Nominalisme
Sejarah, Konsep, dan Relevansinya dalam Filsafat
Kontemporer
Alihkan ke: Metafisika.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran
filsafat nominalisme, mulai dari akar sejarah dan konsep dasarnya hingga
relevansinya dalam pemikiran kontemporer. Nominalisme merupakan pandangan
metafisik yang menolak eksistensi entitas universal sebagai realitas
independen, dan menegaskan bahwa hanya individu partikular yang benar-benar
ada, sementara konsep-konsep umum hanyalah hasil konstruksi linguistik atau
mental. Pembahasan ini mencakup perkembangan historis nominalisme dari tokoh
awal seperti Roscellinus dan William of Ockham hingga kontribusi pemikir modern
seperti David Hume, W.V.O. Quine, dan Nelson Goodman. Selain itu, artikel ini
juga menelaah implikasi nominalisme terhadap berbagai cabang filsafat seperti
metafisika, epistemologi, filsafat bahasa, logika, dan filsafat sains. Disertai
dengan kritik dari perspektif realisme, teologi, dan etika, kajian ini
menunjukkan bahwa nominalisme bukan hanya aliran metafisik klasik, tetapi juga
pendekatan filosofis yang relevan dalam menganalisis struktur pengetahuan,
bahasa, dan sistem representasi dalam dunia kontemporer. Dengan menekankan
minimalisme ontologis dan kehati-hatian epistemologis, nominalisme menjadi
alternatif penting dalam menyikapi persoalan dasar filsafat modern.
Kata Kunci: Nominalisme, universalia, metafisika, William of
Ockham, filsafat bahasa, filsafat sains, realisme, logika, ontologi,
epistemologi.
PEMBAHASAN
Memahami Nominalisme dalam Sejarah Filsafat
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
filsafat Barat, persoalan mengenai status universal—seperti konsep “manusia”,
“keadilan”, atau “warna merah”—telah menjadi perdebatan panjang
yang membelah para pemikir ke dalam dua kutub utama: kaum realis dan kaum
nominalis. Nominalisme, sebagai salah satu aliran metafisika klasik, menyatakan
bahwa universal
tidak memiliki eksistensi independen di luar pikiran dan bahasa; mereka
hanyalah nama (nomina) atau simbol linguistik yang
digunakan untuk mengelompokkan objek-objek individual berdasarkan kemiripan
tertentu.¹
Pandangan ini
bertentangan dengan realisme, yang meyakini bahwa universal memiliki eksistensi
objektif dan dapat eksis secara terpisah dari benda-benda partikular.
Perdebatan ini bukan sekadar persoalan semantik, melainkan menyangkut fondasi
ontologi, epistemologi, dan bahkan logika. William of Ockham, salah satu tokoh
utama nominalisme abad pertengahan, terkenal dengan prinsip “entia
non sunt multiplicanda praeter necessitatem” (jangan memperbanyak
entitas tanpa kebutuhan), yang kemudian dikenal sebagai Ockham’s
Razor.² Prinsip ini menjadi landasan dalam pemikiran nominalis yang
menolak eksistensi entitas metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara
empiris atau logis.
Perkembangan
nominalisme tidak hanya terbatas pada era skolastik. Dalam filsafat modern dan
kontemporer, gagasan nominalis turut memengaruhi gerakan empirisisme, logika
analitik, dan filsafat bahasa. David Hume, misalnya, dalam kerangka
empirismenya, menunjukkan kecenderungan nominalistik ketika ia menolak
keberadaan ide-ide universal yang tidak dapat dirujuk secara langsung melalui
pengalaman indrawi.³ Di abad ke-20, tokoh seperti W.V.O. Quine menolak dikotomi
antara analitik dan sintetik dalam makna, suatu langkah yang sejalan dengan
kritik nominalis terhadap struktur bahasa metafisik.⁴
Kajian terhadap
nominalisme menjadi penting bukan hanya untuk memahami sejarah filsafat, tetapi
juga untuk menilai bagaimana struktur pengetahuan manusia terbentuk, bagaimana
bahasa berfungsi sebagai alat klasifikasi, dan bagaimana sains modern
memperlakukan entitas teoretis. Dengan demikian, pembahasan ini tidak hanya
bersifat historis, tetapi juga epistemologis dan metodologis.
Artikel ini akan
mengkaji secara mendalam akar pemikiran nominalisme, tokoh-tokoh utamanya,
implikasi logis dan metafisiknya, serta relevansi kontemporernya, dengan
menggunakan pendekatan sistematik dan sumber-sumber akademik kredibel.
Footnotes
[1]
Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 2–3.
[2]
Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 67.
[3]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 50–51.
[4]
W.V.O. Quine, Two Dogmas of Empiricism, in From a Logical
Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.
2.
Konsep Dasar Nominalisme
Nominalisme
merupakan pandangan filosofis yang menolak keberadaan entitas universal atau
abstrak sebagai realitas yang berdiri sendiri. Menurut aliran ini,
istilah-istilah umum seperti “manusia”, “warna”, atau “kebaikan”
tidak menunjuk pada entitas metafisik yang nyata, melainkan hanyalah nama (nomina)
atau label linguistik yang digunakan untuk menyederhanakan dan
mengklasifikasikan fenomena partikular yang serupa.¹ Dengan demikian,
nominalisme menegaskan bahwa hanya individu konkret yang benar-benar eksis,
sementara kategori universal adalah produk bahasa atau konvensi berpikir
manusia.
Pandangan
nominalistik dapat diposisikan sebagai reaksi terhadap realisme
metafisik, yang berpandangan bahwa universal memiliki
eksistensi objektif, baik dalam bentuk ideal (seperti dalam Platonisme) maupun
sebagai bentuk inheren dalam objek-objek partikular (seperti dalam
Aristotelianisme).² Dalam kerangka nominalisme, tidak ada "kemanusiaan"
sebagai entitas yang eksis di luar individu-individu manusia; yang ada hanyalah
manusia-manusia partikular seperti Ahmad, Fatimah, atau John. Ungkapan “semua
manusia fana” hanyalah cara praktis untuk menyatakan bahwa individu-individu
yang disebut manusia memiliki sifat yang sama berdasarkan pengamatan berulang.³
Ada dua bentuk utama
nominalisme dalam sejarah filsafat:
2.1.
Nominalisme Murni (Extreme Nominalism)
Pendekatan ini
menegaskan bahwa istilah umum hanyalah bunyi atau simbol tanpa makna metafisik
yang mendalam. Tokoh seperti Roscellinus menolak eksistensi
segala bentuk universal dan menegaskan bahwa universal hanyalah suara (flatus
vocis), tanpa korespondensi dengan realitas objektif.⁴ Pandangan
ini mengandung implikasi bahwa segala klasifikasi adalah semata-mata buatan manusia
dan tidak mencerminkan struktur dunia yang objektif.
2.2.
Nominalisme Moderat (Conceptualism)
Varian ini sering
dikaitkan dengan pemikir seperti Peter Abelard dan bahkan William
of Ockham, yang meskipun menolak realisme metafisik, tetap
mengakui bahwa istilah umum mengandung dasar psikologis sebagai hasil dari
aktivitas konseptual manusia. Dalam pandangan ini, universal tidak memiliki
eksistensi independen, tetapi ada dalam pikiran sebagai hasil abstraksi dari
pengalaman empiris.⁵
Konsekuensi dari pendekatan
nominalistik sangat luas. Dalam bidang logika dan bahasa, nominalisme
memengaruhi cara pandang terhadap hubungan antara kata dan realitas. Alih-alih
menganggap bahwa kata-kata menunjuk langsung pada entitas metafisik,
nominalisme menekankan peran bahasa sebagai alat klasifikasi dan konvensi
sosial.⁶ Dalam epistemologi, pendekatan ini juga membatasi pengetahuan pada
hal-hal yang dapat diamati dan diindera, karena tidak ada entitas abstrak yang
dapat diketahui secara langsung tanpa perantara pengalaman.
Pandangan
nominalistik ini tetap menjadi pusat diskusi filosofis hingga hari ini,
terutama dalam filsafat analitik, semantik, dan ontologi, di mana pertanyaan
tentang status “jenis”, “kategori”, dan “kelas” terus
diperdebatkan secara intens.
Footnotes
[1]
Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 2.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval
Philosophy (New York: Doubleday, 1993), 85–86.
[3]
William P. Alston, “Realism and Nominalism,” in The Encyclopedia of
Philosophy, vol. 7, ed. Paul Edwards (New York: Macmillan, 1967), 35–40.
[4]
Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 49–51.
[5]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 152.
[6]
W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press,
1960), 10–15.
3.
Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Nominalis
Nominalisme tidak
muncul sebagai aliran filsafat yang terlembagakan secara instan, melainkan
merupakan hasil dari proses panjang perdebatan metafisik mengenai status
universal sejak zaman klasik hingga filsafat kontemporer. Sejarah perkembangan
pemikiran nominalis dapat dilacak dalam tiga tahap utama: akar klasik dan
pengaruh awal, pembentukan sistematik pada abad pertengahan, dan revitalisasi
serta reinterpretasi pada era modern dan kontemporer.
3.1.
Akar Klasik dan Pengaruh Awal
Meskipun nominalisme
belum terformulasi secara sistematik di era Yunani Kuno, benih-benihnya sudah
tampak dalam kritik terhadap realisme universalia ala Platonik.
Plato berpandangan bahwa universal atau Form
(e.g., “kebaikan”, “keindahan”) memiliki eksistensi ideal yang
lebih nyata daripada dunia fisik.¹ Sebaliknya, Aristoteles menolak keberadaan
dunia ide terpisah dan menyatakan bahwa bentuk-bentuk universal melekat dalam
benda-benda partikular.² Meski Aristoteles tidak dapat dikategorikan sebagai
nominalis, ia telah membuka ruang bagi pendekatan non-realistis terhadap universalia.
Beberapa pemikir
Stoa dan skeptisisme Yunani, seperti Sextus Empiricus, juga mengembangkan
pandangan bahwa pengelompokan konseptual bersifat konvensional dan bukan
representasi realitas objektif.³ Pandangan-pandangannya turut menginspirasi
perkembangan nominalisme di masa skolastik.
3.2.
Perkembangan Sistematik pada Abad Pertengahan
Nominalisme sebagai
aliran filsafat mulai menguat pada abad ke-11 dan 12 sebagai reaksi terhadap
dominasi realisme dalam tradisi skolastik Kristen. Tokoh penting pada tahap
awal ini adalah Roscellinus, yang dikenal
sebagai penganut nominalisme ekstrem. Ia
mengemukakan bahwa universal hanyalah “flatus vocis” (tiupan suara), yaitu
sekadar bunyi tanpa realitas ontologis.⁴ Pandangan ini menuai kontroversi
karena dinilai mengancam ajaran teologi Kristen tentang Tritunggal, yang
mengandalkan pemahaman mengenai kesatuan dalam kejamakan.
Puncak sistematisasi
nominalisme terjadi pada abad ke-14 melalui karya William
of Ockham. Ia menolak semua bentuk realisme metafisik dan
menegaskan bahwa satu-satunya entitas yang ada adalah individu partikular.
Konsep-konsep umum hanyalah termini concepti (istilah
konseptual) dalam pikiran yang berasal dari proses abstraksi terhadap
pengalaman.⁵ Dalam kerangka ini, Ockham menegakkan prinsip Ockham’s
Razor, yaitu prinsip ekonomis yang menyatakan bahwa entitas tidak
boleh dipostulasikan melebihi kebutuhan.⁶ Prinsip ini mengarahkan filsafat ke
arah minimalisme ontologis dan menjadi landasan bagi pendekatan empiris dalam
ilmu pengetahuan.
Selain itu,
nominalisme juga memiliki implikasi penting dalam pembaharuan metodologi ilmu
dan bahasa. Pandangan nominalistik membantu melepaskan filsafat dari belenggu
struktur metafisika skolastik yang kaku dan mendorong cara berpikir yang lebih
kritis terhadap hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas.
3.3.
Nominalisme dalam Filsafat Modern dan
Kontemporer
Setelah mengalami
tekanan dari aliran realisme selama Renaisans dan awal modern, nominalisme
bangkit kembali dalam bentuk yang lebih kompleks pada masa pencerahan dan era
kontemporer. David Hume, sebagai empiris
radikal, menolak gagasan ide universal yang tidak berakar pada pengalaman.⁷
Bagi Hume, semua ide adalah salinan dari impresi-indrawi, sehingga generalisasi
hanya merupakan kebiasaan mental (habit) dalam mengelompokkan
fenomena yang serupa.
Di abad ke-20, W.V.O.
Quine dan Nelson Goodman memajukan versi
baru nominalisme melalui kritik terhadap fondasi logika dan bahasa. Dalam
esainya On What
There Is, Quine menolak eksistensi entitas yang tidak dapat
disubstitusikan dalam bahasa formal yang ketat.⁸ Sementara itu, gerakan metaphysical
nominalism yang berkembang dalam filsafat analitik menolak realitas
entitas abstrak seperti angka, kelas, dan sifat.
Dengan masuknya
nominalisme ke dalam filsafat bahasa, semantik, dan filsafat sains, pendekatan
ini tidak hanya menjadi perdebatan metafisik klasik, tetapi juga instrumen
penting dalam pengembangan metodologi ilmu pengetahuan dan teori representasi.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), Book VII.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Complete
Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), Book VII.
[3]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), 1.15–1.30.
[4]
Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–47.
[5]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Stephen F. Brown
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1999), I.14–16.
[6]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 154–157.
[7]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Section II.
[8]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.
4.
Tokoh-Tokoh Sentral dalam Gerakan Nominalis
Nominalisme sebagai
aliran filsafat tidak dapat dilepaskan dari kontribusi tokoh-tokoh utama yang
menyusun, membela, dan memperluas cakupannya dalam berbagai era pemikiran.
Pemikiran mereka tidak hanya membentuk kerangka metafisika nominalis, tetapi
juga berpengaruh besar terhadap perkembangan logika, epistemologi, dan filsafat
bahasa. Tokoh-tokoh sentral tersebut mencerminkan dinamika transformasi
nominalisme dari bentuk skolastik ke bentuk analitik kontemporer.
4.1.
Roscellinus (ca. 1050–ca. 1125)
Roscellinus dari
Compiègne dianggap sebagai tokoh pelopor nominalisme ekstrem dalam
tradisi skolastik. Ia dikenal karena pandangannya bahwa universal hanyalah flatus
vocis (hembusan suara), yakni semata-mata simbol linguistik yang
tidak merujuk pada realitas objektif.¹ Ia menolak keberadaan entitas umum di
luar objek-objek partikular dan menentang realisme yang berkembang dalam
pemikiran Augustinian dan Boethian.
Pemikiran
Roscellinus memicu kontroversi teologis, terutama dalam kaitannya dengan ajaran
Tritunggal. Dengan menolak adanya realitas ontologis dalam konsep “keilahian”
yang dimiliki bersama oleh tiga pribadi Ilahi, ia dituduh menyebarkan
triteisme.² Meskipun sebagian besar karya aslinya tidak bertahan,
pandangan-pandangan Roscellinus direkonstruksi dari tulisan-tulisan lawan
teologisnya seperti Anselmus dan Abelard.
4.2.
William of Ockham (ca. 1287–ca. 1347)
William of Ockham
adalah tokoh paling berpengaruh dalam sistematisasi nominalisme. Ia menolak
realisme universalia baik dalam bentuk Plato maupun Aristoteles. Dalam Summa
Logicae, Ockham menyatakan bahwa hanya individu yang eksis secara
nyata, sementara konsep umum adalah istilah dalam pikiran hasil dari proses
abstraksi atas pengalaman.³ Konsep seperti “manusia” tidak merujuk pada
substansi universal, tetapi merupakan hasil dari kecenderungan mental untuk
mengelompokkan objek berdasarkan kesamaan.
Salah satu
kontribusi Ockham yang paling terkenal adalah formulasi prinsip Ockham’s
Razor: “Entitas tidak boleh dikalikan lebih dari yang
diperlukan” (entia non sunt multiplicanda praeter
necessitatem).⁴ Prinsip ini digunakan sebagai landasan untuk
menolak entitas metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris dan
menjadi tonggak dalam filsafat ilmiah dan metodologi rasional.
4.3.
David Hume (1711–1776)
Dalam era modern, David
Hume merupakan tokoh kunci yang melanjutkan semangat
nominalisme melalui pendekatan empiris radikal. Bagi Hume, semua ide berasal
dari impresi atau pengalaman indrawi, dan gagasan-gagasan umum seperti “substansi”
atau “kekuatan kausal” hanyalah hasil dari kebiasaan mental (habit of
association).⁵ Ia menolak keberadaan entitas universal atau abstrak
yang tidak dapat diindera, dan karenanya berpihak pada nominalisme dalam
epistemologi.
Hume menunjukkan
bahwa konsep seperti “identitas” atau “sebab-akibat” tidak
berasal dari relasi objektif antara peristiwa, tetapi dari asosiasi ide yang
berulang dalam pengalaman kita.⁶ Hal ini memperkuat landasan skeptis terhadap
klaim-klaim metafisika tradisional.
4.4.
W.V.O. Quine (1908–2000)
Willard
Van Orman Quine adalah tokoh penting dalam filsafat analitik
abad ke-20 yang memperbarui nominalisme dalam konteks logika dan bahasa. Dalam
esainya On What
There Is, Quine menegaskan bahwa komitmen ontologis hanya dapat
dibenarkan jika dapat diformulasikan dalam bahasa formal.⁷ Ia menolak entitas
abstrak seperti kelas, proposisi, atau makna jika tidak diperlukan dalam
struktur logis dari teori yang efisien dan koheren.
Selain itu, Quine
juga mengkritik dikotomi antara analitik dan sintetik, yang menantang asumsi
bahwa bahasa mencerminkan struktur tetap dari realitas.⁸ Pendekatan ini
mengarah pada semacam ontological relativity dan
menjadikan nominalisme sebagai alat untuk membatasi inflasi ontologis dalam
teori-teori ilmiah dan metafisik.
4.5.
Nelson Goodman (1906–1998)
Nelson
Goodman melanjutkan warisan Quine dengan menegaskan nominalisme
konstruktif, yang menolak semua bentuk entitas abstrak dalam
ilmu pengetahuan dan estetika. Dalam The Structure of Appearance,
Goodman menyatakan bahwa dunia bukanlah satu kesatuan yang dapat digambarkan
secara final, melainkan hasil konstruksi sistem simbolik yang berbeda.⁹ Ia
menolak keberadaan entitas seperti “warna” atau “jenis seni”
sebagai realitas tetap dan menyatakan bahwa klasifikasi merupakan produk sistem
representasi yang kita bangun.
Footnotes
[1]
Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–47.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume II, Medieval
Philosophy (New York: Doubleday, 1993), 98.
[3]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Stephen F. Brown
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1999), I.14–16.
[4]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 154–156.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Sections II–IV.
[6]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 89–91.
[7]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.
[8]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point
of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.
[9]
Nelson Goodman, The Structure of Appearance, 3rd ed.
(Dordrecht: Reidel Publishing, 1977), 15–20.
5.
Implikasi Nominalisme dalam Berbagai Cabang
Filsafat
Nominalisme, sebagai
pandangan yang menolak keberadaan entitas universal atau abstrak sebagai
realitas mandiri, membawa implikasi mendalam bagi berbagai cabang filsafat.
Pandangan ini tidak hanya membentuk perdebatan metafisika, tetapi juga memberi
pengaruh terhadap teori pengetahuan, filsafat bahasa, logika, hingga filsafat
ilmu. Sikap kritis nominalisme terhadap inflasi ontologis—yakni kecenderungan
untuk mengakui keberadaan banyak entitas metafisik—mendorong berbagai disiplin
filsafat menuju pendekatan yang lebih empirik, ekonomis, dan konseptual.
5.1.
Metafisika: Reduksi Entitas dan Minimalisme
Ontologis
Dalam metafisika,
nominalisme memberikan alternatif terhadap realisme metafisik yang mengakui universal
sebagai entitas nyata. Kaum nominalis menyatakan bahwa satu-satunya realitas
adalah objek-objek partikular, dan segala bentuk generalisasi hanyalah hasil
aktivitas konseptual manusia.¹ Ini berarti bahwa tidak ada entitas seperti “keadilan”
atau “kemerahan” yang eksis di luar penggunaan istilah tersebut dalam
bahasa.
Konsekuensinya,
nominalisme mengarah pada minimalisme ontologis, yakni
prinsip bahwa semestinya kita tidak mengakui keberadaan entitas lebih dari yang
dibutuhkan. Pendekatan ini mendorong filosofi yang hemat secara metafisik dan
mendukung metodologi empiris dalam menjelaskan realitas.² Dengan menolak
realitas abstrak, nominalisme mempertahankan bahwa penjelasan filosofis harus
bertumpu pada hal-hal yang dapat dijelaskan secara langsung melalui pengalaman
atau representasi simbolik yang dapat diverifikasi.
5.2.
Epistemologi: Pengetahuan sebagai Abstraksi,
Bukan Representasi Realitas Ideal
Implikasi dalam
epistemologi terlihat dari pergeseran cara memahami konsep dan generalisasi.
Dalam kerangka nominalisme, pengetahuan bukanlah hasil penyingkapan terhadap
entitas universal yang ada secara objektif, melainkan hasil abstraksi
mental dari pengalaman-pengalaman partikular.³ Pengetahuan
bersifat konvensional dan pragmatis, bergantung pada cara manusia
mengorganisasi pengalaman melalui bahasa dan simbol.
Kaum nominalis
menolak bahwa konsep-konsep umum mewakili realitas metafisik. Sebaliknya,
konsep hanyalah alat kategorisasi. Dengan demikian, nominalisme memperkuat
posisi skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan a priori yang bersifat
universal dan mutlak.⁴
5.3.
Filsafat Bahasa dan Semiotika: Bahasa sebagai
Sistem Klasifikasi
Dalam filsafat
bahasa, nominalisme memandang bahasa bukan sebagai cerminan struktur realitas,
melainkan sebagai alat klasifikasi untuk mengatur
pengalaman manusia. Istilah-istilah umum tidak menunjuk pada entitas universal,
melainkan berfungsi sebagai label untuk kelompok objek berdasarkan kemiripan.⁵
Oleh karena itu, relasi antara tanda dan referen bersifat konvensional, bukan
ontologis.
Pendekatan ini
memiliki kesesuaian dengan teori-teori strukturalis dan pragmatis dalam
linguistik, di mana makna ditentukan oleh penggunaan dan struktur internal
bahasa itu sendiri, bukan oleh korespondensinya dengan entitas di luar bahasa.⁶
W.V.O. Quine, misalnya, menolak asumsi bahwa bahasa memiliki dasar analitik
yang tetap, dan memandang makna sebagai sesuatu yang bisa direvisi dalam
kerangka teori yang lebih luas.⁷
5.4.
Logika dan Matematika: Penolakan terhadap
Entitas Abstrak
Dalam bidang logika
dan matematika, nominalisme mengandung implikasi radikal, terutama dalam hal penolakan
terhadap keberadaan bilangan, himpunan, atau fungsi sebagai entitas metafisik.
Sebagian nominalis, seperti Nelson Goodman dan Hartry Field, berusaha membangun
sistem matematika yang tidak memerlukan komitmen terhadap entitas abstrak.⁸
Hartry Field,
misalnya, dalam Science Without Numbers,
mengembangkan pendekatan nominalis terhadap fisika dengan menyusun teori fisika
klasik tanpa referensi ke bilangan atau struktur matematika.⁹ Meskipun pendekatan
ini menuai kritik karena tingkat kompleksitas dan keterbatasannya, ia
menunjukkan bahwa nominalisme dapat memotivasi proyek filsafat sains yang
radikal dan inovatif.
Footnotes
[1]
Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 2–5.
[2]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Stephen F. Brown
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1999), I.14.
[3]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 156–157.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Sections II–III.
[5]
Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 48–50.
[6]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 65–70.
[7]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point
of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.
[8]
Nelson Goodman, The Structure of Appearance, 3rd ed.
(Dordrecht: Reidel Publishing, 1977), 32–35.
[9]
Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism
(Princeton: Princeton University Press, 1980), 3–7.
6.
Kritik terhadap Nominalisme
Meskipun nominalisme
memiliki kontribusi besar dalam menyederhanakan struktur ontologi dan
memperkuat pendekatan empiris, pandangan ini tidak luput dari kritik tajam yang
datang dari berbagai aliran filsafat. Kritik terhadap nominalisme umumnya
berpusat pada tiga titik kelemahan: kesulitan menjelaskan kesamaan (similarity),
kelemahan dalam predikasi dan penggolongan, serta masalah dalam menjelaskan
keberfungsian bahasa dan ilmu pengetahuan.
6.1.
Masalah Kesamaan: “Resemblance Regress”
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap nominalisme adalah masalah kesamaan. Jika semua
entitas adalah partikular dan tidak ada universal, maka bagaimana kita
dapat menjelaskan bahwa dua objek sama-sama “merah” atau sama-sama “manusia”?¹
Nominalis menjawab bahwa kemiripan hanyalah pengamatan atas kesamaan di antara
objek-objek individual.
Namun, pendekatan
ini menimbulkan regres tak berhingga yang
dikenal sebagai resemblance regress. Jika dua objek
dikatakan mirip karena mereka memiliki sifat yang mirip, maka sifat “kemiripan”
itu sendiri menjadi sesuatu yang harus dijelaskan. Apakah kemiripan itu juga
entitas yang berdiri sendiri? Jika ya, nominalisme telah mengakui semacam universal.
Jika tidak, maka kita kembali pada posisi tanpa dasar logis yang kokoh untuk
menjelaskan kesamaan.²
Kritik ini dikembangkan oleh
Bertrand Russell dan lebih sistematis dibahas oleh D.M. Armstrong dalam konteks
pertahanan terhadap realisme universalia.³
6.2.
Masalah Predikasi dan Bahasa
Bahasa manusia penuh
dengan kalimat predikatif seperti “Socrates adalah manusia” atau “apel
itu merah”. Kritik terhadap nominalisme muncul ketika ia kesulitan
menjelaskan mekanisme predikasi secara
koheren tanpa mengakui keberadaan universal.⁴
Dalam konteks ini,
realis berpendapat bahwa hanya dengan mengakui adanya form
universal, kita dapat menjelaskan bagaimana satu predikat dapat
diterapkan pada banyak individu secara sahih. Jika “merah” tidak ada
sebagai suatu entitas bersama, bagaimana mungkin kita bisa menggunakannya
secara konsisten dalam berbagai konteks?⁵
Filsuf seperti Alvin
Plantinga dan John Bigelow membela realisme atas dasar kesahihan logika dan
sintaksis bahasa.⁶
6.3.
Masalah dalam Ilmu Pengetahuan dan Hukum Alam
Dalam filsafat
sains, nominalisme menghadapi tantangan serius dalam menjelaskan hukum-hukum
alam. Bila semua entitas adalah individual dan tidak ada
keteraturan metafisik yang bersifat universal, maka bagaimana kita menjelaskan
hukum-hukum ilmiah yang bersifat umum dan berlaku lintas kasus?
D.M. Armstrong,
dalam karyanya What is a Law of Nature?,
mengkritik nominalisme karena gagal menjelaskan keharusan atau regularitas alamiah
secara memadai.⁷ Nominalisme hanya mengandalkan korelasi observasional, bukan
penjelasan kausal-metafisik yang dalam. Akibatnya, ia dianggap menyederhanakan
secara berlebihan kompleksitas struktur alam semesta.
6.4.
Kritik dari Perspektif Metafisika dan Agama
Beberapa filsuf
teistik juga mengkritik nominalisme karena implikasinya terhadap teologi
dan nilai-nilai moral. Dalam teologi Kristen, misalnya, konsep
tentang sifat-sifat Tuhan atau esensi moral seperti “baik” dan “adil”
tidak bisa hanya dianggap sebagai nama kosong.⁸ Jika tidak ada realitas dari “kebaikan”
itu sendiri, maka fondasi untuk objektivitas etika menjadi lemah.
Thomas Aquinas,
misalnya, dalam kerangka realisme moderatnya menyatakan bahwa universalia
memiliki dasar dalam kenyataan (dalam hal ini pada pikiran Tuhan), dan
pengetahuan manusia terhadap universal mencerminkan pemahaman akan ciptaan
secara rasional.⁹ Kritik ini tetap menjadi sorotan dalam diskusi kontemporer
antara filsafat analitik agama dan nominalisme sekuler.
Footnotes
[1]
Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 7–9.
[2]
Keith Campbell, Abstract Particulars (Oxford: Basil Blackwell,
1990), 12–14.
[3]
D.M. Armstrong, Universals: An Opinionated Introduction
(Boulder: Westview Press, 1989), 65–70.
[4]
Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 51–53.
[5]
William P. Alston, “Realism and Nominalism,” in The Encyclopedia of
Philosophy, vol. 7, ed. Paul Edwards (New York: Macmillan, 1967), 35–40.
[6]
Alvin Plantinga, Does God Have a Nature? (Milwaukee: Marquette
University Press, 1980), 25–28.
[7]
D.M. Armstrong, What is a Law of Nature? (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 5–10.
[8]
William Lane Craig and J.P. Moreland, Philosophical Foundations for
a Christian Worldview (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003),
193–198.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 85.
7.
Relevansi Nominalisme dalam Konteks Kontemporer
Meskipun nominalisme
berakar pada perdebatan metafisik abad pertengahan, pengaruhnya tetap kuat dan
bahkan mengalami revitalisasi dalam berbagai diskursus filsafat kontemporer,
terutama dalam bidang filsafat bahasa, ilmu komputer, logika,
filsafat sains, dan filsafat analitik. Pandangan
ini tetap relevan karena menyuguhkan pendekatan yang hemat ontologi, fleksibel
secara epistemologis, dan sejalan dengan semangat positivisme ilmiah modern.
7.1.
Nominalisme dan Filsafat Bahasa Analitik
Dalam tradisi filsafat
bahasa analitik, nominalisme memainkan peran penting dalam
membentuk pendekatan terhadap makna, referensi, dan struktur bahasa. Tokoh
seperti W.V.O. Quine dan Donald Davidson mengembangkan pendekatan yang menolak dikotomi
antara analytic
dan synthetic
truths, serta mempertanyakan bahwa makna bisa dipahami sebagai
entitas tetap atau universal.¹
Quine secara khusus
menegaskan bahwa komitmen ontologis hanya bisa dibenarkan melalui analisis
logis dari bahasa formal, bukan dari asumsi metafisik tentang makna.² Dengan
demikian, nominalisme menjadi alat untuk menghindari inflasi
ontologis dalam penggunaan bahasa sehari-hari maupun dalam teori
ilmiah. Dalam pandangan ini, makna lebih merupakan fungsi
dari penggunaan dalam konteks ketimbang cerminan dari entitas
metafisik.
7.2.
Nominalisme dalam Ilmu Komputer dan Ontologi
Data
Dalam dunia ilmu
komputer, terutama dalam pengembangan ontologi
semantik dan sistem klasifikasi berbasis data, nominalisme
membantu memformulasikan pendekatan berbasis label dan relasi tanpa
mengasumsikan bahwa kategori memiliki eksistensi metafisik.³
Misalnya, dalam ontology
engineering yang digunakan dalam kecerdasan buatan dan teknologi
web semantik, pengelompokan entitas (seperti “dokter”, “hewan”,
atau “kendaraan”) dianggap sebagai struktur klasifikasi yang dibuat
oleh pengguna, bukan sebagai refleksi dari realitas universal.
Pendekatan ini memungkinkan sistem informasi untuk tetap fleksibel,
kontekstual, dan dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan aplikasi.⁴
7.3.
Nominalisme dan Filsafat Sains
Dalam filsafat
sains, nominalisme berkontribusi dalam upaya memurnikan
teori-teori ilmiah dari komitmen terhadap entitas abstrak yang tidak dapat
diuji secara empiris. Hartry Field, dalam Science Without Numbers,
mengembangkan argumen bahwa fisika dapat dikonstruksi secara fungsional tanpa
mengasumsikan eksistensi bilangan sebagai objek metafisik.⁵ Ini menjadi salah
satu bentuk nominalisme matematika, yang
menyasar pada penggunaan konsep-konsep matematis dalam teori ilmiah tanpa
menganggapnya sebagai kenyataan ontologis.
Pendekatan semacam
ini mendorong pergeseran dari teori-teori “representasional” menuju
teori-teori “instrumentalis”, yang menganggap model ilmiah sebagai alat
kerja, bukan cerminan akurat dari struktur metafisik dunia.⁶
7.4.
Nominalisme dan Etika Kontemporer
Dalam konteks etika
dan filsafat moral, nominalisme juga memainkan peran dalam
menantang universalisme moral. Pandangan bahwa konsep-konsep seperti “adil”,
“baik”, atau “hak” tidak memiliki esensi universal, tetapi
bergantung pada konstruksi sosial dan konvensi budaya,
merupakan pendekatan nominalistik terhadap nilai.⁷
Hal ini menjadi
dasar bagi berbagai teori etika postmodern dan relativistik, yang menolak
adanya nilai moral yang objektif dan transhistoris. Meskipun pendekatan ini
menuai kritik dari kalangan realis moral, ia tetap berpengaruh dalam diskursus
tentang pluralisme nilai dan relativisme budaya.
7.5.
Nominalisme dan Ontologi Sosial
Dalam filsafat
sosial dan politik, nominalisme mengilhami pemikiran yang menolak esensialisasi
identitas. Istilah seperti “bangsa”, “jenis kelamin”,
“ras”, atau “kelas” dipandang sebagai hasil dari konstruksi
sosial dan bukan kategori ontologis yang tetap.⁸ Hal ini relevan dalam studi
gender, sosiologi kritis, dan teori politik kontemporer, di mana nominalisme
digunakan untuk membongkar struktur kekuasaan yang diselubungi oleh
istilah-istilah yang tampak netral.
Footnotes
[1]
W.V.O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” in From a Logical Point
of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 20–46.
[2]
Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View,
1–19.
[3]
Nicola Guarino, Daniel Oberle, and Steffen Staab, “What Is an
Ontology?” in Handbook on Ontologies, 2nd ed., eds. Steffen Staab and
Rudi Studer (Berlin: Springer, 2009), 1–17.
[4]
Barry Smith and Werner Ceusters, “Ontology as the Core Discipline of
Biomedical Informatics: Legacies of Aristotle, Kant, and Husserl,” Theoretical
Medicine and Bioethics 31, no. 6 (2010): 455–477.
[5]
Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism
(Princeton: Princeton University Press, 1980), 3–9.
[6]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Oxford
University Press, 1980), 12–25.
[7]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 73–95.
[8]
Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 6–9.
8.
Simpulan
Nominalisme
merupakan salah satu aliran filsafat yang paling berpengaruh dalam sejarah
pemikiran Barat, terutama dalam memperdebatkan status ontologis universal dan
kontribusinya terhadap pembentukan pendekatan empiris dan analitis dalam
filsafat modern. Dengan menolak eksistensi entitas abstrak yang independen dari
objek-objek partikular, nominalisme mengarahkan filsafat ke arah minimalisme
ontologis dan keberhati-hatian epistemologis.¹
Sejak masa
Roscellinus dan William of Ockham, nominalisme telah membentuk wacana kritis
terhadap realisme metafisik dan membuka jalan bagi cara berpikir yang
menekankan pengalaman konkret dan bahasa sebagai alat
representasi, bukan sebagai cermin dari realitas
transendental.² Kritik terhadap universalia menuntun pada
pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana manusia mengkategorikan, memahami,
dan menjelaskan dunia.
Meskipun demikian,
nominalisme juga menghadapi sejumlah tantangan serius. Kesulitan dalam
menjelaskan kesamaan, predikasi, dan dasar logis dari hukum-hukum ilmiah
menjadi titik lemah yang dimanfaatkan oleh para pendukung realisme dan
konseptualisme.³ Dalam bidang etika dan teologi, nominalisme dituduh melemahkan
dasar bagi nilai-nilai moral objektif dan membatasi cakrawala makna spiritual.⁴
Namun, justru dalam
kerangka kritik dan pengembangan inilah relevansi nominalisme tetap hidup dan
berkembang. Dalam dunia kontemporer yang sarat dengan
konstruksi sosial, teknologi informasi, dan kompleksitas bahasa, pendekatan
nominalistik menawarkan instrumen analitis yang tajam untuk membaca struktur
simbolik dan relasional dari pengetahuan.⁵ Di bidang filsafat sains, logika,
hingga ontologi data, nominalisme membantu membentuk paradigma yang lebih
fleksibel, operasional, dan terhindar dari beban metafisik yang tidak perlu.⁶
Dengan demikian,
nominalisme bukanlah sekadar warisan skolastik, tetapi merupakan posisi
filsafat yang terus berdialog dengan zaman. Kekuatan
nominalisme terletak pada kemampuannya untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar
tentang keberadaan dan bahasa, serta mendorong filsafat ke arah kritis,
ekonomis, dan empiris.
Footnotes
[1]
Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 2–5.
[2]
Paul Vincent Spade, Thought and Reality in the Late Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–51.
[3]
D.M. Armstrong, Universals: An Opinionated Introduction
(Boulder: Westview Press, 1989), 65–70.
[4]
Alvin Plantinga, Does God Have a Nature? (Milwaukee: Marquette
University Press, 1980), 25–28.
[5]
Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 6–9.
[6]
Hartry Field, Science Without Numbers: A Defence of Nominalism
(Princeton: Princeton University Press, 1980), 3–7.
Daftar Pustaka
Alston, W. P. (1967).
Realism and nominalism. In P. Edwards (Ed.), The encyclopedia of philosophy
(Vol. 7, pp. 35–40). Macmillan.
Aquinas, T. (1947). Summa
theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger
Bros.
Armstrong, D. M. (1983). What
is a law of nature? Cambridge University Press.
Armstrong, D. M. (1989). Universals:
An opinionated introduction. Westview Press.
Campbell, K. (1990). Abstract
particulars. Basil Blackwell.
Copleston, F. (1993). A
history of philosophy: Volume II, Medieval philosophy. Doubleday.
Davidson, D. (1984). Inquiries
into truth and interpretation. Oxford University Press.
Field, H. (1980). Science
without numbers: A defence of nominalism. Princeton University Press.
Fraassen, B. C. van.
(1980). The scientific image. Oxford University Press.
Goodman, N. (1977). The
structure of appearance (3rd ed.). Reidel Publishing.
Guarino, N., Oberle, D.,
& Staab, S. (2009). What is an ontology? In S. Staab & R. Studer
(Eds.), Handbook on ontologies (2nd ed., pp. 1–17). Springer.
Hacking, I. (1999). The
social construction of what? Harvard University Press.
Hume, D. (1978). A
treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.
Hume, D. (1999). An
enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford
University Press.
Kenny, A. (2005). Medieval
philosophy. Oxford University Press.
Loux, M. J. (2006). Metaphysics:
A contemporary introduction (3rd ed.). Routledge.
Plantinga, A. (1980). Does
God have a nature? Marquette University Press.
Quine, W. V. O. (1953). On
what there is. In From a logical point of view (pp. 1–19). Harvard
University Press.
Quine, W. V. O. (1953). Two
dogmas of empiricism. In From a logical point of view (pp. 20–46).
Harvard University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency,
irony, and solidarity. Cambridge University Press.
Saussure, F. de. (1966). Course
in general linguistics (W. Baskin, Trans.). McGraw-Hill.
Smith, B., & Ceusters,
W. (2010). Ontology as the core discipline of biomedical informatics: Legacies
of Aristotle, Kant, and Husserl. Theoretical Medicine and Bioethics, 31(6),
455–477. https://doi.org/10.1007/s11017-010-9152-5
Spade, P. V. (1994). Thought
and reality in the late Middle Ages. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar