Pemikiran John Dewey
Demokrasi, Pendidikan, dan Pragmatisme
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif terhadap
pemikiran filsuf Amerika Serikat, John Dewey, dengan menyoroti
kontribusinya dalam bidang demokrasi, pendidikan, dan pragmatisme.
Melalui pendekatan filsafat pragmatis berbasis pengalaman dan tindakan, Dewey
mereformulasi epistemologi, etika, dan estetika ke dalam kerangka praksis
sosial yang dinamis dan demokratis. Ia menekankan pentingnya pendidikan sebagai
sarana utama pembentukan warga negara reflektif dalam masyarakat yang adil dan
partisipatif. Demokrasi, bagi Dewey, bukan sekadar sistem politik prosedural,
melainkan gaya hidup kolektif yang ditopang oleh komunikasi, kerja sama, dan
tanggung jawab etis. Artikel ini juga membahas relevansi pemikiran Dewey dalam
konteks kontemporer, termasuk dalam pendidikan progresif, demokrasi
deliberatif, filsafat publik, dan gerakan sosial. Meskipun tidak lepas dari
kritik, warisan intelektual Dewey tetap hidup dan memberikan fondasi penting
bagi pemikiran dan praksis sosial abad ke-21.
Kata Kunci: John Dewey; pragmatisme; demokrasi; filsafat
pendidikan; etika sosial; pengalaman; pendidikan progresif; demokrasi
deliberatif.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif atas Pemikiran John Dewey
1.
Pendahuluan
Pada paruh akhir
abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20, Amerika Serikat mengalami dinamika
sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa. Revolusi industri, urbanisasi
cepat, dan perubahan struktur masyarakat menuntut suatu kerangka filsafat baru
yang mampu menjawab tantangan zaman. Dalam konteks inilah muncul tokoh-tokoh
filsuf pragmatis seperti Charles Sanders Peirce dan William James, yang
menawarkan pendekatan epistemologis baru berbasis pengalaman dan kegunaan
praktis. Namun, di antara para pemikir tersebut, John
Dewey (1859–1952) menempati posisi sentral, terutama dalam
mengintegrasikan filsafat dengan kehidupan publik melalui gagasannya tentang
pendidikan dan demokrasi sebagai proses sosial yang terus berkembang.1
Dewey tidak sekadar
menjadi seorang filsuf, tetapi juga seorang pendidik, reformis sosial, dan
pemikir politik. Ia memandang filsafat bukan sebagai kegiatan spekulatif yang
terpisah dari kehidupan sehari-hari, melainkan sebagai sarana untuk memecahkan
masalah konkret dalam masyarakat. Pendekatan pragmatis yang
dikembangkannya—yang kemudian ia sebut sebagai instrumentalism—menjadi landasan
bagi pembaruan dalam berbagai bidang, terutama pendidikan, etika, dan politik.2
Melalui karya monumentalnya Democracy and Education (1916),
Dewey menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya sarana transmisi pengetahuan,
melainkan alat utama dalam membentuk warga negara yang sadar, reflektif, dan
partisipatif dalam kehidupan demokratis.3
Signifikansi
pemikiran Dewey tidak terbatas pada konteks sejarahnya, melainkan terus bergema
dalam diskursus kontemporer, khususnya dalam pendidikan progresif, demokrasi
deliberatif, dan filsafat publik. Di tengah krisis epistemologis dan
fragmentasi nilai dalam masyarakat modern, pemikiran Dewey memberikan tawaran
yang relevan: bahwa pengalaman, dialog, dan kolaborasi merupakan fondasi
penting bagi pembangunan sosial dan etika publik yang berkeadilan.4
Kajian ini bertujuan
untuk menelusuri secara mendalam pemikiran John Dewey dengan pendekatan tematik
yang mencakup aspek epistemologis (pragmatisme), praksis pendidikan, serta
pandangannya mengenai demokrasi. Melalui kajian pustaka terhadap karya-karya
utama Dewey dan interpretasi dari para pemikir kontemporer, artikel ini
menyajikan analisis komprehensif mengenai kontribusi Dewey terhadap filsafat
Amerika dan warisan intelektual global yang ditinggalkannya.
Footnotes
[1]
Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy
(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 23–25.
[2]
John Dewey, The Quest for Certainty: A Study of the Relation of
Knowledge and Action (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 4–5.
[3]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 1–7.
[4]
Gert J. J. Biesta, Beyond Learning: Democratic Education for a
Human Future (Boulder: Paradigm Publishers, 2006), 20–21.
2.
Biografi Intelektual John Dewey
John Dewey lahir
pada 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont, Amerika Serikat, dalam keluarga
kelas menengah yang relatif terdidik dan berpandangan liberal. Sejak masa muda,
Dewey telah menunjukkan minat besar terhadap isu-isu sosial dan pendidikan. Ia
menempuh pendidikan tinggi di University of Vermont, dan kemudian melanjutkan
studi filsafat di Johns Hopkins University, tempat ia mendapat pengaruh besar
dari George Sylvester Morris dan Charles Sanders Peirce, serta pemikiran
idealisme Hegelian yang dominan pada masa itu.1
Dewey mengawali
karier akademiknya sebagai pengajar di University of Michigan, di mana ia mulai
merumuskan pemikirannya sendiri yang secara bertahap meninggalkan idealisme
spekulatif dan mengarah pada pendekatan eksperimental yang lebih pragmatis.
Perpindahannya ke University of Chicago pada tahun 1894 menjadi titik balik
penting, karena di sanalah ia mendirikan Laboratory School, sebuah
sekolah eksperimental yang menggabungkan teori pendidikan dengan praktik
langsung. Sekolah ini mencerminkan keyakinannya bahwa pendidikan adalah sarana
utama untuk pembentukan masyarakat demokratis dan dinamis.2
Pada awal abad
ke-20, Dewey pindah ke Columbia University di New
York, tempat ia mengajar dan menulis selama lebih dari dua dekade. Masa ini
merupakan periode paling produktif dalam kehidupan intelektualnya, ditandai
dengan lahirnya karya-karya penting seperti The School and Society (1899), Democracy
and Education (1916), Experience and Nature (1925), dan The
Public and Its Problems (1927).3 Dalam karya-karya
tersebut, Dewey mengembangkan pendekatan pragmatis yang menekankan pentingnya
pengalaman sebagai dasar berpikir dan bertindak, serta menjadikan demokrasi
bukan hanya sebagai sistem politik, tetapi juga sebagai cara hidup yang
mencerminkan kerja sama, dialog, dan eksperimentasi sosial.4
Secara intelektual,
Dewey terlibat dalam berbagai gerakan reformasi sosial, pendidikan progresif,
dan diskursus internasional tentang filsafat dan politik. Ia dikenal luas tidak
hanya di Amerika, tetapi juga di Eropa dan Asia, terutama melalui
partisipasinya dalam forum internasional dan kunjungan akademiknya ke
negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Turki. Di Tiongkok, misalnya, Dewey
memberikan serangkaian kuliah yang berdampak signifikan terhadap perkembangan
pemikiran modern di kalangan intelektual Tionghoa pada awal abad ke-20.5
Kematian John Dewey
pada tahun 1952 menandai berakhirnya satu era penting dalam filsafat Amerika,
namun warisan intelektualnya tetap hidup hingga kini. Dengan kombinasi antara
dedikasi akademik, kepedulian sosial, dan orientasi praksis, Dewey menjadi
tokoh kunci dalam membentuk wajah pragmatisme Amerika dan memperkaya diskursus
global mengenai pendidikan, demokrasi, dan filsafat publik.
Footnotes
[1]
Alan Ryan, John Dewey and the High Tide of American Liberalism
(New York: W. W. Norton, 1995), 18–21.
[2]
Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy
(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 76–78.
[3]
John Dewey, The School and Society (Chicago: University of
Chicago Press, 1899); Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916); Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925); The
Public and Its Problems (Chicago: Swallow Press, 1927).
[4]
James Campbell, Understanding John Dewey: Nature and Cooperative
Intelligence (La Salle, IL: Open Court, 1995), 34–36.
[5]
Barry Keenan, The Dewey Experiment in China: Educational Reform and
Political Power in the Early Republic (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1977), 44–47.
3.
Pragmatisme sebagai Dasar Epistemologis
John Dewey merupakan
salah satu tokoh utama dalam perkembangan filsafat pragmatisme, aliran
filsafat khas Amerika Serikat yang menekankan peran pengalaman, tindakan, dan
konsekuensi praktis dalam proses berpikir. Berbeda dengan pendekatan
rasionalistik atau empiristik klasik yang cenderung bersifat spekulatif atau
pasif, pragmatisme menurut Dewey adalah pendekatan aktif terhadap dunia, di
mana pengetahuan
lahir dari interaksi dinamis antara subjek dan lingkungannya
dalam upaya memecahkan masalah konkret.1
Dalam karya utamanya
The
Quest for Certainty (1929), Dewey mengkritik filsafat tradisional
yang menurutnya terlalu berorientasi pada pencarian kepastian absolut
(certainty), terlepas dari kenyataan dunia yang senantiasa berubah dan
kompleks. Ia menolak dikotomi antara pikiran dan realitas, serta antara teori
dan praktik, yang selama berabad-abad mendominasi filsafat Barat sejak Plato.
Menurut Dewey, pengetahuan sejati tidak bersifat statis atau kontemplatif,
melainkan bersifat eksperimental dan kontekstual,
di mana ide-ide diuji melalui pengalaman dan tindakan nyata.2
Dewey menyebut
pendekatannya sebagai instrumentalisme, yaitu
pandangan bahwa ide dan konsep adalah alat (instruments) untuk mengarahkan
tindakan dan menyelesaikan persoalan, bukan representasi mutlak dari realitas.
Dalam konteks ini, kebenaran bukanlah korespondensi antara pikiran
dan dunia, melainkan keberhasilan ide dalam menghasilkan hasil yang diinginkan
dalam praktik.3 Dengan demikian, berpikir bukanlah
proses menemukan sesuatu yang telah ada, melainkan proses aktif dalam membentuk
makna melalui interaksi berkelanjutan dengan dunia.
Dewey juga
menekankan pentingnya proses inquiry atau
penyelidikan sebagai metode epistemologis. Inquiry dimulai ketika individu
menghadapi situasi problematik (problematic situation), yang menimbulkan
ketidakpastian dan memicu refleksi. Dalam proses ini, hipotesis diajukan dan
diuji melalui tindakan eksperimental, hingga tercapai resolusi yang memadai
terhadap persoalan tersebut. Model ini menekankan bahwa pengetahuan berkembang
melalui siklus refleksi dan aksi, bukan melalui penerimaan dogmatis atau
deduksi semata.4
Pandangan
epistemologis Dewey sangat erat kaitannya dengan komitmennya terhadap demokrasi
dan pendidikan. Ia percaya bahwa masyarakat demokratis membutuhkan warga yang
mampu berpikir kritis, reflektif, dan terbuka terhadap pengalaman baru.
Oleh karena itu, pragmatisme tidak hanya merupakan filsafat pengetahuan, tetapi
juga kerangka etika dan sosial yang mendorong keterlibatan aktif dalam
kehidupan publik dan pendidikan progresif.5
Dengan pendekatan
ini, Dewey tidak hanya merevolusi epistemologi modern, tetapi juga menjadikan
filsafat sebagai alat yang hidup dan relevan untuk membangun masyarakat yang
dinamis, partisipatif, dan berorientasi pada pemecahan masalah nyata.
Pragmatisme Dewey, dengan demikian, menjadi fondasi yang kuat bagi seluruh
gagasan filsafat pendidikan dan sosial yang dikembangkannya sepanjang hidup.
Footnotes
[1]
Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity
Press, 2010), 39–42.
[2]
John Dewey, The Quest for Certainty: A Study of the Relation of
Knowledge and Action (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 3–5.
[3]
Sidney Hook, John Dewey: An Intellectual Portrait (New York:
John Day Company, 1939), 100–103.
[4]
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt
and Company, 1938), 104–109.
[5]
Larry A. Hickman, Philosophical Tools for Technological Culture:
Putting Pragmatism to Work (Bloomington: Indiana University Press, 2001),
67–70.
4.
Filsafat Pendidikan John Dewey
John Dewey dikenal
secara luas sebagai bapak pendidikan progresif di
Amerika Serikat dan salah satu filsuf pendidikan paling berpengaruh dalam
sejarah modern. Bagi Dewey, pendidikan bukanlah sekadar proses pewarisan
informasi dari generasi tua ke generasi muda, tetapi merupakan proses
rekonstruksi pengalaman secara terus-menerus dalam rangka
pengembangan potensi individual dan pembentukan kehidupan sosial yang
demokratis.1
Dalam karya
klasiknya Democracy
and Education (1916), Dewey menyatakan bahwa pendidikan
dan demokrasi memiliki relasi yang inheren dan timbal balik.
Demokrasi menuntut warga negara yang aktif, reflektif, dan memiliki kemampuan
berpikir kritis. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan
hafalan dan ketaatan pasif terhadap otoritas, tetapi mengembangkan kebiasaan
berpikir, kerja sama sosial, dan kemampuan menyelesaikan masalah melalui pengalaman
langsung.2
Salah satu prinsip
utama dalam filsafat pendidikan Dewey adalah “learning by doing”, yaitu
gagasan bahwa siswa belajar paling baik ketika mereka secara aktif terlibat
dalam pengalaman nyata yang bermakna. Ia menolak sistem pendidikan tradisional
yang menempatkan siswa sebagai objek pasif dari otoritas guru, dan menggantinya
dengan pendekatan partisipatif di mana guru bertindak sebagai fasilitator
proses belajar.3 Dalam hal ini, sekolah harus menjadi “miniatur
masyarakat”, tempat siswa belajar hidup dalam komunitas dan
menyelesaikan masalah bersama melalui dialog dan kerja sama.4
Bagi Dewey, pengalaman
(experience) merupakan fondasi epistemologis dan pedagogis yang
vital. Namun, tidak semua pengalaman bersifat edukatif. Oleh karena itu, Dewey
membedakan antara pengalaman yang bersifat "disconnected" (terputus)
dan yang bersifat "educative" (mendidik). Pengalaman edukatif adalah
pengalaman yang bersifat kontinu (continuity) dan terintegrasi (interaction),
yakni yang memungkinkan pertumbuhan intelektual dan moral peserta didik secara
berkelanjutan.5
Filsafat pendidikan
Dewey juga menekankan pentingnya konteks sosial dan nilai demokratis dalam
pendidikan. Menurutnya, pendidikan harus menciptakan kondisi di
mana peserta didik dapat mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan publik secara reflektif dan bertanggung jawab. Pendidikan bukan hanya
untuk individu, tetapi juga untuk pembangunan masyarakat yang adil dan
inklusif. Dalam kerangka ini, demokrasi adalah nilai normatif dan orientasi
praksis pendidikan, bukan sekadar sistem politik.6
Lebih jauh, Dewey
mengkritik tajam dualisme antara teori dan praktik yang selama ini mewarnai
sistem pendidikan. Ia mendorong penggabungan antara keterampilan praktis dan
refleksi intelektual sebagai satu kesatuan. Kurikulum, menurutnya, harus
fleksibel, relevan dengan kehidupan nyata, dan terbuka terhadap kebutuhan
sosial yang berubah.7
Dengan seluruh
pendekatan ini, Dewey menempatkan pendidikan sebagai sarana vital untuk
membentuk karakter individu yang cerdas, mandiri, dan berorientasi sosial.
Filsafat pendidikannya terus berpengaruh hingga hari ini, khususnya dalam model
pendidikan progresif, pembelajaran berbasis proyek, pendekatan
konstruktivistik, serta pedagogi kritis yang menekankan kebebasan dan keadilan
sosial.
Footnotes
[1]
John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 28–29.
[2]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 87–91.
[3]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd ed. (Boulder:
Westview Press, 2012), 40.
[4]
Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy
(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 104.
[5]
John Dewey, Experience and Education, 33–35.
[6]
Gert J. J. Biesta, Beyond Learning: Democratic Education for a
Human Future (Boulder: Paradigm Publishers, 2006), 20–24.
[7]
David T. Hansen, “Dewey and Education,” in The Oxford Handbook of
Dewey, ed. Steven Fesmire (New York: Oxford University Press, 2010),
295–297.
5.
Pandangan John Dewey tentang Demokrasi
Bagi John Dewey, demokrasi
bukan hanya bentuk pemerintahan, melainkan suatu “cara
hidup” (a way of life) yang mengakar dalam pengalaman sosial
dan interaksi antarwarga negara. Demokrasi, menurutnya, adalah tatanan hidup
yang ditandai oleh partisipasi aktif, komunikasi bebas, dan kerja
sama antarpersonal yang berkelanjutan, di mana setiap individu
diberi ruang untuk mengembangkan kapasitasnya melalui kontribusi terhadap
kehidupan bersama.1
Dalam karya The Public
and Its Problems (1927), Dewey menolak reduksi demokrasi
semata-mata sebagai prosedur elektoral atau sistem representatif. Ia melihat
demokrasi sebagai eksperimen sosial yang selalu
terbuka terhadap perbaikan dan pembaruan. Kelemahan demokrasi modern, menurut
Dewey, terletak pada keterputusan antara warga dan lembaga-lembaga politik,
serta kurangnya pendidikan publik yang mampu menumbuhkan kesadaran kolektif dan
tanggung jawab sosial.2
Sebagai seorang
pragmatis, Dewey memandang demokrasi dalam kerangka epistemologis dan moral. Ia
percaya bahwa pengetahuan dan kebenaran bersifat sosial,
lahir dari proses komunikasi, dialog, dan penyelidikan kolektif. Oleh karena
itu, masyarakat demokratis harus menjadi ruang yang terbuka terhadap debat
publik dan pengujian ide-ide secara kritis—dalam hal ini, demokrasi merupakan metode
hidup yang didasarkan pada refleksi dan kerja sama, bukan
semata pada kompetisi politik.3
Dewey juga
menegaskan bahwa pendidikan adalah syarat mutlak bagi
keberlangsungan demokrasi. Demokrasi tidak dapat bertahan tanpa
warga negara yang berpendidikan secara etis dan intelektual. Pendidikan bukan
hanya alat untuk mentransmisikan budaya politik, tetapi juga sebagai medium
untuk menumbuhkan sikap demokratis, seperti toleransi, empati, dan rasa
tanggung jawab sosial.4 Dalam kerangka ini, sekolah berperan sebagai
laboratorium demokrasi, tempat peserta didik belajar hidup dalam masyarakat
pluralistik dan menghadapi tantangan secara reflektif.
Lebih jauh, Dewey
menekankan bahwa demokrasi sejati harus bersifat inklusif dan tidak berhenti
pada dimensi politik formal. Ia mengkritik ketimpangan sosial dan ekonomi yang
menghambat partisipasi setara dalam kehidupan publik. Oleh karena itu,
demokrasi menurut Dewey tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial—yakni kondisi
sosial-ekonomi yang memungkinkan semua individu berpartisipasi secara bermakna
dalam kehidupan bersama.5
Pandangan Dewey
tentang demokrasi telah memengaruhi teori-teori politik dan pendidikan
kontemporer, termasuk gagasan demokrasi deliberatif,
partisipasi warga, dan pendidikan kewarganegaraan kritis. Warisan pemikirannya
tetap relevan dalam upaya membangun masyarakat yang lebih adil, reflektif, dan
partisipatif dalam menghadapi tantangan global dewasa ini.
Footnotes
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 87–91.
[2]
John Dewey, The Public and Its Problems (Chicago: Swallow
Press, 1927), 111–113.
[3]
Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy
(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 300–304.
[4]
Amy Gutmann, Democratic Education, rev. ed. (Princeton:
Princeton University Press, 1999), 25–29.
[5]
Melvin L. Rogers, The Undiscovered Dewey: Religion, Morality, and
the Ethos of Democracy (New York: Columbia University Press, 2009),
176–179.
6.
Etika dan Estetika dalam Pemikiran Dewey
Dalam kerangka
filsafat pragmatisnya, John Dewey mengembangkan etika dan estetika
sebagai dua dimensi penting dari kehidupan manusia yang saling berkaitan
melalui pengalaman. Ia menolak dualisme tradisional antara moralitas dan
estetika, antara kewajiban dan keindahan, serta antara rasionalitas dan emosi.
Sebaliknya, Dewey menekankan bahwa nilai-nilai etis dan estetis tumbuh dari
pengalaman manusia yang konkret dan kontekstual, bukan dari prinsip-prinsip
normatif yang bersifat absolut dan ahistoris.1
6.1.
Etika sebagai Proses
Sosial dan Eksperimental
Etika menurut Dewey
bersifat eksperimental dan situasional,
bukan sistem normatif yang diturunkan dari hukum moral metafisik. Dalam
karyanya Human
Nature and Conduct (1922), ia menyatakan bahwa tindakan moral
adalah hasil dari kebiasaan (habit) yang terbentuk secara sosial, serta dapat
direkonstruksi melalui refleksi kritis ketika menghadapi situasi baru yang
menantang nilai-nilai lama.2 Dengan demikian, moralitas adalah proses
rekonstruksi berkelanjutan dalam rangka adaptasi terhadap
kondisi sosial yang berubah.
Dewey menolak
pandangan bahwa tindakan etis ditentukan oleh ketaatan terhadap aturan
eksternal, dan lebih menekankan pada pengembangan karakter yang reflektif dan
bertanggung jawab secara sosial. Ia menyamakan moralitas dengan
“intelligence in action,” yaitu kemampuan untuk menimbang konsekuensi tindakan
berdasarkan pengalaman, dialog, dan pertimbangan rasional yang terbuka terhadap
revisi.3
Dalam hal ini, etika
Dewey sangat demokratis dan humanistik. Ia menempatkan
nilai-nilai seperti kejujuran, kerja sama, dan empati sebagai hasil dari
kehidupan sosial yang sehat, bukan sebagai keharusan metafisik. Oleh karena
itu, pendidikan moral tidak cukup dengan indoktrinasi, tetapi harus melibatkan
latihan refleksi, partisipasi, dan tanggung jawab dalam kehidupan komunitas.4
6.2.
Estetika dan
Keutuhan Pengalaman
Dalam bidang
estetika, Dewey mengemukakan pandangannya secara mendalam dalam karya Art as
Experience (1934), yang menjadi salah satu kontribusi penting dalam
filsafat seni modern. Ia mendefinisikan pengalaman estetis sebagai puncak dari
pengalaman manusia yang utuh dan bermakna, di mana terdapat
kesatuan antara perasaan, pikiran, dan tindakan dalam sebuah proses yang intens
dan organis.5
Dewey menolak
pandangan elitis bahwa seni adalah sesuatu yang terpisah dari kehidupan
sehari-hari atau hanya bisa diapresiasi oleh kalangan terdidik. Sebaliknya, ia
berpendapat bahwa seni adalah ekspresi intens dari pengalaman
manusia biasa, yang memiliki kualitas estetis apabila dijalani
secara penuh, sadar, dan bermakna. Seni tidak harus terbatas pada galeri atau
konser, tetapi dapat ditemukan dalam aktivitas harian seperti memasak,
bertukang, atau berdialog, selama pengalaman itu mengandung ritme,
harmoni, dan kesatuan internal.6
Lebih dari itu,
Dewey menempatkan estetika dalam kerangka demokrasi dan pendidikan. Ia melihat
bahwa pengalaman estetis mampu memperdalam kesadaran sosial dan empati,
serta memperkuat ikatan antarindividu dalam masyarakat. Oleh karena itu,
pendidikan estetika harus menjadi bagian integral dari pendidikan demokratis,
karena ia membentuk kepekaan terhadap keindahan, kompleksitas, dan nilai
manusiawi dalam kehidupan bersama.7
6.3.
Etika dan Estetika
sebagai Satu Kesatuan
Bagi Dewey, etika
dan estetika tidak berdiri sendiri sebagai dua cabang filsafat yang terpisah,
tetapi justru saling melengkapi dalam membentuk kualitas hidup yang baik.
Moralitas tanpa estetika cenderung kering dan dogmatis, sementara estetika
tanpa landasan etis dapat menjadi hedonistik dan tidak bertanggung jawab.
Keduanya bertemu dalam pengalaman manusia yang integral, di mana refleksi
etis dan apresiasi estetis berjalan beriringan dalam proses hidup yang bermakna
dan bermoral.8
Dengan pendekatan
ini, Dewey memperluas cakrawala filsafat moral dan seni ke arah yang lebih
inklusif, demokratis, dan praksis. Pandangannya menantang struktur nilai
tradisional dan mendorong pemikiran etika dan estetika yang berakar dalam
pengalaman manusia nyata serta terbuka terhadap transformasi sosial yang
progresif.
Footnotes
[1]
Steven Fesmire, Dewey (London: Routledge, 2015), 88–90.
[2]
John Dewey, Human Nature and Conduct: An Introduction to Social Psychology
(New York: Henry Holt and Company, 1922), 9–14.
[3]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 175–177.
[4]
Nel Noddings, Happiness and Education (Cambridge: Cambridge
University Press, 2003), 88–90.
[5]
John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch &
Company, 1934), 10–15.
[6]
Philip W. Jackson, John Dewey and the Lessons of Art (New
Haven: Yale University Press, 1998), 24–26.
[7]
David Granger, John Dewey, Robert Pirsig, and the Art of Living:
Revisioning Aesthetic Education (New York: Palgrave Macmillan, 2006),
60–63.
[8]
Thomas Alexander, John Dewey's Theory of Art, Experience, and
Nature: The Horizons of Feeling (Albany: SUNY Press, 1987), 190–192.
7.
Kritik terhadap dan Pengaruh Pemikiran John
Dewey
Pemikiran John Dewey
telah meninggalkan jejak yang sangat luas dalam berbagai bidang, mulai dari
filsafat, pendidikan, hingga teori sosial-politik. Meskipun banyak diapresiasi
karena pendekatannya yang progresif dan relevan secara praktis, pemikirannya
juga tidak lepas dari kritik, baik dari kalangan filsuf konservatif maupun kaum
post-strukturalis dan neo-Marxis kontemporer. Oleh karena itu, memahami pengaruh
dan kritik terhadap Dewey menjadi penting untuk menempatkan
kontribusinya secara proporsional dalam wacana intelektual modern.
7.1.
Kritik terhadap
Dewey
Salah satu kritik
utama terhadap Dewey datang dari tradisi filsafat rasionalistik dan idealistik,
yang menganggap pendekatan pragmatisnya terlalu relatif dan tidak cukup memberi
landasan normatif yang kuat bagi etika dan pengetahuan. Filsuf seperti Mortimer
Adler dan Robert Hutchins, misalnya, mengkritik bahwa pendidikan progresif ala
Dewey justru menghasilkan keterlambatan akademik karena terlalu menekankan
kebebasan belajar tanpa struktur kurikulum yang ketat.1
Dari sisi politik, kritik
datang dari kalangan liberal klasik dan konservatif yang
menilai Dewey terlalu optimistis terhadap kapasitas manusia untuk berpikir
rasional dalam membentuk masyarakat demokratis. Mereka menilai bahwa pendekatan
Dewey terlalu bergantung pada asumsi mengenai rasionalitas kolektif, dan
mengabaikan konflik kekuasaan serta irasionalitas massa dalam kehidupan publik.2
Sementara itu, dari
sudut pandang neo-Marxis dan kritis, seperti
Herbert Marcuse dan Paulo Freire, Dewey dianggap belum cukup radikal. Mereka
mengapresiasi sisi emansipatoris dari pendidikan Deweyan, namun menganggap
pendekatannya terlalu reformis dan kurang menyentuh akar struktural dari
ketimpangan sosial dan hegemoni budaya.3 Kritik ini menyoroti bahwa
pendekatan pragmatis Dewey belum sepenuhnya mengantisipasi bagaimana kekuasaan
ideologis bekerja dalam institusi pendidikan dan wacana publik.
Namun demikian, para
kritikus lain seperti Richard Rorty berusaha merehabilitasi Dewey dengan
membacanya dalam kerangka postmodern yang lebih fleksibel. Rorty melihat Dewey
sebagai prototipe filsuf liberal ironis
yang berani melepas ambisi metafisika dan menggantinya dengan komitmen terhadap
solidaritas dan demokrasi.4
7.2.
Pengaruh Pemikiran
Dewey
Di sisi lain, pengaruh
Dewey sangat luas dan mendalam. Dalam bidang pendidikan, gagasannya
menjadi fondasi gerakan pendidikan progresif di Amerika dan
berbagai negara lain, termasuk dalam pendekatan pedagogi konstruktivistik yang
menekankan keterlibatan aktif siswa, pembelajaran berbasis proyek, serta dialog
kritis antara guru dan murid.5 Konsep-konsep seperti learning
by doing, school as a miniature society, dan reflective
thinking masih menjadi rujukan utama dalam kurikulum modern.
Dalam filsafat,
Dewey dianggap sebagai tokoh kunci dalam pembentukan filsafat
pragmatis Amerika, bersama Charles S. Peirce dan William James.
Warisan intelektualnya diteruskan oleh para pemikir seperti Sidney Hook, Hilary
Putnam, dan Richard Rorty, yang memperluas cakrawala pragmatisme ke bidang etika,
epistemologi, dan teori politik kontemporer.6
Secara politis, pemikiran
Dewey tentang demokrasi deliberatif dan partisipatif telah
menginspirasi teori-teori demokrasi modern, termasuk karya-karya Jürgen
Habermas dan Amy Gutmann. Dewey dianggap sebagai pelopor awal dari gagasan
bahwa demokrasi bukan hanya prosedur, melainkan juga etos kehidupan bersama
yang ditopang oleh komunikasi publik yang rasional dan inklusif.7
Di luar dunia
akademik, pengaruh Dewey juga tercermin dalam praktik-praktik pendidikan komunitas,
gerakan pendidikan alternatif, dan kebijakan publik yang menekankan partisipasi
warga. Dalam konteks global, pemikiran Dewey telah diadaptasi di berbagai
negara dengan mempertimbangkan konteks budaya dan sosial yang berbeda,
menunjukkan fleksibilitas dan relevansi universal dari
pendekatan pragmatisnya.
Dengan demikian,
meskipun pemikiran John Dewey tidak lepas dari kritik tajam, warisan
intelektualnya tetap hidup dan berkontribusi signifikan dalam upaya membangun
masyarakat yang lebih reflektif, inklusif, dan demokratis.
Footnotes
[1]
Mortimer J. Adler, Reforming Education: The Opening of the American
Mind (New York: Macmillan, 1988), 54–56.
[2]
Robert A. Nisbet, The Quest for Community (Oxford: Oxford
University Press, 1953), 98–100.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Herder and
Herder, 1970), 36–38; Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the
Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964),
109–112.
[4]
Richard Rorty, Achieving Our Country: Leftist Thought in
Twentieth-Century America (Cambridge: Harvard University Press, 1998),
18–22.
[5]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd ed. (Boulder:
Westview Press, 2012), 50–53.
[6]
Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question (Oxford:
Blackwell, 1995), 10–14.
[7]
Amy Gutmann and Dennis Thompson, Democracy and Disagreement
(Cambridge: Harvard University Press, 1996), 44–46.
8.
Relevansi Kontemporer Pemikiran John Dewey
Di tengah dinamika
sosial, politik, dan pendidikan abad ke-21 yang ditandai oleh disrupsi
teknologi, polarisasi politik, dan ketidakpastian epistemik,
pemikiran John Dewey tampil kembali sebagai sumber inspirasi yang relevan.
Meskipun ia menulis dalam konteks awal abad ke-20, banyak ide-ide kuncinya
terbukti visioner dan adaptif terhadap tantangan modern,
khususnya dalam hal pendidikan demokratis, etika publik, dan filsafat sosial
berbasis pengalaman.
8.1.
Demokrasi
Partisipatif dan Dialog Publik
Salah satu warisan
terbesar Dewey adalah konsepsinya tentang demokrasi sebagai cara hidup (democracy
as a way of life), bukan sekadar sistem politik prosedural. Dalam
era ketika demokrasi menghadapi krisis kepercayaan, meningkatnya populisme, dan
merosotnya partisipasi sipil, pendekatan Dewey mengingatkan pentingnya
membangun budaya dialog, empati, dan partisipasi aktif
di ranah publik.1 Gagasan ini kembali memperoleh daya hidup dalam
teori demokrasi
deliberatif yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas, Amy
Gutmann, dan Dennis Thompson, yang secara eksplisit mengakui akar pragmatis
dalam pemikiran Dewey.2
8.2.
Pendidikan Progresif
dan Literasi Kritis
Dalam dunia
pendidikan, gagasan Dewey tentang learning by doing, refleksi kritis,
dan pengalaman kontekstual masih menjadi pedoman utama dalam pendekatan konstruktivistik
dan pedagogi progresif. Model pembelajaran berbasis proyek (project-based
learning), pembelajaran berbasis inkuiri, hingga pendidikan
kewarganegaraan kritis yang dikembangkan oleh tokoh seperti Paulo Freire,
menunjukkan resonansi kuat dengan prinsip-prinsip Deweyan.3
Saat pendidikan
global semakin terjebak dalam logika pasar dan standar yang kaku, pemikiran
Dewey memberikan alternatif yang mengutamakan kebebasan berpikir, otonomi moral, dan
keterlibatan sosial siswa. Ia menekankan bahwa tujuan
pendidikan bukan sekadar pencapaian akademik, tetapi pembentukan
warga negara reflektif yang mampu berpikir kritis dan bertindak
etis dalam masyarakat yang kompleks.4
8.3.
Etika Sosial dan
Tanggung Jawab Kolektif
Di era kapitalisme
neoliberal yang sering menekankan individualisme dan kompetisi, etika Dewey
yang bersifat sosial dan kolaboratif menawarkan pendekatan alternatif. Ia
mengajarkan bahwa tanggung jawab etis tumbuh dari interaksi
manusia dalam komunitas, bukan dari imperatif moral yang
abstrak. Konsep ini mendasari gerakan pendidikan sosial-emosional (social-emotional
learning) dan pendekatan etika berbasis empati yang kini banyak
diterapkan dalam kurikulum sekolah modern.5
8.4.
Filsafat Publik dan
Pengetahuan Praktis
Dewey juga relevan
dalam membangun jembatan antara filsafat dan kebijakan publik. Ia menolak
filsafat yang mengurung diri dalam spekulasi dan menekankan pentingnya “filsafat
publik”—yakni filsafat yang bersentuhan langsung dengan
problem-problem nyata seperti keadilan sosial, akses pendidikan, dan
kesejahteraan kolektif. Dalam hal ini, ia menjadi teladan bagi para filsuf
publik kontemporer seperti Martha Nussbaum dan Cornel West yang terus
mengedepankan keterlibatan etis dan praksis sosial
sebagai panggilan filosofis.6
8.5.
Ekologi dan Kehidupan
Berkelanjutan
Meskipun tidak
secara eksplisit menulis tentang ekologi, kerangka pragmatisme Dewey—yang
menekankan interaksi dinamis antara manusia dan lingkungannya—menawarkan konsep
filosofis yang kaya untuk pendekatan ekologis. Dalam konteks
krisis iklim dan kehancuran ekologis global, pendekatan Deweyan dapat
mengilhami etika lingkungan yang berbasis komunitas dan pengalaman langsung
dalam relasi manusia-alam.7
Kesimpulan Sementara
Dengan pendekatan
yang terbuka,
kontekstual, dan praksis, pemikiran John Dewey terbukti tetap
hidup dalam beragam medan intelektual dan praksis sosial kontemporer. Ia tidak
hanya memberi warisan metodologis dan normatif bagi pendidikan dan demokrasi,
tetapi juga mengilhami upaya menciptakan masyarakat yang lebih reflektif, adil,
dan berkelanjutan. Dalam dunia yang penuh fragmentasi, Dewey mengingatkan bahwa
pengalaman
bersama dan dialog reflektif adalah fondasi dari kemajuan yang autentik dan
demokratis.
Footnotes
[1]
John Dewey, The Public and Its Problems (Chicago: Swallow
Press, 1927), 143–145.
[2]
Amy Gutmann and Dennis Thompson, Democracy and Disagreement
(Cambridge: Harvard University Press, 1996), 17–19.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic
Courage (Lanham: Rowman & Littlefield, 1998), 13–15.
[4]
Gert J. J. Biesta, Good Education in an Age of Measurement: Ethics,
Politics, Democracy (Boulder: Paradigm, 2010), 45–48.
[5]
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral
Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2003),
102–105.
[6]
Cornel West, Democracy Matters: Winning the Fight Against
Imperialism (New York: Penguin Press, 2004), 36–39.
[7]
Steven Fesmire, John Dewey and Moral Imagination: Pragmatism in
Ethics (Bloomington: Indiana University Press, 2003), 116–119.
9.
Penutup
Kajian terhadap
pemikiran John Dewey memperlihatkan bahwa ia bukan sekadar seorang filsuf
pragmatis, melainkan seorang pemikir multidimensi
yang berhasil menjembatani filsafat, pendidikan, etika, politik, dan seni dalam
satu kerangka praksis yang menyatu dan dinamis. Melalui pendekatan pragmatis
berbasis pengalaman dan eksperimen, Dewey menghadirkan filsafat sebagai alat
untuk hidup, bukan sekadar sistem pemikiran spekulatif yang
terasing dari realitas sosial.1
Filsafat pendidikan
Dewey yang menekankan “learning by doing,” refleksi kritis, dan
partisipasi aktif dalam komunitas, telah menjadi dasar utama
bagi pendidikan progresif dan konstruktivistik hingga hari ini. Ia mengajarkan
bahwa pendidikan sejati bukanlah penanaman hafalan, tetapi pembentukan
manusia demokratis—yaitu individu yang mampu berpikir mandiri,
bertindak etis, dan hidup bersama secara produktif.2 Dalam konteks
ini, pendidikan bukan hanya fungsi institusi formal, tetapi merupakan proses
sosial yang terus berlangsung dalam relasi antara individu dan masyarakat.
Di sisi lain,
pandangan Dewey tentang demokrasi sebagai “cara hidup” menawarkan alternatif
filosofis yang kuat terhadap bentuk-bentuk demokrasi yang dangkal dan
prosedural. Dewey mengusulkan bahwa demokrasi hanya akan bermakna jika ditopang
oleh etika
sosial, partisipasi warga, dan pendidikan publik yang kritis.
Melalui perspektif ini, ia mendorong terbentuknya masyarakat yang tidak hanya
menghormati hukum, tetapi juga menjunjung nilai-nilai deliberasi, empati, dan
tanggung jawab kolektif.3
Etika dan estetika
dalam pemikiran Dewey juga memperluas cakrawala filsafat moral dan seni ke arah
kehidupan
yang utuh dan bermakna. Ia menolak dikotomi antara yang indah
dan yang baik, antara moralitas dan emosi, dan justru menyatukannya dalam
kerangka pengalaman manusiawi yang utuh. Dalam dunia yang semakin
terdigitalisasi dan terdiferensiasi, konsep Dewey tentang pengalaman
sebagai pusat kehidupan etis dan estetis menawarkan pendekatan
humanistik yang tetap relevan.4
Walaupun pemikiran
Dewey tidak luput dari kritik, baik dari kalangan konservatif maupun radikal,
warisan intelektualnya tetap hidup dan berkembang dalam banyak ranah:
pendidikan alternatif, filsafat publik, gerakan sosial, teori demokrasi, hingga
etika lingkungan. Fleksibilitas pragmatisme Dewey memungkinkan pemikirannya terus
diadaptasi tanpa kehilangan esensinya, menjadikannya tokoh
kunci dalam diskursus intelektual kontemporer.
Di tengah krisis
multidimensional abad ke-21—dari disinformasi digital, krisis pendidikan,
hingga fragmentasi sosial—pemikiran John Dewey dapat menjadi rambu
filosofis dan etis bagi upaya membangun masyarakat yang lebih
terbuka, reflektif, dan adil. Dengan menghidupkan kembali semangat pragmatisme,
demokrasi partisipatif, dan pendidikan emansipatoris ala Dewey, kita tidak
hanya mengenangnya sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai mitra
berpikir dalam menghadapi tantangan zaman.5
Footnotes
[1]
Steven Fesmire, Dewey (London: Routledge, 2015), 14–15.
[2]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 87–91.
[3]
Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy
(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 304–306.
[4]
John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch &
Company, 1934), 35–38.
[5]
Gert J. J. Biesta, Beyond Learning: Democratic Education for a
Human Future (Boulder: Paradigm Publishers, 2006), 44–46.
Daftar Pustaka
Adler, M. J. (1988). Reforming education: The
opening of the American mind. Macmillan.
Alexander, T. (1987). John Dewey’s theory of
art, experience, and nature: The horizons of feeling. SUNY Press.
Biesta, G. J. J. (2006). Beyond learning:
Democratic education for a human future. Paradigm Publishers.
Biesta, G. J. J. (2010). Good education in an age
of measurement: Ethics, politics, democracy. Paradigm.
Campbell, J. (1995). Understanding John Dewey:
Nature and cooperative intelligence. Open Court.
Dewey, J. (1899). The school and society.
University of Chicago Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and education: An
introduction to the philosophy of education. Macmillan.
Dewey, J. (1922). Human nature and conduct: An
introduction to social psychology. Henry Holt and Company.
Dewey, J. (1925). Experience and nature.
Open Court.
Dewey, J. (1927). The public and its problems.
Swallow Press.
Dewey, J. (1929). The quest for certainty: A
study of the relation of knowledge and action. Minton, Balch & Company.
Dewey, J. (1934). Art as experience. Minton,
Balch & Company.
Dewey, J. (1938). Logic: The theory of inquiry.
Henry Holt and Company.
Fesmire, S. (2003). John Dewey and moral
imagination: Pragmatism in ethics. Indiana University Press.
Fesmire, S. (2015). Dewey. Routledge.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed.
Herder and Herder.
Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics,
democracy, and civic courage. Rowman & Littlefield.
Granger, D. (2006). John Dewey, Robert Pirsig,
and the art of living: Revisioning aesthetic education. Palgrave Macmillan.
Gutmann, A. (1999). Democratic education
(Rev. ed.). Princeton University Press.
Gutmann, A., & Thompson, D. (1996). Democracy
and disagreement. Harvard University Press.
Hansen, D. T. (2010). Dewey and education. In S.
Fesmire (Ed.), The Oxford handbook of Dewey (pp. 287–306). Oxford
University Press.
Hook, S. (1939). John Dewey: An intellectual
portrait. John Day Company.
Jackson, P. W. (1998). John Dewey and the
lessons of art. Yale University Press.
Keenan, B. (1977). The Dewey experiment in
China: Educational reform and political power in the early Republic.
Harvard University Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies
in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.
Nisbet, R. A. (1953). The quest for community.
Oxford University Press.
Noddings, N. (2003). Caring: A relational
approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California
Press.
Noddings, N. (2012). Philosophy of education
(3rd ed.). Westview Press.
Putnam, H. (1995). Pragmatism: An open question.
Blackwell.
Rogers, M. L. (2009). The undiscovered Dewey:
Religion, morality, and the ethos of democracy. Columbia University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1998). Achieving our country: Leftist
thought in twentieth-century America. Harvard University Press.
Ryan, A. (1995). John Dewey and the high tide of
American liberalism. W. W. Norton.
Westbrook, R. B. (1991). John Dewey and American
democracy. Cornell University Press.
West, C. (2004). Democracy matters: Winning the
fight against imperialism. Penguin Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar