Selasa, 13 Mei 2025

Dari Scholé ke Sekolah: Etimologi, Evolusi, dan Komersialisasi Pendidikan Formal

Dari Scholé ke Sekolah

Etimologi, Evolusi, dan Komersialisasi Pendidikan Formal


Alihkan ke: Sistem Pendidikan

MadrasahGuru yang MembebaskanKurikulum Masa DepanPendidikan yang MenjinakkanSekolah Bukan PabrikHak untuk Malas.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara historis dan filosofis transformasi konsep dan institusi sekolah, mulai dari akar etimologis kata scholé dalam tradisi Yunani Kuno hingga menjadi sistem pendidikan formal yang terlembagakan dan bersifat komersial dalam dunia modern. Melalui pendekatan multidisipliner yang menggabungkan analisis etimologis, sejarah pendidikan, kritik sosiologis, dan teori kritis, artikel ini menelusuri pergeseran makna sekolah dari ruang kontemplatif yang bebas menjadi institusi yang sarat regulasi dan fungsi sosial-ekonomi. Dimulai dari pendidikan tradisional di Mesopotamia, Mesir, Yunani, dan Romawi, dilanjutkan dengan institusi pendidikan Islam dan skolastik Kristen, artikel ini menguraikan bagaimana sekolah mengalami formalisasi melalui gerakan Renaisans, Pencerahan, dan Revolusi Industri. Selanjutnya, dibahas pula komersialisasi pendidikan di era globalisasi, kritik terhadap birokratisasi dan reproduksi ketimpangan dalam pendidikan formal, serta alternatif model pendidikan seperti homeschooling, unschooling, sekolah demokratis, dan pendidikan emansipatoris. Artikel ini menegaskan bahwa memahami evolusi sekolah sangat penting untuk membangun sistem pendidikan yang lebih adil, reflektif, dan humanistik di masa depan.

Kata Kunci: Sekolah, scholé, pendidikan formal, globalisasi pendidikan, komersialisasi, kritik pendidikan, pendidikan alternatif, sejarah pendidikan.


PEMBAHASAN

Kajian Etimologi dan Terminologi Sekolah


1.           Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu institusi paling fundamental dalam peradaban manusia. Sebagai sistem yang bertujuan mentransmisikan pengetahuan, nilai, dan keterampilan antargenerasi, pendidikan telah mengalami transformasi bentuk dan makna yang sangat luas sepanjang sejarah. Di antara sekian banyak bentuk institusi pendidikan yang dikenal umat manusia, sekolah menempati posisi dominan dalam narasi modern tentang pencerdasan bangsa dan pembangunan peradaban. Namun, sedikit yang menyadari bahwa konsep dan istilah sekolah memiliki akar makna yang sangat berbeda dari praktiknya saat ini.

Secara etimologis, kata sekolah berasal dari bahasa Yunani scholé, yang berarti "waktu luang"—yakni waktu yang digunakan untuk berpikir, merenung, dan berdiskusi, bukan untuk bekerja atau mencari nafkah¹. Dalam konteks Yunani Kuno, scholé melambangkan ideal kehidupan intelektual, di mana aktivitas belajar dipandang sebagai pengejaran makna hidup, bukan sekadar sarana mobilitas sosial atau ekonomi. Kata ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Latin sebagai schola, dan dalam perkembangannya masuk ke berbagai bahasa Eropa modern serta bahasa-bahasa Timur melalui pengaruh Islam dan kolonialisme².

Sepanjang sejarahnya, sekolah mengalami perubahan yang signifikan dari segi bentuk, fungsi, dan nilai-nilai yang mendasarinya. Dari lembaga informal di rumah atau kuil, sekolah berevolusi menjadi institusi formal yang diatur negara, hingga akhirnya menjadi bagian dari industri global bernama edu-business. Perubahan ini tidak lepas dari dinamika sejarah sosial-politik, perkembangan ekonomi, dan perubahan paradigma pendidikan itu sendiri³. Dalam masyarakat modern, sekolah tidak hanya menjadi tempat pembelajaran, tetapi juga medan perebutan kepentingan ideologis, sosial, dan ekonomi, bahkan menjadi objek komersialisasi di bawah logika pasar global⁴.

Di Indonesia, konsep sekolah modern diperkenalkan melalui kolonialisme Belanda, yang mendirikan institusi-institusi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi kolonial. Setelah kemerdekaan, sistem pendidikan formal diadopsi dan dikembangkan secara nasional dengan orientasi pembangunan⁵. Namun dalam dua dekade terakhir, gelombang globalisasi dan liberalisasi ekonomi membawa pendidikan ke dalam arena kompetisi pasar, yang mengubah relasi antara guru, siswa, dan lembaga pendidikan⁶.

Berangkat dari latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menelusuri akar etimologis dan terminologis kata sekolah, menjelaskan proses evolusi sekolah sebagai institusi historis, dan menganalisis bagaimana pendidikan formal mengalami transformasi hingga menjadi bagian dari sistem ekonomi komersial. Dengan pendekatan historis dan konseptual, diharapkan pembahasan ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika pendidikan sebagai fenomena sosial-budaya yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 27.

[2]                James Bowen, A History of Western Education: Volume I, The Ancient World: Orient and Greece (London: Methuen & Co., 1972), 56–59.

[3]                Andy Green, Education and State Formation: The Rise of Education Systems in England, France and the USA (London: Palgrave Macmillan, 1990), 14–15.

[4]                Stephen J. Ball, Education PLC: Understanding Private Sector Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 5–7.

[5]                A. Teeuw, Modern Indonesian Literature (The Hague: Martinus Nijhoff, 1967), 108–110.

[6]                Michael W. Apple, Educating the “Right” Way: Markets, Standards, God, and Inequality (New York: RoutledgeFalmer, 2001), 12–14.


2.           Kajian Etimologi dan Terminologi Sekolah

Pemahaman terhadap konsep sekolah tidak dapat dilepaskan dari penelusuran akar kata dan perubahan maknanya dalam lintasan sejarah bahasa dan budaya. Etimologi kata sekolah mengungkap transformasi makna yang cukup tajam: dari ruang kebebasan berpikir menjadi institusi formal yang sarat regulasi. Transformasi ini mencerminkan bukan hanya pergeseran linguistik, tetapi juga perubahan paradigma dalam cara masyarakat memaknai pendidikan.

2.1.       Asal Usul Yunani: Scholé sebagai Waktu Luang untuk Berpikir

Kata sekolah berasal dari bahasa Yunani Kuno, σχολή (scholé), yang berarti “waktu luang, istirahat, atau jeda dari kerja”¹. Namun, dalam konteks budaya intelektual Yunani, scholé tidak sekadar berarti waktu luang secara fisik, melainkan waktu yang dimanfaatkan untuk aktivitas kontemplatif, diskusi filosofis, dan penyelidikan pengetahuan. Dalam pandangan filsuf seperti Plato dan Aristoteles, scholé menjadi simbol kehidupan intelektual yang merdeka dari beban kerja jasmani².

Dalam sistem pendidikan Yunani, terutama di gymnasium dan akademia, kegiatan belajar dianggap sebagai bentuk leisure yang luhur. Aristoteles bahkan menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi (eudaimonia) dicapai melalui scholé, yakni kehidupan yang dijalani dalam berpikir dan mencari kebenaran³. Dengan demikian, scholé bukan institusi fisik, melainkan kondisi eksistensial yang mendukung pembelajaran sejati.

2.2.       Latin dan Transmisi ke Bahasa Eropa

Istilah scholé kemudian diadopsi dalam bahasa Latin menjadi schola, yang mulai digunakan dalam konteks pendidikan institusional, terutama di lingkungan gereja Kristen. Di sinilah makna schola mulai mengalami pergeseran: dari makna filosofis menjadi institusi pelatihan dan pengajaran⁴. Sekolah katedral dan sekolah biara di Eropa abad pertengahan menggunakan istilah ini untuk menyebut tempat belajar agama, sastra Latin, dan logika.

Melalui pengaruh Latin, istilah schola menyebar ke berbagai bahasa Eropa: school (Inggris), Schule (Jerman), école (Prancis), scuola (Italia), dan sebagainya. Dalam proses ini, terjadi institusionalisasi makna: school bukan lagi kondisi mental atau aktivitas filosofis, melainkan bangunan, struktur, dan sistem yang menjalankan fungsi pengajaran formal.

2.3.       Pengaruh Islam dan Bahasa Arab: Madrasah

Dalam tradisi Islam, istilah yang sepadan dengan sekolah adalah madrasah, berasal dari akar kata Arab darasa yang berarti “belajar”⁵. Madrasah digunakan untuk menyebut tempat belajar ilmu agama maupun ilmu rasional seperti matematika dan filsafat. Pada masa keemasan peradaban Islam, madrasah memainkan peran sentral dalam transmisi ilmu pengetahuan ke dunia Barat, termasuk melalui penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab⁶.

Beberapa penulis Barat mengakui bahwa struktur universitas modern mengambil inspirasi dari sistem madrasah, terutama dalam hal jenjang pendidikan, pemberian ijazah (ijazah), dan metode pembelajaran berbasis diskusi⁷. Hal ini menunjukkan bahwa konsep sekolah sebagai institusi memiliki banyak titik temu lintas budaya.

2.4.       Adopsi ke Bahasa Melayu-Indonesia: “Sekolah”

Dalam bahasa Melayu dan Indonesia, istilah sekolah diadopsi dari bentuk Belanda school, yang masuk bersamaan dengan kebijakan pendidikan kolonial. Dalam konteks ini, makna sekolah menjadi sangat birokratis dan fungsional, yakni sebagai tempat pendidikan formal yang diorganisasi oleh negara kolonial untuk mencetak tenaga kerja administratif dan pelayan publik⁸.

Meskipun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah sekolah di Indonesia mengalami perluasan makna: dari tempat pendidikan dasar hingga institusi pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta, serta formal maupun informal. Namun, makna filosofis asali dari scholé nyaris hilang dan digantikan oleh fungsi administratif dan ekonomi pendidikan.


Footnotes

[1]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 26.

[2]                Henri-Irénée Marrou, A History of Education in Antiquity, trans. George Lamb (New York: Sheed & Ward, 1956), 132–133.

[3]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book VII, 1337b.

[4]                Gabriel Compayré, The History of Pedagogy, trans. W.H. Payne (Boston: D.C. Heath, 1899), 54–56.

[5]                Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800–1350 (Boulder: University of Colorado Press, 1964), 43.

[6]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 78–80.

[7]                Jonathan Lyons, The House of Wisdom: How the Arabs Transformed Western Civilization (New York: Bloomsbury Press, 2009), 112–115.

[8]                A. Teeuw, Modern Indonesian Literature (The Hague: Martinus Nijhoff, 1967), 109.


3.           Sekolah dalam Tradisi Kuno

Sebelum institusi sekolah diformalkan dalam bentuk yang kita kenal sekarang, berbagai peradaban kuno telah mengembangkan bentuk-bentuk pendidikan yang bersifat sistematis. Meskipun belum menyerupai sekolah modern dengan kurikulum dan jenjang yang ketat, sistem pendidikan kuno memiliki struktur, tujuan, dan metodologi tersendiri sesuai dengan kebutuhan sosial, budaya, dan religius masyarakat pada zamannya. Kajian terhadap bentuk-bentuk pendidikan ini membuka wawasan tentang akar fungsional dan filosofis dari lembaga pendidikan yang kemudian berkembang menjadi sekolah formal.

3.1.       Mesir dan Mesopotamia: Pendidikan sebagai Instrumen Administrasi Negara

Di Mesir Kuno dan Mesopotamia (Sumeria, Babilonia, dan Asyur), pendidikan muncul sebagai bagian dari struktur birokrasi kerajaan. Institusi pendidikan di sana bertujuan mencetak juru tulis (scribes) yang dibutuhkan untuk mencatat hasil pertanian, menyusun hukum, dan menjalankan administrasi pemerintahan. Sekolah-sekolah ini, yang dikenal dengan sebutan “house of instruction” atau edubba dalam bahasa Sumeria, memberikan pelatihan intensif dalam menulis dengan aksara paku dan hieroglif¹.

Murid-murid belajar dalam suasana yang sangat disiplin dan seringkali keras. Mereka diajarkan membaca, menulis, matematika, dan hukum, terutama untuk mendukung kestabilan negara teokratis dan kerajaan pusat. Pendidikan hanya terbatas pada anak-anak elite atau bangsawan².

Menulis adalah hidup,” begitu semboyan dalam teks Mesir kuno menggambarkan status tinggi para juru tulis. Aktivitas belajar di lingkungan ini tidak didasarkan pada ideal kontemplatif, melainkan pada utilitas birokratis dan hierarki sosial³.

3.2.       Yunani: Pendidikan sebagai Pembentukan Etika dan Nalar

Tradisi Yunani Kuno memberi sumbangsih penting terhadap perkembangan konsep pendidikan sebagai pembinaan jiwa dan nalar manusia. Di kota-kota seperti Athena dan Sparta, pendidikan dirancang untuk membentuk warga negara ideal—meskipun dengan pendekatan yang berbeda.

Di Athena, pendidikan bertujuan menumbuhkan arete (keutamaan), yang mencakup kemampuan intelektual, moral, dan estetika. Institusi seperti gymnasium dan akademia (yang didirikan oleh Plato) menekankan pembelajaran filsafat, logika, retorika, dan matematika. Aristoteles, dalam Lyceum-nya, mengembangkan pendekatan empiris dan sistematis terhadap ilmu⁴. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi aktivitas bebas (scholé) yang dijalani demi kebaikan hidup, bukan demi pekerjaan.

Sebaliknya, Sparta menekankan pendidikan militer dan disiplin fisik, dengan fokus pada pembentukan kesetiaan dan ketangguhan demi negara. Sistem pendidikan Spartan mencerminkan fungsi pendidikan sebagai sarana integrasi sosial dan politik, bukan ekspresi individual⁵.

3.3.       Romawi: Pendidikan untuk Kepentingan Publik dan Etika Stoik

Romawi Kuno mewarisi banyak nilai pendidikan Yunani, namun mengarahkannya pada kepentingan praktis dan retorika publik. Anak-anak Romawi dari kelas atas belajar di ludus (sekolah dasar), kemudian melanjutkan ke grammaticus dan rhetor untuk pelatihan lanjutan dalam bahasa Latin dan Yunani, serta seni persuasi.

Tujuan pendidikan di Romawi adalah membentuk vir bonus dicendi peritus—orang baik yang pandai berbicara⁶. Pendidikan menjadi alat untuk menyiapkan warga negara ideal yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Di bawah pengaruh filsafat Stoik, nilai seperti kewajiban, ketekunan, dan kendali diri menjadi pilar utama pendidikan.

3.4.       Dunia Islam: Madrasah dan Integrasi Ilmu Agama-Rasional

Pada abad pertengahan, dunia Islam mengembangkan sistem pendidikan formal yang dikenal sebagai madrasah. Berbeda dengan pendidikan di dunia Barat saat itu yang didominasi gereja, madrasah memberikan ruang bagi pengembangan ilmu agama (ulum al-din) dan ilmu rasional (ulum al-‘aql), termasuk logika, matematika, kedokteran, dan astronomi⁷.

Madrasah tidak hanya menjadi pusat pendidikan elite, tetapi juga lembaga sosial-keagamaan yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Kurikulumnya mencerminkan sintesis antara otoritas tradisi dan dinamika intelektual. Guru (mu’allim) dan murid memiliki relasi yang berbasis pada adab, bukan sekadar transaksi akademik⁸.

Selain madrasah, pendidikan Islam juga berkembang melalui halaqah di masjid, rumah ulama, dan perpustakaan umum seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad. Sistem ijazah sebagai bentuk pengakuan keilmuan menjadi cikal bakal gelar akademik modern⁹.


Footnotes

[1]                Samuel Noah Kramer, History Begins at Sumer: Thirty-Nine Firsts in Man’s Recorded History (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1981), 45–48.

[2]                A.F.L. Beeston, The Sumerians (London: Benn, 1972), 33.

[3]                James Bowen, A History of Western Education: Volume I, The Ancient World: Orient and Greece (London: Methuen & Co., 1972), 12–15.

[4]                Henri-Irénée Marrou, A History of Education in Antiquity, trans. George Lamb (New York: Sheed & Ward, 1956), 145–149.

[5]                Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, trans. Gilbert Highet (New York: Oxford University Press, 1945), 303–310.

[6]                H.I. Marrou, A History of Education in Antiquity, 198–203.

[7]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 36–39.

[8]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 101–102.

[9]                Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800–1350 (Boulder: University of Colorado Press, 1964), 77–80.


4.           Lahirnya Sekolah Formal di Dunia Barat

Lahirnya sekolah formal di dunia Barat merupakan hasil proses panjang yang dipengaruhi oleh dinamika keagamaan, sosial, dan intelektual. Dari lembaga pendidikan monastik yang eksklusif hingga pembentukan universitas sebagai pusat ilmu pengetahuan terbuka, perkembangan ini mencerminkan transisi besar dalam cara masyarakat Barat mengorganisasi dan melembagakan aktivitas belajar. Sekolah, dalam bentuk formalnya, mulai dipahami sebagai institusi yang memiliki struktur kurikulum, otoritas pengajar, serta sistem evaluasi yang tertata.

4.1.       Sekolah Katedral dan Biara: Awal Institusionalisasi Pendidikan

Pada Abad Pertengahan, sekitar abad ke-6 hingga ke-12, gereja menjadi institusi utama yang mengelola pendidikan di Eropa Barat. Di bawah pengaruh Kekristenan Latin, muncul sekolah-sekolah biara (monastic schools) dan sekolah katedral (cathedral schools) yang dikelola oleh ordo-ordo religius seperti Benediktin dan Augustinian. Tujuan utama dari sekolah-sekolah ini adalah membentuk rohaniwan yang mampu membaca teks-teks suci dan melaksanakan liturgi gerejawi¹.

Meskipun awalnya bersifat eksklusif bagi calon imam, dalam perkembangannya, beberapa sekolah gereja mulai membuka diri bagi kaum awam dari kalangan elite, terutama untuk pelatihan dalam trivium (gramatika, logika, retorika) dan quadrivium (aritmetika, musik, geometri, astronomi)—yang kelak dikenal sebagai tujuh seni liberal². Kurikulum ini menjadi dasar pembelajaran rasional dan dialektik dalam sistem pendidikan Barat.

Sistem ini menjadi awal dari kodifikasi kurikulum dan pendisiplinan pengetahuan, di mana otoritas religius berperan sebagai pengontrol sekaligus penjaga ortodoksi³.

4.2.       Universitas: Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Sertifikasi Keilmuan

Transformasi paling signifikan dalam pendidikan formal di dunia Barat terjadi dengan lahirnya universitas pada abad ke-12 dan ke-13. Universitas Bologna (Italia), Paris (Perancis), Oxford dan Cambridge (Inggris) adalah contoh awal lembaga pendidikan tinggi yang menggabungkan struktur keilmuan, otonomi kelembagaan, dan pengakuan sosial terhadap kompetensi⁴.

Universitas memiliki empat fakultas utama: seni, hukum, kedokteran, dan teologi. Di sinilah terjadi institusionalisasi learning community yang bersifat kolektif dan terstruktur. Gelar akademik seperti baccalaureus, magister, dan doctor mulai diperkenalkan sebagai bentuk legitimasi intelektual dan profesional⁵.

George Makdisi berargumen bahwa model universitas Barat pada masa ini banyak dipengaruhi oleh sistem madrasah Islam, terutama dalam hal kurikulum berbasis logika dan yurisprudensi serta pemberian ijazah sebagai sertifikat keilmuan yang sah⁶. Namun, universitas di Barat juga berkembang secara unik karena peran kuat negara dan gereja dalam mengontrol isi dan arah pendidikan.

4.3.       Sekolah Humanistik Renaisans: Kelahiran Pendidikan Sekuler

Pada abad ke-14 hingga 16, gerakan Renaisans membawa perubahan mendalam dalam orientasi pendidikan Barat. Munculnya humanisme sebagai arus pemikiran dominan menekankan pentingnya pembelajaran teks klasik, bahasa Latin dan Yunani, serta pengembangan potensi individual manusia. Sekolah-sekolah humanistik mulai didirikan di kota-kota Italia seperti Florence dan Padua, dengan tokoh-tokoh seperti Vittorino da Feltre yang menekankan pendidikan jasmani, moral, dan estetika selain pengetahuan kognitif⁷.

Pendidikan mulai dipandang bukan semata-mata sebagai persiapan kehidupan rohani, tetapi sebagai pembinaan warga negara yang etis, cerdas, dan aktif secara sosial. Dengan demikian, pendidikan formal melintasi batas institusi gereja dan mulai diprakarsai oleh negara, komunitas kota, atau keluarga-keluarga aristokrat.

4.4.       Pengaruh Reformasi dan Kontrareformasi: Sekolah sebagai Instrumen Ideologi

Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther pada awal abad ke-16 turut mempercepat formalitas pendidikan melalui dorongan terhadap literasi Alkitab. Luther menyerukan pendirian sekolah rakyat (Volksschule) agar semua orang dapat membaca Kitab Suci, yang membuka ruang bagi perluasan pendidikan dasar⁸. Sebagai tanggapan, Gereja Katolik melalui gerakan Kontrareformasi mendirikan sekolah-sekolah Jesuit yang sangat terorganisasi dan berdisiplin tinggi.

Sekolah kemudian menjadi medan kontestasi ideologi: Protestan menekankan pembelajaran mandiri berbasis Kitab Suci, sementara Katolik menekankan pendidikan karakter dan kesetiaan doktrinal. Dalam konteks ini, sekolah mulai mengambil bentuk yang lebih mapan: memiliki jenjang, kurikulum, metode, dan regulasi yang dikodifikasi.


Footnotes

[1]                Gabriel Compayré, The History of Pedagogy, trans. W.H. Payne (Boston: D.C. Heath, 1899), 74–76.

[2]                James Bowen, A History of Western Education: Volume II, The Middle Ages and the Transition to Modern Times (London: Methuen & Co., 1975), 31–34.

[3]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 37.

[4]                Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages, ed. F.M. Powicke and A.B. Emden (Oxford: Clarendon Press, 1936), 1:58–65.

[5]                Walter Rüegg, ed., A History of the University in Europe: Volume I – Universities in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 190–195.

[6]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 272–275.

[7]                Paul F. Grendler, Schooling in Renaissance Italy: Literacy and Learning, 1300–1600 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 101–107.

[8]                Gerald L. Gutek, A History of the Western Educational Experience (Prospect Heights: Waveland Press, 1995), 148–151.


5.           Sekolah dalam Transformasi Modern: Renaisans hingga Revolusi Industri

Periode antara Renaisans dan Revolusi Industri menandai transformasi besar dalam konsep, struktur, dan fungsi pendidikan di dunia Barat. Sekolah secara bertahap meninggalkan akar teologisnya dan berkembang menjadi lembaga sekuler yang menjadi instrumen rasionalisasi sosial dan politik. Masa ini menyaksikan bagaimana sekolah menjadi perpanjangan dari proyek modernitas: penciptaan manusia rasional, produktif, dan patuh terhadap tatanan negara dan ekonomi kapitalis. Pendidikan tidak lagi hanya menjadi arena pembentukan moral dan spiritual, melainkan menjadi bagian dari perencanaan pembangunan sosial-ekonomi.

5.1.       Renaisans dan Humanisme: Pendidikan sebagai Pembebasan Diri

Renaisans (abad ke-14–16) merupakan titik balik dalam sejarah pemikiran Eropa yang juga membawa pembaruan besar dalam sistem pendidikan. Para humanis seperti Erasmus dari Rotterdam, Vittorino da Feltre, dan Juan Luis Vives menolak pendidikan skolastik skolastik yang kaku dan dogmatis. Mereka mengembangkan pendekatan pedagogis yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan (humanitas), kebebasan berpikir, dan penguasaan bahasa-bahasa klasik⁽¹⁾.

Humanisme Renaisans memperkenalkan studia humanitatis, suatu kurikulum yang mencakup tata bahasa, retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral. Tujuan utamanya adalah menciptakan individu yang memiliki keutamaan moral, kepekaan estetis, dan kemampuan rasional. Sekolah-sekolah mulai didirikan oleh negara kota atau keluarga bangsawan untuk mempersiapkan kader-kader birokrasi dan elite terdidik yang berpandangan sekuler⁽²⁾.

Dalam hal ini, pendidikan diposisikan sebagai sarana emansipasi intelektual, bukan lagi sekadar reproduksi ortodoksi gerejawi.

5.2.       Pencerahan (Enlightenment): Pendidikan untuk Kemajuan dan Akal Sehat

Gerakan Pencerahan (abad ke-17–18) semakin memperkuat orientasi sekuler dalam pendidikan. Para pemikir seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant menegaskan pentingnya akal budi sebagai fondasi utama dalam proses belajar. Locke, misalnya, memandang pikiran manusia sebagai “tabula rasa” yang harus diisi melalui pengalaman dan pembinaan moral⁽³⁾.

Sementara itu, Rousseau dalam karyanya Émile mengusulkan pendidikan naturalistik yang mengikuti perkembangan alamiah anak, bukan paksaan sosial. Ia menentang sistem sekolah yang menindas kreativitas dan otonomi siswa, serta menyerukan pendidikan yang memanusiakan dan membebaskan⁽⁴⁾. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan dipandang sebagai alat untuk menciptakan warga negara rasional yang mampu berpartisipasi dalam tatanan masyarakat yang adil dan beradab.

Pencerahan juga mendorong negara untuk mengambil peran aktif dalam sistem pendidikan. Di Prusia, Frederick the Great membentuk sistem pendidikan umum (Volkschule) dengan kurikulum standar dan pelatihan guru yang sistematis, menjadikan Prusia sebagai model awal negara modern yang menyelenggarakan pendidikan massal⁽⁵⁾.

5.3.       Revolusi Industri: Sekolah sebagai Pabrik Sosial

Revolusi Industri (akhir abad ke-18 hingga ke-19) membawa dampak besar terhadap dunia pendidikan. Kebutuhan akan tenaga kerja yang terampil, disiplin, dan patuh terhadap waktu mendorong negara-negara industri untuk memperluas akses pendidikan dasar secara sistematis. Sekolah mulai difungsikan sebagai pabrik sosial—yakni institusi yang membentuk kebiasaan dan mentalitas pekerja pabrik: taat aturan, tepat waktu, dan siap bekerja dalam struktur hirarkis⁽⁶⁾.

Pada masa ini, sistem pendidikan menjadi lebih birokratis, hierarkis, dan terstandarisasi. Sekolah dibangun dalam format kelas-kelas homogen, dengan satu guru dan puluhan murid, mengikuti kurikulum yang seragam. Evaluasi dilakukan melalui ujian dan sertifikasi, menandakan munculnya sistem meritokrasi pendidikan yang akan bertahan hingga era modern⁽⁷⁾.

Di Inggris, undang-undang Elementary Education Act tahun 1870 menandai dimulainya wajib belajar secara nasional. Negara mengambil alih tanggung jawab pendidikan dari gereja dan komunitas, menjadikan sekolah sebagai alat nasional untuk pembentukan moral, budaya, dan ekonomi masyarakat⁽⁸⁾.

John Taylor Gatto menyebut sistem sekolah modern sebagai produk dari scientific management yang diterapkan pada jiwa manusia, bukan sekadar pada mesin dan barang⁽⁹⁾.

5.4.       Sekolah sebagai Arena Disiplin dan Normalisasi

Michel Foucault dalam karyanya Discipline and Punish (1975) menunjukkan bahwa sekolah modern tidak sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga lembaga disipliner yang berfungsi membentuk tubuh dan perilaku manusia. Dalam sekolah, individu dilatih untuk duduk diam, mendengarkan otoritas, mengikuti jadwal, dan menerima penilaian terus-menerus⁽¹⁰⁾.

Dalam kerangka ini, sekolah menjadi bagian dari sistem panoptikon sosial yang menginternalisasi pengawasan dan kontrol. Tujuan pendidikan bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga internalisasi norma-norma produktivitas dan kepatuhan. Maka, fungsi sekolah diperluas dari yang semula bersifat intelektual menjadi juga politis dan ideologis.


Footnotes

[1]                Paul F. Grendler, Schooling in Renaissance Italy: Literacy and Learning, 1300–1600 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 115–119.

[2]                Rebecca W. Bushnell, A Culture of Teaching: Early Modern Humanism in Theory and Practice (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 48–50.

[3]                John Locke, Some Thoughts Concerning Education (London: A. and J. Churchill, 1693), §2–5.

[4]                Jean-Jacques Rousseau, Émile, or On Education, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1979), 37–42.

[5]                Andy Green, Education and State Formation: The Rise of Education Systems in England, France and the USA (London: Palgrave Macmillan, 1990), 28–30.

[6]                Raymond Williams, The Long Revolution (New York: Columbia University Press, 1961), 166–170.

[7]                E.G. West, Education and the State (Indianapolis: Liberty Fund, 1994), 107–110.

[8]                Brian Simon, The Two Nations and the Educational Structure, 1780–1870 (London: Lawrence and Wishart, 1960), 195–200.

[9]                John Taylor Gatto, The Underground History of American Education (New York: Oxford Village Press, 2001), 57–61.

[10]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 141–149.


6.           Sekolah sebagai Sistem Pendidikan Formal di Abad ke-19 dan 20

Memasuki abad ke-19 dan 20, sistem pendidikan formal mengalami kodifikasi dan institusionalisasi dalam skala nasional di berbagai negara. Sekolah tidak lagi hanya milik gereja, bangsawan, atau kelas elite, tetapi menjadi alat negara modern untuk membentuk warga negara produktif dan patuh. Proses ini ditandai oleh legislasi wajib belajar, profesionalisasi guru, standarisasi kurikulum, serta perluasan akses pendidikan ke berbagai kelompok sosial. Transformasi ini memperlihatkan bagaimana sekolah berperan ganda: sebagai sarana emansipasi sosial dan sekaligus alat kontrol sosial.

6.1.       Legislasi Wajib Belajar dan Penguatan Negara-Bangsa

Seiring tumbuhnya negara-bangsa modern, muncul kebutuhan akan sistem pendidikan yang terorganisir secara nasional. Negara-negara seperti Prusia, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat mulai mengembangkan sistem sekolah publik dengan undang-undang wajib belajar. Di Prusia, sistem pendidikan nasional sudah mulai terbentuk sejak akhir abad ke-18, namun menjadi model bagi negara lain pada abad ke-19 melalui keberhasilan membentuk warga yang disiplin, nasionalis, dan terampil⁽¹⁾.

Inggris menyusul dengan mengesahkan Elementary Education Act tahun 1870 yang menjadikan pendidikan dasar sebagai kewajiban negara. Prancis melangkah lebih jauh dengan reformasi Jules Ferry (1881–1882) yang menegaskan bahwa sekolah dasar harus bersifat gratis, sekuler, dan wajib⁽²⁾. Amerika Serikat pun membentuk sistem common school di bawah pengaruh Horace Mann, yang percaya bahwa pendidikan universal adalah dasar demokrasi yang sehat⁽³⁾.

Pendidikan menjadi pilar pembentukan identitas nasional, moralitas publik, dan loyalitas terhadap negara.

6.2.       Profesionalisasi Guru dan Birokratisasi Sekolah

Agar sistem pendidikan berjalan efektif, dibutuhkan guru-guru profesional yang terlatih secara pedagogis dan ideologis. Maka, berdirilah institusi pelatihan guru (normal school) di berbagai negara untuk mencetak tenaga pengajar yang mampu menjalankan kurikulum negara dan mendisiplinkan siswa⁽⁴⁾. Guru tidak hanya mengajar materi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti ketertiban, kerja keras, dan rasa tanggung jawab sosial.

Pada saat yang sama, sekolah mulai dikelola secara birokratis seperti lembaga negara lainnya. Kurikulum distandarkan, penilaian diukur secara kuantitatif melalui ujian, dan administrasi dilakukan secara hierarkis. Max Weber menyebut ini sebagai “rational-legal authority” yang melekat pada lembaga modern⁽⁵⁾. Dalam struktur ini, siswa diklasifikasikan berdasarkan usia, prestasi, dan kemampuan, yang kelak menciptakan sistem pelacakan sosial (social tracking).

6.3.       Sekolah dan Mobilitas Sosial

Di tengah industrialisasi dan urbanisasi yang pesat, sekolah juga dianggap sebagai sarana mobilitas sosial. Ide meritokrasi—bahwa kesuksesan ditentukan oleh kemampuan dan kerja keras, bukan warisan kelas—menjadi legitimasi utama dari perluasan pendidikan publik. Seseorang yang berasal dari kelas bawah dipercaya dapat naik ke posisi sosial yang lebih tinggi melalui prestasi akademik⁽⁶⁾.

Namun, berbagai studi sosiologis menunjukkan bahwa sekolah formal juga mereproduksi ketimpangan sosial. Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron mengkritik bahwa sekolah mempromosikan “ilusi meritokrasi” dan sesungguhnya lebih banyak mempertahankan habitus kelas dominan melalui cultural capital yang tidak dimiliki semua anak⁽⁷⁾. Dengan demikian, sekolah menjadi arena seleksi sosial yang tidak sepenuhnya netral.

6.4.       Pendidikan Perempuan dan Kelompok Terpinggirkan

Abad ke-19 dan 20 juga menjadi periode penting bagi perjuangan akses pendidikan bagi perempuan dan kelompok minoritas. Tokoh seperti Mary Wollstonecraft dan kemudian John Stuart Mill mengadvokasi pentingnya pendidikan perempuan sebagai kunci pembebasan⁽⁸⁾. Seiring waktu, sekolah-sekolah khusus perempuan mulai didirikan, dan negara mengadopsi kebijakan inklusif dalam pendidikan.

Namun, kendala struktural dan kultural tetap menjadi hambatan. Di banyak negara kolonial, termasuk di wilayah Asia dan Afrika, akses pendidikan masih terbatas bagi kaum pribumi dan perempuan. Di Amerika Serikat, segregasi rasial dalam pendidikan bertahan hingga pertengahan abad ke-20 dan baru secara legal dihapuskan melalui kasus Brown v. Board of Education tahun 1954⁽⁹⁾.

6.5.       Pendidikan sebagai Industri dan Institusi Global

Menjelang akhir abad ke-20, muncul kecenderungan globalisasi dalam pendidikan. Standar pendidikan ditetapkan melalui tes internasional seperti PISA dan TIMSS. Bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar pendidikan global, dan sekolah internasional berkembang pesat sebagai bentuk kapitalisasi atas kualitas pendidikan⁽¹⁰⁾. Hal ini membuka peluang, namun juga menimbulkan ketimpangan baru antara pendidikan global dan lokal.

Sekolah tidak hanya menjadi institusi nasional, tetapi juga produk global yang tunduk pada logika pasar. Sertifikasi internasional, franchising sekolah, dan industri bimbingan belajar menandai munculnya pendidikan sebagai sektor ekonomi tersendiri.


Footnotes

[1]                Andy Green, Education and State Formation: The Rise of Education Systems in England, France and the USA (London: Palgrave Macmillan, 1990), 19–22.

[2]                Mona Ozouf, L’École, l’Église et la République, 1871–1914 (Paris: Seuil, 1963), 101–103.

[3]                Carl F. Kaestle, Pillars of the Republic: Common Schools and American Society, 1780–1860 (New York: Hill and Wang, 1983), 77–80.

[4]                Linda Darling-Hammond, The Right to Learn: A Blueprint for Creating Schools That Work (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 145–150.

[5]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 956–960.

[6]                Randall Collins, The Credential Society: An Historical Sociology of Education and Stratification (New York: Academic Press, 1979), 121–124.

[7]                Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage, 1990), 72–74.

[8]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London: Joseph Johnson, 1792), 115–117.

[9]                James T. Patterson, Brown v. Board of Education: A Civil Rights Milestone and Its Troubled Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 63–65.

[10]             Gita Steiner-Khamsi, The Global Politics of Educational Borrowing and Lending (New York: Teachers College Press, 2004), 43–45.


7.           Sekolah dalam Era Globalisasi dan Komersialisasi

Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sistem pendidikan global menghadapi transformasi signifikan sebagai akibat dari arus globalisasi ekonomi, deregulasi pasar, dan penetrasi teknologi informasi. Sekolah, yang sebelumnya berfungsi sebagai lembaga negara untuk membentuk warga negara dan mengurangi ketimpangan sosial, kini mengalami repolitisasi dan rekonseptualisasi dalam kerangka neoliberalisme. Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya dipandang sebagai hak warga negara atau proses pembentukan karakter, tetapi juga sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan, diukur, dan dikalkulasikan dalam kerangka pasar global⁽¹⁾.

7.1.       Pendidikan sebagai Komoditas Global: Munculnya Edu-Business

Salah satu manifestasi paling nyata dari komersialisasi pendidikan adalah berkembangnya industri pendidikan global atau edu-business. Perusahaan-perusahaan transnasional seperti Pearson, Kaplan, dan Cambridge Assessment menawarkan kurikulum, tes standar, pelatihan guru, dan layanan pendidikan lainnya kepada sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pendidikan tidak lagi hanya dikelola oleh negara atau lembaga nirlaba, tetapi juga oleh korporasi swasta yang berorientasi pada profit⁽²⁾.

Fenomena school franchising seperti sekolah internasional berbasis Cambridge, IB (International Baccalaureate), atau Montessori juga menunjukkan bagaimana model pendidikan dapat dijual secara paket dan dipasarkan layaknya merek dagang. Di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak orang tua berlomba menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan berlabel "internasional" demi status sosial dan jaminan akses global⁽³⁾.

Dalam kerangka ini, pendidikan direduksi menjadi layanan konsumsi dan sekolah menjadi pasar institusional yang bersaing menawarkan “produk” terbaik—nilai ujian, sertifikat internasional, hingga peluang kuliah ke luar negeri.

7.2.       Standarisasi Global dan Kompetisi Internasional

Komersialisasi pendidikan juga berjalan seiring dengan proses standarisasi pendidikan dalam skala global. Lembaga seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mempromosikan program evaluasi internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) sebagai tolok ukur keberhasilan sistem pendidikan suatu negara. Negara-negara berlomba menaikkan peringkatnya dalam kompetisi ini, sering kali dengan menyesuaikan kurikulum, metode pengajaran, dan sistem evaluasi sesuai standar global⁽⁴⁾.

Namun, kritik terhadap standarisasi global menunjukkan bahwa pendekatan ini mengabaikan konteks sosial-budaya lokal, menekan kreativitas pengajaran, dan menimbulkan tekanan psikologis pada siswa dan guru. Sekolah dituntut untuk berorientasi pada hasil (output-driven) dan mengabaikan proses pembentukan kepribadian dan nilai kemanusiaan siswa⁽⁵⁾.

7.3.       Privatisasi dan Ketimpangan Akses

Gelombang privatisasi pendidikan yang menyertai neoliberalisasi memperbesar jurang antara kelompok sosial. Sekolah swasta elit yang mahal berkembang pesat dengan fasilitas canggih, sementara sekolah negeri sering kali tertinggal dalam hal sumber daya, tenaga pengajar, dan infrastruktur. Dalam banyak kasus, sekolah yang dikelola oleh swasta mendapatkan subsidi tidak langsung dari negara melalui skema seperti voucher education atau public-private partnership (PPP)⁽⁶⁾.

Michael Apple menyebut fenomena ini sebagai bentuk “stratifikasi pendidikan”, di mana akses terhadap kualitas pendidikan yang baik sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi keluarga, bukan oleh kesetaraan hak sebagai warga negara⁽⁷⁾. Dalam jangka panjang, kondisi ini memperkuat polarisasi kelas sosial dan melemahkan prinsip keadilan dalam sistem pendidikan.

7.4.       Digitalisasi dan Platformisasi Sekolah

Transformasi pendidikan juga didorong oleh revolusi teknologi digital. Munculnya ed-tech companies seperti Google for Education, Microsoft Education, dan platform seperti Coursera, Khan Academy, dan Ruangguru menciptakan bentuk baru dari ruang belajar: virtual school. Sekolah tidak lagi terbatas secara fisik, tetapi menyatu dengan ekosistem digital yang fleksibel dan lintas batas⁽⁸⁾.

Meskipun digitalisasi membuka peluang akses yang lebih luas, ia juga menciptakan ketergantungan pada infrastruktur teknologi dan data. Banyak sekolah mulai mengadopsi sistem manajemen pembelajaran berbasis cloud, sistem penilaian otomatis, bahkan algoritma personalisasi belajar. Dalam model ini, data siswa menjadi aset digital yang dapat dianalisis, disimpan, bahkan dimonetisasi oleh pihak ketiga⁽⁹⁾.

7.5.       Sekolah dan Tantangan Rehumanisasi Pendidikan

Kritik terhadap komersialisasi dan globalisasi pendidikan mendorong munculnya gerakan rehumanisasi pendidikan. Tokoh seperti Henry Giroux dan Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan harus dikembalikan pada prinsip pembebasan, keadilan, dan pembentukan kesadaran kritis, bukan sekadar transmisi informasi atau persiapan pasar tenaga kerja⁽¹⁰⁾.

Gerakan pendidikan alternatif—seperti sekolah komunitas, homeschooling progresif, dan unschooling—menawarkan model pendidikan yang lebih personal, kontekstual, dan transformatif. Di tengah tekanan pasar, sekolah ditantang untuk kembali memaknai mengajar bukan sebagai proses menjual jasa, tetapi sebagai tindakan membangun peradaban manusia.


Footnotes

[1]                Stephen J. Ball, Education PLC: Understanding Private Sector Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 3–6.

[2]                Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 85–89.

[3]                Fazal Rizvi and Bob Lingard, Globalizing Education Policy (London: Routledge, 2010), 113–117.

[4]                Gita Steiner-Khamsi, The Global Politics of Educational Borrowing and Lending (New York: Teachers College Press, 2004), 52–56.

[5]                Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2011), 105–107.

[6]                Antoni Verger, Clara Fontdevila, and Adrià Novelli, The Privatization of Education: A Political Economy of Global Education Reform (New York: Teachers College Press, 2016), 22–26.

[7]                Michael W. Apple, Educating the “Right” Way: Markets, Standards, God, and Inequality (New York: RoutledgeFalmer, 2001), 29–32.

[8]                Ben Williamson, Big Data in Education: The Digital Future of Learning, Policy and Practice (London: Sage, 2017), 66–70.

[9]                Audrey Watters, The Hidden History of EdTech (2020), 102–105.

[10]             Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 25–30; Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–76.


8.           Kritik dan Alternatif terhadap Model Sekolah Formal

Model sekolah formal modern, meskipun telah menjadi fondasi sistem pendidikan di hampir seluruh dunia, tidak luput dari kritik tajam yang datang dari berbagai kalangan—baik filsuf pendidikan, sosiolog, aktivis, maupun praktisi. Kritik-kritik ini umumnya menyasar pada struktur hierarkis, birokratisasi berlebihan, standarisasi yang menekan kreativitas, serta reproduksi ketimpangan sosial yang berlangsung di dalam sekolah. Selain mengkritik, sejumlah pemikir juga menawarkan model pendidikan alternatif yang lebih humanistik, partisipatif, dan kontekstual, sebagai jalan keluar dari kekakuan sistem sekolah formal.

8.1.       Sekolah sebagai Institusi Disipliner dan Reproduksi Kekuasaan

Michel Foucault, dalam karya monumentalnya Discipline and Punish (1975), mengemukakan bahwa sekolah modern bukan hanya tempat belajar, melainkan bagian dari jaringan institusi yang berfungsi mendisiplinkan tubuh dan jiwa manusia. Ia menunjukkan bahwa arsitektur sekolah, pembagian waktu, sistem penilaian, dan pengawasan yang terus-menerus adalah mekanisme kontrol sosial yang beroperasi secara halus tetapi efektif⁽¹⁾. Sekolah, dalam pandangan Foucault, menjadi bagian dari “masyarakat disipliner” yang membentuk individu agar tunduk terhadap otoritas dan norma dominan.

Selain itu, Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron melalui Reproduction in Education, Society and Culture (1977), menyoroti bagaimana sekolah mereproduksi struktur kelas sosial. Menurut mereka, sistem pendidikan modern cenderung melegitimasi dominasi kelas atas melalui apa yang disebut cultural capital—yakni kebiasaan, gaya bicara, dan pengetahuan yang dihargai oleh institusi pendidikan tetapi tidak dimiliki oleh semua kelas sosial⁽²⁾.

8.2.       Standarisasi, Alienasi, dan Krisis Makna Pendidikan

Kritik lain terhadap sekolah formal diarahkan pada kecenderungannya yang semakin teknokratis dan instrumentalis. John Taylor Gatto, dalam The Underground History of American Education (2001), menegaskan bahwa sistem sekolah publik di Amerika telah dirancang untuk menghasilkan warga yang patuh, bukan kreatif atau kritis. Ia menyebut sekolah sebagai “proyek industrialisasi jiwa” yang menekankan kepatuhan terhadap struktur waktu, penilaian, dan hierarki, bukan pada kebebasan berpikir⁽³⁾.

Kondisi ini menciptakan bentuk alienasi—di mana siswa merasa terasing dari proses belajar yang sebenarnya tidak bermakna bagi kehidupan nyata mereka. Belajar menjadi rutinitas mekanistik yang menjauhkan siswa dari minat, bakat, dan pengalaman hidup mereka sendiri. Fenomena school burnout di kalangan pelajar urban merupakan indikasi konkret dari krisis makna pendidikan dalam sistem sekolah formal⁽⁴⁾.

8.3.       Alternatif Model Pendidikan: Pendidikan Kritis dan Emansipatoris

Sebagai tanggapan terhadap krisis dalam pendidikan formal, berbagai pemikir dan praktisi mengusulkan model alternatif yang lebih partisipatif dan kontekstual. Paulo Freire, tokoh penting dalam pendidikan emansipatoris, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) mengajukan model pendidikan dialogis yang menolak pendekatan “banking concept of education”—di mana guru mengisi “wadah kosong” bernama siswa dengan pengetahuan⁽⁵⁾.

Freire mengusulkan pendidikan yang berbasis pada dialog, pengalaman konkret, dan refleksi kritis atas realitas sosial. Dalam pendidikan semacam ini, guru dan siswa belajar bersama sebagai subjek yang setara, dan proses belajar diarahkan untuk membebaskan manusia dari penindasan struktural. Model ini sangat berpengaruh di Amerika Latin, Afrika, dan komunitas-komunitas tertindas di berbagai belahan dunia⁽⁶⁾.

8.4.       Gerakan Sekolah Alternatif dan Pendidikan Non-Formal

Seiring berkembangnya kritik terhadap sistem sekolah formal, muncul pula gerakan sekolah alternatif seperti sekolah demokratis (democratic schools), unschooling, dan homeschooling progresif. Sekolah-sekolah demokratis seperti Summerhill School (Inggris) dan Sudbury Valley School (Amerika Serikat) mengusung prinsip partisipasi penuh siswa dalam pengambilan keputusan, tanpa paksaan kurikulum, dan tanpa ujian standar⁽⁷⁾.

Model unschooling, yang dikembangkan oleh John Holt, menolak struktur sekolah sepenuhnya dan mendorong proses belajar alami melalui eksplorasi minat pribadi anak⁽⁸⁾. Dalam kerangka ini, pendidikan bukanlah sesuatu yang diberikan, tetapi sesuatu yang dihidupi—terjadi secara organik dalam relasi antara anak, keluarga, dan lingkungan.

Pendidikan non-formal juga menjadi alternatif di banyak negara berkembang, terutama dalam komunitas marjinal yang tidak terjangkau oleh sekolah formal. Model seperti community-based education dan lifelong learning mengakui bahwa belajar tidak terbatas pada usia sekolah atau gedung sekolah, tetapi dapat terjadi sepanjang hayat dalam berbagai konteks kehidupan⁽⁹⁾.

8.5.       Tantangan dan Prospek Pendidikan Alternatif

Meskipun menjanjikan, pendidikan alternatif juga menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya adalah legitimasi sosial, kesulitan akreditasi, keterbatasan sumber daya, dan resistensi budaya terhadap model pendidikan yang tidak konvensional. Namun, di tengah krisis global—baik dalam hal keadilan sosial, krisis ekologis, maupun digitalisasi yang cepat—pendidikan alternatif menjadi semakin relevan sebagai upaya reimajinasi pendidikan masa depan.

Seperti ditegaskan oleh Henry Giroux, pendidikan harus dipandang sebagai “tindakan politik” yang membentuk kesadaran, bukan sekadar transmisi pengetahuan⁽¹⁰⁾. Maka, masa depan pendidikan menuntut integrasi antara semangat scholé—sebagai waktu kontemplatif dan pembebasan diri—dengan kebutuhan sosial akan transformasi struktural dan kultural.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 138–142.

[2]                Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage, 1990), 5–7.

[3]                John Taylor Gatto, The Underground History of American Education (New York: Oxford Village Press, 2001), 34–38.

[4]                Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve: Moving Beyond Traditional Classrooms and “Tougher Standards” (Boston: Houghton Mifflin, 1999), 112–116.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 52–55.

[6]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 13–15.

[7]                A.S. Neill, Summerhill: A Radical Approach to Child Rearing (New York: Hart Publishing, 1960), 90–92.

[8]                John Holt, Instead of Education: Ways to Help People Do Things Better (New York: E.P. Dutton, 1976), 7–10.

[9]                David Aspin and Judith Chapman, Lifelong Learning: Concepts and Conceptions (Dordrecht: Springer, 2007), 24–27.

[10]             Henry A. Giroux, Critical Pedagogy in Dark Times: New Analytic Perspectives (New York: Routledge, 2020), 59–61.


9.           Kesimpulan

Kajian historis dan konseptual tentang sekolah, dari akar etimologis scholé hingga menjadi sistem pendidikan formal dan bahkan bersifat komersial, mengungkap perubahan mendasar dalam fungsi dan makna pendidikan sepanjang sejarah peradaban manusia. Dari awalnya sebagai ruang kontemplatif untuk berpikir bebas di Yunani Kuno, sekolah telah bertransformasi menjadi institusi sosial yang sarat dengan fungsi administratif, politik, ekonomi, dan ideologis. Transformasi ini tidak terjadi secara linear, melainkan melalui pergulatan antara nilai-nilai kebebasan intelektual, tuntutan kekuasaan, serta kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat.

Dalam tahap awal, sekolah hadir sebagai alat reproduksi budaya dan agama—sebagaimana tampak dalam sekolah biara Kristen, madrasah Islam, atau sekolah-sekolah kerajaan Mesir dan Mesopotamia¹. Namun, sejak Renaisans dan gerakan Pencerahan, fungsi pendidikan mulai bergeser ke arah pembentukan individu rasional dan warga negara yang otonom. Sekolah menjadi ruang penting dalam proyek modernitas untuk mencetak manusia yang mampu berpikir, bekerja, dan berpartisipasi dalam masyarakat demokratis².

Perubahan paling drastis terjadi sejak Revolusi Industri hingga era globalisasi, ketika sekolah menjadi bagian dari struktur ekonomi kapitalis. Pendidikan difungsikan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja, mendisiplinkan tubuh, dan memproduksi sumber daya manusia yang terstandarisasi. Bersamaan dengan itu, muncul pula proses komersialisasi dan privatisasi pendidikan, di mana sekolah dikonstruksi sebagai komoditas dan arena kompetisi, bukan lagi sekadar ruang pembelajaran³.

Transformasi ini tidak lepas dari kritik. Pemikir seperti Michel Foucault, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan John Taylor Gatto menyoroti bagaimana sekolah formal seringkali mereproduksi ketimpangan sosial dan menjadi alat normalisasi kekuasaan. Mereka menekankan perlunya membebaskan pendidikan dari struktur dominatif melalui model-model pembelajaran yang lebih dialogis, partisipatif, dan kontekstual⁴.

Di tengah ketidakpastian zaman, krisis ekologi, ketimpangan sosial, dan gelombang digitalisasi, pertanyaan tentang makna sekolah menjadi semakin relevan. Sekolah masa depan ditantang untuk tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi juga membentuk manusia yang kritis, kreatif, dan berkepribadian utuh. Maka, upaya rehumanisasi pendidikan harus dimulai dengan merefleksikan kembali asal-usul filosofis dari scholé—sebagai waktu untuk berpikir, berefleksi, dan memperkuat eksistensi manusia.

Oleh karena itu, memahami sejarah dan evolusi sekolah bukan sekadar penggalian akademis, tetapi juga langkah strategis untuk menata ulang orientasi pendidikan di masa kini. Di antara dua kutub—kontrol dan kebebasan, profit dan pembebasan—pendidikan harus dikembalikan pada misinya yang paling mendasar: membentuk manusia yang merdeka dalam berpikir dan bermartabat dalam bertindak⁵.


Footnotes

[1]                Henri-Irénée Marrou, A History of Education in Antiquity, trans. George Lamb (New York: Sheed & Ward, 1956), 145–149; George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 78–80.

[2]                Paul F. Grendler, Schooling in Renaissance Italy: Literacy and Learning, 1300–1600 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 115–119; John Locke, Some Thoughts Concerning Education (London: A. and J. Churchill, 1693), §2–5.

[3]                Stephen J. Ball, Education PLC: Understanding Private Sector Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 5–7; Michael W. Apple, Educating the “Right” Way: Markets, Standards, God, and Inequality (New York: RoutledgeFalmer, 2001), 29–32.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 138–142; Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage, 1990), 5–7; Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 52–55.

[5]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury, 2011), 25–30; John Taylor Gatto, The Underground History of American Education (New York: Oxford Village Press, 2001), 34–38.


Daftar Pustaka

Apple, M. W. (2001). Educating the “right” way: Markets, standards, God, and inequality. RoutledgeFalmer.

Aspin, D., & Chapman, J. (2007). Lifelong learning: Concepts and conceptions. Springer.

Ball, S. J. (2007). Education PLC: Understanding private sector participation in public sector education. Routledge.

Bourdieu, P., & Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in education, society and culture (R. Nice, Trans.). Sage. (Original work published 1977)

Bowen, J. (1972). A history of western education: Vol. 1. The ancient world: Orient and Greece. Methuen & Co.

Bushnell, R. W. (1996). A culture of teaching: Early modern humanism in theory and practice. Cornell University Press.

Collins, R. (1979). The credential society: An historical sociology of education and stratification. Academic Press.

Compayré, G. (1899). The history of pedagogy (W. H. Payne, Trans.). D.C. Heath.

Darling-Hammond, L. (1997). The right to learn: A blueprint for creating schools that work. Jossey-Bass.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Gatto, J. T. (2001). The underground history of American education. Oxford Village Press.

Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy. Bloomsbury.

Giroux, H. A. (2020). Critical pedagogy in dark times: New analytic perspectives. Routledge.

Green, A. (1990). Education and state formation: The rise of education systems in England, France and the USA. Palgrave Macmillan.

Grendler, P. F. (1989). Schooling in Renaissance Italy: Literacy and learning, 1300–1600. Johns Hopkins University Press.

Holt, J. (1976). Instead of education: Ways to help people do things better. E.P. Dutton.

Illich, I. (1971). Deschooling society. Harper & Row.

Jaeger, W. (1945). Paideia: The ideals of Greek culture (G. Highet, Trans.). Oxford University Press.

Kaestle, C. F. (1983). Pillars of the republic: Common schools and American society, 1780–1860. Hill and Wang.

Kohn, A. (1999). The schools our children deserve: Moving beyond traditional classrooms and “tougher standards”. Houghton Mifflin.

Locke, J. (1693). Some thoughts concerning education. A. and J. Churchill.

Makdisi, G. (1981). The rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.

Marrou, H.-I. (1956). A history of education in antiquity (G. Lamb, Trans.). Sheed & Ward.

Neill, A. S. (1960). Summerhill: A radical approach to child rearing. Hart Publishing.

Nakosteen, M. (1964). History of Islamic origins of western education A.D. 800–1350. University of Colorado Press.

Ozouf, M. (1963). L’école, l’église et la république, 1871–1914. Seuil.

Patterson, J. T. (2001). Brown v. Board of Education: A civil rights milestone and its troubled legacy. Oxford University Press.

Rashdall, H. (1936). The universities of Europe in the Middle Ages (F. M. Powicke & A. B. Emden, Eds.). Clarendon Press.

Rousseau, J.-J. (1979). Émile, or on education (A. Bloom, Trans.). Basic Books.

Rüegg, W. (Ed.). (1992). A history of the university in Europe: Vol. 1. Universities in the Middle Ages. Cambridge University Press.

Sahlberg, P. (2011). Finnish lessons: What can the world learn from educational change in Finland? Teachers College Press.

Simon, B. (1960). The two nations and the educational structure, 1780–1870. Lawrence and Wishart.

Spring, J. (1998). Education and the rise of the global economy. Lawrence Erlbaum Associates.

Steiner-Khamsi, G. (2004). The global politics of educational borrowing and lending. Teachers College Press.

Verger, A., Fontdevila, C., & Novelli, A. (2016). The privatization of education: A political economy of global education reform. Teachers College Press.

Watters, A. (2020). The hidden history of edtech. Independent publication.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Trans.). University of California Press.

West, E. G. (1994). Education and the state. Liberty Fund.

Wollstonecraft, M. (1792). A vindication of the rights of woman. Joseph Johnson.

Williamson, B. (2017). Big data in education: The digital future of learning, policy and practice. Sage.

Williams, R. (1961). The long revolution. Columbia University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar