Jumat, 08 November 2024

Filsafat Bahasa: Kajian Konseptual, Sejarah, dan Perkembangannya dalam Pemikiran Modern

Filsafat Bahasa

Kajian Konseptual, Sejarah, dan Perkembangannya dalam Pemikiran Modern


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif cabang filsafat yang dikenal sebagai filsafat bahasa, yang menelaah hakikat, fungsi, dan struktur bahasa serta hubungannya dengan pikiran dan realitas. Dimulai dari definisi dan ruang lingkupnya, artikel ini menelusuri perkembangan historis filsafat bahasa dari masa klasik Yunani hingga era kontemporer, termasuk pengaruh besar dari tokoh-tokoh seperti Frege, Russell, Wittgenstein, Austin, Searle, dan Chomsky. Selain itu, artikel ini mengulas isu-isu sentral seperti makna, rujukan, tindakan tutur, dan kaitan bahasa dengan pikiran serta kenyataan. Ditekankan pula kontribusi filsafat bahasa terhadap berbagai disiplin ilmu seperti linguistik, komunikasi, hukum, pendidikan, dan teologi. Di sisi lain, disoroti pula berbagai kritik dan tantangan terhadap pendekatan filsafat bahasa, baik dari tradisi kontinental, post-strukturalisme, hingga era komunikasi multimodal. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat bahasa tidak hanya penting secara teoritis, tetapi juga relevan dalam memahami dinamika makna, komunikasi, dan interpretasi dalam kehidupan manusia modern.

Kata Kunci: Filsafat bahasa, makna, rujukan, tindakan tutur, linguistik filosofis, pemikiran kontemporer, komunikasi, hermeneutika, Wittgenstein, Frege.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Bahasa Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Bahasa merupakan salah satu ciri utama yang membedakan manusia dari makhluk lain. Melalui bahasa, manusia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk pikiran, membangun makna, serta menciptakan dan memelihara struktur sosial dan budaya. Filsuf Prancis Michel Foucault bahkan menyatakan bahwa bahasa tidak sekadar alat komunikasi, melainkan medium kekuasaan dan pembentuk realitas sosial itu sendiri.¹ Kesadaran akan peran penting bahasa ini telah melahirkan cabang filsafat yang dikenal sebagai filsafat bahasa (philosophy of language), yang secara mendalam mempelajari hakikat, fungsi, dan struktur bahasa serta hubungannya dengan pikiran dan kenyataan.

Filsafat bahasa tidak hanya relevan bagi para filsuf, tetapi juga bagi ahli linguistik, semiotik, antropologi, bahkan teologi. Hal ini karena banyak persoalan mendasar dalam berbagai disiplin ilmu berkaitan erat dengan bagaimana bahasa digunakan dan dipahami. Misalnya, dalam teologi Islam dan Kristen, interpretasi teks suci sangat tergantung pada pemahaman terhadap bahasa dan konteksnya.²

Dalam sejarahnya, filsafat bahasa telah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama sejak abad ke-20 dengan munculnya filsafat analitik di dunia Barat. Tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein membawa pendekatan baru yang lebih sistematis dalam menganalisis makna dan struktur bahasa.³ Pendekatan ini dikenal sebagai “linguistic turn”, yaitu pergeseran fokus filsafat dari kajian metafisika tradisional menuju analisis bahasa sebagai alat untuk memahami dunia.⁴

Di sisi lain, pendekatan strukturalisme dan post-strukturalisme yang berkembang di Eropa, seperti yang ditawarkan oleh Ferdinand de Saussure dan Jacques Derrida, menekankan bahwa bahasa tidak memiliki makna tetap dan objektif, melainkan bersifat relasional dan kontekstual.⁵ Perspektif ini membuka ruang bagi interpretasi yang lebih luas terhadap teks dan makna, yang kemudian memengaruhi banyak bidang seperti sastra, kritik budaya, dan studi gender.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji filsafat bahasa secara konseptual, historis, dan filosofis. Pembahasan akan dimulai dari definisi dan ruang lingkup filsafat bahasa, menelusuri perkembangan historisnya dari masa klasik hingga kontemporer, membahas isu-isu sentral yang menjadi fokus kajian, serta melihat kontribusinya dalam berbagai bidang ilmu dan pemikiran. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca memperoleh pemahaman menyeluruh tentang pentingnya filsafat bahasa dalam menelaah berbagai aspek kehidupan manusia, baik dalam tataran teoritis maupun praktis.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 49.

[2]                Khaled Abou El Fadl, Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld, 2001), 35.

[3]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (London: Duckworth, 1973), 4–6.

[4]                Richard Rorty, The Linguistic Turn: Recent Essays in Philosophical Method (Chicago: University of Chicago Press, 1967), 3.

[5]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), 65–70.


2.           Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang filsafat yang secara khusus mempelajari sifat dasar bahasa, struktur, fungsi, serta hubungannya dengan pikiran dan realitas. Dalam pengertian yang luas, filsafat bahasa mengkaji bagaimana bahasa membentuk pemikiran manusia dan bagaimana makna terbentuk dalam proses komunikasi.1 Filsuf Michael Devitt dan Kim Sterelny mendefinisikan filsafat bahasa sebagai “penyelidikan filosofis terhadap hakikat bahasa dan hubungannya dengan pengguna bahasa dan dunia.”_2

Kajian filsafat bahasa berbeda dari studi linguistik biasa. Jika linguistik lebih menitikberatkan pada aspek empiris dan struktural dari bahasa (seperti fonologi, morfologi, sintaksis), filsafat bahasa lebih tertarik pada pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa itu makna? Bagaimana kata-kata merujuk pada benda-benda di dunia? Apa hubungan antara bahasa dan pikiran?_3

2.1.       Definisi Filsafat Bahasa Menurut Para Tokoh

·                     Gottlob Frege, sebagai pelopor filsafat bahasa modern, membedakan antara makna (Sinn) dan referensi (Bedeutung) dalam kata atau kalimat. Bagi Frege, kata memiliki makna yang menunjukkan konsep dan referensi yang merujuk pada objek dunia nyata.4

·                     Ludwig Wittgenstein, dalam karya awalnya Tractatus Logico-Philosophicus, memandang bahasa sebagai representasi logis dari dunia. Namun dalam karya selanjutnya Philosophical Investigations, ia berubah pandangan dengan menekankan bahwa makna suatu kata ditentukan oleh penggunaannya dalam konteks sosial atau praktik kebahasaan.5

·                     John Searle menyatakan bahwa filsafat bahasa berfokus pada analisis logis terhadap bahasa alami, terutama dalam menjelaskan tindakan tuturan dan intensionalitas.6

2.2.       Objek dan Ruang Lingkup Filsafat Bahasa

Secara garis besar, ruang lingkup filsafat bahasa meliputi tiga area utama:

1)                  Masalah Makna (Meaning)

Kajian tentang bagaimana kata-kata, kalimat, dan wacana memiliki makna. Ini mencakup teori makna sebagai referensi, makna sebagai ide, makna sebagai penggunaan, dan makna dalam konteks pragmatik.

2)                  Masalah Rujukan (Reference)

Pertanyaan filosofis tentang bagaimana bahasa mengacu kepada dunia luar. Apakah kata-kata benar-benar mewakili sesuatu di luar pikiran manusia? Tokoh seperti Bertrand Russell dan Saul Kripke berkontribusi besar dalam topik ini.

3)                  Hubungan Bahasa dengan Pikiran dan Realitas

Filsafat bahasa juga menyelidiki bagaimana bahasa berkaitan dengan pikiran manusia dan dunia objektif. Apakah bahasa mencerminkan pikiran, atau justru membentuknya? Pertanyaan ini mengarah pada hubungan antara filsafat bahasa dan filsafat pikiran.7

Selain tiga fokus utama tersebut, ruang lingkup filsafat bahasa juga meluas ke wilayah-wilayah seperti logika simbolik, semantik formal, semiotika, hermeneutika, dan kritik wacana. Dalam konteks ini, filsafat bahasa tidak hanya menjadi alat analisis konseptual, tetapi juga jembatan antar-disipliner antara filsafat dan ilmu sosial, linguistik, bahkan politik dan teologi.


Footnotes

[1]                William G. Lycan, Philosophy of Language: A Contemporary Introduction, 2nd ed. (New York: Routledge, 2008), 1.

[2]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language, 2nd ed. (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 1.

[3]                Peter Ludlow, Philosophy of Language: The Big Questions (Oxford: Blackwell Publishers, 1997), xiv–xv.

[4]                Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Basil Blackwell, 1960), 56–78.

[5]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[6]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–18.

[7]                Stephen Yablo, “The Real Trouble with Logical Positivism,” in The Future for Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press, 2004), 148.


3.           Sejarah Perkembangan Filsafat Bahasa

Perkembangan filsafat bahasa memiliki akar yang sangat tua dalam sejarah pemikiran manusia, bahkan sejak zaman Yunani Kuno. Sepanjang sejarah filsafat, perhatian terhadap bahasa berkembang seiring dengan perubahan paradigma filosofis dalam memahami kenyataan, pengetahuan, dan pikiran. Secara garis besar, perkembangan filsafat bahasa dapat diklasifikasikan ke dalam empat periode utama: klasik, abad pertengahan, modern, dan kontemporer.


3.1.       Periode Klasik: Yunani Kuno

Minat terhadap persoalan bahasa telah muncul sejak era filsuf pra-Sokratik. Namun, perhatian yang lebih sistematis baru tampak dalam karya Plato dan Aristoteles. Dalam Cratylus, Plato mengajukan pertanyaan penting: apakah hubungan antara kata dan objek bersifat alami (intrinsik) atau konvensional?1 Dialog ini mencerminkan kesadaran awal tentang permasalahan makna dan penamaan dalam bahasa.

Aristoteles, melalui De Interpretatione, berkontribusi besar dengan menjelaskan struktur logis bahasa dan relasinya dengan pikiran serta realitas. Ia membedakan antara simbol linguistik, pikiran, dan benda nyata sebagai tiga tingkat representasi.2 Gagasannya ini menjadi dasar bagi logika tradisional dan analisis semantik di kemudian hari.

3.2.       Abad Pertengahan: Logika dan Bahasa dalam Teologi

Pada masa skolastik, para filsuf seperti Thomas Aquinas, William of Ockham, dan John Duns Scotus mengembangkan pendekatan logis terhadap bahasa sebagai instrumen untuk memahami dan menjelaskan doktrin keagamaan.3 Mereka memperdebatkan apakah istilah-istilah dalam bahasa menunjukkan realitas objektif (realisme) atau hanya sekadar nama (nominalisme).

Konsep supposition theory, yaitu teori tentang bagaimana istilah dalam kalimat memiliki referensi tertentu, menjadi inti dari analisis logika bahasa di masa ini.4 Meskipun sering kali bersifat teologis, diskursus ini tetap memberi kontribusi terhadap pemikiran semantik dan teori rujukan.

3.3.       Periode Modern: Empirisme dan Rasionalisme

Dengan bangkitnya filsafat modern, perhatian terhadap bahasa tetap menjadi bagian penting dalam diskursus epistemologis. John Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding, mengkritik penyalahgunaan bahasa sebagai penyebab kekacauan pemikiran. Ia memandang kata-kata sebagai tanda ide dalam pikiran manusia, bukan penanda objek eksternal secara langsung.5

Sementara itu, Gottfried Wilhelm Leibniz membayangkan kemungkinan adanya characteristica universalis, sebuah bahasa simbolik universal yang dapat menggantikan bahasa alami untuk berpikir dan berdiskusi secara lebih akurat.6 Gagasan ini menjadi cikal bakal dari logika simbolik modern dan pengaruh awal bagi filsafat analitik.

3.4.       Periode Kontemporer: Linguistic Turn dan Filsafat Analitik

Abad ke-20 menandai perubahan besar dalam arah filsafat bahasa. Perkembangan ini dikenal sebagai “linguistic turn”, yaitu pergeseran fokus filsafat dari persoalan kesadaran dan eksistensi ke persoalan bahasa sebagai medium utama dalam menyusun dan memahami realitas.7

Gottlob Frege memulai era ini dengan membedakan antara sense (makna) dan reference (rujukan), yang menjadi fondasi bagi semantik modern.8 Bertrand Russell melanjutkannya dengan theory of descriptions untuk menjawab masalah rujukan dalam kalimat.9 Ludwig Wittgenstein, dalam dua fase pemikirannya, menawarkan pendekatan berbeda: awalnya melihat bahasa sebagai cermin dunia (representasional), kemudian sebagai praktik sosial (penggunaan).10

Di Amerika, pemikiran Willard Van Orman Quine, Donald Davidson, dan Noam Chomsky memperluas kajian filsafat bahasa ke dalam perdebatan tentang struktur gramatikal, relativitas bahasa, dan teori interpretasi.11

3.5.       Arus Strukturalisme dan Post-strukturalisme

Sementara tradisi analitik berkembang di dunia Anglo-Amerika, Eropa daratan mengalami gelombang strukturalisme dan post-strukturalisme yang membawa dampak besar terhadap pemahaman bahasa. Ferdinand de Saussure menekankan bahwa hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) bersifat arbitrer, dan makna hanya dapat dipahami melalui sistem oposisi dalam struktur bahasa.12

Pemikiran ini dikembangkan lebih lanjut oleh Jacques Derrida yang mengkritik anggapan adanya makna tetap dalam teks. Dengan konsep différance, ia menunjukkan bahwa makna selalu tertunda dan bergantung pada jaringan tak terbatas dari tanda-tanda lain.13 Perspektif ini menggugat stabilitas makna dalam filsafat bahasa klasik dan membuka jalan bagi pendekatan dekonstruktif dalam analisis bahasa.


Footnotes

[1]                Plato, Cratylus, trans. Benjamin Jowett, in The Dialogues of Plato, vol. 1 (New York: Random House, 1937), 421c–440e.

[2]                Aristotle, On Interpretation, trans. E.M. Edghill, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 40–56.

[3]                Norman Kretzmann, The Cambridge History of Later Medieval Philosophy, ed. Norman Kretzmann et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 215–230.

[4]                Terence Parsons, Articulating Medieval Logic (Oxford: Oxford University Press, 2014), 67–95.

[5]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), III.ii.1–2.

[6]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Philosophical Papers and Letters, ed. Leroy E. Loemker (Dordrecht: Reidel, 1969), 221–223.

[7]                Richard Rorty, The Linguistic Turn: Recent Essays in Philosophical Method (Chicago: University of Chicago Press, 1967), 3.

[8]                Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell, 1960), 56–78.

[9]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[10]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922); Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§1–25.

[11]             W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960); Donald Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1984); Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965).

[12]             Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), 65–70.

[13]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–73.


4.           Isu-Isu Sentral dalam Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa sebagai cabang filsafat tidak hanya mempelajari bahasa secara umum, tetapi juga menelaah berbagai persoalan mendasar dan kompleks mengenai makna, rujukan, penggunaan bahasa, serta hubungan antara bahasa, pikiran, dan kenyataan. Isu-isu sentral ini menjadi fondasi diskusi filosofis sejak awal abad ke-20 dan membentuk dasar pemikiran dalam banyak tradisi filsafat modern dan kontemporer.

4.1.       Masalah Makna (Meaning)

Pertanyaan mengenai apa itu “makna” merupakan persoalan paling sentral dalam filsafat bahasa. Apakah makna adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, ataukah makna muncul melalui penggunaan kata dalam konteks tertentu?

Gottlob Frege membedakan antara Sinn (sense/makna) dan Bedeutung (reference/rujukan), yaitu bahwa ekspresi linguistik memiliki makna (sense) yang menunjukkan bagaimana rujukannya dipahami oleh pikiran, dan rujukan (reference) yang menunjuk langsung ke objek di dunia nyata.¹ Misalnya, “Bintang Kejora” dan “Planet Venus” memiliki referensi yang sama tetapi makna yang berbeda.²

Sementara itu, dalam karyanya yang lebih matang, Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwa “makna adalah penggunaan dalam bahasa” (“meaning is use”)—artinya suatu kata memperoleh makna dari cara penggunaannya dalam praktik kebahasaan sehari-hari, bukan dari referensinya terhadap objek tertentu.³ Perspektif ini menjadi dasar bagi filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).

4.2.       Masalah Rujukan (Reference)

Masalah rujukan menyangkut pertanyaan tentang bagaimana kata-kata, terutama nama dan deskripsi, dapat menunjuk atau merujuk pada entitas di dunia. Filsuf seperti Bertrand Russell dan Saul Kripke memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika rujukan.

Dalam esainya yang terkenal On Denoting, Russell memperkenalkan teori deskripsi (theory of descriptions), yang menyatakan bahwa nama-nama yang tampaknya sederhana seperti “Raja Prancis” harus dianalisis secara logis agar tidak menyebabkan kebingungan makna jika objek tersebut tidak eksis.⁴

Saul Kripke, melalui kuliah-kuliahnya yang dibukukan dalam Naming and Necessity, mengkritik pendekatan deskriptif dan menawarkan teori kausal rujukan, di mana nama menunjuk objek melalui rantai historis penggunaan yang diturunkan dari penamaan awal.⁵ Pandangan ini lebih menekankan konteks historis dan sosial daripada sifat deskriptif internal suatu nama.

4.3.       Tindakan Tuturan (Speech Acts)

Bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk melakukan tindakan. Inilah yang dikenal sebagai teori tindakan tutur (speech act theory), yang pertama kali diperkenalkan oleh J.L. Austin dan kemudian dikembangkan oleh John Searle.

Austin membedakan tiga jenis tindakan yang dilakukan saat seseorang berbicara:

·                     Locutionary act: tindakan mengucapkan sesuatu.

·                     Illocutionary act: maksud yang ingin disampaikan (misalnya: memerintah, bertanya, menjanjikan).

·                     Perlocutionary act: efek yang ditimbulkan pada pendengar.⁶

Searle mengembangkan teori ini dengan mengkategorikan jenis-jenis tindakan tutur, seperti asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.⁷ Dengan demikian, filsafat bahasa tidak hanya membahas makna dan referensi, tetapi juga dimensi pragmatik dari penggunaan bahasa.

4.4.       Bahasa dan Pikiran

Pertanyaan klasik dalam filsafat: Apakah bahasa mencerminkan pikiran atau justru membentuk pikiran? Kajian tentang hubungan antara bahasa dan pikiran menjadi jembatan antara filsafat bahasa dan filsafat pikiran.

Noam Chomsky berpendapat bahwa manusia memiliki struktur mental bawaan yang memungkinkan mereka untuk memahami dan menghasilkan bahasa, yang disebutnya sebagai kompetensi linguistik.⁸ Ini mendukung ide bahwa bahasa berakar pada struktur kognitif dan biologis manusia.

Sebaliknya, teori relativitas linguistik yang dikemukakan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara seseorang berpikir dan memahami realitas.⁹ Dengan kata lain, pikiran manusia dibentuk oleh sistem linguistik yang digunakan dalam budaya mereka.

4.5.       Bahasa dan Realitas

Filsafat bahasa juga membahas bagaimana bahasa berhubungan dengan kenyataan. Dalam Tractatus Logico-Philosophicus, Wittgenstein menyatakan bahwa “dunia adalah totalitas fakta, bukan benda”, dan bahasa berfungsi sebagai gambaran logis dari fakta-fakta itu.¹⁰ Ini dikenal sebagai teori gambar (picture theory), yang menyamakan struktur kalimat dengan struktur realitas.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, para filsuf post-strukturalis seperti Jacques Derrida menolak gagasan bahwa bahasa dapat merepresentasikan realitas secara objektif. Dengan konsep différance, Derrida menunjukkan bahwa makna selalu tertunda, tak pernah hadir sepenuhnya, dan bergantung pada jaringan perbedaan antar-tanda.¹¹


Footnotes

[1]                Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell, 1960), 56–78.

[2]                Ibid., 60–61.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[4]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[5]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 91–102.

[6]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–107.

[7]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–25.

[8]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–4.

[9]                Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 212–214.

[10]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922), §§1.1–2.1.

[11]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–73.


5.           Tokoh-Tokoh Penting dalam Filsafat Bahasa

Perkembangan filsafat bahasa tidak lepas dari kontribusi tokoh-tokoh besar yang pemikirannya membentuk fondasi dan arah diskursus filosofis seputar bahasa, makna, dan komunikasi. Tokoh-tokoh ini berasal dari berbagai tradisi filsafat, seperti filsafat analitik, linguistik struktural, dan post-strukturalisme. Berikut adalah beberapa pemikir utama yang memberikan kontribusi signifikan dalam bidang filsafat bahasa.

5.1.       Gottlob Frege (1848–1925)

Frege dianggap sebagai bapak filsafat bahasa modern, terutama karena kontribusinya dalam membedakan antara makna (Sinn) dan rujukan (Bedeutung). Dalam esainya Über Sinn und Bedeutung (On Sense and Reference), Frege menjelaskan bahwa sebuah ekspresi linguistik memiliki dua aspek: makna yang menunjukkan bagaimana rujukan dipahami, dan rujukan itu sendiri sebagai objek di dunia nyata.¹ Pemikiran ini membuka jalan bagi perkembangan semantik formal dalam filsafat analitik.

Selain itu, Frege juga dikenal sebagai pelopor logika simbolik modern, dan gagasan-gagasannya sangat memengaruhi pemikiran Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein.²

5.2.       Bertrand Russell (1872–1970)

Russell mengembangkan teori deskripsi (theory of descriptions) yang menjadi salah satu pilar utama dalam kajian tentang referensi dan makna. Dalam esainya “On Denoting”, ia menguraikan bagaimana pernyataan seperti “Raja Prancis yang sekarang botak” dapat dianalisis secara logis, bahkan jika subjeknya tidak memiliki referensi nyata.³ Teori ini membantu menjawab masalah referensi dalam kalimat yang mengandung nama-nama kosong (empty names).

Russell juga berperan penting dalam menggabungkan logika matematika dengan filsafat bahasa dan mengembangkan filsafat analitik bersama Alfred North Whitehead dan Frege.⁴

5.3.       Ludwig Wittgenstein (1889–1951)

Wittgenstein memiliki dua fase pemikiran utama yang sangat berpengaruh dalam filsafat bahasa:

1)                  Fase awal (Tractatus Logico-Philosophicus)

Ia memandang bahwa bahasa mencerminkan struktur logis dari dunia. Setiap proposisi dalam bahasa menggambarkan suatu fakta dalam realitas.⁵

2)                  Fase akhir (Philosophical Investigations)

Ia beralih dari pendekatan representasional ke pendekatan pragmatis, menyatakan bahwa makna adalah penggunaan (“meaning is use”) dalam konteks kehidupan sehari-hari.⁶ Wittgenstein memperkenalkan konsep language games (permainan bahasa) untuk menunjukkan keragaman cara bahasa digunakan dalam kehidupan sosial.

Kedua karyanya menjadi fondasi bagi dua arah besar dalam filsafat bahasa: semantik logis dan filsafat bahasa biasa.

5.4.       J.L. Austin (1911–1960)

Austin adalah pelopor dalam teori tindak tutur (speech act theory), yang memperluas cakupan filsafat bahasa ke dimensi pragmatik. Dalam bukunya How to Do Things with Words, ia menunjukkan bahwa ucapan tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan tindakan (seperti berjanji, memerintah, atau menikahkan).⁷

Austin membagi tindak tutur menjadi tiga: locutionary act (tindakan mengucapkan), illocutionary act (tindakan yang dimaksudkan), dan perlocutionary act (dampak terhadap pendengar).⁸ Gagasan ini membuka jalan bagi kajian pragmatik dan komunikasi efektif.

5.5.       John Searle (1932–)

Sebagai murid dan penerus pemikiran Austin, Searle menyempurnakan teori tindakan tutur dengan sistematisasi kategori tindak tutur dan mengembangkan konsep intensionalitas dalam bahasa dan pikiran.⁹ Ia membagi tindak tutur ke dalam lima jenis: asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.¹⁰

Dalam karya Speech Acts dan Intentionality, Searle mengaitkan filsafat bahasa dengan filsafat pikiran, dengan menekankan bahwa setiap ujaran mengandung niat atau maksud mental yang dapat dianalisis secara rasional.¹¹

5.6.       Noam Chomsky (1928–)

Meskipun lebih dikenal sebagai linguis, Chomsky memberikan kontribusi besar terhadap filsafat bahasa melalui teori tata bahasa transformasional-generatif. Ia memperkenalkan gagasan bahwa manusia memiliki struktur kognitif bawaan yang memungkinkan pemerolehan bahasa, yang disebutnya kompetensi linguistik.¹²

Chomsky membedakan antara competence (kemampuan internal berbahasa) dan performance (penggunaan aktual dalam konteks tertentu), dan menolak pendekatan behavioristik dalam linguistik.¹³ Gagasannya tidak hanya berpengaruh dalam linguistik, tetapi juga dalam filsafat pikiran dan kognisi.


Footnotes

[1]                Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell, 1960), 56–78.

[2]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (London: Duckworth, 1973), 1–5.

[3]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[4]                Bertrand Russell and Alfred North Whitehead, Principia Mathematica, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), Preface.

[5]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922), §§1–2.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[7]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–107.

[8]                Ibid., 98–103.

[9]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 3–4.

[10]             Ibid., 22–23.

[11]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–25.

[12]             Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–9.

[13]             Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 50–52.


6.           Kontribusi Filsafat Bahasa dalam Ilmu dan Kehidupan

Filsafat bahasa tidak hanya penting dalam lingkup akademis atau teori-teori filosofis, tetapi juga memberikan kontribusi nyata terhadap berbagai bidang ilmu dan aspek kehidupan praktis. Dengan menelaah hakikat bahasa, makna, serta proses komunikasi, filsafat bahasa menawarkan landasan konseptual yang kuat untuk memahami dan memecahkan berbagai persoalan dalam ilmu pengetahuan, hukum, pendidikan, politik, hingga teologi. Gagasan-gagasannya menjadi titik temu antara disiplin ilmu eksakta dan humaniora.

6.1.       Dalam Ilmu Linguistik dan Semantik

Filsafat bahasa memberikan dasar epistemologis bagi ilmu linguistik modern, khususnya dalam pengembangan teori semantik formal dan pragmatik. Pemikiran Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Rudolf Carnap mengenai struktur logis bahasa telah membantu membangun kerangka kerja bagi semantik—cabang linguistik yang mempelajari makna dalam bahasa.¹

Sementara itu, filsuf seperti J.L. Austin dan John Searle memperkenalkan teori tindak tutur, yang menjadi fondasi kajian pragmatik dalam linguistik, yakni studi tentang bagaimana konteks mempengaruhi makna dan fungsi ujaran.² Filsafat bahasa juga memperluas pemahaman tentang aspek implikatur, presuposisi, dan ambiguitas dalam komunikasi sehari-hari.

6.2.       Dalam Filsafat Analitik dan Logika

Kontribusi paling signifikan dari filsafat bahasa terlihat dalam filsafat analitik, terutama pada abad ke-20. Filosof seperti Frege, Russell, dan Wittgenstein meyakini bahwa banyak persoalan filsafat dapat diselesaikan melalui analisis bahasa, karena kebingungan konseptual sering kali disebabkan oleh penyalahgunaan bahasa.³

Pendekatan ini melahirkan tradisi linguistic turn, di mana bahasa dijadikan pusat perhatian dalam filsafat, menggantikan metafisika tradisional.⁴ Filsafat bahasa juga memperkuat pengembangan logika simbolik yang digunakan dalam ilmu komputer, matematika, dan kecerdasan buatan.

6.3.       Dalam Ilmu Komunikasi dan Semiologi

Filsafat bahasa memperkaya teori komunikasi dengan memaparkan bagaimana makna terbentuk melalui struktur linguistik dan interaksi sosial. Ferdinand de Saussure, misalnya, dengan teori signifier dan signified, menunjukkan bahwa makna tidak bersifat tetap, melainkan muncul dari relasi antar-tanda dalam sistem bahasa.⁵

Pemikiran ini diadopsi dan dikembangkan dalam teori semiotika oleh Roland Barthes dan Umberto Eco, yang menjadi dasar bagi analisis media, budaya populer, dan komunikasi massa.⁶ Filsafat bahasa juga mendorong kesadaran kritis terhadap bahasa dalam membentuk ideologi dan representasi sosial.

6.4.       Dalam Hukum dan Etika

Dalam filsafat hukum, filsafat bahasa digunakan untuk menafsirkan makna teks undang-undang dan kontrak hukum. Teori-teori makna, referensi, dan penggunaan kontekstual sangat relevan dalam hermeneutika hukum, di mana interpretasi hukum tidak hanya bergantung pada teks, tetapi juga pada niat pembuat hukum dan konteks sosial.⁷

Dalam etika dan filsafat moral, filsafat bahasa digunakan untuk memahami makna moralitas, tanggung jawab, dan janji (komisif), sebagaimana dijelaskan dalam teori tindakan tutur.⁸ Ini menunjukkan bahwa etika tidak hanya terkait dengan perbuatan, tetapi juga dengan kata-kata yang mengandung nilai normatif dan tanggung jawab sosial.

6.5.       Dalam Pendidikan dan Kognisi

Filsafat bahasa juga memiliki dampak penting dalam dunia pendidikan, terutama dalam bidang filsafat pendidikan dan pengembangan kemampuan berbahasa. Konsep tentang makna sebagai penggunaan mendorong pendekatan pembelajaran bahasa yang kontekstual dan komunikatif.⁹

Selain itu, teori Noam Chomsky tentang tata bahasa universal memengaruhi pendekatan pengajaran bahasa kedua (second language acquisition) serta penelitian tentang kemampuan kognitif manusia dalam memperoleh bahasa sejak usia dini.¹⁰

6.6.       Dalam Teologi dan Hermeneutika Teks Keagamaan

Dalam bidang teologi, terutama dalam studi kitab suci, filsafat bahasa membantu menjelaskan bagaimana makna teks-teks keagamaan dapat ditafsirkan secara kontekstual dan historis. Hermeneutika modern, seperti yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur, menekankan pentingnya interpretasi bahasa dalam pengalaman keagamaan.¹¹

Hal ini sangat relevan dalam tradisi keislaman, di mana pemahaman terhadap al-Qur’an dan Hadis sangat bergantung pada analisis bahasa Arab secara semantik dan sintaktik, serta pada konteks sosial-budaya saat wahyu diturunkan.¹² Dengan demikian, filsafat bahasa menjadi alat penting dalam menjembatani teks suci dan realitas kontemporer.


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, Meaning and Necessity: A Study in Semantics and Modal Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1947), 9–11.

[2]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–25.

[3]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 14–18.

[4]                Richard Rorty, The Linguistic Turn: Recent Essays in Philosophical Method (Chicago: University of Chicago Press, 1967), 3.

[5]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), 65–70.

[6]                Umberto Eco, A Theory of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1976), 7–9.

[7]                H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1994), 124–126.

[8]                J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 121–130.

[9]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–43.

[10]             Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 56–58.

[11]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383–385.

[12]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–6.


7.           Kritik dan Tantangan terhadap Filsafat Bahasa

Meskipun filsafat bahasa telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pemikiran modern, bidang ini tidak lepas dari kritik dan tantangan yang datang dari berbagai arah, baik dari dalam tradisi filsafat itu sendiri maupun dari pendekatan filosofis alternatif. Kritik tersebut mencakup aspek metodologis, epistemologis, hingga keterbatasan cakupan dalam memahami kompleksitas bahasa dalam kehidupan manusia.

7.1.       Kritik dari Filsafat Kontinental: Kekakuan Analisis Logis

Salah satu kritik utama datang dari tradisi filsafat kontinental, khususnya para pemikir hermeneutik dan eksistensialis, yang menilai bahwa filsafat bahasa ala analitik terlalu kaku dan reduksionistik. Filsuf seperti Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer berargumen bahwa bahasa bukan hanya sarana representasi logis, melainkan medan eksistensial di mana makna dan pemahaman muncul melalui pengalaman historis dan dialogis.¹

Heidegger menegaskan bahwa bahasa adalah “rumah bagi Ada” (die Sprache ist das Haus des Seins), dan oleh karena itu, tidak dapat direduksi menjadi sekadar sistem tanda atau proposisi.² Bagi Gadamer, pendekatan filsafat bahasa analitik gagal menangkap dimensi ontologis dan historis dari bahasa yang nyata dalam kehidupan manusia.³

7.2.       Kritik Post-strukturalis: Ketidakstabilan Makna

Dari perspektif post-strukturalisme, terutama dalam pemikiran Jacques Derrida, filsafat bahasa dikritik karena berupaya mencari makna yang stabil dan objektif dalam bahasa, sementara kenyataannya makna selalu tertunda (différance) dan ditentukan secara kontekstual.⁴

Derrida menunjukkan bahwa setiap upaya untuk menambatkan makna pada satu titik tetap (seperti dalam pendekatan Frege atau Wittgenstein awal) akan selalu gagal karena bahasa bersifat terbuka, cair, dan bergantung pada relasi antar-tanda.⁵ Konsep deconstruction yang diperkenalkannya menjadi tantangan besar bagi filsafat bahasa yang berlandaskan pada logika dan struktur.

7.3.       Tantangan dari Perspektif Pragmatis: Fungsi Sosial dan Politik Bahasa

Pendekatan pragmatis dalam filsafat, seperti yang diusung oleh Richard Rorty, menyatakan bahwa filsafat bahasa terlalu berfokus pada struktur internal bahasa dan mengabaikan aspek sosial, politik, dan historis dalam praktik berbahasa.⁶ Rorty mengusulkan agar kita meninggalkan pencarian makna absolut dalam bahasa dan beralih ke pemahaman bahasa sebagai alat sosial untuk menciptakan solidaritas dan memperluas percakapan antar-komunitas.⁷

Menurutnya, filsafat bahasa cenderung terjebak dalam semantik yang ahistoris, dan gagal memahami bahasa sebagai bagian dari tindakan manusia yang kompleks dan berakar pada realitas sosial.

7.4.       Problematika Bahasa Non-Verbal dan Multimodalitas

Tantangan lain datang dari kesadaran bahwa bahasa bukan satu-satunya bentuk komunikasi manusia. Dalam era media digital dan visual, komunikasi tidak lagi hanya berbasis teks atau ujaran verbal, tetapi mencakup simbol, gambar, gestur, dan elemen multimodal lainnya.⁸

Filsafat bahasa klasik kurang memberi perhatian pada cara makna dibentuk dalam konteks komunikasi non-verbal dan media. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah teori-teori klasik tentang makna, rujukan, dan tindakan tutur masih relevan dalam konteks media sosial, komunikasi visual, atau kecerdasan buatan?

7.5.       Keterbatasan dalam Mengakses Bahasa Batin dan Emosi

Sebagian filsuf dan ilmuwan kognitif juga mengkritik keterbatasan filsafat bahasa dalam menjelaskan aspek intrapersonal, seperti bahasa batin (inner speech) dan ekspresi emosi. Bahasa batin sering kali tidak mengikuti struktur linguistik formal dan lebih bersifat intuitif atau fragmentaris.⁹

Menurut Antonio Damasio dan Daniel Dennett, kesadaran dan pikiran tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi representasi linguistik.¹⁰ Dengan kata lain, filsafat bahasa perlu membuka diri pada kolaborasi dengan ilmu kognitif dan neurosains untuk memahami kompleksitas hubungan antara bahasa, emosi, dan kesadaran.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 384–387.

[2]                Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193.

[3]                Ibid., 201–203.

[4]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23–26.

[5]                Ibid., 61–73.

[6]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 48–50.

[7]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 377.

[8]                Gunther Kress and Theo van Leeuwen, Reading Images: The Grammar of Visual Design (London: Routledge, 2006), 2–5.

[9]                Peter Carruthers, The Voices of Our Thoughts: Self-Knowledge with and without Inner Speech (Oxford: Oxford University Press, 2011), 89–91.

[10]             Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (San Diego: Harcourt, 1999), 145–149; Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 196–198.


8.           Kesimpulan

Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang filsafat yang paling dinamis dan multidisipliner, karena menyentuh aspek paling mendasar dari kehidupan manusia: kemampuan untuk berbahasa, membentuk makna, dan berkomunikasi. Sejak masa Plato dan Aristoteles hingga pemikir kontemporer seperti Wittgenstein, Chomsky, dan Derrida, perdebatan tentang hakikat bahasa terus berkembang seiring dengan transformasi paradigma dalam filsafat dan ilmu pengetahuan.¹

Sebagaimana telah diuraikan, filsafat bahasa tidak hanya membahas struktur formal atau logika kalimat, melainkan juga menyelidiki hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Konsep-konsep sentral seperti makna, rujukan, penggunaan bahasa, dan tindakan tutur telah membantu menjelaskan bagaimana manusia memahami dan membentuk dunia melalui bahasa.² Dalam konteks ini, pemikiran Frege tentang sense and reference, teori deskripsi Russell, serta teori tindakan tutur dari Austin dan Searle menunjukkan betapa luas dan dalamnya dimensi filosofis dari aktivitas berbahasa.³

Filsafat bahasa juga memberikan kontribusi signifikan terhadap berbagai bidang ilmu, mulai dari linguistik, logika, komunikasi, hukum, pendidikan, hingga teologi. Pemikiran semantik dan pragmatik memperkaya teori linguistik modern; teori tindakan tutur membantu menganalisis dinamika komunikasi sosial; dan pendekatan hermeneutika membuka ruang baru dalam penafsiran teks suci dan karya sastra.⁴

Namun demikian, filsafat bahasa juga menghadapi sejumlah kritik dan tantangan. Dari perspektif kontinental, ia dikritik karena terlalu logis dan mengabaikan dimensi historis-eksistensial bahasa.⁵ Post-strukturalisme menyoroti ketidakstabilan makna dan menolak pendekatan yang mencari kebenaran tunggal dalam bahasa.⁶ Selain itu, perkembangan komunikasi digital dan visual menuntut perluasan cakupan filsafat bahasa agar mencakup bentuk-bentuk komunikasi non-verbal dan multimodal.⁷

Ke depan, filsafat bahasa perlu terus membuka diri terhadap interaksi dengan bidang-bidang lain seperti neurosains, psikologi kognitif, dan studi budaya, agar tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Rorty, tugas filsafat bukan lagi mencari fondasi absolut bagi bahasa dan pikiran, melainkan memfasilitasi percakapan lintas-disiplin yang memperluas pemahaman kita tentang manusia dan dunia.⁸

Dengan demikian, filsafat bahasa bukan hanya alat teoritis untuk menganalisis kata dan kalimat, tetapi juga sarana refleksi untuk memahami eksistensi manusia dalam dunia yang dipenuhi makna dan penafsiran.


Footnotes

[1]                Michael Dummett, Origins of Analytical Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 1–3.

[2]                William G. Lycan, Philosophy of Language: A Contemporary Introduction, 2nd ed. (New York: Routledge, 2008), 1–4.

[3]                Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell, 1960), 56–78; Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493; J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–107.

[4]                Umberto Eco, A Theory of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1976), 5–8; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383–385.

[5]                Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought, trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 193.

[6]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–73.

[7]                Gunther Kress and Theo van Leeuwen, Multimodal Discourse: The Modes and Media of Contemporary Communication (London: Arnold, 2001), 1–3.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 377.


Daftar Pustaka

Austin, J. L. (1962). How to do things with words (J. O. Urmson & M. Sbisà, Eds.). Oxford University Press.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Gollancz.

Carruthers, P. (2011). The voices of our thoughts: Self-knowledge with and without inner speech. Oxford University Press.

Carnap, R. (1947). Meaning and necessity: A study in semantics and modal logic. University of Chicago Press.

Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of syntax. MIT Press.

Chomsky, N. (1975). Reflections on language. Pantheon Books.

Damasio, A. (1999). The feeling of what happens: Body and emotion in the making of consciousness. Harcourt.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dummett, M. (1973). Frege: Philosophy of language. Duckworth.

Dummett, M. (1993). Origins of analytical philosophy. Harvard University Press.

Eco, U. (1976). A theory of semiotics. Indiana University Press.

Frege, G. (1960). On sense and reference (P. Geach & M. Black, Eds. & Trans.), In Translations from the philosophical writings of Gottlob Frege (pp. 56–78). Blackwell.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Heidegger, M. (1971). Poetry, language, thought (A. Hofstadter, Trans.). Harper & Row.

Kress, G., & van Leeuwen, T. (2001). Multimodal discourse: The modes and media of contemporary communication. Arnold.

Kress, G., & van Leeuwen, T. (2006). Reading images: The grammar of visual design (2nd ed.). Routledge.

Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Leibniz, G. W. (1969). Philosophical papers and letters (L. E. Loemker, Ed.). Reidel.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1690)

Lycan, W. G. (2008). Philosophy of language: A contemporary introduction (2nd ed.). Routledge.

Parsons, T. (2014). Articulating medieval logic. Oxford University Press.

Plato. (1937). Cratylus (B. Jowett, Trans.), In The dialogues of Plato (Vol. 1). Random House.

Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Rorty, R. (1967). The linguistic turn: Recent essays in philosophical method. University of Chicago Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493.

Russell, B., & Whitehead, A. N. (1910). Principia mathematica (Vol. 1). Cambridge University Press.

Saussure, F. de. (1959). Course in general linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.; W. Baskin, Trans.). Philosophical Library.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf (J. B. Carroll, Ed.). MIT Press.

Yablo, S. (2004). The real trouble with logical positivism. In B. Leiter (Ed.), The future for philosophy (pp. 133–148). Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar