Konsep Hylemorfisme
Menyelami Kesatuan Materi dan Bentuk dalam Filsafat
Klasik
Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep hylemorfisme
yang dikembangkan oleh Aristoteles, yakni pandangan metafisis bahwa segala sesuatu
yang ada merupakan gabungan dari materi (hylē) sebagai potensi dan bentuk
(morphē) sebagai aktualitas. Dengan mengacu pada konteks historis dan
filosofis, artikel ini menunjukkan bagaimana hylemorfisme muncul sebagai
respons terhadap dualisme Plato dan persoalan ontologis filsuf pra-Sokratik.
Pembahasan meliputi pengertian dasar hylemorfisme, peran materi sebagai
penerima bentuk, serta bentuk sebagai prinsip pengaktual dan pengatur. Konsep
ini kemudian dianalisis dalam kerangka metafisika Aristoteles, etika,
psikologi, serta pengaruhnya dalam tradisi skolastik melalui Thomas Aquinas.
Artikel ini juga mengeksplorasi kritik terhadap hylemorfisme dari filsafat
modern seperti mekanisme Cartesian dan empirisme Humean, sekaligus menampilkan
respons dari aliran neo-hylemorfisme kontemporer. Pada akhirnya,
hylemorfisme terbukti relevan dalam diskursus filsafat pikiran, bioetika,
ekologi, dan teknologi, sebagai alternatif konseptual yang integral,
non-reduksionis, dan teleologis dalam memahami struktur realitas.
Kata Kunci: Hylemorfisme, Aristoteles, materi, bentuk,
substansi, metafisika, jiwa, etika, neo-hylemorfisme, filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Menyelami Konsep Hylemorfisme Aristoteles dalam
Filsafat Klasik
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
filsafat Barat, Aristoteles menempati posisi sentral sebagai pemikir yang tidak
hanya melanjutkan warisan para filsuf sebelumnya, tetapi juga merevolusi cara
pandang terhadap realitas secara mendasar. Salah satu sumbangsih terpentingnya
dalam bidang metafisika adalah konsep hylemorfisme—gagasan bahwa
setiap benda di dunia tersusun dari dua prinsip utama: materi
(hylē) dan bentuk (morphē). Konsep ini
lahir sebagai respons terhadap pandangan dualistik Plato mengenai dunia ide dan
dunia indrawi, sekaligus sebagai usaha menjawab persoalan perubahan dan
keberadaan yang membingungkan banyak filsuf pra-Sokratik.
Plato berpendapat
bahwa hakikat sejati dari segala sesuatu terletak pada dunia ide yang
immaterial dan abadi, sementara dunia fisik hanyalah bayangan atau tiruan yang
tidak sempurna dari ide-ide tersebut. Aristoteles menolak pemisahan radikal ini
dan justru menegaskan bahwa hakikat sesuatu tidak terpisah dari wujud nyatanya,
tetapi menyatu di dalam benda itu sendiri melalui prinsip bentuk dan materi.
Dengan demikian, hylemorfisme menjadi upaya sintesis yang menjelaskan bagaimana
suatu entitas dapat mengalami perubahan namun tetap mempertahankan identitas
substansialnya¹.
Konsep ini muncul
pertama kali secara sistematis dalam karya monumental Aristoteles, Metaphysics,
di mana ia membahas tentang "substansi" (ousia) sebagai
fondasi dari segala eksistensi. Substansi menurut Aristoteles bukan sekadar
kumpulan aksiden atau kualitas, melainkan kesatuan bentuk dan materi yang
menjadikan sesuatu itu ada secara aktual². Dalam filsafat Aristotelian, materi
adalah potensi, sedangkan bentuk adalah aktualitas—suatu
cara untuk memahami proses menjadi dan eksistensi benda-benda alam secara
rasional dan logis³.
Hylemorfisme tidak
hanya penting dalam kerangka metafisika, tetapi juga memainkan peran
fundamental dalam teori etika, psikologi, biologi, bahkan hingga ke teologi
skolastik melalui pemikiran Thomas Aquinas. Dalam perkembangan selanjutnya,
konsep ini menjadi batu pijakan penting dalam menjelaskan relasi antara tubuh
dan jiwa, serta dalam memahami struktur kausalitas dan perubahan di alam
semesta⁴.
Oleh karena itu,
pemahaman terhadap hylemorfisme tidak sekadar bernilai akademis atau historis,
tetapi juga filosofis dan eksistensial. Ia mengajarkan bahwa keberadaan
bukanlah sesuatu yang tunggal atau statis, melainkan selalu merupakan sintesis
dari kemungkinan dan kenyataan, dari bentuk yang memberi makna dan materi yang
mewadahi bentuk itu. Artikel ini bertujuan untuk menyelami lebih dalam struktur
konseptual hylemorfisme Aristoteles, menelusuri implikasi metafisik dan
ontologisnya, serta meninjau relevansinya dalam diskursus filosofis modern.
Catatan Kaki:
[1]
F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon
(New York: New York University Press, 1967), 73–76.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 1029a–1032b.
[3]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian
Metaphysics: A Study in the Greek Background of Mediaeval Thought
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 147–154.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 75, a. 2, in The
Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
2.
Konteks Historis dan Filosofis
Untuk memahami
konsep hylemorfisme Aristoteles secara utuh, penting terlebih dahulu
menempatkannya dalam konteks sejarah filsafat Yunani klasik. Aristoteles
(384–322 SM) hidup dan berkarya pada masa transisi penting dalam sejarah
intelektual Yunani, yakni ketika warisan para filsuf pra-Sokratik dan sistem
metafisika Plato sedang mendominasi wacana filosofis.
Para filsuf
pra-Sokratik seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos berusaha menjelaskan
asal-usul dan struktur dasar alam semesta dengan mencari satu prinsip dasar
(arche) yang bersifat materiil, seperti air, udara, atau api. Mereka memulai
tradisi berpikir rasional yang berusaha menafsirkan realitas melalui satu
elemen fisik, namun tanpa memberikan penjelasan yang cukup mengenai bentuk,
struktur, dan tujuan benda-benda alami¹. Herakleitos, misalnya, menekankan
perubahan sebagai hakikat segala sesuatu (“panta rhei”), sedangkan
Parmenides justru menolak realitas perubahan dan menegaskan keberadaan sebagai
sesuatu yang statis dan tak berubah².
Plato kemudian
menawarkan solusi atas ketegangan ini dengan teorinya tentang dunia ide (eidos)
yang immaterial, abadi, dan sempurna. Menurutnya, dunia indrawi hanyalah
bayangan dari dunia ide yang lebih nyata. Sebagai contoh, sebuah meja kayu
bukanlah hakikat sejatinya, tetapi hanya tiruan dari “ide ke-meja-an”
yang ada di dunia ide³. Pandangan dualistik ini mengakibatkan keterpisahan
antara bentuk dan kenyataan empiris, serta menimbulkan kesulitan dalam
menjelaskan perubahan sebagai bagian dari realitas konkret.
Aristoteles, yang
pernah menjadi murid Plato selama dua dekade, mengkritik dualisme Platonis dan
mengembangkan pendekatan yang lebih imanen terhadap realitas. Baginya, bentuk
tidak berdiri terpisah dari benda, tetapi menyatu dengan materi sebagai prinsip
aktualisasinya. Dengan demikian, ia memperkenalkan konsep hylemorfisme, yakni
pandangan bahwa setiap benda tersusun dari dua prinsip fundamental: materi
(hylē) sebagai potensi, dan bentuk (morphē) sebagai aktualitas⁴.
Filsafat Aristoteles
bersifat teleologis—yakni, ia melihat segala sesuatu bergerak menuju tujuan
tertentu (telos). Dalam kerangka ini, hylemorfisme menjelaskan bagaimana suatu
entitas dapat mengalami perubahan substansial namun tetap mempertahankan
identitasnya. Bentuk adalah prinsip yang mengatur materi dan memberikan
karakter serta arah perkembangan pada benda tersebut⁵. Dengan pandangan ini,
Aristoteles mampu menjawab teka-teki yang belum tuntas diselesaikan oleh para
pendahulunya: bagaimana mungkin sesuatu berubah, namun tetap menjadi dirinya?
Secara historis,
hylemorfisme juga mencerminkan sintesis antara pendekatan materialistik para
filsuf alam dan pendekatan idealistik Plato. Aristoteles tidak menghapus
kontribusi pendahulunya, tetapi mengintegrasikannya dalam sistem metafisika
yang lebih kompleks dan menyeluruh. Ia melihat dunia sebagai entitas konkret
yang dapat dipahami melalui sebab-sebab intrinsik, bukan sekadar bayangan dari
dunia lain⁶.
Dalam konteks ini,
hylemorfisme bukan hanya konsep metafisik, tetapi juga kerangka berpikir yang
mempengaruhi hampir seluruh cabang pemikiran Aristoteles, mulai dari fisika,
biologi, psikologi, hingga etika dan politik. Pendekatannya yang sistematis dan
berbasis pada realitas konkret menjadikan filsafatnya tetap relevan hingga
kini, dan menjadi landasan penting dalam tradisi filsafat skolastik di Abad
Pertengahan maupun dalam diskursus filsafat modern.
Footnotes
[1]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1: The
Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University
Press, 1962), 47–51.
[2]
G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic
Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
264–269.
[3]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic
Books, 1991), 509d–511e.
[4]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 1045b–1046a.
[5]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 156–162.
[6]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 306–309.
3.
Pengertian Dasar Hylemorfisme
Konsep hylemorfisme
(dari bahasa Yunani hylē = materi, dan morphē
= bentuk) merupakan salah satu inti dari sistem metafisika Aristoteles yang
menjelaskan hakikat realitas sebagai gabungan dari dua prinsip fundamental: materi
(hylē) sebagai potensi dan bentuk (morphē) sebagai aktualitas.
Menurut Aristoteles, segala sesuatu yang ada di dunia fisik tidak mungkin
dipahami hanya melalui materi semata atau bentuk saja, tetapi melalui kesatuan
keduanya¹.
3.1.
Materi (Hylē): Prinsip Potensial
Materi, dalam
pengertian Aristoteles, bukanlah sekadar benda fisik atau zat kasat mata,
melainkan prinsip ketidaktentuan yang berpotensi menjadi sesuatu melalui
bentuk. Ia menyebut materi sebagai dunamis atau potensi: kondisi dasar
yang belum berbentuk dan belum aktual. Materi sendiri tidak memiliki wujud
konkret tanpa bentuk; ia seperti tanah liat tanpa patung, yang hanya menjadi “sesuatu”
jika dibentuk oleh tangan pemahat².
Namun, Aristoteles
membedakan antara materi pertama (prima materia)—yang
sepenuhnya tak berbentuk dan menjadi dasar dari segala bentuk perubahan
substansial—dengan materi kedua, yaitu materi yang
telah terstruktur dan menjadi bagian dari realitas aktual. Materi bukanlah
nihil atau ketiadaan, melainkan kemungkinan yang menunggu untuk diaktualkan³.
3.2.
Bentuk (Morphē): Prinsip Aktualitas
Sebaliknya, bentuk
adalah prinsip yang memberikan struktur, identitas, dan fungsi pada materi.
Bentuk menjadikan suatu benda sebagai apa adanya; ia adalah entelecheia
(pengaktualan) dari potensi yang terkandung dalam materi. Misalnya, bentuk dari
pohon oak mengaktualkan potensi yang ada dalam biji pohon tersebut menjadi
struktur pohon secara utuh⁴.
Bentuk tidak harus
selalu eksternal atau visual, melainkan merupakan substansial form—yakni, esensi atau
hakikat terdalam dari suatu benda. Aristoteles menekankan bahwa bentuk bukanlah
entitas yang terpisah (seperti ide Plato), melainkan imanen di dalam benda itu
sendiri. Dengan demikian, suatu substansi (ousia) adalah kombinasi konkret
antara bentuk dan materi yang tidak dapat dipisahkan dalam realitas⁵.
3.3.
Kesatuan Materi dan Bentuk
Dalam pandangan
Aristoteles, tidak ada benda fisik yang hanya terdiri atas bentuk atau hanya
materi. Keduanya selalu hadir bersama dan saling melengkapi. Materi menyediakan
substrat (dasar), sementara bentuk memberikan aktualitas dan tujuan. Maka,
hylemorfisme adalah sistem penjelasan mengenai bagaimana suatu benda “menjadi”
(to on), melalui hubungan dialektis antara potensi dan aktualitas⁶.
Prinsip ini
sekaligus menjadi jawaban atas teka-teki metafisik yang telah lama
membingungkan para filsuf: bagaimana mungkin sesuatu dapat berubah (menjadi)
tanpa kehilangan identitasnya. Dengan memahami bahwa perubahan terjadi ketika
potensi diaktualkan oleh bentuk baru, maka perubahan bukanlah penghilangan
substansi, melainkan transformasi dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih
aktual⁷.
Dengan demikian,
hylemorfisme bukan hanya teori metafisik, tetapi juga kerangka konseptual yang
menjelaskan struktur ontologis dunia: bahwa segala yang “ada” adalah
sesuatu yang memiliki bentuk dalam materi. Dari batu dan tumbuhan, hingga hewan
dan manusia—semuanya tunduk pada prinsip ini.
Footnotes
[1]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian
Metaphysics: A Study in the Greek Background of Mediaeval Thought
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 171–174.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 1045b–1046a.
[3]
F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon
(New York: New York University Press, 1967), 74.
[4]
David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge,
2007), 49–52.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 324–327.
[6]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western
Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 197–200.
[7]
Edward Feser, Aristotle's Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones
Scholasticae, 2019), 101–105.
4.
Materi (Hylē): Potensi dan Penerima
Bentuk
Dalam sistem
hylemorfisme Aristoteles, hylē atau materi
dipahami sebagai unsur potensial dalam setiap
benda yang memungkinkan perubahan dan keberagaman bentuk. Materi tidak pernah
tampil dalam eksistensinya sendiri secara murni, melainkan selalu melekat pada
bentuk (morphē)
yang mengaktualkannya. Tanpa bentuk, materi hanyalah kemungkinan—bukan
aktualitas, bukan eksistensi nyata, melainkan kapasitas untuk menjadi¹.
4.1.
Materi sebagai Potensi (Dunamis)
Aristoteles
memperkenalkan konsep potensi (dunamis) untuk
menjelaskan hakikat materi. Potensi adalah kemampuan laten atau kemungkinan
internal suatu hal untuk menjadi sesuatu yang lain. Misalnya, kayu memiliki
potensi untuk menjadi meja, dan biji memiliki potensi untuk menjadi pohon.
Namun potensi ini tidak mewujud tanpa prinsip penggerak: yaitu bentuk². Dalam
istilah metafisika Aristoteles, potensi bukanlah ketidakberadaan total,
melainkan suatu jenis keberadaan dalam kemungkinan,
yang hanya menjadi aktual melalui bentuk yang sesuai³.
Dalam Metaphysics,
Aristoteles menegaskan bahwa "materi adalah apa yang menjadi dasar bagi
segala bentuk perubahan substansial"⁴. Hal ini berarti bahwa perubahan
dari satu wujud ke wujud lain hanya mungkin terjadi karena adanya materi
sebagai penerima bentuk-bentuk baru. Sebuah batang perunggu, misalnya, dapat
berubah menjadi patung karena materi perunggu menerima bentuk patung tersebut.
Dengan demikian, materi bersifat pasif tetapi sangat penting karena menjadi
dasar keberlanjutan entitas dalam proses perubahan⁵.
4.2.
Materi Pertama dan Materi Kedua
Aristoteles juga
membedakan antara materi pertama (prima materia)
dan materi
kedua. Prima materia adalah materi yang sepenuhnya
tanpa bentuk, murni potensial, dan tidak dapat diamati secara
langsung—ia hanya diketahui melalui refleksi metafisik. Materi pertama tidak
memiliki karakteristik apapun kecuali kapasitas untuk menerima semua bentuk. Ia
adalah dasar mutlak dari perubahan substansial dan merupakan prinsip kesatuan
di balik perubahan-perubahan bentuk yang tampak⁶.
Sementara itu, materi
kedua adalah materi yang telah memiliki bentuk tertentu tetapi
masih dapat berubah menjadi bentuk lain. Sebagai contoh, tubuh manusia (yang
tersusun dari unsur-unsur fisik) dapat dilihat sebagai materi kedua yang telah
menerima bentuk "ke-manusiaan", tetapi tetap memiliki potensi
untuk mengalami transformasi biologis atau fisik lebih lanjut⁷.
4.3.
Materi sebagai Penerima Bentuk
Peran utama materi
dalam hylemorfisme adalah sebagai penerima bentuk (tò dekhomenon).
Aristoteles menekankan bahwa bentuk tidak dapat diaktualkan tanpa suatu
substrat, dan substrat itulah yang disebut materi. Materi memungkinkan adanya
pluralitas dan perubahan dalam dunia fenomenal. Dengan menerima bentuk, materi
tidak hanya menjadi wadah pasif, tetapi juga merupakan bagian esensial dari
entitas aktual yang kita temui dalam pengalaman sehari-hari⁸.
Dalam kerangka
teleologis Aristoteles, materi tidak bergerak sendiri, melainkan digerakkan
menuju aktualitas oleh bentuk. Maka, meskipun materi itu sendiri tidak memiliki
struktur, ia berkontribusi pada keberadaan struktur ketika dibentuk. Materi
adalah prinsip keberagaman dan perubahan; bentuk adalah prinsip identitas dan
kesatuan⁹.
Footnotes
[1]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 175–178.
[2]
David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge,
2007), 53–55.
[3]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones
Scholasticae, 2019), 112–115.
[4]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 1042a–1043b.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 329–331.
[6]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western
Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 205–207.
[7]
F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon
(New York: New York University Press, 1967), 74–75.
[8]
Thomas Aquinas, De Principiis Naturae, trans. James Bobik in Aquinas
on Nature and Form (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1965),
14–17.
[9]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 54–58.
5.
Bentuk (Morphē): Prinsip Pengaktual dan
Pengatur
Dalam filsafat
hylemorfik Aristoteles, bentuk (morphē)
atau form
merupakan prinsip yang mengaktualkan potensi yang ada dalam materi. Jika materi
adalah apa yang bisa menjadi, maka bentuk adalah apa yang
menjadikan sesuatu sebagaimana adanya. Tanpa bentuk, materi
tetap dalam kondisi potensial dan tidak pernah mewujud menjadi entitas yang
aktual. Oleh karena itu, bentuk adalah prinsip pengaktual dan pengatur, yang
memberikan struktur, esensi, serta tujuan bagi setiap benda¹.
5.1.
Bentuk sebagai Aktualitas (Entelecheia)
Aristoteles
menggunakan istilah entelecheia atau aktualitas untuk
menggambarkan fungsi bentuk. Bentuk adalah realisasi dari kemungkinan yang
dimiliki materi. Misalnya, bentuk "ke-manusiaan" mengaktualkan
tubuh biologis sehingga seseorang menjadi manusia, bukan sekadar makhluk
biologis². Dalam kerangka ini, bentuk bukan hanya struktur luar atau pola,
tetapi mencakup esensi substansial (substantial
form) yang membuat sesuatu menjadi dirinya.
Bentuk tidak hadir
secara terpisah seperti “dunia ide” dalam filsafat Plato. Justru,
Aristoteles secara eksplisit menolak keberadaan entitas bentuk yang berdiri
sendiri di luar objek fisik. Baginya, bentuk bersifat imanen—melekat dalam
realitas konkret dan tidak dapat dipisahkan dari materi³.
5.2.
Fungsi Pengatur dan Prinsip Organisasi
Selain sebagai
aktualitas, bentuk juga berfungsi sebagai prinsip pengatur yang
memberikan struktur dan keteraturan pada materi. Bentuk menentukan jenis
(genus), spesies (species), serta fungsi suatu benda. Ia adalah
penyebab formal (causa formalis) dalam kerangka
empat sebab Aristotelian: penyebab material, formal, efisien, dan final⁴.
Sebagai contoh, bentuk
kursi menjelaskan mengapa kayu dipotong, dirakit, dan disusun sedemikian rupa:
karena ia diarahkan untuk menjadi kursi. Dalam benda-benda alami, seperti
tumbuhan dan hewan, bentuk menjelaskan pertumbuhan, fungsi organ, dan struktur
internal yang khas bagi spesies tertentu. Dengan demikian, bentuk mengarahkan
tidak hanya eksistensi aktual, tetapi juga proses perkembangan dan perubahan alamiah
dari suatu entitas⁵.
5.3.
Bentuk sebagai Prinsip Teleologis
Dalam filsafat
Aristoteles, bentuk erat kaitannya dengan teleologi—yakni pandangan bahwa
segala sesuatu bergerak menuju suatu tujuan (telos). Bentuk bukan hanya apa yang
sesuatu itu sekarang, tetapi juga mencerminkan tujuan keberadaannya. Misalnya,
bentuk pohon ek bukan hanya bentuk saat ini, tetapi juga telos
yang secara alami ingin dicapai oleh biji pohon tersebut melalui proses
pertumbuhan⁶.
Teleologi
Aristoteles tidak bersifat eksternal atau rekayasa buatan, melainkan berasal
dari dalam struktur bentuk itu sendiri. Karena itu, bentuk tidak hanya
menjelaskan apa sesuatu itu, tetapi juga mengapa dan untuk apa sesuatu itu
menjadi. Bentuk, dalam pengertian ini, adalah prinsip arah, fungsi, dan tujuan
dalam sistem natural⁷.
5.4.
Bentuk dan Identitas Substansi
Dalam metafisika
Aristoteles, bentuk memiliki status ontologis yang lebih tinggi daripada
materi, karena ia menjelaskan identitas substansi.
Aristoteles menyatakan bahwa “substansi lebih dekat kepada bentuk daripada
kepada materi” karena bentuk menyatakan esensi, sedangkan materi hanya
menyatakan kemungkinan⁸. Oleh sebab itu, bentuk bukan sekadar pelengkap,
melainkan prinsip dasar eksistensi aktual dan
rasionalisasi terhadap realitas.
Sebagaimana
ditegaskan dalam Metaphysics Zeta, substansi adalah
apa yang “menjadi dirinya sendiri”, dan hal ini hanya dapat dijelaskan
melalui bentuk, bukan sekadar himpunan kualitas material atau komposisi fisik⁹.
Footnotes
[1]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 182–186.
[2]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones
Scholasticae, 2019), 118–122.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 1032b–1035a.
[4]
David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge,
2007), 56–58.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 333–336.
[6]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western
Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 210–213.
[7]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 61–66.
[8]
Aristotle, Metaphysics, VII.10, 1037a5–15.
[9]
F.E. Peters, Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon
(New York: New York University Press, 1967), 78–79.
6.
Aplikasi Hylemorfisme dalam Metafisika dan
Ontologi
Konsep hylemorfisme
tidak hanya menjelaskan struktur ontologis benda-benda alam, tetapi juga menjadi
fondasi bagi keseluruhan sistem metafisika Aristoteles. Melalui pemahaman bahwa
setiap benda terdiri atas materi sebagai potensi dan bentuk
sebagai aktualitas, Aristoteles membangun sebuah kerangka
filosofis untuk memahami substansi, eksistensi, perubahan, dan
keberagaman dalam dunia nyata. Dalam konteks ini, hylemorfisme
menjadi alat analisis utama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam
metafisika dan ontologi.
6.1.
Substansi (Ousia) sebagai Kesatuan Materi dan
Bentuk
Dalam Metaphysics
buku Zeta, Aristoteles merumuskan bahwa substansi (ousia) bukan sekadar
materi atau bentuk, melainkan kesatuan tak terpisahkan antara keduanya.
Substansi adalah “apa yang ada pada dirinya sendiri” dan menjadi dasar
dari segala eksistensi aktual¹. Ketika kita menyebut seekor kuda, yang kita
maksud bukan hanya daging dan tulangnya (materi), tetapi juga bentuknya—yakni
hakikat "ke-kuda-an" yang menjadikannya seekor kuda, bukan
binatang lain.
Dengan demikian,
substansi adalah sintesis ontologis antara
materi sebagai penerima dan bentuk sebagai pengatur. Dalam perspektif ini,
hylemorfisme memungkinkan Aristoteles untuk menjelaskan eksistensi sebagai
gabungan antara potensi dan aktualitas yang bersatu dalam realitas konkret².
6.2.
Empat Sebab dan Prinsip Penjelasan Realitas
Aplikasi paling
jelas dari hylemorfisme dalam metafisika Aristoteles tampak dalam teorinya
tentang empat sebab (causae),
yaitu:
1)
Sebab material
(causa materialis) – unsur penyusun (materi),
2)
Sebab formal
(causa formalis) – struktur atau bentuk,
3)
Sebab efisien
(causa efficiens) – agen atau penggerak, dan
4)
Sebab final
(causa finalis) – tujuan atau akhir dari keberadaan sesuatu³.
Dalam kerangka ini,
materi dan bentuk menjadi dua penyebab internal yang menjelaskan mengapa
sesuatu itu ada dan menjadi seperti itu. Misalnya, sebuah
patung perunggu ada karena perunggunya (materi) dan bentuk estetik yang
diberikan oleh pemahat (bentuk). Pemahaman ini menunjukkan bahwa realitas tidak
bisa direduksi hanya pada elemen fisik atau kausalitas mekanistik semata⁴.
6.3.
Perubahan dan Gerak dalam Ontologi Aristoteles
Salah satu persoalan
besar dalam filsafat pra-Sokratik adalah bagaimana menjelaskan perubahan
tanpa mereduksi realitas atau jatuh ke dalam kontradiksi, seperti dalam
pandangan Herakleitos (segala sesuatu berubah) dan Parmenides (perubahan adalah
ilusi). Aristoteles memecahkan dilema ini melalui kerangka hylemorfisme dengan
membedakan antara potensi (dunamis) dan aktualitas
(energeia).
Menurutnya,
perubahan terjadi ketika potensi dalam materi diaktualkan oleh bentuk baru.
Misalnya, kayu memiliki potensi menjadi meja, dan proses pembuatan meja
mengaktualkan potensi itu melalui bentuk. Maka, perubahan bukanlah hilangnya
satu entitas dan munculnya entitas lain, tetapi transformasi bentuk dalam substrat yang sama⁵.
Dengan pendekatan ini, hylemorfisme memungkinkan pemahaman yang konsisten
dan rasional terhadap dinamika eksistensi.
6.4.
Kesatuan dan Keberagaman: Solusi atas Masalah
Ontologis
Dalam filsafat
ontologis Aristoteles, hylemorfisme juga menjelaskan mengapa
ada keberagaman dalam dunia, padahal segala sesuatu tunduk pada
prinsip kesatuan. Keberagaman muncul karena perbedaan bentuk yang diaktualkan dalam materi
yang sama, atau sebaliknya, materi yang berbeda menerima bentuk yang sama.
Misalnya, kursi kayu dan kursi besi memiliki bentuk yang sama (kursi), tetapi
materi yang berbeda. Sebaliknya, dua objek dari kayu bisa menjadi kursi dan
meja karena memiliki bentuk yang berbeda⁶.
Dengan demikian,
hylemorfisme menawarkan penjelasan mengenai identitas, perbedaan, dan keberlanjutan
dalam satu kerangka ontologis yang menyeluruh dan koheren. Konsep ini
menjembatani antara realitas fisik dan makna metafisik, antara dinamika dunia
dan struktur esensial di baliknya.
6.5.
Relevansi dalam Ontologi Skolastik dan
Metafisika Modern
Pemikiran
Aristoteles mengenai materi dan bentuk sangat berpengaruh dalam filsafat
skolastik, terutama dalam pemikiran Thomas Aquinas. Aquinas
mengadaptasi hylemorfisme untuk menjelaskan jiwa sebagai bentuk tubuh, substansi
spiritual, dan bahkan struktur teologi tentang Tuhan dan
ciptaan⁷. Hingga era modern, filsuf seperti David Oderberg dan Edward Feser
masih menggunakan pendekatan hylemorfik untuk membahas isu-isu ontologis
kontemporer, seperti identitas personal, struktur makhluk hidup, dan filsafat
pikiran⁸.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 1028b–1032a.
[2]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 189–193.
[3]
David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge,
2007), 60–63.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 338–342.
[5]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones
Scholasticae, 2019), 130–134.
[6]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western
Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 220–224.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 76, a. 1–6, in The
Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[8]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2014), 90–95.
7.
Hylemorfisme dalam Etika dan Psikologi
Aristoteles
Pemikiran hylemorfik
Aristoteles tidak hanya terbatas pada metafisika dan ontologi, tetapi juga
memiliki dampak mendalam terhadap pemahamannya mengenai psikologi
dan etika.
Dalam karya De Anima, Aristoteles menerapkan
prinsip hylemorfisme untuk menjelaskan hubungan antara jiwa
(psuchē) dan tubuh sebagai bentuk dan materi
dari makhluk hidup, terutama manusia. Pemikiran ini kemudian menjadi landasan
bagi pandangan etisnya dalam Nicomachean Ethics, di mana
kebajikan dan kebahagiaan (eudaimonia) dijelaskan sebagai realisasi bentuk
ideal dalam kehidupan manusia¹.
7.1.
Jiwa sebagai Bentuk Tubuh
Dalam De Anima,
Aristoteles menyatakan bahwa jiwa adalah bentuk substansial dari tubuh yang memiliki
kehidupan potensial. Ia menulis: “jiwa adalah bentuk pertama
dari tubuh alami yang memiliki kehidupan secara potensial” (ἡ ψυχὴ ἐστιν ἐντελέχεια ἡ πρώτη σώματος φυσικοῦ δυνάμει ζωήν
ἔχοντος)². Dengan kata lain, jiwa bukan substansi terpisah,
tetapi prinsip internal yang mengaktualkan tubuh sebagai organisme hidup.
Pendekatan ini
menolak dualisme Cartesian yang memisahkan jiwa dan tubuh sebagai dua substansi
terpisah. Sebaliknya, dalam kerangka hylemorfik, jiwa dan tubuh adalah kesatuan
ontologis: tubuh adalah materi, dan jiwa adalah bentuk yang
memberinya kehidupan dan fungsi. Hal ini memungkinkan Aristoteles menjelaskan
aktivitas seperti persepsi, ingatan, dan pemikiran sebagai fungsi organis dari
makhluk hidup yang rasional³.
7.2.
Jiwa Manusia dan Hierarki Kemampuan
Aristoteles
membedakan beberapa tingkat jiwa berdasarkan fungsi:
1)
Jiwa vegetatif
(pertumbuhan dan nutrisi) – dimiliki oleh tumbuhan,
2)
Jiwa sensitif
(persepsi dan gerak) – dimiliki oleh hewan,
3)
Jiwa rasional
(akal dan pemikiran) – hanya dimiliki oleh manusia⁴.
Dalam manusia, jiwa
rasional merupakan bentuk yang paling tinggi, karena ia memungkinkan manusia
untuk mengetahui
kebaikan, mengatur tindakan melalui akal,
dan mengembangkan
kebajikan. Jiwa rasional ini juga menjadi dasar bagi pendekatan
etika Aristoteles, di mana manusia dimaknai sebagai makhluk yang secara kodrati
diarahkan untuk mencapai aktualisasi tertinggi sebagai makhluk berakal⁵.
7.3.
Etika sebagai Aktualisasi Bentuk
Dalam Nicomachean
Ethics, Aristoteles mengembangkan etika berbasis hylemorfik dengan
menempatkan kebahagiaan (eudaimonia)
sebagai aktualisasi tertinggi dari bentuk kemanusiaan.
Kebahagiaan bukan sekadar kenikmatan atau kepuasan emosional, melainkan realisasi
fungsi esensial manusia, yaitu berpikir dan bertindak secara
rasional dalam kehidupan yang baik⁶.
Kebajikan (aretē)
dalam etika Aristoteles adalah bentuk kesempurnaan dari jiwa dalam hubungannya
dengan kebiasaan dan pilihan yang baik. Setiap kebajikan mengatur potensi
emosional dan kehendak agar sesuai dengan nalar yang benar. Dengan kata lain, kebajikan
adalah bentuk moral yang mengaktualkan potensi manusia dalam kehidupan praktis⁷.
7.4.
Jiwa dan Kematian: Batas Hylemorfisme
Aristoteles
menyatakan bahwa jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh, karena ia adalah
bentuk dari tubuh. Namun, dalam De Anima III.5, ia memberi isyarat
bahwa nous
poietikos (akal aktif) mungkin tidak bersifat fana, tetapi hal
ini tetap kontroversial dan terbuka untuk interpretasi⁸. Meskipun demikian,
keseluruhan kerangka psikologisnya konsisten dengan prinsip hylemorfik: tidak
ada manusia sebagai substansi utuh tanpa kesatuan antara bentuk (jiwa) dan
materi (tubuh).
Implikasi Etis dan Sosial
Karena manusia
merupakan kesatuan bentuk dan materi, maka pendidikan, pembiasaan, dan struktur
sosial memainkan peran penting dalam mengembangkan bentuk ideal manusia. Dalam
hal ini, etika hylemorfik Aristoteles bersifat komunal, karena pembentukan
kebajikan tidak mungkin terjadi tanpa polis (negara/kota) yang adil
dan mendukung⁹. Struktur sosial bukan hanya sarana eksternal, tetapi bagian
dari proses aktualisasi bentuk manusia secara utuh.
Footnotes
[1]
Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 77–81.
[2]
Aristotle, De Anima, II.1, 412a20–21, trans. Hugh
Lawson-Tancred (London: Penguin Books, 1986), 170.
[3]
David Charles, “Soul and Body in Aristotle,” in Oxford Studies in
Ancient Philosophy 14 (1996): 123–137.
[4]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western
Philosophy, Volume 1 (Oxford: Oxford University Press, 2004), 227–231.
[5]
Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton:
Princeton University Press, 1989), 35–39.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, I.7, 1098a7–20, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 15.
[7]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2007), 148–152.
[8]
Aristotle, De Anima, III.5, 430a10–25. See also: Thomas
Aquinas, Commentary on Aristotle’s De Anima, trans. Kenelm Foster (New
Haven: Yale University Press, 1994), 89–93.
[9]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 350–354.
8.
Hylemorfisme dalam Tradisi Skolastik dan Modern
Sejak dikembangkan
oleh Aristoteles, konsep hylemorfisme mengalami
transformasi dan adaptasi yang signifikan dalam berbagai fase sejarah
pemikiran, khususnya dalam tradisi filsafat skolastik abad
pertengahan dan kebangkitan kembali minat terhadap metafisika Aristotelian dalam
filsafat kontemporer. Baik dalam konteks teologi Kristen Latin maupun diskursus
metafisika analitik modern, prinsip kesatuan materi dan bentuk tetap menjadi
pilar penting dalam menjelaskan realitas fisik dan spiritual.
8.1.
Hylemorfisme dalam Filsafat Skolastik
Pemikir skolastik
paling berpengaruh yang mengadopsi dan mengembangkan hylemorfisme Aristoteles
adalah Thomas
Aquinas (1225–1274). Dalam sistem teologi dan filsafatnya,
Aquinas secara eksplisit memanfaatkan kerangka hylemorfik untuk menjelaskan jiwa,
substansi, tindakan, dan eksistensi, dengan sintesis kreatif
antara warisan Yunani dan doktrin Kristen¹.
Aquinas mengajarkan
bahwa manusia
adalah komposit dari tubuh (materi) dan jiwa (bentuk substansial).
Jiwa bukan hanya prinsip hidup biologis, tetapi juga prinsip intelektual dan
spiritual yang memberi struktur dan makna pada eksistensi manusia. Ia
menyatakan, “Anima est forma corporis” (jiwa adalah bentuk tubuh)².
Dengan kerangka ini, Aquinas dapat mempertahankan kesatuan
manusia sebagai makhluk rasional,
sembari mengakui keberadaan spiritual jiwa secara independen setelah kematian,
sebuah sintesis yang tak ditemukan secara eksplisit dalam Aristoteles.
Selain itu, Aquinas
mengembangkan teori aktus dan potensia (aktualitas
dan potensi) untuk menjelaskan eksistensi Tuhan sebagai actus
purus (aktualitas murni) yang tidak memiliki potensi dan tidak
tersusun dari materi dan bentuk³. Ini menunjukkan bahwa hylemorfisme, meskipun
digunakan untuk menjelaskan benda-benda duniawi, juga dapat diperluas dalam
kerangka metafisika ketuhanan.
8.2.
Hylemorfisme dan Metafisika Spiritualitas
Dalam tradisi
skolastik, konsep hylemorfisme juga digunakan untuk menjelaskan substansi
non-material, seperti malaikat. Meskipun tidak memiliki materi
dalam arti fisik, mereka tetap dianggap sebagai substansi yang terbentuk,
dengan “bentuk murni” yang teraktualisasi tanpa keterikatan pada
materi⁴. Di sinilah hylemorfisme berkembang secara konseptual menjadi kerangka
ontologis universal: tidak terbatas pada benda fisik, tetapi juga
dapat menjelaskan makhluk spiritual, selama kategori aktualitas dan potensi
tetap relevan.
8.3.
Kebangkitan Neo-Aristotelianisme dalam Filsafat
Modern
Setelah masa
pencerahan, filsafat modern sempat menolak hylemorfisme sebagai bagian dari
"filsafat skolastik usang", digantikan oleh mekanisme
Cartesian dan materialisme. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terjadi kebangkitan
pemikiran Aristotelian melalui gerakan neo-hylemorfisme
atau neo-Aristotelian
metaphysics, terutama di kalangan filsuf analitik seperti David
Oderberg, Edward Feser, dan Robert
Koons⁵.
Feser, misalnya,
menunjukkan bahwa teori hylemorfik lebih mampu menjelaskan kesatuan
organisme hidup, identitas personal, dan struktur
kausalitas alami, dibandingkan pendekatan fisikalisme reduktif.
Ia mengajukan bahwa benda-benda tidak dapat dipahami semata-mata sebagai
kumpulan partikel, karena struktur dan fungsi holistiknya adalah hasil dari
bentuk substansial yang mengorganisasi materi⁶.
Dalam konteks filsafat
pikiran, hylemorfisme juga menawarkan alternatif terhadap
dualisme Cartesian dan materialisme eliminatif. Jiwa dipahami sebagai prinsip
formal dari tubuh hidup, yang memungkinkan pemahaman tentang kesadaran dan
identitas diri tanpa mereduksinya ke aktivitas otak semata atau memisahkannya
dari tubuh secara radikal⁷.
Relevansi Kontemporer
Saat ini,
hylemorfisme digunakan dalam berbagai bidang—termasuk bioetika,
metafisika kontemporer, teori tindakan, filsafat sains, dan bahkan filsafat
teknologi. Dalam bioetika, pendekatan hylemorfik memungkinkan
pemahaman menyeluruh tentang kehidupan manusia sebagai kesatuan ontologis,
yang memiliki dimensi fisik dan spiritual. Dalam filsafat sains, konsep ini
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang struktur kausalitas, entitas
emergen, dan kesatuan sistem biologis⁸.
Relevansi
hylemorfisme di era modern menunjukkan bahwa, meskipun lahir dari konteks
Yunani kuno, konsep ini memiliki fleksibilitas konseptual yang kuat,
serta daya
jangkau metafisik yang luas, menjadikannya tetap vital dalam diskursus
filsafat hingga saat ini.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 213–219.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 76, a. 1, in The
Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[3]
Joseph Owens, An Elementary Christian Metaphysics (Houston:
Center for Thomistic Studies, 1985), 184–188.
[4]
Norman Kretzmann, The Metaphysics of Theism: Aquinas's Natural
Theology in Summa Contra Gentiles (Oxford: Clarendon Press, 1997),
143–146.
[5]
David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge,
2007), ix–xiv.
[6]
Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of
Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones
Scholasticae, 2019), 89–91.
[7]
James Madden, Mind, Matter, and Nature: A Thomistic Proposal for
the Philosophy of Mind (Washington, D.C.: Catholic University of America
Press, 2013), 97–102.
[8]
Robert C. Koons and George Bealer, eds., The Waning of Materialism
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 3–28.
9.
Kritik terhadap Hylemorfisme
Meskipun hylemorfisme
Aristoteles telah memainkan peran penting dalam sejarah
filsafat Barat, konsep ini tidak luput dari berbagai kritik
dan tantangan filosofis, terutama sejak berkembangnya sains
modern, filsafat mekanistik, dan epistemologi empiris. Kritik terhadap
hylemorfisme mencerminkan pergeseran paradigma dari pendekatan teleologis dan
metafisika klasik menuju reduksionisme fisik dan rasionalisme matematis,
khususnya sejak masa Revolusi Ilmiah dan era modern
awal.
9.1.
Kritik dari Filsafat Mekanistik: Reduksi
terhadap Materi
Salah satu kritik
paling awal dan berpengaruh terhadap hylemorfisme datang dari mekanisme
Cartesian, yang dikembangkan oleh René Descartes pada abad
ke-17. Dalam kerangka ini, semua fenomena alam dijelaskan sebagai hasil dari
interaksi partikel-partikel fisik yang tunduk pada hukum gerak mekanis. Bentuk
substansial, menurut para mekanis, adalah entitas metafisik yang tidak teramati dan tidak
dapat diverifikasi secara ilmiah, sehingga dianggap tidak
diperlukanⁱ.
Descartes menolak
konsep bentuk substansial sebagai “kata kosong” (mots vides) yang
gagal menjelaskan mekanisme sebab-akibat secara ilmiah². Dalam sistem
Cartesian, tubuh adalah mesin yang bekerja secara deterministik, tanpa perlu
bentuk internal yang mengorganisasi materi. Pendekatan ini akhirnya mendorong
munculnya materialisme dan empirisme,
yang menganggap seluruh realitas dapat dijelaskan secara memadai melalui hukum
fisika dan interaksi materi.
9.2.
Kritik dari Epistemologi Empiris: Verifikasi
dan Observasi
Hylemorfisme juga
dikritik oleh filsuf empiris seperti John
Locke dan David Hume, yang menolak validitas entitas metafisik yang tidak dapat
diverifikasi melalui pengalaman langsung. Bagi Hume, gagasan seperti "substansi"
atau "bentuk" adalah konstruksi pikiran yang tidak
memiliki padanan dalam persepsi inderawi³. Kritik ini menggugurkan keyakinan
bahwa bentuk memiliki peran nyata dalam membentuk eksistensi benda, karena yang
tampak hanyalah kualitas-kualitas yang dapat diamati dan diukur.
Dengan berkembangnya
sains modern yang berbasis observasi, eksperimen, dan matematika, konsep bentuk
sebagai prinsip esensial dianggap terlalu spekulatif dan tidak operasional.
Sebagian ilmuwan dan filsuf kontemporer lebih memilih penjelasan fungsional
atau struktural dalam istilah sistem, kode genetik, atau hukum
fisika, daripada bentuk substansial⁴.
9.3.
Tantangan dari Reduksionisme Fisik dan
Neurofisiologi
Dalam filsafat
pikiran, pendekatan hylemorfik menghadapi tantangan dari neurosains
dan fisikalisme
reduktif, yang berusaha menjelaskan seluruh proses mental dan
kesadaran melalui aktivitas otak. Jika pikiran hanya hasil dari aktivitas
neurologis, maka jiwa sebagai bentuk tubuh dalam
kerangka hylemorfik menjadi tidak relevan atau bahkan dianggap tidak ilmiah⁵.
Model otak-komputer,
teori identitas, dan eliminativisme mewakili sikap filsafat modern yang melihat
tidak perlunya konsep bentuk dalam menjelaskan kesadaran atau identitas
personal. Penjelasan melalui neurofisiologi, sinapsis, dan pemrosesan
informasi dianggap lebih empiris dan dapat diuji. Hal ini
mempersulit penerimaan hylemorfisme di kalangan ilmuwan kontemporer yang
mengutamakan penjelasan kausal yang bisa diuji secara eksperimental⁶.
9.4.
Problem Ketidakterpisahan: Bentuk yang Tidak
Dapat Diisolasi
Salah satu kritik
ontologis terhadap hylemorfisme adalah kesulitan dalam mengidentifikasi bentuk secara
terpisah dari materi. Karena bentuk bersifat imanen dan tidak berdiri
sendiri (tidak seperti ide Plato), maka secara praktis dan epistemologis sulit
membedakan bentuk dari hasil aktualisasi materi. Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana kita mengetahui bentuk jika bentuk tidak
pernah ada tanpa materi?⁷.
Kritikus berpendapat
bahwa, jika bentuk tidak dapat diidentifikasi secara mandiri, maka
keberadaannya sebagai entitas filosofis menjadi lemah. Bentuk terkesan sebagai abstraksi
konseptual, bukan prinsip ontologis nyata.
9.5.
Respons dan Pembaruan dari Neo-Hylemorfisme
Meskipun berbagai
kritik tersebut cukup kuat, para neo-hylemorfis seperti Edward
Feser, David Oderberg, dan John Haldane berusaha merehabilitasi
hylemorfisme sebagai kerangka metafisika yang koheren dan unggul dibandingkan
reduksionisme. Mereka berargumen bahwa konsep bentuk sangat diperlukan untuk
menjelaskan kesatuan entitas biologis, identitas
personal yang berkelanjutan, dan prinsip
finalitas dalam sistem alam⁸.
Neo-hylemorfisme
menyarankan bahwa bentuk tidak perlu dipahami secara mistis atau supranatural,
tetapi sebagai prinsip organisasi dan keterarahan
yang tidak dapat direduksi ke hukum-hukum fisika semata. Ini sejalan dengan
pandangan bahwa struktur dan fungsi organisme tidak hanya
berasal dari komponen fisiknya, tetapi dari totalitas bentuknya.
Footnotes
[1]
Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and
Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001),
85–88.
[2]
René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine
Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), I.70–75.
[3]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1964), I.1.6.
[4]
Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little,
Brown and Company, 1991), 33–36.
[5]
Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of
the Mind-Brain (Cambridge: MIT Press, 1986), 308–312.
[6]
Paul M. Churchland, The Engine of Reason, the Seat of the Soul: A
Philosophical Journey into the Brain (Cambridge: MIT Press, 1995),
101–109.
[7]
Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity
and Their Sequel (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 179–184.
[8]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2014), 135–141.
10.
Relevansi Konseptual Hylemorfisme dalam Konteks
Kekinian
Meskipun
hylemorfisme berasal dari kerangka metafisika Yunani kuno, konsep ini tetap
menunjukkan vitalitas filosofis dalam
menjawab berbagai persoalan kontemporer, mulai dari
filsafat pikiran dan etika biomedis hingga teori sistem dan filsafat
lingkungan. Hylemorfisme menghadirkan alternatif yang tangguh terhadap reduksionisme
materialistik, dengan menawarkan pemahaman yang lebih
menyeluruh dan integratif tentang realitas sebagai kesatuan
bentuk dan materi, aktualitas dan potensi.
10.1.
Filsafat Pikiran dan Identitas Personal
Salah satu medan
paling menantang dalam filsafat modern adalah masalah kesadaran
dan identitas personal. Banyak pendekatan fisikalis mencoba
menjelaskan kesadaran sebagai hasil dari aktivitas otak semata. Namun,
pendekatan ini sering kali gagal menjelaskan kesatuan subjek, pengalaman
kualitatif (qualia), dan kesadaran diri yang berkelanjutanⁱ.
Dalam kerangka
hylemorfik, jiwa dipahami sebagai bentuk substansial tubuh yang
mengorganisasi dan mengaktualisasi seluruh fungsi vital, termasuk kesadaran.
Edward Feser dan James Madden berpendapat bahwa pendekatan hylemorfik
menawarkan keunggulan karena dapat menjelaskan kesatuan psiko-fisik manusia
tanpa jatuh ke dalam dualisme substansi atau reduksionisme neurobiologis².
Dalam hal ini, bentuk bukan hanya struktur, tetapi prinsip pengarah kehidupan,
yang memungkinkan adanya makna, intensionalitas, dan integritas personal.
10.2.
Bioetika dan Filsafat Kehidupan
Dalam bidang bioetika,
hylemorfisme berkontribusi pada pemahaman tentang martabat
manusia, permulaan kehidupan, dan kematian.
Karena manusia dilihat sebagai kesatuan ontologis dari jiwa dan tubuh,
maka setiap tahap kehidupan manusia—mulai dari konsepsi hingga
kematian—dianggap memiliki nilai intrinsik, bukan semata-mata ditentukan oleh
kriteria biologis atau fungsional³.
Hal ini berimplikasi
pada isu-isu penting seperti aborsi, euthanasia,
dan transhumanisme,
di mana pendekatan hylemorfik menolak pendekatan yang mereduksi manusia menjadi
sekadar sistem biologis. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa bentuk manusia—jiwa
rasional—mengaktualkan potensi manusia sejak awal kehidupan⁴.
10.3.
Filsafat Alam dan Ekologi
Hylemorfisme juga
membuka ruang baru dalam filsafat lingkungan, dengan
memperlihatkan bahwa alam bukanlah sekadar akumulasi materi, tetapi sistem
terstruktur yang diarahkan oleh bentuk-bentuk alami. Dengan
pandangan ini, benda-benda alam seperti pohon, sungai, dan organisme bukan
hanya objek mekanis, tetapi entitas dengan prinsip internal dan arah
perkembangan tertentu⁵.
Pendekatan ini
bersinggungan dengan ekologi holistik dan pandangan
teleologis dalam biologi, yang menekankan bahwa makhluk hidup memiliki struktur
internal yang tertuju pada fungsi dan tujuan spesifik. Dalam
konteks ini, hylemorfisme dapat mendukung etika lingkungan yang berbasis pada
penghormatan terhadap keutuhan dan finalitas alam⁶.
10.4.
Teknologi dan Kecerdasan Buatan
Dalam era digital
dan revolusi teknologi, pertanyaan tentang kesadaran buatan (AI) dan identitas
mesin cerdas menjadi semakin relevan. Beberapa futuris bahkan
mengklaim bahwa mesin yang cukup kompleks dapat memiliki “jiwa” atau
kesadaran. Namun dari perspektif hylemorfik, kesadaran tidak dapat dihasilkan semata-mata
dari kompleksitas materi, melainkan bergantung pada bentuk
substansial yang tidak dapat direduksi menjadi struktur fungsional⁷.
Dengan demikian,
meskipun AI dapat meniru perilaku rasional, ia tetap kekurangan bentuk
substansial yang membuat manusia menjadi makhluk rasional sejati. Ini membuka
diskusi filosofis penting tentang batas antara tiruan dan substansi,
serta perbedaan
antara bentuk alami dan bentuk buatan.
10.5.
Rehabilitasi Teleologi dan Finalitas
Hylemorfisme juga
menantang pandangan dunia modern yang didominasi oleh mekanisme
kausal, dengan merehabilitasi teleologi sebagai prinsip
penjelas yang sah dalam filsafat alam. Dalam biologi modern, misalnya, terdapat
kecenderungan untuk memahami fungsi organik berdasarkan tujuan adaptifnya—yang
dalam istilah Aristoteles merupakan causa finalis⁸.
Para filsuf seperti
David Oderberg berpendapat bahwa kecenderungan alami untuk berkembang ke arah
tertentu tidak dapat dijelaskan hanya oleh hukum mekanis atau
seleksi alam. Sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa tujuan inheren
(final cause) masih menjadi bagian penting dari struktur realitas, sebagaimana
dikatakan oleh hylemorfisme⁹.
Kesimpulan Sementara
Melalui berbagai
bidang kontemporer—mulai dari filsafat pikiran hingga etika
lingkungan—hylemorfisme terbukti tidak hanya bertahan sebagai warisan
intelektual, tetapi juga mengalami revitalisasi sebagai kerangka
konseptual yang adaptif dan relevan. Dalam dunia yang semakin
kompleks, pendekatan hylemorfik menawarkan pemahaman yang integral, non-reduktif, dan teleologis
terhadap realitas, manusia, dan alam semesta.
Footnotes
[1]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford
University Press, 1986), 37–45.
[2]
Edward Feser, Philosophy of Mind: A Beginner’s Guide (Oxford:
Oneworld, 2005), 176–182; James Madden, Mind, Matter, and Nature: A
Thomistic Proposal for the Philosophy of Mind (Washington, D.C.: Catholic
University of America Press, 2013), 106–112.
[3]
Patrick Lee, Abortion and Unborn Human Life (Washington, D.C.:
Catholic University of America Press, 1996), 88–94.
[4]
Christopher Tollefsen and Robert P. George, Embryo: A Defense of
Human Life (New York: Doubleday, 2008), 45–50.
[5]
Holmes Rolston III, Philosophy Gone Wild: Essays in Environmental
Ethics (Amherst: Prometheus Books, 1986), 142–147.
[6]
Bryan G. Norton, Toward Unity among Environmentalists (New
York: Oxford University Press, 1991), 63–66.
[7]
Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of
Artificial Reason (Cambridge: MIT Press, 1992), 202–205.
[8]
Aristotle, Physics, II.8, 198b–199a, trans. R.P. Hardie and
R.K. Gaye in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes
(Princeton: Princeton University Press, 1984).
[9]
David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge,
2007), 190–194.
11.
Penutup
Hylemorfisme
Aristoteles, sebagai teori metafisik tentang kesatuan materi
(hylē) dan bentuk (morphē), merupakan
kontribusi monumental dalam sejarah filsafat. Ia memberikan kerangka konseptual
yang kokoh untuk memahami struktur realitas, identitas substansi, proses
perubahan, serta prinsip teleologis yang mengarahkan segala eksistensi menuju
aktualitasnya. Sebagai reaksi terhadap dualisme Plato dan kesulitan ontologis
para filsuf pra-Sokratik, hylemorfisme membentuk sistem alternatif yang integratif
dan dinamis, dengan menjembatani potensi dan aktualitas dalam satu
realitas konkrit¹.
Dalam cakupan
metafisika, hylemorfisme memperkenalkan cara berpikir yang memungkinkan
penjelasan perubahan tanpa kehilangan identitas, serta menjelaskan eksistensi
sebagai perpaduan aktif antara dasar material dan struktur esensial². Dalam
psikologi dan etika, konsep ini melahirkan pandangan tentang jiwa sebagai
bentuk substansial tubuh, yang menyatukan aspek biologis dan rasional manusia,
serta menjadikan kebajikan sebagai bentuk aktualisasi kodrat manusia yang
sejati³.
Pengaruh hylemorfisme
terus berlanjut dalam tradisi filsafat skolastik, terutama melalui Thomas
Aquinas, yang mengintegrasikannya dalam sistem teologi Kristen dengan nuansa
metafisika yang mendalam⁴. Namun, sejak era modern, hylemorfisme menghadapi
tantangan serius dari mekanisme Cartesian, empirisme, dan reduksionisme ilmiah
yang mempertanyakan keberadaan bentuk sebagai entitas metafisik. Meskipun
demikian, kritik-kritik ini telah memicu revitalisasi dan reformulasi hylemorfisme
dalam konteks kontemporer.
Gerakan neo-hylemorfisme
yang muncul dalam filsafat analitik modern menegaskan kembali relevansi
pendekatan Aristoteles dalam menjelaskan realitas secara holistik. Dalam
filsafat pikiran, bioetika, lingkungan, dan filsafat ilmu, hylemorfisme
menawarkan solusi alternatif yang tidak reduksionis, bersifat integral, dan
terbuka terhadap teleologi alamiah, tanpa meninggalkan
rasionalitas ilmiah⁵.
Akhirnya,
hylemorfisme bukanlah sekadar doktrin usang dari dunia kuno, tetapi merupakan
warisan intelektual yang hidup—yang terus memberi inspirasi
konseptual dan metodologis dalam menghadapi persoalan-persoalan
ontologis dan etis zaman modern. Dalam dunia yang sering tercerai-berai oleh
dikotomi dan fragmentasi, pendekatan hylemorfik mengajarkan pentingnya kesatuan,
struktur, dan arah kodrati dalam memahami eksistensi manusia
dan dunia sekitarnya.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 309–312.
[2]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 195–199.
[3]
Aristotle, De Anima, trans. Hugh Lawson-Tancred (London:
Penguin Books, 1986), II.1, 412a–b.
[4]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 213–220.
[5]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2014), 165–170.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1984). The complete works of
Aristotle: The revised Oxford translation (J. Barnes, Ed.; W. D. Ross,
Trans.). Princeton University Press.
Aristotle. (1986). De anima (H.
Lawson-Tancred, Trans.). Penguin Books.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Churchland, P. M. (1995). The engine of reason,
the seat of the soul: A philosophical journey into the brain. MIT Press.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy:
Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy:
Greece and Rome (Vol. 1). Image Books.
Dear, P. (2001). Revolutionizing the sciences:
European knowledge and its ambitions, 1500–1700. Princeton University
Press.
Descartes, R. (1983). Principles of philosophy
(V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained.
Little, Brown and Company.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still
can’t do: A critique of artificial reason (Rev. ed.). MIT Press.
Feser, E. (2005). Philosophy of mind: A
beginner’s guide. Oneworld.
Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A
contemporary introduction. Editiones Scholasticae.
Feser, E. (2019). Aristotle’s revenge: The
metaphysical foundations of physical and biological science. Editiones
Scholasticae.
Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.
Hume, D. (1964). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.
Kenny, A. (2004). Ancient philosophy: A new
history of Western philosophy (Vol. 1). Oxford University Press.
Koons, R. C., & Bealer, G. (Eds.). (2010). The
waning of materialism. Oxford University Press.
Kraut, R. (1989). Aristotle on the human good.
Princeton University Press.
Lee, P. (1996). Abortion and unborn human life.
Catholic University of America Press.
Lear, J. (1988). Aristotle: The desire to
understand. Cambridge University Press.
Madden, J. (2013). Mind, matter, and nature: A
Thomistic proposal for the philosophy of mind. Catholic University of
America Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd
ed.). University of Notre Dame Press.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford University Press.
Oderberg, D. S. (2007). Real essentialism.
Routledge.
Owens, J. (1951). The doctrine of being in the
Aristotelian metaphysics: A study in the Greek background of mediaeval thought.
Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Owens, J. (1985). An elementary Christian
metaphysics. Center for Thomistic Studies.
Peters, F. E. (1967). Greek philosophical terms:
A historical lexicon. New York University Press.
Rolston, H., III. (1986). Philosophy gone wild:
Essays in environmental ethics. Prometheus Books.
Sorabji, R. (1988). Matter, space and motion:
Theories in antiquity and their sequel. Cornell University Press.
Tollefsen, C., & George, R. P. (2008). Embryo:
A defense of human life. Doubleday.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar