Rabu, 14 Mei 2025

Pemikiran Jean Piaget: Fondasi Perkembangan Kognitif dan Implikasinya dalam Pendidikan Kontemporer

Pemikiran Jean Piaget

Fondasi Perkembangan Kognitif dan Implikasinya dalam Pendidikan Kontemporer


Alihkan ke: Filsafat, Psikologi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran Jean Piaget, seorang filsuf, ilmuwan, dan psikolog perkembangan asal Swiss yang dikenal luas melalui teori perkembangan kognitifnya. Kajian ini berangkat dari pemahaman bahwa Piaget tidak hanya merevolusi psikologi anak, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan dalam bidang epistemologi dan pedagogi. Artikel ini menelusuri aspek biografis Piaget, landasan filosofis teorinya, tahapan perkembangan kognitif, serta eksperimen-eksperimen penting yang menjadi dasar konseptual dari pendekatannya. Melalui analisis kritis, artikel ini juga mengeksplorasi kritik terhadap teorinya, termasuk keterbatasan metodologis dan kurangnya penekanan terhadap faktor sosial-budaya, serta pengembangannya dalam bentuk teori neo-Piagetian dan pendekatan pemrosesan informasi. Selain itu, pembahasan difokuskan pada relevansi pemikiran Piaget di era digital, khususnya dalam konteks pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pada konstruksi aktif pengetahuan, personalisasi, dan kolaborasi virtual. Hasil kajian ini menegaskan bahwa pemikiran Piaget tetap relevan dalam pendidikan kontemporer karena menawarkan kerangka kerja yang kuat untuk memahami dan memfasilitasi perkembangan kognitif peserta didik secara bertahap dan reflektif.

Kata Kunci: Jean Piaget; perkembangan kognitif; konstruktivisme; pendidikan; teori belajar; era digital; pedagogi modern; psikologi perkembangan.


PEMBAHASAN

Eksplorasi Pemikiran Jean Piaget


1.           Pendahuluan

Pemahaman mengenai perkembangan kognitif anak merupakan fondasi penting dalam membentuk pendekatan pendidikan yang efektif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, Jean Piaget (1896–1980) menempati posisi yang sangat strategis sebagai pelopor teori perkembangan kognitif yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam psikologi pendidikan dan filsafat belajar. Melalui serangkaian observasi mendalam dan eksperimental terhadap anak-anak, Piaget tidak hanya mengembangkan deskripsi sistematis tentang cara berpikir anak di berbagai tahapan usia, tetapi juga merevolusi pandangan dunia terhadap proses belajar sebagai aktivitas konstruktif, bukan sekadar penerimaan pasif informasi dari lingkungan luar.¹

Teori Piaget berakar pada keyakinan bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, melainkan individu dengan cara berpikir yang khas dan berkembang melalui interaksi aktif antara pengalaman dan struktur mental.² Dalam pandangannya, perkembangan intelektual terjadi melalui tahapan-tahapan tertentu yang bersifat universal dan tidak dapat dilompati, mulai dari tahap sensorimotor hingga tahap operasional formal.³ Setiap tahap mencerminkan cara berpikir dan berinteraksi anak dengan dunia yang secara kualitatif berbeda dari tahap sebelumnya.⁴

Kontribusi Jean Piaget tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga praktis, khususnya dalam dunia pendidikan. Prinsip-prinsip dasar teorinya telah mempengaruhi desain kurikulum, metode pembelajaran, dan peran guru di berbagai belahan dunia. Pendidikan yang berpusat pada anak (child-centered learning), pendekatan konstruktivistik, dan pentingnya penyesuaian materi ajar sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik merupakan implementasi langsung dari teori Piaget dalam praktik pendidikan kontemporer.⁵ Oleh karena itu, memahami pemikiran Piaget bukan hanya penting bagi kalangan psikolog perkembangan, tetapi juga bagi para pendidik, perancang kurikulum, dan pembuat kebijakan pendidikan.

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara sistematis pemikiran Jean Piaget, menelaah landasan filosofis dan teoretisnya, mengkaji model tahapan perkembangan kognitif yang ia gagas, serta menjelaskan dampak dan implikasinya dalam konteks pendidikan modern. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan berbasis pada kajian literatur ilmiah, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam dan reflektif mengenai relevansi abadi teori Piaget dalam menghadapi tantangan dunia pendidikan abad ke-21.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–5.

[2]                John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 1–4.

[3]                Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child, trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 10–13.

[4]                Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 224–228.

[5]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 46–50.


2.           Biografi Singkat Jean Piaget

Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchâtel, Swiss, dari keluarga yang memiliki tradisi intelektual kuat. Ayahnya, Arthur Piaget, adalah seorang profesor literatur abad pertengahan, yang menanamkan kecintaan terhadap studi sistematis dan ketekunan ilmiah dalam diri Jean sejak dini.¹ Minat Piaget terhadap ilmu pengetahuan muncul pada usia yang sangat muda. Pada usia 11 tahun, ia telah menerbitkan artikel ilmiahnya yang pertama tentang moluska, sebuah pencapaian luar biasa yang mencerminkan kecenderungan awalnya dalam penelitian empiris.²

Piaget menempuh pendidikan di Universitas Neuchâtel, tempat ia meraih gelar doktor di bidang ilmu alam pada tahun 1918. Ia kemudian melanjutkan studi pascadoktoralnya di Zurich, di mana ia terpapar pada teori psikoanalisis Freudian, dan akhirnya bekerja di Paris di bawah bimbingan Alfred Binet, pelopor pengukuran kecerdasan anak.³ Pengalamannya di laboratorium Binet sangat menentukan, karena di sanalah Piaget mulai menyadari bahwa anak-anak memberikan jawaban yang sistematis salah pada tes kecerdasan bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena cara berpikir mereka yang berbeda secara struktural dari orang dewasa.⁴

Dari titik inilah, Piaget mengembangkan minat yang mendalam terhadap psikologi perkembangan anak. Ia mulai melakukan observasi dan wawancara klinis terhadap anak-anak, termasuk anak-anaknya sendiri, dan mengembangkan kerangka teoritis mengenai tahapan perkembangan kognitif yang menjadi dasar utama dalam psikologi pendidikan.⁵ Selama karier akademiknya, ia mendirikan Centre International d'Épistémologie Génétique di Jenewa dan menulis lebih dari 60 buku serta ratusan artikel ilmiah yang memengaruhi berbagai bidang seperti filsafat, pendidikan, biologi, dan psikologi.⁶

Piaget dikenal bukan hanya sebagai psikolog perkembangan, tetapi juga sebagai filsuf epistemologi. Karyanya yang terkenal seperti The Origins of Intelligence in Children dan The Psychology of the Child menggambarkan perpaduan unik antara ilmu empiris dan refleksi filosofis.⁷ Ia menekankan bahwa pengetahuan tidak semata-mata ditransfer, melainkan dibangun secara aktif melalui interaksi antara individu dan lingkungannya—a view yang kelak menjadi dasar bagi pendekatan konstruktivistik dalam pendidikan.⁸

Jean Piaget wafat pada 16 September 1980 di Jenewa, Swiss. Warisannya tetap hidup dalam teori perkembangan kognitif yang terus menjadi bahan kajian lintas disiplin hingga saat ini. Pemikirannya bukan hanya memperluas wawasan tentang anak, tetapi juga mengubah secara fundamental cara pendidikan dan pembelajaran dirancang serta dipraktikkan di seluruh dunia.


Footnotes

[1]                Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 330.

[2]                David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 4.

[3]                John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 5–8.

[4]                Barry J. Wadsworth, Piaget's Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 11.

[5]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), viii–x.

[6]                Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 22–24.

[7]                Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child, trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), vii–ix.

[8]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 47–48.


3.           Landasan Epistemologis dan Filosofis Pemikiran Piaget

Jean Piaget bukan hanya seorang psikolog perkembangan, tetapi juga seorang filsuf ilmu pengetahuan. Salah satu kontribusi intelektual paling signifikan dari Piaget adalah pengembangan pendekatan yang ia sebut sebagai epistemologi genetis (genetic epistemology), yakni studi tentang asal-usul dan perkembangan struktur pengetahuan manusia melalui interaksi antara individu dan lingkungan secara bertahap dan sistematis.¹ Pendekatan ini meletakkan fondasi bagi pemahamannya tentang perkembangan kognitif sebagai proses konstruksi aktif, bukan penerimaan pasif.²

Secara epistemologis, Piaget menolak dikotomi antara empirisme dan nativisme. Ia tidak sepenuhnya menerima pandangan empiris bahwa pengetahuan berasal murni dari pengalaman inderawi, maupun posisi nativis yang menekankan bahwa struktur pengetahuan bersifat bawaan. Sebaliknya, Piaget mengembangkan posisi interaksionis yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk melalui proses timbal balik antara struktur internal individu dan pengalaman eksternal.³ Dalam proses ini, anak bertindak sebagai agen aktif yang secara bertahap menyusun dan menyempurnakan struktur kognitifnya melalui mekanisme asimilasi dan akomodasi.⁴

Landasan filosofis Piaget juga dipengaruhi oleh tradisi rasionalisme Kantian dan biologi evolusioner Darwinian. Dari Kant, ia mengadopsi gagasan bahwa struktur kognitif bukanlah hasil pengalaman semata, melainkan memiliki dimensi internal yang aktif membentuk realitas. Namun berbeda dari Kant yang melihat struktur kognitif sebagai tetap, Piaget menekankan bahwa struktur tersebut berkembang secara bertahap melalui tahapan perkembangan.⁵ Sementara dari Darwin, Piaget menyerap konsep adaptasi dan evolusi, yang kemudian diterjemahkannya dalam proses equilibration, yakni usaha individu untuk mencapai keseimbangan antara struktur kognitif yang dimiliki dengan tuntutan lingkungan.⁶

Piaget juga mengkritik behaviorisme yang dominan di masanya karena terlalu menekankan stimulus-respons dan mengabaikan proses mental internal yang kompleks. Bagi Piaget, perilaku tidak bisa sepenuhnya dipahami tanpa menelaah proses kognitif di baliknya.⁷ Dalam konteks ini, ia menempatkan studi perkembangan kognitif anak sebagai jendela untuk memahami proses berpikir manusia secara umum, dan bahkan sebagai sarana untuk menjelaskan evolusi epistemologi itu sendiri.⁸

Salah satu sumbangsih penting Piaget dalam filsafat pengetahuan adalah pengakuannya bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linier atau kumulatif, melainkan melalui rekonstruksi progresif dari struktur kognitif. Hal ini sejalan dengan pendekatannya terhadap perkembangan anak: anak tidak hanya belajar informasi baru, tetapi juga membentuk ulang cara berpikirnya dalam rangka memahami dan mengorganisasi dunia.⁹ Dengan demikian, Piaget tidak hanya menjelaskan bagaimana individu berkembang, tetapi juga bagaimana ilmu pengetahuan sebagai konstruksi sosial dan individu berkembang dalam kerangka yang sama.

Kerangka pemikiran Piaget ini kemudian menjadi landasan bagi konstruktivisme modern dalam psikologi pendidikan, di mana belajar dipahami sebagai proses membangun makna, bukan menerima kebenaran yang sudah jadi.¹⁰ Maka, epistemologi Piaget tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga sangat aplikatif dalam merancang sistem pendidikan yang menghargai partisipasi aktif dan pemikiran kritis peserta didik.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, Genetic Epistemology, trans. Eleanor Duckworth (New York: Columbia University Press, 1970), 1–2.

[2]                Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 332.

[3]                John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 15–17.

[4]                Barry J. Wadsworth, Piaget's Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 17–21.

[5]                Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 35.

[6]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–5.

[7]                Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 226.

[8]                Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child, trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 10.

[9]                David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 9–12.

[10]             Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 46–50.


4.           Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Teori perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Jean Piaget merupakan tonggak penting dalam psikologi perkembangan dan pendidikan. Teori ini menekankan bahwa perkembangan intelektual manusia terjadi melalui serangkaian tahap yang bersifat universal, terstruktur, dan progresif, di mana anak secara aktif membentuk pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya.¹ Piaget menyebut proses ini sebagai proses konstruksi kognitif, yang melibatkan dua mekanisme utama: asimilasi dan akomodasi.

4.1.       Asimilasi, Akomodasi, dan Equilibration

Asimilasi adalah proses di mana individu menggunakan skema yang sudah ada untuk menanggapi pengalaman baru, sedangkan akomodasi terjadi ketika skema yang ada diubah atau disesuaikan sebagai respons terhadap pengalaman baru yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan struktur kognitif sebelumnya.² Keseimbangan antara kedua proses ini disebut equilibration, yaitu usaha kognitif untuk mencapai stabilitas dalam pemahaman. Piaget meyakini bahwa keseimbangan ini mendorong pertumbuhan kognitif secara bertahap.³

4.2.       Tahapan Perkembangan Kognitif

Piaget mengidentifikasi empat tahap utama dalam perkembangan kognitif anak yang masing-masing mencerminkan perubahan kualitatif dalam cara berpikir:

1)                  Tahap Sensorimotor (0–2 tahun)

Pada tahap ini, bayi belajar melalui tindakan langsung pada lingkungan. Pemahaman berkembang dari refleks sederhana menjadi representasi mental dasar. Ciri utama tahap ini adalah berkembangnya konsep permanensi objek, yaitu kesadaran bahwa benda tetap ada meskipun tidak terlihat.⁴

2)                  Tahap Praoperasional (2–7 tahun)

Anak mulai menggunakan simbol seperti kata dan gambar untuk mewakili objek. Namun, mereka masih berpikir secara egosentris dan belum memahami prinsip konservasi (bahwa kuantitas suatu objek tetap meskipun bentuknya berubah).⁵ Mereka juga menunjukkan kesulitan dalam memahami perspektif orang lain dan cenderung melakukan animisme, yaitu menganggap benda mati memiliki kehidupan.⁶

3)                  Tahap Operasional Konkret (7–11 tahun)

Pada tahap ini, anak mulai mampu berpikir logis tentang objek nyata. Mereka memahami konsep konservasi, klasifikasi, dan reversibilitas. Namun, kemampuan berpikir mereka masih terbatas pada situasi konkret dan belum mencakup pemikiran abstrak.⁷ Anak pada tahap ini mulai dapat memecahkan masalah secara sistematis, namun belum mampu menggunakan hipotesis secara bebas.

4)                  Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas)

Merupakan tahap di mana individu mulai mampu berpikir abstrak, logis, dan sistematis. Mereka dapat mempertimbangkan hipotesis, memikirkan kemungkinan alternatif, serta menggunakan pemikiran deduktif.⁸ Pada tahap ini, muncul kemampuan untuk berpikir tentang ide-ide hipotetis dan masa depan secara rasional.

4.3.       Ciri-ciri Kunci dan Kontribusi Teoritis

Keunikan teori Piaget terletak pada fokusnya terhadap struktur berpikir dan bukan hanya isi berpikir. Ia menekankan bahwa perubahan intelektual adalah hasil dari restrukturisasi internal atas pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya.⁹ Dengan demikian, belajar bukanlah hasil dari akumulasi fakta, melainkan hasil dari konstruksi dan rekonstruksi yang aktif dan berkesinambungan.

Teori Piaget juga menekankan pentingnya kesiapan perkembangan sebagai prasyarat belajar. Konsep ini menjadi fondasi bagi pendekatan pendidikan yang menghargai tahapan perkembangan anak dalam menyusun kurikulum dan metode pengajaran.¹⁰ Dalam praktiknya, teori ini telah menginspirasi berbagai pendekatan pembelajaran yang menekankan eksplorasi, penemuan, dan pemecahan masalah.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm Piercy and D. E. Berlyne (New York: Routledge, 2001), 4–7.

[2]                Barry J. Wadsworth, Piaget's Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 19–21.

[3]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 5–6.

[4]                Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 223.

[5]                John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 95–98.

[6]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 46–47.

[7]                Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 336.

[8]                Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child, trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 131–134.

[9]                David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 17.

[10]             Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 40–41.


5.           Eksperimen dan Penelitian Piaget tentang Anak-anak

Salah satu kekuatan utama dalam teori Jean Piaget adalah bahwa ia dibangun di atas fondasi eksperimen dan observasi sistematis terhadap anak-anak. Piaget tidak hanya mengembangkan kerangka teoretis secara spekulatif, melainkan juga melalui pendekatan metodologis yang khas, yaitu metode klinis—sebuah kombinasi antara wawancara terbuka dan observasi terstruktur.¹ Metode ini memungkinkan Piaget untuk menyelidiki secara mendalam proses berpikir anak dengan menyesuaikan pertanyaan berdasarkan respons individu, sehingga ia dapat mengeksplorasi alasan di balik jawaban mereka, bukan hanya menilai benar atau salah.²

Piaget sering menggunakan anak-anaknya sendiri sebagai subjek penelitian awal, namun seiring waktu ia mengembangkan studi yang lebih luas dengan subjek dari berbagai usia dan latar belakang. Ia tertarik pada pertanyaan mendasar: Bagaimana anak memahami dunia, dan bagaimana pemahaman ini berkembang seiring waktu?_³ Untuk menjawabnya, Piaget merancang sejumlah eksperimen yang kini menjadi ikonik dalam psikologi perkembangan.

5.1.       Eksperimen Konservasi

Salah satu eksperimen paling terkenal dari Piaget adalah eksperimen tentang konservasi kuantitas. Dalam salah satu versi eksperimen ini, anak diminta untuk membandingkan dua gelas identik berisi air dalam jumlah yang sama. Setelah anak menyatakan bahwa jumlah air dalam kedua gelas sama, Piaget menuangkan isi salah satu gelas ke dalam gelas yang lebih tinggi dan ramping, lalu bertanya apakah jumlah air masih sama. Anak praoperasional (usia 2–7 tahun) biasanya menjawab bahwa gelas yang lebih tinggi memiliki lebih banyak air, menunjukkan bahwa mereka belum memahami prinsip konservasi.⁴

Eksperimen serupa dilakukan untuk menguji konservasi massa, panjang, dan jumlah. Piaget menemukan bahwa pemahaman anak terhadap konsep-konsep ini muncul secara bertahap dan berkaitan erat dengan tahap perkembangan kognitifnya.⁵ Temuan ini memperkuat argumen Piaget bahwa struktur berpikir anak berbeda secara fundamental dari orang dewasa dan berkembang melalui restrukturisasi internal yang aktif.

5.2.       Eksperimen Klasifikasi dan Seriasi

Dalam studi tentang klasifikasi, Piaget menyajikan anak-anak dengan kumpulan benda yang terdiri dari, misalnya, lima bunga merah dan dua bunga putih, lalu menanyakan apakah ada lebih banyak bunga atau lebih banyak bunga merah. Anak-anak dalam tahap praoperasional sering menjawab bahwa bunga merah lebih banyak, menunjukkan kesulitan dalam memahami hierarki klasifikasi.⁶

Piaget juga meneliti kemampuan seriasi, yaitu kemampuan untuk mengurutkan objek berdasarkan atribut tertentu seperti panjang atau berat. Dalam eksperimen klasik, anak diminta menyusun batang dari yang paling pendek ke paling panjang. Anak-anak pada tahap operasional konkret mulai menunjukkan kemampuan ini secara konsisten.⁷

5.3.       Eksperimen Egosentrisme dan Perspektif Sosial

Salah satu penelitian paling terkenal dalam konteks egosentrisme anak adalah “Three Mountain Task”, di mana anak diminta melihat model tiga gunung dari satu sisi dan kemudian ditanya pandangan seperti apa yang akan terlihat dari sisi orang lain. Anak-anak praoperasional sering gagal memahami perspektif orang lain dan memilih gambar sesuai dengan apa yang mereka lihat, bukan dari sudut pandang orang lain.⁸ Eksperimen ini menunjukkan keterbatasan dalam kemampuan mengambil perspektif sosial, yang baru berkembang lebih matang pada tahap operasional konkret.

5.4.       Signifikansi Eksperimental dalam Teori Kognitif

Eksperimen-eksperimen Piaget bukan hanya instrumen untuk menguji hipotesis, tetapi juga alat diagnostik untuk memahami struktur berpikir anak. Tidak seperti pendekatan behavioristik yang menekankan respons yang dapat diamati, Piaget tertarik pada struktur kognitif di balik perilaku—bagaimana anak menafsirkan pengalaman dan bagaimana struktur itu berubah melalui perkembangan.⁹

Meskipun beberapa metodologi Piaget kemudian dikritik karena kurangnya standar kontrol eksperimental yang ketat dan karena terlalu banyak bergantung pada interpretasi subjektif, kontribusinya tetap fundamental. Banyak peneliti perkembangan setelahnya menggunakan eksperimen Piaget sebagai dasar untuk studi lanjutan dengan metodologi yang lebih modern dan kuantitatif.¹⁰

Secara keseluruhan, penelitian dan eksperimen Piaget memberikan wawasan mendalam tentang dinamika berpikir anak dan menjadi batu pijakan bagi pemahaman modern tentang perkembangan kognitif, pendidikan berbasis tahapan, dan pendekatan pembelajaran konstruktivistik.


Footnotes

[1]                John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 9–11.

[2]                David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 15.

[3]                Jean Piaget, The Child’s Conception of the World, trans. Joan and Andrew Tomlinson (Lanham: Rowman & Littlefield, 2007), 3–4.

[4]                Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Psychology of the Child, trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 101–103.

[5]                Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 224–226.

[6]                Barry J. Wadsworth, Piaget's Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 43.

[7]                Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 338.

[8]                Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 52.

[9]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 49.

[10]             Robert Siegler and Martha Alibali, Children’s Thinking, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2005), 7–9.


6.           Dampak dan Implikasi Pemikiran Piaget dalam Dunia Pendidikan

Pemikiran Jean Piaget telah memberikan pengaruh yang mendalam dalam dunia pendidikan, khususnya dalam mengubah paradigma pembelajaran dari pendekatan tradisional yang berpusat pada guru menuju pendekatan konstruktivistik yang berpusat pada peserta didik.¹ Melalui teorinya tentang perkembangan kognitif, Piaget menekankan bahwa anak bukanlah “tabula rasa” atau penerima pasif informasi, melainkan individu aktif yang secara progresif membangun pemahamannya tentang dunia melalui interaksi dan pengalaman.²

6.1.       Kurikulum Berbasis Tahapan Perkembangan

Salah satu implikasi langsung dari teori Piaget adalah pentingnya menyusun kurikulum dan metode pengajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa.³ Dalam tahap praoperasional, misalnya, anak masih berpikir secara egosentris dan simbolik, sehingga pembelajaran yang bersifat konkret dan visual sangat efektif. Sementara itu, anak-anak pada tahap operasional formal mulai mampu berpikir secara abstrak dan hipotesis, yang memungkinkan diterapkannya strategi pembelajaran berbasis pemecahan masalah dan eksperimen ilmiah.⁴

Dengan memahami tahapan ini, pendidik dapat menghindari praktik “memaksakan” materi yang terlalu kompleks bagi kemampuan kognitif peserta didik. Hal ini sejalan dengan prinsip developmentally appropriate practice dalam pendidikan modern, yang mengakui pentingnya kesiapan perkembangan sebagai landasan proses belajar.⁵

6.2.       Peran Guru sebagai Fasilitator, Bukan Instruktor

Piaget juga menegaskan bahwa proses belajar yang efektif tidak terjadi melalui transmisi pengetahuan secara satu arah dari guru ke siswa.⁶ Sebaliknya, guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan belajar yang merangsang eksplorasi, mendorong pertanyaan, dan menantang pemikiran siswa. Guru harus memberikan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa untuk membangun makna secara mandiri dan menguji hipotesis mereka sendiri.

Hal ini menuntut guru untuk lebih memahami dinamika kognitif siswa dan merancang strategi pembelajaran yang memungkinkan terjadinya konflik kognitif (cognitive disequilibrium)—yaitu situasi di mana pemahaman awal siswa terganggu oleh informasi baru yang tidak sesuai, sehingga mendorong terjadinya restrukturisasi pemikiran.⁷ Strategi ini sejalan dengan pandangan Piaget bahwa equilibration menjadi penggerak utama dalam perkembangan intelektual.

6.3.       Model Pembelajaran Konstruktivistik

Teori Piaget menjadi dasar utama pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan, di mana belajar dipahami sebagai proses aktif membangun pengetahuan, bukan sekadar menerima fakta.⁸ Dalam pembelajaran konstruktivistik, aktivitas seperti diskusi kelompok, eksperimen, simulasi, dan pemecahan masalah menjadi alat utama untuk mendorong pembelajaran yang mendalam. Piaget menekankan bahwa interaksi sosial juga penting, karena dapat membantu siswa mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dan mempercepat perkembangan kognitifnya.⁹

Model ini secara nyata telah memengaruhi kebijakan dan implementasi kurikulum di berbagai negara. Di Indonesia, pendekatan berbasis student-centered learning dalam Kurikulum Merdeka sejalan dengan prinsip-prinsip konstruktivistik Piaget, seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan penekanan pada profil pelajar yang reflektif dan mandiri.¹⁰

6.4.       Penilaian Proses, Bukan Hanya Hasil

Imbas dari teori Piaget juga tampak dalam pendekatan terhadap evaluasi pendidikan. Piaget menolak gagasan bahwa kecerdasan atau pengetahuan dapat diukur hanya melalui hasil akhir. Ia menekankan pentingnya menilai cara berpikir siswa, bukan sekadar jawaban benar atau salah.¹¹ Oleh karena itu, penilaian formatif, observasi kualitatif, dan asesmen kinerja menjadi strategi yang lebih tepat untuk mengungkap proses kognitif siswa secara menyeluruh.

6.5.       Pemberdayaan Peserta Didik sebagai Subjek Pendidikan

Secara filosofis, pemikiran Piaget telah mengangkat martabat peserta didik sebagai subjek pembelajar yang otonom.¹² Ini memiliki implikasi etis yang signifikan: pendidikan bukanlah proses membentuk siswa menjadi seperti kehendak luar (guru atau sistem), melainkan membimbing mereka untuk mengembangkan potensi berpikir dan nalar mereka secara mandiri dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 47.

[2]                Jean Piaget, The Psychology of the Child, trans. Helen Weaver (New York: Basic Books, 1969), 131.

[3]                Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 72–75.

[4]                Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 230–231.

[5]                John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 101.

[6]                Jean Piaget, Science of Education and the Psychology of the Child, trans. D. Coltman (New York: Viking Press, 1970), 26.

[7]                David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 19–21.

[8]                Howard Gardner, The Quest for Mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the Structuralist Movement (Chicago: University of Chicago Press, 1981), 45.

[9]                Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 339.

[10]             Kemendikbudristek RI, Panduan Pembelajaran dan Asesmen, edisi revisi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 16.

[11]             Jean Piaget, The Child’s Conception of the World, trans. Joan and Andrew Tomlinson (Lanham: Rowman & Littlefield, 2007), 7.

[12]             Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder: Westview Press, 2016), 78–79.


7.           Kritik dan Pengembangan terhadap Teori Piaget

Meskipun teori perkembangan kognitif Jean Piaget telah memberikan kontribusi monumental dalam psikologi dan pendidikan, berbagai kritik dan pengembangan telah muncul dari para ilmuwan generasi berikutnya. Kritik-kritik ini tidak selalu menyangkal nilai fundamental dari teori Piaget, melainkan berupaya memperkaya, merevisi, dan menyempurnakan pemahamannya agar lebih sesuai dengan bukti-bukti empiris kontemporer dan dinamika sosial-kultural yang lebih luas.

7.1.       Validitas Usia dan Ketepatan Tahapan

Salah satu kritik utama terhadap teori Piaget adalah berkaitan dengan validitas usia pada setiap tahapan perkembangan kognitif. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa beberapa anak mampu menunjukkan kemampuan berpikir formal atau logis lebih awal daripada usia yang diperkirakan Piaget.¹ Sebaliknya, sebagian anak mungkin belum mencapai tahap berpikir abstrak bahkan setelah melewati masa remaja.² Hal ini mengindikasikan bahwa tahapan perkembangan kognitif tidak selalu bersifat universal dan linier sebagaimana yang diusulkan oleh Piaget.

Lebih lanjut, para kritikus juga menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, anak-anak dapat menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam domain tertentu, tetapi tidak dalam domain lainnya—a fenomena yang disebut sebagai domain-specificity.³ Dengan demikian, perkembangan kognitif tidak selalu seragam, melainkan bisa sangat dipengaruhi oleh konteks, pengalaman belajar, dan latar belakang budaya.

7.2.       Kurangnya Perhatian terhadap Faktor Sosial dan Budaya

Piaget dinilai kurang memberi perhatian yang cukup terhadap peran sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif.⁴ Dalam pandangannya, perkembangan intelektual lebih ditentukan oleh interaksi anak dengan lingkungan fisik daripada dengan lingkungan sosial. Kritik ini dikemukakan terutama oleh Lev Vygotsky, tokoh psikologi Soviet yang menekankan pentingnya interaksi sosial dan bahasa sebagai alat utama dalam perkembangan mental.⁵

Vygotsky memperkenalkan konsep zona perkembangan proksimal (ZPD), yaitu jarak antara kemampuan aktual anak dan potensi perkembangan yang dapat dicapai dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya. Konsep ini menekankan bahwa bimbingan eksternal dan konteks sosial memegang peran sentral dalam proses belajar, yang dalam banyak hal tidak terlalu ditekankan dalam model Piaget.⁶

7.3.       Kritik terhadap Metodologi

Piaget juga dikritik atas metodologi penelitiannya yang bersifat klinis dan kualitatif. Meskipun pendekatan ini memberi fleksibilitas untuk mengeksplorasi proses berpikir anak secara mendalam, banyak psikolog kontemporer menilai metode tersebut rentan terhadap bias interpretatif dan tidak selalu dapat direplikasi secara ketat.⁷ Penelitian yang lebih mutakhir menggunakan metode eksperimental dan statistik canggih menunjukkan hasil yang kadang tidak sejalan dengan kesimpulan Piaget.⁸

7.4.       Pengembangan oleh Teori Neo-Piagetian dan Kognitif Kontemporer

Sebagai respons terhadap kritik tersebut, sejumlah pendekatan neo-Piagetian muncul yang menggabungkan temuan Piaget dengan teori kognitif modern. Salah satu tokoh penting dalam pengembangan ini adalah Robbie Case, yang memperkenalkan pendekatan yang mempertimbangkan kapasitas memori kerja sebagai penjelas perkembangan kognitif yang lebih akurat daripada semata-mata struktur tahapan.⁹ Pendekatan ini mengintegrasikan model Piaget dengan pemahaman baru tentang pemrosesan informasi.

Selain itu, teori pemrosesan informasi (information-processing theory) memberikan alternatif penting dengan menekankan pada bagaimana individu menerima, menyimpan, dan mengambil informasi, serta bagaimana perhatian dan strategi berpikir berkembang.¹⁰ Teori ini bersifat lebih kontinu dibandingkan dengan model diskret tahap-tahap Piaget.

7.5.       Relevansi dan Adaptasi dalam Konteks Pendidikan Modern

Meskipun teori Piaget telah banyak dikritik dan dikembangkan, relevansinya dalam dunia pendidikan tetap tinggi. Pendekatan pembelajaran aktif, penekanan pada konstruksi makna, serta pentingnya memahami kesiapan perkembangan peserta didik masih berakar kuat pada pemikiran Piaget.¹¹ Bahkan pendekatan-pendekatan mutakhir seperti design-based learning, project-based learning, dan pembelajaran diferensiasi tetap menjadikan fondasi Piagetian sebagai titik tolak untuk menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan kognitif anak.


Footnotes

[1]                Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 235.

[2]                Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 82–83.

[3]                Robert S. Siegler and Martha Alibali, Children’s Thinking, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2005), 116.

[4]                John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 125.

[5]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 86.

[6]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 52.

[7]                David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 27.

[8]                Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 340.

[9]                Robbie Case, The Mind’s Staircase: Exploring the Conceptual Underpinnings of Children’s Thought and Knowledge (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum, 1992), 4–7.

[10]             John R. Anderson, Cognitive Psychology and Its Implications, 6th ed. (New York: Worth Publishers, 2005), 234–238.

[11]             Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (New York: Basic Books, 1991), 45–48.


8.           Relevansi Pemikiran Piaget di Era Digital

Meskipun teori perkembangan kognitif Jean Piaget lahir dalam konteks abad ke-20 yang jauh dari dominasi teknologi digital, prinsip-prinsip fundamental dari pemikirannya tetap memiliki relevansi kuat dalam merespons tantangan dan peluang pendidikan di era digital saat ini. Inti dari teori Piaget tentang konstruksi pengetahuan secara aktif, pemikiran berbasis tahapan, dan pentingnya keterlibatan pengalaman langsung, dapat diadaptasi secara kritis dalam konteks pembelajaran yang semakin terdigitalisasi.¹

8.1.       Konstruktivisme Digital dan Lingkungan Belajar Virtual

Piaget menekankan bahwa pengetahuan dibentuk secara aktif oleh individu melalui interaksi dengan lingkungannya.² Dalam konteks digital, hal ini selaras dengan munculnya lingkungan belajar interaktif berbasis teknologi, seperti simulasi virtual, pembelajaran berbasis game (game-based learning), dan platform e-learning yang memungkinkan siswa mengeksplorasi, memanipulasi, dan membangun pemahaman mereka secara mandiri.³

Sebagai contoh, virtual manipulatives dalam pembelajaran matematika memungkinkan siswa pada tahap operasional konkret untuk berinteraksi secara visual dan kinestetik dengan konsep-konsep abstrak. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi ketika anak terlibat langsung dengan objek dan situasi nyata yang menantang struktur kognitif mereka.⁴

8.2.       Personalization dan Diferensiasi Berdasarkan Tahap Perkembangan

Teknologi memungkinkan personalisasi pembelajaran secara lebih luas, baik dari segi materi, kecepatan belajar, maupun gaya belajar. Dengan pendekatan ini, guru dapat menyusun konten dan strategi yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik, sebagaimana diuraikan Piaget.⁵ Pembelajaran adaptif (adaptive learning systems) bahkan memungkinkan pemetaan kemampuan dan kebutuhan individual siswa secara real-time, memperkuat gagasan Piaget tentang pentingnya kesiapan dalam belajar.

8.3.       Digital Tools sebagai Penggerak Equilibration

Penggunaan teknologi dalam pembelajaran juga dapat menciptakan situasi disequilibrium (ketidakseimbangan kognitif) yang produktif, yakni ketika informasi baru bertentangan dengan skema yang sudah ada, mendorong terjadinya akomodasi dan perkembangan kognitif yang lebih lanjut.⁶ Misalnya, melalui eksplorasi simulasi ilmiah atau pemodelan digital, siswa dipaksa menguji kembali pengetahuan sebelumnya dan merevisi pemahamannya.

Piaget berpendapat bahwa equilibration adalah mekanisme inti dari perkembangan intelektual. Dalam konteks digital, disequilibrium tidak hanya terjadi melalui interaksi fisik, tetapi juga melalui paparan terhadap tantangan kognitif yang kompleks secara visual dan interaktif.⁷

8.4.       Interaksi Sosial Digital dan Kolaborasi Virtual

Walau Piaget menekankan konstruksi individual, ia juga mengakui pentingnya interaksi sosial dalam mempercepat perkembangan kognitif. Era digital telah membuka ruang bagi kolaborasi virtual, diskusi daring, dan kerja kelompok lintas geografis, yang memungkinkan pertukaran perspektif secara lebih luas dan dinamis.⁸ Dalam praktiknya, forum diskusi online, peer assessment, dan digital storytelling adalah sarana konkret yang merealisasikan ide-ide Piaget tentang pentingnya konflik sosial dan refleksi sebagai pemicu perkembangan intelektual.

8.5.       Tantangan Implementasi: Potensi dan Risiko Teknologi

Meskipun teknologi digital memiliki potensi untuk mendukung konstruktivisme ala Piaget, implementasinya tidak lepas dari tantangan. Ketergantungan pada konten visual atau game edukatif tanpa kedalaman konseptual dapat menciptakan ilusi pembelajaran tanpa pemahaman mendalam.⁹ Selain itu, tidak semua siswa memiliki kesiapan kognitif dan literasi digital yang sama, yang berisiko menciptakan kesenjangan baru dalam pembelajaran.

Karena itu, diperlukan pemahaman mendalam tentang tahap perkembangan kognitif siswa agar teknologi tidak hanya digunakan sebagai alat presentasi, tetapi sebagai medium rekonstruksi pengetahuan yang aktif dan bermakna.¹⁰


Footnotes

[1]                Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (New York: Basic Books, 1991), 62.

[2]                Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm Piercy and D. E. Berlyne (New York: Routledge, 2001), 6.

[3]                Cathy Cavanaugh, et al., “The Effects of Interactive Learning Software on Achievement in Mathematics,” Journal of Educational Computing Research 45, no. 2 (2011): 135–152.

[4]                M. Sarama and D. Clements, “Virtual Manipulatives,” Teaching Children Mathematics 8, no. 3 (2001): 114–119.

[5]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 54–56.

[6]                Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 28.

[7]                David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 22.

[8]                Richard J. Gerrig, Psychology and Life, 20th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 337.

[9]                Neil Selwyn, Education and Technology: Key Issues and Debates, 2nd ed. (London: Bloomsbury Academic, 2017), 99.

[10]             Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 240–242.


9.           Kesimpulan

Pemikiran Jean Piaget telah meletakkan dasar yang kokoh bagi perkembangan psikologi kognitif dan praktik pendidikan modern. Melalui teori perkembangan kognitifnya yang sistematis, Piaget menunjukkan bahwa anak bukanlah sekadar objek pasif yang menerima informasi dari lingkungan, melainkan subjek aktif yang secara progresif membentuk struktur pengetahuannya melalui proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi.¹ Model empat tahap perkembangan kognitif yang ia kemukakan tidak hanya merevolusi pemahaman tentang dinamika intelektual anak, tetapi juga mengarahkan perancangan kurikulum dan metode pedagogis yang sesuai dengan kesiapan mental peserta didik.²

Piaget juga berhasil mengangkat dimensi epistemologis dari proses belajar. Melalui pendekatan genetic epistemology, ia menempatkan perkembangan pengetahuan bukan sebagai sesuatu yang bersifat statis atau diwariskan, tetapi sebagai sesuatu yang dibangun secara aktif dan terus-menerus melalui interaksi antara individu dan lingkungannya.³ Dalam hal ini, ia melampaui kerangka behavioristik yang dominan pada zamannya, dengan mengedepankan pentingnya struktur internal berpikir sebagai pusat dari segala bentuk pembelajaran.⁴

Walaupun teori Piaget menuai kritik, terutama terkait dengan ketepatan usia tahapan dan kurangnya penekanan terhadap faktor sosial-budaya, pemikirannya tetap menjadi referensi utama dalam dunia pendidikan.⁵ Perkembangan teori neo-Piagetian, pendekatan pemrosesan informasi, dan teori Vygotsky, justru memperkaya dan memperluas cakupan pemahaman yang telah dibuka oleh Piaget. Dengan demikian, warisan intelektual Piaget bukanlah dogma yang beku, melainkan titik awal bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.

Dalam konteks era digital saat ini, gagasan Piaget tetap relevan dan adaptif. Konsep konstruksi aktif pengetahuan sangat selaras dengan paradigma pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan interaktivitas, personalisasi, dan pembelajaran berbasis proyek.⁶ Teknologi, bila dimanfaatkan secara tepat, dapat menjadi alat untuk menfasilitasi equilibration, menciptakan disequilibrium yang produktif, dan mendorong eksplorasi konseptual siswa dalam lingkungan virtual.⁷

Oleh karena itu, pemikiran Jean Piaget bukan hanya warisan teoritis masa lalu, tetapi fondasi yang terus hidup dalam praktik pedagogis, desain kurikulum, dan refleksi filosofis tentang hakikat belajar. Pendekatannya mengingatkan dunia pendidikan bahwa belajar adalah proses yang bersifat dinamis, aktif, dan berkembang seiring dengan kematangan struktur berpikir manusia.⁸ Dalam dunia yang terus berubah, memahami pemikiran Piaget berarti menegaskan kembali pentingnya pendidikan yang menghormati potensi perkembangan peserta didik secara utuh dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 3–6.

[2]                Laura E. Berk, Child Development, 9th ed. (Boston: Pearson Education, 2013), 224–231.

[3]                Jean Piaget, Genetic Epistemology, trans. Eleanor Duckworth (New York: Columbia University Press, 1970), 1–3.

[4]                John H. Flavell, The Developmental Psychology of Jean Piaget (Princeton, NJ: Van Nostrand, 1963), 19–20.

[5]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–86.

[6]                Cathy Cavanaugh et al., “The Effects of Interactive Learning Software on Achievement in Mathematics,” Journal of Educational Computing Research 45, no. 2 (2011): 137–139.

[7]                Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (New York: Longman, 1996), 30.

[8]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 13th ed. (Boston: Pearson, 2016), 49–51.


Daftar Pustaka

Anderson, J. R. (2005). Cognitive psychology and its implications (6th ed.). Worth Publishers.

Berk, L. E. (2013). Child development (9th ed.). Pearson Education.

Cavanaugh, C., Gillan, K. J., Bosnick, J., Hess, M., & Scott, H. (2011). The effects of interactive learning software on achievement in mathematics. Journal of Educational Computing Research, 45(2), 135–152. https://doi.org/10.2190/EC.45.2.c

Case, R. (1992). The mind’s staircase: Exploring the conceptual underpinnings of children’s thought and knowledge. Lawrence Erlbaum.

Elkind, D. (1970). Children and adolescents: Interpretive essays on Jean Piaget. Oxford University Press.

Flavell, J. H. (1963). The developmental psychology of Jean Piaget. Van Nostrand.

Gardner, H. (1981). The quest for mind: Piaget, Lévi-Strauss, and the structuralist movement. University of Chicago Press.

Gardner, H. (1991). The unschooled mind: How children think and how schools should teach. Basic Books.

Gerrig, R. J. (2013). Psychology and life (20th ed.). Pearson Education.

Kemendikbudristek RI. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen (edisi revisi). Kemendikbudristek.

Noddings, N. (2016). Philosophy of education (4th ed.). Westview Press.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). International Universities Press. (Original work published 1936)

Piaget, J. (1969). The psychology of the child (B. Inhelder, & H. Weaver, Trans.). Basic Books.

Piaget, J. (1970). Science of education and the psychology of the child (D. Coltman, Trans.). Viking Press.

Piaget, J. (1970). Genetic epistemology (E. Duckworth, Trans.). Columbia University Press.

Piaget, J. (2001). The psychology of intelligence (M. Piercy & D. E. Berlyne, Trans.). Routledge. (Original work published 1947)

Piaget, J. (2007). The child’s conception of the world (J. Tomlinson & A. Tomlinson, Trans.). Rowman & Littlefield. (Original work published 1929)

Sarama, M., & Clements, D. (2001). Virtual manipulatives. Teaching Children Mathematics, 8(3), 114–119.

Selwyn, N. (2017). Education and technology: Key issues and debates (2nd ed.). Bloomsbury Academic.

Siegler, R. S., & Alibali, M. W. (2005). Children’s thinking (4th ed.). Prentice Hall.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.

Wadsworth, B. J. (1996). Piaget's theory of cognitive and affective development (5th ed.). Longman.

Woolfolk, A. (2016). Educational psychology (13th ed.). Pearson.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar