Hakikat Eksistensi
Kajian Ontologis tentang Being and Existence dalam
Filsafat
Alihkan ke: Ontologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam hakikat
eksistensi (being and existence) sebagai salah satu tema sentral dalam
filsafat, khususnya dalam bidang ontologi. Kajian ini menelusuri perkembangan
konseptual eksistensi dari masa filsafat klasik Yunani, melalui pemikiran
skolastik dan filsafat Islam, hingga pada transisi ke filsafat modern dan
munculnya eksistensialisme kontemporer. Melalui pendekatan historis-kritis,
artikel ini mengurai bagaimana berbagai tradisi filsafat membedakan antara
eksistensi dan esensi, serta mengklasifikasikan bentuk-bentuk eksistensi
berdasarkan aktualitas, kemandirian, konkretisasi, dan modalitas. Selain itu,
perdebatan kontemporer dalam tradisi filsafat analitik mengenai komitmen
ontologis, referensi bahasa, dan modal realisme turut dianalisis. Kajian ini
juga menyoroti relevansi eksistensi dalam konteks ilmu pengetahuan (fisika,
kognitif), budaya populer, spiritualitas, serta tantangan baru dalam era
digital dan kecerdasan buatan. Ditekankan bahwa pemahaman tentang eksistensi
tidak hanya merupakan proyek metafisik, tetapi juga merupakan refleksi
eksistensial yang menyentuh identitas, makna, dan orientasi hidup manusia dalam
dunia modern. Oleh karena itu, eksistensi dipahami tidak hanya sebagai kondisi
“ada”, melainkan juga sebagai pengalaman dan panggilan untuk menjadi
secara otentik.
Kata Kunci: Ontologi; Eksistensi; Esensi; Eksistensialisme;
Metafisika; Filsafat Islam; Filsafat Kontemporer; Being; Dasein; Komitmen
Ontologis.
PEMBAHASAN
Menelusuri Hakikat Eksistensi (Being and Existence)
1.
Pendahuluan
Dalam filsafat,
ontologi menempati posisi sentral sebagai disiplin yang membahas tentang ada
dalam pengertian yang paling mendasar—yakni sebagai ada qua ada (being as being). Di
antara berbagai objek kajian ontologi, pertanyaan tentang eksistensi
(being
atau existence)
merupakan tema yang paling purba dan mendalam. Sejak zaman Yunani kuno hingga
pemikiran postmodern, manusia terus bertanya: Apa itu "ada"? Bagaimana kita
mengetahui sesuatu itu benar-benar eksis? Apakah eksistensi bersifat objektif,
subjektif, atau transenden? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya
spekulatif, melainkan juga mendasari cara kita memahami realitas, diri, dan
bahkan Tuhan.
Konsep eksistensi
tidak hanya menjadi perhatian utama metafisika, tetapi juga berkelindan erat
dengan epistemologi, logika, dan etika. Dalam konteks ini, filsafat tidak
sekadar menjadi wacana abstrak, melainkan upaya sistematis untuk memahami
landasan realitas. Aristoteles, misalnya,
menyatakan bahwa “ilmu yang tertinggi adalah ilmu tentang yang ada sejauh ia
ada” (science
of being qua being)—itulah yang ia maksud sebagai prote
philosophia atau filsafat pertama.1 Bagi Aristoteles,
eksistensi bukanlah sesuatu yang tunggal secara sederhana, melainkan bersifat
analogis: ia hadir dalam banyak bentuk, tetapi semuanya merujuk pada suatu
prinsip keberadaan tertentu.
Masalah eksistensi
menjadi semakin rumit ketika dikaitkan dengan konsep esensi
(hakikat). Dalam banyak tradisi filsafat, terutama yang dipengaruhi oleh
pemikiran Ibnu Sina (Avicenna), dibedakan
antara esensi (apa sesuatu itu) dan eksistensi (bahwa sesuatu itu ada). Esensi
dapat dipikirkan tanpa keberadaan aktual, sedangkan eksistensi mengandaikan
realisasi dari esensi itu dalam kenyataan.2 Distingsi ini kemudian
memengaruhi perkembangan metafisika di dunia Islam dan Kristen Latin, khususnya
dalam karya-karya Thomas Aquinas, yang merumuskan
eksistensi sebagai actus essendi—tindakan adanya.3
Di era modern,
pemikiran tentang eksistensi mengalami pergeseran paradigma. Descartes
menekankan bahwa eksistensi menjadi kepastian pertama dalam keraguan: Cogito,
ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Namun, ini kemudian dikritik
oleh para filsuf eksistensialis seperti Kierkegaard, Heidegger,
dan Sartre,
yang melihat eksistensi bukan sebagai proposisi logis, melainkan sebagai
pengalaman personal, konkret, dan terbuka terhadap makna. Dalam kerangka ini,
eksistensi bukanlah sekadar fakta ontologis, melainkan juga peristiwa yang
dialami subjek secara eksistensial.
Kajian ini bertujuan
untuk menelusuri berbagai pandangan filsafat tentang eksistensi—mulai dari
pemikiran klasik hingga kontemporer—untuk menemukan benang merah, pergeseran
makna, dan kompleksitas filosofis yang menyertainya. Dengan menelaah hakikat
eksistensi dari berbagai perspektif, kita diharapkan tidak hanya memperoleh
wawasan ontologis, tetapi juga mampu merefleksikan ulang makna keberadaan diri,
dunia, dan Tuhan secara lebih utuh dan mendalam.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
980a21.
[2]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 29–31.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 3, a. 4; lihat pula:
W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic
Metaphysics (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2001), 77–82.
2.
Pengertian Dasar: ‘Being’ dan ‘Existence’
Istilah being
dan existence
merupakan dua konsep fundamental dalam ontologi yang kerap digunakan secara
bergantian, tetapi dalam banyak tradisi filsafat keduanya mengandung nuansa
makna yang berbeda. Secara etimologis, kata being berasal dari bahasa Inggris
Kuno beon
atau beo,
yang berarti “menjadi” atau “ada”. Sedangkan existence
berasal dari bahasa Latin existere, yang secara harfiah
berarti “muncul ke luar” (ex- = keluar, sistere
= berdiri atau muncul).1 Secara konseptual, being
sering dimaknai sebagai keadaan atau kondisi dasar dari segala sesuatu yang ada,
sedangkan existence
menunjuk pada aktualitas atau kenyataan dari keberadaan sesuatu secara konkret.
Dalam metafisika
klasik, istilah being memiliki jangkauan makna yang
sangat luas. Aristoteles menggunakan istilah
to on
(τὸ ὄν) untuk merujuk pada segala sesuatu yang memiliki “ada” dalam
berbagai cara, baik secara substansial, aksidental, aktual, maupun potensial.
Ia mengembangkan ide bahwa being bukanlah genus universal,
melainkan konsep analogis yang bermacam-macam pengertiannya bergantung pada
kategori dan relasinya terhadap substansi.2 Dengan demikian, being
tidak dapat didefinisikan secara tunggal, melainkan harus dipahami berdasarkan
keberadaannya dalam konteks yang berbeda.
Dalam filsafat
skolastik dan pemikiran Islam klasik, dikembangkan distingsi yang penting
antara essentia
(esensi) dan existentia (eksistensi). Ibnu
Sina (Avicenna) menegaskan bahwa mahiyyah (esensi) adalah apa yang
dapat dipahami secara mental tanpa perlu diasumsikan eksis, sedangkan wujud
(eksistensi) adalah realisasi aktual dari esensi tersebut di dalam kenyataan.3
Misalnya, konsep "kuda" dapat dibayangkan secara jelas sebagai esensi
tanpa harus benar-benar ada seekor kuda di hadapan kita. Dalam kerangka ini,
eksistensi menjadi suatu aksiden metafisik yang tidak
inheren dalam esensi dan harus ditambahkan agar sesuatu sungguh ada.
Perbedaan antara being
dan existence
menjadi semakin tajam dalam filsafat modern. Immanuel Kant, dalam Critique
of Pure Reason, menolak anggapan bahwa eksistensi adalah predikat
nyata. Menurutnya, menambahkan eksistensi ke suatu konsep tidak menambah isi
dari konsep itu sendiri, melainkan hanya menyatakan bahwa konsep itu diwujudkan
dalam kenyataan.4 Ini adalah kritik terhadap argumen ontologis
tentang keberadaan Tuhan, yang beranggapan bahwa eksistensi adalah bagian dari
kesempurnaan esensial. Kant membantahnya dengan menyatakan bahwa eksistensi
bukanlah sifat, melainkan afirmasi terhadap kenyataan dari suatu konsep.
Sementara itu, dalam
pemikiran kontemporer, Martin Heidegger membedakan
antara Sein
(Being) dan Seiendes (beings). Ia menekankan
bahwa filsafat Barat selama ini terlalu fokus pada “apa yang ada”
(entitas), dan melupakan pertanyaan fundamental tentang “keberadaan itu
sendiri”. Heidegger menyebut pendekatan barunya sebagai “ontologi
fundamental” (fundamental ontology) yang
bertujuan membuka makna asli dari Being melalui eksistensi manusia (Dasein)
sebagai entitas yang mampu mempertanyakan keberadaannya sendiri.5
Dengan demikian,
perbedaan antara being dan existence
tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga konseptual dan historis. Being
adalah kategori paling umum dalam metafisika yang mencakup semua entitas,
sedangkan existence
merujuk pada keadaan aktual suatu entitas dalam kenyataan. Pemahaman ini
menjadi dasar penting dalam setiap kajian ontologis, karena menentukan
bagaimana kita mendekati pertanyaan tentang realitas, identitas, dan
kemungkinan.
Footnotes
[1]
Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philosophy (New York:
Philosophical Library, 1962), s.v. “Existence.”
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book IV, 1003a21–32.
[3]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of the Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 41–45.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A598/B626–A602/B630.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 26–38.
3.
Eksistensi dalam Filsafat Klasik
Pemikiran mengenai
eksistensi dalam filsafat klasik diawali oleh para filsuf Yunani kuno yang
berupaya memahami realitas terdalam dari alam semesta. Mereka tidak hanya
mempertanyakan “apa” yang ada, tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa”
sesuatu itu ada. Dalam konteks ini, eksistensi
atau being
menjadi pusat spekulasi metafisik yang memengaruhi hampir seluruh tradisi
filsafat Barat selanjutnya.
3.1.
Parmenides dan
Paradoks Keberadaan
Filsuf pra-Sokratik Parmenides
dianggap sebagai salah satu tokoh pertama yang secara eksplisit membahas
tentang keberadaan (to eon). Dalam puisi filsafatnya, On
Nature, ia menegaskan bahwa “Yang Ada itu ada, dan Yang Tidak
Ada itu tidak ada.”1 Parmenides menyatakan bahwa keberadaan
bersifat mutlak, tidak berubah, dan tunggal; segala perubahan, gerak, dan
pluralitas hanyalah ilusi. Dengan demikian, ia mereduksi realitas menjadi
entitas yang abadi dan statis, yang eksistensinya tidak tergantung pada pengalaman
inderawi.
Paradoks ini
menimbulkan dilema ontologis: bagaimana mungkin realitas yang kita alami penuh
dengan perubahan jika eksistensi sejati bersifat tetap? Jawaban terhadap dilema
ini mendorong munculnya pendekatan metafisika yang lebih sistematis dalam
filsafat Yunani berikutnya.
3.2.
Plato: Dunia Ide dan
Dualitas Eksistensi
Plato,
murid dari Socrates dan guru dari Aristoteles, mengembangkan jawaban atas
persoalan Parmenides melalui teori dunia ide (theory
of Forms). Menurut Plato, eksistensi terbagi ke dalam dua tingkat:
dunia inderawi yang bersifat berubah-ubah dan tidak sempurna, serta dunia ide
yang bersifat kekal dan sempurna.2 Dalam dialog Phaedo
dan Republic,
ia menegaskan bahwa realitas sejati (being) adalah ide atau bentuk (eidos),
yang eksistensinya tidak tergantung pada keberadaan materi atau ruang-waktu.
Dengan demikian,
eksistensi dalam filsafat Plato bersifat hierarkis. Dunia inderawi memiliki
eksistensi yang lemah atau “meniru” (mimesis) realitas ide yang absolut.
Dalam pengertian ini, eksistensi tidak bersifat monolitik, melainkan
terbagi-bagi secara ontologis berdasarkan derajat kedekatannya dengan kebenaran
dan keabadian.
3.3.
Aristoteles:
Eksistensi sebagai Aktualitas
Aristoteles,
murid Plato yang kemudian mengkritik gurunya, mengembangkan konsep yang lebih
empiris dan sistematis tentang eksistensi. Dalam Metaphysics, Aristoteles menolak
dikotomi radikal antara dunia inderawi dan dunia ide. Baginya, yang ada (to on)
adalah apa yang memiliki substansi (ousia), dan substansi itu adalah
gabungan antara materi (hulē) dan bentuk
(morphē).3 Eksistensi bukanlah entitas yang terpisah, melainkan aktualitas
(energeia)
dari potensi yang ada dalam materi.
Aristoteles juga
membedakan antara eksistensi aktual (actual being) dan potensial (potential
being). Misalnya, biji pohon memiliki potensi untuk menjadi pohon,
dan ketika ia tumbuh, potensi itu teraktualkan menjadi eksistensi yang nyata.
Ia menyatakan bahwa realitas sejati adalah aktualitas: “Being is actuality
more than it is potentiality.”4
Lebih jauh, Aristoteles
mengembangkan kategori-kategori eksistensi yang terkenal, yang mencakup
substansi, kualitas, kuantitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, aksi,
dan pasifitas. Melalui sistem ini, ia berusaha mengklasifikasi semua modus dari
eksistensi yang dapat ditemukan dalam realitas.
3.4.
Konstribusi Warisan
Klasik terhadap Tradisi Ontologi
Konsep-konsep eksistensi yang
dikembangkan oleh para filsuf klasik ini meletakkan dasar bagi seluruh
perdebatan metafisika berikutnya. Pandangan Plato mengenai derajat eksistensi
memengaruhi teologi Neoplatonik dan filsafat Kristen awal, sementara pemikiran
Aristoteles mengenai aktualitas dan substansi menjadi fondasi bagi metafisika
skolastik dan Islam klasik. Eksistensi dalam filsafat klasik tidak dipahami sebagai
atribut netral, tetapi sebagai inti dari apa itu realitas, baik secara statis
(Parmenides dan Plato) maupun dinamis (Aristoteles).
Footnotes
[1]
Parmenides, On Nature, fragment 2, in Early Greek
Philosophy, ed. Jonathan Barnes (London: Penguin Books, 2001), 129.
[2]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube and C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VI, 509d–511e.
[3]
Aristotle. (1941). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon
(Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926). Random House.
(Original work written ca. 350 B.C.E.)
[4]
Aristotle, Metaphysics, Book IX, 1048b18–36.
4.
Eksistensi dalam Filsafat Islam
Filsafat Islam mengembangkan
kajian eksistensi (wujūd) secara mendalam dan orisinal, terutama
sebagai hasil asimilasi pemikiran Yunani (khususnya Aristoteles dan Plotinus)
dengan teologi dan spiritualitas Islam. Para filsuf Muslim klasik tidak hanya
mewarisi warisan metafisika klasik, tetapi juga menyusun sistem filsafat yang
mengintegrasikan wahyu dan akal, menjadikan eksistensi
sebagai konsep kunci dalam menjelaskan realitas Tuhan, alam, dan manusia.
4.1.
Ibnu Sina: Distingsi
antara Mahiyyah dan Wujūd
Salah satu kontribusi paling
penting dalam filsafat Islam adalah distingsi yang dikemukakan oleh Abū
ʿAlī Ibn Sīnā (980–1037 M) antara mahiyyah (esensi)
dan wujūd (eksistensi). Dalam kerangka pemikirannya, mahiyyah
menjawab pertanyaan “apa” sesuatu itu, sedangkan wujūd
menjawab pertanyaan “apakah” sesuatu itu ada secara aktual.1
Ia menyatakan bahwa esensi bisa dipahami secara konseptual tanpa
mengandaikan eksistensi. Contohnya, seseorang dapat memahami konsep “kuda
bersayap” tanpa kuda tersebut benar-benar eksis di dunia nyata.
Menurut Ibnu Sina, hanya Tuhan
yang esensinya sekaligus eksistensinya—wujūd-nya adalah niscaya
(wājib al-wujūd), sementara seluruh makhluk adalah mungkin ada (mumkin
al-wujūd), yang keberadaannya tergantung pada sebab lain di luar dirinya.2
Dengan ini, Ibnu Sina menyusun ontologi hierarkis yang menempatkan Tuhan
sebagai sumber eksistensi mutlak, dan menciptakan seluruh keberadaan melalui emanasi.
4.2.
Al-Ghazālī: Kritik
terhadap Konsep Eksistensi Filosofis
Berbeda dengan Ibnu Sina, Abū
Ḥāmid al-Ghazālī (1058–1111 M) mengkritik pendekatan filsafat
terhadap eksistensi, terutama dalam bukunya Tahāfut al-Falāsifah
(Keruntuhan Para Filosof). Ia menolak keabadian dunia dan gagasan
emanasi sebagai tidak sesuai dengan prinsip keesaan dan kehendak Tuhan dalam
Islam. Meski demikian, al-Ghazālī tidak menolak akal secara total, melainkan
menekankan bahwa eksistensi adalah hasil dari kehendak ilahi yang bebas, bukan
hasil keharusan metafisik.3
Namun dalam karya-karyanya
yang lain seperti Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn dan Maqāṣid al-Falāsifah,
al-Ghazālī tetap mengakui nilai sistematika dan logika dalam pemikiran
filsafat. Ia menafsirkan eksistensi bukan dalam kerangka Aristotelian, tetapi
dalam konteks spiritualitas Islam yang menekankan hubungan personal manusia
dengan Tuhan sebagai sumber segala keberadaan.
4.3.
Mulla Ṣadrā: Asālat
al-Wujūd dan Ontologi Transendental
Filsuf paling berpengaruh
dalam pengembangan konsepsi eksistensi dalam filsafat Islam adalah Ṣadr
al-Dīn al-Shīrāzī (Mullā Ṣadrā, 1571–1640 M), pendiri hikmah
mutaʿāliyah (kebijaksanaan transendental). Ia secara revolusioner membalik
tesis klasik dengan menyatakan bahwa eksistensi lebih
fundamental daripada esensi—suatu prinsip yang dikenal dengan
istilah aṣālat al-wujūd (keaslian eksistensi).4
Dalam pandangannya, esensi hanyalah konstruksi mental, sedangkan wujūd
adalah kenyataan objektif yang memiliki gradasi dan intensitas.
Menurut Mulla Ṣadrā, realitas
adalah eksistensi murni yang bersifat bertingkat (tashkīk al-wujūd).
Segala yang ada berada dalam spektrum wujūd yang berbeda-beda: dari yang paling
lemah (materi) hingga yang paling sempurna (Tuhan). Dalam kerangka ini, wujūd
adalah dinamis dan berkembang menuju kesempurnaan. Ia juga menekankan bahwa
eksistensi itu bukan statis, melainkan bergerak secara substansial
(al-ḥarakah al-jawhariyyah), yang berarti realitas terus berubah dalam
hakikatnya.5
4.4.
Signifikansi
Ontologi Islam dalam Tradisi Filsafat
Konsepsi tentang eksistensi
dalam filsafat Islam tidak hanya berfungsi sebagai kerangka metafisik, tetapi
juga sebagai dasar teologis dan spiritual. Eksistensi bukan sekadar status
ontologis, melainkan sesuatu yang mengandung nilai, relasi, dan kedekatan
dengan sumber ilahi. Tradisi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam telah
memberikan kontribusi orisinal dalam menggali makna wujūd yang bersifat
metafisik, kosmologis, dan mistis sekaligus.
Filsafat eksistensial dalam
Islam memadukan kedalaman logika Aristotelian dengan ketajaman intuisi teologis
dan spiritualitas sufi. Inilah yang menjadikannya unik dibandingkan filsafat
Barat sekuler maupun metafisika skolastik. Eksistensi dalam filsafat Islam
tidak sekadar “ada”, tetapi “hadir secara sadar” dalam hubungan
dengan Yang Maha Ada.
Footnotes
[1]
Avicenna (Ibn Sina), The Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 30–35.
[2]
F. Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press,
1975), 7–9.
[3]
Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 162–170.
[4]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect, ed. and trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic
Philosophy Research Institute, 2014), 48–56.
[5]
S. H. Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 91–95.
5.
Eksistensi dalam Filsafat Skolastik dan Modern
Awal
Perkembangan konsep
eksistensi dalam filsafat Barat mencapai bentuk sistematik dan teologis yang
matang dalam era Skolastik, terutama
melalui sintesis filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Di masa ini,
eksistensi tidak hanya dipahami sebagai status ontologis entitas, tetapi juga
sebagai dasar bagi argumen metafisik tentang keberadaan Tuhan. Periode ini
kemudian diikuti oleh pemikiran modern awal,
yang mencoba meletakkan kembali fondasi filsafat dengan pendekatan
rasionalistik, memunculkan konsepsi eksistensi yang lebih subjektif dan
reflektif.
5.1.
Thomas Aquinas: Esse
sebagai Actus Essendi
Thomas
Aquinas (1225–1274), salah satu tokoh skolastik terbesar,
mengambil warisan Aristoteles dan menggabungkannya dengan ajaran Kristen,
terutama dalam kerangka metafisika tentang Tuhan dan ciptaan. Salah satu
kontribusinya yang paling orisinal adalah gagasan tentang eksistensi
sebagai tindakan adanya (actus essendi). Aquinas membedakan
secara tegas antara essentia (apa sesuatu itu) dan esse
(bahwa sesuatu itu ada), dan menegaskan bahwa esse adalah prinsip
aktualisasi yang memberikan realitas pada esensi.1
Menurut Aquinas, hanya Tuhan
yang esensinya identik dengan eksistensinya (ipsum esse subsistens),
sedangkan semua makhluk bersifat kontingen: esensi mereka tidak cukup untuk
menjamin keberadaan tanpa pemberian eksistensi dari luar dirinya.2
Dalam pandangannya, esse bukanlah sekadar aksiden tambahan, tetapi
prinsip realitas yang paling fundamental dan “paling dalam”. Oleh karena
itu, memahami eksistensi berarti memahami struktur terdalam dari
realitas ciptaan, sekaligus arah keberadaannya menuju sumber eksistensi mutlak,
yaitu Tuhan.
5.2.
Duns Scotus dan Suárez:
Eksistensi sebagai Univokal
Pemikir skolastik lain
seperti John Duns Scotus
(1266–1308) dan Francisco Suárez
(1548–1617) mengembangkan pendekatan berbeda. Duns Scotus menolak prinsip
analogi being dari Aquinas, dan menyatakan bahwa konsep being
berlaku secara univokal—yaitu,
satu makna yang sama—baik bagi Tuhan maupun makhluk, walau secara tingkat
berbeda.3 Hal ini bertujuan menjaga kesinambungan logika
ketika berbicara tentang Tuhan dan ciptaan dalam kerangka metafisika. Meskipun
kontroversial, gagasan ini memiliki dampak besar terhadap metafisika modern,
terutama dalam penyusunan sistem kategori universal.
Francisco
Suárez, seorang teolog Jesuit dan figur penting dalam Skolastik
Akhir, lebih jauh menyistematisasi metafisika sebagai ilmu umum tentang being
qua being. Ia menyatakan bahwa eksistensi bukan hanya prinsip aktualisasi
internal, tetapi juga sesuatu yang dapat dianalisis melalui kategori logika dan
distingsi metafisik.4 Gagasannya menjadi
jembatan antara metafisika skolastik dengan pemikiran modern awal, terutama
dalam warisan Cartesian dan Leibnizian.
5.3.
René Descartes:
Eksistensi sebagai Kepastian Subjektif
Lompatan radikal terjadi pada
masa modern awal, terutama melalui pemikiran René
Descartes (1596–1650), yang mereformulasi dasar pengetahuan dan
eksistensi berdasarkan kesadaran. Dalam karya monumentalnya, Meditationes
de Prima Philosophia, Descartes meragukan semua hal yang dapat diragukan,
hingga ia menemukan satu kepastian tak tergoyahkan: Cogito, ergo sum
(Aku berpikir, maka aku ada).5 Bagi
Descartes, eksistensi pertama yang pasti bukanlah dunia luar, tetapi eksistensi
subjek berpikir—kesadaran reflektif yang menyadari dirinya
sebagai keberadaan.
Dalam kerangka ini,
eksistensi tidak lagi dipahami sebagai aktualitas metafisik seperti pada
Aquinas, tetapi sebagai kepastian epistemologis yang diperoleh melalui
refleksi diri. Tuhan tetap memiliki tempat penting dalam sistem Descartes
sebagai penjamin kebenaran, tetapi eksistensi Tuhan pun dibuktikan dari dasar
kesadaran manusia, bukan dari struktur metafisika obyektif.
5.4.
Implikasi Perubahan
Paradigma
Perubahan pendekatan dari
objektif (Skolastik) ke subjektif (Modern Awal) menunjukkan pergeseran mendasar
dalam pemahaman eksistensi. Jika dalam tradisi skolastik eksistensi
diorientasikan pada prinsip ontologis ketergantungan kepada Tuhan, maka dalam
filsafat modern awal eksistensi digeser menjadi persoalan dasar pengetahuan dan
subjek. Meskipun demikian, kedua pendekatan ini tetap memainkan peran penting
dalam sejarah ontologi: yang satu menyusun struktur metafisika realitas
eksternal, dan yang lain menyusun fondasi kesadaran eksistensial dari dalam
subjek.
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 3, a. 4; lihat juga:
W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic
Metaphysics (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2001), 77–83.
[2]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 108–115.
[3]
John Duns Scotus, Ordinatio, I, d. 3, part 1, q. 2, n. 48–49;
dikutip dalam Allan Wolter, The Transcendentals and Their Function in the
Metaphysics of Duns Scotus (Washington, D.C.: Catholic University of
America Press, 1946), 37.
[4]
Francisco Suárez, Disputationes Metaphysicae, trans. Cyril
Vollert (St. Louis: B. Herder, 1947), disp. II, sect. 4; lihat juga: Jorge J.
E. Gracia, Suárez on Being: Metaphysical Disputation II (Milwaukee:
Marquette University Press, 2002), 53–66.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.
6.
Krisis Ontologi dan Munculnya Eksistensialisme
Seiring perkembangan filsafat
modern, terutama sejak abad ke-17, perhatian filsuf mulai beralih dari
spekulasi metafisik yang obyektif ke refleksi subjektif tentang pengetahuan dan
kesadaran. Pergeseran ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20, ketika
banyak pemikir mulai meragukan validitas sistem metafisika tradisional dan
mempertanyakan fondasi ontologi klasik. Dalam konteks inilah eksistensialisme
lahir sebagai tanggapan filosofis terhadap krisis eksistensial, spiritual, dan
epistemologis zaman modern.
6.1.
Kritik Immanuel Kant
terhadap Ontologi Klasik
Tokoh penting yang membuka
jalan bagi krisis ontologi adalah Immanuel Kant
(1724–1804). Dalam Critique of Pure Reason, Kant menyatakan bahwa
eksistensi bukanlah predikat sejati—yaitu, bukan sifat yang menambah isi
esensial dari sesuatu. Ia menyatakan bahwa menyatakan “Tuhan ada” tidak
menambahkan apa pun ke dalam konsep Tuhan; eksistensi hanyalah penegasan bahwa
konsep itu diwujudkan dalam realitas, bukan sifat yang melekat padanya.1
Dengan demikian, Kant
meruntuhkan argumen ontologis klasik tentang keberadaan Tuhan dan memisahkan
secara tegas antara fenomena (apa yang tampak bagi subjek) dan noumena
(realitas pada dirinya sendiri). Konsekuensinya, realitas sebagai being qua
being menjadi semakin tak terjangkau dalam kerangka rasionalistik.
6.2.
Hegel dan Dialektika
Keberadaan
G.W.F.
Hegel (1770–1831) mencoba menjembatani jurang antara subjek dan
objek melalui dialektika. Dalam Science
of Logic, Hegel menyatakan bahwa “being” (ada) yang paling murni
adalah kosong, dan hanya melalui negasi dan sintesis dialektis ia memperoleh
bentuk konkret sebagai becoming (menjadi).2
Eksistensi bukanlah keadaan statis, tetapi proses dinamis dan historis. Segala
sesuatu berada dalam gerak menuju realisasi penuh dalam Roh Absolut (Geist).
Bagi Hegel, realitas bukan
terdiri dari entitas terpisah, tetapi merupakan totalitas sistem yang terus
berkembang melalui kontradiksi internal. Meski demikian, pendekatannya tetap
bercorak spekulatif dan rasional, dan belum menyentuh aspek eksistensial
manusia sebagai individu konkret.
6.3.
Kierkegaard:
Subjektivitas sebagai Kebenaran Eksistensial
Sebagai reaksi terhadap
filsafat sistematik Hegel, Søren Kierkegaard
(1813–1855), filsuf Denmark yang dijuluki “bapak eksistensialisme”,
menekankan pentingnya subjektivitas dan
pengalaman personal. Baginya, kebenaran sejati bukanlah hasil abstraksi logis,
tetapi keterlibatan pribadi dan keputusan eksistensial individu.3
Dalam karyanya Concluding Unscientific Postscript, Kierkegaard
menyatakan bahwa “subjektivitas adalah kebenaran”, dan bahwa hidup
adalah serangkaian pilihan yang dijalani dalam kecemasan, iman, dan tanggung
jawab.
Eksistensi manusia bukanlah
entitas metafisik yang netral, melainkan kondisi menjadi (existing),
yaitu keberadaan yang dilemparkan ke dunia tanpa kepastian, namun dituntut
untuk mengambil sikap. Di sini, ontologi menjadi eksistensial: pertanyaan
tentang “apa itu ada” bergeser menjadi “bagaimana seharusnya aku ada”.
6.4.
Heidegger: Ontologi
Fundamental dan Dasein
Pengaruh terbesar dalam
ontologi abad ke-20 datang dari Martin Heidegger
(1889–1976), yang menandai pergeseran dari metafisika tradisional ke ontologi
fundamental. Dalam karyanya Sein und Zeit (Being and Time),
Heidegger menegaskan bahwa filsafat Barat selama ini melupakan pertanyaan
tentang Being itu sendiri (Seinsvergessenheit). Ia
menyatakan bahwa eksistensi harus dipahami melalui Dasein, yaitu
entitas yang secara eksistensial sadar akan keberadaannya dan mampu
mempertanyakan makna Being.4
Menurut Heidegger, eksistensi
manusia bukanlah substansi metafisik, tetapi “cara berada” (Seinsweise)
yang mencirikan Dasein. Eksistensi itu berciri sementara, terbuka terhadap masa
depan, dan dihantui oleh keterlemparan (Geworfenheit) serta kematian
sebagai batas tertinggi. Eksistensi sejati baru muncul ketika manusia sadar
akan keterbatasan waktu (Sein-zum-Tode) dan hidup secara otentik.
6.5.
Sartre: Eksistensi
Mendahului Esensi
Filsuf Prancis Jean-Paul
Sartre (1905–1980) meneruskan pemikiran Heidegger dalam arah
yang lebih ateistik dan humanistik. Dalam esainya yang terkenal Existentialism
Is a Humanism, Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi”
(l’existence précède l’essence)—artinya, manusia tidak memiliki
hakikat bawaan, tetapi menciptakan dirinya melalui tindakan dan pilihan.5
Tidak ada kodrat manusia yang tetap; manusia adalah proyek terbuka.
Bagi Sartre, eksistensi
manusia bersifat absurd karena tidak memiliki dasar ontologis di luar dirinya.
Kebebasan radikal adalah kodrat eksistensial, namun kebebasan ini membawa
kecemasan dan tanggung jawab penuh. Dalam dunia tanpa Tuhan dan makna objektif,
manusia sendirilah yang harus menciptakan nilai dan arah hidupnya.
6.6.
Konsekuensi Eksistensial
terhadap Ontologi
Eksistensialisme menandai
krisis dan transformasi ontologi. Jika ontologi klasik bertumpu pada struktur
realitas objektif dan hierarkis, maka ontologi eksistensial bertumpu pada
subjek, pengalaman, dan keterlemparan manusia dalam dunia yang tak pasti.
Eksistensi bukan lagi status universal yang netral, tetapi situasi konkret yang
harus dihayati.
Dengan demikian,
eksistensialisme bukanlah penolakan terhadap ontologi, melainkan bentuk baru
dari ontologi yang berpijak pada eksistensi personal, waktu, dan kesementaraan.
Ia memperluas pemahaman tentang being dari sesuatu yang abstrak
menjadi pengalaman menjadi (becoming) yang hidup dan dramatis.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A598/B626.
[2]
G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. George di Giovanni
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 82–84.
[3]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans.
Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992),
201–210.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
7.
Klasifikasi Eksistensi
Sejak zaman kuno hingga
filsafat kontemporer, para pemikir tidak hanya memperdebatkan makna eksistensi,
tetapi juga mencoba mengklasifikasikan berbagai modus eksistensi
berdasarkan realitas, intensitas, kemandirian, dan relasi ontologisnya.
Klasifikasi ini bertujuan untuk mengurai keragaman entitas dan cara
keberadaannya dalam semesta, mulai dari Tuhan, jiwa, hingga objek material dan
konseptual. Pemahaman terhadap klasifikasi ini sangat penting dalam menyusun
kerangka ontologis yang sistematis.
7.1.
Eksistensi Aktual
dan Potensial
Klasifikasi mendasar pertama
diperkenalkan oleh Aristoteles melalui
pembedaan antara actus (aktualitas) dan potentia
(potensialitas). Eksistensi aktual merujuk pada keberadaan yang telah terwujud,
sedangkan eksistensi potensial mengacu pada kemampuan suatu entitas untuk
menjadi aktual dalam kondisi tertentu.1
Misalnya, biji memiliki potensi untuk menjadi pohon, tetapi baru eksis secara aktual
sebagai pohon ketika pertumbuhannya terwujud. Konsep ini menjadi pilar utama
metafisika klasik dalam memahami gerak, perubahan, dan aktualisasi kodrat.
7.2.
Eksistensi Konkret
dan Abstrak
Dalam metafisika dan logika
modern, dikenal pembedaan antara eksistensi konkret dan eksistensi
abstrak. Eksistensi konkret
dimiliki oleh entitas yang hadir dalam ruang dan waktu, seperti manusia, batu,
atau bintang. Sedangkan eksistensi abstrak
dimiliki oleh konsep seperti bilangan, sifat (seperti “kemerahan”), atau
hukum logika, yang tidak memiliki keberadaan spasial-temporal tetapi tetap
memiliki status ontologis dalam banyak sistem filsafat.2
Perdebatan muncul mengenai
status eksistensial entitas abstrak. Kaum realis
(misalnya Plato) beranggapan bahwa entitas semacam ini memiliki eksistensi yang
lebih tinggi dan universal, sementara nominalis
menolaknya dan menyatakan bahwa hanya nama atau label mental belaka tanpa
keberadaan independen.3
7.3.
Eksistensi
Independen dan Dependen
Dari sudut pandang kontingensi,
filsafat skolastik membedakan antara eksistensi independen
(necessary being) dan dependen
(contingent being). Tuhan sebagai wājib al-wujūd (wajib ada)
dipandang memiliki eksistensi independen: eksistensinya tidak bergantung pada
apa pun di luar dirinya. Sebaliknya, semua makhluk adalah mumkin al-wujūd
(mungkin ada) yang eksistensinya tergantung pada sebab luar, yakni Tuhan.4
Klasifikasi ini menjadi
landasan bagi argumen kosmologis dalam
teologi dan filsafat agama, yang berupaya menelusuri dari eksistensi kontingen
ke suatu eksistensi niscaya sebagai penyebab utama yang tidak disebabkan.
7.4.
Eksistensi
Transendental dan Empiris
Dalam kerangka metafisika
transendental, seperti dalam pemikiran Kant,
eksistensi diklasifikasi menjadi dua level: eksistensi
transendental, yang menyangkut kondisi-kondisi apriori yang
memungkinkan sesuatu dapat dikenali (seperti ruang dan waktu sebagai bentuk
intuisi), dan eksistensi empiris, yang
merujuk pada eksistensi fenomenal sebagaimana kita temui melalui pengalaman
indrawi.5
Eksistensi transendental
tidak dapat diamati, tetapi menjadi syarat kemungkinan dari semua bentuk
pengalaman. Dalam kerangka ini, eksistensi bukan hanya kualitas suatu entitas,
tetapi juga hasil dari struktur kognisi manusia.
7.5.
Eksistensi
Gradasional: Intensitas dan Hierarki Wujūd
Dalam filsafat Islam,
khususnya pemikiran Mulla Ṣadrā, eksistensi
dipahami secara gradasional (tashkīk
al-wujūd). Ia menyatakan bahwa wujūd tidak bersifat univokal (satu makna)
atau equivokal (makna berbeda), melainkan analogis bertingkat:
semua yang ada berbagi wujūd, tetapi dalam derajat yang berbeda-beda. Wujūd
Tuhan adalah yang paling sempurna, sedangkan eksistensi benda-benda fisik
adalah bentuk yang paling lemah.6
Model ini memungkinkan
penggabungan antara prinsip kesatuan realitas dan pluralitas entitas.
Eksistensi bukan sekadar “ada” atau “tidak ada”, melainkan ada
dalam tingkat dan intensitas yang bertingkat, seperti cahaya yang meredup
atau bersinar terang.
7.6.
Klasifikasi Lain
dalam Ontologi Analitik
Filsuf kontemporer dalam
tradisi analitik seperti W.V.O.
Quine dan David Lewis menawarkan
pendekatan lain dengan fokus pada kriteria kuantifikasi dan modalitas. Quine
terkenal dengan pertanyaannya “What is there?” dan jawabannya “Everything!”,
lalu menegaskan bahwa komitmen ontologis hanya berlaku terhadap entitas yang
diasumsikan oleh teori yang terbaik secara ilmiah dan logis.7
Sementara Lewis mengembangkan
teori modal realism, bahwa
semua kemungkinan dunia (possible worlds) eksis secara nyata di
alamnya masing-masing. Dalam pendekatan ini, eksistensi tidak hanya terbatas
pada dunia aktual, tetapi mencakup dunia-waktu alternatif dengan status
ontologis yang sama.
Kesimpulan Klasifikatif
Klasifikasi eksistensi tidak
dimaksudkan untuk memecah realitas menjadi bagian-bagian arbitrer, melainkan
untuk menunjukkan keragaman cara menjadi (modes
of being) yang ada dalam pengalaman, pemikiran, dan keberadaan metafisik.
Dari eksistensi aktual dan potensial Aristoteles, hingga eksistensi gradasional
Mulla Ṣadrā, hingga eksistensi formal dalam logika kontemporer, seluruh
klasifikasi ini mencerminkan upaya manusia untuk menangkap struktur terdalam
dari “ada”.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
Book IX, 1049b5–10.
[2]
E. J. Lowe, A Survey of Metaphysics (Oxford: Oxford University
Press, 2002), 58–65.
[3]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” The Review of Metaphysics 2,
no. 1 (1948): 21–38.
[4]
Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 52–55.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A235/B294–A246/B303.
[6]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect, ed. and trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic
Philosophy Research Institute, 2014), 70–75.
[7]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 1–5.
8.
Perdebatan Ontologis Kontemporer
Di era kontemporer, ontologi
tidak lagi menjadi ranah eksklusif metafisika klasik atau spekulatif, tetapi
telah berkembang menjadi medan analisis filosofis yang sangat teknis, terutama
melalui tradisi filsafat analitik.
Perdebatan tentang eksistensi tidak hanya melibatkan makna "being"
secara umum, tetapi juga menyentuh persoalan bahasa, logika, teori referensi,
dan komitmen ontologis dalam ilmu pengetahuan. Filsuf-filsuf kontemporer telah
mengalihkan fokus dari pertanyaan metafisika “apa itu eksistensi?”
menjadi pertanyaan praktis “apa yang kita asumsikan eksis ketika kita
membuat suatu klaim?”
8.1.
Quine dan Komitmen
Ontologis
Salah satu tokoh sentral
dalam perdebatan kontemporer adalah W.V.O. Quine.
Dalam esainya yang terkenal On What There Is (1948), Quine mengusulkan
pendekatan radikal terhadap pertanyaan ontologis dengan merujuk pada komitmen
ontologis. Ia menyatakan bahwa pertanyaan “apa yang ada?” harus
dijawab berdasarkan entitas apa saja yang diperlukan oleh teori ilmiah terbaik
kita.1 Quine memperkenalkan prinsip: “To be is to be
the value of a variable,” artinya sesuatu dikatakan ada jika ia dibutuhkan
sebagai nilai dari suatu variabel dalam sistem logika formal.
Pendekatan ini merevolusi
metafisika menjadi cabang yang bisa diverifikasi secara formal, dan menolak
spekulasi metafisik tanpa dasar linguistik atau logis. Ontologi tidak lagi
berdiri sendiri, tetapi melekat dalam kerangka teori ilmiah dan bahasa yang
digunakan.
8.2.
Kritik Terhadap
Quine: Ontologi Tanpa Kuantifikasi?
Pandangan Quine kemudian
dikritik oleh filsuf seperti Peter van Inwagen dan Amie
L. Thomasson. Van Inwagen berpendapat bahwa komitmen ontologis
tidak hanya ditentukan oleh struktur logika formal, tetapi juga oleh
bentuk-bentuk pernyataan eksistensial yang secara implisit terikat pada “teori
dunia” seseorang.2 Ia mempertahankan
metafisika sebagai ilmu serius, meskipun tidak sekuat sains dalam hal
verifikasi empiris.
Sementara itu, Thomasson
memperkenalkan pendekatan deflasionis terhadap
pertanyaan ontologis. Dalam bukunya Ontology Made Easy, ia menolak
bahwa pertanyaan “apakah meja ada?” atau “apakah bilangan eksis?”
harus dijawab melalui komitmen logika kuantifikasi. Menurutnya, jawaban
terhadap pertanyaan ontologis banyak yang bersifat trivial
atau semantik—cukup dijawab berdasarkan aturan penggunaan bahasa kita
sehari-hari.3
8.3.
Ontologi dan Bahasa:
Referensi dan Deskripsi
Perdebatan tentang eksistensi
juga mencakup teori referensi. Filsuf seperti
Bertrand Russell dan Frege
membahas bagaimana pernyataan seperti “Pegasus ada” atau “Raja
Prancis sekarang botak” dapat memiliki makna meskipun referennya tidak
eksis. Russell, dalam teori deskripsinya, menyatakan bahwa klaim eksistensial
dapat dianalisis menjadi bentuk logika yang menyatakan bahwa ada sesuatu yang
memenuhi deskripsi tertentu.4
Hal ini membedakan antara eksistensi
linguistik (yang memungkinkan kita berbicara tentang fiksi,
abstraksi, atau hal yang tidak ada) dan eksistensi aktual
dalam kenyataan. Kontroversi ini terus berkembang dalam semantik filsafat
bahasa hingga kini.
8.4.
Realisme vs
Anti-Realisme
Dalam spektrum yang lebih
luas, perdebatan ontologis kontemporer dapat dikategorikan ke dalam dua kutub
besar: realisme dan anti-realisme.
Kaum realis menyatakan bahwa entitas ada secara
independen dari cara kita mengetahuinya atau mengkonseptualisasikannya—misalnya
dalam filsafat sains, kaum realis ilmiah percaya bahwa elektron, gaya
gravitasi, dan medan kuantum eksis sebagaimana dijelaskan teori.5
Sebaliknya, kaum anti-realis
seperti Nelson Goodman dan Hilary
Putnam menyatakan bahwa keberadaan entitas ditentukan oleh
kerangka konseptual dan bahasa kita. Dalam pendekatan ini, tidak ada “cara
dunia itu sendiri”, tetapi hanya berbagai “cara membuat dunia” (ways
of worldmaking).6
8.5.
Modalitas dan
Dunia-Mungkin
Dimensi lain dari perdebatan
kontemporer adalah mengenai modalitas: apakah
eksistensi hanya mencakup dunia aktual, atau mencakup dunia-mungkin (possible
worlds). David Lewis, melalui modal
realism, menyatakan bahwa semua dunia-mungkin adalah dunia nyata di tempat
lain, dan setiap entitas dalam dunia-mungkin memiliki status eksistensial yang
setara dengan dunia aktual kita.7
Pandangan ini memungkinkan
analisis eksistensial terhadap kemungkinan, kebutuhan, dan kontingensi, tetapi
juga memunculkan perdebatan keras mengenai inflasi ontologi—yakni,
apakah kita harus menerima eksistensi entitas yang tak terjangkau secara
empiris.
Kesimpulan Perdebatan Kontemporer
Perdebatan ontologis
kontemporer menandai transformasi radikal dalam cara memahami eksistensi. Dari
sesuatu yang dahulu dianggap sebagai entitas metafisik di luar subjek,
eksistensi kini diperdebatkan dalam dimensi logis, linguistik, semantik, bahkan
pragmatis. Pertanyaan “apa yang ada” tidak lagi dijawab secara mutlak,
tetapi bergantung pada kerangka konseptual, teori, dan praktik bahasa yang
digunakan.
Namun demikian, perdebatan
ini menunjukkan bahwa eksistensi tetap merupakan tema filsafat yang tak kunjung
habis untuk digali—dari sains hingga sastra, dari logika hingga
eksistensialisme, eksistensi tetap menjadi “tanda tanya pertama” dalam
setiap pencarian akan makna realitas.
Footnotes
[1]
W. V. O. Quine, “On What There Is,” The Review of Metaphysics
2, no. 1 (1948): 21–38.
[2]
Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder: Westview
Press, 2015), 11–15.
[3]
Amie L. Thomasson, Ontology Made Easy (Oxford: Oxford
University Press, 2015), 23–45.
[4]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905):
479–493.
[5]
Richard Boyd, “Scientific Realism,” in Philosophy of Science: The
Central Issues, ed. Martin Curd and J.A. Cover (New York: W.W. Norton,
1998), 80–105.
[6]
Nelson Goodman, Ways of Worldmaking (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1978), 2–5.
[7]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 1–5.
9.
Relevansi Kajian Eksistensi dalam Ilmu dan
Budaya
Kajian tentang eksistensi
tidak hanya menjadi fondasi filsafat metafisika, tetapi juga memiliki relevansi
luas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemahaman tentang being
dan existence bukan semata-sata bersifat spekulatif, melainkan
menyentuh dimensi paling dasar dari pemikiran ilmiah, kesadaran budaya, hingga
struktur eksistensial manusia dalam dunia modern dan postmodern. Di era
kontemporer yang ditandai oleh pluralitas realitas dan krisis makna, ontologi
kembali menjadi wacana penting untuk menafsirkan posisi manusia dalam semesta.
9.1.
Eksistensi dalam
Ilmu Alam dan Kosmologi
Dalam ilmu alam, khususnya kosmologi,
pertanyaan tentang eksistensi menjadi inti dari pencarian ilmiah tentang
asal-usul dan struktur alam semesta. Teori Big Bang, misalnya, tidak
hanya menjelaskan ekspansi awal alam semesta, tetapi juga menimbulkan
pertanyaan ontologis tentang mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sama
sekali. Fisikawan seperti Stephen Hawking
dan Lawrence Krauss telah mengajukan gagasan bahwa
alam semesta bisa "muncul dari ketiadaan", tetapi premis
tersebut bergantung pada definisi teknis tentang "ketiadaan"
yang justru tetap mengasumsikan eksistensi hukum fisika dan medan kuantum.1
Hal ini menunjukkan bahwa
bahkan dalam sains yang sangat empiris, pertanyaan metafisika tentang
eksistensi tetap tak terelakkan. Roger Penrose
dan Lee Smolin juga mengusulkan bahwa pemahaman
tentang realitas memerlukan struktur ontologis yang lebih dalam dari sekadar
model matematis; mereka mempertanyakan apakah keberadaan itu bersifat
fundamental atau emergen dari informasi dan hukum relasional.2
9.2.
Eksistensi dan Ilmu
Kognitif
Dalam bidang ilmu
kognitif, studi tentang kesadaran (consciousness)
berkaitan erat dengan pertanyaan eksistensial: bagaimana pengalaman subjektif menjadi?
Fenomena seperti qualia, atau rasa mengalami sesuatu (seperti "kemerahan"
atau "nyeri"), tidak mudah direduksi ke dalam data neuron atau
korelasi fungsional otak. Masalah ini dikenal sebagai “hard
problem of consciousness”, sebagaimana dikemukakan oleh David
Chalmers, yang menegaskan bahwa kesadaran menunjukkan dimensi
eksistensi yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan secara materialistik.3
Kajian ini membuka ruang bagi
filsafat eksistensial untuk kembali berdialog dengan sains modern, karena
manusia sebagai Dasein (Heidegger) tidak hanya berfungsi sebagai
pemroses informasi, tetapi sebagai keberadaan yang mengalami, menyadari, dan
merefleksikan ada dirinya secara unik.
9.3.
Eksistensi dan
Budaya Populer
Di ranah budaya,
pertanyaan eksistensial menjadi tema dominan dalam karya sastra, film, seni,
dan bahkan media digital. Tokoh-tokoh seperti Franz Kafka,
Albert Camus, dan Haruki
Murakami mengangkat tema absurditas, keterasingan, dan
pencarian makna dalam dunia yang tampak acak dan tak bersahabat. Film seperti The
Matrix (1999) dan Blade Runner (1982) mengangkat isu tentang
realitas virtual, identitas buatan, dan eksistensi manusia dalam dunia yang
dikendalikan oleh teknologi. Semua ini merupakan ekspresi dari kekhawatiran
ontologis kontemporer—yakni, apakah kita benar-benar eksis
sebagai subjek yang otentik, atau sekadar bagian dari sistem yang tidak kita
pahami?
Seni postmodern juga sering
mempertanyakan eksistensi makna itu sendiri. Jean Baudrillard,
misalnya, menyatakan bahwa kita hidup dalam era “simulacra”,
di mana realitas telah tergantikan oleh representasi dan tanda-tanda yang tak
merujuk pada realitas apa pun.4 Dalam konteks ini,
eksistensi menjadi semacam ilusi performatif yang dibentuk oleh media dan
kekuasaan.
9.4.
Eksistensi dalam
Agama dan Spiritualitas
Pertanyaan tentang eksistensi
juga menjadi pusat dari ajaran spiritual dan religius.
Dalam banyak tradisi agama, eksistensi manusia dipandang sebagai bagian dari
realitas ilahi yang lebih tinggi. Dalam Islam, konsep wujūd Tuhan
sebagai wājib al-wujūd (yang mesti ada) dan keberadaan makhluk sebagai
mumkin al-wujūd (yang mungkin ada) menunjukkan relasi ontologis antara
Tuhan dan ciptaan.5 Dalam filsafat Timur,
seperti Vedānta atau Zen,
eksistensi tidak dipahami sebagai entitas individual, melainkan sebagai
kesatuan dengan totalitas realitas.
Kebangkitan spiritualitas
kontemporer, termasuk praktik mindfulness, pencarian makna hidup, dan
pengalaman puncak (peak experience), merupakan ekspresi dari kebutuhan
eksistensial yang tidak dapat dipuaskan oleh sains atau teknologi saja.
Ontologi, dalam hal ini, menjadi jembatan antara metafisika dan eksistensi
religius.
9.5.
Eksistensi dalam
Konteks Digital dan Kecerdasan Buatan
Era digital
dan kecerdasan buatan (AI) menantang kembali
batas-batas ontologi tradisional. Apakah entitas digital (avatar, karakter
game, chatbot) dapat dikatakan eksis? Apa status eksistensial dari self
yang terbentuk di media sosial atau metaverse? Filsuf seperti Luciano
Floridi mengembangkan konsep infosfera, di mana
eksistensi bukan lagi berbasis materi atau kesadaran biologis, tetapi
berdasarkan keberadaan sebagai informasi yang saling terhubung dalam jejaring
digital.6
Masalah ini juga menjadi inti
dari pertanyaan tentang “kesadaran buatan”: apakah AI bisa benar-benar
eksis sebagai subjek, atau hanya mensimulasikan eksistensi melalui algoritma?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan masa depan etika, hukum, dan
ontologi itu sendiri dalam masyarakat digital.
Kesimpulan Relevansi
Kajian eksistensi tetap
memiliki daya hidup filosofis dan praktis
yang tinggi. Dalam sains, ia menuntun pada pertanyaan asal-usul dan makna.
Dalam budaya, ia mencerminkan kecemasan dan pencarian manusia modern. Dalam
agama, ia menghubungkan manusia dengan Yang Transenden. Dan dalam dunia
digital, ia menantang definisi kita tentang “apa artinya menjadi ada”.
Dengan demikian, ontologi
eksistensial bukan hanya proyek filosofis, tetapi refleksi
kultural yang terus hidup, mendefinisikan cara manusia memahami
diri, dunia, dan Tuhan dalam zaman yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Lawrence M. Krauss, A Universe from Nothing: Why There is Something
Rather than Nothing (New York: Free Press, 2012), 145–150.
[2]
Roger Penrose, The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of
the Universe (New York: Knopf, 2005), 1040–1053; Lee Smolin, Time
Reborn: From the Crisis in Physics to the Future of the Universe (Boston:
Houghton Mifflin Harcourt, 2013), 205–210.
[3]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 93–105.
[4]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–5.
[5]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of
the Intellect, ed. and trans. Ibrahim Kalin (Tehran: Sadra Islamic
Philosophy Research Institute, 2014), 54–59.
[6]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 60–68.
10.
Kesimpulan
Kajian tentang hakikat
eksistensi merupakan salah satu pijakan paling mendasar dan
berkelanjutan dalam sejarah filsafat. Dari Parmenides
yang menegaskan bahwa “Yang Ada itu ada,” hingga Jean-Paul
Sartre yang menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi,”
pemikiran manusia telah menempuh lintasan panjang dalam memahami makna being—baik
sebagai realitas objektif maupun pengalaman eksistensial yang personal.1
Sejarah menunjukkan bahwa
pemahaman tentang eksistensi selalu berkembang dalam dialektika antara ontologi
spekulatif dan ontologi eksistensial.
Di satu sisi, tradisi klasik dan skolastik, seperti yang dikembangkan oleh Aristoteles,
Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas,
menekankan eksistensi sebagai prinsip aktualisasi dan
realitas objektif—sebuah struktur hierarkis yang menempatkan
Tuhan sebagai sumber segala wujud.2 Di sisi lain, para filsuf modern
dan kontemporer seperti Heidegger dan Sartre
mengarahkan perhatian pada eksistensi manusia yang konkret,
yang dilemparkan ke dunia, dihadapkan pada kematian, dan dituntut membentuk
makna melalui kebebasan dan tanggung jawab.3
Selain itu, dalam ranah
kontemporer, eksistensi tidak lagi menjadi tema eksklusif filsafat metafisika,
melainkan juga meresap dalam ilmu pengetahuan, seni,
budaya populer, teknologi digital,
dan spiritualitas modern. Fisikawan mempertanyakan
mengapa alam semesta ada dan bukan tidak ada; seniman menggambarkan absurditas
dan alienasi keberadaan; para insinyur kecerdasan buatan menantang batas-batas
antara realitas biologis dan informasi. Semua itu adalah wujud dari krisis
dan transformasi ontologis yang memperluas ruang lingkup
pertanyaan tentang keberadaan.4
Kajian eksistensi juga
memperlihatkan bahwa tidak ada satu pun definisi tunggal dan final tentang “ada”.
Being dapat berarti keberadaan aktual, kemungkinan, nilai, makna,
relasi, kesadaran, atau bahkan ketiadaan. Dalam pemikiran Martin
Heidegger, misalnya, “being” adalah sesuatu yang tidak
bisa direduksi ke dalam entitas apa pun—ia adalah horizon makna yang membuka
kemungkinan bagi segala bentuk pemahaman.5 Artinya, eksistensi bukan
sekadar fakta ontologis, tetapi juga fenomena hermeneutik: ia membutuhkan
penafsiran terus-menerus.
Dengan demikian, kajian
ontologis tentang eksistensi mengajarkan kita kerendahan hati
epistemik: bahwa realitas lebih luas dari apa yang bisa dicakup
oleh akal manusia; bahwa keberadaan kita bukan hanya sekadar ada,
tetapi juga bermakna, terbuka, dan menjadi; dan
bahwa setiap pertanyaan ontologis pada dasarnya adalah pertanyaan tentang diri
kita sendiri, tentang “bagaimana seharusnya kita ada” di
tengah dunia yang terus berubah.
Sebagaimana dikatakan Karl
Jaspers, filsafat dimulai ketika manusia terguncang oleh
eksistensinya dan terdorong untuk bertanya secara radikal. Maka, kajian tentang
eksistensi bukanlah sekadar wacana akademik, melainkan juga proyek
eksistensial yang hidup—suatu undangan untuk memahami,
menafsirkan, dan merespons panggilan keberadaan dengan lebih sadar dan
bertanggung jawab.6
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 3, a. 4; Ibn Sina, The
Metaphysics of The Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham
Young University Press, 2005), 30–35; Aristotle, Metaphysics, trans.
W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New
York: Random House, 1941), Book IX, 1048b18–36.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–38; Sartre, Existentialism
Is a Humanism, 23.
[4]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 105; Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, trans. Sheila Glaser (Ann Arbor: University of Michigan
Press, 1994), 2–5.
[5]
Heidegger, Being and Time, 38–41.
[6]
Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F.
Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 13–15.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1941). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926).
Random House.
Aquinas, T. (2001). Summa Theologiae
(multiple vols.). Christian Classics.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Boyd, R. (1998). Scientific realism. In M. Curd
& J. A. Cover (Eds.), Philosophy of science: The central issues (pp.
80–105). W. W. Norton.
Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In
search of a fundamental theory. Oxford University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.
Gilson, E. (1952). Being and some philosophers.
Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Goodman, N. (1978). Ways of worldmaking.
Hackett Publishing.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
grand design. Bantam Books.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Ibn Sina. (2005). The metaphysics of the healing
(M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence
(R. F. Grabau, Trans.). University of Pennsylvania Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Krauss, L. M. (2012). A universe from nothing:
Why there is something rather than nothing. Free Press.
Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds.
Blackwell.
Lowe, E. J. (2002). A survey of metaphysics.
Oxford University Press.
Penrose, R. (2005). The road to reality: A
complete guide to the laws of the universe. Knopf.
Quine, W. V. O. (1948). On what there is. The
Review of Metaphysics, 2(1), 21–38.
Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56),
479–493.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Smolin, L. (2013). Time reborn: From the crisis
in physics to the future of the universe. Houghton Mifflin Harcourt.
Suárez, F. (1947). Disputationes metaphysicae
(C. Vollert, Trans.). B. Herder.
Thomasson, A. L. (2015). Ontology made easy.
Oxford University Press.
van Inwagen, P. (2015). Metaphysics (4th
ed.). Westview Press.
Wolter, A. B. (1946). The transcendentals and
their function in the metaphysics of Duns Scotus. Catholic University of
America Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar