Keunikan Akhlak Berdasarkan Perspektif Ilmu
Tinjauan atas Qs. Al-Ahzab [33] ayat 32 sebagai Etika
Sosial dan Spiritual
Alihkan ke: Adab
dab Akhlak dalam Perspektif Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji nilai-nilai akhlak perempuan
dalam perspektif Al-Qur’an, dengan fokus pada Qs. Al-Ahzab [33] ayat 32 sebagai
pedoman etika sosial dan spiritual. Ayat ini memberikan arahan moral kepada
istri-istri Nabi Saw, namun secara substansial memuat prinsip-prinsip universal
yang relevan bagi seluruh perempuan Muslimah, terutama dalam menjaga cara
berbicara dan berinteraksi dengan lawan jenis. Melalui pendekatan tafsir
tematik (maudhū‘i), artikel ini menggali makna larangan takhadhdhu‘ bil qawl
(berbicara dengan nada menggoda) dan perintah qaulan ma‘rūfan (berkata
yang baik dan pantas) dalam berbagai konteks kehidupan, termasuk ruang publik
dan media digital. Dengan merujuk pada tafsir klasik (al-Ṭabarī, al-Qurṭubī,
Ibn Kathīr) dan kontemporer (Wahbah al-Zuḥailī, Quraish Shihab), pembahasan ini
menegaskan pentingnya akhlak komunikasi sebagai wujud ketakwaan, perlindungan
terhadap kehormatan diri, serta sebagai sarana dakwah bil ḥāl dalam membentuk
masyarakat yang bermartabat. Artikel ini juga menyajikan strategi implementasi
nilai-nilai tersebut dalam pendidikan, dakwah, dan budaya media, sehingga
membentuk paradigma akhlak perempuan yang Qur’ani dan kontekstual.
Kata Kunci: Akhlak perempuan, Qs. Al-Ahzab [33] ayat 32, etika
komunikasi, takhadhdhu‘ bil qawl, qaulan ma‘rūfan, tafsir Al-Qur’an, kehormatan
diri, etika digital, perempuan Muslimah.
PEMBAHASAN
Akhlak Perempuan dalam Perspektif Al-Qur’an
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an tidak
hanya menjadi sumber hukum utama dalam Islam, tetapi juga menjadi pedoman etis
dan moral bagi umat manusia, termasuk dalam pembentukan akhlak perempuan. Salah
satu ayat yang memuat tuntunan etika yang mendalam bagi perempuan adalah Qs.
Al-Ahzab [33] ayat 32. Ayat ini secara khusus ditujukan kepada istri-istri Nabi
Muhammad Saw, namun kandungan nilai yang terkandung di dalamnya mengandung
prinsip universal yang berlaku luas bagi perempuan Muslimah sepanjang zaman.
Peran perempuan
dalam kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari ajaran akhlak yang menjadi
fondasi peradaban Islam. Ketika perempuan terlibat dalam ruang publik—baik
dalam pendidikan, pekerjaan, maupun dakwah—Islam memberikan panduan agar mereka
menjaga kehormatan, kesantunan, dan integritas diri. Qs. Al-Ahzab [33] ayat 32
menekankan pentingnya menjaga gaya bicara agar tidak menimbulkan fitnah dan
godaan bagi laki-laki yang memiliki penyakit dalam hati, serta mengarahkan
perempuan untuk berkata dengan qaulan ma‘rūfan (perkataan yang
baik dan pantas).
Tuntunan ini tidak
dimaksudkan untuk membatasi perempuan, tetapi lebih sebagai perlindungan
terhadap harkat dan martabatnya, serta sebagai pencegahan terhadap eksploitasi
seksual dan komunikasi yang berpotensi melanggar nilai-nilai kesucian. Dalam
konteks ini, akhlak perempuan menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga kesehatan
moral masyarakat. Seperti yang ditegaskan oleh Nasaruddin Umar,
perintah-perintah syariat terhadap perempuan seringkali memiliki semangat protektif,
bukan represif, dan harus dilihat dalam kerangka membangun tatanan sosial yang
mulia dan berkeadilan gender dalam pandangan Islam yang autentik¹.
Di tengah arus
globalisasi, digitalisasi, dan pergeseran nilai-nilai, akhlak perempuan
menghadapi tantangan baru, seperti eksposur media sosial, budaya populer yang
banal, dan krisis identitas. Oleh karena itu, relevansi ayat ini perlu dikaji
secara kontekstual dan komprehensif untuk menjadi pedoman etis perempuan
Muslimah modern dalam menjaga kehormatan dirinya dan berkontribusi dalam
masyarakat.
1.2.
Rumusan Masalah
Tulisan ini hendak
menjawab beberapa pertanyaan mendasar berikut:
1)
Apa kandungan nilai-nilai akhlak
dalam Qs. Al-Ahzab [33] ayat 32?
2)
Bagaimana penafsiran para ulama
klasik dan kontemporer terhadap ayat ini?
3)
Apa makna etika komunikasi dan
perilaku sosial yang digariskan dalam ayat tersebut?
4)
Bagaimana implementasi nilai-nilai
ayat ini dalam konteks perempuan Muslimah masa kini?
1.3.
Tujuan Penulisan
Tulisan ini
bertujuan untuk:
·
Menjelaskan secara mendalam
kandungan Qs. Al-Ahzab [33] ayat 32 dalam kerangka pembinaan akhlak perempuan.
·
Menyajikan penafsiran dari
berbagai sumber tafsir klasik dan modern.
·
Menawarkan perspektif
aplikatif terhadap tuntunan akhlak ini dalam kehidupan sosial, khususnya di era
modern.
1.4.
Metodologi Kajian
Kajian ini
menggunakan pendekatan tematik (tafsir maudhu‘i)
terhadap ayat Al-Qur’an dengan analisis tekstual dan kontekstual. Pendekatan
ini memungkinkan integrasi antara makna literal (lafdzi) dengan makna
kontekstual (ma‘nawi) sebagaimana dijelaskan oleh Al-Zarqani dalam Manāhil
al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān². Penulis juga mengacu pada
tafsir-tafsir otoritatif seperti Tafsīr al-Ṭabarī, Tafsīr
al-Qurṭubī, Tafsīr Ibn Kathīr, Tafsīr
al-Munīr oleh Wahbah al-Zuḥailī, dan Tafsir al-Mishbah oleh M. Quraish
Shihab sebagai referensi utama.
1.5.
Manfaat Kajian
Kajian ini
diharapkan memberikan kontribusi sebagai:
·
Pemahaman keilmuan,
khususnya dalam studi akhlak Qur’aniyah.
·
Pedoman praktis
bagi perempuan Muslim dalam bersikap dan berperilaku di ruang publik.
·
Rujukan pendidikan
karakter Islam dalam pembentukan etika sosial berbasis nilai-nilai
Al-Qur’an.
Footnotes
[1]
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
(Jakarta: Paramadina, 1999), 66.
[2]
Muhammad Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm
al-Qur’ān, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 120.
2.
Tafsir
Qs. Al-Ahzab [33] Ayat 32 dalam Konteks Akhlak Perempuan
2.1.
Teks, Terjemah, dan Struktur Ayat
Ayat yang menjadi
pusat kajian ini berbunyi:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ
ۚ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan-perempuan yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga bangkit
nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
(Qs. Al-Ahzab [33] ayat 32)
Secara struktur,
ayat ini memuat empat unsur penting:
1)
Panggilan khusus
kepada istri-istri Nabi.
2)
Penegasan identitas
dan keistimewaan mereka.
3)
Larangan berbicara dengan
nada menggoda.
4)
Perintah untuk berbicara
secara ma‘rūf (baik, sopan, dan pantas).
Meskipun ayat ini
ditujukan langsung kepada ummahatul mu’minin (istri-istri Nabi), para mufassir
menyepakati bahwa nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya bersifat
universal dan mengikat semua perempuan Muslimah yang ingin menjaga kemuliaan dirinya
melalui akhlak Qur’aniyah¹.
2.2.
Penafsiran Ulama Klasik
2.2.1.
Tafsīr al-Ṭabarī
Imam al-Ṭabarī
menafsirkan larangan “فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ” sebagai larangan
berbicara dengan suara lembut dan menggoda yang dapat memicu ketertarikan
seksual dari lelaki yang tidak baik niatnya. Ia menambahkan bahwa ini adalah
bentuk penjagaan terhadap perempuan dari potensi pelecehan dan peremehan².
2.2.2.
Tafsīr al-Qurṭubī
Al-Qurṭubī
menjelaskan bahwa ayat ini adalah bagian dari sistem proteksi moral dalam Islam
yang bertujuan menjaga perempuan dari fitnah serta menjaga laki-laki dari
hasrat yang menyimpang. Menurutnya, larangan ini bukanlah pembatasan peran
publik perempuan, melainkan etika dalam berinteraksi³.
2.2.3.
Tafsīr Ibn Kathīr
Ibn Kathīr
menggarisbawahi bahwa ayat ini menegaskan perlunya menjaga kesucian ucapan,
terutama ketika berbicara dengan laki-laki non-mahram. Ucapan yang “ma‘rūf”
adalah ucapan yang mengandung kejujuran, tidak dibuat-buat, dan tidak
melembut-lembutkan tanpa alasan syar‘i⁴.
2.3.
Tafsir Kontemporer dan Relevansi Kontekstual
2.3.1.
Wahbah al-Zuḥailī –
Tafsīr al-Munīr
Menurut al-Zuḥailī,
ayat ini merupakan bagian dari perangkat sosial dalam Islam yang menjaga
kehormatan perempuan dan mencegah fitnah. Ia juga menyoroti pentingnya
perempuan untuk tetap aktif dalam kehidupan sosial, asalkan disertai dengan
adab Islami dan batas-batas yang ditentukan syariat⁵.
2.3.2.
M. Quraish Shihab –
Tafsir al-Mishbah
Shihab menegaskan
bahwa pesan ayat ini sangat kontekstual dalam kehidupan modern. Ia menyatakan
bahwa perempuan memiliki ruang yang luas dalam kehidupan publik, namun harus
tetap menjaga komunikasi yang sehat, sopan, dan bebas dari
manipulasi emosi yang bisa menjerumuskan pada ketidakpantasan⁶.
2.4.
Makna “Qaulan Ma‘rūfan” dan Implikasinya
Frasa “وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا” menjadi fondasi penting
dalam membentuk etika bicara bagi perempuan. Dalam berbagai tafsir, qaulan
ma‘rūfan bermakna ucapan yang:
·
Sesuai konteks,
·
Lugas dan sopan,
·
Tidak menimbulkan syubhat
(keraguan moral),
·
Mengandung kejujuran dan
kebaikan.
Ayat ini tidak
melarang perempuan untuk berbicara, tetapi memberikan kerangka
etis bagaimana berbicara yang mencerminkan kehormatan diri dan
menghindari fitnah sosial. Hal ini sangat penting mengingat Islam menempatkan
kehormatan (‘ird) sebagai salah satu dari lima maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan
pokok syariat).
Kesimpulan Sementara
Penafsiran ayat ini
menunjukkan bahwa:
·
Larangan suara
menggoda adalah bagian dari etika sosial untuk melindungi perempuan
dan mencegah perilaku menyimpang dari pihak lain.
·
Ucapan yang ma‘rūf
merupakan simbol integritas moral yang harus dimiliki setiap Muslimah dalam
berbicara.
·
Tuntunan ini
bersifat universal, meskipun ayat turun khusus kepada istri Nabi, karena
akhlak Qur’ani tidak dibatasi oleh status sosial atau ruang dan waktu.
Footnotes
[1]
M. Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta hingga Seks, dari Nikah
Mut’ah hingga Nikah Sunnah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 92.
[2]
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, ed.
Ahmad Muhammad Shākir (Beirut: Dār al-Ma‘ārif, 2000), 20:265.
[3]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 14:178.
[4]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī ibn Muhammad
Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 6:439.
[5]
Wahbah al-Zuḥailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa
al-Manhaj, Jilid 22 (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘āṣir, 2001), 22:9.
[6]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 48.
3.
Etika
Komunikasi dan Interaksi Perempuan dalam Islam
3.1.
Konsep Khithab kepada "Istri Nabi"
dan Implikasinya bagi Muslimah Umum
Surah Al-Ahzab [33]
ayat 32 dibuka dengan seruan khusus kepada istri-istri Nabi, “Yā
Nisāʾa al-Nabī”, yang secara eksplisit menunjukkan keistimewaan dan
tanggung jawab moral mereka sebagai figur publik dan panutan bagi kaum
Muslimah. Namun, mayoritas ulama tafsir menegaskan bahwa meskipun ayat ini
memiliki khushūṣ
al-sabab (sebab khusus), tetapi mengandung ‘umūm
al-lafẓ (makna yang bersifat umum), sehingga etika yang
dikandungnya relevan untuk seluruh perempuan Muslim¹.
Imam al-Syaukani
dalam Fath
al-Qadīr menjelaskan bahwa hukum yang dikenakan kepada istri Nabi
bisa berlaku kepada perempuan lainnya jika tidak ada dalil yang
mengkhususkannya, terlebih jika yang dimaksud adalah nilai-nilai universal
seperti akhlak dan adab sosial². Oleh karena itu, perempuan Muslimah secara
umum dipandang berkewajiban untuk menjadikan adab yang dijelaskan dalam ayat
tersebut sebagai standar perilaku sosial yang luhur.
3.2.
Prinsip “Qaulan Ma‘rūfan” sebagai Etika
Berbicara
Frasa qaulan
ma‘rūfan dalam Qs. Al-Ahzab [33] ayat 32 menjadi pusat etika
komunikasi Islam. Istilah ini tidak sekadar menunjuk pada tutur kata yang
sopan, tetapi mengandung nilai moral, kejelasan, ketulusan, dan penghormatan
kepada norma sosial serta tidak menimbulkan syahwat atau fitnah. Dalam banyak
tempat lain di Al-Qur’an, seperti Qs. Al-Baqarah [2] ayat 235, Qs. Al-Isra’ [17]
ayat 53, dan Qs. An-Nisa’ [4] ayat 5, kata ma‘rūf selalu merujuk pada sesuatu
yang baik secara syariat dan diterima secara sosial³.
Quraish Shihab
menjelaskan bahwa qaulan ma‘rūfan harus dipahami
sebagai gaya berbicara yang jelas namun tidak merendahkan martabat,
tegas
namun tidak kasar, dan bermoral tinggi tanpa menggoda.
Etika ini penting dalam konteks sosial Islam karena komunikasi merupakan media
paling vital dalam relasi antarpribadi⁴.
Dalam konteks
kontemporer, perempuan Muslimah dituntut untuk menjaga cara berbicara, baik
secara langsung maupun melalui media daring. Nada suara, pilihan kata, dan gaya
penyampaian harus dijaga agar tidak memberi kesan yang ambigu atau menjurus
kepada kesan menggoda. Ini merupakan bentuk kehati-hatian dalam menjaga
kehormatan diri dan menghindarkan pihak lain dari potensi godaan.
3.3.
Bahaya “Takhadhdhu‘ bil Qawl” dalam Perspektif
Psikososial
Larangan “fa-lā
takhḍa‘na bi al-qawl” dalam ayat ini merujuk pada gaya bicara yang
menggoda, terlalu lembut, dan dibuat-buat yang bisa menimbulkan syahwat dalam
hati orang yang tidak lurus. Ulama tafsir seperti Al-Qurṭubī menyebut bahwa
frasa ini merupakan bentuk pencegahan preventif terhadap
kemungkinan timbulnya perilaku yang menyimpang, baik dari perempuan maupun
laki-laki yang mendengarnya⁵.
Dari perspektif
psikologi Islam, sikap dan intonasi dalam berbicara memiliki efek langsung
terhadap persepsi dan reaksi pendengar. Jika ucapan disertai dengan nada yang
terlalu menggoda, itu bisa menciptakan suasana emosional yang tidak sehat,
terutama bagi orang yang “fī qalbihī maraḍ” (berpenyakit
hati)—yakni mereka yang memiliki kecenderungan hawa nafsu dan godaan seksual⁶.
Dalam konteks modern,
prinsip ini menjadi sangat relevan dalam budaya komunikasi populer seperti
media sosial, podcast, siaran suara, dan video daring. Banyak perempuan yang
tidak menyadari bahwa gaya bicara atau cara mengekspresikan diri yang terlalu
manja atau dibuat-buat dapat menimbulkan reaksi yang tidak semestinya dari
audiensnya, bahkan tanpa disadari menjadi bagian dari eksploitasi citra diri.
Dengan demikian,
prinsip takhadhdhu‘
bil qawl mengandung nilai perlindungan bagi perempuan dari
eksploitasi seksual simbolik sekaligus menjaga masyarakat dari penyimpangan
moral.
3.4.
Perempuan sebagai Simbol Kesopanan dan Dakwah
Bil Hal
Akhlak perempuan
dalam Islam bukan hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan sebagai bagian
dari misi kolektif membangun masyarakat yang beradab. Oleh karena itu,
perempuan diharapkan menjadi contoh dalam menjaga lisannya, tampil dengan
kesederhanaan, dan menunjukkan sikap yang terhormat dalam setiap bentuk
interaksi sosial. Ini yang disebut oleh para ulama sebagai dakwah
bil ḥāl—yakni menyampaikan pesan keislaman melalui keteladanan
akhlak dan sikap⁷.
Sikap seorang
perempuan Muslimah dalam berbicara dan berinteraksi mencerminkan kedalaman
imannya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ،
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR.
Bukhari dan Muslim)⁸
Kesimpulan Antara Bab
Etika komunikasi
perempuan dalam Islam tidak didasarkan pada pembatasan peran, melainkan pada pengaturan
moral dan spiritual yang melindungi harkat perempuan dan
kesucian sosial secara umum. Melalui prinsip qaulan ma‘rūfan dan larangan takhadhdhu‘
bil qawl, Islam meletakkan fondasi komunikasi yang adil, bersih,
dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 48.
[2]
Muhammad bin Ali al-Syaukani, Fath al-Qadīr (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2001), 4:289.
[3]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 14:180.
[4]
Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta hingga Seks, dari Nikah
Mut’ah hingga Nikah Sunnah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 93–94.
[5]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘, 14:181.
[6]
Malik Badri, Contemporary Issues in Islamic Psychology (Kuala
Lumpur: IIIT, 2000), 104–105.
[7]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 67.
[8]
Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitab al-Adab,
no. 6136; Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 47.
4.
Implementasi
Nilai Qs. Al-Ahzab [33] Ayat 32 dalam Konteks Modern
4.1.
Peran Muslimah di Ruang Publik: Batas dan Etika
Kemajuan pendidikan
dan teknologi telah membuka akses luas bagi perempuan Muslimah untuk aktif
dalam berbagai bidang kehidupan publik: pendidikan, kesehatan, hukum, politik,
hingga dunia dakwah. Namun, keaktifan ini harus tetap berada dalam kerangka
nilai-nilai moral dan spiritual sebagaimana dituntunkan dalam Qs. Al-Ahzab [33]
ayat 32.
Ayat ini tidak
melarang perempuan untuk tampil dan berbicara di hadapan publik, tetapi
memberikan kerangka etik agar partisipasi
tersebut tetap mencerminkan kehormatan, profesionalisme, dan integritas.
Menurut Wahbah al-Zuḥailī, “berbicara secara ma‘rūf dalam konteks ini berarti
berbicara secara jelas, wajar, dan tidak menimbulkan fitnah, khususnya saat
berinteraksi dengan laki-laki yang bukan mahram”¹.
Dalam ruang publik,
batas-batas yang harus dijaga antara lain:
·
Nada suara dan
ekspresi verbal yang tidak mengundang syahwat.
·
Konten pembicaraan
yang ilmiah, sopan, dan tidak bersifat pribadi.
·
Sikap tubuh dan
pakaian yang mencerminkan adab Islam.
Konsep hijāb
sosial menjadi penting di sini—bukan hanya pakaian fisik, melainkan
juga hijab perilaku, hijab komunikasi, dan hijab moral.
4.2.
Telaah Etika Digital bagi Perempuan Muslimah
Era digital membawa
tantangan baru bagi implementasi akhlak Qur’ani. Media sosial, vlog, siaran
suara, dan platform interaktif menjadi medan baru di mana komunikasi lintas
gender berlangsung sangat terbuka. Di sinilah relevansi QS. Al-Ahzab [33] ayat 32
kembali diuji.
Perempuan Muslimah
harus menyadari bahwa suara, gaya berbicara, dan cara mengekspresikan
diri secara daring dapat mempengaruhi persepsi dan respons
publik. Hal ini sangat relevan dengan larangan takhadhdhu‘ bil qawl dalam ayat
tersebut.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Amina Wadud, komunikasi dalam ruang publik digital harus
mempertimbangkan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya dalam menjaga ‘ird
(kehormatan) dan nafs (jiwa) dari eksposur yang
membahayakan². Misalnya:
·
Membatasi penggunaan nada
suara sensual dalam konten audio.
·
Menghindari konten dengan
ekspresi visual yang ambigu.
·
Menjaga batas interaksi
personal di ruang komentar atau pesan pribadi.
Perempuan bukan
hanya objek dalam komunikasi digital, tetapi subjek aktif yang dapat menjaga
martabatnya dan turut membentuk budaya daring yang sehat dan Qur’ani.
4.3.
Akhlak Perempuan Muslimah sebagai Representasi
Dakwah Bil Ḥāl
Akhlak perempuan
tidak hanya mencerminkan kualitas iman pribadi, tetapi juga merupakan bentuk dakwah
bil ḥāl—yakni menyampaikan nilai-nilai Islam melalui
keteladanan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika perempuan
Muslimah berbicara dengan penuh etika, berpakaian dengan sopan, menjaga
interaksi dengan penuh kehormatan, dan bersikap tenang dalam berbagai ruang
publik, maka ia telah menunaikan fungsi dakwahnya secara nyata. Sebagaimana
disebutkan dalam hadis Nabi Saw:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
"Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad)³
Dengan demikian,
akhlak perempuan bukan sekadar wujud kesalehan individual, melainkan
kontributor penting dalam membentuk masyarakat yang bermartabat dan selaras
dengan nilai-nilai Qur’ani. Di era modern yang sarat dengan tantangan moral dan
arus sekularisme, kehadiran perempuan Muslimah yang berakhlak mulia menjadi
benteng sekaligus teladan sosial.
4.4.
Strategi Pendidikan dan Pembinaan Akhlak
Komunikatif Muslimah
Untuk
mengimplementasikan nilai-nilai QS. Al-Ahzab [33] ayat 32 secara menyeluruh,
diperlukan pendekatan edukatif dan preventif melalui:
·
Pendidikan karakter
Islam di madrasah dan pesantren yang menekankan etika komunikasi,
etika digital, dan interaksi gender sehat.
·
Pelatihan public
speaking Islami bagi perempuan Muslimah yang aktif di bidang dakwah,
pendidikan, atau media.
·
Kampanye media
sosial berbasis nilai Islam untuk mendorong kesadaran akan pentingnya qaulan
ma‘rūfan dalam ruang daring.
Quraish Shihab
menekankan bahwa Islam tidak membatasi perempuan untuk berbicara, tetapi
membimbing agar pembicaraannya menjadi instrumen nilai, bukan instrumen godaan
atau kesia-siaan⁴.
Kesimpulan Antara Bab
Nilai QS. Al-Ahzab
[33] ayat 32 tetap sangat relevan dalam konteks kehidupan modern. Ayat ini
menjadi pedoman etika sosial yang menegaskan bahwa perempuan memiliki hak untuk
aktif dan berbicara di ruang publik, namun dengan menjaga adab, kesopanan, dan
integritas moral. Dalam ruang digital sekalipun, nilai qaulan
ma‘rūfan dan larangan takhadhdhu‘ bil qawl harus tetap
dijunjung tinggi sebagai bagian dari komitmen terhadap kesalehan sosial dan
spiritual.
Footnotes
[1]
Wahbah al-Zuḥailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa
al-Manhaj, Jilid 22 (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘āṣir, 2001), 22:9.
[2]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 89–90.
[3]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad, no. 8729.
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 47–48.
5.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
5.1.
Kesimpulan
Kajian terhadap Qs.
Al-Ahzab [33] ayat 32 menunjukkan bahwa ayat ini memiliki kandungan nilai
akhlak yang tinggi dan relevan untuk diterapkan dalam kehidupan perempuan
Muslimah di segala zaman. Meskipun secara eksplisit ditujukan kepada
istri-istri Nabi Saw, para mufassir bersepakat bahwa kandungan nilai moral yang
termuat di dalamnya bersifat universal, khususnya dalam membentuk adab
komunikasi perempuan dengan lawan jenis.
Secara substansial,
ayat ini mengandung dua prinsip besar dalam etika sosial:
1)
Larangan terhadap
takhadhdhu‘ bil qawl
Yakni berbicara dengan gaya yang lembut dan
menggoda yang berpotensi menimbulkan fitnah atau godaan bagi orang yang berhati
sakit (fī qalbihī maraḍ). Ini adalah bentuk pencegahan terhadap
pelecehan, eksploitasi seksual, dan penyimpangan sosial¹.
2)
Anjuran untuk berkata
dengan qaulan ma‘rūfan
Yakni ucapan yang sopan, wajar, bermoral, dan
konstruktif, sesuai dengan nilai-nilai kesopanan dalam Islam dan norma sosial
yang diterima secara umum².
Ayat ini menempatkan
perempuan sebagai penjaga moralitas sosial, bukan sekadar subjek pasif dalam
masyarakat. Akhlak perempuan Muslimah dalam berbicara dan berinteraksi menjadi
tolok ukur keutuhan nilai-nilai Qur’ani dalam kehidupan bermasyarakat. Ini
selaras dengan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah yang menempatkan ḥifẓ
al-‘ird (penjagaan kehormatan) sebagai salah satu tujuan utama
syariat³.
Dalam konteks
modern, nilai-nilai tersebut menjadi semakin penting di tengah keterbukaan
informasi dan intensitas komunikasi digital. Perempuan Muslimah perlu memiliki
kesadaran spiritual dan etika dalam menyikapi interaksi sosial, baik secara
langsung maupun melalui media, agar tetap berada dalam koridor akhlak Islam.
5.2.
Rekomendasi
Berdasarkan
kesimpulan di atas, terdapat beberapa rekomendasi strategis untuk berbagai
kalangan:
5.2.1.
Bagi Perempuan
Muslimah
·
Menjadikan QS. Al-Ahzab [33]
ayat 32 sebagai pedoman dalam menjaga kehormatan diri melalui komunikasi yang
sopan dan bertanggung jawab.
·
Menghindari gaya berbicara,
menulis, atau berekspresi yang menjurus kepada eksploitasi emosi, godaan, atau
merendahkan martabat diri.
·
Memahami bahwa akhlak
komunikasi merupakan bentuk nyata dari ketakwaan dan intelektualitas spiritual.
5.2.2.
Bagi Lembaga Pendidikan
Islam
·
Mengintegrasikan
nilai-nilai komunikasi Qur’ani ke dalam kurikulum akhlak dan pelatihan public
speaking Islami.
·
Menyelenggarakan pembinaan
dan pelatihan adab digital bagi santri dan siswa dalam menghadapi dunia media
sosial.
·
Mempromosikan model
keteladanan perempuan-perempuan shalihah dalam sejarah Islam sebagai role model
dalam komunikasi publik.
5.2.3.
Bagi Para Da’i dan
Cendekiawan Muslim
·
Mendorong tafsir tematik
Al-Qur’an yang aplikatif dan relevan dengan tantangan zaman modern, termasuk
dalam isu akhlak perempuan.
·
Menghindari pendekatan
tekstualis-sektarian yang hanya menekankan pembatasan peran perempuan tanpa
memperhatikan konteks moral dan sosialnya.
·
Memperkuat wacana tentang
perempuan sebagai agen moral, bukan objek kultural.
5.2.4.
Bagi Masyarakat
Muslim Umum
·
Membangun budaya komunikasi
yang sehat, sopan, dan beradab antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
sosial, termasuk di ruang digital.
·
Menciptakan lingkungan yang
menghargai perempuan bukan hanya karena fisiknya, tetapi karena akhlak, ilmu,
dan kontribusinya dalam masyarakat.
Dengan demikian,
implementasi nilai QS. Al-Ahzab [33] ayat 32 tidak hanya menjadi dasar
pembinaan individu Muslimah, tetapi juga sebagai strategi kultural untuk
membangun masyarakat yang Qur’ani, beradab, dan berkeadilan gender sebagaimana
diajarkan oleh Islam yang rahmatan lil ‘alamin⁴.
Footnotes
[1]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 14:180.
[2]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 48.
[3]
Wahbah al-Zuḥailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa
al-Manhaj, Jilid 22 (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘āṣir, 2001), 22:10.
[4]
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
(Jakarta: Paramadina, 1999), 88.
Daftar Pustaka
Ahmad bin Hanbal. (n.d.). Musnad Aḥmad.
Beirut: Mu’assasah al-Risālah.
Al-Bukhari, M. I. (n.d.). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.
Riyadh: Dār Ṭayyibah.
Al-Qurṭubī. (1993). Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān
(Vol. 14). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Syaukani, M. b. A. (2001). Fath al-Qadīr.
Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Al-Ṭabarī, A. J. (2000). Jāmi‘ al-Bayān fī
Ta’wīl al-Qur’ān (A. M. Shākir, Ed.) (Vol. 20). Beirut: Dār al-Ma‘ārif.
Al-Zarqani, M. A. (1996). Manāhil al-‘Irfān fī
‘Ulūm al-Qur’ān (Vol. 2). Beirut: Dār al-Fikr.
Badri, M. (2000). Contemporary issues in Islamic
psychology. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought
(IIIT).
Ibn Kathīr, I. U. (1999). Tafsīr al-Qur’ān
al-‘Aẓīm (S. M. Salāmah, Ed.) (Vol. 6). Riyadh: Dār Ṭayyibah.
Shihab, M. Q. (2005). Tafsir al-Mishbah: Pesan,
kesan, dan keserasian al-Qur’an (Vol. 12). Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2007). Perempuan: Dari cinta
hingga seks, dari nikah mut’ah hingga nikah sunnah. Jakarta: Lentera Hati.
Umar, N. (1999). Argumen kesetaraan gender dalam
al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.
Wadud, A. (1999). Qur’an and woman: Rereading
the sacred text from a woman’s perspective. New York: Oxford University
Press.
Zuḥailī, W. (2001). Tafsīr al-Munīr fī
al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj (Vol. 22). Beirut: Dār al-Fikr
al-Mu‘āṣir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar