Rabu, 28 Mei 2025

Hakikat Eksistensi: Kajian Ontologis tentang Being and Existence dalam Filsafat

Hakikat Eksistensi

Kajian Ontologis tentang Being and Existence dalam Filsafat


Alihkan ke: Ontologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam hakikat eksistensi (being and existence) sebagai salah satu tema sentral dalam filsafat, khususnya dalam bidang ontologi. Kajian ini menelusuri perkembangan konseptual eksistensi dari masa filsafat klasik Yunani, melalui pemikiran skolastik dan filsafat Islam, hingga pada transisi ke filsafat modern dan munculnya eksistensialisme kontemporer. Melalui pendekatan historis-kritis, artikel ini mengurai bagaimana berbagai tradisi filsafat membedakan antara eksistensi dan esensi, serta mengklasifikasikan bentuk-bentuk eksistensi berdasarkan aktualitas, kemandirian, konkretisasi, dan modalitas. Selain itu, perdebatan kontemporer dalam tradisi filsafat analitik mengenai komitmen ontologis, referensi bahasa, dan modal realisme turut dianalisis. Kajian ini juga menyoroti relevansi eksistensi dalam konteks ilmu pengetahuan (fisika, kognitif), budaya populer, spiritualitas, serta tantangan baru dalam era digital dan kecerdasan buatan. Ditekankan bahwa pemahaman tentang eksistensi tidak hanya merupakan proyek metafisik, tetapi juga merupakan refleksi eksistensial yang menyentuh identitas, makna, dan orientasi hidup manusia dalam dunia modern. Oleh karena itu, eksistensi dipahami tidak hanya sebagai kondisi “ada”, melainkan juga sebagai pengalaman dan panggilan untuk menjadi secara otentik.

Kata Kunci: Ontologi; Eksistensi; Esensi; Eksistensialisme; Metafisika; Filsafat Islam; Filsafat Kontemporer; Being; Dasein; Komitmen Ontologis.


PEMBAHASAN

Menelusuri Hakikat Eksistensi (Being and Existence)


1.           Pendahuluan

Dalam filsafat, ontologi menempati posisi sentral sebagai disiplin yang membahas tentang ada dalam pengertian yang paling mendasar—yakni sebagai ada qua ada (being as being). Di antara berbagai objek kajian ontologi, pertanyaan tentang eksistensi (being atau existence) merupakan tema yang paling purba dan mendalam. Sejak zaman Yunani kuno hingga pemikiran postmodern, manusia terus bertanya: Apa itu "ada"? Bagaimana kita mengetahui sesuatu itu benar-benar eksis? Apakah eksistensi bersifat objektif, subjektif, atau transenden? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya spekulatif, melainkan juga mendasari cara kita memahami realitas, diri, dan bahkan Tuhan.

Konsep eksistensi tidak hanya menjadi perhatian utama metafisika, tetapi juga berkelindan erat dengan epistemologi, logika, dan etika. Dalam konteks ini, filsafat tidak sekadar menjadi wacana abstrak, melainkan upaya sistematis untuk memahami landasan realitas. Aristoteles, misalnya, menyatakan bahwa “ilmu yang tertinggi adalah ilmu tentang yang ada sejauh ia ada” (science of being qua being)—itulah yang ia maksud sebagai prote philosophia atau filsafat pertama.1 Bagi Aristoteles, eksistensi bukanlah sesuatu yang tunggal secara sederhana, melainkan bersifat analogis: ia hadir dalam banyak bentuk, tetapi semuanya merujuk pada suatu prinsip keberadaan tertentu.

Masalah eksistensi menjadi semakin rumit ketika dikaitkan dengan konsep esensi (hakikat). Dalam banyak tradisi filsafat, terutama yang dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Sina (Avicenna), dibedakan antara esensi (apa sesuatu itu) dan eksistensi (bahwa sesuatu itu ada). Esensi dapat dipikirkan tanpa keberadaan aktual, sedangkan eksistensi mengandaikan realisasi dari esensi itu dalam kenyataan.2 Distingsi ini kemudian memengaruhi perkembangan metafisika di dunia Islam dan Kristen Latin, khususnya dalam karya-karya Thomas Aquinas, yang merumuskan eksistensi sebagai actus essendi—tindakan adanya.3

Di era modern, pemikiran tentang eksistensi mengalami pergeseran paradigma. Descartes menekankan bahwa eksistensi menjadi kepastian pertama dalam keraguan: Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Namun, ini kemudian dikritik oleh para filsuf eksistensialis seperti Kierkegaard, Heidegger, dan Sartre, yang melihat eksistensi bukan sebagai proposisi logis, melainkan sebagai pengalaman personal, konkret, dan terbuka terhadap makna. Dalam kerangka ini, eksistensi bukanlah sekadar fakta ontologis, melainkan juga peristiwa yang dialami subjek secara eksistensial.

Kajian ini bertujuan untuk menelusuri berbagai pandangan filsafat tentang eksistensi—mulai dari pemikiran klasik hingga kontemporer—untuk menemukan benang merah, pergeseran makna, dan kompleksitas filosofis yang menyertainya. Dengan menelaah hakikat eksistensi dari berbagai perspektif, kita diharapkan tidak hanya memperoleh wawasan ontologis, tetapi juga mampu merefleksikan ulang makna keberadaan diri, dunia, dan Tuhan secara lebih utuh dan mendalam.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 980a21.

[2]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 29–31.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 3, a. 4; lihat pula: W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2001), 77–82.


2.           Pengertian Dasar: ‘Being’ dan ‘Existence’

Istilah being dan existence merupakan dua konsep fundamental dalam ontologi yang kerap digunakan secara bergantian, tetapi dalam banyak tradisi filsafat keduanya mengandung nuansa makna yang berbeda. Secara etimologis, kata being berasal dari bahasa Inggris Kuno beon atau beo, yang berarti “menjadi” atau “ada”. Sedangkan existence berasal dari bahasa Latin existere, yang secara harfiah berarti “muncul ke luar” (ex- = keluar, sistere = berdiri atau muncul).1 Secara konseptual, being sering dimaknai sebagai keadaan atau kondisi dasar dari segala sesuatu yang ada, sedangkan existence menunjuk pada aktualitas atau kenyataan dari keberadaan sesuatu secara konkret.

Dalam metafisika klasik, istilah being memiliki jangkauan makna yang sangat luas. Aristoteles menggunakan istilah to on (τὸ ὄν) untuk merujuk pada segala sesuatu yang memiliki “ada” dalam berbagai cara, baik secara substansial, aksidental, aktual, maupun potensial. Ia mengembangkan ide bahwa being bukanlah genus universal, melainkan konsep analogis yang bermacam-macam pengertiannya bergantung pada kategori dan relasinya terhadap substansi.2 Dengan demikian, being tidak dapat didefinisikan secara tunggal, melainkan harus dipahami berdasarkan keberadaannya dalam konteks yang berbeda.

Dalam filsafat skolastik dan pemikiran Islam klasik, dikembangkan distingsi yang penting antara essentia (esensi) dan existentia (eksistensi). Ibnu Sina (Avicenna) menegaskan bahwa mahiyyah (esensi) adalah apa yang dapat dipahami secara mental tanpa perlu diasumsikan eksis, sedangkan wujud (eksistensi) adalah realisasi aktual dari esensi tersebut di dalam kenyataan.3 Misalnya, konsep "kuda" dapat dibayangkan secara jelas sebagai esensi tanpa harus benar-benar ada seekor kuda di hadapan kita. Dalam kerangka ini, eksistensi menjadi suatu aksiden metafisik yang tidak inheren dalam esensi dan harus ditambahkan agar sesuatu sungguh ada.

Perbedaan antara being dan existence menjadi semakin tajam dalam filsafat modern. Immanuel Kant, dalam Critique of Pure Reason, menolak anggapan bahwa eksistensi adalah predikat nyata. Menurutnya, menambahkan eksistensi ke suatu konsep tidak menambah isi dari konsep itu sendiri, melainkan hanya menyatakan bahwa konsep itu diwujudkan dalam kenyataan.4 Ini adalah kritik terhadap argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan, yang beranggapan bahwa eksistensi adalah bagian dari kesempurnaan esensial. Kant membantahnya dengan menyatakan bahwa eksistensi bukanlah sifat, melainkan afirmasi terhadap kenyataan dari suatu konsep.

Sementara itu, dalam pemikiran kontemporer, Martin Heidegger membedakan antara Sein (Being) dan Seiendes (beings). Ia menekankan bahwa filsafat Barat selama ini terlalu fokus pada “apa yang ada” (entitas), dan melupakan pertanyaan fundamental tentang “keberadaan itu sendiri”. Heidegger menyebut pendekatan barunya sebagai “ontologi fundamental” (fundamental ontology) yang bertujuan membuka makna asli dari Being melalui eksistensi manusia (Dasein) sebagai entitas yang mampu mempertanyakan keberadaannya sendiri.5

Dengan demikian, perbedaan antara being dan existence tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga konseptual dan historis. Being adalah kategori paling umum dalam metafisika yang mencakup semua entitas, sedangkan existence merujuk pada keadaan aktual suatu entitas dalam kenyataan. Pemahaman ini menjadi dasar penting dalam setiap kajian ontologis, karena menentukan bagaimana kita mendekati pertanyaan tentang realitas, identitas, dan kemungkinan.


Footnotes

[1]                Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philosophy (New York: Philosophical Library, 1962), s.v. “Existence.”

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book IV, 1003a21–32.

[3]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 41–45.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A598/B626–A602/B630.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 26–38.


3.           Eksistensi dalam Filsafat Klasik

Pemikiran mengenai eksistensi dalam filsafat klasik diawali oleh para filsuf Yunani kuno yang berupaya memahami realitas terdalam dari alam semesta. Mereka tidak hanya mempertanyakan “apa” yang ada, tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa” sesuatu itu ada. Dalam konteks ini, eksistensi atau being menjadi pusat spekulasi metafisik yang memengaruhi hampir seluruh tradisi filsafat Barat selanjutnya.

3.1.       Parmenides dan Paradoks Keberadaan

Filsuf pra-Sokratik Parmenides dianggap sebagai salah satu tokoh pertama yang secara eksplisit membahas tentang keberadaan (to eon). Dalam puisi filsafatnya, On Nature, ia menegaskan bahwa “Yang Ada itu ada, dan Yang Tidak Ada itu tidak ada.”1 Parmenides menyatakan bahwa keberadaan bersifat mutlak, tidak berubah, dan tunggal; segala perubahan, gerak, dan pluralitas hanyalah ilusi. Dengan demikian, ia mereduksi realitas menjadi entitas yang abadi dan statis, yang eksistensinya tidak tergantung pada pengalaman inderawi.

Paradoks ini menimbulkan dilema ontologis: bagaimana mungkin realitas yang kita alami penuh dengan perubahan jika eksistensi sejati bersifat tetap? Jawaban terhadap dilema ini mendorong munculnya pendekatan metafisika yang lebih sistematis dalam filsafat Yunani berikutnya.

3.2.       Plato: Dunia Ide dan Dualitas Eksistensi

Plato, murid dari Socrates dan guru dari Aristoteles, mengembangkan jawaban atas persoalan Parmenides melalui teori dunia ide (theory of Forms). Menurut Plato, eksistensi terbagi ke dalam dua tingkat: dunia inderawi yang bersifat berubah-ubah dan tidak sempurna, serta dunia ide yang bersifat kekal dan sempurna.2 Dalam dialog Phaedo dan Republic, ia menegaskan bahwa realitas sejati (being) adalah ide atau bentuk (eidos), yang eksistensinya tidak tergantung pada keberadaan materi atau ruang-waktu.

Dengan demikian, eksistensi dalam filsafat Plato bersifat hierarkis. Dunia inderawi memiliki eksistensi yang lemah atau “meniru” (mimesis) realitas ide yang absolut. Dalam pengertian ini, eksistensi tidak bersifat monolitik, melainkan terbagi-bagi secara ontologis berdasarkan derajat kedekatannya dengan kebenaran dan keabadian.

3.3.       Aristoteles: Eksistensi sebagai Aktualitas

Aristoteles, murid Plato yang kemudian mengkritik gurunya, mengembangkan konsep yang lebih empiris dan sistematis tentang eksistensi. Dalam Metaphysics, Aristoteles menolak dikotomi radikal antara dunia inderawi dan dunia ide. Baginya, yang ada (to on) adalah apa yang memiliki substansi (ousia), dan substansi itu adalah gabungan antara materi (hulē) dan bentuk (morphē).3 Eksistensi bukanlah entitas yang terpisah, melainkan aktualitas (energeia) dari potensi yang ada dalam materi.

Aristoteles juga membedakan antara eksistensi aktual (actual being) dan potensial (potential being). Misalnya, biji pohon memiliki potensi untuk menjadi pohon, dan ketika ia tumbuh, potensi itu teraktualkan menjadi eksistensi yang nyata. Ia menyatakan bahwa realitas sejati adalah aktualitas: “Being is actuality more than it is potentiality.”4

Lebih jauh, Aristoteles mengembangkan kategori-kategori eksistensi yang terkenal, yang mencakup substansi, kualitas, kuantitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, aksi, dan pasifitas. Melalui sistem ini, ia berusaha mengklasifikasi semua modus dari eksistensi yang dapat ditemukan dalam realitas.

3.4.       Konstribusi Warisan Klasik terhadap Tradisi Ontologi

Konsep-konsep eksistensi yang dikembangkan oleh para filsuf klasik ini meletakkan dasar bagi seluruh perdebatan metafisika berikutnya. Pandangan Plato mengenai derajat eksistensi memengaruhi teologi Neoplatonik dan filsafat Kristen awal, sementara pemikiran Aristoteles mengenai aktualitas dan substansi menjadi fondasi bagi metafisika skolastik dan Islam klasik. Eksistensi dalam filsafat klasik tidak dipahami sebagai atribut netral, tetapi sebagai inti dari apa itu realitas, baik secara statis (Parmenides dan Plato) maupun dinamis (Aristoteles).


Footnotes

[1]                Parmenides, On Nature, fragment 2, in Early Greek Philosophy, ed. Jonathan Barnes (London: Penguin Books, 2001), 129.

[2]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube and C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VI, 509d–511e.

[3]                Aristotle. (1941). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926). Random House. (Original work written ca. 350 B.C.E.)

[4]                Aristotle, Metaphysics, Book IX, 1048b18–36.


4.           Eksistensi dalam Filsafat Islam

Filsafat Islam mengembangkan kajian eksistensi (wujūd) secara mendalam dan orisinal, terutama sebagai hasil asimilasi pemikiran Yunani (khususnya Aristoteles dan Plotinus) dengan teologi dan spiritualitas Islam. Para filsuf Muslim klasik tidak hanya mewarisi warisan metafisika klasik, tetapi juga menyusun sistem filsafat yang mengintegrasikan wahyu dan akal, menjadikan eksistensi sebagai konsep kunci dalam menjelaskan realitas Tuhan, alam, dan manusia.

4.1.       Ibnu Sina: Distingsi antara Mahiyyah dan Wujūd

Salah satu kontribusi paling penting dalam filsafat Islam adalah distingsi yang dikemukakan oleh Abū ʿAlī Ibn Sīnā (980–1037 M) antara mahiyyah (esensi) dan wujūd (eksistensi). Dalam kerangka pemikirannya, mahiyyah menjawab pertanyaan “apa” sesuatu itu, sedangkan wujūd menjawab pertanyaan “apakah” sesuatu itu ada secara aktual.1 Ia menyatakan bahwa esensi bisa dipahami secara konseptual tanpa mengandaikan eksistensi. Contohnya, seseorang dapat memahami konsep “kuda bersayap” tanpa kuda tersebut benar-benar eksis di dunia nyata.

Menurut Ibnu Sina, hanya Tuhan yang esensinya sekaligus eksistensinyawujūd-nya adalah niscaya (wājib al-wujūd), sementara seluruh makhluk adalah mungkin ada (mumkin al-wujūd), yang keberadaannya tergantung pada sebab lain di luar dirinya.2 Dengan ini, Ibnu Sina menyusun ontologi hierarkis yang menempatkan Tuhan sebagai sumber eksistensi mutlak, dan menciptakan seluruh keberadaan melalui emanasi.

4.2.       Al-Ghazālī: Kritik terhadap Konsep Eksistensi Filosofis

Berbeda dengan Ibnu Sina, Abū Ḥāmid al-Ghazālī (1058–1111 M) mengkritik pendekatan filsafat terhadap eksistensi, terutama dalam bukunya Tahāfut al-Falāsifah (Keruntuhan Para Filosof). Ia menolak keabadian dunia dan gagasan emanasi sebagai tidak sesuai dengan prinsip keesaan dan kehendak Tuhan dalam Islam. Meski demikian, al-Ghazālī tidak menolak akal secara total, melainkan menekankan bahwa eksistensi adalah hasil dari kehendak ilahi yang bebas, bukan hasil keharusan metafisik.3

Namun dalam karya-karyanya yang lain seperti Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn dan Maqāṣid al-Falāsifah, al-Ghazālī tetap mengakui nilai sistematika dan logika dalam pemikiran filsafat. Ia menafsirkan eksistensi bukan dalam kerangka Aristotelian, tetapi dalam konteks spiritualitas Islam yang menekankan hubungan personal manusia dengan Tuhan sebagai sumber segala keberadaan.

4.3.       Mulla Ṣadrā: Asālat al-Wujūd dan Ontologi Transendental

Filsuf paling berpengaruh dalam pengembangan konsepsi eksistensi dalam filsafat Islam adalah Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī (Mullā Ṣadrā, 1571–1640 M), pendiri hikmah mutaʿāliyah (kebijaksanaan transendental). Ia secara revolusioner membalik tesis klasik dengan menyatakan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi—suatu prinsip yang dikenal dengan istilah aṣālat al-wujūd (keaslian eksistensi).4 Dalam pandangannya, esensi hanyalah konstruksi mental, sedangkan wujūd adalah kenyataan objektif yang memiliki gradasi dan intensitas.

Menurut Mulla Ṣadrā, realitas adalah eksistensi murni yang bersifat bertingkat (tashkīk al-wujūd). Segala yang ada berada dalam spektrum wujūd yang berbeda-beda: dari yang paling lemah (materi) hingga yang paling sempurna (Tuhan). Dalam kerangka ini, wujūd adalah dinamis dan berkembang menuju kesempurnaan. Ia juga menekankan bahwa eksistensi itu bukan statis, melainkan bergerak secara substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah), yang berarti realitas terus berubah dalam hakikatnya.5

4.4.       Signifikansi Ontologi Islam dalam Tradisi Filsafat

Konsepsi tentang eksistensi dalam filsafat Islam tidak hanya berfungsi sebagai kerangka metafisik, tetapi juga sebagai dasar teologis dan spiritual. Eksistensi bukan sekadar status ontologis, melainkan sesuatu yang mengandung nilai, relasi, dan kedekatan dengan sumber ilahi. Tradisi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam telah memberikan kontribusi orisinal dalam menggali makna wujūd yang bersifat metafisik, kosmologis, dan mistis sekaligus.

Filsafat eksistensial dalam Islam memadukan kedalaman logika Aristotelian dengan ketajaman intuisi teologis dan spiritualitas sufi. Inilah yang menjadikannya unik dibandingkan filsafat Barat sekuler maupun metafisika skolastik. Eksistensi dalam filsafat Islam tidak sekadar “ada”, tetapi “hadir secara sadar” dalam hubungan dengan Yang Maha Ada.


Footnotes

[1]                Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 30–35.

[2]                F. Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 7–9.

[3]                Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 162–170.

[4]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, ed. and trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 48–56.

[5]                S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 91–95.


5.           Eksistensi dalam Filsafat Skolastik dan Modern Awal

Perkembangan konsep eksistensi dalam filsafat Barat mencapai bentuk sistematik dan teologis yang matang dalam era Skolastik, terutama melalui sintesis filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Di masa ini, eksistensi tidak hanya dipahami sebagai status ontologis entitas, tetapi juga sebagai dasar bagi argumen metafisik tentang keberadaan Tuhan. Periode ini kemudian diikuti oleh pemikiran modern awal, yang mencoba meletakkan kembali fondasi filsafat dengan pendekatan rasionalistik, memunculkan konsepsi eksistensi yang lebih subjektif dan reflektif.

5.1.       Thomas Aquinas: Esse sebagai Actus Essendi

Thomas Aquinas (1225–1274), salah satu tokoh skolastik terbesar, mengambil warisan Aristoteles dan menggabungkannya dengan ajaran Kristen, terutama dalam kerangka metafisika tentang Tuhan dan ciptaan. Salah satu kontribusinya yang paling orisinal adalah gagasan tentang eksistensi sebagai tindakan adanya (actus essendi). Aquinas membedakan secara tegas antara essentia (apa sesuatu itu) dan esse (bahwa sesuatu itu ada), dan menegaskan bahwa esse adalah prinsip aktualisasi yang memberikan realitas pada esensi.1

Menurut Aquinas, hanya Tuhan yang esensinya identik dengan eksistensinya (ipsum esse subsistens), sedangkan semua makhluk bersifat kontingen: esensi mereka tidak cukup untuk menjamin keberadaan tanpa pemberian eksistensi dari luar dirinya.2 Dalam pandangannya, esse bukanlah sekadar aksiden tambahan, tetapi prinsip realitas yang paling fundamental dan “paling dalam”. Oleh karena itu, memahami eksistensi berarti memahami struktur terdalam dari realitas ciptaan, sekaligus arah keberadaannya menuju sumber eksistensi mutlak, yaitu Tuhan.

5.2.       Duns Scotus dan Suárez: Eksistensi sebagai Univokal

Pemikir skolastik lain seperti John Duns Scotus (1266–1308) dan Francisco Suárez (1548–1617) mengembangkan pendekatan berbeda. Duns Scotus menolak prinsip analogi being dari Aquinas, dan menyatakan bahwa konsep being berlaku secara univokal—yaitu, satu makna yang sama—baik bagi Tuhan maupun makhluk, walau secara tingkat berbeda.3 Hal ini bertujuan menjaga kesinambungan logika ketika berbicara tentang Tuhan dan ciptaan dalam kerangka metafisika. Meskipun kontroversial, gagasan ini memiliki dampak besar terhadap metafisika modern, terutama dalam penyusunan sistem kategori universal.

Francisco Suárez, seorang teolog Jesuit dan figur penting dalam Skolastik Akhir, lebih jauh menyistematisasi metafisika sebagai ilmu umum tentang being qua being. Ia menyatakan bahwa eksistensi bukan hanya prinsip aktualisasi internal, tetapi juga sesuatu yang dapat dianalisis melalui kategori logika dan distingsi metafisik.4 Gagasannya menjadi jembatan antara metafisika skolastik dengan pemikiran modern awal, terutama dalam warisan Cartesian dan Leibnizian.

5.3.       René Descartes: Eksistensi sebagai Kepastian Subjektif

Lompatan radikal terjadi pada masa modern awal, terutama melalui pemikiran René Descartes (1596–1650), yang mereformulasi dasar pengetahuan dan eksistensi berdasarkan kesadaran. Dalam karya monumentalnya, Meditationes de Prima Philosophia, Descartes meragukan semua hal yang dapat diragukan, hingga ia menemukan satu kepastian tak tergoyahkan: Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada).5 Bagi Descartes, eksistensi pertama yang pasti bukanlah dunia luar, tetapi eksistensi subjek berpikir—kesadaran reflektif yang menyadari dirinya sebagai keberadaan.

Dalam kerangka ini, eksistensi tidak lagi dipahami sebagai aktualitas metafisik seperti pada Aquinas, tetapi sebagai kepastian epistemologis yang diperoleh melalui refleksi diri. Tuhan tetap memiliki tempat penting dalam sistem Descartes sebagai penjamin kebenaran, tetapi eksistensi Tuhan pun dibuktikan dari dasar kesadaran manusia, bukan dari struktur metafisika obyektif.

5.4.       Implikasi Perubahan Paradigma

Perubahan pendekatan dari objektif (Skolastik) ke subjektif (Modern Awal) menunjukkan pergeseran mendasar dalam pemahaman eksistensi. Jika dalam tradisi skolastik eksistensi diorientasikan pada prinsip ontologis ketergantungan kepada Tuhan, maka dalam filsafat modern awal eksistensi digeser menjadi persoalan dasar pengetahuan dan subjek. Meskipun demikian, kedua pendekatan ini tetap memainkan peran penting dalam sejarah ontologi: yang satu menyusun struktur metafisika realitas eksternal, dan yang lain menyusun fondasi kesadaran eksistensial dari dalam subjek.


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 3, a. 4; lihat juga: W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2001), 77–83.

[2]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 108–115.

[3]                John Duns Scotus, Ordinatio, I, d. 3, part 1, q. 2, n. 48–49; dikutip dalam Allan Wolter, The Transcendentals and Their Function in the Metaphysics of Duns Scotus (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1946), 37.

[4]                Francisco Suárez, Disputationes Metaphysicae, trans. Cyril Vollert (St. Louis: B. Herder, 1947), disp. II, sect. 4; lihat juga: Jorge J. E. Gracia, Suárez on Being: Metaphysical Disputation II (Milwaukee: Marquette University Press, 2002), 53–66.

[5]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.


6.           Krisis Ontologi dan Munculnya Eksistensialisme

Seiring perkembangan filsafat modern, terutama sejak abad ke-17, perhatian filsuf mulai beralih dari spekulasi metafisik yang obyektif ke refleksi subjektif tentang pengetahuan dan kesadaran. Pergeseran ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20, ketika banyak pemikir mulai meragukan validitas sistem metafisika tradisional dan mempertanyakan fondasi ontologi klasik. Dalam konteks inilah eksistensialisme lahir sebagai tanggapan filosofis terhadap krisis eksistensial, spiritual, dan epistemologis zaman modern.

6.1.       Kritik Immanuel Kant terhadap Ontologi Klasik

Tokoh penting yang membuka jalan bagi krisis ontologi adalah Immanuel Kant (1724–1804). Dalam Critique of Pure Reason, Kant menyatakan bahwa eksistensi bukanlah predikat sejati—yaitu, bukan sifat yang menambah isi esensial dari sesuatu. Ia menyatakan bahwa menyatakan “Tuhan ada” tidak menambahkan apa pun ke dalam konsep Tuhan; eksistensi hanyalah penegasan bahwa konsep itu diwujudkan dalam realitas, bukan sifat yang melekat padanya.1

Dengan demikian, Kant meruntuhkan argumen ontologis klasik tentang keberadaan Tuhan dan memisahkan secara tegas antara fenomena (apa yang tampak bagi subjek) dan noumena (realitas pada dirinya sendiri). Konsekuensinya, realitas sebagai being qua being menjadi semakin tak terjangkau dalam kerangka rasionalistik.

6.2.       Hegel dan Dialektika Keberadaan

G.W.F. Hegel (1770–1831) mencoba menjembatani jurang antara subjek dan objek melalui dialektika. Dalam Science of Logic, Hegel menyatakan bahwa “being” (ada) yang paling murni adalah kosong, dan hanya melalui negasi dan sintesis dialektis ia memperoleh bentuk konkret sebagai becoming (menjadi).2 Eksistensi bukanlah keadaan statis, tetapi proses dinamis dan historis. Segala sesuatu berada dalam gerak menuju realisasi penuh dalam Roh Absolut (Geist).

Bagi Hegel, realitas bukan terdiri dari entitas terpisah, tetapi merupakan totalitas sistem yang terus berkembang melalui kontradiksi internal. Meski demikian, pendekatannya tetap bercorak spekulatif dan rasional, dan belum menyentuh aspek eksistensial manusia sebagai individu konkret.

6.3.       Kierkegaard: Subjektivitas sebagai Kebenaran Eksistensial

Sebagai reaksi terhadap filsafat sistematik Hegel, Søren Kierkegaard (1813–1855), filsuf Denmark yang dijuluki “bapak eksistensialisme”, menekankan pentingnya subjektivitas dan pengalaman personal. Baginya, kebenaran sejati bukanlah hasil abstraksi logis, tetapi keterlibatan pribadi dan keputusan eksistensial individu.3 Dalam karyanya Concluding Unscientific Postscript, Kierkegaard menyatakan bahwa “subjektivitas adalah kebenaran”, dan bahwa hidup adalah serangkaian pilihan yang dijalani dalam kecemasan, iman, dan tanggung jawab.

Eksistensi manusia bukanlah entitas metafisik yang netral, melainkan kondisi menjadi (existing), yaitu keberadaan yang dilemparkan ke dunia tanpa kepastian, namun dituntut untuk mengambil sikap. Di sini, ontologi menjadi eksistensial: pertanyaan tentang “apa itu ada” bergeser menjadi “bagaimana seharusnya aku ada”.

6.4.       Heidegger: Ontologi Fundamental dan Dasein

Pengaruh terbesar dalam ontologi abad ke-20 datang dari Martin Heidegger (1889–1976), yang menandai pergeseran dari metafisika tradisional ke ontologi fundamental. Dalam karyanya Sein und Zeit (Being and Time), Heidegger menegaskan bahwa filsafat Barat selama ini melupakan pertanyaan tentang Being itu sendiri (Seinsvergessenheit). Ia menyatakan bahwa eksistensi harus dipahami melalui Dasein, yaitu entitas yang secara eksistensial sadar akan keberadaannya dan mampu mempertanyakan makna Being.4

Menurut Heidegger, eksistensi manusia bukanlah substansi metafisik, tetapi “cara berada” (Seinsweise) yang mencirikan Dasein. Eksistensi itu berciri sementara, terbuka terhadap masa depan, dan dihantui oleh keterlemparan (Geworfenheit) serta kematian sebagai batas tertinggi. Eksistensi sejati baru muncul ketika manusia sadar akan keterbatasan waktu (Sein-zum-Tode) dan hidup secara otentik.

6.5.       Sartre: Eksistensi Mendahului Esensi

Filsuf Prancis Jean-Paul Sartre (1905–1980) meneruskan pemikiran Heidegger dalam arah yang lebih ateistik dan humanistik. Dalam esainya yang terkenal Existentialism Is a Humanism, Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi” (l’existence précède l’essence)—artinya, manusia tidak memiliki hakikat bawaan, tetapi menciptakan dirinya melalui tindakan dan pilihan.5 Tidak ada kodrat manusia yang tetap; manusia adalah proyek terbuka.

Bagi Sartre, eksistensi manusia bersifat absurd karena tidak memiliki dasar ontologis di luar dirinya. Kebebasan radikal adalah kodrat eksistensial, namun kebebasan ini membawa kecemasan dan tanggung jawab penuh. Dalam dunia tanpa Tuhan dan makna objektif, manusia sendirilah yang harus menciptakan nilai dan arah hidupnya.

6.6.       Konsekuensi Eksistensial terhadap Ontologi

Eksistensialisme menandai krisis dan transformasi ontologi. Jika ontologi klasik bertumpu pada struktur realitas objektif dan hierarkis, maka ontologi eksistensial bertumpu pada subjek, pengalaman, dan keterlemparan manusia dalam dunia yang tak pasti. Eksistensi bukan lagi status universal yang netral, tetapi situasi konkret yang harus dihayati.

Dengan demikian, eksistensialisme bukanlah penolakan terhadap ontologi, melainkan bentuk baru dari ontologi yang berpijak pada eksistensi personal, waktu, dan kesementaraan. Ia memperluas pemahaman tentang being dari sesuatu yang abstrak menjadi pengalaman menjadi (becoming) yang hidup dan dramatis.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A598/B626.

[2]                G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 82–84.

[3]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 201–210.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.


7.           Klasifikasi Eksistensi

Sejak zaman kuno hingga filsafat kontemporer, para pemikir tidak hanya memperdebatkan makna eksistensi, tetapi juga mencoba mengklasifikasikan berbagai modus eksistensi berdasarkan realitas, intensitas, kemandirian, dan relasi ontologisnya. Klasifikasi ini bertujuan untuk mengurai keragaman entitas dan cara keberadaannya dalam semesta, mulai dari Tuhan, jiwa, hingga objek material dan konseptual. Pemahaman terhadap klasifikasi ini sangat penting dalam menyusun kerangka ontologis yang sistematis.

7.1.       Eksistensi Aktual dan Potensial

Klasifikasi mendasar pertama diperkenalkan oleh Aristoteles melalui pembedaan antara actus (aktualitas) dan potentia (potensialitas). Eksistensi aktual merujuk pada keberadaan yang telah terwujud, sedangkan eksistensi potensial mengacu pada kemampuan suatu entitas untuk menjadi aktual dalam kondisi tertentu.1 Misalnya, biji memiliki potensi untuk menjadi pohon, tetapi baru eksis secara aktual sebagai pohon ketika pertumbuhannya terwujud. Konsep ini menjadi pilar utama metafisika klasik dalam memahami gerak, perubahan, dan aktualisasi kodrat.

7.2.       Eksistensi Konkret dan Abstrak

Dalam metafisika dan logika modern, dikenal pembedaan antara eksistensi konkret dan eksistensi abstrak. Eksistensi konkret dimiliki oleh entitas yang hadir dalam ruang dan waktu, seperti manusia, batu, atau bintang. Sedangkan eksistensi abstrak dimiliki oleh konsep seperti bilangan, sifat (seperti “kemerahan”), atau hukum logika, yang tidak memiliki keberadaan spasial-temporal tetapi tetap memiliki status ontologis dalam banyak sistem filsafat.2

Perdebatan muncul mengenai status eksistensial entitas abstrak. Kaum realis (misalnya Plato) beranggapan bahwa entitas semacam ini memiliki eksistensi yang lebih tinggi dan universal, sementara nominalis menolaknya dan menyatakan bahwa hanya nama atau label mental belaka tanpa keberadaan independen.3

7.3.       Eksistensi Independen dan Dependen

Dari sudut pandang kontingensi, filsafat skolastik membedakan antara eksistensi independen (necessary being) dan dependen (contingent being). Tuhan sebagai wājib al-wujūd (wajib ada) dipandang memiliki eksistensi independen: eksistensinya tidak bergantung pada apa pun di luar dirinya. Sebaliknya, semua makhluk adalah mumkin al-wujūd (mungkin ada) yang eksistensinya tergantung pada sebab luar, yakni Tuhan.4

Klasifikasi ini menjadi landasan bagi argumen kosmologis dalam teologi dan filsafat agama, yang berupaya menelusuri dari eksistensi kontingen ke suatu eksistensi niscaya sebagai penyebab utama yang tidak disebabkan.

7.4.       Eksistensi Transendental dan Empiris

Dalam kerangka metafisika transendental, seperti dalam pemikiran Kant, eksistensi diklasifikasi menjadi dua level: eksistensi transendental, yang menyangkut kondisi-kondisi apriori yang memungkinkan sesuatu dapat dikenali (seperti ruang dan waktu sebagai bentuk intuisi), dan eksistensi empiris, yang merujuk pada eksistensi fenomenal sebagaimana kita temui melalui pengalaman indrawi.5

Eksistensi transendental tidak dapat diamati, tetapi menjadi syarat kemungkinan dari semua bentuk pengalaman. Dalam kerangka ini, eksistensi bukan hanya kualitas suatu entitas, tetapi juga hasil dari struktur kognisi manusia.

7.5.       Eksistensi Gradasional: Intensitas dan Hierarki Wujūd

Dalam filsafat Islam, khususnya pemikiran Mulla Ṣadrā, eksistensi dipahami secara gradasional (tashkīk al-wujūd). Ia menyatakan bahwa wujūd tidak bersifat univokal (satu makna) atau equivokal (makna berbeda), melainkan analogis bertingkat: semua yang ada berbagi wujūd, tetapi dalam derajat yang berbeda-beda. Wujūd Tuhan adalah yang paling sempurna, sedangkan eksistensi benda-benda fisik adalah bentuk yang paling lemah.6

Model ini memungkinkan penggabungan antara prinsip kesatuan realitas dan pluralitas entitas. Eksistensi bukan sekadar “ada” atau “tidak ada”, melainkan ada dalam tingkat dan intensitas yang bertingkat, seperti cahaya yang meredup atau bersinar terang.

7.6.       Klasifikasi Lain dalam Ontologi Analitik

Filsuf kontemporer dalam tradisi analitik seperti W.V.O. Quine dan David Lewis menawarkan pendekatan lain dengan fokus pada kriteria kuantifikasi dan modalitas. Quine terkenal dengan pertanyaannya “What is there?” dan jawabannya “Everything!”, lalu menegaskan bahwa komitmen ontologis hanya berlaku terhadap entitas yang diasumsikan oleh teori yang terbaik secara ilmiah dan logis.7

Sementara Lewis mengembangkan teori modal realism, bahwa semua kemungkinan dunia (possible worlds) eksis secara nyata di alamnya masing-masing. Dalam pendekatan ini, eksistensi tidak hanya terbatas pada dunia aktual, tetapi mencakup dunia-waktu alternatif dengan status ontologis yang sama.


Kesimpulan Klasifikatif

Klasifikasi eksistensi tidak dimaksudkan untuk memecah realitas menjadi bagian-bagian arbitrer, melainkan untuk menunjukkan keragaman cara menjadi (modes of being) yang ada dalam pengalaman, pemikiran, dan keberadaan metafisik. Dari eksistensi aktual dan potensial Aristoteles, hingga eksistensi gradasional Mulla Ṣadrā, hingga eksistensi formal dalam logika kontemporer, seluruh klasifikasi ini mencerminkan upaya manusia untuk menangkap struktur terdalam dari “ada”.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book IX, 1049b5–10.

[2]                E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2002), 58–65.

[3]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” The Review of Metaphysics 2, no. 1 (1948): 21–38.

[4]                Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 52–55.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294–A246/B303.

[6]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, ed. and trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 70–75.

[7]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.


8.           Perdebatan Ontologis Kontemporer

Di era kontemporer, ontologi tidak lagi menjadi ranah eksklusif metafisika klasik atau spekulatif, tetapi telah berkembang menjadi medan analisis filosofis yang sangat teknis, terutama melalui tradisi filsafat analitik. Perdebatan tentang eksistensi tidak hanya melibatkan makna "being" secara umum, tetapi juga menyentuh persoalan bahasa, logika, teori referensi, dan komitmen ontologis dalam ilmu pengetahuan. Filsuf-filsuf kontemporer telah mengalihkan fokus dari pertanyaan metafisika “apa itu eksistensi?” menjadi pertanyaan praktis “apa yang kita asumsikan eksis ketika kita membuat suatu klaim?

8.1.       Quine dan Komitmen Ontologis

Salah satu tokoh sentral dalam perdebatan kontemporer adalah W.V.O. Quine. Dalam esainya yang terkenal On What There Is (1948), Quine mengusulkan pendekatan radikal terhadap pertanyaan ontologis dengan merujuk pada komitmen ontologis. Ia menyatakan bahwa pertanyaan “apa yang ada?” harus dijawab berdasarkan entitas apa saja yang diperlukan oleh teori ilmiah terbaik kita.1 Quine memperkenalkan prinsip: “To be is to be the value of a variable,” artinya sesuatu dikatakan ada jika ia dibutuhkan sebagai nilai dari suatu variabel dalam sistem logika formal.

Pendekatan ini merevolusi metafisika menjadi cabang yang bisa diverifikasi secara formal, dan menolak spekulasi metafisik tanpa dasar linguistik atau logis. Ontologi tidak lagi berdiri sendiri, tetapi melekat dalam kerangka teori ilmiah dan bahasa yang digunakan.

8.2.       Kritik Terhadap Quine: Ontologi Tanpa Kuantifikasi?

Pandangan Quine kemudian dikritik oleh filsuf seperti Peter van Inwagen dan Amie L. Thomasson. Van Inwagen berpendapat bahwa komitmen ontologis tidak hanya ditentukan oleh struktur logika formal, tetapi juga oleh bentuk-bentuk pernyataan eksistensial yang secara implisit terikat pada “teori dunia” seseorang.2 Ia mempertahankan metafisika sebagai ilmu serius, meskipun tidak sekuat sains dalam hal verifikasi empiris.

Sementara itu, Thomasson memperkenalkan pendekatan deflasionis terhadap pertanyaan ontologis. Dalam bukunya Ontology Made Easy, ia menolak bahwa pertanyaan “apakah meja ada?” atau “apakah bilangan eksis?” harus dijawab melalui komitmen logika kuantifikasi. Menurutnya, jawaban terhadap pertanyaan ontologis banyak yang bersifat trivial atau semantik—cukup dijawab berdasarkan aturan penggunaan bahasa kita sehari-hari.3

8.3.       Ontologi dan Bahasa: Referensi dan Deskripsi

Perdebatan tentang eksistensi juga mencakup teori referensi. Filsuf seperti Bertrand Russell dan Frege membahas bagaimana pernyataan seperti “Pegasus ada” atau “Raja Prancis sekarang botak” dapat memiliki makna meskipun referennya tidak eksis. Russell, dalam teori deskripsinya, menyatakan bahwa klaim eksistensial dapat dianalisis menjadi bentuk logika yang menyatakan bahwa ada sesuatu yang memenuhi deskripsi tertentu.4

Hal ini membedakan antara eksistensi linguistik (yang memungkinkan kita berbicara tentang fiksi, abstraksi, atau hal yang tidak ada) dan eksistensi aktual dalam kenyataan. Kontroversi ini terus berkembang dalam semantik filsafat bahasa hingga kini.

8.4.       Realisme vs Anti-Realisme

Dalam spektrum yang lebih luas, perdebatan ontologis kontemporer dapat dikategorikan ke dalam dua kutub besar: realisme dan anti-realisme. Kaum realis menyatakan bahwa entitas ada secara independen dari cara kita mengetahuinya atau mengkonseptualisasikannya—misalnya dalam filsafat sains, kaum realis ilmiah percaya bahwa elektron, gaya gravitasi, dan medan kuantum eksis sebagaimana dijelaskan teori.5

Sebaliknya, kaum anti-realis seperti Nelson Goodman dan Hilary Putnam menyatakan bahwa keberadaan entitas ditentukan oleh kerangka konseptual dan bahasa kita. Dalam pendekatan ini, tidak ada “cara dunia itu sendiri”, tetapi hanya berbagai “cara membuat dunia” (ways of worldmaking).6

8.5.       Modalitas dan Dunia-Mungkin

Dimensi lain dari perdebatan kontemporer adalah mengenai modalitas: apakah eksistensi hanya mencakup dunia aktual, atau mencakup dunia-mungkin (possible worlds). David Lewis, melalui modal realism, menyatakan bahwa semua dunia-mungkin adalah dunia nyata di tempat lain, dan setiap entitas dalam dunia-mungkin memiliki status eksistensial yang setara dengan dunia aktual kita.7

Pandangan ini memungkinkan analisis eksistensial terhadap kemungkinan, kebutuhan, dan kontingensi, tetapi juga memunculkan perdebatan keras mengenai inflasi ontologi—yakni, apakah kita harus menerima eksistensi entitas yang tak terjangkau secara empiris.


Kesimpulan Perdebatan Kontemporer

Perdebatan ontologis kontemporer menandai transformasi radikal dalam cara memahami eksistensi. Dari sesuatu yang dahulu dianggap sebagai entitas metafisik di luar subjek, eksistensi kini diperdebatkan dalam dimensi logis, linguistik, semantik, bahkan pragmatis. Pertanyaan “apa yang ada” tidak lagi dijawab secara mutlak, tetapi bergantung pada kerangka konseptual, teori, dan praktik bahasa yang digunakan.

Namun demikian, perdebatan ini menunjukkan bahwa eksistensi tetap merupakan tema filsafat yang tak kunjung habis untuk digali—dari sains hingga sastra, dari logika hingga eksistensialisme, eksistensi tetap menjadi “tanda tanya pertama” dalam setiap pencarian akan makna realitas.


Footnotes

[1]                W. V. O. Quine, “On What There Is,” The Review of Metaphysics 2, no. 1 (1948): 21–38.

[2]                Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder: Westview Press, 2015), 11–15.

[3]                Amie L. Thomasson, Ontology Made Easy (Oxford: Oxford University Press, 2015), 23–45.

[4]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[5]                Richard Boyd, “Scientific Realism,” in Philosophy of Science: The Central Issues, ed. Martin Curd and J.A. Cover (New York: W.W. Norton, 1998), 80–105.

[6]                Nelson Goodman, Ways of Worldmaking (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 2–5.

[7]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.


9.           Relevansi Kajian Eksistensi dalam Ilmu dan Budaya

Kajian tentang eksistensi tidak hanya menjadi fondasi filsafat metafisika, tetapi juga memiliki relevansi luas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemahaman tentang being dan existence bukan semata-sata bersifat spekulatif, melainkan menyentuh dimensi paling dasar dari pemikiran ilmiah, kesadaran budaya, hingga struktur eksistensial manusia dalam dunia modern dan postmodern. Di era kontemporer yang ditandai oleh pluralitas realitas dan krisis makna, ontologi kembali menjadi wacana penting untuk menafsirkan posisi manusia dalam semesta.

9.1.       Eksistensi dalam Ilmu Alam dan Kosmologi

Dalam ilmu alam, khususnya kosmologi, pertanyaan tentang eksistensi menjadi inti dari pencarian ilmiah tentang asal-usul dan struktur alam semesta. Teori Big Bang, misalnya, tidak hanya menjelaskan ekspansi awal alam semesta, tetapi juga menimbulkan pertanyaan ontologis tentang mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama sekali. Fisikawan seperti Stephen Hawking dan Lawrence Krauss telah mengajukan gagasan bahwa alam semesta bisa "muncul dari ketiadaan", tetapi premis tersebut bergantung pada definisi teknis tentang "ketiadaan" yang justru tetap mengasumsikan eksistensi hukum fisika dan medan kuantum.1

Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam sains yang sangat empiris, pertanyaan metafisika tentang eksistensi tetap tak terelakkan. Roger Penrose dan Lee Smolin juga mengusulkan bahwa pemahaman tentang realitas memerlukan struktur ontologis yang lebih dalam dari sekadar model matematis; mereka mempertanyakan apakah keberadaan itu bersifat fundamental atau emergen dari informasi dan hukum relasional.2

9.2.       Eksistensi dan Ilmu Kognitif

Dalam bidang ilmu kognitif, studi tentang kesadaran (consciousness) berkaitan erat dengan pertanyaan eksistensial: bagaimana pengalaman subjektif menjadi? Fenomena seperti qualia, atau rasa mengalami sesuatu (seperti "kemerahan" atau "nyeri"), tidak mudah direduksi ke dalam data neuron atau korelasi fungsional otak. Masalah ini dikenal sebagai “hard problem of consciousness”, sebagaimana dikemukakan oleh David Chalmers, yang menegaskan bahwa kesadaran menunjukkan dimensi eksistensi yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan secara materialistik.3

Kajian ini membuka ruang bagi filsafat eksistensial untuk kembali berdialog dengan sains modern, karena manusia sebagai Dasein (Heidegger) tidak hanya berfungsi sebagai pemroses informasi, tetapi sebagai keberadaan yang mengalami, menyadari, dan merefleksikan ada dirinya secara unik.

9.3.       Eksistensi dan Budaya Populer

Di ranah budaya, pertanyaan eksistensial menjadi tema dominan dalam karya sastra, film, seni, dan bahkan media digital. Tokoh-tokoh seperti Franz Kafka, Albert Camus, dan Haruki Murakami mengangkat tema absurditas, keterasingan, dan pencarian makna dalam dunia yang tampak acak dan tak bersahabat. Film seperti The Matrix (1999) dan Blade Runner (1982) mengangkat isu tentang realitas virtual, identitas buatan, dan eksistensi manusia dalam dunia yang dikendalikan oleh teknologi. Semua ini merupakan ekspresi dari kekhawatiran ontologis kontemporer—yakni, apakah kita benar-benar eksis sebagai subjek yang otentik, atau sekadar bagian dari sistem yang tidak kita pahami?

Seni postmodern juga sering mempertanyakan eksistensi makna itu sendiri. Jean Baudrillard, misalnya, menyatakan bahwa kita hidup dalam era “simulacra”, di mana realitas telah tergantikan oleh representasi dan tanda-tanda yang tak merujuk pada realitas apa pun.4 Dalam konteks ini, eksistensi menjadi semacam ilusi performatif yang dibentuk oleh media dan kekuasaan.

9.4.       Eksistensi dalam Agama dan Spiritualitas

Pertanyaan tentang eksistensi juga menjadi pusat dari ajaran spiritual dan religius. Dalam banyak tradisi agama, eksistensi manusia dipandang sebagai bagian dari realitas ilahi yang lebih tinggi. Dalam Islam, konsep wujūd Tuhan sebagai wājib al-wujūd (yang mesti ada) dan keberadaan makhluk sebagai mumkin al-wujūd (yang mungkin ada) menunjukkan relasi ontologis antara Tuhan dan ciptaan.5 Dalam filsafat Timur, seperti Vedānta atau Zen, eksistensi tidak dipahami sebagai entitas individual, melainkan sebagai kesatuan dengan totalitas realitas.

Kebangkitan spiritualitas kontemporer, termasuk praktik mindfulness, pencarian makna hidup, dan pengalaman puncak (peak experience), merupakan ekspresi dari kebutuhan eksistensial yang tidak dapat dipuaskan oleh sains atau teknologi saja. Ontologi, dalam hal ini, menjadi jembatan antara metafisika dan eksistensi religius.

9.5.       Eksistensi dalam Konteks Digital dan Kecerdasan Buatan

Era digital dan kecerdasan buatan (AI) menantang kembali batas-batas ontologi tradisional. Apakah entitas digital (avatar, karakter game, chatbot) dapat dikatakan eksis? Apa status eksistensial dari self yang terbentuk di media sosial atau metaverse? Filsuf seperti Luciano Floridi mengembangkan konsep infosfera, di mana eksistensi bukan lagi berbasis materi atau kesadaran biologis, tetapi berdasarkan keberadaan sebagai informasi yang saling terhubung dalam jejaring digital.6

Masalah ini juga menjadi inti dari pertanyaan tentang “kesadaran buatan”: apakah AI bisa benar-benar eksis sebagai subjek, atau hanya mensimulasikan eksistensi melalui algoritma? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan masa depan etika, hukum, dan ontologi itu sendiri dalam masyarakat digital.


Kesimpulan Relevansi

Kajian eksistensi tetap memiliki daya hidup filosofis dan praktis yang tinggi. Dalam sains, ia menuntun pada pertanyaan asal-usul dan makna. Dalam budaya, ia mencerminkan kecemasan dan pencarian manusia modern. Dalam agama, ia menghubungkan manusia dengan Yang Transenden. Dan dalam dunia digital, ia menantang definisi kita tentang “apa artinya menjadi ada”.

Dengan demikian, ontologi eksistensial bukan hanya proyek filosofis, tetapi refleksi kultural yang terus hidup, mendefinisikan cara manusia memahami diri, dunia, dan Tuhan dalam zaman yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Lawrence M. Krauss, A Universe from Nothing: Why There is Something Rather than Nothing (New York: Free Press, 2012), 145–150.

[2]                Roger Penrose, The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe (New York: Knopf, 2005), 1040–1053; Lee Smolin, Time Reborn: From the Crisis in Physics to the Future of the Universe (Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2013), 205–210.

[3]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 93–105.

[4]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–5.

[5]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect, ed. and trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute, 2014), 54–59.

[6]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 60–68.


10.       Kesimpulan

Kajian tentang hakikat eksistensi merupakan salah satu pijakan paling mendasar dan berkelanjutan dalam sejarah filsafat. Dari Parmenides yang menegaskan bahwa “Yang Ada itu ada,” hingga Jean-Paul Sartre yang menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi,” pemikiran manusia telah menempuh lintasan panjang dalam memahami makna being—baik sebagai realitas objektif maupun pengalaman eksistensial yang personal.1

Sejarah menunjukkan bahwa pemahaman tentang eksistensi selalu berkembang dalam dialektika antara ontologi spekulatif dan ontologi eksistensial. Di satu sisi, tradisi klasik dan skolastik, seperti yang dikembangkan oleh Aristoteles, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas, menekankan eksistensi sebagai prinsip aktualisasi dan realitas objektif—sebuah struktur hierarkis yang menempatkan Tuhan sebagai sumber segala wujud.2 Di sisi lain, para filsuf modern dan kontemporer seperti Heidegger dan Sartre mengarahkan perhatian pada eksistensi manusia yang konkret, yang dilemparkan ke dunia, dihadapkan pada kematian, dan dituntut membentuk makna melalui kebebasan dan tanggung jawab.3

Selain itu, dalam ranah kontemporer, eksistensi tidak lagi menjadi tema eksklusif filsafat metafisika, melainkan juga meresap dalam ilmu pengetahuan, seni, budaya populer, teknologi digital, dan spiritualitas modern. Fisikawan mempertanyakan mengapa alam semesta ada dan bukan tidak ada; seniman menggambarkan absurditas dan alienasi keberadaan; para insinyur kecerdasan buatan menantang batas-batas antara realitas biologis dan informasi. Semua itu adalah wujud dari krisis dan transformasi ontologis yang memperluas ruang lingkup pertanyaan tentang keberadaan.4

Kajian eksistensi juga memperlihatkan bahwa tidak ada satu pun definisi tunggal dan final tentang “ada”. Being dapat berarti keberadaan aktual, kemungkinan, nilai, makna, relasi, kesadaran, atau bahkan ketiadaan. Dalam pemikiran Martin Heidegger, misalnya, “being” adalah sesuatu yang tidak bisa direduksi ke dalam entitas apa pun—ia adalah horizon makna yang membuka kemungkinan bagi segala bentuk pemahaman.5 Artinya, eksistensi bukan sekadar fakta ontologis, tetapi juga fenomena hermeneutik: ia membutuhkan penafsiran terus-menerus.

Dengan demikian, kajian ontologis tentang eksistensi mengajarkan kita kerendahan hati epistemik: bahwa realitas lebih luas dari apa yang bisa dicakup oleh akal manusia; bahwa keberadaan kita bukan hanya sekadar ada, tetapi juga bermakna, terbuka, dan menjadi; dan bahwa setiap pertanyaan ontologis pada dasarnya adalah pertanyaan tentang diri kita sendiri, tentang “bagaimana seharusnya kita ada” di tengah dunia yang terus berubah.

Sebagaimana dikatakan Karl Jaspers, filsafat dimulai ketika manusia terguncang oleh eksistensinya dan terdorong untuk bertanya secara radikal. Maka, kajian tentang eksistensi bukanlah sekadar wacana akademik, melainkan juga proyek eksistensial yang hidup—suatu undangan untuk memahami, menafsirkan, dan merespons panggilan keberadaan dengan lebih sadar dan bertanggung jawab.6


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 3, a. 4; Ibn Sina, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 30–35; Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), Book IX, 1048b18–36.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–38; Sartre, Existentialism Is a Humanism, 23.

[4]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 105; Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 2–5.

[5]                Heidegger, Being and Time, 38–41.

[6]                Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 13–15.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1941). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926). Random House.

Aquinas, T. (2001). Summa Theologiae (multiple vols.). Christian Classics.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Boyd, R. (1998). Scientific realism. In M. Curd & J. A. Cover (Eds.), Philosophy of science: The central issues (pp. 80–105). W. W. Norton.

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.

Gilson, E. (1952). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Goodman, N. (1978). Ways of worldmaking. Hackett Publishing.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Ibn Sina. (2005). The metaphysics of the healing (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence (R. F. Grabau, Trans.). University of Pennsylvania Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Krauss, L. M. (2012). A universe from nothing: Why there is something rather than nothing. Free Press.

Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds. Blackwell.

Lowe, E. J. (2002). A survey of metaphysics. Oxford University Press.

Penrose, R. (2005). The road to reality: A complete guide to the laws of the universe. Knopf.

Quine, W. V. O. (1948). On what there is. The Review of Metaphysics, 2(1), 21–38.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Smolin, L. (2013). Time reborn: From the crisis in physics to the future of the universe. Houghton Mifflin Harcourt.

Suárez, F. (1947). Disputationes metaphysicae (C. Vollert, Trans.). B. Herder.

Thomasson, A. L. (2015). Ontology made easy. Oxford University Press.

van Inwagen, P. (2015). Metaphysics (4th ed.). Westview Press.

Wolter, A. B. (1946). The transcendentals and their function in the metaphysics of Duns Scotus. Catholic University of America Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar