Selasa, 08 April 2025

Pemikiran Thomas Aquinas: Menyelami Pemikiran Sang Doktor Malaikat

Pemikiran Thomas Aquinas

Menyelami Pemikiran Sang Doktor Malaikat


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran filsuf dan teolog besar Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, yang dikenal sebagai tokoh sentral dalam usaha menyintesiskan iman Kristiani dengan rasionalitas filsafat klasik, khususnya pemikiran Aristoteles. Dengan pendekatan historis-filosofis dan telaah teks-teks utama seperti Summa Theologiae dan Summa Contra Gentiles, tulisan ini mengeksplorasi pandangan Aquinas dalam bidang ontologi, epistemologi, metafisika, etika, dan hukum alam. Selain itu, dibahas pula posisi Aquinas dalam menjembatani hubungan antara iman dan akal, serta warisan intelektualnya yang luas dalam teologi, filsafat hukum, dan pendidikan. Ditekankan bahwa pemikiran Aquinas tidak hanya berpengaruh pada zamannya, tetapi juga tetap relevan dalam konteks kontemporer yang menuntut dialog antara kepercayaan religius dan rasionalitas modern. Artikel ini menampilkan Aquinas sebagai figur yang berhasil merumuskan suatu sistem filsafat-teologis yang holistik, integratif, dan transformatif.

Kata Kunci: Thomas Aquinas, filsafat Kristen, iman dan akal, hukum alam, metafisika, skolastisisme, etika Thomistik.


PEMBAHASAN

Thomas Aquinas dan Sintesis Filsafat Kristen


1.           Pendahuluan

Abad Pertengahan merupakan periode penting dalam sejarah pemikiran Barat, khususnya dalam perkembangan filsafat dan teologi Kristen. Pada masa ini, filsafat tidak dipisahkan dari agama; sebaliknya, ia menjadi alat untuk memperdalam pemahaman terhadap iman. Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam dinamika intelektual ini adalah Thomas Aquinas (1225–1274), seorang teolog dan filsuf Dominikan yang berhasil menyusun sintesis monumental antara ajaran Kristen dan filsafat klasik, terutama pemikiran Aristoteles.

Kehadiran Aquinas tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual zaman itu. Dunia Kristen Barat mulai terbuka terhadap karya-karya Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin melalui perantara dunia Islam, khususnya melalui pemikir seperti Ibn Rushd (Averroes) dan Ibn Sina (Avicenna). Karya-karya ini memberi pengaruh besar terhadap corak skolastisisme—yakni metode berpikir yang bercirikan sistematika, argumentasi logis, dan sintesis antara iman dan akal—yang menjadi ciri utama pendidikan dan diskursus ilmiah di universitas-universitas Abad Pertengahan, seperti Paris dan Bologna.1

Dalam konteks tersebut, Aquinas tampil sebagai pemikir besar yang tidak hanya mempertahankan iman Kristiani, tetapi juga memberikan ruang bagi akal sebagai sarana untuk memahami kebenaran. Ia meyakini bahwa kebenaran tidak mungkin saling bertentangan, karena baik wahyu ilahi maupun rasio manusia berasal dari sumber yang sama, yakni Tuhan.2 Gagasan inilah yang melandasi seluruh karyanya, terutama Summa Theologiae, yang menjadi salah satu tonggak terpenting dalam sejarah pemikiran Barat.

Pemikiran Aquinas memberikan pengaruh mendalam tidak hanya dalam teologi Katolik, tetapi juga dalam bidang etika, metafisika, epistemologi, dan hukum. Ia dipandang sebagai figur utama dalam upaya menjembatani antara iman dan filsafat rasional, yang hingga kini masih menjadi rujukan penting dalam filsafat agama dan teologi sistematik.3 Paus Leo XIII bahkan menegaskan bahwa filsafat Aquinas layak menjadi fondasi pendidikan teologis di seminari-seminari Katolik melalui ensiklik Aeterni Patris pada tahun 1879, yang menandai kebangkitan kembali minat terhadap ajaran Thomisme dalam Gereja Katolik.4

Melalui pembahasan ini, artikel bertujuan untuk menyelami pemikiran Thomas Aquinas secara sistematis, dengan menyoroti pandangan-pandangan utamanya dalam bidang metafisika, epistemologi, etika, dan relasi antara iman dan akal. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana Aquinas membentuk sebuah sintesis filsafat Kristen yang tetap relevan hingga masa kini.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday Image Books, 1993), 202–205.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I.7, diterjemahkan oleh Anton C. Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1975), 62.

[3]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3–6.

[4]                Pope Leo XIII, Aeterni Patris: On the Restoration of Christian Philosophy (1879), dalam The Papal Encyclicals 1878–1903, diedit oleh Claudia Carlen, IHM (Raleigh: McGrath Publishing Company, 1981), 25–32.


2.           Biografi Singkat Thomas Aquinas

Thomas Aquinas lahir sekitar tahun 1225 di Roccasecca, sebuah kastil milik keluarganya yang terletak di Kerajaan Napoli, Italia Selatan. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang berkedudukan tinggi; ayahnya, Landulf, adalah seorang count, sedangkan ibunya, Theodora, berasal dari keluarga bangsawan Jerman. Keluarga Aquinas mengharapkan Thomas menjadi seorang abbas di Monte Cassino, biara Benediktin yang prestisius dan berpengaruh pada masa itu.1

Namun, arah hidup Thomas berubah ketika ia memutuskan untuk bergabung dengan Ordo Dominikan (Ordo Pewarta), yang saat itu masih tergolong baru. Keputusan ini ditentang keras oleh keluarganya karena status Dominikan yang hidup dalam kemiskinan sukarela dianggap tidak sepadan dengan martabat keluarga bangsawan. Bahkan, menurut beberapa catatan, Thomas sempat “diculik” dan dikurung oleh keluarganya selama lebih dari setahun dalam upaya untuk mengubah keputusannya, namun ia tetap teguh pada pilihannya.2

Setelah dibebaskan, Thomas melanjutkan pendidikannya di Universitas Paris dan kemudian di Köln (Cologne), di bawah bimbingan Albertus Magnus, salah satu pemikir skolastik besar. Di bawah bimbingan Albertus, Thomas mulai mendalami filsafat Aristoteles yang kala itu baru masuk kembali ke Barat melalui penerjemahan karya-karya dari bahasa Arab dan Yunani. Meskipun pada awalnya ia diremehkan oleh rekan-rekannya karena sifatnya yang pendiam dan tubuhnya yang besar—sehingga dijuluki “bue diamante” (sapi bisu)—Albertus dengan jitu memprediksi: “Sapi bisu ini suatu hari nanti akan mengaum begitu keras sehingga seluruh dunia akan mendengarnya.”_3

Thomas kemudian kembali mengajar di Paris dan mengembangkan reputasi sebagai pengajar dan penulis yang sangat produktif. Di antara karya-karya utamanya adalah Summa Contra Gentiles, yang merupakan pembelaan rasional terhadap iman Kristen, dan Summa Theologiae, sebuah karya sistematik yang membahas hampir seluruh aspek teologi dan filsafat Kristen.4 Karya-karya ini memperlihatkan pendekatannya yang khas: menggabungkan prinsip-prinsip rasional Aristotelian dengan ajaran iman Katolik.

Aquinas wafat pada tanggal 7 Maret 1274 dalam perjalanannya menuju Konsili Lyon Kedua atas undangan Paus Gregorius X. Ia meninggal di Biara Fossanova dan dikanonisasi sebagai santo oleh Paus Yohanes XXII pada tahun 1323. Pada tahun 1567, Paus Pius V mengangkatnya sebagai Doctor of the Church, dan hingga kini ia dikenal dengan gelar kehormatan Doctor Angelicus (Doktor Malaikat).5


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1994), 12–15.

[2]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Oxford University Press, 1992), 9.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday Image Books, 1993), 355.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, diterjemahkan oleh Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[5]                Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 2–5.


3.           Latar Belakang Intelektual dan Konteks Zaman

Pemikiran Thomas Aquinas tidak dapat dipisahkan dari dinamika intelektual dan religius yang mewarnai Abad Pertengahan, khususnya abad ke-13, masa di mana ia hidup dan berkarya. Periode ini ditandai dengan kebangkitan kembali studi filsafat klasik, terutama karya-karya Aristoteles, yang sebelumnya nyaris tidak dikenal di Eropa Barat selama berabad-abad setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi. Karya-karya tersebut diperkenalkan kembali melalui dunia Islam dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin melalui perantara para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes).1

Universitas-universitas seperti Paris dan Oxford menjadi pusat intelektual utama dalam penyebaran pemikiran skolastik. Skolastisisme adalah metode berpikir yang menggabungkan logika rasional dengan ajaran teologis, bertujuan untuk memperjelas dan menyusun doktrin agama secara sistematik. Di dalam lingkungan akademik yang kompetitif inilah Thomas Aquinas berkembang sebagai pemikir yang mencoba mengharmoniskan akal dan wahyu. Ia menghadapi tantangan dari dua sisi: dari satu sisi, skeptisisme terhadap penggunaan filsafat “pagan” dalam diskursus Kristen; dari sisi lain, kalangan radikal yang menafsirkan Aristoteles secara ekstrem dan memisahkan filsafat dari teologi, sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Averroisme Latin.2

Di satu sisi, ada kekhawatiran dalam Gereja bahwa filsafat—terutama pemikiran Aristoteles tentang keabadian dunia dan ketidaktergantungan akal terhadap wahyu—dapat menggoyahkan kepercayaan terhadap doktrin Kristiani seperti penciptaan dan kebangkitan. Pada tahun 1210 dan 1277, bahkan dikeluarkan larangan terhadap pengajaran beberapa bagian dari karya Aristoteles di Universitas Paris karena dianggap berbahaya bagi iman.3 Namun, Aquinas melihat adanya jalan tengah. Ia menolak pandangan Averrois Latin yang menganggap filsafat berdiri terpisah dari teologi, dan sebaliknya, menegaskan bahwa keduanya saling melengkapi. Baginya, kebenaran filsafat yang sahih tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran wahyu karena keduanya berasal dari sumber yang sama: Tuhan.4

Kontribusi besar Aquinas terletak pada kemampuannya menyusun suatu sistem filsafat-teologis yang menjadikan Aristoteles sebagai kerangka metafisik dan epistemologis, namun tetap tunduk pada otoritas wahyu. Ia tidak sekadar menggunakan Aristoteles, melainkan menafsirkannya ulang dalam terang iman Kristiani. Proyek intelektual Aquinas ini menunjukkan puncak dari tradisi skolastik, di mana iman tidak ditinggalkan demi rasio, melainkan dijelaskan dan dipertahankan melalui rasio.5

Dengan konteks seperti inilah, pemikiran Thomas Aquinas harus dibaca: sebagai jawaban terhadap tantangan zaman, sekaligus sebagai usaha monumental untuk membangun sintesis antara dua warisan besar peradaban—iman Kristiani dan filsafat Yunani—dalam satu sistem intelektual yang koheren dan transformatif.


Footnotes

[1]                David C. Lindberg, The Beginnings of Western Science (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 239–242.

[2]                Etienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 91–93.

[3]                John Marenbon, “The Condemnations of 1277 and the Intellectual Climate of the Late Thirteenth Century,” Journal of Ecclesiastical History 45, no. 3 (1994): 463–482.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I.7, diterjemahkan oleh Anton C. Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1975), 62.

[5]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Oxford University Press, 1992), 17–20.


4.           Pandangan Ontologi dan Epistemologi

Pemikiran ontologis dan epistemologis Thomas Aquinas menunjukkan kedalaman sintesis antara warisan filsafat Aristoteles dan kerangka iman Kristen. Ia meyakini bahwa filsafat tidak dapat dipisahkan dari metafisika, karena realitas tidak hanya terdiri dari fenomena lahiriah, tetapi mencakup prinsip-prinsip esensial yang mendasarinya. Dalam ontologi Aquinas, segala sesuatu yang ada (ens) merupakan hasil dari kombinasi antara essentia (hakikat) dan esse (keberadaan). Hanya Tuhan yang merupakan keberadaan murni (ipsum esse subsistens), yakni keberadaan yang identik dengan esensinya.1

4.1.       Struktur Realitas: Aktus dan Potensi

Thomas meminjam kerangka Aristotelian tentang actus (aktualitas) dan potentia (potensialitas) untuk menjelaskan struktur realitas. Semua makhluk, kecuali Tuhan, berada dalam ketegangan antara potensi dan aktualitas. Misalnya, biji memiliki potensi menjadi pohon, dan ketika ia tumbuh, potensinya diwujudkan secara aktual. Tuhan, dalam pandangan Aquinas, adalah actus purus, yaitu wujud yang sepenuhnya aktual tanpa potensi karena sudah sempurna dalam dirinya sendiri.2

Dengan demikian, ontologi Aquinas tidak bersifat monistik atau dualistik, tetapi hierarkis—segala makhluk berada dalam tingkatan keberadaan yang bertahap, tergantung pada sejauh mana mereka mengaktualkan potensi keberadaannya.3

4.2.       Teori Pengetahuan: Abstraksi dan Realisme Moderat

Dalam epistemologi, Aquinas mengikuti realisme moderat. Ia menolak realisme ekstrem Plato yang menempatkan ide-ide universal di dunia transenden, sekaligus menolak nominalisme yang menilai universal hanya sebagai nama buatan manusia. Menurut Aquinas, manusia memperoleh pengetahuan melalui proses abstraksi, yakni pengambilan bentuk universal dari pengalaman inderawi terhadap objek partikular.4

Proses ini melibatkan dua fakultas utama dalam jiwa manusia:

·                     Sensus: menerima data konkret dari dunia luar.

·                     Intellectus agens: menerangi dan mengekstrak bentuk universal dari data tersebut, yang kemudian diproses oleh intellectus possibilis untuk menjadi pengetahuan aktual.

Dengan demikian, pengetahuan tidak bersifat bawaan (seperti dalam rasionalisme), tetapi diperoleh melalui interaksi antara pengalaman inderawi dan akal budi. Thomas menyatakan bahwa “Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu” (tidak ada apa pun dalam akal yang tidak terlebih dahulu berada dalam indera), meskipun ia menambahkan pengecualian untuk Tuhan dan malaikat.5

4.3.       Keteraturan Alam dan Rasionalitas Dunia

Pandangan ontologis dan epistemologis Aquinas berpijak pada keyakinan bahwa dunia adalah teratur, rasional, dan dapat dipahami oleh akal manusia karena diciptakan oleh Tuhan yang rasional. Inilah yang memungkinkan lahirnya ilmu pengetahuan dan metafisika. Dunia bukanlah ilusi (sebagaimana dalam neoplatonisme ekstrem), tetapi ciptaan yang sungguh-sungguh ada dan memiliki makna dalam dirinya sendiri.6

Ontologi Aquinas juga bersifat teleologis: segala sesuatu memiliki tujuan (telos) yang sesuai dengan kodratnya. Oleh karena itu, pengetahuan tidak hanya diarahkan pada “apa” dan “bagaimana” sesuatu itu, tetapi juga pada “untuk apa” ia ada.


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1994), 119–121.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1; lihat pula Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Oxford University Press, 1992), 47.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday Image Books, 1993), 378–380.

[4]                Anthony Kenny, Aquinas on Mind (London: Routledge, 1993), 18–22.

[5]                Thomas Aquinas, De Veritate, q.2, a.3; diterjemahkan oleh James V. McGlynn dalam Truth, Volume I (Indianapolis: Hackett Publishing, 1994), 50–52.

[6]                Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 42–44.


5.           Pemikiran Metafisika: Tuhan sebagai Wujud Niscaya

Metafisika merupakan fondasi penting dalam sistem pemikiran Thomas Aquinas. Dalam kerangka filsafatnya, keberadaan (esse) adalah prinsip paling dasar dari segala sesuatu. Aquinas berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada adalah kontingen—artinya, mereka bisa ada atau tidak ada, dan keberadaan mereka membutuhkan sebab. Oleh karena itu, mesti ada suatu wujud yang tidak bergantung pada apa pun untuk eksistensinya. Wujud ini disebut wujud niscaya (ens necessarium), yang tidak lain adalah Tuhan sendiri.

5.1.       Argumentasi Eksistensi Tuhan: Quinque Viae

Aquinas menyusun lima jalan (quinque viae) sebagai argumen rasional untuk menunjukkan keberadaan Tuhan dalam Summa Theologiae, I, q.2, a.3. Argumentasi ini bersifat aposteriori, yakni berdasarkan observasi terhadap dunia dan geraknya.1 Kelima jalan tersebut adalah:

1)                  Dari Gerak (Ex Motu):

Segala yang bergerak digerakkan oleh yang lain. Maka harus ada “penggerak pertama” (primum movens immobile) yang tidak digerakkan oleh apa pun—itulah Tuhan.2

2)                  Dari Sebab Akibat (Ex Causa):

Segala yang ada memiliki sebab. Rantai sebab-akibat tidak bisa mundur tanpa batas, maka harus ada sebab pertama yang tak disebabkan—Tuhan.3

3)                  Dari Kontingensi (Ex Contingentia):

Makhluk-makhluk bersifat kontingen. Maka harus ada satu wujud yang keberadaannya niscaya, yang menyebabkan makhluk kontingen—Tuhan.4

4)                  Dari Derajat Kesempurnaan (Ex Gradibus):

Terdapat derajat kualitas seperti kebaikan dan kebenaran. Maka harus ada sumber kesempurnaan mutlak sebagai tolok ukur semua kesempurnaan—Tuhan.5

5)                  Dari Tujuan (Ex Fine):

Alam semesta menunjukkan keteraturan dan tujuan, bahkan pada makhluk tak berakal. Ini menunjukkan adanya pengarah yang cerdas—Tuhan.6

Lima jalan ini tidak membuktikan “Tuhan Kristen” secara lengkap, melainkan sebagai fondasi rasional bahwa suatu wujud yang tak tergantung dan mutlak itu ada, yang kemudian ditafsirkan lebih lanjut dalam teologi.

5.2.       Tuhan sebagai Ipsum Esse Subsistens

Konsep metafisik paling khas dalam filsafat Aquinas adalah gagasan bahwa Tuhan adalah ipsum esse subsistens—yakni, keberadaan itu sendiri yang subsisten (berdiri sendiri). Ini berarti bahwa Tuhan tidak sekadar memiliki keberadaan seperti makhluk lain, melainkan adalah keberadaan itu sendiri.7 Dalam setiap makhluk ciptaan, essentia (apa sesuatu itu) dan esse (bahwa sesuatu itu ada) adalah dua hal yang berbeda. Namun dalam Tuhan, essentia dan esse identik: hakikat Tuhan adalah keberadaan itu sendiri.

Konsep ini membedakan Aquinas dari filsuf-filsuf lain, termasuk Aristoteles yang memandang Tuhan sebagai “pikiran yang berpikir tentang pikiran” (noesis noeseos). Aquinas menyempurnakan pandangan itu dengan menekankan aspek metafisik Tuhan sebagai asal-usul seluruh eksistensi.8

5.3.       Tuhan sebagai Actus Purus

Tuhan adalah actus purus, yaitu wujud yang sepenuhnya aktual dan tanpa potensi. Dalam sistem metafisika Aquinas, segala makhluk berada dalam ketegangan antara potensi (apa yang bisa terjadi) dan aktualitas (apa yang sudah terjadi). Tuhan tidak memiliki potensi karena Ia tidak dapat berubah, tidak bergantung, dan tidak terbatas. Ia adalah wujud sempurna dan tak terbagi.9

Dengan menyatakan Tuhan sebagai actus purus, Aquinas tidak hanya menegaskan keabadian dan ketidakterubahan Tuhan, tetapi juga menghindari pemahaman antromorfis tentang Tuhan. Ia tidak berubah karena Ia sempurna; perubahan hanya terjadi pada yang kurang sempurna.

5.4.       Tuhan sebagai Penyebab Pertama yang Tidak Disebabkan

Metafisika Aquinas memuncak pada prinsip bahwa Tuhan adalah penyebab pertama yang tak disebabkan (causa prima non causata). Dunia dan segala isinya berada dalam relasi sebab-akibat yang tak bisa berlanjut secara tak terbatas. Oleh karena itu, suatu realitas mutlak diperlukan untuk menjelaskan adanya realitas lain. Keberadaan Tuhan sebagai penyebab pertama ini menjadi dasar bagi keteraturan kosmos dan fondasi bagi pemikiran etika dan hukum alam.10


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2, a.3; diterjemahkan oleh Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[2]                Ibid.

[3]                Ibid.

[4]                Ibid.

[5]                Ibid.

[6]                Ibid.

[7]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 102–105.

[8]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Oxford University Press, 1992), 49–51.

[9]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday Image Books, 1993), 392–394.

[10]             Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 13–15.


6.           Etika dan Hukum Alam (Natural Law)

Dalam sistem pemikiran Thomas Aquinas, etika tidak hanya berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk, tetapi merupakan bagian dari keteraturan kosmik yang bersumber pada akal ilahi. Bagi Aquinas, moralitas memiliki dasar metafisik yang kokoh, yaitu kodrat manusia sebagai makhluk rasional ciptaan Tuhan. Dengan menggabungkan ajaran Aristoteles dan prinsip-prinsip teologi Kristen, Aquinas mengembangkan etika naturalis yang menjadikan hukum alam (lex naturalis) sebagai jembatan antara hukum ilahi dan tindakan manusiawi.1

6.1.       Struktur Empat Hukum dalam Pandangan Aquinas

Dalam Summa Theologiae (I–II, q.91–95), Aquinas membagi hukum ke dalam empat tingkatan, yang semuanya bersumber dari Tuhan sebagai sumber keteraturan dan kebaikan:

·                     Eternal Law (lex aeterna): Hukum ilahi yang abadi, yaitu rencana Tuhan atas seluruh ciptaan yang tidak berubah dan mencerminkan kebijaksanaan ilahi.2

·                     Natural Law (lex naturalis): Partisipasi rasional makhluk berakal dalam hukum abadi. Ini adalah hukum yang tertanam dalam kodrat manusia dan dapat diketahui melalui akal budi.3

·                     Human Law (lex humana): Hukum positif yang dibuat oleh manusia untuk mengatur kehidupan sosial, selama tidak bertentangan dengan hukum alam.4

·                     Divine Law (lex divina): Hukum wahyu, seperti yang terdapat dalam Kitab Suci, yang memberikan petunjuk bagi keselamatan manusia di luar jangkauan akal rasional.5

Hukum alam menempati posisi sentral karena menjadi penghubung antara dimensi ilahi dan realitas moral manusiawi. Melalui hukum alam, manusia dapat mengetahui mana yang baik dan harus dilakukan serta mana yang jahat dan harus dihindari, tanpa memerlukan wahyu eksplisit terlebih dahulu.

6.2.       Prinsip Dasar Etika dan Moralitas

Aquinas menyatakan bahwa prinsip dasar dari hukum alam adalah: “Bonum est faciendum et prosequendum, et malum vitandum” (yang baik harus dilakukan dan dikejar, dan yang jahat harus dihindari).6 Dari prinsip ini, akal budi manusia dapat menurunkan norma-norma moral seperti pentingnya menjaga kehidupan, melestarikan keturunan, mencari kebenaran, dan hidup dalam komunitas.

Kebaikan, dalam kerangka Aquinas, bersifat objektif dan sesuai dengan tujuan kodrati (telos) manusia. Dengan demikian, tindakan bermoral adalah tindakan yang mengaktualkan kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan sosial yang diciptakan untuk mencapai kebahagiaan sejati (beatitudo), yaitu persatuan dengan Tuhan.7

6.3.       Konsep Kebahagiaan dan Tujuan Akhir Manusia

Etika Aquinas bersifat teleologis, mengikuti garis pemikiran Aristoteles bahwa semua tindakan manusia diarahkan kepada suatu tujuan akhir. Namun, Aquinas menyempurnakannya dengan mengidentifikasi bahwa tujuan akhir manusia bukanlah kebahagiaan duniawi, melainkan visi beatifik (visio beatifica), yaitu kebahagiaan abadi dalam memandang Tuhan secara langsung di akhirat.8

Kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui anugerah ilahi, tetapi tindakan moral yang sesuai hukum alam tetap memiliki nilai penting sebagai sarana menuju tujuan tersebut. Oleh karena itu, etika Aquinas bersifat inklusif—ia mengakui kapasitas akal budi manusia untuk mengetahui kebaikan moral, namun tetap membutuhkan rahmat ilahi untuk mencapainya secara penuh.

6.4.       Relevansi Konsep Hukum Alam

Pemikiran hukum alam Aquinas memiliki pengaruh luas dalam filsafat hukum, etika, dan doktrin sosial Gereja Katolik. Konsep ini menjadi dasar bagi doktrin hak asasi manusia, teori keadilan, dan pengembangan hukum internasional. Bahkan di luar konteks religius, hukum alam Thomistik telah menjadi inspirasi bagi para filsuf hukum modern seperti John Finnis dan Jacques Maritain.9


Footnotes

[1]                Jean Porter, Natural and Divine Law: Reclaiming the Tradition for Christian Ethics (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1999), 58–60.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, q.91, a.1.

[3]                Ibid., I–II, q.94, a.2.

[4]                Ibid., I–II, q.95, a.2.

[5]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Oxford University Press, 1992), 203–205.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, q.94, a.2.

[7]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1994), 198–201.

[8]                Anthony Kenny, Aquinas on Being, Knowledge and Human Nature (Oxford: Clarendon Press, 2002), 157.

[9]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 2011), 23–29.


7.           Hubungan antara Iman dan Akal

Salah satu kontribusi intelektual paling penting dari Thomas Aquinas adalah upayanya untuk menyelaraskan dua sumber pengetahuan yang sering kali dipertentangkan: iman (fides) dan akal (ratio). Dalam dunia Kristen Abad Pertengahan, terutama pasca pengaruh Augustinian yang kuat, cenderung muncul kecurigaan terhadap filsafat sebagai sesuatu yang bisa mengganggu kemurnian wahyu. Namun, Aquinas membalik kecenderungan itu dan menunjukkan bahwa iman dan akal bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua jalan yang saling melengkapi untuk memahami kebenaran yang satu dan sama: kebenaran dari Tuhan.1

7.1.       Sumber yang Sama: Tuhan sebagai Asal Kebenaran

Menurut Aquinas, baik wahyu (iman) maupun penalaran (akal) berasal dari satu sumber yang sama, yakni Tuhan. Karena itu, tidak mungkin terjadi kontradiksi sejati antara keduanya. Dalam Summa Theologiae (I, q.1, a.1), Aquinas menulis bahwa teologi adalah “sacra doctrina” (ilmu suci) yang berpijak pada wahyu, tetapi dapat dijelaskan dan didukung oleh argumen rasional sejauh akal manusia mampu menanggapinya.2

Ia membedakan antara dua jenis kebenaran mengenai Tuhan:

·                     Kebenaran yang dapat diketahui oleh akal, seperti eksistensi Tuhan, yang dapat dibuktikan secara filosofis melalui lima jalan (quinque viae).

·                     Kebenaran yang hanya dapat diketahui melalui wahyu, seperti Tritunggal Mahakudus dan inkarnasi Kristus.3

Dengan demikian, filsafat berperan sebagai “hamba” teologi (ancilla theologiae), bukan untuk mengatur wahyu, tetapi untuk mempersiapkan dan memperkuat pemahaman terhadapnya.4

7.2.       Filsafat dan Teologi: Dua Ilmu yang Berbeda namun Komplementer

Aquinas tidak menyamakan filsafat dan teologi, tetapi ia menempatkan keduanya dalam hubungan hierarkis. Filsafat berangkat dari akal dan pengalaman empiris, sedangkan teologi bersumber dari wahyu dan berorientasi pada kebenaran ilahi. Namun, filsafat tetap memiliki otonomi dan metode tersendiri. Oleh karena itu, kebenaran filsafat tidak ditolak selama tidak bertentangan dengan iman.5

Dalam karya Summa contra Gentiles, Aquinas menjelaskan bahwa dalam menghadapi kaum non-Kristen atau yang belum menerima wahyu, pendekatan filosofis sangat penting untuk menyampaikan kepercayaan melalui akal budi. Filsafat menjadi alat apologetik yang sah dan berguna dalam menjembatani perbedaan intelektual.6

7.3.       Akal Mendukung Iman: Credo ut intelligam

Aquinas mengikuti semangat Anselmus dengan prinsip: “Credo ut intelligam” (aku beriman agar aku mengerti), namun ia juga menekankan bahwa akal dapat mendahului dan menuntun pada iman. Pemahaman tentang eksistensi Tuhan, misalnya, dapat diakses melalui argumen rasional bahkan sebelum menerima iman Kristiani.7

Namun, Aquinas menyadari keterbatasan akal manusia. Ia menyatakan bahwa tidak semua kebenaran ilahi dapat dicapai oleh akal, sebab kebenaran ilahi melampaui kapasitas intelektual manusia. Oleh karena itu, wahyu tetap dibutuhkan sebagai sumber pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna.8

7.4.       Relevansi Pandangan Aquinas dalam Konteks Kontemporer

Pandangan harmonis antara iman dan akal yang ditawarkan Aquinas memiliki relevansi besar dalam dunia modern yang sering kali terjebak dalam dikotomi antara agama dan sains. Paus Yohanes Paulus II, dalam ensiklik Fides et Ratio (1998), menegaskan kembali pentingnya warisan intelektual Aquinas, menyatakan bahwa “iman dan akal adalah dua sayap yang dengannya jiwa manusia terangkat kepada kontemplasi akan kebenaran.”_9

Dalam dunia filsafat agama, pendekatan Aquinas terus menjadi rujukan dalam diskusi-diskusi apologetika, dialog antaragama, dan pengembangan sistem etika rasional berbasis spiritualitas.


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 89–91.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.1, a.1; terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Oxford University Press, 1992), 35–37.

[4]                Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 51–53.

[5]                Anthony Kenny, Aquinas on Mind (London: Routledge, 1993), 27–29.

[6]                Thomas Aquinas, Summa contra Gentiles, I, ch.3; diterjemahkan oleh Anton C. Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1975), 65–67.

[7]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday Image Books, 1993), 395.

[8]                Thomas Aquinas, De Veritate, q.14, a.9.

[9]                Pope John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §1.


8.           Warisan Intelektual dan Pengaruh

Thomas Aquinas bukan hanya tokoh penting dalam sejarah teologi Katolik, tetapi juga merupakan pilar intelektual dalam filsafat Barat. Warisan pemikirannya membentang luas—dari skolastisisme abad pertengahan hingga filsafat moral dan hukum modern, serta pemikiran teologi kontemporer. Melalui karya-karya monumentalnya seperti Summa Theologiae dan Summa contra Gentiles, Aquinas berhasil membangun suatu sistem pemikiran yang kokoh, integratif, dan tahan uji lintas zaman.

8.1.       Pengaruh dalam Teologi dan Gereja Katolik

Aquinas diakui secara resmi sebagai salah satu teolog terbesar dalam Gereja Katolik. Ia dikanonisasi pada tahun 1323 oleh Paus Yohanes XXII dan kemudian diberi gelar Doctor Angelicus (Doktor Malaikat) serta Doctor Communis (Doktor Umum Gereja) karena kedalaman dan keluasan pengaruh pemikirannya.1

Puncak pengakuan atas warisan intelektual Aquinas terjadi pada tahun 1879, ketika Paus Leo XIII dalam ensiklik Aeterni Patris secara resmi menyerukan “kebangkitan filsafat skolastik,” dengan menjadikan pemikiran Aquinas sebagai fondasi utama pendidikan teologis di seminari Katolik. Sejak saat itu, Thomisme menjadi mazhab resmi dalam pendidikan dan refleksi teologis Katolik Roma.2

Pengaruhnya juga tercermin dalam dokumen Konsili Vatikan II, khususnya dalam pendekatan terhadap hubungan antara wahyu dan akal, serta dalam pengembangan ajaran sosial Gereja yang mengakar kuat pada prinsip hukum alam dan martabat manusia yang rasional, sebagaimana ditegaskan oleh Aquinas.3

8.2.       Kontribusi terhadap Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Dalam dunia filsafat, Aquinas membawa kontribusi signifikan dengan menjembatani dua tradisi besar: filsafat Yunani (terutama Aristoteles) dan pemikiran Kristiani. Dengan cara ini, ia memperluas horizon filsafat skolastik dan menjadikannya lebih sistematis serta rasional. Konsep-konsep metafisisnya seperti actus purus, ipsum esse subsistens, serta distingsi antara essentia dan esse memberikan dasar ontologis yang mendalam bagi diskursus filsafat keberadaan.4

Aquinas juga berkontribusi terhadap epistemologi dan etika, terutama melalui gagasannya tentang hukum alam (natural law), yang kemudian memengaruhi para filsuf hukum dan politik seperti Francisco Suárez, Hugo Grotius, hingga para pemikir modern seperti Jacques Maritain dan John Finnis.5

Dalam konteks ilmu pengetahuan, meskipun Aquinas bukan ilmuwan dalam pengertian modern, kerangka filsafat alam yang ia kembangkan—yang menekankan keteraturan, keterpahaman, dan rasionalitas alam ciptaan—memberikan dasar teologis bagi perkembangan sains modern dalam tradisi Kristen Barat.6

8.3.       Relevansi Kontemporer: Etika, Hukum, dan Dialog Antaragama

Pemikiran Aquinas tetap relevan dalam dunia kontemporer, terutama dalam bidang bioetika, filsafat hukum, dan dialog antaragama. Gagasannya tentang hukum alam menjadi kerangka moral universal yang melampaui sekat agama dan budaya. Hal ini dimanfaatkan oleh banyak kalangan, baik yang religius maupun sekuler, untuk membangun argumen moral rasional dalam isu-isu seperti keadilan, hak asasi manusia, dan tanggung jawab sosial.7

Selain itu, pendekatan Aquinas terhadap keberadaan Tuhan melalui akal—dalam karya seperti Summa contra Gentiles—menjadi landasan penting dalam dialog dengan agama-agama lain dan dalam apologetika rasional modern. Ia menyediakan model bagaimana iman dapat dibela secara masuk akal, tanpa mengorbankan esensi spiritualitas Kristiani.8

8.4.       Warisan Institusional dan Pendidikan

Warisan Aquinas terus hidup melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi seperti Pontifical University of Saint Thomas Aquinas (Angelicum) di Roma, yang didedikasikan untuk pengembangan studi Thomistik. Selain itu, ordo Dominikan sebagai komunitas religius yang menaungi Aquinas, tetap aktif dalam melestarikan, mengembangkan, dan menerapkan pemikiran Aquinas dalam berbagai konteks zaman.9


Footnotes

[1]                Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 7–8.

[2]                Pope Leo XIII, Aeterni Patris: On the Restoration of Christian Philosophy (1879), dalam The Papal Encyclicals 1878–1903, ed. Claudia Carlen, IHM (Raleigh: McGrath Publishing, 1981), 25–30.

[3]                John W. O’Malley, What Happened at Vatican II (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 106–108.

[4]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 105–108.

[5]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 2011), 15–22.

[6]                William E. Carroll, “Aquinas and the Foundations of Science,” Faith and Reason 31, no. 1 (2006): 5–28.

[7]                Jean Porter, Nature as Reason: A Thomistic Theory of the Natural Law (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2005), 11–13.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, ch.2–9, terj. Anton C. Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1975).

[9]                Romanus Cessario, A Short History of Thomism (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2005), 95–97.


9.           Penutup

Thomas Aquinas adalah contoh agung dari sintesis antara iman dan akal, antara wahyu dan filsafat, serta antara tradisi Kristiani dan warisan intelektual Yunani. Dalam era di mana pertentangan antara rasionalitas dan religiusitas sering kali dimunculkan sebagai dikotomi tak terjembatani, pemikiran Aquinas hadir sebagai jembatan yang kuat dan bernas. Ia menunjukkan bahwa kebenaran tidak bersifat sektoral, melainkan terpadu—karena semua kebenaran pada akhirnya bersumber dari Tuhan yang adalah Veritas ipsa, Kebenaran itu sendiri.1

Dengan memadukan filsafat Aristoteles dan doktrin Kristen, Aquinas membangun suatu sistem filsafat-teologis yang tidak hanya rasional, tetapi juga spiritual dan normatif. Ontologi dan metafisikanya menyajikan kerangka keberadaan yang bertingkat dan terarah; epistemologinya menegaskan bahwa pengetahuan dimulai dari pengalaman, tetapi dapat dituntun menuju pemahaman ilahi; etika dan filsafat hukumnya menawarkan prinsip-prinsip moral universal berbasis kodrat manusia dan hukum alam.2

Keberanian intelektual Aquinas untuk menghadapi tantangan filsafat non-Kristen, seperti Averroisme Latin, sekaligus untuk merangkul rasionalitas sebagai anugerah ilahi, menjadikannya tokoh yang melampaui zamannya. Ia bukan hanya penafsir iman, tetapi juga penjaga akal. Dalam konteks modern yang ditandai oleh sekularisasi, relativisme, dan krisis makna, warisan Aquinas menjadi penegas bahwa akal dan iman dapat bekerja sama untuk mencari dan mempertahankan kebenaran.3

Relevansi pemikirannya terbukti melalui pengaruhnya yang terus berlanjut dalam teologi Katolik, filsafat moral, hukum alam, dan dialog antaragama. Ensiklik Fides et Ratio (1998) oleh Paus Yohanes Paulus II menegaskan kembali pentingnya Aquinas sebagai teladan bagaimana iman dan akal dapat bersatu dalam pelayanan terhadap kebenaran dan martabat manusia.4

Akhirnya, mempelajari Aquinas bukanlah sekadar mengenang seorang pemikir besar dalam sejarah, tetapi juga upaya membangun horizon pemikiran yang terbuka, seimbang, dan penuh hormat terhadap akal dan wahyu. Di tengah tantangan kontemporer, filsafat Aquinas tetap bersinar sebagai lentera intelektual dan spiritual yang membimbing manusia menuju kebenaran, kebajikan, dan kebahagiaan abadi.


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.16, a.5; terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[2]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1994), 305–309.

[3]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Oxford University Press, 1992), 215–217.

[4]                Pope John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §§43–48.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York, NY: Benziger Bros.
(Karya asli ditulis sekitar tahun 1265–1274)

Aquinas, T. (1975). Summa Contra Gentiles (A. C. Pegis, Trans.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
(Karya asli ditulis sekitar tahun 1259–1265)

Aquinas, T. (1994). De Veritate: On Truth (J. V. McGlynn, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
(Karya asli ditulis sekitar tahun 1256–1259)

Carroll, W. E. (2006). Aquinas and the foundations of science. Faith and Reason, 31(1), 5–28.

Cessario, R. (2005). A short history of Thomism. Washington, D.C.: Catholic University of America Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Volume II: Medieval philosophy – Augustine to Scotus. New York, NY: Doubleday Image Books.

Davies, B. (1992). The thought of Thomas Aquinas. Oxford, UK: Oxford University Press.

Finnis, J. (2011). Natural law and natural rights (2nd ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.

Gilson, E. (1938). Reason and revelation in the Middle Ages. New York, NY: Charles Scribner’s Sons.

Gilson, E. (1952). Being and some philosophers. Toronto, Canada: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, E. (1994). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

John Paul II. (1998). Fides et ratio: On the relationship between faith and reason. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.

Kenny, A. (1993). Aquinas on mind. London, UK: Routledge.

Kenny, A. (2002). Aquinas on being, knowledge and human nature. Oxford, UK: Clarendon Press.

Kerr, F. (2009). Thomas Aquinas: A very short introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.

Lindberg, D. C. (2007). The beginnings of Western science (2nd ed.). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Marenbon, J. (1994). The condemnations of 1277 and the intellectual climate of the late thirteenth century. Journal of Ecclesiastical History, 45(3), 463–482. https://doi.org/10.1017/S0022046900017671

O'Malley, J. W. (2008). What happened at Vatican II. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Pope Leo XIII. (1981). Aeterni Patris: On the restoration of Christian philosophy (C. Carlen, Ed.). In The papal encyclicals 1878–1903 (pp. 25–30). Raleigh, NC: McGrath Publishing Company.
(Encycl. originally published in 1879)

Porter, J. (1999). Natural and divine law: Reclaiming the tradition for Christian ethics. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Porter, J. (2005). Nature as reason: A Thomistic theory of the natural law. Grand Rapids, MI: Eerdmans.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar