Rabu, 09 April 2025

Pemikiran Ibn Rushd: Rasionalitas Islam dalam Dialog dengan Filsafat Yunani

Pemikiran Ibn Rushd (Averroes)

Rasionalitas Islam dalam Dialog dengan Filsafat Yunani


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran filsafat Ibn Rushd (Averroes), seorang tokoh besar dalam tradisi filsafat Islam klasik yang dikenal karena upayanya menjembatani antara wahyu dan akal, serta antara tradisi Islam dengan filsafat Yunani, khususnya Aristoteles. Melalui karya-karya penting seperti Fashl al-Maqāl dan Tahāfut al-Tahāfut, Ibn Rushd mengemukakan bahwa filsafat bukan hanya selaras dengan ajaran Islam, tetapi juga merupakan sarana yang sah untuk memahami hakikat kebenaran. Artikel ini menguraikan biografi singkat Ibn Rushd, kontribusinya dalam berbagai bidang ilmu, serta pokok-pokok pemikirannya dalam epistemologi, teologi, etika, politik, dan teori akal. Selain itu, dibahas pula pengaruh luas Ibn Rushd di dunia Islam dan Barat Latin, serta relevansi pemikirannya dalam konteks kontemporer, khususnya dalam isu-isu seperti pluralisme, kebebasan berpikir, dan rekonstruksi pemikiran Islam. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan merujuk pada sumber-sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini menegaskan posisi Ibn Rushd sebagai simbol rasionalitas dalam sejarah pemikiran Islam dan peradaban dunia.

Kata Kunci: Ibn Rushd, Averroes, filsafat Islam, rasionalitas, Aristoteles, akal dan wahyu, Averroisme, dialog antar-peradaban, reformasi Islam, teologi rasional.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Ibn Rushd Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah intelektual Islam klasik, pertemuan antara ajaran wahyu dan warisan filsafat Yunani menghasilkan dialektika pemikiran yang kaya dan kompleks. Di antara para pemikir yang berhasil menjembatani dua tradisi besar ini adalah Ibn Rushd (1126–1198), seorang filsuf Muslim dari Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama Averroes. Ia tidak hanya memainkan peran penting sebagai komentator Aristoteles, tetapi juga sebagai pembela rasionalitas dalam memahami agama, terutama dalam menghadapi kritik para teolog seperti al-Ghazali.

Filsafat Islam pada abad pertengahan tidak pernah berdiri dalam ruang hampa. Ia berkembang dalam konteks keilmuan, politik, dan keagamaan yang dinamis, yang kadang memunculkan ketegangan antara pendekatan rasional dan tekstual terhadap ajaran agama. Dalam konteks inilah, Ibn Rushd tampil dengan upaya serius untuk meneguhkan bahwa akal (reason) dan wahyu (revelation) bukan dua hal yang saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi dalam menuntun manusia menuju kebenaran. Ia menulis karya Fashl al-Maqāl (Decisive Treatise) untuk membuktikan bahwa filsafat adalah bagian yang sah dari pencarian ilmiah dalam Islam, bahkan diperintahkan secara syar‘i bagi mereka yang mampu menguasainya secara metodologis dan epistemologis.¹

Dalam karyanya yang monumental, Tahāfut al-Tahāfut (The Incoherence of the Incoherence), Ibn Rushd membela filsafat dari serangan al-Ghazali yang sebelumnya menulis Tahāfut al-Falāsifah (The Incoherence of the Philosophers). Ia mengkritik pandangan al-Ghazali yang menilai bahwa para filsuf telah menyimpang dalam persoalan metafisika, seperti tentang kekekalan alam dan pengetahuan Tuhan tentang partikular.² Bagi Ibn Rushd, kritik tersebut tidak hanya membatasi fungsi akal dalam agama, tetapi juga melemahkan tradisi intelektual Islam yang telah lama mengintegrasikan filsafat sebagai bagian dari studi keagamaan.

Relevansi pemikiran Ibn Rushd semakin terasa di era modern ketika dunia Islam menghadapi tantangan dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer dengan pendekatan yang rasional dan terbuka. Karya-karyanya tidak hanya menginspirasi pemikir Muslim, tetapi juga memengaruhi filsafat Eropa, terutama melalui tradisi Averroisme Latin pada abad ke-13 hingga 15.³ Dalam konteks ini, pembahasan mengenai pemikiran Ibn Rushd menjadi sangat penting, bukan hanya sebagai kajian historis, tetapi juga sebagai cerminan dari upaya membangun dialog antara iman dan akal, antara tradisi dan modernitas.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis pemikiran filsafat Ibn Rushd dengan menyoroti kontribusinya dalam bidang epistemologi, teologi, etika, dan politik. Dengan pendekatan yang berbasis pada sumber-sumber primer dan kajian ilmiah terkini, pembahasan ini diharapkan mampu menghadirkan gambaran yang komprehensif mengenai posisi Ibn Rushd sebagai salah satu pilar rasionalitas dalam peradaban Islam klasik.


Footnotes

[1]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 5–7.

[2]                Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 294–310.

[3]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 133–147.


2.           Biografi Singkat Ibn Rushd

Ibn Rushd, atau dikenal di dunia Barat sebagai Averroes, lahir di kota Córdoba, Andalusia (Spanyol Islam) pada tahun 1126 M/520 H. Ia berasal dari keluarga terpelajar yang memiliki tradisi panjang dalam bidang hukum dan ilmu pengetahuan. Kakeknya, Abu al-Walid Muhammad, adalah seorang qadhi malikiyah terkenal di Córdoba, sementara ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad, juga seorang hakim dan ulama terkemuka.¹ Lingkungan keluarga yang sarat dengan intelektualitas dan hukum ini sangat memengaruhi perkembangan awal Ibn Rushd, terutama dalam kerangka pemikiran rasional dan metodis yang akan mewarnai karya-karyanya di kemudian hari.

Pendidikan Ibn Rushd meliputi berbagai disiplin ilmu: fikih, kedokteran, matematika, astronomi, logika, dan filsafat. Ia belajar kepada sejumlah guru terkenal di zamannya, termasuk Ibnu Bajjah (Avempace) yang memperkenalkannya kepada pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme.² Kecintaannya terhadap filsafat berkembang pesat, dan pada usia yang relatif muda, ia telah mahir membaca dan memberikan komentar atas karya-karya logika dan metafisika Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, Ibn Rushd juga menguasai ilmu kalam dan usul fikih, yang membentuknya menjadi intelektual dengan wawasan luas dan kemampuan kritik tajam.

Karier akademik Ibn Rushd dimulai di Seville dan kemudian berpindah ke Córdoba, di mana ia mulai dikenal sebagai dokter dan ahli hukum. Sekitar tahun 1169 M, ia diperkenalkan kepada Khalifah Almohad, Abu Ya'qub Yusuf, oleh filsuf dan dokter kerajaan, Ibn Tufail.³ Atas permintaan sang khalifah, Ibn Rushd mulai menulis komentar-komentar atas karya-karya Aristoteles—komentar yang kemudian menjadikannya sebagai komentator Aristoteles paling otoritatif, bahkan diakui oleh kalangan skolastik Kristen seperti Thomas Aquinas.⁴

Sebagai cendekiawan serba bisa, Ibn Rushd menjabat sebagai qadhi (hakim) di Seville dan Córdoba, dan pernah menjadi dokter istana. Namun, posisinya dalam lingkungan politik tidak selalu stabil. Pada masa pemerintahan pengganti Abu Ya‘qub, yaitu Abu Yusuf Ya‘qub al-Mansur, Ibn Rushd sempat mengalami pengasingan dan sebagian karyanya dibakar karena dituduh sesat akibat pandangannya yang terlalu rasional dalam menafsirkan agama.⁵ Namun, tak lama kemudian, ia direhabilitasi dan dikembalikan ke Córdoba sebelum akhirnya wafat di Marrakesh pada tahun 1198 M/595 H.

Kehidupan Ibn Rushd merefleksikan dialektika antara ilmu, agama, dan kekuasaan. Ia hidup pada masa ketika filsafat sering kali dicurigai oleh otoritas keagamaan, namun tetap teguh mempertahankan keyakinannya bahwa rasionalitas tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kehidupannya menjadi simbol perjuangan intelektual untuk menyatukan warisan filsafat Yunani dengan ajaran Islam secara harmonis.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 277–278.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 87.

[3]                Charles E. Butterworth, “Averroes,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/averroes/.

[4]                Roger Arnaldez, Averroès: Un rationaliste en Islam (Paris: Albin Michel, 1998), 54–56.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 172–173.


3.           Kontribusi Ibn Rushd dalam Dunia Intelektual

Ibn Rushd adalah salah satu intelektual paling produktif dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam klasik. Kontribusinya meliputi berbagai bidang ilmu, mulai dari filsafat, teologi, hukum Islam (fikih), kedokteran, astronomi, logika, hingga ilmu kalam. Namun, warisan intelektualnya paling menonjol dalam filsafat, terutama karena dedikasinya sebagai komentator Aristoteles yang paling otoritatif di dunia Islam dan Latin.¹

3.1.       Karya-karya Utama

Ibn Rushd menulis lebih dari 80 karya dalam bahasa Arab, banyak di antaranya berupa syarah (komentar) terhadap tulisan-tulisan Aristoteles. Karya-karya ini diklasifikasikan dalam tiga bentuk: komentar panjang (tafsīr kabīr), komentar menengah (tafsīr mutawassiṭ), dan komentar pendek (tafsīr muḫtaṣar).² Karya-karya ini ditujukan untuk menjelaskan pemikiran Aristoteles secara sistematis kepada pembaca Muslim, serta menanggapi berbagai kekeliruan yang menurut Ibn Rushd dilakukan oleh penerjemah atau komentator sebelumnya, termasuk al-Farabi dan Ibn Sina.

Di antara karya orisinalnya yang penting adalah Fashl al-Maqāl fī mā bayna al-ḥikmah wa al-sharī‘ah min al-ittiṣāl (Risalah Pemisah antara Filsafat dan Syariah), yang menyatakan bahwa filsafat adalah bagian dari agama karena keduanya mengejar kebenaran dengan cara masing-masing.³ Dalam Tahāfut al-Tahāfut (Kerancuan terhadap “Kerancuan para Filsuf”), Ibn Rushd membantah tuduhan al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah yang menyatakan bahwa para filsuf telah menyimpang dari ajaran Islam dalam hal-hal seperti kekekalan alam, ilmu Tuhan, dan kebangkitan jasmani.⁴

Selain itu, dalam bidang hukum, Ibn Rushd menulis Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, sebuah karya fikih komparatif yang menampilkan berbagai pendapat mazhab dengan pendekatan rasional dan kritis, menunjukkan kecakapannya tidak hanya sebagai filsuf tetapi juga sebagai fakih.⁵

3.2.       Sebagai Komentator Aristoteles

Ibn Rushd dikenal luas di Eropa Kristen Latin sebagai Averroes, seorang komentator Aristoteles yang luar biasa.⁶ Thomas Aquinas bahkan menyebutnya sebagai “The Commentator”, menunjukkan status istimewa Ibn Rushd dalam tradisi filsafat skolastik. Melalui penerjemahan karyanya ke dalam bahasa Latin dan Ibrani, gagasan Ibn Rushd menyebar ke universitas-universitas di Paris, Padua, dan Bologna pada abad ke-13 dan 14, serta memicu perdebatan sengit mengenai hubungan antara akal dan iman dalam teologi Kristen.⁷

Komentar-komentar Ibn Rushd ditulis dengan ketelitian filologis dan sistematis. Ia tidak hanya menjelaskan makna teks Aristoteles, tetapi juga membela pemikiran logis dan ilmiah dari filsuf Yunani itu terhadap kritik para teolog Islam. Pendekatannya menekankan harmoni antara filsafat dan agama, yang sangat memengaruhi perkembangan rasionalisme baik dalam Islam maupun dalam pemikiran modern Eropa.

3.3.       Pengaruh dalam Dunia Islam dan Barat

Meskipun dalam dunia Islam pemikiran Ibn Rushd tidak mendapatkan penerimaan luas sebagaimana Ibn Sina atau al-Ghazali—karena pendekatan filsafatnya dianggap terlalu rasionalistik oleh kalangan tradisionalis—pengaruhnya tetap bertahan dalam lingkup intelektual terbatas, terutama di kalangan rasionalis Andalusia dan Maghribi.⁸ Di Barat, sebaliknya, pemikirannya melahirkan aliran yang dikenal sebagai Averroisme Latin, yang mengajarkan pemisahan antara kebenaran filosofis dan kebenaran religius, serta mengembangkan gagasan tentang “kekekalan dunia” dan “akal universal”.

Pandangan Ibn Rushd tentang peran akal dan filsafat sebagai sarana memahami wahyu memberi inspirasi besar pada tokoh-tokoh Renaissance seperti Giordano Bruno dan Spinoza.⁹ Dengan demikian, kontribusi Ibn Rushd tidak hanya menghidupkan kembali filsafat Aristoteles di dunia Islam, tetapi juga menjadi jembatan bagi kebangkitan rasionalitas di Eropa Barat.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 279.

[2]                Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect: Their Cosmologies, Theories of the Active Intellect, and Theories of Human Intellect (New York: Oxford University Press, 1992), 326.

[3]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 1–2.

[4]                Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 5–7.

[5]                Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid, trans. Imran Ahsan Khan Nyazee (Reading: Garnet Publishing, 1994), vol. 1, x–xi.

[6]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 75.

[7]                Amos Bertolacci, “Averroes and the Latin Averroists,” Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 409–411.

[8]                Roger Arnaldez, Averroès: Un rationaliste en Islam (Paris: Albin Michel, 1998), 112.

[9]                Charles E. Butterworth, “Averroes’ Threefold Defense of Philosophy,” Journal of the History of Philosophy 20, no. 4 (1982): 423–435.


4.           Pemikiran Filsafat Ibn Rushd

Pemikiran filsafat Ibn Rushd merupakan sintesis yang khas antara rasionalitas Aristotelian dan prinsip-prinsip keislaman. Dalam tradisi filsafat Islam, ia dikenal sebagai pembela ortodoksi rasional: seseorang yang tidak hanya berusaha menjelaskan filsafat dengan akal, tetapi juga membuktikan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan wahyu. Karyanya mencerminkan perdebatan yang intens dengan para teolog seperti al-Ghazali dan para filsuf sebelumnya seperti al-Farabi dan Ibn Sina.¹ Berikut adalah aspek-aspek utama dari filsafat Ibn Rushd:

4.1.       Epistemologi dan Hubungan Akal-Wahyu

Ibn Rushd sangat menekankan kompatibilitas antara akal (al-‘aql) dan wahyu (al-naql). Dalam Fashl al-Maqāl, ia berargumen bahwa pencarian filosofis merupakan bentuk tertinggi dari ibadah intelektual, karena Al-Qur’an sendiri mendorong penggunaan akal dalam memahami ciptaan Tuhan.² Ia menyatakan bahwa wahyu tidak pernah bertentangan dengan akal sejati; jika ada kontradiksi yang tampak, maka itu menuntut penafsiran (ta’wīl) terhadap teks suci secara metaforis.³

Bagi Ibn Rushd, terdapat tiga metode pendekatan terhadap kebenaran agama: metode retoris untuk khalayak umum, metode dialektis untuk teolog, dan metode demonstratif (burhānī) untuk para filosof.⁴ Ini menunjukkan visinya tentang hirarki epistemik yang memposisikan filsafat sebagai pendekatan yang paling tinggi dalam memahami realitas, selama tidak menyimpang dari prinsip dasar agama.

4.2.       Filsafat dan Teologi (Ilmu Kalam)

Ibn Rushd menolak pendekatan ilmu kalam sebagai metode spekulatif yang lemah dari segi logika. Ia mengkritik para mutakallimūn karena mendasarkan argumen teologis mereka pada asumsi apriori yang tidak stabil.⁵ Kritik ini mencapai puncaknya dalam karyanya Tahāfut al-Tahāfut, di mana ia membantah satu per satu argumen al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah.

Tiga doktrin utama yang dituduh kufr oleh al-Ghazali—yakni (1) kekekalan alam, (2) ketidaktahuan Tuhan terhadap partikular, dan (3) tiadanya kebangkitan jasmani—didekonstruksi oleh Ibn Rushd dengan argumen filosofis yang canggih. Ia membela konsep kekekalan alam dengan mengacu pada pemikiran Aristoteles tentang gerak abadi, dan menyatakan bahwa alam tidak diciptakan dalam waktu, tetapi bersama dengan waktu.⁶

4.3.       Etika dan Politik

Dalam filsafat politik dan etika, Ibn Rushd mengembangkan gagasan yang dekat dengan Republik karya Plato dan Politik karya Aristoteles. Dalam karyanya Talkhīṣ Siyāsah, ia menyatakan bahwa masyarakat ideal adalah yang dipimpin oleh kaum cendekiawan—terutama filsuf—yang memahami hukum Tuhan sekaligus prinsip rasionalitas universal.⁷

Ia menolak model kekuasaan yang hanya mengandalkan tradisi tanpa rasionalitas, karena menurutnya, pemimpin sejati adalah mereka yang menguasai hikmah (kebijaksanaan) dan syarī‘ah. Etika, dalam pandangannya, bersifat teleologis—yaitu bahwa semua tindakan manusia harus diarahkan pada sa‘ādah (kebahagiaan), yang dicapai melalui realisasi akal dan kebajikan moral.⁸

4.4.       Pandangan tentang Jiwa dan Akal

Salah satu aspek paling kompleks dari filsafat Ibn Rushd adalah pandangannya mengenai jiwa (al-nafs) dan akal (al-‘aql). Ia mewarisi kerangka pemikiran Aristoteles tentang tiga tingkatan jiwa—vegetatif, sensitif, dan rasional—namun menambahkan analisis mendalam mengenai peran akal fa‘āl (intellectus agens).⁹

Dalam komentarnya atas De Anima karya Aristoteles, Ibn Rushd menjelaskan bahwa akal manusia pada dasarnya adalah pasif dan bersifat potensial, dan hanya menjadi aktual ketika bersentuhan dengan akal aktif. Dalam hal ini, Ibn Rushd berbeda dari Ibn Sina yang berpendapat bahwa jiwa bersifat individual dan abadi; Ibn Rushd justru menyatakan bahwa keabadian bersifat universal melalui penyatuan dengan akal aktif.¹⁰

Pandangannya ini memunculkan kontroversi besar, baik di dunia Islam maupun Barat, karena mengisyaratkan bahwa identitas individual manusia tidak kekal setelah kematian—pandangan yang ditolak oleh mayoritas teolog Islam dan Kristen.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 280–282.

[2]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 1–5.

[3]                George F. Hourani, “The Rationalist Ethics of Averroes,” Muslim World 43, no. 3 (1953): 183–194.

[4]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 98.

[5]                Charles E. Butterworth, “Averroes’ Critique of Kalam,” Islamic Studies 15, no. 2 (1976): 109–125.

[6]                Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 24–31.

[7]                Roger Arnaldez, Averroès: Un rationaliste en Islam (Paris: Albin Michel, 1998), 117–120.

[8]                Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect (New York: Oxford University Press, 1992), 372–375.

[9]                Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Nafs, ed. Ahmed Hasnawi (Beirut: Dar al-Machreq, 1994), 75–85.

[10]             Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 252–254.


5.           Pengaruh Ibn Rushd

Meskipun pemikiran Ibn Rushd pada masanya tidak selalu diterima secara luas dalam dunia Islam, kontribusinya justru memiliki pengaruh transhistoris yang luar biasa—baik dalam lingkungan Islam maupun dalam tradisi pemikiran Eropa Latin. Karya-karyanya membentuk salah satu jembatan filosofis antara dunia Islam dan Barat, dan menjadikannya salah satu tokoh sentral dalam dialog antara akal dan wahyu.

5.1.       Penerimaan di Dunia Islam

Di dunia Islam, pemikiran Ibn Rushd menerima tanggapan yang beragam. Di Andalusia dan Afrika Utara, khususnya di kalangan intelektual seperti Ibn Tufail dan beberapa ulama rasionalis, pemikirannya disambut dengan antusiasme terbatas. Namun, secara umum, pendekatan rasional Ibn Rushd—terutama dalam membela kekekalan alam dan dalam kritiknya terhadap ilmu kalam—tidak banyak mendapatkan dukungan luas.¹

Salah satu penyebab utama lemahnya penerimaan ini adalah karena Ibn Rushd dianggap terlalu dekat dengan filsafat Yunani dan kurang akomodatif terhadap pemikiran kalam yang saat itu mendominasi diskursus keagamaan. Kalangan tradisionalis lebih memilih pemikiran teologis yang bersifat tekstual (naqlī) dan menganggap filsafat sebagai ancaman terhadap kemurnian akidah.² Bahkan setelah wafatnya, sebagian karya Ibn Rushd mengalami sensor, pembakaran, dan pengabaian dalam lingkungan intelektual Islam selama berabad-abad.

Namun demikian, warisan intelektual Ibn Rushd tetap hidup dalam karya-karya hukum seperti Bidayat al-Mujtahid, yang masih dipelajari dalam tradisi Maliki.³ Selain itu, dalam abad ke-20 dan 21, pemikirannya mengalami kebangkitan kembali, terutama dalam konteks reformasi pemikiran Islam yang menekankan pentingnya akal dan interpretasi kontekstual terhadap teks-teks suci.

5.2.       Pengaruh di Dunia Barat: Averroisme Latin

Di Eropa Barat, pengaruh Ibn Rushd bahkan lebih signifikan. Melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Latin—dimulai sejak abad ke-12 oleh Gerard of Cremona dan Michael Scot—pemikiran Ibn Rushd masuk ke universitas-universitas Kristen di Paris, Bologna, dan Padua.⁴ Di sana, ia dikenal sebagai Averroes, dan disebut sebagai “The Commentator,” karena otoritasnya dalam menjelaskan Aristoteles.

Averroisme Latin berkembang sebagai sebuah mazhab filsafat yang mengedepankan pemisahan antara filsafat dan teologi. Salah satu gagasan kontroversial yang dikembangkan dari Ibn Rushd adalah doktrin tentang "double truth" (dua kebenaran): bahwa kebenaran filsafat bisa eksis secara mandiri dari kebenaran teologi.⁵ Gagasan ini menimbulkan perdebatan sengit di antara teolog Kristen, dan mendapat kritik keras dari Thomas Aquinas, yang berusaha menyatukan filsafat Aristotelian dengan ajaran Kristen dalam karyanya Summa Theologica.⁶

Meskipun ajaran Averroisme kemudian dikutuk oleh Gereja Katolik, pengaruhnya tetap bertahan dan menjadi benih bagi munculnya semangat rasionalisme dan humanisme dalam Renaissance. Dalam konteks ini, Ibn Rushd memainkan peran penting sebagai katalisator dalam kebangkitan intelektual Eropa.

5.3.       Warisan Filsafat Universal

Pengaruh Ibn Rushd tidak terbatas pada dunia Islam dan Kristen Latin. Di kalangan filsuf Yahudi seperti Maimonides, ide-ide Ibn Rushd turut membentuk pendekatan rasional terhadap teks-teks keagamaan Yahudi.⁷ Selain itu, sejumlah pemikir modern, seperti Ernest Renan dan Leo Strauss, mengakui peran Ibn Rushd dalam membuka jalan bagi pencerahan dan sekularisasi dalam filsafat politik modern.⁸

Dalam konteks pemikiran Islam kontemporer, tokoh seperti Muhammad Abduh, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Mohammed Arkoun banyak mengacu pada Ibn Rushd dalam upaya merumuskan kerangka teologi yang terbuka terhadap akal dan kebebasan berpikir.⁹ Dengan demikian, warisan Ibn Rushd tetap relevan dalam wacana modern tentang pluralisme, kebebasan berpikir, dan rekonstruksi pemikiran Islam.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 113–115.

[2]                Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism (Oxford: Oneworld, 1997), 85.

[3]                Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid, trans. Imran Ahsan Khan Nyazee (Reading: Garnet Publishing, 1994), vol. 1, xii.

[4]                Charles E. Butterworth, “Averroes’ Impact on Scholastic Thought,” Islamic Studies 15, no. 2 (1976): 139–142.

[5]                Amos Bertolacci, “Averroes and the Latin Averroists,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 409–412.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1955), I.9.

[7]                Steven Harvey, “Averroes in Jewish Philosophy,” in Medieval Islamic Philosophical Writings, ed. Muhammad Ali Khalidi (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 215–230.

[8]                Leo Strauss, Persecution and the Art of Writing (Chicago: University of Chicago Press, 1952), 45–47.

[9]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 92–95.


6.           Relevansi Pemikiran Ibn Rushd di Era Kontemporer

Pemikiran Ibn Rushd, meskipun lahir dalam konteks abad ke-12, menunjukkan vitalitas dan relevansi yang luar biasa dalam menjawab berbagai persoalan dunia kontemporer. Hal ini tidak hanya terkait dengan kepakarannya dalam filsafat, tetapi juga karena keberaniannya membela rasionalitas, kebebasan berpikir, dan harmoni antara agama dan akal. Dalam dunia yang semakin kompleks dan pluralistik, gagasan-gagasan Ibn Rushd menjadi sumber inspirasi penting dalam membangun kerangka pemikiran keislaman yang terbuka, inklusif, dan berbasis nalar.

6.1.       Rasionalitas dalam Penafsiran Agama

Salah satu kontribusi utama Ibn Rushd yang paling relevan saat ini adalah pembelaannya terhadap akal sebagai instrumen penting dalam memahami wahyu. Dalam Fashl al-Maqāl, ia menyatakan bahwa pemikiran filosofis tidak bertentangan dengan syariat, bahkan menjadi kewajiban bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukannya secara metodologis.¹ Pendekatan ini sangat relevan dalam konteks kontemporer, di mana tantangan terhadap interpretasi literal terhadap teks suci sering kali menjadi sumber konflik.

Para pemikir reformis modern seperti Muhammad Abduh dan Nasr Hamid Abu Zayd mengadopsi pendekatan Ibn Rushd untuk menegaskan bahwa ijtihad dan penalaran rasional harus diberi ruang dalam kehidupan umat Islam.² Dalam dunia di mana ekstremisme sering tumbuh dari pembacaan sempit terhadap teks agama, warisan Ibn Rushd menghadirkan paradigma yang lebih dialogis dan moderat.

6.2.       Dialog Antar-Peradaban

Pemikiran Ibn Rushd juga menawarkan model epistemologis yang dapat digunakan sebagai dasar bagi dialog antar-agama dan antar-peradaban. Ia mengembangkan argumen bahwa kebenaran adalah universal, dan bahwa jalan untuk mencapainya bisa berbeda tetapi tetap menuju pada satu tujuan yang sama.³ Gagasan ini sangat penting dalam membangun pemahaman lintas budaya dan agama di dunia global yang saling terhubung.

Dalam konteks hubungan antara Islam dan Barat, Ibn Rushd menjadi simbol dari masa ketika peradaban Islam menjadi jembatan penting bagi perkembangan ilmu dan filsafat di Eropa.⁴ Dengan demikian, pemikiran Ibn Rushd dapat dijadikan landasan filosofis bagi upaya-upaya kontemporer dalam membangun hubungan yang lebih inklusif antara dunia Islam dan dunia Barat, serta menumbuhkan semangat saling menghargai perbedaan.

6.3.       Fondasi Sekularisme dan Humanisme Modern

Beberapa filsuf kontemporer Barat seperti Leo Strauss dan Ernest Renan melihat Ibn Rushd sebagai salah satu akar dari sekularisme modern, karena keberaniannya memisahkan antara ranah wahyu dan filsafat tanpa merendahkan salah satunya.⁵ Gagasannya tentang keuniversalan akal, keabadian kebenaran filosofis, serta kebebasan berpikir menjadi fondasi bagi munculnya humanisme rasional yang menjadi karakter khas zaman Pencerahan di Eropa.

Bagi dunia Muslim kontemporer, pengembangan teologi yang rasional dan etika berbasis kebebasan individu tetap menjadi tantangan. Ibn Rushd, dengan pemikirannya yang menekankan pentingnya penalaran kritis, dapat menjadi inspirasi untuk membangun fondasi teologis yang mendukung demokrasi, hak asasi manusia, dan ilmu pengetahuan modern.⁶

6.4.       Relevansi dalam Pendidikan dan Kebudayaan Islam

Dalam bidang pendidikan, Ibn Rushd mengajarkan pentingnya logika dan ilmu sebagai bagian dari kurikulum keislaman.⁷ Hal ini sangat krusial di tengah sistem pendidikan di banyak negara Muslim yang masih menekankan hafalan tanpa penalaran kritis. Kembali kepada semangat Ibn Rushd berarti mengembalikan tradisi pendidikan Islam yang rasional dan multidisipliner—sebuah tradisi yang dahulu pernah mengantarkan dunia Islam ke masa keemasan ilmu pengetahuan.


Penutup Sementara

Relevansi pemikiran Ibn Rushd bukan sekadar wacana historis, tetapi justru menjadi kebutuhan mendesak di tengah tantangan zaman. Baik dalam upaya menafsirkan agama secara kontekstual, membangun dialog antaragama, maupun meneguhkan nilai-nilai rasionalisme dalam ruang publik, Ibn Rushd hadir sebagai contoh cemerlang dari tradisi keilmuan Islam yang bersifat terbuka, argumentatif, dan humanistik.


Footnotes

[1]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 4–6.

[2]                Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 12–14.

[3]                Mohammed Arkoun, Islam: To Reform or to Subvert? (London: Saqi Books, 2006), 134–137.

[4]                George Makdisi, “The Transmission of Philosophy from Islam to the West,” Islamic Studies 3, no. 4 (1964): 320–329.

[5]                Leo Strauss, Persecution and the Art of Writing (Chicago: University of Chicago Press, 1952), 45–47.

[6]                Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Francisco: HarperOne, 2005), 87–89.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 153–155.


7.           Kesimpulan

Ibn Rushd (Averroes) merupakan sosok kunci dalam sejarah filsafat Islam klasik yang berhasil mempertemukan dua kutub besar pemikiran: wahyu dan akal, Islam dan filsafat Yunani. Melalui karya-karyanya yang mendalam dan argumentatif, seperti Fashl al-Maqāl dan Tahāfut al-Tahāfut, ia menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan esensial antara filsafat dan agama, asalkan keduanya dipahami dengan pendekatan yang benar.¹

Sebagai komentator besar Aristoteles, Ibn Rushd tidak hanya memperluas horizon intelektual dunia Islam, tetapi juga mewariskan pengaruh yang mendalam bagi pemikiran Barat, terutama dalam tradisi skolastik Kristen melalui Averroisme Latin.² Di saat pemikiran rasional mulai terkikis oleh pendekatan teologis yang kaku, Ibn Rushd berdiri sebagai pembela filsafat dan logika sebagai sarana legitim untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang eksistensi, Tuhan, dan hukum moral.³

Dalam dunia Islam, meskipun penerimaan terhadap filsafat Ibn Rushd tidak sebesar terhadap tokoh-tokoh seperti al-Ghazali atau Ibn Sina, warisan intelektualnya tetap abadi dalam bidang fikih, kedokteran, dan pendidikan.⁴ Lebih dari itu, pemikirannya mengalami kebangkitan kembali dalam konteks modern, ketika dunia Muslim mulai mencari fondasi teoretis untuk rekonstruksi pemikiran Islam yang sejalan dengan nilai-nilai rasional, demokratis, dan terbuka terhadap sains.

Relevansi Ibn Rushd di era kontemporer sangat nyata. Pendekatannya terhadap interpretasi agama yang berbasis akal, argumennya tentang pluralitas pendekatan dalam memahami kebenaran, serta keberaniannya dalam mempertahankan kebebasan berpikir menjadikannya figur sentral dalam wacana Islam modern yang progresif.⁵ Dalam konteks global saat ini, di mana ekstremisme, intoleransi, dan anti-intelektualisme menjadi tantangan besar, pemikiran Ibn Rushd menawarkan jalan alternatif untuk membangun peradaban Islam yang cerdas, inklusif, dan berakar kuat pada tradisi ilmiah.

Oleh karena itu, menghidupkan kembali warisan Ibn Rushd bukan hanya tugas akademis, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral untuk memulihkan rasionalitas sebagai inti dari keberagamaan yang sehat. Sebagaimana ia tegaskan dalam Fashl al-Maqāl, jalan menuju kebenaran adalah satu, tetapi jalannya bisa beragam sesuai kapasitas nalar manusia.⁶ Dalam semangat itulah, Ibn Rushd tetap hidup—bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai inspirasi masa depan.


Footnotes

[1]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden: Brill, 1959), 1–5.

[2]                Amos Bertolacci, “Averroes and the Latin Averroists,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 409–412.

[3]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 121–124.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 284–285.

[5]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 94–96.

[6]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, 6–8.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2005). The great theft: Wrestling Islam from the extremists. HarperOne.

Abu Zayd, N. H. (2004). Rethinking the Qur’an: Towards a humanistic hermeneutics. Amsterdam: Humanistics University Press.

Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common questions, uncommon answers (R. D. Lee, Trans.). Boulder: Westview Press.

Arkoun, M. (2006). Islam: To reform or to subvert? London: Saqi Books.

Arnaldez, R. (1998). Averroès: Un rationaliste en Islam. Paris: Albin Michel.

Aquinas, T. (1955). Summa contra gentiles (A. Pegis, Trans.). Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Bertolacci, A. (2016). Averroes and the Latin Averroists. In K. El-Rouayheb & S. Schmidtke (Eds.), The Oxford handbook of Islamic philosophy (pp. 409–412). Oxford University Press.

Butterworth, C. E. (1976). Averroes’ critique of kalam. Islamic Studies, 15(2), 109–125.

Butterworth, C. E. (1976). Averroes’ impact on scholastic thought. Islamic Studies, 15(2), 139–142.

Butterworth, C. E. (2020). Averroes. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2020 Edition). https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/averroes/

Davidson, H. A. (1992). Alfarabi, Avicenna, and Averroes on intellect: Their cosmologies, theories of the active intellect, and theories of human intellect. Oxford University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (2nd ed.). New York: Columbia University Press.

Fakhry, M. (1997). Islamic philosophy, theology and mysticism: A short introduction. Oxford: Oneworld.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʿAbbāsid society. London: Routledge.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Leiden: Brill.

Harvey, S. (2005). Averroes in Jewish philosophy. In M. A. Khalidi (Ed.), Medieval Islamic philosophical writings (pp. 215–230). Cambridge: Cambridge University Press.

Hourani, G. F. (1953). The rationalist ethics of Averroes. Muslim World, 43(3), 183–194.

Ibn Rushd. (1954). Tahāfut al-Tahāfut (S. van den Bergh, Ed.). London: Luzac & Co.

Ibn Rushd. (1959). Fasl al-Maqāl (G. F. Hourani, Ed.). Leiden: Brill.

Ibn Rushd. (1994). Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (I. A. K. Nyazee, Trans., Vol. 1). Reading: Garnet Publishing.

Ibn Rushd. (1994). Talkhīṣ Kitāb al-Nafs (A. Hasnawi, Ed.). Beirut: Dar al-Machreq.

Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy. Oxford: Clarendon Press.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Cambridge: Polity Press.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Makdisi, G. (1964). The transmission of philosophy from Islam to the West. Islamic Studies, 3(4), 320–329.

Strauss, L. (1952). Persecution and the art of writing. Chicago: University of Chicago Press.


Lampiran: Daftar Karya Ibn Rushd (Averroes)

Berikut adalah daftar karya Ibn Rushd (Averroes) yang mencerminkan luasnya minat dan keahlian beliau di berbagai bidang ilmu, terutama filsafat, hukum Islam, teologi, kedokteran, dan astronomi. Karya-karya ini dibagi berdasarkan kategori tematik, dan beberapa di antaranya masih tersedia dalam bentuk manuskrip maupun terjemahan modern.

1.            Karya-Karya Filsafat

1)            Karya Asli (Orisinal)

·                     Fashl al-Maqāl fī mā bayna al-ḥikmah wa al-sharī‘ah min al-ittiṣāl ("Risalah Pemisah antara Filsafat dan Syariah")

→ Sebuah pembelaan rasionalitas dalam Islam dan pentingnya filsafat bagi umat Islam.

·                     Tahāfut al-Tahāfut ("Kerancuan terhadap 'Kerancuan para Filsuf'")

→ Jawaban atas Tahāfut al-Falāsifah karya al-Ghazali, membela para filsuf dan filsafat Aristotelian.

·                     Kitāb al-Kashf ‘an Manāhij al-Adillah ("Penyingkapan Metodologi Argumen")

→ Karya filsafat teologis mengenai prinsip-prinsip akidah Islam dengan pendekatan rasional.

·                     Talkhīṣ Kitāb al-Nafs (Paraphrase of Aristotle's De Anima)

→ Tafsir Ibn Rushd atas teori jiwa Aristoteles.

·                     Talkhīṣ Kitāb al-Siyāsah (Ringkasan Politik)

→ Ringkasan dan komentar atas Republik Plato dari sudut pandang Islam dan filsafat politik.

2)            Komentar atas Karya Aristoteles (Komentar Besar, Sedang, Pendek)

Ibn Rushd menulis tiga jenis komentar terhadap karya Aristoteles:

·                     Komentar Besar (Tafsīr Kabīr)

Tafsīr Mā ba‘d al-Ṭabī‘ah (Metafisika)

Tafsīr al-Samā‘ wa al-‘Ālam (Filsafat Alam)

Tafsīr al-Nafs (Psikologi/jiwa)

·                     Komentar Menengah (Talkhīṣ)

Talkhīṣ al-Burhān (Analytica Posteriora)

Talkhīṣ al-Jadal (Topika)

Talkhīṣ al-Samā‘ al-Ṭabī‘ī (Fisikawan)

·                     Komentar Pendek (Jawāmi‘)

Jawāmi‘ Syarḥ al-Manṭiq (Logika)

Jawāmi‘ al-Ta‘bīr (Hermeneutika)

2.            Karya dalam Ilmu Hukum (Fiqh)

Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid

→ Karya fikih komparatif besar yang menunjukkan keluasan pengetahuan Ibn Rushd tentang berbagai mazhab.

3.            Karya dalam Ilmu Kedokteran

Al-Kulliyyāt fī al-Ṭibb (diterjemahkan ke Latin sebagai Colliget)

→ Buku kedokteran yang membahas prinsip-prinsip umum kedokteran dalam tradisi Galenik.

4.            Karya dalam Astronomi dan Ilmu Alam

·                     Maqālah fī Ḥarakat al-Falak ("Risalah tentang Gerakan Langit")

→ Karya astronomi yang membahas pandangan kosmologis dan langit tetap.

·                     Sharḥ Kitāb Aristūṭālīs fī al-Samā‘ wa al-‘Ālam

→ Komentar atas De Caelo (tentang langit dan dunia) karya Aristoteles.

5.            Karya Lain-lain

Fatāwā Ibn Rushd

→ Kumpulan fatwa hukum Islam (Maliki) yang disandarkan pada pemikirannya sebagai qadhi dan faqih.


Catatan Tambahan:

Banyak karya Ibn Rushd yang sampai ke Barat melalui terjemahan Latin dan Ibrani, dan beberapa bahkan hanya dikenal melalui versi terjemahan tersebut. Karya-karyanya memiliki pengaruh luas, tidak hanya dalam konteks Islam, tetapi juga dalam sejarah filsafat Barat dan Renaisans.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar