Filsafat Kontinental
Sejarah, Tokoh, dan Pengaruhnya dalam Wacana Modern
Alihkan ke: Aliran-Aliran
dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif tradisi
filsafat kontinental sebagai salah satu arus utama dalam pemikiran filsafat
Barat modern. Berakar dari pemikiran Immanuel Kant dan Hegel, filsafat
kontinental berkembang melalui berbagai aliran besar seperti fenomenologi,
eksistensialisme, hermeneutika, teori kritis, strukturalisme, dan
post-strukturalisme. Artikel ini menyajikan pemetaan historis dan konseptual
atas filsafat kontinental, membahas kontribusi tokoh-tokoh kunci seperti
Nietzsche, Heidegger, Sartre, Foucault, dan Derrida, serta mengeksplorasi
pengaruhnya terhadap ilmu sosial, humaniora, dan seni. Disoroti pula berbagai
kritik dan kontroversi terhadap pendekatan kontinental, termasuk tuduhan
relativisme, gaya penulisan yang sulit, serta keterputusan dari praksis sosial.
Di sisi lain, filsafat kontinental dinilai tetap relevan dalam merespons tantangan
kontemporer seperti krisis identitas, globalisasi, ketimpangan sosial, dan
kerusakan lingkungan. Dengan pendekatan reflektif, historis, dan
interdisipliner, artikel ini menunjukkan bahwa filsafat kontinental bukan
sekadar warisan intelektual, melainkan instrumen kritis yang terus hidup dalam
pergulatan pemikiran dan praksis modern.
Kata Kunci: Filsafat kontinental, fenomenologi,
eksistensialisme, teori kritis, hermeneutika, dekonstruksi, modernitas, kritik
sosial, pemikiran Eropa, relevansi kontemporer.
PEMBAHASAN
Menelusuri Akar dan Arah Pemikiran Filsafat Kontinental
1.
Pendahuluan
Filsafat kontinental
merupakan salah satu arus utama dalam tradisi pemikiran Barat yang berkembang
di daratan Eropa, khususnya di Jerman dan Prancis, sejak akhir abad ke-18.
Istilah ini muncul sebagai bentuk kategorisasi terhadap gaya dan pendekatan
filsafat yang berbeda secara metodologis maupun tematis dari filsafat analitik
yang berkembang di dunia Anglo-Amerika. Meskipun istilah "filsafat
kontinental" tidak sepenuhnya disepakati oleh para pemikir yang
dikategorikan di dalamnya, klasifikasi ini tetap digunakan untuk merujuk pada
sekelompok pemikiran yang menaruh perhatian besar pada sejarah, budaya, dan
dimensi eksistensial manusia dalam refleksi filosofisnya¹.
Keberadaan filsafat
kontinental dapat ditelusuri dari pengaruh Immanuel Kant dan Georg Wilhelm
Friedrich Hegel yang menekankan pentingnya subjek, kesadaran, dan sejarah dalam
struktur realitas². Perkembangan selanjutnya tampak dalam pemikiran Friedrich
Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, hingga tokoh-tokoh strukturalis
dan pascastrukturalis seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida.
Aliran-aliran seperti fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutika, teori
kritis, dan dekonstruksi turut membentuk spektrum filsafat kontinental,
menjadikannya sangat kaya akan pendekatan reflektif, interpretatif, dan historis³.
Filsafat kontinental
dikenal karena ketertarikannya terhadap totalitas historis dan kritik terhadap
rasionalisme reduktif yang mendominasi tradisi positivistik. Hal ini
menjadikannya sebagai filsafat yang tidak hanya mempertanyakan “apa yang nyata
dan benar,” tetapi juga “bagaimana realitas itu dipahami dan didekonstruksi”
dalam konteks sosial, politik, dan linguistik⁴. Oleh karena itu, kontribusinya
tidak terbatas pada ranah akademik semata, tetapi juga menyentuh kritik budaya,
teori sosial, sastra, hingga seni dan arsitektur modern⁵.
Mempelajari filsafat
kontinental berarti menelusuri warisan intelektual Eropa yang terus berevolusi
melalui krisis-krisis peradaban, pencarian makna subjektif, dan resistensi
terhadap sistem-sistem dominan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural,
pendekatan-pendekatan filsafat kontinental menjadi semakin relevan dalam
membongkar asumsi-asumsi ideologis dan memperluas horizon pemahaman kita
terhadap manusia dan masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pemetaan
historis dan tematik filsafat kontinental, menelaah kontribusi para pemikir
kunci, serta menggambarkan pengaruhnya dalam lanskap pemikiran kontemporer.
Footnotes
[1]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 1–3.
[2]
David West, Continental Philosophy: An Introduction
(Cambridge: Polity Press, 2010), 15–18.
[3]
Alan D. Schrift, ed., The History of Continental Philosophy,
vol. 1–8 (Durham: Acumen Publishing, 2010), 1:12–20.
[4]
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, A Short History of
Philosophy (New York: Oxford University Press, 1996), 301–305.
[5]
Todd May, Philosophy of Foucault (Montreal: McGill-Queen's
University Press, 2006), 9–14.
2.
Konsep Dasar dan Ciri Khas Filsafat Kontinental
Filsafat kontinental
tidak hanya merupakan kategori geografis, tetapi juga mengandung makna
metodologis dan tematik yang khas dalam dunia filsafat Barat. Secara umum, istilah
ini digunakan untuk mengelompokkan sejumlah aliran dan tokoh pemikir yang
berkembang terutama di daratan Eropa (kontinental), seperti Jerman, Prancis,
dan Italia, dan yang secara historis berada dalam tradisi pasca-Kantian dan
pasca-Hegelian¹.
Salah satu
karakteristik utama filsafat kontinental adalah perhatiannya terhadap konteks
historis, struktur sosial, dan eksistensi
manusia dalam dimensi yang lebih luas. Tidak seperti filsafat analitik yang cenderung menekankan pada analisis bahasa, logika formal, dan
argumentasi yang ketat, filsafat kontinental lebih bersifat reflektif,
naratif, dan hermeneutik, dengan penekanan pada makna,
pengalaman, dan interpretasi².
Menurut Simon
Critchley, filsafat kontinental “tidak bisa dilepaskan dari latar sejarah
dan kondisi sosial yang membentuk pemikiran,” yang berarti bahwa filsuf
kontinental melihat filsafat sebagai kegiatan historis yang senantiasa terikat
pada konteks³. Hal ini juga tampak dalam minat besar terhadap konsep totalitas,
yakni upaya untuk memahami realitas dalam keseluruhannya—bukan sekadar entitas
yang terfragmentasi atau terisolasi secara analitik⁴.
Secara
epistemologis, filsafat kontinental sering kali mempertanyakan fondasi
rasionalitas modern dan objektivitas ilmiah. Para pemikir seperti Nietzsche dan
Heidegger, misalnya, mengkritik “ilusi netralitas” dalam ilmu
pengetahuan dan mendorong pembacaan baru atas subjektivitas dan kebenaran⁵. Di
sinilah muncul dimensi kritis filsafat kontinental
yang kerap berperan sebagai counter-discourse terhadap dominasi
positivisme dan rasionalisme teknokratik.
Ciri khas lainnya
adalah keterkaitan filsafat kontinental dengan estetika, sastra, dan budaya,
sehingga banyak karya filsuf kontinental yang bersifat “gaya tinggi” (high
style), penuh metafora, dan menantang pembacaan literal. Jacques Derrida,
contohnya, menulis dengan gaya dekonstruktif yang membongkar asumsi metafisik
di balik struktur bahasa dan makna⁶.
Adapun pendekatan
filsafat kontinental biasanya bersifat interdisipliner dan interpretatif,
melintasi batas antara filsafat, teologi, psikologi, sosiologi, serta ilmu
budaya. Pendekatan ini memungkinkan refleksi yang lebih kaya terhadap
kompleksitas realitas manusia, baik dalam konteks personal maupun struktural⁷.
Karena itu, filsafat
kontinental tidak hanya memproduksi sistem-sistem filosofis, tetapi juga
membuka ruang bagi refleksi eksistensial, kritik ideologi, dan
kesadaran historis. Inilah yang menjadikannya tetap relevan
dalam merespons tantangan kontemporer, mulai dari krisis makna, politik
identitas, hingga dehumanisasi dalam masyarakat modern.
Footnotes
[1]
David West, Continental Philosophy: An Introduction
(Cambridge: Polity Press, 2010), 4–7.
[2]
Michael Rosen, “Continental Philosophy from Hegel,” in The Oxford
Handbook of Continental Philosophy, ed. Brian Leiter and Michael Rosen
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 7–10.
[3]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 3–4.
[4]
Robert Solomon and Kathleen M. Higgins, A Short History of
Philosophy (New York: Oxford University Press, 1996), 298–299.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–25.
[6]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(London: Routledge, 1978), xi–xv.
[7]
Alan D. Schrift, ed., The History of Continental Philosophy,
vol. 1 (Durham: Acumen Publishing, 2010), 9–14.
3.
Sejarah Perkembangan Filsafat Kontinental
Perkembangan
filsafat kontinental berlangsung dalam beberapa tahap historis yang
mencerminkan transformasi besar dalam pemikiran Eropa sejak akhir abad ke-18
hingga abad ke-21. Akar dari tradisi ini dapat ditelusuri pada pemikiran Immanuel
Kant, yang dalam Critique of Pure Reason (1781)
merevolusi filsafat modern dengan menempatkan subjek sebagai pusat struktur
pengetahuan¹. Kant menegaskan bahwa pengalaman manusia ditentukan oleh
kategori-kategori apriori, sehingga pengetahuan bukanlah sekadar refleksi
realitas objektif, tetapi konstruksi kesadaran aktif².
Perkembangan lanjut
muncul dalam pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel,
yang mengembangkan sistem dialektika sejarah dan
menyatakan bahwa kebenaran tidak bersifat statis, melainkan terungkap melalui
proses historis yang melibatkan kontradiksi dan rekonsiliasi³. Hegel
menempatkan rasionalitas dalam sejarah, menjadikan realitas sebagai proses yang
rasional dan teleologis. Hegelianisme inilah yang kemudian menjadi titik tolak,
baik untuk pengikut maupun pengkritiknya, dalam lanskap pemikiran kontinental.
Reaksi terhadap
sistem hegelian datang dari Søren Kierkegaard dan Friedrich
Nietzsche, yang memperkenalkan pendekatan eksistensial dan
kritik terhadap rasionalisme sistemik. Kierkegaard menekankan subjektivitas,
kecemasan, dan lompatan iman sebagai inti eksistensi manusia⁴, sedangkan
Nietzsche mengkritik moralitas tradisional, metafisika Barat, dan merumuskan
gagasan “kematian Tuhan” serta kehendak untuk berkuasa sebagai basis
ontologis baru⁵. Kedua tokoh ini secara fundamental memengaruhi arah
eksistensialisme dan dekonstruksi.
Memasuki abad ke-20,
filsafat kontinental mengalami diversifikasi melalui lahirnya fenomenologi,
yang dipelopori oleh Edmund Husserl. Ia mengajukan epoche
dan intensionalitas
kesadaran sebagai metode untuk mengakses hakikat pengalaman murni⁶.
Pengaruh fenomenologi berkembang dalam pemikiran Martin
Heidegger, murid Husserl, yang menggeser fokus dari kesadaran
menuju ontologi
fundamental dalam karyanya Being and Time (1927), dengan
konsep kunci seperti Dasein, keberadaan otentik, dan
keterlemparan dalam dunia⁷.
Pada masa yang sama,
muncul pula teori kritis dari Mazhab
Frankfurt (Theodor Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse),
yang menggabungkan tradisi Hegel dan Marx dalam rangka menganalisis masyarakat
modern secara kritis, terutama menyangkut dominasi kapitalisme, teknologi, dan
budaya massa⁸. Mereka berusaha memperlihatkan bagaimana struktur sosial
membentuk kesadaran dan mempertahankan hegemoni.
Lalu pada
pertengahan hingga akhir abad ke-20, filsafat kontinental berkembang ke arah strukturalisme
dan post-strukturalisme,
dengan tokoh seperti Claude Lévi-Strauss, Michel
Foucault, Jacques Derrida, dan Gilles
Deleuze. Strukturalisme menekankan struktur bahasa dan sistem
simbolik sebagai dasar kehidupan sosial, sedangkan post-strukturalisme,
terutama dalam karya Derrida, menggugat stabilitas makna dan mengembangkan
metode dekonstruksi
untuk membongkar asumsi metafisis dalam teks dan ideologi⁹.
Memasuki abad ke-21,
filsafat kontinental tetap berpengaruh dalam wacana lintas disiplin.
Aliran-aliran seperti hermeneutika, filsafat
postmodern, dan dekonstruksi etis berkembang di
tangan pemikir seperti Paul Ricoeur, Emmanuel
Levinas, dan Alain Badiou. Dengan demikian,
sejarah filsafat kontinental mencerminkan dinamika yang terus bergeser dari
pencarian sistem menuju kritik terhadap sistem itu sendiri, dengan tetap
mempertahankan komitmen terhadap refleksi mendalam atas kondisi manusia dalam
sejarah.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.
[2]
David West, Continental Philosophy: An Introduction
(Cambridge: Polity Press, 2010), 22–24.
[3]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Phenomenology of Spirit,
trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 26–30.
[4]
Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair
Hannay (London: Penguin Books, 1989), 42–45.
[5]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), 181–183.
[6]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 59–65.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.
[8]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–97.
[9]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 26–28.
4.
Aliran dan Arus Utama dalam Filsafat
Kontinental
Filsafat kontinental
tidaklah bersifat monolitik, melainkan terdiri dari berbagai aliran pemikiran
yang memiliki metodologi dan fokus kajian yang beragam, namun tetap terhubung
melalui perhatian terhadap sejarah, pengalaman manusia, dan kritik terhadap
rasionalisme abstrak. Beberapa arus utama yang membentuk struktur filsafat
kontinental mencakup fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutika, teori
kritis, strukturalisme, dan post-strukturalisme.
4.1.
Fenomenologi
Fenomenologi, yang
dimulai oleh Edmund Husserl, berupaya
mengembalikan filsafat kepada “hal-hal itu sendiri” (zu den
Sachen selbst) dengan menyelidiki struktur kesadaran dan bagaimana
makna terbentuk dalam pengalaman langsung¹. Metodologi epoche
dan reduksi
fenomenologis dikembangkan untuk menanggalkan asumsi metafisik dan
menggali hakikat fenomena sebagaimana hadir dalam kesadaran². Fenomenologi
kemudian berkembang dalam pemikiran Martin Heidegger, Maurice
Merleau-Ponty, dan Jean-Paul Sartre, yang
menekankan keberadaan manusia (Dasein), tubuh, dan kebebasan
sebagai pusat eksistensi.
4.2.
Eksistensialisme
Eksistensialisme
menekankan pengalaman subjektif, kebebasan individu, kecemasan, dan
keterlemparan dalam dunia. Søren Kierkegaard dan Friedrich
Nietzsche dianggap sebagai pelopor aliran ini, yang kemudian
dikembangkan lebih sistematis oleh Heidegger, Sartre,
dan Albert
Camus³. Eksistensialisme tidak membangun sistem metafisik baru,
melainkan menggugat sistem yang meniadakan keberadaan unik dan keputusan
eksistensial manusia⁴.
4.3.
Hermeneutika
Hermeneutika,
sebagai teori interpretasi, berkembang dari tradisi teologis dan hukum, dan
kemudian dimatangkan secara filosofis oleh Wilhelm Dilthey, Hans-Georg
Gadamer, dan Paul Ricoeur. Hermeneutika
berupaya memahami makna teks, tindakan, dan sejarah melalui proses dialektis
antara bagian dan keseluruhan yang disebut lingkaran hermeneutik⁵. Gadamer,
dalam Truth
and Method, menekankan pentingnya pra-pemahaman (pre-understanding)
dan historisitas
kesadaran dalam setiap proses interpretasi⁶.
4.4.
Teori Kritis (Mazhab
Frankfurt)
Teori kritis
merupakan respons terhadap kegagalan rasionalitas modern dalam mewujudkan
kebebasan. Tokoh-tokoh seperti Theodor W. Adorno, Max
Horkheimer, Herbert Marcuse, dan kemudian Jürgen
Habermas, mengembangkan kritik terhadap kapitalisme, budaya
massa, dan dominasi teknologis yang mengasingkan manusia⁷. Mereka memadukan
Marx, Freud, dan Hegel untuk membongkar ideologi yang tersembunyi dalam sistem
sosial, serta merumuskan rasionalitas komunikatif sebagai
basis emansipasi sosial⁸.
4.5.
Strukturalisme
Strukturalisme
berkembang dari linguistik Ferdinand de Saussure dan diterapkan dalam
antropologi oleh Claude Lévi-Strauss, yang
menyatakan bahwa struktur berpikir manusia bersifat universal dan terwujud
dalam mitos, bahasa, dan kebudayaan⁹. Strukturalisme kemudian memengaruhi
filsafat, psikoanalisis, dan kajian budaya, serta menjadi fondasi bagi
pergeseran menuju post-strukturalisme.
4.6.
Post-Strukturalisme
dan Dekonstruksi
Post-strukturalisme
muncul sebagai reaksi terhadap anggapan stabilitas makna dalam strukturalisme. Jacques
Derrida mengembangkan konsep dekonstruksi untuk menunjukkan
bahwa makna selalu berada dalam penundaan (différance) dan bahwa teks tidak
memiliki pusat tetap¹⁰. Michel Foucault, di sisi lain,
mengeksplorasi hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan melalui pendekatan
genealogis terhadap institusi, wacana, dan praktik sosial¹¹.
Post-strukturalisme membuka ruang bagi kritik terhadap metafisika Barat dan
menjungkirbalikkan asumsi tentang subjek, identitas, dan kebenaran.
Aliran-aliran ini
tidak berdiri sendiri, tetapi sering saling berinteraksi dan membentuk mosaik
pemikiran yang kompleks dalam tradisi kontinental. Masing-masing berkontribusi
terhadap pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan manusia, sejarah, dan
struktur sosial yang membentuk kesadaran kita.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 37–39.
[2]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 9–13.
[3]
David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford:
Blackwell Publishers, 1999), 18–23.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 21–27.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 268–273.
[6]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 8–10.
[7]
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 93–100.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 274–278.
[9]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire
Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 206–210.
[10]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.
[11]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–30.
5.
Tokoh-Tokoh Kunci dan Kontribusinya
Filsafat kontinental
dibentuk oleh kontribusi sejumlah tokoh besar yang tidak hanya memengaruhi
jalannya sejarah filsafat Eropa, tetapi juga memberi dasar bagi perkembangan
pemikiran humaniora dan ilmu sosial modern. Pemikiran mereka mencerminkan upaya
mendalam untuk memahami hakikat realitas, eksistensi manusia, dan struktur
makna dalam konteks sejarah dan budaya. Berikut adalah beberapa tokoh kunci dan
kontribusinya dalam tradisi kontinental:
5.1.
Immanuel Kant
(1724–1804)
Sebagai fondasi dari
filsafat kontinental modern, Kant menempatkan subjek rasional sebagai pusat
dalam proses pengetahuan. Dalam Critique of Pure Reason, ia
mengembangkan gagasan bahwa pengalaman tidak ditentukan hanya oleh objek luar,
melainkan dibentuk oleh struktur apriori dari akal budi manusia¹. Konsep
revolusioner ini, yang dikenal sebagai kopernikan revolusi dalam filsafat,
mengantar pada tradisi reflektif dan kritis terhadap objektivisme empiris.
5.2.
Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770–1831)
Hegel memperluas
kerangka Kant melalui sistem dialektika yang menempatkan
sejarah sebagai ekspresi perkembangan rasionalitas dunia. Dalam Phenomenology
of Spirit, Hegel menggambarkan perjalanan kesadaran manusia menuju
kebebasan melalui tahap-tahap kontradiksi dan sintesis². Konsep “roh absolut”
dan sejarah sebagai manifestasi logika ini sangat berpengaruh pada Marx, teori
kritis, dan eksistensialisme.
5.3.
Friedrich Nietzsche
(1844–1900)
Nietzsche menantang
nilai-nilai metafisika dan moralitas tradisional yang menurutnya telah
kehilangan daya hidup. Dalam Thus Spoke Zarathustra dan The
Genealogy of Morals, ia merumuskan ide tentang “kematian Tuhan”,
kehendak untuk berkuasa, dan Übermensch sebagai bentuk kritik
radikal terhadap nihilisme³. Gaya aforistik dan genealogisnya menginspirasi
post-strukturalisme, dekonstruksi, dan psikoanalisis kritis.
5.4.
Martin Heidegger
(1889–1976)
Heidegger
memperkenalkan analisis ontologi eksistensial dalam Being and Time, di mana ia
menjelaskan struktur dasar dari Dasein—manusia sebagai makhluk yang
sadar akan keberadaannya sendiri⁴. Heidegger menggugat cara berpikir metafisika
Barat yang menurutnya telah melupakan makna ada (Sein), dan membuka jalan bagi
hermeneutika, eksistensialisme, dan fenomenologi lanjutan.
5.5.
Jean-Paul Sartre
(1905–1980)
Sartre mengembangkan
eksistensialisme ateistik dalam Being and Nothingness, dengan
menekankan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, yakni manusia
diciptakan tanpa tujuan dan bertanggung jawab penuh atas pembentukan jati
dirinya⁵. Sartre juga aktif secara politik dan mengaitkan filsafatnya dengan
perjuangan kebebasan dan penolakan terhadap determinisme.
5.6.
Michel Foucault
(1926–1984)
Foucault menggagas
pendekatan genealogi dalam menganalisis
hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan subjek. Dalam karya seperti Discipline
and Punish dan The History of Sexuality, ia
menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah tidak netral, melainkan terikat pada
mekanisme kekuasaan⁶. Konsep seperti panopticon, wacana, dan rejim
kebenaran menjadi kunci dalam kajian budaya dan ilmu sosial.
5.7.
Jacques Derrida
(1930–2004)
Derrida mengembangkan
dekonstruksi,
sebuah metode membaca yang menunjukkan bahwa makna dalam teks tidak pernah
stabil dan selalu ditunda (différance)⁷. Dalam Of
Grammatology, ia meruntuhkan kepercayaan pada kehadiran makna dan
pusat tetap dalam bahasa, sekaligus menggugat asumsi metafisik dalam tradisi
Barat. Karya Derrida sangat berpengaruh dalam kajian sastra, hukum, teologi,
dan feminisme.
5.8.
Jürgen Habermas
(1929– )
Sebagai penerus
Mazhab Frankfurt, Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif
sebagai upaya menyelamatkan rasionalitas dari dominasi sistemik. Dalam The
Theory of Communicative Action, ia mengusulkan rasionalitas yang
berakar pada komunikasi bebas dari distorsi sebagai landasan etika diskursus
dan demokrasi deliberatif⁸. Habermas berupaya merekonsiliasi modernitas dengan
proyek emansipasi sosial.
Tokoh-tokoh di atas,
meskipun berbeda pendekatan, sama-sama berkontribusi terhadap pemahaman
filosofis yang lebih mendalam tentang subjektivitas, sejarah, dan struktur
makna. Mereka menandai pergeseran dari sistem metafisik universal menuju
refleksi atas kondisi eksistensial, historis, dan kultural manusia modern.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.
[2]
G. W. F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A. V.
Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 104–109.
[3]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans.
Carol Diethe (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 3–5.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 70–75.
[6]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–200.
[7]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–65.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 274–278.
6.
Pengaruh Filsafat Kontinental dalam Ilmu
Sosial, Humaniora, dan Seni
Filsafat kontinental
memiliki pengaruh yang mendalam dan luas terhadap perkembangan ilmu sosial,
humaniora, dan seni, terutama sejak paruh kedua abad ke-20. Gagasan-gagasan
yang lahir dari tradisi ini telah melampaui batas-batas disiplin filsafat
formal dan membentuk kerangka berpikir dalam teori sastra, studi budaya,
antropologi, sosiologi, teori politik, dan praktik seni kontemporer.
6.1.
Ilmu Sosial dan
Teori Kritis
Filsafat kontinental
memperkaya ilmu sosial melalui pengembangan teori kritis, terutama oleh
Mazhab Frankfurt. Pemikiran Adorno, Horkheimer,
dan Marcuse
membongkar rasionalitas instrumental dalam kapitalisme modern yang menurut
mereka mengarah pada dominasi dan alienasi manusia¹. Mereka memperkenalkan
pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat, sosiologi, dan
psikoanalisis dalam rangka menganalisis relasi antara ideologi, ekonomi, dan
struktur kekuasaan². Pemikiran Jürgen Habermas selanjutnya
membuka jalan bagi teori komunikasi sebagai fondasi etika sosial dan demokrasi
deliberatif³.
6.2.
Kajian Budaya dan
Pascastrukturalisme
Filsafat kontinental
sangat berperan dalam membentuk cultural studies, khususnya
melalui pemikiran Foucault, Derrida,
dan Deleuze.
Foucault memengaruhi kajian sejarah sosial dan institusional melalui
pendekatannya terhadap wacana, kekuasaan, dan tubuh. Ia menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai, melainkan terstruktur oleh relasi kekuasaan⁴. Di
sisi lain, Derrida mengguncang dasar-dasar teori sastra dan linguistik melalui dekonstruksi,
yang memungkinkan pembacaan ulang terhadap teks secara subversif dan kritis⁵.
Dalam konteks kajian
media dan identitas, teori post-strukturalis turut membentuk wacana tentang
gender dan seksualitas. Judith Butler, yang banyak
terinspirasi oleh Derrida dan Foucault, mengembangkan teori performativitas
gender yang berpengaruh besar dalam kajian feminis dan queer⁶.
6.3.
Hermeneutika dan
Ilmu Humaniora
Hermeneutika
filosofis, terutama dari Gadamer dan Ricoeur,
memberikan kontribusi signifikan terhadap metode interpretasi dalam sejarah,
teologi, dan studi teks. Konsep lingkaran hermeneutik Gadamer
menekankan bahwa pemahaman selalu bersifat historis dan terbentuk melalui
dialog antara pembaca dan teks⁷. Ricoeur, melalui teori naratif dan simbol, memperluas
cakupan hermeneutika ke bidang psikologi, etika, dan politik, serta menunjukkan
bagaimana makna dibangun dalam struktur naratif pengalaman manusia⁸.
6.4.
Seni, Arsitektur,
dan Estetika Kontemporer
Dalam dunia seni,
filsafat kontinental telah menginspirasi bentuk-bentuk ekspresi estetis yang
radikal dan reflektif. Pemikiran Heidegger tentang seni sebagai
pengungkapan kebenaran (aletheia) menggeser fokus estetika
dari penilaian subjektif menjadi pengalaman ontologis⁹. Deleuze
dan Guattari, melalui A Thousand Plateaus, menawarkan
konsep rizoma,
deterritorialisasi,
dan tubuh
tanpa organ yang memengaruhi perkembangan seni eksperimental,
arsitektur postmodern, dan teori desainⁱ⁰.
Dalam dunia seni
rupa, postmodernisme yang diinformasikan oleh dekonstruksi Derrida membuka
ruang bagi praktik-praktik konseptual yang menolak narasi tunggal, menggugat
otoritas estetika klasik, dan merayakan pluralitas makna. Hal ini terlihat
dalam seni instalasi, seni performans, dan seni media baru yang menekankan
partisipasi, ironi, dan ambiguitas.
Filsafat
kontinental, dengan kompleksitas dan kekayaan wacana yang dikembangkannya,
telah menjadi fondasi intelektual yang penting bagi berbagai pendekatan kritis
dan reflektif dalam ilmu sosial dan humaniora. Alih-alih sekadar membangun
sistem, filsafat kontinental terus mendorong batas-batas berpikir dan
memperluas horizon pemahaman terhadap pengalaman manusia dalam dunia yang terus
berubah.
Footnotes
[1]
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–98.
[2]
Douglas Kellner, Critical Theory, Marxism, and Modernity
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 12–16.
[3]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–280.
[4]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 210–215.
[5]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(London: Routledge, 1978), xi–xv.
[6]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 1–7.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 267–272.
[8]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen
McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
52–55.
[9]
Martin Heidegger, “The Origin of the Work of Art,” in Poetry,
Language, Thought, trans. Albert Hofstadter (New York: Harper & Row,
1971), 17–23.
[10]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1987), 3–6.
7.
Kritik dan Kontroversi terhadap Filsafat Kontinental
Filsafat
kontinental, meskipun berpengaruh luas dan mendalam dalam berbagai bidang
pemikiran, tidak terlepas dari kritik dan kontroversi yang signifikan, baik
dari kalangan filsuf analitik, ilmuwan sosial, maupun bahkan dari dalam
komunitas kontinental sendiri. Kritik-kritik ini mencakup gaya penulisan yang
dianggap tidak jelas, penolakan terhadap objektivitas ilmiah, serta tuduhan
relativisme dan nihilisme yang melemahkan klaim kebenaran.
7.1.
Kritik dari Filsafat
Analitik: Ketidakjelasan dan Ambiguitas
Salah satu kritik
paling menonjol berasal dari tradisi filsafat analitik, yang menekankan
kejelasan logis, argumentasi formal, dan penggunaan bahasa yang presisi. Tokoh
seperti Bertrand Russell dan A. J.
Ayer secara eksplisit menyatakan keberatan terhadap gaya
penulisan filsuf kontinental seperti Hegel dan Heidegger yang mereka anggap
kabur dan penuh jargon metafisik¹. Kritik ini diperkuat oleh pengaruh logika
simbolik dan empirisisme logis, yang menolak penggunaan istilah-istilah yang
tidak dapat diverifikasi secara empiris atau tidak dapat diuji melalui argumen
deduktif².
Sebagai contoh,
Heidegger kerap dikritik karena penggunaan istilah seperti Dasein,
Sein-zum-Tode,
dan Geworfenheit
yang tidak hanya sulit diterjemahkan tetapi juga dianggap tidak menyumbang pada
klarifikasi filosofis³. Kritik ini menimbulkan kesan bahwa filsafat kontinental
lebih bersifat sastra atau bahkan mistik ketimbang analitis dan sistematis.
7.2.
Tuduhan Relativisme
dan Nihilisme
Filsafat kontinental
juga dituduh mengarah pada relativisme epistemologis dan nihilisme
moral, terutama dalam karya para post-strukturalis seperti Michel
Foucault dan Jacques Derrida. Kritik ini
mengacu pada kecenderungan mereka untuk membongkar fondasi-fondasi universal
seperti kebenaran, subjek, dan rasionalitas tanpa menggantinya dengan struktur
normatif yang jelas⁴. Akibatnya, filsafat kontinental dianggap melemahkan dasar
bagi argumentasi moral dan politik yang kokoh.
Tokoh seperti Jürgen
Habermas sendiri mengkritik postmodernisme karena gagal mempertahankan
“proyek pencerahan” dan tidak memberikan alternatif yang konstruktif
terhadap rasionalitas modern⁵. Bagi Habermas, meskipun kritik terhadap
modernitas sah, dekonstruksi ekstrem justru berpotensi mereduksi segala klaim
menjadi sekadar efek wacana belaka.
7.3.
Kritik terhadap
Euro-sentrisme dan Maskulinitas Filosofis
Kritik internal
terhadap filsafat kontinental juga muncul dari para filsuf feminis dan
pascakolonial. Mereka menyoroti bias euro-sentris dan patriarkis
dalam tradisi ini, di mana tokoh-tokohnya mayoritas berasal dari Eropa Barat
dan cenderung mengabaikan pengalaman non-Barat atau perspektif gender⁶.
Misalnya, Luce Irigaray dan Judith
Butler mengkritik filsafat Barat karena mengandaikan subjek
universal sebagai laki-laki rasional, sementara Gayatri Spivak menunjukkan
bahwa dekonstruksi Derrida tetap menyisakan marginalisasi terhadap suara-subjek
"yang terbungkam" dari dunia ketiga⁷.
7.4.
Tantangan
Interdisipliner dan Relevansi Sosial
Di kalangan
akademisi luar filsafat, filsafat kontinental juga ditantang atas kerumitan
teoritisnya yang dinilai menjauh dari realitas sosial atau
tidak cukup aplikatif dalam menyelesaikan masalah konkret. Meskipun filsafat
kontinental memperkaya pendekatan kritis dalam ilmu sosial dan budaya,
kerumitan bahasa dan abstraksi teorinya membuat akses ke gagasan-gagasannya
menjadi terbatas bagi kalangan non-akademik⁸. Hal ini menimbulkan kritik
tentang elitisme intelektual dan keterputusan dengan praksis sosial.
Namun demikian,
banyak pembela filsafat kontinental menekankan bahwa kekuatan pendekatan ini
justru terletak pada kemampuannya untuk menggugat struktur dominan,
membuka ruang bagi pemikiran alternatif, serta mempertanyakan ide-ide yang
diterima begitu saja. Dalam konteks kontemporer, pendekatan reflektif dan
dekonstruktif ini tetap relevan untuk memahami kompleksitas wacana global,
identitas, dan relasi kekuasaan.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York:
Simon & Schuster, 1945), 747–751.
[2]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 33–36.
[3]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 45–48.
[4]
Christopher Norris, What's Wrong with Postmodernism? Critical
Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1990), 5–9.
[5]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity,
trans. Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 106–112.
[6]
Luce Irigaray, Speculum of the Other Woman, trans. Gillian C.
Gill (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 134–140.
[7]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Colonial
Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, ed. Patrick Williams and
Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–111.
[8]
Terry Eagleton, After Theory (New York: Basic Books, 2003),
89–94.
8.
Relevansi dan Aplikasi Kontemporer
Di tengah dunia yang
semakin kompleks, tidak pasti, dan penuh disrupsi, filsafat kontinental
menunjukkan kapasitasnya yang luar biasa untuk menafsirkan realitas kontemporer
secara kritis dan reflektif. Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan oleh para pemikir
kontinental sangat relevan untuk menganalisis fenomena sosial, budaya, politik,
dan ekologis masa kini, terutama yang menyangkut krisis makna, kekuasaan,
identitas, dan keberlanjutan.
8.1.
Membaca Globalisasi
dan Identitas dalam Dunia Pascamodern
Konsep-konsep
seperti dekonstruksi, genealogi,
dan rizoma
digunakan secara luas dalam menganalisis wacana globalisasi, migrasi, dan
identitas hibrida. Pemikiran Jacques Derrida tentang différance
membantu memahami bagaimana makna selalu tertunda dan terfragmentasi, yang
sangat berguna dalam membongkar narasi-narasi dominan tentang nasionalisme,
budaya, dan agama dalam masyarakat global yang plural¹. Demikian pula, Deleuze
dan Guattari dengan konsep rizoma menawarkan model jaringan
non-hierarkis untuk memahami kompleksitas hubungan sosial dalam era digital dan
pascakolonial².
8.2.
Kritik terhadap
Neoliberalisme dan Rasionalitas Instrumental
Warisan teori
kritis Mazhab Frankfurt tetap signifikan dalam mengevaluasi
logika neoliberal yang mereduksi manusia menjadi agen ekonomi semata. Dalam
konteks ini, pemikiran Habermas mengenai rasionalitas
komunikatif menjadi tawaran penting untuk menghidupkan kembali
ruang publik yang rasional dan demokratis sebagai penangkal dominasi pasar dan
teknologi³. Di saat yang sama, kritik Herbert Marcuse atas “masyarakat
satu dimensi” membantu memahami bagaimana konsumerisme dan media massa
menciptakan bentuk-bentuk baru dari penindasan dan konformitas⁴.
8.3.
Etika
Pascametafisika dan Tanggung Jawab terhadap Yang Lain
Filsuf seperti Emmanuel
Levinas dan Paul Ricoeur menawarkan
kerangka etika pascametafisika yang
sangat relevan dalam konteks krisis kemanusiaan dan konflik global. Levinas
menekankan bahwa tanggung jawab etis lahir dari perjumpaan langsung dengan “wajah
orang lain,” bukan dari hukum abstrak, sehingga membuka ruang bagi dialog
antariman dan pendekatan humanis terhadap masalah-masalah sosial⁵. Ricoeur,
melalui hermeneutika naratif, menunjukkan bahwa pemahaman etis dan politik
memerlukan interpretasi mendalam terhadap pengalaman manusia dalam sejarah dan
budaya⁶.
8.4.
Filsafat dan Krisis
Ekologis
Krisis iklim global
memunculkan kebutuhan mendesak akan kritik terhadap relasi manusia-nature yang
eksploitatif. Dalam konteks ini, pendekatan ekofenomenologi dan filsafat
posthuman yang berakar dari kontinentalisme menjadi semakin
relevan. Heidegger telah lebih awal
mengkritik teknologi modern sebagai bentuk penguasaan atas alam, yang
menyisakan bahaya
(Gefahr) bila manusia lupa akan hakikat keberadaannya sebagai bagian dari
alam⁷. Pemikiran kontemporer seperti Bruno Latour dan Donna
Haraway, meskipun bersifat lintas disiplin, mengadopsi semangat
dekonstruktif dan relasional dari kontinentalisme untuk membayangkan ulang
hubungan manusia dengan makhluk dan materi lain⁸.
8.5.
Pendidikan, Keadaban,
dan Perubahan Sosial
Dalam dunia
pendidikan, filsafat kontinental memberikan kontribusi besar melalui pendekatan
kritis
dan reflektif terhadap kurikulum, pedagogi, dan nilai-nilai
kemanusiaan. Paulo Freire, yang meskipun
berasal dari Amerika Latin, sangat dipengaruhi oleh teori kritis kontinental,
terutama dalam pengembangan pendidikan sebagai praksis pembebasan. Pendidikan
tidak lagi dipahami sebagai transmisi pengetahuan, melainkan sebagai ruang
dialektika untuk membongkar ideologi dan memberdayakan subjek⁹.
Melalui refleksi
atas sejarah, tubuh, bahasa, kekuasaan, dan etika, filsafat kontinental tetap
menjadi alat analisis yang relevan dan kuat dalam membongkar kompleksitas
zaman. Meskipun kerap dikritik karena abstraksinya, kekuatan filsafat
kontinental justru terletak pada kemampuannya untuk mendorong kesadaran
kritis, membongkar asumsi dasar, dan membuka kemungkinan baru
bagi perubahan sosial yang berkeadaban.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 13–15.
[2]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 3–25.
[3]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 119–124.
[4]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press,
1964), 50–55.
[5]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–201.
[6]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–117.
[7]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans.
William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 28–32.
[8]
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 96–101; Donna Haraway, Staying
with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University
Press, 2016), 19–25.
[9]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2005), 79–84.
9.
Penutup
Filsafat kontinental,
sebagai tradisi intelektual yang berakar pada Eropa daratan sejak akhir abad
ke-18, telah memainkan peran penting dalam membentuk horizon pemikiran modern
dan kontemporer. Berbeda dengan pendekatan analitik yang mengedepankan
kejelasan logis dan bahasa formal, filsafat kontinental lebih menekankan
kedalaman refleksi historis, dimensi eksistensial, dan kesadaran kritis
terhadap realitas sosial dan kultural. Tradisi ini menawarkan beragam
pendekatan, mulai dari fenomenologi dan eksistensialisme, hingga hermeneutika,
teori kritis, strukturalisme, dan post-strukturalisme, yang semuanya memberikan
kontribusi substansial dalam memahami manusia sebagai makhluk yang bersejarah,
berbahasa, dan terlibat dalam dunia¹.
Dalam perjalanan
historisnya, filsafat kontinental tidak hanya melahirkan pemikiran yang radikal
dan subversif terhadap sistem-sistem mapan, tetapi juga membuka ruang bagi
dialog lintas disiplin, termasuk dalam ilmu sosial, studi budaya, seni,
politik, dan etika. Tokoh-tokoh seperti Kant, Hegel, Nietzsche, Heidegger,
Sartre, Derrida, Foucault, dan Habermas telah memperkaya cara kita memahami
relasi antara individu dan masyarakat, kekuasaan dan pengetahuan, serta makna
dan bahasa².
Kendati filsafat
kontinental kerap dikritik karena kompleksitas bahasanya, gaya tulisannya yang
sulit, serta kecenderungannya terhadap relativisme dan abstraksi³, kekuatannya
justru terletak pada kemampuannya untuk menantang dogma, membongkar struktur
ideologis yang tersembunyi, dan mengungkap dimensi-dimensi pengalaman yang
tidak terjangkau oleh pendekatan positivistik. Di tengah krisis global—baik
dalam bentuk ketimpangan ekonomi, polarisasi politik, kerusakan lingkungan,
maupun alienasi kultural—filsafat kontinental menawarkan instrumen reflektif
untuk memahami dan merespons dinamika tersebut secara kritis dan manusiawi⁴.
Lebih dari sekadar
warisan pemikiran Eropa, filsafat kontinental kini telah menjadi bagian dari
diskursus global. Ia diterima, dikembangkan, dan dikritisi di berbagai belahan
dunia, termasuk dalam konteks poskolonial, feminis, dan ekoteologis.
Transformasi ini menunjukkan fleksibilitas dan daya hidup filsafat kontinental
dalam menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian,
memahami filsafat kontinental bukanlah sekadar mempelajari aliran-aliran
filsafat, tetapi juga melibatkan keterbukaan terhadap dialog lintas wacana,
sensitivitas terhadap kondisi historis, dan komitmen terhadap pembebasan serta
keberlanjutan kemanusiaan. Dalam semangat itulah filsafat kontinental tetap
relevan dan mendesak untuk terus dikaji, diajarkan, dan dihidupi.
Footnotes
[1]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 10–12.
[2]
Alan D. Schrift, ed., The History of Continental Philosophy,
vol. 1–8 (Durham: Acumen Publishing, 2010), 1:45–52.
[3]
Michael Rosen, “Continental Philosophy from Hegel,” in The Oxford
Handbook of Continental Philosophy, ed. Brian Leiter and Michael Rosen
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 12–14.
[4]
Terry Eagleton, The Illusions of Postmodernism (Oxford:
Blackwell Publishers, 1996), 110–117.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1952). Language,
truth and logic. Dover Publications.
Butler, J. (1990). Gender
trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Critchley, S. (2001). Continental
philosophy: A very short introduction. Oxford University Press.
Deleuze, G., &
Guattari, F. (1987). A thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia
(B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). Routledge.
Derrida, J. (1982). Margins
of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Eagleton, T. (1996). The
illusions of postmodernism. Blackwell Publishers.
Eagleton, T. (2003). After
theory. Basic Books.
Freire, P. (2005). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Foucault, M. (1972). The
archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon
Press.
Habermas, J. (1987). The
philosophical discourse of modernity (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between
facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy
(W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Haraway, D. (2016). Staying
with the trouble: Making kin in the Chthulucene. Duke University Press.
Hegel, G. W. F. (1977). The
phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1971). Poetry,
language, thought (A. Hofstadter, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The
question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Horkheimer, M., &
Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press.
Husserl, E. (1983). Ideas
pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy
(F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.
Irigaray, L. (1985). Speculum
of the other woman (G. C. Gill, Trans.). Cornell University Press.
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press.
Kellner, D. (1989). Critical
theory, Marxism, and modernity. Johns Hopkins University Press.
Latour, B. (1993). We
have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne
University Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional
man. Beacon Press.
Moran, D. (2000). Introduction
to phenomenology. Routledge.
Nietzsche, F. (1974). The
gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (2006). On
the genealogy of morality (C. Diethe, Trans.). Cambridge University Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation
theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University
Press.
Ricoeur, P. (1984). Time
and narrative (Vol. 1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.).
University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself
as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Rosen, M. (2007).
Continental philosophy from Hegel. In B. Leiter & M. Rosen (Eds.), The
Oxford handbook of continental philosophy (pp. 7–26). Oxford University
Press.
Russell, B. (1945). A
history of western philosophy. Simon & Schuster.
Sartre, J.-P. (1956). Being
and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Schrift, A. D. (Ed.).
(2010). The history of continental philosophy (Vols. 1–8). Acumen
Publishing.
Solomon, R. C., &
Higgins, K. M. (1996). A short history of philosophy. Oxford
University Press.
Spivak, G. C. (1994). Can
the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial
discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 66–111). Columbia
University Press.
West, D. (2010). Continental
philosophy: An introduction. Polity Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar