Pemikiran Jean Piaget
Fondasi Perkembangan Kognitif dan Implikasinya dalam
Pendidikan Kontemporer
Alihkan ke: Filsafat, Psikologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
Jean Piaget, seorang filsuf, ilmuwan, dan psikolog perkembangan asal Swiss yang
dikenal luas melalui teori perkembangan kognitifnya. Kajian ini berangkat dari
pemahaman bahwa Piaget tidak hanya merevolusi psikologi anak, tetapi juga
memberikan kontribusi signifikan dalam bidang epistemologi dan pedagogi.
Artikel ini menelusuri aspek biografis Piaget, landasan filosofis teorinya,
tahapan perkembangan kognitif, serta eksperimen-eksperimen penting yang menjadi
dasar konseptual dari pendekatannya. Melalui analisis kritis, artikel ini juga
mengeksplorasi kritik terhadap teorinya, termasuk keterbatasan metodologis dan
kurangnya penekanan terhadap faktor sosial-budaya, serta pengembangannya dalam
bentuk teori neo-Piagetian dan pendekatan pemrosesan informasi. Selain itu,
pembahasan difokuskan pada relevansi pemikiran Piaget di era digital, khususnya
dalam konteks pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pada konstruksi
aktif pengetahuan, personalisasi, dan kolaborasi virtual. Hasil kajian ini
menegaskan bahwa pemikiran Piaget tetap relevan dalam pendidikan kontemporer
karena menawarkan kerangka kerja yang kuat untuk memahami dan memfasilitasi
perkembangan kognitif peserta didik secara bertahap dan reflektif.
Kata Kunci: Jean Piaget; perkembangan kognitif;
konstruktivisme; pendidikan; teori belajar; era digital; pedagogi modern;
psikologi perkembangan.
PEMBAHASAN
Eksplorasi Pemikiran Jean Piaget
1.
Pendahuluan
Pemahaman mengenai
perkembangan kognitif anak merupakan fondasi penting dalam membentuk pendekatan
pendidikan yang efektif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, Jean Piaget
(1896–1980) menempati posisi yang sangat strategis sebagai pelopor teori
perkembangan kognitif yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam psikologi
pendidikan dan filsafat belajar. Melalui serangkaian observasi mendalam dan
eksperimental terhadap anak-anak, Piaget tidak hanya mengembangkan deskripsi
sistematis tentang cara berpikir anak di berbagai tahapan usia, tetapi juga
merevolusi pandangan dunia terhadap proses belajar sebagai aktivitas
konstruktif, bukan sekadar penerimaan pasif informasi dari lingkungan luar.¹
Teori Piaget berakar
pada keyakinan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, melainkan individu
dengan cara berpikir yang khas dan berkembang melalui interaksi aktif antara
pengalaman dan struktur mental.² Dalam pandangannya, perkembangan intelektual
terjadi melalui tahapan-tahapan tertentu yang bersifat universal dan tidak
dapat dilompati, mulai dari tahap sensorimotor hingga tahap operasional
formal.³ Setiap tahap mencerminkan cara berpikir dan berinteraksi anak dengan
dunia yang secara kualitatif berbeda dari tahap sebelumnya.⁴
Kontribusi Jean
Piaget tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga praktis, khususnya dalam dunia
pendidikan. Prinsip-prinsip dasar teorinya telah mempengaruhi desain kurikulum,
metode pembelajaran, dan peran guru di berbagai belahan dunia. Pendidikan yang
berpusat pada anak (child-centered learning), pendekatan konstruktivistik, dan
pentingnya penyesuaian materi ajar sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif
peserta didik merupakan implementasi langsung dari teori Piaget dalam praktik
pendidikan kontemporer.⁵ Oleh karena itu, memahami pemikiran Piaget bukan hanya
penting bagi kalangan psikolog perkembangan, tetapi juga bagi para pendidik,
perancang kurikulum, dan pembuat kebijakan pendidikan.
Artikel ini
bertujuan untuk mengeksplorasi secara sistematis pemikiran Jean Piaget,
menelaah landasan filosofis dan teoretisnya, mengkaji model tahapan perkembangan
kognitif yang ia gagas, serta menjelaskan dampak dan implikasinya dalam konteks
pendidikan modern. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan berbasis pada
kajian literatur ilmiah, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
yang mendalam dan reflektif mengenai relevansi abadi teori Piaget dalam
menghadapi tantangan dunia pendidikan abad ke-21.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–5.
[2]
John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget
(Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 1–4.
[3]
Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child,
trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 10–13.
[4]
Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson
Education, 2013), 224–228.
[5]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 46–50.
2.
Biografi Singkat Jean Piaget
Jean Piaget lahir
pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchâtel, Swiss, dari keluarga yang memiliki tradisi
intelektual kuat. Ayahnya, Arthur Piaget, adalah seorang profesor literatur
abad pertengahan, yang menanamkan kecintaan terhadap studi sistematis dan
ketekunan ilmiah dalam diri Jean sejak dini.¹ Minat Piaget terhadap ilmu
pengetahuan muncul pada usia yang sangat muda. Pada usia 11 tahun, ia telah
menerbitkan artikel ilmiahnya yang pertama tentang moluska, sebuah pencapaian
luar biasa yang mencerminkan kecenderungan awalnya dalam penelitian empiris.²
Piaget menempuh
pendidikan di Universitas Neuchâtel, tempat ia meraih gelar doktor di bidang
ilmu alam pada tahun 1918. Ia kemudian melanjutkan studi pascadoktoralnya di
Zurich, di mana ia terpapar pada teori psikoanalisis Freudian, dan akhirnya
bekerja di Paris di bawah bimbingan Alfred Binet, pelopor pengukuran kecerdasan
anak.³ Pengalamannya di laboratorium Binet sangat menentukan, karena di sanalah
Piaget mulai menyadari bahwa anak-anak memberikan jawaban yang sistematis salah
pada tes kecerdasan bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena cara berpikir
mereka yang berbeda secara struktural dari orang dewasa.⁴
Dari titik inilah,
Piaget mengembangkan minat yang mendalam terhadap psikologi perkembangan anak.
Ia mulai melakukan observasi dan wawancara klinis terhadap anak-anak, termasuk
anak-anaknya sendiri, dan mengembangkan kerangka teoritis mengenai tahapan
perkembangan kognitif yang menjadi dasar utama dalam psikologi pendidikan.⁵
Selama karier akademiknya, ia mendirikan Centre International d'Épistémologie Génétique
di Jenewa dan menulis lebih dari 60 buku serta ratusan artikel ilmiah yang
memengaruhi berbagai bidang seperti filsafat, pendidikan, biologi, dan
psikologi.⁶
Piaget dikenal bukan
hanya sebagai psikolog perkembangan, tetapi juga sebagai filsuf epistemologi.
Karyanya yang terkenal seperti The Origins of Intelligence in Children
dan The
Psychology of the Child menggambarkan perpaduan unik antara ilmu
empiris dan refleksi filosofis.⁷ Ia menekankan bahwa pengetahuan tidak
semata-mata ditransfer, melainkan dibangun secara aktif melalui interaksi antara
individu dan lingkungannya—a view yang kelak menjadi dasar bagi pendekatan
konstruktivistik dalam pendidikan.⁸
Jean Piaget wafat
pada 16 September 1980 di Jenewa, Swiss. Warisannya tetap hidup dalam teori
perkembangan kognitif yang terus menjadi bahan kajian lintas disiplin hingga
saat ini. Pemikirannya bukan hanya memperluas wawasan tentang anak, tetapi juga
mengubah secara fundamental cara pendidikan dan pembelajaran dirancang serta
dipraktikkan di seluruh dunia.
Footnotes
[1]
Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston:
Pearson Education, 2013), 330.
[2]
David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean
Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 4.
[3]
John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget
(Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 5–8.
[4]
Barry J. Wadsworth, Piaget's Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 11.
[5]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), viii–x.
[6]
Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the
Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981),
22–24.
[7]
Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child,
trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), vii–ix.
[8]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 47–48.
3.
Landasan Epistemologis dan Filosofis Pemikiran
Piaget
Jean Piaget bukan
hanya seorang psikolog perkembangan, tetapi juga seorang filsuf ilmu
pengetahuan. Salah satu kontribusi intelektual paling signifikan dari Piaget
adalah pengembangan pendekatan yang ia sebut sebagai epistemologi
genetis (genetic epistemology), yakni studi tentang asal-usul dan
perkembangan struktur pengetahuan manusia melalui interaksi antara individu dan
lingkungan secara bertahap dan sistematis.¹ Pendekatan ini meletakkan fondasi
bagi pemahamannya tentang perkembangan kognitif sebagai proses konstruksi
aktif, bukan penerimaan pasif.²
Secara epistemologis,
Piaget menolak dikotomi antara empirisme dan nativisme. Ia tidak sepenuhnya
menerima pandangan empiris bahwa pengetahuan berasal murni dari pengalaman
inderawi, maupun posisi nativis yang menekankan bahwa struktur pengetahuan
bersifat bawaan. Sebaliknya, Piaget mengembangkan posisi interaksionis
yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk melalui proses timbal balik antara
struktur internal individu dan pengalaman eksternal.³ Dalam proses ini, anak
bertindak sebagai agen aktif yang secara bertahap menyusun dan menyempurnakan
struktur kognitifnya melalui mekanisme asimilasi dan akomodasi.⁴
Landasan filosofis
Piaget juga dipengaruhi oleh tradisi rasionalisme Kantian dan biologi
evolusioner Darwinian. Dari Kant, ia mengadopsi gagasan bahwa struktur kognitif
bukanlah hasil pengalaman semata, melainkan memiliki dimensi internal yang
aktif membentuk realitas. Namun berbeda dari Kant yang melihat struktur
kognitif sebagai tetap, Piaget menekankan bahwa struktur tersebut berkembang
secara bertahap melalui tahapan perkembangan.⁵ Sementara dari Darwin, Piaget
menyerap konsep adaptasi dan evolusi, yang kemudian diterjemahkannya dalam
proses equilibration,
yakni usaha individu untuk mencapai keseimbangan antara struktur kognitif yang
dimiliki dengan tuntutan lingkungan.⁶
Piaget juga
mengkritik behaviorisme yang dominan di masanya karena terlalu menekankan
stimulus-respons dan mengabaikan proses mental internal yang kompleks. Bagi
Piaget, perilaku tidak bisa sepenuhnya dipahami tanpa menelaah proses kognitif
di baliknya.⁷ Dalam konteks ini, ia menempatkan studi perkembangan kognitif
anak sebagai jendela untuk memahami proses berpikir manusia secara umum, dan
bahkan sebagai sarana untuk menjelaskan evolusi epistemologi itu sendiri.⁸
Salah satu
sumbangsih penting Piaget dalam filsafat pengetahuan adalah pengakuannya bahwa
ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linier atau kumulatif, melainkan
melalui rekonstruksi
progresif dari struktur kognitif. Hal ini sejalan dengan
pendekatannya terhadap perkembangan anak: anak tidak hanya belajar informasi
baru, tetapi juga membentuk ulang cara berpikirnya dalam rangka memahami dan
mengorganisasi dunia.⁹ Dengan demikian, Piaget tidak hanya menjelaskan
bagaimana individu berkembang, tetapi juga bagaimana ilmu pengetahuan sebagai
konstruksi sosial dan individu berkembang dalam kerangka yang sama.
Kerangka pemikiran
Piaget ini kemudian menjadi landasan bagi konstruktivisme modern dalam
psikologi pendidikan, di mana belajar dipahami sebagai proses membangun makna,
bukan menerima kebenaran yang sudah jadi.¹⁰ Maka, epistemologi Piaget tidak
hanya bersifat teoretis, tetapi juga sangat aplikatif dalam merancang sistem
pendidikan yang menghargai partisipasi aktif dan pemikiran kritis peserta
didik.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, Genetic Epistemology, trans. Eleanor Duckworth
(New York: Columbia University Press, 1970), 1–2.
[2]
Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston:
Pearson Education, 2013), 332.
[3]
John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget
(Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 15–17.
[4]
Barry J. Wadsworth, Piaget's Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 17–21.
[5]
Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the
Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 35.
[6]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–5.
[7]
Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson
Education, 2013), 226.
[8]
Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child,
trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 10.
[9]
David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean
Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 9–12.
[10]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 46–50.
4.
Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Teori perkembangan
kognitif yang dikembangkan oleh Jean Piaget merupakan tonggak penting dalam
psikologi perkembangan dan pendidikan. Teori ini menekankan bahwa perkembangan
intelektual manusia terjadi melalui serangkaian tahap yang bersifat universal,
terstruktur, dan progresif, di mana anak secara aktif membentuk pengetahuan
melalui interaksi dengan lingkungannya.¹ Piaget menyebut proses ini sebagai
proses konstruksi
kognitif, yang melibatkan dua mekanisme utama: asimilasi
dan akomodasi.
4.1.
Asimilasi, Akomodasi,
dan Equilibration
Asimilasi adalah
proses di mana individu menggunakan skema yang sudah ada untuk menanggapi
pengalaman baru, sedangkan akomodasi terjadi ketika skema yang ada diubah atau
disesuaikan sebagai respons terhadap pengalaman baru yang tidak dapat
sepenuhnya dijelaskan dengan struktur kognitif sebelumnya.² Keseimbangan antara
kedua proses ini disebut equilibration, yaitu usaha kognitif
untuk mencapai stabilitas dalam pemahaman. Piaget meyakini bahwa keseimbangan
ini mendorong pertumbuhan kognitif secara bertahap.³
4.2.
Tahapan Perkembangan
Kognitif
Piaget
mengidentifikasi empat tahap utama dalam perkembangan kognitif anak yang
masing-masing mencerminkan perubahan kualitatif dalam cara berpikir:
1)
Tahap Sensorimotor (0–2
tahun)
Pada tahap ini, bayi belajar melalui tindakan
langsung pada lingkungan. Pemahaman berkembang dari refleks sederhana menjadi
representasi mental dasar. Ciri utama tahap ini adalah berkembangnya konsep permanensi
objek, yaitu kesadaran bahwa benda tetap ada meskipun tidak terlihat.⁴
2)
Tahap Praoperasional (2–7
tahun)
Anak mulai menggunakan simbol seperti kata dan
gambar untuk mewakili objek. Namun, mereka masih berpikir secara egosentris dan
belum memahami prinsip konservasi (bahwa kuantitas suatu objek tetap meskipun
bentuknya berubah).⁵ Mereka juga menunjukkan kesulitan dalam memahami
perspektif orang lain dan cenderung melakukan animisme, yaitu
menganggap benda mati memiliki kehidupan.⁶
3)
Tahap Operasional Konkret
(7–11 tahun)
Pada tahap ini, anak mulai mampu berpikir logis
tentang objek nyata. Mereka memahami konsep konservasi, klasifikasi, dan
reversibilitas. Namun, kemampuan berpikir mereka masih terbatas pada situasi
konkret dan belum mencakup pemikiran abstrak.⁷ Anak pada tahap ini mulai dapat
memecahkan masalah secara sistematis, namun belum mampu menggunakan hipotesis
secara bebas.
4)
Tahap Operasional Formal
(11 tahun ke atas)
Merupakan tahap di mana individu mulai mampu berpikir
abstrak, logis, dan sistematis. Mereka dapat mempertimbangkan hipotesis,
memikirkan kemungkinan alternatif, serta menggunakan pemikiran deduktif.⁸ Pada
tahap ini, muncul kemampuan untuk berpikir tentang ide-ide hipotetis dan masa
depan secara rasional.
4.3.
Ciri-ciri Kunci dan
Kontribusi Teoritis
Keunikan teori
Piaget terletak pada fokusnya terhadap struktur berpikir dan bukan hanya
isi berpikir. Ia menekankan bahwa perubahan intelektual adalah hasil dari
restrukturisasi internal atas pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya.⁹
Dengan demikian, belajar bukanlah hasil dari akumulasi fakta, melainkan hasil
dari konstruksi dan rekonstruksi yang aktif dan berkesinambungan.
Teori Piaget juga
menekankan pentingnya kesiapan perkembangan sebagai prasyarat belajar. Konsep
ini menjadi fondasi bagi pendekatan pendidikan yang menghargai tahapan
perkembangan anak dalam menyusun kurikulum dan metode pengajaran.¹⁰ Dalam
praktiknya, teori ini telah menginspirasi berbagai pendekatan pembelajaran yang
menekankan eksplorasi, penemuan, dan pemecahan masalah.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm
Piercy and D. E. Berlyne (New York: Routledge, 2001), 4–7.
[2]
Barry J. Wadsworth, Piaget's Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 19–21.
[3]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 5–6.
[4]
Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson
Education, 2013), 223.
[5]
John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget
(Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 95–98.
[6]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 46–47.
[7]
Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston:
Pearson Education, 2013), 336.
[8]
Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child,
trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 131–134.
[9]
David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean
Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 17.
[10]
Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the
Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981),
40–41.
5.
Eksperimen dan Penelitian Piaget tentang
Anak-anak
Salah satu kekuatan
utama dalam teori Jean Piaget adalah bahwa ia dibangun di atas fondasi
eksperimen dan observasi sistematis terhadap anak-anak. Piaget tidak hanya
mengembangkan kerangka teoretis secara spekulatif, melainkan juga melalui
pendekatan metodologis yang khas, yaitu metode klinis—sebuah kombinasi
antara wawancara terbuka dan observasi terstruktur.¹ Metode ini memungkinkan
Piaget untuk menyelidiki secara mendalam proses berpikir anak dengan
menyesuaikan pertanyaan berdasarkan respons individu, sehingga ia dapat
mengeksplorasi alasan di balik jawaban mereka, bukan hanya menilai benar atau
salah.²
Piaget sering
menggunakan anak-anaknya sendiri sebagai subjek penelitian awal, namun seiring
waktu ia mengembangkan studi yang lebih luas dengan subjek dari berbagai usia
dan latar belakang. Ia tertarik pada pertanyaan mendasar: Bagaimana anak
memahami dunia, dan bagaimana pemahaman ini berkembang seiring waktu?_³
Untuk menjawabnya, Piaget merancang sejumlah eksperimen yang kini menjadi
ikonik dalam psikologi perkembangan.
5.1.
Eksperimen Konservasi
Salah satu
eksperimen paling terkenal dari Piaget adalah eksperimen tentang konservasi
kuantitas. Dalam salah satu versi eksperimen ini, anak diminta
untuk membandingkan dua gelas identik berisi air dalam jumlah yang sama.
Setelah anak menyatakan bahwa jumlah air dalam kedua gelas sama, Piaget
menuangkan isi salah satu gelas ke dalam gelas yang lebih tinggi dan ramping,
lalu bertanya apakah jumlah air masih sama. Anak praoperasional (usia 2–7
tahun) biasanya menjawab bahwa gelas yang lebih tinggi memiliki lebih banyak
air, menunjukkan bahwa mereka belum memahami prinsip konservasi.⁴
Eksperimen serupa
dilakukan untuk menguji konservasi massa, panjang, dan jumlah. Piaget menemukan
bahwa pemahaman anak terhadap konsep-konsep ini muncul secara bertahap dan berkaitan
erat dengan tahap perkembangan kognitifnya.⁵ Temuan ini memperkuat argumen
Piaget bahwa struktur berpikir anak berbeda secara fundamental dari orang
dewasa dan berkembang melalui restrukturisasi internal yang aktif.
5.2.
Eksperimen Klasifikasi
dan Seriasi
Dalam studi tentang klasifikasi,
Piaget menyajikan anak-anak dengan kumpulan benda yang terdiri dari, misalnya,
lima bunga merah dan dua bunga putih, lalu menanyakan apakah ada lebih banyak
bunga atau lebih banyak bunga merah. Anak-anak dalam tahap praoperasional
sering menjawab bahwa bunga merah lebih banyak, menunjukkan kesulitan dalam
memahami hierarki klasifikasi.⁶
Piaget juga meneliti
kemampuan seriasi, yaitu kemampuan untuk
mengurutkan objek berdasarkan atribut tertentu seperti panjang atau berat. Dalam
eksperimen klasik, anak diminta menyusun batang dari yang paling pendek ke
paling panjang. Anak-anak pada tahap operasional konkret mulai menunjukkan
kemampuan ini secara konsisten.⁷
5.3.
Eksperimen
Egosentrisme dan Perspektif Sosial
Salah satu
penelitian paling terkenal dalam konteks egosentrisme anak adalah “Three
Mountain Task”, di mana anak diminta melihat model tiga gunung
dari satu sisi dan kemudian ditanya pandangan seperti apa yang akan terlihat
dari sisi orang lain. Anak-anak praoperasional sering gagal memahami perspektif
orang lain dan memilih gambar sesuai dengan apa yang mereka lihat, bukan dari
sudut pandang orang lain.⁸ Eksperimen ini menunjukkan keterbatasan dalam
kemampuan mengambil perspektif sosial, yang baru berkembang lebih matang pada tahap
operasional konkret.
5.4.
Signifikansi
Eksperimental dalam Teori Kognitif
Eksperimen-eksperimen
Piaget bukan hanya instrumen untuk menguji hipotesis, tetapi juga alat
diagnostik untuk memahami struktur berpikir anak. Tidak seperti pendekatan behavioristik
yang menekankan respons yang dapat diamati, Piaget tertarik pada struktur
kognitif di balik perilaku—bagaimana anak menafsirkan pengalaman
dan bagaimana struktur itu berubah melalui perkembangan.⁹
Meskipun beberapa
metodologi Piaget kemudian dikritik karena kurangnya standar kontrol
eksperimental yang ketat dan karena terlalu banyak bergantung pada interpretasi
subjektif, kontribusinya tetap fundamental. Banyak peneliti perkembangan
setelahnya menggunakan eksperimen Piaget sebagai dasar untuk studi lanjutan
dengan metodologi yang lebih modern dan kuantitatif.¹⁰
Secara keseluruhan,
penelitian dan eksperimen Piaget memberikan wawasan mendalam tentang dinamika
berpikir anak dan menjadi batu pijakan bagi pemahaman modern tentang
perkembangan kognitif, pendidikan berbasis tahapan, dan pendekatan pembelajaran
konstruktivistik.
Footnotes
[1]
John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget
(Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 9–11.
[2]
David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean
Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 15.
[3]
Jean Piaget, The Child’s Conception of the World, trans. Joan
and Andrew Tomlinson (Lanham: Rowman & Littlefield, 2007), 3–4.
[4]
Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child,
trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 101–103.
[5]
Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson
Education, 2013), 224–226.
[6]
Barry J. Wadsworth, Piaget's Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 43.
[7]
Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston:
Pearson Education, 2013), 338.
[8]
Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the
Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 52.
[9]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 49.
[10]
Robert Siegler and Martha Alibali, Children’s Thinking, 4th
ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2005), 7–9.
6.
Dampak dan Implikasi Pemikiran Piaget dalam
Dunia Pendidikan
Pemikiran Jean
Piaget telah memberikan pengaruh yang mendalam dalam dunia pendidikan,
khususnya dalam mengubah paradigma pembelajaran dari pendekatan tradisional
yang berpusat pada guru menuju pendekatan konstruktivistik yang berpusat pada
peserta didik.¹ Melalui teorinya tentang perkembangan kognitif, Piaget
menekankan bahwa anak bukanlah “tabula rasa” atau penerima pasif
informasi, melainkan individu aktif yang secara progresif membangun
pemahamannya tentang dunia melalui interaksi dan pengalaman.²
6.1.
Kurikulum Berbasis
Tahapan Perkembangan
Salah satu implikasi
langsung dari teori Piaget adalah pentingnya menyusun kurikulum dan metode
pengajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa.³
Dalam tahap praoperasional, misalnya, anak masih berpikir secara egosentris dan
simbolik, sehingga pembelajaran yang bersifat konkret dan visual sangat
efektif. Sementara itu, anak-anak pada tahap operasional formal mulai mampu
berpikir secara abstrak dan hipotesis, yang memungkinkan diterapkannya strategi
pembelajaran berbasis pemecahan masalah dan eksperimen ilmiah.⁴
Dengan memahami
tahapan ini, pendidik dapat menghindari praktik “memaksakan” materi yang
terlalu kompleks bagi kemampuan kognitif peserta didik. Hal ini sejalan dengan
prinsip developmentally
appropriate practice dalam pendidikan modern, yang mengakui
pentingnya kesiapan perkembangan sebagai landasan proses belajar.⁵
6.2.
Peran Guru sebagai
Fasilitator, Bukan Instruktor
Piaget juga
menegaskan bahwa proses belajar yang efektif tidak terjadi melalui transmisi
pengetahuan secara satu arah dari guru ke siswa.⁶ Sebaliknya, guru berperan
sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan belajar yang merangsang
eksplorasi, mendorong pertanyaan, dan menantang pemikiran siswa. Guru harus
memberikan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa untuk membangun makna
secara mandiri dan menguji hipotesis mereka sendiri.
Hal ini menuntut
guru untuk lebih memahami dinamika kognitif siswa dan merancang strategi
pembelajaran yang memungkinkan terjadinya konflik kognitif (cognitive
disequilibrium)—yaitu situasi di mana pemahaman awal siswa terganggu oleh
informasi baru yang tidak sesuai, sehingga mendorong terjadinya restrukturisasi
pemikiran.⁷ Strategi ini sejalan dengan pandangan Piaget bahwa equilibration
menjadi penggerak utama dalam perkembangan intelektual.
6.3.
Model Pembelajaran
Konstruktivistik
Teori Piaget menjadi
dasar utama pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan,
di mana belajar dipahami sebagai proses aktif membangun pengetahuan, bukan
sekadar menerima fakta.⁸ Dalam pembelajaran konstruktivistik, aktivitas seperti
diskusi kelompok, eksperimen, simulasi, dan pemecahan masalah menjadi alat
utama untuk mendorong pembelajaran yang mendalam. Piaget menekankan bahwa
interaksi sosial juga penting, karena dapat membantu siswa mempertimbangkan
sudut pandang yang berbeda dan mempercepat perkembangan kognitifnya.⁹
Model ini secara
nyata telah memengaruhi kebijakan dan implementasi kurikulum di berbagai
negara. Di Indonesia, pendekatan berbasis student-centered learning dalam
Kurikulum Merdeka sejalan dengan prinsip-prinsip konstruktivistik Piaget,
seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan penekanan
pada profil pelajar yang reflektif dan mandiri.¹⁰
6.4.
Penilaian Proses,
Bukan Hanya Hasil
Imbas dari teori
Piaget juga tampak dalam pendekatan terhadap evaluasi pendidikan. Piaget
menolak gagasan bahwa kecerdasan atau pengetahuan dapat diukur hanya melalui
hasil akhir. Ia menekankan pentingnya menilai cara berpikir siswa, bukan sekadar
jawaban benar atau salah.¹¹ Oleh karena itu, penilaian formatif, observasi
kualitatif, dan asesmen kinerja menjadi strategi yang lebih tepat untuk
mengungkap proses kognitif siswa secara menyeluruh.
6.5.
Pemberdayaan Peserta
Didik sebagai Subjek Pendidikan
Secara filosofis,
pemikiran Piaget telah mengangkat martabat peserta didik sebagai subjek
pembelajar yang otonom.¹² Ini memiliki implikasi etis yang signifikan:
pendidikan bukanlah proses membentuk siswa menjadi seperti kehendak luar (guru
atau sistem), melainkan membimbing mereka untuk mengembangkan potensi berpikir
dan nalar mereka secara mandiri dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 47.
[2]
Jean Piaget, The Psychology of the Child, trans. Helen Weaver (New
York: Basic Books, 1969), 131.
[3]
Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 72–75.
[4]
Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson
Education, 2013), 230–231.
[5]
John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget
(Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 101.
[6]
Jean Piaget, Science of Education and the Psychology of the Child,
trans. D. Coltman (New York: Viking Press, 1970), 26.
[7]
David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean
Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 19–21.
[8]
Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the
Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 45.
[9]
Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston:
Pearson Education, 2013), 339.
[10]
Kemendikbudristek RI, Panduan Pembelajaran dan Asesmen, edisi
revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 16.
[11]
Jean Piaget, The Child’s Conception of the World, trans. Joan
and Andrew Tomlinson (Lanham: Rowman & Littlefield, 2007), 7.
[12]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder:
Westview Press, 2016), 78–79.
7.
Kritik dan Pengembangan terhadap Teori Piaget
Meskipun teori
perkembangan kognitif Jean Piaget telah memberikan kontribusi monumental dalam
psikologi dan pendidikan, berbagai kritik dan pengembangan telah muncul dari
para ilmuwan generasi berikutnya. Kritik-kritik ini tidak selalu menyangkal
nilai fundamental dari teori Piaget, melainkan berupaya memperkaya, merevisi,
dan menyempurnakan pemahamannya agar lebih sesuai dengan bukti-bukti empiris
kontemporer dan dinamika sosial-kultural yang lebih luas.
7.1.
Validitas Usia dan
Ketepatan Tahapan
Salah satu kritik
utama terhadap teori Piaget adalah berkaitan dengan validitas
usia pada setiap tahapan perkembangan kognitif. Penelitian
lanjutan menunjukkan bahwa beberapa anak mampu menunjukkan kemampuan berpikir
formal atau logis lebih awal daripada usia yang diperkirakan Piaget.¹
Sebaliknya, sebagian anak mungkin belum mencapai tahap berpikir abstrak bahkan setelah
melewati masa remaja.² Hal ini mengindikasikan bahwa tahapan perkembangan
kognitif tidak selalu bersifat universal dan linier sebagaimana yang diusulkan
oleh Piaget.
Lebih lanjut, para
kritikus juga menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, anak-anak dapat
menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam domain tertentu, tetapi
tidak dalam domain lainnya—a fenomena yang disebut sebagai domain-specificity.³
Dengan demikian, perkembangan kognitif tidak selalu seragam, melainkan bisa
sangat dipengaruhi oleh konteks, pengalaman belajar, dan latar belakang budaya.
7.2.
Kurangnya Perhatian
terhadap Faktor Sosial dan Budaya
Piaget dinilai
kurang memberi perhatian yang cukup terhadap peran sosial dan budaya dalam
perkembangan kognitif.⁴ Dalam pandangannya, perkembangan intelektual lebih
ditentukan oleh interaksi anak dengan lingkungan fisik daripada dengan
lingkungan sosial. Kritik ini dikemukakan terutama oleh Lev Vygotsky, tokoh
psikologi Soviet yang menekankan pentingnya interaksi sosial dan bahasa
sebagai alat utama dalam perkembangan mental.⁵
Vygotsky
memperkenalkan konsep zona perkembangan proksimal (ZPD),
yaitu jarak antara kemampuan aktual anak dan potensi perkembangan yang dapat
dicapai dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya. Konsep ini menekankan
bahwa bimbingan eksternal dan konteks sosial memegang peran sentral dalam
proses belajar, yang dalam banyak hal tidak terlalu ditekankan dalam model
Piaget.⁶
7.3.
Kritik terhadap
Metodologi
Piaget juga dikritik
atas metodologi
penelitiannya yang bersifat klinis dan kualitatif. Meskipun
pendekatan ini memberi fleksibilitas untuk mengeksplorasi proses berpikir anak
secara mendalam, banyak psikolog kontemporer menilai metode tersebut rentan
terhadap bias interpretatif dan tidak selalu dapat direplikasi secara ketat.⁷
Penelitian yang lebih mutakhir menggunakan metode eksperimental dan statistik
canggih menunjukkan hasil yang kadang tidak sejalan dengan kesimpulan Piaget.⁸
7.4.
Pengembangan oleh
Teori Neo-Piagetian dan Kognitif Kontemporer
Sebagai respons
terhadap kritik tersebut, sejumlah pendekatan neo-Piagetian muncul yang
menggabungkan temuan Piaget dengan teori kognitif modern. Salah satu tokoh
penting dalam pengembangan ini adalah Robbie Case, yang memperkenalkan
pendekatan yang mempertimbangkan kapasitas memori kerja sebagai penjelas
perkembangan kognitif yang lebih akurat daripada semata-mata struktur tahapan.⁹
Pendekatan ini mengintegrasikan model Piaget dengan pemahaman baru tentang
pemrosesan informasi.
Selain itu, teori pemrosesan
informasi (information-processing theory) memberikan alternatif
penting dengan menekankan pada bagaimana individu menerima, menyimpan, dan
mengambil informasi, serta bagaimana perhatian dan strategi berpikir
berkembang.¹⁰ Teori ini bersifat lebih kontinu dibandingkan dengan model
diskret tahap-tahap Piaget.
7.5.
Relevansi dan Adaptasi
dalam Konteks Pendidikan Modern
Meskipun teori
Piaget telah banyak dikritik dan dikembangkan, relevansinya dalam dunia
pendidikan tetap tinggi. Pendekatan pembelajaran aktif, penekanan pada
konstruksi makna, serta pentingnya memahami kesiapan perkembangan peserta didik
masih berakar kuat pada pemikiran Piaget.¹¹ Bahkan pendekatan-pendekatan
mutakhir seperti design-based learning, project-based
learning, dan pembelajaran diferensiasi tetap menjadikan fondasi
Piagetian sebagai titik tolak untuk menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan
kognitif anak.
Footnotes
[1]
Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson
Education, 2013), 235.
[2]
Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 82–83.
[3]
Robert S. Siegler and Martha Alibali, Children’s Thinking, 4th
ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2005), 116.
[4]
John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton,
NJ: Van Nostrand, 1963), 125.
[5]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 86.
[6]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 52.
[7]
David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean
Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 27.
[8]
Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston:
Pearson Education, 2013), 340.
[9]
Robbie Case, The Mind’s Staircase: Exploring the Conceptual
Underpinnings of Children’s Thought and Knowledge (Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum, 1992), 4–7.
[10]
John R. Anderson, Cognitive Psychology and Its Implications,
6th ed. (New York: Worth Publishers, 2005), 234–238.
[11]
Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How
Schools Should Teach (New York: Basic Books, 1991), 45–48.
8.
Relevansi Pemikiran Piaget di Era Digital
Meskipun teori
perkembangan kognitif Jean Piaget lahir dalam konteks abad ke-20 yang jauh dari
dominasi teknologi digital, prinsip-prinsip fundamental dari pemikirannya tetap
memiliki relevansi kuat dalam merespons tantangan dan
peluang pendidikan di era digital saat ini. Inti dari teori
Piaget tentang konstruksi pengetahuan secara aktif, pemikiran berbasis tahapan,
dan pentingnya keterlibatan pengalaman langsung, dapat diadaptasi secara kritis
dalam konteks pembelajaran yang semakin terdigitalisasi.¹
8.1.
Konstruktivisme
Digital dan Lingkungan Belajar Virtual
Piaget menekankan
bahwa pengetahuan dibentuk secara aktif oleh individu melalui interaksi dengan
lingkungannya.² Dalam konteks digital, hal ini selaras dengan munculnya lingkungan
belajar interaktif berbasis teknologi, seperti simulasi
virtual, pembelajaran berbasis game (game-based learning), dan platform
e-learning yang memungkinkan siswa mengeksplorasi, memanipulasi, dan membangun
pemahaman mereka secara mandiri.³
Sebagai contoh, virtual
manipulatives dalam pembelajaran matematika memungkinkan siswa pada
tahap operasional konkret untuk berinteraksi secara visual dan kinestetik
dengan konsep-konsep abstrak. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip Piaget bahwa
perkembangan kognitif terjadi ketika anak terlibat langsung dengan objek dan
situasi nyata yang menantang struktur kognitif mereka.⁴
8.2.
Personalization dan
Diferensiasi Berdasarkan Tahap Perkembangan
Teknologi
memungkinkan personalisasi pembelajaran
secara lebih luas, baik dari segi materi, kecepatan belajar, maupun gaya
belajar. Dengan pendekatan ini, guru dapat menyusun konten dan strategi yang
sesuai dengan tahap perkembangan kognitif
peserta didik, sebagaimana diuraikan Piaget.⁵ Pembelajaran adaptif (adaptive
learning systems) bahkan memungkinkan pemetaan kemampuan dan
kebutuhan individual siswa secara real-time, memperkuat gagasan Piaget tentang
pentingnya kesiapan dalam belajar.
8.3.
Digital Tools sebagai
Penggerak Equilibration
Penggunaan teknologi
dalam pembelajaran juga dapat menciptakan situasi disequilibrium (ketidakseimbangan
kognitif) yang produktif, yakni ketika informasi baru bertentangan dengan skema
yang sudah ada, mendorong terjadinya akomodasi dan perkembangan kognitif yang
lebih lanjut.⁶ Misalnya, melalui eksplorasi simulasi ilmiah atau pemodelan
digital, siswa dipaksa menguji kembali pengetahuan sebelumnya dan merevisi
pemahamannya.
Piaget berpendapat
bahwa equilibration
adalah mekanisme inti dari perkembangan intelektual. Dalam konteks digital, disequilibrium
tidak hanya terjadi melalui interaksi fisik, tetapi juga melalui paparan
terhadap tantangan kognitif yang kompleks secara visual
dan interaktif.⁷
8.4.
Interaksi Sosial
Digital dan Kolaborasi Virtual
Walau Piaget
menekankan konstruksi individual, ia juga mengakui pentingnya interaksi sosial
dalam mempercepat perkembangan kognitif. Era digital telah membuka ruang bagi kolaborasi
virtual, diskusi daring, dan kerja kelompok lintas geografis,
yang memungkinkan pertukaran perspektif secara lebih luas dan dinamis.⁸ Dalam
praktiknya, forum diskusi online, peer assessment, dan digital
storytelling adalah sarana konkret yang merealisasikan ide-ide
Piaget tentang pentingnya konflik sosial dan refleksi sebagai pemicu
perkembangan intelektual.
8.5.
Tantangan
Implementasi: Potensi dan Risiko Teknologi
Meskipun teknologi
digital memiliki potensi untuk mendukung konstruktivisme ala Piaget, implementasinya
tidak lepas dari tantangan. Ketergantungan pada konten visual
atau game edukatif tanpa kedalaman konseptual dapat menciptakan ilusi
pembelajaran tanpa pemahaman mendalam.⁹ Selain itu, tidak semua siswa memiliki
kesiapan kognitif dan literasi digital yang sama, yang berisiko menciptakan
kesenjangan baru dalam pembelajaran.
Karena itu,
diperlukan pemahaman mendalam tentang tahap perkembangan
kognitif siswa agar teknologi tidak hanya digunakan sebagai
alat presentasi, tetapi sebagai medium rekonstruksi pengetahuan yang aktif dan
bermakna.¹⁰
Footnotes
[1]
Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How
Schools Should Teach (New York: Basic Books, 1991), 62.
[2]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm
Piercy and D. E. Berlyne (New York: Routledge, 2001), 6.
[3]
Cathy Cavanaugh, et al., “The Effects of Interactive Learning Software
on Achievement in Mathematics,” Journal of Educational Computing Research
45, no. 2 (2011): 135–152.
[4]
M. Sarama and D. Clements, “Virtual Manipulatives,” Teaching
Children Mathematics 8, no. 3 (2001): 114–119.
[5]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 54–56.
[6]
Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 28.
[7]
David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean
Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 22.
[8]
Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston:
Pearson Education, 2013), 337.
[9]
Neil Selwyn, Education and Technology: Key Issues and Debates,
2nd ed. (London: Bloomsbury Academic, 2017), 99.
[10]
Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson
Education, 2013), 240–242.
9.
Kesimpulan
Pemikiran Jean
Piaget telah meletakkan dasar yang kokoh bagi perkembangan psikologi kognitif
dan praktik pendidikan modern. Melalui teori perkembangan kognitifnya yang
sistematis, Piaget menunjukkan bahwa anak bukanlah sekadar objek pasif yang
menerima informasi dari lingkungan, melainkan subjek aktif yang secara
progresif membentuk struktur pengetahuannya melalui proses asimilasi,
akomodasi, dan equilibrasi.¹ Model empat tahap perkembangan kognitif yang ia
kemukakan tidak hanya merevolusi pemahaman tentang dinamika intelektual anak,
tetapi juga mengarahkan perancangan kurikulum dan metode pedagogis yang sesuai
dengan kesiapan mental peserta didik.²
Piaget juga berhasil
mengangkat dimensi epistemologis dari proses belajar. Melalui pendekatan genetic
epistemology, ia menempatkan perkembangan pengetahuan bukan sebagai
sesuatu yang bersifat statis atau diwariskan, tetapi sebagai sesuatu yang
dibangun secara aktif dan terus-menerus melalui interaksi antara individu dan
lingkungannya.³ Dalam hal ini, ia melampaui kerangka behavioristik yang dominan
pada zamannya, dengan mengedepankan pentingnya struktur internal berpikir sebagai
pusat dari segala bentuk pembelajaran.⁴
Walaupun teori
Piaget menuai kritik, terutama terkait dengan ketepatan usia tahapan dan
kurangnya penekanan terhadap faktor sosial-budaya, pemikirannya tetap menjadi
referensi utama dalam dunia pendidikan.⁵ Perkembangan teori neo-Piagetian,
pendekatan pemrosesan
informasi, dan teori Vygotsky, justru memperkaya dan memperluas
cakupan pemahaman yang telah dibuka oleh Piaget. Dengan demikian, warisan intelektual
Piaget bukanlah dogma yang beku, melainkan titik awal bagi pengembangan ilmu
pengetahuan yang terus berkembang.
Dalam konteks era
digital saat ini, gagasan Piaget tetap relevan dan adaptif. Konsep konstruksi
aktif pengetahuan sangat selaras dengan paradigma pembelajaran berbasis
teknologi yang menekankan interaktivitas, personalisasi, dan pembelajaran
berbasis proyek.⁶ Teknologi, bila dimanfaatkan secara tepat, dapat menjadi alat
untuk menfasilitasi equilibration, menciptakan disequilibrium
yang produktif, dan mendorong eksplorasi konseptual siswa dalam lingkungan
virtual.⁷
Oleh karena itu,
pemikiran Jean Piaget bukan hanya warisan teoritis masa lalu, tetapi fondasi
yang terus hidup dalam praktik pedagogis, desain kurikulum, dan refleksi
filosofis tentang hakikat belajar. Pendekatannya mengingatkan dunia pendidikan
bahwa belajar adalah proses yang bersifat dinamis, aktif, dan berkembang
seiring dengan kematangan struktur berpikir manusia.⁸ Dalam dunia yang terus
berubah, memahami pemikiran Piaget berarti menegaskan kembali pentingnya
pendidikan yang menghormati potensi perkembangan peserta didik secara utuh dan
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–6.
[2]
Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson
Education, 2013), 224–231.
[3]
Jean Piaget, Genetic Epistemology, trans. Eleanor Duckworth
(New York: Columbia University Press, 1970), 1–3.
[4]
John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget
(Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 19–20.
[5]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–86.
[6]
Cathy Cavanaugh et al., “The Effects of Interactive Learning Software
on Achievement in Mathematics,” Journal of Educational Computing Research
45, no. 2 (2011): 137–139.
[7]
Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 30.
[8]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 49–51.
Daftar Pustaka
Anderson, J. R. (2005). Cognitive
psychology and its implications (6th ed.). Worth Publishers.
Berk, L. E. (2013). Child
development (9th ed.). Pearson Education.
Cavanaugh, C., Gillan, K.
J., Bosnick, J., Hess, M., & Scott, H. (2011). The effects of interactive
learning software on achievement in mathematics. Journal of Educational
Computing Research, 45(2), 135–152. https://doi.org/10.2190/EC.45.2.c
Case, R. (1992). The
mind’s staircase: Exploring the conceptual underpinnings of children’s thought
and knowledge. Lawrence Erlbaum.
Elkind, D. (1970). Children
and adolescents: Interpretive essays on Jean Piaget. Oxford University
Press.
Flavell, J. H. (1963). The
developmental psychology of Jean Piaget. Van Nostrand.
Gardner, H. (1981). The
quest for mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the structuralist movement.
University of Chicago Press.
Gardner, H. (1991). The
unschooled mind: How children think and how schools should teach. Basic
Books.
Gerrig, R. J. (2013). Psychology
and life (20th ed.). Pearson Education.
Kemendikbudristek RI.
(2022). Panduan pembelajaran dan asesmen (edisi revisi). Kemendikbudristek.
Noddings, N. (2016). Philosophy
of education (4th ed.). Westview Press.
Piaget, J. (1952). The
origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). International
Universities Press. (Original work published 1936)
Piaget, J. (1969). The
psychology of the child (B. Inhelder, & H. Weaver, Trans.). Basic
Books.
Piaget, J. (1970). Science
of education and the psychology of the child (D. Coltman, Trans.). Viking
Press.
Piaget, J. (1970). Genetic
epistemology (E. Duckworth, Trans.). Columbia University Press.
Piaget, J. (2001). The
psychology of intelligence (M. Piercy & D. E. Berlyne, Trans.).
Routledge. (Original work published 1947)
Piaget, J. (2007). The
child’s conception of the world (J. Tomlinson & A. Tomlinson, Trans.).
Rowman & Littlefield. (Original work published 1929)
Sarama, M., & Clements,
D. (2001). Virtual manipulatives. Teaching Children Mathematics, 8(3),
114–119.
Selwyn, N. (2017). Education
and technology: Key issues and debates (2nd ed.). Bloomsbury Academic.
Siegler, R. S., &
Alibali, M. W. (2005). Children’s thinking (4th ed.). Prentice Hall.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V.
John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.
Wadsworth, B. J. (1996). Piaget's
theory of cognitive and affective development (5th ed.). Longman.
Woolfolk, A. (2016). Educational
psychology (13th ed.). Pearson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar