Minggu, 13 April 2025

Pemikiran Jean-Paul Sartre: Eksistensialisme, Kebebasan, dan Tanggung Jawab dalam Filsafat Kontemporer

Pemikiran Jean-Paul Sartre

Eksistensialisme, Kebebasan, dan Tanggung Jawab dalam Filsafat Kontemporer


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran Jean-Paul Sartre sebagai salah satu tokoh utama filsafat eksistensialisme abad ke-20, dengan penekanan khusus pada tiga aspek kunci: eksistensialisme ontologis, kebebasan radikal, dan tanggung jawab etis. Sartre memulai dengan postulat bahwa "eksistensi mendahului esensi", suatu premis filosofis yang menegaskan bahwa manusia pertama-tama eksis dan baru kemudian membentuk dirinya melalui tindakan dan pilihan yang bebas. Pemikiran ini mengantar pada konsepsi kebebasan sebagai kondisi ontologis yang tidak dapat dinegosiasikan dan menuntut tanggung jawab mutlak atas seluruh dimensi kehidupan. Artikel ini juga membahas implikasi dari pemikiran Sartre dalam konteks sosial-politik, termasuk kritiknya terhadap agama dan institusi sebagai bentuk alienasi, serta transisinya menuju pendekatan dialektika materialisme sejarah melalui keterlibatannya dengan Marxisme. Selain itu, artikel ini mengeksplorasi relevansi pemikiran Sartre di era kontemporer, khususnya dalam menghadapi krisis identitas, tantangan kebebasan digital, dan fragmentasi moral. Kajian ini diakhiri dengan paparan kritik terhadap filsafat Sartre dari tokoh-tokoh sezamannya seperti Simone de Beauvoir, Albert Camus, dan Emmanuel Levinas, serta respons dan pembacaan ulang pemikirannya dalam konteks filsafat modern. Melalui pendekatan reflektif dan analisis sumber-sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini menegaskan bahwa filsafat Sartre tetap aktual sebagai landasan berpikir kritis tentang makna hidup manusia dalam dunia yang dinamis dan kompleks.

Kata Kunci: Jean-Paul Sartre, eksistensialisme, kebebasan, tanggung jawab, ontologi, ateisme, etika eksistensial, kritik agama, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Jean-Paul Sartre


1.           Pendahuluan

Pada abad ke-20, filsafat Barat mengalami gejolak besar sebagai respons terhadap krisis identitas manusia modern yang ditandai dengan dua perang dunia, kehancuran nilai-nilai tradisional, dan berkembangnya kesadaran akan absurditas hidup. Di tengah kekacauan tersebut, muncul satu aliran pemikiran yang menekankan kebebasan, subjektivitas, dan tanggung jawab individu secara radikal: eksistensialisme. Jean-Paul Sartre (1905–1980), seorang filsuf, novelis, dan dramawan asal Prancis, menempati posisi sentral dalam perkembangan filsafat ini. Ia dianggap sebagai figur utama dalam mengartikulasikan dan menyebarluaskan eksistensialisme sebagai doktrin filosofis sekaligus proyek hidup manusia modern yang mencari makna dalam dunia tanpa kepastian metafisik maupun moral yang absolut1.

Eksistensialisme Sartre lahir dari pergumulan intelektual dengan tradisi filsafat fenomenologi Edmund Husserl dan eksistensialisme Martin Heidegger, yang kemudian ia modifikasi ke dalam pendekatan yang lebih humanistik dan ateistik2. Bagi Sartre, inti dari eksistensialisme adalah pernyataan bahwa “eksistensi mendahului esensi”—yakni bahwa manusia pertama-tama ada, dan baru kemudian membentuk dirinya melalui tindakan dan pilihan bebasnya3. Konsep ini menegaskan bahwa tidak ada kodrat manusia yang telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, alam, atau masyarakat, sehingga tanggung jawab untuk menjadi apa pun sepenuhnya berada di tangan individu itu sendiri.

Pemikiran Sartre tidak hanya berakar dalam problem metafisika tentang keberadaan, tetapi juga menjangkau ke dalam dimensi etika dan politik. Dalam pandangannya, kebebasan bukan hanya kondisi ontologis manusia, tetapi juga panggilan moral yang menuntut keterlibatan aktif dalam dunia sosial dan historis. Hal ini tercermin dalam komitmen Sartre terhadap perjuangan melawan kolonialisme, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan struktural, serta keterlibatannya dalam gerakan kiri radikal di Prancis4.

Dalam konteks dunia kontemporer yang terus dihadapkan pada tantangan global seperti krisis identitas, individualisme ekstrem, dan kehampaan spiritual, pemikiran Sartre tetap relevan. Ia menawarkan sebuah paradigma filsafat yang mengakui kompleksitas eksistensi manusia sekaligus mengajak setiap individu untuk bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri. Oleh karena itu, memahami gagasan-gagasan utama Sartre bukan sekadar menelusuri sejarah filsafat abad ke-20, tetapi juga sebuah upaya reflektif untuk menemukan arah di tengah krisis nilai dan keterasingan manusia modern.


Footnotes

[1]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 5–8.

[2]                Steven Crowell, "Existentialism," in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/existentialism/.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[4]                Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel that Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 91–99.


2.           Biografi Singkat Jean-Paul Sartre

Jean-Paul Sartre dilahirkan pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis, dalam sebuah keluarga borjuis intelektual. Ayahnya, Jean-Baptiste Sartre, adalah seorang perwira angkatan laut, sedangkan ibunya, Anne-Marie Schweitzer, adalah keponakan dari Albert Schweitzer, teolog dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian. Ayahnya meninggal ketika Sartre masih kecil, sehingga ia dibesarkan oleh ibunya di rumah kakeknya yang juga seorang intelektual. Lingkungan keluarga yang kaya akan budaya literer dan akademik inilah yang kemudian membentuk kecintaan Sartre terhadap filsafat dan sastra1.

Sartre menempuh pendidikan di École Normale Supérieure (ENS), salah satu institusi pendidikan paling prestisius di Prancis, di mana ia bertemu dengan tokoh-tokoh penting seperti Raymond Aron dan Simone de Beauvoir. Di ENS, Sartre mempelajari filsafat secara mendalam dan lulus dengan gelar agrégation pada tahun 1929, sebuah prestasi akademik tinggi yang memungkinkan seseorang mengajar di tingkat universitas2. Tahun yang sama ia juga menjalin hubungan intelektual dan romantik yang terkenal sepanjang hidupnya dengan Simone de Beauvoir, yang juga merupakan seorang filsuf dan feminis terkemuka.

Pengaruh awal terhadap pemikiran Sartre datang dari filsafat idealisme Jerman, khususnya Immanuel Kant dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, namun titik balik dalam perkembangan intelektualnya terjadi ketika ia mempelajari fenomenologi Edmund Husserl dan eksistensialisme Martin Heidegger selama masa tinggalnya di Berlin pada awal 1930-an. Dari sinilah Sartre mulai mengembangkan pendekatan eksistensialisme khasnya yang menggabungkan fenomenologi dengan fokus pada kebebasan dan subjektivitas manusia3.

Selama Perang Dunia II, Sartre ditugaskan sebagai tentara cadangan dan sempat ditangkap oleh pasukan Jerman, namun kemudian dibebaskan. Pengalaman masa perang sangat memengaruhi pemikirannya tentang kebebasan, tanggung jawab, dan keterlibatan moral dalam dunia nyata. Selepas perang, Sartre menjadi figur publik yang sangat berpengaruh di Prancis. Ia aktif menulis esai, novel, dan drama sambil tetap menyusun karya-karya filsafat berat seperti Being and Nothingness (1943), yang dianggap sebagai magnum opus-nya dalam filsafat eksistensialisme4.

Selain menjadi filsuf, Sartre juga dikenal luas sebagai intelektual publik yang lantang menyuarakan pandangannya tentang isu-isu politik dan sosial. Ia menolak menerima Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1964 dengan alasan bahwa seorang penulis harus menjaga kemerdekaan dari institusi-institusi formal5. Penolakan ini mencerminkan konsistensi Sartre terhadap prinsip kebebasan individu dan otonomi intelektual.

Jean-Paul Sartre wafat pada 15 April 1980 di Paris, dan pemakamannya dihadiri oleh lebih dari 50.000 orang—suatu angka yang luar biasa bagi seorang filsuf. Hingga kini, warisannya tetap hidup sebagai simbol dari intelektualisme radikal yang menolak kompromi dengan otoritas serta mendukung kebebasan manusia secara utuh.


Footnotes

[1]                Annie Cohen-Solal, Sartre: A Life, trans. Anna Cancogni (New York: Vintage Books, 1988), 3–9.

[2]                Ronald Hayman, Writing Against: A Biography of Sartre (London: Weidenfeld & Nicolson, 1986), 45–47.

[3]                Steven Churchill, The Temporal Existentialism of Jean-Paul Sartre (New York: Routledge, 2020), 18–22.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), xxv–xxvii.

[5]                Thomas R. Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 3–4.


3.           Dasar-Dasar Pemikiran Sartre

Pemikiran Jean-Paul Sartre berakar kuat dalam tradisi eksistensialisme yang ia rumuskan dalam kerangka filsafat fenomenologi. Inti dari pemikiran Sartre dapat dijelaskan melalui beberapa konsep kunci yang membentuk ontologi, etika, dan eksistensi manusia dalam relasinya dengan dunia serta sesama.

3.1.       Eksistensi Mendahului Esensi

Pernyataan terkenal Sartre bahwa "eksistensi mendahului esensi" (l'existence précède l'essence) menjadi fondasi utama filsafat eksistensialisme-nya. Menurut Sartre, tidak ada kodrat atau esensi manusia yang bersifat tetap dan melekat sejak awal. Sebaliknya, manusia pertama-tama ada (exist), lalu melalui tindakan, pilihan, dan komitmen hidup, manusia membentuk dirinya sendiri. Dalam kerangka ini, Sartre menolak pandangan esensialis yang menyatakan bahwa hakikat manusia telah ditentukan oleh Tuhan, alam, atau struktur sosial1.

Gagasan ini mengandung implikasi radikal bahwa manusia sepenuhnya bebas dan bertanggung jawab atas eksistensinya. Kebebasan bukan sekadar hak, melainkan kondisi dasar dari keberadaan manusia itu sendiri. Tidak ada “pembenaran eksternal” yang bisa dijadikan alasan untuk tindakan manusia; dengan kata lain, setiap individu adalah pencipta nilai dan makna hidupnya sendiri2.

3.2.       Ontologi: "Being-in-Itself" dan "Being-for-Itself"

Dalam karyanya Being and Nothingness (L’Être et le Néant, 1943), Sartre mengembangkan ontologi eksistensial dengan membedakan dua bentuk utama keberadaan:

1)                  Être-en-soi (being-in-itself):

Merujuk pada benda-benda atau eksistensi yang tidak sadar dan tidak berubah. Ia penuh, tidak membutuhkan justifikasi, dan tertutup pada dirinya sendiri.

2)                  Être-pour-soi (being-for-itself):

Merujuk pada eksistensi manusia yang sadar, tidak tetap, dan terbuka terhadap masa depan. Ia tidak lengkap, dan justru keberadaannya ditandai oleh ketidaktentuan dan potensi untuk menjadi3.

Manusia, sebagai being-for-itself, menyadari dirinya sebagai “kekurangan akan keberadaan” karena ia tidak memiliki esensi yang tetap. Oleh karena itu, manusia terus-menerus “menjadi” dalam dinamika antara kemungkinan dan pilihan.

3.3.       Kebebasan Radikal dan Kehendak

Kebebasan, bagi Sartre, bersifat mutlak. Ia bukan sekadar kebebasan politik atau sosial, melainkan kebebasan ontologis yang melekat pada struktur kesadaran manusia. Tidak ada determinisme yang dapat sepenuhnya mengikat manusia, sebab manusia selalu memiliki kemungkinan untuk memilih—bahkan ketika berada dalam situasi yang paling ekstrem sekalipun4.

Namun, kebebasan ini disertai dengan tanggung jawab yang eksistensial. Manusia tidak bisa menyalahkan Tuhan, kodrat, atau lingkungan atas apa yang ia lakukan. Dalam ketiadaan penuntun absolut, manusia harus menjadi “pencipta makna” dan bertanggung jawab sepenuhnya atas hidupnya sendiri. Sartre menulis bahwa manusia “dikondisikan untuk bebas,” dan ini merupakan beban sekaligus panggilan etis5.

3.4.       Kemalangan dan Kesadaran Diri

Konsep "nausea" (kemualan), yang dikembangkan Sartre dalam novelnya La Nausée (1938), adalah ekspresi kesadaran manusia terhadap absurditas dunia. Dalam kesadaran eksistensial, manusia menyadari kehampaan makna obyektif dan absurditas dari eksistensi benda-benda. Munculnya rasa “mual” ini menjadi titik awal refleksi atas kebebasan, yakni ketika manusia menyadari bahwa tidak ada makna yang melekat dalam dunia—semua harus diciptakan melalui komitmen dan proyek diri6.

3.5.       Penolakan terhadap Determinisme Teistik dan Moralitas Absolut

Sebagai ateis eksistensialis, Sartre dengan tegas menolak keberadaan Tuhan sebagai dasar moralitas dan makna. Ia menyatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, maka manusia “terkutuk untuk bebas” (condemned to be free) karena tidak memiliki fondasi transenden untuk bertindak. Penolakan ini bukan berarti relativisme moral, melainkan penekanan bahwa manusia harus menciptakan sistem etikanya sendiri melalui komitmen autentik7.

3.6.       Otantisitas dan Tanggung Jawab Eksistensial

Sartre membedakan antara kehidupan yang otentik dan kehidupan yang inautentik. Hidup otentik adalah ketika individu menyadari kebebasannya dan menerima tanggung jawab atas pilihannya. Sebaliknya, hidup inautentik ditandai dengan “bad faith” (mauvaise foi), yaitu ketika seseorang menipu diri sendiri dengan menyangkal kebebasannya, misalnya dengan menyalahkan sistem atau menyamar sebagai "peran sosial" yang seakan-akan sudah tetap8.


Kesimpulan Subbagian

Dengan menekankan eksistensi, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai unsur-unsur fundamental dari keberadaan manusia, Sartre menyusun kerangka filsafat eksistensial yang bukan hanya metafisik, tetapi juga etis dan praksis. Gagasan-gagasannya menjadi kritik atas nilai-nilai tradisional dan sekaligus menawarkan paradigma baru tentang manusia sebagai subjek aktif dalam penciptaan makna hidup.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[2]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 36–37.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 3–11.

[4]                Steven Crowell, “Existentialism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/existentialism/.

[5]                Ronald Aronson, Jean-Paul Sartre: Philosophy in the World (London: Verso, 1980), 67–69.

[6]                Jean-Paul Sartre, Nausea, trans. Lloyd Alexander (New York: New Directions, 1964), 18–21.

[7]                David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 91–94.

[8]                Sartre, Being and Nothingness, 86–89.


4.           Sartre dan Konsep Liyan (L’Autre)

Dalam filsafat Jean-Paul Sartre, persoalan mengenai “yang lain” atau l’autrui (le L’Autre, “the Other”) merupakan tema sentral dalam memahami struktur kesadaran manusia dan relasi antarmanusia. Sartre mengembangkan konsep ini secara mendalam dalam karya utamanya Being and Nothingness (L’Être et le Néant, 1943), di mana ia mengkaji bagaimana kehadiran orang lain memengaruhi pengalaman diri dan kesadaran1.

4.1.       Liyan sebagai Kesadaran Objektif dan Subjektif

Bagi Sartre, kesadaran manusia bersifat intentional, artinya selalu mengarah kepada sesuatu di luar dirinya. Namun, ketika individu dihadapkan pada keberadaan orang lain (l’Autre), ia mengalami bentuk kesadaran yang bersifat reflektif: diri menjadi “objek” di mata orang lain. Sartre menggambarkan fenomena ini melalui konsep “the look” (le regard)—pandangan orang lain membuat individu menyadari bahwa dirinya bisa dilihat, dinilai, bahkan dihakimi sebagai objek2.

Dalam situasi ini, subjek kehilangan sebagian otonominya karena ia dipaksa untuk melihat dirinya melalui kaca mata orang lain. Misalnya, seseorang yang diamati menjadi “malu” atau “canggung” bukan karena ia memikirkan dirinya sendiri, tetapi karena ia menyadari sedang dinilai oleh orang lain3. Dalam konteks ini, liyan bukan hanya orang eksternal, tetapi juga struktur yang memediasi kesadaran diri.

4.2.       Dialektika Konflik: “Neraka adalah Orang Lain”

Salah satu ungkapan paling terkenal dari Sartre adalah “L’enfer, c’est les autres” (“Neraka adalah orang lain”), yang muncul dalam drama Huis Clos (No Exit, 1944)4. Ungkapan ini sering disalahartikan secara nihilistik. Padahal, Sartre tidak bermaksud mengatakan bahwa semua hubungan sosial adalah buruk, melainkan bahwa dalam hubungan antarmanusia, ada potensi konfrontasi dan objektifikasi yang mengekang kebebasan eksistensial seseorang.

Dalam pandangan Sartre, hubungan manusia dengan liyan cenderung bersifat antagonistik karena masing-masing subjek berusaha menegaskan dirinya melalui pandangan atas yang lain, tetapi pada saat yang sama ia merasa terancam oleh upaya liyan untuk menjadikannya objek. Ini menciptakan dialektika konflik antara “menjadi-untuk-diri” (être-pour-soi) dan “menjadi-di-mata-orang-lain” (être-pour-autrui)5.

4.3.       Etika Interpersonal dan Ketegangan Antara Kebebasan

Konsekuensi dari pandangan Sartre terhadap liyan adalah ketegangan etis yang melekat dalam relasi sosial. Sartre tidak menawarkan solusi moral normatif seperti cinta altruistik atau etika dialogis (seperti pada Martin Buber atau Emmanuel Levinas), melainkan menunjukkan bahwa dalam dunia tanpa fondasi moral absolut, hubungan dengan orang lain selalu membutuhkan refleksi kritis terhadap posisi kita sebagai subjek sekaligus objek dalam interaksi sosial6.

Walaupun terdengar pesimistis, pandangan Sartre sesungguhnya mengajak manusia untuk lebih sadar akan kompleksitas eksistensinya dalam komunitas. Sartre menolak “penyatuan identitas” yang meniadakan kebebasan; ia justru menekankan perlunya mempertahankan otonomi eksistensial sembari menyadari keterkaitan dengan liyan.

4.4.       Liyan sebagai Cermin Diri

Meskipun Sartre menggambarkan relasi antarmanusia sebagai penuh konflik, ia juga mengakui bahwa keberadaan liyan memiliki nilai positif: melalui orang lainlah manusia dapat menyadari diri sebagai subjek sosial. Dengan kata lain, kehadiran liyan berfungsi sebagai cermin reflektif, tempat di mana identitas dan tanggung jawab eksistensial diuji7.


Kesimpulan Subbagian

Konsep L’Autre dalam filsafat Sartre bukan sekadar isu tentang relasi sosial, tetapi merupakan bagian integral dari ontologi eksistensial. Kehadiran liyan menghadirkan ketegangan, konflik, dan bahkan penderitaan, tetapi juga membuka ruang bagi manusia untuk memahami eksistensinya secara lebih mendalam. Melalui dialektika ini, Sartre memperlihatkan bahwa eksistensi manusia bersifat intersubjektif, tidak pernah utuh tanpa keterlibatan orang lain—meskipun keterlibatan itu penuh risiko bagi kebebasan.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 340–356.

[2]                Thomas R. Flynn, Sartre: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 165–167.

[3]                David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 110–113.

[4]                Jean-Paul Sartre, No Exit and Three Other Plays, trans. Stuart Gilbert (New York: Vintage International, 1989), 45.

[5]                Steven Crowell, “Existentialism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/existentialism/.

[6]                Ronald Aronson, Jean-Paul Sartre: Philosophy in the World (London: Verso, 1980), 101–103.

[7]                Christina Howells, Sartre: The Necessity of Freedom (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 72–74.


5.           Kritik terhadap Institusi dan Agama

Jean-Paul Sartre, sebagai seorang filsuf eksistensialis ateis, menyampaikan kritik yang tajam terhadap institusi-institusi tradisional, terutama agama dan lembaga-lembaga sosial-politik yang dianggap membatasi kebebasan eksistensial manusia. Bagi Sartre, keberadaan institusi seperti agama bukan hanya sebagai struktur sosial, tetapi juga sebagai konstruksi ideologis yang mengekang individu dari tanggung jawabnya untuk menciptakan makna hidup secara otonom dan otentik.

5.1.       Ateisme Eksistensialis Sartre: Menolak Tuhan sebagai Sumber Moral

Salah satu premis utama dalam filsafat Sartre adalah penolakan terhadap keberadaan Tuhan. Dalam karya populernya Existentialism Is a Humanism, Sartre secara eksplisit menyatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, maka tidak ada pula nilai-nilai moral yang bersifat universal dan objektif. Ia menolak gagasan bahwa nilai moral bersumber dari entitas transenden, sebab baginya manusia sendirilah yang harus menciptakan nilai melalui kebebasan dan pilihan autentik1.

Penolakan terhadap Tuhan bukanlah bentuk nihilisme pasif, melainkan landasan bagi moralitas eksistensial yang menuntut tanggung jawab penuh atas semua tindakan manusia. Sartre menyatakan bahwa “manusia dikutuk untuk bebas” karena ia tidak memiliki penunjuk moral eksternal yang memandu hidupnya2. Dalam ketiadaan Tuhan, tidak ada alasan untuk berbuat baik selain komitmen individu itu sendiri terhadap kebebasan dan kemanusiaan.

5.2.       Agama sebagai Mekanisme Alienasi

Dalam pandangan Sartre, agama berfungsi sebagai mekanisme alienasi, yaitu pemisahan manusia dari potensi eksistensialnya. Agama menanamkan ilusi bahwa ada makna tetap dan nilai absolut yang berasal dari luar diri manusia. Konsepsi ini menyesatkan manusia untuk mencari penebusan, keselamatan, dan moralitas dari otoritas ilahi, alih-alih dari kesadaran dan tanggung jawab pribadinya3.

Sartre mengkritik keras pandangan agama yang menekankan ketaatan dan kepasrahan terhadap kehendak Tuhan. Bagi Sartre, hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan radikal manusia. Ia menulis bahwa agama, seperti halnya sistem-sistem ideologis lain, sering kali digunakan untuk melarikan diri dari kenyataan tentang eksistensi yang absurd dan tidak memiliki makna bawaan4.

5.3.       Lembaga Sosial dan Ideologi: Menentang Penindasan Struktural

Selain terhadap agama, Sartre juga meluaskan kritiknya terhadap institusi-institusi sosial seperti negara, sistem pendidikan, dan struktur ekonomi kapitalistik. Dalam karya Critique of Dialectical Reason (1960), ia mengembangkan analisis tentang bagaimana struktur sosial dapat mengubah manusia dari subjek menjadi objek—yang disebutnya sebagai proses “praktik inerte” atau practico-inert. Manusia dikekang oleh norma, hukum, dan kebiasaan yang diciptakan oleh institusi, sehingga kebebasannya menjadi semu5.

Meskipun pada awalnya Sartre bersikap skeptis terhadap Marxisme, pada periode pasca-Perang Dunia II ia mulai membuka diri terhadap dialektika materialisme sejarah. Namun, Sartre tetap menekankan bahwa kebebasan eksistensial tidak boleh ditundukkan oleh determinisme historis ala Marxisme ortodoks. Baginya, pembebasan sosial sejati hanya mungkin jika individu tetap menjadi subjek aktif dan sadar dalam sejarahnya sendiri6.

5.4.       Otonomi Moral di Atas Dogma

Kritik Sartre terhadap institusi, khususnya agama, bukan didasarkan pada kebencian atau sekularisme vulgar, tetapi pada prinsip otonomi moral. Ia menolak dogma—apapun bentuknya—karena dogma cenderung membekukan proses refleksi etis dan menghilangkan tanggung jawab individual. Sartre percaya bahwa moralitas sejati lahir dari tindakan sadar, bukan dari kepatuhan terhadap aturan eksternal yang tidak dipertanyakan7.


Kesimpulan Subbagian

Kritik Sartre terhadap institusi dan agama merefleksikan konsistensinya dalam memperjuangkan kebebasan eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk determinisme metafisik dan ideologis yang mereduksi manusia menjadi objek. Melalui pendekatan ini, Sartre membela gagasan tentang manusia sebagai pencipta makna, nilai, dan masa depannya sendiri. Kebebasan tidak bisa dinegosiasikan—dan oleh karena itu, setiap upaya institusional yang mengekangnya harus ditolak secara etis dan filosofis.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–24.

[2]                Ibid., 23.

[3]                Thomas R. Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 17–19.

[4]                Christina Howells, Sartre: The Necessity of Freedom (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 53–56.

[5]                Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, vol. 1, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 131–139.

[6]                Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 108–110.

[7]                David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 95–98.


6.           Dimensi Etika dan Politik dalam Pemikiran Sartre

Jean-Paul Sartre bukan hanya seorang filsuf ontologis yang menyoal hakikat keberadaan, tetapi juga seorang pemikir etis dan politis yang memperjuangkan kebebasan manusia di dalam dunia nyata. Dalam pandangan Sartre, etika dan politik tidak dapat dipisahkan dari dimensi eksistensial manusia, sebab keduanya merupakan ekspresi konkret dari kebebasan dan tanggung jawab yang melekat dalam eksistensi manusia. Pemikiran Sartre tentang etika dan politik berkembang dalam dua fase utama: fase awal yang didominasi oleh eksistensialisme individualistik, dan fase selanjutnya yang lebih politis serta terpengaruh oleh Marxisme dialektis.

6.1.       Etika Eksistensial: Pilihan Autentik dan Tanggung Jawab

Etika Sartre didasarkan pada prinsip bahwa manusia adalah makhluk yang sepenuhnya bebas, dan bahwa kebebasan ini menuntut tanggung jawab mutlak atas segala tindakan. Sartre menyatakan bahwa dalam dunia tanpa Tuhan dan tanpa nilai-nilai moral objektif, setiap individu menjadi pencipta nilai dan makna bagi dirinya sendiri. Ini bukan kebebasan yang ringan, tetapi sebuah beban ontologis dan etis yang menuntut refleksi dan komitmen1.

Sartre menekankan pentingnya hidup secara autentik, yaitu kesediaan untuk mengakui kebebasan dan bertindak sesuai dengan kesadaran tersebut. Sebaliknya, hidup dalam bad faith (mauvaise foi) adalah bentuk ketidakjujuran eksistensial di mana individu menyangkal kebebasannya dengan menyalahkan takdir, norma sosial, atau peran institusional2. Dengan demikian, etika Sartre menolak sistem moral normatif yang bersifat eksternal, dan lebih menekankan proyek eksistensial individual yang dijalani secara sadar dan bertanggung jawab.

6.2.       Komitmen Sosial dan Politik: Dari Eksistensialisme ke Aktivisme

Seiring perkembangan zaman, terutama setelah Perang Dunia II, Sartre menyadari bahwa kebebasan manusia tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan historis tempat individu hidup. Ia mengembangkan gagasan "komitmen" (engagement), yang menyatakan bahwa seorang intelektual dan manusia bebas harus terlibat dalam persoalan-persoalan dunia dan tidak boleh netral terhadap ketidakadilan3. Gagasan ini menjadi semacam jembatan antara eksistensialisme dan aktivisme politik.

Sartre secara aktif mendukung perjuangan anti-kolonialisme, menentang Perang Aljazair dan Perang Vietnam, serta mengkritik keras ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh kapitalisme. Dalam pengantar bukunya Colonialism and Neocolonialism, Sartre menulis bahwa kolonialisme adalah bentuk kekerasan sistematis yang menyangkal martabat dan kebebasan manusia4. Ia juga menjadi editor jurnal Les Temps Modernes, yang menjadi forum penting bagi pemikiran radikal dan progresif pada masanya.

6.3.       Hubungan Sartre dengan Marxisme

Meski Sartre adalah seorang eksistensialis ateis yang menekankan kebebasan individual, ia tidak menutup diri dari pendekatan kolektif seperti Marxisme. Dalam Critique of Dialectical Reason (1960), ia berusaha menyintesiskan eksistensialisme dengan Marxisme melalui analisis tentang bagaimana struktur sosial membentuk kesadaran individu, tetapi tetap mempertahankan prinsip kebebasan subjektif5.

Bagi Sartre, Marxisme merupakan filsafat terbaik untuk memahami kondisi material sejarah, namun ia menolak determinisme keras dalam Marxisme ortodoks. Ia percaya bahwa subjek manusia tetap harus menjadi pusat dalam sejarah, bukan sekadar produk dari struktur sosial-ekonomi. Dengan demikian, Sartre menekankan perlunya dialektika antara kebebasan individual dan situasi historis-kolektif.

6.4.       Etika Universal versus Relativisme Moral

Salah satu aspek paling kritis dalam etika Sartre adalah ketegangan antara kebebasan individu dan kebutuhan akan norma moral universal. Sartre menyadari bahwa jika setiap orang menciptakan nilai sendiri, maka akan muncul relativisme ekstrem. Untuk menjawab ini, ia menyatakan bahwa ketika seseorang memilih suatu tindakan, ia sebenarnya menginginkan agar tindakan itu menjadi nilai universal—karena pilihan etis sejati selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap kemanusiaan secara keseluruhan6.

Dengan demikian, Sartre menyodorkan bentuk etika universal-subjektif: meskipun tidak ada hukum moral objektif, tindakan manusia tetap mengandung dimensi tanggung jawab terhadap yang lain dan terhadap dunia. Ini merupakan cara Sartre menghindari relativisme nihilistik tanpa kembali pada dogma moral transenden.


Kesimpulan Subbagian

Dimensi etika dan politik dalam pemikiran Sartre memperlihatkan sintesis antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Filsafatnya bukan sekadar spekulasi metafisik, melainkan proyek praksis untuk membebaskan manusia dari determinisme ideologis, institusional, dan historis. Dalam pandangan Sartre, menjadi manusia berarti memilih untuk menjadi manusia yang bebas, sadar, dan terlibat. Pemikiran ini menjadikan Sartre sebagai salah satu intelektual publik paling berpengaruh dalam abad ke-20.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–27.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 86–89.

[3]                Thomas R. Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 33–36.

[4]                Jean-Paul Sartre, Colonialism and Neocolonialism, trans. Azzedine Haddour et al. (London: Routledge, 2001), xiii–xv.

[5]                Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, vol. 1, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 92–100.

[6]                David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 120–123.


7.           Relevansi Pemikiran Sartre di Era Kontemporer

Meski hidup di abad ke-20, pemikiran Jean-Paul Sartre tetap memiliki daya hidup filosofis yang luar biasa di tengah kompleksitas zaman kontemporer. Di era yang ditandai oleh krisis makna, kecemasan eksistensial, dan disrupsi nilai-nilai tradisional, filsafat Sartre kembali menemukan panggungnya sebagai tawaran reflektif atas pertanyaan mendasar tentang siapa manusia, untuk apa hidup, dan bagaimana bersikap terhadap dunia yang serba tidak pasti. Relevansi pemikirannya mencakup berbagai bidang—etika personal, relasi sosial, politik identitas, dan resistensi terhadap otoritarianisme kultural maupun struktural.

7.1.       Krisis Identitas dan Otonomi Diri di Era Digital

Salah satu tantangan utama manusia kontemporer adalah krisis identitas, yang diperparah oleh dominasi teknologi digital, media sosial, dan algoritma yang secara tidak langsung membentuk perilaku serta citra diri. Dalam konteks ini, konsep Sartre tentang bad faith menjadi sangat aktual: manusia sering kali menipu dirinya sendiri dengan menerima label sosial, peran digital, dan ekspektasi budaya sebagai “esensi dirinya” tanpa refleksi mendalam1. Filsafat eksistensial Sartre mengingatkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan harus dibangun melalui kebebasan dan pilihan sadar.

7.2.       Kebebasan dan Tanggung Jawab di Tengah Fragmentasi Moral

Era post-truth dan polarisasi sosial telah mereduksi moralitas menjadi sekadar opini. Dalam situasi ini, Sartre menawarkan satu gagasan yang tetap kokoh: bahwa kebebasan selalu mengandung tanggung jawab, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga terhadap liyan dan kemanusiaan secara universal. Ia menyatakan bahwa setiap pilihan individu mengimplikasikan suatu nilai yang secara implisit ia kehendaki untuk menjadi universal2. Prinsip ini mengajak masyarakat kontemporer untuk tidak sekadar mengejar kebebasan tanpa arah, melainkan menghidupkan etika eksistensial yang bertanggung jawab.

7.3.       Resistensi terhadap Totalitarianisme Budaya dan Struktural

Sartre sangat kritis terhadap struktur-struktur kekuasaan yang membungkam subjektivitas manusia. Di masa kini, bentuk baru totalitarianisme muncul dalam wujud kapitalisme global, komersialisasi ruang privat, hingga kontrol digital terhadap preferensi individu. Pemikiran Sartre tentang pentingnya menjadi subjek dan bukan objek (être-pour-soi) menawarkan perangkat konseptual untuk melawan bentuk-bentuk dominasi yang subtil ini3.

Dengan menyadari bahwa manusia bisa saja menjadi “benda” di hadapan struktur sosial yang menindas, Sartre mendorong manusia untuk terus menegaskan dirinya sebagai pusat kebebasan dan proyek hidup, serta tidak menyerah pada mekanisme yang menstandarisasi kesadaran4.

7.4.       Eksistensialisme dan Solidaritas Sosial

Di tengah individualisme ekstrem dan alienasi sosial, Sartre menawarkan pendekatan eksistensialis yang tetap terbuka pada komitmen kolektif. Ia menolak kesendirian radikal yang egoistik, dan mengajukan gagasan tentang tanggung jawab kolektif, sebagaimana dikembangkan dalam Critique of Dialectical Reason, bahwa individu tidak pernah benar-benar otonom di luar sejarah dan masyarakat5. Dalam konteks kontemporer, hal ini memberi inspirasi pada gerakan sosial progresif yang mengusung kebebasan personal yang terikat pada perjuangan kolektif.

7.5.       Pendidikan dan Eksistensi Autentik

Dalam dunia pendidikan modern yang cenderung instrumentalistik—mengejar nilai, ijazah, dan efisiensi—pemikiran Sartre mengingatkan kembali bahwa pendidikan sejati adalah proses pembebasan eksistensial. Ia menolak konsep pendidikan yang mencetak individu menjadi “fungsi sosial,” dan sebaliknya mendukung sistem yang menumbuhkan kesadaran kritis dan keberanian untuk memilih jalan hidup sendiri secara bertanggung jawab6.


Kesimpulan Subbagian

Pemikiran Sartre tetap relevan karena menyentuh inti permasalahan manusia modern: kebebasan, kesendirian, tanggung jawab, dan makna hidup. Di tengah arus zaman yang sering kali menyingkirkan refleksi dan keotentikan, Sartre hadir sebagai penunjuk jalan yang mengajak manusia untuk menolak menjadi “benda” dan menegaskan dirinya sebagai “proyek”—yakni makhluk yang terus menjadi dan menciptakan nilai. Dengan itu, Sartre tidak hanya menjadi filsuf masanya, tetapi juga filsuf bagi masa depan.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 89–92.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 24–26.

[3]                Thomas R. Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 59–62.

[4]                Christina Howells, Sartre: The Necessity of Freedom (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 93–95.

[5]                Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, vol. 1, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 145–148.

[6]                Ronald Aronson, Jean-Paul Sartre: Philosophy in the World (London: Verso, 1980), 116–119.


8.           Kritik dan Respons terhadap Pemikiran Sartre

Pemikiran Jean-Paul Sartre tentang eksistensialisme, kebebasan, dan tanggung jawab telah memberikan pengaruh yang luas dalam dunia filsafat, sastra, serta pemikiran politik. Namun, sebagaimana halnya setiap pemikir besar, gagasan-gagasannya tidak luput dari kritik, baik dari para kontemporernya maupun dari pemikir-pemikir generasi berikutnya. Kritik terhadap Sartre mencakup aspek ontologis, etis, epistemologis, hingga implikasi politik dari filsafatnya.

8.1.       Kritik dari Simone de Beauvoir: Antara Kebebasan dan Situasi Gender

Simone de Beauvoir, pasangan intelektual dan sahabat Sartre, merupakan pengagum sekaligus pengkritik tajam pemikirannya. Ia menilai bahwa meskipun Sartre menekankan kebebasan radikal manusia, ia kurang memberi perhatian pada peran situasi konkret—terutama kondisi sosial dan historis perempuan—dalam membentuk pengalaman eksistensial1. Dalam The Second Sex, de Beauvoir mengembangkan eksistensialisme feminis yang mengoreksi pemikiran Sartre dengan menunjukkan bahwa kebebasan eksistensial tidak bisa dipisahkan dari pembatasan struktural yang dialami subjek konkret, terutama perempuan dalam masyarakat patriarkal2.

8.2.       Kritik dari Albert Camus: Etika dan Absurd

Hubungan antara Sartre dan Albert Camus mengalami ketegangan intelektual serius terutama dalam persoalan etika dan kekerasan revolusioner. Camus, dalam The Rebel (L’Homme Révolté), mengkritik Sartre karena membenarkan kekerasan demi tujuan historis, terutama ketika Sartre mendukung komunisme radikal dan Revolusi Soviet. Camus menilai bahwa pembelaan Sartre terhadap proyek revolusioner berpotensi meniadakan martabat individu, bertentangan dengan etika eksistensial yang seharusnya menjunjung tinggi kebebasan personal3.

8.3.       Kritik dari Emmanuel Levinas: Etika Liyan dan Subjektivitas Berlebih

Filsuf Prancis Emmanuel Levinas juga memberikan kritik mendasar terhadap Sartre, terutama dalam hal konsepsi relasi dengan liyan (autrui). Levinas menilai bahwa Sartre menempatkan liyan sebagai ancaman bagi kebebasan, sehingga relasi antarmanusia menjadi hubungan konflik dan objektifikasi, sebagaimana tercermin dalam konsep “neraka adalah orang lain”. Sebaliknya, Levinas mengusulkan pendekatan etika yang berbasis tanggung jawab tak terbatas terhadap wajah liyan, di mana liyan bukan objek, melainkan subjek etis yang mendahului kesadaran4.

8.4.       Kritik terhadap Ateis Eksistensialis dan Relativisme Moral

Kaum teistik dan pemikir spiritual menilai bahwa ateisme Sartre mengosongkan dasar moralitas dan makna hidup, sehingga membuka ruang bagi relativisme moral dan nihilisme etis. Sartre memang berusaha menghindari relativisme melalui gagasan bahwa pilihan individu menciptakan nilai universal-subjektif, tetapi bagi banyak kritikus, absennya norma moral objektif tetap menyisakan kerapuhan dalam sistem etikanya5.

Di samping itu, para filsuf analitik seperti A.J. Ayer dan Gilbert Ryle mengkritik gaya penulisan Sartre sebagai tidak cukup jelas dan terlalu spekulatif, terutama dalam penggunaan bahasa fenomenologis yang sulit diverifikasi secara logis dan empiris6.

8.5.       Respons Kontemporer: Rehabilitasi dan Reinterpretasi

Meskipun menerima banyak kritik, pemikiran Sartre mengalami renaissance intelektual pada dekade terakhir, terutama dalam konteks studi etika politik, humanisme sekuler, dan teori kritis. Para filsuf seperti Thomas R. Flynn, Christina Howells, dan David Detmer berupaya menunjukkan bahwa Sartre tetap memberikan kontribusi penting dalam memperjuangkan etika kebebasan yang tangguh terhadap ideologi dan totalitarianisme modern7.

Di era kontemporer yang ditandai oleh kebingungan identitas, ketegangan sosial, dan kemerosotan otonomi moral, Sartre dianggap tetap relevan sebagai pemikir yang memadukan kejujuran eksistensial dengan komitmen terhadap kemanusiaan universal.


Kesimpulan Subbagian

Kritik terhadap Sartre mencerminkan kompleksitas dan kedalaman pemikirannya. Meskipun disorot karena aspek individualismenya yang dianggap berlebih, relativisme moral, dan relasi negatif terhadap liyan, filsafat Sartre tetap menjadi sumber inspirasi bagi pembacaan kritis terhadap kebebasan, tanggung jawab, dan makna hidup dalam masyarakat modern. Reinterpretasi atas karya-karyanya memungkinkan kita untuk menyerap warisannya secara lebih kontekstual dan konstruktif.


Footnotes

[1]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), 29–33.

[2]                Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex: Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman & Littlefield, 1999), 41–44.

[3]                Albert Camus, The Rebel: An Essay on Man in Revolt, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1991), 252–256.

[4]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 47–52.

[5]                David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 95–98.

[6]                Gary Cox, The Sartre Dictionary (London: Continuum, 2008), 41–42.

[7]                Thomas R. Flynn, Sartre: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 292–297.


9.           Kesimpulan

Jean-Paul Sartre merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh pada abad ke-20 yang berhasil mengintegrasikan dimensi ontologis, etis, dan politis dalam kerangka filsafat eksistensialisme. Inti dari pemikirannya—bahwa eksistensi mendahului esensi, bahwa manusia bebas secara radikal, dan bahwa setiap individu bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri—membentuk dasar dari sebuah humanisme ateistik yang menolak determinisme metafisik maupun dogma institusional1.

Filsafat Sartre membebaskan manusia dari belenggu kodrat yang ditentukan sebelumnya dan mendorong individu untuk menjadi subjek aktif dalam membentuk identitas, nilai, dan arah hidupnya. Dalam dunia yang kehilangan penopang transendental, Sartre menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan yang sadar2. Pandangan ini tidak hanya memberikan keagungan pada kebebasan manusia, tetapi juga menyadarkan bahwa kebebasan tersebut adalah beban tanggung jawab etis yang tak dapat dihindari.

Secara ontologis, Sartre menunjukkan bahwa kesadaran manusia bersifat reflektif dan terbuka terhadap kemungkinan, tidak seperti benda mati yang statis. Dari sinilah muncul pemahaman bahwa manusia selalu berada dalam proyek “menjadi”—terlibat dalam dunia, mengubah dirinya, dan menciptakan makna dalam dunia yang absurd dan tanpa esensi bawaan3. Dalam hal ini, filsafat Sartre juga mengandung kritik terhadap sikap hidup inautentik, yaitu penyangkalan terhadap kebebasan melalui pembenaran eksternal, baik berupa institusi, agama, ataupun tradisi.

Di ranah sosial dan politik, Sartre menunjukkan bahwa kebebasan tidak hanya bersifat individual, tetapi juga terikat pada kondisi historis dan sosial. Ia mengembangkan prinsip “komitmen” (engagement) yang mengajak setiap intelektual dan manusia bebas untuk tidak netral terhadap ketidakadilan, tetapi terlibat dalam transformasi sosial secara aktif dan reflektif4. Meskipun mendapat kritik karena dianggap terlalu menekankan subjektivitas atau membenarkan kekerasan revolusioner, warisan etika Sartre tetap penting dalam menyuarakan nilai-nilai pembebasan, otonomi, dan tanggung jawab moral dalam situasi konkret.

Di era kontemporer, pemikiran Sartre tetap relevan dalam menjawab persoalan-persoalan mendasar manusia modern: krisis identitas, disorientasi nilai, tekanan institusional, serta alienasi dalam sistem sosial yang kompleks. Gagasan Sartre tentang otentisitas, resistensi terhadap objektifikasi, dan tanggung jawab terhadap liyan memberikan kerangka filosofis yang bernilai tinggi bagi individu yang ingin hidup secara sadar, kritis, dan bermakna5.

Sebagai penutup, Sartre bukan hanya menyuarakan sebuah doktrin filosofis, tetapi menghidupkan sebuah etos eksistensial: bahwa menjadi manusia adalah terus-menerus menciptakan diri sendiri dalam dunia yang terbuka, penuh risiko, tetapi juga sarat potensi untuk kebebasan dan kemanusiaan yang lebih utuh.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–28.

[2]                Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 39–41.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 3–11.

[4]                Jean-Paul Sartre, Colonialism and Neocolonialism, trans. Azzedine Haddour et al. (London: Routledge, 2001), xiv–xv.

[5]                Ronald Aronson, Jean-Paul Sartre: Philosophy in the World (London: Verso, 1980), 121–124.


Daftar Pustaka

Aronson, R. (1980). Jean-Paul Sartre: Philosophy in the world. Verso.

Aronson, R. (2004). Camus and Sartre: The story of a friendship and the quarrel that ended it. University of Chicago Press.

Beauvoir, S. de. (1989). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Camus, A. (1991). The rebel: An essay on man in revolt (A. Bower, Trans.). Vintage International. (Original work published 1951)

Churchill, S. (2020). The temporal existentialism of Jean-Paul Sartre. Routledge.

Cohen-Solal, A. (1988). Sartre: A life (A. Cancogni, Trans.). Vintage Books.

Cox, G. (2008). The Sartre dictionary. Continuum.

Crowell, S. (2020). Existentialism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Spring 2020 ed.). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/existentialism/

Detmer, D. (1986). Freedom as a value: A critique of the ethical theory of Jean-Paul Sartre. Open Court.

Flynn, T. R. (1984). Sartre and Marxist existentialism: The test case of collective responsibility. University of Chicago Press.

Flynn, T. R. (2006). Sartre: A philosophical biography. Cambridge University Press.

Flynn, T. R. (2006). Existentialism: A very short introduction. Oxford University Press.

Hayman, R. (1986). Writing against: A biography of Sartre. Weidenfeld & Nicolson.

Howells, C. (1988). Sartre: The necessity of freedom. Cambridge University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press. (Original work published 1961)

Sartre, J.-P. (1964). Nausea (L. Alexander, Trans.). New Directions. (Original work published 1938)

Sartre, J.-P. (1989). No exit and three other plays (S. Gilbert, Trans.). Vintage International. (Original works published 1944)

Sartre, J.-P. (2001). Colonialism and neocolonialism (A. Haddour, F. Michelman, & L. Seitz, Trans.). Routledge. (Original work published 1964)

Sartre, J.-P. (2003). Being and nothingness: An essay on phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Routledge. (Original work published 1943)

Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical reason (Vol. 1, A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso. (Original work published 1960)

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original lecture delivered 1945)

Simons, M. A. (1999). Beauvoir and the second sex: Feminism, race, and the origins of existentialism. Rowman & Littlefield.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar