Jumat, 23 Mei 2025

Esensi dan Aksidensi: Antara Hakikat, Perubahan, dan Identitas Ontologis

Esensi dan Aksidensi

Antara Hakikat, Perubahan, dan Identitas Ontologis


Alihkan ke: Metafisika.

Esensi dalam Metafisika, Aksidensi dalam Metafisika.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep esensi dan aksidensi sebagai dua kategori fundamental dalam metafisika, dengan menelusuri perkembangan historis, perbandingan tradisi Barat dan Islam, serta tanggapan kritis dan konstruktif dalam filsafat kontemporer. Esensi dipahami sebagai hakikat suatu entitas yang menentukan identitasnya, sedangkan aksidensi merupakan sifat-sifat tambahan yang tidak menentukan keberadaan substansialnya. Kajian ini diawali dengan telaah konseptual dan ontologis, kemudian mengurai bagaimana esensi dan aksidensi berperan dalam perubahan, identitas, serta sistem pengetahuan dan etika. Dalam tradisi Barat, gagasan ini berkembang dari Aristoteles hingga Kripke, sementara dalam tradisi Islam mengalami sintesis mendalam melalui pemikiran Ibn Sina dan Mulla Sadra. Artikel ini juga menelaah kritik-kritik terhadap esensialisme, terutama dari Kant, eksistensialis, post-strukturalis, dan feminis, serta menunjukkan revitalisasi esensialisme dalam logika modal kontemporer. Dengan pendekatan interdisipliner dan komparatif, artikel ini menyimpulkan bahwa esensi dan aksidensi tetap relevan sebagai alat analisis filosofis untuk memahami struktur realitas dan kompleksitas identitas manusia di tengah perubahan zaman.

Kata Kunci: Esensi, Aksidensi, Metafisika, Identitas, Perubahan, Ontologi, Ibn Sina, Mulla Sadra, Kripke, Eksistensialisme.


PEMBAHASAN

Esensi dan Aksidensi dalam Kajian Metafisika


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah pemikiran filsafat, metafisika menempati posisi fundamental sebagai disiplin yang membahas realitas dalam pengertian yang paling umum dan mendasar. Salah satu tema sentral dalam kajian metafisika adalah distingsi antara esensi (hakikat) dan aksidensi (sifat kebetulan)—dua konsep yang telah menjadi fondasi dalam memahami struktur ontologis dari sesuatu yang ada. Gagasan ini pertama kali disistematisasi secara mendalam oleh Aristoteles dalam karyanya Metaphysics, di mana ia membedakan antara substansi (ousia) yang bersifat esensial dan aksidensi yang bersifat kontingen terhadap suatu entitas tertentu.¹

Distingsi ini kemudian mendapat elaborasi yang signifikan dalam tradisi filsafat Islam dan skolastik, terutama dalam karya-karya Ibn Sina (Avicenna) dan Thomas Aquinas. Ibn Sina memperkenalkan perbedaan antara mahiyyah (whatness/esensi) dan wujud (existence), suatu pendekatan yang menjadi dasar bagi ontologi esensialistik dalam filsafat Islam.² Aquinas melanjutkan gagasan ini dalam De Ente et Essentia, dengan menekankan bahwa dalam semua makhluk (kecuali Tuhan), esensi dan eksistensi adalah dua hal yang berbeda namun terkandung dalam satu kesatuan aktual.³ Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang apa sesuatu itu (what it is) dan bahwa sesuatu itu ada (that it is) merupakan dua wilayah kajian yang berbeda namun saling terkait erat dalam metafisika.

Perbedaan antara esensi dan aksidensi tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki implikasi praktis dan metodologis dalam epistemologi, etika, dan teologi. Dalam epistemologi, misalnya, identifikasi terhadap esensi menjadi kunci dalam klasifikasi ilmu dan objek kajian. Dalam etika, pemahaman tentang esensi manusia menjadi dasar bagi konstruksi norma dan nilai. Sementara dalam teologi, diskursus mengenai sifat-sifat Tuhan seringkali dibangun di atas perbedaan antara atribut esensial dan aksidental.⁴

Dalam perkembangan pemikiran modern dan kontemporer, gagasan tentang esensi mendapat kritik tajam dari filsafat eksistensialis dan post-strukturalis. Jean-Paul Sartre menolak primasi esensi atas eksistensi, dengan menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi,” sebuah kritik terhadap metafisika klasik yang dianggap terlalu membatasi kebebasan eksistensial manusia.⁵ Di sisi lain, filsuf seperti Saul Kripke menghidupkan kembali debat tentang esensi melalui pendekatan semantik dalam filsafat bahasa dan logika modal, terutama melalui konsep rigid designators yang memperkuat pentingnya identitas esensial suatu objek di seluruh kemungkinan dunia.⁶

Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini bertujuan untuk mengelaborasi konsep esensi dan aksidensi secara sistematis, baik dari segi pengertian dasar, sejarah pemikiran, relasi keduanya dalam struktur realitas, hingga kritik kontemporer yang mengujinya. Kajian ini akan menggunakan pendekatan historis-filosofis dengan menelusuri pemikiran para filsuf utama, baik dari tradisi Yunani, Islam, maupun Barat modern, serta pendekatan analitis untuk mendalami makna ontologis dari setiap konsep. Diharapkan, pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang struktur ontologis dari realitas dan menumbuhkan refleksi filosofis yang kritis dan konstruktif.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book VII, 1028a10–1029a10.

[2]                Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 19–21.

[3]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 26–30.

[4]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 81–85.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–28.

[6]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–54.


2.           Konsep Dasar Metafisika dan Kedudukannya dalam Filsafat

Secara etimologis, istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani meta (μετά, “setelah” atau “melampaui”) dan physika (φυσικά, “fisika” atau “alam fisik”). Istilah ini pertama kali digunakan oleh editor karya Aristoteles, Andronikus dari Rodos, untuk menunjuk kumpulan buku yang disusun setelah risalah fisika dalam karya Aristoteles. Namun secara substansial, metafisika adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat realitas secara paling mendasar, mencakup kategori-kategori eksistensi seperti substansi, esensi, eksistensi, identitas, ruang, waktu, dan kausalitas.¹

Dalam Metaphysics, Aristoteles menyatakan bahwa filsafat pertama (metafisika) adalah ilmu tentang “yang ada sejauh ia ada” (being qua being)—ilmu yang tidak membatasi objeknya pada aspek tertentu dari eksistensi, seperti kuantitas (matematika) atau gerak (fisika), tetapi menyelidiki keberadaan itu sendiri secara universal.² Dengan demikian, metafisika menempati posisi tertinggi dalam hierarki pengetahuan filsafat karena ia menyelidiki prinsip-prinsip pertama dan sebab-sebab terdalam dari segala sesuatu.

Dalam perkembangan filsafat Islam, konsep metafisika mengalami pengayaan dan sistematisasi melalui karya-karya para filsuf besar seperti al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Mulla Sadra. Ibn Sina mengembangkan ontologi berdasarkan distingsi antara mahiyyah (esensi) dan wujud (eksistensi), dan menyebut ilmu metafisika sebagai “ilmu ilahi” (‘ilm al-ilahi) karena mengarah pada pengetahuan tentang Tuhan sebagai sebab pertama dari segala sesuatu.³ Sedangkan Mulla Sadra memperkenalkan teori primasi eksistensi (ashālat al-wujūd), yang menolak esensialisme Ibn Sina dan menjadikan eksistensi sebagai realitas utama.⁴

Sementara itu, dalam tradisi skolastik Barat, metafisika memperoleh bentuk sistematis melalui karya Thomas Aquinas, yang memadukan pemikiran Aristoteles dan Ibn Sina dalam kerangka teologis Kristiani. Ia menyatakan bahwa metafisika bertugas membedakan antara esensi dan eksistensi serta menegaskan bahwa hanya Tuhan yang esensi-Nya identik dengan eksistensi-Nya.⁵ Dengan pendekatan ini, metafisika tidak hanya membahas kategori-kategori eksistensial, tetapi juga memiliki fungsi teologis sebagai jalan menuju pengetahuan tentang Tuhan dan ciptaan-Nya.

Dalam filsafat modern, posisi metafisika mengalami tantangan serius, terutama dari Immanuel Kant. Dalam Critique of Pure Reason, Kant mempersoalkan validitas metafisika tradisional dan menyatakan bahwa metafisika sebagai ilmu tentang hal-hal di luar pengalaman indrawi tidak dapat dibuktikan secara apriori tanpa landasan dalam struktur kognitif manusia.⁶ Namun demikian, metafisika tidak hilang dari diskursus filosofis; ia hanya bergeser dari perenungan spekulatif menjadi refleksi kritis atas struktur berpikir dan bahasa yang menyusun realitas.

Pada era kontemporer, metafisika tetap memainkan peran sentral, terutama dalam filsafat analitik yang membahas persoalan identitas, kemungkinan dunia, dan kategori ontologis melalui pendekatan logika simbolik. Saul Kripke, David Lewis, dan Kit Fine, misalnya, menggunakan pendekatan semantik dan modal logika untuk menyusun kembali argumen-argumen metafisik dengan ketepatan formal.⁷ Ini menunjukkan bahwa metafisika tidak mati, melainkan mengalami transformasi metodologis dan konseptual.

Dengan demikian, metafisika sebagai filsafat pertama tetap menjadi fondasi utama dalam upaya memahami struktur dan prinsip realitas, meskipun metode dan pendekatannya terus berkembang seiring dengan dinamika filsafat itu sendiri. Ia menjadi panggung tempat gagasan-gagasan mendalam seperti esensi dan aksidensi diuji, dikembangkan, dan diberi makna dalam bingkai filsafat.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 39–41.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book IV, 1003a21–1003b10.

[3]                Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 12–17.

[4]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 88–92.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.4.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A246/B303–A252/B309.

[7]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 20–45; David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–10; Kit Fine, “Essence and Modality,” Philosophical Perspectives 8 (1994): 1–16.


3.           Pengertian Esensi dan Aksidensi: Dimensi Konseptual

Dalam ranah metafisika, istilah esensi (essentia, mahiyyah) dan aksidensi (accidens, ‘arad) merupakan dua kategori ontologis fundamental yang digunakan untuk menjelaskan struktur keberadaan (being). Perbedaan antara keduanya menjadi kunci dalam memahami sifat dasar suatu entitas, yakni apa yang menjadikan sesuatu "apa adanya", dan mana yang hanya menempel padanya secara tidak mutlak.

3.1.       Esensi: Hakikat Sesuatu yang Niscaya

Esensi adalah kumpulan sifat yang mendasar dan konstitutif dari suatu entitas; tanpa sifat-sifat tersebut, entitas tersebut tidak akan menjadi dirinya sendiri. Dalam filsafat Aristotelian, esensi merujuk pada "apa" sesuatu itu—yakni karakteristik yang menentukan identitas substansialnya.¹ Misalnya, “rasionalitas” adalah bagian esensial dari manusia; tanpa itu, ia tidak bisa disebut manusia.

Aristoteles menyebut esensi sebagai to ti ēn einai, atau “what-it-was-to-be” dari suatu benda—yaitu hakikatnya yang tetap melampaui perubahan-perubahan aksidental.² Ibn Sina (Avicenna) mengembangkan konsep ini dalam kerangka metafisika Islam dengan istilah mahiyyah (ماهيّة), yang secara literal berarti “apa-ness” atau "whatness".³ Mahiyyah menjadi konsep pusat dalam ontologi Avicennian dan dibedakan dari wujud (eksistensi), menandai batas antara keberadaan aktual dan potensi hakiki.

Dalam kerangka skolastik, Thomas Aquinas membedakan secara tegas antara esensi dan eksistensi. Baginya, esensi adalah struktur yang memungkinkan intelek kita memahami “apa” sesuatu itu, sedangkan eksistensi adalah aktualitas bahwa entitas tersebut sungguh-sungguh ada.⁴ Esensi dianggap bersifat universal dan dapat dipahami secara intelektual, bahkan ketika entitas aktualnya tidak ada dalam kenyataan.

3.2.       Aksidensi: Sifat Tambahan yang Tidak Esensial

Sebaliknya, aksidensi adalah sifat-sifat yang tidak menentukan identitas substansial suatu benda, namun tetap bisa melekat padanya untuk sementara atau dalam kondisi tertentu. Dalam terminologi Aristoteles, aksidensi adalah sesuatu “yang dapat ada atau tidak ada tanpa menghilangkan substansi dari benda tersebut.”⁵ Contoh klasik adalah warna kulit manusia: putih, cokelat, atau hitam adalah aksidensi; mengubahnya tidak menjadikan seseorang bukan manusia.

Dalam Categories, Aristoteles membagi aksidensi ke dalam sepuluh kategori, termasuk kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, penderitaan, dan substansi.⁶ Kesembilan kategori selain substansi dianggap sebagai aksidensi karena keberadaannya selalu bergantung pada sesuatu yang lebih fundamental.

Dalam tradisi filsafat Islam, aksidensi disebut ‘arad, dan seperti dalam pemikiran Aristoteles, ia dipahami sebagai sesuatu yang membutuhkan mawḍū‘ (substratum atau tempat menempel).⁷ Mulla Sadra, misalnya, membahas peran aksidensi dalam konteks perubahan eksistensial dan gradasi wujud, di mana realitas entitas bukanlah kumpulan sifat statis, tetapi mengalami transformasi eksistensial yang inheren.⁸

3.3.       Perbedaan Esensial dan Aksidental dalam Konteks Ontologi

Perbedaan antara esensi dan aksidensi juga menimbulkan konsekuensi logis dan epistemologis. Dalam logika tradisional, definisi esensial adalah definisi yang mencakup genus dan diferensia (definisi quidditatif), sedangkan definisi aksidental hanya menjelaskan ciri-ciri tambahan yang dapat berubah.⁹ Di sinilah muncul istilah-istilah penting seperti essential predicates (predikat-predikat yang menjelaskan hakikat) dan accidental predicates (predikat tambahan).

Lebih jauh, filsuf seperti Duns Scotus membedakan antara quidditas (esensi umum dari suatu entitas) dan haecceitas (ke-ini-an atau keunikan individualnya), yang menjelaskan bagaimana esensi umum diwujudkan secara partikular.¹⁰ Distingsi ini memperkaya kajian metafisika dengan memperkenalkan dimensi individualitas ontologis yang tak sekadar aksidental.

Dengan memahami dimensi konseptual antara esensi dan aksidensi, kita dapat melihat bahwa realitas bukanlah struktur homogen, tetapi tersusun atas lapisan-lapisan ontologis yang beragam dalam intensitas dan kepentingan. Analisis terhadap dua konsep ini menjadi fondasi utama dalam memahami perubahan, keberlangsungan identitas, serta relasi antara kemungkinan dan aktualitas.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book VII, 1029a10–1029b15.

[2]                Ibid., 1031a15–1031b20.

[3]                Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 22–25.

[4]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 30–35.

[5]                Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1b25–2a10.

[6]                Ibid., 4a10–5a15.

[7]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 45–49.

[8]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 123–130.

[9]                Peter Coffey, The Science of Logic: An Inquiry into the Principles of Accurate Thought and Scientific Method (London: Longmans, Green, and Co., 1912), 238–243.

[10]             Duns Scotus, Ordinatio, Book II, dist. 3, trans. Allan B. Wolter, in Duns Scotus: Philosophical Writings (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 57–62.


4.           Relasi antara Esensi dan Eksistensi dalam Ontologi

Pertanyaan mengenai relasi antara esensi dan eksistensi merupakan inti dari perdebatan ontologis dalam tradisi metafisika klasik maupun modern. Apakah sesuatu itu ada karena esensinya, ataukah eksistensinya bersifat tambahan terhadap esensi? Perbedaan pandangan tentang hal ini menunjukkan betapa krusialnya pemahaman terhadap dua aspek realitas tersebut dalam membangun teori tentang keberadaan (being).

4.1.       Pandangan Klasik: Esensi sebagai Primordial

Dalam pemikiran Aristoteles, tidak terdapat pemisahan eksplisit antara esensi (to ti ēn einai) dan eksistensi sebagaimana terlihat dalam filsafat skolastik. Namun, ia menyatakan bahwa substansi adalah sesuatu yang memiliki esensi dan berada dengan sendirinya (ousia), dan bahwa eksistensi bukanlah suatu "tindakan" (actus) yang terpisah dari esensi.¹ Bagi Aristoteles, fokus utama terletak pada entitas sebagai realitas aktual (energeia), di mana bentuk (eidos) mengaktualkan materi (hyle). Esensi, dalam hal ini, lebih dekat pada bentuk substansial.

Ibn Sina (Avicenna) adalah tokoh pertama yang secara sistematis membedakan antara esensi dan eksistensi. Dalam al-Syifa’, ia menjelaskan bahwa esensi dapat dibayangkan tanpa harus ada dalam kenyataan, seperti halnya konsep kuda terbang yang memiliki esensi tetapi tidak eksis secara aktual.² Eksistensi, bagi Ibn Sina, adalah sesuatu yang ditambahkan secara kontingen (‘āriḍ) kepada esensi oleh sebab eksternal (yaitu Tuhan).³ Dengan demikian, menurut filsafat Avicennian, semua makhluk—selain Tuhan—membutuhkan aktualisasi eksistensi untuk mewujud.

4.2.       Teologi Skolastik: Komplementaritas Aktif Esensi-Eksistensi

Pemikiran Ibn Sina ini memengaruhi Thomas Aquinas, yang dalam De Ente et Essentia menegaskan bahwa esensi dan eksistensi adalah dua prinsip ontologis yang berbeda, namun saling melengkapi dalam aktualisasi keberadaan.⁴ Ia memperkenalkan gagasan bahwa eksistensi adalah "aktus dari segala aktus" (actus essendi) yang menjadikan esensi menjadi nyata. Dalam hal ini, esensi adalah potensi untuk ada, dan eksistensi adalah aktualitas dari potensi tersebut.

Dalam kerangka ini, Tuhan dipahami sebagai satu-satunya entitas yang esensi-Nya identik dengan eksistensi-Nya (ipsum esse subsistens). Semua makhluk lain memiliki esensi yang berbeda dari eksistensinya, dan dengan demikian, eksistensinya bersifat derivatif dan kontingen.⁵ Teologi skolastik menegaskan bahwa pemahaman akan perbedaan ini penting untuk menjelaskan sifat ketergantungan makhluk pada Sang Pencipta.

4.3.       Revolusi Ontologi dalam Filsafat Islam: Primasi Eksistensi

Pandangan Ibn Sina yang esensialis mendapat kritik mendasar dari Mulla Sadra dalam filsafat Hikmah al-Muta‘aliyah. Ia mengembangkan teori primasi eksistensi (ashālat al-wujūd), yang menyatakan bahwa eksistensi adalah realitas sejati, sedangkan esensi hanyalah konsep mental (i‘tibārī).⁶ Dalam pandangan ini, tidak ada entitas kecuali melalui eksistensinya—esensi hanyalah abstraksi intelektual terhadap eksistensi yang aktual.

Menurut Mulla Sadra, keberadaan bukanlah kategori yang dibagi ke dalam jenis-jenis esensi, melainkan suatu spektrum keberadaan dengan intensitas ontologis yang berbeda-beda, yang kemudian disebut sebagai tashkīk al-wujūd (ambiguitas analogis eksistensi).⁷ Dengan demikian, perbedaan esensial antar makhluk dijelaskan sebagai perbedaan dalam gradasi eksistensial, bukan sebagai pemisahan substansial yang rigid. Pandangan ini merevolusi ontologi klasik dengan memberikan dinamika dan kontinuitas pada eksistensi itu sendiri.

4.4.       Eksistensialisme Modern: Eksistensi Mendahului Esensi

Dalam era modern, khususnya dalam filsafat eksistensialis, relasi antara esensi dan eksistensi mengalami pembalikan paradigmatik. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, khususnya dalam konteks manusia.⁸ Artinya, manusia tidak memiliki esensi tetap yang mendefinisikan dirinya sebelum ia memilih dan menjalani eksistensinya. Esensi manusia, dalam pandangan Sartre, merupakan hasil dari pilihan dan proyek eksistensialnya sendiri.

Kritik Sartre terhadap esensialisme metafisika klasik berakar pada penolakan terhadap determinisme ontologis. Eksistensialisme Sartrean mengusung konsep kebebasan radikal sebagai dasar dari eksistensi manusia, di mana tidak ada kodrat yang menentukan manusia selain apa yang ia ciptakan sendiri melalui tindakan.

4.5.       Sintesis Kontemporer: Analisis Semantik dan Modal

Dalam filsafat analitik kontemporer, terutama melalui karya Saul Kripke dan Kit Fine, hubungan antara esensi dan eksistensi dibahas dalam konteks logika modal dan teori identitas esensial. Kripke, melalui gagasan rigid designators, menyatakan bahwa esensi suatu objek tetap melekat pada objek tersebut di semua kemungkinan dunia tempat ia eksis.⁹ Ini menunjukkan bahwa ada aspek esensial yang tidak tergantung pada aktualitas, tetapi berlaku dalam kerangka modalitas.

Dengan demikian, esensi dan eksistensi bukanlah dikotomi mutlak, tetapi dua dimensi ontologis yang berinteraksi dalam kerangka aktualitas dan kemungkinan. Pemahaman mendalam atas hubungan ini memungkinkan kita menilai apakah sesuatu bersifat kontingen, niscaya, atau bahkan mustahil dalam struktur realitas.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book VII, 1029a–1031a.

[2]                Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 25–27.

[3]                Ibid., 30–35.

[4]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 36–40.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.4, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[6]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 150–155.

[7]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 30–38.

[8]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–25.

[9]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–54.


5.           Aksidensi: Peranannya dalam Perubahan dan Identitas

Dalam kerangka metafisika klasik, aksidensi merupakan aspek realitas yang tidak esensial tetapi tetap melekat pada suatu substansi. Aksidensi tidak menentukan apa sesuatu itu secara hakikat, melainkan bagaimana sesuatu itu tampil atau berfungsi dalam kondisi tertentu. Kendati demikian, peran aksidensi sangat penting dalam memahami perubahan, kontinuitas identitas, serta perbedaan partikular dalam entitas yang sejenis.

5.1.       Aksidensi dalam Sistem Kategori Aristotelian

Aristoteles dalam Categories membagi segala sesuatu yang ada ke dalam sepuluh kategori, di mana substansi merupakan kategori utama, sementara sembilan sisanya adalah aksidensi: kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, dan penderitaan.¹ Aksidensi ini bersifat “tak dapat berdiri sendiri” karena selalu bergantung pada sesuatu yang lebih fundamental, yakni substansi.

Sebagai contoh, warna putih adalah aksidensi dari benda seperti kertas atau salju; ia tidak bisa eksis tanpa sesuatu yang memuatnya. Begitu pula dengan ukuran, bentuk, atau posisi. Aristoteles menyatakan bahwa aksidensi adalah apa yang dapat berubah tanpa menghilangkan substansi dari entitas tersebut.² Dengan demikian, perubahan aksidensial tidak membatalkan identitas ontologis suatu entitas.

5.2.       Perubahan Aksidensial vs. Substansial

Perbedaan antara perubahan aksidensial dan substansial sangat penting dalam ontologi klasik. Perubahan aksidensial terjadi ketika suatu entitas tetap mempertahankan esensinya tetapi mengalami modifikasi dalam sifat-sifat luarnya, seperti seorang anak yang tumbuh menjadi dewasa. Sementara perubahan substansial terjadi ketika esensi suatu entitas berubah, seperti ketika kayu dibakar menjadi abu.³

Dalam pemikiran Ibn Sina, perubahan aksidensial digolongkan sebagai perubahan dalam ‘aradhiyyāt (atribut yang menempel), yang tidak mengubah identitas esensial benda.⁴ Dalam struktur dunia fisik, perubahan aksidensial menjadi sarana bagi dinamika temporal, tetapi bukan transformasi ontologis yang hakiki.

5.3.       Peran Aksidensi dalam Konsepsi Identitas dan Individualitas

Aksidensi juga memainkan peran krusial dalam membedakan individu dalam satu spesies. Dua makhluk manusia mungkin memiliki esensi yang sama (yaitu "manusia rasional"), tetapi dibedakan oleh aksidensi seperti tinggi badan, warna kulit, atau lokasi geografis.⁵ Dalam logika tradisional, hal ini dikenal sebagai accidens individuans (aksidensi yang mengindividualisasi).

Namun demikian, persoalan identitas personal tidak dapat direduksi semata pada aksidensi. Filsuf seperti Duns Scotus mengemukakan konsep haecceitas atau “ke-ini-an,” yang bukan sekadar aksidensi, melainkan suatu prinsip individuasi ontologis yang lebih dalam.⁶ Hal ini menunjukkan bahwa aksidensi penting tetapi tidak sepenuhnya mencukupi untuk menjelaskan identitas personal secara metafisik.

Dalam filsafat Islam, Mulla Sadra memandang bahwa perubahan aksidensial mencerminkan dinamika eksistensial yang terus-menerus, sesuai dengan teori harakah jawhariyyah (gerak substansial). Dalam kerangka ini, aksidensi bukan hanya gejala luar, melainkan bagian dari ekspresi eksistensi yang mengalami intensifikasi.⁷ Artinya, perubahan aksidensial bisa menandai pergerakan ontologis yang lebih dalam, bukan sekadar modifikasi superfisial.

5.4.       Aksidensi dalam Perspektif Logika dan Bahasa

Dalam logika tradisional, pembedaan antara predikat esensial dan aksidensial menjadi dasar dalam pembuatan definisi. Sebuah definisi yang tepat harus memuat genus dan diferensia (esensi), bukan aksidensi.⁸ Misalnya, menyebut manusia sebagai “makhluk yang bisa tertawa” adalah predikat aksidensial, sementara “hewan rasional” adalah definisi esensial.

Di sisi lain, filsafat bahasa modern mengangkat kembali peran aksidensi dalam diskusi tentang makna dan referensi. Saul Kripke menekankan bahwa nama-nama tetap menunjuk pada objek tertentu bahkan jika aksidensi-aksidensinya berubah.⁹ Ini mengimplikasikan bahwa identitas tetap dipertahankan walaupun ciri-ciri aksidensial berganti, asalkan tidak menyentuh esensi dari entitas tersebut.


Kesimpulan Sementara

Dengan demikian, aksidensi memainkan peran ontologis dan epistemologis yang penting, baik dalam memungkinkan perubahan tanpa kehilangan identitas, maupun dalam membedakan satu individu dari yang lain dalam spesies yang sama. Ia menciptakan dinamika dalam dunia fisik dan kognitif, sekaligus menjadi batas antara perubahan superfisial dan transformasi substansial. Meski bersifat sekunder, aksidensi adalah medium melalui mana kita mengalami dan mengenali keberadaan dalam segala kompleksitasnya.


Footnotes

[1]                Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1b25–2a10.

[2]                Ibid., 4a10–5a15.

[3]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 40–42.

[4]                Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 55–58.

[5]                Peter Coffey, Ontology: The Theory of Being (New York: Longmans, Green, and Co., 1912), 126–128.

[6]                Duns Scotus, Ordinatio, Book II, dist. 3, trans. Allan B. Wolter, in Duns Scotus: Philosophical Writings (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 60–64.

[7]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 145–150.

[8]                William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 81–83.

[9]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–53.


6.           Aplikasi Epistemologis dan Etis Konsep Esensi dan Aksidensi

Konsep esensi dan aksidensi tidak hanya memainkan peran penting dalam ontologi dan metafisika klasik, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam epistemologi (teori pengetahuan) dan etika (filsafat moral). Dalam ranah epistemologi, keduanya menjadi dasar bagi klasifikasi dan definisi pengetahuan. Dalam etika, pembedaan antara yang hakiki dan yang kebetulan menjadi kunci dalam menilai tindakan moral serta membedakan antara hakikat manusia dan ciri-ciri lahiriahnya.

6.1.       Aplikasi Epistemologis: Dasar dalam Definisi, Klasifikasi, dan Validitas Pengetahuan

Dalam epistemologi klasik, definisi yang sahih harus mencerminkan esensi suatu entitas, bukan sekadar menyebutkan ciri-ciri aksidensialnya. Aristoteles menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah sejati adalah pengetahuan tentang sebab dan hakikat, bukan hanya gejala atau penampakan luar.¹ Oleh karena itu, filsuf seperti Porphyry dan Boethius mengembangkan struktur genus–spesies–diferensia yang bertumpu pada esensi sebagai dasar klasifikasi logis.²

Dalam tradisi filsafat Islam, Ibn Sina menegaskan bahwa objek ilmu pengetahuan (ma‘lūm) adalah esensi dari sesuatu, karena esensi adalah yang tetap dan tidak berubah.³ Eksistensi aktual bisa berubah atau tiada, tetapi esensinya tetap bisa diketahui secara universal melalui abstraksi intelektual. Ini memberikan dasar bagi universalitas pengetahuan yang tidak bergantung pada perubahan aksidensial.

Dalam konteks metodologi ilmiah, membedakan antara esensi dan aksidensi penting untuk menghindari kekeliruan generalisasi. Sebagai contoh, menyimpulkan bahwa semua manusia lemah karena melihat seorang manusia yang sakit adalah kesalahan logika, sebab kelemahan bukanlah bagian esensial dari manusia, melainkan aksidensial.⁴ Pengetahuan yang valid menuntut kemampuan memilah antara struktur esensial dari objek dan sifat-sifat kebetulan yang menyertainya.

Dalam perkembangan modern, pembedaan ini juga digunakan dalam analisis semantik dan linguistik. Frege dan Kripke, misalnya, mengidentifikasi bahwa makna suatu predikat bisa bergantung pada apakah ia melekat secara esensial atau aksidensial terhadap subjeknya.⁵ Dengan demikian, logika formal pun tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kategori metafisik ini.

6.2.       Aplikasi Etis: Fondasi Moralitas dan Hakikat Kemanusiaan

Dalam bidang etika, konsep esensi sangat penting dalam merumuskan norma-norma moral dan hakikat manusia. Etika klasik, seperti dalam pemikiran Aristoteles, menyatakan bahwa kebaikan moral adalah aktualisasi dari esensi manusia, yaitu sebagai makhluk rasional dan sosial.⁶ Tindakan etis dipahami sebagai tindakan yang sesuai dengan esensi manusia, sedangkan tindakan yang bertentangan dengan rasionalitas atau keutamaan dianggap sebagai penyimpangan dari natur manusia.

Thomas Aquinas lebih lanjut mengaitkan antara esensi manusia dan hukum moral alamiah. Menurutnya, karena manusia memiliki esensi sebagai makhluk berakal, maka ia secara kodrati diarahkan kepada kebaikan dan pencarian kebenaran.⁷ Esensi manusia menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah suatu tindakan moral dapat dibenarkan secara universal.

Pembedaan antara esensi dan aksidensi juga menjadi penting dalam perjuangan etika sosial dan politik, khususnya dalam menolak bentuk-bentuk diskriminasi. Misalnya, membedakan antara esensi manusia sebagai makhluk rasional dan bermartabat dengan aksidensi seperti ras, warna kulit, atau status sosial memungkinkan filsafat etika untuk menegaskan kesetaraan manusia secara ontologis.⁸

Hal ini juga terlihat dalam pemikiran Immanuel Kant, yang memandang bahwa martabat manusia terletak pada kapasitasnya sebagai makhluk yang memiliki akal praktis dan otonomi moral.⁹ Atribut-atribut aksidensial seperti kekayaan atau keturunan tidak menentukan nilai moral seseorang. Dengan demikian, pembedaan esensial-aksidensial menjadi kerangka moral yang kokoh dalam memperjuangkan keadilan.

Dalam filsafat Islam, al-Ghazali juga menegaskan bahwa nilai spiritual manusia terletak pada ruh dan akal, bukan pada bentuk fisik atau status duniawi yang hanya aksidensial.¹⁰ Ini memperkuat argumen bahwa kebajikan dan kesucian tidak bisa diukur dari atribut lahiriah semata, melainkan dari aktualisasi batiniah yang mendekati hakikat manusia sejati.


Kesimpulan Sementara

Dengan demikian, konsep esensi dan aksidensi bukanlah semata-mata kategori ontologis, melainkan juga instrumen epistemologis dan etis yang mendalam. Dalam epistemologi, keduanya menentukan keabsahan klasifikasi, definisi, dan generalisasi ilmiah. Dalam etika, keduanya menjadi tolok ukur nilai moral, penghormatan terhadap martabat manusia, dan penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi. Oleh karena itu, menguasai perbedaan antara esensial dan aksidensial bukan hanya soal logika, melainkan soal kebijaksanaan filosofis dan kemanusiaan yang mendalam.


Footnotes

[1]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. G. R. G. Mure, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book II, 90b10–91b15.

[2]                Boethius, In Isagogen Porphyrii Commenta, in Theological Tractates and The Consolation of Philosophy, trans. H. F. Stewart and E. K. Rand (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1918), 7–9.

[3]                Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 62–65.

[4]                Peter Coffey, Epistemology or the Theory of Knowledge (New York: Longmans, Green, and Co., 1917), 104–106.

[5]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–51.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book I, 1098a16–1098b9.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.94, a.2, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[8]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 159–165.

[9]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 36–39.

[10]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 22–26.


7.           Perspektif Perbandingan: Barat dan Islam

Konsep esensi dan aksidensi telah menjadi bagian sentral dalam wacana metafisika baik di dunia Barat maupun dalam tradisi filsafat Islam. Meski keduanya merujuk pada kerangka pemikiran Aristotelian sebagai titik awal, terdapat pendekatan dan penekanan yang berbeda secara metodologis dan konseptual. Perbandingan antara kedua tradisi ini tidak hanya memperkaya pemahaman filosofis kita tentang struktur realitas, tetapi juga mengungkap keragaman episteme dalam menafsirkan hubungan antara hakikat, eksistensi, dan perubahan.

7.1.       Filsafat Barat: Rasionalisasi Esensi dan Pembakuan Logika Substansi

Dalam filsafat Barat, terutama sejak Aristoteles, esensi (ousia) dipahami sebagai inti hakiki dari suatu entitas—apa yang membuat suatu benda adalah benda itu, terlepas dari perubahan yang dialaminya.¹ Aksidensi, dalam konteks ini, diposisikan sebagai kualitas non-esensial yang dapat berubah tanpa mengubah identitas ontologis objek tersebut.²

Para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas melanjutkan tradisi Aristotelian dengan memperkenalkan distingsi tegas antara essentia dan esse (eksistensi), sambil mempertahankan prinsip bahwa hanya Tuhan yang esensi-Nya identik dengan eksistensi-Nya.³ Di tangan Aquinas, metafisika esensialistik menjadi fondasi untuk sistem teologis yang mapan, di mana identitas, perubahan, dan relasi kontingensi makhluk dikaji melalui logika esensi dan eksistensi yang terpisah namun saling melengkapi.

Dalam perkembangan modern, terutama dalam filsafat analitik, konsep esensi dimodifikasi dan disematkan ke dalam teori bahasa dan logika modal. Saul Kripke, misalnya, memperkenalkan essentialism of origin, menyatakan bahwa objek memiliki sifat-sifat esensial yang tidak berubah di seluruh kemungkinan dunia tempat objek itu eksis.⁴ Meski bersifat teknis, pendekatan ini mempertahankan keyakinan dasar akan identitas esensial yang tetap, yang membedakannya dari predikat-predikat aksidensial.

Namun, muncul juga reaksi kritis terhadap esensialisme, terutama dari tradisi eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, yang menolak gagasan bahwa manusia memiliki esensi yang ditentukan sejak awal. Bagi Sartre, "eksistensi mendahului esensi", artinya esensi manusia ditentukan oleh kebebasan dan proyek eksistensialnya, bukan oleh kodrat bawaan.⁵

7.2.       Filsafat Islam: Interplay antara Wujud dan Mahiyyah

Tradisi filsafat Islam mengambil banyak warisan Aristoteles melalui medium filsafat Yunani-Neoplatonis, terutama dalam karya-karya al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Mulla Sadra. Meski menerima konsep esensi dan aksidensi dari Aristoteles, mereka mengembangkan kerangka ontologis yang lebih dinamis dan teosentris.

Ibn Sina adalah tokoh sentral dalam pengembangan konsep mahiyyah (esensi) dan wujūd (eksistensi). Ia menegaskan bahwa esensi dapat dipahami tanpa eksistensi, dan eksistensi ditambahkan kepada esensi oleh sebab eksternal, yakni Tuhan.⁶ Hal ini menjadikan pemikirannya sebagai bentuk esensialisme teistik, di mana Tuhan adalah satu-satunya wujud niscaya, sementara semua makhluk bersifat kontingen.

Namun, Mulla Sadra memberikan pembalikan ontologis terhadap sistem Avicennian dengan menyatakan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi. Dalam al-Hikmah al-Muta‘aliyah, ia memperkenalkan teori ashālat al-wujūd (primasi eksistensi), menyatakan bahwa esensi hanyalah konsep mental yang muncul dari pengamatan terhadap tingkatan eksistensi.⁷ Dengan demikian, tidak hanya struktur ontologi mengalami transformasi, tetapi juga konsep perubahan, karena bagi Mulla Sadra, bahkan substansi mengalami gerak esensial (harakah jawhariyyah).⁸

Dalam tradisi Islam, konsep aksidensi (‘arad) tetap dipertahankan, namun lebih dikaitkan dengan dimensi penampakan dan pembiasan eksistensi. Para sufi dan filosof Islam menyatakan bahwa dunia ini, dalam seluruh keragamannya, mencerminkan eksistensi Ilahi melalui bentuk-bentuk aksidensial yang bergradasi.⁹ Maka, pemahaman terhadap aksidensi tidak berhenti pada logika benda, melainkan diperluas ke dalam ranah spiritual dan kosmologis.

7.3.       Titik Temu dan Perbedaan: Analisis Konseptual

Perbandingan antara Barat dan Islam dalam pembahasan esensi dan aksidensi menunjukkan titik temu pada aspek struktural: keduanya menerima pembagian antara substansi dan sifat, antara apa yang niscaya dan kontingen. Namun, terdapat perbedaan tajam dalam pendekatan dan orientasi.

·                     Filsafat Barat lebih cenderung mengembangkan sistem logis-formal, dengan penekanan pada definisi dan klasifikasi.

·                     Filsafat Islam memadukan metafisika dengan teologi dan spiritualitas, dengan orientasi ke arah penyatuan realitas dan sumber ilahiah.

Di Barat, terutama dalam arus analitik, esensialisme diukur melalui kemungkinan dunia dan ketetapan semantik, sementara dalam Islam, esensialisme (dan antitesisnya) didekati melalui pemahaman hierarki keberadaan dan intensitas eksistensi.

Dengan demikian, studi perbandingan ini memperlihatkan bahwa konsep esensi dan aksidensi bersifat universal, tetapi cara pengolahannya sangat dipengaruhi oleh latar teologis, metodologis, dan historis dari masing-masing tradisi.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book VII, 1029a10–1031a10.

[2]                Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1b25–2a10.

[3]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 26–40.

[4]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–54.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–28.

[6]                Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 25–30.

[7]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 130–136.

[8]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 37–43.

[9]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 175–179.


8.           Kritik dan Perkembangan Kontemporer

Dalam konteks filsafat kontemporer, konsep esensi dan aksidensi tidak lagi hanya menjadi bagian dari spekulasi metafisika tradisional, tetapi telah menjadi medan perdebatan yang aktif—baik dalam ranah ontologi, filsafat bahasa, epistemologi, maupun kritik ideologis. Pemikiran abad ke-20 dan ke-21 telah menghadirkan reaksi, reinterpretasi, bahkan dekonstruksi atas warisan esensialisme metafisik yang mengakar sejak Aristoteles.

8.1.       Kritik terhadap Esensialisme dalam Tradisi Modern

Salah satu kritik paling berpengaruh datang dari Immanuel Kant, yang dalam Critique of Pure Reason menyatakan bahwa metafisika tradisional gagal membuktikan pengetahuan apriori tentang esensi karena tidak mengacu pada struktur kognitif subjek.¹ Bagi Kant, manusia tidak dapat mengetahui "dinge an sich" (benda pada dirinya), melainkan hanya fenomena yang tampak melalui bentuk-bentuk apriori ruang, waktu, dan kategori intelek. Hal ini secara langsung mengguncang kepercayaan klasik bahwa esensi dapat diketahui secara objektif.

Pada abad ke-20, filsafat eksistensialis menentang esensialisme metafisika secara lebih radikal. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa "eksistensi mendahului esensi", khususnya dalam konteks manusia.² Manusia, menurut Sartre, tidak memiliki kodrat tetap; ia menjadi siapa dirinya melalui kebebasan, pilihan, dan proyek hidup. Kritik ini ditujukan kepada semua doktrin yang memaksakan identitas esensial atas individu, termasuk teologi dan biologi deterministik.

Kritik ini diperluas oleh filsuf feminis dan post-strukturalis seperti Simone de Beauvoir dan Judith Butler, yang melihat esensialisme sebagai alat hegemonik yang membakukan identitas gender dan seksualitas.³ Butler, dalam Gender Trouble, menolak gagasan bahwa "perempuan" memiliki esensi tetap; gender, menurutnya, adalah produk performatif, bukan kategori ontologis yang stabil.⁴ Ini menjadi bagian dari kritik terhadap penggunaan esensi sebagai dasar normatif dalam masyarakat.

8.2.       Perkembangan dalam Filsafat Analitik: Esensialisme yang Dimodernisasi

Di sisi lain, dalam filsafat analitik, konsep esensi tidak ditinggalkan, tetapi direkonstruksi dengan alat bantu logika modal, teori semantik, dan metafisika kuantitatif. Filsuf seperti Saul Kripke dan David Wiggins memperkenalkan konsep esensi yang bersifat modal, yakni ciri-ciri yang suatu entitas miliki di semua dunia yang mungkin (possible worlds).⁵

Kripke mengajukan teori tentang penunjuk kaku (rigid designators), yakni istilah yang menunjuk pada objek yang sama dalam semua kemungkinan dunia. Misalnya, jika "air = H₂O" adalah benar, maka itu benar di semua kemungkinan dunia; struktur kimia itu adalah esensi dari air.⁶ Dengan demikian, esensialisme kembali dibela dalam bentuk yang terbatas dan dapat diuji secara logis.

Kit Fine mengembangkan lebih jauh dengan membedakan antara essential properties dan necessary properties. Tidak semua yang diperlukan (necessary) bersifat esensial, dan tidak semua yang esensial harus dapat dipastikan dari logika murni.⁷ Ini menunjukkan adanya nuansa baru dalam esensialisme, yang bersifat anti-reduksionis dan lebih fleksibel.

8.3.       Esensi dalam Ilmu Pengetahuan dan Ontologi Terapan

Dalam bidang sains, terutama biologi dan ilmu kognitif, konsep esensi mendapat tantangan dari pendekatan evolusioner dan probabilistik. Beberapa ahli biologi, seperti Richard Lewontin, menyatakan bahwa spesies tidak memiliki esensi yang tetap karena bersifat dinamis dan terbuka terhadap variasi genetis.⁸ Hal ini disebut sebagai anti-esensialisme biologis, yang memandang klasifikasi ilmiah sebagai konstruksi pragmatis, bukan realitas ontologis yang tetap.

Namun, sebagian filsuf sains seperti Michael Devitt tetap mempertahankan esensialisme ilmiah dalam bentuk terbatas, dengan menyatakan bahwa teori ilmiah terbaik menyiratkan struktur mendalam yang stabil, misalnya dalam fisika partikel.⁹ Oleh karena itu, esensialisme masih hidup dalam diskursus ilmiah, terutama dalam teori-teori yang mengasumsikan sifat tetap dari hukum-hukum alam.

8.4.       Dekonstruksi Postmodern: Penolakan terhadap Stabilitas Esensial

Dalam kerangka postmodernisme, terutama dalam karya Jacques Derrida, konsep esensi menjadi objek dekonstruksi. Derrida menolak struktur biner klasik (esensi vs. aksidensi, identitas vs. perbedaan), dan menunjukkan bahwa makna selalu tergelincir dan tertunda (différance).¹⁰ Dalam logika ini, esensi tidak pernah hadir secara penuh, karena selalu dikonstruksi oleh oposisi dan perbedaan.

Postmodernisme melihat esensialisme sebagai warisan metafisika kehadiran (metaphysics of presence), yang menuntut kepastian dan stabilitas. Dalam dunia yang cair, berubah, dan dikonstruksi secara sosial dan historis, segala bentuk "hakikat" dipandang sebagai ilusi ideologis.


Kesimpulan Sementara

Pembacaan kontemporer terhadap konsep esensi dan aksidensi menunjukkan spektrum pendekatan: dari penolakan eksistensialis dan feminis, melalui rekonstruksi logika modal, hingga dekonstruksi linguistik dan kultural. Kritik terhadap esensialisme klasik telah membuka ruang bagi pemahaman yang lebih kontekstual, pluralistik, dan dinamis terhadap identitas, struktur realitas, dan klasifikasi ilmiah. Namun demikian, keberlangsungan diskursus tentang esensi dan aksidensi menunjukkan bahwa metafisika belum usai, melainkan terus berkembang menyesuaikan dengan horizon zaman.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A248–B306.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–29.

[3]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283–290.

[4]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–33.

[5]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–57.

[6]                Ibid., 134–143.

[7]                Kit Fine, “Essence and Modality,” Philosophical Perspectives 8 (1994): 1–16.

[8]                Richard Lewontin, The Triple Helix: Gene, Organism, and Environment (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 45–49.

[9]                Michael Devitt, Realism and Truth (Princeton: Princeton University Press, 1991), 135–142.

[10]             Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–28.


9.           Simpulan dan Implikasi

Kajian tentang esensi dan aksidensi dalam kerangka metafisika memperlihatkan bahwa keduanya bukan hanya kategori filosofis klasik, melainkan juga merupakan kerangka ontologis dan epistemologis yang sangat penting dalam memahami struktur realitas, identitas, dan perubahan. Sejak Aristoteles, konsep ini telah menyediakan landasan untuk membedakan antara apa yang membuat suatu entitas adalah dirinya (esensi) dan apa yang hanya melekat secara kontingen tanpa mempengaruhi hakikatnya (aksidensi)

Tradisi filsafat Islam, yang diperkaya oleh Ibn Sina dan dikembangkan secara radikal oleh Mulla Sadra, menunjukkan kedalaman ontologis yang khas, di mana hubungan antara mahiyyah dan wujūd tidak hanya dijelaskan dalam kerangka logis, tetapi juga dalam kerangka ontologi spiritual dan gradasi eksistensi.² Mulla Sadra secara khusus menawarkan paradigma baru melalui teori ashālat al-wujūd, yang menempatkan eksistensi sebagai pusat realitas, sementara esensi menjadi konsep yang terbentuk secara mental.³

Dalam tradisi Barat, terutama dalam filsafat skolastik, esensi dan aksidensi difungsikan sebagai pilar utama dalam sistem teologis dan logis.⁴ Namun dalam filsafat modern dan kontemporer, konsep esensi mengalami tantangan serius, baik dari sisi kognitif (Kant), eksistensial (Sartre), ideologis (Butler), maupun semantik (Derrida).⁵ Kritik ini membuka kesadaran baru bahwa apa yang dahulu dianggap esensial bisa jadi adalah produk konstruksi sosial, bahasa, atau pengalaman historis.

Di sisi lain, filsafat analitik justru memberi bentuk baru pada esensialisme melalui logika modal, khususnya dalam gagasan rigid designation (Kripke) dan diferensiasi esensi dari keniscayaan (Fine).⁶ Ini menunjukkan bahwa esensi tidak sepenuhnya ditinggalkan, tetapi mengalami transformasi metode dan pendekatan, dari metafisika spekulatif menuju formalisasi konseptual dan analisis semantik.

Secara keseluruhan, simpulan dari kajian ini dapat dirumuskan dalam beberapa poin utama:

1)                  Esensi dan aksidensi tetap menjadi perangkat konseptual penting untuk memahami perubahan dan identitas, baik dalam filsafat klasik maupun kontemporer.

2)                  Perbedaan metodologis antara tradisi Barat dan Islam menunjukkan bahwa metafisika tidak bersifat tunggal, melainkan beragam dan kontekstual.

3)                  Kritik modern terhadap esensialisme mendorong kehati-hatian dalam menggunakan kategori ini sebagai dasar normatif, terutama dalam isu identitas, gender, dan nilai moral.

4)                  Pendekatan semantik dan logika modal memberikan revitalisasi pada konsep esensi dalam cara yang kompatibel dengan sains dan bahasa formal.

5)                  Implikasi etis dan epistemologis dari konsep ini tetap relevan, terutama dalam membedakan antara nilai-nilai universal dan karakteristik partikular yang bersifat kontingen.

Dengan demikian, kajian esensi dan aksidensi tetap menjadi tema sentral yang hidup dalam wacana filsafat, bukan sebagai doktrin tetap, tetapi sebagai medan dialektika yang terus berkembang. Ia menantang para filsuf, ilmuwan, teolog, dan pemikir kontemporer untuk menyelami ulang dasar-dasar keberadaan, sambil tetap kritis terhadap segala bentuk esensialisasi yang menyempitkan kompleksitas realitas.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book VII, 1029a10–1031a10.

[2]                Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 22–30.

[3]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 145–152.

[4]                Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 26–40.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–28; Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–33; Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A248–B306; Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–28.

[6]                Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–57; Kit Fine, “Essence and Modality,” Philosophical Perspectives 8 (1994): 1–16.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1941). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The Basic Works of Aristotle (pp. 681–926). Random House.

Aristotle. (1984). Categories (E. M. Edghill, Trans.). In J. Barnes (Ed.), The Complete Works of Aristotle (Vol. 1, pp. 3–24). Princeton University Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Aristotle. (1941). Posterior Analytics (G. R. G. Mure, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The Basic Works of Aristotle (pp. 110–186). Random House.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Aquinas, T. (1968). On being and essence (A. Maurer, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Avicenna. (2005). The metaphysics of the healing (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books.

Boethius. (1918). In Isagogen Porphyrii commenta. In H. F. Stewart & E. K. Rand (Trans.), Theological tractates and the consolation of philosophy (pp. 1–24). Harvard University Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Coffey, P. (1912). Ontology: The theory of being. Longmans, Green, and Co.

Coffey, P. (1917). Epistemology or the theory of knowledge. Longmans, Green, and Co.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Devitt, M. (1991). Realism and truth (2nd ed.). Princeton University Press.

Duns Scotus. (1987). Duns Scotus: Philosophical writings (A. B. Wolter, Trans.). Hackett Publishing.

Fine, K. (1994). Essence and modality. Philosophical Perspectives, 8, 1–16. https://doi.org/10.2307/2214163

Ghazali, A. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol. 3). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Gilson, E. (1952). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kneale, W., & Kneale, M. (1962). The development of logic. Clarendon Press.

Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Lewontin, R. C. (2000). The triple helix: Gene, organism, and environment. Harvard University Press.

Mulla Sadra. (2014). The transcendent philosophy of the four journeys of the intellect (al-Asfār al-Arbaʿa) (I. Kalin, Trans.). Sadra Islamic Philosophy Research Institute.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Rahman, F. (1975). The philosophy of Mulla Sadra. State University of New York Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar