Filsafat Bahasa
Kajian Konseptual, Sejarah, dan Perkembangannya dalam
Pemikiran Modern
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif cabang
filsafat yang dikenal sebagai filsafat bahasa, yang menelaah hakikat, fungsi,
dan struktur bahasa serta hubungannya dengan pikiran dan realitas. Dimulai dari
definisi dan ruang lingkupnya, artikel ini menelusuri perkembangan historis
filsafat bahasa dari masa klasik Yunani hingga era kontemporer, termasuk
pengaruh besar dari tokoh-tokoh seperti Frege, Russell, Wittgenstein, Austin,
Searle, dan Chomsky. Selain itu, artikel ini mengulas isu-isu sentral seperti
makna, rujukan, tindakan tutur, dan kaitan bahasa dengan pikiran serta
kenyataan. Ditekankan pula kontribusi filsafat bahasa terhadap berbagai
disiplin ilmu seperti linguistik, komunikasi, hukum, pendidikan, dan teologi.
Di sisi lain, disoroti pula berbagai kritik dan tantangan terhadap pendekatan
filsafat bahasa, baik dari tradisi kontinental, post-strukturalisme, hingga era
komunikasi multimodal. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat bahasa tidak hanya
penting secara teoritis, tetapi juga relevan dalam memahami dinamika makna,
komunikasi, dan interpretasi dalam kehidupan manusia modern.
Kata Kunci: Filsafat bahasa, makna, rujukan, tindakan tutur,
linguistik filosofis, pemikiran kontemporer, komunikasi, hermeneutika,
Wittgenstein, Frege.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Bahasa Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Bahasa merupakan salah satu ciri utama yang
membedakan manusia dari makhluk lain. Melalui bahasa, manusia tidak hanya
menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk pikiran, membangun makna, serta
menciptakan dan memelihara struktur sosial dan budaya. Filsuf Prancis Michel
Foucault bahkan menyatakan bahwa bahasa tidak sekadar alat komunikasi,
melainkan medium kekuasaan dan pembentuk realitas sosial itu sendiri.¹
Kesadaran akan peran penting bahasa ini telah melahirkan cabang filsafat yang
dikenal sebagai filsafat bahasa (philosophy of language), yang
secara mendalam mempelajari hakikat, fungsi, dan struktur bahasa serta
hubungannya dengan pikiran dan kenyataan.
Filsafat bahasa tidak hanya relevan bagi para
filsuf, tetapi juga bagi ahli linguistik, semiotik, antropologi, bahkan
teologi. Hal ini karena banyak persoalan mendasar dalam berbagai disiplin ilmu
berkaitan erat dengan bagaimana bahasa digunakan dan dipahami. Misalnya, dalam
teologi Islam dan Kristen, interpretasi teks suci sangat tergantung pada
pemahaman terhadap bahasa dan konteksnya.²
Dalam sejarahnya, filsafat bahasa telah mengalami
perkembangan yang signifikan, terutama sejak abad ke-20 dengan munculnya
filsafat analitik di dunia Barat. Tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Bertrand
Russell, dan Ludwig Wittgenstein membawa pendekatan baru yang lebih
sistematis dalam menganalisis makna dan struktur bahasa.³ Pendekatan ini
dikenal sebagai “linguistic turn”, yaitu pergeseran fokus filsafat dari
kajian metafisika tradisional menuju analisis bahasa sebagai alat untuk
memahami dunia.⁴
Di sisi lain, pendekatan strukturalisme dan post-strukturalisme
yang berkembang di Eropa, seperti yang ditawarkan oleh Ferdinand de Saussure
dan Jacques Derrida, menekankan bahwa bahasa tidak memiliki makna tetap
dan objektif, melainkan bersifat relasional dan kontekstual.⁵ Perspektif ini
membuka ruang bagi interpretasi yang lebih luas terhadap teks dan makna, yang
kemudian memengaruhi banyak bidang seperti sastra, kritik budaya, dan studi
gender.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji filsafat
bahasa secara konseptual, historis, dan filosofis. Pembahasan akan dimulai dari
definisi dan ruang lingkup filsafat bahasa, menelusuri perkembangan historisnya
dari masa klasik hingga kontemporer, membahas isu-isu sentral yang menjadi
fokus kajian, serta melihat kontribusinya dalam berbagai bidang ilmu dan
pemikiran. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca memperoleh pemahaman
menyeluruh tentang pentingnya filsafat bahasa dalam menelaah berbagai aspek
kehidupan manusia, baik dalam tataran teoritis maupun praktis.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 49.
[2]
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God's Name:
Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld, 2001), 35.
[3]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1973), 4–6.
[4]
Richard Rorty, The Linguistic Turn: Recent
Essays in Philosophical Method (Chicago: University of Chicago Press,
1967), 3.
[5]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin
(New York: Philosophical Library, 1959), 65–70.
2.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang
filsafat yang secara khusus mempelajari sifat dasar bahasa, struktur, fungsi,
serta hubungannya dengan pikiran dan realitas. Dalam pengertian yang luas,
filsafat bahasa mengkaji bagaimana bahasa membentuk pemikiran manusia dan
bagaimana makna terbentuk dalam proses komunikasi.1 Filsuf Michael
Devitt dan Kim Sterelny mendefinisikan filsafat bahasa sebagai “penyelidikan
filosofis terhadap hakikat bahasa dan hubungannya dengan pengguna bahasa dan
dunia.”_2
Kajian filsafat bahasa berbeda dari studi
linguistik biasa. Jika linguistik lebih menitikberatkan pada aspek empiris dan
struktural dari bahasa (seperti fonologi, morfologi, sintaksis), filsafat
bahasa lebih tertarik pada pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa itu
makna? Bagaimana kata-kata merujuk pada benda-benda di dunia? Apa
hubungan antara bahasa dan pikiran?_3
2.1.
Definisi Filsafat Bahasa Menurut
Para Tokoh
·
Gottlob Frege, sebagai
pelopor filsafat bahasa modern, membedakan antara makna (Sinn) dan
referensi (Bedeutung) dalam kata atau kalimat. Bagi Frege, kata memiliki
makna yang menunjukkan konsep dan referensi yang merujuk pada objek dunia
nyata.4
·
Ludwig Wittgenstein, dalam
karya awalnya Tractatus Logico-Philosophicus, memandang bahasa sebagai
representasi logis dari dunia. Namun dalam karya selanjutnya Philosophical
Investigations, ia berubah pandangan dengan menekankan bahwa makna suatu
kata ditentukan oleh penggunaannya dalam konteks sosial atau praktik
kebahasaan.5
·
John Searle menyatakan
bahwa filsafat bahasa berfokus pada analisis logis terhadap bahasa alami,
terutama dalam menjelaskan tindakan tuturan dan intensionalitas.6
2.2.
Objek dan Ruang Lingkup Filsafat
Bahasa
Secara garis besar, ruang lingkup filsafat bahasa
meliputi tiga area utama:
1)
Masalah Makna (Meaning)
Kajian
tentang bagaimana kata-kata, kalimat, dan wacana memiliki makna. Ini mencakup
teori makna sebagai referensi, makna sebagai ide, makna sebagai penggunaan, dan
makna dalam konteks pragmatik.
2)
Masalah Rujukan (Reference)
Pertanyaan
filosofis tentang bagaimana bahasa mengacu kepada dunia luar. Apakah kata-kata
benar-benar mewakili sesuatu di luar pikiran manusia? Tokoh seperti Bertrand
Russell dan Saul Kripke berkontribusi besar dalam topik ini.
3)
Hubungan Bahasa dengan Pikiran dan Realitas
Filsafat
bahasa juga menyelidiki bagaimana bahasa berkaitan dengan pikiran manusia dan
dunia objektif. Apakah bahasa mencerminkan pikiran, atau justru membentuknya?
Pertanyaan ini mengarah pada hubungan antara filsafat bahasa dan filsafat
pikiran.7
Selain tiga fokus utama tersebut, ruang lingkup
filsafat bahasa juga meluas ke wilayah-wilayah seperti logika simbolik,
semantik formal, semiotika, hermeneutika, dan kritik wacana. Dalam konteks ini,
filsafat bahasa tidak hanya menjadi alat analisis konseptual, tetapi juga
jembatan antar-disipliner antara filsafat dan ilmu sosial, linguistik, bahkan
politik dan teologi.
Footnotes
[1]
William G. Lycan, Philosophy of Language: A
Contemporary Introduction, 2nd ed. (New York: Routledge, 2008), 1.
[2]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and
Reality: An Introduction to the Philosophy of Language, 2nd ed. (Cambridge,
MA: MIT Press, 1999), 1.
[3]
Peter Ludlow, Philosophy of Language: The Big
Questions (Oxford: Blackwell Publishers, 1997), xiv–xv.
[4]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations
from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max
Black (Oxford: Basil Blackwell, 1960), 56–78.
[5]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[6]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–18.
[7]
Stephen Yablo, “The Real Trouble with Logical
Positivism,” in The Future for Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 148.
3.
Sejarah
Perkembangan Filsafat Bahasa
Perkembangan filsafat bahasa memiliki akar yang
sangat tua dalam sejarah pemikiran manusia, bahkan sejak zaman Yunani Kuno.
Sepanjang sejarah filsafat, perhatian terhadap bahasa berkembang seiring dengan
perubahan paradigma filosofis dalam memahami kenyataan, pengetahuan, dan
pikiran. Secara garis besar, perkembangan filsafat bahasa dapat
diklasifikasikan ke dalam empat periode utama: klasik, abad pertengahan,
modern, dan kontemporer.
3.1.
Periode Klasik: Yunani Kuno
Minat terhadap persoalan bahasa telah muncul sejak
era filsuf pra-Sokratik. Namun, perhatian yang lebih sistematis baru tampak
dalam karya Plato dan Aristoteles. Dalam Cratylus, Plato
mengajukan pertanyaan penting: apakah hubungan antara kata dan objek
bersifat alami (intrinsik) atau konvensional?1 Dialog ini
mencerminkan kesadaran awal tentang permasalahan makna dan penamaan dalam
bahasa.
Aristoteles, melalui De Interpretatione, berkontribusi besar dengan
menjelaskan struktur logis bahasa dan relasinya dengan pikiran serta realitas.
Ia membedakan antara simbol linguistik, pikiran, dan benda nyata sebagai tiga
tingkat representasi.2 Gagasannya ini menjadi dasar bagi logika
tradisional dan analisis semantik di kemudian hari.
3.2.
Abad Pertengahan: Logika dan Bahasa
dalam Teologi
Pada masa skolastik, para filsuf seperti Thomas
Aquinas, William of Ockham, dan John Duns Scotus
mengembangkan pendekatan logis terhadap bahasa sebagai instrumen untuk memahami
dan menjelaskan doktrin keagamaan.3 Mereka memperdebatkan apakah
istilah-istilah dalam bahasa menunjukkan realitas objektif (realisme) atau hanya
sekadar nama (nominalisme).
Konsep supposition theory, yaitu teori
tentang bagaimana istilah dalam kalimat memiliki referensi tertentu, menjadi
inti dari analisis logika bahasa di masa ini.4 Meskipun sering kali
bersifat teologis, diskursus ini tetap memberi kontribusi terhadap pemikiran
semantik dan teori rujukan.
3.3.
Periode Modern: Empirisme dan
Rasionalisme
Dengan bangkitnya filsafat modern, perhatian
terhadap bahasa tetap menjadi bagian penting dalam diskursus epistemologis. John
Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding, mengkritik
penyalahgunaan bahasa sebagai penyebab kekacauan pemikiran. Ia memandang
kata-kata sebagai tanda ide dalam pikiran manusia, bukan penanda objek
eksternal secara langsung.5
Sementara itu, Gottfried Wilhelm Leibniz
membayangkan kemungkinan adanya characteristica universalis, sebuah
bahasa simbolik universal yang dapat menggantikan bahasa alami untuk berpikir
dan berdiskusi secara lebih akurat.6 Gagasan ini menjadi cikal bakal
dari logika simbolik modern dan pengaruh awal bagi filsafat analitik.
3.4.
Periode Kontemporer: Linguistic Turn
dan Filsafat Analitik
Abad ke-20 menandai perubahan besar dalam arah
filsafat bahasa. Perkembangan ini dikenal sebagai “linguistic turn”,
yaitu pergeseran fokus filsafat dari persoalan kesadaran dan eksistensi ke
persoalan bahasa sebagai medium utama dalam menyusun dan memahami realitas.7
Gottlob Frege memulai era ini dengan membedakan antara sense (makna) dan reference
(rujukan), yang menjadi fondasi bagi semantik modern.8 Bertrand
Russell melanjutkannya dengan theory of descriptions untuk menjawab
masalah rujukan dalam kalimat.9 Ludwig Wittgenstein, dalam
dua fase pemikirannya, menawarkan pendekatan berbeda: awalnya melihat bahasa
sebagai cermin dunia (representasional), kemudian sebagai praktik sosial
(penggunaan).10
Di Amerika, pemikiran Willard Van Orman Quine,
Donald Davidson, dan Noam Chomsky memperluas kajian filsafat
bahasa ke dalam perdebatan tentang struktur gramatikal, relativitas bahasa, dan
teori interpretasi.11
3.5.
Arus Strukturalisme dan
Post-strukturalisme
Sementara tradisi analitik berkembang di dunia
Anglo-Amerika, Eropa daratan mengalami gelombang strukturalisme dan
post-strukturalisme yang membawa dampak besar terhadap pemahaman bahasa. Ferdinand
de Saussure menekankan bahwa hubungan antara penanda (signifier) dan
petanda (signified) bersifat arbitrer, dan makna hanya dapat dipahami melalui
sistem oposisi dalam struktur bahasa.12
Pemikiran ini dikembangkan lebih lanjut oleh Jacques
Derrida yang mengkritik anggapan adanya makna tetap dalam teks. Dengan
konsep différance, ia menunjukkan bahwa makna selalu tertunda dan
bergantung pada jaringan tak terbatas dari tanda-tanda lain.13
Perspektif ini menggugat stabilitas makna dalam filsafat bahasa klasik dan
membuka jalan bagi pendekatan dekonstruktif dalam analisis bahasa.
Footnotes
[1]
Plato, Cratylus, trans. Benjamin Jowett, in The
Dialogues of Plato, vol. 1 (New York: Random House, 1937), 421c–440e.
[2]
Aristotle, On Interpretation, trans. E.M.
Edghill, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York:
Random House, 1941), 40–56.
[3]
Norman Kretzmann, The Cambridge History of Later
Medieval Philosophy, ed. Norman Kretzmann et al. (Cambridge: Cambridge
University Press, 1982), 215–230.
[4]
Terence Parsons, Articulating Medieval Logic
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 67–95.
[5]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975),
III.ii.1–2.
[6]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Philosophical Papers
and Letters, ed. Leroy E. Loemker (Dordrecht: Reidel, 1969), 221–223.
[7]
Richard Rorty, The Linguistic Turn: Recent
Essays in Philosophical Method (Chicago: University of Chicago Press,
1967), 3.
[8]
Frege, “On Sense and Reference,” in Translations
from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max
Black (Oxford: Blackwell, 1960), 56–78.
[9]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922); Philosophical
Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§1–25.
[11]
W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge,
MA: MIT Press, 1960); Donald Davidson, Inquiries into Truth and
Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1984); Noam Chomsky, Aspects
of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965).
[12]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin
(New York: Philosophical Library, 1959), 65–70.
[13]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
61–73.
4.
Isu-Isu
Sentral dalam Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa sebagai cabang filsafat tidak hanya
mempelajari bahasa secara umum, tetapi juga menelaah berbagai persoalan
mendasar dan kompleks mengenai makna, rujukan, penggunaan
bahasa, serta hubungan antara bahasa, pikiran, dan kenyataan.
Isu-isu sentral ini menjadi fondasi diskusi filosofis sejak awal abad ke-20 dan
membentuk dasar pemikiran dalam banyak tradisi filsafat modern dan kontemporer.
4.1.
Masalah Makna (Meaning)
Pertanyaan mengenai apa itu “makna”
merupakan persoalan paling sentral dalam filsafat bahasa. Apakah makna adalah
sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, ataukah makna muncul melalui
penggunaan kata dalam konteks tertentu?
Gottlob Frege membedakan antara Sinn (sense/makna) dan Bedeutung
(reference/rujukan), yaitu bahwa ekspresi linguistik memiliki makna (sense)
yang menunjukkan bagaimana rujukannya dipahami oleh pikiran, dan rujukan
(reference) yang menunjuk langsung ke objek di dunia nyata.¹ Misalnya, “Bintang
Kejora” dan “Planet Venus” memiliki referensi yang sama tetapi makna
yang berbeda.²
Sementara itu, dalam karyanya yang lebih matang, Ludwig
Wittgenstein menyatakan bahwa “makna adalah penggunaan dalam bahasa”
(“meaning is use”)—artinya suatu kata memperoleh makna dari cara
penggunaannya dalam praktik kebahasaan sehari-hari, bukan dari referensinya
terhadap objek tertentu.³ Perspektif ini menjadi dasar bagi filsafat bahasa
biasa (ordinary language philosophy).
4.2.
Masalah Rujukan (Reference)
Masalah rujukan menyangkut pertanyaan tentang
bagaimana kata-kata, terutama nama dan deskripsi, dapat menunjuk atau merujuk
pada entitas di dunia. Filsuf seperti Bertrand Russell dan Saul
Kripke memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika rujukan.
Dalam esainya yang terkenal On Denoting,
Russell memperkenalkan teori deskripsi (theory of descriptions), yang
menyatakan bahwa nama-nama yang tampaknya sederhana seperti “Raja Prancis”
harus dianalisis secara logis agar tidak menyebabkan kebingungan makna jika
objek tersebut tidak eksis.⁴
Saul Kripke, melalui kuliah-kuliahnya yang dibukukan dalam Naming and Necessity,
mengkritik pendekatan deskriptif dan menawarkan teori kausal rujukan, di
mana nama menunjuk objek melalui rantai historis penggunaan yang diturunkan
dari penamaan awal.⁵ Pandangan ini lebih menekankan konteks historis dan sosial
daripada sifat deskriptif internal suatu nama.
4.3.
Tindakan Tuturan (Speech Acts)
Bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan
informasi, tetapi juga untuk melakukan tindakan. Inilah yang dikenal sebagai teori
tindakan tutur (speech act theory), yang pertama kali diperkenalkan
oleh J.L. Austin dan kemudian dikembangkan oleh John Searle.
Austin membedakan tiga jenis tindakan yang
dilakukan saat seseorang berbicara:
·
Locutionary act: tindakan
mengucapkan sesuatu.
·
Illocutionary act: maksud
yang ingin disampaikan (misalnya: memerintah, bertanya, menjanjikan).
·
Perlocutionary act: efek yang
ditimbulkan pada pendengar.⁶
Searle mengembangkan teori ini dengan
mengkategorikan jenis-jenis tindakan tutur, seperti asertif, direktif, komisif,
ekspresif, dan deklaratif.⁷ Dengan demikian, filsafat bahasa tidak hanya
membahas makna dan referensi, tetapi juga dimensi pragmatik dari penggunaan
bahasa.
4.4.
Bahasa dan Pikiran
Pertanyaan klasik dalam filsafat: Apakah bahasa
mencerminkan pikiran atau justru membentuk pikiran? Kajian tentang hubungan
antara bahasa dan pikiran menjadi jembatan antara filsafat bahasa dan filsafat
pikiran.
Noam Chomsky berpendapat bahwa manusia memiliki struktur mental bawaan yang
memungkinkan mereka untuk memahami dan menghasilkan bahasa, yang disebutnya
sebagai kompetensi linguistik.⁸ Ini mendukung ide bahwa bahasa berakar
pada struktur kognitif dan biologis manusia.
Sebaliknya, teori relativitas linguistik
yang dikemukakan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf
menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara seseorang berpikir dan
memahami realitas.⁹ Dengan kata lain, pikiran manusia dibentuk oleh sistem
linguistik yang digunakan dalam budaya mereka.
4.5.
Bahasa dan Realitas
Filsafat bahasa juga membahas bagaimana bahasa
berhubungan dengan kenyataan. Dalam Tractatus Logico-Philosophicus, Wittgenstein
menyatakan bahwa “dunia adalah totalitas fakta, bukan benda”, dan bahasa
berfungsi sebagai gambaran logis dari fakta-fakta itu.¹⁰ Ini dikenal sebagai teori
gambar (picture theory), yang menyamakan struktur kalimat dengan struktur
realitas.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, para filsuf
post-strukturalis seperti Jacques Derrida menolak gagasan bahwa bahasa
dapat merepresentasikan realitas secara objektif. Dengan konsep différance,
Derrida menunjukkan bahwa makna selalu tertunda, tak pernah hadir sepenuhnya,
dan bergantung pada jaringan perbedaan antar-tanda.¹¹
Footnotes
[1]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations
from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max
Black (Oxford: Blackwell, 1960), 56–78.
[2]
Ibid., 60–61.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[4]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[5]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 91–102.
[6]
J.L. Austin, How to Do Things with Words,
ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–107.
[7]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
22–25.
[8]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax
(Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–4.
[9]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and
Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge,
MA: MIT Press, 1956), 212–214.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922),
§§1.1–2.1.
[11]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
61–73.
5.
Tokoh-Tokoh
Penting dalam Filsafat Bahasa
Perkembangan filsafat bahasa tidak lepas dari
kontribusi tokoh-tokoh besar yang pemikirannya membentuk fondasi dan arah
diskursus filosofis seputar bahasa, makna, dan komunikasi. Tokoh-tokoh ini
berasal dari berbagai tradisi filsafat, seperti filsafat analitik, linguistik
struktural, dan post-strukturalisme. Berikut adalah beberapa pemikir utama yang
memberikan kontribusi signifikan dalam bidang filsafat bahasa.
5.1.
Gottlob Frege (1848–1925)
Frege dianggap sebagai bapak filsafat bahasa
modern, terutama karena kontribusinya dalam membedakan antara makna (Sinn)
dan rujukan (Bedeutung). Dalam esainya Über Sinn und Bedeutung (On
Sense and Reference), Frege menjelaskan bahwa sebuah ekspresi linguistik
memiliki dua aspek: makna yang menunjukkan bagaimana rujukan dipahami, dan
rujukan itu sendiri sebagai objek di dunia nyata.¹ Pemikiran ini membuka jalan
bagi perkembangan semantik formal dalam filsafat analitik.
Selain itu, Frege juga dikenal sebagai pelopor
logika simbolik modern, dan gagasan-gagasannya sangat memengaruhi pemikiran
Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein.²
5.2.
Bertrand Russell (1872–1970)
Russell mengembangkan teori deskripsi (theory
of descriptions) yang menjadi salah satu pilar utama dalam kajian tentang
referensi dan makna. Dalam esainya “On Denoting”, ia menguraikan bagaimana
pernyataan seperti “Raja Prancis yang sekarang botak” dapat dianalisis
secara logis, bahkan jika subjeknya tidak memiliki referensi nyata.³ Teori ini
membantu menjawab masalah referensi dalam kalimat yang mengandung nama-nama
kosong (empty names).
Russell juga berperan penting dalam menggabungkan
logika matematika dengan filsafat bahasa dan mengembangkan filsafat analitik
bersama Alfred North Whitehead dan Frege.⁴
5.3.
Ludwig Wittgenstein (1889–1951)
Wittgenstein memiliki dua fase pemikiran utama yang
sangat berpengaruh dalam filsafat bahasa:
1)
Fase awal (Tractatus
Logico-Philosophicus)
Ia memandang
bahwa bahasa mencerminkan struktur logis dari dunia. Setiap proposisi dalam
bahasa menggambarkan suatu fakta dalam realitas.⁵
2)
Fase akhir (Philosophical
Investigations)
Ia beralih
dari pendekatan representasional ke pendekatan pragmatis, menyatakan bahwa makna
adalah penggunaan (“meaning is use”) dalam konteks kehidupan
sehari-hari.⁶ Wittgenstein memperkenalkan konsep language games
(permainan bahasa) untuk menunjukkan keragaman cara bahasa digunakan dalam
kehidupan sosial.
Kedua karyanya menjadi fondasi bagi dua arah besar
dalam filsafat bahasa: semantik logis dan filsafat bahasa biasa.
5.4.
J.L. Austin (1911–1960)
Austin adalah pelopor dalam teori tindak tutur
(speech act theory), yang memperluas cakupan filsafat bahasa ke dimensi
pragmatik. Dalam bukunya How to Do Things with Words, ia menunjukkan bahwa
ucapan tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan tindakan
(seperti berjanji, memerintah, atau menikahkan).⁷
Austin membagi tindak tutur menjadi tiga: locutionary
act (tindakan mengucapkan), illocutionary act (tindakan yang
dimaksudkan), dan perlocutionary act (dampak terhadap pendengar).⁸
Gagasan ini membuka jalan bagi kajian pragmatik dan komunikasi efektif.
5.5.
John Searle (1932–)
Sebagai murid dan penerus pemikiran Austin, Searle
menyempurnakan teori tindakan tutur dengan sistematisasi kategori tindak tutur
dan mengembangkan konsep intensionalitas dalam bahasa dan pikiran.⁹ Ia
membagi tindak tutur ke dalam lima jenis: asertif, direktif, komisif,
ekspresif, dan deklaratif.¹⁰
Dalam karya Speech Acts dan Intentionality,
Searle mengaitkan filsafat bahasa dengan filsafat pikiran, dengan menekankan
bahwa setiap ujaran mengandung niat atau maksud mental yang dapat dianalisis
secara rasional.¹¹
5.6.
Noam Chomsky (1928–)
Meskipun lebih dikenal sebagai linguis, Chomsky
memberikan kontribusi besar terhadap filsafat bahasa melalui teori tata
bahasa transformasional-generatif. Ia memperkenalkan gagasan bahwa manusia
memiliki struktur kognitif bawaan yang memungkinkan pemerolehan bahasa,
yang disebutnya kompetensi linguistik.¹²
Chomsky membedakan antara competence
(kemampuan internal berbahasa) dan performance (penggunaan aktual dalam
konteks tertentu), dan menolak pendekatan behavioristik dalam linguistik.¹³
Gagasannya tidak hanya berpengaruh dalam linguistik, tetapi juga dalam filsafat
pikiran dan kognisi.
Footnotes
[1]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations
from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max
Black (Oxford: Blackwell, 1960), 56–78.
[2]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1973), 1–5.
[3]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[4]
Bertrand Russell and Alfred North Whitehead, Principia
Mathematica, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), Preface.
[5]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922), §§1–2.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[7]
J.L. Austin, How to Do Things with Words,
ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–107.
[8]
Ibid., 98–103.
[9]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 3–4.
[10]
Ibid., 22–23.
[11]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–25.
[12]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax
(Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–9.
[13]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New
York: Pantheon Books, 1975), 50–52.
6.
Kontribusi
Filsafat Bahasa dalam Ilmu dan Kehidupan
Filsafat bahasa tidak hanya penting dalam lingkup
akademis atau teori-teori filosofis, tetapi juga memberikan kontribusi nyata
terhadap berbagai bidang ilmu dan aspek kehidupan praktis. Dengan menelaah
hakikat bahasa, makna, serta proses komunikasi, filsafat bahasa menawarkan
landasan konseptual yang kuat untuk memahami dan memecahkan berbagai persoalan
dalam ilmu pengetahuan, hukum, pendidikan, politik, hingga teologi.
Gagasan-gagasannya menjadi titik temu antara disiplin ilmu eksakta dan
humaniora.
6.1.
Dalam Ilmu Linguistik dan Semantik
Filsafat bahasa memberikan dasar epistemologis bagi
ilmu linguistik modern, khususnya dalam pengembangan teori semantik formal
dan pragmatik. Pemikiran Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Rudolf
Carnap mengenai struktur logis bahasa telah membantu membangun kerangka kerja
bagi semantik—cabang linguistik yang mempelajari makna dalam bahasa.¹
Sementara itu, filsuf seperti J.L. Austin dan John
Searle memperkenalkan teori tindak tutur, yang menjadi fondasi kajian pragmatik
dalam linguistik, yakni studi tentang bagaimana konteks mempengaruhi makna dan
fungsi ujaran.² Filsafat bahasa juga memperluas pemahaman tentang aspek
implikatur, presuposisi, dan ambiguitas dalam komunikasi sehari-hari.
6.2.
Dalam Filsafat Analitik dan Logika
Kontribusi paling signifikan dari filsafat bahasa
terlihat dalam filsafat analitik, terutama pada abad ke-20. Filosof
seperti Frege, Russell, dan Wittgenstein meyakini bahwa banyak persoalan
filsafat dapat diselesaikan melalui analisis bahasa, karena kebingungan
konseptual sering kali disebabkan oleh penyalahgunaan bahasa.³
Pendekatan ini melahirkan tradisi linguistic
turn, di mana bahasa dijadikan pusat perhatian dalam filsafat, menggantikan
metafisika tradisional.⁴ Filsafat bahasa juga memperkuat pengembangan logika
simbolik yang digunakan dalam ilmu komputer, matematika, dan kecerdasan buatan.
6.3.
Dalam Ilmu Komunikasi dan Semiologi
Filsafat bahasa memperkaya teori komunikasi dengan
memaparkan bagaimana makna terbentuk melalui struktur linguistik dan interaksi
sosial. Ferdinand de Saussure, misalnya, dengan teori signifier dan signified,
menunjukkan bahwa makna tidak bersifat tetap, melainkan muncul dari relasi
antar-tanda dalam sistem bahasa.⁵
Pemikiran ini diadopsi dan dikembangkan dalam teori
semiotika oleh Roland Barthes dan Umberto Eco, yang menjadi dasar bagi
analisis media, budaya populer, dan komunikasi massa.⁶ Filsafat bahasa juga
mendorong kesadaran kritis terhadap bahasa dalam membentuk ideologi dan
representasi sosial.
6.4.
Dalam Hukum dan Etika
Dalam filsafat hukum, filsafat bahasa digunakan
untuk menafsirkan makna teks undang-undang dan kontrak hukum. Teori-teori
makna, referensi, dan penggunaan kontekstual sangat relevan dalam hermeneutika
hukum, di mana interpretasi hukum tidak hanya bergantung pada teks, tetapi
juga pada niat pembuat hukum dan konteks sosial.⁷
Dalam etika dan filsafat moral, filsafat bahasa
digunakan untuk memahami makna moralitas, tanggung jawab, dan janji (komisif),
sebagaimana dijelaskan dalam teori tindakan tutur.⁸ Ini menunjukkan bahwa etika
tidak hanya terkait dengan perbuatan, tetapi juga dengan kata-kata yang
mengandung nilai normatif dan tanggung jawab sosial.
6.5.
Dalam Pendidikan dan Kognisi
Filsafat bahasa juga memiliki dampak penting dalam
dunia pendidikan, terutama dalam bidang filsafat pendidikan dan pengembangan
kemampuan berbahasa. Konsep tentang makna sebagai penggunaan mendorong
pendekatan pembelajaran bahasa yang kontekstual dan komunikatif.⁹
Selain itu, teori Noam Chomsky tentang tata bahasa
universal memengaruhi pendekatan pengajaran bahasa kedua (second language
acquisition) serta penelitian tentang kemampuan kognitif manusia dalam
memperoleh bahasa sejak usia dini.¹⁰
6.6.
Dalam Teologi dan Hermeneutika Teks
Keagamaan
Dalam bidang teologi, terutama dalam studi kitab
suci, filsafat bahasa membantu menjelaskan bagaimana makna teks-teks keagamaan
dapat ditafsirkan secara kontekstual dan historis. Hermeneutika modern, seperti
yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur, menekankan
pentingnya interpretasi bahasa dalam pengalaman keagamaan.¹¹
Hal ini sangat relevan dalam tradisi keislaman, di
mana pemahaman terhadap al-Qur’an dan Hadis sangat bergantung pada
analisis bahasa Arab secara semantik dan sintaktik, serta pada konteks
sosial-budaya saat wahyu diturunkan.¹² Dengan demikian, filsafat bahasa menjadi
alat penting dalam menjembatani teks suci dan realitas kontemporer.
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, Meaning and Necessity: A Study in
Semantics and Modal Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1947),
9–11.
[2]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
22–25.
[3]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 14–18.
[4]
Richard Rorty, The Linguistic Turn: Recent
Essays in Philosophical Method (Chicago: University of Chicago Press,
1967), 3.
[5]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin
(New York: Philosophical Library, 1959), 65–70.
[6]
Umberto Eco, A Theory of Semiotics
(Bloomington: Indiana University Press, 1976), 7–9.
[7]
H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed.
(Oxford: Oxford University Press, 1994), 124–126.
[8]
J.L. Austin, How to Do Things with Words,
ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 121–130.
[9]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–43.
[10]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New
York: Pantheon Books, 1975), 56–58.
[11]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383–385.
[12]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 5–6.
7.
Kritik
dan Tantangan terhadap Filsafat Bahasa
Meskipun filsafat bahasa telah memberikan
kontribusi besar dalam pengembangan pemikiran modern, bidang ini tidak lepas
dari kritik dan tantangan yang datang dari berbagai arah, baik dari dalam
tradisi filsafat itu sendiri maupun dari pendekatan filosofis alternatif.
Kritik tersebut mencakup aspek metodologis, epistemologis, hingga keterbatasan
cakupan dalam memahami kompleksitas bahasa dalam kehidupan manusia.
7.1.
Kritik dari Filsafat Kontinental:
Kekakuan Analisis Logis
Salah satu kritik utama datang dari tradisi filsafat
kontinental, khususnya para pemikir hermeneutik dan eksistensialis,
yang menilai bahwa filsafat bahasa ala analitik terlalu kaku dan
reduksionistik. Filsuf seperti Martin Heidegger dan Hans-Georg
Gadamer berargumen bahwa bahasa bukan hanya sarana representasi logis,
melainkan medan eksistensial di mana makna dan pemahaman muncul melalui
pengalaman historis dan dialogis.¹
Heidegger menegaskan bahwa bahasa adalah “rumah
bagi Ada” (die Sprache ist das Haus des Seins), dan oleh karena itu,
tidak dapat direduksi menjadi sekadar sistem tanda atau proposisi.² Bagi
Gadamer, pendekatan filsafat bahasa analitik gagal menangkap dimensi ontologis
dan historis dari bahasa yang nyata dalam kehidupan manusia.³
7.2.
Kritik Post-strukturalis:
Ketidakstabilan Makna
Dari perspektif post-strukturalisme,
terutama dalam pemikiran Jacques Derrida, filsafat bahasa dikritik
karena berupaya mencari makna yang stabil dan objektif dalam bahasa, sementara
kenyataannya makna selalu tertunda (différance) dan ditentukan secara
kontekstual.⁴
Derrida menunjukkan bahwa setiap upaya untuk
menambatkan makna pada satu titik tetap (seperti dalam pendekatan Frege atau
Wittgenstein awal) akan selalu gagal karena bahasa bersifat terbuka, cair, dan
bergantung pada relasi antar-tanda.⁵ Konsep deconstruction yang
diperkenalkannya menjadi tantangan besar bagi filsafat bahasa yang berlandaskan
pada logika dan struktur.
7.3.
Tantangan dari Perspektif Pragmatis:
Fungsi Sosial dan Politik Bahasa
Pendekatan pragmatis dalam filsafat, seperti
yang diusung oleh Richard Rorty, menyatakan bahwa filsafat bahasa
terlalu berfokus pada struktur internal bahasa dan mengabaikan aspek sosial,
politik, dan historis dalam praktik berbahasa.⁶ Rorty mengusulkan agar kita
meninggalkan pencarian makna absolut dalam bahasa dan beralih ke pemahaman
bahasa sebagai alat sosial untuk menciptakan solidaritas dan memperluas
percakapan antar-komunitas.⁷
Menurutnya, filsafat bahasa cenderung terjebak
dalam semantik yang ahistoris, dan gagal memahami bahasa sebagai bagian dari
tindakan manusia yang kompleks dan berakar pada realitas sosial.
7.4.
Problematika Bahasa Non-Verbal dan
Multimodalitas
Tantangan lain datang dari kesadaran bahwa bahasa
bukan satu-satunya bentuk komunikasi manusia. Dalam era media digital dan
visual, komunikasi tidak lagi hanya berbasis teks atau ujaran verbal, tetapi
mencakup simbol, gambar, gestur, dan elemen multimodal lainnya.⁸
Filsafat bahasa klasik kurang memberi perhatian
pada cara makna dibentuk dalam konteks komunikasi non-verbal dan media. Hal ini
menimbulkan pertanyaan: apakah teori-teori klasik tentang makna, rujukan, dan
tindakan tutur masih relevan dalam konteks media sosial, komunikasi visual,
atau kecerdasan buatan?
7.5.
Keterbatasan dalam Mengakses Bahasa
Batin dan Emosi
Sebagian filsuf dan ilmuwan kognitif juga
mengkritik keterbatasan filsafat bahasa dalam menjelaskan aspek intrapersonal,
seperti bahasa batin (inner speech) dan ekspresi emosi. Bahasa
batin sering kali tidak mengikuti struktur linguistik formal dan lebih bersifat
intuitif atau fragmentaris.⁹
Menurut Antonio Damasio dan Daniel
Dennett, kesadaran dan pikiran tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi
representasi linguistik.¹⁰ Dengan kata lain, filsafat bahasa perlu membuka diri
pada kolaborasi dengan ilmu kognitif dan neurosains untuk memahami kompleksitas
hubungan antara bahasa, emosi, dan kesadaran.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 384–387.
[2]
Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought,
trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193.
[3]
Ibid., 201–203.
[4]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
23–26.
[5]
Ibid., 61–73.
[6]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 48–50.
[7]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 377.
[8]
Gunther Kress and Theo van Leeuwen, Reading
Images: The Grammar of Visual Design (London: Routledge, 2006), 2–5.
[9]
Peter Carruthers, The Voices of Our Thoughts:
Self-Knowledge with and without Inner Speech (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 89–91.
[10]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens:
Body and Emotion in the Making of Consciousness (San Diego: Harcourt,
1999), 145–149; Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston:
Little, Brown, 1991), 196–198.
8.
Kesimpulan
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang
filsafat yang paling dinamis dan multidisipliner, karena menyentuh aspek paling
mendasar dari kehidupan manusia: kemampuan untuk berbahasa, membentuk makna,
dan berkomunikasi. Sejak masa Plato dan Aristoteles hingga pemikir
kontemporer seperti Wittgenstein, Chomsky, dan Derrida, perdebatan tentang
hakikat bahasa terus berkembang seiring dengan transformasi paradigma dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan.¹
Sebagaimana telah diuraikan, filsafat bahasa tidak
hanya membahas struktur formal atau logika kalimat, melainkan juga menyelidiki
hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Konsep-konsep sentral seperti makna,
rujukan, penggunaan bahasa, dan tindakan tutur telah
membantu menjelaskan bagaimana manusia memahami dan membentuk dunia melalui
bahasa.² Dalam konteks ini, pemikiran Frege tentang sense and reference,
teori deskripsi Russell, serta teori tindakan tutur dari Austin dan Searle
menunjukkan betapa luas dan dalamnya dimensi filosofis dari aktivitas
berbahasa.³
Filsafat bahasa juga memberikan kontribusi
signifikan terhadap berbagai bidang ilmu, mulai dari linguistik, logika,
komunikasi, hukum, pendidikan, hingga teologi. Pemikiran semantik dan pragmatik
memperkaya teori linguistik modern; teori tindakan tutur membantu menganalisis
dinamika komunikasi sosial; dan pendekatan hermeneutika membuka ruang baru
dalam penafsiran teks suci dan karya sastra.⁴
Namun demikian, filsafat bahasa juga menghadapi
sejumlah kritik dan tantangan. Dari perspektif kontinental, ia dikritik karena
terlalu logis dan mengabaikan dimensi historis-eksistensial bahasa.⁵
Post-strukturalisme menyoroti ketidakstabilan makna dan menolak pendekatan yang
mencari kebenaran tunggal dalam bahasa.⁶ Selain itu, perkembangan komunikasi
digital dan visual menuntut perluasan cakupan filsafat bahasa agar mencakup
bentuk-bentuk komunikasi non-verbal dan multimodal.⁷
Ke depan, filsafat bahasa perlu terus membuka diri
terhadap interaksi dengan bidang-bidang lain seperti neurosains, psikologi
kognitif, dan studi budaya, agar tetap relevan dalam menjawab tantangan
zaman. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Rorty, tugas filsafat bukan lagi
mencari fondasi absolut bagi bahasa dan pikiran, melainkan memfasilitasi
percakapan lintas-disiplin yang memperluas pemahaman kita tentang manusia
dan dunia.⁸
Dengan demikian, filsafat bahasa bukan hanya alat
teoritis untuk menganalisis kata dan kalimat, tetapi juga sarana refleksi untuk
memahami eksistensi manusia dalam dunia yang dipenuhi makna dan penafsiran.
Footnotes
[1]
Michael Dummett, Origins of Analytical
Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 1–3.
[2]
William G. Lycan, Philosophy of Language: A
Contemporary Introduction, 2nd ed. (New York: Routledge, 2008), 1–4.
[3]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations
from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max
Black (Oxford: Blackwell, 1960), 56–78; Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind
14, no. 56 (1905): 479–493; J.L. Austin, How to Do Things with Words,
ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–107.
[4]
Umberto Eco, A Theory of Semiotics
(Bloomington: Indiana University Press, 1976), 5–8; Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London:
Continuum, 2004), 383–385.
[5]
Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought,
trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193.
[6]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
61–73.
[7]
Gunther Kress and Theo van Leeuwen, Multimodal
Discourse: The Modes and Media of Contemporary Communication (London:
Arnold, 2001), 1–3.
[8]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 377.
Daftar Pustaka
Austin, J. L. (1962). How to do things with
words (J. O. Urmson & M. Sbisà, Eds.). Oxford University Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Gollancz.
Carruthers, P. (2011). The voices of our
thoughts: Self-knowledge with and without inner speech. Oxford University
Press.
Carnap, R. (1947). Meaning and necessity: A
study in semantics and modal logic. University of Chicago Press.
Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of
syntax. MIT Press.
Chomsky, N. (1975). Reflections on language.
Pantheon Books.
Damasio, A. (1999). The feeling of what happens:
Body and emotion in the making of consciousness. Harcourt.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Dummett, M. (1973). Frege: Philosophy of
language. Duckworth.
Dummett, M. (1993). Origins of analytical
philosophy. Harvard University Press.
Eco, U. (1976). A theory of semiotics.
Indiana University Press.
Frege, G. (1960). On sense and reference (P. Geach
& M. Black, Eds. & Trans.), In Translations from the philosophical
writings of Gottlob Frege (pp. 56–78). Blackwell.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Heidegger, M. (1971). Poetry, language, thought
(A. Hofstadter, Trans.). Harper & Row.
Kress, G., & van Leeuwen, T. (2001). Multimodal
discourse: The modes and media of contemporary communication. Arnold.
Kress, G., & van Leeuwen, T. (2006). Reading
images: The grammar of visual design (2nd ed.). Routledge.
Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity.
Harvard University Press.
Leibniz, G. W. (1969). Philosophical papers and
letters (L. E. Loemker, Ed.). Reidel.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work
published 1690)
Lycan, W. G. (2008). Philosophy of language: A
contemporary introduction (2nd ed.). Routledge.
Parsons, T. (2014). Articulating medieval logic.
Oxford University Press.
Plato. (1937). Cratylus (B. Jowett, Trans.),
In The dialogues of Plato (Vol. 1). Random House.
Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT
Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Rorty, R. (1967). The linguistic turn: Recent
essays in philosophical method. University of Chicago Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity.
Cambridge University Press.
Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56),
479–493.
Russell, B., & Whitehead, A. N. (1910). Principia
mathematica (Vol. 1). Cambridge University Press.
Saussure, F. de. (1959). Course in general
linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; W. Baskin, Trans.).
Philosophical Library.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay
in the philosophy of mind. Cambridge University Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and
reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf (J. B. Carroll, Ed.). MIT
Press.
Yablo, S. (2004). The real trouble with logical
positivism. In B. Leiter (Ed.), The future for philosophy (pp. 133–148).
Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar