Waktu dalam Metafisika
Perspektif Ontologis, Epistemologis, dan Teologis
Alihkan ke: Metafisika.
Abstrak
Artikel ini membahas hakikat waktu secara mendalam
dari tiga perspektif utama dalam filsafat: ontologis, epistemologis, dan
teologis. Dalam kajian ontologis, waktu dianalisis melalui perdebatan klasik
antara realisme dan antirealisme, termasuk posisi-presentisme, eternalisme, dan
teori blok berkembang. Perspektif epistemologis menyoroti bagaimana waktu
dipahami sebagai struktur kesadaran, sebagaimana ditelaah dalam pemikiran Kant,
Husserl, dan Bergson. Secara teologis, artikel ini mengeksplorasi posisi waktu
dalam pandangan keimanan, khususnya dalam Islam, yang memandang waktu sebagai
ciptaan Allah dan medan pertanggungjawaban moral manusia. Artikel ini juga
menelaah interseksi antara pandangan ilmiah modern (relativitas, entropi) dan
metafisika klasik, serta mengulas kritik dan pembaruan dari filsafat
kontemporer, baik dari tradisi analitik maupun kontinental. Akhirnya, refleksi
filosofis disajikan untuk menegaskan bahwa waktu bukan sekadar struktur alam,
tetapi juga medan eksistensial yang penuh makna bagi manusia sebagai makhluk
spiritual yang hidup dalam keterbatasan dan mengarah pada keabadian.
Kata Kunci: Waktu, metafisika, ontologi, epistemologi, teologi,
filsafat Islam, eksistensialisme, fenomenologi, eternalism, presentisme,
relativitas, Mulla Sadra, Heidegger.
PEMBAHASAN
Hakikat Waktu dalam Kajian Metafisika
1.
Pendahuluan
Waktu merupakan
salah satu konsep paling mendasar dan misterius dalam pengalaman manusia, ilmu
pengetahuan, dan filsafat. Meskipun ia menjadi kerangka bagi segala perubahan
dan peristiwa, pemahaman tentang hakikat waktu terus menjadi bahan perdebatan
dalam sejarah pemikiran, mulai dari filsafat klasik hingga kontemporer.
Pertanyaan seperti apakah waktu itu nyata, apakah
ia bergerak atau diam, dan apakah waktu bersifat mutlak atau relatif
telah memicu perdebatan panjang antara para filsuf, ilmuwan, dan teolog.
Dalam tradisi
filsafat Barat, pembahasan mengenai waktu sudah muncul sejak zaman Yunani Kuno.
Plato menggambarkan waktu sebagai "citra bergerak dari keabadian"
yang diciptakan bersama dengan langit, sementara Aristoteles mendefinisikan
waktu sebagai “jumlah gerak menurut sebelum dan sesudah” dalam Physics
IV.11, menyiratkan keterkaitan erat antara waktu, perubahan, dan gerak.¹ Di
sisi lain, Agustinus dari Hippo menggambarkan waktu sebagai realitas
psikologis: “Apa itu waktu? Jika tidak ada yang bertanya padaku, aku tahu.
Tetapi jika aku ingin menjelaskannya, aku tidak tahu.”²
Memasuki era modern,
waktu dipandang sebagai bentuk apriori dari intuisi inderawi dalam sistem
Immanuel Kant, yang berperan sebagai struktur kesadaran manusia terhadap dunia
fenomenal.³ Sementara itu, Henri Bergson mengkritik pendekatan matematis
terhadap waktu, dan menekankan pentingnya durée atau durasi, yaitu waktu
sebagaimana dialami oleh kesadaran manusia secara langsung.⁴
Berbagai paradigma
ini menggambarkan bahwa waktu bukan hanya persoalan fisik atau ilmiah, tetapi
juga sarat makna metafisik, epistemologis, dan bahkan teologis. Dalam ranah
metafisika, waktu menyangkut pertanyaan tentang eksistensi (apakah masa lalu
dan masa depan benar-benar ada), identitas (bagaimana sesuatu dapat berubah
namun tetap menjadi dirinya sendiri), dan kausalitas (bagaimana sebab-akibat
berfungsi dalam dimensi temporal). Dalam epistemologi, waktu dikaji dari segi
bagaimana manusia mengetahui, mengalami, dan memaknai keberlangsungannya. Sedangkan
dalam perspektif teologis, waktu seringkali dikaitkan dengan kehendak dan
kekekalan Tuhan, serta keterbatasan eksistensial makhluk.
Dalam tradisi
filsafat Islam, waktu tidak kalah penting. Ibnu Sina dalam Al-Syifa’
membahas waktu sebagai konsekuensi dari perubahan dalam materi, sementara
Al-Ghazali menegaskan bahwa waktu adalah makhluk dan tunduk sepenuhnya kepada
kehendak Tuhan.⁵ Mulla Sadra dari tradisi hikmah Isyraqiyyah bahkan
mengembangkan konsep “waktu eksistensial” (zaman wujudī) yang
menekankan kontinuitas ontologis dalam keberadaan.⁶
Artikel ini
bertujuan untuk menelusuri hakikat waktu dari tiga perspektif utama: ontologis,
epistemologis, dan teologis. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang lebih utuh dan mendalam tentang waktu, baik sebagai struktur
realitas, sebagai fenomena kesadaran, maupun sebagai dimensi eksistensi makhluk
dalam hubungan dengan Sang Pencipta.
Footnotes
[1]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 217a10–30.
[2]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book XI, ch. 14.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A33/B49.
[4]
Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data
of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin,
1910), 100–130.
[5]
Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour et al.
(Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1952), vol. 1,
224–230.
[6]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani
(Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 6, 45–67.
2.
Konsep Dasar tentang Waktu dalam Filsafat
Waktu adalah konsep
yang sangat kompleks dan mendasar dalam metafisika. Ia sering dipahami sebagai
kerangka di mana segala perubahan terjadi, namun definisi dan realitas
ontologisnya telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan filsuf. Dalam
filsafat, waktu dipandang tidak hanya sebagai parameter fisik, tetapi juga
sebagai fenomena eksistensial, epistemologis, dan bahkan teologis yang
memengaruhi cara manusia memahami dunia dan dirinya.
2.1.
Definisi Waktu dan
Distingsinya
Dalam terminologi
umum, waktu kerap dibedakan ke dalam dua kategori utama: waktu
kronologis (chronos) dan waktu eksistensial (kairos).
Chronos merujuk pada pengukuran linier waktu sebagaimana ditandai oleh jam dan
kalender, sedangkan kairos mengacu pada momen penting yang membawa makna
eksistensial atau transformatif.¹ Distingsi ini penting karena menggarisbawahi
bahwa waktu tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif dalam
pengalaman manusia.
Dalam sejarah
filsafat, waktu kerap dipertanyakan dari segi keberadaannya yang objektif atau
subjektif. Filsafat analitik modern bahkan membedakan antara waktu
absolut (yang ada secara independen dari segala sesuatu) dan waktu
relasional (yang merupakan hasil dari hubungan antara
peristiwa-peristiwa).² Isaac Newton adalah penganjur utama konsep waktu
absolut, sementara Leibniz berpendapat bahwa waktu hanyalah urutan relasional
antar kejadian.³
2.2.
Tiga Dimensi Waktu:
Masa Lalu, Kini, dan Akan Datang
Konsepsi umum
tentang waktu dibagi menjadi tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Namun, apakah ketiganya benar-benar ada secara ontologis menjadi
persoalan besar dalam metafisika. Beberapa filsuf berpendapat bahwa hanya masa
kini yang nyata (presentisme), sementara yang lain
meyakini bahwa semua waktu—masa lalu, kini, dan masa depan—ada secara setara (eternalisme).⁴
Masih ada pula yang mengadopsi growing block theory, yakni
pandangan bahwa masa lalu dan kini nyata, sedangkan masa depan belum ada.⁵
Debat ini berdampak
besar terhadap pemahaman identitas, perubahan, dan kausalitas. Jika hanya masa
kini yang nyata, maka semua bentuk memori dan prediksi hanyalah fiksi
psikologis. Sebaliknya, jika masa lalu dan masa depan benar-benar ada,
maka implikasi terhadap kebebasan kehendak dan tanggung jawab moral menjadi rumit.
2.3.
Apakah Waktu itu
Entitas atau Relasi?
Pertanyaan metafisik
mendasar lainnya adalah: apakah waktu itu suatu entitas nyata, atau
hanya sebuah relasi? Aristoteles menyatakan bahwa waktu
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan “jumlah gerak menurut
sebelum dan sesudah,” menandakan bahwa waktu tergantung pada perubahan.⁶
Sementara itu, filsuf-filsuf kontemporer seperti J. M. E. McTaggart menyatakan
bahwa waktu adalah ilusi karena urutan peristiwa yang dikonstruksi secara
mental tidak dapat menjelaskan perubahan secara konsisten.⁷
McTaggart membedakan
antara dua cara memahami waktu: A-series (berdasarkan masa
lalu, kini, dan masa depan) dan B-series (berdasarkan lebih
awal atau lebih akhir dari peristiwa). Menurutnya, hanya B-series yang
konsisten secara logis, namun karena tidak menunjukkan perubahan nyata, ia
menyimpulkan bahwa waktu tidak ada.⁸ Pandangan ini telah memicu banyak
perdebatan dan reinterpretasi dalam filsafat waktu modern.
2.4.
Relasi antara Waktu
dan Perubahan
Waktu sangat erat
kaitannya dengan perubahan. Dalam pengalaman
manusia, waktu seringkali ditandai oleh transformasi: dari muda ke tua, dari
hidup ke mati, dari potensi ke aktual. Namun, pertanyaannya adalah apakah
perubahan yang menciptakan waktu, ataukah waktu yang memungkinkan perubahan.
Pandangan Aristoteles yang mengaitkan waktu dengan gerak mendukung hipotesis
bahwa perubahan adalah prasyarat bagi eksistensi waktu.⁹ Sebaliknya, dalam
sistem Newtonian, perubahan terjadi di dalam kerangka waktu yang tetap dan
independen.
Dalam filsafat
eksistensial, terutama dalam pemikiran Martin Heidegger, waktu bukan sekadar
alat ukur perubahan, tetapi struktur eksistensial yang melekat pada keberadaan
manusia (Dasein). Waktu, dalam hal ini, menjadi bagian dari cara manusia
memahami dan mengalami eksistensinya.¹⁰
Footnotes
[1]
Paul Tillich, Theology of Culture, ed. Robert C. Kimball (New
York: Oxford University Press, 1959), 28.
[2]
Quentin Smith and L. Nathan Oaklander, The New Theory of Time
(New Haven: Yale University Press, 1994), 4–7.
[3]
Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of Natural
Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman (Berkeley: University
of California Press, 1999), 408–410; G. W. Leibniz, “Correspondence with
Clarke,” in Philosophical Essays, ed. Roger Ariew and Daniel Garber
(Indianapolis: Hackett, 1989), 323–340.
[4]
Ned Markosian, “Time,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Fall 2016 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/time/.
[5]
C. D. Broad, Examination of McTaggart’s Philosophy, vol. 1
(Cambridge: Cambridge University Press, 1938), 275–278.
[6]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), IV.11.
[7]
J. M. E. McTaggart, “The Unreality of Time,” Mind 17, no. 68
(1908): 457–474.
[8]
Ibid., 458–470.
[9]
Aristotle, Physics, IV.10–14.
[10]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh
(Albany: State University of New York Press, 1996), 274–311.
3.
Sejarah Pemikiran Filsafat tentang Waktu
Konsep waktu dalam
filsafat telah mengalami transformasi pemahaman yang sangat kompleks dan
mendalam sepanjang sejarah. Setiap era pemikiran, dari zaman Yunani Kuno hingga
filsafat kontemporer, memberikan kontribusi yang khas terhadap cara manusia
memahami waktu. Perubahan ini tidak hanya menunjukkan perkembangan intelektual,
tetapi juga mencerminkan pergeseran pandangan ontologis dan epistemologis dalam
memahami realitas.
3.1.
Zaman Klasik: Antara
Kosmos dan Gerak
Dalam filsafat
Yunani kuno, waktu erat kaitannya dengan keteraturan kosmik dan perubahan
gerak. Plato,
dalam Timaeus,
menyatakan bahwa waktu diciptakan bersama langit sebagai “citra bergerak
dari keabadian” (moving image of eternity), yakni
perwujudan temporal dari tatanan kekal dunia ide.¹ Dengan demikian, waktu
bersifat derivatif dan bukan entitas mandiri; ia hanyalah refleksi dari
realitas yang lebih tinggi, yaitu dunia ide yang bersifat abadi dan tak
berubah.
Berbeda dari Plato, Aristoteles
mengembangkan pendekatan yang lebih empiris terhadap waktu. Dalam Physics
IV.11, ia mendefinisikan waktu sebagai “jumlah (atau ukuran) gerak
menurut sebelum dan sesudah” (ἀριθμός κινήσεως κατὰ τὸ πρότερον καὶ ὕστερον).²
Bagi Aristoteles, waktu tidak dapat dipisahkan dari gerak dan perubahan dalam
dunia fisik; ia bukan substansi, melainkan atribut dari pergerakan benda-benda.
3.2.
Zaman Pertengahan:
Antara Teologi dan Subjektivitas
Masuk ke era
Patristik dan skolastik, perhatian terhadap waktu memperoleh dimensi baru,
yakni teologis
dan introspektif. Dalam Confessions, Agustinus
mengajukan pertanyaan reflektif yang sangat terkenal: “Apa itu waktu? Jika
tidak ada yang bertanya padaku, aku tahu. Tetapi jika aku ingin menjelaskannya,
aku tidak tahu.”³ Ia kemudian berargumen bahwa waktu adalah entitas yang
eksis dalam jiwa, yakni dalam bentuk tiga distensi: memori (masa lalu),
penglihatan (masa kini), dan pengharapan (masa depan).⁴ Pandangan ini
memunculkan kesadaran bahwa waktu bersifat fenomenologis dan subyektif, bukan
entitas objektif di luar kesadaran manusia.
Sementara itu, dalam
filsafat
Islam, para pemikir besar seperti Ibnu
Sina mengintegrasikan pendekatan Aristotelian dengan kerangka
metafisika Islam. Dalam Al-Syifa’, ia memandang waktu
sebagai akibat dari gerak substansial, dan karena itu bersifat relasional
terhadap entitas yang berubah.⁵ Al-Ghazali, sebagai perwakilan
teologi Islam (kalam), menekankan bahwa waktu adalah ciptaan Allah dan
sepenuhnya tunduk pada kehendak-Nya.⁶ Ia menolak pandangan filosof yang
menyatakan waktu sebagai realitas yang berdiri sendiri.
3.3.
Zaman Modern: Waktu
sebagai Struktur Subjektif
Transformasi besar
terjadi pada era modern, terutama dalam karya Immanuel Kant. Dalam Critique
of Pure Reason, Kant menyatakan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang
eksis secara independen di luar diri kita, melainkan bentuk apriori intuisi
inderawi manusia.⁷ Artinya, waktu adalah struktur kognitif bawaan yang
memungkinkan manusia mengorganisasi pengalaman. Pandangan ini menandai
perubahan penting: waktu bukan lagi sesuatu yang ditemukan di dunia, melainkan
sesuatu yang dibawa oleh subjek ke dalam dunia.
Pandangan ini
membuka jalan bagi pendekatan-pendekatan yang lebih fenomenologis dan
eksistensial. Misalnya, Henri Bergson mengkritik waktu
ilmiah yang terfragmentasi menjadi detik dan menit, dan sebagai gantinya
memperkenalkan konsep durée (durasi), yakni pengalaman
waktu sebagai aliran kontinu yang tak dapat dipecah.⁸
3.4.
Zaman Kontemporer:
Eksistensialisme dan Analisis Logis
Dalam filsafat
kontemporer, muncul dua arus besar dalam kajian waktu: filsafat
kontinental eksistensialis dan filsafat analitik logis. Dalam
tradisi kontinental, Martin Heidegger menjadikan
waktu sebagai pusat analisis eksistensial. Dalam Being and Time, ia menyatakan bahwa
eksistensi manusia (Dasein) bersifat temporal; masa lalu (gewesen), masa kini
(gegenwärtig), dan masa depan (zukünftig) saling membentuk dalam struktur
penghayatan eksistensial.⁹ Waktu, dalam hal ini, adalah prasyarat bagi
pemahaman atas keberadaan.
Sementara itu, dalam
ranah filsafat analitik, J. M. E. McTaggart dalam
esainya “The Unreality of Time” mengembangkan argumen yang terkenal
tentang A-series dan B-series. Menurutnya, waktu yang dipahami sebagai urutan
masa lalu, kini, dan masa depan (A-series) mengandung kontradiksi dan oleh
karena itu tidak nyata. Sebaliknya, waktu sebagai relasi lebih awal atau lebih
lambat (B-series) tidak menjelaskan perubahan, sehingga ia menyimpulkan bahwa
waktu itu tidak ada.¹⁰ Argumen ini memicu debat panjang dalam metafisika
analitik tentang realitas temporal.
Footnotes
[1]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997),
37d–38b.
[2]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), IV.11, 219b1–5.
[3]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book XI, ch. 14.
[4]
Ibid., Book XI, ch. 20.
[5]
Ibn Sina, Al-Shifa’ (The Book of Healing), ed. Ibrahim Madkour
et al. (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1952),
vol. 1, 224–230.
[6]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Sabih Ahmad Kamali as
The Incoherence of the Philosophers (Lahore: Pakistan Philosophical
Congress, 1958), 85–88.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A33–A36/B49–B52.
[8]
Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data
of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin,
1910), 100–135.
[9]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh
(Albany: State University of New York Press, 1996), §§65–70.
[10]
J. M. E. McTaggart, “The Unreality of Time,” Mind 17, no. 68
(1908): 457–474.
4.
Dimensi Ontologis Waktu
Pertanyaan ontologis
tentang waktu merupakan salah satu persoalan paling mendasar dalam metafisika: Apakah
waktu sungguh-sungguh ada sebagai entitas independen? Ataukah ia hanya relasi
di antara peristiwa? Apakah masa lalu dan masa depan sungguh ada, ataukah hanya
masa kini yang nyata? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan
kerangka berpikir kita mengenai perubahan, eksistensi, kausalitas, dan bahkan
kebebasan.
4.1.
Realisme vs
Antirealisme tentang Waktu
Dalam diskursus
ontologis, dua posisi utama muncul: realisme temporal dan antirealisme
temporal. Realisme berpendapat bahwa waktu adalah bagian
fundamental dari realitas objektif, independen dari pikiran atau persepsi
manusia. Sebaliknya, antirealisme menganggap bahwa waktu tidak lebih dari
konstruksi konseptual atau pengalaman subjektif.
Isaac Newton,
misalnya, mendukung waktu absolut, yakni bahwa
waktu “mengalir secara seragam tanpa hubungan terhadap apa pun di luar
dirinya sendiri.”¹ Pandangan ini menyatakan bahwa waktu ada secara objektif
dan universal, bahkan jika tidak ada peristiwa yang terjadi. Sebaliknya, G. W.
Leibniz dan kemudian Ernst Mach memandang waktu
sebagai relasi antara kejadian-kejadian,
bukan entitas mandiri.² Konsepsi ini dikenal sebagai waktu
relasional, yang juga diadopsi dalam teori relativitas umum
oleh Albert Einstein.³
4.2.
Presentisme,
Eternalisme, dan Growing Block Theory
Salah satu aspek
sentral dalam ontologi waktu adalah status eksistensial dari masa lalu, kini,
dan masa depan. Dalam hal ini terdapat tiga pandangan besar:
·
Presentisme
menyatakan bahwa hanya masa kini yang benar-benar ada. Masa lalu sudah tidak
ada, dan masa depan belum ada.⁴ Pandangan ini konsisten dengan pengalaman
intuitif kita dan cocok dengan doktrin moral tentang tanggung jawab, namun
sulit dipertahankan dalam kerangka teori relativitas.
·
Eternalisme
berpendapat bahwa semua momen waktu—masa lalu, kini, dan masa depan—eksis
secara setara dalam struktur ruang-waktu.⁵ Ini sejalan dengan pemahaman fisika
modern, namun menimbulkan problem filosofis, seperti bagaimana menjelaskan
perubahan dan kebebasan kehendak.
·
Growing Block
Theory adalah posisi kompromi: masa lalu dan kini ada, tetapi masa
depan belum eksis. Waktu seperti blok yang terus bertambah.⁶
Pandangan-pandangan
ini memiliki implikasi besar terhadap cara kita memahami eksistensi dan
keberlanjutan identitas personal, serta konsep sebab-akibat dalam sejarah dan
pengalaman.
4.3.
Apakah Waktu Bersifat
Fundamental atau Emergen?
Perdebatan
metafisika kontemporer juga membahas apakah waktu itu fundamental—yakni
bagian dari struktur terdalam realitas—atau emergen, yakni muncul dari
fenomena yang lebih mendasar, seperti relasi kuantum atau perubahan.
Beberapa fisikawan
seperti Julian Barbour bahkan
mengusulkan bahwa waktu tidak sungguh ada, melainkan hanya ilusi yang muncul
dari perbedaan konfigurasi dunia.⁷ Dalam The End of Time, ia berargumen
bahwa realitas terdiri dari "konfigurasi sekarang" (now),
dan waktu hanyalah relasi antara konfigurasi-konfigurasi tersebut.
Sebaliknya, filsuf
seperti Tim Maudlin membela realitas
objektif dari waktu sebagai sesuatu yang tidak dapat direduksi.⁸ Pandangan ini
menegaskan bahwa waktu adalah kondisi ontologis yang niscaya bagi eksistensi
dan perubahan, bukan sekadar artefak konseptual atau konstruksi fisikal.
4.4.
Konsekuensi Ontologis
terhadap Identitas dan Perubahan
Pertanyaan tentang
ontologi waktu juga berkaitan erat dengan masalah identitas
personal dan perubahan ontologis. Jika waktu
sungguh nyata, maka entitas yang mengalami perubahan tetap mempertahankan
identitasnya melalui waktu. Namun jika waktu hanyalah ilusi atau relasi,
bagaimana menjelaskan kesinambungan eksistensial makhluk?
Pandangan
Aristoteles bahwa perubahan membutuhkan substratum yang tetap (substance)
memberikan kerangka awal untuk menjelaskan hal ini.⁹ Dalam metafisika Islam, Mulla
Sadra mengembangkan teori “gerak substansial” (al-harakat
al-jawhariyyah), di mana waktu dan eksistensi bukan dua hal yang
terpisah, melainkan bahwa eksistensi itu sendiri bersifat dinamis dan
temporal.¹⁰ Dengan demikian, waktu adalah aspek inheren dari eksistensi
makhluk, bukan wadah eksternal.
Footnotes
[1]
Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of Natural
Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman (Berkeley: University
of California Press, 1999), 408–410.
[2]
G. W. Leibniz, “Correspondence with Clarke,” in Philosophical
Essays, ed. Roger Ariew and Daniel Garber (Indianapolis: Hackett, 1989),
323–340.
[3]
Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory,
trans. Robert W. Lawson (New York: Crown Publishers, 1961), 134–140.
[4]
Ned Markosian, “A Defense of Presentism,” in Oxford Studies in
Metaphysics, vol. 1, ed. Dean Zimmerman (Oxford: Oxford University Press,
2004), 47–82.
[5]
Theodore Sider, Four-Dimensionalism: An Ontology of Persistence and
Time (Oxford: Oxford University Press, 2001), 11–20.
[6]
C. D. Broad, Examination of McTaggart’s Philosophy, vol. 1
(Cambridge: Cambridge University Press, 1938), 276–279.
[7]
Julian Barbour, The End of Time: The Next Revolution in Physics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 11–36.
[8]
Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 104–127.
[9]
Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge:
Harvard University Press, 1933), Book VII, 1029a.
[10]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani
(Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 3, 99–115.
5.
Waktu dalam Epistemologi dan Fenomenologi
Jika ontologi
mempertanyakan apa itu waktu secara real, maka
epistemologi dan fenomenologi bertanya bagaimana waktu diketahui,
dipahami, dan dialami oleh subjek. Pendekatan ini tidak berfokus pada
keberadaan waktu dalam dirinya sendiri, melainkan pada hubungan antara waktu
dan kesadaran manusia. Dalam konteks ini, waktu dipelajari bukan hanya sebagai
struktur metafisik, tetapi juga sebagai bentuk pengalaman subjektif yang
terwujud dalam persepsi, memori, harapan, dan tindakan.
5.1.
Waktu sebagai Struktur
Kesadaran
Gagasan bahwa waktu
adalah struktur kesadaran pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Immanuel
Kant. Dalam Critique of Pure Reason, Kant
menyatakan bahwa waktu bukanlah objek empiris yang diserap dari pengalaman,
melainkan bentuk apriori dari intuisi inderawi manusia.¹ Artinya, waktu adalah
kerangka bawaan dalam pikiran manusia yang memungkinkan kita mengorganisasikan
rangsangan empiris secara temporal. Konsekuensinya, semua pengetahuan yang
berurusan dengan perubahan, gerak, dan perurutan peristiwa selalu difilter
melalui bentuk waktu dalam kesadaran.
Kant memisahkan
antara waktu
fenomenal, yakni waktu sebagaimana muncul dalam pengalaman, dan
dunia
noumenal yang tak terjangkau oleh indra dan waktu. Dengan
demikian, waktu tidak bisa diklaim sebagai entitas eksternal yang independen
dari pikiran, melainkan inheren dalam cara manusia mengalami dunia.²
5.2.
Intuisi Waktu dalam
Fenomenologi: Husserl dan Bergson
Dalam pengembangan
lebih lanjut oleh fenomenologi, waktu tidak lagi
dipahami hanya sebagai bentuk apriori, tetapi juga sebagai pengalaman
hidup (lebendige Erfahrung). Edmund Husserl, pendiri fenomenologi,
mengembangkan teori tentang “kesadaran waktu” (Zeitbewusstsein) dalam Lectures
on the Phenomenology of Internal Time-Consciousness. Ia membedakan
antara tiga lapisan dalam pengalaman waktu: primal impression (kesan
langsung saat ini), retention (penahanan masa lalu
yang baru saja terjadi), dan protention (antisipasi masa
depan yang segera datang).³
Model Husserl
menunjukkan bahwa kesadaran waktu bersifat kontinu dan tidak terfragmentasi,
meskipun pengalaman kita sering membaginya menjadi masa lalu, kini, dan akan
datang. Waktu, dalam pengertian ini, adalah intensionalitas kesadaran yang
bergerak, bukan urutan titik-titik yang statis.
Senada dengan
Husserl, Henri Bergson menolak
pengukuran waktu secara mekanistik. Dalam Time and Free Will, ia mengemukakan
bahwa waktu sejati (durée réelle) tidak dapat direduksi
ke dalam angka atau detik, melainkan dialami sebagai aliran kesadaran yang
bersambung dan unik.⁴ Baginya, waktu mekanis adalah abstraksi buatan yang
mengingkari pengalaman batin manusia. Konsepsi ini menjadi kritik tajam
terhadap positivisme ilmiah yang mendominasi abad ke-19.
5.3.
Bahasa, Budaya, dan
Konstruksi Waktu
Dalam kerangka
epistemologis kontemporer, waktu juga dipahami sebagai hasil konstruksi
linguistik dan budaya. Filsuf seperti Hans-Georg Gadamer dan Paul
Ricoeur menekankan bahwa narasi dan bahasa memainkan peran
sentral dalam bagaimana manusia memahami waktu.⁵ Konsep masa lalu dan masa
depan tidak hadir dalam isolasi, melainkan melalui cerita, sejarah, dan
struktur bahasa yang menandai peristiwa dalam urutan tertentu.
Lebih lanjut, studi
antropologi oleh Edward T. Hall mengungkap bahwa
persepsi waktu berbeda-beda di setiap budaya: ada budaya monokronik
(yang melihat waktu sebagai linier dan terbagi) dan polikronik (yang melihat waktu
sebagai simultan dan fleksibel).⁶ Ini membuktikan bahwa waktu tidak hanya
beroperasi sebagai realitas metafisik, tetapi juga sebagai konstruksi sosial
dan historis.
5.4.
Waktu dan
Subjektivitas Eksistensial
Dalam pendekatan
eksistensial, waktu dipandang sebagai dimensi tak terhindarkan dari keberadaan
manusia. Martin Heidegger, dalam Being
and Time, menunjukkan bahwa eksistensi manusia (Dasein) adalah
keberadaan yang diarahkan ke masa depan (Sein-zum-Tode).⁷ Bagi Heidegger, waktu
bukanlah latar belakang bagi keberadaan, tetapi struktur esensial dari Dasein
itu sendiri.
Waktu eksistensial
tidak netral, melainkan bersifat afektif dan penuh makna. Ketakutan
akan kematian, ingatan traumatis, dan harapan akan pembebasan, semuanya adalah
bentuk-bentuk temporalitas yang membentuk pemahaman manusia tentang dirinya dan
dunianya.⁸ Dengan demikian, waktu dalam epistemologi dan fenomenologi bukan
hanya sesuatu yang diketahui, tetapi juga dihayati
dan mengubah.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A33–A46/B49–B60.
[2]
Ibid., A42/B59.
[3]
Edmund Husserl, The Phenomenology of Internal Time-Consciousness,
trans. James S. Churchill (Bloomington: Indiana University Press, 1964), 35–56.
[4]
Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data
of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin,
1910), 100–135.
[5]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen
McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
3–87.
[6]
Edward T. Hall, The Dance of Life: The Other Dimension of Time
(New York: Anchor Books, 1984), 15–38.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh
(Albany: State University of New York Press, 1996), §§45–53.
[8]
Ibid., §47.
6.
Perspektif Ilmiah dan Metafisika tentang Waktu
Perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya fisika, telah memperluas dan menantang pemahaman
metafisika tentang waktu. Teori-teori ilmiah tidak hanya menjelaskan cara kerja
waktu dalam kerangka hukum alam, tetapi juga menghadirkan permasalahan
filosofis baru terkait dengan realitas waktu. Oleh karena itu, hubungan antara
fisika dan metafisika waktu menjadi penting untuk dieksplorasi, terutama dalam
kaitannya dengan pemahaman ontologis dan eksistensial manusia terhadap
temporalitas.
6.1.
Waktu dalam Fisika
Klasik: Mutlak dan Linier
Dalam mekanika
klasik Newtonian, waktu dianggap sebagai kerangka absolut dan
homogen di mana segala peristiwa terjadi secara linier. Isaac
Newton mendefinisikan waktu sebagai "waktu mutlak,
sejati, dan matematis, yang mengalir dengan sendirinya, tanpa hubungan terhadap
apa pun di luar dirinya."¹ Pandangan ini mencerminkan realisme
metafisik terhadap waktu: ia ada di luar pengalaman manusia dan bersifat tetap
serta universal.
Namun, pemahaman
Newtonian ini mengasumsikan bahwa waktu bersifat eksternal terhadap materi dan
tidak dipengaruhi oleh apa pun. Waktu, dalam kerangka ini, menjadi latar
belakang statis bagi perubahan, tetapi tidak pernah berubah itu sendiri.
6.2.
Relativitas dan
Ruang-Waktu: Menggugat Absolutisme Waktu
Revolusi besar
terjadi pada awal abad ke-20 dengan munculnya teori relativitas khusus dan umum
oleh Albert
Einstein. Dalam relativitas khusus, Einstein menunjukkan bahwa
waktu tidak bersifat mutlak, tetapi relatif terhadap kerangka acuan pengamat.
Peristiwa yang bersamaan dalam satu kerangka acuan bisa tidak bersamaan dalam
kerangka acuan lain.²
Dalam relativitas
umum, waktu bahkan dapat melambat atau mempercepat tergantung
pada kekuatan medan gravitasi.³ Dengan kata lain, waktu adalah bagian dari
struktur empat dimensi yang disebut ruang-waktu (space-time), di
mana perbedaan antara waktu dan ruang menjadi kabur.⁴ Waktu tidak lagi dianggap
sebagai entitas independen, tetapi sebagai dimensi dalam sistem geometris yang
dipengaruhi oleh massa dan energi.
Implikasi dari teori
ini sangat radikal terhadap metafisika: waktu tidak lagi menjadi kerangka
universal yang linier, melainkan dimensi variabel yang bergantung pada kondisi
fisikal. Ini memberi dukungan kepada eternalisme, yakni gagasan
bahwa semua momen waktu eksis secara setara di dalam “blok ruang-waktu”
empat dimensi.⁵
6.3.
Arrow of Time dan
Masalah Entropi
Salah satu tantangan
besar dalam menyatukan perspektif ilmiah dan metafisika tentang waktu adalah masalah
arah waktu (arrow of time). Secara fisikal,
hukum-hukum dasar seperti mekanika Newton dan elektrodinamika Maxwell bersifat time-symmetric,
artinya mereka bekerja sama baiknya maju maupun mundur dalam waktu. Namun,
dalam pengalaman manusia, waktu hanya bergerak maju.
Solusi utama datang
dari hukum
termodinamika kedua, yang menyatakan bahwa entropi
(tingkat kekacauan) dalam sistem tertutup cenderung meningkat seiring waktu.⁶
Inilah dasar ilmiah bagi panah waktu: waktu tampak maju karena entropi
bertambah.
Namun, ini
menimbulkan persoalan filosofis: apakah waktu benar-benar “bergerak”
karena hukum fisika, ataukah arah waktu hanyalah fenomena makroskopis yang
muncul dari kondisi awal kosmos yang rendah entropi?⁷ Pandangan ini menunjukkan
bahwa arah waktu mungkin bersifat emergen, bukan fundamental, sehingga membuka
ruang bagi interpretasi metafisika yang lebih dalam.
6.4.
Interaksi antara Waktu
Ilmiah dan Waktu Eksistensial
Ketegangan antara
waktu ilmiah dan waktu manusiawi menjadi salah satu perdebatan penting dalam
filsafat kontemporer. Henri Bergson mengkritik
reduksi waktu menjadi angka dan formula dalam fisika, karena mengabaikan
dimensi kualitatif dan hidup dari pengalaman temporal.⁸
Demikian pula, Martin
Heidegger menegaskan bahwa waktu dalam fisika bukanlah waktu
sebagaimana dialami oleh Dasein (manusia yang sadar akan keberadaannya).⁹ Bagi
Heidegger, waktu eksistensial tidak bisa dipahami hanya dalam kerangka
sebab-akibat atau perhitungan; ia menyangkut makna, penghayatan, dan orientasi
eksistensial terhadap masa depan dan kematian.
6.5.
Upaya Rekonsiliasi:
Metafisika Fisika
Beberapa filsuf
mencoba menjembatani dua pendekatan ini melalui bidang metafisika
fisika, yang mencoba menafsirkan temuan ilmiah dalam kerangka
metafisik yang konsisten. Misalnya, Tim Maudlin berpendapat bahwa
waktu adalah bagian real dari struktur alam dan tidak bisa sepenuhnya direduksi
ke model matematis.¹⁰
Sementara itu, Julian
Barbour menawarkan pandangan ekstrem: bahwa waktu sesungguhnya
tidak ada. Dalam The End of Time, ia menyatakan
bahwa realitas terdiri dari konfigurasi-konfigurasi statis (yang ia sebut
"nows"), dan persepsi perubahan hanyalah ilusi.¹¹ Pandangan
ini membalikkan asumsi ontologis waktu dan menantang pemahaman eksistensial
kita secara radikal.
Footnotes
[1]
Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of Natural
Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman (Berkeley: University
of California Press, 1999), 408–410.
[2]
Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory,
trans. Robert W. Lawson (New York: Crown Publishers, 1961), 23–25.
[3]
Ibid., 75–83.
[4]
Hermann Minkowski, “Space and Time,” in The Principle of Relativity,
ed. A. Sommerfeld (New York: Dover Publications, 1952), 75–91.
[5]
Theodore Sider, Four-Dimensionalism: An Ontology of Persistence and
Time (Oxford: Oxford University Press, 2001), 11–20.
[6]
Roger Penrose, The Emperor’s New Mind (Oxford: Oxford
University Press, 1989), 302–305.
[7]
Huw Price, Time’s Arrow and Archimedes’ Point: New Directions for
the Physics of Time (Oxford: Oxford University Press, 1996), 83–101.
[8]
Henri Bergson, Duration and Simultaneity, trans. Leon Jacobson
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1965), 45–67.
[9]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh
(Albany: State University of New York Press, 1996), §§80–83.
[10]
Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 104–127.
[11]
Julian Barbour, The End of Time: The Next Revolution in Physics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 1–29.
7.
Waktu dalam Tradisi Filsafat Islam
Dalam tradisi
filsafat Islam, konsep waktu tidak hanya dipandang sebagai dimensi fisikal,
tetapi juga sebagai entitas metafisik yang sarat makna teologis dan
eksistensial. Para filsuf dan teolog Muslim klasik secara aktif mengembangkan
gagasan tentang waktu dengan mengacu pada wahyu Islam, warisan filsafat Yunani,
dan pemikiran orisinal mereka sendiri. Dengan demikian, kajian waktu dalam
filsafat Islam menampilkan sintesis antara rasionalisme filsafat dan keimanan religius
yang khas.
7.1.
Konsep Waktu dalam
Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur’an mengandung
banyak referensi tentang waktu, menggunakan berbagai istilah seperti al-zamān,
al-dahr,
al-asr,
al-sa‘ah,
dan al-yawm.
Ayat-ayat seperti “Demi masa (wa al-‘asr)” (Q.S.
al-‘Asr [103] ayat 1) dan “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah
seperti seribu tahun menurut perhitunganmu” (Q.S. al-Hajj [22] ayat
47) menunjukkan bahwa waktu dalam pandangan Islam memiliki dimensi nilai,
simbolik, dan relativistik.¹
Dalam hadis, waktu
sering dikaitkan dengan tanggung jawab, perubahan, dan keterbatasan. Salah satu
hadis Qudsi menyatakan: “Janganlah kalian mencela waktu, karena Aku-lah
waktu” (lā tasubbū al-dahr fa innī anā al-dahr), yang
dipahami sebagian ulama sebagai peringatan agar tidak menyalahkan kondisi,
sebab segala yang terjadi diatur oleh kehendak Allah.² Waktu dalam Islam bukan
sekadar struktur perubahan, melainkan medan ujian spiritual.
7.2.
Ibnu Sina: Waktu
sebagai Relasi terhadap Gerak
Dalam kerangka
filsafat Peripatetik Islam, Ibnu Sina (Avicenna)
mengembangkan pemikiran Aristoteles tentang waktu dalam Al-Syifā’.
Ia menegaskan bahwa waktu tidak memiliki substansi tersendiri, tetapi merupakan
pengukuran gerak yang terjadi dalam tubuh materi.³ Waktu adalah hasil dari
perubahan dan bergantung pada urutan kejadian dalam eksistensi duniawi.
Namun, berbeda dari
Aristoteles yang cenderung membatasi waktu pada gerak fisikal, Ibnu Sina
menambahkan lapisan metafisika bahwa waktu memiliki signifikansi sebagai indikator
keterkaitan makhluk dengan wujud, di mana gerak menjadi
ekspresi aktualisasi potensi.⁴ Waktu adalah sarana manifestasi kontinuitas
makhluk dalam keberadaan, bukan hanya perubahan kuantitatif.
7.3.
Al-Ghazali: Waktu
sebagai Makhluk dan Kontingen
Dalam pemikiran al-Ghazali,
waktu tidak dipahami sebagai entitas independen yang mengatur peristiwa, tetapi
sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Allah bersama
dengan makhluk-makhluk lainnya. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia mengkritik
pandangan para filsuf yang menganggap bahwa waktu dan gerak bersifat niscaya
secara logis dan metafisik.⁵
Bagi al-Ghazali,
waktu adalah kontingen: ia ada karena
dikehendaki oleh Sang Pencipta dan tidak memiliki keberadaan independen.
Pendekatan ini menegaskan teisme radikal dalam Islam: bahwa
Allah tidak tunduk pada waktu, melainkan waktu tunduk pada kehendak-Nya. Oleh
karena itu, konsep waktu dalam teologi Islam bukan hanya metafisik, tetapi juga
teologis
dan etis.
7.4.
Suhrawardi: Simbolisme
Waktu dan Cahaya
Dalam tradisi
filsafat iluminasi (hikmah isyraqiyyah), Suhrawardi melihat waktu
sebagai bagian dari struktur simbolik realitas yang tersusun atas hirarki
cahaya. Meskipun tidak menyusun teori waktu secara sistematis seperti Ibnu
Sina, Suhrawardi menekankan bahwa pengalaman waktu berkaitan erat
dengan tingkatan eksistensi dan persepsi spiritual.⁶ Waktu menjadi sarana bagi
penyaksian (mushāhadah) atas transformasi
batin, bukan sekadar perubahan materi.
Dalam pendekatan
ini, waktu tidak diukur dengan jam atau peristiwa, melainkan dengan intensitas
cahaya spiritual dalam perjalanan manusia menuju kebenaran
hakiki.⁷ Ini memberikan pendekatan mistik terhadap waktu sebagai dimensi batin
dari eksistensi.
7.5.
Mulla Sadra: Waktu
sebagai Wujud Eksistensial
Kontribusi paling
mendalam dalam kajian waktu dalam filsafat Islam datang dari Mulla
Sadra (1571–1640), tokoh utama hikmah muta‘āliyah. Ia
mengembangkan konsep gerak substansial (al-ḥarakat al-jawhariyyah)
yang menyatakan bahwa seluruh eksistensi bersifat dinamis dan berubah secara
esensial.⁸
Mulla Sadra
memperkenalkan gagasan tentang waktu eksistensial (al-zamān al-wujūdī),
yakni bahwa waktu bukan kerangka eksternal bagi makhluk, melainkan dimensi dari
wujud itu sendiri.⁹ Menurutnya, waktu adalah intensifikasi keberadaan—setiap
entitas memiliki waktu karena ia memiliki wujud yang terus berkembang. Dengan
demikian, waktu adalah dimensi eksistensial dari perjalanan ontologis
makhluk menuju kesempurnaan.
Footnotes
[1]
M. A. S. Abdel Haleem, The Qur’an: A New Translation (Oxford:
Oxford University Press, 2005), Q.S. al-Asr [103]:1; al-Hajj [22]:47.
[2]
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Tafsīr, Hadis no. 4826.
[3]
Ibn Sina, Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour et al. (Cairo:
al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1952), vol. 1, 224–230.
[4]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction
to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 135–137.
[5]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Sabih Ahmad Kamali as
The Incoherence of the Philosophers (Lahore: Pakistan Philosophical
Congress, 1958), 85–92.
[6]
Suhrawardi, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Iran
University Press, 1993), 192–204.
[7]
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 84–86.
[8]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani
(Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 3, 100–115.
[9]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā
on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press,
2010), 201–205.
8.
Implikasi Teologis dan Eksistensial
Pembahasan tentang
waktu tidak hanya berdimensi metafisik dan epistemologis, tetapi juga memiliki
implikasi yang dalam bagi teologi dan eksistensi manusia. Dalam kerangka
teologis, waktu berkaitan dengan konsep keabadian Tuhan, takdir,
dan kekekalan
makhluk. Sementara dalam dimensi eksistensial, waktu menjadi
arena pergulatan makna hidup, kesementaraan, dan orientasi moral manusia
terhadap masa lalu, kini, dan masa depan.
8.1.
Waktu dan Keabadian
Tuhan
Dalam semua tradisi
teistik besar, termasuk Islam, Tuhan dipahami sebagai entitas transenden
terhadap waktu. Dalam teologi klasik, Allah dipandang tidak
berubah (immutable) dan di luar batas temporal.⁽¹⁾
Seperti dinyatakan oleh Boethius, keabadian Tuhan
berarti “kehadiran serentak dari seluruh hidup tanpa batas” (tota
simul et perfecta possessio vitae).⁽²⁾
Dalam tradisi Islam,
teologi Ahlus Sunnah menegaskan bahwa Allah tidak terikat oleh waktu karena
waktu adalah ciptaan-Nya.⁽³⁾ Argumentasi ini diperkuat oleh pernyataan dalam
Q.S. Al-Hadid [57] ayat 3: “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir
dan Yang Batin.” Ayat ini menunjukkan bahwa eksistensi Allah
melampaui batas temporal makhluk.
Dengan demikian,
waktu bersifat kontingen, sedangkan Tuhan
bersifat niscaya. Perbedaan ini menjadi
dasar bagi banyak argumen tentang kebergantungan makhluk terhadap Sang Pencipta
dan penolakan terhadap paham-paham panteistik yang menyamakan Tuhan dengan
proses alamiah yang berlangsung dalam waktu.
8.2.
Takdir, Kehendak
Bebas, dan Waktu
Masalah takdir
dan kehendak bebas adalah salah satu implikasi utama dari cara
memahami waktu. Jika semua momen waktu—masa lalu, kini, dan masa depan—telah “ada”
dalam blok ruang-waktu (sebagaimana dinyatakan oleh eternalism), maka muncul
persoalan: apakah manusia sungguh memiliki kebebasan?
Filsuf Muslim
seperti Al-Ghazali dan Fakhruddin
al-Razi menegaskan bahwa ilmu Allah terhadap masa depan tidak
meniadakan kebebasan manusia, karena pengetahuan ilahi tidak bersifat
kausal.⁽⁴⁾ Dengan kata lain, Allah mengetahui apa yang akan terjadi karena
semua waktu hadir serentak dalam ilmu-Nya, namun manusia tetap bertindak
berdasarkan pilihan. Hal ini memberikan jalan tengah antara determinisme
ekstrem dan libertarianisme bebas nilai.
Pandangan ini
menyiratkan bahwa waktu manusia adalah waktu ujian,
sedangkan waktu Tuhan adalah waktu pengamatan total. Ini memberikan justifikasi
teologis bagi moralitas, pertanggungjawaban, dan makna kehidupan.
8.3.
Kesementaraan dan
Makna Hidup
Dalam tradisi
eksistensial, kesadaran akan waktu yang terbatas (finitude)
adalah dasar dari pengalaman keberadaan yang otentik. Martin
Heidegger menekankan bahwa manusia (Dasein) adalah makhluk yang
“terlempar ke dalam waktu” dan diarahkan menuju kematian sebagai akhir
temporalitasnya.⁽⁵⁾ Kesadaran akan kefanaan inilah yang memicu pencarian makna.
Sementara itu, dalam
pemikiran Mulla Sadra, waktu bukan hanya
wadah perubahan, tetapi juga sarana eksistensial menuju kesempurnaan.⁽⁶⁾
Setiap makhluk bergerak secara ontologis dalam waktu menuju puncak eksistensinya.
Maka, hidup manusia bukan hanya urutan peristiwa, tetapi proses aktualisasi
jiwa dalam kerangka waktu sebagai ruang spiritual.
Dalam Al-Qur’an,
waktu sering digunakan sebagai simbol urgensi etis: “Demi
masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian” (Q.S. al-‘Asr [103] ayat 1–2),
yang menunjukkan bahwa waktu adalah modal keberadaan, dan bagaimana
ia digunakan menentukan nasib manusia.⁽⁷⁾
8.4.
Akhir Waktu dan
Eskatologi
Implikasi teologis
dari waktu juga menyentuh pada doktrin akhir zaman (eskatologi). Dalam
hampir semua agama besar, terdapat keyakinan bahwa waktu linear ini akan
mencapai akhirnya, yang ditandai dengan
kiamat dan penghakiman.
Dalam Islam, konsep al-sa‘ah
(hari kiamat) menandai akhir dari waktu sejarah,
sekaligus permulaan dari keabadian eskatologis di
akhirat.⁽⁸⁾ Ini menciptakan kesadaran bahwa waktu sekarang adalah pra-kondisi
bagi dimensi eksistensi selanjutnya. Maka waktu tidak hanya bersifat horizontal
(duniawi), tetapi juga vertikal (transendental).
Footnotes
[1]
William Lane Craig, Time and Eternity: Exploring God's Relationship
to Time (Wheaton, IL: Crossway, 2001), 32–36.
[2]
Boethius, The Consolation of Philosophy, trans. V. E. Watts
(London: Penguin Books, 1999), Book V, Prose 6.
[3]
Al-Taftazani, Sharḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, ed. M. Zāhid
al-Kawtharī (Beirut: Dār al-Nafā’is, 1998), 59.
[4]
Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Cairo: Dar al-Hadith,
n.d.), 267–270; Fakhruddin al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb, tafsir Q.S.
al-Baqarah [2]:256.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh
(Albany: State University of New York Press, 1996), §§45–53.
[6]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani
(Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 3, 99–110.
[7]
Abdel Haleem, M. A. S., The Qur’an: A New Translation (Oxford:
Oxford University Press, 2005), Q.S. al-‘Asr [103]:1–2.
[8]
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2000), 319–325.
9.
Kritik dan Perkembangan Kontemporer
Kajian filosofis
tentang waktu telah mengalami perkembangan yang signifikan di era kontemporer.
Selain dilanjutkan dalam tradisi metafisika klasik, waktu juga dikaji secara
kritis dalam konteks filsafat analitik, filsafat kontinental, dan pendekatan
interdisipliner seperti fisika teoretis, linguistik, psikologi, dan ilmu
kognitif. Perkembangan ini melahirkan berbagai kritik terhadap
pandangan-pandangan tradisional, serta menawarkan pendekatan-pendekatan baru
yang lebih pluralistik dan empiris terhadap konsep waktu.
9.1.
Kritik terhadap
Metafisika Tradisional: Waktu sebagai Ilusi?
Salah satu kritik
paling radikal terhadap konsep waktu datang dari J. M. E.
McTaggart, yang dalam esainya “The Unreality of Time”
menyatakan bahwa waktu itu tidak nyata karena mengandung
kontradiksi logis dalam struktur A-series (masa lalu, kini, dan masa depan).¹
Pandangan ini menantang validitas ontologis waktu dan mengusulkan bahwa
persepsi waktu hanya merupakan konstruksi mental yang tidak mencerminkan
realitas sejati.
Namun, banyak filsuf
menolak kesimpulan McTaggart, dengan menyatakan bahwa meskipun struktur
A-series memang problematik secara logika, tetapi pengalaman akan waktu tetap
otentik secara fenomenologis dan eksistensial.² Dengan demikian, kritik ini
tidak membatalkan realitas waktu secara absolut, tetapi mendorong
reinterpretasi kerangka metafisiknya.
9.2.
Pendekatan Analitik:
Realisme Temporal dan Perdebatan A/B-Series
Dalam ranah filsafat
analitik, perdebatan antara realisme dan anti-realisme temporal
terus berlanjut. Theodore Sider dalam Four-Dimensionalism
mendukung eternalisme, yang menganggap
bahwa semua momen waktu eksis secara setara dalam ruang-waktu empat dimensi,
dengan waktu sebagai dimensi serupa ruang.³ Sebaliknya, Dean
Zimmerman dan Ned Markosian membela presentisme,
yakni bahwa hanya masa kini yang nyata.⁴
Debat ini menyoroti
bahwa tidak ada konsensus universal tentang ontologi waktu, bahkan dalam
filsafat rasionalis modern. Perbedaan tersebut memperlihatkan bahwa waktu tidak
bisa dipahami hanya melalui pendekatan logis-formal, tetapi juga harus
mempertimbangkan pengalaman, eksistensi, dan konteks ilmiah.
9.3.
Fenomenologi dan
Hermeneutika: Waktu sebagai Kehidupan yang Dihayati
Filsuf kontinental
seperti Paul Ricoeur dan Hans-Georg
Gadamer mengkritik reduksi waktu ke dalam istilah matematis
atau logis semata. Mereka menekankan bahwa waktu harus dipahami dalam konteks narasi,
sejarah, dan bahasa. Ricoeur dalam Time and Narrative mengembangkan
ide bahwa waktu menjadi dapat dipahami oleh manusia melalui struktur cerita,
yang mengintegrasikan dimensi masa lalu, kini, dan masa depan dalam suatu
kerangka makna.⁵
Demikian pula, dalam
hermeneutika Gadamer, waktu adalah dimensi historis dari pemahaman, karena
setiap penafsiran terjadi dalam horizon waktu tertentu yang membentuk pemaknaan
kita atas teks dan realitas.⁶
9.4.
Interdisipliner:
Kognisi, Linguistik, dan Antropologi
Penelitian
kontemporer juga mengaitkan waktu dengan struktur kognitif dan bahasa.
Studi oleh George Lakoff dan Mark Johnson
menunjukkan bahwa cara manusia berbicara tentang waktu (misalnya, “waktu
berjalan,” “kita melewati waktu”) sangat dipengaruhi oleh metafora
konseptual yang tertanam dalam budaya dan bahasa.⁷ Ini
menyiratkan bahwa pemahaman tentang waktu bukan hanya masalah filsafat atau
fisika, tetapi juga hasil konstruksi kognitif dan sosial.
Antropolog seperti Edward
T. Hall membedakan antara budaya monokronik
(yang mempersepsikan waktu secara linier dan terjadwal) dan polikronik
(yang memandang waktu sebagai fleksibel dan simultan).⁸ Ini menunjukkan bahwa
persepsi dan penggunaan waktu sangat bergantung pada konteks budaya, yang
menantang universalisme dari sebagian teori metafisika tradisional.
9.5.
Pandangan Postmodern
dan Dekonstruktif
Dalam pendekatan postmodern,
waktu tidak dilihat sebagai sesuatu yang stabil, mutlak, atau objektif. Jacques
Derrida, misalnya, mengembangkan gagasan différance,
yang menyatakan bahwa makna selalu tertunda dalam waktu dan tidak pernah hadir
sepenuhnya.⁹ Ini mengimplikasikan bahwa waktu tidak pernah benar-benar bisa
“dihadapi” secara utuh, karena ia selalu bersifat mediasi dan penundaan.
Dalam kerangka ini,
waktu dipahami sebagai ketidakhadiran yang hadir,
sebagai “ruang ketegangan” yang menyimpan kemungkinan-kemungkinan tanpa
finalitas. Perspektif ini mengkritik narasi besar (grand narratives) dan
struktur linier dari waktu sejarah, yang dianggap menindas pluralitas dan
ambiguitas eksistensial.
Footnotes
[1]
J. M. E. McTaggart, “The Unreality of Time,” Mind 17, no. 68
(1908): 457–474.
[2]
Robin Le Poidevin and Murray MacBeath, eds., The Philosophy of Time
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 25–40.
[3]
Theodore Sider, Four-Dimensionalism: An Ontology of Persistence and
Time (Oxford: Oxford University Press, 2001), 1–30.
[4]
Ned Markosian, “A Defense of Presentism,” in Oxford Studies in
Metaphysics, vol. 1, ed. Dean Zimmerman (Oxford: Oxford University Press,
2004), 47–82.
[5]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen
McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
3–87.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 276–301.
[7]
George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago:
University of Chicago Press, 1980), 41–58.
[8]
Edward T. Hall, The Dance of Life: The Other Dimension of Time
(New York: Anchor Books, 1984), 15–38.
[9]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–27.
10.
Simpulan dan Refleksi Filosofis
Kajian tentang waktu
dalam metafisika tidak hanya membuka pemahaman mendalam tentang struktur
realitas, tetapi juga mengantarkan pada refleksi eksistensial dan spiritual
yang menyentuh inti keberadaan manusia. Sebagai salah satu konsep fundamental
dalam pemikiran filsafat, waktu terbukti tidak tunggal secara makna, melainkan
multivalen—mengandung dimensi ontologis, epistemologis, dan teologis yang
saling bersinggungan dan memperkaya.
10.1.
Kesimpulan Umum
Secara ontologis,
waktu telah didebatkan sebagai entitas yang bersifat absolut (Newton),
relasional (Leibniz), dan bahkan ilusi (McTaggart).¹ Perdebatan antara presentisme,
eternalisme,
dan growing
block theory menunjukkan bahwa tak ada konsensus final dalam memahami
status realitas waktu.² Dalam filsafat Islam, tokoh seperti Mulla
Sadra menunjukkan bahwa waktu bukanlah sekadar struktur
eksternal, tetapi bagian dari intensifikasi eksistensial
makhluk yang bergerak secara substansial menuju kesempurnaan.³
Secara epistemologis,
waktu dipahami bukan semata sebagai objek pengamatan ilmiah, tetapi sebagai struktur
kesadaran, sebagaimana dijelaskan oleh Immanuel
Kant dan dikembangkan lebih jauh oleh Husserl
dan Bergson
dalam ranah fenomenologi.⁴ Waktu adalah sesuatu yang dialami dan diciptakan
oleh kesadaran dalam keterhubungan antara memori, pengalaman kini, dan
antisipasi masa depan.
Dari perspektif
teologis, waktu menegaskan keterbatasan manusia dan
kemahakuasaan Tuhan. Dalam teologi Islam, waktu adalah makhluk yang tunduk pada
kehendak Allah, sedangkan Tuhan berada di luar dan melampaui waktu.⁵ Kesadaran
akan keterbatasan waktu mendorong manusia untuk hidup penuh kesadaran etis dan
spiritual.
10.2.
Refleksi Filosofis
Refleksi filosofis
terhadap waktu memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang makna hidup,
perubahan, keberlanjutan, dan kematian. Waktu tidak hanya menjadi kerangka
kronologis bagi kejadian, tetapi juga wadah pengalaman eksistensial
manusia: dari kelahiran, pertumbuhan, hingga kematian. Sebagaimana dikemukakan
oleh Heidegger,
waktu adalah struktur esensial dari Dasein, yang menyadari bahwa keberadaannya
ditentukan oleh keterarahan ke masa depan dan kefanaan.⁶
Dalam kerangka ini,
waktu menjadi sumber otentisitas eksistensial—kesadaran
bahwa setiap momen yang berlalu adalah kesempatan yang tak tergantikan.
Kesementaraan waktu justru memberi makna pada hidup: bukan karena waktu tak
terbatas, tetapi karena ia terbatas, maka setiap detiknya bernilai.⁷
Refleksi spiritual
terhadap waktu juga mendorong manusia untuk melihat hidup sebagai proses
mendekat kepada kesempurnaan, bukan sekadar rangkaian kejadian.
Dalam pendekatan filsafat Islam, waktu adalah medan bagi tajalli
(penampakan ilahi) dan pengaktualan potensi ruhani manusia.⁸ Ini menempatkan
waktu dalam dimensi transendental—ia bukan hanya lintasan menuju akhir, tetapi
juga jalan menuju makna abadi.
10.3.
Implikasi Masa Kini
dan Masa Depan
Di era modern yang
ditandai dengan percepatan waktu (acceleration) dan tekanan efisiensi, manusia
justru menghadapi krisis makna waktu.⁹ Segalanya bergerak cepat, namun
kehilangan kedalaman. Oleh karena itu, filsafat waktu menjadi semakin relevan,
bukan hanya untuk memahami realitas fisik atau metafisik, tetapi juga untuk menata
kembali relasi manusia dengan waktu, agar ia tidak terjebak
dalam kejaran produktivitas tanpa tujuan eksistensial.
Filsafat waktu
mendorong kita untuk memaknai waktu bukan sekadar alat ukur, tetapi sebagai panggilan
untuk kesadaran, pertobatan, dan transendensi.
Di tengah ketidakpastian dunia modern, pemahaman mendalam tentang waktu
menawarkan orientasi yang bermakna bagi kehidupan manusia—sebagai makhluk
temporal yang mendambakan keabadian.
Footnotes
[1]
J. M. E. McTaggart, “The Unreality of Time,” Mind 17, no. 68
(1908): 457–474.
[2]
Ned Markosian, “Time,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Fall 2016 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/time/.
[3]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani (Tehran:
Dar al-Fikr, 1981), vol. 3, 100–115.
[4]
Edmund Husserl, The Phenomenology of Internal Time-Consciousness,
trans. James S. Churchill (Bloomington: Indiana University Press, 1964), 45–56;
Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of
Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin,
1910), 100–130.
[5]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Sabih Ahmad Kamali
(Lahore: Pakistan Philosophical Congress, 1958), 85–92.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh
(Albany: State University of New York Press, 1996), §§45–53.
[7]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 124–128.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 209–218.
[9]
Hartmut Rosa, Social Acceleration: A New Theory of Modernity,
trans. Jonathan Trejo-Mathys (New York: Columbia University Press, 2013),
25–55.
Daftar Pustaka
Abdel Haleem, M. A. S.
(2005). The Qur’an: A new translation. Oxford University Press.
Al-Ghazali. (1958). The
incoherence of the philosophers (S. A. Kamali, Trans.). Pakistan
Philosophical Congress. (Original work: Tahāfut al-Falāsifah)
Al-Ghazali. (n.d.). Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn (Vol. 4). Dar al-Hadith.
Al-Taftazani. (1998). Sharḥ
al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah (M. Z. al-Kawtharī, Ed.). Dār al-Nafā’is.
Aristotle. (1984). Physics
(R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). In J. Barnes (Ed.), The complete
works of Aristotle (Vol. 1). Princeton University Press.
Aristotle. (1933). Metaphysics
(H. Tredennick, Trans.). Harvard University Press.
Barbour, J. (1999). The
end of time: The next revolution in physics. Oxford University Press.
Bergson, H. (1910). Time
and free will: An essay on the immediate data of consciousness (F. L.
Pogson, Trans.). George Allen & Unwin.
Bergson, H. (1965). Duration
and simultaneity (L. Jacobson, Trans.). Bobbs-Merrill.
Boethius. (1999). The
consolation of philosophy (V. E. Watts, Trans.). Penguin Books.
Broad, C. D. (1938). Examination
of McTaggart’s philosophy (Vol. 1). Cambridge University Press.
Craig, W. L. (2001). Time
and eternity: Exploring God's relationship to time. Crossway Books.
Derrida, J. (1982). Margins
of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Einstein, A. (1961). Relativity:
The special and general theory (R. W. Lawson, Trans.). Crown Publishers.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Gutas, D. (2001). Avicenna
and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical
works. Brill.
Hall, E. T. (1984). The
dance of life: The other dimension of time. Anchor Books.
Hartmut, R. (2013). Social
acceleration: A new theory of modernity (J. Trejo-Mathys, Trans.).
Columbia University Press.
Heidegger, M. (1996). Being
and time (J. Stambaugh, Trans.). State University of New York Press.
Husserl, E. (1964). The
phenomenology of internal time-consciousness (J. S. Churchill, Trans.).
Indiana University Press.
Ibn Sina. (1952). Al-Shifa’
(I. Madkour et al., Eds.). Al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘
al-Amiriyyah.
Kalin, I. (2010). Knowledge
in later Islamic philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and intuition.
Oxford University Press.
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press.
Lakoff, G., & Johnson,
M. (1980). Metaphors we live by. University of Chicago Press.
Le Poidevin, R., &
MacBeath, M. (Eds.). (1993). The philosophy of time. Oxford University
Press.
Maudlin, T. (2007). The
metaphysics within physics. Oxford University Press.
McTaggart, J. M. E. (1908).
The unreality of time. Mind, 17(68), 457–474.
Minkowski, H. (1952). Space
and time. In A. Sommerfeld (Ed.), The principle of relativity (pp.
75–91). Dover Publications.
Nasr, S. H. (1976). Three
Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Caravan Books.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. State University of New York Press.
Newton, I. (1999). The
Principia: Mathematical principles of natural philosophy (I. B. Cohen
& A. Whitman, Trans.). University of California Press.
Penrose, R. (1989). The
emperor’s new mind: Concerning computers, minds, and the laws of physics.
Oxford University Press.
Plato. (1997). Timaeus
(D. J. Zeyl, Trans.). In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works
(pp. 1224–1291). Hackett Publishing.
Price, H. (1996). Time’s
arrow and Archimedes’ point: New directions for the physics of time.
Oxford University Press.
Ricoeur, P. (1984). Time
and narrative (Vol. 1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.).
University of Chicago Press.
Sadra, M. (1981). Al-Asfar
al-Arba‘ah (J. A. Ashtiyani, Ed.). Dar al-Fikr.
Shihab, M. Q. (2000). Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir maudhu‘i atas pelbagai persoalan umat. Mizan.
Sider, T. (2001). Four-dimensionalism:
An ontology of persistence and time. Oxford University Press.
Suhrawardi. (1993). Ḥikmat
al-Ishrāq (H. Corbin, Ed.). Iran University Press.
Tillich, P. (1952). The
courage to be. Yale University Press.
Zimmerman, D. W. (2004).
The A-theory of time, presentism, and open future. In D. Zimmerman (Ed.), Oxford
studies in metaphysics (Vol. 1, pp. 211–237). Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar