Sabtu, 10 Mei 2025

Filsafat Kontinental: Sejarah, Tokoh, dan Pengaruhnya dalam Wacana Modern

Filsafat Kontinental

Sejarah, Tokoh, dan Pengaruhnya dalam Wacana Modern


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif tradisi filsafat kontinental sebagai salah satu arus utama dalam pemikiran filsafat Barat modern. Berakar dari pemikiran Immanuel Kant dan Hegel, filsafat kontinental berkembang melalui berbagai aliran besar seperti fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutika, teori kritis, strukturalisme, dan post-strukturalisme. Artikel ini menyajikan pemetaan historis dan konseptual atas filsafat kontinental, membahas kontribusi tokoh-tokoh kunci seperti Nietzsche, Heidegger, Sartre, Foucault, dan Derrida, serta mengeksplorasi pengaruhnya terhadap ilmu sosial, humaniora, dan seni. Disoroti pula berbagai kritik dan kontroversi terhadap pendekatan kontinental, termasuk tuduhan relativisme, gaya penulisan yang sulit, serta keterputusan dari praksis sosial. Di sisi lain, filsafat kontinental dinilai tetap relevan dalam merespons tantangan kontemporer seperti krisis identitas, globalisasi, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan. Dengan pendekatan reflektif, historis, dan interdisipliner, artikel ini menunjukkan bahwa filsafat kontinental bukan sekadar warisan intelektual, melainkan instrumen kritis yang terus hidup dalam pergulatan pemikiran dan praksis modern.

Kata Kunci: Filsafat kontinental, fenomenologi, eksistensialisme, teori kritis, hermeneutika, dekonstruksi, modernitas, kritik sosial, pemikiran Eropa, relevansi kontemporer.


PEMBAHASAN

Menelusuri Akar dan Arah Pemikiran Filsafat Kontinental


1.           Pendahuluan

Filsafat kontinental merupakan salah satu arus utama dalam tradisi pemikiran Barat yang berkembang di daratan Eropa, khususnya di Jerman dan Prancis, sejak akhir abad ke-18. Istilah ini muncul sebagai bentuk kategorisasi terhadap gaya dan pendekatan filsafat yang berbeda secara metodologis maupun tematis dari filsafat analitik yang berkembang di dunia Anglo-Amerika. Meskipun istilah "filsafat kontinental" tidak sepenuhnya disepakati oleh para pemikir yang dikategorikan di dalamnya, klasifikasi ini tetap digunakan untuk merujuk pada sekelompok pemikiran yang menaruh perhatian besar pada sejarah, budaya, dan dimensi eksistensial manusia dalam refleksi filosofisnya¹.

Keberadaan filsafat kontinental dapat ditelusuri dari pengaruh Immanuel Kant dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang menekankan pentingnya subjek, kesadaran, dan sejarah dalam struktur realitas². Perkembangan selanjutnya tampak dalam pemikiran Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, hingga tokoh-tokoh strukturalis dan pascastrukturalis seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida. Aliran-aliran seperti fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutika, teori kritis, dan dekonstruksi turut membentuk spektrum filsafat kontinental, menjadikannya sangat kaya akan pendekatan reflektif, interpretatif, dan historis³.

Filsafat kontinental dikenal karena ketertarikannya terhadap totalitas historis dan kritik terhadap rasionalisme reduktif yang mendominasi tradisi positivistik. Hal ini menjadikannya sebagai filsafat yang tidak hanya mempertanyakan “apa yang nyata dan benar,” tetapi juga “bagaimana realitas itu dipahami dan didekonstruksi” dalam konteks sosial, politik, dan linguistik⁴. Oleh karena itu, kontribusinya tidak terbatas pada ranah akademik semata, tetapi juga menyentuh kritik budaya, teori sosial, sastra, hingga seni dan arsitektur modern⁵.

Mempelajari filsafat kontinental berarti menelusuri warisan intelektual Eropa yang terus berevolusi melalui krisis-krisis peradaban, pencarian makna subjektif, dan resistensi terhadap sistem-sistem dominan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural, pendekatan-pendekatan filsafat kontinental menjadi semakin relevan dalam membongkar asumsi-asumsi ideologis dan memperluas horizon pemahaman kita terhadap manusia dan masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pemetaan historis dan tematik filsafat kontinental, menelaah kontribusi para pemikir kunci, serta menggambarkan pengaruhnya dalam lanskap pemikiran kontemporer.


Footnotes

[1]                Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 1–3.

[2]                David West, Continental Philosophy: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 2010), 15–18.

[3]                Alan D. Schrift, ed., The History of Continental Philosophy, vol. 1–8 (Durham: Acumen Publishing, 2010), 1:12–20.

[4]                Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy (New York: Oxford University Press, 1996), 301–305.

[5]                Todd May, Philosophy of Foucault (Montreal: McGill-Queen's University Press, 2006), 9–14.


2.           Konsep Dasar dan Ciri Khas Filsafat Kontinental

Filsafat kontinental tidak hanya merupakan kategori geografis, tetapi juga mengandung makna metodologis dan tematik yang khas dalam dunia filsafat Barat. Secara umum, istilah ini digunakan untuk mengelompokkan sejumlah aliran dan tokoh pemikir yang berkembang terutama di daratan Eropa (kontinental), seperti Jerman, Prancis, dan Italia, dan yang secara historis berada dalam tradisi pasca-Kantian dan pasca-Hegelian¹.

Salah satu karakteristik utama filsafat kontinental adalah perhatiannya terhadap konteks historis, struktur sosial, dan eksistensi manusia dalam dimensi yang lebih luas. Tidak seperti filsafat analitik yang cenderung menekankan pada analisis bahasa, logika formal, dan argumentasi yang ketat, filsafat kontinental lebih bersifat reflektif, naratif, dan hermeneutik, dengan penekanan pada makna, pengalaman, dan interpretasi².

Menurut Simon Critchley, filsafat kontinental “tidak bisa dilepaskan dari latar sejarah dan kondisi sosial yang membentuk pemikiran,” yang berarti bahwa filsuf kontinental melihat filsafat sebagai kegiatan historis yang senantiasa terikat pada konteks³. Hal ini juga tampak dalam minat besar terhadap konsep totalitas, yakni upaya untuk memahami realitas dalam keseluruhannya—bukan sekadar entitas yang terfragmentasi atau terisolasi secara analitik⁴.

Secara epistemologis, filsafat kontinental sering kali mempertanyakan fondasi rasionalitas modern dan objektivitas ilmiah. Para pemikir seperti Nietzsche dan Heidegger, misalnya, mengkritik “ilusi netralitas” dalam ilmu pengetahuan dan mendorong pembacaan baru atas subjektivitas dan kebenaran⁵. Di sinilah muncul dimensi kritis filsafat kontinental yang kerap berperan sebagai counter-discourse terhadap dominasi positivisme dan rasionalisme teknokratik.

Ciri khas lainnya adalah keterkaitan filsafat kontinental dengan estetika, sastra, dan budaya, sehingga banyak karya filsuf kontinental yang bersifat “gaya tinggi” (high style), penuh metafora, dan menantang pembacaan literal. Jacques Derrida, contohnya, menulis dengan gaya dekonstruktif yang membongkar asumsi metafisik di balik struktur bahasa dan makna⁶.

Adapun pendekatan filsafat kontinental biasanya bersifat interdisipliner dan interpretatif, melintasi batas antara filsafat, teologi, psikologi, sosiologi, serta ilmu budaya. Pendekatan ini memungkinkan refleksi yang lebih kaya terhadap kompleksitas realitas manusia, baik dalam konteks personal maupun struktural⁷.

Karena itu, filsafat kontinental tidak hanya memproduksi sistem-sistem filosofis, tetapi juga membuka ruang bagi refleksi eksistensial, kritik ideologi, dan kesadaran historis. Inilah yang menjadikannya tetap relevan dalam merespons tantangan kontemporer, mulai dari krisis makna, politik identitas, hingga dehumanisasi dalam masyarakat modern.


Footnotes

[1]                David West, Continental Philosophy: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 2010), 4–7.

[2]                Michael Rosen, “Continental Philosophy from Hegel,” in The Oxford Handbook of Continental Philosophy, ed. Brian Leiter and Michael Rosen (Oxford: Oxford University Press, 2007), 7–10.

[3]                Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 3–4.

[4]                Robert Solomon and Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy (New York: Oxford University Press, 1996), 298–299.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–25.

[6]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (London: Routledge, 1978), xi–xv.

[7]                Alan D. Schrift, ed., The History of Continental Philosophy, vol. 1 (Durham: Acumen Publishing, 2010), 9–14.


3.           Sejarah Perkembangan Filsafat Kontinental

Perkembangan filsafat kontinental berlangsung dalam beberapa tahap historis yang mencerminkan transformasi besar dalam pemikiran Eropa sejak akhir abad ke-18 hingga abad ke-21. Akar dari tradisi ini dapat ditelusuri pada pemikiran Immanuel Kant, yang dalam Critique of Pure Reason (1781) merevolusi filsafat modern dengan menempatkan subjek sebagai pusat struktur pengetahuan¹. Kant menegaskan bahwa pengalaman manusia ditentukan oleh kategori-kategori apriori, sehingga pengetahuan bukanlah sekadar refleksi realitas objektif, tetapi konstruksi kesadaran aktif².

Perkembangan lanjut muncul dalam pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang mengembangkan sistem dialektika sejarah dan menyatakan bahwa kebenaran tidak bersifat statis, melainkan terungkap melalui proses historis yang melibatkan kontradiksi dan rekonsiliasi³. Hegel menempatkan rasionalitas dalam sejarah, menjadikan realitas sebagai proses yang rasional dan teleologis. Hegelianisme inilah yang kemudian menjadi titik tolak, baik untuk pengikut maupun pengkritiknya, dalam lanskap pemikiran kontinental.

Reaksi terhadap sistem hegelian datang dari Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche, yang memperkenalkan pendekatan eksistensial dan kritik terhadap rasionalisme sistemik. Kierkegaard menekankan subjektivitas, kecemasan, dan lompatan iman sebagai inti eksistensi manusia⁴, sedangkan Nietzsche mengkritik moralitas tradisional, metafisika Barat, dan merumuskan gagasan “kematian Tuhan” serta kehendak untuk berkuasa sebagai basis ontologis baru⁵. Kedua tokoh ini secara fundamental memengaruhi arah eksistensialisme dan dekonstruksi.

Memasuki abad ke-20, filsafat kontinental mengalami diversifikasi melalui lahirnya fenomenologi, yang dipelopori oleh Edmund Husserl. Ia mengajukan epoche dan intensionalitas kesadaran sebagai metode untuk mengakses hakikat pengalaman murni⁶. Pengaruh fenomenologi berkembang dalam pemikiran Martin Heidegger, murid Husserl, yang menggeser fokus dari kesadaran menuju ontologi fundamental dalam karyanya Being and Time (1927), dengan konsep kunci seperti Dasein, keberadaan otentik, dan keterlemparan dalam dunia⁷.

Pada masa yang sama, muncul pula teori kritis dari Mazhab Frankfurt (Theodor Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse), yang menggabungkan tradisi Hegel dan Marx dalam rangka menganalisis masyarakat modern secara kritis, terutama menyangkut dominasi kapitalisme, teknologi, dan budaya massa⁸. Mereka berusaha memperlihatkan bagaimana struktur sosial membentuk kesadaran dan mempertahankan hegemoni.

Lalu pada pertengahan hingga akhir abad ke-20, filsafat kontinental berkembang ke arah strukturalisme dan post-strukturalisme, dengan tokoh seperti Claude Lévi-Strauss, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Gilles Deleuze. Strukturalisme menekankan struktur bahasa dan sistem simbolik sebagai dasar kehidupan sosial, sedangkan post-strukturalisme, terutama dalam karya Derrida, menggugat stabilitas makna dan mengembangkan metode dekonstruksi untuk membongkar asumsi metafisis dalam teks dan ideologi⁹.

Memasuki abad ke-21, filsafat kontinental tetap berpengaruh dalam wacana lintas disiplin. Aliran-aliran seperti hermeneutika, filsafat postmodern, dan dekonstruksi etis berkembang di tangan pemikir seperti Paul Ricoeur, Emmanuel Levinas, dan Alain Badiou. Dengan demikian, sejarah filsafat kontinental mencerminkan dinamika yang terus bergeser dari pencarian sistem menuju kritik terhadap sistem itu sendiri, dengan tetap mempertahankan komitmen terhadap refleksi mendalam atas kondisi manusia dalam sejarah.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[2]                David West, Continental Philosophy: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 2010), 22–24.

[3]                Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 26–30.

[4]                Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1989), 42–45.

[5]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181–183.

[6]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 59–65.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.

[8]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–97.

[9]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 26–28.


4.           Aliran dan Arus Utama dalam Filsafat Kontinental

Filsafat kontinental tidaklah bersifat monolitik, melainkan terdiri dari berbagai aliran pemikiran yang memiliki metodologi dan fokus kajian yang beragam, namun tetap terhubung melalui perhatian terhadap sejarah, pengalaman manusia, dan kritik terhadap rasionalisme abstrak. Beberapa arus utama yang membentuk struktur filsafat kontinental mencakup fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutika, teori kritis, strukturalisme, dan post-strukturalisme.

4.1.       Fenomenologi

Fenomenologi, yang dimulai oleh Edmund Husserl, berupaya mengembalikan filsafat kepada “hal-hal itu sendiri” (zu den Sachen selbst) dengan menyelidiki struktur kesadaran dan bagaimana makna terbentuk dalam pengalaman langsung¹. Metodologi epoche dan reduksi fenomenologis dikembangkan untuk menanggalkan asumsi metafisik dan menggali hakikat fenomena sebagaimana hadir dalam kesadaran². Fenomenologi kemudian berkembang dalam pemikiran Martin Heidegger, Maurice Merleau-Ponty, dan Jean-Paul Sartre, yang menekankan keberadaan manusia (Dasein), tubuh, dan kebebasan sebagai pusat eksistensi.

4.2.       Eksistensialisme

Eksistensialisme menekankan pengalaman subjektif, kebebasan individu, kecemasan, dan keterlemparan dalam dunia. Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche dianggap sebagai pelopor aliran ini, yang kemudian dikembangkan lebih sistematis oleh Heidegger, Sartre, dan Albert Camus³. Eksistensialisme tidak membangun sistem metafisik baru, melainkan menggugat sistem yang meniadakan keberadaan unik dan keputusan eksistensial manusia⁴.

4.3.       Hermeneutika

Hermeneutika, sebagai teori interpretasi, berkembang dari tradisi teologis dan hukum, dan kemudian dimatangkan secara filosofis oleh Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, dan Paul Ricoeur. Hermeneutika berupaya memahami makna teks, tindakan, dan sejarah melalui proses dialektis antara bagian dan keseluruhan yang disebut lingkaran hermeneutik⁵. Gadamer, dalam Truth and Method, menekankan pentingnya pra-pemahaman (pre-understanding) dan historisitas kesadaran dalam setiap proses interpretasi⁶.

4.4.       Teori Kritis (Mazhab Frankfurt)

Teori kritis merupakan respons terhadap kegagalan rasionalitas modern dalam mewujudkan kebebasan. Tokoh-tokoh seperti Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, dan kemudian Jürgen Habermas, mengembangkan kritik terhadap kapitalisme, budaya massa, dan dominasi teknologis yang mengasingkan manusia⁷. Mereka memadukan Marx, Freud, dan Hegel untuk membongkar ideologi yang tersembunyi dalam sistem sosial, serta merumuskan rasionalitas komunikatif sebagai basis emansipasi sosial⁸.

4.5.       Strukturalisme

Strukturalisme berkembang dari linguistik Ferdinand de Saussure dan diterapkan dalam antropologi oleh Claude Lévi-Strauss, yang menyatakan bahwa struktur berpikir manusia bersifat universal dan terwujud dalam mitos, bahasa, dan kebudayaan⁹. Strukturalisme kemudian memengaruhi filsafat, psikoanalisis, dan kajian budaya, serta menjadi fondasi bagi pergeseran menuju post-strukturalisme.

4.6.       Post-Strukturalisme dan Dekonstruksi

Post-strukturalisme muncul sebagai reaksi terhadap anggapan stabilitas makna dalam strukturalisme. Jacques Derrida mengembangkan konsep dekonstruksi untuk menunjukkan bahwa makna selalu berada dalam penundaan (différance) dan bahwa teks tidak memiliki pusat tetap¹⁰. Michel Foucault, di sisi lain, mengeksplorasi hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan melalui pendekatan genealogis terhadap institusi, wacana, dan praktik sosial¹¹. Post-strukturalisme membuka ruang bagi kritik terhadap metafisika Barat dan menjungkirbalikkan asumsi tentang subjek, identitas, dan kebenaran.

Aliran-aliran ini tidak berdiri sendiri, tetapi sering saling berinteraksi dan membentuk mosaik pemikiran yang kompleks dalam tradisi kontinental. Masing-masing berkontribusi terhadap pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan manusia, sejarah, dan struktur sosial yang membentuk kesadaran kita.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 37–39.

[2]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 9–13.

[3]                David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford: Blackwell Publishers, 1999), 18–23.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–27.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 268–273.

[6]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 8–10.

[7]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 93–100.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 274–278.

[9]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 206–210.

[10]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.

[11]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–30.


5.           Tokoh-Tokoh Kunci dan Kontribusinya

Filsafat kontinental dibentuk oleh kontribusi sejumlah tokoh besar yang tidak hanya memengaruhi jalannya sejarah filsafat Eropa, tetapi juga memberi dasar bagi perkembangan pemikiran humaniora dan ilmu sosial modern. Pemikiran mereka mencerminkan upaya mendalam untuk memahami hakikat realitas, eksistensi manusia, dan struktur makna dalam konteks sejarah dan budaya. Berikut adalah beberapa tokoh kunci dan kontribusinya dalam tradisi kontinental:

5.1.       Immanuel Kant (1724–1804)

Sebagai fondasi dari filsafat kontinental modern, Kant menempatkan subjek rasional sebagai pusat dalam proses pengetahuan. Dalam Critique of Pure Reason, ia mengembangkan gagasan bahwa pengalaman tidak ditentukan hanya oleh objek luar, melainkan dibentuk oleh struktur apriori dari akal budi manusia¹. Konsep revolusioner ini, yang dikenal sebagai kopernikan revolusi dalam filsafat, mengantar pada tradisi reflektif dan kritis terhadap objektivisme empiris.

5.2.       Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831)

Hegel memperluas kerangka Kant melalui sistem dialektika yang menempatkan sejarah sebagai ekspresi perkembangan rasionalitas dunia. Dalam Phenomenology of Spirit, Hegel menggambarkan perjalanan kesadaran manusia menuju kebebasan melalui tahap-tahap kontradiksi dan sintesis². Konsep “roh absolut” dan sejarah sebagai manifestasi logika ini sangat berpengaruh pada Marx, teori kritis, dan eksistensialisme.

5.3.       Friedrich Nietzsche (1844–1900)

Nietzsche menantang nilai-nilai metafisika dan moralitas tradisional yang menurutnya telah kehilangan daya hidup. Dalam Thus Spoke Zarathustra dan The Genealogy of Morals, ia merumuskan ide tentang “kematian Tuhan”, kehendak untuk berkuasa, dan Übermensch sebagai bentuk kritik radikal terhadap nihilisme³. Gaya aforistik dan genealogisnya menginspirasi post-strukturalisme, dekonstruksi, dan psikoanalisis kritis.

5.4.       Martin Heidegger (1889–1976)

Heidegger memperkenalkan analisis ontologi eksistensial dalam Being and Time, di mana ia menjelaskan struktur dasar dari Dasein—manusia sebagai makhluk yang sadar akan keberadaannya sendiri⁴. Heidegger menggugat cara berpikir metafisika Barat yang menurutnya telah melupakan makna ada (Sein), dan membuka jalan bagi hermeneutika, eksistensialisme, dan fenomenologi lanjutan.

5.5.       Jean-Paul Sartre (1905–1980)

Sartre mengembangkan eksistensialisme ateistik dalam Being and Nothingness, dengan menekankan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, yakni manusia diciptakan tanpa tujuan dan bertanggung jawab penuh atas pembentukan jati dirinya⁵. Sartre juga aktif secara politik dan mengaitkan filsafatnya dengan perjuangan kebebasan dan penolakan terhadap determinisme.

5.6.       Michel Foucault (1926–1984)

Foucault menggagas pendekatan genealogi dalam menganalisis hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan subjek. Dalam karya seperti Discipline and Punish dan The History of Sexuality, ia menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah tidak netral, melainkan terikat pada mekanisme kekuasaan⁶. Konsep seperti panopticon, wacana, dan rejim kebenaran menjadi kunci dalam kajian budaya dan ilmu sosial.

5.7.       Jacques Derrida (1930–2004)

Derrida mengembangkan dekonstruksi, sebuah metode membaca yang menunjukkan bahwa makna dalam teks tidak pernah stabil dan selalu ditunda (différance)⁷. Dalam Of Grammatology, ia meruntuhkan kepercayaan pada kehadiran makna dan pusat tetap dalam bahasa, sekaligus menggugat asumsi metafisik dalam tradisi Barat. Karya Derrida sangat berpengaruh dalam kajian sastra, hukum, teologi, dan feminisme.

5.8.       Jürgen Habermas (1929– )

Sebagai penerus Mazhab Frankfurt, Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif sebagai upaya menyelamatkan rasionalitas dari dominasi sistemik. Dalam The Theory of Communicative Action, ia mengusulkan rasionalitas yang berakar pada komunikasi bebas dari distorsi sebagai landasan etika diskursus dan demokrasi deliberatif⁸. Habermas berupaya merekonsiliasi modernitas dengan proyek emansipasi sosial.

Tokoh-tokoh di atas, meskipun berbeda pendekatan, sama-sama berkontribusi terhadap pemahaman filosofis yang lebih mendalam tentang subjektivitas, sejarah, dan struktur makna. Mereka menandai pergeseran dari sistem metafisik universal menuju refleksi atas kondisi eksistensial, historis, dan kultural manusia modern.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[2]                G. W. F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 104–109.

[3]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 3–5.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 70–75.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–200.

[7]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 274–278.


6.           Pengaruh Filsafat Kontinental dalam Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni

Filsafat kontinental memiliki pengaruh yang mendalam dan luas terhadap perkembangan ilmu sosial, humaniora, dan seni, terutama sejak paruh kedua abad ke-20. Gagasan-gagasan yang lahir dari tradisi ini telah melampaui batas-batas disiplin filsafat formal dan membentuk kerangka berpikir dalam teori sastra, studi budaya, antropologi, sosiologi, teori politik, dan praktik seni kontemporer.

6.1.       Ilmu Sosial dan Teori Kritis

Filsafat kontinental memperkaya ilmu sosial melalui pengembangan teori kritis, terutama oleh Mazhab Frankfurt. Pemikiran Adorno, Horkheimer, dan Marcuse membongkar rasionalitas instrumental dalam kapitalisme modern yang menurut mereka mengarah pada dominasi dan alienasi manusia¹. Mereka memperkenalkan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat, sosiologi, dan psikoanalisis dalam rangka menganalisis relasi antara ideologi, ekonomi, dan struktur kekuasaan². Pemikiran Jürgen Habermas selanjutnya membuka jalan bagi teori komunikasi sebagai fondasi etika sosial dan demokrasi deliberatif³.

6.2.       Kajian Budaya dan Pascastrukturalisme

Filsafat kontinental sangat berperan dalam membentuk cultural studies, khususnya melalui pemikiran Foucault, Derrida, dan Deleuze. Foucault memengaruhi kajian sejarah sosial dan institusional melalui pendekatannya terhadap wacana, kekuasaan, dan tubuh. Ia menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, melainkan terstruktur oleh relasi kekuasaan⁴. Di sisi lain, Derrida mengguncang dasar-dasar teori sastra dan linguistik melalui dekonstruksi, yang memungkinkan pembacaan ulang terhadap teks secara subversif dan kritis⁵.

Dalam konteks kajian media dan identitas, teori post-strukturalis turut membentuk wacana tentang gender dan seksualitas. Judith Butler, yang banyak terinspirasi oleh Derrida dan Foucault, mengembangkan teori performativitas gender yang berpengaruh besar dalam kajian feminis dan queer⁶.

6.3.       Hermeneutika dan Ilmu Humaniora

Hermeneutika filosofis, terutama dari Gadamer dan Ricoeur, memberikan kontribusi signifikan terhadap metode interpretasi dalam sejarah, teologi, dan studi teks. Konsep lingkaran hermeneutik Gadamer menekankan bahwa pemahaman selalu bersifat historis dan terbentuk melalui dialog antara pembaca dan teks⁷. Ricoeur, melalui teori naratif dan simbol, memperluas cakupan hermeneutika ke bidang psikologi, etika, dan politik, serta menunjukkan bagaimana makna dibangun dalam struktur naratif pengalaman manusia⁸.

6.4.       Seni, Arsitektur, dan Estetika Kontemporer

Dalam dunia seni, filsafat kontinental telah menginspirasi bentuk-bentuk ekspresi estetis yang radikal dan reflektif. Pemikiran Heidegger tentang seni sebagai pengungkapan kebenaran (aletheia) menggeser fokus estetika dari penilaian subjektif menjadi pengalaman ontologis⁹. Deleuze dan Guattari, melalui A Thousand Plateaus, menawarkan konsep rizoma, deterritorialisasi, dan tubuh tanpa organ yang memengaruhi perkembangan seni eksperimental, arsitektur postmodern, dan teori desainⁱ⁰.

Dalam dunia seni rupa, postmodernisme yang diinformasikan oleh dekonstruksi Derrida membuka ruang bagi praktik-praktik konseptual yang menolak narasi tunggal, menggugat otoritas estetika klasik, dan merayakan pluralitas makna. Hal ini terlihat dalam seni instalasi, seni performans, dan seni media baru yang menekankan partisipasi, ironi, dan ambiguitas.


Filsafat kontinental, dengan kompleksitas dan kekayaan wacana yang dikembangkannya, telah menjadi fondasi intelektual yang penting bagi berbagai pendekatan kritis dan reflektif dalam ilmu sosial dan humaniora. Alih-alih sekadar membangun sistem, filsafat kontinental terus mendorong batas-batas berpikir dan memperluas horizon pemahaman terhadap pengalaman manusia dalam dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–98.

[2]                Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and Modernity (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 12–16.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–280.

[4]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 210–215.

[5]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (London: Routledge, 1978), xi–xv.

[6]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 1–7.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 267–272.

[8]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 52–55.

[9]                Martin Heidegger, “The Origin of the Work of Art,” in Poetry, Language, Thought, trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row, 1971), 17–23.

[10]             Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 3–6.


7.           Kritik dan Kontroversi terhadap Filsafat Kontinental

Filsafat kontinental, meskipun berpengaruh luas dan mendalam dalam berbagai bidang pemikiran, tidak terlepas dari kritik dan kontroversi yang signifikan, baik dari kalangan filsuf analitik, ilmuwan sosial, maupun bahkan dari dalam komunitas kontinental sendiri. Kritik-kritik ini mencakup gaya penulisan yang dianggap tidak jelas, penolakan terhadap objektivitas ilmiah, serta tuduhan relativisme dan nihilisme yang melemahkan klaim kebenaran.

7.1.       Kritik dari Filsafat Analitik: Ketidakjelasan dan Ambiguitas

Salah satu kritik paling menonjol berasal dari tradisi filsafat analitik, yang menekankan kejelasan logis, argumentasi formal, dan penggunaan bahasa yang presisi. Tokoh seperti Bertrand Russell dan A. J. Ayer secara eksplisit menyatakan keberatan terhadap gaya penulisan filsuf kontinental seperti Hegel dan Heidegger yang mereka anggap kabur dan penuh jargon metafisik¹. Kritik ini diperkuat oleh pengaruh logika simbolik dan empirisisme logis, yang menolak penggunaan istilah-istilah yang tidak dapat diverifikasi secara empiris atau tidak dapat diuji melalui argumen deduktif².

Sebagai contoh, Heidegger kerap dikritik karena penggunaan istilah seperti Dasein, Sein-zum-Tode, dan Geworfenheit yang tidak hanya sulit diterjemahkan tetapi juga dianggap tidak menyumbang pada klarifikasi filosofis³. Kritik ini menimbulkan kesan bahwa filsafat kontinental lebih bersifat sastra atau bahkan mistik ketimbang analitis dan sistematis.

7.2.       Tuduhan Relativisme dan Nihilisme

Filsafat kontinental juga dituduh mengarah pada relativisme epistemologis dan nihilisme moral, terutama dalam karya para post-strukturalis seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida. Kritik ini mengacu pada kecenderungan mereka untuk membongkar fondasi-fondasi universal seperti kebenaran, subjek, dan rasionalitas tanpa menggantinya dengan struktur normatif yang jelas⁴. Akibatnya, filsafat kontinental dianggap melemahkan dasar bagi argumentasi moral dan politik yang kokoh.

Tokoh seperti Jürgen Habermas sendiri mengkritik postmodernisme karena gagal mempertahankan “proyek pencerahan” dan tidak memberikan alternatif yang konstruktif terhadap rasionalitas modern⁵. Bagi Habermas, meskipun kritik terhadap modernitas sah, dekonstruksi ekstrem justru berpotensi mereduksi segala klaim menjadi sekadar efek wacana belaka.

7.3.       Kritik terhadap Euro-sentrisme dan Maskulinitas Filosofis

Kritik internal terhadap filsafat kontinental juga muncul dari para filsuf feminis dan pascakolonial. Mereka menyoroti bias euro-sentris dan patriarkis dalam tradisi ini, di mana tokoh-tokohnya mayoritas berasal dari Eropa Barat dan cenderung mengabaikan pengalaman non-Barat atau perspektif gender⁶. Misalnya, Luce Irigaray dan Judith Butler mengkritik filsafat Barat karena mengandaikan subjek universal sebagai laki-laki rasional, sementara Gayatri Spivak menunjukkan bahwa dekonstruksi Derrida tetap menyisakan marginalisasi terhadap suara-subjek "yang terbungkam" dari dunia ketiga⁷.

7.4.       Tantangan Interdisipliner dan Relevansi Sosial

Di kalangan akademisi luar filsafat, filsafat kontinental juga ditantang atas kerumitan teoritisnya yang dinilai menjauh dari realitas sosial atau tidak cukup aplikatif dalam menyelesaikan masalah konkret. Meskipun filsafat kontinental memperkaya pendekatan kritis dalam ilmu sosial dan budaya, kerumitan bahasa dan abstraksi teorinya membuat akses ke gagasan-gagasannya menjadi terbatas bagi kalangan non-akademik⁸. Hal ini menimbulkan kritik tentang elitisme intelektual dan keterputusan dengan praksis sosial.

Namun demikian, banyak pembela filsafat kontinental menekankan bahwa kekuatan pendekatan ini justru terletak pada kemampuannya untuk menggugat struktur dominan, membuka ruang bagi pemikiran alternatif, serta mempertanyakan ide-ide yang diterima begitu saja. Dalam konteks kontemporer, pendekatan reflektif dan dekonstruktif ini tetap relevan untuk memahami kompleksitas wacana global, identitas, dan relasi kekuasaan.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 747–751.

[2]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 33–36.

[3]                Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 45–48.

[4]                Christopher Norris, What's Wrong with Postmodernism? Critical Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1990), 5–9.

[5]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, trans. Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 106–112.

[6]                Luce Irigaray, Speculum of the Other Woman, trans. Gillian C. Gill (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 134–140.

[7]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, ed. Patrick Williams and Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–111.

[8]                Terry Eagleton, After Theory (New York: Basic Books, 2003), 89–94.


8.           Relevansi dan Aplikasi Kontemporer

Di tengah dunia yang semakin kompleks, tidak pasti, dan penuh disrupsi, filsafat kontinental menunjukkan kapasitasnya yang luar biasa untuk menafsirkan realitas kontemporer secara kritis dan reflektif. Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan oleh para pemikir kontinental sangat relevan untuk menganalisis fenomena sosial, budaya, politik, dan ekologis masa kini, terutama yang menyangkut krisis makna, kekuasaan, identitas, dan keberlanjutan.

8.1.       Membaca Globalisasi dan Identitas dalam Dunia Pascamodern

Konsep-konsep seperti dekonstruksi, genealogi, dan rizoma digunakan secara luas dalam menganalisis wacana globalisasi, migrasi, dan identitas hibrida. Pemikiran Jacques Derrida tentang différance membantu memahami bagaimana makna selalu tertunda dan terfragmentasi, yang sangat berguna dalam membongkar narasi-narasi dominan tentang nasionalisme, budaya, dan agama dalam masyarakat global yang plural¹. Demikian pula, Deleuze dan Guattari dengan konsep rizoma menawarkan model jaringan non-hierarkis untuk memahami kompleksitas hubungan sosial dalam era digital dan pascakolonial².

8.2.       Kritik terhadap Neoliberalisme dan Rasionalitas Instrumental

Warisan teori kritis Mazhab Frankfurt tetap signifikan dalam mengevaluasi logika neoliberal yang mereduksi manusia menjadi agen ekonomi semata. Dalam konteks ini, pemikiran Habermas mengenai rasionalitas komunikatif menjadi tawaran penting untuk menghidupkan kembali ruang publik yang rasional dan demokratis sebagai penangkal dominasi pasar dan teknologi³. Di saat yang sama, kritik Herbert Marcuse atas “masyarakat satu dimensi” membantu memahami bagaimana konsumerisme dan media massa menciptakan bentuk-bentuk baru dari penindasan dan konformitas⁴.

8.3.       Etika Pascametafisika dan Tanggung Jawab terhadap Yang Lain

Filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Paul Ricoeur menawarkan kerangka etika pascametafisika yang sangat relevan dalam konteks krisis kemanusiaan dan konflik global. Levinas menekankan bahwa tanggung jawab etis lahir dari perjumpaan langsung dengan “wajah orang lain,” bukan dari hukum abstrak, sehingga membuka ruang bagi dialog antariman dan pendekatan humanis terhadap masalah-masalah sosial⁵. Ricoeur, melalui hermeneutika naratif, menunjukkan bahwa pemahaman etis dan politik memerlukan interpretasi mendalam terhadap pengalaman manusia dalam sejarah dan budaya⁶.

8.4.       Filsafat dan Krisis Ekologis

Krisis iklim global memunculkan kebutuhan mendesak akan kritik terhadap relasi manusia-nature yang eksploitatif. Dalam konteks ini, pendekatan ekofenomenologi dan filsafat posthuman yang berakar dari kontinentalisme menjadi semakin relevan. Heidegger telah lebih awal mengkritik teknologi modern sebagai bentuk penguasaan atas alam, yang menyisakan bahaya (Gefahr) bila manusia lupa akan hakikat keberadaannya sebagai bagian dari alam⁷. Pemikiran kontemporer seperti Bruno Latour dan Donna Haraway, meskipun bersifat lintas disiplin, mengadopsi semangat dekonstruktif dan relasional dari kontinentalisme untuk membayangkan ulang hubungan manusia dengan makhluk dan materi lain⁸.

8.5.       Pendidikan, Keadaban, dan Perubahan Sosial

Dalam dunia pendidikan, filsafat kontinental memberikan kontribusi besar melalui pendekatan kritis dan reflektif terhadap kurikulum, pedagogi, dan nilai-nilai kemanusiaan. Paulo Freire, yang meskipun berasal dari Amerika Latin, sangat dipengaruhi oleh teori kritis kontinental, terutama dalam pengembangan pendidikan sebagai praksis pembebasan. Pendidikan tidak lagi dipahami sebagai transmisi pengetahuan, melainkan sebagai ruang dialektika untuk membongkar ideologi dan memberdayakan subjek⁹.


Melalui refleksi atas sejarah, tubuh, bahasa, kekuasaan, dan etika, filsafat kontinental tetap menjadi alat analisis yang relevan dan kuat dalam membongkar kompleksitas zaman. Meskipun kerap dikritik karena abstraksinya, kekuatan filsafat kontinental justru terletak pada kemampuannya untuk mendorong kesadaran kritis, membongkar asumsi dasar, dan membuka kemungkinan baru bagi perubahan sosial yang berkeadaban.


Footnotes

[1]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 13–15.

[2]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 3–25.

[3]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 119–124.

[4]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 50–55.

[5]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–201.

[6]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–117.

[7]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 28–32.

[8]                Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 96–101; Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 19–25.

[9]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 79–84.


9.           Penutup

Filsafat kontinental, sebagai tradisi intelektual yang berakar pada Eropa daratan sejak akhir abad ke-18, telah memainkan peran penting dalam membentuk horizon pemikiran modern dan kontemporer. Berbeda dengan pendekatan analitik yang mengedepankan kejelasan logis dan bahasa formal, filsafat kontinental lebih menekankan kedalaman refleksi historis, dimensi eksistensial, dan kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan kultural. Tradisi ini menawarkan beragam pendekatan, mulai dari fenomenologi dan eksistensialisme, hingga hermeneutika, teori kritis, strukturalisme, dan post-strukturalisme, yang semuanya memberikan kontribusi substansial dalam memahami manusia sebagai makhluk yang bersejarah, berbahasa, dan terlibat dalam dunia¹.

Dalam perjalanan historisnya, filsafat kontinental tidak hanya melahirkan pemikiran yang radikal dan subversif terhadap sistem-sistem mapan, tetapi juga membuka ruang bagi dialog lintas disiplin, termasuk dalam ilmu sosial, studi budaya, seni, politik, dan etika. Tokoh-tokoh seperti Kant, Hegel, Nietzsche, Heidegger, Sartre, Derrida, Foucault, dan Habermas telah memperkaya cara kita memahami relasi antara individu dan masyarakat, kekuasaan dan pengetahuan, serta makna dan bahasa².

Kendati filsafat kontinental kerap dikritik karena kompleksitas bahasanya, gaya tulisannya yang sulit, serta kecenderungannya terhadap relativisme dan abstraksi³, kekuatannya justru terletak pada kemampuannya untuk menantang dogma, membongkar struktur ideologis yang tersembunyi, dan mengungkap dimensi-dimensi pengalaman yang tidak terjangkau oleh pendekatan positivistik. Di tengah krisis global—baik dalam bentuk ketimpangan ekonomi, polarisasi politik, kerusakan lingkungan, maupun alienasi kultural—filsafat kontinental menawarkan instrumen reflektif untuk memahami dan merespons dinamika tersebut secara kritis dan manusiawi⁴.

Lebih dari sekadar warisan pemikiran Eropa, filsafat kontinental kini telah menjadi bagian dari diskursus global. Ia diterima, dikembangkan, dan dikritisi di berbagai belahan dunia, termasuk dalam konteks poskolonial, feminis, dan ekoteologis. Transformasi ini menunjukkan fleksibilitas dan daya hidup filsafat kontinental dalam menjawab tantangan zaman.

Dengan demikian, memahami filsafat kontinental bukanlah sekadar mempelajari aliran-aliran filsafat, tetapi juga melibatkan keterbukaan terhadap dialog lintas wacana, sensitivitas terhadap kondisi historis, dan komitmen terhadap pembebasan serta keberlanjutan kemanusiaan. Dalam semangat itulah filsafat kontinental tetap relevan dan mendesak untuk terus dikaji, diajarkan, dan dihidupi.


Footnotes

[1]                Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 10–12.

[2]                Alan D. Schrift, ed., The History of Continental Philosophy, vol. 1–8 (Durham: Acumen Publishing, 2010), 1:45–52.

[3]                Michael Rosen, “Continental Philosophy from Hegel,” in The Oxford Handbook of Continental Philosophy, ed. Brian Leiter and Michael Rosen (Oxford: Oxford University Press, 2007), 12–14.

[4]                Terry Eagleton, The Illusions of Postmodernism (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 110–117.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Critchley, S. (2001). Continental philosophy: A very short introduction. Oxford University Press.

Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia (B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). Routledge.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Eagleton, T. (1996). The illusions of postmodernism. Blackwell Publishers.

Eagleton, T. (2003). After theory. Basic Books.

Freire, P. (2005). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The philosophical discourse of modernity (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Haraway, D. (2016). Staying with the trouble: Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.

Hegel, G. W. F. (1977). The phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1971). Poetry, language, thought (A. Hofstadter, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Irigaray, L. (1985). Speculum of the other woman (G. C. Gill, Trans.). Cornell University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kellner, D. (1989). Critical theory, Marxism, and modernity. Johns Hopkins University Press.

Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man. Beacon Press.

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Nietzsche, F. (2006). On the genealogy of morality (C. Diethe, Trans.). Cambridge University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol. 1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Rosen, M. (2007). Continental philosophy from Hegel. In B. Leiter & M. Rosen (Eds.), The Oxford handbook of continental philosophy (pp. 7–26). Oxford University Press.

Russell, B. (1945). A history of western philosophy. Simon & Schuster.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Schrift, A. D. (Ed.). (2010). The history of continental philosophy (Vols. 1–8). Acumen Publishing.

Solomon, R. C., & Higgins, K. M. (1996). A short history of philosophy. Oxford University Press.

Spivak, G. C. (1994). Can the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 66–111). Columbia University Press.

West, D. (2010). Continental philosophy: An introduction. Polity Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar