Esensi dan Aksidensi
Antara Hakikat, Perubahan, dan Identitas Ontologis
Alihkan ke: Metafisika.
Esensi dalam Metafisika, Aksidensi dalam Metafisika.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep esensi dan aksidensi
sebagai dua kategori fundamental dalam metafisika, dengan menelusuri
perkembangan historis, perbandingan tradisi Barat dan Islam, serta tanggapan
kritis dan konstruktif dalam filsafat kontemporer. Esensi dipahami sebagai
hakikat suatu entitas yang menentukan identitasnya, sedangkan aksidensi
merupakan sifat-sifat tambahan yang tidak menentukan keberadaan substansialnya.
Kajian ini diawali dengan telaah konseptual dan ontologis, kemudian mengurai
bagaimana esensi dan aksidensi berperan dalam perubahan, identitas, serta
sistem pengetahuan dan etika. Dalam tradisi Barat, gagasan ini berkembang dari
Aristoteles hingga Kripke, sementara dalam tradisi Islam mengalami sintesis
mendalam melalui pemikiran Ibn Sina dan Mulla Sadra. Artikel ini juga menelaah
kritik-kritik terhadap esensialisme, terutama dari Kant, eksistensialis,
post-strukturalis, dan feminis, serta menunjukkan revitalisasi esensialisme
dalam logika modal kontemporer. Dengan pendekatan interdisipliner dan
komparatif, artikel ini menyimpulkan bahwa esensi dan aksidensi tetap relevan
sebagai alat analisis filosofis untuk memahami struktur realitas dan
kompleksitas identitas manusia di tengah perubahan zaman.
Kata Kunci: Esensi, Aksidensi, Metafisika, Identitas,
Perubahan, Ontologi, Ibn Sina, Mulla Sadra, Kripke, Eksistensialisme.
PEMBAHASAN
Esensi dan Aksidensi dalam Kajian Metafisika
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
pemikiran filsafat, metafisika menempati posisi fundamental sebagai disiplin
yang membahas realitas dalam pengertian yang paling umum dan mendasar. Salah
satu tema sentral dalam kajian metafisika adalah distingsi antara esensi
(hakikat) dan aksidensi (sifat kebetulan)—dua
konsep yang telah menjadi fondasi dalam memahami struktur ontologis dari
sesuatu yang ada. Gagasan ini pertama kali disistematisasi secara mendalam oleh
Aristoteles dalam karyanya Metaphysics, di mana ia membedakan
antara substansi (ousia) yang bersifat esensial dan aksidensi yang bersifat
kontingen terhadap suatu entitas tertentu.¹
Distingsi ini
kemudian mendapat elaborasi yang signifikan dalam tradisi filsafat Islam dan
skolastik, terutama dalam karya-karya Ibn Sina (Avicenna) dan Thomas Aquinas.
Ibn Sina memperkenalkan perbedaan antara mahiyyah (whatness/esensi) dan wujud
(existence), suatu pendekatan yang menjadi dasar bagi ontologi esensialistik
dalam filsafat Islam.² Aquinas melanjutkan gagasan ini dalam De Ente
et Essentia, dengan menekankan bahwa dalam semua makhluk (kecuali
Tuhan), esensi dan eksistensi adalah dua hal yang berbeda namun terkandung
dalam satu kesatuan aktual.³ Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang apa
sesuatu itu (what it is) dan bahwa sesuatu itu
ada (that it
is) merupakan dua wilayah kajian yang berbeda namun saling terkait
erat dalam metafisika.
Perbedaan antara
esensi dan aksidensi tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki
implikasi praktis dan metodologis dalam epistemologi, etika, dan teologi. Dalam
epistemologi, misalnya, identifikasi terhadap esensi menjadi kunci dalam
klasifikasi ilmu dan objek kajian. Dalam etika, pemahaman tentang esensi
manusia menjadi dasar bagi konstruksi norma dan nilai. Sementara dalam teologi,
diskursus mengenai sifat-sifat Tuhan seringkali dibangun di atas perbedaan
antara atribut esensial dan aksidental.⁴
Dalam perkembangan
pemikiran modern dan kontemporer, gagasan tentang esensi mendapat kritik tajam
dari filsafat eksistensialis dan post-strukturalis. Jean-Paul Sartre menolak
primasi esensi atas eksistensi, dengan menyatakan bahwa “eksistensi
mendahului esensi,” sebuah kritik terhadap metafisika klasik yang dianggap
terlalu membatasi kebebasan eksistensial manusia.⁵ Di sisi lain, filsuf seperti
Saul Kripke menghidupkan kembali debat tentang esensi melalui pendekatan
semantik dalam filsafat bahasa dan logika modal, terutama melalui konsep rigid
designators yang memperkuat pentingnya identitas esensial suatu
objek di seluruh kemungkinan dunia.⁶
Berdasarkan latar
belakang tersebut, kajian ini bertujuan untuk mengelaborasi konsep esensi
dan aksidensi secara sistematis, baik dari segi pengertian
dasar, sejarah pemikiran, relasi keduanya dalam struktur realitas, hingga
kritik kontemporer yang mengujinya. Kajian ini akan menggunakan pendekatan
historis-filosofis dengan menelusuri pemikiran para filsuf utama, baik dari
tradisi Yunani, Islam, maupun Barat modern, serta pendekatan analitis untuk mendalami
makna ontologis dari setiap konsep. Diharapkan, pembahasan ini dapat memberikan
pemahaman yang mendalam tentang struktur ontologis dari realitas dan
menumbuhkan refleksi filosofis yang kritis dan konstruktif.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book VII, 1028a10–1029a10.
[2]
Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 19–21.
[3]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 26–30.
[4]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 81–85.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–28.
[6]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 48–54.
2.
Konsep Dasar Metafisika dan Kedudukannya dalam
Filsafat
Secara etimologis,
istilah metafisika berasal dari bahasa
Yunani meta
(μετά, “setelah” atau “melampaui”) dan physika
(φυσικά, “fisika” atau “alam fisik”). Istilah ini pertama kali
digunakan oleh editor karya Aristoteles, Andronikus dari Rodos, untuk menunjuk
kumpulan buku yang disusun setelah risalah fisika dalam karya Aristoteles.
Namun secara substansial, metafisika adalah cabang filsafat yang membahas
tentang hakikat realitas secara paling mendasar, mencakup
kategori-kategori eksistensi seperti substansi, esensi, eksistensi, identitas,
ruang, waktu, dan kausalitas.¹
Dalam Metaphysics,
Aristoteles menyatakan bahwa filsafat pertama (metafisika) adalah ilmu tentang
“yang ada sejauh ia ada” (being qua being)—ilmu yang tidak
membatasi objeknya pada aspek tertentu dari eksistensi, seperti kuantitas
(matematika) atau gerak (fisika), tetapi menyelidiki keberadaan itu sendiri
secara universal.² Dengan demikian, metafisika menempati posisi tertinggi dalam
hierarki pengetahuan filsafat karena ia menyelidiki prinsip-prinsip pertama dan
sebab-sebab terdalam dari segala sesuatu.
Dalam perkembangan
filsafat Islam, konsep metafisika mengalami pengayaan dan sistematisasi melalui
karya-karya para filsuf besar seperti al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Mulla
Sadra. Ibn Sina mengembangkan ontologi berdasarkan distingsi antara mahiyyah
(esensi) dan wujud (eksistensi), dan
menyebut ilmu metafisika sebagai “ilmu ilahi” (‘ilm
al-ilahi) karena mengarah pada pengetahuan tentang Tuhan sebagai
sebab pertama dari segala sesuatu.³ Sedangkan Mulla Sadra memperkenalkan teori primasi
eksistensi (ashālat al-wujūd), yang menolak esensialisme Ibn
Sina dan menjadikan eksistensi sebagai realitas utama.⁴
Sementara itu, dalam
tradisi skolastik Barat, metafisika memperoleh bentuk sistematis melalui karya
Thomas Aquinas, yang memadukan pemikiran Aristoteles dan Ibn Sina dalam
kerangka teologis Kristiani. Ia menyatakan bahwa metafisika bertugas membedakan
antara esensi dan eksistensi serta menegaskan bahwa hanya Tuhan yang esensi-Nya
identik dengan eksistensi-Nya.⁵ Dengan pendekatan ini, metafisika tidak hanya
membahas kategori-kategori eksistensial, tetapi juga memiliki fungsi teologis
sebagai jalan menuju pengetahuan tentang Tuhan dan ciptaan-Nya.
Dalam filsafat
modern, posisi metafisika mengalami tantangan serius, terutama dari Immanuel
Kant. Dalam Critique of Pure Reason, Kant
mempersoalkan validitas metafisika tradisional dan menyatakan bahwa metafisika
sebagai ilmu tentang hal-hal di luar pengalaman indrawi tidak dapat dibuktikan
secara apriori tanpa landasan dalam struktur kognitif manusia.⁶ Namun demikian,
metafisika tidak hilang dari diskursus filosofis; ia hanya bergeser dari
perenungan spekulatif menjadi refleksi kritis atas struktur berpikir dan bahasa
yang menyusun realitas.
Pada era kontemporer,
metafisika tetap memainkan peran sentral, terutama dalam filsafat analitik yang
membahas persoalan identitas, kemungkinan dunia, dan kategori ontologis melalui
pendekatan logika simbolik. Saul Kripke, David Lewis, dan Kit Fine, misalnya,
menggunakan pendekatan semantik dan modal logika untuk menyusun kembali
argumen-argumen metafisik dengan ketepatan formal.⁷ Ini menunjukkan bahwa
metafisika tidak mati, melainkan mengalami transformasi metodologis dan
konseptual.
Dengan demikian, metafisika
sebagai filsafat pertama tetap menjadi fondasi utama dalam
upaya memahami struktur dan prinsip realitas, meskipun metode dan pendekatannya
terus berkembang seiring dengan dinamika filsafat itu sendiri. Ia menjadi
panggung tempat gagasan-gagasan mendalam seperti esensi dan aksidensi diuji,
dikembangkan, dan diberi makna dalam bingkai filsafat.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London:
Routledge, 1982), 39–41.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book IV, 1003a21–1003b10.
[3]
Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 12–17.
[4]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra
Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 88–92.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.4.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A246/B303–A252/B309.
[7]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 20–45; David Lewis, On the Plurality of Worlds
(Oxford: Blackwell, 1986), 1–10; Kit Fine, “Essence and Modality,” Philosophical
Perspectives 8 (1994): 1–16.
3.
Pengertian Esensi dan Aksidensi: Dimensi
Konseptual
Dalam ranah
metafisika, istilah esensi (essentia,
mahiyyah)
dan aksidensi
(accidens,
‘arad)
merupakan dua kategori ontologis fundamental yang digunakan untuk menjelaskan
struktur keberadaan (being). Perbedaan antara keduanya menjadi kunci dalam
memahami sifat dasar suatu entitas, yakni apa yang menjadikan sesuatu "apa
adanya", dan mana yang hanya menempel padanya secara tidak mutlak.
3.1.
Esensi: Hakikat Sesuatu yang Niscaya
Esensi
adalah kumpulan sifat yang mendasar dan konstitutif dari
suatu entitas; tanpa sifat-sifat tersebut, entitas tersebut tidak akan menjadi
dirinya sendiri. Dalam filsafat Aristotelian, esensi merujuk pada "apa"
sesuatu itu—yakni karakteristik yang menentukan identitas substansialnya.¹
Misalnya, “rasionalitas” adalah bagian esensial dari manusia; tanpa itu,
ia tidak bisa disebut manusia.
Aristoteles menyebut
esensi sebagai to ti ēn einai, atau “what-it-was-to-be”
dari suatu benda—yaitu hakikatnya yang tetap melampaui perubahan-perubahan
aksidental.² Ibn Sina (Avicenna) mengembangkan konsep ini dalam kerangka
metafisika Islam dengan istilah mahiyyah (ماهيّة), yang secara literal berarti “apa-ness”
atau "whatness".³ Mahiyyah menjadi konsep pusat dalam ontologi
Avicennian dan dibedakan dari wujud (eksistensi), menandai
batas antara keberadaan aktual dan potensi hakiki.
Dalam kerangka skolastik,
Thomas Aquinas membedakan secara tegas antara esensi dan eksistensi.
Baginya, esensi adalah struktur yang memungkinkan intelek kita memahami “apa”
sesuatu itu, sedangkan eksistensi adalah aktualitas bahwa entitas tersebut
sungguh-sungguh ada.⁴ Esensi dianggap bersifat universal dan dapat dipahami
secara intelektual, bahkan ketika entitas aktualnya tidak ada dalam kenyataan.
3.2.
Aksidensi: Sifat Tambahan yang Tidak Esensial
Sebaliknya, aksidensi
adalah sifat-sifat yang tidak menentukan identitas substansial
suatu benda, namun tetap bisa melekat padanya untuk sementara atau dalam
kondisi tertentu. Dalam terminologi Aristoteles, aksidensi adalah sesuatu “yang
dapat ada atau tidak ada tanpa menghilangkan substansi dari benda tersebut.”⁵
Contoh klasik adalah warna kulit manusia: putih, cokelat, atau hitam adalah
aksidensi; mengubahnya tidak menjadikan seseorang bukan manusia.
Dalam Categories,
Aristoteles membagi aksidensi ke dalam sepuluh kategori, termasuk kuantitas,
kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, penderitaan, dan
substansi.⁶ Kesembilan kategori selain substansi dianggap sebagai aksidensi
karena keberadaannya selalu bergantung pada sesuatu yang lebih fundamental.
Dalam tradisi
filsafat Islam, aksidensi disebut ‘arad, dan seperti dalam
pemikiran Aristoteles, ia dipahami sebagai sesuatu yang membutuhkan mawḍū‘
(substratum atau tempat menempel).⁷ Mulla Sadra, misalnya, membahas peran
aksidensi dalam konteks perubahan eksistensial dan gradasi wujud, di mana
realitas entitas bukanlah kumpulan sifat statis, tetapi mengalami transformasi
eksistensial yang inheren.⁸
3.3.
Perbedaan Esensial dan Aksidental dalam Konteks
Ontologi
Perbedaan antara
esensi dan aksidensi juga menimbulkan konsekuensi logis dan epistemologis.
Dalam logika tradisional, definisi esensial adalah definisi
yang mencakup genus dan diferensia (definisi quidditatif), sedangkan definisi
aksidental hanya menjelaskan ciri-ciri tambahan yang dapat
berubah.⁹ Di sinilah muncul istilah-istilah penting seperti essential
predicates (predikat-predikat yang menjelaskan hakikat) dan accidental
predicates (predikat tambahan).
Lebih jauh, filsuf
seperti Duns Scotus membedakan antara quidditas (esensi umum dari
suatu entitas) dan haecceitas (ke-ini-an atau
keunikan individualnya), yang menjelaskan bagaimana esensi umum diwujudkan
secara partikular.¹⁰ Distingsi ini memperkaya kajian metafisika dengan
memperkenalkan dimensi individualitas ontologis yang tak sekadar aksidental.
Dengan memahami
dimensi konseptual antara esensi dan aksidensi, kita dapat melihat bahwa
realitas bukanlah struktur homogen, tetapi tersusun atas lapisan-lapisan
ontologis yang beragam dalam intensitas dan kepentingan. Analisis terhadap dua
konsep ini menjadi fondasi utama dalam memahami perubahan, keberlangsungan identitas,
serta relasi antara kemungkinan dan aktualitas.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book VII, 1029a10–1029b15.
[2]
Ibid., 1031a15–1031b20.
[3]
Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 22–25.
[4]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 30–35.
[5]
Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 1b25–2a10.
[6]
Ibid., 4a10–5a15.
[7]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 45–49.
[8]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra
Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 123–130.
[9]
Peter Coffey, The Science of Logic: An Inquiry into the Principles
of Accurate Thought and Scientific Method (London: Longmans, Green, and
Co., 1912), 238–243.
[10]
Duns Scotus, Ordinatio, Book II, dist. 3, trans. Allan B.
Wolter, in Duns Scotus: Philosophical Writings (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1987), 57–62.
4.
Relasi antara Esensi dan Eksistensi dalam
Ontologi
Pertanyaan mengenai relasi
antara esensi dan eksistensi merupakan inti dari perdebatan
ontologis dalam tradisi metafisika klasik maupun modern. Apakah sesuatu itu ada
karena esensinya, ataukah eksistensinya bersifat tambahan terhadap esensi?
Perbedaan pandangan tentang hal ini menunjukkan betapa krusialnya pemahaman
terhadap dua aspek realitas tersebut dalam membangun teori tentang keberadaan (being).
4.1.
Pandangan Klasik: Esensi sebagai Primordial
Dalam pemikiran
Aristoteles, tidak terdapat pemisahan eksplisit antara esensi (to ti ēn
einai) dan eksistensi sebagaimana terlihat dalam filsafat
skolastik. Namun, ia menyatakan bahwa substansi adalah sesuatu yang memiliki
esensi dan berada dengan sendirinya (ousia), dan bahwa eksistensi
bukanlah suatu "tindakan" (actus) yang terpisah dari esensi.¹
Bagi Aristoteles, fokus utama terletak pada entitas sebagai realitas aktual (energeia),
di mana bentuk (eidos) mengaktualkan materi (hyle).
Esensi, dalam hal ini, lebih dekat pada bentuk substansial.
Ibn Sina (Avicenna)
adalah tokoh pertama yang secara sistematis membedakan antara esensi dan eksistensi.
Dalam al-Syifa’,
ia menjelaskan bahwa esensi dapat dibayangkan tanpa harus ada
dalam kenyataan, seperti halnya konsep kuda terbang yang memiliki esensi tetapi
tidak eksis secara aktual.² Eksistensi, bagi Ibn Sina, adalah sesuatu yang
ditambahkan secara kontingen (‘āriḍ) kepada esensi oleh sebab
eksternal (yaitu Tuhan).³ Dengan demikian, menurut filsafat Avicennian, semua
makhluk—selain Tuhan—membutuhkan aktualisasi eksistensi untuk mewujud.
4.2.
Teologi Skolastik: Komplementaritas Aktif
Esensi-Eksistensi
Pemikiran Ibn Sina
ini memengaruhi Thomas Aquinas, yang dalam De Ente et Essentia menegaskan bahwa
esensi
dan eksistensi adalah dua prinsip ontologis yang berbeda, namun
saling melengkapi dalam aktualisasi keberadaan.⁴ Ia memperkenalkan gagasan
bahwa eksistensi adalah "aktus dari segala aktus" (actus
essendi) yang menjadikan esensi menjadi nyata. Dalam hal ini, esensi
adalah potensi untuk ada, dan eksistensi adalah aktualitas dari
potensi tersebut.
Dalam kerangka ini, Tuhan
dipahami sebagai satu-satunya entitas yang esensi-Nya identik dengan
eksistensi-Nya (ipsum esse subsistens). Semua makhluk
lain memiliki esensi yang berbeda dari eksistensinya, dan dengan demikian,
eksistensinya bersifat derivatif dan kontingen.⁵ Teologi skolastik menegaskan
bahwa pemahaman akan perbedaan ini penting untuk menjelaskan sifat
ketergantungan makhluk pada Sang Pencipta.
4.3.
Revolusi Ontologi dalam Filsafat Islam: Primasi
Eksistensi
Pandangan Ibn Sina
yang esensialis mendapat kritik mendasar dari Mulla Sadra dalam filsafat Hikmah
al-Muta‘aliyah. Ia mengembangkan teori primasi eksistensi (ashālat al-wujūd),
yang menyatakan bahwa eksistensi adalah realitas sejati,
sedangkan esensi hanyalah konsep mental (i‘tibārī).⁶ Dalam pandangan ini,
tidak ada entitas kecuali melalui eksistensinya—esensi hanyalah abstraksi
intelektual terhadap eksistensi yang aktual.
Menurut Mulla Sadra,
keberadaan bukanlah kategori yang dibagi ke dalam jenis-jenis esensi, melainkan
suatu spektrum
keberadaan dengan intensitas ontologis yang berbeda-beda, yang
kemudian disebut sebagai tashkīk al-wujūd (ambiguitas
analogis eksistensi).⁷ Dengan demikian, perbedaan esensial antar makhluk
dijelaskan sebagai perbedaan dalam gradasi eksistensial, bukan sebagai
pemisahan substansial yang rigid. Pandangan ini merevolusi ontologi klasik
dengan memberikan dinamika dan kontinuitas pada eksistensi itu sendiri.
4.4.
Eksistensialisme Modern: Eksistensi Mendahului
Esensi
Dalam era modern,
khususnya dalam filsafat eksistensialis, relasi antara esensi dan eksistensi
mengalami pembalikan paradigmatik. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa “eksistensi
mendahului esensi”, khususnya dalam konteks manusia.⁸ Artinya,
manusia tidak memiliki esensi tetap yang mendefinisikan dirinya sebelum ia
memilih dan menjalani eksistensinya. Esensi manusia, dalam pandangan Sartre,
merupakan hasil dari pilihan dan proyek eksistensialnya sendiri.
Kritik Sartre
terhadap esensialisme metafisika klasik berakar pada penolakan terhadap
determinisme ontologis. Eksistensialisme Sartrean mengusung konsep kebebasan
radikal sebagai dasar dari eksistensi manusia, di mana tidak
ada kodrat yang menentukan manusia selain apa yang ia ciptakan sendiri melalui
tindakan.
4.5.
Sintesis Kontemporer: Analisis Semantik dan
Modal
Dalam filsafat
analitik kontemporer, terutama melalui karya Saul Kripke dan Kit Fine,
hubungan antara esensi dan eksistensi dibahas dalam konteks logika
modal dan teori identitas esensial.
Kripke, melalui gagasan rigid designators, menyatakan bahwa
esensi suatu objek tetap melekat pada objek tersebut di semua kemungkinan dunia
tempat ia eksis.⁹ Ini menunjukkan bahwa ada aspek esensial yang tidak tergantung pada
aktualitas, tetapi berlaku dalam kerangka modalitas.
Dengan demikian,
esensi dan eksistensi bukanlah dikotomi mutlak, tetapi dua dimensi ontologis
yang berinteraksi
dalam kerangka aktualitas dan kemungkinan. Pemahaman mendalam
atas hubungan ini memungkinkan kita menilai apakah sesuatu bersifat kontingen,
niscaya, atau bahkan mustahil dalam struktur realitas.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book VII, 1029a–1031a.
[2]
Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 25–27.
[3]
Ibid., 30–35.
[4]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 36–40.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.4, trans. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[6]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra
Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 150–155.
[7]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 30–38.
[8]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–25.
[9]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 48–54.
5.
Aksidensi: Peranannya dalam Perubahan dan
Identitas
Dalam kerangka
metafisika klasik, aksidensi merupakan aspek
realitas yang tidak esensial tetapi tetap melekat pada suatu substansi.
Aksidensi tidak menentukan apa sesuatu itu secara hakikat, melainkan bagaimana
sesuatu itu tampil atau berfungsi dalam kondisi tertentu. Kendati demikian,
peran aksidensi sangat penting dalam memahami perubahan, kontinuitas
identitas, serta perbedaan partikular dalam entitas yang sejenis.
5.1.
Aksidensi dalam Sistem Kategori Aristotelian
Aristoteles dalam Categories
membagi segala sesuatu yang ada ke dalam sepuluh kategori, di mana substansi
merupakan kategori utama, sementara sembilan sisanya adalah aksidensi:
kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, dan
penderitaan.¹ Aksidensi ini bersifat “tak dapat berdiri sendiri” karena
selalu bergantung pada sesuatu yang lebih fundamental, yakni substansi.
Sebagai contoh,
warna putih adalah aksidensi dari benda seperti kertas atau salju; ia tidak
bisa eksis tanpa sesuatu yang memuatnya. Begitu pula dengan ukuran, bentuk,
atau posisi. Aristoteles menyatakan bahwa aksidensi adalah apa yang dapat berubah tanpa
menghilangkan substansi dari entitas tersebut.² Dengan
demikian, perubahan aksidensial tidak membatalkan identitas ontologis suatu
entitas.
5.2.
Perubahan Aksidensial vs. Substansial
Perbedaan antara
perubahan aksidensial dan substansial sangat penting dalam ontologi klasik. Perubahan
aksidensial terjadi ketika suatu entitas tetap mempertahankan
esensinya tetapi mengalami modifikasi dalam sifat-sifat luarnya, seperti
seorang anak yang tumbuh menjadi dewasa. Sementara perubahan
substansial terjadi ketika esensi suatu entitas berubah,
seperti ketika kayu dibakar menjadi abu.³
Dalam pemikiran Ibn
Sina, perubahan aksidensial digolongkan sebagai perubahan dalam ‘aradhiyyāt
(atribut yang menempel), yang tidak mengubah identitas esensial benda.⁴ Dalam
struktur dunia fisik, perubahan aksidensial menjadi sarana bagi dinamika
temporal, tetapi bukan transformasi ontologis yang hakiki.
5.3.
Peran Aksidensi dalam Konsepsi Identitas dan
Individualitas
Aksidensi juga
memainkan peran krusial dalam membedakan individu dalam satu spesies.
Dua makhluk manusia mungkin memiliki esensi yang sama (yaitu "manusia
rasional"), tetapi dibedakan oleh aksidensi seperti tinggi badan,
warna kulit, atau lokasi geografis.⁵ Dalam logika tradisional, hal ini dikenal
sebagai accidens
individuans (aksidensi yang mengindividualisasi).
Namun demikian,
persoalan identitas personal tidak dapat direduksi semata pada aksidensi.
Filsuf seperti Duns Scotus mengemukakan konsep haecceitas atau “ke-ini-an,”
yang bukan sekadar aksidensi, melainkan suatu prinsip individuasi ontologis
yang lebih dalam.⁶ Hal ini menunjukkan bahwa aksidensi penting tetapi tidak
sepenuhnya mencukupi untuk menjelaskan identitas personal secara metafisik.
Dalam filsafat Islam,
Mulla Sadra memandang bahwa perubahan aksidensial mencerminkan dinamika
eksistensial yang terus-menerus, sesuai dengan teori harakah
jawhariyyah (gerak substansial). Dalam kerangka ini, aksidensi
bukan hanya gejala luar, melainkan bagian dari ekspresi eksistensi yang
mengalami intensifikasi.⁷ Artinya, perubahan aksidensial bisa menandai
pergerakan ontologis yang lebih dalam, bukan sekadar modifikasi superfisial.
5.4.
Aksidensi dalam Perspektif Logika dan Bahasa
Dalam logika
tradisional, pembedaan antara predikat esensial dan aksidensial menjadi dasar
dalam pembuatan definisi. Sebuah definisi yang tepat harus memuat genus dan
diferensia (esensi), bukan aksidensi.⁸ Misalnya, menyebut manusia sebagai “makhluk
yang bisa tertawa” adalah predikat aksidensial, sementara “hewan
rasional” adalah definisi esensial.
Di sisi lain,
filsafat bahasa modern mengangkat kembali peran aksidensi dalam diskusi tentang
makna
dan referensi. Saul Kripke menekankan bahwa nama-nama tetap
menunjuk pada objek tertentu bahkan jika aksidensi-aksidensinya berubah.⁹ Ini
mengimplikasikan bahwa identitas tetap dipertahankan
walaupun ciri-ciri aksidensial berganti, asalkan tidak menyentuh esensi dari
entitas tersebut.
Kesimpulan Sementara
Dengan demikian, aksidensi
memainkan peran ontologis dan epistemologis yang penting, baik
dalam memungkinkan perubahan tanpa kehilangan identitas, maupun dalam
membedakan satu individu dari yang lain dalam spesies yang sama. Ia menciptakan
dinamika dalam dunia fisik dan kognitif, sekaligus menjadi batas antara
perubahan superfisial dan transformasi substansial. Meski bersifat sekunder,
aksidensi adalah medium melalui mana kita mengalami dan mengenali keberadaan
dalam segala kompleksitasnya.
Footnotes
[1]
Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 1b25–2a10.
[2]
Ibid., 4a10–5a15.
[3]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 40–42.
[4]
Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 55–58.
[5]
Peter Coffey, Ontology: The Theory of Being (New York:
Longmans, Green, and Co., 1912), 126–128.
[6]
Duns Scotus, Ordinatio, Book II, dist. 3, trans. Allan B. Wolter,
in Duns Scotus: Philosophical Writings (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1987), 60–64.
[7]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra
Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 145–150.
[8]
William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 81–83.
[9]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 48–53.
6.
Aplikasi Epistemologis dan Etis Konsep Esensi
dan Aksidensi
Konsep esensi
dan aksidensi tidak hanya memainkan peran penting dalam
ontologi dan metafisika klasik, tetapi juga memiliki implikasi
luas dalam epistemologi (teori pengetahuan) dan etika (filsafat moral).
Dalam ranah epistemologi, keduanya menjadi dasar bagi klasifikasi dan definisi
pengetahuan. Dalam etika, pembedaan antara yang hakiki dan yang kebetulan
menjadi kunci dalam menilai tindakan moral serta membedakan antara hakikat
manusia dan ciri-ciri lahiriahnya.
6.1.
Aplikasi Epistemologis: Dasar dalam Definisi,
Klasifikasi, dan Validitas Pengetahuan
Dalam epistemologi
klasik, definisi yang sahih harus mencerminkan esensi suatu entitas, bukan
sekadar menyebutkan ciri-ciri aksidensialnya. Aristoteles menyatakan bahwa pengetahuan
ilmiah sejati adalah pengetahuan tentang sebab dan hakikat,
bukan hanya gejala atau penampakan luar.¹ Oleh karena itu, filsuf seperti
Porphyry dan Boethius mengembangkan struktur genus–spesies–diferensia yang
bertumpu pada esensi sebagai dasar klasifikasi logis.²
Dalam tradisi
filsafat Islam, Ibn Sina menegaskan bahwa objek ilmu pengetahuan (ma‘lūm)
adalah esensi dari sesuatu, karena esensi adalah yang tetap dan tidak berubah.³
Eksistensi aktual bisa berubah atau tiada, tetapi esensinya tetap bisa
diketahui secara universal melalui abstraksi intelektual. Ini memberikan dasar
bagi universalitas
pengetahuan yang tidak bergantung pada perubahan aksidensial.
Dalam konteks
metodologi ilmiah, membedakan antara esensi dan aksidensi penting untuk menghindari
kekeliruan generalisasi. Sebagai contoh, menyimpulkan bahwa
semua manusia lemah karena melihat seorang manusia yang sakit adalah kesalahan
logika, sebab kelemahan bukanlah bagian esensial dari manusia, melainkan
aksidensial.⁴ Pengetahuan yang valid menuntut kemampuan memilah antara struktur
esensial dari objek dan sifat-sifat kebetulan yang menyertainya.
Dalam perkembangan
modern, pembedaan ini juga digunakan dalam analisis semantik dan linguistik.
Frege dan Kripke, misalnya, mengidentifikasi bahwa makna suatu predikat bisa
bergantung pada apakah ia melekat secara esensial atau aksidensial terhadap
subjeknya.⁵ Dengan demikian, logika formal pun tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh kategori metafisik ini.
6.2.
Aplikasi Etis: Fondasi Moralitas dan Hakikat
Kemanusiaan
Dalam bidang etika,
konsep esensi sangat penting dalam merumuskan norma-norma moral dan hakikat manusia.
Etika klasik, seperti dalam pemikiran Aristoteles, menyatakan bahwa kebaikan
moral adalah aktualisasi dari esensi manusia, yaitu sebagai
makhluk rasional dan sosial.⁶ Tindakan etis dipahami sebagai tindakan yang
sesuai dengan esensi manusia, sedangkan tindakan yang bertentangan dengan
rasionalitas atau keutamaan dianggap sebagai penyimpangan dari natur manusia.
Thomas Aquinas lebih
lanjut mengaitkan antara esensi manusia dan hukum moral alamiah.
Menurutnya, karena manusia memiliki esensi sebagai makhluk berakal, maka ia
secara kodrati diarahkan kepada kebaikan dan pencarian kebenaran.⁷ Esensi
manusia menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah suatu tindakan moral dapat
dibenarkan secara universal.
Pembedaan antara
esensi dan aksidensi juga menjadi penting dalam perjuangan etika sosial dan politik,
khususnya dalam menolak bentuk-bentuk diskriminasi. Misalnya, membedakan antara
esensi
manusia sebagai makhluk rasional dan bermartabat dengan aksidensi
seperti ras, warna kulit, atau status sosial memungkinkan
filsafat etika untuk menegaskan kesetaraan manusia secara ontologis.⁸
Hal ini juga
terlihat dalam pemikiran Immanuel Kant, yang memandang bahwa martabat
manusia terletak pada kapasitasnya sebagai makhluk yang
memiliki akal praktis dan otonomi moral.⁹ Atribut-atribut aksidensial seperti
kekayaan atau keturunan tidak menentukan nilai moral seseorang. Dengan
demikian, pembedaan esensial-aksidensial menjadi kerangka moral yang kokoh
dalam memperjuangkan keadilan.
Dalam filsafat
Islam, al-Ghazali juga menegaskan bahwa nilai spiritual manusia terletak pada ruh dan
akal, bukan pada bentuk fisik atau status duniawi yang hanya
aksidensial.¹⁰ Ini memperkuat argumen bahwa kebajikan dan kesucian tidak bisa
diukur dari atribut lahiriah semata, melainkan dari aktualisasi batiniah yang
mendekati hakikat manusia sejati.
Kesimpulan Sementara
Dengan demikian,
konsep esensi
dan aksidensi bukanlah semata-mata kategori ontologis,
melainkan juga instrumen epistemologis dan etis
yang mendalam. Dalam epistemologi, keduanya menentukan keabsahan klasifikasi,
definisi, dan generalisasi ilmiah. Dalam etika, keduanya menjadi tolok ukur
nilai moral, penghormatan terhadap martabat manusia, dan penolakan terhadap
segala bentuk diskriminasi. Oleh karena itu, menguasai perbedaan antara
esensial dan aksidensial bukan hanya soal logika, melainkan soal kebijaksanaan
filosofis dan kemanusiaan yang mendalam.
Footnotes
[1]
Aristotle, Posterior Analytics, trans. G. R. G. Mure, in The
Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House,
1941), Book II, 90b10–91b15.
[2]
Boethius, In Isagogen Porphyrii Commenta, in Theological
Tractates and The Consolation of Philosophy, trans. H. F. Stewart and E.
K. Rand (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1918), 7–9.
[3]
Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 62–65.
[4]
Peter Coffey, Epistemology or the Theory of Knowledge (New
York: Longmans, Green, and Co., 1917), 104–106.
[5]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 48–51.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book I, 1098a16–1098b9.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.94, a.2, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[8]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006),
159–165.
[9]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 36–39.
[10]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 22–26.
7.
Perspektif Perbandingan: Barat dan Islam
Konsep esensi
dan aksidensi telah menjadi bagian sentral dalam wacana
metafisika baik di dunia Barat maupun dalam tradisi filsafat Islam. Meski
keduanya merujuk pada kerangka pemikiran Aristotelian sebagai titik awal,
terdapat pendekatan dan penekanan yang berbeda secara metodologis dan konseptual.
Perbandingan antara kedua tradisi ini tidak hanya memperkaya pemahaman
filosofis kita tentang struktur realitas, tetapi juga mengungkap keragaman
episteme dalam menafsirkan hubungan antara hakikat, eksistensi, dan perubahan.
7.1.
Filsafat Barat: Rasionalisasi Esensi dan
Pembakuan Logika Substansi
Dalam filsafat
Barat, terutama sejak Aristoteles, esensi (ousia)
dipahami sebagai inti hakiki dari suatu entitas—apa yang membuat suatu benda
adalah benda itu, terlepas dari perubahan yang dialaminya.¹ Aksidensi, dalam
konteks ini, diposisikan sebagai kualitas non-esensial yang dapat berubah tanpa
mengubah identitas ontologis objek tersebut.²
Para filsuf
skolastik seperti Thomas Aquinas melanjutkan tradisi
Aristotelian dengan memperkenalkan distingsi tegas antara essentia
dan esse
(eksistensi), sambil mempertahankan prinsip bahwa hanya Tuhan yang esensi-Nya
identik dengan eksistensi-Nya.³ Di tangan Aquinas, metafisika esensialistik
menjadi fondasi untuk sistem teologis yang mapan, di mana identitas, perubahan,
dan relasi kontingensi makhluk dikaji melalui logika esensi dan eksistensi yang
terpisah namun saling melengkapi.
Dalam perkembangan
modern, terutama dalam filsafat analitik, konsep
esensi dimodifikasi dan disematkan ke dalam teori bahasa dan logika modal. Saul
Kripke, misalnya, memperkenalkan essentialism of origin, menyatakan
bahwa objek memiliki sifat-sifat esensial yang tidak berubah di seluruh
kemungkinan dunia tempat objek itu eksis.⁴ Meski bersifat teknis, pendekatan
ini mempertahankan keyakinan dasar akan identitas esensial yang tetap,
yang membedakannya dari predikat-predikat aksidensial.
Namun, muncul juga reaksi
kritis terhadap esensialisme, terutama dari tradisi
eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, yang menolak
gagasan bahwa manusia memiliki esensi yang ditentukan sejak awal. Bagi Sartre,
"eksistensi mendahului esensi", artinya esensi manusia
ditentukan oleh kebebasan dan proyek eksistensialnya, bukan oleh kodrat
bawaan.⁵
7.2.
Filsafat Islam: Interplay antara Wujud dan
Mahiyyah
Tradisi filsafat
Islam mengambil banyak warisan Aristoteles melalui medium filsafat
Yunani-Neoplatonis, terutama dalam karya-karya al-Farabi,
Ibn Sina
(Avicenna), dan Mulla Sadra. Meski menerima
konsep esensi dan aksidensi dari Aristoteles, mereka mengembangkan kerangka
ontologis yang lebih dinamis dan teosentris.
Ibn Sina
adalah tokoh sentral dalam pengembangan konsep mahiyyah (esensi) dan wujūd
(eksistensi). Ia menegaskan bahwa esensi dapat dipahami tanpa eksistensi, dan
eksistensi ditambahkan kepada esensi oleh sebab eksternal, yakni Tuhan.⁶
Hal ini menjadikan pemikirannya sebagai bentuk esensialisme teistik, di mana
Tuhan adalah satu-satunya wujud niscaya, sementara semua makhluk bersifat
kontingen.
Namun, Mulla
Sadra memberikan pembalikan ontologis terhadap
sistem Avicennian dengan menyatakan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi.
Dalam al-Hikmah
al-Muta‘aliyah, ia memperkenalkan teori ashālat
al-wujūd (primasi eksistensi), menyatakan bahwa esensi hanyalah
konsep mental yang muncul dari pengamatan terhadap tingkatan eksistensi.⁷
Dengan demikian, tidak hanya struktur ontologi mengalami transformasi, tetapi
juga konsep perubahan, karena bagi Mulla Sadra, bahkan substansi mengalami gerak
esensial (harakah jawhariyyah).⁸
Dalam tradisi Islam,
konsep aksidensi (‘arad) tetap dipertahankan, namun
lebih dikaitkan dengan dimensi penampakan dan pembiasan eksistensi.
Para sufi dan filosof Islam menyatakan bahwa dunia ini, dalam seluruh
keragamannya, mencerminkan eksistensi Ilahi melalui bentuk-bentuk aksidensial
yang bergradasi.⁹ Maka, pemahaman terhadap aksidensi tidak berhenti pada logika
benda, melainkan diperluas ke dalam ranah spiritual dan kosmologis.
7.3.
Titik Temu dan Perbedaan: Analisis Konseptual
Perbandingan antara
Barat dan Islam dalam pembahasan esensi dan aksidensi menunjukkan titik
temu pada aspek struktural: keduanya menerima pembagian antara
substansi dan sifat, antara apa yang niscaya dan kontingen. Namun, terdapat perbedaan
tajam dalam pendekatan dan orientasi.
·
Filsafat
Barat lebih cenderung mengembangkan sistem logis-formal, dengan
penekanan pada definisi dan klasifikasi.
·
Filsafat
Islam memadukan metafisika dengan teologi dan spiritualitas,
dengan orientasi ke arah penyatuan realitas dan sumber ilahiah.
Di Barat, terutama
dalam arus analitik, esensialisme diukur melalui kemungkinan dunia
dan ketetapan semantik, sementara dalam Islam, esensialisme
(dan antitesisnya) didekati melalui pemahaman hierarki
keberadaan dan intensitas eksistensi.
Dengan demikian,
studi perbandingan ini memperlihatkan bahwa konsep esensi
dan aksidensi bersifat universal, tetapi cara pengolahannya
sangat dipengaruhi oleh latar teologis, metodologis, dan historis dari
masing-masing tradisi.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book VII, 1029a10–1031a10.
[2]
Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 1b25–2a10.
[3]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 26–40.
[4]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 48–54.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–28.
[6]
Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 25–30.
[7]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra
Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 130–136.
[8]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 37–43.
[9]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 175–179.
8.
Kritik dan Perkembangan Kontemporer
Dalam konteks
filsafat kontemporer, konsep esensi dan aksidensi tidak lagi
hanya menjadi bagian dari spekulasi metafisika tradisional, tetapi telah
menjadi medan perdebatan yang aktif—baik dalam ranah ontologi,
filsafat
bahasa, epistemologi, maupun kritik
ideologis. Pemikiran abad ke-20 dan ke-21 telah menghadirkan reaksi,
reinterpretasi,
bahkan dekonstruksi
atas warisan esensialisme metafisik yang mengakar sejak Aristoteles.
8.1.
Kritik terhadap Esensialisme dalam Tradisi
Modern
Salah satu kritik
paling berpengaruh datang dari Immanuel Kant, yang dalam Critique
of Pure Reason menyatakan bahwa metafisika tradisional gagal
membuktikan pengetahuan apriori tentang esensi karena tidak mengacu pada struktur
kognitif subjek.¹ Bagi Kant, manusia tidak dapat mengetahui
"dinge an sich" (benda pada dirinya), melainkan hanya
fenomena yang tampak melalui bentuk-bentuk apriori ruang, waktu, dan kategori
intelek. Hal ini secara langsung mengguncang kepercayaan klasik bahwa esensi
dapat diketahui secara objektif.
Pada abad ke-20, filsafat
eksistensialis menentang esensialisme metafisika secara lebih
radikal. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa "eksistensi mendahului esensi",
khususnya dalam konteks manusia.² Manusia, menurut Sartre, tidak memiliki
kodrat tetap; ia menjadi siapa dirinya melalui kebebasan, pilihan, dan proyek
hidup. Kritik ini ditujukan kepada semua doktrin yang memaksakan identitas
esensial atas individu, termasuk teologi dan biologi deterministik.
Kritik ini diperluas
oleh filsuf
feminis dan post-strukturalis seperti Simone
de Beauvoir dan Judith Butler, yang melihat
esensialisme sebagai alat hegemonik yang membakukan
identitas gender dan seksualitas.³ Butler, dalam Gender Trouble, menolak gagasan
bahwa "perempuan" memiliki esensi tetap; gender, menurutnya,
adalah produk
performatif, bukan kategori ontologis yang stabil.⁴ Ini menjadi
bagian dari kritik terhadap penggunaan esensi sebagai dasar normatif dalam
masyarakat.
8.2.
Perkembangan dalam Filsafat Analitik:
Esensialisme yang Dimodernisasi
Di sisi lain, dalam filsafat
analitik, konsep esensi tidak ditinggalkan, tetapi
direkonstruksi dengan alat bantu logika modal, teori
semantik, dan metafisika kuantitatif. Filsuf
seperti Saul Kripke dan David
Wiggins memperkenalkan konsep esensi yang bersifat modal,
yakni ciri-ciri yang suatu entitas miliki di semua dunia yang mungkin (possible
worlds).⁵
Kripke mengajukan
teori tentang penunjuk kaku (rigid
designators), yakni istilah yang menunjuk pada objek yang sama
dalam semua kemungkinan dunia. Misalnya, jika "air = H₂O"
adalah benar, maka itu benar di semua kemungkinan dunia; struktur kimia itu
adalah esensi
dari air.⁶ Dengan demikian, esensialisme kembali dibela dalam bentuk yang
terbatas dan dapat diuji secara logis.
Kit Fine
mengembangkan lebih jauh dengan membedakan antara essential
properties dan necessary properties. Tidak
semua yang diperlukan (necessary) bersifat esensial, dan
tidak semua yang esensial harus dapat dipastikan dari logika murni.⁷ Ini
menunjukkan adanya nuansa baru dalam esensialisme,
yang bersifat anti-reduksionis dan lebih fleksibel.
8.3.
Esensi dalam Ilmu Pengetahuan dan Ontologi
Terapan
Dalam bidang sains,
terutama biologi dan ilmu kognitif,
konsep esensi mendapat tantangan dari pendekatan evolusioner
dan probabilistik. Beberapa ahli biologi, seperti Richard
Lewontin, menyatakan bahwa spesies tidak memiliki esensi yang tetap karena
bersifat dinamis dan terbuka terhadap variasi genetis.⁸ Hal ini disebut sebagai
anti-esensialisme
biologis, yang memandang klasifikasi ilmiah sebagai konstruksi
pragmatis, bukan realitas ontologis yang tetap.
Namun, sebagian
filsuf sains seperti Michael Devitt tetap
mempertahankan esensialisme ilmiah dalam
bentuk terbatas, dengan menyatakan bahwa teori ilmiah terbaik menyiratkan struktur
mendalam yang stabil, misalnya dalam fisika partikel.⁹ Oleh
karena itu, esensialisme masih hidup dalam diskursus ilmiah, terutama dalam
teori-teori yang mengasumsikan sifat tetap dari hukum-hukum alam.
8.4.
Dekonstruksi Postmodern: Penolakan terhadap
Stabilitas Esensial
Dalam kerangka postmodernisme,
terutama dalam karya Jacques Derrida, konsep esensi
menjadi objek dekonstruksi. Derrida menolak struktur biner klasik (esensi vs.
aksidensi, identitas vs. perbedaan), dan menunjukkan bahwa makna
selalu tergelincir dan tertunda (différance).¹⁰ Dalam logika ini,
esensi tidak pernah hadir secara penuh, karena selalu dikonstruksi oleh oposisi
dan perbedaan.
Postmodernisme
melihat esensialisme sebagai warisan metafisika kehadiran
(metaphysics of presence), yang menuntut kepastian dan stabilitas. Dalam dunia
yang cair, berubah, dan dikonstruksi secara sosial dan historis, segala bentuk
"hakikat" dipandang sebagai ilusi ideologis.
Kesimpulan Sementara
Pembacaan
kontemporer terhadap konsep esensi dan aksidensi menunjukkan spektrum
pendekatan: dari penolakan eksistensialis dan feminis,
melalui rekonstruksi logika modal,
hingga dekonstruksi
linguistik dan kultural. Kritik terhadap esensialisme klasik
telah membuka ruang bagi pemahaman yang lebih kontekstual, pluralistik, dan dinamis
terhadap identitas, struktur realitas, dan klasifikasi ilmiah. Namun demikian,
keberlangsungan diskursus tentang esensi dan aksidensi menunjukkan bahwa metafisika
belum usai, melainkan terus berkembang menyesuaikan dengan
horizon zaman.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A248–B306.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber
(New Haven: Yale University Press, 2007), 22–29.
[3]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and
Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283–290.
[4]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity
(New York: Routledge, 1990), 25–33.
[5]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 48–57.
[6]
Ibid., 134–143.
[7]
Kit Fine, “Essence and Modality,” Philosophical Perspectives 8
(1994): 1–16.
[8]
Richard Lewontin, The Triple Helix: Gene, Organism, and Environment
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 45–49.
[9]
Michael Devitt, Realism and Truth (Princeton: Princeton
University Press, 1991), 135–142.
[10]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–28.
9.
Simpulan dan Implikasi
Kajian tentang esensi
dan aksidensi dalam kerangka metafisika memperlihatkan bahwa
keduanya bukan hanya kategori filosofis klasik, melainkan juga merupakan kerangka
ontologis dan epistemologis yang sangat penting dalam memahami
struktur realitas, identitas, dan perubahan. Sejak Aristoteles, konsep ini
telah menyediakan landasan untuk membedakan antara apa yang
membuat suatu entitas adalah dirinya (esensi) dan apa yang
hanya melekat secara kontingen tanpa mempengaruhi hakikatnya (aksidensi).¹
Tradisi filsafat
Islam, yang diperkaya oleh Ibn Sina dan dikembangkan secara radikal oleh Mulla
Sadra, menunjukkan kedalaman ontologis yang khas,
di mana hubungan antara mahiyyah dan wujūd
tidak hanya dijelaskan dalam kerangka logis, tetapi juga dalam kerangka ontologi
spiritual dan gradasi eksistensi.² Mulla Sadra secara khusus
menawarkan paradigma baru melalui teori ashālat al-wujūd, yang
menempatkan eksistensi sebagai pusat realitas, sementara esensi menjadi konsep
yang terbentuk secara mental.³
Dalam tradisi Barat,
terutama dalam filsafat skolastik, esensi dan aksidensi difungsikan sebagai
pilar utama dalam sistem teologis dan logis.⁴ Namun dalam filsafat modern dan
kontemporer, konsep esensi mengalami tantangan serius, baik dari sisi kognitif
(Kant), eksistensial (Sartre), ideologis
(Butler), maupun semantik (Derrida).⁵ Kritik ini
membuka kesadaran baru bahwa apa yang dahulu dianggap esensial bisa jadi adalah
produk
konstruksi sosial, bahasa, atau pengalaman historis.
Di sisi lain,
filsafat analitik justru memberi bentuk baru pada esensialisme melalui logika
modal, khususnya dalam gagasan rigid designation (Kripke) dan
diferensiasi esensi dari keniscayaan (Fine).⁶ Ini menunjukkan bahwa esensi tidak
sepenuhnya ditinggalkan, tetapi mengalami transformasi
metode dan pendekatan, dari metafisika spekulatif menuju formalisasi
konseptual dan analisis semantik.
Secara keseluruhan,
simpulan dari kajian ini dapat dirumuskan dalam beberapa poin utama:
1)
Esensi dan aksidensi
tetap menjadi perangkat konseptual penting untuk memahami
perubahan dan identitas, baik dalam filsafat klasik maupun kontemporer.
2)
Perbedaan metodologis
antara tradisi Barat dan Islam menunjukkan bahwa metafisika
tidak bersifat tunggal, melainkan beragam dan kontekstual.
3)
Kritik modern terhadap
esensialisme mendorong kehati-hatian dalam menggunakan kategori
ini sebagai dasar normatif, terutama dalam isu identitas, gender, dan nilai
moral.
4)
Pendekatan semantik dan
logika modal memberikan revitalisasi pada konsep esensi dalam
cara yang kompatibel dengan sains dan bahasa formal.
5)
Implikasi etis dan
epistemologis dari konsep ini tetap relevan, terutama dalam
membedakan antara nilai-nilai universal dan karakteristik partikular yang
bersifat kontingen.
Dengan demikian,
kajian esensi dan aksidensi tetap menjadi tema sentral yang hidup dalam wacana filsafat,
bukan sebagai doktrin tetap, tetapi sebagai medan dialektika yang terus
berkembang. Ia menantang para filsuf, ilmuwan, teolog, dan pemikir kontemporer
untuk menyelami
ulang dasar-dasar keberadaan, sambil tetap kritis terhadap
segala bentuk esensialisasi yang menyempitkan kompleksitas realitas.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book VII, 1029a10–1031a10.
[2]
Avicenna, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 22–30.
[3]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect (al-Asfār al-Arbaʿa), trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra
Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 145–152.
[4]
Thomas Aquinas, On Being and Essence, trans. Armand Maurer
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), 26–40.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–28; Judith Butler, Gender
Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge,
1990), 25–33; Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul
Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A248–B306; Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–28.
[6]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 48–57; Kit Fine, “Essence and Modality,” Philosophical
Perspectives 8 (1994): 1–16.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1941). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The Basic Works of Aristotle
(pp. 681–926). Random House.
Aristotle. (1984). Categories
(E. M. Edghill, Trans.). In J. Barnes (Ed.), The Complete Works of
Aristotle (Vol. 1, pp. 3–24). Princeton University Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Aristotle. (1941). Posterior
Analytics (G. R. G. Mure, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The Basic Works
of Aristotle (pp. 110–186). Random House.
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger
Bros.
Aquinas, T. (1968). On
being and essence (A. Maurer, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval
Studies.
Avicenna. (2005). The
metaphysics of the healing (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young
University Press.
Beauvoir, S. de. (2011). The
second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books.
Boethius. (1918). In
Isagogen Porphyrii commenta. In H. F. Stewart & E. K. Rand (Trans.), Theological
tractates and the consolation of philosophy (pp. 1–24). Harvard University
Press.
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Coffey, P. (1912). Ontology:
The theory of being. Longmans, Green, and Co.
Coffey, P. (1917). Epistemology
or the theory of knowledge. Longmans, Green, and Co.
Corbin, H. (1993). History
of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul
International.
Derrida, J. (1982). Margins
of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Devitt, M. (1991). Realism
and truth (2nd ed.). Princeton University Press.
Duns Scotus. (1987). Duns
Scotus: Philosophical writings (A. B. Wolter, Trans.). Hackett Publishing.
Fine, K. (1994). Essence
and modality. Philosophical Perspectives, 8, 1–16. https://doi.org/10.2307/2214163
Ghazali, A. (2005). Ihya’
‘Ulum al-Din (Vol. 3). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Gilson, E. (1952). Being
and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press.
Kneale, W., & Kneale,
M. (1962). The development of logic. Clarendon Press.
Kripke, S. A. (1980). Naming
and necessity. Harvard University Press.
Lewontin, R. C. (2000). The
triple helix: Gene, organism, and environment. Harvard University Press.
Mulla Sadra. (2014). The
transcendent philosophy of the four journeys of the intellect (al-Asfār
al-Arbaʿa) (I. Kalin, Trans.). Sadra Islamic Philosophy Research
Institute.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers
of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard
University Press.
Rahman, F. (1975). The
philosophy of Mulla Sadra. State University of New York Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar