Pemikiran Thomas Aquinas
Menyelami Pemikiran Sang Doktor Malaikat
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
filsuf dan teolog besar Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, yang dikenal sebagai
tokoh sentral dalam usaha menyintesiskan iman Kristiani dengan rasionalitas
filsafat klasik, khususnya pemikiran Aristoteles. Dengan pendekatan
historis-filosofis dan telaah teks-teks utama seperti Summa Theologiae
dan Summa Contra Gentiles, tulisan ini mengeksplorasi pandangan Aquinas
dalam bidang ontologi, epistemologi, metafisika, etika, dan hukum alam. Selain
itu, dibahas pula posisi Aquinas dalam menjembatani hubungan antara iman dan
akal, serta warisan intelektualnya yang luas dalam teologi, filsafat hukum, dan
pendidikan. Ditekankan bahwa pemikiran Aquinas tidak hanya berpengaruh pada
zamannya, tetapi juga tetap relevan dalam konteks kontemporer yang menuntut
dialog antara kepercayaan religius dan rasionalitas modern. Artikel ini
menampilkan Aquinas sebagai figur yang berhasil merumuskan suatu sistem
filsafat-teologis yang holistik, integratif, dan transformatif.
Kata Kunci: Thomas Aquinas, filsafat Kristen, iman dan akal,
hukum alam, metafisika, skolastisisme, etika Thomistik.
PEMBAHASAN
Thomas Aquinas dan Sintesis Filsafat Kristen
1.
Pendahuluan
Abad Pertengahan merupakan periode penting dalam
sejarah pemikiran Barat, khususnya dalam perkembangan filsafat dan teologi
Kristen. Pada masa ini, filsafat tidak dipisahkan dari agama; sebaliknya, ia
menjadi alat untuk memperdalam pemahaman terhadap iman. Salah satu tokoh yang
paling menonjol dalam dinamika intelektual ini adalah Thomas Aquinas
(1225–1274), seorang teolog dan filsuf Dominikan yang berhasil menyusun
sintesis monumental antara ajaran Kristen dan filsafat klasik, terutama
pemikiran Aristoteles.
Kehadiran Aquinas tidak dapat dilepaskan dari
konteks intelektual zaman itu. Dunia Kristen Barat mulai terbuka terhadap
karya-karya Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin melalui
perantara dunia Islam, khususnya melalui pemikir seperti Ibn Rushd (Averroes)
dan Ibn Sina (Avicenna). Karya-karya ini memberi pengaruh besar terhadap corak
skolastisisme—yakni metode berpikir yang bercirikan sistematika, argumentasi
logis, dan sintesis antara iman dan akal—yang menjadi ciri utama pendidikan dan
diskursus ilmiah di universitas-universitas Abad Pertengahan, seperti Paris dan
Bologna.1
Dalam konteks tersebut, Aquinas tampil sebagai
pemikir besar yang tidak hanya mempertahankan iman Kristiani, tetapi juga
memberikan ruang bagi akal sebagai sarana untuk memahami kebenaran. Ia meyakini
bahwa kebenaran tidak mungkin saling bertentangan, karena baik wahyu ilahi
maupun rasio manusia berasal dari sumber yang sama, yakni Tuhan.2 Gagasan
inilah yang melandasi seluruh karyanya, terutama Summa Theologiae, yang
menjadi salah satu tonggak terpenting dalam sejarah pemikiran Barat.
Pemikiran Aquinas memberikan pengaruh mendalam
tidak hanya dalam teologi Katolik, tetapi juga dalam bidang etika, metafisika,
epistemologi, dan hukum. Ia dipandang sebagai figur utama dalam upaya
menjembatani antara iman dan filsafat rasional, yang hingga kini masih menjadi
rujukan penting dalam filsafat agama dan teologi sistematik.3 Paus
Leo XIII bahkan menegaskan bahwa filsafat Aquinas layak menjadi fondasi
pendidikan teologis di seminari-seminari Katolik melalui ensiklik Aeterni
Patris pada tahun 1879, yang menandai kebangkitan kembali minat terhadap
ajaran Thomisme dalam Gereja Katolik.4
Melalui pembahasan ini, artikel bertujuan untuk
menyelami pemikiran Thomas Aquinas secara sistematis, dengan menyoroti
pandangan-pandangan utamanya dalam bidang metafisika, epistemologi, etika, dan
relasi antara iman dan akal. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat
memahami bagaimana Aquinas membentuk sebuah sintesis filsafat Kristen yang
tetap relevan hingga masa kini.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday
Image Books, 1993), 202–205.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I.7,
diterjemahkan oleh Anton C. Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame Press,
1975), 62.
[3]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 3–6.
[4]
Pope Leo XIII, Aeterni Patris: On the
Restoration of Christian Philosophy (1879), dalam The Papal Encyclicals
1878–1903, diedit oleh Claudia Carlen, IHM (Raleigh: McGrath Publishing
Company, 1981), 25–32.
2.
Biografi Singkat Thomas Aquinas
Thomas Aquinas lahir sekitar tahun 1225 di
Roccasecca, sebuah kastil milik keluarganya yang terletak di Kerajaan Napoli,
Italia Selatan. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang berkedudukan tinggi;
ayahnya, Landulf, adalah seorang count, sedangkan ibunya, Theodora, berasal
dari keluarga bangsawan Jerman. Keluarga Aquinas mengharapkan Thomas menjadi
seorang abbas di Monte Cassino, biara Benediktin yang prestisius dan
berpengaruh pada masa itu.1
Namun, arah hidup Thomas berubah ketika ia
memutuskan untuk bergabung dengan Ordo Dominikan (Ordo Pewarta), yang saat itu
masih tergolong baru. Keputusan ini ditentang keras oleh keluarganya karena
status Dominikan yang hidup dalam kemiskinan sukarela dianggap tidak sepadan
dengan martabat keluarga bangsawan. Bahkan, menurut beberapa catatan, Thomas
sempat “diculik” dan dikurung oleh keluarganya selama lebih dari setahun
dalam upaya untuk mengubah keputusannya, namun ia tetap teguh pada pilihannya.2
Setelah dibebaskan, Thomas melanjutkan
pendidikannya di Universitas Paris dan kemudian di Köln (Cologne), di bawah
bimbingan Albertus Magnus, salah satu pemikir skolastik besar. Di bawah
bimbingan Albertus, Thomas mulai mendalami filsafat Aristoteles yang kala itu
baru masuk kembali ke Barat melalui penerjemahan karya-karya dari bahasa Arab
dan Yunani. Meskipun pada awalnya ia diremehkan oleh rekan-rekannya karena
sifatnya yang pendiam dan tubuhnya yang besar—sehingga dijuluki “bue
diamante” (sapi bisu)—Albertus dengan jitu memprediksi: “Sapi bisu ini
suatu hari nanti akan mengaum begitu keras sehingga seluruh dunia akan
mendengarnya.”_3
Thomas kemudian kembali mengajar di Paris dan
mengembangkan reputasi sebagai pengajar dan penulis yang sangat produktif. Di
antara karya-karya utamanya adalah Summa Contra Gentiles, yang merupakan
pembelaan rasional terhadap iman Kristen, dan Summa Theologiae, sebuah
karya sistematik yang membahas hampir seluruh aspek teologi dan filsafat
Kristen.4 Karya-karya ini memperlihatkan pendekatannya yang khas:
menggabungkan prinsip-prinsip rasional Aristotelian dengan ajaran iman Katolik.
Aquinas wafat pada tanggal 7 Maret 1274 dalam
perjalanannya menuju Konsili Lyon Kedua atas undangan Paus Gregorius X. Ia
meninggal di Biara Fossanova dan dikanonisasi sebagai santo oleh Paus Yohanes
XXII pada tahun 1323. Pada tahun 1567, Paus Pius V mengangkatnya sebagai Doctor
of the Church, dan hingga kini ia dikenal dengan gelar kehormatan Doctor
Angelicus (Doktor Malaikat).5
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1994),
12–15.
[2]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 9.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday
Image Books, 1993), 355.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
diterjemahkan oleh Fathers of the English Dominican Province (New York:
Benziger Bros., 1947).
[5]
Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 2–5.
3.
Latar Belakang Intelektual dan Konteks Zaman
Pemikiran Thomas Aquinas tidak dapat dipisahkan
dari dinamika intelektual dan religius yang mewarnai Abad Pertengahan,
khususnya abad ke-13, masa di mana ia hidup dan berkarya. Periode ini ditandai
dengan kebangkitan kembali studi filsafat klasik, terutama karya-karya
Aristoteles, yang sebelumnya nyaris tidak dikenal di Eropa Barat selama
berabad-abad setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi. Karya-karya tersebut
diperkenalkan kembali melalui dunia Islam dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin melalui perantara para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina
(Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes).1
Universitas-universitas seperti Paris dan Oxford
menjadi pusat intelektual utama dalam penyebaran pemikiran skolastik.
Skolastisisme adalah metode berpikir yang menggabungkan logika rasional dengan
ajaran teologis, bertujuan untuk memperjelas dan menyusun doktrin agama secara
sistematik. Di dalam lingkungan akademik yang kompetitif inilah Thomas Aquinas
berkembang sebagai pemikir yang mencoba mengharmoniskan akal dan wahyu. Ia
menghadapi tantangan dari dua sisi: dari satu sisi, skeptisisme terhadap
penggunaan filsafat “pagan” dalam diskursus Kristen; dari sisi lain, kalangan
radikal yang menafsirkan Aristoteles secara ekstrem dan memisahkan filsafat
dari teologi, sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Averroisme Latin.2
Di satu sisi, ada kekhawatiran dalam Gereja bahwa
filsafat—terutama pemikiran Aristoteles tentang keabadian dunia dan
ketidaktergantungan akal terhadap wahyu—dapat menggoyahkan kepercayaan terhadap
doktrin Kristiani seperti penciptaan dan kebangkitan. Pada tahun 1210 dan 1277,
bahkan dikeluarkan larangan terhadap pengajaran beberapa bagian dari karya
Aristoteles di Universitas Paris karena dianggap berbahaya bagi iman.3
Namun, Aquinas melihat adanya jalan tengah. Ia menolak pandangan Averrois Latin
yang menganggap filsafat berdiri terpisah dari teologi, dan sebaliknya,
menegaskan bahwa keduanya saling melengkapi. Baginya, kebenaran filsafat yang
sahih tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran wahyu karena keduanya
berasal dari sumber yang sama: Tuhan.4
Kontribusi besar Aquinas terletak pada kemampuannya
menyusun suatu sistem filsafat-teologis yang menjadikan Aristoteles sebagai
kerangka metafisik dan epistemologis, namun tetap tunduk pada otoritas wahyu.
Ia tidak sekadar menggunakan Aristoteles, melainkan menafsirkannya ulang dalam
terang iman Kristiani. Proyek intelektual Aquinas ini menunjukkan puncak dari
tradisi skolastik, di mana iman tidak ditinggalkan demi rasio, melainkan
dijelaskan dan dipertahankan melalui rasio.5
Dengan konteks seperti inilah, pemikiran Thomas
Aquinas harus dibaca: sebagai jawaban terhadap tantangan zaman, sekaligus
sebagai usaha monumental untuk membangun sintesis antara dua warisan besar
peradaban—iman Kristiani dan filsafat Yunani—dalam satu sistem intelektual yang
koheren dan transformatif.
Footnotes
[1]
David C. Lindberg, The Beginnings of Western
Science (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 239–242.
[2]
Etienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 91–93.
[3]
John Marenbon, “The Condemnations of 1277 and the
Intellectual Climate of the Late Thirteenth Century,” Journal of
Ecclesiastical History 45, no. 3 (1994): 463–482.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I.7,
diterjemahkan oleh Anton C. Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame Press,
1975), 62.
[5]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 17–20.
4.
Pandangan Ontologi dan Epistemologi
Pemikiran ontologis dan epistemologis Thomas
Aquinas menunjukkan kedalaman sintesis antara warisan filsafat Aristoteles dan
kerangka iman Kristen. Ia meyakini bahwa filsafat tidak dapat dipisahkan dari
metafisika, karena realitas tidak hanya terdiri dari fenomena lahiriah, tetapi
mencakup prinsip-prinsip esensial yang mendasarinya. Dalam ontologi Aquinas,
segala sesuatu yang ada (ens) merupakan hasil dari kombinasi antara essentia
(hakikat) dan esse (keberadaan). Hanya Tuhan yang merupakan keberadaan
murni (ipsum esse subsistens), yakni keberadaan yang identik dengan
esensinya.1
4.1.
Struktur Realitas: Aktus dan Potensi
Thomas meminjam kerangka Aristotelian tentang actus
(aktualitas) dan potentia (potensialitas) untuk menjelaskan struktur
realitas. Semua makhluk, kecuali Tuhan, berada dalam ketegangan antara potensi
dan aktualitas. Misalnya, biji memiliki potensi menjadi pohon, dan ketika ia
tumbuh, potensinya diwujudkan secara aktual. Tuhan, dalam pandangan Aquinas,
adalah actus purus, yaitu wujud yang sepenuhnya aktual tanpa potensi
karena sudah sempurna dalam dirinya sendiri.2
Dengan demikian, ontologi Aquinas tidak bersifat
monistik atau dualistik, tetapi hierarkis—segala makhluk berada dalam tingkatan
keberadaan yang bertahap, tergantung pada sejauh mana mereka mengaktualkan potensi
keberadaannya.3
4.2.
Teori Pengetahuan: Abstraksi dan
Realisme Moderat
Dalam epistemologi, Aquinas mengikuti realisme
moderat. Ia menolak realisme ekstrem Plato yang menempatkan ide-ide
universal di dunia transenden, sekaligus menolak nominalisme yang menilai
universal hanya sebagai nama buatan manusia. Menurut Aquinas, manusia
memperoleh pengetahuan melalui proses abstraksi, yakni pengambilan
bentuk universal dari pengalaman inderawi terhadap objek partikular.4
Proses ini melibatkan dua fakultas utama dalam jiwa
manusia:
·
Sensus: menerima
data konkret dari dunia luar.
·
Intellectus agens: menerangi
dan mengekstrak bentuk universal dari data tersebut, yang kemudian diproses
oleh intellectus possibilis untuk menjadi pengetahuan aktual.
Dengan demikian, pengetahuan tidak bersifat bawaan
(seperti dalam rasionalisme), tetapi diperoleh melalui interaksi antara
pengalaman inderawi dan akal budi. Thomas menyatakan bahwa “Nihil est in
intellectu quod non prius fuerit in sensu” (tidak ada apa pun dalam akal
yang tidak terlebih dahulu berada dalam indera), meskipun ia menambahkan
pengecualian untuk Tuhan dan malaikat.5
4.3.
Keteraturan Alam dan Rasionalitas
Dunia
Pandangan ontologis dan epistemologis Aquinas
berpijak pada keyakinan bahwa dunia adalah teratur, rasional, dan dapat
dipahami oleh akal manusia karena diciptakan oleh Tuhan yang rasional. Inilah
yang memungkinkan lahirnya ilmu pengetahuan dan metafisika. Dunia bukanlah
ilusi (sebagaimana dalam neoplatonisme ekstrem), tetapi ciptaan yang
sungguh-sungguh ada dan memiliki makna dalam dirinya sendiri.6
Ontologi Aquinas juga bersifat teleologis: segala
sesuatu memiliki tujuan (telos) yang sesuai dengan kodratnya. Oleh
karena itu, pengetahuan tidak hanya diarahkan pada “apa” dan “bagaimana”
sesuatu itu, tetapi juga pada “untuk apa” ia ada.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1994),
119–121.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3,
a.1; lihat pula Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford:
Oxford University Press, 1992), 47.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday
Image Books, 1993), 378–380.
[4]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (London:
Routledge, 1993), 18–22.
[5]
Thomas Aquinas, De Veritate, q.2, a.3;
diterjemahkan oleh James V. McGlynn dalam Truth, Volume I (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1994), 50–52.
[6]
Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 42–44.
5.
Pemikiran Metafisika: Tuhan sebagai Wujud
Niscaya
Metafisika merupakan fondasi penting dalam sistem
pemikiran Thomas Aquinas. Dalam kerangka filsafatnya, keberadaan (esse)
adalah prinsip paling dasar dari segala sesuatu. Aquinas berpandangan bahwa
segala sesuatu yang ada adalah kontingen—artinya, mereka bisa ada atau tidak
ada, dan keberadaan mereka membutuhkan sebab. Oleh karena itu, mesti ada suatu
wujud yang tidak bergantung pada apa pun untuk eksistensinya. Wujud ini disebut
wujud niscaya (ens necessarium), yang tidak lain adalah Tuhan
sendiri.
5.1.
Argumentasi Eksistensi Tuhan:
Quinque Viae
Aquinas menyusun lima jalan (quinque viae)
sebagai argumen rasional untuk menunjukkan keberadaan Tuhan dalam Summa
Theologiae, I, q.2, a.3. Argumentasi ini bersifat aposteriori, yakni
berdasarkan observasi terhadap dunia dan geraknya.1 Kelima jalan
tersebut adalah:
1)
Dari Gerak (Ex Motu):
Segala yang
bergerak digerakkan oleh yang lain. Maka harus ada “penggerak pertama” (primum
movens immobile) yang tidak digerakkan oleh apa pun—itulah Tuhan.2
2)
Dari Sebab Akibat (Ex Causa):
Segala yang
ada memiliki sebab. Rantai sebab-akibat tidak bisa mundur tanpa batas, maka
harus ada sebab pertama yang tak disebabkan—Tuhan.3
3)
Dari Kontingensi (Ex Contingentia):
Makhluk-makhluk
bersifat kontingen. Maka harus ada satu wujud yang keberadaannya niscaya, yang
menyebabkan makhluk kontingen—Tuhan.4
4)
Dari Derajat Kesempurnaan (Ex Gradibus):
Terdapat
derajat kualitas seperti kebaikan dan kebenaran. Maka harus ada sumber kesempurnaan
mutlak sebagai tolok ukur semua kesempurnaan—Tuhan.5
5)
Dari Tujuan (Ex Fine):
Alam semesta
menunjukkan keteraturan dan tujuan, bahkan pada makhluk tak berakal. Ini
menunjukkan adanya pengarah yang cerdas—Tuhan.6
Lima jalan ini tidak membuktikan “Tuhan Kristen”
secara lengkap, melainkan sebagai fondasi rasional bahwa suatu wujud yang tak
tergantung dan mutlak itu ada, yang kemudian ditafsirkan lebih lanjut dalam
teologi.
5.2.
Tuhan sebagai Ipsum Esse Subsistens
Konsep metafisik paling khas dalam filsafat Aquinas
adalah gagasan bahwa Tuhan adalah ipsum esse subsistens—yakni,
keberadaan itu sendiri yang subsisten (berdiri sendiri). Ini berarti bahwa
Tuhan tidak sekadar memiliki keberadaan seperti makhluk lain, melainkan adalah
keberadaan itu sendiri.7 Dalam setiap makhluk ciptaan, essentia
(apa sesuatu itu) dan esse (bahwa sesuatu itu ada) adalah dua hal yang
berbeda. Namun dalam Tuhan, essentia dan esse identik: hakikat
Tuhan adalah keberadaan itu sendiri.
Konsep ini membedakan Aquinas dari filsuf-filsuf
lain, termasuk Aristoteles yang memandang Tuhan sebagai “pikiran yang berpikir
tentang pikiran” (noesis noeseos). Aquinas menyempurnakan pandangan itu
dengan menekankan aspek metafisik Tuhan sebagai asal-usul seluruh
eksistensi.8
5.3.
Tuhan sebagai Actus Purus
Tuhan adalah actus purus, yaitu wujud yang
sepenuhnya aktual dan tanpa potensi. Dalam sistem metafisika Aquinas, segala
makhluk berada dalam ketegangan antara potensi (apa yang bisa terjadi) dan
aktualitas (apa yang sudah terjadi). Tuhan tidak memiliki potensi karena Ia
tidak dapat berubah, tidak bergantung, dan tidak terbatas. Ia adalah wujud
sempurna dan tak terbagi.9
Dengan menyatakan Tuhan sebagai actus purus,
Aquinas tidak hanya menegaskan keabadian dan ketidakterubahan Tuhan, tetapi
juga menghindari pemahaman antromorfis tentang Tuhan. Ia tidak berubah karena
Ia sempurna; perubahan hanya terjadi pada yang kurang sempurna.
5.4.
Tuhan sebagai Penyebab Pertama yang
Tidak Disebabkan
Metafisika Aquinas memuncak pada prinsip bahwa
Tuhan adalah penyebab pertama yang tak disebabkan (causa prima non
causata). Dunia dan segala isinya berada dalam relasi sebab-akibat yang tak
bisa berlanjut secara tak terbatas. Oleh karena itu, suatu realitas mutlak
diperlukan untuk menjelaskan adanya realitas lain. Keberadaan Tuhan sebagai
penyebab pertama ini menjadi dasar bagi keteraturan kosmos dan fondasi bagi
pemikiran etika dan hukum alam.10
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.2,
a.3; diterjemahkan oleh Fathers of the English Dominican Province (New York:
Benziger Bros., 1947).
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 102–105.
[8]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 49–51.
[9]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday
Image Books, 1993), 392–394.
[10]
Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford:
Clarendon Press, 2002), 13–15.
6.
Etika dan Hukum Alam (Natural Law)
Dalam sistem pemikiran Thomas Aquinas, etika tidak
hanya berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk, tetapi merupakan bagian dari
keteraturan kosmik yang bersumber pada akal ilahi. Bagi Aquinas, moralitas
memiliki dasar metafisik yang kokoh, yaitu kodrat manusia sebagai makhluk
rasional ciptaan Tuhan. Dengan menggabungkan ajaran Aristoteles dan
prinsip-prinsip teologi Kristen, Aquinas mengembangkan etika naturalis
yang menjadikan hukum alam (lex naturalis) sebagai jembatan antara hukum
ilahi dan tindakan manusiawi.1
6.1.
Struktur Empat Hukum dalam Pandangan
Aquinas
Dalam Summa Theologiae (I–II, q.91–95),
Aquinas membagi hukum ke dalam empat tingkatan, yang semuanya bersumber dari
Tuhan sebagai sumber keteraturan dan kebaikan:
·
Eternal Law (lex aeterna): Hukum ilahi yang abadi, yaitu rencana Tuhan atas seluruh ciptaan yang
tidak berubah dan mencerminkan kebijaksanaan ilahi.2
·
Natural Law (lex naturalis): Partisipasi rasional makhluk berakal dalam hukum abadi. Ini adalah
hukum yang tertanam dalam kodrat manusia dan dapat diketahui melalui akal budi.3
·
Human Law (lex humana): Hukum positif yang dibuat oleh manusia untuk mengatur kehidupan sosial,
selama tidak bertentangan dengan hukum alam.4
·
Divine Law (lex divina): Hukum wahyu, seperti yang terdapat dalam Kitab Suci, yang memberikan
petunjuk bagi keselamatan manusia di luar jangkauan akal rasional.5
Hukum alam menempati posisi sentral karena menjadi
penghubung antara dimensi ilahi dan realitas moral manusiawi. Melalui hukum
alam, manusia dapat mengetahui mana yang baik dan harus dilakukan serta mana
yang jahat dan harus dihindari, tanpa memerlukan wahyu eksplisit terlebih
dahulu.
6.2.
Prinsip Dasar Etika dan Moralitas
Aquinas menyatakan bahwa prinsip dasar dari hukum
alam adalah: “Bonum est faciendum et prosequendum, et malum vitandum”
(yang baik harus dilakukan dan dikejar, dan yang jahat harus dihindari).6
Dari prinsip ini, akal budi manusia dapat menurunkan norma-norma moral seperti
pentingnya menjaga kehidupan, melestarikan keturunan, mencari kebenaran, dan
hidup dalam komunitas.
Kebaikan, dalam kerangka Aquinas, bersifat objektif
dan sesuai dengan tujuan kodrati (telos) manusia. Dengan demikian,
tindakan bermoral adalah tindakan yang mengaktualkan kodrat manusia sebagai
makhluk rasional dan sosial yang diciptakan untuk mencapai kebahagiaan sejati (beatitudo),
yaitu persatuan dengan Tuhan.7
6.3.
Konsep Kebahagiaan dan Tujuan Akhir
Manusia
Etika Aquinas bersifat teleologis, mengikuti
garis pemikiran Aristoteles bahwa semua tindakan manusia diarahkan kepada suatu
tujuan akhir. Namun, Aquinas menyempurnakannya dengan mengidentifikasi bahwa
tujuan akhir manusia bukanlah kebahagiaan duniawi, melainkan visi beatifik
(visio beatifica), yaitu kebahagiaan abadi dalam memandang Tuhan secara
langsung di akhirat.8
Kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui
anugerah ilahi, tetapi tindakan moral yang sesuai hukum alam tetap memiliki
nilai penting sebagai sarana menuju tujuan tersebut. Oleh karena itu, etika
Aquinas bersifat inklusif—ia mengakui kapasitas akal budi manusia untuk
mengetahui kebaikan moral, namun tetap membutuhkan rahmat ilahi untuk
mencapainya secara penuh.
6.4.
Relevansi Konsep Hukum Alam
Pemikiran hukum alam Aquinas memiliki pengaruh luas
dalam filsafat hukum, etika, dan doktrin sosial Gereja Katolik. Konsep ini
menjadi dasar bagi doktrin hak asasi manusia, teori keadilan, dan pengembangan
hukum internasional. Bahkan di luar konteks religius, hukum alam Thomistik
telah menjadi inspirasi bagi para filsuf hukum modern seperti John Finnis dan
Jacques Maritain.9
Footnotes
[1]
Jean Porter, Natural and Divine Law: Reclaiming
the Tradition for Christian Ethics (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1999),
58–60.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II,
q.91, a.1.
[3]
Ibid., I–II, q.94, a.2.
[4]
Ibid., I–II, q.95, a.2.
[5]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 203–205.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II,
q.94, a.2.
[7]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1994),
198–201.
[8]
Anthony Kenny, Aquinas on Being, Knowledge and
Human Nature (Oxford: Clarendon Press, 2002), 157.
[9]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 2011), 23–29.
7.
Hubungan antara Iman dan Akal
Salah satu kontribusi intelektual paling penting
dari Thomas Aquinas adalah upayanya untuk menyelaraskan dua sumber pengetahuan
yang sering kali dipertentangkan: iman (fides) dan akal (ratio). Dalam
dunia Kristen Abad Pertengahan, terutama pasca pengaruh Augustinian yang kuat,
cenderung muncul kecurigaan terhadap filsafat sebagai sesuatu yang bisa
mengganggu kemurnian wahyu. Namun, Aquinas membalik kecenderungan itu dan
menunjukkan bahwa iman dan akal bukanlah dua hal yang saling bertentangan,
melainkan dua jalan yang saling melengkapi untuk memahami kebenaran yang satu
dan sama: kebenaran dari Tuhan.1
7.1.
Sumber yang Sama: Tuhan sebagai Asal
Kebenaran
Menurut Aquinas, baik wahyu (iman) maupun penalaran
(akal) berasal dari satu sumber yang sama, yakni Tuhan. Karena itu, tidak
mungkin terjadi kontradiksi sejati antara keduanya. Dalam Summa
Theologiae (I, q.1, a.1), Aquinas menulis bahwa teologi adalah “sacra
doctrina” (ilmu suci) yang berpijak pada wahyu, tetapi dapat
dijelaskan dan didukung oleh argumen rasional sejauh akal manusia mampu
menanggapinya.2
Ia membedakan antara dua jenis kebenaran mengenai
Tuhan:
·
Kebenaran yang dapat diketahui oleh akal, seperti eksistensi
Tuhan, yang dapat dibuktikan secara filosofis melalui lima jalan (quinque
viae).
·
Kebenaran yang hanya dapat diketahui melalui wahyu, seperti
Tritunggal Mahakudus dan inkarnasi Kristus.3
Dengan demikian, filsafat berperan sebagai “hamba”
teologi (ancilla theologiae), bukan untuk mengatur wahyu, tetapi untuk
mempersiapkan dan memperkuat pemahaman terhadapnya.4
7.2.
Filsafat dan Teologi: Dua Ilmu yang
Berbeda namun Komplementer
Aquinas tidak menyamakan filsafat dan teologi,
tetapi ia menempatkan keduanya dalam hubungan hierarkis. Filsafat berangkat
dari akal dan pengalaman empiris, sedangkan teologi bersumber dari wahyu dan
berorientasi pada kebenaran ilahi. Namun, filsafat tetap memiliki otonomi dan
metode tersendiri. Oleh karena itu, kebenaran filsafat tidak ditolak selama
tidak bertentangan dengan iman.5
Dalam karya Summa contra Gentiles, Aquinas
menjelaskan bahwa dalam menghadapi kaum non-Kristen atau yang belum menerima
wahyu, pendekatan filosofis sangat penting untuk menyampaikan kepercayaan
melalui akal budi. Filsafat menjadi alat apologetik yang sah dan berguna dalam
menjembatani perbedaan intelektual.6
7.3.
Akal Mendukung Iman: Credo ut
intelligam
Aquinas mengikuti semangat Anselmus dengan
prinsip: “Credo ut intelligam” (aku beriman agar aku mengerti), namun ia
juga menekankan bahwa akal dapat mendahului dan menuntun pada iman.
Pemahaman tentang eksistensi Tuhan, misalnya, dapat diakses melalui argumen
rasional bahkan sebelum menerima iman Kristiani.7
Namun, Aquinas menyadari keterbatasan akal manusia.
Ia menyatakan bahwa tidak semua kebenaran ilahi dapat dicapai oleh akal, sebab
kebenaran ilahi melampaui kapasitas intelektual manusia. Oleh karena itu, wahyu
tetap dibutuhkan sebagai sumber pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna.8
7.4.
Relevansi Pandangan Aquinas dalam
Konteks Kontemporer
Pandangan harmonis antara iman dan akal yang
ditawarkan Aquinas memiliki relevansi besar dalam dunia modern yang sering kali
terjebak dalam dikotomi antara agama dan sains. Paus Yohanes Paulus II, dalam
ensiklik Fides et Ratio (1998), menegaskan kembali pentingnya warisan
intelektual Aquinas, menyatakan bahwa “iman dan akal adalah dua sayap yang
dengannya jiwa manusia terangkat kepada kontemplasi akan kebenaran.”_9
Dalam dunia filsafat agama, pendekatan Aquinas
terus menjadi rujukan dalam diskusi-diskusi apologetika, dialog antaragama, dan
pengembangan sistem etika rasional berbasis spiritualitas.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 89–91.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.1,
a.1; terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[3]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 35–37.
[4]
Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 51–53.
[5]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (London:
Routledge, 1993), 27–29.
[6]
Thomas Aquinas, Summa contra Gentiles, I,
ch.3; diterjemahkan oleh Anton C. Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame
Press, 1975), 65–67.
[7]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume II, Medieval Philosophy – Augustine to Scotus (New York: Doubleday
Image Books, 1993), 395.
[8]
Thomas Aquinas, De Veritate, q.14, a.9.
[9]
Pope John Paul II, Fides et Ratio (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §1.
8.
Warisan Intelektual dan Pengaruh
Thomas Aquinas bukan hanya tokoh penting dalam
sejarah teologi Katolik, tetapi juga merupakan pilar intelektual dalam filsafat
Barat. Warisan pemikirannya membentang luas—dari skolastisisme abad pertengahan
hingga filsafat moral dan hukum modern, serta pemikiran teologi kontemporer.
Melalui karya-karya monumentalnya seperti Summa Theologiae dan Summa
contra Gentiles, Aquinas berhasil membangun suatu sistem pemikiran yang
kokoh, integratif, dan tahan uji lintas zaman.
8.1.
Pengaruh dalam Teologi dan Gereja
Katolik
Aquinas diakui secara resmi sebagai salah satu
teolog terbesar dalam Gereja Katolik. Ia dikanonisasi pada tahun 1323 oleh Paus
Yohanes XXII dan kemudian diberi gelar Doctor Angelicus (Doktor
Malaikat) serta Doctor Communis (Doktor Umum Gereja) karena kedalaman
dan keluasan pengaruh pemikirannya.1
Puncak pengakuan atas warisan intelektual Aquinas
terjadi pada tahun 1879, ketika Paus Leo XIII dalam ensiklik Aeterni Patris
secara resmi menyerukan “kebangkitan filsafat skolastik,” dengan menjadikan
pemikiran Aquinas sebagai fondasi utama pendidikan teologis di seminari
Katolik. Sejak saat itu, Thomisme menjadi mazhab resmi dalam pendidikan dan
refleksi teologis Katolik Roma.2
Pengaruhnya juga tercermin dalam dokumen Konsili
Vatikan II, khususnya dalam pendekatan terhadap hubungan antara wahyu dan akal,
serta dalam pengembangan ajaran sosial Gereja yang mengakar kuat pada prinsip
hukum alam dan martabat manusia yang rasional, sebagaimana ditegaskan oleh
Aquinas.3
8.2.
Kontribusi terhadap Filsafat dan
Ilmu Pengetahuan
Dalam dunia filsafat, Aquinas membawa kontribusi
signifikan dengan menjembatani dua tradisi besar: filsafat Yunani (terutama
Aristoteles) dan pemikiran Kristiani. Dengan cara ini, ia memperluas horizon
filsafat skolastik dan menjadikannya lebih sistematis serta rasional.
Konsep-konsep metafisisnya seperti actus purus, ipsum esse subsistens,
serta distingsi antara essentia dan esse memberikan dasar
ontologis yang mendalam bagi diskursus filsafat keberadaan.4
Aquinas juga berkontribusi terhadap epistemologi
dan etika, terutama melalui gagasannya tentang hukum alam (natural law), yang
kemudian memengaruhi para filsuf hukum dan politik seperti Francisco Suárez,
Hugo Grotius, hingga para pemikir modern seperti Jacques Maritain dan John
Finnis.5
Dalam konteks ilmu pengetahuan, meskipun Aquinas
bukan ilmuwan dalam pengertian modern, kerangka filsafat alam yang ia
kembangkan—yang menekankan keteraturan, keterpahaman, dan rasionalitas alam
ciptaan—memberikan dasar teologis bagi perkembangan sains modern dalam tradisi
Kristen Barat.6
8.3.
Relevansi Kontemporer: Etika, Hukum,
dan Dialog Antaragama
Pemikiran Aquinas tetap relevan dalam dunia
kontemporer, terutama dalam bidang bioetika, filsafat hukum, dan dialog
antaragama. Gagasannya tentang hukum alam menjadi kerangka moral universal
yang melampaui sekat agama dan budaya. Hal ini dimanfaatkan oleh banyak
kalangan, baik yang religius maupun sekuler, untuk membangun argumen moral
rasional dalam isu-isu seperti keadilan, hak asasi manusia, dan tanggung jawab
sosial.7
Selain itu, pendekatan Aquinas terhadap keberadaan
Tuhan melalui akal—dalam karya seperti Summa contra Gentiles—menjadi
landasan penting dalam dialog dengan agama-agama lain dan dalam apologetika
rasional modern. Ia menyediakan model bagaimana iman dapat dibela secara masuk
akal, tanpa mengorbankan esensi spiritualitas Kristiani.8
8.4.
Warisan Institusional dan Pendidikan
Warisan Aquinas terus hidup melalui lembaga-lembaga
pendidikan tinggi seperti Pontifical University of Saint Thomas Aquinas
(Angelicum) di Roma, yang didedikasikan untuk pengembangan studi Thomistik.
Selain itu, ordo Dominikan sebagai komunitas religius yang menaungi Aquinas,
tetap aktif dalam melestarikan, mengembangkan, dan menerapkan pemikiran Aquinas
dalam berbagai konteks zaman.9
Footnotes
[1]
Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 7–8.
[2]
Pope Leo XIII, Aeterni Patris: On the
Restoration of Christian Philosophy (1879), dalam The Papal Encyclicals
1878–1903, ed. Claudia Carlen, IHM (Raleigh: McGrath Publishing, 1981),
25–30.
[3]
John W. O’Malley, What Happened at Vatican II
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 106–108.
[4]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 105–108.
[5]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 2011), 15–22.
[6]
William E. Carroll, “Aquinas and the Foundations of
Science,” Faith and Reason 31, no. 1 (2006): 5–28.
[7]
Jean Porter, Nature as Reason: A Thomistic
Theory of the Natural Law (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2005), 11–13.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I,
ch.2–9, terj. Anton C. Pegis (Notre Dame: University of Notre Dame Press,
1975).
[9]
Romanus Cessario, A Short History of Thomism
(Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2005), 95–97.
9.
Penutup
Thomas Aquinas adalah contoh agung dari sintesis
antara iman dan akal, antara wahyu dan filsafat, serta antara tradisi
Kristiani dan warisan intelektual Yunani. Dalam era di mana
pertentangan antara rasionalitas dan religiusitas sering kali dimunculkan
sebagai dikotomi tak terjembatani, pemikiran Aquinas hadir sebagai jembatan
yang kuat dan bernas. Ia menunjukkan bahwa kebenaran tidak bersifat sektoral,
melainkan terpadu—karena semua kebenaran pada akhirnya bersumber dari Tuhan
yang adalah Veritas ipsa, Kebenaran itu sendiri.1
Dengan memadukan filsafat Aristoteles dan doktrin
Kristen, Aquinas membangun suatu sistem filsafat-teologis yang tidak hanya
rasional, tetapi juga spiritual dan normatif. Ontologi dan metafisikanya
menyajikan kerangka keberadaan yang bertingkat dan terarah; epistemologinya
menegaskan bahwa pengetahuan dimulai dari pengalaman, tetapi dapat dituntun
menuju pemahaman ilahi; etika dan filsafat hukumnya menawarkan prinsip-prinsip
moral universal berbasis kodrat manusia dan hukum alam.2
Keberanian intelektual Aquinas untuk menghadapi
tantangan filsafat non-Kristen, seperti Averroisme Latin, sekaligus untuk
merangkul rasionalitas sebagai anugerah ilahi, menjadikannya tokoh yang
melampaui zamannya. Ia bukan hanya penafsir iman, tetapi juga penjaga akal.
Dalam konteks modern yang ditandai oleh sekularisasi, relativisme, dan krisis
makna, warisan Aquinas menjadi penegas bahwa akal dan iman dapat bekerja
sama untuk mencari dan mempertahankan kebenaran.3
Relevansi pemikirannya terbukti melalui pengaruhnya
yang terus berlanjut dalam teologi Katolik, filsafat moral, hukum alam, dan
dialog antaragama. Ensiklik Fides et Ratio (1998) oleh Paus Yohanes
Paulus II menegaskan kembali pentingnya Aquinas sebagai teladan bagaimana iman
dan akal dapat bersatu dalam pelayanan terhadap kebenaran dan martabat manusia.4
Akhirnya, mempelajari Aquinas bukanlah sekadar
mengenang seorang pemikir besar dalam sejarah, tetapi juga upaya membangun
horizon pemikiran yang terbuka, seimbang, dan penuh hormat terhadap akal dan
wahyu. Di tengah tantangan kontemporer, filsafat Aquinas tetap bersinar sebagai
lentera intelektual dan spiritual yang membimbing manusia menuju
kebenaran, kebajikan, dan kebahagiaan abadi.
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.16,
a.5; terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947).
[2]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1994),
305–309.
[3]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 215–217.
[4]
Pope John Paul II, Fides et Ratio (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §§43–48.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York,
NY: Benziger Bros.
(Karya asli ditulis sekitar tahun 1265–1274)
Aquinas, T. (1975). Summa
Contra Gentiles (A. C. Pegis, Trans.). Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press.
(Karya asli ditulis sekitar tahun 1259–1265)
Aquinas, T. (1994). De
Veritate: On Truth (J. V. McGlynn, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett
Publishing.
(Karya asli ditulis sekitar tahun 1256–1259)
Carroll, W. E. (2006). Aquinas
and the foundations of science. Faith and Reason, 31(1), 5–28.
Cessario, R. (2005). A
short history of Thomism. Washington, D.C.: Catholic University of America
Press.
Copleston, F. (1993). A
history of philosophy, Volume II: Medieval philosophy – Augustine to Scotus.
New York, NY: Doubleday Image Books.
Davies, B. (1992). The
thought of Thomas Aquinas. Oxford, UK: Oxford University Press.
Finnis, J. (2011). Natural
law and natural rights (2nd ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Gilson, E. (1938). Reason
and revelation in the Middle Ages. New York, NY: Charles Scribner’s Sons.
Gilson, E. (1952). Being
and some philosophers. Toronto, Canada: Pontifical Institute of Mediaeval
Studies.
Gilson, E. (1994). The
Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Notre Dame, IN: University of
Notre Dame Press.
John Paul II. (1998). Fides
et ratio: On the relationship between faith and reason. Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana.
Kenny, A. (1993). Aquinas
on mind. London, UK: Routledge.
Kenny, A. (2002). Aquinas
on being, knowledge and human nature. Oxford, UK: Clarendon Press.
Kerr, F. (2009). Thomas
Aquinas: A very short introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.
Lindberg, D. C. (2007). The
beginnings of Western science (2nd ed.). Chicago, IL: University of
Chicago Press.
Marenbon, J. (1994). The
condemnations of 1277 and the intellectual climate of the late thirteenth
century. Journal of Ecclesiastical History, 45(3), 463–482. https://doi.org/10.1017/S0022046900017671
O'Malley, J. W. (2008). What
happened at Vatican II. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Pope Leo XIII. (1981). Aeterni
Patris: On the restoration of Christian philosophy (C. Carlen, Ed.). In The
papal encyclicals 1878–1903 (pp. 25–30). Raleigh, NC: McGrath Publishing
Company.
(Encycl. originally published in 1879)
Porter, J. (1999). Natural
and divine law: Reclaiming the tradition for Christian ethics. Grand
Rapids, MI: Eerdmans.
Porter, J. (2005). Nature
as reason: A Thomistic theory of the natural law. Grand Rapids, MI:
Eerdmans.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar