Jumat, 23 Mei 2025

Nominalisme: Sejarah, Konsep, dan Relevansinya dalam Filsafat Kontemporer

Nominalisme

Sejarah, Konsep, dan Relevansinya dalam Filsafat Kontemporer


Alihkan ke: Metafisika.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran filsafat nominalisme, mulai dari akar sejarah dan konsep dasarnya hingga relevansinya dalam pemikiran kontemporer. Nominalisme merupakan pandangan metafisik yang menolak eksistensi entitas universal sebagai realitas independen, dan menegaskan bahwa hanya individu partikular yang benar-benar ada, sementara konsep-konsep umum hanyalah hasil konstruksi linguistik atau mental. Pembahasan ini mencakup perkembangan historis nominalisme dari tokoh awal seperti Roscellinus dan William of Ockham hingga kontribusi pemikir modern seperti David Hume, W.V.O. Quine, dan Nelson Goodman. Selain itu, artikel ini juga menelaah implikasi nominalisme terhadap berbagai cabang filsafat seperti metafisika, epistemologi, filsafat bahasa, logika, dan filsafat sains. Disertai dengan kritik dari perspektif realisme, teologi, dan etika, kajian ini menunjukkan bahwa nominalisme bukan hanya aliran metafisik klasik, tetapi juga pendekatan filosofis yang relevan dalam menganalisis struktur pengetahuan, bahasa, dan sistem representasi dalam dunia kontemporer. Dengan menekankan minimalisme ontologis dan kehati-hatian epistemologis, nominalisme menjadi alternatif penting dalam menyikapi persoalan dasar filsafat modern.

Kata Kunci: Nominalisme, universalia, metafisika, William of Ockham, filsafat bahasa, filsafat sains, realisme, logika, ontologi, epistemologi.


PEMBAHASAN

Memahami Nominalisme dalam Sejarah Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat Barat, persoalan mengenai status universal—seperti konsep “manusia”, “keadilan”, atau “warna merah”—telah menjadi perdebatan panjang yang membelah para pemikir ke dalam dua kutub utama: kaum realis dan kaum nominalis. Nominalisme, sebagai salah satu aliran metafisika klasik, menyatakan bahwa universal tidak memiliki eksistensi independen di luar pikiran dan bahasa; mereka hanyalah nama (nomina) atau simbol linguistik yang digunakan untuk mengelompokkan objek-objek individual berdasarkan kemiripan tertentu.¹

Pandangan ini bertentangan dengan realisme, yang meyakini bahwa universal memiliki eksistensi objektif dan dapat eksis secara terpisah dari benda-benda partikular. Perdebatan ini bukan sekadar persoalan semantik, melainkan menyangkut fondasi ontologi, epistemologi, dan bahkan logika. William of Ockham, salah satu tokoh utama nominalisme abad pertengahan, terkenal dengan prinsip “entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem” (jangan memperbanyak entitas tanpa kebutuhan), yang kemudian dikenal sebagai Ockham’s Razor.² Prinsip ini menjadi landasan dalam pemikiran nominalis yang menolak eksistensi entitas metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris atau logis.

Perkembangan nominalisme tidak hanya terbatas pada era skolastik. Dalam filsafat modern dan kontemporer, gagasan nominalis turut memengaruhi gerakan empirisisme, logika analitik, dan filsafat bahasa. David Hume, misalnya, dalam kerangka empirismenya, menunjukkan kecenderungan nominalistik ketika ia menolak keberadaan ide-ide universal yang tidak dapat dirujuk secara langsung melalui pengalaman indrawi.³ Di abad ke-20, tokoh seperti W.V.O. Quine menolak dikotomi antara analitik dan sintetik dalam makna, suatu langkah yang sejalan dengan kritik nominalis terhadap struktur bahasa metafisik.⁴

Kajian terhadap nominalisme menjadi penting bukan hanya untuk memahami sejarah filsafat, tetapi juga untuk menilai bagaimana struktur pengetahuan manusia terbentuk, bagaimana bahasa berfungsi sebagai alat klasifikasi, dan bagaimana sains modern memperlakukan entitas teoretis. Dengan demikian, pembahasan ini tidak hanya bersifat historis, tetapi juga epistemologis dan metodologis.

Artikel ini akan mengkaji secara mendalam akar pemikiran nominalisme, tokoh-tokoh utamanya, implikasi logis dan metafisiknya, serta relevansi kontemporernya, dengan menggunakan pendekatan sistematik dan sumber-sumber akademik kredibel.


Footnotes

[1]                Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 2–3.

[2]                Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 67.

[3]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 50–51.

[4]                W.V.O. Quine, Two Dogmas of Empiricism, in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.


2.           Konsep Dasar Nominalisme

Nominalisme merupakan pandangan filosofis yang menolak keberadaan entitas universal atau abstrak sebagai realitas yang berdiri sendiri. Menurut aliran ini, istilah-istilah umum seperti “manusia”, “warna”, atau “kebaikan” tidak menunjuk pada entitas metafisik yang nyata, melainkan hanyalah nama (nomina) atau label linguistik yang digunakan untuk menyederhanakan dan mengklasifikasikan fenomena partikular yang serupa.¹ Dengan demikian, nominalisme menegaskan bahwa hanya individu konkret yang benar-benar eksis, sementara kategori universal adalah produk bahasa atau konvensi berpikir manusia.

Pandangan nominalistik dapat diposisikan sebagai reaksi terhadap realisme metafisik, yang berpandangan bahwa universal memiliki eksistensi objektif, baik dalam bentuk ideal (seperti dalam Platonisme) maupun sebagai bentuk inheren dalam objek-objek partikular (seperti dalam Aristotelianisme).² Dalam kerangka nominalisme, tidak ada "kemanusiaan" sebagai entitas yang eksis di luar individu-individu manusia; yang ada hanyalah manusia-manusia partikular seperti Ahmad, Fatimah, atau John. Ungkapan “semua manusia fana” hanyalah cara praktis untuk menyatakan bahwa individu-individu yang disebut manusia memiliki sifat yang sama berdasarkan pengamatan berulang.³

Ada dua bentuk utama nominalisme dalam sejarah filsafat:

2.1.       Nominalisme Murni (Extreme Nominalism)

Pendekatan ini menegaskan bahwa istilah umum hanyalah bunyi atau simbol tanpa makna metafisik yang mendalam. Tokoh seperti Roscellinus menolak eksistensi segala bentuk universal dan menegaskan bahwa universal hanyalah suara (flatus vocis), tanpa korespondensi dengan realitas objektif.⁴ Pandangan ini mengandung implikasi bahwa segala klasifikasi adalah semata-mata buatan manusia dan tidak mencerminkan struktur dunia yang objektif.

2.2.       Nominalisme Moderat (Conceptualism)

Varian ini sering dikaitkan dengan pemikir seperti Peter Abelard dan bahkan William of Ockham, yang meskipun menolak realisme metafisik, tetap mengakui bahwa istilah umum mengandung dasar psikologis sebagai hasil dari aktivitas konseptual manusia. Dalam pandangan ini, universal tidak memiliki eksistensi independen, tetapi ada dalam pikiran sebagai hasil abstraksi dari pengalaman empiris.⁵

Konsekuensi dari pendekatan nominalistik sangat luas. Dalam bidang logika dan bahasa, nominalisme memengaruhi cara pandang terhadap hubungan antara kata dan realitas. Alih-alih menganggap bahwa kata-kata menunjuk langsung pada entitas metafisik, nominalisme menekankan peran bahasa sebagai alat klasifikasi dan konvensi sosial.⁶ Dalam epistemologi, pendekatan ini juga membatasi pengetahuan pada hal-hal yang dapat diamati dan diindera, karena tidak ada entitas abstrak yang dapat diketahui secara langsung tanpa perantara pengalaman.

Pandangan nominalistik ini tetap menjadi pusat diskusi filosofis hingga hari ini, terutama dalam filsafat analitik, semantik, dan ontologi, di mana pertanyaan tentang status “jenis”, “kategori”, dan “kelas” terus diperdebatkan secara intens.


Footnotes

[1]                Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 2.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval Philosophy (New York: Doubleday, 1993), 85–86.

[3]                William P. Alston, “Realism and Nominalism,” in The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, ed. Paul Edwards (New York: Macmillan, 1967), 35–40.

[4]                Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 49–51.

[5]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 152.

[6]                W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 10–15.


3.           Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Nominalis

Nominalisme tidak muncul sebagai aliran filsafat yang terlembagakan secara instan, melainkan merupakan hasil dari proses panjang perdebatan metafisik mengenai status universal sejak zaman klasik hingga filsafat kontemporer. Sejarah perkembangan pemikiran nominalis dapat dilacak dalam tiga tahap utama: akar klasik dan pengaruh awal, pembentukan sistematik pada abad pertengahan, dan revitalisasi serta reinterpretasi pada era modern dan kontemporer.

3.1.       Akar Klasik dan Pengaruh Awal

Meskipun nominalisme belum terformulasi secara sistematik di era Yunani Kuno, benih-benihnya sudah tampak dalam kritik terhadap realisme universalia ala Platonik. Plato berpandangan bahwa universal atau Form (e.g., “kebaikan”, “keindahan”) memiliki eksistensi ideal yang lebih nyata daripada dunia fisik.¹ Sebaliknya, Aristoteles menolak keberadaan dunia ide terpisah dan menyatakan bahwa bentuk-bentuk universal melekat dalam benda-benda partikular.² Meski Aristoteles tidak dapat dikategorikan sebagai nominalis, ia telah membuka ruang bagi pendekatan non-realistis terhadap universalia.

Beberapa pemikir Stoa dan skeptisisme Yunani, seperti Sextus Empiricus, juga mengembangkan pandangan bahwa pengelompokan konseptual bersifat konvensional dan bukan representasi realitas objektif.³ Pandangan-pandangannya turut menginspirasi perkembangan nominalisme di masa skolastik.

3.2.       Perkembangan Sistematik pada Abad Pertengahan

Nominalisme sebagai aliran filsafat mulai menguat pada abad ke-11 dan 12 sebagai reaksi terhadap dominasi realisme dalam tradisi skolastik Kristen. Tokoh penting pada tahap awal ini adalah Roscellinus, yang dikenal sebagai penganut nominalisme ekstrem. Ia mengemukakan bahwa universal hanyalah “flatus vocis” (tiupan suara), yaitu sekadar bunyi tanpa realitas ontologis.⁴ Pandangan ini menuai kontroversi karena dinilai mengancam ajaran teologi Kristen tentang Tritunggal, yang mengandalkan pemahaman mengenai kesatuan dalam kejamakan.

Puncak sistematisasi nominalisme terjadi pada abad ke-14 melalui karya William of Ockham. Ia menolak semua bentuk realisme metafisik dan menegaskan bahwa satu-satunya entitas yang ada adalah individu partikular. Konsep-konsep umum hanyalah termini concepti (istilah konseptual) dalam pikiran yang berasal dari proses abstraksi terhadap pengalaman.⁵ Dalam kerangka ini, Ockham menegakkan prinsip Ockham’s Razor, yaitu prinsip ekonomis yang menyatakan bahwa entitas tidak boleh dipostulasikan melebihi kebutuhan.⁶ Prinsip ini mengarahkan filsafat ke arah minimalisme ontologis dan menjadi landasan bagi pendekatan empiris dalam ilmu pengetahuan.

Selain itu, nominalisme juga memiliki implikasi penting dalam pembaharuan metodologi ilmu dan bahasa. Pandangan nominalistik membantu melepaskan filsafat dari belenggu struktur metafisika skolastik yang kaku dan mendorong cara berpikir yang lebih kritis terhadap hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas.

3.3.       Nominalisme dalam Filsafat Modern dan Kontemporer

Setelah mengalami tekanan dari aliran realisme selama Renaisans dan awal modern, nominalisme bangkit kembali dalam bentuk yang lebih kompleks pada masa pencerahan dan era kontemporer. David Hume, sebagai empiris radikal, menolak gagasan ide universal yang tidak berakar pada pengalaman.⁷ Bagi Hume, semua ide adalah salinan dari impresi-indrawi, sehingga generalisasi hanya merupakan kebiasaan mental (habit) dalam mengelompokkan fenomena yang serupa.

Di abad ke-20, W.V.O. Quine dan Nelson Goodman memajukan versi baru nominalisme melalui kritik terhadap fondasi logika dan bahasa. Dalam esainya On What There Is, Quine menolak eksistensi entitas yang tidak dapat disubstitusikan dalam bahasa formal yang ketat.⁸ Sementara itu, gerakan metaphysical nominalism yang berkembang dalam filsafat analitik menolak realitas entitas abstrak seperti angka, kelas, dan sifat.

Dengan masuknya nominalisme ke dalam filsafat bahasa, semantik, dan filsafat sains, pendekatan ini tidak hanya menjadi perdebatan metafisik klasik, tetapi juga instrumen penting dalam pengembangan metodologi ilmu pengetahuan dan teori representasi.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), Book VII.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), 1.15–1.30.

[4]                Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–47.

[5]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Stephen F. Brown (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1999), I.14–16.

[6]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 154–157.

[7]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Section II.

[8]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Gerakan Nominalis

Nominalisme sebagai aliran filsafat tidak dapat dilepaskan dari kontribusi tokoh-tokoh utama yang menyusun, membela, dan memperluas cakupannya dalam berbagai era pemikiran. Pemikiran mereka tidak hanya membentuk kerangka metafisika nominalis, tetapi juga berpengaruh besar terhadap perkembangan logika, epistemologi, dan filsafat bahasa. Tokoh-tokoh sentral tersebut mencerminkan dinamika transformasi nominalisme dari bentuk skolastik ke bentuk analitik kontemporer.

4.1.       Roscellinus (ca. 1050–ca. 1125)

Roscellinus dari Compiègne dianggap sebagai tokoh pelopor nominalisme ekstrem dalam tradisi skolastik. Ia dikenal karena pandangannya bahwa universal hanyalah flatus vocis (hembusan suara), yakni semata-mata simbol linguistik yang tidak merujuk pada realitas objektif.¹ Ia menolak keberadaan entitas umum di luar objek-objek partikular dan menentang realisme yang berkembang dalam pemikiran Augustinian dan Boethian.

Pemikiran Roscellinus memicu kontroversi teologis, terutama dalam kaitannya dengan ajaran Tritunggal. Dengan menolak adanya realitas ontologis dalam konsep “keilahian” yang dimiliki bersama oleh tiga pribadi Ilahi, ia dituduh menyebarkan triteisme.² Meskipun sebagian besar karya aslinya tidak bertahan, pandangan-pandangan Roscellinus direkonstruksi dari tulisan-tulisan lawan teologisnya seperti Anselmus dan Abelard.

4.2.       William of Ockham (ca. 1287–ca. 1347)

William of Ockham adalah tokoh paling berpengaruh dalam sistematisasi nominalisme. Ia menolak realisme universalia baik dalam bentuk Plato maupun Aristoteles. Dalam Summa Logicae, Ockham menyatakan bahwa hanya individu yang eksis secara nyata, sementara konsep umum adalah istilah dalam pikiran hasil dari proses abstraksi atas pengalaman.³ Konsep seperti “manusia” tidak merujuk pada substansi universal, tetapi merupakan hasil dari kecenderungan mental untuk mengelompokkan objek berdasarkan kesamaan.

Salah satu kontribusi Ockham yang paling terkenal adalah formulasi prinsip Ockham’s Razor: “Entitas tidak boleh dikalikan lebih dari yang diperlukan” (entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem).⁴ Prinsip ini digunakan sebagai landasan untuk menolak entitas metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris dan menjadi tonggak dalam filsafat ilmiah dan metodologi rasional.

4.3.       David Hume (1711–1776)

Dalam era modern, David Hume merupakan tokoh kunci yang melanjutkan semangat nominalisme melalui pendekatan empiris radikal. Bagi Hume, semua ide berasal dari impresi atau pengalaman indrawi, dan gagasan-gagasan umum seperti “substansi” atau “kekuatan kausal” hanyalah hasil dari kebiasaan mental (habit of association).⁵ Ia menolak keberadaan entitas universal atau abstrak yang tidak dapat diindera, dan karenanya berpihak pada nominalisme dalam epistemologi.

Hume menunjukkan bahwa konsep seperti “identitas” atau “sebab-akibat” tidak berasal dari relasi objektif antara peristiwa, tetapi dari asosiasi ide yang berulang dalam pengalaman kita.⁶ Hal ini memperkuat landasan skeptis terhadap klaim-klaim metafisika tradisional.

4.4.       W.V.O. Quine (1908–2000)

Willard Van Orman Quine adalah tokoh penting dalam filsafat analitik abad ke-20 yang memperbarui nominalisme dalam konteks logika dan bahasa. Dalam esainya On What There Is, Quine menegaskan bahwa komitmen ontologis hanya dapat dibenarkan jika dapat diformulasikan dalam bahasa formal.⁷ Ia menolak entitas abstrak seperti kelas, proposisi, atau makna jika tidak diperlukan dalam struktur logis dari teori yang efisien dan koheren.

Selain itu, Quine juga mengkritik dikotomi antara analitik dan sintetik, yang menantang asumsi bahwa bahasa mencerminkan struktur tetap dari realitas.⁸ Pendekatan ini mengarah pada semacam ontological relativity dan menjadikan nominalisme sebagai alat untuk membatasi inflasi ontologis dalam teori-teori ilmiah dan metafisik.

4.5.       Nelson Goodman (1906–1998)

Nelson Goodman melanjutkan warisan Quine dengan menegaskan nominalisme konstruktif, yang menolak semua bentuk entitas abstrak dalam ilmu pengetahuan dan estetika. Dalam The Structure of Appearance, Goodman menyatakan bahwa dunia bukanlah satu kesatuan yang dapat digambarkan secara final, melainkan hasil konstruksi sistem simbolik yang berbeda.⁹ Ia menolak keberadaan entitas seperti “warna” atau “jenis seni” sebagai realitas tetap dan menyatakan bahwa klasifikasi merupakan produk sistem representasi yang kita bangun.


Footnotes

[1]                Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–47.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval Philosophy (New York: Doubleday, 1993), 98.

[3]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Stephen F. Brown (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1999), I.14–16.

[4]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 154–156.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Sections II–IV.

[6]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 89–91.

[7]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[8]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.

[9]                Nelson Goodman, The Structure of Appearance, 3rd ed. (Dordrecht: Reidel Publishing, 1977), 15–20.


5.           Implikasi Nominalisme dalam Berbagai Cabang Filsafat

Nominalisme, sebagai pandangan yang menolak keberadaan entitas universal atau abstrak sebagai realitas mandiri, membawa implikasi mendalam bagi berbagai cabang filsafat. Pandangan ini tidak hanya membentuk perdebatan metafisika, tetapi juga memberi pengaruh terhadap teori pengetahuan, filsafat bahasa, logika, hingga filsafat ilmu. Sikap kritis nominalisme terhadap inflasi ontologis—yakni kecenderungan untuk mengakui keberadaan banyak entitas metafisik—mendorong berbagai disiplin filsafat menuju pendekatan yang lebih empirik, ekonomis, dan konseptual.

5.1.       Metafisika: Reduksi Entitas dan Minimalisme Ontologis

Dalam metafisika, nominalisme memberikan alternatif terhadap realisme metafisik yang mengakui universal sebagai entitas nyata. Kaum nominalis menyatakan bahwa satu-satunya realitas adalah objek-objek partikular, dan segala bentuk generalisasi hanyalah hasil aktivitas konseptual manusia.¹ Ini berarti bahwa tidak ada entitas seperti “keadilan” atau “kemerahan” yang eksis di luar penggunaan istilah tersebut dalam bahasa.

Konsekuensinya, nominalisme mengarah pada minimalisme ontologis, yakni prinsip bahwa semestinya kita tidak mengakui keberadaan entitas lebih dari yang dibutuhkan. Pendekatan ini mendorong filosofi yang hemat secara metafisik dan mendukung metodologi empiris dalam menjelaskan realitas.² Dengan menolak realitas abstrak, nominalisme mempertahankan bahwa penjelasan filosofis harus bertumpu pada hal-hal yang dapat dijelaskan secara langsung melalui pengalaman atau representasi simbolik yang dapat diverifikasi.

5.2.       Epistemologi: Pengetahuan sebagai Abstraksi, Bukan Representasi Realitas Ideal

Implikasi dalam epistemologi terlihat dari pergeseran cara memahami konsep dan generalisasi. Dalam kerangka nominalisme, pengetahuan bukanlah hasil penyingkapan terhadap entitas universal yang ada secara objektif, melainkan hasil abstraksi mental dari pengalaman-pengalaman partikular.³ Pengetahuan bersifat konvensional dan pragmatis, bergantung pada cara manusia mengorganisasi pengalaman melalui bahasa dan simbol.

Kaum nominalis menolak bahwa konsep-konsep umum mewakili realitas metafisik. Sebaliknya, konsep hanyalah alat kategorisasi. Dengan demikian, nominalisme memperkuat posisi skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan a priori yang bersifat universal dan mutlak.⁴

5.3.       Filsafat Bahasa dan Semiotika: Bahasa sebagai Sistem Klasifikasi

Dalam filsafat bahasa, nominalisme memandang bahasa bukan sebagai cerminan struktur realitas, melainkan sebagai alat klasifikasi untuk mengatur pengalaman manusia. Istilah-istilah umum tidak menunjuk pada entitas universal, melainkan berfungsi sebagai label untuk kelompok objek berdasarkan kemiripan.⁵ Oleh karena itu, relasi antara tanda dan referen bersifat konvensional, bukan ontologis.

Pendekatan ini memiliki kesesuaian dengan teori-teori strukturalis dan pragmatis dalam linguistik, di mana makna ditentukan oleh penggunaan dan struktur internal bahasa itu sendiri, bukan oleh korespondensinya dengan entitas di luar bahasa.⁶ W.V.O. Quine, misalnya, menolak asumsi bahwa bahasa memiliki dasar analitik yang tetap, dan memandang makna sebagai sesuatu yang bisa direvisi dalam kerangka teori yang lebih luas.⁷

5.4.       Logika dan Matematika: Penolakan terhadap Entitas Abstrak

Dalam bidang logika dan matematika, nominalisme mengandung implikasi radikal, terutama dalam hal penolakan terhadap keberadaan bilangan, himpunan, atau fungsi sebagai entitas metafisik. Sebagian nominalis, seperti Nelson Goodman dan Hartry Field, berusaha membangun sistem matematika yang tidak memerlukan komitmen terhadap entitas abstrak.⁸

Hartry Field, misalnya, dalam Science Without Numbers, mengembangkan pendekatan nominalis terhadap fisika dengan menyusun teori fisika klasik tanpa referensi ke bilangan atau struktur matematika.⁹ Meskipun pendekatan ini menuai kritik karena tingkat kompleksitas dan keterbatasannya, ia menunjukkan bahwa nominalisme dapat memotivasi proyek filsafat sains yang radikal dan inovatif.


Footnotes

[1]                Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 2–5.

[2]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Stephen F. Brown (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1999), I.14.

[3]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 156–157.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Sections II–III.

[5]                Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 48–50.

[6]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 65–70.

[7]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.

[8]                Nelson Goodman, The Structure of Appearance, 3rd ed. (Dordrecht: Reidel Publishing, 1977), 32–35.

[9]                Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism (Princeton: Princeton University Press, 1980), 3–7.


6.           Kritik terhadap Nominalisme

Meskipun nominalisme memiliki kontribusi besar dalam menyederhanakan struktur ontologi dan memperkuat pendekatan empiris, pandangan ini tidak luput dari kritik tajam yang datang dari berbagai aliran filsafat. Kritik terhadap nominalisme umumnya berpusat pada tiga titik kelemahan: kesulitan menjelaskan kesamaan (similarity), kelemahan dalam predikasi dan penggolongan, serta masalah dalam menjelaskan keberfungsian bahasa dan ilmu pengetahuan.

6.1.       Masalah Kesamaan: “Resemblance Regress”

Salah satu kritik paling mendasar terhadap nominalisme adalah masalah kesamaan. Jika semua entitas adalah partikular dan tidak ada universal, maka bagaimana kita dapat menjelaskan bahwa dua objek sama-sama “merah” atau sama-sama “manusia”?¹ Nominalis menjawab bahwa kemiripan hanyalah pengamatan atas kesamaan di antara objek-objek individual.

Namun, pendekatan ini menimbulkan regres tak berhingga yang dikenal sebagai resemblance regress. Jika dua objek dikatakan mirip karena mereka memiliki sifat yang mirip, maka sifat “kemiripan” itu sendiri menjadi sesuatu yang harus dijelaskan. Apakah kemiripan itu juga entitas yang berdiri sendiri? Jika ya, nominalisme telah mengakui semacam universal. Jika tidak, maka kita kembali pada posisi tanpa dasar logis yang kokoh untuk menjelaskan kesamaan.²

Kritik ini dikembangkan oleh Bertrand Russell dan lebih sistematis dibahas oleh D.M. Armstrong dalam konteks pertahanan terhadap realisme universalia

6.2.       Masalah Predikasi dan Bahasa

Bahasa manusia penuh dengan kalimat predikatif seperti “Socrates adalah manusia” atau “apel itu merah”. Kritik terhadap nominalisme muncul ketika ia kesulitan menjelaskan mekanisme predikasi secara koheren tanpa mengakui keberadaan universal.⁴

Dalam konteks ini, realis berpendapat bahwa hanya dengan mengakui adanya form universal, kita dapat menjelaskan bagaimana satu predikat dapat diterapkan pada banyak individu secara sahih. Jika “merah” tidak ada sebagai suatu entitas bersama, bagaimana mungkin kita bisa menggunakannya secara konsisten dalam berbagai konteks?⁵

Filsuf seperti Alvin Plantinga dan John Bigelow membela realisme atas dasar kesahihan logika dan sintaksis bahasa.⁶

6.3.       Masalah dalam Ilmu Pengetahuan dan Hukum Alam

Dalam filsafat sains, nominalisme menghadapi tantangan serius dalam menjelaskan hukum-hukum alam. Bila semua entitas adalah individual dan tidak ada keteraturan metafisik yang bersifat universal, maka bagaimana kita menjelaskan hukum-hukum ilmiah yang bersifat umum dan berlaku lintas kasus?

D.M. Armstrong, dalam karyanya What is a Law of Nature?, mengkritik nominalisme karena gagal menjelaskan keharusan atau regularitas alamiah secara memadai.⁷ Nominalisme hanya mengandalkan korelasi observasional, bukan penjelasan kausal-metafisik yang dalam. Akibatnya, ia dianggap menyederhanakan secara berlebihan kompleksitas struktur alam semesta.

6.4.       Kritik dari Perspektif Metafisika dan Agama

Beberapa filsuf teistik juga mengkritik nominalisme karena implikasinya terhadap teologi dan nilai-nilai moral. Dalam teologi Kristen, misalnya, konsep tentang sifat-sifat Tuhan atau esensi moral seperti “baik” dan “adil” tidak bisa hanya dianggap sebagai nama kosong.⁸ Jika tidak ada realitas dari “kebaikan” itu sendiri, maka fondasi untuk objektivitas etika menjadi lemah.

Thomas Aquinas, misalnya, dalam kerangka realisme moderatnya menyatakan bahwa universalia memiliki dasar dalam kenyataan (dalam hal ini pada pikiran Tuhan), dan pengetahuan manusia terhadap universal mencerminkan pemahaman akan ciptaan secara rasional.⁹ Kritik ini tetap menjadi sorotan dalam diskusi kontemporer antara filsafat analitik agama dan nominalisme sekuler.


Footnotes

[1]                Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 7–9.

[2]                Keith Campbell, Abstract Particulars (Oxford: Basil Blackwell, 1990), 12–14.

[3]                D.M. Armstrong, Universals: An Opinionated Introduction (Boulder: Westview Press, 1989), 65–70.

[4]                Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 51–53.

[5]                William P. Alston, “Realism and Nominalism,” in The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, ed. Paul Edwards (New York: Macmillan, 1967), 35–40.

[6]                Alvin Plantinga, Does God Have a Nature? (Milwaukee: Marquette University Press, 1980), 25–28.

[7]                D.M. Armstrong, What is a Law of Nature? (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 5–10.

[8]                William Lane Craig and J.P. Moreland, Philosophical Foundations for a Christian Worldview (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003), 193–198.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 85.


7.           Relevansi Nominalisme dalam Konteks Kontemporer

Meskipun nominalisme berakar pada perdebatan metafisik abad pertengahan, pengaruhnya tetap kuat dan bahkan mengalami revitalisasi dalam berbagai diskursus filsafat kontemporer, terutama dalam bidang filsafat bahasa, ilmu komputer, logika, filsafat sains, dan filsafat analitik. Pandangan ini tetap relevan karena menyuguhkan pendekatan yang hemat ontologi, fleksibel secara epistemologis, dan sejalan dengan semangat positivisme ilmiah modern.

7.1.       Nominalisme dan Filsafat Bahasa Analitik

Dalam tradisi filsafat bahasa analitik, nominalisme memainkan peran penting dalam membentuk pendekatan terhadap makna, referensi, dan struktur bahasa. Tokoh seperti W.V.O. Quine dan Donald Davidson mengembangkan pendekatan yang menolak dikotomi antara analytic dan synthetic truths, serta mempertanyakan bahwa makna bisa dipahami sebagai entitas tetap atau universal.¹

Quine secara khusus menegaskan bahwa komitmen ontologis hanya bisa dibenarkan melalui analisis logis dari bahasa formal, bukan dari asumsi metafisik tentang makna.² Dengan demikian, nominalisme menjadi alat untuk menghindari inflasi ontologis dalam penggunaan bahasa sehari-hari maupun dalam teori ilmiah. Dalam pandangan ini, makna lebih merupakan fungsi dari penggunaan dalam konteks ketimbang cerminan dari entitas metafisik.

7.2.       Nominalisme dalam Ilmu Komputer dan Ontologi Data

Dalam dunia ilmu komputer, terutama dalam pengembangan ontologi semantik dan sistem klasifikasi berbasis data, nominalisme membantu memformulasikan pendekatan berbasis label dan relasi tanpa mengasumsikan bahwa kategori memiliki eksistensi metafisik.³

Misalnya, dalam ontology engineering yang digunakan dalam kecerdasan buatan dan teknologi web semantik, pengelompokan entitas (seperti “dokter”, “hewan”, atau “kendaraan”) dianggap sebagai struktur klasifikasi yang dibuat oleh pengguna, bukan sebagai refleksi dari realitas universal. Pendekatan ini memungkinkan sistem informasi untuk tetap fleksibel, kontekstual, dan dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan aplikasi.⁴

7.3.       Nominalisme dan Filsafat Sains

Dalam filsafat sains, nominalisme berkontribusi dalam upaya memurnikan teori-teori ilmiah dari komitmen terhadap entitas abstrak yang tidak dapat diuji secara empiris. Hartry Field, dalam Science Without Numbers, mengembangkan argumen bahwa fisika dapat dikonstruksi secara fungsional tanpa mengasumsikan eksistensi bilangan sebagai objek metafisik.⁵ Ini menjadi salah satu bentuk nominalisme matematika, yang menyasar pada penggunaan konsep-konsep matematis dalam teori ilmiah tanpa menganggapnya sebagai kenyataan ontologis.

Pendekatan semacam ini mendorong pergeseran dari teori-teori “representasional” menuju teori-teori “instrumentalis”, yang menganggap model ilmiah sebagai alat kerja, bukan cerminan akurat dari struktur metafisik dunia.⁶

7.4.       Nominalisme dan Etika Kontemporer

Dalam konteks etika dan filsafat moral, nominalisme juga memainkan peran dalam menantang universalisme moral. Pandangan bahwa konsep-konsep seperti “adil”, “baik”, atau “hak” tidak memiliki esensi universal, tetapi bergantung pada konstruksi sosial dan konvensi budaya, merupakan pendekatan nominalistik terhadap nilai.⁷

Hal ini menjadi dasar bagi berbagai teori etika postmodern dan relativistik, yang menolak adanya nilai moral yang objektif dan transhistoris. Meskipun pendekatan ini menuai kritik dari kalangan realis moral, ia tetap berpengaruh dalam diskursus tentang pluralisme nilai dan relativisme budaya.

7.5.       Nominalisme dan Ontologi Sosial

Dalam filsafat sosial dan politik, nominalisme mengilhami pemikiran yang menolak esensialisasi identitas. Istilah seperti “bangsa”, “jenis kelamin”, “ras”, atau “kelas” dipandang sebagai hasil dari konstruksi sosial dan bukan kategori ontologis yang tetap.⁸ Hal ini relevan dalam studi gender, sosiologi kritis, dan teori politik kontemporer, di mana nominalisme digunakan untuk membongkar struktur kekuasaan yang diselubungi oleh istilah-istilah yang tampak netral.


Footnotes

[1]                W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.

[2]                Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View, 1–19.

[3]                Nicola Guarino, Daniel Oberle, and Steffen Staab, “What Is an Ontology?” in Handbook on Ontologies, 2nd ed., eds. Steffen Staab and Rudi Studer (Berlin: Springer, 2009), 1–17.

[4]                Barry Smith and Werner Ceusters, “Ontology as the Core Discipline of Biomedical Informatics: Legacies of Aristotle, Kant, and Husserl,” Theoretical Medicine and Bioethics 31, no. 6 (2010): 455–477.

[5]                Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism (Princeton: Princeton University Press, 1980), 3–9.

[6]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Oxford University Press, 1980), 12–25.

[7]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 73–95.

[8]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 6–9.


8.           Simpulan

Nominalisme merupakan salah satu aliran filsafat yang paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat, terutama dalam memperdebatkan status ontologis universal dan kontribusinya terhadap pembentukan pendekatan empiris dan analitis dalam filsafat modern. Dengan menolak eksistensi entitas abstrak yang independen dari objek-objek partikular, nominalisme mengarahkan filsafat ke arah minimalisme ontologis dan keberhati-hatian epistemologis

Sejak masa Roscellinus dan William of Ockham, nominalisme telah membentuk wacana kritis terhadap realisme metafisik dan membuka jalan bagi cara berpikir yang menekankan pengalaman konkret dan bahasa sebagai alat representasi, bukan sebagai cermin dari realitas transendental.² Kritik terhadap universalia menuntun pada pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana manusia mengkategorikan, memahami, dan menjelaskan dunia.

Meskipun demikian, nominalisme juga menghadapi sejumlah tantangan serius. Kesulitan dalam menjelaskan kesamaan, predikasi, dan dasar logis dari hukum-hukum ilmiah menjadi titik lemah yang dimanfaatkan oleh para pendukung realisme dan konseptualisme.³ Dalam bidang etika dan teologi, nominalisme dituduh melemahkan dasar bagi nilai-nilai moral objektif dan membatasi cakrawala makna spiritual.⁴

Namun, justru dalam kerangka kritik dan pengembangan inilah relevansi nominalisme tetap hidup dan berkembang. Dalam dunia kontemporer yang sarat dengan konstruksi sosial, teknologi informasi, dan kompleksitas bahasa, pendekatan nominalistik menawarkan instrumen analitis yang tajam untuk membaca struktur simbolik dan relasional dari pengetahuan.⁵ Di bidang filsafat sains, logika, hingga ontologi data, nominalisme membantu membentuk paradigma yang lebih fleksibel, operasional, dan terhindar dari beban metafisik yang tidak perlu.⁶

Dengan demikian, nominalisme bukanlah sekadar warisan skolastik, tetapi merupakan posisi filsafat yang terus berdialog dengan zaman. Kekuatan nominalisme terletak pada kemampuannya untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar tentang keberadaan dan bahasa, serta mendorong filsafat ke arah kritis, ekonomis, dan empiris.


Footnotes

[1]                Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 2–5.

[2]                Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–51.

[3]                D.M. Armstrong, Universals: An Opinionated Introduction (Boulder: Westview Press, 1989), 65–70.

[4]                Alvin Plantinga, Does God Have a Nature? (Milwaukee: Marquette University Press, 1980), 25–28.

[5]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 6–9.

[6]                Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism (Princeton: Princeton University Press, 1980), 3–7.


Daftar Pustaka

Alston, W. P. (1967). Realism and nominalism. In P. Edwards (Ed.), The encyclopedia of philosophy (Vol. 7, pp. 35–40). Macmillan.

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Armstrong, D. M. (1983). What is a law of nature? Cambridge University Press.

Armstrong, D. M. (1989). Universals: An opinionated introduction. Westview Press.

Campbell, K. (1990). Abstract particulars. Basil Blackwell.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume II, Medieval philosophy. Doubleday.

Davidson, D. (1984). Inquiries into truth and interpretation. Oxford University Press.

Field, H. (1980). Science without numbers: A defence of nominalism. Princeton University Press.

Fraassen, B. C. van. (1980). The scientific image. Oxford University Press.

Goodman, N. (1977). The structure of appearance (3rd ed.). Reidel Publishing.

Guarino, N., Oberle, D., & Staab, S. (2009). What is an ontology? In S. Staab & R. Studer (Eds.), Handbook on ontologies (2nd ed., pp. 1–17). Springer.

Hacking, I. (1999). The social construction of what? Harvard University Press.

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Kenny, A. (2005). Medieval philosophy. Oxford University Press.

Loux, M. J. (2006). Metaphysics: A contemporary introduction (3rd ed.). Routledge.

Plantinga, A. (1980). Does God have a nature? Marquette University Press.

Quine, W. V. O. (1953). On what there is. In From a logical point of view (pp. 1–19). Harvard University Press.

Quine, W. V. O. (1953). Two dogmas of empiricism. In From a logical point of view (pp. 20–46). Harvard University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Saussure, F. de. (1966). Course in general linguistics (W. Baskin, Trans.). McGraw-Hill.

Smith, B., & Ceusters, W. (2010). Ontology as the core discipline of biomedical informatics: Legacies of Aristotle, Kant, and Husserl. Theoretical Medicine and Bioethics, 31(6), 455–477. https://doi.org/10.1007/s11017-010-9152-5

Spade, P. V. (1994). Thought and reality in the late Middle Ages. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar