Kamis, 29 Mei 2025

Metafisika Aristoteles: Menjelajahi Hakikat Keberadaan Melalui Filsafat Aristotelian

Metafisika Aristoteles

Menjelajahi Hakikat Keberadaan Melalui Filsafat Aristotelian


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran metafisika Aristoteles sebagai fondasi utama dalam tradisi filsafat Barat. Dengan pendekatan analitis-historis, artikel ini menelusuri asal-usul dan struktur sistematis metafisika Aristoteles, mulai dari konsep keberadaan sebagai keberadaan (being qua being), ousia (substansi), teori empat sebab, hubungan antara bentuk dan materi (hylemorfisme), hingga konsep penggerak tak bergerak sebagai prinsip tertinggi realitas. Disoroti pula posisi metafisika sebagai ilmu pertama (first philosophy) dalam kerangka epistemologis Aristoteles, serta pengaruhnya terhadap filsafat skolastik, Islam klasik, dan pemikiran modern. Selain membahas pengaruh positif, artikel ini juga meninjau kritik terhadap metafisika Aristoteles, terutama dari perspektif Kantian dan Heideggerian. Melalui kajian ini, ditegaskan bahwa metafisika Aristoteles tidak hanya menjawab persoalan eksistensial secara rasional, tetapi juga menawarkan kerangka berpikir yang integratif dan relevan untuk refleksi filsafat kontemporer.

Kata Kunci: Aristoteles, metafisika, substansi (ousia), hylemorfisme, penggerak tak bergerak, ilmu pertama, aktualitas dan potensialitas, filsafat keberadaan, filsafat skolastik, kritik metafisika.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Metafisika Aristoteles


1.           Pendahuluan: Mengapa Metafisika?

Metafisika menempati posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan sistem filsafat Aristoteles karena di dalamnya terkandung penyelidikan paling mendalam mengenai realitas. Bagi Aristoteles, metafisika adalah ilmu pertama (prote philosophia), yaitu cabang filsafat yang mengkaji keberadaan sejauh keberadaan (being qua being), bukan semata-mata sebagai benda-benda fisik atau entitas empiris, melainkan sebagai eksistensi dalam pengertian yang paling mendasar dan universal¹.

Istilah "metafisika" sendiri berasal bukan dari Aristoteles, melainkan diberikan oleh penyusun naskah-naskahnya setelah wafatnya, merujuk pada karya-karya yang secara fisik disusun "setelah" (meta) buku-buku Fisika. Namun, secara substantif, istilah tersebut menjadi tepat karena membedakan bidang ini dari kajian-kajian alamiah, menuju sesuatu yang lebih tinggi dan lebih abstrak². Dalam karya Metaphysica, Aristoteles sendiri menyebut kajian ini sebagai ilmu tentang prinsip-prinsip pertama dan sebab-sebab pertama³.

Metafisika menurut Aristoteles bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar: Apa itu realitas? Apa yang menyebabkan sesuatu ada dan menjadi seperti itu? Apakah ada sesuatu yang tetap di balik perubahan? Dan apakah terdapat prinsip yang tidak berubah sebagai dasar dari segala hal? Dengan kata lain, metafisika menyelidiki struktur terdalam dari realitas, mencari dasar bagi segala eksistensi yang mungkin⁴.

Selain itu, bagi Aristoteles, metafisika juga bersifat kontemplatif dan memiliki nilai tertinggi dalam hierarki pengetahuan. Tidak seperti ilmu-ilmu praktis atau produktif yang berorientasi pada tindakan atau hasil, metafisika mengarah pada theoria, yaitu pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri⁵. Dalam hal ini, metafisika bukan hanya pencarian intelektual, tetapi juga bentuk tertinggi dari kehidupan rasional manusia, yaitu kehidupan yang didedikasikan pada kebijaksanaan (sophia)⁶.

Urgensi metafisika juga tercermin dalam pengaruh luasnya terhadap bidang-bidang lain dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Konsep-konsep dasar seperti substansi (ousia), sebab-akibat (causality), bentuk dan materi (form and matter), serta aktualitas dan potensialitas (actuality and potentiality), telah membentuk fondasi bagi teori pengetahuan, etika, dan bahkan ilmu alam dalam berbagai sistem pemikiran sesudahnya⁷.

Dengan demikian, pembahasan metafisika Aristoteles bukanlah sekadar eksplorasi akademik terhadap pemikiran kuno, melainkan juga penggalian terhadap pertanyaan-pertanyaan abadi tentang realitas, eksistensi, dan kebenaran yang tetap relevan hingga masa kini. Hal inilah yang menjadikan metafisika sebagai dimensi paling esensial dalam tradisi filsafat Barat, dan titik tolak yang tak tergantikan dalam memahami keseluruhan pemikiran Aristoteles.


Footnotes

1.      Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1003a21–25.

2.      Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 118.

3.      Aristotle, Metaphysics, 982a1–3.

4.      Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 9–12.

5.      S. Marc Cohen, “Aristotle’s Metaphysics,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/aristotle-metaphysics/.

6.      Thomas Aquinas, Commentary on Aristotle’s Metaphysics, trans. John P. Rowan (Dumb Ox Books, 1995), Book I, Lesson 1.

7.      Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 8–12.


2.           Aristoteles dan Latar Historis Filsafat Metafisika

Untuk memahami Metafisika Aristoteles secara utuh, perlu terlebih dahulu ditelusuri konteks historis yang melatarbelakangi kelahirannya. Aristoteles tidak menyusun pemikirannya dalam ruang hampa, melainkan berdialog kritis dengan para pendahulunya, terutama para filsuf pra-Sokratik dan gurunya sendiri, Plato. Konsep-konsep metafisik yang ia kembangkan adalah jawaban atas persoalan filosofis yang telah diwariskan oleh tradisi intelektual Yunani sebelumnya.

Pemikiran metafisika dalam filsafat Yunani dapat ditelusuri kembali kepada para filsuf pra-Sokratik seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos, yang untuk pertama kalinya mengalihkan perhatian dari mitos ke logos, yakni dari penjelasan mitologis menuju penjelasan rasional terhadap alam semesta. Thales, misalnya, mengajukan bahwa prinsip dasar segala sesuatu adalah air, sementara Anaximandros mengusulkan apeiron (yang tak terbatas) sebagai asas pertama¹. Meskipun masih bersifat kosmologis, pencarian terhadap arche (asal mula) menandai cikal bakal metafisika sebagai upaya memahami hakikat realitas secara mendasar.

Parmenides kemudian menjadi tokoh yang penting dalam membentuk arah metafisika berikutnya. Ia menolak perubahan dan pluralitas sebagai ilusi, dan menegaskan bahwa "yang ada adalah", sedangkan "yang tidak ada tidak dapat dipikirkan"². Pandangan ini memunculkan paradoks yang menjadi tantangan bagi filsuf-filsuf sesudahnya, termasuk Aristoteles. Sementara itu, Herakleitos mewakili kutub yang berlawanan dengan menekankan bahwa segala sesuatu sedang dalam keadaan mengalir (panta rhei)³. Konfrontasi antara Parmenides dan Herakleitos tentang hakikat perubahan dan keberadaan menjadi salah satu latar belakang yang sangat penting bagi pengembangan konsep potensialitas dan aktualitas dalam metafisika Aristoteles.

Tokoh yang paling berpengaruh langsung terhadap Aristoteles adalah Plato. Dalam teori ide (Forms), Plato memisahkan dunia indrawi yang berubah-ubah dari dunia ide yang kekal dan sempurna. Bagi Plato, kebenaran metafisik hanya bisa ditemukan dalam dunia ide yang bersifat non-materi dan imanen pada akal, bukan dalam dunia konkret yang dapat ditangkap indra⁴. Aristoteles mengkritik pemisahan tersebut dengan menyatakan bahwa bentuk (eidos) tidak berada di luar benda-benda, melainkan inheren di dalamnya. Kritik ini menjadi titik tolak dari sistem metafisika yang ia bangun, yang lebih bersifat imanen dan tidak dualistik⁵.

Metafisika Aristoteles sekaligus merupakan sintesis dan koreksi terhadap filsafat-filsafat terdahulu. Ia tidak hanya menolak ekstremitas Parmenides dan Herakleitos, tetapi juga menanggapi kelemahan dalam pandangan Plato. Dalam usahanya menjelaskan keberadaan dan perubahan, Aristoteles mengembangkan konsep ousia (substansi), causality (empat sebab), dan hylemorphism (kesatuan antara materi dan bentuk) yang menjadi kerangka utama dari filsafat metafisikanya⁶.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa metafisika Aristoteles lahir dari dialektika panjang antara berbagai aliran filsafat Yunani klasik. Ia tidak membangun sistem metafisik secara apriori, tetapi berdasarkan kritik, refleksi, dan integrasi atas pemikiran-pemikiran sebelumnya. Hal ini menjadikan sistem metafisika Aristoteles tidak hanya orisinal, tetapi juga kokoh dan argumentatif dalam menjawab persoalan fundamental tentang eksistensi, perubahan, dan realitas.


Footnotes

  1. Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy, revised ed. (London: Penguin Books, 2001), 36–41.
  2. Parmenides, Fragments, trans. John Burnet, in Early Greek Philosophy, ed. Jonathan Barnes (London: Penguin, 2001), 135.
  3. Heraclitus, Fragments, in The Presocratic Philosophers, ed. G. S. Kirk, J. E. Raven, and M. Schofield (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 187.
  4. Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 507b–511d.
  5. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 991a1–20.
  6. Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 130–137.

3.           Ousia (Substansi) sebagai Fokus Metafisika

Dalam kerangka metafisika Aristoteles, ousia—yang sering diterjemahkan sebagai “substansi” atau “hakikat”—merupakan pusat dari penyelidikan filosofis mengenai keberadaan. Aristoteles dengan tegas menyatakan bahwa "keberadaan dalam makna yang paling primer merujuk pada substansi" (to on legetai pollachos, tetapi terutama kata tên ousian)¹. Artinya, seluruh analisis metafisik harus berangkat dari pemahaman tentang apa itu substansi, karena substansilah yang mendasari dan memungkinkan keberadaan bentuk lain seperti kualitas, kuantitas, dan relasi².

Aristoteles membedakan dua jenis utama ousia: substansi primer (ousia prôtê) dan substansi sekunder (ousia deutera). Substansi primer adalah individu konkret yang eksis secara nyata—seperti manusia, pohon, atau kuda—yang merupakan subjek dari semua predikasi dan tidak pernah menjadi predikat bagi yang lain. Sebaliknya, substansi sekunder merujuk pada jenis atau spesies, seperti "manusia" atau "kuda", yang menjadi dasar bagi pengelompokan entitas konkret³.

Kekuatan konsep ousia Aristoteles terletak pada penolakannya terhadap pemisahan antara bentuk dan materi yang diajukan oleh Plato. Jika bagi Plato bentuk (Ide) eksis terpisah dari benda-benda indrawi, maka Aristoteles menegaskan bahwa bentuk inheren dalam substansi. Ia menggabungkan bentuk (morphê) dan materi (hulê) dalam satu kesatuan konkret: setiap benda merupakan gabungan dari potensi (materi) dan aktualitas (bentuk)⁴. Dengan demikian, substansi bukanlah entitas abstrak yang berdiri sendiri, melainkan realitas konkrit yang terdiri dari prinsip aktif dan pasif secara bersamaan.

Konsepsi ini melahirkan doktrin yang disebut hylemorfisme—gabungan antara hylê (materi) dan morphê (bentuk)—yang memungkinkan Aristoteles menjelaskan perubahan tanpa jatuh dalam ekstremitas Herakleitos maupun Parmenides. Perubahan terjadi karena adanya potensi dalam materi yang teraktualisasi oleh bentuk yang menjadi prinsip penentu substansi⁵.

Penting pula dicatat bahwa dalam Metaphysics Zeta (buku VII), Aristoteles mempersoalkan apakah substansi itu lebih merupakan materi, bentuk, atau kombinasi keduanya. Ia akhirnya menegaskan bahwa bentuk adalah inti dari substansi sejati, karena bentuklah yang memberi identitas dan realitas kepada suatu entitas⁶. Oleh karena itu, analisis metafisik atas ousia membawa Aristoteles pada kesimpulan bahwa bentuk—yang tidak terpisah dari materi—adalah prinsip pengatur realitas konkret.

Lebih lanjut, konsep ousia memainkan peran penting dalam menjelaskan struktur kosmos dan hierarki realitas. Dari substansi alamiah seperti hewan dan tumbuhan hingga substansi non-material seperti penggerak tak bergerak (Unmoved Mover), ousia menjadi kunci dalam memahami baik dunia fisik maupun prinsip metafisik tertinggi⁷.

Dengan menjadikan ousia sebagai pusat metafisika, Aristoteles berhasil membangun kerangka ontologis yang memungkinkan pemahaman rasional dan sistematis atas kenyataan. Ia menghindari dualisme metafisik sekaligus menyusun dasar ontologis bagi ilmu pengetahuan dan filsafat secara keseluruhan. Dalam pengertian ini, pemahaman tentang substansi menjadi fondasi dari filsafat sebagai ilmu tentang keberadaan sebagai keberadaan.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1003a33–1003b5.
  2. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 145–148.
  3. Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 2a11–19.
  4. Reale, Giovanni. A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 185–190.
  5. Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 75–77.
  6. Aristotle, Metaphysics, Book VII (Z), esp. 1032a5–1033a30.
  7. Thomas Aquinas, Commentary on Aristotle’s Metaphysics, trans. John P. Rowan (Dumb Ox Books, 1995), Book VII, Lesson 11.

4.           Empat Penyebab (Causa) dan Prinsip Penjelasan Metafisik

Salah satu kontribusi paling signifikan Aristoteles dalam metafisika adalah konsep empat sebab (tessares aitiai), yang membentuk kerangka penjelasan menyeluruh terhadap keberadaan dan perubahan. Dalam upayanya menanggapi keterbatasan filsafat pra-Sokratik dan idealisme Platonik, Aristoteles menyusun suatu model kausalitas yang tidak hanya menjawab “apa” dan “bagaimana” suatu entitas itu ada, tetapi juga “mengapa” ia menjadi seperti itu¹.

Menurut Aristoteles, setiap entitas atau kejadian alamiah dapat dijelaskan secara lengkap melalui empat jenis sebab, yaitu: penyebab material (causa materialis), penyebab formal (causa formalis), penyebab efisien (causa efficiens), dan penyebab final (causa finalis).²

1)                  Causa Materialis mengacu pada bahan atau materi yang menyusun suatu benda. Misalnya, marmer adalah materi bagi sebuah patung. Materi ini merupakan potensi yang dapat diwujudkan menjadi bentuk tertentu, tetapi tidak memiliki eksistensi aktual sebelum dibentuk³.

2)                  Causa Formalis adalah bentuk atau struktur esensial yang menjadikan sesuatu sebagai apa adanya. Dalam kasus patung, bentuk artistik yang ditanamkan oleh pematung merupakan bentuk yang memberi identitas. Dalam terminologi Aristoteles, bentuk ini juga menyatu dengan substansi konkret dan memberikan prinsip pengatur bagi materi⁴.

3)                  Causa Efficiens adalah sumber penggerak atau agen penyebab terjadinya perubahan. Ini bisa berupa seseorang, kekuatan alam, atau proses internal. Misalnya, pematung adalah penyebab efisien dalam proses penciptaan patung dari marmer. Sebab ini menjawab pertanyaan: “Siapa atau apa yang menyebabkan keberadaan ini?”⁵

4)                  Causa Finalis adalah tujuan atau akhir dari keberadaan sesuatu. Aristoteles menganggap sebab ini sebagai yang paling utama dalam penjelasan metafisik. Dalam contoh patung, tujuan estetik atau peringatan tertentu yang ingin diwujudkan oleh seniman adalah telos dari patung tersebut. Segala sesuatu dalam alam menurut Aristoteles bergerak menuju suatu tujuan, dan gerakan ini merupakan aktualisasi potensi yang terarah⁶.

Konsep empat sebab ini bukanlah empat penyebab terpisah, melainkan empat aspek dari satu proses realitas yang sama. Dalam pemahaman Aristoteles, tidak mungkin memahami esensi dan perubahan suatu entitas tanpa mempertimbangkan keempat penyebab ini secara terpadu. Ia menolak pendekatan monokausal yang terbatas seperti yang ditemukan pada filsuf alam pra-Sokratik—misalnya, Thales yang hanya melihat air sebagai arche—karena realitas menuntut pendekatan multidimensional⁷.

Lebih dari sekadar klasifikasi, empat sebab juga mencerminkan sistem pemikiran yang teleologis. Bagi Aristoteles, realitas tidak bersifat kebetulan atau semata-mata mekanistik, tetapi memiliki struktur rasional yang terarah. Pandangan ini sangat penting karena menghubungkan filsafat alam dengan metafisika dan bahkan dengan etika dan politik: segala sesuatu memiliki tujuan akhir yang mencerminkan kesempurnaan potensialnya⁸.

Dalam konteks ini, Aristoteles juga memperluas konsep causa finalis hingga ke seluruh kosmos dengan memperkenalkan gagasan tentang Penggerak Tak Bergerak (Unmoved Mover) sebagai tujuan tertinggi yang menggerakkan segala sesuatu melalui daya tariknya sebagai objek kontemplasi. Ini menunjukkan bahwa sistem metafisika Aristoteles tidak hanya menjelaskan benda-benda partikular, tetapi juga menyusun visi metafisik universal mengenai keteraturan dan tujuan dunia⁹.

Konsepsi empat penyebab inilah yang menjadikan metafisika Aristoteles tetap relevan dalam berbagai bidang pengetahuan, dari sains hingga teologi, karena menyediakan kerangka penjelasan yang menyeluruh terhadap kenyataan. Bagi Aristoteles, memahami sesuatu berarti memahami penyebab-penyebabnya—dan dalam kerangka inilah filsafat menemukan kepenuhannya sebagai ilmu tentang sebab-sebab pertama dan prinsip-prinsip pertama.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 983a24–983b6.
  2. Edward Feser, Aristotle’s Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 46–48.
  3. Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 45–49.
  4. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 150–154.
  5. Reale, Giovanni. A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 197–199.
  6. Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 198a20–198b10.
  7. Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 85–87.
  8. Thomas Aquinas, Commentary on Aristotle’s Metaphysics, trans. John P. Rowan (Dumb Ox Books, 1995), Book II, Lesson 2.
  9. Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 114–118.

5.           Aktualitas dan Potensialitas: Menjelaskan Perubahan

Salah satu pencapaian besar Aristoteles dalam metafisika adalah kemampuannya menjelaskan perubahan (kinesis)—suatu fenomena yang membingungkan banyak filsuf pra-Sokratik dan bahkan gurunya sendiri, Plato—dengan cara yang rasional dan koheren. Untuk itu, ia memperkenalkan pasangan konsep kunci: potensialitas (dynamis) dan aktualitas (energeia atau entelecheia). Kedua konsep ini memberikan dasar metafisik bagi segala transformasi dalam dunia empiris tanpa menafikan identitas atau kesinambungan keberadaan¹.

Potensialitas (dynamis) merujuk pada kapasitas atau kemungkinan untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari keadaan saat ini. Sebagai contoh, sebutir biji memiliki potensi menjadi pohon, seekor anak ayam memiliki potensi menjadi ayam dewasa, dan marmer memiliki potensi untuk menjadi patung. Namun, potensi ini belum terealisasi—ia hanya mungkin, belum nyata².

Aktualitas (energeia/entelecheia), di sisi lain, adalah perwujudan dari potensi tersebut. Ini adalah kondisi di mana sesuatu telah mencapai bentuk sempurna atau fungsi sebenarnya. Sebuah pohon dewasa adalah aktualisasi dari potensi dalam biji; patung yang selesai adalah aktualisasi dari potensi dalam marmer. Dengan kata lain, aktualitas adalah “keadaan telah menjadi” dari apa yang sebelumnya hanyalah kemungkinan³.

Model ini memungkinkan Aristoteles menjelaskan perubahan sebagai peralihan dari potensialitas menuju aktualitas. Perubahan bukanlah penciptaan dari ketiadaan (ex nihilo), melainkan realisasi dari kemungkinan yang telah terkandung dalam substansi. Ini menjadi solusi elegan terhadap kebuntuan metafisik yang ditinggalkan oleh Parmenides—yang menolak perubahan karena tidak mungkin “yang ada berasal dari yang tidak ada”—dan oleh Herakleitos—yang melihat perubahan sebagai kenyataan mutlak tanpa kestabilan⁴.

Konsep aktualitas dan potensialitas juga terintegrasi erat dengan hylemorfisme (gabungan materi dan bentuk) dalam metafisika Aristoteles. Materi adalah dasar potensial yang menerima bentuk, sementara bentuk adalah prinsip aktual yang menjadikan sesuatu sebagai apa adanya. Tanpa bentuk, materi tidak dapat memiliki eksistensi aktual; dan tanpa materi, bentuk tidak dapat terwujud dalam dunia konkret⁵.

Dalam buku Metaphysics Theta (Buku IX), Aristoteles membedakan antara dua jenis aktualitas: energeia sebagai kegiatan yang sedang berlangsung (seperti berpikir atau melihat), dan entelecheia sebagai keadaan tuntas atau akhir dari suatu aktualisasi (seperti hasil akhir dari pembentukan patung). Perbedaan ini menunjukkan kedalaman pemahaman Aristoteles terhadap dinamika eksistensi, yang mencakup proses dan hasil sekaligus⁶.

Konsepsi ini memiliki implikasi besar tidak hanya dalam metafisika, tetapi juga dalam fisika, biologi, etika, dan teologi. Dalam etika, misalnya, kebahagiaan (eudaimonia) dipahami sebagai aktualisasi tertinggi dari potensi rasional manusia. Dalam teologi, Tuhan dipahami sebagai aktualitas murni (actus purus)—yaitu keberadaan yang tidak memiliki potensi lagi karena sudah sempurna sepenuhnya⁷.

Dengan mengintegrasikan konsep potensialitas dan aktualitas ke dalam sistem metafisikanya, Aristoteles menciptakan suatu kerangka yang memungkinkan pemahaman rasional terhadap realitas sebagai sesuatu yang dinamis, tetapi tetap memiliki keteraturan dan arah. Perubahan bukanlah chaos, melainkan proses aktualisasi yang terarah menuju bentuk dan tujuan.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1045b35–1046a12.
  2. Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 82–85.
  3. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 171–174.
  4. G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to Aristotle (New York: Norton, 1970), 154–156.
  5. Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 203–207.
  6. Aristotle, Metaphysics, Book IX (Theta), esp. 1048a30–1049b5.
  7. Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 3, a. 1–2; cf. Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 98–102.

6.           Teori Bentuk dan Materi: Dasar Hylemorfisme

Dalam menjelaskan realitas konkret dan keberadaan benda-benda di dunia empiris, Aristoteles merumuskan teori yang sangat berpengaruh: hylemorfisme, sebuah istilah modern yang berasal dari bahasa Yunani hylê (materi) dan morphê (bentuk). Teori ini menyatakan bahwa setiap benda fisik adalah komposit dari dua prinsip ontologis mendasar: materi sebagai potensi dan bentuk sebagai aktualitas. Dengan ini, Aristoteles menjembatani dualisme metafisik Plato dan menjawab problem perubahan yang diajukan oleh para filsuf pra-Sokratik¹.

Materi (hylê) dalam pandangan Aristoteles bukanlah substansi mandiri, melainkan potential being—ia tidak memiliki eksistensi aktual tanpa dibentuk oleh suatu bentuk. Materi adalah “apa dari sesuatu itu dibuat”, seperti kayu dalam meja atau marmer dalam patung². Materi bersifat pasif, tak berbentuk, dan hanya bisa eksis sebagai substrat bagi bentuk.

Bentuk (morphê/eidos) adalah prinsip aktif yang memberi struktur, identitas, dan aktualitas pada materi. Ia adalah “apa yang menjadikan sesuatu seperti yang seharusnya”, yaitu esensi yang memungkinkan benda dikenali sebagai entitas tertentu—misalnya “kemeja” bukan hanya karena ada kain, melainkan karena kain itu memiliki bentuk kemeja³. Bentuk juga menentukan fungsi, tujuan, dan sifat unik dari suatu entitas⁴.

Bersama-sama, materi dan bentuk menghasilkan substansi konkret (ousia), yaitu entitas yang aktual dan dapat diamati. Tidak ada benda fisik yang murni hanya materi atau hanya bentuk. Materi tanpa bentuk tidak terindera dan tidak teraktualisasi; bentuk tanpa materi tidak dapat diwujudkan dalam dunia fisik. Oleh karena itu, hylemorfisme menjelaskan bahwa realitas adalah gabungan harmonis dari keduanya⁵.

Teori ini merupakan jawaban terhadap kelemahan metafisika Plato. Jika Plato menempatkan bentuk dalam dunia ide yang transenden, Aristoteles justru menegaskan bahwa bentuk itu imanen—yakni berada di dalam benda-benda itu sendiri. Ini berarti bahwa tidak perlu mencari “ide kuda” di dunia lain; bentuk kuda hadir secara konkret dalam setiap kuda yang eksis⁶.

Hylemorfisme juga merupakan landasan ontologis dari konsep perubahan dalam sistem Aristoteles. Perubahan terjadi karena bentuk baru “mengaktualkan” potensi dalam materi lama. Misalnya, ketika sebuah batang kayu diubah menjadi kursi, materi tetap (kayu) tetapi bentuknya berubah. Ini memungkinkan pemahaman yang koheren tentang transformasi tanpa kehilangan identitas benda dasar⁷.

Selain menjelaskan benda fisik, Aristoteles juga menerapkan hylemorfisme pada jiwa dan tubuh dalam karyanya De Anima. Jiwa adalah bentuk dari tubuh; ia bukan substansi terpisah seperti dalam dualisme Cartesian, tetapi prinsip yang mengaktualkan tubuh hidup. Dengan demikian, manusia dipahami sebagai satu kesatuan bentuk dan materi, bukan dua substansi yang berdiri sendiri⁸.

Dalam tradisi filsafat skolastik, terutama oleh Thomas Aquinas, hylemorfisme menjadi dasar bagi teori antropologi teologis dan metafisika keseluruhan. Konsep ini memungkinkan pemahaman yang integratif antara dunia material dan spiritual, serta memberi pijakan filosofis bagi doktrin iman yang rasional⁹.

Secara keseluruhan, hylemorfisme Aristoteles bukan sekadar teori metafisika teknis, melainkan fondasi filosofis yang menyatukan dinamika perubahan, identitas, dan realitas konkret ke dalam satu kerangka penjelasan yang rasional, koheren, dan aplikatif lintas disiplin ilmu.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1042a1–15.
  2. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 158–161.
  3. Reale, Giovanni. A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 207–209.
  4. Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 69–73.
  5. Richard Sorabji, Matter, Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 89–92.
  6. Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 509d–511e.
  7. Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 190a30–191a20.
  8. Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 412a16–b10.
  9. Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 76, a. 1–6; cf. Stephen L. Brock, The Metaphysical Thought of Thomas Aquinas: From Finite Being to Uncreated Being (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2016), 114–120.

7.           Tuhan sebagai Penggerak Tak Bergerak (Unmoved Mover)

Dalam puncak sistem metafisika Aristoteles, kita menemukan gagasan tentang Penggerak Tak Bergerak (Unmoved Mover) sebagai prinsip tertinggi dari segala keberadaan. Konsep ini muncul dari refleksi Aristoteles mengenai gerak dan kausalitas dalam semesta. Ia menyadari bahwa segala sesuatu yang bergerak disebabkan oleh sesuatu yang lain, dan rantai kausalitas ini tidak dapat berlangsung tanpa batas. Maka, secara logis, harus ada satu entitas yang menggerakkan tanpa digerakkan oleh apapun—sebuah penggerak pertama yang menjadi asal dari seluruh gerak dan perubahan di alam semesta¹.

Penggerak Tak Bergerak ini bukanlah motor mekanis atau pencipta dalam pengertian teistik modern, tetapi sebab final (causa finalis) yang menarik segala sesuatu menuju aktualisasi. Dunia bergerak bukan karena didorong oleh entitas luar, melainkan karena ditarik oleh tujuan tertinggi yang sudah sempurna. Dalam hal ini, Tuhan Aristoteles adalah pusat tarik metafisik yang mendorong gerakan universal, bukan sebagai agen penyebab secara fisik, tetapi sebagai objek kontemplasi dan daya tarik dari segala yang ada².

Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai aktualitas murni (actus purus)—sebuah keberadaan yang tidak memiliki potensi lagi untuk menjadi sesuatu yang lain. Sebab, setiap potensi menunjukkan ketidaksempurnaan atau kekurangan; dan karena Tuhan adalah keberadaan yang paling sempurna, Ia harus sepenuhnya aktual dan tidak memiliki potensi³. Hal ini menjadikan Tuhan bebas dari materi, perubahan, dan waktu.

Lebih lanjut, karena Tuhan adalah keberadaan paling sempurna, aktivitas-Nya juga harus merupakan bentuk tertinggi dari aktivitas: yaitu kontemplasi terhadap dirinya sendiri. Dalam Metaphysics Lambda, Aristoteles menyatakan bahwa “pikiran Ilahi adalah pikiran yang memikirkan pikiran” (noesis noeseôs)⁴. Tuhan tidak memperhatikan dunia atau manusia, sebab keterlibatan dengan yang lebih rendah akan mengurangi kesempurnaan-Nya. Ia hanya memikirkan yang paling mulia, yakni Diri-Nya sendiri⁵.

Walaupun demikian, Tuhan tetap menjadi prinsip kosmologis dan metafisis tertinggi, karena segala yang ada di alam ini bergerak dan mengejar kesempurnaan menurut sifatnya masing-masing. Dalam struktur kosmos Aristoteles, segala sesuatu yang lebih rendah secara hierarkis mengarah kepada yang lebih tinggi, hingga akhirnya pada Tuhan sebagai puncak keteraturan dan sumber semua bentuk gerak dan eksistensi⁶.

Konsepsi Tuhan sebagai Unmoved Mover sangat berbeda dari pandangan monoteistik Abrahamik. Tuhan Aristoteles bukan pribadi yang mengatur dunia atau menciptakan dari ketiadaan, tetapi lebih menyerupai prinsip metafisik murni yang menjadi pusat tatanan alam semesta. Meskipun demikian, pemikiran ini memberi dasar penting bagi para teolog, khususnya dalam filsafat skolastik. Thomas Aquinas, misalnya, mengintegrasikan konsep ini dalam Summa Theologica sebagai salah satu dari lima argumen rasional tentang keberadaan Tuhan, dengan menyesuaikannya dalam kerangka teistik⁷.

Dengan demikian, konsep Penggerak Tak Bergerak dalam metafisika Aristoteles bukan hanya akhir dari spekulasi metafisik, tetapi juga sintesis dari seluruh prinsip filsafatnya: aktualitas, tujuan, bentuk, substansi, dan keteraturan kosmos. Ia adalah metafora tertinggi dari kesempurnaan ontologis yang menjadi dasar bagi seluruh realitas.


Footnotes

1.      Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1071b5–1072a10.

2.      Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 87–90.

3.      Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 182–186.

4.      Aristotle, Metaphysics, 1074b33–1075a10.

5.      Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 226–229.

6.      Richard Kraut, “Aristotle’s Metaphysics,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/aristotle-metaphysics/.

7.      Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 2, a. 3; cf. Norman Kretzmann, The Metaphysics of Theism: Aquinas's Natural Theology in Summa Contra Gentiles (Oxford: Clarendon Press, 1997), 88–93.


8.           Metafisika sebagai Ilmu Pertama (First Philosophy)

Aristoteles menempatkan metafisika dalam posisi puncak dalam struktur pengetahuan manusia dengan menyebutnya sebagai "ilmu pertama" (πρώτη φιλοσοφία / prôtê philosophia), yakni disiplin yang mempelajari keberadaan sebagai keberadaan (το ὂν ᾗ ὂν / to on hêi on)¹. Tidak seperti cabang ilmu lain yang membahas eksistensi dalam kaitannya dengan kategori tertentu—seperti ilmu alam yang mengkaji benda-benda bergerak atau matematika yang menelaah kuantitas—metafisika berusaha memahami realitas secara paling universal, yakni eksistensi itu sendiri tanpa batasan².

Metafisika sebagai ilmu pertama ditujukan untuk menemukan prinsip-prinsip pertama dan sebab-sebab terdalam dari segala sesuatu. Ia bukan sekadar “ilmu tentang Tuhan” atau “ilmu tentang substansi”, melainkan upaya menyeluruh untuk memahami struktur terdalam dari realitas. Dalam Metaphysics IV (Gamma), Aristoteles menyatakan bahwa ilmu ini menyelidiki prinsip yang tidak diasumsikan, melainkan menjadi dasar bagi semua ilmu lain³. Oleh karena itu, ia bersifat fundamental dan universal, menyentuh semua hal yang ada sejauh ia ada, bukan sejauh ia memiliki ciri tertentu.

Salah satu fungsi penting dari metafisika sebagai ilmu pertama adalah menyediakan dasar epistemologis dan ontologis bagi semua pengetahuan ilmiah lainnya. Aristoteles memahami bahwa ilmu-ilmu khusus (seperti fisika, biologi, atau etika) memerlukan prinsip-prinsip yang lebih dasar yang tidak bisa dijelaskan dalam kerangka masing-masing. Misalnya, konsep kausalitas, substansi, dan identitas—yang menjadi dasar penalaran ilmiah—hanya bisa dijelaskan secara mendalam dalam metafisika⁴.

Dalam struktur pengetahuannya, Aristoteles membedakan tiga jenis ilmu: teoretis (theôretikê), praktis (praktikê), dan produktif (poiein). Di antara semua itu, ilmu teoretis menempati posisi tertinggi karena berorientasi pada pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Di dalam kategori ini, metafisika menempati puncak tertinggi karena objeknya adalah yang paling universal dan tidak berubah: prinsip-prinsip eksistensi dan kebenaran itu sendiri⁵.

Bagi Aristoteles, tidak ada ilmu yang lebih tinggi dari metafisika karena hanya ia yang membahas keberadaan dalam pengertian mutlak. Dalam Metaphysics VI (Epsilon), ia menyebut bahwa bila terdapat realitas yang tak berubah dan immaterial, maka ilmu tentang realitas ini adalah filsafat pertama, bahkan “ilmu tentang yang ilahi”⁶. Meski metafisika menyentuh konsep tentang Tuhan, ia tetap berdiri sebagai ilmu filsafat, bukan teologi dalam pengertian agama wahyu.

Selain itu, metafisika juga memberikan landasan logis dan prinsip identitas, seperti hukum non-kontradiksi (prinsipium contradictionis) yang disebut Aristoteles sebagai prinsip paling pasti yang menjadi dasar segala penalaran. Tanpa prinsip ini, menurutnya, tidak ada argumentasi rasional yang mungkin berlangsung⁷.

Dalam perkembangan filsafat selanjutnya, pengaruh konsep metafisika sebagai first philosophy sangat besar. Ia menjadi pijakan bagi sistem filsafat skolastik (Aquinas), rasionalisme modern (Descartes), hingga kritik metafisika dalam pemikiran Immanuel Kant. Bahkan dalam filsafat kontemporer, metafisika tetap menjadi ruang reflektif bagi pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai identitas, eksistensi, realitas, dan kebenaran⁸.

Dengan menjadikan metafisika sebagai ilmu pertama, Aristoteles tidak hanya merumuskan cabang filsafat yang paling abstrak, tetapi juga menawarkan kerangka teoritis bagi semua cabang ilmu dan kehidupan intelektual. Ia membangun fondasi yang memungkinkan rasionalitas berkembang secara sistematis dan berlandaskan prinsip pertama.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1003a21–b5.
  2. Reale, Giovanni, A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 191–193.
  3. Aristotle, Metaphysics, 1005b3–1006a28 (Book IV, Gamma).
  4. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 87–91.
  5. Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 55–58.
  6. Aristotle, Metaphysics, 1026a10–1026a23 (Book VI, Epsilon).
  7. Aristotle, Metaphysics, 1005b19–20.
  8. Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 27–33.

9.           Kritik dan Pengaruh Metafisika Aristoteles

Metafisika Aristoteles telah membentuk fondasi filsafat Barat selama lebih dari dua milenium. Namun, seperti halnya sistem besar lainnya, ia tidak luput dari kritik tajam maupun adaptasi kreatif oleh para filsuf lintas zaman. Gagasan-gagasan Aristoteles tentang substansi, bentuk dan materi, aktualitas dan potensialitas, serta Unmoved Mover, telah menjadi titik tolak baik bagi perkembangan pemikiran skolastik maupun tantangan-tantangan besar dari filsafat modern dan kontemporer.

Salah satu pengaruh paling mencolok dari metafisika Aristoteles adalah dalam filsafat skolastik, terutama melalui karya Thomas Aquinas, yang mengintegrasikan kerangka Aristotelian ke dalam teologi Kristen. Aquinas mengambil konsep seperti actus purus, empat sebab, dan hylemorfisme untuk merumuskan argumen rasional tentang keberadaan Tuhan, penciptaan, serta jiwa manusia¹. Ia mengadaptasi pandangan Aristoteles tentang substansi dan kausalitas untuk membangun struktur metafisika teistik yang sistematis, menjadikan metafisika sebagai landasan epistemologi, antropologi, dan teologi Katolik².

Dalam filsafat Islam, pemikiran Aristoteles diadaptasi secara luas oleh filsuf-filsuf besar seperti al-Farabi, Avicenna (Ibn Sina), dan Averroes (Ibn Rushd). Avicenna, misalnya, mengembangkan konsep “wajib al-wujud” (yang wajib ada) berdasarkan prinsip actus purus, serta membedakan antara mahiyyah (esensi) dan wujûd (eksistensi), yang kelak memengaruhi pemikiran Latin Scholastic³. Sementara itu, Averroes mempertahankan tafsir literal atas metafisika Aristoteles, dan menolak interpretasi yang menyimpang jauh dari prinsip-prinsip aslinya⁴.

Namun demikian, metafisika Aristoteles tidak lepas dari kritik, terutama pada masa modern. Immanuel Kant, dalam karyanya Critique of Pure Reason, menantang validitas metafisika tradisional, termasuk metafisika Aristotelian. Menurut Kant, metafisika tidak dapat mencapai kebenaran objektif melalui akal murni semata karena tidak didasarkan pada pengalaman empirik. Ia menilai bahwa banyak konsep metafisika, seperti substansi dan sebab, hanyalah bentuk apriori dari struktur kognitif manusia, bukan pengetahuan obyektif tentang realitas⁵.

Lebih lanjut, filsafat eksistensialisme dan fenomenologi—terutama melalui Martin Heidegger—meninjau ulang metafisika Aristoteles secara radikal. Dalam Sein und Zeit dan Introduction to Metaphysics, Heidegger mengkritik pendekatan metafisika tradisional yang terlalu menekankan pada substansi dan identitas statis, sehingga mengabaikan dimensi ontologis yang lebih mendasar: pertanyaan tentang keberadaan itu sendiri (Seinsfrage).⁶ Heidegger bahkan menyebut bahwa metafisika Aristoteles memulai “lupa akan keberadaan” (Seinsvergessenheit)⁷.

Meskipun demikian, pemikiran Aristoteles tetap menjadi sumber inspirasi utama dalam metafisika kontemporer. Dalam filsafat analitik, misalnya, konsep substansi, kausalitas, dan identitas banyak dikaji ulang oleh tokoh seperti W.V.O. Quine, David Armstrong, dan E.J. Lowe, yang berusaha mengadaptasi Aristotelianisme ke dalam bahasa filsafat modern⁸. Dalam filsafat alam, hylemorfisme bahkan mengalami kebangkitan dalam diskusi tentang filsafat biologi dan teori sistem⁹.

Dengan demikian, warisan metafisika Aristoteles adalah dialektis dan dinamis: ia tidak hanya membentuk arsitektur besar dalam sejarah pemikiran, tetapi juga memicu percakapan filosofis yang terus berlangsung hingga hari ini. Baik dalam bentuk penerimaan, reinterpretasi, maupun penolakan, metafisika Aristoteles terus membuktikan relevansinya sebagai kerangka pemikiran yang tangguh dan produktif dalam memahami eksistensi.


Footnotes

  1. Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 2, a. 3; cf. Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 123–130.
  2. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 219–225.
  3. Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 5.
  4. Averroes, Long Commentary on the Metaphysics of Aristotle, trans. Richard C. Taylor (New Haven: Yale University Press, 2011), 147–150.
  5. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A247/B303–A309/B366.
  6. Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 41–45.
  7. Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.
  8. E. J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Oxford University Press, 2006), 34–38.
  9. Edward Feser, Aristotle's Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science (Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 103–108.

10.       Penutup: Metafisika Sebagai Pencarian Hakikat Keberadaan

Metafisika Aristoteles merupakan upaya monumental dalam sejarah filsafat untuk merumuskan struktur terdalam dari realitas. Sebagai ilmu tentang keberadaan sebagai keberadaan (to on hêi on), metafisika tidak hanya membahas apa yang ada, tetapi juga mengapa dan dalam cara apa sesuatu itu ada¹. Dalam kerangka ini, Aristoteles membangun sistem ontologi yang komprehensif, mencakup konsep-konsep seperti ousia (substansi), empat sebab (causae), bentuk dan materi (hylemorfisme), potensialitas dan aktualitas, hingga Tuhan sebagai penggerak tak bergerak (unmoved mover)—semuanya dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi.

Salah satu kekuatan utama dari metafisika Aristoteles adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan dinamika perubahan dengan kestabilan ontologis. Dengan memperkenalkan kerangka potensialitas dan aktualitas, Aristoteles memberikan penjelasan rasional terhadap perubahan tanpa mengorbankan prinsip identitas². Dalam hal ini, metafisika menjadi jalan tengah antara ekstrem Herakleitos (yang menekankan perubahan absolut) dan Parmenides (yang menolak perubahan sama sekali).

Lebih dari itu, metafisika dalam pandangan Aristoteles bukan hanya ilmu teoretis, tetapi juga manifestasi tertinggi dari kehidupan intelektual manusia. Sebagaimana ditegaskannya dalam Metaphysics Alpha, pencarian pengetahuan akan prinsip pertama dan sebab pertama adalah ciri khas dari filsafat, dan karena itu merupakan ekspresi dari kebijaksanaan (sophia)³. Dalam pencarian ini, manusia menyentuh dimensi terdalam eksistensinya sebagai makhluk rasional.

Warisan metafisika Aristoteles juga terus beresonansi dalam pelbagai tradisi pemikiran. Baik dalam teologi skolastik, filsafat Islam klasik, rasionalisme modern, hingga ontologi kontemporer, prinsip-prinsip Aristotelian telah menjadi fondasi dialog filosofis lintas zaman⁴. Meskipun kritik-kritik modern—terutama dari Kant dan Heidegger—telah menggugat validitas dan pendekatan metafisika tradisional, namun justru melalui kritik itulah relevansi Aristoteles terus diuji dan dikembangkan⁵.

Pada akhirnya, metafisika Aristoteles bukan hanya sistem filsafat, melainkan kerangka pencarian kebenaran ontologis yang terbuka. Ia mengajarkan bahwa keberadaan bukan sesuatu yang sepele, melainkan medan kontemplasi yang menuntut ketekunan intelektual dan keterbukaan terhadap kedalaman realitas. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh pengetahuan instrumental dan teknologis, metafisika tetap menawarkan alternatif pemahaman yang mendasar dan menyeluruh tentang hakikat hidup dan dunia⁶.

Sebagaimana Aristoteles membuka Metaphysics dengan kalimat terkenalnya—“Semua manusia pada dasarnya ingin tahu” (pantes anthrôpoi tou eidenai oregontai phusei)—maka metafisika adalah pengejawantahan paling murni dari dorongan itu: dorongan untuk memahami mengapa segala sesuatu ada, dan apa makna terdalam dari keberadaan itu sendiri⁷.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1003a21–b5.
  2. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 167–172.
  3. Aristotle, Metaphysics, 980a21–26.
  4. Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 229–231.
  5. Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 51–55.
  6. Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 85–90.
  7. Aristotle, Metaphysics, 980a1.

Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1995). Commentary on Aristotle’s Metaphysics (J. P. Rowan, Trans.). Dumb Ox Books.

Aquinas, T. (2006). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Christian Classics. (Original work published 1274)

Aristotle. (1984). The Complete Works of Aristotle (J. Barnes, Ed.; W. D. Ross, Trans.). Princeton University Press.

Avicenna. (2005). The metaphysics of the healing (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.

Feser, E. (2017). Five proofs of the existence of God. Ignatius Press.

Feser, E. (2019). Aristotle’s revenge: The metaphysical foundations of physical and biological science. Editiones Scholasticae.

Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Heidegger, M. (2000). Introduction to metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). Yale University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Kraut, R. (2021). Aristotle’s metaphysics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2021 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/aristotle-metaphysics/

Lowe, E. J. (2006). The four-category ontology: A metaphysical foundation for natural science. Oxford University Press.

Owens, J. (1951). The doctrine of being in the Aristotelian metaphysics. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M. Cooper, Ed.; G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing Company.

Reale, G. (1990). A history of ancient philosophy: Aristotle and the Peripatetic School (J. R. Catan, Trans.). SUNY Press.

Sorabji, R. (1988). Matter, space and motion: Theories in antiquity and their sequel. Cornell University Press.

Taylor, R. C. (Trans.). (2011). Averroes: Long commentary on the metaphysics of Aristotle. Yale University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar