Kamis, 29 Mei 2025

Konsep Hylemorfisme: Menyelami Kesatuan Materi dan Bentuk dalam Filsafat Klasik

Konsep Hylemorfisme

Menyelami Kesatuan Materi dan Bentuk dalam Filsafat Klasik


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep hylemorfisme yang dikembangkan oleh Aristoteles, yakni pandangan metafisis bahwa segala sesuatu yang ada merupakan gabungan dari materi (hylē) sebagai potensi dan bentuk (morphē) sebagai aktualitas. Dengan mengacu pada konteks historis dan filosofis, artikel ini menunjukkan bagaimana hylemorfisme muncul sebagai respons terhadap dualisme Plato dan persoalan ontologis filsuf pra-Sokratik. Pembahasan meliputi pengertian dasar hylemorfisme, peran materi sebagai penerima bentuk, serta bentuk sebagai prinsip pengaktual dan pengatur. Konsep ini kemudian dianalisis dalam kerangka metafisika Aristoteles, etika, psikologi, serta pengaruhnya dalam tradisi skolastik melalui Thomas Aquinas. Artikel ini juga mengeksplorasi kritik terhadap hylemorfisme dari filsafat modern seperti mekanisme Cartesian dan empirisme Humean, sekaligus menampilkan respons dari aliran neo-hylemorfisme kontemporer. Pada akhirnya, hylemorfisme terbukti relevan dalam diskursus filsafat pikiran, bioetika, ekologi, dan teknologi, sebagai alternatif konseptual yang integral, non-reduksionis, dan teleologis dalam memahami struktur realitas.

Kata Kunci: Hylemorfisme, Aristoteles, materi, bentuk, substansi, metafisika, jiwa, etika, neo-hylemorfisme, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Menyelami Konsep Hylemorfisme Aristoteles dalam Filsafat Klasik


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat Barat, Aristoteles menempati posisi sentral sebagai pemikir yang tidak hanya melanjutkan warisan para filsuf sebelumnya, tetapi juga merevolusi cara pandang terhadap realitas secara mendasar. Salah satu sumbangsih terpentingnya dalam bidang metafisika adalah konsep hylemorfisme—gagasan bahwa setiap benda di dunia tersusun dari dua prinsip utama: materi (hylē) dan bentuk (morphē). Konsep ini lahir sebagai respons terhadap pandangan dualistik Plato mengenai dunia ide dan dunia indrawi, sekaligus sebagai usaha menjawab persoalan perubahan dan keberadaan yang membingungkan banyak filsuf pra-Sokratik.

Plato berpendapat bahwa hakikat sejati dari segala sesuatu terletak pada dunia ide yang immaterial dan abadi, sementara dunia fisik hanyalah bayangan atau tiruan yang tidak sempurna dari ide-ide tersebut. Aristoteles menolak pemisahan radikal ini dan justru menegaskan bahwa hakikat sesuatu tidak terpisah dari wujud nyatanya, tetapi menyatu di dalam benda itu sendiri melalui prinsip bentuk dan materi. Dengan demikian, hylemorfisme menjadi upaya sintesis yang menjelaskan bagaimana suatu entitas dapat mengalami perubahan namun tetap mempertahankan identitas substansialnya¹.

Konsep ini muncul pertama kali secara sistematis dalam karya monumental Aristoteles, Metaphysics, di mana ia membahas tentang "substansi" (ousia) sebagai fondasi dari segala eksistensi. Substansi menurut Aristoteles bukan sekadar kumpulan aksiden atau kualitas, melainkan kesatuan bentuk dan materi yang menjadikan sesuatu itu ada secara aktual². Dalam filsafat Aristotelian, materi adalah potensi, sedangkan bentuk adalah aktualitas—suatu cara untuk memahami proses menjadi dan eksistensi benda-benda alam secara rasional dan logis³.

Hylemorfisme tidak hanya penting dalam kerangka metafisika, tetapi juga memainkan peran fundamental dalam teori etika, psikologi, biologi, bahkan hingga ke teologi skolastik melalui pemikiran Thomas Aquinas. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ini menjadi batu pijakan penting dalam menjelaskan relasi antara tubuh dan jiwa, serta dalam memahami struktur kausalitas dan perubahan di alam semesta⁴.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap hylemorfisme tidak sekadar bernilai akademis atau historis, tetapi juga filosofis dan eksistensial. Ia mengajarkan bahwa keberadaan bukanlah sesuatu yang tunggal atau statis, melainkan selalu merupakan sintesis dari kemungkinan dan kenyataan, dari bentuk yang memberi makna dan materi yang mewadahi bentuk itu. Artikel ini bertujuan untuk menyelami lebih dalam struktur konseptual hylemorfisme Aristoteles, menelusuri implikasi metafisik dan ontologisnya, serta meninjau relevansinya dalam diskursus filosofis modern.


Catatan Kaki:

[1]                F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon (New York: New York University Press, 1967), 73–76.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1029a–1032b.

[3]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics: A Study in the Greek Background of Mediaeval Thought (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 147–154.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 75, a. 2, in The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).


2.           Konteks Historis dan Filosofis

Untuk memahami konsep hylemorfisme Aristoteles secara utuh, penting terlebih dahulu menempatkannya dalam konteks sejarah filsafat Yunani klasik. Aristoteles (384–322 SM) hidup dan berkarya pada masa transisi penting dalam sejarah intelektual Yunani, yakni ketika warisan para filsuf pra-Sokratik dan sistem metafisika Plato sedang mendominasi wacana filosofis.

Para filsuf pra-Sokratik seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos berusaha menjelaskan asal-usul dan struktur dasar alam semesta dengan mencari satu prinsip dasar (arche) yang bersifat materiil, seperti air, udara, atau api. Mereka memulai tradisi berpikir rasional yang berusaha menafsirkan realitas melalui satu elemen fisik, namun tanpa memberikan penjelasan yang cukup mengenai bentuk, struktur, dan tujuan benda-benda alami¹. Herakleitos, misalnya, menekankan perubahan sebagai hakikat segala sesuatu (“panta rhei”), sedangkan Parmenides justru menolak realitas perubahan dan menegaskan keberadaan sebagai sesuatu yang statis dan tak berubah².

Plato kemudian menawarkan solusi atas ketegangan ini dengan teorinya tentang dunia ide (eidos) yang immaterial, abadi, dan sempurna. Menurutnya, dunia indrawi hanyalah bayangan dari dunia ide yang lebih nyata. Sebagai contoh, sebuah meja kayu bukanlah hakikat sejatinya, tetapi hanya tiruan dari “ide ke-meja-an” yang ada di dunia ide³. Pandangan dualistik ini mengakibatkan keterpisahan antara bentuk dan kenyataan empiris, serta menimbulkan kesulitan dalam menjelaskan perubahan sebagai bagian dari realitas konkret.

Aristoteles, yang pernah menjadi murid Plato selama dua dekade, mengkritik dualisme Platonis dan mengembangkan pendekatan yang lebih imanen terhadap realitas. Baginya, bentuk tidak berdiri terpisah dari benda, tetapi menyatu dengan materi sebagai prinsip aktualisasinya. Dengan demikian, ia memperkenalkan konsep hylemorfisme, yakni pandangan bahwa setiap benda tersusun dari dua prinsip fundamental: materi (hylē) sebagai potensi, dan bentuk (morphē) sebagai aktualitas⁴.

Filsafat Aristoteles bersifat teleologis—yakni, ia melihat segala sesuatu bergerak menuju tujuan tertentu (telos). Dalam kerangka ini, hylemorfisme menjelaskan bagaimana suatu entitas dapat mengalami perubahan substansial namun tetap mempertahankan identitasnya. Bentuk adalah prinsip yang mengatur materi dan memberikan karakter serta arah perkembangan pada benda tersebut⁵. Dengan pandangan ini, Aristoteles mampu menjawab teka-teki yang belum tuntas diselesaikan oleh para pendahulunya: bagaimana mungkin sesuatu berubah, namun tetap menjadi dirinya?

Secara historis, hylemorfisme juga mencerminkan sintesis antara pendekatan materialistik para filsuf alam dan pendekatan idealistik Plato. Aristoteles tidak menghapus kontribusi pendahulunya, tetapi mengintegrasikannya dalam sistem metafisika yang lebih kompleks dan menyeluruh. Ia melihat dunia sebagai entitas konkret yang dapat dipahami melalui sebab-sebab intrinsik, bukan sekadar bayangan dari dunia lain⁶.

Dalam konteks ini, hylemorfisme bukan hanya konsep metafisik, tetapi juga kerangka berpikir yang mempengaruhi hampir seluruh cabang pemikiran Aristoteles, mulai dari fisika, biologi, psikologi, hingga etika dan politik. Pendekatannya yang sistematis dan berbasis pada realitas konkret menjadikan filsafatnya tetap relevan hingga kini, dan menjadi landasan penting dalam tradisi filsafat skolastik di Abad Pertengahan maupun dalam diskursus filsafat modern.


Footnotes

[1]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 47–51.

[2]                G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 264–269.

[3]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 509d–511e.

[4]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1045b–1046a.

[5]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 156–162.

[6]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 306–309.


3.           Pengertian Dasar Hylemorfisme

Konsep hylemorfisme (dari bahasa Yunani hylē = materi, dan morphē = bentuk) merupakan salah satu inti dari sistem metafisika Aristoteles yang menjelaskan hakikat realitas sebagai gabungan dari dua prinsip fundamental: materi (hylē) sebagai potensi dan bentuk (morphē) sebagai aktualitas. Menurut Aristoteles, segala sesuatu yang ada di dunia fisik tidak mungkin dipahami hanya melalui materi semata atau bentuk saja, tetapi melalui kesatuan keduanya¹.

3.1.       Materi (Hylē): Prinsip Potensial

Materi, dalam pengertian Aristoteles, bukanlah sekadar benda fisik atau zat kasat mata, melainkan prinsip ketidaktentuan yang berpotensi menjadi sesuatu melalui bentuk. Ia menyebut materi sebagai dunamis atau potensi: kondisi dasar yang belum berbentuk dan belum aktual. Materi sendiri tidak memiliki wujud konkret tanpa bentuk; ia seperti tanah liat tanpa patung, yang hanya menjadi “sesuatu” jika dibentuk oleh tangan pemahat².

Namun, Aristoteles membedakan antara materi pertama (prima materia)—yang sepenuhnya tak berbentuk dan menjadi dasar dari segala bentuk perubahan substansial—dengan materi kedua, yaitu materi yang telah terstruktur dan menjadi bagian dari realitas aktual. Materi bukanlah nihil atau ketiadaan, melainkan kemungkinan yang menunggu untuk diaktualkan³.

3.2.       Bentuk (Morphē): Prinsip Aktualitas

Sebaliknya, bentuk adalah prinsip yang memberikan struktur, identitas, dan fungsi pada materi. Bentuk menjadikan suatu benda sebagai apa adanya; ia adalah entelecheia (pengaktualan) dari potensi yang terkandung dalam materi. Misalnya, bentuk dari pohon oak mengaktualkan potensi yang ada dalam biji pohon tersebut menjadi struktur pohon secara utuh⁴.

Bentuk tidak harus selalu eksternal atau visual, melainkan merupakan substansial form—yakni, esensi atau hakikat terdalam dari suatu benda. Aristoteles menekankan bahwa bentuk bukanlah entitas yang terpisah (seperti ide Plato), melainkan imanen di dalam benda itu sendiri. Dengan demikian, suatu substansi (ousia) adalah kombinasi konkret antara bentuk dan materi yang tidak dapat dipisahkan dalam realitas⁵.

3.3.       Kesatuan Materi dan Bentuk

Dalam pandangan Aristoteles, tidak ada benda fisik yang hanya terdiri atas bentuk atau hanya materi. Keduanya selalu hadir bersama dan saling melengkapi. Materi menyediakan substrat (dasar), sementara bentuk memberikan aktualitas dan tujuan. Maka, hylemorfisme adalah sistem penjelasan mengenai bagaimana suatu benda “menjadi” (to on), melalui hubungan dialektis antara potensi dan aktualitas⁶.

Prinsip ini sekaligus menjadi jawaban atas teka-teki metafisik yang telah lama membingungkan para filsuf: bagaimana mungkin sesuatu dapat berubah (menjadi) tanpa kehilangan identitasnya. Dengan memahami bahwa perubahan terjadi ketika potensi diaktualkan oleh bentuk baru, maka perubahan bukanlah penghilangan substansi, melainkan transformasi dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih aktual⁷.

Dengan demikian, hylemorfisme bukan hanya teori metafisik, tetapi juga kerangka konseptual yang menjelaskan struktur ontologis dunia: bahwa segala yang “ada” adalah sesuatu yang memiliki bentuk dalam materi. Dari batu dan tumbuhan, hingga hewan dan manusia—semuanya tunduk pada prinsip ini.


Footnotes

[1]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics: A Study in the Greek Background of Mediaeval Thought (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 171–174.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1045b–1046a.

[3]                F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon (New York: New York University Press, 1967), 74.

[4]                David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 49–52.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 324–327.

[6]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 197–200.

[7]                Edward Feser, Aristotle's Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 101–105.


4.           Materi (Hylē): Potensi dan Penerima Bentuk

Dalam sistem hylemorfisme Aristoteles, hylē atau materi dipahami sebagai unsur potensial dalam setiap benda yang memungkinkan perubahan dan keberagaman bentuk. Materi tidak pernah tampil dalam eksistensinya sendiri secara murni, melainkan selalu melekat pada bentuk (morphē) yang mengaktualkannya. Tanpa bentuk, materi hanyalah kemungkinan—bukan aktualitas, bukan eksistensi nyata, melainkan kapasitas untuk menjadi¹.

4.1.       Materi sebagai Potensi (Dunamis)

Aristoteles memperkenalkan konsep potensi (dunamis) untuk menjelaskan hakikat materi. Potensi adalah kemampuan laten atau kemungkinan internal suatu hal untuk menjadi sesuatu yang lain. Misalnya, kayu memiliki potensi untuk menjadi meja, dan biji memiliki potensi untuk menjadi pohon. Namun potensi ini tidak mewujud tanpa prinsip penggerak: yaitu bentuk². Dalam istilah metafisika Aristoteles, potensi bukanlah ketidakberadaan total, melainkan suatu jenis keberadaan dalam kemungkinan, yang hanya menjadi aktual melalui bentuk yang sesuai³.

Dalam Metaphysics, Aristoteles menegaskan bahwa "materi adalah apa yang menjadi dasar bagi segala bentuk perubahan substansial"⁴. Hal ini berarti bahwa perubahan dari satu wujud ke wujud lain hanya mungkin terjadi karena adanya materi sebagai penerima bentuk-bentuk baru. Sebuah batang perunggu, misalnya, dapat berubah menjadi patung karena materi perunggu menerima bentuk patung tersebut. Dengan demikian, materi bersifat pasif tetapi sangat penting karena menjadi dasar keberlanjutan entitas dalam proses perubahan⁵.

4.2.       Materi Pertama dan Materi Kedua

Aristoteles juga membedakan antara materi pertama (prima materia) dan materi kedua. Prima materia adalah materi yang sepenuhnya tanpa bentuk, murni potensial, dan tidak dapat diamati secara langsung—ia hanya diketahui melalui refleksi metafisik. Materi pertama tidak memiliki karakteristik apapun kecuali kapasitas untuk menerima semua bentuk. Ia adalah dasar mutlak dari perubahan substansial dan merupakan prinsip kesatuan di balik perubahan-perubahan bentuk yang tampak⁶.

Sementara itu, materi kedua adalah materi yang telah memiliki bentuk tertentu tetapi masih dapat berubah menjadi bentuk lain. Sebagai contoh, tubuh manusia (yang tersusun dari unsur-unsur fisik) dapat dilihat sebagai materi kedua yang telah menerima bentuk "ke-manusiaan", tetapi tetap memiliki potensi untuk mengalami transformasi biologis atau fisik lebih lanjut⁷.

4.3.       Materi sebagai Penerima Bentuk

Peran utama materi dalam hylemorfisme adalah sebagai penerima bentuk (tò dekhomenon). Aristoteles menekankan bahwa bentuk tidak dapat diaktualkan tanpa suatu substrat, dan substrat itulah yang disebut materi. Materi memungkinkan adanya pluralitas dan perubahan dalam dunia fenomenal. Dengan menerima bentuk, materi tidak hanya menjadi wadah pasif, tetapi juga merupakan bagian esensial dari entitas aktual yang kita temui dalam pengalaman sehari-hari⁸.

Dalam kerangka teleologis Aristoteles, materi tidak bergerak sendiri, melainkan digerakkan menuju aktualitas oleh bentuk. Maka, meskipun materi itu sendiri tidak memiliki struktur, ia berkontribusi pada keberadaan struktur ketika dibentuk. Materi adalah prinsip keberagaman dan perubahan; bentuk adalah prinsip identitas dan kesatuan⁹.


Footnotes

[1]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 175–178.

[2]                David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 53–55.

[3]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 112–115.

[4]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1042a–1043b.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 329–331.

[6]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 205–207.

[7]                F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon (New York: New York University Press, 1967), 74–75.

[8]                Thomas Aquinas, De Principiis Naturae, trans. James Bobik in Aquinas on Nature and Form (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1965), 14–17.

[9]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 54–58.


5.           Bentuk (Morphē): Prinsip Pengaktual dan Pengatur

Dalam filsafat hylemorfik Aristoteles, bentuk (morphē) atau form merupakan prinsip yang mengaktualkan potensi yang ada dalam materi. Jika materi adalah apa yang bisa menjadi, maka bentuk adalah apa yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya. Tanpa bentuk, materi tetap dalam kondisi potensial dan tidak pernah mewujud menjadi entitas yang aktual. Oleh karena itu, bentuk adalah prinsip pengaktual dan pengatur, yang memberikan struktur, esensi, serta tujuan bagi setiap benda¹.

5.1.       Bentuk sebagai Aktualitas (Entelecheia)

Aristoteles menggunakan istilah entelecheia atau aktualitas untuk menggambarkan fungsi bentuk. Bentuk adalah realisasi dari kemungkinan yang dimiliki materi. Misalnya, bentuk "ke-manusiaan" mengaktualkan tubuh biologis sehingga seseorang menjadi manusia, bukan sekadar makhluk biologis². Dalam kerangka ini, bentuk bukan hanya struktur luar atau pola, tetapi mencakup esensi substansial (substantial form) yang membuat sesuatu menjadi dirinya.

Bentuk tidak hadir secara terpisah seperti “dunia ide” dalam filsafat Plato. Justru, Aristoteles secara eksplisit menolak keberadaan entitas bentuk yang berdiri sendiri di luar objek fisik. Baginya, bentuk bersifat imanen—melekat dalam realitas konkret dan tidak dapat dipisahkan dari materi³.

5.2.       Fungsi Pengatur dan Prinsip Organisasi

Selain sebagai aktualitas, bentuk juga berfungsi sebagai prinsip pengatur yang memberikan struktur dan keteraturan pada materi. Bentuk menentukan jenis (genus), spesies (species), serta fungsi suatu benda. Ia adalah penyebab formal (causa formalis) dalam kerangka empat sebab Aristotelian: penyebab material, formal, efisien, dan final⁴.

Sebagai contoh, bentuk kursi menjelaskan mengapa kayu dipotong, dirakit, dan disusun sedemikian rupa: karena ia diarahkan untuk menjadi kursi. Dalam benda-benda alami, seperti tumbuhan dan hewan, bentuk menjelaskan pertumbuhan, fungsi organ, dan struktur internal yang khas bagi spesies tertentu. Dengan demikian, bentuk mengarahkan tidak hanya eksistensi aktual, tetapi juga proses perkembangan dan perubahan alamiah dari suatu entitas⁵.

5.3.       Bentuk sebagai Prinsip Teleologis

Dalam filsafat Aristoteles, bentuk erat kaitannya dengan teleologi—yakni pandangan bahwa segala sesuatu bergerak menuju suatu tujuan (telos). Bentuk bukan hanya apa yang sesuatu itu sekarang, tetapi juga mencerminkan tujuan keberadaannya. Misalnya, bentuk pohon ek bukan hanya bentuk saat ini, tetapi juga telos yang secara alami ingin dicapai oleh biji pohon tersebut melalui proses pertumbuhan⁶.

Teleologi Aristoteles tidak bersifat eksternal atau rekayasa buatan, melainkan berasal dari dalam struktur bentuk itu sendiri. Karena itu, bentuk tidak hanya menjelaskan apa sesuatu itu, tetapi juga mengapa dan untuk apa sesuatu itu menjadi. Bentuk, dalam pengertian ini, adalah prinsip arah, fungsi, dan tujuan dalam sistem natural⁷.

5.4.       Bentuk dan Identitas Substansi

Dalam metafisika Aristoteles, bentuk memiliki status ontologis yang lebih tinggi daripada materi, karena ia menjelaskan identitas substansi. Aristoteles menyatakan bahwa “substansi lebih dekat kepada bentuk daripada kepada materi” karena bentuk menyatakan esensi, sedangkan materi hanya menyatakan kemungkinan⁸. Oleh sebab itu, bentuk bukan sekadar pelengkap, melainkan prinsip dasar eksistensi aktual dan rasionalisasi terhadap realitas.

Sebagaimana ditegaskan dalam Metaphysics Zeta, substansi adalah apa yang “menjadi dirinya sendiri”, dan hal ini hanya dapat dijelaskan melalui bentuk, bukan sekadar himpunan kualitas material atau komposisi fisik⁹.


Footnotes

[1]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 182–186.

[2]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 118–122.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1032b–1035a.

[4]                David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 56–58.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 333–336.

[6]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 210–213.

[7]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 61–66.

[8]                Aristotle, Metaphysics, VII.10, 1037a5–15.

[9]                F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon (New York: New York University Press, 1967), 78–79.


6.           Aplikasi Hylemorfisme dalam Metafisika dan Ontologi

Konsep hylemorfisme tidak hanya menjelaskan struktur ontologis benda-benda alam, tetapi juga menjadi fondasi bagi keseluruhan sistem metafisika Aristoteles. Melalui pemahaman bahwa setiap benda terdiri atas materi sebagai potensi dan bentuk sebagai aktualitas, Aristoteles membangun sebuah kerangka filosofis untuk memahami substansi, eksistensi, perubahan, dan keberagaman dalam dunia nyata. Dalam konteks ini, hylemorfisme menjadi alat analisis utama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam metafisika dan ontologi.

6.1.       Substansi (Ousia) sebagai Kesatuan Materi dan Bentuk

Dalam Metaphysics buku Zeta, Aristoteles merumuskan bahwa substansi (ousia) bukan sekadar materi atau bentuk, melainkan kesatuan tak terpisahkan antara keduanya. Substansi adalah “apa yang ada pada dirinya sendiri” dan menjadi dasar dari segala eksistensi aktual¹. Ketika kita menyebut seekor kuda, yang kita maksud bukan hanya daging dan tulangnya (materi), tetapi juga bentuknya—yakni hakikat "ke-kuda-an" yang menjadikannya seekor kuda, bukan binatang lain.

Dengan demikian, substansi adalah sintesis ontologis antara materi sebagai penerima dan bentuk sebagai pengatur. Dalam perspektif ini, hylemorfisme memungkinkan Aristoteles untuk menjelaskan eksistensi sebagai gabungan antara potensi dan aktualitas yang bersatu dalam realitas konkret².

6.2.       Empat Sebab dan Prinsip Penjelasan Realitas

Aplikasi paling jelas dari hylemorfisme dalam metafisika Aristoteles tampak dalam teorinya tentang empat sebab (causae), yaitu:

1)                  Sebab material (causa materialis) – unsur penyusun (materi),

2)                  Sebab formal (causa formalis) – struktur atau bentuk,

3)                  Sebab efisien (causa efficiens) – agen atau penggerak, dan

4)                  Sebab final (causa finalis) – tujuan atau akhir dari keberadaan sesuatu³.

Dalam kerangka ini, materi dan bentuk menjadi dua penyebab internal yang menjelaskan mengapa sesuatu itu ada dan menjadi seperti itu. Misalnya, sebuah patung perunggu ada karena perunggunya (materi) dan bentuk estetik yang diberikan oleh pemahat (bentuk). Pemahaman ini menunjukkan bahwa realitas tidak bisa direduksi hanya pada elemen fisik atau kausalitas mekanistik semata⁴.

6.3.       Perubahan dan Gerak dalam Ontologi Aristoteles

Salah satu persoalan besar dalam filsafat pra-Sokratik adalah bagaimana menjelaskan perubahan tanpa mereduksi realitas atau jatuh ke dalam kontradiksi, seperti dalam pandangan Herakleitos (segala sesuatu berubah) dan Parmenides (perubahan adalah ilusi). Aristoteles memecahkan dilema ini melalui kerangka hylemorfisme dengan membedakan antara potensi (dunamis) dan aktualitas (energeia).

Menurutnya, perubahan terjadi ketika potensi dalam materi diaktualkan oleh bentuk baru. Misalnya, kayu memiliki potensi menjadi meja, dan proses pembuatan meja mengaktualkan potensi itu melalui bentuk. Maka, perubahan bukanlah hilangnya satu entitas dan munculnya entitas lain, tetapi transformasi bentuk dalam substrat yang sama⁵. Dengan pendekatan ini, hylemorfisme memungkinkan pemahaman yang konsisten dan rasional terhadap dinamika eksistensi.

6.4.       Kesatuan dan Keberagaman: Solusi atas Masalah Ontologis

Dalam filsafat ontologis Aristoteles, hylemorfisme juga menjelaskan mengapa ada keberagaman dalam dunia, padahal segala sesuatu tunduk pada prinsip kesatuan. Keberagaman muncul karena perbedaan bentuk yang diaktualkan dalam materi yang sama, atau sebaliknya, materi yang berbeda menerima bentuk yang sama. Misalnya, kursi kayu dan kursi besi memiliki bentuk yang sama (kursi), tetapi materi yang berbeda. Sebaliknya, dua objek dari kayu bisa menjadi kursi dan meja karena memiliki bentuk yang berbeda⁶.

Dengan demikian, hylemorfisme menawarkan penjelasan mengenai identitas, perbedaan, dan keberlanjutan dalam satu kerangka ontologis yang menyeluruh dan koheren. Konsep ini menjembatani antara realitas fisik dan makna metafisik, antara dinamika dunia dan struktur esensial di baliknya.

6.5.       Relevansi dalam Ontologi Skolastik dan Metafisika Modern

Pemikiran Aristoteles mengenai materi dan bentuk sangat berpengaruh dalam filsafat skolastik, terutama dalam pemikiran Thomas Aquinas. Aquinas mengadaptasi hylemorfisme untuk menjelaskan jiwa sebagai bentuk tubuh, substansi spiritual, dan bahkan struktur teologi tentang Tuhan dan ciptaan⁷. Hingga era modern, filsuf seperti David Oderberg dan Edward Feser masih menggunakan pendekatan hylemorfik untuk membahas isu-isu ontologis kontemporer, seperti identitas personal, struktur makhluk hidup, dan filsafat pikiran⁸.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1028b–1032a.

[2]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 189–193.

[3]                David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 60–63.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 338–342.

[5]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 130–134.

[6]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 220–224.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 76, a. 1–6, in The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[8]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2014), 90–95.


7.           Hylemorfisme dalam Etika dan Psikologi Aristoteles

Pemikiran hylemorfik Aristoteles tidak hanya terbatas pada metafisika dan ontologi, tetapi juga memiliki dampak mendalam terhadap pemahamannya mengenai psikologi dan etika. Dalam karya De Anima, Aristoteles menerapkan prinsip hylemorfisme untuk menjelaskan hubungan antara jiwa (psuchē) dan tubuh sebagai bentuk dan materi dari makhluk hidup, terutama manusia. Pemikiran ini kemudian menjadi landasan bagi pandangan etisnya dalam Nicomachean Ethics, di mana kebajikan dan kebahagiaan (eudaimonia) dijelaskan sebagai realisasi bentuk ideal dalam kehidupan manusia¹.

7.1.       Jiwa sebagai Bentuk Tubuh

Dalam De Anima, Aristoteles menyatakan bahwa jiwa adalah bentuk substansial dari tubuh yang memiliki kehidupan potensial. Ia menulis: “jiwa adalah bentuk pertama dari tubuh alami yang memiliki kehidupan secara potensial” (ἡ ψυχὴ ἐστιν ἐντελέχεια ἡ πρώτη σώματος φυσικοῦ δυνάμει ζωήν ἔχοντος)². Dengan kata lain, jiwa bukan substansi terpisah, tetapi prinsip internal yang mengaktualkan tubuh sebagai organisme hidup.

Pendekatan ini menolak dualisme Cartesian yang memisahkan jiwa dan tubuh sebagai dua substansi terpisah. Sebaliknya, dalam kerangka hylemorfik, jiwa dan tubuh adalah kesatuan ontologis: tubuh adalah materi, dan jiwa adalah bentuk yang memberinya kehidupan dan fungsi. Hal ini memungkinkan Aristoteles menjelaskan aktivitas seperti persepsi, ingatan, dan pemikiran sebagai fungsi organis dari makhluk hidup yang rasional³.

7.2.       Jiwa Manusia dan Hierarki Kemampuan

Aristoteles membedakan beberapa tingkat jiwa berdasarkan fungsi:

1)                  Jiwa vegetatif (pertumbuhan dan nutrisi) – dimiliki oleh tumbuhan,

2)                  Jiwa sensitif (persepsi dan gerak) – dimiliki oleh hewan,

3)                  Jiwa rasional (akal dan pemikiran) – hanya dimiliki oleh manusia⁴.

Dalam manusia, jiwa rasional merupakan bentuk yang paling tinggi, karena ia memungkinkan manusia untuk mengetahui kebaikan, mengatur tindakan melalui akal, dan mengembangkan kebajikan. Jiwa rasional ini juga menjadi dasar bagi pendekatan etika Aristoteles, di mana manusia dimaknai sebagai makhluk yang secara kodrati diarahkan untuk mencapai aktualisasi tertinggi sebagai makhluk berakal⁵.

7.3.       Etika sebagai Aktualisasi Bentuk

Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mengembangkan etika berbasis hylemorfik dengan menempatkan kebahagiaan (eudaimonia) sebagai aktualisasi tertinggi dari bentuk kemanusiaan. Kebahagiaan bukan sekadar kenikmatan atau kepuasan emosional, melainkan realisasi fungsi esensial manusia, yaitu berpikir dan bertindak secara rasional dalam kehidupan yang baik⁶.

Kebajikan (aretē) dalam etika Aristoteles adalah bentuk kesempurnaan dari jiwa dalam hubungannya dengan kebiasaan dan pilihan yang baik. Setiap kebajikan mengatur potensi emosional dan kehendak agar sesuai dengan nalar yang benar. Dengan kata lain, kebajikan adalah bentuk moral yang mengaktualkan potensi manusia dalam kehidupan praktis⁷.

7.4.       Jiwa dan Kematian: Batas Hylemorfisme

Aristoteles menyatakan bahwa jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh, karena ia adalah bentuk dari tubuh. Namun, dalam De Anima III.5, ia memberi isyarat bahwa nous poietikos (akal aktif) mungkin tidak bersifat fana, tetapi hal ini tetap kontroversial dan terbuka untuk interpretasi⁸. Meskipun demikian, keseluruhan kerangka psikologisnya konsisten dengan prinsip hylemorfik: tidak ada manusia sebagai substansi utuh tanpa kesatuan antara bentuk (jiwa) dan materi (tubuh).


Implikasi Etis dan Sosial

Karena manusia merupakan kesatuan bentuk dan materi, maka pendidikan, pembiasaan, dan struktur sosial memainkan peran penting dalam mengembangkan bentuk ideal manusia. Dalam hal ini, etika hylemorfik Aristoteles bersifat komunal, karena pembentukan kebajikan tidak mungkin terjadi tanpa polis (negara/kota) yang adil dan mendukung⁹. Struktur sosial bukan hanya sarana eksternal, tetapi bagian dari proses aktualisasi bentuk manusia secara utuh.


Footnotes

[1]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 77–81.

[2]                Aristotle, De Anima, II.1, 412a20–21, trans. Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin Books, 1986), 170.

[3]                David Charles, “Soul and Body in Aristotle,” in Oxford Studies in Ancient Philosophy 14 (1996): 123–137.

[4]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 227–231.

[5]                Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton: Princeton University Press, 1989), 35–39.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, I.7, 1098a7–20, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 15.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 148–152.

[8]                Aristotle, De Anima, III.5, 430a10–25. See also: Thomas Aquinas, Commentary on Aristotle’s De Anima, trans. Kenelm Foster (New Haven: Yale University Press, 1994), 89–93.

[9]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 350–354.


8.           Hylemorfisme dalam Tradisi Skolastik dan Modern

Sejak dikembangkan oleh Aristoteles, konsep hylemorfisme mengalami transformasi dan adaptasi yang signifikan dalam berbagai fase sejarah pemikiran, khususnya dalam tradisi filsafat skolastik abad pertengahan dan kebangkitan kembali minat terhadap metafisika Aristotelian dalam filsafat kontemporer. Baik dalam konteks teologi Kristen Latin maupun diskursus metafisika analitik modern, prinsip kesatuan materi dan bentuk tetap menjadi pilar penting dalam menjelaskan realitas fisik dan spiritual.

8.1.       Hylemorfisme dalam Filsafat Skolastik

Pemikir skolastik paling berpengaruh yang mengadopsi dan mengembangkan hylemorfisme Aristoteles adalah Thomas Aquinas (1225–1274). Dalam sistem teologi dan filsafatnya, Aquinas secara eksplisit memanfaatkan kerangka hylemorfik untuk menjelaskan jiwa, substansi, tindakan, dan eksistensi, dengan sintesis kreatif antara warisan Yunani dan doktrin Kristen¹.

Aquinas mengajarkan bahwa manusia adalah komposit dari tubuh (materi) dan jiwa (bentuk substansial). Jiwa bukan hanya prinsip hidup biologis, tetapi juga prinsip intelektual dan spiritual yang memberi struktur dan makna pada eksistensi manusia. Ia menyatakan, “Anima est forma corporis” (jiwa adalah bentuk tubuh)². Dengan kerangka ini, Aquinas dapat mempertahankan kesatuan manusia sebagai makhluk rasional, sembari mengakui keberadaan spiritual jiwa secara independen setelah kematian, sebuah sintesis yang tak ditemukan secara eksplisit dalam Aristoteles.

Selain itu, Aquinas mengembangkan teori aktus dan potensia (aktualitas dan potensi) untuk menjelaskan eksistensi Tuhan sebagai actus purus (aktualitas murni) yang tidak memiliki potensi dan tidak tersusun dari materi dan bentuk³. Ini menunjukkan bahwa hylemorfisme, meskipun digunakan untuk menjelaskan benda-benda duniawi, juga dapat diperluas dalam kerangka metafisika ketuhanan.

8.2.       Hylemorfisme dan Metafisika Spiritualitas

Dalam tradisi skolastik, konsep hylemorfisme juga digunakan untuk menjelaskan substansi non-material, seperti malaikat. Meskipun tidak memiliki materi dalam arti fisik, mereka tetap dianggap sebagai substansi yang terbentuk, dengan “bentuk murni” yang teraktualisasi tanpa keterikatan pada materi⁴. Di sinilah hylemorfisme berkembang secara konseptual menjadi kerangka ontologis universal: tidak terbatas pada benda fisik, tetapi juga dapat menjelaskan makhluk spiritual, selama kategori aktualitas dan potensi tetap relevan.

8.3.       Kebangkitan Neo-Aristotelianisme dalam Filsafat Modern

Setelah masa pencerahan, filsafat modern sempat menolak hylemorfisme sebagai bagian dari "filsafat skolastik usang", digantikan oleh mekanisme Cartesian dan materialisme. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terjadi kebangkitan pemikiran Aristotelian melalui gerakan neo-hylemorfisme atau neo-Aristotelian metaphysics, terutama di kalangan filsuf analitik seperti David Oderberg, Edward Feser, dan Robert Koons⁵.

Feser, misalnya, menunjukkan bahwa teori hylemorfik lebih mampu menjelaskan kesatuan organisme hidup, identitas personal, dan struktur kausalitas alami, dibandingkan pendekatan fisikalisme reduktif. Ia mengajukan bahwa benda-benda tidak dapat dipahami semata-mata sebagai kumpulan partikel, karena struktur dan fungsi holistiknya adalah hasil dari bentuk substansial yang mengorganisasi materi⁶.

Dalam konteks filsafat pikiran, hylemorfisme juga menawarkan alternatif terhadap dualisme Cartesian dan materialisme eliminatif. Jiwa dipahami sebagai prinsip formal dari tubuh hidup, yang memungkinkan pemahaman tentang kesadaran dan identitas diri tanpa mereduksinya ke aktivitas otak semata atau memisahkannya dari tubuh secara radikal⁷.


Relevansi Kontemporer

Saat ini, hylemorfisme digunakan dalam berbagai bidang—termasuk bioetika, metafisika kontemporer, teori tindakan, filsafat sains, dan bahkan filsafat teknologi. Dalam bioetika, pendekatan hylemorfik memungkinkan pemahaman menyeluruh tentang kehidupan manusia sebagai kesatuan ontologis, yang memiliki dimensi fisik dan spiritual. Dalam filsafat sains, konsep ini menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang struktur kausalitas, entitas emergen, dan kesatuan sistem biologis⁸.

Relevansi hylemorfisme di era modern menunjukkan bahwa, meskipun lahir dari konteks Yunani kuno, konsep ini memiliki fleksibilitas konseptual yang kuat, serta daya jangkau metafisik yang luas, menjadikannya tetap vital dalam diskursus filsafat hingga saat ini.


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 213–219.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 76, a. 1, in The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                Joseph Owens, An Elementary Christian Metaphysics (Houston: Center for Thomistic Studies, 1985), 184–188.

[4]                Norman Kretzmann, The Metaphysics of Theism: Aquinas's Natural Theology in Summa Contra Gentiles (Oxford: Clarendon Press, 1997), 143–146.

[5]                David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), ix–xiv.

[6]                Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 89–91.

[7]                James Madden, Mind, Matter, and Nature: A Thomistic Proposal for the Philosophy of Mind (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2013), 97–102.

[8]                Robert C. Koons and George Bealer, eds., The Waning of Materialism (Oxford: Oxford University Press, 2010), 3–28.


9.           Kritik terhadap Hylemorfisme

Meskipun hylemorfisme Aristoteles telah memainkan peran penting dalam sejarah filsafat Barat, konsep ini tidak luput dari berbagai kritik dan tantangan filosofis, terutama sejak berkembangnya sains modern, filsafat mekanistik, dan epistemologi empiris. Kritik terhadap hylemorfisme mencerminkan pergeseran paradigma dari pendekatan teleologis dan metafisika klasik menuju reduksionisme fisik dan rasionalisme matematis, khususnya sejak masa Revolusi Ilmiah dan era modern awal.

9.1.       Kritik dari Filsafat Mekanistik: Reduksi terhadap Materi

Salah satu kritik paling awal dan berpengaruh terhadap hylemorfisme datang dari mekanisme Cartesian, yang dikembangkan oleh René Descartes pada abad ke-17. Dalam kerangka ini, semua fenomena alam dijelaskan sebagai hasil dari interaksi partikel-partikel fisik yang tunduk pada hukum gerak mekanis. Bentuk substansial, menurut para mekanis, adalah entitas metafisik yang tidak teramati dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah, sehingga dianggap tidak diperlukanⁱ.

Descartes menolak konsep bentuk substansial sebagai “kata kosong” (mots vides) yang gagal menjelaskan mekanisme sebab-akibat secara ilmiah². Dalam sistem Cartesian, tubuh adalah mesin yang bekerja secara deterministik, tanpa perlu bentuk internal yang mengorganisasi materi. Pendekatan ini akhirnya mendorong munculnya materialisme dan empirisme, yang menganggap seluruh realitas dapat dijelaskan secara memadai melalui hukum fisika dan interaksi materi.

9.2.       Kritik dari Epistemologi Empiris: Verifikasi dan Observasi

Hylemorfisme juga dikritik oleh filsuf empiris seperti John Locke dan David Hume, yang menolak validitas entitas metafisik yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman langsung. Bagi Hume, gagasan seperti "substansi" atau "bentuk" adalah konstruksi pikiran yang tidak memiliki padanan dalam persepsi inderawi³. Kritik ini menggugurkan keyakinan bahwa bentuk memiliki peran nyata dalam membentuk eksistensi benda, karena yang tampak hanyalah kualitas-kualitas yang dapat diamati dan diukur.

Dengan berkembangnya sains modern yang berbasis observasi, eksperimen, dan matematika, konsep bentuk sebagai prinsip esensial dianggap terlalu spekulatif dan tidak operasional. Sebagian ilmuwan dan filsuf kontemporer lebih memilih penjelasan fungsional atau struktural dalam istilah sistem, kode genetik, atau hukum fisika, daripada bentuk substansial⁴.

9.3.       Tantangan dari Reduksionisme Fisik dan Neurofisiologi

Dalam filsafat pikiran, pendekatan hylemorfik menghadapi tantangan dari neurosains dan fisikalisme reduktif, yang berusaha menjelaskan seluruh proses mental dan kesadaran melalui aktivitas otak. Jika pikiran hanya hasil dari aktivitas neurologis, maka jiwa sebagai bentuk tubuh dalam kerangka hylemorfik menjadi tidak relevan atau bahkan dianggap tidak ilmiah⁵.

Model otak-komputer, teori identitas, dan eliminativisme mewakili sikap filsafat modern yang melihat tidak perlunya konsep bentuk dalam menjelaskan kesadaran atau identitas personal. Penjelasan melalui neurofisiologi, sinapsis, dan pemrosesan informasi dianggap lebih empiris dan dapat diuji. Hal ini mempersulit penerimaan hylemorfisme di kalangan ilmuwan kontemporer yang mengutamakan penjelasan kausal yang bisa diuji secara eksperimental⁶.

9.4.       Problem Ketidakterpisahan: Bentuk yang Tidak Dapat Diisolasi

Salah satu kritik ontologis terhadap hylemorfisme adalah kesulitan dalam mengidentifikasi bentuk secara terpisah dari materi. Karena bentuk bersifat imanen dan tidak berdiri sendiri (tidak seperti ide Plato), maka secara praktis dan epistemologis sulit membedakan bentuk dari hasil aktualisasi materi. Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana kita mengetahui bentuk jika bentuk tidak pernah ada tanpa materi?⁷.

Kritikus berpendapat bahwa, jika bentuk tidak dapat diidentifikasi secara mandiri, maka keberadaannya sebagai entitas filosofis menjadi lemah. Bentuk terkesan sebagai abstraksi konseptual, bukan prinsip ontologis nyata.

9.5.       Respons dan Pembaruan dari Neo-Hylemorfisme

Meskipun berbagai kritik tersebut cukup kuat, para neo-hylemorfis seperti Edward Feser, David Oderberg, dan John Haldane berusaha merehabilitasi hylemorfisme sebagai kerangka metafisika yang koheren dan unggul dibandingkan reduksionisme. Mereka berargumen bahwa konsep bentuk sangat diperlukan untuk menjelaskan kesatuan entitas biologis, identitas personal yang berkelanjutan, dan prinsip finalitas dalam sistem alam⁸.

Neo-hylemorfisme menyarankan bahwa bentuk tidak perlu dipahami secara mistis atau supranatural, tetapi sebagai prinsip organisasi dan keterarahan yang tidak dapat direduksi ke hukum-hukum fisika semata. Ini sejalan dengan pandangan bahwa struktur dan fungsi organisme tidak hanya berasal dari komponen fisiknya, tetapi dari totalitas bentuknya.


Footnotes

[1]                Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001), 85–88.

[2]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), I.70–75.

[3]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1964), I.1.6.

[4]                Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 33–36.

[5]                Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge: MIT Press, 1986), 308–312.

[6]                Paul M. Churchland, The Engine of Reason, the Seat of the Soul: A Philosophical Journey into the Brain (Cambridge: MIT Press, 1995), 101–109.

[7]                Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 179–184.

[8]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2014), 135–141.


10.       Relevansi Konseptual Hylemorfisme dalam Konteks Kekinian

Meskipun hylemorfisme berasal dari kerangka metafisika Yunani kuno, konsep ini tetap menunjukkan vitalitas filosofis dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer, mulai dari filsafat pikiran dan etika biomedis hingga teori sistem dan filsafat lingkungan. Hylemorfisme menghadirkan alternatif yang tangguh terhadap reduksionisme materialistik, dengan menawarkan pemahaman yang lebih menyeluruh dan integratif tentang realitas sebagai kesatuan bentuk dan materi, aktualitas dan potensi.

10.1.    Filsafat Pikiran dan Identitas Personal

Salah satu medan paling menantang dalam filsafat modern adalah masalah kesadaran dan identitas personal. Banyak pendekatan fisikalis mencoba menjelaskan kesadaran sebagai hasil dari aktivitas otak semata. Namun, pendekatan ini sering kali gagal menjelaskan kesatuan subjek, pengalaman kualitatif (qualia), dan kesadaran diri yang berkelanjutanⁱ.

Dalam kerangka hylemorfik, jiwa dipahami sebagai bentuk substansial tubuh yang mengorganisasi dan mengaktualisasi seluruh fungsi vital, termasuk kesadaran. Edward Feser dan James Madden berpendapat bahwa pendekatan hylemorfik menawarkan keunggulan karena dapat menjelaskan kesatuan psiko-fisik manusia tanpa jatuh ke dalam dualisme substansi atau reduksionisme neurobiologis². Dalam hal ini, bentuk bukan hanya struktur, tetapi prinsip pengarah kehidupan, yang memungkinkan adanya makna, intensionalitas, dan integritas personal.

10.2.    Bioetika dan Filsafat Kehidupan

Dalam bidang bioetika, hylemorfisme berkontribusi pada pemahaman tentang martabat manusia, permulaan kehidupan, dan kematian. Karena manusia dilihat sebagai kesatuan ontologis dari jiwa dan tubuh, maka setiap tahap kehidupan manusia—mulai dari konsepsi hingga kematian—dianggap memiliki nilai intrinsik, bukan semata-mata ditentukan oleh kriteria biologis atau fungsional³.

Hal ini berimplikasi pada isu-isu penting seperti aborsi, euthanasia, dan transhumanisme, di mana pendekatan hylemorfik menolak pendekatan yang mereduksi manusia menjadi sekadar sistem biologis. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa bentuk manusia—jiwa rasional—mengaktualkan potensi manusia sejak awal kehidupan⁴.

10.3.    Filsafat Alam dan Ekologi

Hylemorfisme juga membuka ruang baru dalam filsafat lingkungan, dengan memperlihatkan bahwa alam bukanlah sekadar akumulasi materi, tetapi sistem terstruktur yang diarahkan oleh bentuk-bentuk alami. Dengan pandangan ini, benda-benda alam seperti pohon, sungai, dan organisme bukan hanya objek mekanis, tetapi entitas dengan prinsip internal dan arah perkembangan tertentu⁵.

Pendekatan ini bersinggungan dengan ekologi holistik dan pandangan teleologis dalam biologi, yang menekankan bahwa makhluk hidup memiliki struktur internal yang tertuju pada fungsi dan tujuan spesifik. Dalam konteks ini, hylemorfisme dapat mendukung etika lingkungan yang berbasis pada penghormatan terhadap keutuhan dan finalitas alam⁶.

10.4.    Teknologi dan Kecerdasan Buatan

Dalam era digital dan revolusi teknologi, pertanyaan tentang kesadaran buatan (AI) dan identitas mesin cerdas menjadi semakin relevan. Beberapa futuris bahkan mengklaim bahwa mesin yang cukup kompleks dapat memiliki “jiwa” atau kesadaran. Namun dari perspektif hylemorfik, kesadaran tidak dapat dihasilkan semata-mata dari kompleksitas materi, melainkan bergantung pada bentuk substansial yang tidak dapat direduksi menjadi struktur fungsional⁷.

Dengan demikian, meskipun AI dapat meniru perilaku rasional, ia tetap kekurangan bentuk substansial yang membuat manusia menjadi makhluk rasional sejati. Ini membuka diskusi filosofis penting tentang batas antara tiruan dan substansi, serta perbedaan antara bentuk alami dan bentuk buatan.

10.5.    Rehabilitasi Teleologi dan Finalitas

Hylemorfisme juga menantang pandangan dunia modern yang didominasi oleh mekanisme kausal, dengan merehabilitasi teleologi sebagai prinsip penjelas yang sah dalam filsafat alam. Dalam biologi modern, misalnya, terdapat kecenderungan untuk memahami fungsi organik berdasarkan tujuan adaptifnya—yang dalam istilah Aristoteles merupakan causa finalis⁸.

Para filsuf seperti David Oderberg berpendapat bahwa kecenderungan alami untuk berkembang ke arah tertentu tidak dapat dijelaskan hanya oleh hukum mekanis atau seleksi alam. Sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa tujuan inheren (final cause) masih menjadi bagian penting dari struktur realitas, sebagaimana dikatakan oleh hylemorfisme⁹.


Kesimpulan Sementara

Melalui berbagai bidang kontemporer—mulai dari filsafat pikiran hingga etika lingkungan—hylemorfisme terbukti tidak hanya bertahan sebagai warisan intelektual, tetapi juga mengalami revitalisasi sebagai kerangka konseptual yang adaptif dan relevan. Dalam dunia yang semakin kompleks, pendekatan hylemorfik menawarkan pemahaman yang integral, non-reduktif, dan teleologis terhadap realitas, manusia, dan alam semesta.


Footnotes

[1]                Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford University Press, 1986), 37–45.

[2]                Edward Feser, Philosophy of Mind: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld, 2005), 176–182; James Madden, Mind, Matter, and Nature: A Thomistic Proposal for the Philosophy of Mind (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2013), 106–112.

[3]                Patrick Lee, Abortion and Unborn Human Life (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1996), 88–94.

[4]                Christopher Tollefsen and Robert P. George, Embryo: A Defense of Human Life (New York: Doubleday, 2008), 45–50.

[5]                Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental Ethics (Amherst: Prometheus Books, 1986), 142–147.

[6]                Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New York: Oxford University Press, 1991), 63–66.

[7]                Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge: MIT Press, 1992), 202–205.

[8]                Aristotle, Physics, II.8, 198b–199a, trans. R.P. Hardie and R.K. Gaye in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984).

[9]                David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 190–194.


11.       Penutup

Hylemorfisme Aristoteles, sebagai teori metafisik tentang kesatuan materi (hylē) dan bentuk (morphē), merupakan kontribusi monumental dalam sejarah filsafat. Ia memberikan kerangka konseptual yang kokoh untuk memahami struktur realitas, identitas substansi, proses perubahan, serta prinsip teleologis yang mengarahkan segala eksistensi menuju aktualitasnya. Sebagai reaksi terhadap dualisme Plato dan kesulitan ontologis para filsuf pra-Sokratik, hylemorfisme membentuk sistem alternatif yang integratif dan dinamis, dengan menjembatani potensi dan aktualitas dalam satu realitas konkrit¹.

Dalam cakupan metafisika, hylemorfisme memperkenalkan cara berpikir yang memungkinkan penjelasan perubahan tanpa kehilangan identitas, serta menjelaskan eksistensi sebagai perpaduan aktif antara dasar material dan struktur esensial². Dalam psikologi dan etika, konsep ini melahirkan pandangan tentang jiwa sebagai bentuk substansial tubuh, yang menyatukan aspek biologis dan rasional manusia, serta menjadikan kebajikan sebagai bentuk aktualisasi kodrat manusia yang sejati³.

Pengaruh hylemorfisme terus berlanjut dalam tradisi filsafat skolastik, terutama melalui Thomas Aquinas, yang mengintegrasikannya dalam sistem teologi Kristen dengan nuansa metafisika yang mendalam⁴. Namun, sejak era modern, hylemorfisme menghadapi tantangan serius dari mekanisme Cartesian, empirisme, dan reduksionisme ilmiah yang mempertanyakan keberadaan bentuk sebagai entitas metafisik. Meskipun demikian, kritik-kritik ini telah memicu revitalisasi dan reformulasi hylemorfisme dalam konteks kontemporer.

Gerakan neo-hylemorfisme yang muncul dalam filsafat analitik modern menegaskan kembali relevansi pendekatan Aristoteles dalam menjelaskan realitas secara holistik. Dalam filsafat pikiran, bioetika, lingkungan, dan filsafat ilmu, hylemorfisme menawarkan solusi alternatif yang tidak reduksionis, bersifat integral, dan terbuka terhadap teleologi alamiah, tanpa meninggalkan rasionalitas ilmiah⁵.

Akhirnya, hylemorfisme bukanlah sekadar doktrin usang dari dunia kuno, tetapi merupakan warisan intelektual yang hidup—yang terus memberi inspirasi konseptual dan metodologis dalam menghadapi persoalan-persoalan ontologis dan etis zaman modern. Dalam dunia yang sering tercerai-berai oleh dikotomi dan fragmentasi, pendekatan hylemorfik mengajarkan pentingnya kesatuan, struktur, dan arah kodrati dalam memahami eksistensi manusia dan dunia sekitarnya.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 309–312.

[2]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 195–199.

[3]                Aristotle, De Anima, trans. Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin Books, 1986), II.1, 412a–b.

[4]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 213–220.

[5]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2014), 165–170.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1984). The complete works of Aristotle: The revised Oxford translation (J. Barnes, Ed.; W. D. Ross, Trans.). Princeton University Press.

Aristotle. (1986). De anima (H. Lawson-Tancred, Trans.). Penguin Books.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Churchland, P. M. (1995). The engine of reason, the seat of the soul: A philosophical journey into the brain. MIT Press.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Greece and Rome (Vol. 1). Image Books.

Dear, P. (2001). Revolutionizing the sciences: European knowledge and its ambitions, 1500–1700. Princeton University Press.

Descartes, R. (1983). Principles of philosophy (V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown and Company.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason (Rev. ed.). MIT Press.

Feser, E. (2005). Philosophy of mind: A beginner’s guide. Oneworld.

Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.

Feser, E. (2019). Aristotle’s revenge: The metaphysical foundations of physical and biological science. Editiones Scholasticae.

Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Hume, D. (1964). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.

Kenny, A. (2004). Ancient philosophy: A new history of Western philosophy (Vol. 1). Oxford University Press.

Koons, R. C., & Bealer, G. (Eds.). (2010). The waning of materialism. Oxford University Press.

Kraut, R. (1989). Aristotle on the human good. Princeton University Press.

Lee, P. (1996). Abortion and unborn human life. Catholic University of America Press.

Lear, J. (1988). Aristotle: The desire to understand. Cambridge University Press.

Madden, J. (2013). Mind, matter, and nature: A Thomistic proposal for the philosophy of mind. Catholic University of America Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Norton, B. G. (1991). Toward unity among environmentalists. Oxford University Press.

Oderberg, D. S. (2007). Real essentialism. Routledge.

Owens, J. (1951). The doctrine of being in the Aristotelian metaphysics: A study in the Greek background of mediaeval thought. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Owens, J. (1985). An elementary Christian metaphysics. Center for Thomistic Studies.

Peters, F. E. (1967). Greek philosophical terms: A historical lexicon. New York University Press.

Rolston, H., III. (1986). Philosophy gone wild: Essays in environmental ethics. Prometheus Books.

Sorabji, R. (1988). Matter, space and motion: Theories in antiquity and their sequel. Cornell University Press.

Tollefsen, C., & George, R. P. (2008). Embryo: A defense of human life. Doubleday.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar