Sabtu, 31 Mei 2025

Kajian Ontologi Sains: Sebuah Kajian Ontologis terhadap Entitas dan Hukum dalam Sains

Kajian Ontologi Sains

Sebuah Kajian Ontologis terhadap Entitas dan Hukum dalam Sains


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian mendalam mengenai aspek ontologis dalam filsafat sains, dengan fokus utama pada status realitas dari entitas ilmiah dan hukum-hukum alam. Melalui telaah historis, konseptual, dan komparatif, artikel ini mengeksplorasi perdebatan antara realisme dan anti-realisme, serta menganalisis pendekatan kontemporer seperti realisme struktural, realisme eksperimental, dan ontologi naturalistik. Studi perbandingan antara fisika, biologi, dan psikologi menunjukkan bahwa ontologi sains bersifat domain-spesifik dan tidak dapat diseragamkan. Selain itu, kritik dari sejarah sains, konstruktivisme sosial, filsafat bahasa, dan postmodernisme menyoroti keterbatasan pendekatan ontologis tradisional, sekaligus mendorong perlunya refleksi konseptual yang lebih kontekstual dan terbuka. Artikel ini menyimpulkan bahwa ontologi sains tetap relevan sebagai kerangka filosofis untuk memahami fondasi metafisik dari praktik ilmiah, namun harus dijalankan dengan kesadaran historis, epistemologis, dan sosial yang memadai.

Kata Kunci: Ontologi sains; realisme ilmiah; anti-realisme; entitas ilmiah; hukum alam; teori ilmiah; realisme struktural; konstruktivisme sosial; pluralisme ontologis; filsafat sains.


PEMBAHASAN

Kajian Ontologi dalam Ilmu Pengetahuan (Sains)


1.           Pendahuluan

Sejak awal perkembangan ilmu pengetahuan modern, pertanyaan mengenai apa yang benar-benar "ada" dalam dunia ilmiah telah menjadi isu fundamental dalam filsafat sains. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Apakah elektron benar-benar ada?", "Apakah medan gravitasi merupakan entitas nyata?", dan "Apakah hukum Newton merupakan hukum alam yang objektif atau hanya model idealisasi manusia?" mengarah pada wilayah kajian ontologis dalam sains. Ontologi sains sebagai cabang dari filsafat sains memusatkan perhatian pada status metafisik dari entitas ilmiah dan struktur hukum yang diklaim oleh teori-teori ilmiah.

Perkembangan teori ilmiah sejak era mekanika klasik hingga fisika kuantum dan relativitas telah memperkaya sekaligus mengguncang asumsi ontologis kita. Misalnya, dalam mekanika Newtonian, dunia dianggap tersusun atas partikel-partikel materi yang bergerak dalam ruang dan waktu yang absolut. Namun, dengan munculnya teori relativitas Einstein dan fisika kuantum, konsep ruang, waktu, dan materi mengalami redefinisi yang mendalam, sehingga status ontologis dari entitas seperti medan, gaya, bahkan partikel itu sendiri menjadi problematis¹. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah teori ilmiah menggambarkan realitas secara objektif, ataukah hanya menyajikan model fungsional untuk memprediksi fenomena?

Dua kutub utama dalam debat ontologi sains adalah realisme ilmiah dan anti-realisme. Kaum realis berpendapat bahwa teori ilmiah yang sukses secara empirik kemungkinan besar benar dan menggambarkan realitas secara akurat, termasuk entitas yang tidak dapat diamati seperti elektron atau gelombang elektromagnetik². Sebaliknya, kaum anti-realis, seperti Bas van Fraassen, berpandangan bahwa keberhasilan teori tidak menjamin kebenaran ontologisnya, dan bahwa teori hanya perlu “sesuai dengan fenomena” (empirical adequacy) tanpa mengklaim kebenaran metafisik³.

Di tengah perdebatan ini, muncul pula pendekatan-pendekatan baru seperti realisme struktural, yang mencoba mempertahankan keyakinan terhadap struktur relasi yang diungkap teori-teori ilmiah tanpa mengikatkan diri pada realitas dari entitas individual⁴. Pendekatan ini menunjukkan bahwa ontologi sains bukanlah soal kepercayaan buta atau skeptisisme penuh, melainkan refleksi kritis terhadap bagaimana pengetahuan ilmiah dikonstruksi, dimodelkan, dan dipahami secara filosofis.

Kajian ontologis terhadap sains menjadi semakin penting di era sains kontemporer, ketika model-model ilmiah yang kompleks dan abstrak (seperti model Higgs boson atau medan kuantum) semakin jauh dari pengalaman langsung manusia, namun memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan, teknologi, dan cara kita memahami dunia. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menelaah secara sistematis permasalahan ontologis dalam sains, khususnya menyangkut eksistensi entitas ilmiah dan status realitas hukum-hukum alam, dengan menghadirkan pandangan-pandangan kunci dan pendekatan filosofis yang berkembang hingga saat ini.


Footnotes

[1]                Steven French dan James Ladyman, Remodelling Structural Realism: Quantum Physics and the Metaphysics of Structure (Synthese Library, Vol. 294. Dordrecht: Springer, 2003), 3–6.

[2]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 4–7.

[3]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–16.

[4]                James Ladyman, Everything Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 125–130.


2.           Ontologi: Sebuah Pengantar Filosofis

Dalam ranah filsafat, ontologi merupakan salah satu cabang utama yang mengkaji hakikat keberadaan (being) dan struktur realitas. Istilah ini berakar dari bahasa Yunani, ontos (ada) dan logos (kajian atau wacana), yang secara etimologis merujuk pada “ilmu tentang yang ada”¹. Ontologi tidak sekadar menanyakan apa yang ada, tetapi juga bagaimana sesuatu itu ada, dan dalam bentuk apa eksistensinya dapat dipahami. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah hanya benda konkret yang benar-benar ada?”, “Apakah sifat dan relasi juga memiliki status ontologis?”, atau “Bagaimana kita membedakan entitas nyata dari fiksi teoretis?” merupakan contoh problematika ontologis yang mendalam.

Ontologi sering dibedakan ke dalam dua bentuk besar: ontologi metafisik dan ontologi ilmiah (scientific ontology). Ontologi metafisik mencoba menyusun klasifikasi umum dari segala yang ada, termasuk konsep-konsep seperti substansi, kualitas, kuantitas, dan relasi. Ia bersifat abstrak dan spekulatif, seringkali berkaitan dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hakikat kenyataan secara universal². Di sisi lain, ontologi ilmiah lebih terfokus pada entitas dan struktur yang diasumsikan oleh ilmu pengetahuan—baik dalam bentuk teori, hukum, maupun model-model ilmiah—dan sejauh mana entitas tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari realitas.

Perkembangan filsafat analitik pada abad ke-20 telah menempatkan ontologi dalam posisi yang lebih formal dan sistematis. Misalnya, Willard Van Orman Quine berargumen bahwa komitmen ontologis suatu teori dapat ditentukan melalui bentuk logis dari kalimat-kalimat yang diperlukan teori itu untuk menjelaskan fenomena empiris³. Dengan demikian, pertanyaan “apa yang ada” harus direspon berdasarkan apa yang harus diasumsikan secara ontologis agar teori ilmiah bekerja secara konsisten. Quine menegaskan bahwa komitmen ontologis tidak bisa dihindari dalam praktik ilmiah, karena setiap teori membawa asumsi tentang entitas yang harus ada agar teori tersebut masuk akal⁴.

Lebih lanjut, diskusi ontologi juga mencakup bagaimana bahasa mempengaruhi realitas yang kita bangun secara konseptual. Dalam pandangan ontologi berbasis bahasa, seperti yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Peter Strawson, struktur ontologis dunia tidak bisa dilepaskan dari struktur bahasa dan konsep-konsep dasar yang digunakan oleh manusia untuk memahaminya⁵. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa pembahasan tentang "apa yang ada" tidak selalu bebas nilai atau netral, melainkan dipengaruhi oleh kerangka linguistik dan budaya yang melatarinya.

Dengan demikian, kajian ontologi tidak hanya menjadi pilar penting dalam filsafat secara umum, tetapi juga menyediakan kerangka konseptual bagi filsafat sains. Di sinilah ontologi berinteraksi erat dengan epistemologi dan metodologi ilmiah: ontologi bertanya tentang apa yang ada, epistemologi tentang bagaimana kita mengetahuinya, dan metodologi tentang bagaimana kita menyelidikinya secara sistematis. Tanpa dasar ontologis yang jelas, pemahaman kita terhadap realitas ilmiah menjadi rentan terhadap relativisme dan spekulasi bebas.


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, “Empiricism, Semantics, and Ontology,” Revue Internationale de Philosophie 4, no. 11 (1950): 20.

[2]                E. J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 5–8.

[3]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[4]                W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 10–13.

[5]                P.F. Strawson, Individuals: An Essay in Descriptive Metaphysics (London: Methuen, 1959), 9–11.


3.           Ontologi dalam Sains: Fokus dan Pertanyaan Kunci

Dalam konteks filsafat ilmu, ontologi sains mengkaji apa yang diasumsikan ada oleh teori-teori ilmiah, dan dalam bentuk apa eksistensi itu dipahami. Ia bergerak dari pertanyaan filosofis yang lebih umum tentang “apa yang ada” menuju fokus yang lebih spesifik: apakah entitas yang dikemukakan oleh sains seperti elektron, medan gravitasi, atau gen benar-benar ada secara objektif, ataukah hanya merupakan konstruksi teoritis yang berguna secara praktis tetapi tidak merepresentasikan realitas secara langsung?

Ontologi sains berkaitan erat dengan komitmen ontologis dari teori ilmiah. Ketika fisika modern, misalnya, berbicara tentang partikel subatomik seperti quark atau boson Higgs, maka muncul pertanyaan ontologis: apakah entitas tersebut benar-benar ada di alam, ataukah hanya merupakan alat konseptual untuk mempermudah kalkulasi dan prediksi? Menurut Quine, pertanyaan seperti ini penting karena to be is to be the value of a variable, yang berarti bahwa keberadaan suatu entitas dapat dipahami melalui peran yang dimainkan dalam struktur logis teori yang memuatnya¹.

Lebih dari sekadar katalog entitas, ontologi sains juga mempertanyakan bagaimana struktur realitas ditangkap oleh teori ilmiah. Apakah teori-teori itu menggambarkan realitas atau hanya merepresentasikan fenomena melalui model-model buatan manusia? Di sinilah muncul perbedaan mendasar antara pendekatan realis, yang memandang teori sebagai upaya mendekati kebenaran ontologis dunia, dan pendekatan anti-realis, yang lebih menekankan fungsi pragmatis teori dalam memprediksi dan mengontrol gejala².

Pertanyaan-pertanyaan kunci dalam ontologi sains mencakup:

·                     Apakah entitas ilmiah yang tak teramati (unobservables) seperti elektron atau medan kuantum benar-benar ada?

·                     Apa status ontologis hukum-hukum alam—apakah mereka “ada” sebagai entitas metafisik, atau hanya generalisasi dari observasi?

·                     Apakah teori ilmiah mencerminkan struktur realitas secara objektif, atau sekadar membangun narasi yang fungsional dalam kerangka budaya dan bahasa tertentu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong munculnya berbagai posisi filosofis, salah satunya realisme struktural. Pendekatan ini menyatakan bahwa walaupun kita tidak dapat mengetahui hakikat terdalam dari entitas individu, kita masih dapat mengenali struktur relasional antara entitas tersebut yang diungkap oleh teori ilmiah³. Ini merupakan upaya untuk mempertahankan komitmen terhadap “realitas ilmiah” tanpa jatuh pada klaim metafisika yang terlalu spekulatif.

Dalam praktiknya, sains tidak dapat menghindari pertimbangan ontologis. Sebuah teori yang menggambarkan elektron sebagai entitas bermassa dan bermuatan bukan sekadar menyusun model matematis, tetapi juga menyiratkan bentuk eksistensi tertentu dari objek itu dalam dunia nyata. Bahkan dalam ilmu-ilmu yang lebih empiris seperti biologi atau psikologi, konsep seperti spesies, kesadaran, atau mekanisme evolusi menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas dan legitimasi ontologis dari apa yang disebut “realitas ilmiah”.

Dengan demikian, ontologi sains membuka diskursus filosofis yang menantang kita untuk menelaah lebih dalam struktur realitas yang diasumsikan oleh sains modern, serta memperjelas hubungan antara teori, model, dan kenyataan. Hal ini menjadi penting, tidak hanya bagi filsuf, tetapi juga bagi ilmuwan, pendidik, dan publik luas yang bergantung pada sains sebagai bentuk otoritas pengetahuan.


Footnotes

[1]                W.V.O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 13–15.

[2]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 8–10.

[3]                James Ladyman, Don Ross, et al., Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–134.


4.           Realisme vs Anti-Realisme dalam Sains

Salah satu perdebatan paling mendasar dalam ontologi sains adalah antara realisme ilmiah dan anti-realisme. Perdebatan ini tidak hanya menyangkut status metafisik dari entitas ilmiah, tetapi juga melibatkan klaim epistemologis mengenai kebenaran teori-teori sains. Di satu sisi, realisme ilmiah mempertahankan bahwa teori-teori ilmiah yang sukses memberikan representasi akurat tentang struktur dunia, termasuk entitas yang tidak teramati seperti elektron, quark, atau medan gravitasi. Di sisi lain, anti-realisme—dalam berbagai bentuknya seperti instrumentalism dan konstruktivisme empiris—menganggap teori-teori ilmiah hanya sebagai alat untuk memprediksi fenomena, tanpa harus mencerminkan realitas secara objektif.

Realis ilmiah berpendapat bahwa keberhasilan prediktif dan eksplanatoris suatu teori merupakan alasan terbaik untuk mempercayai bahwa teori tersebut setidaknya mendekati kebenaran. Pandangan ini dikenal sebagai no miracle argument (argumen “bukan karena keajaiban”), yang pertama kali dirumuskan secara eksplisit oleh Hilary Putnam. Menurut Putnam, jika teori-teori ilmiah tidak secara kasar benar, maka keberhasilan luar biasa mereka dalam menjelaskan dan memprediksi fenomena dunia akan menjadi keajaiban yang tak dapat dijelaskan¹. Pandangan ini didukung oleh tokoh seperti Stathis Psillos, yang menyatakan bahwa realisme ilmiah memberikan penjelasan terbaik atas stabilitas struktur teori-teori sukses sepanjang sejarah sains².

Sebaliknya, kaum anti-realis menolak klaim tersebut dengan berbagai argumen kritis. Salah satu bentuk anti-realisme yang paling berpengaruh adalah konstruktivisme empiris, yang dikembangkan oleh Bas C. van Fraassen. Ia berpendapat bahwa tujuan sains bukanlah untuk menemukan kebenaran metafisik, melainkan untuk menghasilkan teori yang “empirically adequate”, yaitu teori yang secara sukses menjelaskan dan memprediksi data observasi tanpa mengharuskan kepercayaan pada eksistensi entitas tak teramati³. Dalam pandangannya, menerima teori sebagai benar secara literal melebihi apa yang dibenarkan oleh bukti empiris.

Kaum anti-realis juga sering mengacu pada argumen dari sejarah sains (pessimistic meta-induction), yang menunjukkan bahwa banyak teori ilmiah sukses di masa lalu (misalnya teori eter atau humoral medicine) kemudian terbukti salah secara ontologis dan ditinggalkan. Oleh karena itu, mereka beralasan bahwa tidak ada alasan kuat untuk mempercayai bahwa teori-teori kita saat ini secara literal benar⁴.

Namun demikian, posisi antara realisme dan anti-realisme tidak selalu bersifat dikotomis. Misalnya, pendekatan realisme struktural mencoba menjembatani keduanya dengan mengklaim bahwa yang bertahan dalam transisi teori ilmiah adalah struktur relasionalnya, bukan entitas individualnya. Dengan demikian, meskipun kita tidak bisa mengetahui hakikat terdalam dari entitas ilmiah, kita masih bisa mempercayai bahwa struktur dunia sebagaimana ditangkap oleh teori-teori ilmiah mencerminkan suatu bentuk realitas⁵.

Perdebatan antara realisme dan anti-realisme tetap menjadi arena diskusi yang hidup dalam filsafat sains kontemporer. Ia tidak hanya menyangkut filsafat teori, tetapi juga berdampak pada bagaimana sains diajarkan, dikomunikasikan, dan diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini, sikap terhadap realitas ilmiah akan membentuk cara kita memahami sains sebagai bentuk pengetahuan—apakah sebagai representasi realitas objektif atau sebagai konstruksi pragmatis dalam konteks historis tertentu.


Footnotes

[1]                Hilary Putnam, Reason, Truth, and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 73.

[2]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 98–101.

[3]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–16.

[4]                Larry Laudan, “A Confutation of Convergent Realism,” Philosophy of Science 48, no. 1 (1981): 19–49.

[5]                James Ladyman, Don Ross, et al., Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–140.


5.           Kasus-Kasus Ontologis: Entitas dalam Sains

Salah satu cara paling konkret untuk memahami problematika ontologis dalam sains adalah dengan menelaah kasus-kasus nyata yang melibatkan entitas-entitas ilmiah, terutama yang bersifat tidak teramati secara langsung (unobservables). Kasus-kasus ini memperlihatkan bagaimana perdebatan antara realisme dan anti-realisme tidak hanya berlangsung pada tingkat abstrak, tetapi menyentuh fondasi dari teori-teori ilmiah yang digunakan dalam praktik.

5.1.       Elektron dan Entitas Subatomik

Sejak ditemukan dalam eksperimen oleh J.J. Thomson pada tahun 1897, elektron telah menjadi pilar utama dalam teori atom dan fisika kuantum. Namun, apakah elektron benar-benar ada sebagaimana dijelaskan oleh teori, ataukah hanya merupakan alat konseptual yang digunakan untuk menjelaskan perilaku listrik dan medan? Kaum realis berpendapat bahwa stabilitas teori tentang elektron, keberhasilan prediksinya, dan penerapannya dalam teknologi merupakan bukti bahwa elektron memiliki status ontologis yang nyata¹. Sebaliknya, kaum anti-realis seperti van Fraassen menganggap bahwa kita tidak perlu mempercayai keberadaan literal elektron; cukup bahwa teori yang menyertainya mampu menjelaskan fenomena yang teramati².

5.2.       Medan Gravitasi dan Medan Elektromagnetik

Medan sebagai entitas fisika juga menjadi pusat debat ontologis. Dalam teori Newton, gaya gravitasi dipandang sebagai aksi instan di antara dua massa—sebuah ide yang kemudian digantikan oleh konsep medan dalam teori relativitas umum Einstein, yang mendeskripsikan gravitasi sebagai kelengkungan ruang-waktu. Pertanyaannya adalah: apakah medan ini merupakan entitas riil yang ada di ruang, atau hanya representasi matematis dari hubungan antar objek fisik? Filosof sains seperti Michael Friedman menunjukkan bahwa teori medan seringkali berfungsi sebagai medium representasional, tetapi mengaburkan batas antara realitas dan model matematis³.

Hal serupa berlaku pada medan elektromagnetik dalam teori Maxwell. Banyak ilmuwan dan filsuf menganggap medan ini lebih dari sekadar alat prediktif karena efek-efek fisiknya dapat diukur dan diobservasi secara tidak langsung. Namun, kaum anti-realis tetap mempertanyakan apakah kita benar-benar perlu berkomitmen secara ontologis terhadap eksistensi “medan” sebagai sesuatu yang ada di luar teori⁴.

5.3.       Gen dan Entitas Biologis

Dalam biologi modern, gen telah menjadi konsep sentral dalam menjelaskan hereditas dan ekspresi fenotip. Namun, gen bukanlah entitas yang dapat diamati secara langsung dalam semua kasus. Perdebatan tentang apakah gen itu unit fisik (seperti segmen DNA tertentu), ataukah entitas fungsional (produk dari aktivitas molekuler yang kompleks), memperlihatkan bahwa entitas biologis pun tidak terlepas dari pertanyaan ontologis⁵. Dalam pendekatan konstruktivis, gen dapat dilihat sebagai konstruksi konseptual yang berfungsi dalam kerangka kerja eksperimental tertentu, bukan sebagai objek yang sepenuhnya mandiri secara ontologis.

5.4.       Higgs Boson dan Partikel Fundamental

Penemuan Higgs boson pada tahun 2012 oleh Large Hadron Collider menandai keberhasilan prediksi dari Model Standar fisika partikel. Namun, proses penemuan ini memunculkan pertanyaan: Apakah Higgs boson benar-benar “ditemukan” sebagai entitas fisik, ataukah hanya “dikonfirmasi” sebagai fitur dalam model prediktif? Filosof seperti Ian Hacking membela realisme eksperimental dengan menyatakan bahwa jika kita dapat “mengutak-atik” sesuatu (intervene), maka hal itu nyata⁶. Namun, pendekatan ini tetap terbuka untuk kritik dari mereka yang menekankan peran eksperimentasi sebagai konstruksi yang ditopang oleh teori.


Kesimpulan Kasus

Dari berbagai kasus di atas, tampak jelas bahwa eksistensi entitas ilmiah sangat tergantung pada kerangka teori yang melandasinya, serta pada cara sains membangun legitimasi melalui model, eksperimen, dan bahasa. Sementara realisme ilmiah memberi landasan metafisik bagi entitas-entitas tersebut, anti-realisme menantang klaim-klaim tersebut dengan menunjukkan bahwa keberhasilan praktis teori tidak selalu membuktikan keberadaan realitas objektif dari komponen-komponennya. Ontologi sains, dengan demikian, tidak hanya menuntut ketelitian dalam berpikir metafisik, tetapi juga kepekaan terhadap dinamika praktik ilmiah kontemporer.


Footnotes

[1]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 99–104.

[2]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 202–207.

[3]                Michael Friedman, Foundations of Space-Time Theories: Relativistic Physics and Philosophy of Science (Princeton: Princeton University Press, 1983), 238–241.

[4]                Richard Boyd, “Realism, Underdetermination, and a Causal Theory of Evidence,” in Scientific Theories, ed. C. Wade Savage (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1990), 355–377.

[5]                Evelyn Fox Keller, The Century of the Gene (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 5–8.

[6]                Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 262–265.


6.           Hukum-Hukum Alam: Deskriptif, Normatif, atau Real?

Di samping entitas ilmiah seperti partikel subatomik atau medan fisika, hukum-hukum alam merupakan aspek mendasar dalam sains yang juga menimbulkan persoalan ontologis penting. Apakah hukum-hukum ini merupakan deskripsi netral atas pola-pola yang tampak dalam alam, ataukah mereka memiliki status normatif yang secara ontologis "mengatur" perilaku entitas fisik? Lebih jauh lagi, apakah hukum-hukum alam ini merupakan entitas real yang memiliki eksistensi objektif, atau hanya abstraksi logis dari kebiasaan empiris?

Secara historis, pandangan Humean tentang hukum alam memandang hukum sebagai generalitas deskriptif, yaitu pernyataan umum yang menyatakan keteraturan empiris di alam. Dalam pandangan ini, hukum tidak memiliki kekuatan kausal atau normatif apa pun; ia sekadar mencatat korelasi stabil antara peristiwa yang diamati. Misalnya, hukum Newton tentang gravitasi tidak lebih dari sebuah ringkasan atas pola tarikan antar benda bermassa yang telah diamati berulang kali¹. Tokoh seperti David Lewis mengembangkan pandangan ini dalam kerangka metafisika best systems analysis, di mana hukum adalah bagian dari sistem deskriptif terbaik yang menyeimbangkan kesederhanaan dan kekuatan eksplanatori².

Namun, banyak filsuf sains menolak pendekatan Humean ini karena dianggap gagal menjelaskan kekuatan normatif hukum ilmiah, yaitu mengapa hukum-hukum itu mengharuskan entitas fisik untuk berperilaku sesuai dengannya. Dalam pandangan non-Humean atau realis, hukum-hukum alam bukan sekadar deskripsi, melainkan berperan sebagai struktur kausal yang membentuk realitas fisik. Menurut Dretske, Tooley, dan Armstrong—pendukung teori disposisional hukum—hukum alam bersifat nomologis, yaitu menunjukkan relasi kausal esensial antar properti yang ada secara nyata³. Dari perspektif ini, hukum bukan sekadar "menggambarkan", tetapi "mewajibkan".

Masalah ontologis lainnya menyangkut lokasi hukum alam dalam struktur realitas: di mana hukum-hukum ini berada? Apakah hukum-hukum seperti hukum termodinamika atau prinsip ketidakpastian Heisenberg adalah bagian dari struktur metafisik dunia, ataukah hanya hasil konstruksi teoretis manusia? Pendekatan realis struktural berupaya menjawabnya dengan menyatakan bahwa hukum-hukum mencerminkan struktur relasional yang objektif dan dapat dikenali oleh sains, meskipun mungkin tidak sepenuhnya transparan secara ontologis⁴.

Sebagai contoh, dalam fisika klasik Newtonian, hukum-hukum dianggap universal, deterministik, dan absolut, sedangkan dalam fisika kuantum dan relativitas umum, hukum-hukum lebih probabilistik dan kontekstual. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah perubahan paradigma ini mengubah hukum-hukum realitas itu sendiri, ataukah hanya mengungkap lapisan-lapisan baru dari realitas yang lebih kompleks dan sebelumnya tersembunyi? Nancy Cartwright, misalnya, berargumen bahwa hukum-hukum ilmiah bersifat “ceteris paribus” (berlaku dalam kondisi tertentu saja), sehingga tidak bisa dianggap sebagai kebenaran universal yang berlaku mutlak⁵.

Selain itu, pendekatan pragmatis dan konstruktivis juga mempertanyakan apakah hukum-hukum alam itu ditemukan atau diciptakan. Dalam kerangka ini, hukum tidak harus dianggap sebagai entitas metafisik, tetapi sebagai produk konseptual yang lahir dari kerangka teoritis, eksperimental, dan praktis sains dalam konteks sosial dan historisnya⁶.

Dengan demikian, perdebatan mengenai hukum alam menyentuh inti persoalan ontologis dalam sains: apakah dunia diatur oleh struktur hukum yang inheren, ataukah hukum-hukum itu hanya refleksi dari cara manusia menstrukturkan pengalaman terhadap dunia? Tidak ada konsensus tunggal dalam filsafat sains, tetapi yang jelas, hukum-hukum alam tidak dapat direduksi begitu saja menjadi deskripsi netral tanpa mempertimbangkan kompleksitas metafisik dan epistemologis yang menyertainya.


Footnotes

[1]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 55–60.

[2]                David Lewis, “A Subjectivist’s Guide to Objective Chance,” in Philosophy of Science: The Central Issues, ed. Martin Curd and J.A. Cover (New York: W. W. Norton, 1998), 600–615.

[3]                David Armstrong, What is a Law of Nature? (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 84–86.

[4]                James Ladyman et al., Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 140–145.

[5]                Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983), 49–52.

[6]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 65–70.


7.           Ontologi Teori Ilmiah dan Model

Teori ilmiah dan model-model yang menyertainya merupakan instrumen utama dalam sains untuk memahami, menjelaskan, dan memprediksi fenomena alam. Namun, pertanyaan kunci yang muncul dalam ontologi sains adalah: apakah teori ilmiah mencerminkan realitas objektif, ataukah hanya merupakan konstruksi konseptual yang fungsional? Pertanyaan ini menyoroti status ontologis dari teori dan model ilmiah, serta relasi antara representasi ilmiah dan kenyataan yang direpresentasikan.

Dalam tradisi realis ilmiah, teori-teori ilmiah diyakini tidak hanya bekerja secara pragmatis, tetapi juga mewakili struktur dunia secara akurat. Menurut Stathis Psillos, teori ilmiah terdiri dari komitmen terhadap entitas, struktur, dan mekanisme yang sebenarnya ada, dan yang dijelaskan oleh teori tersebut¹. Dalam kerangka ini, teori bukan hanya alat prediksi, melainkan juga deskripsi yang mendekati kebenaran tentang dunia. Teori elektromagnetik Maxwell, misalnya, diyakini bukan sekadar model kalkulasi, tetapi benar-benar mengungkap sifat dasar dari fenomena elektromagnetik.

Namun, pendekatan lain seperti instrumentalisme dan konstruktivisme empiris (seperti yang diajukan oleh Bas van Fraassen) menolak klaim ontologis semacam itu. Van Fraassen berpendapat bahwa teori ilmiah cukup dinilai dari kecocokannya dengan data empiris, tanpa perlu meyakini bahwa teori tersebut benar secara literal². Teori dianggap sebagai alat untuk menjelaskan fenomena yang tampak, bukan cermin dari struktur realitas.

Isu yang lebih kompleks muncul ketika kita membahas model ilmiah, yang sering digunakan untuk menjembatani teori dengan dunia empiris. Model seperti model atom Bohr, model sistem iklim, atau simulasi epidemiologi bukanlah teori itu sendiri, melainkan representasi idealisasi yang menyederhanakan realitas demi tujuan pemahaman. Dalam pandangan filsuf seperti Ronald Giere, model bukanlah salinan realitas, melainkan representasi yang “mirip” dalam aspek tertentu dan untuk tujuan tertentu³. Maka, kebenaran model tidak absolut, tetapi bergantung pada relasi representasional yang kontekstual.

Ini menimbulkan pertanyaan: apakah model memiliki status ontologis yang independen, atau hanya turunan dari teori dan data? Dalam pendekatan realis struktural seperti yang dikemukakan James Ladyman, yang direpresentasikan oleh teori dan model bukan entitas individual, melainkan struktur relasional antara entitas. Artinya, meskipun kita tidak dapat mengetahui entitas secara pasti, kita dapat mempercayai struktur hubungan yang terungkap melalui teori dan model⁴.

Dalam praktik ilmiah, idealization dan approximation adalah bagian tak terpisahkan dari konstruksi teori dan model. Hukum Newton, misalnya, hanya berlaku dalam kerangka tertentu dan mengabaikan faktor-faktor seperti gesekan atau relativitas. Meski demikian, hukum ini tetap digunakan secara luas dalam rekayasa dan fisika klasik karena model idealnya berfungsi dengan sangat baik dalam kondisi tertentu. Hal ini menandakan bahwa kebenaran ilmiah sering kali bersifat kontekstual dan parsial, bukan absolut dan universal⁵.

Akhirnya, perdebatan ontologis mengenai teori dan model tidak dapat dipisahkan dari praktik ilmiah konkret: bagaimana ilmuwan mengembangkan, menguji, dan merevisi teori serta model dalam dialog terus-menerus dengan dunia empiris. Ontologi sains dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan apa yang ada, tetapi juga dengan bagaimana sains membangun jembatan antara teori, model, dan realitas melalui representasi yang dipahami secara filosofis dan metodologis.


Footnotes

[1]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 106–110.

[2]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–19.

[3]                Ronald N. Giere, Scientific Representation: Parallels between Art and Science (Oxford: Oxford University Press, 2006), 60–67.

[4]                James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–135.

[5]                Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement (Oxford: Clarendon Press, 1989), 187–190.


8.           Pendekatan Kontemporer terhadap Ontologi Sains

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat sains pada abad ke-20 dan 21, wacana ontologi sains telah mengalami transformasi yang signifikan. Para filsuf kontemporer tidak hanya mewarisi perdebatan klasik antara realisme dan anti-realisme, tetapi juga menawarkan pendekatan-pendekatan baru yang lebih kompleks dan kontekstual dalam memahami status ontologis dari entitas ilmiah, hukum-hukum alam, dan teori-teori ilmiah. Di antara pendekatan-pendekatan tersebut, realisme struktural, realisme eksperimental, dan ontologi naturalistik menempati posisi penting dalam diskursus modern.

8.1.       Realisme Struktural

Salah satu pendekatan paling berpengaruh adalah realisme struktural (structural realism), yang berusaha menjembatani kelebihan realisme ilmiah dan kritik anti-realisme. Pendekatan ini berpendapat bahwa apa yang bertahan dalam transisi teori ilmiah bukanlah entitas individual yang dipostulasikan teori, melainkan struktur relasional antar entitas tersebut. John Worrall, tokoh penting dalam pendekatan ini, menegaskan bahwa keberhasilan teori-teori ilmiah dapat dijelaskan dengan mengasumsikan bahwa struktur matematika dan relasi dalam teori merepresentasikan aspek nyata dari dunia, meskipun entitas yang diacu mungkin berubah dalam sejarah sains¹.

Realisme struktural terbagi menjadi dua aliran utama: realisme struktural epistemik (yang mengklaim bahwa kita hanya mengetahui struktur relasional teori, bukan hakikat entitasnya), dan realisme struktural ontik (yang menyatakan bahwa struktur itu sendiri adalah entitas dasar dari realitas)². James Ladyman dan Don Ross, misalnya, dalam proyek mereka yang disebut ontologi naturalistik, menolak metafisika tradisional dan menyatakan bahwa struktur relasional, bukan objek individu, adalah dasar dari apa yang ada³.

8.2.       Realisme Eksperimental

Pendekatan lain yang relevan adalah realisme eksperimental, yang diformulasikan oleh Ian Hacking. Ia mengusulkan bahwa keyakinan terhadap realitas entitas ilmiah harus didasarkan pada keterlibatan aktif dalam eksperimen, bukan hanya dari keberhasilan teorinya. Dalam karyanya Representing and Intervening, Hacking menyatakan bahwa “if you can spray them, then they are real”—yakni, jika kita dapat memanipulasi entitas tersebut dalam eksperimen dan mengamati efeknya, maka kita memiliki dasar yang kuat untuk percaya pada eksistensinya⁴. Pendekatan ini menggeser fokus dari representasi teoretis menuju praktik eksperimental sebagai dasar ontologis.

8.3.       Pendekatan Naturalistik dan Anti-Metafisik

Selain realisme struktural dan eksperimental, muncul pula pendekatan naturalistik dalam filsafat sains, yang menolak metafisika spekulatif dan menekankan konsistensi dengan temuan ilmiah aktual. Dalam kerangka ini, ontologi harus dibentuk oleh—dan tunduk pada—metodologi ilmiah itu sendiri. Ladyman dan Ross mengkritik pendekatan metafisika tradisional yang spekulatif dan menyatakan bahwa banyak pertanyaan ontologis klasik tidak bermakna jika tidak dapat diuji secara ilmiah⁵. Pendekatan ini menuntut agar filsafat menyesuaikan diri dengan praktik sains kontemporer, termasuk teori fisika modern, biologi evolusioner, dan neurokognitif.

8.4.       Pluralisme Ontologis dan Kontekstualisme

Wacana kontemporer juga membuka ruang bagi pluralisme ontologis, yaitu pandangan bahwa berbagai domain sains mungkin membutuhkan kerangka ontologis yang berbeda. Apa yang “ada” dalam fisika tidak harus sama dengan yang “ada” dalam biologi, psikologi, atau ilmu sosial. Misalnya, konsep gen dalam biologi molekuler memiliki dimensi ontologis yang berbeda dibandingkan dengan konsep gaya dalam fisika klasik. Karen Barad bahkan mengajukan pendekatan onto-epistemologi, yang menggabungkan pertanyaan ontologis dan epistemologis dalam kerangka interaktif antara subjek, objek, dan alat eksperimental⁶.


Dengan demikian, pendekatan kontemporer terhadap ontologi sains menampilkan keragaman strategi konseptual yang tidak lagi terjebak dalam dikotomi realisme vs anti-realisme. Pendekatan-pendekatan ini menekankan bahwa pemahaman tentang “apa yang ada” tidak bisa dilepaskan dari struktur teori, praktik eksperimental, konteks historis, dan bahkan kebijakan ilmiah. Hal ini mencerminkan pergeseran besar dalam filsafat sains kontemporer dari ontologi yang abstrak menuju ontologi yang terkontekstualisasi dan berakar pada praktik ilmiah nyata.


Footnotes

[1]                John Worrall, “Structural Realism: The Best of Both Worlds?” Dialectica 43, no. 1–2 (1989): 99–124.

[2]                Steven French dan James Ladyman, “Remodelling Structural Realism: Quantum Physics and the Metaphysics of Structure,” Synthese 136, no. 1 (2003): 31–56.

[3]                James Ladyman dan Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–147.

[4]                Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 23–25.

[5]                James Ladyman dan Don Ross, Every Thing Must Go, 15–19.

[6]                Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press, 2007), 132–138.


9.           Implikasi Filsafat Ontologis bagi Praktik Ilmiah

Pertanyaan-pertanyaan ontologis dalam sains—tentang apa yang benar-benar ada, bagaimana hukum-hukum alam bekerja, dan apa yang direpresentasikan oleh teori ilmiah—tidak hanya bersifat spekulatif atau filosofis murni. Sebaliknya, kajian ontologis memiliki implikasi langsung terhadap praktik ilmiah, baik dalam desain eksperimen, interpretasi data, pengembangan teori, hingga pengambilan kebijakan berbasis sains. Ontologi dalam filsafat sains membantu mengungkap kerangka asumsi dasar yang, secara eksplisit maupun implisit, mengarahkan cara ilmuwan memahami dan menjelajahi dunia alam.

9.1.       Eksperimen dan Komitmen Ontologis

Desain dan pelaksanaan eksperimen ilmiah seringkali didasarkan pada asumsi ontologis tentang keberadaan dan perilaku entitas yang diuji. Misalnya, percobaan yang melibatkan partikel elementer atau medan kuantum mensyaratkan komitmen bahwa entitas tersebut “benar-benar ada” dan dapat dimanipulasi. Dalam konteks ini, realisme eksperimental seperti yang dikemukakan oleh Ian Hacking memberikan dasar epistemologis yang kuat bagi praktik ilmiah: “Kita mempercayai keberadaan sesuatu ketika kita dapat memanipulasinya secara langsung melalui eksperimen”¹. Dengan demikian, komitmen ontologis menjadi landasan operasional dalam banyak aktivitas ilmiah, bukan sekadar spekulasi teoritis.

9.2.       Interpretasi Data dan Struktur Teori

Dalam menafsirkan data empiris, ilmuwan tidak bekerja dalam ruang hampa; mereka selalu menggunakan teori yang disertai struktur ontologis tertentu. Sebuah data spektroskopi, misalnya, tidak memiliki makna ilmiah kecuali diinterpretasikan melalui model kuantum atom atau molekul. Hal ini menunjukkan bahwa kerangka teori ilmiah menyediakan “lensa ontologis” melalui mana realitas diamati dan ditafsirkan². Filsafat ontologi membantu menyadarkan ilmuwan akan keterkaitan erat antara representasi konseptual dan komitmen terhadap eksistensi entitas yang dipostulasikan oleh teori.

9.3.       Pengembangan Teori dan Penyederhanaan Model

Filsafat ontologis juga berdampak pada cara teori dikembangkan. Dalam banyak bidang sains, pengembangan model ilmiah mengharuskan idealization—yakni penyederhanaan dari kondisi nyata untuk membangun struktur teoritis yang dapat dianalisis. Nancy Cartwright menunjukkan bahwa hukum-hukum fisika tidak selalu berlaku secara universal, tetapi sering kali dirancang untuk bekerja “dalam kondisi ideal”³. Maka, pertanyaan tentang apa yang “real” dalam teori yang diidealisasi menjadi penting untuk membatasi klaim teoritis dan mencegah generalisasi berlebihan. Kesadaran ontologis ini membantu menghindari kekeliruan dalam menerapkan teori secara dogmatis di luar konteks validitasnya.

9.4.       Sains Terapan dan Kebijakan Publik

Dalam konteks sains terapan dan kebijakan publik—misalnya dalam epidemiologi, iklim, atau teknologi nuklir—ontologi teori dan model sangat memengaruhi keputusan praktis. Jika model epidemiologi didasarkan pada asumsi deterministik atau statistik, maka pemahaman tentang keberadaan entitas seperti “laju transmisi” atau “efektivitas vaksin” akan berpengaruh langsung pada kebijakan. Bila asumsi ontologis tidak dipahami dengan jelas, maka kebijakan berbasis model dapat disalahartikan sebagai refleksi literal dari kenyataan, padahal ia hanyalah representasi terbatas dari kondisi yang sangat kompleks⁴.

9.5.       Ontologi dan Pendidikan Sains

Selain aspek teknis, implikasi ontologis juga penting dalam pendidikan sains. Ketika teori-teori sains diajarkan tanpa mengungkap kerangka ontologis yang melandasinya, siswa dapat terjebak dalam positivisme naif—menganggap teori sebagai kebenaran mutlak tanpa mempertimbangkan sejarah, keterbatasan, dan sifat representasionalnya. Filsafat ontologi dapat membantu mendidik generasi ilmuwan yang lebih reflektif, kritis, dan terbuka terhadap dinamika perubahan paradigma ilmiah, sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Kuhn⁵.


Dengan demikian, filsafat ontologi sains tidak hanya memperluas pemahaman kita tentang realitas ilmiah, tetapi juga menjadi komponen penting dalam praktik ilmiah yang bertanggung jawab dan sadar akan fondasinya sendiri. Ia mengajarkan bahwa sains bukan sekadar akumulasi data dan prediksi model, melainkan juga proses konseptual dan metodologis yang dibentuk oleh pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang apa yang benar-benar ada di alam semesta.


Footnotes

[1]                Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 262.

[2]                Ronald Giere, Scientific Perspectivism (Chicago: University of Chicago Press, 2006), 45–50.

[3]                Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983), 41–45.

[4]                Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 112–117.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 120–125.


10.       Studi Perbandingan: Ontologi dalam Fisika, Biologi, dan Psikologi

Kajian ontologis dalam sains tidak bersifat seragam di seluruh cabang ilmu. Setiap disiplin ilmiah memiliki karakteristik ontologis yang berbeda, tergantung pada objek kajian, metode, dan cara pendekatan terhadap realitas. Fisika, biologi, dan psikologi, sebagai tiga disiplin besar dalam ilmu alam dan manusia, memberikan gambaran yang kontras namun saling melengkapi dalam bagaimana realitas ilmiah dikonstruksi dan dipahami. Melalui studi perbandingan ini, kita dapat melihat bagaimana berbagai domain ilmiah membentuk dan dipengaruhi oleh asumsi ontologisnya masing-masing.

10.1.    Fisika: Ontologi Reduksionis dan Struktural

Fisika secara historis menjadi paradigma utama dalam pembentukan ontologi ilmiah. Dalam tradisi mekanistik Newtonian, dunia fisik dipahami sebagai sistem yang terdiri dari entitas partikular seperti massa, gaya, dan ruang-waktu absolut, yang dapat dijelaskan melalui hukum-hukum deterministik. Ontologi ini bersifat reduksionistik, di mana sistem kompleks dijelaskan melalui bagian-bagiannya yang lebih sederhana¹.

Namun, perkembangan fisika modern, khususnya teori kuantum dan relativitas, telah menggeser kerangka ontologis ini. Dalam mekanika kuantum, entitas seperti elektron tidak lagi memiliki eksistensi tetap dan lokal, tetapi dinyatakan dalam bentuk fungsi gelombang dan probabilitas². Ini menimbulkan persoalan mendalam tentang realitas dari entitas kuantum, sehingga muncul pendekatan seperti realisme struktural, yang menyatakan bahwa yang nyata bukanlah entitas individual, melainkan struktur relasional yang mendasari perilaku mereka³. Dalam fisika, ontologi menjadi semakin abstrak, dan sering kali menantang intuisi metafisik sehari-hari.

10.2.    Biologi: Kompleksitas, Konteks, dan Entitas Organik

Biologi, sebagai ilmu tentang kehidupan, menawarkan tantangan tersendiri bagi pendekatan ontologis. Tidak seperti fisika yang cenderung mencari hukum universal, biologi berhadapan dengan keragaman, ketidakteraturan, dan sifat historis dari organisme hidup. Konsep seperti gen, spesies, adaptasi, dan evolusi tidak mudah direduksi ke dalam hukum deterministik, dan sering kali bersifat kontekstual dan fungsional⁴.

Sebagai contoh, ontologi gen telah bergeser dari pandangan klasik sebagai unit fisik informasi menuju entitas yang bergantung pada jaringan interaksi molekuler dan regulasi epigenetik. Evelyn Fox Keller menunjukkan bahwa gen tidak dapat dipahami sebagai “entitas mandiri”, melainkan sebagai bagian dari sistem kompleks yang hanya bermakna dalam konteks tertentu⁵. Selain itu, dalam biologi evolusioner, spesies bukan sekadar klasifikasi, tetapi entitas populasi yang bersifat dinamis, dengan keberadaan yang terkait erat dengan sejarah dan lingkungan hidupnya⁶.

Dengan demikian, ontologi dalam biologi cenderung bersifat pluralistik, relasional, dan bersandar pada kerangka sistemik, menolak penyederhanaan ke dalam hukum universal seperti dalam fisika.

10.3.    Psikologi: Kesadaran, Representasi, dan Realitas Mental

Psikologi sebagai ilmu tentang pikiran dan perilaku manusia membawa tantangan ontologis yang lebih kompleks lagi, karena objek kajiannya mencakup realitas mental yang tidak dapat diamati secara langsung. Pertanyaan mendasar dalam ontologi psikologi adalah: apakah entitas seperti “kesadaran”, “pikiran”, “emosi”, dan “intensi” benar-benar ada? Dan dalam bentuk apa mereka eksis?

Dalam tradisi behaviorisme, entitas mental dipandang tidak memiliki realitas ilmiah karena tidak dapat diamati, sehingga psikologi difokuskan hanya pada stimulus dan respons yang terukur. Namun, perkembangan kognitivisme mengembalikan perhatian pada representasi internal dan proses mental, sehingga muncul pendekatan yang memandang entitas seperti “memori kerja” atau “pengambilan keputusan” sebagai konstruksi teoritis⁷.

Lebih lanjut, pendekatan neurosains berupaya mengaitkan entitas mental dengan substrat biologis di otak, memunculkan bentuk realisme materialistik, di mana entitas psikologis dianggap nyata sejauh dapat dikaitkan dengan aktivitas neural⁸. Namun, pendekatan ini tetap diperdebatkan, karena fenomena seperti kesadaran belum sepenuhnya dapat direduksi ke dalam proses fisiologis. Oleh karena itu, psikologi mempertahankan posisi ontologis yang terbuka dan multilevel, mengakui keberadaan fenomena mental tanpa menyamakan mereka secara mutlak dengan entitas fisik.


Kesimpulan Perbandingan

Perbandingan antara fisika, biologi, dan psikologi menunjukkan bahwa ontologi dalam sains bersifat domain-spesifik. Fisika cenderung mengedepankan struktur dan reduksionisme, biologi menekankan konteks dan kompleksitas, sedangkan psikologi menghadapi tantangan realitas mental dan representasi. Setiap bidang membawa konsekuensi filosofis tersendiri tentang apa yang dianggap “ada”, serta bagaimana entitas itu dikenali dan dibenarkan secara ilmiah.

Dengan demikian, filsafat ontologi sains tidak dapat bersifat monolitik, tetapi harus terbuka terhadap pluralitas pendekatan dan perbedaan epistemik antar disiplin, sebagaimana disadari dalam pendekatan kontemporer terhadap metafisika ilmiah.


Footnotes

[1]                Ernan McMullin, “The Inference That Makes Science,” The Journal of Philosophy 88, no. 9 (1991): 464–472.

[2]                N. David Mermin, “Is the Moon There When Nobody Looks? Reality and the Quantum Theory,” Physics Today 38, no. 4 (1985): 38–47.

[3]                Steven French dan James Ladyman, “Remodelling Structural Realism: Quantum Physics and the Metaphysics of Structure,” Synthese 136, no. 1 (2003): 31–56.

[4]                John Dupré, The Disorder of Things: Metaphysical Foundations of the Disunity of Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 41–48.

[5]                Evelyn Fox Keller, The Century of the Gene (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 54–59.

[6]                David Hull, Science as a Process: An Evolutionary Account of the Social and Conceptual Development of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 170–175.

[7]                Jerry Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 27–34.

[8]                Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 200–205.


11.       Kritik dan Tantangan terhadap Ontologi Sains

Meskipun ontologi sains telah menjadi fondasi penting dalam filsafat ilmu, pendekatan ini juga menghadapi beragam kritik dan tantangan, baik dari sudut pandang internal (filsafat sains itu sendiri) maupun eksternal (sosiologi, linguistik, dan postmodernisme). Kritik-kritik tersebut menyoroti keterbatasan asumsi ontologis dalam menjelaskan dinamika sains yang sesungguhnya, serta mempersoalkan validitas klaim ontologis dalam konteks pluralisme ilmiah, konstruksi sosial, dan relativitas budaya.

11.1.    Tantangan dari Perspektif Sejarah dan Epistemologi Sains

Salah satu kritik mendasar terhadap ontologi sains berasal dari sejarah perkembangan ilmu itu sendiri. Para sejarawan sains seperti Thomas Kuhn menunjukkan bahwa teori-teori ilmiah tidak berkembang secara kumulatif, melainkan melalui pergeseran paradigma yang sering kali melibatkan perubahan radikal dalam asumsi ontologis⁽¹⁾. Misalnya, peralihan dari fisika Newtonian ke relativitas Einstein mengubah konsep dasar seperti ruang, waktu, dan massa. Hal ini menyiratkan bahwa apa yang dianggap “ada” dalam satu paradigma bisa hilang atau diredefinisi dalam paradigma lain, sehingga menyulitkan klaim ontologis yang stabil dan universal.

Selain itu, pendekatan pessimistic meta-induction (induksi pesimistis) yang dikemukakan oleh Larry Laudan menyatakan bahwa karena banyak teori sukses di masa lalu ternyata salah (seperti teori eter atau flogiston), maka kita harus skeptis terhadap klaim bahwa teori-teori sains saat ini menggambarkan realitas secara akurat⁽²⁾. Hal ini menggoyahkan fondasi realisme ontologis dalam sains.

11.2.    Kritik dari Konstruktivisme Sosial

Dari arah sosiologi pengetahuan ilmiah, muncul pendekatan konstruktivisme sosial, yang menyatakan bahwa realitas ilmiah merupakan hasil konstruksi sosial, bukan sekadar refleksi dari dunia objektif. Tokoh-tokoh seperti Bruno Latour dan Steve Woolgar menunjukkan melalui studi laboratorium bahwa entitas ilmiah dibentuk melalui praktik diskursif, interaksi sosial, dan keputusan institusional, bukan semata-mata “ditemukan” dalam alam⁽³⁾. Dengan demikian, ontologi ilmiah dianggap terikat pada konteks historis, budaya, dan sosial, sehingga tidak bisa diklaim bersifat universal.

Pendekatan ini menantang asumsi bahwa sains dapat secara netral “mengungkap realitas”, dan mendorong kita untuk melihat teori dan entitas ilmiah sebagai produk negosiasi sosial dan retorika ilmiah, bukan objek-objek metafisik yang netral dan tetap.

11.3.    Tantangan dari Bahasa dan Representasi

Ontologi sains juga menghadapi tantangan dari filsafat bahasa dan teori representasi. Filsuf seperti Nelson Goodman dan Bas van Fraassen berargumen bahwa semua representasi ilmiah bersifat selektif dan terikat pada sistem simbolik tertentu, sehingga tidak pernah benar-benar transparan terhadap realitas⁽⁴⁾. Dengan kata lain, teori dan model ilmiah tidak merepresentasikan dunia “sebagaimana adanya”, melainkan membentuk dunia melalui skema konseptual tertentu.

Hal ini memunculkan apa yang disebut sebagai relativisme semantik: bahwa apa yang kita anggap “nyata” sangat bergantung pada bahasa, teori, dan paradigma yang kita gunakan. Dalam konteks ini, klaim ontologis kehilangan kepastian metafisiknya, karena bergantung pada representasi yang tidak bebas nilai.

11.4.    Postmodernisme dan Anti-Fondasionalisme

Kritik yang lebih radikal datang dari arah postmodernisme, yang menolak fondasi metafisik tetap dalam sains. Jean-François Lyotard, misalnya, menyatakan bahwa dalam era postmodern, narasi besar seperti “sains sebagai refleksi kebenaran objektif” menjadi tidak lagi dominan, dan digantikan oleh pluralitas narasi lokal⁽⁵⁾. Dalam kerangka ini, ontologi sains dilihat sebagai salah satu narasi yang bersaing, bukannya pemegang monopoli atas kebenaran.

Anti-fondasionalisme postmodern menolak adanya struktur realitas tunggal yang dapat dijelaskan secara final oleh sains. Sebaliknya, ia menekankan keragaman perspektif dan ketidakmungkinan obyektivitas mutlak, yang membuat klaim ontologis dalam sains menjadi relatif terhadap konteks budaya dan epistemik.

11.5.    Tantangan dari Sains Kontemporer Itu Sendiri

Akhirnya, tantangan terhadap ontologi sains juga muncul dari dalam praktik ilmiah kontemporer. Misalnya, dalam fisika kuantum dan kosmologi, konsep-konsep seperti multiverse, entanglement, dan non-locality sulit untuk dipahami dalam kerangka ontologis klasik. Bahkan beberapa ilmuwan dan filsuf, seperti Carlo Rovelli, mengusulkan pendekatan relasional terhadap realitas, di mana entitas tidak memiliki eksistensi mandiri, melainkan hanya ada dalam relasi satu sama lain⁶.

Hal ini menunjukkan bahwa ontologi klasik berbasis entitas stabil dan hukum deterministik mungkin tidak cukup untuk memahami kompleksitas realitas ilmiah modern, yang bersifat non-deterministik, probabilistik, dan relasional.


Kesimpulan

Berbagai kritik dan tantangan terhadap ontologi sains tidak serta merta meniadakan nilainya, tetapi menunjukkan bahwa ontologi sains harus bersifat reflektif, kontekstual, dan terbuka terhadap dinamika epistemologis dan sosial dalam praktik ilmiah. Ontologi sains kontemporer perlu bergerak melampaui klaim metafisik yang kaku menuju pendekatan yang lebih fleksibel, pluralistik, dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu sosial, sejarah, dan bahasa.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–122.

[2]                Larry Laudan, “A Confutation of Convergent Realism,” Philosophy of Science 48, no. 1 (1981): 19–49.

[3]                Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts (Princeton: Princeton University Press, 1986), 52–66.

[4]                Nelson Goodman, Ways of Worldmaking (Indianapolis: Hackett, 1978), 6–12; Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 48–53.

[5]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.

[6]                Carlo Rovelli, Reality Is Not What It Seems: The Journey to Quantum Gravity (New York: Riverhead Books, 2016), 228–232.


12.       Kesimpulan

Kajian ontologis dalam filsafat sains menghadirkan pertanyaan-pertanyaan mendalam dan fundamental tentang apa yang sebenarnya ada dalam alam semesta menurut sains, dan bagaimana kita dapat memahami serta membenarkan keberadaan tersebut. Melalui pembahasan yang mencakup perdebatan antara realisme dan anti-realisme, status entitas ilmiah dan hukum alam, serta peran teori dan model, kita mendapati bahwa ontologi sains bukan sekadar persoalan metafisik abstrak, melainkan memiliki implikasi konkret dalam praktik ilmiah, pendidikan, dan kebijakan publik.

Realisme ilmiah menyatakan bahwa teori-teori ilmiah yang sukses secara prediktif memberikan representasi mendekati benar tentang realitas, termasuk eksistensi entitas tak teramati seperti elektron atau medan kuantum¹. Sebaliknya, anti-realisme—terutama konstruktivisme empiris—mengklaim bahwa keberhasilan prediktif tidak cukup untuk mendukung klaim ontologis, dan bahwa teori cukup dinilai berdasarkan kecocokannya dengan data observasional². Perbedaan pandangan ini mencerminkan tensi abadi antara kebutuhan akan kepercayaan terhadap realitas ilmiah dan kehati-hatian epistemologis terhadap spekulasi metafisik.

Dalam praktiknya, pendekatan ontologis kontemporer telah berkembang melampaui dikotomi klasik ini. Pendekatan seperti realisme struktural, realisme eksperimental, dan ontologi naturalistik menawarkan jalur-jalur baru yang lebih fleksibel dan kontekstual. Realisme struktural, misalnya, mempertahankan bahwa struktur relasional dalam teori-teori ilmiah adalah yang paling layak dianggap nyata, meskipun entitas individunya mungkin berubah dari waktu ke waktu³. Realisme eksperimental, sebagaimana dikemukakan oleh Ian Hacking, menekankan pada keterlibatan aktif dalam eksperimen sebagai bukti paling sah dari eksistensi entitas ilmiah⁴.

Studi perbandingan terhadap ontologi dalam disiplin fisika, biologi, dan psikologi mengungkap bahwa ontologi sains bersifat domain-spesifik. Fisika menekankan struktur matematis dan relasional, biologi menghadirkan kompleksitas kontekstual dan historis, sedangkan psikologi menghadapi tantangan representasi realitas mental⁵. Oleh karena itu, ontologi sains harus diartikulasikan secara pluralistik dan responsif terhadap objek kajian masing-masing bidang ilmu.

Kritik terhadap ontologi sains, baik dari sudut pandang sejarah (Kuhn, Laudan), sosiologi (Latour, Woolgar), maupun filsafat bahasa dan postmodernisme (Goodman, Lyotard), mengingatkan bahwa klaim ontologis tidak pernah netral, dan selalu terikat pada konteks historis, sosial, dan representasional. Tantangan dari fisika kontemporer seperti teori kuantum, relativitas, dan konsep multiverse menegaskan bahwa kerangka ontologis klasik berbasis entitas stabil dan hukum universal tidak lagi memadai dalam menjelaskan kompleksitas realitas ilmiah saat ini⁶.

Dengan demikian, kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa ontologi sains merupakan medan reflektif yang dinamis, yang menuntut keterbukaan filosofis, ketajaman konseptual, dan kehati-hatian metodologis. Ia tidak hanya menyangkut pertanyaan tentang “apa yang ada”, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai manusia ilmiah—dengan seluruh keterbatasan kognitif dan sosial—mengakses, membangun, dan membenarkan klaim tentang realitas. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan kompleksitas dunia kontemporer, ontologi sains tetap menjadi fondasi penting dalam memahami bukan hanya dunia yang kita pelajari, tetapi juga cara kita memaknainya secara filosofis dan praktis.


Footnotes

[1]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 98–105.

[2]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–19.

[3]                James Ladyman dan Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 130–147.

[4]                Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 262.

[5]                Evelyn Fox Keller, The Century of the Gene (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 54–59; Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 200–205.

[6]                Carlo Rovelli, Reality Is Not What It Seems: The Journey to Quantum Gravity (New York: Riverhead Books, 2016), 230–234.


Daftar Pustaka

Cartwright, N. (1983). How the laws of physics lie. Oxford University Press.

Cartwright, N. (1989). Nature’s capacities and their measurement. Oxford University Press.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.

Dupré, J. (1993). The disorder of things: Metaphysical foundations of the disunity of science. Harvard University Press.

Fodor, J. A. (1983). The modularity of mind: An essay on faculty psychology. MIT Press.

Fox Keller, E. (2000). The century of the gene. Harvard University Press.

French, S., & Ladyman, J. (2003). Remodelling structural realism: Quantum physics and the metaphysics of structure. Synthese, 136(1), 31–56.

Giere, R. N. (2006). Scientific perspectivism. University of Chicago Press.

Goodman, N. (1978). Ways of worldmaking. Hackett Publishing.

Hacking, I. (1983). Representing and intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science. Cambridge University Press.

Hacking, I. (1999). The social construction of what? Harvard University Press.

Hull, D. L. (1988). Science as a process: An evolutionary account of the social and conceptual development of science. University of Chicago Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Ladyman, J., & Ross, D. (2007). Every thing must go: Metaphysics naturalized. Oxford University Press.

Latour, B., & Woolgar, S. (1986). Laboratory life: The construction of scientific facts (2nd ed.). Princeton University Press.

Laudan, L. (1981). A confutation of convergent realism. Philosophy of Science, 48(1), 19–49.

Lewis, D. (1998). A subjectivist’s guide to objective chance. In M. Curd & J. A. Cover (Eds.), Philosophy of science: The central issues (pp. 600–615). W. W. Norton & Company.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press. (Original work published 1979)

McMullin, E. (1991). The inference that makes science. The Journal of Philosophy, 88(9), 464–472.

Mermin, N. D. (1985). Is the moon there when nobody looks? Reality and the quantum theory. Physics Today, 38(4), 38–47.

Psillos, S. (1999). Scientific realism: How science tracks truth. Routledge.

Rovelli, C. (2016). Reality is not what it seems: The journey to quantum gravity (S. Carnell & E. Segre, Trans.). Riverhead Books.

van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

Worrall, J. (1989). Structural realism: The best of both worlds? Dialectica, 43(1–2), 99–124.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar