Pemikiran Ibn Rushd (Averroes)
Rasionalitas Islam dalam Dialog dengan Filsafat Yunani
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filsafat Ibn Rushd (Averroes), seorang tokoh besar dalam tradisi filsafat Islam
klasik yang dikenal karena upayanya menjembatani antara wahyu dan akal, serta
antara tradisi Islam dengan filsafat Yunani, khususnya Aristoteles. Melalui
karya-karya penting seperti Fashl al-Maqāl dan Tahāfut al-Tahāfut,
Ibn Rushd mengemukakan bahwa filsafat bukan hanya selaras dengan ajaran Islam,
tetapi juga merupakan sarana yang sah untuk memahami hakikat kebenaran. Artikel
ini menguraikan biografi singkat Ibn Rushd, kontribusinya dalam berbagai bidang
ilmu, serta pokok-pokok pemikirannya dalam epistemologi, teologi, etika,
politik, dan teori akal. Selain itu, dibahas pula pengaruh luas Ibn Rushd di
dunia Islam dan Barat Latin, serta relevansi pemikirannya dalam konteks
kontemporer, khususnya dalam isu-isu seperti pluralisme, kebebasan berpikir,
dan rekonstruksi pemikiran Islam. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan
merujuk pada sumber-sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini
menegaskan posisi Ibn Rushd sebagai simbol rasionalitas dalam sejarah pemikiran
Islam dan peradaban dunia.
Kata Kunci: Ibn Rushd, Averroes, filsafat Islam, rasionalitas,
Aristoteles, akal dan wahyu, Averroisme, dialog antar-peradaban, reformasi
Islam, teologi rasional.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Ibn Rushd Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah intelektual Islam klasik, pertemuan
antara ajaran wahyu dan warisan filsafat Yunani menghasilkan dialektika
pemikiran yang kaya dan kompleks. Di antara para pemikir yang berhasil
menjembatani dua tradisi besar ini adalah Ibn Rushd (1126–1198), seorang filsuf
Muslim dari Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama Averroes. Ia tidak
hanya memainkan peran penting sebagai komentator Aristoteles, tetapi juga
sebagai pembela rasionalitas dalam memahami agama, terutama dalam menghadapi
kritik para teolog seperti al-Ghazali.
Filsafat Islam pada abad pertengahan tidak pernah
berdiri dalam ruang hampa. Ia berkembang dalam konteks keilmuan, politik, dan
keagamaan yang dinamis, yang kadang memunculkan ketegangan antara pendekatan
rasional dan tekstual terhadap ajaran agama. Dalam konteks inilah, Ibn Rushd
tampil dengan upaya serius untuk meneguhkan bahwa akal (reason) dan wahyu (revelation)
bukan dua hal yang saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi dalam
menuntun manusia menuju kebenaran. Ia menulis karya Fashl al-Maqāl
(Decisive Treatise) untuk membuktikan bahwa filsafat adalah bagian yang sah
dari pencarian ilmiah dalam Islam, bahkan diperintahkan secara syar‘i bagi
mereka yang mampu menguasainya secara metodologis dan epistemologis.¹
Dalam karyanya yang monumental, Tahāfut
al-Tahāfut (The Incoherence of the Incoherence), Ibn Rushd membela filsafat
dari serangan al-Ghazali yang sebelumnya menulis Tahāfut al-Falāsifah
(The Incoherence of the Philosophers). Ia mengkritik pandangan al-Ghazali yang
menilai bahwa para filsuf telah menyimpang dalam persoalan metafisika, seperti
tentang kekekalan alam dan pengetahuan Tuhan tentang partikular.² Bagi Ibn
Rushd, kritik tersebut tidak hanya membatasi fungsi akal dalam agama, tetapi
juga melemahkan tradisi intelektual Islam yang telah lama mengintegrasikan
filsafat sebagai bagian dari studi keagamaan.
Relevansi pemikiran Ibn Rushd semakin terasa di era
modern ketika dunia Islam menghadapi tantangan dalam menjawab
persoalan-persoalan kontemporer dengan pendekatan yang rasional dan terbuka.
Karya-karyanya tidak hanya menginspirasi pemikir Muslim, tetapi juga
memengaruhi filsafat Eropa, terutama melalui tradisi Averroisme Latin pada abad
ke-13 hingga 15.³ Dalam konteks ini, pembahasan mengenai pemikiran Ibn Rushd
menjadi sangat penting, bukan hanya sebagai kajian historis, tetapi juga
sebagai cerminan dari upaya membangun dialog antara iman dan akal, antara
tradisi dan modernitas.
Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara
sistematis pemikiran filsafat Ibn Rushd dengan menyoroti kontribusinya dalam
bidang epistemologi, teologi, etika, dan politik. Dengan pendekatan yang
berbasis pada sumber-sumber primer dan kajian ilmiah terkini, pembahasan ini
diharapkan mampu menghadirkan gambaran yang komprehensif mengenai posisi Ibn
Rushd sebagai salah satu pilar rasionalitas dalam peradaban Islam klasik.
Footnotes
[1]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F.
Hourani (Leiden: Brill, 1959), 5–7.
[2]
Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Simon van
den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 294–310.
[3]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy
(Oxford: Clarendon Press, 1988), 133–147.
2.
Biografi Singkat Ibn Rushd
Ibn Rushd, atau
dikenal di dunia Barat sebagai Averroes, lahir di kota Córdoba, Andalusia
(Spanyol Islam) pada tahun 1126 M/520 H. Ia berasal dari keluarga terpelajar
yang memiliki tradisi panjang dalam bidang hukum dan ilmu pengetahuan.
Kakeknya, Abu al-Walid Muhammad, adalah seorang qadhi malikiyah terkenal di
Córdoba, sementara ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad, juga seorang hakim dan ulama
terkemuka.¹ Lingkungan keluarga yang sarat dengan intelektualitas dan hukum ini
sangat memengaruhi perkembangan awal Ibn Rushd, terutama dalam kerangka
pemikiran rasional dan metodis yang akan mewarnai karya-karyanya di kemudian
hari.
Pendidikan Ibn Rushd
meliputi berbagai disiplin ilmu: fikih, kedokteran, matematika, astronomi,
logika, dan filsafat. Ia belajar kepada sejumlah guru terkenal di zamannya,
termasuk Ibnu Bajjah (Avempace) yang memperkenalkannya kepada pemikiran
Aristoteles dan Neoplatonisme.² Kecintaannya terhadap filsafat berkembang
pesat, dan pada usia yang relatif muda, ia telah mahir membaca dan memberikan
komentar atas karya-karya logika dan metafisika Yunani yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Selain itu, Ibn Rushd juga menguasai ilmu kalam dan usul
fikih, yang membentuknya menjadi intelektual dengan wawasan luas dan kemampuan
kritik tajam.
Karier akademik Ibn
Rushd dimulai di Seville dan kemudian berpindah ke Córdoba, di mana ia mulai
dikenal sebagai dokter dan ahli hukum. Sekitar tahun 1169 M, ia diperkenalkan
kepada Khalifah Almohad, Abu Ya'qub Yusuf, oleh filsuf dan dokter kerajaan, Ibn
Tufail.³ Atas permintaan sang khalifah, Ibn Rushd mulai menulis
komentar-komentar atas karya-karya Aristoteles—komentar yang kemudian
menjadikannya sebagai komentator Aristoteles paling otoritatif, bahkan diakui
oleh kalangan skolastik Kristen seperti Thomas Aquinas.⁴
Sebagai cendekiawan
serba bisa, Ibn Rushd menjabat sebagai qadhi (hakim) di Seville dan Córdoba,
dan pernah menjadi dokter istana. Namun, posisinya dalam lingkungan politik
tidak selalu stabil. Pada masa pemerintahan pengganti Abu Ya‘qub, yaitu Abu Yusuf
Ya‘qub al-Mansur, Ibn Rushd sempat mengalami pengasingan dan sebagian karyanya
dibakar karena dituduh sesat akibat pandangannya yang terlalu rasional dalam
menafsirkan agama.⁵ Namun, tak lama kemudian, ia direhabilitasi dan
dikembalikan ke Córdoba sebelum akhirnya wafat di Marrakesh pada tahun 1198
M/595 H.
Kehidupan Ibn Rushd
merefleksikan dialektika antara ilmu, agama, dan kekuasaan. Ia hidup pada masa
ketika filsafat sering kali dicurigai oleh otoritas keagamaan, namun tetap
teguh mempertahankan keyakinannya bahwa rasionalitas tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Kehidupannya menjadi simbol perjuangan intelektual untuk
menyatukan warisan filsafat Yunani dengan ajaran Islam secara harmonis.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 277–278.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 87.
[3]
Charles E. Butterworth, “Averroes,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/averroes/.
[4]
Roger Arnaldez, Averroès: Un rationaliste en Islam (Paris:
Albin Michel, 1998), 54–56.
[5]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London:
Routledge, 1998), 172–173.
3.
Kontribusi Ibn Rushd dalam Dunia Intelektual
Ibn Rushd adalah
salah satu intelektual paling produktif dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran
Islam klasik. Kontribusinya meliputi berbagai bidang ilmu, mulai dari filsafat,
teologi, hukum Islam (fikih), kedokteran, astronomi, logika, hingga ilmu kalam.
Namun, warisan intelektualnya paling menonjol dalam filsafat, terutama karena
dedikasinya sebagai komentator Aristoteles yang paling otoritatif di dunia
Islam dan Latin.¹
3.1.
Karya-karya Utama
Ibn Rushd menulis
lebih dari 80 karya dalam bahasa Arab, banyak di antaranya berupa syarah
(komentar) terhadap tulisan-tulisan Aristoteles. Karya-karya ini
diklasifikasikan dalam tiga bentuk: komentar panjang (tafsīr kabīr),
komentar
menengah (tafsīr mutawassiṭ), dan komentar
pendek (tafsīr muḫtaṣar).² Karya-karya ini ditujukan untuk
menjelaskan pemikiran Aristoteles secara sistematis kepada pembaca Muslim,
serta menanggapi berbagai kekeliruan yang menurut Ibn Rushd dilakukan oleh
penerjemah atau komentator sebelumnya, termasuk al-Farabi dan Ibn Sina.
Di antara karya
orisinalnya yang penting adalah Fashl al-Maqāl fī mā bayna al-ḥikmah wa
al-sharī‘ah min al-ittiṣāl (Risalah Pemisah antara Filsafat dan
Syariah), yang menyatakan bahwa filsafat adalah bagian dari agama karena
keduanya mengejar kebenaran dengan cara masing-masing.³ Dalam Tahāfut
al-Tahāfut (Kerancuan terhadap “Kerancuan para Filsuf”), Ibn Rushd
membantah tuduhan al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah yang
menyatakan bahwa para filsuf telah menyimpang dari ajaran Islam dalam hal-hal
seperti kekekalan alam, ilmu Tuhan, dan kebangkitan jasmani.⁴
Selain itu, dalam
bidang hukum, Ibn Rushd menulis Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid,
sebuah karya fikih komparatif yang menampilkan berbagai pendapat mazhab dengan
pendekatan rasional dan kritis, menunjukkan kecakapannya tidak hanya sebagai filsuf
tetapi juga sebagai fakih.⁵
3.2.
Sebagai Komentator Aristoteles
Ibn Rushd dikenal
luas di Eropa Kristen Latin sebagai Averroes, seorang komentator Aristoteles
yang luar biasa.⁶ Thomas Aquinas bahkan menyebutnya sebagai “The
Commentator”, menunjukkan status istimewa Ibn Rushd dalam tradisi
filsafat skolastik. Melalui penerjemahan karyanya ke dalam bahasa Latin dan
Ibrani, gagasan Ibn Rushd menyebar ke universitas-universitas di Paris, Padua,
dan Bologna pada abad ke-13 dan 14, serta memicu perdebatan sengit mengenai
hubungan antara akal dan iman dalam teologi Kristen.⁷
Komentar-komentar
Ibn Rushd ditulis dengan ketelitian filologis dan sistematis. Ia tidak hanya
menjelaskan makna teks Aristoteles, tetapi juga membela pemikiran logis dan
ilmiah dari filsuf Yunani itu terhadap kritik para teolog Islam. Pendekatannya
menekankan harmoni antara filsafat dan agama, yang sangat memengaruhi
perkembangan rasionalisme baik dalam Islam maupun dalam pemikiran modern Eropa.
3.3.
Pengaruh dalam Dunia Islam dan Barat
Meskipun dalam dunia
Islam pemikiran Ibn Rushd tidak mendapatkan penerimaan luas sebagaimana Ibn
Sina atau al-Ghazali—karena pendekatan filsafatnya dianggap terlalu
rasionalistik oleh kalangan tradisionalis—pengaruhnya tetap bertahan dalam
lingkup intelektual terbatas, terutama di kalangan rasionalis Andalusia dan
Maghribi.⁸ Di Barat, sebaliknya, pemikirannya melahirkan aliran yang dikenal
sebagai Averroisme
Latin, yang mengajarkan pemisahan antara kebenaran filosofis dan
kebenaran religius, serta mengembangkan gagasan tentang “kekekalan dunia”
dan “akal universal”.
Pandangan Ibn Rushd
tentang peran akal dan filsafat sebagai sarana memahami wahyu memberi inspirasi
besar pada tokoh-tokoh Renaissance seperti Giordano Bruno dan Spinoza.⁹ Dengan
demikian, kontribusi Ibn Rushd tidak hanya menghidupkan kembali filsafat
Aristoteles di dunia Islam, tetapi juga menjadi jembatan bagi kebangkitan
rasionalitas di Eropa Barat.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 279.
[2]
Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect:
Their Cosmologies, Theories of the Active Intellect, and Theories of Human
Intellect (New York: Oxford University Press, 1992), 326.
[3]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden:
Brill, 1959), 1–2.
[4]
Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Simon van den Bergh
(London: Luzac & Co., 1954), 5–7.
[5]
Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid, trans. Imran Ahsan Khan Nyazee
(Reading: Garnet Publishing, 1994), vol. 1, x–xi.
[6]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 1988), 75.
[7]
Amos Bertolacci, “Averroes and the Latin Averroists,” Oxford
Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 409–411.
[8]
Roger Arnaldez, Averroès: Un rationaliste en Islam (Paris:
Albin Michel, 1998), 112.
[9]
Charles E. Butterworth, “Averroes’ Threefold Defense of Philosophy,” Journal
of the History of Philosophy 20, no. 4 (1982): 423–435.
4.
Pemikiran Filsafat Ibn Rushd
Pemikiran filsafat
Ibn Rushd merupakan sintesis yang khas antara rasionalitas Aristotelian dan
prinsip-prinsip keislaman. Dalam tradisi filsafat Islam, ia dikenal sebagai
pembela ortodoksi rasional: seseorang yang tidak hanya berusaha menjelaskan
filsafat dengan akal, tetapi juga membuktikan bahwa filsafat tidak bertentangan
dengan wahyu. Karyanya mencerminkan perdebatan yang intens dengan para teolog
seperti al-Ghazali dan para filsuf sebelumnya seperti al-Farabi dan Ibn Sina.¹
Berikut adalah aspek-aspek utama dari filsafat Ibn Rushd:
4.1.
Epistemologi dan Hubungan Akal-Wahyu
Ibn Rushd sangat
menekankan kompatibilitas antara akal (al-‘aql) dan wahyu (al-naql).
Dalam Fashl
al-Maqāl, ia berargumen bahwa pencarian filosofis merupakan bentuk
tertinggi dari ibadah intelektual, karena Al-Qur’an sendiri mendorong
penggunaan akal dalam memahami ciptaan Tuhan.² Ia menyatakan bahwa wahyu tidak
pernah bertentangan dengan akal sejati; jika ada kontradiksi yang tampak, maka
itu menuntut penafsiran (ta’wīl) terhadap teks suci secara
metaforis.³
Bagi Ibn Rushd,
terdapat tiga metode pendekatan terhadap kebenaran agama: metode retoris untuk
khalayak umum, metode dialektis untuk teolog, dan metode demonstratif (burhānī)
untuk para filosof.⁴ Ini menunjukkan visinya tentang hirarki epistemik yang
memposisikan filsafat sebagai pendekatan yang paling tinggi dalam memahami
realitas, selama tidak menyimpang dari prinsip dasar agama.
4.2.
Filsafat dan Teologi (Ilmu Kalam)
Ibn Rushd menolak
pendekatan ilmu kalam sebagai metode spekulatif yang lemah dari segi logika. Ia
mengkritik para mutakallimūn karena mendasarkan argumen teologis mereka pada
asumsi apriori yang tidak stabil.⁵ Kritik ini mencapai puncaknya dalam karyanya
Tahāfut
al-Tahāfut, di mana ia membantah satu per satu argumen al-Ghazali dalam
Tahāfut
al-Falāsifah.
Tiga doktrin utama
yang dituduh kufr oleh al-Ghazali—yakni (1) kekekalan alam, (2) ketidaktahuan
Tuhan terhadap partikular, dan (3) tiadanya kebangkitan jasmani—didekonstruksi
oleh Ibn Rushd dengan argumen filosofis yang canggih. Ia membela konsep
kekekalan alam dengan mengacu pada pemikiran Aristoteles tentang gerak abadi,
dan menyatakan bahwa alam tidak diciptakan dalam waktu, tetapi bersama dengan
waktu.⁶
4.3.
Etika dan Politik
Dalam filsafat
politik dan etika, Ibn Rushd mengembangkan gagasan yang dekat dengan Republik
karya Plato dan Politik karya Aristoteles. Dalam
karyanya Talkhīṣ
Siyāsah, ia menyatakan bahwa masyarakat ideal adalah yang dipimpin
oleh kaum cendekiawan—terutama filsuf—yang memahami hukum Tuhan sekaligus
prinsip rasionalitas universal.⁷
Ia menolak model
kekuasaan yang hanya mengandalkan tradisi tanpa rasionalitas, karena
menurutnya, pemimpin sejati adalah mereka yang menguasai hikmah
(kebijaksanaan) dan syarī‘ah. Etika, dalam
pandangannya, bersifat teleologis—yaitu bahwa semua tindakan manusia harus
diarahkan pada sa‘ādah (kebahagiaan), yang dicapai
melalui realisasi akal dan kebajikan moral.⁸
4.4.
Pandangan tentang Jiwa dan Akal
Salah satu aspek
paling kompleks dari filsafat Ibn Rushd adalah pandangannya mengenai jiwa (al-nafs)
dan akal (al-‘aql).
Ia mewarisi kerangka pemikiran Aristoteles tentang tiga tingkatan
jiwa—vegetatif, sensitif, dan rasional—namun menambahkan analisis mendalam
mengenai peran akal fa‘āl (intellectus agens).⁹
Dalam komentarnya
atas De Anima
karya Aristoteles, Ibn Rushd menjelaskan bahwa akal manusia pada dasarnya
adalah pasif dan bersifat potensial, dan hanya menjadi aktual ketika
bersentuhan dengan akal aktif. Dalam hal ini, Ibn
Rushd berbeda dari Ibn Sina yang berpendapat bahwa jiwa bersifat individual dan
abadi; Ibn Rushd justru menyatakan bahwa keabadian bersifat universal melalui
penyatuan dengan akal aktif.¹⁰
Pandangannya ini
memunculkan kontroversi besar, baik di dunia Islam maupun Barat, karena
mengisyaratkan bahwa identitas individual manusia tidak kekal setelah
kematian—pandangan yang ditolak oleh mayoritas teolog Islam dan Kristen.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 280–282.
[2]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden:
Brill, 1959), 1–5.
[3]
George F. Hourani, “The Rationalist Ethics of Averroes,” Muslim
World 43, no. 3 (1953): 183–194.
[4]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 1988), 98.
[5]
Charles E. Butterworth, “Averroes’ Critique of Kalam,” Islamic
Studies 15, no. 2 (1976): 109–125.
[6]
Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Simon van den Bergh
(London: Luzac & Co., 1954), 24–31.
[7]
Roger Arnaldez, Averroès: Un rationaliste en Islam (Paris:
Albin Michel, 1998), 117–120.
[8]
Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect
(New York: Oxford University Press, 1992), 372–375.
[9]
Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Nafs, ed. Ahmed Hasnawi (Beirut:
Dar al-Machreq, 1994), 75–85.
[10]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition:
Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill,
2001), 252–254.
5.
Pengaruh Ibn Rushd
Meskipun pemikiran
Ibn Rushd pada masanya tidak selalu diterima secara luas dalam dunia Islam,
kontribusinya justru memiliki pengaruh transhistoris yang luar biasa—baik dalam
lingkungan Islam maupun dalam tradisi pemikiran Eropa Latin. Karya-karyanya
membentuk salah satu jembatan filosofis antara dunia Islam dan Barat, dan
menjadikannya salah satu tokoh sentral dalam dialog antara akal dan wahyu.
5.1.
Penerimaan di Dunia Islam
Di dunia Islam,
pemikiran Ibn Rushd menerima tanggapan yang beragam. Di Andalusia dan Afrika
Utara, khususnya di kalangan intelektual seperti Ibn Tufail dan beberapa ulama
rasionalis, pemikirannya disambut dengan antusiasme terbatas. Namun, secara
umum, pendekatan rasional Ibn Rushd—terutama dalam membela kekekalan alam dan
dalam kritiknya terhadap ilmu kalam—tidak banyak mendapatkan dukungan luas.¹
Salah satu penyebab
utama lemahnya penerimaan ini adalah karena Ibn Rushd dianggap terlalu dekat
dengan filsafat Yunani dan kurang akomodatif terhadap pemikiran kalam yang saat
itu mendominasi diskursus keagamaan. Kalangan tradisionalis lebih memilih
pemikiran teologis yang bersifat tekstual (naqlī) dan menganggap filsafat
sebagai ancaman terhadap kemurnian akidah.² Bahkan setelah wafatnya, sebagian
karya Ibn Rushd mengalami sensor, pembakaran, dan pengabaian dalam lingkungan
intelektual Islam selama berabad-abad.
Namun demikian,
warisan intelektual Ibn Rushd tetap hidup dalam karya-karya hukum seperti Bidayat
al-Mujtahid, yang masih dipelajari dalam tradisi Maliki.³ Selain
itu, dalam abad ke-20 dan 21, pemikirannya mengalami kebangkitan kembali,
terutama dalam konteks reformasi pemikiran Islam yang menekankan pentingnya
akal dan interpretasi kontekstual terhadap teks-teks suci.
5.2.
Pengaruh di Dunia Barat: Averroisme
Latin
Di Eropa Barat,
pengaruh Ibn Rushd bahkan lebih signifikan. Melalui penerjemahan karya-karyanya
ke dalam bahasa Latin—dimulai sejak abad ke-12 oleh Gerard of Cremona dan
Michael Scot—pemikiran Ibn Rushd masuk ke universitas-universitas Kristen di
Paris, Bologna, dan Padua.⁴ Di sana, ia dikenal sebagai Averroes,
dan disebut sebagai “The Commentator,” karena otoritasnya dalam menjelaskan
Aristoteles.
Averroisme Latin
berkembang sebagai sebuah mazhab filsafat yang mengedepankan pemisahan antara
filsafat dan teologi. Salah satu gagasan kontroversial yang dikembangkan dari
Ibn Rushd adalah doktrin tentang "double truth" (dua
kebenaran): bahwa kebenaran filsafat bisa eksis secara mandiri dari kebenaran
teologi.⁵ Gagasan ini menimbulkan perdebatan sengit di antara teolog Kristen,
dan mendapat kritik keras dari Thomas Aquinas, yang berusaha menyatukan
filsafat Aristotelian dengan ajaran Kristen dalam karyanya Summa
Theologica.⁶
Meskipun ajaran
Averroisme kemudian dikutuk oleh Gereja Katolik, pengaruhnya tetap bertahan dan
menjadi benih bagi munculnya semangat rasionalisme dan humanisme dalam
Renaissance. Dalam konteks ini, Ibn Rushd memainkan peran penting sebagai
katalisator dalam kebangkitan intelektual Eropa.
5.3.
Warisan Filsafat Universal
Pengaruh Ibn Rushd
tidak terbatas pada dunia Islam dan Kristen Latin. Di kalangan filsuf Yahudi
seperti Maimonides, ide-ide Ibn Rushd turut membentuk pendekatan rasional
terhadap teks-teks keagamaan Yahudi.⁷ Selain itu, sejumlah pemikir modern,
seperti Ernest Renan dan Leo Strauss, mengakui peran Ibn Rushd dalam membuka
jalan bagi pencerahan dan sekularisasi dalam filsafat politik modern.⁸
Dalam konteks pemikiran
Islam kontemporer, tokoh seperti Muhammad Abduh, Nasr Hamid Abu Zayd, dan
Mohammed Arkoun banyak mengacu pada Ibn Rushd dalam upaya merumuskan kerangka
teologi yang terbuka terhadap akal dan kebebasan berpikir.⁹ Dengan demikian,
warisan Ibn Rushd tetap relevan dalam wacana modern tentang pluralisme,
kebebasan berpikir, dan rekonstruksi pemikiran Islam.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 1988), 113–115.
[2]
Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism
(Oxford: Oneworld, 1997), 85.
[3]
Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid, trans. Imran Ahsan Khan Nyazee
(Reading: Garnet Publishing, 1994), vol. 1, xii.
[4]
Charles E. Butterworth, “Averroes’ Impact on Scholastic Thought,” Islamic
Studies 15, no. 2 (1976): 139–142.
[5]
Amos Bertolacci, “Averroes and the Latin Averroists,” in The Oxford
Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled El-Rouayheb and Sabine
Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016), 409–412.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton Pegis (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1955), I.9.
[7]
Steven Harvey, “Averroes in Jewish Philosophy,” in Medieval Islamic
Philosophical Writings, ed. Muhammad Ali Khalidi (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), 215–230.
[8]
Leo Strauss, Persecution and the Art of Writing (Chicago:
University of Chicago Press, 1952), 45–47.
[9]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 92–95.
6.
Relevansi Pemikiran Ibn Rushd di Era Kontemporer
Pemikiran Ibn Rushd,
meskipun lahir dalam konteks abad ke-12, menunjukkan vitalitas dan relevansi
yang luar biasa dalam menjawab berbagai persoalan dunia kontemporer. Hal ini
tidak hanya terkait dengan kepakarannya dalam filsafat, tetapi juga karena
keberaniannya membela rasionalitas, kebebasan berpikir, dan harmoni antara
agama dan akal. Dalam dunia yang semakin kompleks dan pluralistik,
gagasan-gagasan Ibn Rushd menjadi sumber inspirasi penting dalam membangun
kerangka pemikiran keislaman yang terbuka, inklusif, dan berbasis nalar.
6.1.
Rasionalitas dalam Penafsiran Agama
Salah satu
kontribusi utama Ibn Rushd yang paling relevan saat ini adalah pembelaannya
terhadap akal sebagai instrumen penting dalam memahami wahyu. Dalam Fashl
al-Maqāl, ia menyatakan bahwa pemikiran filosofis tidak
bertentangan dengan syariat, bahkan menjadi kewajiban bagi mereka yang memiliki
kemampuan untuk melakukannya secara metodologis.¹ Pendekatan ini sangat relevan
dalam konteks kontemporer, di mana tantangan terhadap interpretasi literal
terhadap teks suci sering kali menjadi sumber konflik.
Para pemikir
reformis modern seperti Muhammad Abduh dan Nasr Hamid Abu Zayd mengadopsi
pendekatan Ibn Rushd untuk menegaskan bahwa ijtihad dan penalaran rasional
harus diberi ruang dalam kehidupan umat Islam.² Dalam dunia di mana ekstremisme
sering tumbuh dari pembacaan sempit terhadap teks agama, warisan Ibn Rushd
menghadirkan paradigma yang lebih dialogis dan moderat.
6.2.
Dialog Antar-Peradaban
Pemikiran Ibn Rushd
juga menawarkan model epistemologis yang dapat digunakan sebagai dasar bagi
dialog antar-agama dan antar-peradaban. Ia mengembangkan argumen bahwa
kebenaran adalah universal, dan bahwa jalan untuk mencapainya bisa berbeda
tetapi tetap menuju pada satu tujuan yang sama.³ Gagasan ini sangat penting
dalam membangun pemahaman lintas budaya dan agama di dunia global yang saling
terhubung.
Dalam konteks
hubungan antara Islam dan Barat, Ibn Rushd menjadi simbol dari masa ketika
peradaban Islam menjadi jembatan penting bagi perkembangan ilmu dan filsafat di
Eropa.⁴ Dengan demikian, pemikiran Ibn Rushd dapat dijadikan landasan filosofis
bagi upaya-upaya kontemporer dalam membangun hubungan yang lebih inklusif
antara dunia Islam dan dunia Barat, serta menumbuhkan semangat saling menghargai
perbedaan.
6.3.
Fondasi Sekularisme dan Humanisme
Modern
Beberapa filsuf
kontemporer Barat seperti Leo Strauss dan Ernest Renan melihat Ibn Rushd
sebagai salah satu akar dari sekularisme modern, karena keberaniannya
memisahkan antara ranah wahyu dan filsafat tanpa merendahkan salah satunya.⁵
Gagasannya tentang keuniversalan akal, keabadian kebenaran filosofis, serta
kebebasan berpikir menjadi fondasi bagi munculnya humanisme rasional yang
menjadi karakter khas zaman Pencerahan di Eropa.
Bagi dunia Muslim
kontemporer, pengembangan teologi yang rasional dan etika berbasis kebebasan
individu tetap menjadi tantangan. Ibn Rushd, dengan pemikirannya yang
menekankan pentingnya penalaran kritis, dapat menjadi inspirasi untuk membangun
fondasi teologis yang mendukung demokrasi, hak asasi manusia, dan ilmu
pengetahuan modern.⁶
6.4.
Relevansi dalam Pendidikan dan
Kebudayaan Islam
Dalam bidang
pendidikan, Ibn Rushd mengajarkan pentingnya logika dan ilmu sebagai bagian
dari kurikulum keislaman.⁷ Hal ini sangat krusial di tengah sistem pendidikan
di banyak negara Muslim yang masih menekankan hafalan tanpa penalaran kritis.
Kembali kepada semangat Ibn Rushd berarti mengembalikan tradisi pendidikan
Islam yang rasional dan multidisipliner—sebuah tradisi yang dahulu pernah
mengantarkan dunia Islam ke masa keemasan ilmu pengetahuan.
Penutup
Sementara
Relevansi pemikiran
Ibn Rushd bukan sekadar wacana historis, tetapi justru menjadi kebutuhan
mendesak di tengah tantangan zaman. Baik dalam upaya menafsirkan agama secara
kontekstual, membangun dialog antaragama, maupun meneguhkan nilai-nilai
rasionalisme dalam ruang publik, Ibn Rushd hadir sebagai contoh cemerlang dari
tradisi keilmuan Islam yang bersifat terbuka, argumentatif, dan humanistik.
Footnotes
[1]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F. Hourani (Leiden:
Brill, 1959), 4–6.
[2]
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic
Hermeneutics (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 12–14.
[3]
Mohammed Arkoun, Islam: To Reform or to Subvert? (London: Saqi
Books, 2006), 134–137.
[4]
George Makdisi, “The Transmission of Philosophy from Islam to the
West,” Islamic Studies 3, no. 4 (1964): 320–329.
[5]
Leo Strauss, Persecution and the Art of Writing (Chicago:
University of Chicago Press, 1952), 45–47.
[6]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (San Francisco: HarperOne, 2005), 87–89.
[7]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 153–155.
7.
Kesimpulan
Ibn Rushd (Averroes) merupakan sosok kunci dalam
sejarah filsafat Islam klasik yang berhasil mempertemukan dua kutub besar
pemikiran: wahyu dan akal, Islam dan filsafat Yunani. Melalui karya-karyanya
yang mendalam dan argumentatif, seperti Fashl al-Maqāl dan Tahāfut
al-Tahāfut, ia menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan esensial antara
filsafat dan agama, asalkan keduanya dipahami dengan pendekatan yang benar.¹
Sebagai komentator besar Aristoteles, Ibn Rushd
tidak hanya memperluas horizon intelektual dunia Islam, tetapi juga mewariskan
pengaruh yang mendalam bagi pemikiran Barat, terutama dalam tradisi skolastik
Kristen melalui Averroisme Latin.² Di saat pemikiran rasional mulai terkikis
oleh pendekatan teologis yang kaku, Ibn Rushd berdiri sebagai pembela filsafat
dan logika sebagai sarana legitim untuk mencapai pemahaman yang mendalam
tentang eksistensi, Tuhan, dan hukum moral.³
Dalam dunia Islam, meskipun penerimaan terhadap
filsafat Ibn Rushd tidak sebesar terhadap tokoh-tokoh seperti al-Ghazali atau
Ibn Sina, warisan intelektualnya tetap abadi dalam bidang fikih, kedokteran,
dan pendidikan.⁴ Lebih dari itu, pemikirannya mengalami kebangkitan kembali
dalam konteks modern, ketika dunia Muslim mulai mencari fondasi teoretis untuk
rekonstruksi pemikiran Islam yang sejalan dengan nilai-nilai rasional,
demokratis, dan terbuka terhadap sains.
Relevansi Ibn Rushd di era kontemporer sangat
nyata. Pendekatannya terhadap interpretasi agama yang berbasis akal, argumennya
tentang pluralitas pendekatan dalam memahami kebenaran, serta keberaniannya
dalam mempertahankan kebebasan berpikir menjadikannya figur sentral dalam
wacana Islam modern yang progresif.⁵ Dalam konteks global saat ini, di mana
ekstremisme, intoleransi, dan anti-intelektualisme menjadi tantangan besar,
pemikiran Ibn Rushd menawarkan jalan alternatif untuk membangun peradaban Islam
yang cerdas, inklusif, dan berakar kuat pada tradisi ilmiah.
Oleh karena itu, menghidupkan kembali warisan Ibn
Rushd bukan hanya tugas akademis, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral untuk
memulihkan rasionalitas sebagai inti dari keberagamaan yang sehat. Sebagaimana
ia tegaskan dalam Fashl al-Maqāl, jalan menuju kebenaran adalah satu,
tetapi jalannya bisa beragam sesuai kapasitas nalar manusia.⁶ Dalam semangat
itulah, Ibn Rushd tetap hidup—bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai
inspirasi masa depan.
Footnotes
[1]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George F.
Hourani (Leiden: Brill, 1959), 1–5.
[2]
Amos Bertolacci, “Averroes and the Latin
Averroists,” in The Oxford Handbook of Islamic Philosophy, ed. Khaled
El-Rouayheb and Sabine Schmidtke (Oxford: Oxford University Press, 2016),
409–412.
[3]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy
(Oxford: Clarendon Press, 1988), 121–124.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
2nd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 284–285.
[5]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press,
1994), 94–96.
[6]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, 6–8.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, K. (2005). The
great theft: Wrestling Islam from the extremists. HarperOne.
Abu Zayd, N. H. (2004). Rethinking
the Qur’an: Towards a humanistic hermeneutics. Amsterdam: Humanistics
University Press.
Arkoun, M. (1994). Rethinking
Islam: Common questions, uncommon answers (R. D. Lee, Trans.). Boulder:
Westview Press.
Arkoun, M. (2006). Islam:
To reform or to subvert? London: Saqi Books.
Arnaldez, R. (1998). Averroès:
Un rationaliste en Islam. Paris: Albin Michel.
Aquinas, T. (1955). Summa
contra gentiles (A. Pegis, Trans.). Notre Dame: University of Notre Dame
Press.
Bertolacci, A. (2016).
Averroes and the Latin Averroists. In K. El-Rouayheb & S. Schmidtke (Eds.),
The Oxford handbook of Islamic philosophy (pp. 409–412). Oxford
University Press.
Butterworth, C. E. (1976).
Averroes’ critique of kalam. Islamic Studies, 15(2), 109–125.
Butterworth, C. E. (1976).
Averroes’ impact on scholastic thought. Islamic Studies, 15(2),
139–142.
Butterworth, C. E. (2020).
Averroes. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2020 Edition). https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/averroes/
Davidson, H. A. (1992). Alfarabi,
Avicenna, and Averroes on intellect: Their cosmologies, theories of the active
intellect, and theories of human intellect. Oxford University Press.
Fakhry, M. (2004). A
history of Islamic philosophy (2nd ed.). New York: Columbia University
Press.
Fakhry, M. (1997). Islamic
philosophy, theology and mysticism: A short introduction. Oxford:
Oneworld.
Gutas, D. (1998). Greek
thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and
early ʿAbbāsid society. London: Routledge.
Gutas, D. (2001). Avicenna
and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s
philosophical works. Leiden: Brill.
Harvey, S. (2005). Averroes
in Jewish philosophy. In M. A. Khalidi (Ed.), Medieval Islamic
philosophical writings (pp. 215–230). Cambridge: Cambridge University
Press.
Hourani, G. F. (1953). The
rationalist ethics of Averroes. Muslim World, 43(3), 183–194.
Ibn Rushd. (1954). Tahāfut
al-Tahāfut (S. van den Bergh, Ed.). London: Luzac & Co.
Ibn Rushd. (1959). Fasl
al-Maqāl (G. F. Hourani, Ed.). Leiden: Brill.
Ibn Rushd. (1994). Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (I. A. K. Nyazee, Trans., Vol. 1).
Reading: Garnet Publishing.
Ibn Rushd. (1994). Talkhīṣ
Kitāb al-Nafs (A. Hasnawi, Ed.). Beirut: Dar al-Machreq.
Leaman, O. (1988). Averroes
and his philosophy. Oxford: Clarendon Press.
Leaman, O. (1999). A
brief introduction to Islamic philosophy. Cambridge: Polity Press.
Leaman, O. (2002). An
introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Makdisi, G. (1964). The
transmission of philosophy from Islam to the West. Islamic Studies, 3(4),
320–329.
Strauss, L. (1952). Persecution
and the art of writing. Chicago: University of Chicago Press.
Lampiran: Daftar Karya Ibn Rushd (Averroes)
Berikut adalah daftar
karya Ibn Rushd (Averroes) yang mencerminkan luasnya minat dan
keahlian beliau di berbagai bidang ilmu, terutama filsafat, hukum Islam, teologi, kedokteran, dan astronomi.
Karya-karya ini dibagi berdasarkan kategori tematik, dan beberapa di antaranya
masih tersedia dalam bentuk manuskrip maupun terjemahan modern.
1.
Karya-Karya Filsafat
1)
Karya Asli (Orisinal)
·
Fashl al-Maqāl fī
mā bayna al-ḥikmah wa al-sharī‘ah min al-ittiṣāl ("Risalah
Pemisah antara Filsafat dan Syariah")
→ Sebuah pembelaan rasionalitas dalam Islam dan
pentingnya filsafat bagi umat Islam.
·
Tahāfut al-Tahāfut ("Kerancuan
terhadap 'Kerancuan para Filsuf'")
→ Jawaban atas Tahāfut al-Falāsifah
karya al-Ghazali, membela para filsuf dan filsafat Aristotelian.
·
Kitāb al-Kashf ‘an
Manāhij al-Adillah ("Penyingkapan Metodologi Argumen")
→ Karya filsafat teologis mengenai
prinsip-prinsip akidah Islam dengan pendekatan rasional.
·
Talkhīṣ Kitāb
al-Nafs (Paraphrase of Aristotle's De Anima)
→ Tafsir Ibn Rushd atas teori jiwa Aristoteles.
·
Talkhīṣ Kitāb
al-Siyāsah (Ringkasan Politik)
→ Ringkasan dan komentar atas Republik
Plato dari sudut pandang Islam dan filsafat politik.
2)
Komentar atas Karya Aristoteles (Komentar
Besar, Sedang, Pendek)
Ibn Rushd menulis tiga jenis komentar terhadap
karya Aristoteles:
·
Komentar
Besar (Tafsīr Kabīr)
Tafsīr Mā ba‘d al-Ṭabī‘ah (Metafisika)
Tafsīr al-Samā‘ wa al-‘Ālam (Filsafat
Alam)
Tafsīr al-Nafs (Psikologi/jiwa)
·
Komentar
Menengah (Talkhīṣ)
Talkhīṣ al-Burhān (Analytica Posteriora)
Talkhīṣ al-Jadal (Topika)
Talkhīṣ al-Samā‘ al-Ṭabī‘ī (Fisikawan)
·
Komentar
Pendek (Jawāmi‘)
Jawāmi‘ Syarḥ al-Manṭiq (Logika)
Jawāmi‘ al-Ta‘bīr (Hermeneutika)
2.
Karya dalam Ilmu Hukum
(Fiqh)
Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat
al-Muqtaṣid
→ Karya fikih komparatif besar yang menunjukkan
keluasan pengetahuan Ibn Rushd tentang berbagai mazhab.
3.
Karya dalam Ilmu
Kedokteran
Al-Kulliyyāt fī al-Ṭibb
(diterjemahkan ke Latin sebagai Colliget)
→ Buku kedokteran yang membahas prinsip-prinsip
umum kedokteran dalam tradisi Galenik.
4.
Karya dalam Astronomi
dan Ilmu Alam
·
Maqālah fī Ḥarakat
al-Falak ("Risalah tentang Gerakan Langit")
→ Karya astronomi yang membahas pandangan
kosmologis dan langit tetap.
·
Sharḥ Kitāb
Aristūṭālīs fī al-Samā‘ wa al-‘Ālam
→ Komentar atas De Caelo (tentang langit
dan dunia) karya Aristoteles.
5.
Karya Lain-lain
Fatāwā Ibn Rushd
→ Kumpulan fatwa hukum Islam (Maliki) yang
disandarkan pada pemikirannya sebagai qadhi dan faqih.
Catatan
Tambahan:
Banyak karya Ibn Rushd yang
sampai ke Barat melalui terjemahan Latin dan Ibrani, dan
beberapa bahkan hanya dikenal melalui versi terjemahan tersebut. Karya-karyanya
memiliki pengaruh luas, tidak hanya dalam konteks Islam, tetapi juga dalam
sejarah filsafat Barat dan Renaisans.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar