Pemikiran Kurt Friedrich Gödel
Ketakterhinggaan, Kebenaran, dan Ketakterbuktian
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
Kurt Friedrich Gödel, seorang matematikawan, logikawan, dan filsuf abad ke-20
yang karyanya memiliki pengaruh revolusioner dalam logika matematika, teori
komputasi, dan filsafat metafisika. Melalui dua teorema ketaklengkapannya yang
diterbitkan pada tahun 1931, Gödel menunjukkan bahwa dalam sistem formal apapun
yang mencakup aritmetika dasar, akan selalu ada proposisi yang benar namun tak
dapat dibuktikan dari dalam sistem tersebut. Temuan ini tidak hanya
menjungkirbalikkan program fondasional yang diusung oleh David Hilbert, tetapi
juga menggugah kembali wacana filosofis tentang sifat kebenaran dan batas-batas
rasionalitas manusia.
Artikel ini juga menelusuri kontribusi Gödel dalam
bidang filsafat, terutama dalam pembelaannya terhadap Platonisme matematika,
kritiknya terhadap positivisme logis, serta usahanya merekonstruksi argumen
ontologis eksistensi Tuhan melalui logika modal. Selain itu, dibahas pula peran
penting Gödel dalam membentuk dasar-dasar ilmu komputer modern dan
kontribusinya terhadap fisika teoritis melalui model kosmologi relativistik
yang menantang konsep waktu konvensional.
Melalui pendekatan interdisipliner berbasis
sumber-sumber ilmiah primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini menyajikan
pemikiran Gödel sebagai jembatan antara ilmu eksakta dan refleksi metafisika
mendalam. Warisannya tidak hanya berupa teorema, tetapi juga pandangan
filosofis yang menginspirasi perenungan kontemporer tentang ketakterhinggaan,
ketakterbuktian, dan pencarian makna yang melampaui logika formal.
Kata Kunci: Kurt Gödel, teorema ketaklengkapan, logika
matematika, filsafat Platonik, positivisme logis, ontologi, ilmu komputer,
metafisika, relativitas, kesadaran dan algoritma.
PEMBAHASAN
Menyingkap Pemikiran Kurt Gödel dalam Matematika dan
Filsafat
1.
Pendahuluan
Di antara tokoh
paling berpengaruh dalam sejarah logika matematika dan filsafat abad ke-20, nama
Kurt Friedrich Gödel (1906–1978) menempati posisi istimewa. Dikenal luas karena
teorema
ketaklengkapan (incompleteness theorems) yang mengubah arah
pemikiran tentang fondasi matematika, kontribusi Gödel bukan hanya bersifat
teknikal, tetapi juga menyentuh dimensi metafisika, epistemologi, dan bahkan
teologi. Gödel tidak sekadar menyusun hasil formal; ia mengusung pandangan
filosofis yang tegas tentang kebenaran matematika sebagai entitas objektif yang
independen dari konstruksi manusia.¹
Sebelum munculnya
karya Gödel, para ahli matematika dan logika, terutama dalam lingkungan Hilbertian
formalism, berusaha membangun sistem matematika yang lengkap,
konsisten, dan dapat dibuktikan seluruhnya dari seperangkat aksioma dasar.²
Upaya ambisius ini dikenal sebagai program Hilbert, dinamai dari
matematikawan David Hilbert, yang meyakini bahwa semua kebenaran matematika
dapat diturunkan dari logika formal secara sistematis. Namun, pada tahun 1931,
Gödel menerbitkan makalahnya yang monumental: "Über formal unentscheidbare Sätze der
Principia Mathematica und verwandter Systeme I", yang secara
dramatis membantah kemungkinan realisasi tujuan tersebut.³
Dalam makalah
tersebut, Gödel membuktikan bahwa dalam sistem formal apapun yang cukup kuat
untuk mencakup aritmetika dasar, akan selalu terdapat proposisi yang benar
namun tidak dapat dibuktikan dalam sistem itu sendiri—sebuah
fenomena yang disebutnya sebagai ketaklengkapan.⁴ Dengan demikian,
ia menunjukkan bahwa keutuhan logika formal memiliki batasan mendasar, yang
tidak dapat dihindari oleh sistem manapun yang mengklaim dirinya lengkap dan
konsisten. Temuan ini bukan hanya mengguncang fondasi matematika, tetapi juga
membuka jalan bagi perdebatan panjang tentang sifat kebenaran, pengetahuan, dan
batas nalar manusia.⁵
Pemikiran Gödel
tidak berhenti pada persoalan teknis. Ia adalah seorang mathematical
Platonist sejati—meyakini bahwa objek matematika benar-benar ada
dalam suatu realitas yang independen dari pikiran manusia.⁶ Ia juga menyusun
versi baru dari argumen ontologis tentang eksistensi Tuhan, berangkat dari
gagasan logika modal.⁷ Bahkan dalam diskusi-diskusi dengan Albert Einstein pada
masa tuanya di Princeton, Gödel lebih banyak membicarakan persoalan metafisika
dan struktur realitas ketimbang sains formal.⁸ Dengan demikian, pemikiran Gödel
merupakan persilangan yang unik antara kejernihan logika dan kedalaman
filsafat.
Dalam artikel ini,
akan dibahas secara komprehensif gagasan-gagasan utama Gödel, baik dalam logika
maupun filsafat, serta relevansinya dengan perkembangan pemikiran ilmiah dan
filosofis hingga saat ini. Melalui kajian terhadap karya-karya primer dan
analisis dari para sarjana kontemporer, artikel ini bertujuan untuk
memperlihatkan bagaimana ketakterhinggaan, kebenaran, dan ketakterbuktian
saling berkaitan dalam visi dunia intelektual Gödel.
Footnotes
[1]
Rebecca Goldstein, Incompleteness: The Proof and Paradox of Kurt
Gödel (New York: W. W. Norton & Company, 2005), 7.
[2]
Jean van Heijenoort, From Frege to Gödel: A Source Book in
Mathematical Logic, 1879–1931 (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1967), 597–603.
[3]
Kurt Gödel, "Über formal unentscheidbare Sätze der Principia
Mathematica und verwandter Systeme I," Monatshefte für Mathematik und
Physik 38, no. 1 (1931): 173–198.
[4]
Ernest Nagel and James R. Newman, Gödel’s Proof (New York: NYU
Press, 2001), 72–76.
[5]
John W. Dawson Jr., Logical Dilemmas: The Life and Work of Kurt
Gödel (Natick, MA: A K Peters, 1997), 97–100.
[6]
Hao Wang, Reflections on Kurt Gödel (Cambridge, MA: MIT Press,
1987), 7–11.
[7]
Christopher Small, “Gödel's Ontological Proof Revisited,” International
Journal for Philosophy of Religion 42, no. 2 (1997): 73–87.
[8]
Palle Yourgrau, A World Without Time: The Forgotten Legacy of Gödel
and Einstein (New York: Basic Books, 2005), 15–20.
2.
Biografi Singkat Kurt Gödel
Kurt Friedrich Gödel
lahir pada 28 April 1906 di Brünn, Austria-Hungaria (sekarang Brno, Republik
Ceko), dalam sebuah keluarga kelas menengah Jerman-Austria yang religius dan
berpendidikan. Ayahnya, Rudolf Gödel, adalah seorang pengusaha tekstil,
sedangkan ibunya, Marianne Gödel, memiliki minat dalam kesusastraan dan musik.
Sejak kecil, Gödel menunjukkan ketertarikan besar pada matematika, logika, dan
bahasa; keluarganya bahkan menjulukinya sebagai "Herr Warum"
atau “Tuan Mengapa”, karena kebiasaannya yang obsesif menanyakan
sebab-sebab dari segala hal.¹
Gödel memasuki
Universitas Wina pada tahun 1924 untuk mempelajari fisika teoretis, tetapi
segera berpindah ke bidang matematika dan logika setelah tertarik pada kuliah
Hans Hahn, salah satu tokoh dari Vienna Circle. Ia kemudian
memperoleh gelar doktor pada tahun 1930 dengan disertasi tentang completeness
theorem dalam logika predikat pertama.² Dalam lingkungan Vienna
Circle yang sangat dipengaruhi positivisme logis, Gödel sebenarnya berdiri
dalam posisi yang berseberangan secara filosofis. Ia menolak reduksionisme
empiris dan tetap memegang teguh pandangan Platonik terhadap kebenaran
matematika, yang kelak menjadi fondasi metafisika pribadinya.³
Karya Gödel mencapai
puncaknya pada usia yang sangat muda. Pada tahun 1931, dalam usia 25 tahun, ia
menerbitkan makalah monumental berjudul "Über formal unentscheidbare Sätze der
Principia Mathematica und verwandter Systeme I", yang
mengguncang dunia matematika dengan dua teorema ketaklengkapan. Karya ini
membuatnya segera diakui sebagai salah satu logikawan terbesar sepanjang masa.⁴
Namun, keberhasilan
intelektual itu tidak sejalan dengan stabilitas emosionalnya. Sejak usia muda,
Gödel menunjukkan kecenderungan terhadap kecemasan, hipokondria, dan paranoia.
Serangan depresi dan gangguan makan kronis mulai muncul sejak 1930-an, diperparah
oleh situasi politik yang mencekam di Austria dan kebangkitannya Nazi Jerman.⁵
Pada tahun 1938, setelah aneksasi Austria oleh Jerman, Gödel dan istrinya,
Adele Porkert, seorang penari kabaret yang telah dinikahinya meski mendapat
penolakan keluarga, melakukan perjalanan panjang melalui Rusia dan Jepang
sebelum akhirnya tiba di Amerika Serikat pada tahun 1940.⁶
Di Amerika, Gödel
menetap di Institute
for Advanced Study di Princeton, New Jersey, di mana ia
menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai rekan sejawat Albert Einstein.
Kedekatan intelektual dan personal antara Gödel dan Einstein menjadi legenda
dalam sejarah sains modern. Keduanya sering berjalan-jalan bersama, berdiskusi
mengenai ruang-waktu, metafisika, dan keberadaan Tuhan.⁷ Salah satu hasil pemikiran
Gödel yang menggabungkan matematika dan relativitas umum adalah Gödel’s
rotating universe—sebuah solusi atas persamaan medan Einstein yang
memungkinkan perjalanan waktu dan menyiratkan bahwa waktu itu sendiri bisa
bersifat ilusi.⁸
Sayangnya, kondisi
mental Gödel semakin memburuk seiring bertambahnya usia. Ketakutannya akan
diracun menjadi semakin akut, sehingga ia hanya bersedia makan jika makanan
tersebut disiapkan oleh istrinya. Ketika Adele jatuh sakit dan tidak bisa
merawatnya, Gödel menolak makan dan akhirnya meninggal dunia karena kelaparan
pada 14 Januari 1978. Ia wafat dalam kondisi berat badan hanya sekitar 30
kilogram, tetapi meninggalkan warisan intelektual yang tak ternilai dalam
logika, filsafat, dan ilmu komputer.⁹
Footnotes
[1]
Rebecca Goldstein, Incompleteness: The Proof and Paradox of Kurt
Gödel (New York: W. W. Norton & Company, 2005), 13–15.
[2]
John W. Dawson Jr., Logical Dilemmas: The Life and Work of Kurt
Gödel (Natick, MA: A K Peters, 1997), 34–39.
[3]
Hao Wang, Reflections on Kurt Gödel (Cambridge, MA: MIT Press,
1987), 49–53.
[4]
Kurt Gödel, "Über formal unentscheidbare Sätze der Principia
Mathematica und verwandter Systeme I," Monatshefte für Mathematik und
Physik 38 (1931): 173–198.
[5]
Solomon Feferman, “Kurt Gödel: Conviction and Caution,” Philosophy
of Mathematics, ed. Paul Benacerraf and Hilary Putnam, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 93–95.
[6]
Dawson Jr., Logical Dilemmas, 135–140.
[7]
Palle Yourgrau, A World Without Time: The Forgotten Legacy of Gödel
and Einstein (New York: Basic Books, 2005), 21–29.
[8]
Kurt Gödel, “An Example of a New Type of Cosmological Solution of
Einstein’s Field Equations of Gravitation,” Reviews of Modern Physics
21, no. 3 (1949): 447–450.
[9]
Goldstein, Incompleteness, 196–199.
3.
Konteks Intelektual dan Ilmiah Abad ke-20
Awal abad ke-20
merupakan masa pergolakan intelektual dalam ilmu matematika dan filsafat.
Ketegangan muncul antara tiga mazhab besar yang memperebutkan legitimasi
epistemologis atas fondasi matematika: logisisme, formalism,
dan intuisionisme.
Ketiganya berupaya menjawab pertanyaan yang mendasar: Apa sebenarnya dasar dari
kebenaran matematika? Apakah kebenaran itu bersifat objektif, hasil konstruksi
logis, atau intuisi murni?
Logisisme,
yang dipelopori oleh Gottlob Frege dan dikembangkan oleh Bertrand Russell serta
Alfred North Whitehead melalui Principia Mathematica, beranggapan
bahwa seluruh matematika dapat direduksi ke dalam logika simbolik.¹ Mereka
meyakini bahwa fondasi matematika terletak dalam proposisi logis yang bersifat
absolut dan universal. Namun, proyek ini mengalami tantangan besar ketika
Russell menemukan paradoks dalam sistem Frege, yang kemudian dikenal sebagai Russell’s
Paradox, sehingga menggoyahkan dasar logisisme itu sendiri.²
Sementara itu, formalisme,
terutama yang dipelopori oleh David Hilbert, mengusulkan pendekatan berbeda.
Bagi Hilbert, matematika tidak perlu dipahami sebagai ekspresi kebenaran
mutlak, melainkan sebagai permainan simbol-simbol dalam sistem aksiomatik
tertutup.³ Tujuan program Hilbert adalah membangun sistem matematika yang
lengkap, konsisten, dan terbukti dari dalam dirinya sendiri melalui proof
theory (metamatematika). Hilbert menyatakan dengan penuh keyakinan
bahwa "kita harus tahu; kita akan tahu" (Wir
müssen wissen: wir werden wissen), mencerminkan optimisme ilmiah
terhadap kekuatan logika formal.⁴
Di sisi lain, intuisionisme
yang digagas oleh L.E.J. Brouwer menolak keberadaan entitas matematika yang
bersifat objektif atau independen. Baginya, kebenaran matematika adalah hasil
dari konstruksi mental subjek yang mengetahui, dan tidak ada makna bagi
proposisi matematis yang tidak dapat dibuktikan secara konstruktif.⁵ Pandangan
ini menolak hukum logika klasik tertentu, seperti hukum excluded
middle, yang bagi intuisionis tidak selalu valid dalam konteks tak
hingga.
Di tengah dinamika
ini, muncullah Kurt Gödel, seorang pemuda
jenius dari Universitas Wina, yang terinspirasi oleh ketegangan antara ketiga
aliran tersebut. Dalam disertasinya, ia membuktikan teorema kelengkapan untuk logika
predikat pertama, mendukung impian Hilbert bahwa logika memiliki struktur yang
teratur dan koheren.⁶ Namun, hanya setahun kemudian, melalui teorema
ketaklengkapan (1931), Gödel mengguncang seluruh landasan
formalistik dengan menunjukkan bahwa sistem formal apapun yang cukup kuat untuk
memformalkan aritmetika akan mengandung proposisi yang tidak dapat dibuktikan
maupun disangkal dalam sistem itu sendiri.⁷
Temuan Gödel
memiliki konsekuensi besar terhadap program Hilbert. Ia membuktikan
bahwa tidak mungkin membangun sistem matematika yang sekaligus lengkap dan
konsisten, selama sistem tersebut mengandung aritmetika dasar. Ini bukan
sekadar kesimpulan teknis, tetapi sebuah pukulan filosofis terhadap gagasan
bahwa seluruh kebenaran dapat dikodifikasi secara formal.⁸ Bahkan tokoh-tokoh
besar seperti John von Neumann segera menyadari pentingnya implikasi ini, yang
juga menjadi dasar bagi kemunculan teori komputasi melalui Alan Turing.⁹
Pada saat yang sama,
konteks intelektual Eropa diliputi oleh bangkitnya positivisme
logis, gerakan filosofis yang berkembang dalam lingkaran Vienna
Circle. Kaum positivis logis seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap,
dan Otto Neurath berusaha membersihkan filsafat dari metafisika, dan menegaskan
bahwa makna hanya dapat dibenarkan melalui verifikasi empiris atau validitas
logis.¹⁰ Meskipun secara teknis dekat dengan lingkungan Vienna Circle, Gödel
menolak pandangan reduksionis mereka. Ia menilai bahwa keberadaan objek
matematika bersifat nyata dan objektif, bukan sekadar konstruksi linguistik
atau psikologis.¹¹
Konteks intelektual
dan ilmiah tempat Gödel berkarya, dengan demikian, adalah lanskap penuh
pergulatan antara optimisme formalis, skeptisisme intuisionis, dan agenda
verifikasionis kaum positivis. Dalam konteks ini, pemikiran Gödel tidak hanya
muncul sebagai tanggapan, tetapi juga sebagai transendensi atas seluruh wacana
tersebut—sebuah loncatan konseptual yang membuka babak baru dalam pemahaman
kita terhadap batas-batas pengetahuan, logika, dan realitas itu sendiri.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell dan Alfred N. Whitehead, Principia Mathematica,
3 vols. (Cambridge: Cambridge University Press, 1910–1913).
[2]
Gottlob Frege, Basic Laws of Arithmetic, ed. dan trans. Philip
A. Ebert dan Marcus Rossberg (Oxford: Oxford University Press, 2013),
xxxv–xxxviii.
[3]
David Hilbert, “The Foundations of Mathematics,” dalam From Frege
to Gödel: A Source Book in Mathematical Logic, 1879–1931, ed. Jean van
Heijenoort (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1967), 464–479.
[4]
Solomon Feferman, “Hilbert’s Program Relativized: Proof Theory and
Foundations of Mathematics,” The Journal of Symbolic Logic 13, no. 1
(1993): 321–338.
[5]
L.E.J. Brouwer, “Intuitionism and Formalism,” Bulletin of the
American Mathematical Society 20, no. 2 (1913): 81–96.
[6]
Kurt Gödel, “The Completeness of the Axioms of the Functional Calculus
of Logic,” Monatshefte für Mathematik und Physik 37 (1930): 349–360.
[7]
Gödel, “Über formal unentscheidbare Sätze der Principia Mathematica und
verwandter Systeme I,” Monatshefte für Mathematik und Physik 38
(1931): 173–198.
[8]
Goldstein, Incompleteness: The Proof and Paradox of Kurt Gödel,
89–91.
[9]
Martin Davis, Engines of Logic: Mathematicians and the Origin of
the Computer (New York: W. W. Norton & Company, 2000), 58–63.
[10]
Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 1–15.
[11]
Hao Wang, Reflections on Kurt Gödel (Cambridge, MA: MIT Press,
1987), 102–104.
4.
Teorema Ketaklengkapan Gödel
Pada tahun 1931,
dalam usia 25 tahun, Kurt Gödel menerbitkan makalah berjudul "Über formal unentscheidbare Sätze der Principia Mathematica
und verwandter Systeme I" (“Tentang
proposisi-proposisi yang secara formal tak dapat diputuskan dalam Principia Mathematica dan sistem-sistem
yang berkaitan”)—sebuah karya yang segera menjadi salah satu tonggak paling
monumental dalam sejarah logika dan fondasi matematika.¹ Dalam tulisan
tersebut, Gödel membuktikan dua teorema yang mengguncang optimisme para
pendukung program Hilbert, sekaligus mengubah arah filsafat matematika abad
ke-20.
4.1.
Teorema Ketaklengkapan Pertama
Teorema pertama
menyatakan bahwa dalam setiap sistem formal yang cukup kuat
untuk mencakup aritmetika dasar, akan selalu ada proposisi yang benar tetapi
tidak dapat dibuktikan dalam sistem itu sendiri.² Dengan kata
lain, sistem semacam itu tidak dapat sekaligus lengkap (complete)
dan konsisten (consistent). Gödel menyusun bukti
ini dengan cara membangun kalimat yang secara implisit mengatakan “kalimat ini
tidak dapat dibuktikan dalam sistem ini.” Kalimat semacam ini, yang dikenal
sebagai Gödel
sentence, adalah analog logis dari paradoks Liar (“Kalimat
ini salah”) tetapi dibingkai secara formal dan aritmetis.³
Agar bisa merumuskan
proposisi semacam itu secara matematis, Gödel mengembangkan metode pengkodean
aritmetika yang kini dikenal sebagai Gödel numbering, yakni cara
merepresentasikan simbol, ekspresi, dan bahkan pembuktian formal ke dalam
angka.⁴ Melalui metode ini, ia menunjukkan bahwa sistem formal dapat
“berbicara” tentang dirinya sendiri dalam bahasa aritmetika. Maka, sebuah
sistem menjadi “refleksif”, dan melalui refleksivitas ini muncullah keterbatasan:
tidak semua kebenaran dapat dibuktikan secara internal.
4.2.
Teorema Ketaklengkapan Kedua
Tak berhenti di
situ, teorema
kedua Gödel menyatakan bahwa konsistensi dari suatu sistem formal yang
mencakup aritmetika tidak dapat dibuktikan dari dalam sistem itu sendiri.⁵
Implikasinya sangat dalam: bahkan jika sistem itu tidak kontradiktif, sistem
itu tidak dapat membuktikan bahwa dirinya bebas kontradiksi—sebuah pukulan
langsung terhadap harapan Hilbert untuk menemukan fondasi absolut bagi seluruh
matematika. Sejak saat itu, menjadi jelas bahwa impian untuk menegakkan
bangunan matematika yang sepenuhnya kokoh dari dalam sistem formal tertutup
adalah mustahil.
4.3.
Dampak dan Relevansi Filosofis
Temuan ini memiliki
dampak filosofis yang luas. Ia menyentuh batas pengetahuan formal dan menggugah
kembali perdebatan klasik tentang kebenaran dan pembuktian. Dalam kerangka Platonisme
matematika, kebenaran matematika dianggap sebagai entitas objektif
yang eksis di luar sistem formal; Gödel sendiri meyakini bahwa teorema ketaklengkapan
mendukung pandangan ini.⁶ Kebenaran, bagi Gödel, tidak dapat direduksi menjadi
pembuktian belaka; ada kebenaran yang eksis walaupun tidak dapat dijangkau oleh
metode formal manapun.
Beberapa sarjana,
termasuk Roger Penrose, kemudian menafsirkan hasil Gödel sebagai bukti bahwa
kesadaran manusia melebihi kemampuan algoritmik atau komputasional.⁷ Penafsiran
ini memang kontroversial, tetapi menunjukkan bahwa temuan Gödel melampaui dunia
teknis matematika dan masuk ke dalam wacana metafisika, epistemologi, dan
bahkan filsafat pikiran.
4.4.
Hubungan dengan Teori Komputasi
Tak lama setelah
publikasi teorema-teorema tersebut, Alan Turing mengembangkan mesin
Turing dan membuktikan bahwa ada masalah yang tak dapat
diselesaikan oleh algoritma apapun (undecidable problems). Hasil-hasil
Turing dalam computability theory dianggap
sebagai konfirmasi natural dari intuisi Gödel tentang keterbatasan sistem
formal.⁸ Bersama dengan karya Alonzo Church, hasil ini memperluas pemahaman
kita tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh mesin atau sistem
formal, dan menjadi fondasi teoretis bagi ilmu komputer modern.
Dengan demikian, teorema
ketaklengkapan Gödel tidak hanya memberikan batas bagi sistem
aksiomatik, tetapi juga membuka cakrawala baru dalam studi tentang batas nalar
manusia dan relasi antara bahasa, logika, dan realitas.
Footnotes
[1]
Kurt Gödel, “Über formal unentscheidbare Sätze der Principia
Mathematica und verwandter Systeme I,” Monatshefte für Mathematik und
Physik 38 (1931): 173–198.
[2]
Ernest Nagel and James R. Newman, Gödel’s Proof (New York: NYU
Press, 2001), 29–31.
[3]
Rebecca Goldstein, Incompleteness: The Proof and Paradox of Kurt
Gödel (New York: W. W. Norton & Company, 2005), 87–89.
[4]
Hao Wang, From Mathematics to Philosophy (London: Routledge
& Kegan Paul, 1974), 191–195.
[5]
John W. Dawson Jr., Logical Dilemmas: The Life and Work of Kurt
Gödel (Natick, MA: A K Peters, 1997), 78–81.
[6]
Gödel dalam Wang, Reflections on Kurt Gödel (Cambridge, MA:
MIT Press, 1987), 302–308.
[7]
Roger Penrose, The Emperor’s New Mind: Concerning Computers, Minds
and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 144–154.
[8]
Martin Davis, Engines of Logic: Mathematicians and the Origin of
the Computer (New York: W. W. Norton & Company, 2000), 90–95.
5.
Pemikiran Metafisika dan Filsafat Gödel
Meskipun dikenal
luas karena kontribusinya terhadap logika matematika, Kurt Gödel adalah seorang
pemikir metafisik yang serius. Bagi Gödel, kebenaran matematis tidak hanya
sekadar hasil permainan simbol formal, tetapi merupakan bagian dari realitas
objektif yang dapat diakses oleh akal budi manusia. Pemikiran filosofisnya
sangat dipengaruhi oleh Platonisme, idealisme Leibnizian, dan penolakannya
terhadap reduksionisme logis khas kaum logical positivists.¹
5.1.
Platonisme Gödel dalam Matematika
Gödel dengan tegas
menyatakan dirinya sebagai seorang mathematical Platonist. Ia percaya
bahwa objek-objek matematika memiliki eksistensi obyektif di luar pikiran
manusia, mirip seperti entitas metafisis dalam alam ide Platonik. Dalam
pandangan ini, teorema-teorema matematika bukanlah “ditemukan” melalui
manipulasi simbol semata, tetapi diakses melalui intuisi intelektual terhadap
struktur realitas non-empiris.² Dalam wawancaranya dengan Hao Wang, Gödel
menegaskan bahwa intuisi matematika serupa dengan persepsi dalam ranah
empirik—hanya saja ditujukan kepada entitas non-material.³
Konsekuensinya, bagi
Gödel, keberadaan proposisi-proposisi yang benar tetapi tidak dapat dibuktikan
secara formal (sebagaimana ditunjukkan dalam teorema ketaklengkapan) bukanlah
kegagalan sistem formal, melainkan bukti bahwa kebenaran melampaui pembuktian formal.⁴
Dengan kata lain, akal manusia mampu menjangkau kebenaran yang tidak dapat
dirangkum dalam sistem algoritmik apa pun, dan ini memperkuat keyakinannya
bahwa realitas logis bersifat independen dari bahasa dan simbol.
5.2.
Kritik terhadap Positivisme Logis dan
Reduksionisme
Meskipun secara
geografis dan akademis dekat dengan lingkaran Vienna Circle, Gödel menentang
keras pandangan logical positivism. Ia menolak
klaim bahwa pernyataan yang bermakna hanyalah yang dapat diverifikasi secara
empiris atau dibuktikan secara logis.⁵ Gödel melihat batasan program ini
sebagai penyempitan intelektual yang berbahaya, karena menghapus kemungkinan
pemikiran metafisik, teologis, dan intuisi intelektual non-verifikatif dari
ruang diskursus rasional.
Sebaliknya, Gödel
justru menghidupkan kembali minat terhadap sistem metafisika klasik, terutama
pemikiran Leibniz, yang ia anggap sebagai pemikir paling mendalam setelah
Plato.⁶ Ia menyusun proyek pribadi untuk merekonstruksi filsafat Leibniz, yang
menurutnya belum dikembangkan secara maksimal karena keterbatasan teknologi
pada zamannya. Ia bahkan meyakini bahwa sains dan filsafat harus disatukan
kembali dalam sistem rasional yang lebih tinggi, seperti yang diimpikan para
filsuf besar abad ke-17.⁷
5.3.
Argumen Ontologis Gödel untuk Eksistensi Tuhan
Salah satu
kontribusi filosofis paling kontroversial dari Gödel adalah rumusan matematis
dari argumen
ontologis untuk eksistensi Tuhan. Mengikuti bentuk dasar dari
Anselmus dan pengembangan oleh Leibniz, Gödel menyusun versi formal dari
argumen tersebut menggunakan logika modal. Dalam versinya, ia mendefinisikan
Tuhan sebagai “makhluk yang memiliki semua sifat positif” dan
membuktikan bahwa kemungkinan eksistensinya menyiratkan eksistensi aktual di
dunia yang mungkin.⁸
Meskipun argumen ini
disusun dalam bentuk logika murni, Gödel sendiri tampaknya bersikap hati-hati
terhadap implikasinya. Ia tidak pernah mempublikasikannya secara resmi semasa
hidupnya, dan naskah ini baru diketahui luas setelah kematiannya.⁹ Beberapa filsuf
menanggapi argumen ini sebagai logically valid namun tetap terbuka
terhadap keberatan semantik, metafisik, dan epistemologis.¹⁰ Namun, yang
penting dicatat adalah bahwa Gödel melihat ranah metafisika dan teologi sebagai
bagian dari wilayah yang sah dalam pencarian rasional terhadap
kebenaran—pandangan yang bertentangan tajam dengan zeitgeist ilmiah pada
zamannya.
5.4.
Pengaruh dan Relevansi Pemikiran Filosofis
Gödel
Pemikiran metafisika
Gödel, meskipun tidak banyak dipublikasikan secara eksplisit, memiliki pengaruh
yang tidak kecil dalam filsafat analitik kontemporer. Ia mendorong para filsuf
untuk menilai kembali legitimasi argumen rasional dalam metafisika dan peran
intuisi dalam epistemologi. Selain itu, hubungan eratnya dengan Einstein
menunjukkan bahwa perenungan filosofis dapat berjalan seiring dengan riset
ilmiah tingkat tinggi—membantah dikotomi palsu antara sains dan metafisika.¹¹
Gödel adalah seorang
rasionalis dalam makna klasik, yang percaya bahwa struktur realitas dapat
dijangkau oleh akal yang tidak dibatasi oleh eksperimen semata atau kalkulasi
algoritmik. Dalam warisan pemikirannya, kita menemukan bahwa di balik
simbol-simbol dan angka-angka yang dingin, tersembunyi aspirasi terdalam
manusia terhadap makna, keabadian, dan kebenaran absolut.
Footnotes
[1]
Hao Wang, Reflections on Kurt Gödel (Cambridge, MA: MIT Press,
1987), 7–9.
[2]
Rebecca Goldstein, Incompleteness: The Proof and Paradox of Kurt
Gödel (New York: W. W. Norton & Company, 2005), 166–170.
[3]
Hao Wang, From Mathematics to Philosophy (London: Routledge
& Kegan Paul, 1974), 324–328.
[4]
Solomon Feferman, “Kurt Gödel: Conviction and Caution,” dalam Philosophy
of Mathematics, ed. Paul Benacerraf dan Hilary Putnam, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 109–112.
[5]
Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 45–48.
[6]
Yourgrau, A World Without Time: The Forgotten Legacy of Gödel and
Einstein (New York: Basic Books, 2005), 107–110.
[7]
Wang, Reflections on Kurt Gödel, 232–236.
[8]
Kurt Gödel, “Ontological Proof,” dalam Collected Works Volume III:
Unpublished Essays and Lectures, ed. Solomon Feferman et al. (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 403–404.
[9]
Dawson Jr., Logical Dilemmas: The Life and Work of Kurt Gödel
(Natick, MA: A K Peters, 1997), 240–243.
[10]
Christopher Small, “Gödel’s Ontological Proof Revisited,” International
Journal for Philosophy of Religion 42, no. 2 (1997): 73–87.
[11]
Palle Yourgrau, A World Without Time, 13–20.
6.
Gödel dan Kontribusi terhadap Sains dan
Teknologi
Meskipun Gödel lebih
dikenal karena pengaruhnya yang mendalam dalam bidang logika dan filsafat,
kontribusinya terhadap perkembangan sains dan teknologi, baik secara langsung
maupun tidak langsung, juga sangat signifikan. Ia adalah tokoh sentral dalam
mengungkap batas-batas dari sistem formal yang menjadi fondasi bagi ilmu
komputer, teori informasi, dan bahkan fisika teoritis.
6.1.
Dampak terhadap Teori Komputasi dan Ilmu
Komputer
Kontribusi Gödel
terhadap teori komputasi bersifat mendasar. Melalui teorema ketaklengkapan, ia
menunjukkan bahwa dalam sistem aksiomatik yang cukup kompleks, akan selalu ada
proposisi yang benar namun tidak dapat dibuktikan dari dalam sistem itu
sendiri.¹ Ini membuka jalan bagi pertanyaan: jika tidak semua kebenaran dapat
dibuktikan secara formal, apakah ada batas terhadap apa yang dapat dihitung
atau diotomatisasi?
Jawaban atas
pertanyaan ini datang sebagian dari Alan Turing, yang dalam artikelnya tahun
1936, On
Computable Numbers, with an Application to the Entscheidungsproblem,
membangun konsep mesin Turing—model teoritis dari komputer digital.² Turing
secara eksplisit merujuk pada hasil Gödel dan menggunakan pendekatan serupa
untuk membuktikan bahwa terdapat masalah tertentu yang tak dapat diselesaikan
oleh mesin apapun, tidak peduli seberapa kuat kemampuannya secara algoritmik.³
Dengan demikian, karya Gödel menjadi fondasi epistemologis bagi konsep undecidability
dan batas kalkulasi dalam ilmu komputer.
Selain itu, dalam
perkembangan selanjutnya, konsep Gödel numbering—metode pengkodean
simbol logika ke dalam bilangan alami—digunakan secara luas dalam teori bahasa
formal dan teori automata, yang merupakan dasar dari pemrograman komputer
modern.⁴ Para pelopor seperti Stephen Kleene, Emil Post, dan John von Neumann
mengakui pengaruh signifikan dari Gödel dalam membentuk kerangka teoretis bagi
mesin otomatis dan sistem komputasi.⁵
6.2.
Kontribusi terhadap Fisika dan Kosmologi
Salah satu aspek
yang paling tidak terduga dari pemikiran Gödel adalah keterlibatannya dalam
fisika, khususnya relativitas umum. Dalam makalah tahun 1949 berjudul An
Example of a New Type of Cosmological Solutions of Einstein’s Field Equations
of Gravitation, Gödel mengusulkan solusi terhadap persamaan medan
Einstein yang dikenal sebagai Gödel metric atau Gödel
universe.⁶
Model semesta Gödel
ini menggambarkan alam semesta yang berotasi secara keseluruhan dan
memungkinkan keberadaan lintasan tertutup dalam ruang-waktu, yang secara
teoritis membuka kemungkinan untuk perjalanan waktu ke masa lalu.⁷ Gödel
menggunakan solusi ini untuk mempertanyakan realitas objektif dari waktu itu
sendiri, menyimpulkan bahwa waktu mungkin hanyalah ilusi.⁸ Einstein sendiri,
meskipun tidak sepenuhnya setuju dengan interpretasi metafisik tersebut,
menghargai orisinalitas dan keberanian dari solusi Gödel, dan menjadikannya
sebagai bukti bahwa relativitas membuka ruang untuk interpretasi filosofis
mendalam.⁹
Kontribusi ini tidak
hanya berpengaruh dalam kosmologi teoritis, tetapi juga memicu debat dalam
filsafat waktu dan eksistensi “dimensi keempat” dalam struktur realitas.
Banyak fisikawan dan filsuf sejak saat itu, termasuk John Earman dan David
Deutsch, telah mendiskusikan kemungkinan konsekuensi fisika dari closed
timelike curves yang diperkenalkan oleh Gödel.¹⁰
6.3.
Dampak Jangka Panjang terhadap Teknologi dan
Kecerdasan Buatan
Dalam dekade-dekade
terakhir, pemikiran Gödel juga menjadi rujukan dalam debat mengenai batas
kecerdasan buatan (AI). Beberapa tokoh seperti Roger Penrose
menggunakan teorema ketaklengkapan untuk mendukung argumen bahwa kesadaran
manusia tidak dapat direduksi menjadi proses algoritmik, karena ada
bentuk-bentuk pemahaman yang melampaui pembuktian formal.¹¹
Meskipun
interpretasi ini tetap kontroversial, banyak peneliti AI dan teori komputasi
menyadari bahwa hasil Gödel menunjukkan bahwa tidak semua aspek kognisi dapat
dikodifikasi dalam sistem simbol formal, yang menjadi dasar
dari kebanyakan pendekatan AI klasik. Oleh karena itu, karya Gödel menandai
titik kritis dalam memahami batas representasi simbolik dan potensi pendekatan
alternatif dalam pemodelan kecerdasan, seperti jaringan saraf tiruan dan
pembelajaran probabilistik.
Dengan semua
kontribusi ini, jelas bahwa pengaruh Gödel jauh melampaui batas dunia
matematika murni. Ia menempatkan dirinya sebagai pemikir lintas
disiplin yang menantang asumsi-asumsi dasar dalam logika, sains, dan teknologi.
Karyanya menjadi fondasi bagi paradigma-paradigma baru yang kini menjadi bagian
tak terpisahkan dari dunia modern.
Footnotes
[1]
Kurt Gödel, “Über formal unentscheidbare Sätze der Principia
Mathematica und verwandter Systeme I,” Monatshefte für Mathematik und
Physik 38 (1931): 173–198.
[2]
Alan Turing, “On Computable Numbers, with an Application to the
Entscheidungsproblem,” Proceedings of the London Mathematical Society
42, no. 2 (1936): 230–265.
[3]
Martin Davis, Engines of Logic: Mathematicians and the Origin of
the Computer (New York: W. W. Norton & Company, 2000), 102–108.
[4]
Stephen C. Kleene, Introduction to Metamathematics (Amsterdam:
North-Holland Publishing, 1952), 192–195.
[5]
John W. Dawson Jr., Logical Dilemmas: The Life and Work of Kurt
Gödel (Natick, MA: A K Peters, 1997), 179–183.
[6]
Kurt Gödel, “An Example of a New Type of Cosmological Solution of
Einstein’s Field Equations of Gravitation,” Reviews of Modern Physics
21, no. 3 (1949): 447–450.
[7]
John Earman, Bangs, Crunches, Whimpers, and Shrieks: Singularities
and Acausalities in Relativistic Spacetimes (Oxford: Oxford University
Press, 1995), 189–193.
[8]
Palle Yourgrau, A World Without Time: The Forgotten Legacy of Gödel
and Einstein (New York: Basic Books, 2005), 132–136.
[9]
Solomon Feferman, “Gödel and Physics,” Modern Logic 6, no. 1
(1996): 41–52.
[10]
David Deutsch, The Fabric of Reality (London: Penguin, 1997),
322–325.
[11]
Roger Penrose, Shadows of the Mind: A Search for the Missing
Science of Consciousness (Oxford: Oxford University Press, 1994), 126–140.
7.
Warisan Intelektual Gödel
Warisan intelektual
Kurt Gödel melampaui batas konvensional antara matematika, logika, filsafat,
dan ilmu komputer. Pemikirannya membuka jalur baru dalam pemahaman tentang
batas-batas penalaran manusia, struktur pengetahuan, dan realitas metafisik.
Karya-karyanya yang relatif sedikit namun revolusioner telah membentuk
bidang-bidang intelektual yang kini menjadi pusat dari sains dan filsafat
kontemporer.
7.1.
Logika dan Fondasi Matematika
Teorema
ketaklengkapan Gödel tidak hanya merevisi program fondasional dalam matematika,
tetapi juga membentuk ulang peta logika matematika. Bersama dengan hasil-hasil
dari Alfred Tarski, Stephen Kleene, dan Alan Turing, Gödel membentuk inti dari mathematical
logic modern, khususnya dalam teori rekursi, teori model, dan proof
theory.¹ Teorema-teorema Gödel menjadi prasyarat dalam setiap diskursus
mengenai apa yang dapat dibuktikan, dihitung, atau diformalkan.²
Dalam bidang set
theory, pengaruhnya terlihat dalam diskusi tentang axiom of
choice dan continuum hypothesis. Gödel menunjukkan
bahwa asumsi continuum hypothesis tidak dapat
dibuktikan salah dari aksioma Zermelo-Fraenkel (ZF), membuka jalan bagi hasil
Paul Cohen yang membuktikan bahwa asumsi tersebut juga tidak dapat dibuktikan
benar dari ZF.³ Dengan demikian, Gödel menjadi tokoh penting dalam penegasan
bahwa matematika dapat memiliki pluralitas model yang konsisten
namun berbeda-beda—sebuah wacana yang sangat berpengaruh dalam logika
kontemporer.
7.2.
Filsafat Matematika dan Metafisika
Warisan Gödel dalam
filsafat matematika dan metafisika tampak dalam kebangkitannya realism
matematik dan rationalist metaphysics. Ia
menghidupkan kembali pandangan Platonik bahwa entitas matematika bersifat
objektif, dan bahwa akal manusia memiliki akses epistemis ke dalam realitas
non-empiris.⁴ Pandangan ini memengaruhi filsuf-filsuf seperti Charles Parsons,
Penelope Maddy, dan Øystein Linnebo dalam perdebatan kontemporer seputar status
ontologis objek matematika.⁵
Selain itu, argumen
ontologis Gödel untuk eksistensi Tuhan, meskipun tidak dipublikasikan semasa
hidupnya, menjadi titik diskusi yang luas dalam logika modal dan filsafat
agama.⁶ Penilaian kembali terhadap argumen klasik dalam bentuk formal menjadi
warisan tersendiri yang menghidupkan kembali relevansi metafisika rasional
dalam filsafat analitik.
7.3.
Ilmu Komputer dan Kecerdasan Buatan
Konsep-konsep Gödel
tentang ketaklengkapan dan pengkodean aritmetika sangat memengaruhi kelahiran
teori komputasi. Teori mesin Turing dan definisi recursive functions secara
eksplisit dibangun di atas kerangka yang Gödel rumuskan.⁷ Bahkan, arsitektur
awal komputer elektronik oleh John von Neumann juga menyertakan prinsip-prinsip
dari logika formal yang dikembangkan Gödel.⁸
Lebih jauh lagi,
dalam perdebatan tentang potensi kecerdasan buatan, teorema Gödel kerap
digunakan untuk membantah reduksionisme algoritmik terhadap pikiran manusia.
Roger Penrose, misalnya, berargumen bahwa jika pemikiran manusia sepenuhnya
bersifat komputasional, maka kita tidak seharusnya bisa "melihat"
kebenaran proposisi yang tak terbukti dalam sistem formal—padahal justru itulah
yang ditunjukkan Gödel.⁹ Walaupun argumen ini kontroversial, ia menandai bahwa
hasil Gödel terus menjadi dasar refleksi tentang batas-batas mesin dan
kesadaran.
7.4.
Inspirasi bagi Generasi Pemikir Selanjutnya
Warisan Gödel juga
bersifat inspiratif dan filosofis. Ia menunjukkan bahwa kebesaran intelektual
tidak selalu datang dari produktivitas kuantitatif, tetapi dari kedalaman
konseptual. Banyak pemikir terkemuka abad ke-20 dan ke-21, seperti Saul Kripke,
Gregory Chaitin, dan Georg Kreisel, mengakui pengaruh besar Gödel dalam
pengembangan logika, teori informasi, dan pemikiran filosofis.¹⁰
Dalam aspek yang
lebih luas, warisan Gödel juga bersifat reflektif: ia menantang kita
untuk memahami bahwa ada batas-batas pada sistem formal, dan bahwa pencarian
kebenaran melibatkan intuisi, metafisika, dan ketundukan pada sesuatu yang
lebih tinggi dari sekadar simbol.
Footnotes
[1]
Solomon Feferman, “Turing, Gödel, and the ‘Impossibility’ of Artificial
Intelligence,” Minds and Machines 5, no. 1 (1995): 43–52.
[2]
Ernest Nagel and James R. Newman, Gödel’s Proof (New York: NYU
Press, 2001), 91–98.
[3]
Kurt Gödel, “The Consistency of the Continuum Hypothesis,” Annals
of Mathematics Studies 3 (Princeton: Princeton University Press, 1940).
[4]
Hao Wang, Reflections on Kurt Gödel (Cambridge, MA: MIT Press,
1987), 233–240.
[5]
Charles Parsons, Mathematical Thought and Its Objects
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 32–38.
[6]
Kurt Gödel, “Ontological Proof,” in Collected Works, Vol. III:
Unpublished Essays and Lectures, ed. Solomon Feferman et al. (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 403–404.
[7]
Martin Davis, Engines of Logic: Mathematicians and the Origin of
the Computer (New York: W. W. Norton & Company, 2000), 63–75.
[8]
John von Neumann, The Computer and the Brain (New Haven: Yale
University Press, 1958), 12–16.
[9]
Roger Penrose, Shadows of the Mind: A Search for the Missing
Science of Consciousness (Oxford: Oxford University Press, 1994), 125–129.
[10]
Gregory Chaitin, Meta Math!: The Quest for Omega (New York:
Pantheon Books, 2005), 88–95.
8.
Kesimpulan
Kurt Gödel adalah
figur langka dalam sejarah pemikiran manusia—seorang ilmuwan logika yang
karyanya bukan hanya mengguncang fondasi matematika formal, tetapi juga
membangkitkan kembali pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang realitas,
kebenaran, dan batas-batas rasio manusia. Penemuan teorema ketaklengkapannya
secara fundamental mengubah cara kita memahami sistem logika: bahwa tidak semua
kebenaran dapat dibuktikan, dan bahwa ada keterbatasan inheren dalam upaya
manusia untuk menyusun sistem pengetahuan yang tertutup dan lengkap.¹
Dalam konteks
sejarah intelektual abad ke-20, Gödel berdiri di tengah ketegangan antara
program formalis yang diusung oleh Hilbert, kritik intuisionis dari Brouwer,
serta kecenderungan positivistik dari Vienna Circle. Namun, ia melampaui semua
itu. Dengan membuktikan bahwa setiap sistem formal yang memadai akan selalu
mengandung “celah logis” yang tak tertutup oleh pembuktian internal,
Gödel mengubah arah filsafat matematika secara radikal.² Ia memaksa komunitas
ilmiah untuk menerima bahwa rasionalitas itu sendiri
memiliki batas-batas yang tidak dapat dilewati tanpa melibatkan intuisi,
metafisika, dan bahkan transendensi.³
Lebih dari sekadar
seorang logikawan teknis, Gödel adalah seorang rasionalis idealis dalam tradisi
besar Plato dan Leibniz. Ia percaya bahwa dunia matematik adalah realitas yang
objektif, dapat diakses oleh akal, dan melampaui representasi simbolik semata.⁴
Perspektif ini memberinya keberanian intelektual untuk menyusun argumen
ontologis tentang eksistensi Tuhan, dan untuk menyatakan bahwa waktu mungkin
hanyalah ilusi—suatu pandangan yang mempertemukan metafisika dan fisika dalam
satu kerangka.⁵ Dalam dunia modern yang cenderung memisahkan ilmu dan filsafat,
Gödel menunjukkan bahwa keduanya dapat—dan harus—berbicara satu sama lain dalam
bahasa yang rasional dan mendalam.
Kontribusinya
terhadap ilmu komputer dan teknologi modern pun tak dapat disangkal. Teorema
ketaklengkapan menjadi inspirasi utama bagi teori komputasi, teori algoritma,
dan pengembangan mesin cerdas. Bersama Alan Turing dan John von Neumann, Gödel
adalah “arsitek intelektual” dari dunia digital yang kini menjadi tulang
punggung peradaban global.⁶ Dan ironisnya, dalam membangun landasan teknologi
yang rasional, Gödel justru menegaskan bahwa tidak semua hal dapat diselesaikan oleh
kalkulasi algoritmik semata. Ini adalah peringatan penting
dalam era yang semakin tergoda untuk mengalihkan segala bentuk pengetahuan ke
dalam sistem digital dan data.
Di balik kejeniusan
matematisnya, terdapat pesan filosofis yang mendalam: bahwa dalam pencarian
kita terhadap kebenaran, kita harus menyadari batas-batas dari sistem, mesin,
dan bahkan bahasa itu sendiri. Kebenaran, sebagaimana dipahami Gödel, adalah
sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya ditangkap oleh rumus—ia adalah sesuatu yang
kita intuisi,
yakini,
dan dalam batas tertentu, iman-i.⁷
Warisan intelektual
Kurt Gödel bukanlah serangkaian jawaban, tetapi undangan untuk terus bertanya.
Melalui logika yang ketat dan metafisika yang luhur, ia mengajarkan bahwa
kebenaran bukanlah konstruksi manusia, melainkan sesuatu yang senantiasa
mengundang manusia untuk merendahkan diri di hadapannya.
Footnotes
[1]
Ernest Nagel and James R. Newman, Gödel’s Proof (New York: NYU
Press, 2001), 71–76.
[2]
Solomon Feferman, “Kurt Gödel: Conviction and Caution,” dalam Philosophy
of Mathematics, ed. Paul Benacerraf dan Hilary Putnam, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 107–112.
[3]
Hao Wang, Reflections on Kurt Gödel (Cambridge, MA: MIT Press,
1987), 307–309.
[4]
Rebecca Goldstein, Incompleteness: The Proof and Paradox of Kurt
Gödel (New York: W. W. Norton & Company, 2005), 157–160.
[5]
Kurt Gödel, “An Example of a New Type of Cosmological Solution of
Einstein’s Field Equations of Gravitation,” Reviews of Modern Physics
21, no. 3 (1949): 447–450.
[6]
Martin Davis, Engines of Logic: Mathematicians and the Origin of
the Computer (New York: W. W. Norton & Company, 2000), 92–108.
[7]
Roger Penrose, Shadows of the Mind: A Search for the Missing
Science of Consciousness (Oxford: Oxford University Press, 1994), 126–130.
Daftar Pustaka
Chaitin, G. J. (2005). Meta Math!: The quest for
Omega. Pantheon Books.
Davis, M. (2000). Engines of logic:
Mathematicians and the origin of the computer. W. W. Norton & Company.
Dawson, J. W. Jr. (1997). Logical dilemmas: The
life and work of Kurt Gödel. A K Peters.
Deutsch, D. (1997). The fabric of reality.
Penguin Books.
Earman, J. (1995). Bangs, crunches, whimpers,
and shrieks: Singularities and acausalities in relativistic spacetimes.
Oxford University Press.
Feferman, S. (1983). Kurt Gödel: Conviction and
caution. In P. Benacerraf & H. Putnam (Eds.), Philosophy of mathematics
(2nd ed., pp. 89–111). Cambridge University Press.
Feferman, S. (1996). Gödel and physics. Modern
Logic, 6(1), 41–52.
Friedman, M. (1999). Reconsidering logical
positivism. Cambridge University Press.
Gödel, K. (1931). Über formal unentscheidbare Sätze
der Principia Mathematica und verwandter Systeme I. Monatshefte für
Mathematik und Physik, 38(1), 173–198.
Gödel, K. (1940). The consistency of the
continuum hypothesis. Princeton University Press.
Gödel, K. (1949). An example of a new type of
cosmological solution of Einstein’s field equations of gravitation. Reviews
of Modern Physics, 21(3), 447–450.
Gödel, K. (1995). Ontological proof. In S. Feferman
et al. (Eds.), Collected works (Vol. III): Unpublished essays and lectures
(pp. 403–404). Oxford University Press.
Goldstein, R. (2005). Incompleteness: The proof
and paradox of Kurt Gödel. W. W. Norton & Company.
Kleene, S. C. (1952). Introduction to
metamathematics. North-Holland Publishing.
Nagel, E., & Newman, J. R. (2001). Gödel’s
proof. NYU Press.
Parsons, C. (2008). Mathematical thought and its
objects. Cambridge University Press.
Penrose, R. (1994). Shadows of the mind: A
search for the missing science of consciousness. Oxford University Press.
Small, C. (1997). Gödel’s ontological proof
revisited. International Journal for Philosophy of Religion, 42(2),
73–87.
Turing, A. M. (1936). On computable numbers, with
an application to the Entscheidungsproblem. Proceedings of the London
Mathematical Society, 42(2), 230–265.
von Neumann, J. (1958). The computer and the
brain. Yale University Press.
Wang, H. (1974). From mathematics to philosophy.
Routledge & Kegan Paul.
Wang, H. (1987). Reflections on Kurt Gödel.
MIT Press.
Yourgrau, P. (2005). A world without time: The
forgotten legacy of Gödel and Einstein. Basic Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar