Kajian Ontologi Sains
Sebuah Kajian Ontologis terhadap Entitas dan Hukum
dalam Sains
Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian mendalam mengenai
aspek ontologis dalam filsafat sains, dengan fokus utama pada status realitas
dari entitas ilmiah dan hukum-hukum alam. Melalui telaah historis, konseptual,
dan komparatif, artikel ini mengeksplorasi perdebatan antara realisme dan
anti-realisme, serta menganalisis pendekatan kontemporer seperti realisme struktural,
realisme eksperimental, dan ontologi naturalistik. Studi perbandingan antara
fisika, biologi, dan psikologi menunjukkan bahwa ontologi sains bersifat
domain-spesifik dan tidak dapat diseragamkan. Selain itu, kritik dari sejarah
sains, konstruktivisme sosial, filsafat bahasa, dan postmodernisme menyoroti
keterbatasan pendekatan ontologis tradisional, sekaligus mendorong perlunya
refleksi konseptual yang lebih kontekstual dan terbuka. Artikel ini
menyimpulkan bahwa ontologi sains tetap relevan sebagai kerangka filosofis
untuk memahami fondasi metafisik dari praktik ilmiah, namun harus dijalankan
dengan kesadaran historis, epistemologis, dan sosial yang memadai.
Kata Kunci: Ontologi sains; realisme ilmiah; anti-realisme;
entitas ilmiah; hukum alam; teori ilmiah; realisme struktural; konstruktivisme
sosial; pluralisme ontologis; filsafat sains.
PEMBAHASAN
Kajian Ontologi dalam Ilmu Pengetahuan (Sains)
1.
Pendahuluan
Sejak awal perkembangan ilmu pengetahuan modern,
pertanyaan mengenai apa yang benar-benar "ada" dalam dunia ilmiah
telah menjadi isu fundamental dalam filsafat sains. Pertanyaan-pertanyaan
seperti "Apakah elektron benar-benar ada?", "Apakah
medan gravitasi merupakan entitas nyata?", dan "Apakah hukum
Newton merupakan hukum alam yang objektif atau hanya model idealisasi
manusia?" mengarah pada wilayah kajian ontologis dalam sains. Ontologi
sains sebagai cabang dari filsafat sains memusatkan perhatian pada status
metafisik dari entitas ilmiah dan struktur hukum yang diklaim oleh teori-teori
ilmiah.
Perkembangan teori ilmiah sejak era mekanika klasik
hingga fisika kuantum dan relativitas telah memperkaya sekaligus mengguncang
asumsi ontologis kita. Misalnya, dalam mekanika Newtonian, dunia dianggap
tersusun atas partikel-partikel materi yang bergerak dalam ruang dan waktu yang
absolut. Namun, dengan munculnya teori relativitas Einstein dan fisika kuantum,
konsep ruang, waktu, dan materi mengalami redefinisi yang mendalam, sehingga status
ontologis dari entitas seperti medan, gaya, bahkan partikel itu sendiri menjadi
problematis¹. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah teori ilmiah menggambarkan
realitas secara objektif, ataukah hanya menyajikan model fungsional untuk
memprediksi fenomena?
Dua kutub utama dalam debat ontologi sains adalah realisme
ilmiah dan anti-realisme. Kaum realis berpendapat bahwa teori ilmiah
yang sukses secara empirik kemungkinan besar benar dan menggambarkan realitas
secara akurat, termasuk entitas yang tidak dapat diamati seperti elektron atau
gelombang elektromagnetik². Sebaliknya, kaum anti-realis, seperti Bas van
Fraassen, berpandangan bahwa keberhasilan teori tidak menjamin kebenaran
ontologisnya, dan bahwa teori hanya perlu “sesuai dengan fenomena” (empirical
adequacy) tanpa mengklaim kebenaran metafisik³.
Di tengah perdebatan ini, muncul pula
pendekatan-pendekatan baru seperti realisme struktural, yang mencoba
mempertahankan keyakinan terhadap struktur relasi yang diungkap teori-teori
ilmiah tanpa mengikatkan diri pada realitas dari entitas individual⁴.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa ontologi sains bukanlah soal kepercayaan
buta atau skeptisisme penuh, melainkan refleksi kritis terhadap bagaimana
pengetahuan ilmiah dikonstruksi, dimodelkan, dan dipahami secara filosofis.
Kajian ontologis terhadap sains menjadi semakin
penting di era sains kontemporer, ketika model-model ilmiah yang kompleks
dan abstrak (seperti model Higgs boson atau medan kuantum) semakin jauh
dari pengalaman langsung manusia, namun memiliki pengaruh besar terhadap
kebijakan, teknologi, dan cara kita memahami dunia. Oleh karena itu, tulisan
ini bertujuan untuk menelaah secara sistematis permasalahan ontologis dalam
sains, khususnya menyangkut eksistensi entitas ilmiah dan status
realitas hukum-hukum alam, dengan menghadirkan pandangan-pandangan kunci
dan pendekatan filosofis yang berkembang hingga saat ini.
Footnotes
[1]
Steven French dan James Ladyman, Remodelling
Structural Realism: Quantum Physics and the Metaphysics of Structure
(Synthese Library, Vol. 294. Dordrecht: Springer, 2003), 3–6.
[2]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 4–7.
[3]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–16.
[4]
James Ladyman, Everything Must Go: Metaphysics
Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 125–130.
2.
Ontologi:
Sebuah Pengantar Filosofis
Dalam ranah filsafat, ontologi merupakan
salah satu cabang utama yang mengkaji hakikat keberadaan (being) dan struktur
realitas. Istilah ini berakar dari bahasa Yunani, ontos (ada) dan logos
(kajian atau wacana), yang secara etimologis merujuk pada “ilmu tentang yang
ada”¹. Ontologi tidak sekadar menanyakan apa yang ada, tetapi juga
bagaimana sesuatu itu ada, dan dalam bentuk apa eksistensinya dapat dipahami.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah hanya benda konkret yang benar-benar
ada?”, “Apakah sifat dan relasi juga memiliki status ontologis?”,
atau “Bagaimana kita membedakan entitas nyata dari fiksi teoretis?”
merupakan contoh problematika ontologis yang mendalam.
Ontologi sering dibedakan ke dalam dua bentuk
besar: ontologi metafisik dan ontologi ilmiah (scientific ontology).
Ontologi metafisik mencoba menyusun klasifikasi umum dari segala yang
ada, termasuk konsep-konsep seperti substansi, kualitas, kuantitas, dan relasi.
Ia bersifat abstrak dan spekulatif, seringkali berkaitan dengan upaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hakikat kenyataan secara universal². Di
sisi lain, ontologi ilmiah lebih terfokus pada entitas dan struktur
yang diasumsikan oleh ilmu pengetahuan—baik dalam bentuk teori, hukum,
maupun model-model ilmiah—dan sejauh mana entitas tersebut dapat dianggap
sebagai bagian dari realitas.
Perkembangan filsafat analitik pada abad ke-20
telah menempatkan ontologi dalam posisi yang lebih formal dan sistematis.
Misalnya, Willard Van Orman Quine berargumen bahwa komitmen ontologis
suatu teori dapat ditentukan melalui bentuk logis dari kalimat-kalimat yang
diperlukan teori itu untuk menjelaskan fenomena empiris³. Dengan demikian,
pertanyaan “apa yang ada” harus direspon berdasarkan apa yang harus
diasumsikan secara ontologis agar teori ilmiah bekerja secara konsisten.
Quine menegaskan bahwa komitmen ontologis tidak bisa dihindari dalam praktik
ilmiah, karena setiap teori membawa asumsi tentang entitas yang harus ada agar
teori tersebut masuk akal⁴.
Lebih lanjut, diskusi ontologi juga mencakup bagaimana
bahasa mempengaruhi realitas yang kita bangun secara konseptual. Dalam
pandangan ontologi berbasis bahasa, seperti yang dikembangkan oleh
tokoh-tokoh seperti Peter Strawson, struktur ontologis dunia tidak bisa
dilepaskan dari struktur bahasa dan konsep-konsep dasar yang digunakan oleh
manusia untuk memahaminya⁵. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa pembahasan
tentang "apa yang ada" tidak selalu bebas nilai atau netral,
melainkan dipengaruhi oleh kerangka linguistik dan budaya yang melatarinya.
Dengan demikian, kajian ontologi tidak hanya
menjadi pilar penting dalam filsafat secara umum, tetapi juga menyediakan kerangka
konseptual bagi filsafat sains. Di sinilah ontologi berinteraksi erat
dengan epistemologi dan metodologi ilmiah: ontologi bertanya tentang apa yang
ada, epistemologi tentang bagaimana kita mengetahuinya, dan metodologi tentang
bagaimana kita menyelidikinya secara sistematis. Tanpa dasar ontologis yang
jelas, pemahaman kita terhadap realitas ilmiah menjadi rentan terhadap
relativisme dan spekulasi bebas.
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, “Empiricism, Semantics, and
Ontology,” Revue Internationale de Philosophie 4, no. 11 (1950): 20.
[2]
E. J. Lowe, The Possibility of Metaphysics:
Substance, Identity and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 5–8.
[3]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a
Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953),
1–19.
[4]
W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge,
MA: MIT Press, 1960), 10–13.
[5]
P.F. Strawson, Individuals: An Essay in
Descriptive Metaphysics (London: Methuen, 1959), 9–11.
3.
Ontologi
dalam Sains: Fokus dan Pertanyaan Kunci
Dalam konteks filsafat ilmu, ontologi sains
mengkaji apa yang diasumsikan ada oleh teori-teori ilmiah, dan dalam
bentuk apa eksistensi itu dipahami. Ia bergerak dari pertanyaan filosofis
yang lebih umum tentang “apa yang ada” menuju fokus yang lebih spesifik:
apakah entitas yang dikemukakan oleh sains seperti elektron, medan
gravitasi, atau gen benar-benar ada secara objektif, ataukah hanya
merupakan konstruksi teoritis yang berguna secara praktis tetapi tidak
merepresentasikan realitas secara langsung?
Ontologi sains berkaitan erat dengan komitmen
ontologis dari teori ilmiah. Ketika fisika modern, misalnya, berbicara
tentang partikel subatomik seperti quark atau boson Higgs, maka muncul
pertanyaan ontologis: apakah entitas tersebut benar-benar ada di alam,
ataukah hanya merupakan alat konseptual untuk mempermudah kalkulasi dan
prediksi? Menurut Quine, pertanyaan seperti ini penting karena “to
be is to be the value of a variable”, yang berarti bahwa keberadaan
suatu entitas dapat dipahami melalui peran yang dimainkan dalam struktur logis
teori yang memuatnya¹.
Lebih dari sekadar katalog entitas, ontologi sains
juga mempertanyakan bagaimana struktur realitas ditangkap oleh teori ilmiah.
Apakah teori-teori itu menggambarkan realitas atau hanya merepresentasikan
fenomena melalui model-model buatan manusia? Di sinilah muncul perbedaan
mendasar antara pendekatan realis, yang memandang teori sebagai upaya
mendekati kebenaran ontologis dunia, dan pendekatan anti-realis, yang
lebih menekankan fungsi pragmatis teori dalam memprediksi dan mengontrol
gejala².
Pertanyaan-pertanyaan kunci dalam ontologi sains
mencakup:
·
Apakah entitas ilmiah yang tak teramati (unobservables) seperti elektron
atau medan kuantum benar-benar ada?
·
Apa status ontologis hukum-hukum alam—apakah mereka “ada” sebagai
entitas metafisik, atau hanya generalisasi dari observasi?
·
Apakah teori ilmiah mencerminkan struktur realitas secara objektif, atau
sekadar membangun narasi yang fungsional dalam kerangka budaya dan bahasa
tertentu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong munculnya
berbagai posisi filosofis, salah satunya realisme struktural. Pendekatan
ini menyatakan bahwa walaupun kita tidak dapat mengetahui hakikat terdalam dari
entitas individu, kita masih dapat mengenali struktur relasional antara entitas
tersebut yang diungkap oleh teori ilmiah³. Ini merupakan upaya untuk
mempertahankan komitmen terhadap “realitas ilmiah” tanpa jatuh pada
klaim metafisika yang terlalu spekulatif.
Dalam praktiknya, sains tidak dapat menghindari
pertimbangan ontologis. Sebuah teori yang menggambarkan elektron sebagai
entitas bermassa dan bermuatan bukan sekadar menyusun model matematis, tetapi
juga menyiratkan bentuk eksistensi tertentu dari objek itu dalam dunia nyata.
Bahkan dalam ilmu-ilmu yang lebih empiris seperti biologi atau psikologi,
konsep seperti spesies, kesadaran, atau mekanisme evolusi menimbulkan
pertanyaan tentang batas-batas dan legitimasi ontologis dari apa yang
disebut “realitas ilmiah”.
Dengan demikian, ontologi sains membuka diskursus
filosofis yang menantang kita untuk menelaah lebih dalam struktur realitas
yang diasumsikan oleh sains modern, serta memperjelas hubungan antara
teori, model, dan kenyataan. Hal ini menjadi penting, tidak hanya bagi filsuf,
tetapi juga bagi ilmuwan, pendidik, dan publik luas yang bergantung pada sains
sebagai bentuk otoritas pengetahuan.
Footnotes
[1]
W.V.O. Quine, From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 13–15.
[2]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 8–10.
[3]
James Ladyman, Don Ross, et al., Every Thing
Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007),
130–134.
4.
Realisme
vs Anti-Realisme dalam Sains
Salah satu perdebatan paling mendasar dalam ontologi
sains adalah antara realisme ilmiah dan anti-realisme. Perdebatan
ini tidak hanya menyangkut status metafisik dari entitas ilmiah, tetapi juga
melibatkan klaim epistemologis mengenai kebenaran teori-teori sains. Di satu
sisi, realisme ilmiah mempertahankan bahwa teori-teori ilmiah yang
sukses memberikan representasi akurat tentang struktur dunia, termasuk entitas
yang tidak teramati seperti elektron, quark, atau medan gravitasi. Di sisi
lain, anti-realisme—dalam berbagai bentuknya seperti instrumentalism dan
konstruktivisme empiris—menganggap teori-teori ilmiah hanya sebagai alat untuk
memprediksi fenomena, tanpa harus mencerminkan realitas secara objektif.
Realis ilmiah berpendapat bahwa keberhasilan
prediktif dan eksplanatoris suatu teori merupakan alasan terbaik untuk
mempercayai bahwa teori tersebut setidaknya mendekati kebenaran. Pandangan
ini dikenal sebagai no miracle argument (argumen “bukan karena
keajaiban”), yang pertama kali dirumuskan secara eksplisit oleh Hilary
Putnam. Menurut Putnam, jika teori-teori ilmiah tidak secara kasar benar, maka
keberhasilan luar biasa mereka dalam menjelaskan dan memprediksi fenomena dunia
akan menjadi keajaiban yang tak dapat dijelaskan¹. Pandangan ini didukung oleh
tokoh seperti Stathis Psillos, yang menyatakan bahwa realisme ilmiah memberikan
penjelasan terbaik atas stabilitas struktur teori-teori sukses sepanjang
sejarah sains².
Sebaliknya, kaum anti-realis menolak klaim tersebut
dengan berbagai argumen kritis. Salah satu bentuk anti-realisme yang paling
berpengaruh adalah konstruktivisme empiris, yang dikembangkan oleh Bas
C. van Fraassen. Ia berpendapat bahwa tujuan sains bukanlah untuk
menemukan kebenaran metafisik, melainkan untuk menghasilkan teori yang
“empirically adequate”, yaitu teori yang secara sukses menjelaskan dan
memprediksi data observasi tanpa mengharuskan kepercayaan pada eksistensi
entitas tak teramati³. Dalam pandangannya, menerima teori sebagai benar secara
literal melebihi apa yang dibenarkan oleh bukti empiris.
Kaum anti-realis juga sering mengacu pada argumen
dari sejarah sains (pessimistic meta-induction), yang menunjukkan bahwa
banyak teori ilmiah sukses di masa lalu (misalnya teori eter atau humoral
medicine) kemudian terbukti salah secara ontologis dan ditinggalkan. Oleh
karena itu, mereka beralasan bahwa tidak ada alasan kuat untuk mempercayai
bahwa teori-teori kita saat ini secara literal benar⁴.
Namun demikian, posisi antara realisme dan
anti-realisme tidak selalu bersifat dikotomis. Misalnya, pendekatan realisme
struktural mencoba menjembatani keduanya dengan mengklaim bahwa yang
bertahan dalam transisi teori ilmiah adalah struktur relasionalnya, bukan
entitas individualnya. Dengan demikian, meskipun kita tidak bisa mengetahui
hakikat terdalam dari entitas ilmiah, kita masih bisa mempercayai bahwa
struktur dunia sebagaimana ditangkap oleh teori-teori ilmiah mencerminkan suatu
bentuk realitas⁵.
Perdebatan antara realisme dan anti-realisme tetap
menjadi arena diskusi yang hidup dalam filsafat sains kontemporer. Ia tidak
hanya menyangkut filsafat teori, tetapi juga berdampak pada bagaimana sains
diajarkan, dikomunikasikan, dan diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Dalam hal
ini, sikap terhadap realitas ilmiah akan membentuk cara kita memahami sains
sebagai bentuk pengetahuan—apakah sebagai representasi realitas objektif atau
sebagai konstruksi pragmatis dalam konteks historis tertentu.
Footnotes
[1]
Hilary Putnam, Reason, Truth, and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 73.
[2]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 98–101.
[3]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–16.
[4]
Larry Laudan, “A Confutation of Convergent
Realism,” Philosophy of Science 48, no. 1 (1981): 19–49.
[5]
James Ladyman, Don Ross, et al., Every Thing
Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007),
130–140.
5.
Kasus-Kasus
Ontologis: Entitas dalam Sains
Salah satu cara
paling konkret untuk memahami problematika ontologis dalam sains adalah dengan
menelaah kasus-kasus nyata yang
melibatkan entitas-entitas ilmiah,
terutama yang bersifat tidak teramati secara langsung (unobservables).
Kasus-kasus ini memperlihatkan bagaimana perdebatan antara realisme dan
anti-realisme tidak hanya berlangsung pada tingkat abstrak, tetapi menyentuh
fondasi dari teori-teori ilmiah yang digunakan dalam praktik.
5.1. Elektron dan Entitas Subatomik
Sejak ditemukan
dalam eksperimen oleh J.J. Thomson pada tahun 1897, elektron
telah menjadi pilar utama dalam teori atom dan fisika kuantum. Namun, apakah
elektron benar-benar ada sebagaimana dijelaskan oleh teori,
ataukah hanya merupakan alat konseptual yang digunakan untuk menjelaskan
perilaku listrik dan medan? Kaum realis berpendapat bahwa stabilitas
teori tentang elektron, keberhasilan prediksinya, dan penerapannya dalam
teknologi merupakan bukti bahwa elektron memiliki status
ontologis yang nyata¹. Sebaliknya, kaum anti-realis seperti van Fraassen
menganggap bahwa kita tidak perlu mempercayai keberadaan literal
elektron; cukup bahwa teori yang menyertainya mampu menjelaskan
fenomena yang teramati².
5.2. Medan Gravitasi dan Medan Elektromagnetik
Medan sebagai
entitas fisika juga menjadi pusat debat ontologis. Dalam teori Newton, gaya
gravitasi dipandang sebagai aksi instan di antara dua massa—sebuah ide yang
kemudian digantikan oleh konsep medan dalam teori relativitas umum
Einstein, yang mendeskripsikan gravitasi sebagai kelengkungan
ruang-waktu. Pertanyaannya adalah: apakah medan ini merupakan entitas riil yang
ada di ruang, atau hanya representasi matematis dari hubungan antar objek
fisik? Filosof sains seperti Michael Friedman menunjukkan bahwa teori
medan seringkali berfungsi sebagai medium representasional,
tetapi mengaburkan batas antara realitas dan model matematis³.
Hal serupa berlaku
pada medan
elektromagnetik dalam teori Maxwell. Banyak ilmuwan dan filsuf
menganggap medan ini lebih dari sekadar alat prediktif karena efek-efek
fisiknya dapat diukur dan diobservasi secara tidak langsung. Namun, kaum
anti-realis tetap mempertanyakan apakah kita benar-benar perlu berkomitmen
secara ontologis terhadap eksistensi “medan” sebagai sesuatu yang ada di luar
teori⁴.
5.3. Gen dan Entitas Biologis
Dalam biologi
modern, gen telah menjadi konsep
sentral dalam menjelaskan hereditas dan ekspresi fenotip. Namun, gen
bukanlah entitas yang dapat diamati secara langsung dalam semua kasus.
Perdebatan tentang apakah gen itu unit fisik (seperti segmen DNA tertentu),
ataukah entitas fungsional (produk dari aktivitas molekuler yang kompleks),
memperlihatkan bahwa entitas biologis pun tidak terlepas dari
pertanyaan ontologis⁵. Dalam pendekatan konstruktivis, gen
dapat dilihat sebagai konstruksi konseptual yang berfungsi dalam kerangka kerja
eksperimental tertentu, bukan sebagai objek yang sepenuhnya mandiri secara
ontologis.
5.4. Higgs Boson dan Partikel Fundamental
Penemuan Higgs boson
pada tahun 2012 oleh Large Hadron Collider menandai keberhasilan prediksi dari Model
Standar fisika partikel. Namun, proses penemuan ini memunculkan
pertanyaan: Apakah Higgs boson benar-benar “ditemukan”
sebagai entitas fisik, ataukah hanya “dikonfirmasi” sebagai fitur dalam model
prediktif? Filosof seperti Ian Hacking membela realisme
eksperimental dengan menyatakan bahwa jika kita dapat “mengutak-atik” sesuatu
(intervene), maka hal itu nyata⁶. Namun, pendekatan ini tetap
terbuka untuk kritik dari mereka yang menekankan peran eksperimentasi sebagai
konstruksi yang ditopang oleh teori.
Kesimpulan Kasus
Dari berbagai kasus
di atas, tampak jelas bahwa eksistensi entitas ilmiah sangat tergantung
pada kerangka teori yang melandasinya, serta pada cara sains membangun
legitimasi melalui model, eksperimen, dan bahasa. Sementara
realisme ilmiah memberi landasan metafisik bagi entitas-entitas tersebut,
anti-realisme menantang klaim-klaim tersebut dengan menunjukkan bahwa keberhasilan
praktis teori tidak selalu membuktikan keberadaan realitas objektif dari
komponen-komponennya. Ontologi sains, dengan demikian, tidak
hanya menuntut ketelitian dalam berpikir metafisik, tetapi juga kepekaan
terhadap dinamika praktik ilmiah kontemporer.
Footnotes
[1]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth
(London: Routledge, 1999), 99–104.
[2]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 202–207.
[3]
Michael Friedman, Foundations of Space-Time Theories: Relativistic
Physics and Philosophy of Science (Princeton: Princeton University Press,
1983), 238–241.
[4]
Richard Boyd, “Realism, Underdetermination, and a Causal Theory of
Evidence,” in Scientific Theories, ed. C. Wade Savage (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1990), 355–377.
[5]
Evelyn Fox Keller, The Century of the Gene (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2000), 5–8.
[6]
Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in
the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 262–265.
6.
Hukum-Hukum
Alam: Deskriptif, Normatif, atau Real?
Di samping entitas ilmiah seperti partikel
subatomik atau medan fisika, hukum-hukum alam merupakan aspek mendasar
dalam sains yang juga menimbulkan persoalan ontologis penting. Apakah
hukum-hukum ini merupakan deskripsi netral atas pola-pola yang tampak
dalam alam, ataukah mereka memiliki status normatif yang secara
ontologis "mengatur" perilaku entitas fisik? Lebih jauh lagi,
apakah hukum-hukum alam ini merupakan entitas real yang memiliki
eksistensi objektif, atau hanya abstraksi logis dari kebiasaan empiris?
Secara historis, pandangan Humean tentang
hukum alam memandang hukum sebagai generalitas deskriptif, yaitu pernyataan
umum yang menyatakan keteraturan empiris di alam. Dalam pandangan ini, hukum
tidak memiliki kekuatan kausal atau normatif apa pun; ia sekadar mencatat
korelasi stabil antara peristiwa yang diamati. Misalnya, hukum Newton
tentang gravitasi tidak lebih dari sebuah ringkasan atas pola tarikan antar
benda bermassa yang telah diamati berulang kali¹. Tokoh seperti David Lewis
mengembangkan pandangan ini dalam kerangka metafisika best systems analysis,
di mana hukum adalah bagian dari sistem deskriptif terbaik yang menyeimbangkan
kesederhanaan dan kekuatan eksplanatori².
Namun, banyak filsuf sains menolak pendekatan
Humean ini karena dianggap gagal menjelaskan kekuatan normatif hukum
ilmiah, yaitu mengapa hukum-hukum itu mengharuskan entitas fisik untuk
berperilaku sesuai dengannya. Dalam pandangan non-Humean atau realis,
hukum-hukum alam bukan sekadar deskripsi, melainkan berperan sebagai
struktur kausal yang membentuk realitas fisik. Menurut Dretske, Tooley, dan
Armstrong—pendukung teori disposisional hukum—hukum alam bersifat nomologis,
yaitu menunjukkan relasi kausal esensial antar properti yang ada secara nyata³.
Dari perspektif ini, hukum bukan sekadar "menggambarkan",
tetapi "mewajibkan".
Masalah ontologis lainnya menyangkut lokasi
hukum alam dalam struktur realitas: di mana hukum-hukum ini berada?
Apakah hukum-hukum seperti hukum termodinamika atau prinsip ketidakpastian
Heisenberg adalah bagian dari struktur metafisik dunia, ataukah hanya hasil
konstruksi teoretis manusia? Pendekatan realis struktural berupaya menjawabnya
dengan menyatakan bahwa hukum-hukum mencerminkan struktur relasional yang
objektif dan dapat dikenali oleh sains, meskipun mungkin tidak sepenuhnya
transparan secara ontologis⁴.
Sebagai contoh, dalam fisika klasik Newtonian,
hukum-hukum dianggap universal, deterministik, dan absolut, sedangkan
dalam fisika kuantum dan relativitas umum, hukum-hukum lebih probabilistik
dan kontekstual. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah
perubahan paradigma ini mengubah hukum-hukum realitas itu sendiri, ataukah
hanya mengungkap lapisan-lapisan baru dari realitas yang lebih kompleks
dan sebelumnya tersembunyi? Nancy Cartwright, misalnya, berargumen bahwa
hukum-hukum ilmiah bersifat “ceteris paribus” (berlaku dalam kondisi
tertentu saja), sehingga tidak bisa dianggap sebagai kebenaran universal
yang berlaku mutlak⁵.
Selain itu, pendekatan pragmatis dan konstruktivis
juga mempertanyakan apakah hukum-hukum alam itu ditemukan atau diciptakan.
Dalam kerangka ini, hukum tidak harus dianggap sebagai entitas metafisik,
tetapi sebagai produk konseptual yang lahir dari kerangka teoritis,
eksperimental, dan praktis sains dalam konteks sosial dan historisnya⁶.
Dengan demikian, perdebatan mengenai hukum alam
menyentuh inti persoalan ontologis dalam sains: apakah dunia diatur oleh
struktur hukum yang inheren, ataukah hukum-hukum itu hanya refleksi dari cara
manusia menstrukturkan pengalaman terhadap dunia? Tidak ada konsensus
tunggal dalam filsafat sains, tetapi yang jelas, hukum-hukum alam tidak dapat
direduksi begitu saja menjadi deskripsi netral tanpa mempertimbangkan
kompleksitas metafisik dan epistemologis yang menyertainya.
Footnotes
[1]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
2000), 55–60.
[2]
David Lewis, “A Subjectivist’s Guide to Objective
Chance,” in Philosophy of Science: The Central Issues, ed. Martin Curd
and J.A. Cover (New York: W. W. Norton, 1998), 600–615.
[3]
David Armstrong, What is a Law of Nature?
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 84–86.
[4]
James Ladyman et al., Every Thing Must Go:
Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 140–145.
[5]
Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie
(Oxford: Clarendon Press, 1983), 49–52.
[6]
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 65–70.
7.
Ontologi
Teori Ilmiah dan Model
Teori ilmiah dan model-model yang menyertainya
merupakan instrumen utama dalam sains untuk memahami, menjelaskan, dan memprediksi
fenomena alam. Namun, pertanyaan kunci yang muncul dalam ontologi sains
adalah: apakah teori ilmiah mencerminkan realitas objektif, ataukah hanya
merupakan konstruksi konseptual yang fungsional? Pertanyaan ini menyoroti status
ontologis dari teori dan model ilmiah, serta relasi antara representasi
ilmiah dan kenyataan yang direpresentasikan.
Dalam tradisi realis ilmiah, teori-teori
ilmiah diyakini tidak hanya bekerja secara pragmatis, tetapi juga mewakili
struktur dunia secara akurat. Menurut Stathis Psillos, teori ilmiah terdiri
dari komitmen terhadap entitas, struktur, dan mekanisme yang sebenarnya ada,
dan yang dijelaskan oleh teori tersebut¹. Dalam kerangka ini, teori bukan hanya
alat prediksi, melainkan juga deskripsi yang mendekati kebenaran tentang
dunia. Teori elektromagnetik Maxwell, misalnya, diyakini bukan sekadar
model kalkulasi, tetapi benar-benar mengungkap sifat dasar dari fenomena
elektromagnetik.
Namun, pendekatan lain seperti instrumentalisme
dan konstruktivisme empiris (seperti yang diajukan oleh Bas van
Fraassen) menolak klaim ontologis semacam itu. Van Fraassen berpendapat bahwa teori
ilmiah cukup dinilai dari kecocokannya dengan data empiris, tanpa perlu
meyakini bahwa teori tersebut benar secara literal². Teori dianggap sebagai
alat untuk menjelaskan fenomena yang tampak, bukan cermin dari struktur
realitas.
Isu yang lebih kompleks muncul ketika kita membahas
model ilmiah, yang sering digunakan untuk menjembatani teori dengan
dunia empiris. Model seperti model atom Bohr, model sistem iklim,
atau simulasi epidemiologi bukanlah teori itu sendiri, melainkan
representasi idealisasi yang menyederhanakan realitas demi tujuan pemahaman.
Dalam pandangan filsuf seperti Ronald Giere, model bukanlah salinan
realitas, melainkan representasi yang “mirip” dalam aspek tertentu dan untuk
tujuan tertentu³. Maka, kebenaran model tidak absolut, tetapi bergantung
pada relasi representasional yang kontekstual.
Ini menimbulkan pertanyaan: apakah model
memiliki status ontologis yang independen, atau hanya turunan dari teori dan
data? Dalam pendekatan realis struktural seperti yang dikemukakan James
Ladyman, yang direpresentasikan oleh teori dan model bukan entitas
individual, melainkan struktur relasional antara entitas. Artinya, meskipun
kita tidak dapat mengetahui entitas secara pasti, kita dapat mempercayai
struktur hubungan yang terungkap melalui teori dan model⁴.
Dalam praktik ilmiah, idealization dan approximation
adalah bagian tak terpisahkan dari konstruksi teori dan model. Hukum Newton,
misalnya, hanya berlaku dalam kerangka tertentu dan mengabaikan faktor-faktor
seperti gesekan atau relativitas. Meski demikian, hukum ini tetap digunakan
secara luas dalam rekayasa dan fisika klasik karena model idealnya berfungsi
dengan sangat baik dalam kondisi tertentu. Hal ini menandakan bahwa kebenaran
ilmiah sering kali bersifat kontekstual dan parsial, bukan absolut dan
universal⁵.
Akhirnya, perdebatan ontologis mengenai teori dan
model tidak dapat dipisahkan dari praktik ilmiah konkret: bagaimana
ilmuwan mengembangkan, menguji, dan merevisi teori serta model dalam dialog
terus-menerus dengan dunia empiris. Ontologi sains dalam hal ini tidak hanya
berkaitan dengan apa yang ada, tetapi juga dengan bagaimana sains
membangun jembatan antara teori, model, dan realitas melalui representasi yang
dipahami secara filosofis dan metodologis.
Footnotes
[1]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 106–110.
[2]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–19.
[3]
Ronald N. Giere, Scientific Representation:
Parallels between Art and Science (Oxford: Oxford University Press, 2006),
60–67.
[4]
James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go:
Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–135.
[5]
Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their
Measurement (Oxford: Clarendon Press, 1989), 187–190.
8.
Pendekatan
Kontemporer terhadap Ontologi Sains
Seiring perkembangan
ilmu pengetahuan dan filsafat sains pada abad ke-20 dan 21, wacana ontologi
sains telah mengalami transformasi yang signifikan. Para filsuf kontemporer
tidak hanya mewarisi perdebatan klasik antara realisme dan anti-realisme,
tetapi juga menawarkan pendekatan-pendekatan baru yang lebih kompleks dan
kontekstual dalam memahami status ontologis dari entitas ilmiah,
hukum-hukum alam, dan teori-teori ilmiah. Di antara
pendekatan-pendekatan tersebut, realisme struktural, realisme
eksperimental, dan ontologi naturalistik menempati
posisi penting dalam diskursus modern.
8.1. Realisme Struktural
Salah satu
pendekatan paling berpengaruh adalah realisme struktural (structural
realism), yang berusaha menjembatani kelebihan realisme ilmiah dan
kritik anti-realisme. Pendekatan ini berpendapat bahwa apa yang
bertahan dalam transisi teori ilmiah bukanlah entitas individual yang
dipostulasikan teori, melainkan struktur relasional antar entitas tersebut.
John Worrall, tokoh penting dalam pendekatan ini, menegaskan bahwa keberhasilan
teori-teori ilmiah dapat dijelaskan dengan mengasumsikan bahwa struktur
matematika dan relasi dalam teori merepresentasikan aspek nyata dari dunia,
meskipun entitas yang diacu mungkin berubah dalam sejarah sains¹.
Realisme struktural
terbagi menjadi dua aliran utama: realisme struktural epistemik
(yang mengklaim bahwa kita hanya mengetahui struktur relasional teori, bukan
hakikat entitasnya), dan realisme struktural ontik (yang
menyatakan bahwa struktur itu sendiri adalah entitas dasar dari realitas)².
James Ladyman dan Don Ross, misalnya, dalam proyek mereka yang disebut ontologi
naturalistik, menolak metafisika tradisional dan menyatakan bahwa struktur
relasional, bukan objek individu, adalah dasar dari apa yang ada³.
8.2. Realisme Eksperimental
Pendekatan lain yang
relevan adalah realisme eksperimental, yang
diformulasikan oleh Ian Hacking. Ia mengusulkan bahwa keyakinan
terhadap realitas entitas ilmiah harus didasarkan pada keterlibatan aktif dalam
eksperimen, bukan hanya dari keberhasilan teorinya. Dalam
karyanya Representing
and Intervening, Hacking menyatakan bahwa “if you
can spray them, then they are real”—yakni, jika
kita dapat memanipulasi entitas tersebut dalam eksperimen dan mengamati
efeknya, maka kita memiliki dasar yang kuat untuk percaya pada eksistensinya⁴.
Pendekatan ini menggeser fokus dari representasi teoretis menuju praktik
eksperimental sebagai dasar ontologis.
8.3. Pendekatan Naturalistik dan Anti-Metafisik
Selain realisme
struktural dan eksperimental, muncul pula pendekatan naturalistik dalam
filsafat sains, yang menolak metafisika spekulatif dan menekankan konsistensi
dengan temuan ilmiah aktual. Dalam kerangka ini, ontologi
harus dibentuk oleh—dan tunduk pada—metodologi ilmiah itu sendiri.
Ladyman dan Ross mengkritik pendekatan metafisika tradisional yang spekulatif
dan menyatakan bahwa banyak pertanyaan ontologis klasik tidak bermakna jika
tidak dapat diuji secara ilmiah⁵. Pendekatan ini menuntut agar filsafat
menyesuaikan diri dengan praktik sains kontemporer, termasuk teori fisika
modern, biologi evolusioner, dan neurokognitif.
8.4. Pluralisme Ontologis dan Kontekstualisme
Wacana kontemporer
juga membuka ruang bagi pluralisme ontologis, yaitu
pandangan bahwa berbagai domain sains mungkin membutuhkan
kerangka ontologis yang berbeda. Apa yang “ada” dalam
fisika tidak harus sama dengan yang “ada” dalam biologi, psikologi, atau
ilmu sosial. Misalnya, konsep gen dalam biologi molekuler memiliki dimensi
ontologis yang berbeda dibandingkan dengan konsep gaya dalam fisika klasik.
Karen Barad bahkan mengajukan pendekatan onto-epistemologi, yang
menggabungkan pertanyaan ontologis dan epistemologis dalam kerangka interaktif
antara subjek, objek, dan alat eksperimental⁶.
Dengan demikian,
pendekatan kontemporer terhadap ontologi sains menampilkan keragaman
strategi konseptual yang tidak lagi terjebak dalam dikotomi
realisme vs anti-realisme. Pendekatan-pendekatan ini menekankan bahwa pemahaman
tentang “apa yang ada” tidak bisa dilepaskan dari struktur
teori, praktik eksperimental, konteks historis, dan bahkan kebijakan ilmiah.
Hal ini mencerminkan pergeseran besar dalam filsafat sains kontemporer dari
ontologi yang abstrak menuju ontologi yang terkontekstualisasi dan berakar
pada praktik ilmiah nyata.
Footnotes
[1]
John Worrall, “Structural Realism: The Best of Both Worlds?” Dialectica
43, no. 1–2 (1989): 99–124.
[2]
Steven French dan James Ladyman, “Remodelling Structural Realism:
Quantum Physics and the Metaphysics of Structure,” Synthese 136, no. 1
(2003): 31–56.
[3]
James Ladyman dan Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics
Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–147.
[4]
Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in
the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 23–25.
[5]
James Ladyman dan Don Ross, Every Thing Must Go, 15–19.
[6]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the
Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press,
2007), 132–138.
9.
Implikasi
Filsafat Ontologis bagi Praktik Ilmiah
Pertanyaan-pertanyaan
ontologis dalam sains—tentang apa yang benar-benar ada, bagaimana
hukum-hukum alam bekerja, dan apa yang direpresentasikan oleh teori ilmiah—tidak
hanya bersifat spekulatif atau filosofis murni. Sebaliknya, kajian ontologis
memiliki implikasi langsung terhadap praktik ilmiah,
baik dalam desain eksperimen, interpretasi data, pengembangan teori, hingga
pengambilan kebijakan berbasis sains. Ontologi dalam filsafat sains membantu
mengungkap kerangka asumsi dasar yang,
secara eksplisit maupun implisit, mengarahkan cara ilmuwan memahami dan
menjelajahi dunia alam.
9.1. Eksperimen dan Komitmen Ontologis
Desain dan
pelaksanaan eksperimen ilmiah seringkali didasarkan pada asumsi
ontologis tentang keberadaan dan perilaku entitas yang diuji.
Misalnya, percobaan yang melibatkan partikel elementer atau medan kuantum
mensyaratkan komitmen bahwa entitas tersebut “benar-benar ada” dan dapat
dimanipulasi. Dalam konteks ini, realisme eksperimental seperti yang
dikemukakan oleh Ian Hacking memberikan dasar epistemologis yang kuat bagi
praktik ilmiah: “Kita
mempercayai keberadaan sesuatu ketika kita dapat memanipulasinya secara
langsung melalui eksperimen”¹. Dengan demikian, komitmen
ontologis menjadi landasan operasional dalam banyak aktivitas ilmiah, bukan
sekadar spekulasi teoritis.
9.2. Interpretasi Data dan Struktur Teori
Dalam menafsirkan
data empiris, ilmuwan tidak bekerja dalam ruang hampa; mereka selalu
menggunakan teori yang disertai struktur ontologis tertentu.
Sebuah data spektroskopi, misalnya, tidak memiliki makna ilmiah kecuali
diinterpretasikan melalui model kuantum atom atau molekul. Hal ini menunjukkan
bahwa kerangka
teori ilmiah menyediakan “lensa ontologis” melalui mana realitas diamati dan
ditafsirkan². Filsafat ontologi membantu menyadarkan ilmuwan
akan keterkaitan
erat antara representasi konseptual dan komitmen terhadap eksistensi entitas
yang dipostulasikan oleh teori.
9.3. Pengembangan Teori dan Penyederhanaan Model
Filsafat ontologis
juga berdampak pada cara teori dikembangkan. Dalam banyak bidang sains,
pengembangan model ilmiah mengharuskan idealization—yakni
penyederhanaan dari kondisi nyata untuk membangun struktur teoritis yang dapat
dianalisis. Nancy Cartwright menunjukkan bahwa hukum-hukum fisika tidak selalu
berlaku secara universal, tetapi sering kali dirancang untuk bekerja “dalam
kondisi ideal”³. Maka, pertanyaan tentang apa yang “real” dalam teori yang diidealisasi
menjadi penting untuk membatasi klaim teoritis dan mencegah generalisasi
berlebihan. Kesadaran ontologis ini membantu menghindari kekeliruan dalam
menerapkan teori secara dogmatis di luar konteks validitasnya.
9.4. Sains Terapan dan Kebijakan Publik
Dalam konteks sains
terapan dan kebijakan publik—misalnya dalam epidemiologi, iklim, atau teknologi
nuklir—ontologi
teori dan model sangat memengaruhi keputusan
praktis. Jika model epidemiologi didasarkan pada asumsi
deterministik atau statistik, maka pemahaman tentang keberadaan entitas seperti
“laju transmisi” atau “efektivitas vaksin” akan berpengaruh
langsung pada kebijakan. Bila asumsi ontologis tidak dipahami dengan jelas,
maka kebijakan berbasis model dapat disalahartikan sebagai refleksi literal
dari kenyataan, padahal ia hanyalah representasi terbatas dari kondisi yang
sangat kompleks⁴.
9.5. Ontologi dan Pendidikan Sains
Selain aspek teknis,
implikasi ontologis juga penting dalam pendidikan sains. Ketika
teori-teori sains diajarkan tanpa mengungkap kerangka ontologis yang
melandasinya, siswa dapat terjebak dalam positivisme naif—menganggap teori
sebagai kebenaran mutlak tanpa mempertimbangkan sejarah, keterbatasan, dan
sifat representasionalnya. Filsafat ontologi dapat membantu mendidik generasi
ilmuwan yang lebih reflektif, kritis, dan terbuka terhadap
dinamika perubahan paradigma ilmiah, sebagaimana dijelaskan
oleh Thomas Kuhn⁵.
Dengan demikian,
filsafat ontologi sains tidak hanya memperluas pemahaman kita tentang realitas
ilmiah, tetapi juga menjadi komponen penting dalam praktik ilmiah
yang bertanggung jawab dan sadar akan fondasinya sendiri. Ia
mengajarkan bahwa sains bukan sekadar akumulasi data dan prediksi model,
melainkan juga proses konseptual dan metodologis yang dibentuk oleh
pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang apa yang benar-benar ada di alam semesta.
Footnotes
[1]
Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in
the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 262.
[2]
Ronald Giere, Scientific Perspectivism (Chicago: University of
Chicago Press, 2006), 45–50.
[3]
Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford:
Clarendon Press, 1983), 41–45.
[4]
Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 112–117.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 120–125.
10. Studi Perbandingan: Ontologi dalam Fisika, Biologi,
dan Psikologi
Kajian ontologis
dalam sains tidak bersifat seragam di seluruh cabang ilmu. Setiap
disiplin ilmiah memiliki karakteristik ontologis yang berbeda,
tergantung pada objek kajian, metode, dan cara pendekatan terhadap realitas.
Fisika, biologi, dan psikologi, sebagai tiga disiplin besar dalam ilmu alam dan
manusia, memberikan gambaran yang kontras namun saling melengkapi dalam
bagaimana realitas ilmiah dikonstruksi dan dipahami. Melalui studi perbandingan
ini, kita dapat melihat bagaimana berbagai domain ilmiah membentuk dan
dipengaruhi oleh asumsi ontologisnya masing-masing.
10.1. Fisika: Ontologi Reduksionis dan Struktural
Fisika secara
historis menjadi paradigma utama dalam pembentukan ontologi ilmiah. Dalam
tradisi mekanistik Newtonian, dunia fisik dipahami sebagai sistem yang terdiri
dari entitas partikular seperti massa, gaya, dan ruang-waktu absolut,
yang dapat dijelaskan melalui hukum-hukum deterministik. Ontologi ini bersifat reduksionistik,
di mana sistem kompleks dijelaskan melalui bagian-bagiannya yang lebih
sederhana¹.
Namun, perkembangan
fisika modern, khususnya teori kuantum dan relativitas, telah menggeser
kerangka ontologis ini. Dalam mekanika kuantum, entitas seperti elektron tidak
lagi memiliki eksistensi tetap dan lokal, tetapi dinyatakan dalam bentuk fungsi
gelombang dan probabilitas². Ini menimbulkan persoalan mendalam
tentang realitas dari entitas kuantum,
sehingga muncul pendekatan seperti realisme struktural, yang
menyatakan bahwa yang nyata bukanlah entitas individual,
melainkan struktur relasional yang mendasari perilaku mereka³.
Dalam fisika, ontologi menjadi semakin abstrak, dan sering kali menantang
intuisi metafisik sehari-hari.
10.2. Biologi: Kompleksitas, Konteks, dan Entitas Organik
Biologi, sebagai
ilmu tentang kehidupan, menawarkan tantangan tersendiri bagi pendekatan
ontologis. Tidak seperti fisika yang cenderung mencari hukum universal, biologi
berhadapan dengan keragaman, ketidakteraturan, dan sifat historis
dari organisme hidup. Konsep seperti gen, spesies, adaptasi, dan evolusi
tidak mudah direduksi ke dalam hukum deterministik, dan sering kali bersifat kontekstual
dan fungsional⁴.
Sebagai contoh,
ontologi gen telah bergeser dari pandangan klasik sebagai unit fisik informasi
menuju entitas yang bergantung pada jaringan interaksi molekuler
dan regulasi epigenetik. Evelyn Fox Keller menunjukkan bahwa gen
tidak dapat dipahami sebagai “entitas mandiri”, melainkan sebagai bagian dari
sistem kompleks yang hanya bermakna dalam konteks tertentu⁵.
Selain itu, dalam biologi evolusioner, spesies bukan sekadar klasifikasi,
tetapi entitas populasi yang bersifat dinamis, dengan keberadaan yang terkait
erat dengan sejarah dan lingkungan hidupnya⁶.
Dengan demikian,
ontologi dalam biologi cenderung bersifat pluralistik, relasional, dan bersandar pada
kerangka sistemik, menolak penyederhanaan ke dalam hukum
universal seperti dalam fisika.
10.3. Psikologi: Kesadaran, Representasi, dan Realitas
Mental
Psikologi sebagai
ilmu tentang pikiran dan perilaku manusia membawa tantangan ontologis yang
lebih kompleks lagi, karena objek kajiannya mencakup realitas
mental yang tidak dapat diamati secara langsung. Pertanyaan
mendasar dalam ontologi psikologi adalah: apakah entitas seperti “kesadaran”, “pikiran”,
“emosi”, dan “intensi” benar-benar ada? Dan dalam bentuk apa mereka eksis?
Dalam tradisi behaviorisme,
entitas mental dipandang tidak memiliki realitas ilmiah karena tidak dapat
diamati, sehingga psikologi difokuskan hanya pada stimulus
dan respons yang terukur. Namun, perkembangan kognitivisme
mengembalikan perhatian pada representasi internal dan proses mental,
sehingga muncul pendekatan yang memandang entitas seperti “memori kerja”
atau “pengambilan keputusan” sebagai konstruksi teoritis⁷.
Lebih lanjut,
pendekatan neurosains berupaya mengaitkan
entitas mental dengan substrat biologis di otak, memunculkan bentuk realisme
materialistik, di mana entitas psikologis dianggap nyata sejauh
dapat dikaitkan dengan aktivitas neural⁸. Namun, pendekatan ini tetap
diperdebatkan, karena fenomena seperti kesadaran belum sepenuhnya dapat
direduksi ke dalam proses fisiologis. Oleh karena itu, psikologi mempertahankan
posisi ontologis yang terbuka dan multilevel,
mengakui keberadaan fenomena mental tanpa menyamakan mereka secara mutlak
dengan entitas fisik.
Kesimpulan Perbandingan
Perbandingan antara
fisika, biologi, dan psikologi menunjukkan bahwa ontologi
dalam sains bersifat domain-spesifik. Fisika cenderung
mengedepankan struktur dan reduksionisme, biologi menekankan konteks dan
kompleksitas, sedangkan psikologi menghadapi tantangan realitas mental dan
representasi. Setiap bidang membawa konsekuensi filosofis tersendiri tentang apa yang
dianggap “ada”, serta bagaimana entitas itu dikenali dan dibenarkan
secara ilmiah.
Dengan demikian,
filsafat ontologi sains tidak dapat bersifat monolitik, tetapi harus terbuka
terhadap pluralitas pendekatan dan perbedaan epistemik antar disiplin,
sebagaimana disadari dalam pendekatan kontemporer terhadap metafisika ilmiah.
Footnotes
[1]
Ernan McMullin, “The Inference That Makes Science,” The Journal of
Philosophy 88, no. 9 (1991): 464–472.
[2]
N. David Mermin, “Is the Moon There When Nobody Looks? Reality and the
Quantum Theory,” Physics Today 38, no. 4 (1985): 38–47.
[3]
Steven French dan James Ladyman, “Remodelling Structural Realism:
Quantum Physics and the Metaphysics of Structure,” Synthese 136, no. 1
(2003): 31–56.
[4]
John Dupré, The Disorder of Things: Metaphysical Foundations of the
Disunity of Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993),
41–48.
[5]
Evelyn Fox Keller, The Century of the Gene (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2000), 54–59.
[6]
David Hull, Science as a Process: An Evolutionary Account of the
Social and Conceptual Development of Science (Chicago: University of
Chicago Press, 1988), 170–175.
[7]
Jerry Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press,
1983), 27–34.
[8]
Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of
the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 200–205.
11. Kritik dan Tantangan terhadap Ontologi Sains
Meskipun ontologi
sains telah menjadi fondasi penting dalam filsafat ilmu, pendekatan ini juga
menghadapi beragam kritik dan tantangan,
baik dari sudut pandang internal (filsafat sains itu sendiri) maupun eksternal
(sosiologi, linguistik, dan postmodernisme). Kritik-kritik tersebut menyoroti
keterbatasan asumsi ontologis dalam menjelaskan dinamika sains yang
sesungguhnya, serta mempersoalkan validitas klaim ontologis dalam konteks
pluralisme ilmiah, konstruksi sosial, dan relativitas budaya.
11.1. Tantangan dari Perspektif Sejarah dan Epistemologi
Sains
Salah satu kritik
mendasar terhadap ontologi sains berasal dari sejarah perkembangan ilmu itu sendiri.
Para sejarawan sains seperti Thomas Kuhn menunjukkan bahwa teori-teori ilmiah tidak
berkembang secara kumulatif, melainkan melalui pergeseran
paradigma yang sering kali melibatkan perubahan radikal dalam
asumsi ontologis⁽¹⁾. Misalnya, peralihan dari fisika Newtonian ke relativitas
Einstein mengubah konsep dasar seperti ruang, waktu, dan massa. Hal ini
menyiratkan bahwa apa yang dianggap “ada” dalam satu paradigma
bisa hilang atau diredefinisi dalam paradigma lain, sehingga
menyulitkan klaim ontologis yang stabil dan universal.
Selain itu, pendekatan
pessimistic
meta-induction (induksi pesimistis) yang dikemukakan oleh Larry
Laudan menyatakan bahwa karena banyak teori sukses di masa lalu ternyata salah
(seperti teori eter atau flogiston), maka kita harus skeptis
terhadap klaim bahwa teori-teori sains saat ini menggambarkan realitas secara
akurat⁽²⁾. Hal ini menggoyahkan fondasi realisme ontologis
dalam sains.
11.2. Kritik dari Konstruktivisme Sosial
Dari arah sosiologi
pengetahuan ilmiah, muncul pendekatan konstruktivisme sosial, yang
menyatakan bahwa realitas ilmiah merupakan hasil konstruksi
sosial, bukan sekadar refleksi dari dunia objektif. Tokoh-tokoh
seperti Bruno Latour dan Steve Woolgar menunjukkan melalui studi laboratorium
bahwa entitas
ilmiah dibentuk melalui praktik diskursif, interaksi sosial, dan keputusan
institusional, bukan semata-mata “ditemukan” dalam
alam⁽³⁾. Dengan demikian, ontologi ilmiah dianggap terikat
pada konteks historis, budaya, dan sosial, sehingga tidak bisa
diklaim bersifat universal.
Pendekatan ini
menantang asumsi bahwa sains dapat secara netral “mengungkap realitas”,
dan mendorong kita untuk melihat teori dan entitas ilmiah sebagai produk
negosiasi sosial dan retorika ilmiah, bukan objek-objek
metafisik yang netral dan tetap.
11.3. Tantangan dari Bahasa dan Representasi
Ontologi sains juga
menghadapi tantangan dari filsafat bahasa dan teori representasi. Filsuf
seperti Nelson Goodman dan Bas van Fraassen berargumen bahwa semua
representasi ilmiah bersifat selektif dan terikat pada sistem simbolik tertentu,
sehingga tidak pernah benar-benar transparan terhadap realitas⁽⁴⁾. Dengan kata
lain, teori
dan model ilmiah tidak merepresentasikan dunia “sebagaimana adanya”, melainkan
membentuk dunia melalui skema konseptual tertentu.
Hal ini memunculkan
apa yang disebut sebagai relativisme semantik: bahwa apa
yang kita anggap “nyata” sangat bergantung pada bahasa, teori, dan
paradigma yang kita gunakan. Dalam konteks ini, klaim ontologis kehilangan kepastian
metafisiknya, karena bergantung pada representasi yang tidak
bebas nilai.
11.4. Postmodernisme dan Anti-Fondasionalisme
Kritik yang lebih
radikal datang dari arah postmodernisme, yang menolak
fondasi metafisik tetap dalam sains. Jean-François Lyotard, misalnya,
menyatakan bahwa dalam era postmodern, narasi besar seperti “sains sebagai refleksi
kebenaran objektif” menjadi tidak lagi dominan, dan digantikan
oleh pluralitas narasi lokal⁽⁵⁾. Dalam kerangka ini, ontologi sains dilihat
sebagai salah satu narasi yang bersaing, bukannya pemegang monopoli atas
kebenaran.
Anti-fondasionalisme
postmodern menolak adanya struktur realitas tunggal yang dapat dijelaskan
secara final oleh sains. Sebaliknya, ia menekankan keragaman
perspektif dan ketidakmungkinan obyektivitas mutlak, yang
membuat klaim ontologis dalam sains menjadi relatif terhadap konteks budaya dan
epistemik.
11.5. Tantangan dari Sains Kontemporer Itu Sendiri
Akhirnya, tantangan
terhadap ontologi sains juga muncul dari dalam praktik ilmiah kontemporer.
Misalnya, dalam fisika kuantum dan kosmologi, konsep-konsep seperti multiverse,
entanglement, dan non-locality sulit untuk dipahami dalam
kerangka ontologis klasik. Bahkan beberapa ilmuwan dan filsuf, seperti Carlo
Rovelli, mengusulkan pendekatan relasional terhadap realitas,
di mana entitas tidak memiliki eksistensi mandiri,
melainkan hanya ada dalam relasi satu sama lain⁶.
Hal ini menunjukkan
bahwa ontologi
klasik berbasis entitas stabil dan hukum deterministik mungkin tidak cukup
untuk memahami kompleksitas realitas ilmiah modern, yang
bersifat non-deterministik, probabilistik, dan relasional.
Kesimpulan
Berbagai kritik dan
tantangan terhadap ontologi sains tidak serta merta meniadakan nilainya, tetapi
menunjukkan bahwa ontologi sains harus bersifat reflektif,
kontekstual, dan terbuka terhadap dinamika epistemologis dan sosial dalam
praktik ilmiah. Ontologi sains kontemporer perlu bergerak
melampaui klaim metafisik yang kaku menuju pendekatan yang lebih fleksibel,
pluralistik, dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu sosial, sejarah, dan bahasa.
Footnotes
[1]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–122.
[2]
Larry Laudan, “A Confutation of Convergent Realism,” Philosophy of
Science 48, no. 1 (1981): 19–49.
[3]
Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction
of Scientific Facts (Princeton: Princeton University Press, 1986), 52–66.
[4]
Nelson Goodman, Ways of Worldmaking (Indianapolis: Hackett,
1978), 6–12; Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford:
Clarendon Press, 1980), 48–53.
[5]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.
[6]
Carlo Rovelli, Reality Is Not What It Seems: The Journey to Quantum
Gravity (New York: Riverhead Books, 2016), 228–232.
12. Kesimpulan
Kajian ontologis dalam filsafat sains menghadirkan
pertanyaan-pertanyaan mendalam dan fundamental tentang apa yang sebenarnya
ada dalam alam semesta menurut sains, dan bagaimana kita dapat memahami
serta membenarkan keberadaan tersebut. Melalui pembahasan yang mencakup
perdebatan antara realisme dan anti-realisme, status entitas ilmiah dan hukum
alam, serta peran teori dan model, kita mendapati bahwa ontologi sains bukan
sekadar persoalan metafisik abstrak, melainkan memiliki implikasi
konkret dalam praktik ilmiah, pendidikan, dan kebijakan publik.
Realisme ilmiah menyatakan bahwa teori-teori ilmiah
yang sukses secara prediktif memberikan representasi mendekati benar tentang
realitas, termasuk eksistensi entitas tak teramati seperti elektron atau medan
kuantum¹. Sebaliknya, anti-realisme—terutama konstruktivisme empiris—mengklaim
bahwa keberhasilan prediktif tidak cukup untuk mendukung klaim ontologis, dan
bahwa teori cukup dinilai berdasarkan kecocokannya dengan data observasional².
Perbedaan pandangan ini mencerminkan tensi abadi antara kebutuhan akan
kepercayaan terhadap realitas ilmiah dan kehati-hatian epistemologis terhadap
spekulasi metafisik.
Dalam praktiknya, pendekatan ontologis kontemporer
telah berkembang melampaui dikotomi klasik ini. Pendekatan seperti realisme
struktural, realisme eksperimental, dan ontologi naturalistik
menawarkan jalur-jalur baru yang lebih fleksibel dan kontekstual. Realisme
struktural, misalnya, mempertahankan bahwa struktur relasional dalam
teori-teori ilmiah adalah yang paling layak dianggap nyata, meskipun
entitas individunya mungkin berubah dari waktu ke waktu³. Realisme
eksperimental, sebagaimana dikemukakan oleh Ian Hacking, menekankan pada keterlibatan
aktif dalam eksperimen sebagai bukti paling sah dari eksistensi entitas ilmiah⁴.
Studi perbandingan terhadap ontologi dalam disiplin
fisika, biologi, dan psikologi mengungkap bahwa ontologi sains bersifat
domain-spesifik. Fisika menekankan struktur matematis dan relasional,
biologi menghadirkan kompleksitas kontekstual dan historis, sedangkan psikologi
menghadapi tantangan representasi realitas mental⁵. Oleh karena itu, ontologi
sains harus diartikulasikan secara pluralistik dan responsif terhadap objek
kajian masing-masing bidang ilmu.
Kritik terhadap ontologi sains, baik dari sudut
pandang sejarah (Kuhn, Laudan), sosiologi (Latour, Woolgar), maupun filsafat
bahasa dan postmodernisme (Goodman, Lyotard), mengingatkan bahwa klaim
ontologis tidak pernah netral, dan selalu terikat pada konteks historis, sosial,
dan representasional. Tantangan dari fisika kontemporer seperti teori kuantum,
relativitas, dan konsep multiverse menegaskan bahwa kerangka ontologis
klasik berbasis entitas stabil dan hukum universal tidak lagi memadai dalam
menjelaskan kompleksitas realitas ilmiah saat ini⁶.
Dengan demikian, kesimpulan utama dari kajian ini
adalah bahwa ontologi sains merupakan medan reflektif yang dinamis, yang
menuntut keterbukaan filosofis, ketajaman konseptual, dan kehati-hatian
metodologis. Ia tidak hanya menyangkut pertanyaan tentang “apa yang ada”,
tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai manusia ilmiah—dengan seluruh
keterbatasan kognitif dan sosial—mengakses, membangun, dan membenarkan klaim
tentang realitas. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan kompleksitas
dunia kontemporer, ontologi sains tetap menjadi fondasi penting dalam
memahami bukan hanya dunia yang kita pelajari, tetapi juga cara kita
memaknainya secara filosofis dan praktis.
Footnotes
[1]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 98–105.
[2]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–19.
[3]
James Ladyman dan Don Ross, Every Thing Must Go:
Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–147.
[4]
Ian Hacking, Representing and Intervening:
Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 262.
[5]
Evelyn Fox Keller, The Century of the Gene
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 54–59; Patricia Churchland, Neurophilosophy:
Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press,
1986), 200–205.
[6]
Carlo Rovelli, Reality Is Not What It Seems: The
Journey to Quantum Gravity (New York: Riverhead Books, 2016), 230–234.
Daftar Pustaka
Cartwright, N. (1983). How the laws of physics
lie. Oxford University Press.
Cartwright, N. (1989). Nature’s capacities and
their measurement. Oxford University Press.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy:
Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.
Dupré, J. (1993). The disorder of things:
Metaphysical foundations of the disunity of science. Harvard University
Press.
Fodor, J. A. (1983). The modularity of mind: An
essay on faculty psychology. MIT Press.
Fox Keller, E. (2000). The century of the gene.
Harvard University Press.
French, S., & Ladyman, J. (2003). Remodelling
structural realism: Quantum physics and the metaphysics of structure. Synthese,
136(1), 31–56.
Giere, R. N. (2006). Scientific perspectivism.
University of Chicago Press.
Goodman, N. (1978). Ways of worldmaking.
Hackett Publishing.
Hacking, I. (1983). Representing and
intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science. Cambridge
University Press.
Hacking, I. (1999). The social construction of
what? Harvard University Press.
Hull, D. L. (1988). Science as a process: An
evolutionary account of the social and conceptual development of science.
University of Chicago Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Ladyman, J., & Ross, D. (2007). Every thing
must go: Metaphysics naturalized. Oxford University Press.
Latour, B., & Woolgar, S. (1986). Laboratory
life: The construction of scientific facts (2nd ed.). Princeton University
Press.
Laudan, L. (1981). A confutation of convergent
realism. Philosophy of Science, 48(1), 19–49.
Lewis, D. (1998). A subjectivist’s guide to
objective chance. In M. Curd & J. A. Cover (Eds.), Philosophy of
science: The central issues (pp. 600–615). W. W. Norton & Company.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press. (Original work published 1979)
McMullin, E. (1991). The inference that makes
science. The Journal of Philosophy, 88(9), 464–472.
Mermin, N. D. (1985). Is the moon there when nobody
looks? Reality and the quantum theory. Physics Today, 38(4), 38–47.
Psillos, S. (1999). Scientific realism: How
science tracks truth. Routledge.
Rovelli, C. (2016). Reality is not what it
seems: The journey to quantum gravity (S. Carnell & E. Segre, Trans.).
Riverhead Books.
van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Clarendon Press.
Worrall, J. (1989). Structural realism: The best of
both worlds? Dialectica, 43(1–2), 99–124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar