Jumat, 23 Mei 2025

Waktu dalam Metafisika: Perspektif Ontologis, Epistemologis, dan Teologis

Waktu dalam Metafisika

Perspektif Ontologis, Epistemologis, dan Teologis


Alihkan ke: Metafisika.


Abstrak

Artikel ini membahas hakikat waktu secara mendalam dari tiga perspektif utama dalam filsafat: ontologis, epistemologis, dan teologis. Dalam kajian ontologis, waktu dianalisis melalui perdebatan klasik antara realisme dan antirealisme, termasuk posisi-presentisme, eternalisme, dan teori blok berkembang. Perspektif epistemologis menyoroti bagaimana waktu dipahami sebagai struktur kesadaran, sebagaimana ditelaah dalam pemikiran Kant, Husserl, dan Bergson. Secara teologis, artikel ini mengeksplorasi posisi waktu dalam pandangan keimanan, khususnya dalam Islam, yang memandang waktu sebagai ciptaan Allah dan medan pertanggungjawaban moral manusia. Artikel ini juga menelaah interseksi antara pandangan ilmiah modern (relativitas, entropi) dan metafisika klasik, serta mengulas kritik dan pembaruan dari filsafat kontemporer, baik dari tradisi analitik maupun kontinental. Akhirnya, refleksi filosofis disajikan untuk menegaskan bahwa waktu bukan sekadar struktur alam, tetapi juga medan eksistensial yang penuh makna bagi manusia sebagai makhluk spiritual yang hidup dalam keterbatasan dan mengarah pada keabadian.

Kata Kunci: Waktu, metafisika, ontologi, epistemologi, teologi, filsafat Islam, eksistensialisme, fenomenologi, eternalism, presentisme, relativitas, Mulla Sadra, Heidegger.


PEMBAHASAN

Hakikat Waktu dalam Kajian Metafisika


1.           Pendahuluan

Waktu merupakan salah satu konsep paling mendasar dan misterius dalam pengalaman manusia, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Meskipun ia menjadi kerangka bagi segala perubahan dan peristiwa, pemahaman tentang hakikat waktu terus menjadi bahan perdebatan dalam sejarah pemikiran, mulai dari filsafat klasik hingga kontemporer. Pertanyaan seperti apakah waktu itu nyata, apakah ia bergerak atau diam, dan apakah waktu bersifat mutlak atau relatif telah memicu perdebatan panjang antara para filsuf, ilmuwan, dan teolog.

Dalam tradisi filsafat Barat, pembahasan mengenai waktu sudah muncul sejak zaman Yunani Kuno. Plato menggambarkan waktu sebagai "citra bergerak dari keabadian" yang diciptakan bersama dengan langit, sementara Aristoteles mendefinisikan waktu sebagai “jumlah gerak menurut sebelum dan sesudah” dalam Physics IV.11, menyiratkan keterkaitan erat antara waktu, perubahan, dan gerak.¹ Di sisi lain, Agustinus dari Hippo menggambarkan waktu sebagai realitas psikologis: “Apa itu waktu? Jika tidak ada yang bertanya padaku, aku tahu. Tetapi jika aku ingin menjelaskannya, aku tidak tahu.”²

Memasuki era modern, waktu dipandang sebagai bentuk apriori dari intuisi inderawi dalam sistem Immanuel Kant, yang berperan sebagai struktur kesadaran manusia terhadap dunia fenomenal.³ Sementara itu, Henri Bergson mengkritik pendekatan matematis terhadap waktu, dan menekankan pentingnya durée atau durasi, yaitu waktu sebagaimana dialami oleh kesadaran manusia secara langsung.⁴

Berbagai paradigma ini menggambarkan bahwa waktu bukan hanya persoalan fisik atau ilmiah, tetapi juga sarat makna metafisik, epistemologis, dan bahkan teologis. Dalam ranah metafisika, waktu menyangkut pertanyaan tentang eksistensi (apakah masa lalu dan masa depan benar-benar ada), identitas (bagaimana sesuatu dapat berubah namun tetap menjadi dirinya sendiri), dan kausalitas (bagaimana sebab-akibat berfungsi dalam dimensi temporal). Dalam epistemologi, waktu dikaji dari segi bagaimana manusia mengetahui, mengalami, dan memaknai keberlangsungannya. Sedangkan dalam perspektif teologis, waktu seringkali dikaitkan dengan kehendak dan kekekalan Tuhan, serta keterbatasan eksistensial makhluk.

Dalam tradisi filsafat Islam, waktu tidak kalah penting. Ibnu Sina dalam Al-Syifa’ membahas waktu sebagai konsekuensi dari perubahan dalam materi, sementara Al-Ghazali menegaskan bahwa waktu adalah makhluk dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuhan.⁵ Mulla Sadra dari tradisi hikmah Isyraqiyyah bahkan mengembangkan konsep “waktu eksistensial” (zaman wujudī) yang menekankan kontinuitas ontologis dalam keberadaan.⁶

Artikel ini bertujuan untuk menelusuri hakikat waktu dari tiga perspektif utama: ontologis, epistemologis, dan teologis. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh dan mendalam tentang waktu, baik sebagai struktur realitas, sebagai fenomena kesadaran, maupun sebagai dimensi eksistensi makhluk dalam hubungan dengan Sang Pencipta.


Footnotes

[1]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 217a10–30.

[2]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book XI, ch. 14.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A33/B49.

[4]                Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin, 1910), 100–130.

[5]                Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour et al. (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1952), vol. 1, 224–230.

[6]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani (Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 6, 45–67.


2.           Konsep Dasar tentang Waktu dalam Filsafat

Waktu adalah konsep yang sangat kompleks dan mendasar dalam metafisika. Ia sering dipahami sebagai kerangka di mana segala perubahan terjadi, namun definisi dan realitas ontologisnya telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan filsuf. Dalam filsafat, waktu dipandang tidak hanya sebagai parameter fisik, tetapi juga sebagai fenomena eksistensial, epistemologis, dan bahkan teologis yang memengaruhi cara manusia memahami dunia dan dirinya.

2.1.       Definisi Waktu dan Distingsinya

Dalam terminologi umum, waktu kerap dibedakan ke dalam dua kategori utama: waktu kronologis (chronos) dan waktu eksistensial (kairos). Chronos merujuk pada pengukuran linier waktu sebagaimana ditandai oleh jam dan kalender, sedangkan kairos mengacu pada momen penting yang membawa makna eksistensial atau transformatif.¹ Distingsi ini penting karena menggarisbawahi bahwa waktu tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif dalam pengalaman manusia.

Dalam sejarah filsafat, waktu kerap dipertanyakan dari segi keberadaannya yang objektif atau subjektif. Filsafat analitik modern bahkan membedakan antara waktu absolut (yang ada secara independen dari segala sesuatu) dan waktu relasional (yang merupakan hasil dari hubungan antara peristiwa-peristiwa).² Isaac Newton adalah penganjur utama konsep waktu absolut, sementara Leibniz berpendapat bahwa waktu hanyalah urutan relasional antar kejadian.³

2.2.       Tiga Dimensi Waktu: Masa Lalu, Kini, dan Akan Datang

Konsepsi umum tentang waktu dibagi menjadi tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Namun, apakah ketiganya benar-benar ada secara ontologis menjadi persoalan besar dalam metafisika. Beberapa filsuf berpendapat bahwa hanya masa kini yang nyata (presentisme), sementara yang lain meyakini bahwa semua waktu—masa lalu, kini, dan masa depan—ada secara setara (eternalisme).⁴ Masih ada pula yang mengadopsi growing block theory, yakni pandangan bahwa masa lalu dan kini nyata, sedangkan masa depan belum ada.⁵

Debat ini berdampak besar terhadap pemahaman identitas, perubahan, dan kausalitas. Jika hanya masa kini yang nyata, maka semua bentuk memori dan prediksi hanyalah fiksi psikologis. Sebaliknya, jika masa lalu dan masa depan benar-benar ada, maka implikasi terhadap kebebasan kehendak dan tanggung jawab moral menjadi rumit.

2.3.       Apakah Waktu itu Entitas atau Relasi?

Pertanyaan metafisik mendasar lainnya adalah: apakah waktu itu suatu entitas nyata, atau hanya sebuah relasi? Aristoteles menyatakan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan “jumlah gerak menurut sebelum dan sesudah,” menandakan bahwa waktu tergantung pada perubahan.⁶ Sementara itu, filsuf-filsuf kontemporer seperti J. M. E. McTaggart menyatakan bahwa waktu adalah ilusi karena urutan peristiwa yang dikonstruksi secara mental tidak dapat menjelaskan perubahan secara konsisten.⁷

McTaggart membedakan antara dua cara memahami waktu: A-series (berdasarkan masa lalu, kini, dan masa depan) dan B-series (berdasarkan lebih awal atau lebih akhir dari peristiwa). Menurutnya, hanya B-series yang konsisten secara logis, namun karena tidak menunjukkan perubahan nyata, ia menyimpulkan bahwa waktu tidak ada.⁸ Pandangan ini telah memicu banyak perdebatan dan reinterpretasi dalam filsafat waktu modern.

2.4.       Relasi antara Waktu dan Perubahan

Waktu sangat erat kaitannya dengan perubahan. Dalam pengalaman manusia, waktu seringkali ditandai oleh transformasi: dari muda ke tua, dari hidup ke mati, dari potensi ke aktual. Namun, pertanyaannya adalah apakah perubahan yang menciptakan waktu, ataukah waktu yang memungkinkan perubahan. Pandangan Aristoteles yang mengaitkan waktu dengan gerak mendukung hipotesis bahwa perubahan adalah prasyarat bagi eksistensi waktu.⁹ Sebaliknya, dalam sistem Newtonian, perubahan terjadi di dalam kerangka waktu yang tetap dan independen.

Dalam filsafat eksistensial, terutama dalam pemikiran Martin Heidegger, waktu bukan sekadar alat ukur perubahan, tetapi struktur eksistensial yang melekat pada keberadaan manusia (Dasein). Waktu, dalam hal ini, menjadi bagian dari cara manusia memahami dan mengalami eksistensinya.¹⁰


Footnotes

[1]                Paul Tillich, Theology of Culture, ed. Robert C. Kimball (New York: Oxford University Press, 1959), 28.

[2]                Quentin Smith and L. Nathan Oaklander, The New Theory of Time (New Haven: Yale University Press, 1994), 4–7.

[3]                Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of Natural Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman (Berkeley: University of California Press, 1999), 408–410; G. W. Leibniz, “Correspondence with Clarke,” in Philosophical Essays, ed. Roger Ariew and Daniel Garber (Indianapolis: Hackett, 1989), 323–340.

[4]                Ned Markosian, “Time,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2016 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/time/.

[5]                C. D. Broad, Examination of McTaggart’s Philosophy, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1938), 275–278.

[6]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), IV.11.

[7]                J. M. E. McTaggart, “The Unreality of Time,” Mind 17, no. 68 (1908): 457–474.

[8]                Ibid., 458–470.

[9]                Aristotle, Physics, IV.10–14.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York Press, 1996), 274–311.


3.           Sejarah Pemikiran Filsafat tentang Waktu

Konsep waktu dalam filsafat telah mengalami transformasi pemahaman yang sangat kompleks dan mendalam sepanjang sejarah. Setiap era pemikiran, dari zaman Yunani Kuno hingga filsafat kontemporer, memberikan kontribusi yang khas terhadap cara manusia memahami waktu. Perubahan ini tidak hanya menunjukkan perkembangan intelektual, tetapi juga mencerminkan pergeseran pandangan ontologis dan epistemologis dalam memahami realitas.

3.1.       Zaman Klasik: Antara Kosmos dan Gerak

Dalam filsafat Yunani kuno, waktu erat kaitannya dengan keteraturan kosmik dan perubahan gerak. Plato, dalam Timaeus, menyatakan bahwa waktu diciptakan bersama langit sebagai “citra bergerak dari keabadian” (moving image of eternity), yakni perwujudan temporal dari tatanan kekal dunia ide.¹ Dengan demikian, waktu bersifat derivatif dan bukan entitas mandiri; ia hanyalah refleksi dari realitas yang lebih tinggi, yaitu dunia ide yang bersifat abadi dan tak berubah.

Berbeda dari Plato, Aristoteles mengembangkan pendekatan yang lebih empiris terhadap waktu. Dalam Physics IV.11, ia mendefinisikan waktu sebagai “jumlah (atau ukuran) gerak menurut sebelum dan sesudah” (ἀριθμός κινήσεως κατὰ τὸ πρότερον καὶ ὕστερον).² Bagi Aristoteles, waktu tidak dapat dipisahkan dari gerak dan perubahan dalam dunia fisik; ia bukan substansi, melainkan atribut dari pergerakan benda-benda.

3.2.       Zaman Pertengahan: Antara Teologi dan Subjektivitas

Masuk ke era Patristik dan skolastik, perhatian terhadap waktu memperoleh dimensi baru, yakni teologis dan introspektif. Dalam Confessions, Agustinus mengajukan pertanyaan reflektif yang sangat terkenal: “Apa itu waktu? Jika tidak ada yang bertanya padaku, aku tahu. Tetapi jika aku ingin menjelaskannya, aku tidak tahu.”³ Ia kemudian berargumen bahwa waktu adalah entitas yang eksis dalam jiwa, yakni dalam bentuk tiga distensi: memori (masa lalu), penglihatan (masa kini), dan pengharapan (masa depan).⁴ Pandangan ini memunculkan kesadaran bahwa waktu bersifat fenomenologis dan subyektif, bukan entitas objektif di luar kesadaran manusia.

Sementara itu, dalam filsafat Islam, para pemikir besar seperti Ibnu Sina mengintegrasikan pendekatan Aristotelian dengan kerangka metafisika Islam. Dalam Al-Syifa’, ia memandang waktu sebagai akibat dari gerak substansial, dan karena itu bersifat relasional terhadap entitas yang berubah.⁵ Al-Ghazali, sebagai perwakilan teologi Islam (kalam), menekankan bahwa waktu adalah ciptaan Allah dan sepenuhnya tunduk pada kehendak-Nya.⁶ Ia menolak pandangan filosof yang menyatakan waktu sebagai realitas yang berdiri sendiri.

3.3.       Zaman Modern: Waktu sebagai Struktur Subjektif

Transformasi besar terjadi pada era modern, terutama dalam karya Immanuel Kant. Dalam Critique of Pure Reason, Kant menyatakan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang eksis secara independen di luar diri kita, melainkan bentuk apriori intuisi inderawi manusia.⁷ Artinya, waktu adalah struktur kognitif bawaan yang memungkinkan manusia mengorganisasi pengalaman. Pandangan ini menandai perubahan penting: waktu bukan lagi sesuatu yang ditemukan di dunia, melainkan sesuatu yang dibawa oleh subjek ke dalam dunia.

Pandangan ini membuka jalan bagi pendekatan-pendekatan yang lebih fenomenologis dan eksistensial. Misalnya, Henri Bergson mengkritik waktu ilmiah yang terfragmentasi menjadi detik dan menit, dan sebagai gantinya memperkenalkan konsep durée (durasi), yakni pengalaman waktu sebagai aliran kontinu yang tak dapat dipecah.⁸

3.4.       Zaman Kontemporer: Eksistensialisme dan Analisis Logis

Dalam filsafat kontemporer, muncul dua arus besar dalam kajian waktu: filsafat kontinental eksistensialis dan filsafat analitik logis. Dalam tradisi kontinental, Martin Heidegger menjadikan waktu sebagai pusat analisis eksistensial. Dalam Being and Time, ia menyatakan bahwa eksistensi manusia (Dasein) bersifat temporal; masa lalu (gewesen), masa kini (gegenwärtig), dan masa depan (zukünftig) saling membentuk dalam struktur penghayatan eksistensial.⁹ Waktu, dalam hal ini, adalah prasyarat bagi pemahaman atas keberadaan.

Sementara itu, dalam ranah filsafat analitik, J. M. E. McTaggart dalam esainya “The Unreality of Time” mengembangkan argumen yang terkenal tentang A-series dan B-series. Menurutnya, waktu yang dipahami sebagai urutan masa lalu, kini, dan masa depan (A-series) mengandung kontradiksi dan oleh karena itu tidak nyata. Sebaliknya, waktu sebagai relasi lebih awal atau lebih lambat (B-series) tidak menjelaskan perubahan, sehingga ia menyimpulkan bahwa waktu itu tidak ada.¹⁰ Argumen ini memicu debat panjang dalam metafisika analitik tentang realitas temporal.


Footnotes

[1]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 37d–38b.

[2]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), IV.11, 219b1–5.

[3]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book XI, ch. 14.

[4]                Ibid., Book XI, ch. 20.

[5]                Ibn Sina, Al-Shifa’ (The Book of Healing), ed. Ibrahim Madkour et al. (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1952), vol. 1, 224–230.

[6]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Sabih Ahmad Kamali as The Incoherence of the Philosophers (Lahore: Pakistan Philosophical Congress, 1958), 85–88.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A33–A36/B49–B52.

[8]                Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin, 1910), 100–135.

[9]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York Press, 1996), §§65–70.

[10]             J. M. E. McTaggart, “The Unreality of Time,” Mind 17, no. 68 (1908): 457–474.


4.           Dimensi Ontologis Waktu

Pertanyaan ontologis tentang waktu merupakan salah satu persoalan paling mendasar dalam metafisika: Apakah waktu sungguh-sungguh ada sebagai entitas independen? Ataukah ia hanya relasi di antara peristiwa? Apakah masa lalu dan masa depan sungguh ada, ataukah hanya masa kini yang nyata? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan kerangka berpikir kita mengenai perubahan, eksistensi, kausalitas, dan bahkan kebebasan.

4.1.       Realisme vs Antirealisme tentang Waktu

Dalam diskursus ontologis, dua posisi utama muncul: realisme temporal dan antirealisme temporal. Realisme berpendapat bahwa waktu adalah bagian fundamental dari realitas objektif, independen dari pikiran atau persepsi manusia. Sebaliknya, antirealisme menganggap bahwa waktu tidak lebih dari konstruksi konseptual atau pengalaman subjektif.

Isaac Newton, misalnya, mendukung waktu absolut, yakni bahwa waktu “mengalir secara seragam tanpa hubungan terhadap apa pun di luar dirinya sendiri.”¹ Pandangan ini menyatakan bahwa waktu ada secara objektif dan universal, bahkan jika tidak ada peristiwa yang terjadi. Sebaliknya, G. W. Leibniz dan kemudian Ernst Mach memandang waktu sebagai relasi antara kejadian-kejadian, bukan entitas mandiri.² Konsepsi ini dikenal sebagai waktu relasional, yang juga diadopsi dalam teori relativitas umum oleh Albert Einstein.³

4.2.       Presentisme, Eternalisme, dan Growing Block Theory

Salah satu aspek sentral dalam ontologi waktu adalah status eksistensial dari masa lalu, kini, dan masa depan. Dalam hal ini terdapat tiga pandangan besar:

·                     Presentisme menyatakan bahwa hanya masa kini yang benar-benar ada. Masa lalu sudah tidak ada, dan masa depan belum ada.⁴ Pandangan ini konsisten dengan pengalaman intuitif kita dan cocok dengan doktrin moral tentang tanggung jawab, namun sulit dipertahankan dalam kerangka teori relativitas.

·                     Eternalisme berpendapat bahwa semua momen waktu—masa lalu, kini, dan masa depan—eksis secara setara dalam struktur ruang-waktu.⁵ Ini sejalan dengan pemahaman fisika modern, namun menimbulkan problem filosofis, seperti bagaimana menjelaskan perubahan dan kebebasan kehendak.

·                     Growing Block Theory adalah posisi kompromi: masa lalu dan kini ada, tetapi masa depan belum eksis. Waktu seperti blok yang terus bertambah.⁶

Pandangan-pandangan ini memiliki implikasi besar terhadap cara kita memahami eksistensi dan keberlanjutan identitas personal, serta konsep sebab-akibat dalam sejarah dan pengalaman.

4.3.       Apakah Waktu Bersifat Fundamental atau Emergen?

Perdebatan metafisika kontemporer juga membahas apakah waktu itu fundamental—yakni bagian dari struktur terdalam realitas—atau emergen, yakni muncul dari fenomena yang lebih mendasar, seperti relasi kuantum atau perubahan.

Beberapa fisikawan seperti Julian Barbour bahkan mengusulkan bahwa waktu tidak sungguh ada, melainkan hanya ilusi yang muncul dari perbedaan konfigurasi dunia.⁷ Dalam The End of Time, ia berargumen bahwa realitas terdiri dari "konfigurasi sekarang" (now), dan waktu hanyalah relasi antara konfigurasi-konfigurasi tersebut.

Sebaliknya, filsuf seperti Tim Maudlin membela realitas objektif dari waktu sebagai sesuatu yang tidak dapat direduksi.⁸ Pandangan ini menegaskan bahwa waktu adalah kondisi ontologis yang niscaya bagi eksistensi dan perubahan, bukan sekadar artefak konseptual atau konstruksi fisikal.

4.4.       Konsekuensi Ontologis terhadap Identitas dan Perubahan

Pertanyaan tentang ontologi waktu juga berkaitan erat dengan masalah identitas personal dan perubahan ontologis. Jika waktu sungguh nyata, maka entitas yang mengalami perubahan tetap mempertahankan identitasnya melalui waktu. Namun jika waktu hanyalah ilusi atau relasi, bagaimana menjelaskan kesinambungan eksistensial makhluk?

Pandangan Aristoteles bahwa perubahan membutuhkan substratum yang tetap (substance) memberikan kerangka awal untuk menjelaskan hal ini.⁹ Dalam metafisika Islam, Mulla Sadra mengembangkan teori “gerak substansial” (al-harakat al-jawhariyyah), di mana waktu dan eksistensi bukan dua hal yang terpisah, melainkan bahwa eksistensi itu sendiri bersifat dinamis dan temporal.¹⁰ Dengan demikian, waktu adalah aspek inheren dari eksistensi makhluk, bukan wadah eksternal.


Footnotes

[1]                Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of Natural Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman (Berkeley: University of California Press, 1999), 408–410.

[2]                G. W. Leibniz, “Correspondence with Clarke,” in Philosophical Essays, ed. Roger Ariew and Daniel Garber (Indianapolis: Hackett, 1989), 323–340.

[3]                Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory, trans. Robert W. Lawson (New York: Crown Publishers, 1961), 134–140.

[4]                Ned Markosian, “A Defense of Presentism,” in Oxford Studies in Metaphysics, vol. 1, ed. Dean Zimmerman (Oxford: Oxford University Press, 2004), 47–82.

[5]                Theodore Sider, Four-Dimensionalism: An Ontology of Persistence and Time (Oxford: Oxford University Press, 2001), 11–20.

[6]                C. D. Broad, Examination of McTaggart’s Philosophy, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1938), 276–279.

[7]                Julian Barbour, The End of Time: The Next Revolution in Physics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 11–36.

[8]                Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 104–127.

[9]                Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1933), Book VII, 1029a.

[10]             Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani (Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 3, 99–115.


5.           Waktu dalam Epistemologi dan Fenomenologi

Jika ontologi mempertanyakan apa itu waktu secara real, maka epistemologi dan fenomenologi bertanya bagaimana waktu diketahui, dipahami, dan dialami oleh subjek. Pendekatan ini tidak berfokus pada keberadaan waktu dalam dirinya sendiri, melainkan pada hubungan antara waktu dan kesadaran manusia. Dalam konteks ini, waktu dipelajari bukan hanya sebagai struktur metafisik, tetapi juga sebagai bentuk pengalaman subjektif yang terwujud dalam persepsi, memori, harapan, dan tindakan.

5.1.       Waktu sebagai Struktur Kesadaran

Gagasan bahwa waktu adalah struktur kesadaran pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Immanuel Kant. Dalam Critique of Pure Reason, Kant menyatakan bahwa waktu bukanlah objek empiris yang diserap dari pengalaman, melainkan bentuk apriori dari intuisi inderawi manusia.¹ Artinya, waktu adalah kerangka bawaan dalam pikiran manusia yang memungkinkan kita mengorganisasikan rangsangan empiris secara temporal. Konsekuensinya, semua pengetahuan yang berurusan dengan perubahan, gerak, dan perurutan peristiwa selalu difilter melalui bentuk waktu dalam kesadaran.

Kant memisahkan antara waktu fenomenal, yakni waktu sebagaimana muncul dalam pengalaman, dan dunia noumenal yang tak terjangkau oleh indra dan waktu. Dengan demikian, waktu tidak bisa diklaim sebagai entitas eksternal yang independen dari pikiran, melainkan inheren dalam cara manusia mengalami dunia.²

5.2.       Intuisi Waktu dalam Fenomenologi: Husserl dan Bergson

Dalam pengembangan lebih lanjut oleh fenomenologi, waktu tidak lagi dipahami hanya sebagai bentuk apriori, tetapi juga sebagai pengalaman hidup (lebendige Erfahrung). Edmund Husserl, pendiri fenomenologi, mengembangkan teori tentang “kesadaran waktu” (Zeitbewusstsein) dalam Lectures on the Phenomenology of Internal Time-Consciousness. Ia membedakan antara tiga lapisan dalam pengalaman waktu: primal impression (kesan langsung saat ini), retention (penahanan masa lalu yang baru saja terjadi), dan protention (antisipasi masa depan yang segera datang).³

Model Husserl menunjukkan bahwa kesadaran waktu bersifat kontinu dan tidak terfragmentasi, meskipun pengalaman kita sering membaginya menjadi masa lalu, kini, dan akan datang. Waktu, dalam pengertian ini, adalah intensionalitas kesadaran yang bergerak, bukan urutan titik-titik yang statis.

Senada dengan Husserl, Henri Bergson menolak pengukuran waktu secara mekanistik. Dalam Time and Free Will, ia mengemukakan bahwa waktu sejati (durée réelle) tidak dapat direduksi ke dalam angka atau detik, melainkan dialami sebagai aliran kesadaran yang bersambung dan unik.⁴ Baginya, waktu mekanis adalah abstraksi buatan yang mengingkari pengalaman batin manusia. Konsepsi ini menjadi kritik tajam terhadap positivisme ilmiah yang mendominasi abad ke-19.

5.3.       Bahasa, Budaya, dan Konstruksi Waktu

Dalam kerangka epistemologis kontemporer, waktu juga dipahami sebagai hasil konstruksi linguistik dan budaya. Filsuf seperti Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur menekankan bahwa narasi dan bahasa memainkan peran sentral dalam bagaimana manusia memahami waktu.⁵ Konsep masa lalu dan masa depan tidak hadir dalam isolasi, melainkan melalui cerita, sejarah, dan struktur bahasa yang menandai peristiwa dalam urutan tertentu.

Lebih lanjut, studi antropologi oleh Edward T. Hall mengungkap bahwa persepsi waktu berbeda-beda di setiap budaya: ada budaya monokronik (yang melihat waktu sebagai linier dan terbagi) dan polikronik (yang melihat waktu sebagai simultan dan fleksibel).⁶ Ini membuktikan bahwa waktu tidak hanya beroperasi sebagai realitas metafisik, tetapi juga sebagai konstruksi sosial dan historis.

5.4.       Waktu dan Subjektivitas Eksistensial

Dalam pendekatan eksistensial, waktu dipandang sebagai dimensi tak terhindarkan dari keberadaan manusia. Martin Heidegger, dalam Being and Time, menunjukkan bahwa eksistensi manusia (Dasein) adalah keberadaan yang diarahkan ke masa depan (Sein-zum-Tode).⁷ Bagi Heidegger, waktu bukanlah latar belakang bagi keberadaan, tetapi struktur esensial dari Dasein itu sendiri.

Waktu eksistensial tidak netral, melainkan bersifat afektif dan penuh makna. Ketakutan akan kematian, ingatan traumatis, dan harapan akan pembebasan, semuanya adalah bentuk-bentuk temporalitas yang membentuk pemahaman manusia tentang dirinya dan dunianya.⁸ Dengan demikian, waktu dalam epistemologi dan fenomenologi bukan hanya sesuatu yang diketahui, tetapi juga dihayati dan mengubah.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A33–A46/B49–B60.

[2]                Ibid., A42/B59.

[3]                Edmund Husserl, The Phenomenology of Internal Time-Consciousness, trans. James S. Churchill (Bloomington: Indiana University Press, 1964), 35–56.

[4]                Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin, 1910), 100–135.

[5]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 3–87.

[6]                Edward T. Hall, The Dance of Life: The Other Dimension of Time (New York: Anchor Books, 1984), 15–38.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York Press, 1996), §§45–53.

[8]                Ibid., §47.


6.           Perspektif Ilmiah dan Metafisika tentang Waktu

Perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya fisika, telah memperluas dan menantang pemahaman metafisika tentang waktu. Teori-teori ilmiah tidak hanya menjelaskan cara kerja waktu dalam kerangka hukum alam, tetapi juga menghadirkan permasalahan filosofis baru terkait dengan realitas waktu. Oleh karena itu, hubungan antara fisika dan metafisika waktu menjadi penting untuk dieksplorasi, terutama dalam kaitannya dengan pemahaman ontologis dan eksistensial manusia terhadap temporalitas.

6.1.       Waktu dalam Fisika Klasik: Mutlak dan Linier

Dalam mekanika klasik Newtonian, waktu dianggap sebagai kerangka absolut dan homogen di mana segala peristiwa terjadi secara linier. Isaac Newton mendefinisikan waktu sebagai "waktu mutlak, sejati, dan matematis, yang mengalir dengan sendirinya, tanpa hubungan terhadap apa pun di luar dirinya."¹ Pandangan ini mencerminkan realisme metafisik terhadap waktu: ia ada di luar pengalaman manusia dan bersifat tetap serta universal.

Namun, pemahaman Newtonian ini mengasumsikan bahwa waktu bersifat eksternal terhadap materi dan tidak dipengaruhi oleh apa pun. Waktu, dalam kerangka ini, menjadi latar belakang statis bagi perubahan, tetapi tidak pernah berubah itu sendiri.

6.2.       Relativitas dan Ruang-Waktu: Menggugat Absolutisme Waktu

Revolusi besar terjadi pada awal abad ke-20 dengan munculnya teori relativitas khusus dan umum oleh Albert Einstein. Dalam relativitas khusus, Einstein menunjukkan bahwa waktu tidak bersifat mutlak, tetapi relatif terhadap kerangka acuan pengamat. Peristiwa yang bersamaan dalam satu kerangka acuan bisa tidak bersamaan dalam kerangka acuan lain.²

Dalam relativitas umum, waktu bahkan dapat melambat atau mempercepat tergantung pada kekuatan medan gravitasi.³ Dengan kata lain, waktu adalah bagian dari struktur empat dimensi yang disebut ruang-waktu (space-time), di mana perbedaan antara waktu dan ruang menjadi kabur.⁴ Waktu tidak lagi dianggap sebagai entitas independen, tetapi sebagai dimensi dalam sistem geometris yang dipengaruhi oleh massa dan energi.

Implikasi dari teori ini sangat radikal terhadap metafisika: waktu tidak lagi menjadi kerangka universal yang linier, melainkan dimensi variabel yang bergantung pada kondisi fisikal. Ini memberi dukungan kepada eternalisme, yakni gagasan bahwa semua momen waktu eksis secara setara di dalam “blok ruang-waktu” empat dimensi.⁵

6.3.       Arrow of Time dan Masalah Entropi

Salah satu tantangan besar dalam menyatukan perspektif ilmiah dan metafisika tentang waktu adalah masalah arah waktu (arrow of time). Secara fisikal, hukum-hukum dasar seperti mekanika Newton dan elektrodinamika Maxwell bersifat time-symmetric, artinya mereka bekerja sama baiknya maju maupun mundur dalam waktu. Namun, dalam pengalaman manusia, waktu hanya bergerak maju.

Solusi utama datang dari hukum termodinamika kedua, yang menyatakan bahwa entropi (tingkat kekacauan) dalam sistem tertutup cenderung meningkat seiring waktu.⁶ Inilah dasar ilmiah bagi panah waktu: waktu tampak maju karena entropi bertambah.

Namun, ini menimbulkan persoalan filosofis: apakah waktu benar-benar “bergerak” karena hukum fisika, ataukah arah waktu hanyalah fenomena makroskopis yang muncul dari kondisi awal kosmos yang rendah entropi?⁷ Pandangan ini menunjukkan bahwa arah waktu mungkin bersifat emergen, bukan fundamental, sehingga membuka ruang bagi interpretasi metafisika yang lebih dalam.

6.4.       Interaksi antara Waktu Ilmiah dan Waktu Eksistensial

Ketegangan antara waktu ilmiah dan waktu manusiawi menjadi salah satu perdebatan penting dalam filsafat kontemporer. Henri Bergson mengkritik reduksi waktu menjadi angka dan formula dalam fisika, karena mengabaikan dimensi kualitatif dan hidup dari pengalaman temporal.⁸

Demikian pula, Martin Heidegger menegaskan bahwa waktu dalam fisika bukanlah waktu sebagaimana dialami oleh Dasein (manusia yang sadar akan keberadaannya).⁹ Bagi Heidegger, waktu eksistensial tidak bisa dipahami hanya dalam kerangka sebab-akibat atau perhitungan; ia menyangkut makna, penghayatan, dan orientasi eksistensial terhadap masa depan dan kematian.

6.5.       Upaya Rekonsiliasi: Metafisika Fisika

Beberapa filsuf mencoba menjembatani dua pendekatan ini melalui bidang metafisika fisika, yang mencoba menafsirkan temuan ilmiah dalam kerangka metafisik yang konsisten. Misalnya, Tim Maudlin berpendapat bahwa waktu adalah bagian real dari struktur alam dan tidak bisa sepenuhnya direduksi ke model matematis.¹⁰

Sementara itu, Julian Barbour menawarkan pandangan ekstrem: bahwa waktu sesungguhnya tidak ada. Dalam The End of Time, ia menyatakan bahwa realitas terdiri dari konfigurasi-konfigurasi statis (yang ia sebut "nows"), dan persepsi perubahan hanyalah ilusi.¹¹ Pandangan ini membalikkan asumsi ontologis waktu dan menantang pemahaman eksistensial kita secara radikal.


Footnotes

[1]                Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of Natural Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman (Berkeley: University of California Press, 1999), 408–410.

[2]                Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory, trans. Robert W. Lawson (New York: Crown Publishers, 1961), 23–25.

[3]                Ibid., 75–83.

[4]                Hermann Minkowski, “Space and Time,” in The Principle of Relativity, ed. A. Sommerfeld (New York: Dover Publications, 1952), 75–91.

[5]                Theodore Sider, Four-Dimensionalism: An Ontology of Persistence and Time (Oxford: Oxford University Press, 2001), 11–20.

[6]                Roger Penrose, The Emperor’s New Mind (Oxford: Oxford University Press, 1989), 302–305.

[7]                Huw Price, Time’s Arrow and Archimedes’ Point: New Directions for the Physics of Time (Oxford: Oxford University Press, 1996), 83–101.

[8]                Henri Bergson, Duration and Simultaneity, trans. Leon Jacobson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1965), 45–67.

[9]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York Press, 1996), §§80–83.

[10]             Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 104–127.

[11]             Julian Barbour, The End of Time: The Next Revolution in Physics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 1–29.


7.           Waktu dalam Tradisi Filsafat Islam

Dalam tradisi filsafat Islam, konsep waktu tidak hanya dipandang sebagai dimensi fisikal, tetapi juga sebagai entitas metafisik yang sarat makna teologis dan eksistensial. Para filsuf dan teolog Muslim klasik secara aktif mengembangkan gagasan tentang waktu dengan mengacu pada wahyu Islam, warisan filsafat Yunani, dan pemikiran orisinal mereka sendiri. Dengan demikian, kajian waktu dalam filsafat Islam menampilkan sintesis antara rasionalisme filsafat dan keimanan religius yang khas.

7.1.       Konsep Waktu dalam Al-Qur’an dan Hadis

Al-Qur’an mengandung banyak referensi tentang waktu, menggunakan berbagai istilah seperti al-zamān, al-dahr, al-asr, al-sa‘ah, dan al-yawm. Ayat-ayat seperti “Demi masa (wa al-‘asr)” (Q.S. al-‘Asr [103] ayat 1) dan “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu” (Q.S. al-Hajj [22] ayat 47) menunjukkan bahwa waktu dalam pandangan Islam memiliki dimensi nilai, simbolik, dan relativistik

Dalam hadis, waktu sering dikaitkan dengan tanggung jawab, perubahan, dan keterbatasan. Salah satu hadis Qudsi menyatakan: “Janganlah kalian mencela waktu, karena Aku-lah waktu” (lā tasubbū al-dahr fa innī anā al-dahr), yang dipahami sebagian ulama sebagai peringatan agar tidak menyalahkan kondisi, sebab segala yang terjadi diatur oleh kehendak Allah.² Waktu dalam Islam bukan sekadar struktur perubahan, melainkan medan ujian spiritual.

7.2.       Ibnu Sina: Waktu sebagai Relasi terhadap Gerak

Dalam kerangka filsafat Peripatetik Islam, Ibnu Sina (Avicenna) mengembangkan pemikiran Aristoteles tentang waktu dalam Al-Syifā’. Ia menegaskan bahwa waktu tidak memiliki substansi tersendiri, tetapi merupakan pengukuran gerak yang terjadi dalam tubuh materi.³ Waktu adalah hasil dari perubahan dan bergantung pada urutan kejadian dalam eksistensi duniawi.

Namun, berbeda dari Aristoteles yang cenderung membatasi waktu pada gerak fisikal, Ibnu Sina menambahkan lapisan metafisika bahwa waktu memiliki signifikansi sebagai indikator keterkaitan makhluk dengan wujud, di mana gerak menjadi ekspresi aktualisasi potensi.⁴ Waktu adalah sarana manifestasi kontinuitas makhluk dalam keberadaan, bukan hanya perubahan kuantitatif.

7.3.       Al-Ghazali: Waktu sebagai Makhluk dan Kontingen

Dalam pemikiran al-Ghazali, waktu tidak dipahami sebagai entitas independen yang mengatur peristiwa, tetapi sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Allah bersama dengan makhluk-makhluk lainnya. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia mengkritik pandangan para filsuf yang menganggap bahwa waktu dan gerak bersifat niscaya secara logis dan metafisik.⁵

Bagi al-Ghazali, waktu adalah kontingen: ia ada karena dikehendaki oleh Sang Pencipta dan tidak memiliki keberadaan independen. Pendekatan ini menegaskan teisme radikal dalam Islam: bahwa Allah tidak tunduk pada waktu, melainkan waktu tunduk pada kehendak-Nya. Oleh karena itu, konsep waktu dalam teologi Islam bukan hanya metafisik, tetapi juga teologis dan etis.

7.4.       Suhrawardi: Simbolisme Waktu dan Cahaya

Dalam tradisi filsafat iluminasi (hikmah isyraqiyyah), Suhrawardi melihat waktu sebagai bagian dari struktur simbolik realitas yang tersusun atas hirarki cahaya. Meskipun tidak menyusun teori waktu secara sistematis seperti Ibnu Sina, Suhrawardi menekankan bahwa pengalaman waktu berkaitan erat dengan tingkatan eksistensi dan persepsi spiritual.⁶ Waktu menjadi sarana bagi penyaksian (mushāhadah) atas transformasi batin, bukan sekadar perubahan materi.

Dalam pendekatan ini, waktu tidak diukur dengan jam atau peristiwa, melainkan dengan intensitas cahaya spiritual dalam perjalanan manusia menuju kebenaran hakiki.⁷ Ini memberikan pendekatan mistik terhadap waktu sebagai dimensi batin dari eksistensi.

7.5.       Mulla Sadra: Waktu sebagai Wujud Eksistensial

Kontribusi paling mendalam dalam kajian waktu dalam filsafat Islam datang dari Mulla Sadra (1571–1640), tokoh utama hikmah muta‘āliyah. Ia mengembangkan konsep gerak substansial (al-ḥarakat al-jawhariyyah) yang menyatakan bahwa seluruh eksistensi bersifat dinamis dan berubah secara esensial.⁸

Mulla Sadra memperkenalkan gagasan tentang waktu eksistensial (al-zamān al-wujūdī), yakni bahwa waktu bukan kerangka eksternal bagi makhluk, melainkan dimensi dari wujud itu sendiri.⁹ Menurutnya, waktu adalah intensifikasi keberadaan—setiap entitas memiliki waktu karena ia memiliki wujud yang terus berkembang. Dengan demikian, waktu adalah dimensi eksistensial dari perjalanan ontologis makhluk menuju kesempurnaan.


Footnotes

[1]                M. A. S. Abdel Haleem, The Qur’an: A New Translation (Oxford: Oxford University Press, 2005), Q.S. al-Asr [103]:1; al-Hajj [22]:47.

[2]                Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Tafsīr, Hadis no. 4826.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour et al. (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1952), vol. 1, 224–230.

[4]                Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 135–137.

[5]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Sabih Ahmad Kamali as The Incoherence of the Philosophers (Lahore: Pakistan Philosophical Congress, 1958), 85–92.

[6]                Suhrawardi, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Iran University Press, 1993), 192–204.

[7]                Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Delmar: Caravan Books, 1976), 84–86.

[8]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani (Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 3, 100–115.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 201–205.


8.           Implikasi Teologis dan Eksistensial

Pembahasan tentang waktu tidak hanya berdimensi metafisik dan epistemologis, tetapi juga memiliki implikasi yang dalam bagi teologi dan eksistensi manusia. Dalam kerangka teologis, waktu berkaitan dengan konsep keabadian Tuhan, takdir, dan kekekalan makhluk. Sementara dalam dimensi eksistensial, waktu menjadi arena pergulatan makna hidup, kesementaraan, dan orientasi moral manusia terhadap masa lalu, kini, dan masa depan.

8.1.       Waktu dan Keabadian Tuhan

Dalam semua tradisi teistik besar, termasuk Islam, Tuhan dipahami sebagai entitas transenden terhadap waktu. Dalam teologi klasik, Allah dipandang tidak berubah (immutable) dan di luar batas temporal.⁽¹⁾ Seperti dinyatakan oleh Boethius, keabadian Tuhan berarti “kehadiran serentak dari seluruh hidup tanpa batas” (tota simul et perfecta possessio vitae).⁽²⁾

Dalam tradisi Islam, teologi Ahlus Sunnah menegaskan bahwa Allah tidak terikat oleh waktu karena waktu adalah ciptaan-Nya.⁽³⁾ Argumentasi ini diperkuat oleh pernyataan dalam Q.S. Al-Hadid [57] ayat 3: “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin.” Ayat ini menunjukkan bahwa eksistensi Allah melampaui batas temporal makhluk.

Dengan demikian, waktu bersifat kontingen, sedangkan Tuhan bersifat niscaya. Perbedaan ini menjadi dasar bagi banyak argumen tentang kebergantungan makhluk terhadap Sang Pencipta dan penolakan terhadap paham-paham panteistik yang menyamakan Tuhan dengan proses alamiah yang berlangsung dalam waktu.

8.2.       Takdir, Kehendak Bebas, dan Waktu

Masalah takdir dan kehendak bebas adalah salah satu implikasi utama dari cara memahami waktu. Jika semua momen waktu—masa lalu, kini, dan masa depan—telah “ada” dalam blok ruang-waktu (sebagaimana dinyatakan oleh eternalism), maka muncul persoalan: apakah manusia sungguh memiliki kebebasan?

Filsuf Muslim seperti Al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menegaskan bahwa ilmu Allah terhadap masa depan tidak meniadakan kebebasan manusia, karena pengetahuan ilahi tidak bersifat kausal.⁽⁴⁾ Dengan kata lain, Allah mengetahui apa yang akan terjadi karena semua waktu hadir serentak dalam ilmu-Nya, namun manusia tetap bertindak berdasarkan pilihan. Hal ini memberikan jalan tengah antara determinisme ekstrem dan libertarianisme bebas nilai.

Pandangan ini menyiratkan bahwa waktu manusia adalah waktu ujian, sedangkan waktu Tuhan adalah waktu pengamatan total. Ini memberikan justifikasi teologis bagi moralitas, pertanggungjawaban, dan makna kehidupan.

8.3.       Kesementaraan dan Makna Hidup

Dalam tradisi eksistensial, kesadaran akan waktu yang terbatas (finitude) adalah dasar dari pengalaman keberadaan yang otentik. Martin Heidegger menekankan bahwa manusia (Dasein) adalah makhluk yang “terlempar ke dalam waktu” dan diarahkan menuju kematian sebagai akhir temporalitasnya.⁽⁵⁾ Kesadaran akan kefanaan inilah yang memicu pencarian makna.

Sementara itu, dalam pemikiran Mulla Sadra, waktu bukan hanya wadah perubahan, tetapi juga sarana eksistensial menuju kesempurnaan.⁽⁶⁾ Setiap makhluk bergerak secara ontologis dalam waktu menuju puncak eksistensinya. Maka, hidup manusia bukan hanya urutan peristiwa, tetapi proses aktualisasi jiwa dalam kerangka waktu sebagai ruang spiritual.

Dalam Al-Qur’an, waktu sering digunakan sebagai simbol urgensi etis: “Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian” (Q.S. al-‘Asr [103] ayat 1–2), yang menunjukkan bahwa waktu adalah modal keberadaan, dan bagaimana ia digunakan menentukan nasib manusia.⁽⁷⁾

8.4.       Akhir Waktu dan Eskatologi

Implikasi teologis dari waktu juga menyentuh pada doktrin akhir zaman (eskatologi). Dalam hampir semua agama besar, terdapat keyakinan bahwa waktu linear ini akan mencapai akhirnya, yang ditandai dengan kiamat dan penghakiman.

Dalam Islam, konsep al-sa‘ah (hari kiamat) menandai akhir dari waktu sejarah, sekaligus permulaan dari keabadian eskatologis di akhirat.⁽⁸⁾ Ini menciptakan kesadaran bahwa waktu sekarang adalah pra-kondisi bagi dimensi eksistensi selanjutnya. Maka waktu tidak hanya bersifat horizontal (duniawi), tetapi juga vertikal (transendental).


Footnotes

[1]                William Lane Craig, Time and Eternity: Exploring God's Relationship to Time (Wheaton, IL: Crossway, 2001), 32–36.

[2]                Boethius, The Consolation of Philosophy, trans. V. E. Watts (London: Penguin Books, 1999), Book V, Prose 6.

[3]                Al-Taftazani, Sharḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, ed. M. Zāhid al-Kawtharī (Beirut: Dār al-Nafā’is, 1998), 59.

[4]                Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Cairo: Dar al-Hadith, n.d.), 267–270; Fakhruddin al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb, tafsir Q.S. al-Baqarah [2]:256.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York Press, 1996), §§45–53.

[6]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani (Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 3, 99–110.

[7]                Abdel Haleem, M. A. S., The Qur’an: A New Translation (Oxford: Oxford University Press, 2005), Q.S. al-‘Asr [103]:1–2.

[8]                Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2000), 319–325.


9.           Kritik dan Perkembangan Kontemporer

Kajian filosofis tentang waktu telah mengalami perkembangan yang signifikan di era kontemporer. Selain dilanjutkan dalam tradisi metafisika klasik, waktu juga dikaji secara kritis dalam konteks filsafat analitik, filsafat kontinental, dan pendekatan interdisipliner seperti fisika teoretis, linguistik, psikologi, dan ilmu kognitif. Perkembangan ini melahirkan berbagai kritik terhadap pandangan-pandangan tradisional, serta menawarkan pendekatan-pendekatan baru yang lebih pluralistik dan empiris terhadap konsep waktu.

9.1.       Kritik terhadap Metafisika Tradisional: Waktu sebagai Ilusi?

Salah satu kritik paling radikal terhadap konsep waktu datang dari J. M. E. McTaggart, yang dalam esainya “The Unreality of Time” menyatakan bahwa waktu itu tidak nyata karena mengandung kontradiksi logis dalam struktur A-series (masa lalu, kini, dan masa depan).¹ Pandangan ini menantang validitas ontologis waktu dan mengusulkan bahwa persepsi waktu hanya merupakan konstruksi mental yang tidak mencerminkan realitas sejati.

Namun, banyak filsuf menolak kesimpulan McTaggart, dengan menyatakan bahwa meskipun struktur A-series memang problematik secara logika, tetapi pengalaman akan waktu tetap otentik secara fenomenologis dan eksistensial.² Dengan demikian, kritik ini tidak membatalkan realitas waktu secara absolut, tetapi mendorong reinterpretasi kerangka metafisiknya.

9.2.       Pendekatan Analitik: Realisme Temporal dan Perdebatan A/B-Series

Dalam ranah filsafat analitik, perdebatan antara realisme dan anti-realisme temporal terus berlanjut. Theodore Sider dalam Four-Dimensionalism mendukung eternalisme, yang menganggap bahwa semua momen waktu eksis secara setara dalam ruang-waktu empat dimensi, dengan waktu sebagai dimensi serupa ruang.³ Sebaliknya, Dean Zimmerman dan Ned Markosian membela presentisme, yakni bahwa hanya masa kini yang nyata.⁴

Debat ini menyoroti bahwa tidak ada konsensus universal tentang ontologi waktu, bahkan dalam filsafat rasionalis modern. Perbedaan tersebut memperlihatkan bahwa waktu tidak bisa dipahami hanya melalui pendekatan logis-formal, tetapi juga harus mempertimbangkan pengalaman, eksistensi, dan konteks ilmiah.

9.3.       Fenomenologi dan Hermeneutika: Waktu sebagai Kehidupan yang Dihayati

Filsuf kontinental seperti Paul Ricoeur dan Hans-Georg Gadamer mengkritik reduksi waktu ke dalam istilah matematis atau logis semata. Mereka menekankan bahwa waktu harus dipahami dalam konteks narasi, sejarah, dan bahasa. Ricoeur dalam Time and Narrative mengembangkan ide bahwa waktu menjadi dapat dipahami oleh manusia melalui struktur cerita, yang mengintegrasikan dimensi masa lalu, kini, dan masa depan dalam suatu kerangka makna.⁵

Demikian pula, dalam hermeneutika Gadamer, waktu adalah dimensi historis dari pemahaman, karena setiap penafsiran terjadi dalam horizon waktu tertentu yang membentuk pemaknaan kita atas teks dan realitas.⁶

9.4.       Interdisipliner: Kognisi, Linguistik, dan Antropologi

Penelitian kontemporer juga mengaitkan waktu dengan struktur kognitif dan bahasa. Studi oleh George Lakoff dan Mark Johnson menunjukkan bahwa cara manusia berbicara tentang waktu (misalnya, “waktu berjalan,” “kita melewati waktu”) sangat dipengaruhi oleh metafora konseptual yang tertanam dalam budaya dan bahasa.⁷ Ini menyiratkan bahwa pemahaman tentang waktu bukan hanya masalah filsafat atau fisika, tetapi juga hasil konstruksi kognitif dan sosial.

Antropolog seperti Edward T. Hall membedakan antara budaya monokronik (yang mempersepsikan waktu secara linier dan terjadwal) dan polikronik (yang memandang waktu sebagai fleksibel dan simultan).⁸ Ini menunjukkan bahwa persepsi dan penggunaan waktu sangat bergantung pada konteks budaya, yang menantang universalisme dari sebagian teori metafisika tradisional.

9.5.       Pandangan Postmodern dan Dekonstruktif

Dalam pendekatan postmodern, waktu tidak dilihat sebagai sesuatu yang stabil, mutlak, atau objektif. Jacques Derrida, misalnya, mengembangkan gagasan différance, yang menyatakan bahwa makna selalu tertunda dalam waktu dan tidak pernah hadir sepenuhnya.⁹ Ini mengimplikasikan bahwa waktu tidak pernah benar-benar bisa “dihadapi” secara utuh, karena ia selalu bersifat mediasi dan penundaan.

Dalam kerangka ini, waktu dipahami sebagai ketidakhadiran yang hadir, sebagai “ruang ketegangan” yang menyimpan kemungkinan-kemungkinan tanpa finalitas. Perspektif ini mengkritik narasi besar (grand narratives) dan struktur linier dari waktu sejarah, yang dianggap menindas pluralitas dan ambiguitas eksistensial.


Footnotes

[1]                J. M. E. McTaggart, “The Unreality of Time,” Mind 17, no. 68 (1908): 457–474.

[2]                Robin Le Poidevin and Murray MacBeath, eds., The Philosophy of Time (Oxford: Oxford University Press, 1993), 25–40.

[3]                Theodore Sider, Four-Dimensionalism: An Ontology of Persistence and Time (Oxford: Oxford University Press, 2001), 1–30.

[4]                Ned Markosian, “A Defense of Presentism,” in Oxford Studies in Metaphysics, vol. 1, ed. Dean Zimmerman (Oxford: Oxford University Press, 2004), 47–82.

[5]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 3–87.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 276–301.

[7]                George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 41–58.

[8]                Edward T. Hall, The Dance of Life: The Other Dimension of Time (New York: Anchor Books, 1984), 15–38.

[9]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–27.


10.       Simpulan dan Refleksi Filosofis

Kajian tentang waktu dalam metafisika tidak hanya membuka pemahaman mendalam tentang struktur realitas, tetapi juga mengantarkan pada refleksi eksistensial dan spiritual yang menyentuh inti keberadaan manusia. Sebagai salah satu konsep fundamental dalam pemikiran filsafat, waktu terbukti tidak tunggal secara makna, melainkan multivalen—mengandung dimensi ontologis, epistemologis, dan teologis yang saling bersinggungan dan memperkaya.

10.1.    Kesimpulan Umum

Secara ontologis, waktu telah didebatkan sebagai entitas yang bersifat absolut (Newton), relasional (Leibniz), dan bahkan ilusi (McTaggart).¹ Perdebatan antara presentisme, eternalisme, dan growing block theory menunjukkan bahwa tak ada konsensus final dalam memahami status realitas waktu.² Dalam filsafat Islam, tokoh seperti Mulla Sadra menunjukkan bahwa waktu bukanlah sekadar struktur eksternal, tetapi bagian dari intensifikasi eksistensial makhluk yang bergerak secara substansial menuju kesempurnaan.³

Secara epistemologis, waktu dipahami bukan semata sebagai objek pengamatan ilmiah, tetapi sebagai struktur kesadaran, sebagaimana dijelaskan oleh Immanuel Kant dan dikembangkan lebih jauh oleh Husserl dan Bergson dalam ranah fenomenologi.⁴ Waktu adalah sesuatu yang dialami dan diciptakan oleh kesadaran dalam keterhubungan antara memori, pengalaman kini, dan antisipasi masa depan.

Dari perspektif teologis, waktu menegaskan keterbatasan manusia dan kemahakuasaan Tuhan. Dalam teologi Islam, waktu adalah makhluk yang tunduk pada kehendak Allah, sedangkan Tuhan berada di luar dan melampaui waktu.⁵ Kesadaran akan keterbatasan waktu mendorong manusia untuk hidup penuh kesadaran etis dan spiritual.

10.2.    Refleksi Filosofis

Refleksi filosofis terhadap waktu memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang makna hidup, perubahan, keberlanjutan, dan kematian. Waktu tidak hanya menjadi kerangka kronologis bagi kejadian, tetapi juga wadah pengalaman eksistensial manusia: dari kelahiran, pertumbuhan, hingga kematian. Sebagaimana dikemukakan oleh Heidegger, waktu adalah struktur esensial dari Dasein, yang menyadari bahwa keberadaannya ditentukan oleh keterarahan ke masa depan dan kefanaan.⁶

Dalam kerangka ini, waktu menjadi sumber otentisitas eksistensial—kesadaran bahwa setiap momen yang berlalu adalah kesempatan yang tak tergantikan. Kesementaraan waktu justru memberi makna pada hidup: bukan karena waktu tak terbatas, tetapi karena ia terbatas, maka setiap detiknya bernilai.⁷

Refleksi spiritual terhadap waktu juga mendorong manusia untuk melihat hidup sebagai proses mendekat kepada kesempurnaan, bukan sekadar rangkaian kejadian. Dalam pendekatan filsafat Islam, waktu adalah medan bagi tajalli (penampakan ilahi) dan pengaktualan potensi ruhani manusia.⁸ Ini menempatkan waktu dalam dimensi transendental—ia bukan hanya lintasan menuju akhir, tetapi juga jalan menuju makna abadi.

10.3.    Implikasi Masa Kini dan Masa Depan

Di era modern yang ditandai dengan percepatan waktu (acceleration) dan tekanan efisiensi, manusia justru menghadapi krisis makna waktu.⁹ Segalanya bergerak cepat, namun kehilangan kedalaman. Oleh karena itu, filsafat waktu menjadi semakin relevan, bukan hanya untuk memahami realitas fisik atau metafisik, tetapi juga untuk menata kembali relasi manusia dengan waktu, agar ia tidak terjebak dalam kejaran produktivitas tanpa tujuan eksistensial.

Filsafat waktu mendorong kita untuk memaknai waktu bukan sekadar alat ukur, tetapi sebagai panggilan untuk kesadaran, pertobatan, dan transendensi. Di tengah ketidakpastian dunia modern, pemahaman mendalam tentang waktu menawarkan orientasi yang bermakna bagi kehidupan manusia—sebagai makhluk temporal yang mendambakan keabadian.


Footnotes

[1]                J. M. E. McTaggart, “The Unreality of Time,” Mind 17, no. 68 (1908): 457–474.

[2]                Ned Markosian, “Time,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2016 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/time/.

[3]                Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, ed. Jalal al-Din Ashtiyani (Tehran: Dar al-Fikr, 1981), vol. 3, 100–115.

[4]                Edmund Husserl, The Phenomenology of Internal Time-Consciousness, trans. James S. Churchill (Bloomington: Indiana University Press, 1964), 45–56; Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin, 1910), 100–130.

[5]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Sabih Ahmad Kamali (Lahore: Pakistan Philosophical Congress, 1958), 85–92.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (Albany: State University of New York Press, 1996), §§45–53.

[7]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 124–128.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 209–218.

[9]                Hartmut Rosa, Social Acceleration: A New Theory of Modernity, trans. Jonathan Trejo-Mathys (New York: Columbia University Press, 2013), 25–55.


Daftar Pustaka

Abdel Haleem, M. A. S. (2005). The Qur’an: A new translation. Oxford University Press.

Al-Ghazali. (1958). The incoherence of the philosophers (S. A. Kamali, Trans.). Pakistan Philosophical Congress. (Original work: Tahāfut al-Falāsifah)

Al-Ghazali. (n.d.). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Vol. 4). Dar al-Hadith.

Al-Taftazani. (1998). Sharḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah (M. Z. al-Kawtharī, Ed.). Dār al-Nafā’is.

Aristotle. (1984). Physics (R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). In J. Barnes (Ed.), The complete works of Aristotle (Vol. 1). Princeton University Press.

Aristotle. (1933). Metaphysics (H. Tredennick, Trans.). Harvard University Press.

Barbour, J. (1999). The end of time: The next revolution in physics. Oxford University Press.

Bergson, H. (1910). Time and free will: An essay on the immediate data of consciousness (F. L. Pogson, Trans.). George Allen & Unwin.

Bergson, H. (1965). Duration and simultaneity (L. Jacobson, Trans.). Bobbs-Merrill.

Boethius. (1999). The consolation of philosophy (V. E. Watts, Trans.). Penguin Books.

Broad, C. D. (1938). Examination of McTaggart’s philosophy (Vol. 1). Cambridge University Press.

Craig, W. L. (2001). Time and eternity: Exploring God's relationship to time. Crossway Books.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Einstein, A. (1961). Relativity: The special and general theory (R. W. Lawson, Trans.). Crown Publishers.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Brill.

Hall, E. T. (1984). The dance of life: The other dimension of time. Anchor Books.

Hartmut, R. (2013). Social acceleration: A new theory of modernity (J. Trejo-Mathys, Trans.). Columbia University Press.

Heidegger, M. (1996). Being and time (J. Stambaugh, Trans.). State University of New York Press.

Husserl, E. (1964). The phenomenology of internal time-consciousness (J. S. Churchill, Trans.). Indiana University Press.

Ibn Sina. (1952). Al-Shifa’ (I. Madkour et al., Eds.). Al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mullā Ṣadrā on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. University of Chicago Press.

Le Poidevin, R., & MacBeath, M. (Eds.). (1993). The philosophy of time. Oxford University Press.

Maudlin, T. (2007). The metaphysics within physics. Oxford University Press.

McTaggart, J. M. E. (1908). The unreality of time. Mind, 17(68), 457–474.

Minkowski, H. (1952). Space and time. In A. Sommerfeld (Ed.), The principle of relativity (pp. 75–91). Dover Publications.

Nasr, S. H. (1976). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Caravan Books.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Newton, I. (1999). The Principia: Mathematical principles of natural philosophy (I. B. Cohen & A. Whitman, Trans.). University of California Press.

Penrose, R. (1989). The emperor’s new mind: Concerning computers, minds, and the laws of physics. Oxford University Press.

Plato. (1997). Timaeus (D. J. Zeyl, Trans.). In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works (pp. 1224–1291). Hackett Publishing.

Price, H. (1996). Time’s arrow and Archimedes’ point: New directions for the physics of time. Oxford University Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol. 1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Sadra, M. (1981). Al-Asfar al-Arba‘ah (J. A. Ashtiyani, Ed.). Dar al-Fikr.

Shihab, M. Q. (2000). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir maudhu‘i atas pelbagai persoalan umat. Mizan.

Sider, T. (2001). Four-dimensionalism: An ontology of persistence and time. Oxford University Press.

Suhrawardi. (1993). Ḥikmat al-Ishrāq (H. Corbin, Ed.). Iran University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Zimmerman, D. W. (2004). The A-theory of time, presentism, and open future. In D. Zimmerman (Ed.), Oxford studies in metaphysics (Vol. 1, pp. 211–237). Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar