Pemikiran Jean-Paul Sartre
Eksistensialisme, Kebebasan, dan Tanggung Jawab dalam
Filsafat Kontemporer
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
Jean-Paul Sartre sebagai salah satu tokoh utama filsafat eksistensialisme abad
ke-20, dengan penekanan khusus pada tiga aspek kunci: eksistensialisme
ontologis, kebebasan radikal, dan tanggung jawab etis. Sartre memulai dengan
postulat bahwa "eksistensi mendahului esensi", suatu premis
filosofis yang menegaskan bahwa manusia pertama-tama eksis dan baru kemudian
membentuk dirinya melalui tindakan dan pilihan yang bebas. Pemikiran ini
mengantar pada konsepsi kebebasan sebagai kondisi ontologis yang tidak dapat
dinegosiasikan dan menuntut tanggung jawab mutlak atas seluruh dimensi
kehidupan. Artikel ini juga membahas implikasi dari pemikiran Sartre dalam
konteks sosial-politik, termasuk kritiknya terhadap agama dan institusi sebagai
bentuk alienasi, serta transisinya menuju pendekatan dialektika materialisme
sejarah melalui keterlibatannya dengan Marxisme. Selain itu, artikel ini
mengeksplorasi relevansi pemikiran Sartre di era kontemporer, khususnya dalam
menghadapi krisis identitas, tantangan kebebasan digital, dan fragmentasi
moral. Kajian ini diakhiri dengan paparan kritik terhadap filsafat Sartre dari
tokoh-tokoh sezamannya seperti Simone de Beauvoir, Albert Camus, dan Emmanuel
Levinas, serta respons dan pembacaan ulang pemikirannya dalam konteks filsafat
modern. Melalui pendekatan reflektif dan analisis sumber-sumber primer dan
sekunder yang kredibel, artikel ini menegaskan bahwa filsafat Sartre tetap
aktual sebagai landasan berpikir kritis tentang makna hidup manusia dalam dunia
yang dinamis dan kompleks.
Kata Kunci: Jean-Paul Sartre, eksistensialisme, kebebasan,
tanggung jawab, ontologi, ateisme, etika eksistensial, kritik agama, filsafat
kontemporer.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Jean-Paul Sartre
1.
Pendahuluan
Pada abad ke-20,
filsafat Barat mengalami gejolak besar sebagai respons terhadap krisis
identitas manusia modern yang ditandai dengan dua perang dunia, kehancuran
nilai-nilai tradisional, dan berkembangnya kesadaran akan absurditas hidup. Di
tengah kekacauan tersebut, muncul satu aliran pemikiran yang menekankan
kebebasan, subjektivitas, dan tanggung jawab individu secara radikal:
eksistensialisme. Jean-Paul Sartre (1905–1980), seorang filsuf, novelis, dan
dramawan asal Prancis, menempati posisi sentral dalam perkembangan filsafat
ini. Ia dianggap sebagai figur utama dalam mengartikulasikan dan
menyebarluaskan eksistensialisme sebagai doktrin filosofis sekaligus proyek
hidup manusia modern yang mencari makna dalam dunia tanpa kepastian metafisik
maupun moral yang absolut1.
Eksistensialisme
Sartre lahir dari pergumulan intelektual dengan tradisi filsafat fenomenologi
Edmund Husserl dan eksistensialisme Martin Heidegger, yang kemudian ia
modifikasi ke dalam pendekatan yang lebih humanistik dan ateistik2.
Bagi Sartre, inti dari eksistensialisme adalah pernyataan bahwa “eksistensi
mendahului esensi”—yakni bahwa manusia pertama-tama ada,
dan baru kemudian membentuk dirinya melalui tindakan dan pilihan bebasnya3.
Konsep ini menegaskan bahwa tidak ada kodrat manusia yang telah ditentukan
sebelumnya oleh Tuhan, alam, atau masyarakat, sehingga tanggung jawab untuk
menjadi apa pun
sepenuhnya berada di tangan individu itu sendiri.
Pemikiran Sartre
tidak hanya berakar dalam problem metafisika tentang keberadaan, tetapi juga
menjangkau ke dalam dimensi etika dan politik. Dalam pandangannya, kebebasan
bukan hanya kondisi ontologis manusia, tetapi juga panggilan moral yang
menuntut keterlibatan aktif dalam dunia sosial dan historis. Hal ini tercermin
dalam komitmen Sartre terhadap perjuangan melawan kolonialisme, ketimpangan
sosial, dan ketidakadilan struktural, serta keterlibatannya dalam gerakan kiri
radikal di Prancis4.
Dalam konteks dunia
kontemporer yang terus dihadapkan pada tantangan global seperti krisis
identitas, individualisme ekstrem, dan kehampaan spiritual, pemikiran Sartre
tetap relevan. Ia menawarkan sebuah paradigma filsafat yang mengakui
kompleksitas eksistensi manusia sekaligus mengajak setiap individu untuk
bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri. Oleh karena itu, memahami
gagasan-gagasan utama Sartre bukan sekadar menelusuri sejarah filsafat abad
ke-20, tetapi juga sebuah upaya reflektif untuk menemukan arah di tengah krisis
nilai dan keterasingan manusia modern.
Footnotes
[1]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 5–8.
[2]
Steven Crowell, "Existentialism," in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition),
https://plato.stanford.edu/entries/existentialism/.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[4]
Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the
Quarrel that Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 91–99.
2.
Biografi Singkat Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre
dilahirkan pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis, dalam sebuah keluarga borjuis
intelektual. Ayahnya, Jean-Baptiste Sartre, adalah seorang perwira angkatan
laut, sedangkan ibunya, Anne-Marie Schweitzer, adalah keponakan dari Albert
Schweitzer, teolog dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian. Ayahnya meninggal
ketika Sartre masih kecil, sehingga ia dibesarkan oleh ibunya di rumah kakeknya
yang juga seorang intelektual. Lingkungan keluarga yang kaya akan budaya
literer dan akademik inilah yang kemudian membentuk kecintaan Sartre terhadap
filsafat dan sastra1.
Sartre menempuh
pendidikan di École Normale Supérieure (ENS), salah satu institusi pendidikan
paling prestisius di Prancis, di mana ia bertemu dengan tokoh-tokoh penting
seperti Raymond Aron dan Simone de Beauvoir. Di ENS, Sartre mempelajari
filsafat secara mendalam dan lulus dengan gelar agrégation pada tahun 1929, sebuah
prestasi akademik tinggi yang memungkinkan seseorang mengajar di tingkat
universitas2. Tahun yang sama ia juga menjalin hubungan intelektual
dan romantik yang terkenal sepanjang hidupnya dengan Simone de Beauvoir, yang
juga merupakan seorang filsuf dan feminis terkemuka.
Pengaruh awal
terhadap pemikiran Sartre datang dari filsafat idealisme Jerman, khususnya
Immanuel Kant dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, namun titik balik dalam
perkembangan intelektualnya terjadi ketika ia mempelajari fenomenologi Edmund
Husserl dan eksistensialisme Martin Heidegger selama masa tinggalnya di Berlin
pada awal 1930-an. Dari sinilah Sartre mulai mengembangkan pendekatan
eksistensialisme khasnya yang menggabungkan fenomenologi dengan fokus pada
kebebasan dan subjektivitas manusia3.
Selama Perang Dunia
II, Sartre ditugaskan sebagai tentara cadangan dan sempat ditangkap oleh
pasukan Jerman, namun kemudian dibebaskan. Pengalaman masa perang sangat
memengaruhi pemikirannya tentang kebebasan, tanggung jawab, dan keterlibatan
moral dalam dunia nyata. Selepas perang, Sartre menjadi figur publik yang
sangat berpengaruh di Prancis. Ia aktif menulis esai, novel, dan drama sambil
tetap menyusun karya-karya filsafat berat seperti Being and Nothingness (1943), yang
dianggap sebagai magnum opus-nya dalam filsafat eksistensialisme4.
Selain menjadi
filsuf, Sartre juga dikenal luas sebagai intelektual publik yang lantang
menyuarakan pandangannya tentang isu-isu politik dan sosial. Ia menolak
menerima Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1964 dengan alasan bahwa seorang
penulis harus menjaga kemerdekaan dari institusi-institusi formal5.
Penolakan ini mencerminkan konsistensi Sartre terhadap prinsip kebebasan
individu dan otonomi intelektual.
Jean-Paul Sartre
wafat pada 15 April 1980 di Paris, dan pemakamannya dihadiri oleh lebih dari
50.000 orang—suatu angka yang luar biasa bagi seorang filsuf. Hingga kini,
warisannya tetap hidup sebagai simbol dari intelektualisme radikal yang menolak
kompromi dengan otoritas serta mendukung kebebasan manusia secara utuh.
Footnotes
[1]
Annie Cohen-Solal, Sartre: A Life, trans. Anna Cancogni (New
York: Vintage Books, 1988), 3–9.
[2]
Ronald Hayman, Writing Against: A Biography of Sartre (London:
Weidenfeld & Nicolson, 1986), 45–47.
[3]
Steven Churchill, The Temporal Existentialism of Jean-Paul Sartre
(New York: Routledge, 2020), 18–22.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on
Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge,
2003), xxv–xxvii.
[5]
Thomas R. Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case
of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
3–4.
3.
Dasar-Dasar Pemikiran Sartre
Pemikiran Jean-Paul
Sartre berakar kuat dalam tradisi eksistensialisme yang ia rumuskan dalam
kerangka filsafat fenomenologi. Inti dari pemikiran Sartre dapat dijelaskan
melalui beberapa konsep kunci yang membentuk ontologi, etika, dan eksistensi
manusia dalam relasinya dengan dunia serta sesama.
3.1.
Eksistensi
Mendahului Esensi
Pernyataan terkenal
Sartre bahwa "eksistensi mendahului esensi" (l'existence
précède l'essence) menjadi fondasi utama filsafat
eksistensialisme-nya. Menurut Sartre, tidak ada kodrat atau esensi manusia yang
bersifat tetap dan melekat sejak awal. Sebaliknya, manusia pertama-tama ada
(exist), lalu melalui tindakan, pilihan, dan komitmen hidup, manusia membentuk
dirinya sendiri. Dalam kerangka ini, Sartre menolak pandangan esensialis yang
menyatakan bahwa hakikat manusia telah ditentukan oleh Tuhan, alam, atau
struktur sosial1.
Gagasan ini
mengandung implikasi radikal bahwa manusia sepenuhnya bebas dan bertanggung
jawab atas eksistensinya. Kebebasan bukan sekadar hak, melainkan kondisi dasar
dari keberadaan manusia itu sendiri. Tidak ada “pembenaran eksternal”
yang bisa dijadikan alasan untuk tindakan manusia; dengan kata lain, setiap
individu adalah pencipta nilai dan makna hidupnya sendiri2.
3.2.
Ontologi:
"Being-in-Itself" dan "Being-for-Itself"
Dalam karyanya Being
and Nothingness (L’Être et le Néant, 1943), Sartre
mengembangkan ontologi eksistensial dengan membedakan dua bentuk utama
keberadaan:
1)
Être-en-soi
(being-in-itself):
Merujuk pada benda-benda atau eksistensi yang
tidak sadar dan tidak berubah. Ia penuh, tidak membutuhkan justifikasi, dan
tertutup pada dirinya sendiri.
2)
Être-pour-soi (being-for-itself):
Merujuk pada eksistensi manusia yang sadar, tidak
tetap, dan terbuka terhadap masa depan. Ia tidak lengkap, dan justru
keberadaannya ditandai oleh ketidaktentuan dan potensi untuk menjadi3.
Manusia, sebagai being-for-itself,
menyadari dirinya sebagai “kekurangan akan keberadaan” karena ia tidak
memiliki esensi yang tetap. Oleh karena itu, manusia terus-menerus “menjadi”
dalam dinamika antara kemungkinan dan pilihan.
3.3.
Kebebasan Radikal
dan Kehendak
Kebebasan, bagi
Sartre, bersifat mutlak. Ia bukan sekadar kebebasan politik atau sosial,
melainkan kebebasan ontologis yang melekat pada struktur kesadaran manusia.
Tidak ada determinisme yang dapat sepenuhnya mengikat manusia, sebab manusia
selalu memiliki kemungkinan untuk memilih—bahkan ketika berada dalam situasi
yang paling ekstrem sekalipun4.
Namun, kebebasan ini
disertai dengan tanggung jawab yang eksistensial.
Manusia tidak bisa menyalahkan Tuhan, kodrat, atau lingkungan atas apa yang ia
lakukan. Dalam ketiadaan penuntun absolut, manusia harus menjadi “pencipta
makna” dan bertanggung jawab sepenuhnya atas hidupnya sendiri. Sartre
menulis bahwa manusia “dikondisikan untuk bebas,” dan ini merupakan
beban sekaligus panggilan etis5.
3.4.
Kemalangan dan
Kesadaran Diri
Konsep "nausea"
(kemualan), yang dikembangkan Sartre dalam novelnya La Nausée (1938), adalah ekspresi
kesadaran manusia terhadap absurditas dunia. Dalam kesadaran eksistensial,
manusia menyadari kehampaan makna obyektif dan absurditas dari eksistensi
benda-benda. Munculnya rasa “mual” ini menjadi titik awal refleksi atas
kebebasan, yakni ketika manusia menyadari bahwa tidak ada makna yang melekat
dalam dunia—semua harus diciptakan melalui komitmen dan proyek diri6.
3.5.
Penolakan terhadap
Determinisme Teistik dan Moralitas Absolut
Sebagai ateis
eksistensialis, Sartre dengan tegas menolak keberadaan Tuhan sebagai dasar
moralitas dan makna. Ia menyatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, maka manusia “terkutuk
untuk bebas” (condemned to be free) karena tidak
memiliki fondasi transenden untuk bertindak. Penolakan ini bukan berarti
relativisme moral, melainkan penekanan bahwa manusia harus menciptakan sistem
etikanya sendiri melalui komitmen autentik7.
3.6.
Otantisitas dan
Tanggung Jawab Eksistensial
Sartre membedakan
antara kehidupan
yang otentik dan kehidupan yang inautentik.
Hidup otentik adalah ketika individu menyadari kebebasannya dan menerima
tanggung jawab atas pilihannya. Sebaliknya, hidup inautentik ditandai dengan “bad
faith” (mauvaise foi), yaitu ketika
seseorang menipu diri sendiri dengan menyangkal kebebasannya, misalnya dengan
menyalahkan sistem atau menyamar sebagai "peran sosial" yang
seakan-akan sudah tetap8.
Kesimpulan Subbagian
Dengan menekankan
eksistensi, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai unsur-unsur fundamental dari keberadaan
manusia, Sartre menyusun kerangka filsafat eksistensial yang bukan hanya
metafisik, tetapi juga etis dan praksis. Gagasan-gagasannya menjadi kritik atas
nilai-nilai tradisional dan sekaligus menawarkan paradigma baru tentang manusia
sebagai subjek aktif dalam penciptaan makna hidup.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[2]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 36–37.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on
Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge,
2003), 3–11.
[4]
Steven Crowell, “Existentialism,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/existentialism/.
[5]
Ronald Aronson, Jean-Paul Sartre: Philosophy in the World
(London: Verso, 1980), 67–69.
[6]
Jean-Paul Sartre, Nausea, trans. Lloyd Alexander (New York: New
Directions, 1964), 18–21.
[7]
David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory
of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 91–94.
[8]
Sartre, Being and Nothingness, 86–89.
4.
Sartre dan Konsep Liyan (L’Autre)
Dalam filsafat
Jean-Paul Sartre, persoalan mengenai “yang lain” atau l’autrui
(le L’Autre,
“the Other”) merupakan tema sentral dalam memahami struktur kesadaran
manusia dan relasi antarmanusia. Sartre mengembangkan konsep ini secara
mendalam dalam karya utamanya Being and Nothingness (L’Être
et le Néant, 1943), di mana ia mengkaji bagaimana kehadiran orang
lain memengaruhi pengalaman diri dan kesadaran1.
4.1.
Liyan sebagai
Kesadaran Objektif dan Subjektif
Bagi Sartre,
kesadaran manusia bersifat intentional, artinya selalu mengarah
kepada sesuatu di luar dirinya. Namun, ketika individu dihadapkan pada
keberadaan orang lain (l’Autre), ia mengalami bentuk
kesadaran yang bersifat reflektif: diri menjadi “objek” di mata orang
lain. Sartre menggambarkan fenomena ini melalui konsep “the
look” (le regard)—pandangan orang lain
membuat individu menyadari bahwa dirinya bisa dilihat, dinilai, bahkan dihakimi
sebagai objek2.
Dalam situasi ini,
subjek kehilangan sebagian otonominya karena ia dipaksa untuk melihat dirinya
melalui kaca mata orang lain. Misalnya, seseorang yang diamati menjadi “malu”
atau “canggung” bukan karena ia memikirkan dirinya sendiri, tetapi
karena ia menyadari
sedang dinilai oleh orang lain3. Dalam konteks ini,
liyan bukan hanya orang eksternal, tetapi juga struktur yang memediasi
kesadaran diri.
4.2.
Dialektika Konflik:
“Neraka adalah Orang Lain”
Salah satu ungkapan
paling terkenal dari Sartre adalah “L’enfer, c’est les autres” (“Neraka adalah orang lain”), yang muncul
dalam drama Huis Clos (No Exit,
1944)4. Ungkapan ini sering disalahartikan secara nihilistik.
Padahal, Sartre tidak bermaksud mengatakan bahwa semua hubungan sosial adalah
buruk, melainkan bahwa dalam hubungan antarmanusia, ada potensi konfrontasi dan
objektifikasi yang mengekang kebebasan eksistensial seseorang.
Dalam pandangan
Sartre, hubungan manusia dengan liyan cenderung bersifat antagonistik karena
masing-masing subjek berusaha menegaskan dirinya melalui pandangan atas yang
lain, tetapi pada saat yang sama ia merasa terancam oleh upaya liyan untuk
menjadikannya objek. Ini menciptakan dialektika konflik antara “menjadi-untuk-diri”
(être-pour-soi)
dan “menjadi-di-mata-orang-lain” (être-pour-autrui)5.
4.3.
Etika Interpersonal
dan Ketegangan Antara Kebebasan
Konsekuensi dari
pandangan Sartre terhadap liyan adalah ketegangan etis yang melekat dalam
relasi sosial. Sartre tidak menawarkan solusi moral normatif seperti cinta
altruistik atau etika dialogis (seperti pada Martin Buber atau Emmanuel
Levinas), melainkan menunjukkan bahwa dalam dunia tanpa fondasi moral absolut,
hubungan dengan orang lain selalu membutuhkan refleksi kritis terhadap posisi
kita sebagai subjek sekaligus objek dalam interaksi sosial6.
Walaupun terdengar
pesimistis, pandangan Sartre sesungguhnya mengajak manusia untuk lebih sadar
akan kompleksitas eksistensinya dalam komunitas. Sartre menolak “penyatuan
identitas” yang meniadakan kebebasan; ia justru menekankan perlunya
mempertahankan otonomi eksistensial sembari menyadari keterkaitan dengan liyan.
4.4.
Liyan sebagai Cermin
Diri
Meskipun Sartre
menggambarkan relasi antarmanusia sebagai penuh konflik, ia juga mengakui bahwa
keberadaan liyan memiliki nilai positif: melalui orang lainlah manusia dapat
menyadari diri sebagai subjek sosial. Dengan kata lain, kehadiran liyan
berfungsi sebagai cermin reflektif, tempat di
mana identitas dan tanggung jawab eksistensial diuji7.
Kesimpulan Subbagian
Konsep L’Autre
dalam filsafat Sartre bukan sekadar isu tentang relasi sosial, tetapi merupakan
bagian integral dari ontologi eksistensial. Kehadiran liyan menghadirkan
ketegangan, konflik, dan bahkan penderitaan, tetapi juga membuka ruang bagi
manusia untuk memahami eksistensinya secara lebih mendalam. Melalui dialektika
ini, Sartre memperlihatkan bahwa eksistensi manusia bersifat intersubjektif,
tidak pernah utuh tanpa keterlibatan orang lain—meskipun keterlibatan itu penuh
risiko bagi kebebasan.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on
Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge,
2003), 340–356.
[2]
Thomas R. Flynn, Sartre: A Philosophical Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 165–167.
[3]
David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory
of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 110–113.
[4]
Jean-Paul Sartre, No Exit and Three Other Plays, trans. Stuart
Gilbert (New York: Vintage International, 1989), 45.
[5]
Steven Crowell, “Existentialism,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020 Edition),
https://plato.stanford.edu/entries/existentialism/.
[6]
Ronald Aronson, Jean-Paul Sartre: Philosophy in the World
(London: Verso, 1980), 101–103.
[7]
Christina Howells, Sartre: The Necessity of Freedom
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 72–74.
5.
Kritik terhadap Institusi dan Agama
Jean-Paul Sartre,
sebagai seorang filsuf eksistensialis ateis, menyampaikan kritik yang tajam
terhadap institusi-institusi tradisional, terutama agama dan lembaga-lembaga
sosial-politik yang dianggap membatasi kebebasan eksistensial manusia. Bagi
Sartre, keberadaan institusi seperti agama bukan hanya sebagai struktur sosial,
tetapi juga sebagai konstruksi ideologis yang mengekang individu dari tanggung
jawabnya untuk menciptakan makna hidup secara otonom dan otentik.
5.1.
Ateisme
Eksistensialis Sartre: Menolak Tuhan sebagai Sumber Moral
Salah satu premis
utama dalam filsafat Sartre adalah penolakan terhadap keberadaan Tuhan.
Dalam karya populernya Existentialism Is a Humanism,
Sartre secara eksplisit menyatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, maka tidak ada
pula nilai-nilai moral yang bersifat universal dan objektif. Ia menolak gagasan
bahwa nilai moral bersumber dari entitas transenden, sebab baginya manusia
sendirilah yang harus menciptakan nilai melalui kebebasan dan pilihan autentik1.
Penolakan terhadap
Tuhan bukanlah bentuk nihilisme pasif, melainkan landasan bagi moralitas
eksistensial yang menuntut tanggung jawab penuh atas semua tindakan manusia.
Sartre menyatakan bahwa “manusia dikutuk untuk bebas” karena ia tidak
memiliki penunjuk moral eksternal yang memandu hidupnya2.
Dalam ketiadaan Tuhan, tidak ada alasan untuk berbuat baik selain komitmen
individu itu sendiri terhadap kebebasan dan kemanusiaan.
5.2.
Agama sebagai
Mekanisme Alienasi
Dalam pandangan
Sartre, agama berfungsi sebagai mekanisme alienasi, yaitu pemisahan
manusia dari potensi eksistensialnya. Agama menanamkan ilusi bahwa ada makna
tetap dan nilai absolut yang berasal dari luar diri manusia. Konsepsi ini
menyesatkan manusia untuk mencari penebusan, keselamatan, dan moralitas dari
otoritas ilahi, alih-alih dari kesadaran dan tanggung jawab pribadinya3.
Sartre mengkritik
keras pandangan agama yang menekankan ketaatan dan kepasrahan terhadap kehendak
Tuhan. Bagi Sartre, hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan radikal
manusia. Ia menulis bahwa agama, seperti halnya sistem-sistem ideologis lain,
sering kali digunakan untuk melarikan diri dari kenyataan tentang eksistensi
yang absurd dan tidak memiliki makna bawaan4.
5.3.
Lembaga Sosial dan
Ideologi: Menentang Penindasan Struktural
Selain terhadap
agama, Sartre juga meluaskan kritiknya terhadap institusi-institusi sosial
seperti negara, sistem pendidikan, dan struktur ekonomi kapitalistik. Dalam
karya Critique
of Dialectical Reason (1960), ia mengembangkan analisis tentang
bagaimana struktur sosial dapat mengubah manusia dari subjek menjadi objek—yang
disebutnya sebagai proses “praktik inerte” atau practico-inert.
Manusia dikekang oleh norma, hukum, dan kebiasaan yang diciptakan oleh
institusi, sehingga kebebasannya menjadi semu5.
Meskipun pada
awalnya Sartre bersikap skeptis terhadap Marxisme, pada periode pasca-Perang
Dunia II ia mulai membuka diri terhadap dialektika materialisme sejarah. Namun,
Sartre tetap menekankan bahwa kebebasan eksistensial tidak boleh ditundukkan
oleh determinisme historis ala Marxisme ortodoks. Baginya, pembebasan sosial
sejati hanya mungkin jika individu tetap menjadi subjek aktif dan sadar dalam
sejarahnya sendiri6.
5.4.
Otonomi Moral di
Atas Dogma
Kritik Sartre
terhadap institusi, khususnya agama, bukan didasarkan pada kebencian atau
sekularisme vulgar, tetapi pada prinsip otonomi moral. Ia menolak
dogma—apapun bentuknya—karena dogma cenderung membekukan proses refleksi etis
dan menghilangkan tanggung jawab individual. Sartre percaya bahwa moralitas
sejati lahir dari tindakan sadar, bukan dari kepatuhan terhadap aturan
eksternal yang tidak dipertanyakan7.
Kesimpulan Subbagian
Kritik Sartre
terhadap institusi dan agama merefleksikan konsistensinya dalam memperjuangkan
kebebasan eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk determinisme metafisik
dan ideologis yang mereduksi manusia menjadi objek. Melalui pendekatan ini,
Sartre membela gagasan tentang manusia sebagai pencipta makna, nilai, dan masa
depannya sendiri. Kebebasan tidak bisa dinegosiasikan—dan oleh karena itu,
setiap upaya institusional yang mengekangnya harus ditolak secara etis dan
filosofis.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–24.
[2]
Ibid., 23.
[3]
Thomas R. Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case
of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
17–19.
[4]
Christina Howells, Sartre: The Necessity of Freedom
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 53–56.
[5]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, vol. 1,
trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 131–139.
[6]
Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the
Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004),
108–110.
[7]
David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory
of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 95–98.
6.
Dimensi Etika dan Politik dalam Pemikiran
Sartre
Jean-Paul Sartre
bukan hanya seorang filsuf ontologis yang menyoal hakikat keberadaan, tetapi
juga seorang pemikir etis dan politis yang memperjuangkan kebebasan manusia di
dalam dunia nyata. Dalam pandangan Sartre, etika dan politik tidak dapat dipisahkan dari
dimensi eksistensial manusia, sebab keduanya merupakan ekspresi
konkret dari kebebasan dan tanggung jawab yang melekat dalam eksistensi
manusia. Pemikiran Sartre tentang etika dan politik berkembang dalam dua fase
utama: fase awal yang didominasi oleh eksistensialisme individualistik, dan
fase selanjutnya yang lebih politis serta terpengaruh oleh Marxisme dialektis.
6.1.
Etika Eksistensial:
Pilihan Autentik dan Tanggung Jawab
Etika Sartre
didasarkan pada prinsip bahwa manusia adalah makhluk yang sepenuhnya
bebas, dan bahwa kebebasan ini menuntut tanggung
jawab mutlak atas segala tindakan. Sartre menyatakan bahwa
dalam dunia tanpa Tuhan dan tanpa nilai-nilai moral objektif, setiap individu
menjadi pencipta nilai dan makna bagi dirinya sendiri. Ini bukan kebebasan yang
ringan, tetapi sebuah beban ontologis dan etis yang
menuntut refleksi dan komitmen1.
Sartre menekankan
pentingnya hidup secara autentik, yaitu kesediaan untuk
mengakui kebebasan dan bertindak sesuai dengan kesadaran tersebut. Sebaliknya,
hidup dalam bad faith (mauvaise
foi) adalah bentuk ketidakjujuran eksistensial di mana individu
menyangkal kebebasannya dengan menyalahkan takdir, norma sosial, atau peran
institusional2. Dengan demikian, etika
Sartre menolak sistem moral normatif yang bersifat eksternal, dan lebih
menekankan proyek
eksistensial individual yang dijalani secara sadar dan bertanggung
jawab.
6.2.
Komitmen Sosial dan
Politik: Dari Eksistensialisme ke Aktivisme
Seiring perkembangan
zaman, terutama setelah Perang Dunia II, Sartre menyadari bahwa kebebasan
manusia tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan historis
tempat individu hidup. Ia mengembangkan gagasan "komitmen" (engagement),
yang menyatakan bahwa seorang intelektual dan manusia bebas harus terlibat
dalam persoalan-persoalan dunia dan tidak boleh netral terhadap ketidakadilan3.
Gagasan ini menjadi semacam jembatan antara eksistensialisme dan aktivisme
politik.
Sartre secara aktif
mendukung perjuangan anti-kolonialisme, menentang Perang Aljazair dan Perang
Vietnam, serta mengkritik keras ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh
kapitalisme. Dalam pengantar bukunya Colonialism and Neocolonialism,
Sartre menulis bahwa kolonialisme adalah bentuk kekerasan sistematis yang
menyangkal martabat dan kebebasan manusia4. Ia juga
menjadi editor jurnal Les Temps Modernes, yang menjadi
forum penting bagi pemikiran radikal dan progresif pada masanya.
6.3.
Hubungan Sartre
dengan Marxisme
Meski Sartre adalah
seorang eksistensialis ateis yang menekankan kebebasan individual, ia tidak
menutup diri dari pendekatan kolektif seperti Marxisme. Dalam Critique
of Dialectical Reason (1960), ia berusaha menyintesiskan
eksistensialisme dengan Marxisme melalui analisis tentang bagaimana struktur
sosial membentuk kesadaran individu, tetapi tetap
mempertahankan prinsip kebebasan subjektif5.
Bagi Sartre,
Marxisme merupakan filsafat terbaik untuk memahami kondisi material sejarah,
namun ia menolak determinisme keras dalam Marxisme ortodoks. Ia percaya bahwa subjek
manusia tetap harus menjadi pusat dalam sejarah, bukan sekadar
produk dari struktur sosial-ekonomi. Dengan demikian, Sartre menekankan perlunya
dialektika antara kebebasan individual dan situasi historis-kolektif.
6.4.
Etika Universal
versus Relativisme Moral
Salah satu aspek
paling kritis dalam etika Sartre adalah ketegangan antara kebebasan
individu dan kebutuhan akan norma moral universal.
Sartre menyadari bahwa jika setiap orang menciptakan nilai sendiri, maka akan
muncul relativisme ekstrem. Untuk menjawab ini, ia menyatakan bahwa ketika
seseorang memilih suatu tindakan, ia sebenarnya menginginkan agar tindakan itu menjadi nilai
universal—karena pilihan etis sejati selalu mempertimbangkan
dampaknya terhadap kemanusiaan secara keseluruhan6.
Dengan demikian,
Sartre menyodorkan bentuk etika universal-subjektif:
meskipun tidak ada hukum moral objektif, tindakan manusia tetap mengandung
dimensi tanggung jawab terhadap yang lain dan terhadap dunia. Ini merupakan
cara Sartre menghindari relativisme nihilistik tanpa kembali pada dogma moral
transenden.
Kesimpulan Subbagian
Dimensi etika dan
politik dalam pemikiran Sartre memperlihatkan sintesis antara kebebasan
individu dan tanggung jawab sosial. Filsafatnya bukan sekadar spekulasi
metafisik, melainkan proyek praksis untuk membebaskan manusia dari
determinisme ideologis, institusional, dan historis. Dalam
pandangan Sartre, menjadi manusia berarti memilih untuk menjadi manusia yang bebas,
sadar, dan terlibat. Pemikiran ini menjadikan Sartre sebagai salah
satu intelektual publik paling berpengaruh dalam abad ke-20.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–27.
[2]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on
Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge,
2003), 86–89.
[3]
Thomas R. Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case
of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
33–36.
[4]
Jean-Paul Sartre, Colonialism and Neocolonialism, trans.
Azzedine Haddour et al. (London: Routledge, 2001), xiii–xv.
[5]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, vol. 1,
trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 92–100.
[6]
David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory
of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 120–123.
7.
Relevansi Pemikiran Sartre di Era Kontemporer
Meski hidup di abad
ke-20, pemikiran Jean-Paul Sartre tetap memiliki daya
hidup filosofis yang luar biasa di tengah kompleksitas zaman
kontemporer. Di era yang ditandai oleh krisis makna, kecemasan eksistensial,
dan disrupsi nilai-nilai tradisional, filsafat Sartre kembali menemukan
panggungnya sebagai tawaran reflektif atas pertanyaan mendasar tentang siapa
manusia, untuk apa hidup, dan bagaimana
bersikap terhadap dunia yang serba tidak pasti. Relevansi
pemikirannya mencakup berbagai bidang—etika personal, relasi sosial, politik
identitas, dan resistensi terhadap otoritarianisme kultural maupun struktural.
7.1.
Krisis Identitas dan
Otonomi Diri di Era Digital
Salah satu tantangan
utama manusia kontemporer adalah krisis identitas, yang
diperparah oleh dominasi teknologi digital, media sosial, dan algoritma yang
secara tidak langsung membentuk perilaku serta citra diri. Dalam konteks ini,
konsep Sartre tentang bad faith menjadi sangat aktual:
manusia sering kali menipu dirinya sendiri dengan
menerima label sosial, peran digital, dan ekspektasi budaya sebagai “esensi
dirinya” tanpa refleksi mendalam1.
Filsafat eksistensial Sartre mengingatkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang
tetap, melainkan harus dibangun melalui kebebasan dan pilihan sadar.
7.2.
Kebebasan dan
Tanggung Jawab di Tengah Fragmentasi Moral
Era post-truth dan
polarisasi sosial telah mereduksi moralitas menjadi sekadar opini. Dalam
situasi ini, Sartre menawarkan satu gagasan yang tetap kokoh: bahwa kebebasan
selalu mengandung tanggung jawab, bukan hanya bagi diri
sendiri, tetapi juga terhadap liyan dan kemanusiaan secara universal. Ia
menyatakan bahwa setiap pilihan individu mengimplikasikan suatu nilai yang secara
implisit ia kehendaki untuk menjadi universal2.
Prinsip ini mengajak masyarakat kontemporer untuk tidak sekadar mengejar
kebebasan tanpa arah, melainkan menghidupkan etika eksistensial yang bertanggung jawab.
7.3.
Resistensi terhadap
Totalitarianisme Budaya dan Struktural
Sartre sangat kritis
terhadap struktur-struktur kekuasaan yang membungkam subjektivitas manusia. Di
masa kini, bentuk baru totalitarianisme muncul dalam wujud kapitalisme
global, komersialisasi ruang privat,
hingga kontrol
digital terhadap preferensi individu. Pemikiran Sartre tentang
pentingnya menjadi subjek dan bukan objek (être-pour-soi) menawarkan perangkat
konseptual untuk melawan bentuk-bentuk dominasi yang subtil ini3.
Dengan menyadari
bahwa manusia bisa saja menjadi “benda” di hadapan struktur sosial yang
menindas, Sartre mendorong manusia untuk terus menegaskan dirinya sebagai pusat
kebebasan dan proyek hidup, serta tidak menyerah pada mekanisme yang
menstandarisasi kesadaran4.
7.4.
Eksistensialisme dan
Solidaritas Sosial
Di tengah
individualisme ekstrem dan alienasi sosial, Sartre menawarkan pendekatan eksistensialis
yang tetap terbuka pada komitmen kolektif. Ia menolak
kesendirian radikal yang egoistik, dan mengajukan gagasan tentang tanggung
jawab kolektif, sebagaimana dikembangkan dalam Critique
of Dialectical Reason, bahwa individu tidak pernah benar-benar
otonom di luar sejarah dan masyarakat5. Dalam
konteks kontemporer, hal ini memberi inspirasi pada gerakan sosial progresif
yang mengusung kebebasan personal yang terikat pada perjuangan
kolektif.
7.5.
Pendidikan dan
Eksistensi Autentik
Dalam dunia
pendidikan modern yang cenderung instrumentalistik—mengejar nilai, ijazah, dan
efisiensi—pemikiran Sartre mengingatkan kembali bahwa pendidikan
sejati adalah proses pembebasan eksistensial. Ia menolak konsep
pendidikan yang mencetak individu menjadi “fungsi sosial,” dan
sebaliknya mendukung sistem yang menumbuhkan kesadaran kritis dan keberanian
untuk memilih jalan hidup sendiri secara bertanggung jawab6.
Kesimpulan Subbagian
Pemikiran Sartre
tetap relevan karena menyentuh inti permasalahan manusia modern: kebebasan,
kesendirian, tanggung jawab, dan makna hidup. Di tengah arus
zaman yang sering kali menyingkirkan refleksi dan keotentikan, Sartre hadir
sebagai penunjuk jalan yang mengajak manusia untuk menolak menjadi “benda”
dan menegaskan dirinya sebagai “proyek”—yakni makhluk yang terus menjadi
dan menciptakan nilai. Dengan itu, Sartre tidak hanya menjadi filsuf masanya,
tetapi juga filsuf bagi masa depan.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on
Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge,
2003), 89–92.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 24–26.
[3]
Thomas R. Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case
of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
59–62.
[4]
Christina Howells, Sartre: The Necessity of Freedom
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 93–95.
[5]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, vol. 1,
trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 145–148.
[6]
Ronald Aronson, Jean-Paul Sartre: Philosophy in the World
(London: Verso, 1980), 116–119.
8.
Kritik dan Respons terhadap Pemikiran Sartre
Pemikiran Jean-Paul
Sartre tentang eksistensialisme, kebebasan, dan tanggung jawab telah memberikan
pengaruh yang luas dalam dunia filsafat, sastra, serta pemikiran politik.
Namun, sebagaimana halnya setiap pemikir besar, gagasan-gagasannya tidak luput
dari kritik, baik dari para kontemporernya maupun dari pemikir-pemikir generasi
berikutnya. Kritik terhadap Sartre mencakup aspek ontologis,
etis, epistemologis, hingga implikasi politik dari filsafatnya.
8.1.
Kritik dari Simone
de Beauvoir: Antara Kebebasan dan Situasi Gender
Simone de Beauvoir,
pasangan intelektual dan sahabat Sartre, merupakan pengagum sekaligus
pengkritik tajam pemikirannya. Ia menilai bahwa meskipun Sartre menekankan
kebebasan radikal manusia, ia kurang memberi perhatian pada peran situasi
konkret—terutama kondisi sosial dan historis perempuan—dalam
membentuk pengalaman eksistensial1. Dalam The
Second Sex, de Beauvoir mengembangkan eksistensialisme feminis yang
mengoreksi pemikiran Sartre dengan menunjukkan bahwa kebebasan
eksistensial tidak bisa dipisahkan dari pembatasan struktural yang dialami
subjek konkret, terutama perempuan dalam masyarakat patriarkal2.
8.2.
Kritik dari Albert
Camus: Etika dan Absurd
Hubungan antara
Sartre dan Albert Camus mengalami ketegangan intelektual serius terutama dalam
persoalan etika dan kekerasan revolusioner. Camus, dalam The
Rebel (L’Homme Révolté), mengkritik Sartre
karena membenarkan
kekerasan demi tujuan historis, terutama ketika Sartre
mendukung komunisme radikal dan Revolusi Soviet. Camus menilai bahwa pembelaan
Sartre terhadap proyek revolusioner berpotensi meniadakan martabat individu,
bertentangan dengan etika eksistensial yang seharusnya menjunjung tinggi
kebebasan personal3.
8.3.
Kritik dari Emmanuel
Levinas: Etika Liyan dan Subjektivitas Berlebih
Filsuf Prancis
Emmanuel Levinas juga memberikan kritik mendasar terhadap Sartre, terutama
dalam hal konsepsi relasi dengan liyan (autrui).
Levinas menilai bahwa Sartre menempatkan liyan sebagai ancaman bagi
kebebasan, sehingga relasi antarmanusia menjadi hubungan
konflik dan objektifikasi, sebagaimana tercermin dalam konsep “neraka adalah
orang lain”. Sebaliknya, Levinas mengusulkan pendekatan etika yang berbasis
tanggung
jawab tak terbatas terhadap wajah liyan, di mana liyan bukan
objek, melainkan subjek etis yang mendahului kesadaran4.
8.4.
Kritik terhadap
Ateis Eksistensialis dan Relativisme Moral
Kaum teistik dan
pemikir spiritual menilai bahwa ateisme Sartre mengosongkan dasar moralitas dan makna hidup,
sehingga membuka ruang bagi relativisme moral dan nihilisme etis.
Sartre memang berusaha menghindari relativisme melalui gagasan bahwa pilihan
individu menciptakan nilai universal-subjektif, tetapi bagi banyak kritikus,
absennya norma moral objektif tetap menyisakan kerapuhan dalam sistem etikanya5.
Di samping itu, para
filsuf analitik seperti A.J. Ayer dan Gilbert Ryle mengkritik gaya penulisan
Sartre sebagai tidak cukup jelas dan terlalu spekulatif,
terutama dalam penggunaan bahasa fenomenologis yang sulit diverifikasi secara
logis dan empiris6.
8.5.
Respons Kontemporer:
Rehabilitasi dan Reinterpretasi
Meskipun menerima
banyak kritik, pemikiran Sartre mengalami renaissance intelektual pada dekade terakhir,
terutama dalam konteks studi etika politik, humanisme sekuler, dan teori
kritis. Para filsuf seperti Thomas R. Flynn, Christina Howells, dan David Detmer
berupaya menunjukkan bahwa Sartre tetap memberikan kontribusi penting dalam
memperjuangkan etika kebebasan yang tangguh terhadap ideologi
dan totalitarianisme modern7.
Di era kontemporer
yang ditandai oleh kebingungan identitas, ketegangan sosial, dan kemerosotan
otonomi moral, Sartre dianggap tetap relevan sebagai pemikir
yang memadukan kejujuran eksistensial dengan komitmen terhadap kemanusiaan
universal.
Kesimpulan Subbagian
Kritik terhadap
Sartre mencerminkan kompleksitas dan kedalaman pemikirannya. Meskipun disorot
karena aspek individualismenya yang dianggap berlebih, relativisme moral, dan
relasi negatif terhadap liyan, filsafat Sartre tetap menjadi sumber
inspirasi bagi pembacaan kritis terhadap kebebasan, tanggung jawab, dan makna
hidup dalam masyarakat modern. Reinterpretasi atas
karya-karyanya memungkinkan kita untuk menyerap warisannya secara lebih
kontekstual dan konstruktif.
Footnotes
[1]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H.M. Parshley (New
York: Vintage Books, 1989), 29–33.
[2]
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex: Feminism, Race,
and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman & Littlefield,
1999), 41–44.
[3]
Albert Camus, The Rebel: An Essay on Man in Revolt, trans.
Anthony Bower (New York: Vintage International, 1991), 252–256.
[4]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 47–52.
[5]
David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory
of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 95–98.
[6]
Gary Cox, The Sartre Dictionary (London: Continuum, 2008),
41–42.
[7]
Thomas R. Flynn, Sartre: A Philosophical Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 292–297.
9.
Kesimpulan
Jean-Paul Sartre
merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh pada abad ke-20 yang berhasil
mengintegrasikan dimensi ontologis, etis, dan politis
dalam kerangka filsafat eksistensialisme. Inti dari pemikirannya—bahwa eksistensi
mendahului esensi, bahwa manusia bebas
secara radikal, dan bahwa setiap individu bertanggung
jawab penuh atas dirinya sendiri—membentuk dasar dari sebuah
humanisme ateistik yang menolak determinisme metafisik maupun dogma
institusional1.
Filsafat Sartre
membebaskan manusia dari belenggu kodrat yang ditentukan sebelumnya dan
mendorong individu untuk menjadi subjek aktif dalam membentuk
identitas, nilai, dan arah hidupnya. Dalam dunia yang kehilangan penopang
transendental, Sartre menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang menciptakan dirinya
sendiri melalui pilihan dan tindakan yang sadar2.
Pandangan ini tidak hanya memberikan keagungan pada kebebasan manusia, tetapi
juga menyadarkan bahwa kebebasan tersebut adalah beban
tanggung jawab etis yang tak dapat dihindari.
Secara ontologis,
Sartre menunjukkan bahwa kesadaran manusia bersifat reflektif dan terbuka
terhadap kemungkinan, tidak seperti benda mati yang statis. Dari sinilah muncul
pemahaman bahwa manusia selalu berada dalam proyek “menjadi”—terlibat
dalam dunia, mengubah dirinya, dan menciptakan makna dalam dunia yang absurd
dan tanpa esensi bawaan3. Dalam hal ini, filsafat Sartre juga
mengandung kritik terhadap sikap hidup inautentik, yaitu penyangkalan terhadap
kebebasan melalui pembenaran eksternal, baik berupa institusi, agama, ataupun
tradisi.
Di ranah sosial dan
politik, Sartre menunjukkan bahwa kebebasan tidak hanya bersifat individual,
tetapi juga terikat pada kondisi historis dan sosial.
Ia mengembangkan prinsip “komitmen” (engagement) yang mengajak setiap intelektual
dan manusia bebas untuk tidak netral terhadap ketidakadilan,
tetapi terlibat dalam transformasi sosial secara aktif dan reflektif4.
Meskipun mendapat kritik karena dianggap terlalu menekankan subjektivitas atau
membenarkan kekerasan revolusioner, warisan etika Sartre tetap penting dalam
menyuarakan nilai-nilai pembebasan, otonomi, dan tanggung jawab moral
dalam situasi konkret.
Di era kontemporer,
pemikiran Sartre tetap relevan dalam menjawab persoalan-persoalan mendasar
manusia modern: krisis identitas, disorientasi nilai, tekanan institusional,
serta alienasi dalam sistem sosial yang kompleks. Gagasan Sartre tentang
otentisitas, resistensi terhadap objektifikasi, dan tanggung jawab terhadap
liyan memberikan kerangka filosofis yang bernilai tinggi
bagi individu yang ingin hidup secara sadar, kritis, dan bermakna5.
Sebagai penutup,
Sartre bukan hanya menyuarakan sebuah doktrin filosofis, tetapi menghidupkan
sebuah etos eksistensial: bahwa menjadi manusia adalah
terus-menerus menciptakan diri sendiri dalam dunia yang terbuka, penuh risiko,
tetapi juga sarat potensi untuk kebebasan dan kemanusiaan yang lebih utuh.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–28.
[2]
Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 39–41.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on
Phenomenological Ontology, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge,
2003), 3–11.
[4]
Jean-Paul Sartre, Colonialism and Neocolonialism, trans.
Azzedine Haddour et al. (London: Routledge, 2001), xiv–xv.
[5]
Ronald Aronson, Jean-Paul Sartre: Philosophy in the World
(London: Verso, 1980), 121–124.
Daftar Pustaka
Aronson, R. (1980). Jean-Paul
Sartre: Philosophy in the world. Verso.
Aronson, R. (2004). Camus
and Sartre: The story of a friendship and the quarrel that ended it.
University of Chicago Press.
Beauvoir, S. de. (1989). The
second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1949)
Camus, A. (1991). The
rebel: An essay on man in revolt (A. Bower, Trans.). Vintage
International. (Original work published 1951)
Churchill, S. (2020). The
temporal existentialism of Jean-Paul Sartre. Routledge.
Cohen-Solal, A. (1988). Sartre:
A life (A. Cancogni, Trans.). Vintage Books.
Cox, G. (2008). The
Sartre dictionary. Continuum.
Crowell, S. (2020).
Existentialism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of
philosophy (Spring 2020 ed.). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/existentialism/
Detmer, D. (1986). Freedom
as a value: A critique of the ethical theory of Jean-Paul Sartre. Open
Court.
Flynn, T. R. (1984). Sartre
and Marxist existentialism: The test case of collective responsibility.
University of Chicago Press.
Flynn, T. R. (2006). Sartre:
A philosophical biography. Cambridge University Press.
Flynn, T. R. (2006). Existentialism:
A very short introduction. Oxford University Press.
Hayman, R. (1986). Writing
against: A biography of Sartre. Weidenfeld & Nicolson.
Howells, C. (1988). Sartre:
The necessity of freedom. Cambridge University Press.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne
University Press. (Original work published 1961)
Sartre, J.-P. (1964). Nausea
(L. Alexander, Trans.). New Directions. (Original work published 1938)
Sartre, J.-P. (1989). No
exit and three other plays (S. Gilbert, Trans.). Vintage International.
(Original works published 1944)
Sartre, J.-P. (2001). Colonialism
and neocolonialism (A. Haddour, F. Michelman, & L. Seitz, Trans.).
Routledge. (Original work published 1964)
Sartre, J.-P. (2003). Being
and nothingness: An essay on phenomenological ontology (H. E. Barnes,
Trans.). Routledge. (Original work published 1943)
Sartre, J.-P. (2004). Critique
of dialectical reason (Vol. 1, A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso.
(Original work published 1960)
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Original
lecture delivered 1945)
Simons, M. A. (1999). Beauvoir
and the second sex: Feminism, race, and the origins of existentialism.
Rowman & Littlefield.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar