Sabtu, 31 Mei 2025

Pemikiran John Dewey: Demokrasi, Pendidikan, dan Pragmatisme

Pemikiran John Dewey

Demokrasi, Pendidikan, dan Pragmatisme


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif terhadap pemikiran filsuf Amerika Serikat, John Dewey, dengan menyoroti kontribusinya dalam bidang demokrasi, pendidikan, dan pragmatisme. Melalui pendekatan filsafat pragmatis berbasis pengalaman dan tindakan, Dewey mereformulasi epistemologi, etika, dan estetika ke dalam kerangka praksis sosial yang dinamis dan demokratis. Ia menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana utama pembentukan warga negara reflektif dalam masyarakat yang adil dan partisipatif. Demokrasi, bagi Dewey, bukan sekadar sistem politik prosedural, melainkan gaya hidup kolektif yang ditopang oleh komunikasi, kerja sama, dan tanggung jawab etis. Artikel ini juga membahas relevansi pemikiran Dewey dalam konteks kontemporer, termasuk dalam pendidikan progresif, demokrasi deliberatif, filsafat publik, dan gerakan sosial. Meskipun tidak lepas dari kritik, warisan intelektual Dewey tetap hidup dan memberikan fondasi penting bagi pemikiran dan praksis sosial abad ke-21.

Kata Kunci: John Dewey; pragmatisme; demokrasi; filsafat pendidikan; etika sosial; pengalaman; pendidikan progresif; demokrasi deliberatif.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Pemikiran John Dewey


1.           Pendahuluan

Pada paruh akhir abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20, Amerika Serikat mengalami dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa. Revolusi industri, urbanisasi cepat, dan perubahan struktur masyarakat menuntut suatu kerangka filsafat baru yang mampu menjawab tantangan zaman. Dalam konteks inilah muncul tokoh-tokoh filsuf pragmatis seperti Charles Sanders Peirce dan William James, yang menawarkan pendekatan epistemologis baru berbasis pengalaman dan kegunaan praktis. Namun, di antara para pemikir tersebut, John Dewey (1859–1952) menempati posisi sentral, terutama dalam mengintegrasikan filsafat dengan kehidupan publik melalui gagasannya tentang pendidikan dan demokrasi sebagai proses sosial yang terus berkembang.1

Dewey tidak sekadar menjadi seorang filsuf, tetapi juga seorang pendidik, reformis sosial, dan pemikir politik. Ia memandang filsafat bukan sebagai kegiatan spekulatif yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, melainkan sebagai sarana untuk memecahkan masalah konkret dalam masyarakat. Pendekatan pragmatis yang dikembangkannya—yang kemudian ia sebut sebagai instrumentalism—menjadi landasan bagi pembaruan dalam berbagai bidang, terutama pendidikan, etika, dan politik.2 Melalui karya monumentalnya Democracy and Education (1916), Dewey menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya sarana transmisi pengetahuan, melainkan alat utama dalam membentuk warga negara yang sadar, reflektif, dan partisipatif dalam kehidupan demokratis.3

Signifikansi pemikiran Dewey tidak terbatas pada konteks sejarahnya, melainkan terus bergema dalam diskursus kontemporer, khususnya dalam pendidikan progresif, demokrasi deliberatif, dan filsafat publik. Di tengah krisis epistemologis dan fragmentasi nilai dalam masyarakat modern, pemikiran Dewey memberikan tawaran yang relevan: bahwa pengalaman, dialog, dan kolaborasi merupakan fondasi penting bagi pembangunan sosial dan etika publik yang berkeadilan.4

Kajian ini bertujuan untuk menelusuri secara mendalam pemikiran John Dewey dengan pendekatan tematik yang mencakup aspek epistemologis (pragmatisme), praksis pendidikan, serta pandangannya mengenai demokrasi. Melalui kajian pustaka terhadap karya-karya utama Dewey dan interpretasi dari para pemikir kontemporer, artikel ini menyajikan analisis komprehensif mengenai kontribusi Dewey terhadap filsafat Amerika dan warisan intelektual global yang ditinggalkannya.


Footnotes

[1]                Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 23–25.

[2]                John Dewey, The Quest for Certainty: A Study of the Relation of Knowledge and Action (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 4–5.

[3]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 1–7.

[4]                Gert J. J. Biesta, Beyond Learning: Democratic Education for a Human Future (Boulder: Paradigm Publishers, 2006), 20–21.


2.           Biografi Intelektual John Dewey

John Dewey lahir pada 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont, Amerika Serikat, dalam keluarga kelas menengah yang relatif terdidik dan berpandangan liberal. Sejak masa muda, Dewey telah menunjukkan minat besar terhadap isu-isu sosial dan pendidikan. Ia menempuh pendidikan tinggi di University of Vermont, dan kemudian melanjutkan studi filsafat di Johns Hopkins University, tempat ia mendapat pengaruh besar dari George Sylvester Morris dan Charles Sanders Peirce, serta pemikiran idealisme Hegelian yang dominan pada masa itu.1

Dewey mengawali karier akademiknya sebagai pengajar di University of Michigan, di mana ia mulai merumuskan pemikirannya sendiri yang secara bertahap meninggalkan idealisme spekulatif dan mengarah pada pendekatan eksperimental yang lebih pragmatis. Perpindahannya ke University of Chicago pada tahun 1894 menjadi titik balik penting, karena di sanalah ia mendirikan Laboratory School, sebuah sekolah eksperimental yang menggabungkan teori pendidikan dengan praktik langsung. Sekolah ini mencerminkan keyakinannya bahwa pendidikan adalah sarana utama untuk pembentukan masyarakat demokratis dan dinamis.2

Pada awal abad ke-20, Dewey pindah ke Columbia University di New York, tempat ia mengajar dan menulis selama lebih dari dua dekade. Masa ini merupakan periode paling produktif dalam kehidupan intelektualnya, ditandai dengan lahirnya karya-karya penting seperti The School and Society (1899), Democracy and Education (1916), Experience and Nature (1925), dan The Public and Its Problems (1927).3 Dalam karya-karya tersebut, Dewey mengembangkan pendekatan pragmatis yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai dasar berpikir dan bertindak, serta menjadikan demokrasi bukan hanya sebagai sistem politik, tetapi juga sebagai cara hidup yang mencerminkan kerja sama, dialog, dan eksperimentasi sosial.4

Secara intelektual, Dewey terlibat dalam berbagai gerakan reformasi sosial, pendidikan progresif, dan diskursus internasional tentang filsafat dan politik. Ia dikenal luas tidak hanya di Amerika, tetapi juga di Eropa dan Asia, terutama melalui partisipasinya dalam forum internasional dan kunjungan akademiknya ke negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Turki. Di Tiongkok, misalnya, Dewey memberikan serangkaian kuliah yang berdampak signifikan terhadap perkembangan pemikiran modern di kalangan intelektual Tionghoa pada awal abad ke-20.5

Kematian John Dewey pada tahun 1952 menandai berakhirnya satu era penting dalam filsafat Amerika, namun warisan intelektualnya tetap hidup hingga kini. Dengan kombinasi antara dedikasi akademik, kepedulian sosial, dan orientasi praksis, Dewey menjadi tokoh kunci dalam membentuk wajah pragmatisme Amerika dan memperkaya diskursus global mengenai pendidikan, demokrasi, dan filsafat publik.


Footnotes

[1]                Alan Ryan, John Dewey and the High Tide of American Liberalism (New York: W. W. Norton, 1995), 18–21.

[2]                Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 76–78.

[3]                John Dewey, The School and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1899); Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916); Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925); The Public and Its Problems (Chicago: Swallow Press, 1927).

[4]                James Campbell, Understanding John Dewey: Nature and Cooperative Intelligence (La Salle, IL: Open Court, 1995), 34–36.

[5]                Barry Keenan, The Dewey Experiment in China: Educational Reform and Political Power in the Early Republic (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 44–47.


3.           Pragmatisme sebagai Dasar Epistemologis

John Dewey merupakan salah satu tokoh utama dalam perkembangan filsafat pragmatisme, aliran filsafat khas Amerika Serikat yang menekankan peran pengalaman, tindakan, dan konsekuensi praktis dalam proses berpikir. Berbeda dengan pendekatan rasionalistik atau empiristik klasik yang cenderung bersifat spekulatif atau pasif, pragmatisme menurut Dewey adalah pendekatan aktif terhadap dunia, di mana pengetahuan lahir dari interaksi dinamis antara subjek dan lingkungannya dalam upaya memecahkan masalah konkret.1

Dalam karya utamanya The Quest for Certainty (1929), Dewey mengkritik filsafat tradisional yang menurutnya terlalu berorientasi pada pencarian kepastian absolut (certainty), terlepas dari kenyataan dunia yang senantiasa berubah dan kompleks. Ia menolak dikotomi antara pikiran dan realitas, serta antara teori dan praktik, yang selama berabad-abad mendominasi filsafat Barat sejak Plato. Menurut Dewey, pengetahuan sejati tidak bersifat statis atau kontemplatif, melainkan bersifat eksperimental dan kontekstual, di mana ide-ide diuji melalui pengalaman dan tindakan nyata.2

Dewey menyebut pendekatannya sebagai instrumentalisme, yaitu pandangan bahwa ide dan konsep adalah alat (instruments) untuk mengarahkan tindakan dan menyelesaikan persoalan, bukan representasi mutlak dari realitas. Dalam konteks ini, kebenaran bukanlah korespondensi antara pikiran dan dunia, melainkan keberhasilan ide dalam menghasilkan hasil yang diinginkan dalam praktik.3 Dengan demikian, berpikir bukanlah proses menemukan sesuatu yang telah ada, melainkan proses aktif dalam membentuk makna melalui interaksi berkelanjutan dengan dunia.

Dewey juga menekankan pentingnya proses inquiry atau penyelidikan sebagai metode epistemologis. Inquiry dimulai ketika individu menghadapi situasi problematik (problematic situation), yang menimbulkan ketidakpastian dan memicu refleksi. Dalam proses ini, hipotesis diajukan dan diuji melalui tindakan eksperimental, hingga tercapai resolusi yang memadai terhadap persoalan tersebut. Model ini menekankan bahwa pengetahuan berkembang melalui siklus refleksi dan aksi, bukan melalui penerimaan dogmatis atau deduksi semata.4

Pandangan epistemologis Dewey sangat erat kaitannya dengan komitmennya terhadap demokrasi dan pendidikan. Ia percaya bahwa masyarakat demokratis membutuhkan warga yang mampu berpikir kritis, reflektif, dan terbuka terhadap pengalaman baru. Oleh karena itu, pragmatisme tidak hanya merupakan filsafat pengetahuan, tetapi juga kerangka etika dan sosial yang mendorong keterlibatan aktif dalam kehidupan publik dan pendidikan progresif.5

Dengan pendekatan ini, Dewey tidak hanya merevolusi epistemologi modern, tetapi juga menjadikan filsafat sebagai alat yang hidup dan relevan untuk membangun masyarakat yang dinamis, partisipatif, dan berorientasi pada pemecahan masalah nyata. Pragmatisme Dewey, dengan demikian, menjadi fondasi yang kuat bagi seluruh gagasan filsafat pendidikan dan sosial yang dikembangkannya sepanjang hidup.


Footnotes

[1]                Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity Press, 2010), 39–42.

[2]                John Dewey, The Quest for Certainty: A Study of the Relation of Knowledge and Action (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 3–5.

[3]                Sidney Hook, John Dewey: An Intellectual Portrait (New York: John Day Company, 1939), 100–103.

[4]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt and Company, 1938), 104–109.

[5]                Larry A. Hickman, Philosophical Tools for Technological Culture: Putting Pragmatism to Work (Bloomington: Indiana University Press, 2001), 67–70.


4.           Filsafat Pendidikan John Dewey

John Dewey dikenal secara luas sebagai bapak pendidikan progresif di Amerika Serikat dan salah satu filsuf pendidikan paling berpengaruh dalam sejarah modern. Bagi Dewey, pendidikan bukanlah sekadar proses pewarisan informasi dari generasi tua ke generasi muda, tetapi merupakan proses rekonstruksi pengalaman secara terus-menerus dalam rangka pengembangan potensi individual dan pembentukan kehidupan sosial yang demokratis.1

Dalam karya klasiknya Democracy and Education (1916), Dewey menyatakan bahwa pendidikan dan demokrasi memiliki relasi yang inheren dan timbal balik. Demokrasi menuntut warga negara yang aktif, reflektif, dan memiliki kemampuan berpikir kritis. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan hafalan dan ketaatan pasif terhadap otoritas, tetapi mengembangkan kebiasaan berpikir, kerja sama sosial, dan kemampuan menyelesaikan masalah melalui pengalaman langsung.2

Salah satu prinsip utama dalam filsafat pendidikan Dewey adalah “learning by doing”, yaitu gagasan bahwa siswa belajar paling baik ketika mereka secara aktif terlibat dalam pengalaman nyata yang bermakna. Ia menolak sistem pendidikan tradisional yang menempatkan siswa sebagai objek pasif dari otoritas guru, dan menggantinya dengan pendekatan partisipatif di mana guru bertindak sebagai fasilitator proses belajar.3 Dalam hal ini, sekolah harus menjadi “miniatur masyarakat”, tempat siswa belajar hidup dalam komunitas dan menyelesaikan masalah bersama melalui dialog dan kerja sama.4

Bagi Dewey, pengalaman (experience) merupakan fondasi epistemologis dan pedagogis yang vital. Namun, tidak semua pengalaman bersifat edukatif. Oleh karena itu, Dewey membedakan antara pengalaman yang bersifat "disconnected" (terputus) dan yang bersifat "educative" (mendidik). Pengalaman edukatif adalah pengalaman yang bersifat kontinu (continuity) dan terintegrasi (interaction), yakni yang memungkinkan pertumbuhan intelektual dan moral peserta didik secara berkelanjutan.5

Filsafat pendidikan Dewey juga menekankan pentingnya konteks sosial dan nilai demokratis dalam pendidikan. Menurutnya, pendidikan harus menciptakan kondisi di mana peserta didik dapat mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik secara reflektif dan bertanggung jawab. Pendidikan bukan hanya untuk individu, tetapi juga untuk pembangunan masyarakat yang adil dan inklusif. Dalam kerangka ini, demokrasi adalah nilai normatif dan orientasi praksis pendidikan, bukan sekadar sistem politik.6

Lebih jauh, Dewey mengkritik tajam dualisme antara teori dan praktik yang selama ini mewarnai sistem pendidikan. Ia mendorong penggabungan antara keterampilan praktis dan refleksi intelektual sebagai satu kesatuan. Kurikulum, menurutnya, harus fleksibel, relevan dengan kehidupan nyata, dan terbuka terhadap kebutuhan sosial yang berubah.7

Dengan seluruh pendekatan ini, Dewey menempatkan pendidikan sebagai sarana vital untuk membentuk karakter individu yang cerdas, mandiri, dan berorientasi sosial. Filsafat pendidikannya terus berpengaruh hingga hari ini, khususnya dalam model pendidikan progresif, pembelajaran berbasis proyek, pendekatan konstruktivistik, serta pedagogi kritis yang menekankan kebebasan dan keadilan sosial.


Footnotes

[1]                John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 28–29.

[2]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 87–91.

[3]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd ed. (Boulder: Westview Press, 2012), 40.

[4]                Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 104.

[5]                John Dewey, Experience and Education, 33–35.

[6]                Gert J. J. Biesta, Beyond Learning: Democratic Education for a Human Future (Boulder: Paradigm Publishers, 2006), 20–24.

[7]                David T. Hansen, “Dewey and Education,” in The Oxford Handbook of Dewey, ed. Steven Fesmire (New York: Oxford University Press, 2010), 295–297.


5.           Pandangan John Dewey tentang Demokrasi

Bagi John Dewey, demokrasi bukan hanya bentuk pemerintahan, melainkan suatu “cara hidup” (a way of life) yang mengakar dalam pengalaman sosial dan interaksi antarwarga negara. Demokrasi, menurutnya, adalah tatanan hidup yang ditandai oleh partisipasi aktif, komunikasi bebas, dan kerja sama antarpersonal yang berkelanjutan, di mana setiap individu diberi ruang untuk mengembangkan kapasitasnya melalui kontribusi terhadap kehidupan bersama.1

Dalam karya The Public and Its Problems (1927), Dewey menolak reduksi demokrasi semata-mata sebagai prosedur elektoral atau sistem representatif. Ia melihat demokrasi sebagai eksperimen sosial yang selalu terbuka terhadap perbaikan dan pembaruan. Kelemahan demokrasi modern, menurut Dewey, terletak pada keterputusan antara warga dan lembaga-lembaga politik, serta kurangnya pendidikan publik yang mampu menumbuhkan kesadaran kolektif dan tanggung jawab sosial.2

Sebagai seorang pragmatis, Dewey memandang demokrasi dalam kerangka epistemologis dan moral. Ia percaya bahwa pengetahuan dan kebenaran bersifat sosial, lahir dari proses komunikasi, dialog, dan penyelidikan kolektif. Oleh karena itu, masyarakat demokratis harus menjadi ruang yang terbuka terhadap debat publik dan pengujian ide-ide secara kritis—dalam hal ini, demokrasi merupakan metode hidup yang didasarkan pada refleksi dan kerja sama, bukan semata pada kompetisi politik.3

Dewey juga menegaskan bahwa pendidikan adalah syarat mutlak bagi keberlangsungan demokrasi. Demokrasi tidak dapat bertahan tanpa warga negara yang berpendidikan secara etis dan intelektual. Pendidikan bukan hanya alat untuk mentransmisikan budaya politik, tetapi juga sebagai medium untuk menumbuhkan sikap demokratis, seperti toleransi, empati, dan rasa tanggung jawab sosial.4 Dalam kerangka ini, sekolah berperan sebagai laboratorium demokrasi, tempat peserta didik belajar hidup dalam masyarakat pluralistik dan menghadapi tantangan secara reflektif.

Lebih jauh, Dewey menekankan bahwa demokrasi sejati harus bersifat inklusif dan tidak berhenti pada dimensi politik formal. Ia mengkritik ketimpangan sosial dan ekonomi yang menghambat partisipasi setara dalam kehidupan publik. Oleh karena itu, demokrasi menurut Dewey tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial—yakni kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan semua individu berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan bersama.5

Pandangan Dewey tentang demokrasi telah memengaruhi teori-teori politik dan pendidikan kontemporer, termasuk gagasan demokrasi deliberatif, partisipasi warga, dan pendidikan kewarganegaraan kritis. Warisan pemikirannya tetap relevan dalam upaya membangun masyarakat yang lebih adil, reflektif, dan partisipatif dalam menghadapi tantangan global dewasa ini.


Footnotes

[1]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 87–91.

[2]                John Dewey, The Public and Its Problems (Chicago: Swallow Press, 1927), 111–113.

[3]                Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 300–304.

[4]                Amy Gutmann, Democratic Education, rev. ed. (Princeton: Princeton University Press, 1999), 25–29.

[5]                Melvin L. Rogers, The Undiscovered Dewey: Religion, Morality, and the Ethos of Democracy (New York: Columbia University Press, 2009), 176–179.


6.           Etika dan Estetika dalam Pemikiran Dewey

Dalam kerangka filsafat pragmatisnya, John Dewey mengembangkan etika dan estetika sebagai dua dimensi penting dari kehidupan manusia yang saling berkaitan melalui pengalaman. Ia menolak dualisme tradisional antara moralitas dan estetika, antara kewajiban dan keindahan, serta antara rasionalitas dan emosi. Sebaliknya, Dewey menekankan bahwa nilai-nilai etis dan estetis tumbuh dari pengalaman manusia yang konkret dan kontekstual, bukan dari prinsip-prinsip normatif yang bersifat absolut dan ahistoris.1

6.1.       Etika sebagai Proses Sosial dan Eksperimental

Etika menurut Dewey bersifat eksperimental dan situasional, bukan sistem normatif yang diturunkan dari hukum moral metafisik. Dalam karyanya Human Nature and Conduct (1922), ia menyatakan bahwa tindakan moral adalah hasil dari kebiasaan (habit) yang terbentuk secara sosial, serta dapat direkonstruksi melalui refleksi kritis ketika menghadapi situasi baru yang menantang nilai-nilai lama.2 Dengan demikian, moralitas adalah proses rekonstruksi berkelanjutan dalam rangka adaptasi terhadap kondisi sosial yang berubah.

Dewey menolak pandangan bahwa tindakan etis ditentukan oleh ketaatan terhadap aturan eksternal, dan lebih menekankan pada pengembangan karakter yang reflektif dan bertanggung jawab secara sosial. Ia menyamakan moralitas dengan “intelligence in action,” yaitu kemampuan untuk menimbang konsekuensi tindakan berdasarkan pengalaman, dialog, dan pertimbangan rasional yang terbuka terhadap revisi.3

Dalam hal ini, etika Dewey sangat demokratis dan humanistik. Ia menempatkan nilai-nilai seperti kejujuran, kerja sama, dan empati sebagai hasil dari kehidupan sosial yang sehat, bukan sebagai keharusan metafisik. Oleh karena itu, pendidikan moral tidak cukup dengan indoktrinasi, tetapi harus melibatkan latihan refleksi, partisipasi, dan tanggung jawab dalam kehidupan komunitas.4

6.2.       Estetika dan Keutuhan Pengalaman

Dalam bidang estetika, Dewey mengemukakan pandangannya secara mendalam dalam karya Art as Experience (1934), yang menjadi salah satu kontribusi penting dalam filsafat seni modern. Ia mendefinisikan pengalaman estetis sebagai puncak dari pengalaman manusia yang utuh dan bermakna, di mana terdapat kesatuan antara perasaan, pikiran, dan tindakan dalam sebuah proses yang intens dan organis.5

Dewey menolak pandangan elitis bahwa seni adalah sesuatu yang terpisah dari kehidupan sehari-hari atau hanya bisa diapresiasi oleh kalangan terdidik. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa seni adalah ekspresi intens dari pengalaman manusia biasa, yang memiliki kualitas estetis apabila dijalani secara penuh, sadar, dan bermakna. Seni tidak harus terbatas pada galeri atau konser, tetapi dapat ditemukan dalam aktivitas harian seperti memasak, bertukang, atau berdialog, selama pengalaman itu mengandung ritme, harmoni, dan kesatuan internal.6

Lebih dari itu, Dewey menempatkan estetika dalam kerangka demokrasi dan pendidikan. Ia melihat bahwa pengalaman estetis mampu memperdalam kesadaran sosial dan empati, serta memperkuat ikatan antarindividu dalam masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan estetika harus menjadi bagian integral dari pendidikan demokratis, karena ia membentuk kepekaan terhadap keindahan, kompleksitas, dan nilai manusiawi dalam kehidupan bersama.7

6.3.       Etika dan Estetika sebagai Satu Kesatuan

Bagi Dewey, etika dan estetika tidak berdiri sendiri sebagai dua cabang filsafat yang terpisah, tetapi justru saling melengkapi dalam membentuk kualitas hidup yang baik. Moralitas tanpa estetika cenderung kering dan dogmatis, sementara estetika tanpa landasan etis dapat menjadi hedonistik dan tidak bertanggung jawab. Keduanya bertemu dalam pengalaman manusia yang integral, di mana refleksi etis dan apresiasi estetis berjalan beriringan dalam proses hidup yang bermakna dan bermoral.8

Dengan pendekatan ini, Dewey memperluas cakrawala filsafat moral dan seni ke arah yang lebih inklusif, demokratis, dan praksis. Pandangannya menantang struktur nilai tradisional dan mendorong pemikiran etika dan estetika yang berakar dalam pengalaman manusia nyata serta terbuka terhadap transformasi sosial yang progresif.


Footnotes

[1]                Steven Fesmire, Dewey (London: Routledge, 2015), 88–90.

[2]                John Dewey, Human Nature and Conduct: An Introduction to Social Psychology (New York: Henry Holt and Company, 1922), 9–14.

[3]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 175–177.

[4]                Nel Noddings, Happiness and Education (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 88–90.

[5]                John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch & Company, 1934), 10–15.

[6]                Philip W. Jackson, John Dewey and the Lessons of Art (New Haven: Yale University Press, 1998), 24–26.

[7]                David Granger, John Dewey, Robert Pirsig, and the Art of Living: Revisioning Aesthetic Education (New York: Palgrave Macmillan, 2006), 60–63.

[8]                Thomas Alexander, John Dewey's Theory of Art, Experience, and Nature: The Horizons of Feeling (Albany: SUNY Press, 1987), 190–192.


7.           Kritik terhadap dan Pengaruh Pemikiran John Dewey

Pemikiran John Dewey telah meninggalkan jejak yang sangat luas dalam berbagai bidang, mulai dari filsafat, pendidikan, hingga teori sosial-politik. Meskipun banyak diapresiasi karena pendekatannya yang progresif dan relevan secara praktis, pemikirannya juga tidak lepas dari kritik, baik dari kalangan filsuf konservatif maupun kaum post-strukturalis dan neo-Marxis kontemporer. Oleh karena itu, memahami pengaruh dan kritik terhadap Dewey menjadi penting untuk menempatkan kontribusinya secara proporsional dalam wacana intelektual modern.

7.1.       Kritik terhadap Dewey

Salah satu kritik utama terhadap Dewey datang dari tradisi filsafat rasionalistik dan idealistik, yang menganggap pendekatan pragmatisnya terlalu relatif dan tidak cukup memberi landasan normatif yang kuat bagi etika dan pengetahuan. Filsuf seperti Mortimer Adler dan Robert Hutchins, misalnya, mengkritik bahwa pendidikan progresif ala Dewey justru menghasilkan keterlambatan akademik karena terlalu menekankan kebebasan belajar tanpa struktur kurikulum yang ketat.1

Dari sisi politik, kritik datang dari kalangan liberal klasik dan konservatif yang menilai Dewey terlalu optimistis terhadap kapasitas manusia untuk berpikir rasional dalam membentuk masyarakat demokratis. Mereka menilai bahwa pendekatan Dewey terlalu bergantung pada asumsi mengenai rasionalitas kolektif, dan mengabaikan konflik kekuasaan serta irasionalitas massa dalam kehidupan publik.2

Sementara itu, dari sudut pandang neo-Marxis dan kritis, seperti Herbert Marcuse dan Paulo Freire, Dewey dianggap belum cukup radikal. Mereka mengapresiasi sisi emansipatoris dari pendidikan Deweyan, namun menganggap pendekatannya terlalu reformis dan kurang menyentuh akar struktural dari ketimpangan sosial dan hegemoni budaya.3 Kritik ini menyoroti bahwa pendekatan pragmatis Dewey belum sepenuhnya mengantisipasi bagaimana kekuasaan ideologis bekerja dalam institusi pendidikan dan wacana publik.

Namun demikian, para kritikus lain seperti Richard Rorty berusaha merehabilitasi Dewey dengan membacanya dalam kerangka postmodern yang lebih fleksibel. Rorty melihat Dewey sebagai prototipe filsuf liberal ironis yang berani melepas ambisi metafisika dan menggantinya dengan komitmen terhadap solidaritas dan demokrasi.4

7.2.       Pengaruh Pemikiran Dewey

Di sisi lain, pengaruh Dewey sangat luas dan mendalam. Dalam bidang pendidikan, gagasannya menjadi fondasi gerakan pendidikan progresif di Amerika dan berbagai negara lain, termasuk dalam pendekatan pedagogi konstruktivistik yang menekankan keterlibatan aktif siswa, pembelajaran berbasis proyek, serta dialog kritis antara guru dan murid.5 Konsep-konsep seperti learning by doing, school as a miniature society, dan reflective thinking masih menjadi rujukan utama dalam kurikulum modern.

Dalam filsafat, Dewey dianggap sebagai tokoh kunci dalam pembentukan filsafat pragmatis Amerika, bersama Charles S. Peirce dan William James. Warisan intelektualnya diteruskan oleh para pemikir seperti Sidney Hook, Hilary Putnam, dan Richard Rorty, yang memperluas cakrawala pragmatisme ke bidang etika, epistemologi, dan teori politik kontemporer.6

Secara politis, pemikiran Dewey tentang demokrasi deliberatif dan partisipatif telah menginspirasi teori-teori demokrasi modern, termasuk karya-karya Jürgen Habermas dan Amy Gutmann. Dewey dianggap sebagai pelopor awal dari gagasan bahwa demokrasi bukan hanya prosedur, melainkan juga etos kehidupan bersama yang ditopang oleh komunikasi publik yang rasional dan inklusif.7

Di luar dunia akademik, pengaruh Dewey juga tercermin dalam praktik-praktik pendidikan komunitas, gerakan pendidikan alternatif, dan kebijakan publik yang menekankan partisipasi warga. Dalam konteks global, pemikiran Dewey telah diadaptasi di berbagai negara dengan mempertimbangkan konteks budaya dan sosial yang berbeda, menunjukkan fleksibilitas dan relevansi universal dari pendekatan pragmatisnya.

Dengan demikian, meskipun pemikiran John Dewey tidak lepas dari kritik tajam, warisan intelektualnya tetap hidup dan berkontribusi signifikan dalam upaya membangun masyarakat yang lebih reflektif, inklusif, dan demokratis.


Footnotes

[1]                Mortimer J. Adler, Reforming Education: The Opening of the American Mind (New York: Macmillan, 1988), 54–56.

[2]                Robert A. Nisbet, The Quest for Community (Oxford: Oxford University Press, 1953), 98–100.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Herder and Herder, 1970), 36–38; Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 109–112.

[4]                Richard Rorty, Achieving Our Country: Leftist Thought in Twentieth-Century America (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 18–22.

[5]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd ed. (Boulder: Westview Press, 2012), 50–53.

[6]                Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question (Oxford: Blackwell, 1995), 10–14.

[7]                Amy Gutmann and Dennis Thompson, Democracy and Disagreement (Cambridge: Harvard University Press, 1996), 44–46.


8.           Relevansi Kontemporer Pemikiran John Dewey

Di tengah dinamika sosial, politik, dan pendidikan abad ke-21 yang ditandai oleh disrupsi teknologi, polarisasi politik, dan ketidakpastian epistemik, pemikiran John Dewey tampil kembali sebagai sumber inspirasi yang relevan. Meskipun ia menulis dalam konteks awal abad ke-20, banyak ide-ide kuncinya terbukti visioner dan adaptif terhadap tantangan modern, khususnya dalam hal pendidikan demokratis, etika publik, dan filsafat sosial berbasis pengalaman.

8.1.       Demokrasi Partisipatif dan Dialog Publik

Salah satu warisan terbesar Dewey adalah konsepsinya tentang demokrasi sebagai cara hidup (democracy as a way of life), bukan sekadar sistem politik prosedural. Dalam era ketika demokrasi menghadapi krisis kepercayaan, meningkatnya populisme, dan merosotnya partisipasi sipil, pendekatan Dewey mengingatkan pentingnya membangun budaya dialog, empati, dan partisipasi aktif di ranah publik.1 Gagasan ini kembali memperoleh daya hidup dalam teori demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas, Amy Gutmann, dan Dennis Thompson, yang secara eksplisit mengakui akar pragmatis dalam pemikiran Dewey.2

8.2.       Pendidikan Progresif dan Literasi Kritis

Dalam dunia pendidikan, gagasan Dewey tentang learning by doing, refleksi kritis, dan pengalaman kontekstual masih menjadi pedoman utama dalam pendekatan konstruktivistik dan pedagogi progresif. Model pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran berbasis inkuiri, hingga pendidikan kewarganegaraan kritis yang dikembangkan oleh tokoh seperti Paulo Freire, menunjukkan resonansi kuat dengan prinsip-prinsip Deweyan.3

Saat pendidikan global semakin terjebak dalam logika pasar dan standar yang kaku, pemikiran Dewey memberikan alternatif yang mengutamakan kebebasan berpikir, otonomi moral, dan keterlibatan sosial siswa. Ia menekankan bahwa tujuan pendidikan bukan sekadar pencapaian akademik, tetapi pembentukan warga negara reflektif yang mampu berpikir kritis dan bertindak etis dalam masyarakat yang kompleks.4

8.3.       Etika Sosial dan Tanggung Jawab Kolektif

Di era kapitalisme neoliberal yang sering menekankan individualisme dan kompetisi, etika Dewey yang bersifat sosial dan kolaboratif menawarkan pendekatan alternatif. Ia mengajarkan bahwa tanggung jawab etis tumbuh dari interaksi manusia dalam komunitas, bukan dari imperatif moral yang abstrak. Konsep ini mendasari gerakan pendidikan sosial-emosional (social-emotional learning) dan pendekatan etika berbasis empati yang kini banyak diterapkan dalam kurikulum sekolah modern.5

8.4.       Filsafat Publik dan Pengetahuan Praktis

Dewey juga relevan dalam membangun jembatan antara filsafat dan kebijakan publik. Ia menolak filsafat yang mengurung diri dalam spekulasi dan menekankan pentingnya “filsafat publik”—yakni filsafat yang bersentuhan langsung dengan problem-problem nyata seperti keadilan sosial, akses pendidikan, dan kesejahteraan kolektif. Dalam hal ini, ia menjadi teladan bagi para filsuf publik kontemporer seperti Martha Nussbaum dan Cornel West yang terus mengedepankan keterlibatan etis dan praksis sosial sebagai panggilan filosofis.6

8.5.       Ekologi dan Kehidupan Berkelanjutan

Meskipun tidak secara eksplisit menulis tentang ekologi, kerangka pragmatisme Dewey—yang menekankan interaksi dinamis antara manusia dan lingkungannya—menawarkan konsep filosofis yang kaya untuk pendekatan ekologis. Dalam konteks krisis iklim dan kehancuran ekologis global, pendekatan Deweyan dapat mengilhami etika lingkungan yang berbasis komunitas dan pengalaman langsung dalam relasi manusia-alam.7


Kesimpulan Sementara

Dengan pendekatan yang terbuka, kontekstual, dan praksis, pemikiran John Dewey terbukti tetap hidup dalam beragam medan intelektual dan praksis sosial kontemporer. Ia tidak hanya memberi warisan metodologis dan normatif bagi pendidikan dan demokrasi, tetapi juga mengilhami upaya menciptakan masyarakat yang lebih reflektif, adil, dan berkelanjutan. Dalam dunia yang penuh fragmentasi, Dewey mengingatkan bahwa pengalaman bersama dan dialog reflektif adalah fondasi dari kemajuan yang autentik dan demokratis.


Footnotes

[1]                John Dewey, The Public and Its Problems (Chicago: Swallow Press, 1927), 143–145.

[2]                Amy Gutmann and Dennis Thompson, Democracy and Disagreement (Cambridge: Harvard University Press, 1996), 17–19.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage (Lanham: Rowman & Littlefield, 1998), 13–15.

[4]                Gert J. J. Biesta, Good Education in an Age of Measurement: Ethics, Politics, Democracy (Boulder: Paradigm, 2010), 45–48.

[5]                Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2003), 102–105.

[6]                Cornel West, Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperialism (New York: Penguin Press, 2004), 36–39.

[7]                Steven Fesmire, John Dewey and Moral Imagination: Pragmatism in Ethics (Bloomington: Indiana University Press, 2003), 116–119.


9.           Penutup

Kajian terhadap pemikiran John Dewey memperlihatkan bahwa ia bukan sekadar seorang filsuf pragmatis, melainkan seorang pemikir multidimensi yang berhasil menjembatani filsafat, pendidikan, etika, politik, dan seni dalam satu kerangka praksis yang menyatu dan dinamis. Melalui pendekatan pragmatis berbasis pengalaman dan eksperimen, Dewey menghadirkan filsafat sebagai alat untuk hidup, bukan sekadar sistem pemikiran spekulatif yang terasing dari realitas sosial.1

Filsafat pendidikan Dewey yang menekankan “learning by doing,” refleksi kritis, dan partisipasi aktif dalam komunitas, telah menjadi dasar utama bagi pendidikan progresif dan konstruktivistik hingga hari ini. Ia mengajarkan bahwa pendidikan sejati bukanlah penanaman hafalan, tetapi pembentukan manusia demokratis—yaitu individu yang mampu berpikir mandiri, bertindak etis, dan hidup bersama secara produktif.2 Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya fungsi institusi formal, tetapi merupakan proses sosial yang terus berlangsung dalam relasi antara individu dan masyarakat.

Di sisi lain, pandangan Dewey tentang demokrasi sebagai “cara hidup” menawarkan alternatif filosofis yang kuat terhadap bentuk-bentuk demokrasi yang dangkal dan prosedural. Dewey mengusulkan bahwa demokrasi hanya akan bermakna jika ditopang oleh etika sosial, partisipasi warga, dan pendidikan publik yang kritis. Melalui perspektif ini, ia mendorong terbentuknya masyarakat yang tidak hanya menghormati hukum, tetapi juga menjunjung nilai-nilai deliberasi, empati, dan tanggung jawab kolektif.3

Etika dan estetika dalam pemikiran Dewey juga memperluas cakrawala filsafat moral dan seni ke arah kehidupan yang utuh dan bermakna. Ia menolak dikotomi antara yang indah dan yang baik, antara moralitas dan emosi, dan justru menyatukannya dalam kerangka pengalaman manusiawi yang utuh. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terdiferensiasi, konsep Dewey tentang pengalaman sebagai pusat kehidupan etis dan estetis menawarkan pendekatan humanistik yang tetap relevan.4

Walaupun pemikiran Dewey tidak luput dari kritik, baik dari kalangan konservatif maupun radikal, warisan intelektualnya tetap hidup dan berkembang dalam banyak ranah: pendidikan alternatif, filsafat publik, gerakan sosial, teori demokrasi, hingga etika lingkungan. Fleksibilitas pragmatisme Dewey memungkinkan pemikirannya terus diadaptasi tanpa kehilangan esensinya, menjadikannya tokoh kunci dalam diskursus intelektual kontemporer.

Di tengah krisis multidimensional abad ke-21—dari disinformasi digital, krisis pendidikan, hingga fragmentasi sosial—pemikiran John Dewey dapat menjadi rambu filosofis dan etis bagi upaya membangun masyarakat yang lebih terbuka, reflektif, dan adil. Dengan menghidupkan kembali semangat pragmatisme, demokrasi partisipatif, dan pendidikan emansipatoris ala Dewey, kita tidak hanya mengenangnya sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai mitra berpikir dalam menghadapi tantangan zaman.5


Footnotes

[1]                Steven Fesmire, Dewey (London: Routledge, 2015), 14–15.

[2]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 87–91.

[3]                Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 304–306.

[4]                John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch & Company, 1934), 35–38.

[5]                Gert J. J. Biesta, Beyond Learning: Democratic Education for a Human Future (Boulder: Paradigm Publishers, 2006), 44–46.


Daftar Pustaka

Adler, M. J. (1988). Reforming education: The opening of the American mind. Macmillan.

Alexander, T. (1987). John Dewey’s theory of art, experience, and nature: The horizons of feeling. SUNY Press.

Biesta, G. J. J. (2006). Beyond learning: Democratic education for a human future. Paradigm Publishers.

Biesta, G. J. J. (2010). Good education in an age of measurement: Ethics, politics, democracy. Paradigm.

Campbell, J. (1995). Understanding John Dewey: Nature and cooperative intelligence. Open Court.

Dewey, J. (1899). The school and society. University of Chicago Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. Macmillan.

Dewey, J. (1922). Human nature and conduct: An introduction to social psychology. Henry Holt and Company.

Dewey, J. (1925). Experience and nature. Open Court.

Dewey, J. (1927). The public and its problems. Swallow Press.

Dewey, J. (1929). The quest for certainty: A study of the relation of knowledge and action. Minton, Balch & Company.

Dewey, J. (1934). Art as experience. Minton, Balch & Company.

Dewey, J. (1938). Logic: The theory of inquiry. Henry Holt and Company.

Fesmire, S. (2003). John Dewey and moral imagination: Pragmatism in ethics. Indiana University Press.

Fesmire, S. (2015). Dewey. Routledge.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Herder and Herder.

Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage. Rowman & Littlefield.

Granger, D. (2006). John Dewey, Robert Pirsig, and the art of living: Revisioning aesthetic education. Palgrave Macmillan.

Gutmann, A. (1999). Democratic education (Rev. ed.). Princeton University Press.

Gutmann, A., & Thompson, D. (1996). Democracy and disagreement. Harvard University Press.

Hansen, D. T. (2010). Dewey and education. In S. Fesmire (Ed.), The Oxford handbook of Dewey (pp. 287–306). Oxford University Press.

Hook, S. (1939). John Dewey: An intellectual portrait. John Day Company.

Jackson, P. W. (1998). John Dewey and the lessons of art. Yale University Press.

Keenan, B. (1977). The Dewey experiment in China: Educational reform and political power in the early Republic. Harvard University Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.

Nisbet, R. A. (1953). The quest for community. Oxford University Press.

Noddings, N. (2003). Caring: A relational approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.

Noddings, N. (2012). Philosophy of education (3rd ed.). Westview Press.

Putnam, H. (1995). Pragmatism: An open question. Blackwell.

Rogers, M. L. (2009). The undiscovered Dewey: Religion, morality, and the ethos of democracy. Columbia University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1998). Achieving our country: Leftist thought in twentieth-century America. Harvard University Press.

Ryan, A. (1995). John Dewey and the high tide of American liberalism. W. W. Norton.

Westbrook, R. B. (1991). John Dewey and American democracy. Cornell University Press.

West, C. (2004). Democracy matters: Winning the fight against imperialism. Penguin Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar