Metafisika Aristoteles
Menjelajahi Hakikat Keberadaan Melalui Filsafat Aristotelian
Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
metafisika Aristoteles sebagai fondasi utama dalam tradisi filsafat Barat.
Dengan pendekatan analitis-historis, artikel ini menelusuri asal-usul dan
struktur sistematis metafisika Aristoteles, mulai dari konsep keberadaan
sebagai keberadaan (being qua being), ousia (substansi), teori
empat sebab, hubungan antara bentuk dan materi (hylemorfisme), hingga
konsep penggerak tak bergerak sebagai prinsip tertinggi realitas.
Disoroti pula posisi metafisika sebagai ilmu pertama (first
philosophy) dalam kerangka epistemologis Aristoteles, serta pengaruhnya
terhadap filsafat skolastik, Islam klasik, dan pemikiran modern. Selain
membahas pengaruh positif, artikel ini juga meninjau kritik terhadap metafisika
Aristoteles, terutama dari perspektif Kantian dan Heideggerian. Melalui kajian
ini, ditegaskan bahwa metafisika Aristoteles tidak hanya menjawab persoalan
eksistensial secara rasional, tetapi juga menawarkan kerangka berpikir yang
integratif dan relevan untuk refleksi filsafat kontemporer.
Kata Kunci: Aristoteles,
metafisika, substansi (ousia),
hylemorfisme, penggerak tak bergerak, ilmu pertama, aktualitas dan
potensialitas, filsafat keberadaan, filsafat skolastik, kritik metafisika.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif atas Metafisika Aristoteles
1.
Pendahuluan: Mengapa Metafisika?
Metafisika menempati
posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan sistem filsafat Aristoteles karena
di dalamnya terkandung penyelidikan paling mendalam mengenai realitas. Bagi
Aristoteles, metafisika adalah ilmu pertama (prote
philosophia), yaitu cabang filsafat yang mengkaji keberadaan sejauh
keberadaan (being qua being), bukan semata-mata
sebagai benda-benda fisik atau entitas empiris, melainkan sebagai eksistensi
dalam pengertian yang paling mendasar dan universal¹.
Istilah "metafisika"
sendiri berasal bukan dari Aristoteles, melainkan diberikan oleh penyusun
naskah-naskahnya setelah wafatnya, merujuk pada karya-karya yang secara fisik
disusun "setelah" (meta) buku-buku Fisika.
Namun, secara substantif, istilah tersebut menjadi tepat karena membedakan
bidang ini dari kajian-kajian alamiah, menuju sesuatu yang lebih tinggi dan
lebih abstrak². Dalam karya Metaphysica, Aristoteles sendiri
menyebut kajian ini sebagai ilmu tentang prinsip-prinsip pertama dan
sebab-sebab pertama³.
Metafisika menurut
Aristoteles bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar: Apa
itu realitas? Apa yang menyebabkan sesuatu ada dan menjadi seperti itu? Apakah
ada sesuatu yang tetap di balik perubahan? Dan apakah terdapat prinsip yang
tidak berubah sebagai dasar dari segala hal? Dengan kata lain, metafisika
menyelidiki struktur terdalam dari realitas, mencari dasar bagi segala
eksistensi yang mungkin⁴.
Selain itu, bagi
Aristoteles, metafisika juga bersifat kontemplatif dan memiliki nilai
tertinggi dalam hierarki pengetahuan. Tidak seperti ilmu-ilmu praktis atau
produktif yang berorientasi pada tindakan atau hasil, metafisika mengarah pada theoria,
yaitu pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri⁵. Dalam hal ini, metafisika
bukan hanya pencarian intelektual, tetapi juga bentuk tertinggi dari kehidupan
rasional manusia, yaitu kehidupan yang didedikasikan pada kebijaksanaan (sophia)⁶.
Urgensi metafisika
juga tercermin dalam pengaruh luasnya terhadap bidang-bidang lain dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan. Konsep-konsep dasar seperti substansi (ousia),
sebab-akibat (causality), bentuk dan materi (form and
matter), serta aktualitas dan potensialitas (actuality
and potentiality), telah membentuk fondasi bagi teori pengetahuan,
etika, dan bahkan ilmu alam dalam berbagai sistem pemikiran sesudahnya⁷.
Dengan demikian,
pembahasan metafisika Aristoteles bukanlah sekadar eksplorasi akademik terhadap
pemikiran kuno, melainkan juga penggalian terhadap pertanyaan-pertanyaan abadi
tentang realitas, eksistensi, dan kebenaran yang tetap relevan hingga masa
kini. Hal inilah yang menjadikan metafisika sebagai dimensi paling esensial
dalam tradisi filsafat Barat, dan titik tolak yang tak tergantikan dalam
memahami keseluruhan pemikiran Aristoteles.
Footnotes
1. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 1003a21–25.
2. Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy: Aristotle
and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press,
1990), 118.
3. Aristotle, Metaphysics, 982a1–3.
4. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian
Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951),
9–12.
5. S. Marc Cohen, “Aristotle’s Metaphysics,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Winter 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/aristotle-metaphysics/.
6. Thomas Aquinas, Commentary on Aristotle’s Metaphysics,
trans. John P. Rowan (Dumb Ox Books, 1995), Book I, Lesson 1.
7. Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans.
Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 8–12.
2.
Aristoteles dan Latar Historis Filsafat
Metafisika
Untuk memahami Metafisika Aristoteles secara utuh,
perlu terlebih dahulu ditelusuri konteks historis yang melatarbelakangi
kelahirannya. Aristoteles tidak menyusun pemikirannya dalam ruang hampa,
melainkan berdialog kritis dengan para pendahulunya, terutama para filsuf
pra-Sokratik dan gurunya sendiri, Plato. Konsep-konsep metafisik yang ia
kembangkan adalah jawaban atas persoalan filosofis yang telah diwariskan oleh
tradisi intelektual Yunani sebelumnya.
Pemikiran metafisika dalam filsafat Yunani dapat
ditelusuri kembali kepada para filsuf pra-Sokratik seperti Thales,
Anaximandros, dan Herakleitos, yang untuk pertama kalinya mengalihkan perhatian
dari mitos ke logos, yakni dari penjelasan mitologis menuju penjelasan rasional
terhadap alam semesta. Thales, misalnya, mengajukan bahwa prinsip dasar segala
sesuatu adalah air, sementara Anaximandros mengusulkan apeiron (yang tak
terbatas) sebagai asas pertama¹. Meskipun masih bersifat kosmologis, pencarian
terhadap arche (asal mula) menandai cikal bakal metafisika sebagai upaya
memahami hakikat realitas secara mendasar.
Parmenides kemudian menjadi tokoh yang penting
dalam membentuk arah metafisika berikutnya. Ia menolak perubahan dan pluralitas
sebagai ilusi, dan menegaskan bahwa "yang ada adalah", sedangkan
"yang tidak ada tidak dapat dipikirkan"². Pandangan ini memunculkan
paradoks yang menjadi tantangan bagi filsuf-filsuf sesudahnya, termasuk
Aristoteles. Sementara itu, Herakleitos mewakili kutub yang berlawanan dengan
menekankan bahwa segala sesuatu sedang dalam keadaan mengalir (panta rhei)³.
Konfrontasi antara Parmenides dan Herakleitos tentang hakikat perubahan dan
keberadaan menjadi salah satu latar belakang yang sangat penting bagi
pengembangan konsep potensialitas dan aktualitas dalam metafisika Aristoteles.
Tokoh yang paling berpengaruh langsung terhadap
Aristoteles adalah Plato. Dalam teori ide (Forms), Plato memisahkan
dunia indrawi yang berubah-ubah dari dunia ide yang kekal dan sempurna. Bagi
Plato, kebenaran metafisik hanya bisa ditemukan dalam dunia ide yang bersifat
non-materi dan imanen pada akal, bukan dalam dunia konkret yang dapat ditangkap
indra⁴. Aristoteles mengkritik pemisahan tersebut dengan menyatakan bahwa
bentuk (eidos) tidak berada di luar benda-benda, melainkan inheren di
dalamnya. Kritik ini menjadi titik tolak dari sistem metafisika yang ia bangun,
yang lebih bersifat imanen dan tidak dualistik⁵.
Metafisika Aristoteles sekaligus merupakan sintesis
dan koreksi terhadap filsafat-filsafat terdahulu. Ia tidak hanya menolak
ekstremitas Parmenides dan Herakleitos, tetapi juga menanggapi kelemahan dalam
pandangan Plato. Dalam usahanya menjelaskan keberadaan dan perubahan,
Aristoteles mengembangkan konsep ousia (substansi), causality
(empat sebab), dan hylemorphism (kesatuan antara materi dan bentuk) yang
menjadi kerangka utama dari filsafat metafisikanya⁶.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa metafisika
Aristoteles lahir dari dialektika panjang antara berbagai aliran filsafat
Yunani klasik. Ia tidak membangun sistem metafisik secara apriori, tetapi
berdasarkan kritik, refleksi, dan integrasi atas pemikiran-pemikiran
sebelumnya. Hal ini menjadikan sistem metafisika Aristoteles tidak hanya
orisinal, tetapi juga kokoh dan argumentatif dalam menjawab persoalan
fundamental tentang eksistensi, perubahan, dan realitas.
Footnotes
- Jonathan Barnes, Early
Greek Philosophy, revised ed. (London: Penguin Books, 2001), 36–41.
- Parmenides, Fragments,
trans. John Burnet, in Early Greek Philosophy, ed. Jonathan Barnes
(London: Penguin, 2001), 135.
- Heraclitus, Fragments,
in The Presocratic Philosophers, ed. G. S. Kirk, J. E. Raven, and
M. Schofield (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 187.
- Plato, Republic,
trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve, in Plato: Complete Works,
ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 507b–511d.
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 991a1–20.
- Giovanni Reale, A History
of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans.
John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 130–137.
3.
Ousia (Substansi) sebagai Fokus Metafisika
Dalam kerangka metafisika Aristoteles, ousia—yang
sering diterjemahkan sebagai “substansi” atau “hakikat”—merupakan
pusat dari penyelidikan filosofis mengenai keberadaan. Aristoteles dengan tegas
menyatakan bahwa "keberadaan dalam makna yang paling primer merujuk
pada substansi" (to on legetai pollachos, tetapi terutama kata
tên ousian)¹. Artinya, seluruh analisis metafisik harus berangkat dari
pemahaman tentang apa itu substansi, karena substansilah yang mendasari dan
memungkinkan keberadaan bentuk lain seperti kualitas, kuantitas, dan relasi².
Aristoteles membedakan dua jenis utama ousia:
substansi primer (ousia prôtê) dan substansi sekunder (ousia deutera).
Substansi primer adalah individu konkret yang eksis secara nyata—seperti
manusia, pohon, atau kuda—yang merupakan subjek dari semua predikasi dan tidak
pernah menjadi predikat bagi yang lain. Sebaliknya, substansi sekunder merujuk
pada jenis atau spesies, seperti "manusia" atau "kuda",
yang menjadi dasar bagi pengelompokan entitas konkret³.
Kekuatan konsep ousia Aristoteles terletak
pada penolakannya terhadap pemisahan antara bentuk dan materi yang diajukan
oleh Plato. Jika bagi Plato bentuk (Ide) eksis terpisah dari benda-benda
indrawi, maka Aristoteles menegaskan bahwa bentuk inheren dalam substansi. Ia
menggabungkan bentuk (morphê) dan materi (hulê) dalam satu
kesatuan konkret: setiap benda merupakan gabungan dari potensi (materi) dan
aktualitas (bentuk)⁴. Dengan demikian, substansi bukanlah entitas abstrak yang
berdiri sendiri, melainkan realitas konkrit yang terdiri dari prinsip aktif dan
pasif secara bersamaan.
Konsepsi ini melahirkan doktrin yang disebut hylemorfisme—gabungan
antara hylê (materi) dan morphê (bentuk)—yang memungkinkan
Aristoteles menjelaskan perubahan tanpa jatuh dalam ekstremitas Herakleitos
maupun Parmenides. Perubahan terjadi karena adanya potensi dalam materi yang
teraktualisasi oleh bentuk yang menjadi prinsip penentu substansi⁵.
Penting pula dicatat bahwa dalam Metaphysics
Zeta (buku VII), Aristoteles mempersoalkan apakah substansi itu lebih merupakan
materi, bentuk, atau kombinasi keduanya. Ia akhirnya menegaskan bahwa bentuk
adalah inti dari substansi sejati, karena bentuklah yang memberi identitas dan
realitas kepada suatu entitas⁶. Oleh karena itu, analisis metafisik atas ousia
membawa Aristoteles pada kesimpulan bahwa bentuk—yang tidak terpisah dari
materi—adalah prinsip pengatur realitas konkret.
Lebih lanjut, konsep ousia memainkan peran
penting dalam menjelaskan struktur kosmos dan hierarki realitas. Dari substansi
alamiah seperti hewan dan tumbuhan hingga substansi non-material seperti
penggerak tak bergerak (Unmoved Mover), ousia menjadi kunci dalam
memahami baik dunia fisik maupun prinsip metafisik tertinggi⁷.
Dengan menjadikan ousia sebagai pusat
metafisika, Aristoteles berhasil membangun kerangka ontologis yang memungkinkan
pemahaman rasional dan sistematis atas kenyataan. Ia menghindari dualisme
metafisik sekaligus menyusun dasar ontologis bagi ilmu pengetahuan dan filsafat
secara keseluruhan. Dalam pengertian ini, pemahaman tentang substansi menjadi
fondasi dari filsafat sebagai ilmu tentang keberadaan sebagai keberadaan.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1003a33–1003b5.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 145–148.
- Aristotle, Categories,
trans. J. L. Ackrill, in The Complete Works of Aristotle, ed.
Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 2a11–19.
- Reale, Giovanni. A
History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School,
trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 185–190.
- Richard Sorabji, Matter,
Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca:
Cornell University Press, 1988), 75–77.
- Aristotle, Metaphysics,
Book VII (Z), esp. 1032a5–1033a30.
- Thomas Aquinas, Commentary
on Aristotle’s Metaphysics, trans. John P. Rowan (Dumb Ox Books,
1995), Book VII, Lesson 11.
4.
Empat Penyebab (Causa) dan Prinsip Penjelasan
Metafisik
Salah satu kontribusi paling signifikan Aristoteles
dalam metafisika adalah konsep empat sebab (tessares aitiai),
yang membentuk kerangka penjelasan menyeluruh terhadap keberadaan dan
perubahan. Dalam upayanya menanggapi keterbatasan filsafat pra-Sokratik dan
idealisme Platonik, Aristoteles menyusun suatu model kausalitas yang tidak
hanya menjawab “apa” dan “bagaimana” suatu entitas itu ada,
tetapi juga “mengapa” ia menjadi seperti itu¹.
Menurut Aristoteles, setiap entitas atau kejadian
alamiah dapat dijelaskan secara lengkap melalui empat jenis sebab, yaitu: penyebab
material (causa materialis), penyebab formal (causa formalis), penyebab
efisien (causa efficiens), dan penyebab final (causa finalis).²
1)
Causa Materialis mengacu
pada bahan atau materi yang menyusun suatu benda. Misalnya, marmer adalah
materi bagi sebuah patung. Materi ini merupakan potensi yang dapat
diwujudkan menjadi bentuk tertentu, tetapi tidak memiliki eksistensi aktual
sebelum dibentuk³.
2)
Causa Formalis adalah
bentuk atau struktur esensial yang menjadikan sesuatu sebagai apa adanya. Dalam
kasus patung, bentuk artistik yang ditanamkan oleh pematung merupakan bentuk
yang memberi identitas. Dalam terminologi Aristoteles, bentuk ini juga menyatu
dengan substansi konkret dan memberikan prinsip pengatur bagi materi⁴.
3)
Causa Efficiens adalah
sumber penggerak atau agen penyebab terjadinya perubahan. Ini bisa berupa
seseorang, kekuatan alam, atau proses internal. Misalnya, pematung adalah
penyebab efisien dalam proses penciptaan patung dari marmer. Sebab ini menjawab
pertanyaan: “Siapa atau apa yang menyebabkan keberadaan ini?”⁵
4)
Causa Finalis adalah
tujuan atau akhir dari keberadaan sesuatu. Aristoteles menganggap sebab ini
sebagai yang paling utama dalam penjelasan metafisik. Dalam contoh patung,
tujuan estetik atau peringatan tertentu yang ingin diwujudkan oleh seniman
adalah telos dari patung tersebut. Segala sesuatu dalam alam menurut
Aristoteles bergerak menuju suatu tujuan, dan gerakan ini merupakan aktualisasi
potensi yang terarah⁶.
Konsep empat sebab ini bukanlah empat penyebab
terpisah, melainkan empat aspek dari satu proses realitas yang sama. Dalam
pemahaman Aristoteles, tidak mungkin memahami esensi dan perubahan suatu
entitas tanpa mempertimbangkan keempat penyebab ini secara terpadu. Ia menolak
pendekatan monokausal yang terbatas seperti yang ditemukan pada filsuf alam
pra-Sokratik—misalnya, Thales yang hanya melihat air sebagai arche—karena
realitas menuntut pendekatan multidimensional⁷.
Lebih dari sekadar klasifikasi, empat sebab juga
mencerminkan sistem pemikiran yang teleologis. Bagi Aristoteles, realitas tidak
bersifat kebetulan atau semata-mata mekanistik, tetapi memiliki struktur
rasional yang terarah. Pandangan ini sangat penting karena menghubungkan
filsafat alam dengan metafisika dan bahkan dengan etika dan politik: segala
sesuatu memiliki tujuan akhir yang mencerminkan kesempurnaan
potensialnya⁸.
Dalam konteks ini, Aristoteles juga memperluas
konsep causa finalis hingga ke seluruh kosmos dengan memperkenalkan
gagasan tentang Penggerak Tak Bergerak (Unmoved Mover) sebagai tujuan
tertinggi yang menggerakkan segala sesuatu melalui daya tariknya sebagai objek
kontemplasi. Ini menunjukkan bahwa sistem metafisika Aristoteles tidak hanya
menjelaskan benda-benda partikular, tetapi juga menyusun visi metafisik
universal mengenai keteraturan dan tujuan dunia⁹.
Konsepsi empat penyebab inilah yang menjadikan
metafisika Aristoteles tetap relevan dalam berbagai bidang pengetahuan, dari
sains hingga teologi, karena menyediakan kerangka penjelasan yang menyeluruh
terhadap kenyataan. Bagi Aristoteles, memahami sesuatu berarti memahami
penyebab-penyebabnya—dan dalam kerangka inilah filsafat menemukan kepenuhannya
sebagai ilmu tentang sebab-sebab pertama dan prinsip-prinsip pertama.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 983a24–983b6.
- Edward Feser, Aristotle’s
Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science
(Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 46–48.
- Richard Sorabji, Matter,
Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca:
Cornell University Press, 1988), 45–49.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 150–154.
- Reale, Giovanni. A
History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School,
trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 197–199.
- Aristotle, Physics,
trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle,
ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984),
198a20–198b10.
- Jonathan Barnes, Aristotle:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000),
85–87.
- Thomas Aquinas, Commentary
on Aristotle’s Metaphysics, trans. John P. Rowan (Dumb Ox Books,
1995), Book II, Lesson 2.
- Martin Heidegger, Introduction
to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale
University Press, 2000), 114–118.
5.
Aktualitas dan Potensialitas: Menjelaskan
Perubahan
Salah satu pencapaian besar Aristoteles dalam
metafisika adalah kemampuannya menjelaskan perubahan (kinesis)—suatu
fenomena yang membingungkan banyak filsuf pra-Sokratik dan bahkan gurunya
sendiri, Plato—dengan cara yang rasional dan koheren. Untuk itu, ia
memperkenalkan pasangan konsep kunci: potensialitas (dynamis) dan aktualitas
(energeia atau entelecheia). Kedua konsep ini memberikan dasar metafisik
bagi segala transformasi dalam dunia empiris tanpa menafikan identitas atau
kesinambungan keberadaan¹.
Potensialitas (dynamis) merujuk pada kapasitas atau kemungkinan untuk
menjadi sesuatu yang berbeda dari keadaan saat ini. Sebagai contoh, sebutir
biji memiliki potensi menjadi pohon, seekor anak ayam memiliki potensi menjadi
ayam dewasa, dan marmer memiliki potensi untuk menjadi patung. Namun, potensi
ini belum terealisasi—ia hanya mungkin, belum nyata².
Aktualitas (energeia/entelecheia), di sisi lain, adalah perwujudan dari potensi
tersebut. Ini adalah kondisi di mana sesuatu telah mencapai bentuk sempurna
atau fungsi sebenarnya. Sebuah pohon dewasa adalah aktualisasi dari potensi
dalam biji; patung yang selesai adalah aktualisasi dari potensi dalam marmer.
Dengan kata lain, aktualitas adalah “keadaan telah menjadi” dari apa yang
sebelumnya hanyalah kemungkinan³.
Model ini memungkinkan Aristoteles menjelaskan
perubahan sebagai peralihan dari potensialitas menuju aktualitas.
Perubahan bukanlah penciptaan dari ketiadaan (ex nihilo), melainkan realisasi
dari kemungkinan yang telah terkandung dalam substansi. Ini menjadi solusi
elegan terhadap kebuntuan metafisik yang ditinggalkan oleh Parmenides—yang
menolak perubahan karena tidak mungkin “yang ada berasal dari yang tidak
ada”—dan oleh Herakleitos—yang melihat perubahan sebagai kenyataan mutlak tanpa
kestabilan⁴.
Konsep aktualitas dan potensialitas juga
terintegrasi erat dengan hylemorfisme (gabungan materi dan bentuk) dalam
metafisika Aristoteles. Materi adalah dasar potensial yang menerima bentuk,
sementara bentuk adalah prinsip aktual yang menjadikan sesuatu sebagai apa
adanya. Tanpa bentuk, materi tidak dapat memiliki eksistensi aktual; dan
tanpa materi, bentuk tidak dapat terwujud dalam dunia konkret⁵.
Dalam buku Metaphysics Theta (Buku IX),
Aristoteles membedakan antara dua jenis aktualitas: energeia sebagai
kegiatan yang sedang berlangsung (seperti berpikir atau melihat), dan entelecheia
sebagai keadaan tuntas atau akhir dari suatu aktualisasi (seperti hasil akhir
dari pembentukan patung). Perbedaan ini menunjukkan kedalaman pemahaman
Aristoteles terhadap dinamika eksistensi, yang mencakup proses dan hasil
sekaligus⁶.
Konsepsi ini memiliki implikasi besar tidak hanya
dalam metafisika, tetapi juga dalam fisika, biologi, etika, dan teologi. Dalam
etika, misalnya, kebahagiaan (eudaimonia) dipahami sebagai aktualisasi
tertinggi dari potensi rasional manusia. Dalam teologi, Tuhan dipahami sebagai aktualitas
murni (actus purus)—yaitu keberadaan yang tidak memiliki potensi lagi
karena sudah sempurna sepenuhnya⁷.
Dengan mengintegrasikan konsep potensialitas dan
aktualitas ke dalam sistem metafisikanya, Aristoteles menciptakan suatu
kerangka yang memungkinkan pemahaman rasional terhadap realitas sebagai sesuatu
yang dinamis, tetapi tetap memiliki keteraturan dan arah. Perubahan bukanlah
chaos, melainkan proses aktualisasi yang terarah menuju bentuk dan tujuan.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1045b35–1046a12.
- Richard Sorabji, Matter,
Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca:
Cornell University Press, 1988), 82–85.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 171–174.
- G. E. R. Lloyd, Early
Greek Science: Thales to Aristotle (New York: Norton, 1970), 154–156.
- Giovanni Reale, A History
of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans.
John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 203–207.
- Aristotle, Metaphysics,
Book IX (Theta), esp. 1048a30–1049b5.
- Thomas Aquinas, Summa
Theologica, I, q. 3, a. 1–2; cf. Edward Feser, Five Proofs of the
Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 98–102.
6.
Teori Bentuk dan Materi: Dasar Hylemorfisme
Dalam menjelaskan realitas konkret dan keberadaan
benda-benda di dunia empiris, Aristoteles merumuskan teori yang sangat
berpengaruh: hylemorfisme, sebuah istilah modern yang berasal dari
bahasa Yunani hylê (materi) dan morphê (bentuk). Teori ini
menyatakan bahwa setiap benda fisik adalah komposit dari dua prinsip ontologis
mendasar: materi sebagai potensi dan bentuk sebagai aktualitas.
Dengan ini, Aristoteles menjembatani dualisme metafisik Plato dan menjawab
problem perubahan yang diajukan oleh para filsuf pra-Sokratik¹.
Materi (hylê) dalam pandangan Aristoteles bukanlah substansi mandiri, melainkan potential
being—ia tidak memiliki eksistensi aktual tanpa dibentuk oleh suatu bentuk.
Materi adalah “apa dari sesuatu itu dibuat”, seperti kayu dalam meja atau
marmer dalam patung². Materi bersifat pasif, tak berbentuk, dan hanya bisa
eksis sebagai substrat bagi bentuk.
Bentuk (morphê/eidos) adalah prinsip aktif yang memberi struktur,
identitas, dan aktualitas pada materi. Ia adalah “apa yang menjadikan sesuatu
seperti yang seharusnya”, yaitu esensi yang memungkinkan benda dikenali sebagai
entitas tertentu—misalnya “kemeja” bukan hanya karena ada kain, melainkan
karena kain itu memiliki bentuk kemeja³. Bentuk juga menentukan fungsi, tujuan,
dan sifat unik dari suatu entitas⁴.
Bersama-sama, materi dan bentuk menghasilkan
substansi konkret (ousia), yaitu entitas yang aktual dan dapat diamati.
Tidak ada benda fisik yang murni hanya materi atau hanya bentuk. Materi tanpa
bentuk tidak terindera dan tidak teraktualisasi; bentuk tanpa materi tidak
dapat diwujudkan dalam dunia fisik. Oleh karena itu, hylemorfisme menjelaskan
bahwa realitas adalah gabungan harmonis dari keduanya⁵.
Teori ini merupakan jawaban terhadap kelemahan
metafisika Plato. Jika Plato menempatkan bentuk dalam dunia ide yang
transenden, Aristoteles justru menegaskan bahwa bentuk itu imanen—yakni
berada di dalam benda-benda itu sendiri. Ini berarti bahwa tidak perlu mencari
“ide kuda” di dunia lain; bentuk kuda hadir secara konkret dalam setiap kuda
yang eksis⁶.
Hylemorfisme juga merupakan landasan ontologis dari
konsep perubahan dalam sistem Aristoteles. Perubahan terjadi karena
bentuk baru “mengaktualkan” potensi dalam materi lama. Misalnya, ketika sebuah
batang kayu diubah menjadi kursi, materi tetap (kayu) tetapi bentuknya berubah.
Ini memungkinkan pemahaman yang koheren tentang transformasi tanpa kehilangan
identitas benda dasar⁷.
Selain menjelaskan benda fisik, Aristoteles juga
menerapkan hylemorfisme pada jiwa dan tubuh dalam karyanya De Anima.
Jiwa adalah bentuk dari tubuh; ia bukan substansi terpisah seperti dalam
dualisme Cartesian, tetapi prinsip yang mengaktualkan tubuh hidup. Dengan
demikian, manusia dipahami sebagai satu kesatuan bentuk dan materi, bukan dua
substansi yang berdiri sendiri⁸.
Dalam tradisi filsafat skolastik, terutama oleh
Thomas Aquinas, hylemorfisme menjadi dasar bagi teori antropologi teologis dan
metafisika keseluruhan. Konsep ini memungkinkan pemahaman yang integratif
antara dunia material dan spiritual, serta memberi pijakan filosofis bagi
doktrin iman yang rasional⁹.
Secara keseluruhan, hylemorfisme Aristoteles bukan
sekadar teori metafisika teknis, melainkan fondasi filosofis yang menyatukan
dinamika perubahan, identitas, dan realitas konkret ke dalam satu kerangka
penjelasan yang rasional, koheren, dan aplikatif lintas disiplin ilmu.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1042a1–15.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 158–161.
- Reale, Giovanni. A
History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School,
trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 207–209.
- Edward Feser, Scholastic
Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones
Scholasticae, 2014), 69–73.
- Richard Sorabji, Matter,
Space and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca:
Cornell University Press, 1988), 89–92.
- Plato, Republic,
trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve, in Plato: Complete Works,
ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 509d–511e.
- Aristotle, Physics,
trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle,
ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984),
190a30–191a20.
- Aristotle, De Anima,
trans. J. A. Smith, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 412a16–b10.
- Thomas Aquinas, Summa
Theologica, I, q. 76, a. 1–6; cf. Stephen L. Brock, The
Metaphysical Thought of Thomas Aquinas: From Finite Being to Uncreated
Being (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2016),
114–120.
7.
Tuhan sebagai Penggerak Tak Bergerak (Unmoved
Mover)
Dalam puncak sistem
metafisika Aristoteles, kita menemukan gagasan tentang Penggerak
Tak Bergerak (Unmoved Mover) sebagai prinsip tertinggi dari
segala keberadaan. Konsep ini muncul dari refleksi Aristoteles mengenai gerak
dan kausalitas dalam semesta. Ia menyadari bahwa segala sesuatu
yang bergerak disebabkan oleh sesuatu yang lain, dan rantai kausalitas ini
tidak dapat berlangsung tanpa batas. Maka, secara logis, harus ada satu entitas
yang menggerakkan tanpa digerakkan oleh apapun—sebuah penggerak pertama yang
menjadi asal dari seluruh gerak dan perubahan di alam semesta¹.
Penggerak Tak
Bergerak ini bukanlah motor mekanis atau pencipta dalam pengertian teistik
modern, tetapi sebab final (causa finalis)
yang menarik segala sesuatu menuju aktualisasi. Dunia bergerak bukan karena
didorong oleh entitas luar, melainkan karena ditarik oleh tujuan tertinggi yang
sudah sempurna. Dalam hal ini, Tuhan Aristoteles adalah pusat tarik metafisik
yang mendorong gerakan universal, bukan sebagai agen penyebab secara fisik,
tetapi sebagai objek kontemplasi dan daya tarik dari segala yang ada².
Aristoteles
menggambarkan Tuhan sebagai aktualitas murni (actus purus)—sebuah
keberadaan yang tidak memiliki potensi lagi untuk menjadi sesuatu yang lain.
Sebab, setiap potensi menunjukkan ketidaksempurnaan atau kekurangan; dan karena
Tuhan adalah keberadaan yang paling sempurna, Ia harus sepenuhnya aktual dan
tidak memiliki potensi³. Hal ini menjadikan Tuhan bebas dari materi, perubahan,
dan waktu.
Lebih lanjut, karena
Tuhan adalah keberadaan paling sempurna, aktivitas-Nya juga harus merupakan
bentuk tertinggi dari aktivitas: yaitu kontemplasi terhadap dirinya sendiri.
Dalam Metaphysics
Lambda, Aristoteles menyatakan bahwa “pikiran Ilahi adalah pikiran
yang memikirkan pikiran” (noesis noeseôs)⁴. Tuhan tidak
memperhatikan dunia atau manusia, sebab keterlibatan dengan yang lebih rendah
akan mengurangi kesempurnaan-Nya. Ia hanya memikirkan yang paling mulia, yakni
Diri-Nya sendiri⁵.
Walaupun demikian,
Tuhan tetap menjadi prinsip kosmologis dan metafisis tertinggi,
karena segala yang ada di alam ini bergerak dan mengejar kesempurnaan menurut
sifatnya masing-masing. Dalam struktur kosmos Aristoteles, segala sesuatu yang
lebih rendah secara hierarkis mengarah kepada yang lebih tinggi, hingga
akhirnya pada Tuhan sebagai puncak keteraturan dan sumber semua bentuk gerak
dan eksistensi⁶.
Konsepsi Tuhan
sebagai Unmoved
Mover sangat berbeda dari pandangan monoteistik Abrahamik. Tuhan
Aristoteles bukan pribadi yang mengatur dunia atau menciptakan dari ketiadaan,
tetapi lebih menyerupai prinsip metafisik murni yang menjadi pusat tatanan alam
semesta. Meskipun demikian, pemikiran ini memberi dasar penting bagi para
teolog, khususnya dalam filsafat skolastik. Thomas Aquinas, misalnya,
mengintegrasikan konsep ini dalam Summa Theologica sebagai salah satu
dari lima argumen rasional tentang keberadaan Tuhan, dengan menyesuaikannya
dalam kerangka teistik⁷.
Dengan demikian,
konsep Penggerak
Tak Bergerak dalam metafisika Aristoteles bukan hanya akhir dari
spekulasi metafisik, tetapi juga sintesis dari seluruh prinsip filsafatnya:
aktualitas, tujuan, bentuk, substansi, dan keteraturan kosmos. Ia adalah
metafora tertinggi dari kesempurnaan ontologis yang menjadi dasar bagi seluruh
realitas.
Footnotes
1. Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 1071b5–1072a10.
2. Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San
Francisco: Ignatius Press, 2017), 87–90.
3. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian
Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951),
182–186.
4. Aristotle, Metaphysics, 1074b33–1075a10.
5. Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy: Aristotle
and the Peripatetic School, trans. John R. Catan (Albany: SUNY Press,
1990), 226–229.
6. Richard Kraut, “Aristotle’s Metaphysics,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/aristotle-metaphysics/.
7. Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 2, a. 3; cf.
Norman Kretzmann, The Metaphysics of Theism: Aquinas's Natural Theology in
Summa Contra Gentiles (Oxford: Clarendon Press, 1997), 88–93.
8.
Metafisika sebagai Ilmu Pertama (First
Philosophy)
Aristoteles menempatkan metafisika dalam posisi
puncak dalam struktur pengetahuan manusia dengan menyebutnya sebagai "ilmu
pertama" (πρώτη φιλοσοφία / prôtê philosophia), yakni disiplin
yang mempelajari keberadaan sebagai keberadaan (το ὂν ᾗ ὂν / to on
hêi on)¹. Tidak seperti cabang ilmu lain yang membahas eksistensi dalam
kaitannya dengan kategori tertentu—seperti ilmu alam yang mengkaji benda-benda
bergerak atau matematika yang menelaah kuantitas—metafisika berusaha memahami
realitas secara paling universal, yakni eksistensi itu sendiri tanpa batasan².
Metafisika sebagai ilmu pertama ditujukan untuk
menemukan prinsip-prinsip pertama dan sebab-sebab terdalam dari segala
sesuatu. Ia bukan sekadar “ilmu tentang Tuhan” atau “ilmu tentang
substansi”, melainkan upaya menyeluruh untuk memahami struktur terdalam dari
realitas. Dalam Metaphysics IV (Gamma), Aristoteles menyatakan bahwa
ilmu ini menyelidiki prinsip yang tidak diasumsikan, melainkan menjadi dasar
bagi semua ilmu lain³. Oleh karena itu, ia bersifat fundamental dan
universal, menyentuh semua hal yang ada sejauh ia ada, bukan
sejauh ia memiliki ciri tertentu.
Salah satu fungsi penting dari metafisika sebagai
ilmu pertama adalah menyediakan dasar epistemologis dan ontologis bagi semua
pengetahuan ilmiah lainnya. Aristoteles memahami bahwa ilmu-ilmu khusus
(seperti fisika, biologi, atau etika) memerlukan prinsip-prinsip yang lebih
dasar yang tidak bisa dijelaskan dalam kerangka masing-masing. Misalnya, konsep
kausalitas, substansi, dan identitas—yang menjadi dasar penalaran ilmiah—hanya
bisa dijelaskan secara mendalam dalam metafisika⁴.
Dalam struktur pengetahuannya, Aristoteles
membedakan tiga jenis ilmu: teoretis (theôretikê), praktis (praktikê),
dan produktif (poiein). Di antara semua itu, ilmu teoretis menempati
posisi tertinggi karena berorientasi pada pengetahuan demi pengetahuan itu
sendiri. Di dalam kategori ini, metafisika menempati puncak tertinggi karena
objeknya adalah yang paling universal dan tidak berubah: prinsip-prinsip
eksistensi dan kebenaran itu sendiri⁵.
Bagi Aristoteles, tidak ada ilmu yang lebih tinggi
dari metafisika karena hanya ia yang membahas keberadaan dalam pengertian
mutlak. Dalam Metaphysics VI (Epsilon), ia menyebut bahwa bila
terdapat realitas yang tak berubah dan immaterial, maka ilmu tentang realitas
ini adalah filsafat pertama, bahkan “ilmu tentang yang ilahi”⁶. Meski
metafisika menyentuh konsep tentang Tuhan, ia tetap berdiri sebagai ilmu
filsafat, bukan teologi dalam pengertian agama wahyu.
Selain itu, metafisika juga memberikan landasan
logis dan prinsip identitas, seperti hukum non-kontradiksi (prinsipium
contradictionis) yang disebut Aristoteles sebagai prinsip paling pasti yang
menjadi dasar segala penalaran. Tanpa prinsip ini, menurutnya, tidak ada
argumentasi rasional yang mungkin berlangsung⁷.
Dalam perkembangan filsafat selanjutnya, pengaruh
konsep metafisika sebagai first philosophy sangat besar. Ia menjadi
pijakan bagi sistem filsafat skolastik (Aquinas), rasionalisme modern
(Descartes), hingga kritik metafisika dalam pemikiran Immanuel Kant. Bahkan
dalam filsafat kontemporer, metafisika tetap menjadi ruang reflektif bagi
pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai identitas, eksistensi, realitas, dan
kebenaran⁸.
Dengan menjadikan metafisika sebagai ilmu pertama,
Aristoteles tidak hanya merumuskan cabang filsafat yang paling abstrak, tetapi
juga menawarkan kerangka teoritis bagi semua cabang ilmu dan kehidupan
intelektual. Ia membangun fondasi yang memungkinkan rasionalitas berkembang
secara sistematis dan berlandaskan prinsip pertama.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1003a21–b5.
- Reale, Giovanni, A
History of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans.
John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 191–193.
- Aristotle, Metaphysics,
1005b3–1006a28 (Book IV, Gamma).
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 87–91.
- Edward Feser, Scholastic
Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones
Scholasticae, 2014), 55–58.
- Aristotle, Metaphysics,
1026a10–1026a23 (Book VI, Epsilon).
- Aristotle, Metaphysics,
1005b19–20.
- Martin Heidegger, Introduction
to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale
University Press, 2000), 27–33.
9.
Kritik dan Pengaruh Metafisika Aristoteles
Metafisika Aristoteles telah membentuk fondasi
filsafat Barat selama lebih dari dua milenium. Namun, seperti halnya sistem
besar lainnya, ia tidak luput dari kritik tajam maupun adaptasi kreatif oleh
para filsuf lintas zaman. Gagasan-gagasan Aristoteles tentang substansi, bentuk
dan materi, aktualitas dan potensialitas, serta Unmoved Mover, telah
menjadi titik tolak baik bagi perkembangan pemikiran skolastik maupun
tantangan-tantangan besar dari filsafat modern dan kontemporer.
Salah satu pengaruh paling mencolok dari metafisika
Aristoteles adalah dalam filsafat skolastik, terutama melalui karya Thomas
Aquinas, yang mengintegrasikan kerangka Aristotelian ke dalam teologi
Kristen. Aquinas mengambil konsep seperti actus purus, empat sebab, dan
hylemorfisme untuk merumuskan argumen rasional tentang keberadaan Tuhan,
penciptaan, serta jiwa manusia¹. Ia mengadaptasi pandangan Aristoteles tentang
substansi dan kausalitas untuk membangun struktur metafisika teistik yang
sistematis, menjadikan metafisika sebagai landasan epistemologi, antropologi,
dan teologi Katolik².
Dalam filsafat Islam, pemikiran Aristoteles
diadaptasi secara luas oleh filsuf-filsuf besar seperti al-Farabi, Avicenna
(Ibn Sina), dan Averroes (Ibn Rushd). Avicenna, misalnya,
mengembangkan konsep “wajib al-wujud” (yang wajib ada) berdasarkan prinsip actus
purus, serta membedakan antara mahiyyah (esensi) dan wujûd
(eksistensi), yang kelak memengaruhi pemikiran Latin Scholastic³. Sementara
itu, Averroes mempertahankan tafsir literal atas metafisika Aristoteles, dan
menolak interpretasi yang menyimpang jauh dari prinsip-prinsip aslinya⁴.
Namun demikian, metafisika Aristoteles tidak lepas
dari kritik, terutama pada masa modern. Immanuel Kant,
dalam karyanya Critique of Pure Reason, menantang validitas metafisika
tradisional, termasuk metafisika Aristotelian. Menurut Kant, metafisika tidak
dapat mencapai kebenaran objektif melalui akal murni semata karena tidak
didasarkan pada pengalaman empirik. Ia menilai bahwa banyak konsep metafisika,
seperti substansi dan sebab, hanyalah bentuk apriori dari struktur kognitif
manusia, bukan pengetahuan obyektif tentang realitas⁵.
Lebih lanjut, filsafat eksistensialisme dan
fenomenologi—terutama melalui Martin Heidegger—meninjau ulang metafisika
Aristoteles secara radikal. Dalam Sein und Zeit dan Introduction to
Metaphysics, Heidegger mengkritik pendekatan metafisika tradisional yang
terlalu menekankan pada substansi dan identitas statis, sehingga mengabaikan
dimensi ontologis yang lebih mendasar: pertanyaan tentang keberadaan itu
sendiri (Seinsfrage).⁶ Heidegger bahkan menyebut bahwa metafisika
Aristoteles memulai “lupa akan keberadaan” (Seinsvergessenheit)⁷.
Meskipun demikian, pemikiran Aristoteles tetap
menjadi sumber inspirasi utama dalam metafisika kontemporer. Dalam
filsafat analitik, misalnya, konsep substansi, kausalitas, dan identitas banyak
dikaji ulang oleh tokoh seperti W.V.O. Quine, David Armstrong,
dan E.J. Lowe, yang berusaha mengadaptasi Aristotelianisme ke dalam
bahasa filsafat modern⁸. Dalam filsafat alam, hylemorfisme bahkan mengalami
kebangkitan dalam diskusi tentang filsafat biologi dan teori sistem⁹.
Dengan demikian, warisan metafisika Aristoteles
adalah dialektis dan dinamis: ia tidak hanya membentuk arsitektur besar
dalam sejarah pemikiran, tetapi juga memicu percakapan filosofis yang terus
berlangsung hingga hari ini. Baik dalam bentuk penerimaan, reinterpretasi,
maupun penolakan, metafisika Aristoteles terus membuktikan relevansinya sebagai
kerangka pemikiran yang tangguh dan produktif dalam memahami eksistensi.
Footnotes
- Thomas Aquinas, Summa
Theologica, I, q. 2, a. 3; cf. Etienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame
Press, 1956), 123–130.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 219–225.
- Avicenna, The Metaphysics
of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 2005), Book I, ch. 5.
- Averroes, Long Commentary
on the Metaphysics of Aristotle, trans. Richard C. Taylor (New Haven:
Yale University Press, 2011), 147–150.
- Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), A247/B303–A309/B366.
- Martin Heidegger, Introduction
to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale
University Press, 2000), 41–45.
- Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper
& Row, 1962), 21–23.
- E. J. Lowe, The
Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 34–38.
- Edward Feser, Aristotle's
Revenge: The Metaphysical Foundations of Physical and Biological Science
(Neunkirchen-Seelscheid: Editiones Scholasticae, 2019), 103–108.
10.
Penutup: Metafisika Sebagai Pencarian Hakikat
Keberadaan
Metafisika Aristoteles merupakan upaya monumental
dalam sejarah filsafat untuk merumuskan struktur terdalam dari realitas.
Sebagai ilmu tentang keberadaan sebagai keberadaan (to on hêi on),
metafisika tidak hanya membahas apa yang ada, tetapi juga mengapa dan dalam
cara apa sesuatu itu ada¹. Dalam kerangka ini, Aristoteles membangun sistem
ontologi yang komprehensif, mencakup konsep-konsep seperti ousia
(substansi), empat sebab (causae), bentuk dan materi (hylemorfisme),
potensialitas dan aktualitas, hingga Tuhan sebagai penggerak tak bergerak
(unmoved mover)—semuanya dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang eksistensi.
Salah satu kekuatan utama dari metafisika
Aristoteles adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan dinamika perubahan
dengan kestabilan ontologis. Dengan memperkenalkan kerangka potensialitas
dan aktualitas, Aristoteles memberikan penjelasan rasional terhadap perubahan
tanpa mengorbankan prinsip identitas². Dalam hal ini, metafisika menjadi jalan
tengah antara ekstrem Herakleitos (yang menekankan perubahan absolut) dan
Parmenides (yang menolak perubahan sama sekali).
Lebih dari itu, metafisika dalam pandangan
Aristoteles bukan hanya ilmu teoretis, tetapi juga manifestasi tertinggi
dari kehidupan intelektual manusia. Sebagaimana ditegaskannya dalam Metaphysics
Alpha, pencarian pengetahuan akan prinsip pertama dan sebab pertama adalah
ciri khas dari filsafat, dan karena itu merupakan ekspresi dari kebijaksanaan (sophia)³.
Dalam pencarian ini, manusia menyentuh dimensi terdalam eksistensinya sebagai
makhluk rasional.
Warisan metafisika Aristoteles juga terus
beresonansi dalam pelbagai tradisi pemikiran. Baik dalam teologi skolastik,
filsafat Islam klasik, rasionalisme modern, hingga ontologi
kontemporer, prinsip-prinsip Aristotelian telah menjadi fondasi dialog
filosofis lintas zaman⁴. Meskipun kritik-kritik modern—terutama dari Kant dan
Heidegger—telah menggugat validitas dan pendekatan metafisika tradisional,
namun justru melalui kritik itulah relevansi Aristoteles terus diuji dan
dikembangkan⁵.
Pada akhirnya, metafisika Aristoteles bukan hanya
sistem filsafat, melainkan kerangka pencarian kebenaran ontologis yang
terbuka. Ia mengajarkan bahwa keberadaan bukan sesuatu yang sepele,
melainkan medan kontemplasi yang menuntut ketekunan intelektual dan keterbukaan
terhadap kedalaman realitas. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh
pengetahuan instrumental dan teknologis, metafisika tetap menawarkan alternatif
pemahaman yang mendasar dan menyeluruh tentang hakikat hidup dan dunia⁶.
Sebagaimana Aristoteles membuka Metaphysics
dengan kalimat terkenalnya—“Semua manusia pada dasarnya ingin tahu” (pantes
anthrôpoi tou eidenai oregontai phusei)—maka metafisika adalah
pengejawantahan paling murni dari dorongan itu: dorongan untuk memahami mengapa
segala sesuatu ada, dan apa makna terdalam dari keberadaan itu sendiri⁷.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1003a21–b5.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 167–172.
- Aristotle, Metaphysics,
980a21–26.
- Giovanni Reale, A History
of Ancient Philosophy: Aristotle and the Peripatetic School, trans.
John R. Catan (Albany: SUNY Press, 1990), 229–231.
- Martin Heidegger, Introduction
to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale
University Press, 2000), 51–55.
- Edward Feser, Scholastic
Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones
Scholasticae, 2014), 85–90.
- Aristotle, Metaphysics,
980a1.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1995). Commentary
on Aristotle’s Metaphysics (J. P. Rowan, Trans.). Dumb Ox Books.
Aquinas, T. (2006). Summa
Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Christian
Classics. (Original work published 1274)
Aristotle. (1984). The
Complete Works of Aristotle (J. Barnes, Ed.; W. D. Ross, Trans.).
Princeton University Press.
Avicenna. (2005). The
metaphysics of the healing (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young
University Press.
Barnes, J. (2000). Aristotle:
A very short introduction. Oxford University Press.
Feser, E. (2014). Scholastic
metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.
Feser, E. (2017). Five
proofs of the existence of God. Ignatius Press.
Feser, E. (2019). Aristotle’s
revenge: The metaphysical foundations of physical and biological science.
Editiones Scholasticae.
Gilson, E. (1956). The
Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame
Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
(Original work published 1927)
Heidegger, M. (2000). Introduction
to metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). Yale University Press.
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1781)
Kraut, R. (2021). Aristotle’s
metaphysics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2021 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/aristotle-metaphysics/
Lowe, E. J. (2006). The
four-category ontology: A metaphysical foundation for natural science.
Oxford University Press.
Owens, J. (1951). The
doctrine of being in the Aristotelian metaphysics. Pontifical Institute of
Mediaeval Studies.
Plato. (1997). Plato:
Complete works (J. M. Cooper, Ed.; G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve,
Trans.). Hackett Publishing Company.
Reale, G. (1990). A
history of ancient philosophy: Aristotle and the Peripatetic School (J. R.
Catan, Trans.). SUNY Press.
Sorabji, R. (1988). Matter,
space and motion: Theories in antiquity and their sequel. Cornell
University Press.
Taylor, R. C. (Trans.).
(2011). Averroes: Long commentary on the metaphysics of Aristotle.
Yale University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar