformasi
menjadi institusi sosial yang sarat dengan fungsi administratif, politik,
ekonomi, dan ideologis. Transformasi ini tidak terjadi secara linear, melainkan
melalui pergulatan antara nilai-nilai kebebasan intelektual, tuntutan
kekuasaan, serta kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat.
Dalam tahap awal, sekolah hadir sebagai alat
reproduksi budaya dan agama—sebagaimana tampak dalam sekolah biara Kristen,
madrasah Islam, atau sekolah-sekolah kerajaan Mesir dan Mesopotamia¹. Namun,
sejak Renaisans dan gerakan Pencerahan, fungsi pendidikan mulai bergeser ke
arah pembentukan individu rasional dan warga negara yang otonom. Sekolah
menjadi ruang penting dalam proyek modernitas untuk mencetak manusia yang mampu
berpikir, bekerja, dan berpartisipasi dalam masyarakat demokratis².
Perubahan paling drastis terjadi sejak Revolusi
Industri hingga era globalisasi, ketika sekolah menjadi bagian dari struktur
ekonomi kapitalis. Pendidikan difungsikan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja,
mendisiplinkan tubuh, dan memproduksi sumber daya manusia yang terstandarisasi.
Bersamaan dengan itu, muncul pula proses komersialisasi dan privatisasi
pendidikan, di mana sekolah dikonstruksi sebagai komoditas dan arena kompetisi,
bukan lagi sekadar ruang pembelajaran³.
Transformasi ini tidak lepas dari kritik. Pemikir
seperti Michel Foucault, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan John Taylor Gatto
menyoroti bagaimana sekolah formal seringkali mereproduksi ketimpangan sosial
dan menjadi alat normalisasi kekuasaan. Mereka menekankan perlunya membebaskan
pendidikan dari struktur dominatif melalui model-model pembelajaran yang lebih
dialogis, partisipatif, dan kontekstual⁴.
Di tengah ketidakpastian zaman, krisis ekologi,
ketimpangan sosial, dan gelombang digitalisasi, pertanyaan tentang makna
sekolah menjadi semakin relevan. Sekolah masa depan ditantang untuk tidak hanya
mencetak tenaga kerja, tetapi juga membentuk manusia yang kritis, kreatif, dan
berkepribadian utuh. Maka, upaya rehumanisasi pendidikan harus dimulai dengan
merefleksikan kembali asal-usul filosofis dari scholé—sebagai waktu
untuk berpikir, berefleksi, dan memperkuat eksistensi manusia.
Oleh karena itu, memahami sejarah dan evolusi
sekolah bukan sekadar penggalian akademis, tetapi juga langkah strategis untuk
menata ulang orientasi pendidikan di masa kini. Di antara dua kutub—kontrol dan
kebebasan, profit dan pembebasan—pendidikan harus dikembalikan pada misinya
yang paling mendasar: membentuk manusia yang merdeka dalam berpikir dan
bermartabat dalam bertindak⁵.
Footnotes
[1]
Henri-Irénée Marrou, A History of Education in
Antiquity, trans. George Lamb (New York: Sheed & Ward, 1956), 145–149;
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and
the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 78–80.
[2]
Paul F. Grendler, Schooling in Renaissance
Italy: Literacy and Learning, 1300–1600 (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1989), 115–119; John Locke, Some Thoughts Concerning
Education (London: A. and J. Churchill, 1693), §2–5.
[3]
Stephen J. Ball, Education PLC: Understanding Private Sector
Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 5–7; Michael W. Apple, Educating
the “Right” Way: Markets, Standards, God, and Inequality (New York:
RoutledgeFalmer, 2001), 29–32.
[4]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995),
138–142; Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in
Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage, 1990),
5–7; Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Continuum, 1970), 52–55.
[5]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New
York: Bloomsbury, 2011), 25–30; John Taylor Gatto, The Underground History
of American Education (New York: Oxford Village Press, 2001), 34–38.
Daftar Pustaka
Apple, M. W. (2001). Educating the “right” way:
Markets, standards, God, and inequality. RoutledgeFalmer.
Aspin, D., & Chapman, J. (2007). Lifelong
learning: Concepts and conceptions. Springer.
Ball, S. J. (2007). Education PLC: Understanding
private sector participation in public sector education. Routledge.
Bourdieu, P., & Passeron, J.-C. (1990). Reproduction
in education, society and culture (R. Nice, Trans.). Sage. (Original work
published 1977)
Bowen, J. (1972). A history of western
education: Vol. 1. The ancient world: Orient and Greece. Methuen & Co.
Bushnell, R. W. (1996). A culture of teaching:
Early modern humanism in theory and practice. Cornell University Press.
Collins, R. (1979). The credential society: An
historical sociology of education and stratification. Academic Press.
Compayré, G. (1899). The history of pedagogy
(W. H. Payne, Trans.). D.C. Heath.
Darling-Hammond, L. (1997). The right to learn:
A blueprint for creating schools that work. Jossey-Bass.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1975)
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Gatto, J. T. (2001). The underground history of
American education. Oxford Village Press.
Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy.
Bloomsbury.
Giroux, H. A. (2020). Critical pedagogy in dark
times: New analytic perspectives. Routledge.
Green, A. (1990). Education and state formation:
The rise of education systems in England, France and the USA. Palgrave
Macmillan.
Grendler, P. F. (1989). Schooling in Renaissance
Italy: Literacy and learning, 1300–1600. Johns Hopkins University Press.
Holt, J. (1976). Instead of education: Ways to
help people do things better. E.P. Dutton.
Illich, I. (1971). Deschooling society.
Harper & Row.
Jaeger, W. (1945). Paideia: The ideals of Greek
culture (G. Highet, Trans.). Oxford University Press.
Kaestle, C. F. (1983). Pillars of the republic:
Common schools and American society, 1780–1860. Hill and Wang.
Kohn, A. (1999). The schools our children
deserve: Moving beyond traditional classrooms and “tougher standards”.
Houghton Mifflin.
Locke, J. (1693). Some thoughts concerning
education. A. and J. Churchill.
Makdisi, G. (1981). The rise of colleges:
Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.
Marrou, H.-I. (1956). A history of education in
antiquity (G. Lamb, Trans.). Sheed & Ward.
Neill, A. S. (1960). Summerhill: A radical
approach to child rearing. Hart Publishing.
Nakosteen, M. (1964). History of Islamic origins
of western education A.D. 800–1350. University of Colorado Press.
Ozouf, M. (1963). L’école, l’église et la
république, 1871–1914. Seuil.
Patterson, J. T. (2001). Brown v. Board of
Education: A civil rights milestone and its troubled legacy. Oxford
University Press.
Rashdall, H. (1936). The universities of Europe
in the Middle Ages (F. M. Powicke & A. B. Emden, Eds.). Clarendon
Press.
Rousseau, J.-J. (1979). Émile, or on education
(A. Bloom, Trans.). Basic Books.
Rüegg, W. (Ed.). (1992). A history of the
university in Europe: Vol. 1. Universities in the Middle Ages. Cambridge
University Press.
Sahlberg, P. (2011). Finnish lessons: What can
the world learn from educational change in Finland? Teachers College Press.
Simon, B. (1960). The two nations and the
educational structure, 1780–1870. Lawrence and Wishart.
Spring, J. (1998). Education and the rise of the
global economy. Lawrence Erlbaum Associates.
Steiner-Khamsi, G. (2004). The global politics
of educational borrowing and lending. Teachers College Press.
Verger, A., Fontdevila, C., & Novelli, A.
(2016). The privatization of education: A political economy of global
education reform. Teachers College Press.
Watters, A. (2020). The hidden history of edtech.
Independent publication.
Weber, M. (1978). Economy and society: An
outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Trans.).
University of California Press.
West, E. G. (1994). Education and the state.
Liberty Fund.
Wollstonecraft, M. (1792). A vindication of the
rights of woman. Joseph Johnson.
Williamson, B. (2017). Big data in education:
The digital future of learning, policy and practice. Sage.
Williams, R. (1961). The long revolution.
Columbia University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar