Kamis, 28 November 2024

Bioetika: Fondasi Filosofis, Dilema Moral, dan Aplikasinya dalam Kehidupan Modern

Bioetika

Fondasi Filosofis, Dilema Moral, dan Aplikasinya dalam Kehidupan Modern


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif bioetika sebagai cabang filsafat terapan yang berkembang dalam merespons kemajuan ilmu biomedis dan tantangan moral kontemporer. Diawali dengan pengantar mengenai urgensi bioetika di era teknologi modern, artikel ini menguraikan pengertian, sejarah perkembangan, serta fondasi filosofis bioetika yang berakar pada teori etika normatif seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan. Melalui pendekatan prinsip-prinsip dasar—otonomi, beneficence, non-malefisensi, dan keadilan—bioetika menyediakan kerangka reflektif untuk menilai isu-isu seperti eutanasia, aborsi, rekayasa genetik, kecerdasan buatan dalam layanan medis, dan distribusi vaksin. Pembahasan juga mencakup perspektif bioetika lintas budaya termasuk Islam, Konfusianisme, dan Ubuntu, serta peran bioetika dalam kebijakan publik dan hukum. Artikel ini menyoroti tantangan masa depan bioetika, mulai dari krisis moral akibat teknologi baru, ketimpangan akses kesehatan global, hingga kebutuhan pengembangan paradigma bioetika global yang inklusif dan transformatif. Disimpulkan bahwa bioetika harus terus berkembang sebagai panduan moral yang kontekstual dan adaptif dalam menjaga martabat manusia dan keadilan sosial di tengah perubahan zaman.

Kata Kunci: Bioetika, filsafat terapan, etika medis, keadilan distributif, teknologi biomedis, kebijakan kesehatan, pluralisme moral, prinsip etika, AI dalam kesehatan, rekayasa genetik.


PEMBAHASAN

Kajian Bioetika Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Kemajuan pesat dalam bidang biomedis, genetika, dan teknologi kesehatan sepanjang abad ke-20 hingga kini telah menghadirkan tantangan etis yang belum pernah dihadapi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Intervensi terhadap kehidupan biologis manusia—mulai dari manipulasi genetik, transplantasi organ, hingga teknologi reproduksi berbantu—menuntut suatu disiplin reflektif yang mampu memberikan landasan moral dan filosofis atas berbagai keputusan yang menyangkut kehidupan dan kematian. Di sinilah bioetika muncul sebagai cabang filsafat terapan yang memiliki posisi strategis dalam menjawab dilema-dilema kontemporer yang melibatkan nilai-nilai kemanusiaan.

Secara terminologis, bioetika berasal dari dua kata: bios (kehidupan) dan ethos (etika atau moral). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Fritz Jahr pada tahun 1927 dalam artikelnya “Bio-Ethik: Eine Umschau über die ethischen Beziehungen des Menschen zu Tier und Pflanze,” yang mengemukakan perlunya prinsip etis dalam hubungan antara manusia, hewan, dan tumbuhan. Namun, konsep modern dari bioetika dikembangkan lebih lanjut oleh Van Rensselaer Potter dalam bukunya Bioethics: Bridge to the Future (1971), yang mendefinisikannya sebagai "jembatan antara ilmu kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan."¹

Sebagai cabang filsafat, bioetika tidak hanya bersifat normatif dalam menjawab apakah suatu tindakan medis atau biologis itu “baik” atau “buruk”, tetapi juga reflektif terhadap struktur moral yang mendasarinya. Bioetika mengandalkan pendekatan multidisipliner dengan melibatkan filsafat, kedokteran, hukum, sosiologi, dan bahkan teologi untuk memahami permasalahan secara holistik.² Dengan demikian, bioetika tidak dapat direduksi menjadi sekadar alat bantu keputusan medis, melainkan menjadi medan kontestasi pemikiran filosofis tentang apa artinya menjadi manusia di tengah kemajuan teknologi yang mengancam otonomi, martabat, dan hak asasi manusia.

Urgensi pengembangan bioetika semakin meningkat seiring dengan munculnya fenomena global seperti krisis pandemi, bioteknologi rekayasa genetik (CRISPR), kecerdasan buatan dalam layanan kesehatan, serta debat seputar eutanasia dan hak untuk mati. Kompleksitas masalah-masalah ini tidak cukup dijawab dengan argumen ilmiah semata, tetapi membutuhkan penalaran etis dan kerangka moral yang kuat.³ Di tengah pluralitas nilai dalam masyarakat global, bioetika menjadi arena untuk membangun dialog etis yang inklusif dan tangguh, dengan tetap mempertahankan penghormatan terhadap hak individu dan kepentingan kolektif.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam aspek-aspek fundamental dari bioetika sebagai cabang filsafat terapan. Fokus utama akan diarahkan pada landasan filosofisnya, prinsip-prinsip dasar yang mendasari argumentasi etis, serta berbagai isu dan dilema moral kontemporer yang menjadi perhatian utama diskursus bioetika. Pembahasan ini juga akan menyinggung bagaimana bioetika berinteraksi dengan kebijakan publik dan praktik medis, serta prospeknya dalam menjawab tantangan moral di era digital dan bioteknologi.


Footnotes

[1]                Van Rensselaer Potter, Bioethics: Bridge to the Future (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1971), 2.

[2]                Warren T. Reich, ed., Encyclopedia of Bioethics (New York: Macmillan, 1995), xviii–xix.

[3]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 3–5.


2.           Pengertian dan Sejarah Perkembangan Bioetika

2.1.       Pengertian Bioetika dalam Perspektif Filosofis

Secara umum, bioetika dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari dimensi moral dari ilmu dan praktik yang berkaitan dengan kehidupan biologis, terutama dalam konteks medis, bioteknologi, dan lingkungan hidup. Bioetika merupakan bidang interdisipliner yang menelaah nilai-nilai etis yang muncul dari interaksi antara manusia dengan kehidupan dalam semua bentuknya, termasuk teknologi yang mempengaruhi kehidupan tersebut.¹

Dalam literatur akademik, definisi ini beragam tergantung pada fokus pendekatannya. Beauchamp dan Childress, dua tokoh sentral dalam diskursus bioetika modern, mendefinisikan bioetika sebagai a systematic study of the moral dimensions—including moral vision, decisions, conduct, and policies—of the life sciences and healthcare, employing a variety of ethical methodologies in an interdisciplinary context.² Artinya, bioetika tidak hanya membahas tindakan individual dalam praktik medis, tetapi juga mempertimbangkan kebijakan kesehatan, norma sosial, dan konsekuensi moral dalam konteks yang lebih luas.

2.2.       Sejarah Lahirnya Bioetika

Awal mula pemikiran bioetika dapat dilacak ke masa pasca-Perang Dunia II, khususnya pada Peradilan Nuremberg (1946–1947) yang mengadili kejahatan medis yang dilakukan oleh para dokter Nazi. Kasus ini melahirkan Kode Nuremberg, yang menjadi tonggak etika dalam penelitian manusia, menekankan pentingnya persetujuan sukarela dan perlindungan terhadap subjek manusia.³

Perkembangan selanjutnya terjadi pada era 1960-an dan 1970-an, ketika kemajuan teknologi medis seperti transplantasi organ, dialisis, dan reproduksi berbantu menimbulkan pertanyaan baru yang tidak dapat dijawab oleh etika kedokteran tradisional. Situasi ini memunculkan kebutuhan akan pendekatan etis yang lebih komprehensif dan sistematis, yang kemudian dikenal dengan istilah bioethics. Konsep modern bioetika pertama kali dipopulerkan oleh Van Rensselaer Potter dalam karyanya Bioethics: Bridge to the Future (1971), di mana ia menyatukan antara ilmu biologi dengan nilai-nilai moral sebagai fondasi penyelamatan umat manusia di masa depan.⁴

Sementara itu, pengembangan institusional bioetika terjadi di Kennedy Institute of Ethics (Georgetown University, AS), yang didirikan pada tahun 1971 dan menjadi pusat kajian bioetika terkemuka di dunia. Di sinilah pendekatan bioetika empat prinsip yang dikembangkan oleh Beauchamp dan Childress mulai diperkenalkan dan menjadi landasan normatif dalam praktik medis global.⁵

2.3.       Peran Filsafat, Kedokteran, dan Ilmu Sosial

Perkembangan bioetika tidak dapat dilepaskan dari kontribusi berbagai bidang ilmu. Dari sisi filsafat, bioetika meminjam teori-teori etika normatif seperti deontologi (Immanuel Kant), utilitarianisme (John Stuart Mill), dan etika kebajikan (Aristoteles). Dari sisi kedokteran, bioetika mengkaji bagaimana intervensi medis berdampak terhadap kehidupan pasien, serta tanggung jawab moral tenaga kesehatan. Sementara ilmu sosial dan hukum menyumbang dalam analisis kontekstual dan struktur institusional yang mempengaruhi pengambilan keputusan bioetik.⁶

Dengan mengintegrasikan pendekatan lintas-disiplin, bioetika menjadi alat reflektif dan normatif dalam menjawab tantangan moral masa kini. Hal ini menjadikannya sebagai bidang filsafat terapan yang paling dinamis dan relevan di tengah revolusi bioteknologi dan tantangan global abad ke-21.


Footnotes

[1]                Warren T. Reich, ed., Encyclopedia of Bioethics (New York: Macmillan, 1995), xxi.

[2]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 1.

[3]                George J. Annas and Michael A. Grodin, The Nazi Doctors and the Nuremberg Code: Human Rights in Human Experimentation (New York: Oxford University Press, 1992), 7–12.

[4]                Van Rensselaer Potter, Bioethics: Bridge to the Future (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1971), 2–4.

[5]                Albert R. Jonsen, The Birth of Bioethics (New York: Oxford University Press, 1998), 108–112.

[6]                Henk A.M.J. ten Have and Bert Gordijn, eds., Handbook of Global Bioethics (Dordrecht: Springer, 2014), 3–8.


3.           Landasan Filosofis dalam Bioetika

3.1.       Peran Etika Normatif dalam Bioetika

Bioetika sebagai cabang filsafat terapan berakar kuat pada tradisi etika normatif, yaitu kajian filosofis tentang prinsip-prinsip moral yang membimbing tindakan manusia. Dalam konteks bioetika, pendekatan normatif diperlukan untuk menjawab pertanyaan etis seperti: Apakah boleh menghentikan perawatan medis?, Apakah sah memberikan bantuan mati kepada pasien yang menderita?, atau Siapa yang berhak menerima transplantasi organ ketika sumbernya terbatas? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak cukup dijawab dengan data empiris saja, tetapi memerlukan refleksi filosofis tentang nilai, kewajiban, dan kebaikan.

Etika normatif dalam bioetika biasanya berpijak pada tiga pendekatan besar: deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan. Ketiganya memberikan lensa filosofis yang berbeda dalam menilai suatu tindakan moral.

3.2.       Deontologi: Kewajiban dan Prinsip Moral

Deontologi, yang diasosiasikan kuat dengan pemikiran Immanuel Kant, menekankan pentingnya kewajiban moral dan prinsip universal dalam tindakan manusia. Dalam kerangka ini, tindakan dianggap benar bukan karena hasilnya, tetapi karena tindakan tersebut memenuhi prinsip moral yang dapat digeneralisasi secara universal, seperti prinsip tidak memperalat manusia semata-mata sebagai sarana

Dalam praktik bioetika, pendekatan deontologis menolak tindakan yang melanggar hak dan martabat manusia, meskipun dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar. Contohnya, eksperimen medis tanpa persetujuan pasien tetap dianggap tidak bermoral, sekalipun dapat menghasilkan penemuan ilmiah yang berguna. Pendekatan ini banyak digunakan dalam dokumen-dokumen etik medis modern, seperti Deklarasi Helsinki.

3.3.       Utilitarianisme: Konsekuensialisme dan Kebaikan Kolektif

Sebaliknya, utilitarianisme—yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill—berpandangan bahwa tindakan etis adalah tindakan yang menghasilkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Pendekatan ini sangat berpengaruh dalam kebijakan publik dan pengambilan keputusan dalam situasi krisis, seperti distribusi ventilator saat pandemi atau prioritas vaksinasi.²

Dalam bioetika, utilitarianisme memungkinkan penilaian berdasarkan konsekuensi dari tindakan medis atau kebijakan kesehatan. Namun, pendekatan ini juga dikritik karena berisiko mengorbankan hak individu demi kepentingan mayoritas. Oleh karena itu, diperlukan batasan moral yang melindungi hak asasi manusia agar tidak dikompromikan oleh logika manfaat.

3.4.       Etika Kebajikan: Karakter dan Tujuan Hidup Baik

Pendekatan ketiga adalah etika kebajikan (virtue ethics) yang berakar pada pemikiran Aristoteles. Dalam pendekatan ini, penilaian moral tidak semata-mata didasarkan pada aturan atau konsekuensi, melainkan pada karakter dan kebiasaan baik yang membentuk pribadi moral.³

Dalam konteks bioetika, etika kebajikan mengarahkan perhatian pada pembentukan pribadi profesional medis yang memiliki compassion, integritas, dan kebijaksanaan praktis (phronesis). Etika ini menekankan bahwa keputusan etis dalam dunia medis harus memperhatikan konteks, relasi, dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam, bukan sekadar mengikuti prosedur atau menghitung manfaat.

3.5.       Ketegangan antara Prinsip dan Realitas Klinik

Dalam praktiknya, landasan filosofis bioetika sering dihadapkan pada ketegangan antara teori moral dan kompleksitas kasus nyata. Misalnya, seorang pasien yang menolak pengobatan karena alasan keagamaan menantang prinsip beneficence, padahal otonomi pasien harus dihormati.⁴ Di sinilah muncul pendekatan pluralistik yang mencoba menggabungkan prinsip-prinsip dasar dari berbagai teori etika untuk membentuk kerangka kerja yang fleksibel dan aplikatif, seperti yang dilakukan oleh Beauchamp dan Childress dalam Four Principles Approach—otonomi, kebaikan, non-malefisensi, dan keadilan.

Dengan demikian, landasan filosofis bioetika bukan hanya berupa teori-teori moral yang abstrak, tetapi menjadi fondasi normatif untuk membimbing praktik medis, kebijakan kesehatan, dan tanggung jawab moral dalam dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–41.

[2]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 9–14.

[3]                Rosalind Hursthouse, “Virtue Theory and Abortion,” Philosophy and Public Affairs 20, no. 3 (1991): 223–246.

[4]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 14–22.


4.           Prinsip-Prinsip Dasar Bioetika

Salah satu kontribusi terbesar bioetika modern terhadap praktik kedokteran dan kebijakan kesehatan adalah perumusan prinsip-prinsip etika yang bersifat universal dan aplikatif. Model paling berpengaruh dalam diskursus ini adalah pendekatan empat prinsip yang dikembangkan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress dalam buku klasik mereka Principles of Biomedical Ethics.¹ Pendekatan ini menyederhanakan kompleksitas teori-teori etika ke dalam empat prinsip moral utama: otonomi, kebaikan (beneficence), non-malefisensi (do no harm), dan keadilan (justice). Keempat prinsip ini membentuk kerangka normatif yang dapat digunakan dalam berbagai konteks bioetik, baik dalam praktik klinis, riset biomedis, maupun kebijakan publik.

4.1.       Prinsip Otonomi (Autonomy)

Prinsip otonomi mengacu pada penghormatan terhadap hak individu untuk membuat keputusan atas hidupnya sendiri, termasuk keputusan medis. Dalam konteks medis, prinsip ini mengharuskan profesional kesehatan untuk menghormati informasi yang diinformasikan (informed consent), menjaga kerahasiaan pasien, serta tidak memaksakan intervensi medis tanpa persetujuan.²

Landasan filosofis prinsip ini dapat ditelusuri ke filsafat Immanuel Kant, yang menegaskan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan itu sendiri, bukan semata sebagai alat bagi tujuan orang lain.³ Dalam bioetika kontemporer, prinsip otonomi sering kali berhadapan dengan prinsip lain, terutama beneficence, ketika pasien menolak pengobatan yang dianggap menyelamatkan nyawa.

4.2.       Prinsip Kebaikan (Beneficence)

Prinsip beneficence menuntut tindakan yang bermaksud baik untuk kesejahteraan pasien, yaitu mengupayakan manfaat dan mencegah kerugian. Profesional medis berkewajiban menggunakan keahliannya untuk mendukung pemulihan dan kualitas hidup pasien.⁴

Namun, prinsip ini juga memiliki dimensi paternalistik jika diterapkan tanpa memperhatikan otonomi pasien. Misalnya, dokter mungkin merasa wajib memberikan terapi tertentu, tetapi pasien memiliki hak untuk menolaknya berdasarkan nilai-nilai pribadi atau keyakinan agama. Oleh karena itu, dalam praktik, prinsip beneficence harus diimbangi dengan prinsip otonomi untuk menghindari dominasi sepihak.

4.3.       Prinsip Non-Malefisensi (Non-Maleficence)

Sering disingkat sebagai prinsip “do no harm,” non-malefisensi menekankan kewajiban moral untuk tidak menyebabkan kerugian secara sengaja kepada pasien. Prinsip ini merupakan refleksi dari sumpah Hippokrates kuno, primum non nocere.⁵

Dalam praktik klinis, prinsip ini menjadi pedoman dalam mengevaluasi risiko dari suatu intervensi medis. Misalnya, jika suatu prosedur memiliki kemungkinan besar menimbulkan komplikasi yang membahayakan tanpa manfaat yang setara, maka tindakan tersebut dapat dianggap melanggar prinsip ini. Prinsip non-malefisensi juga penting dalam konteks riset medis, khususnya terkait uji coba terhadap manusia.

4.4.       Prinsip Keadilan (Justice)

Prinsip keadilan berkaitan dengan distribusi sumber daya medis secara adil dan merata. Dalam konteks ini, keadilan tidak hanya menyangkut perlakuan yang setara, tetapi juga keseimbangan dalam alokasi, akses terhadap layanan kesehatan, dan prioritas pasien dalam situasi keterbatasan.⁶

Konsep keadilan dalam bioetika sering kali dihubungkan dengan teori keadilan distributif yang dikembangkan oleh filsuf John Rawls, yang menekankan pentingnya perlindungan terhadap kelompok paling rentan. Dalam praktiknya, prinsip ini menjadi dasar pertimbangan dalam kebijakan seperti sistem asuransi kesehatan, akses terhadap transplantasi organ, atau prioritas vaksinasi selama pandemi.

4.5.       Tinjauan Kritis terhadap Model Empat Prinsip

Meskipun pendekatan empat prinsip Beauchamp dan Childress sangat berpengaruh, tidak sedikit kritik yang menyasar pada model ini. Salah satunya adalah klaim bahwa pendekatan ini terlalu mengandalkan prinsip-prinsip individualistik yang lahir dari nilai-nilai Barat dan kurang mempertimbangkan konteks budaya lain yang lebih komunal atau relasional.⁷

Selain itu, pendekatan ini dikritik karena tidak menyediakan hierarki di antara prinsip-prinsip tersebut, sehingga dalam situasi konflik, sulit untuk menentukan mana prinsip yang harus diutamakan. Untuk menjawab kelemahan ini, beberapa pendekatan alternatif diajukan, seperti narrative ethics, care ethics, dan pendekatan berbasis kebajikan, yang menekankan konteks, relasi, dan karakter moral sebagai pelengkap prinsip-prinsip normatif.


Footnotes

[1]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 13–17.

[2]                Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 81–84.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36.

[4]                Beauchamp and Childress, Principles of Biomedical Ethics, 203–210.

[5]                Raanan Gillon, “Ethics Needs Principles—Four Can Encompass the Rest—and Respect for Autonomy Should Be ‘First Among Equals’,” Journal of Medical Ethics 29, no. 5 (2003): 307–312.

[6]                Norman Daniels, Just Health: Meeting Health Needs Fairly (New York: Cambridge University Press, 2008), 15–22.

[7]                Henk A.M.J. ten Have, Global Bioethics: An Introduction (New York: Routledge, 2016), 61–67.


5.           Isu-Isu Kunci dalam Bioetika Kontemporer

Perkembangan pesat teknologi biomedis dan dinamika sosial global telah melahirkan sejumlah isu baru yang menantang batas-batas moral dan filosofis tradisional dalam praktik medis dan kebijakan kesehatan. Bioetika kontemporer tidak lagi hanya berkutat pada pertanyaan klasik seperti bolehkah aborsi dilakukan? atau kapan kehidupan berakhir?, melainkan juga merambah isu-isu seperti kecerdasan buatan dalam layanan medis, rekayasa genetik manusia, dan hak digital atas data kesehatan. Berikut ini adalah beberapa isu kunci yang menjadi pusat perdebatan dalam bioetika masa kini.

5.1.       Eutanasia dan Hak untuk Mati

Salah satu isu paling kontroversial dalam bioetika modern adalah eutanasia, atau praktik mengakhiri hidup seseorang secara sengaja untuk menghindari penderitaan yang berkepanjangan. Eutanasia menimbulkan perdebatan sengit antara prinsip otonomi pasien dengan prinsip non-malefisensi dan sacredness of life

Negara-negara seperti Belanda, Belgia, dan Kanada telah melegalkan bentuk tertentu dari eutanasia dan bantuan untuk bunuh diri (physician-assisted suicide), namun sebagian besar yurisdiksi lain tetap melarangnya.² Dari perspektif etis, pendekatan deontologis menolak eutanasia karena dianggap bertentangan dengan prinsip moral universal untuk tidak membunuh, sementara pendekatan utilitarian dapat mendukungnya jika menghasilkan pengurangan penderitaan total.³

5.2.       Aborsi dan Status Moral Janin

Isu aborsi menimbulkan dilema antara hak otonomi ibu dengan status moral dan hak hidup janin. Apakah janin memiliki status moral yang sama dengan manusia dewasa? Pada usia kehamilan berapa janin dianggap sebagai subjek moral?

Debat bioetika tentang aborsi sering kali melibatkan pendekatan filosofis dan teologis, dengan argumen yang mencakup potensi kehidupan, kesadaran, dan kapasitas merasakan sakit.⁴ Dalam beberapa pendekatan feminis dan care ethics, konteks sosial dan relasi ibu menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam menilai tindakan aborsi.⁵

5.3.       Donor Organ dan Rekayasa Genetika

Masalah donor organ melibatkan persoalan keadilan distribusi, persetujuan yang sah, dan kemungkinan komersialisasi tubuh manusia. Salah satu tantangan terbesar adalah kelangkaan organ dan sistem prioritas distribusi yang adil, terutama di negara berkembang.⁶

Sementara itu, kemajuan dalam bidang rekayasa genetik, terutama dengan teknologi CRISPR-Cas9, telah membuka kemungkinan untuk memodifikasi DNA manusia dengan presisi tinggi. Ini memunculkan pertanyaan moral serius: apakah boleh mengubah genom untuk tujuan peningkatan (enhancement) dan bukan terapi? Siapa yang berhak mengakses teknologi ini, dan apakah praktik ini akan memperlebar kesenjangan sosial?⁷

5.4.       Teknologi Reproduksi dan Bayi Tabung

Kemajuan teknologi reproduksi berbantu, seperti in vitro fertilization (IVF), surrogate motherhood, dan penyimpanan embrio, menimbulkan pertanyaan filosofis mengenai status moral embrio, hak orang tua, dan definisi keluarga.

Dalam konteks ini, pertanyaan bioetik yang muncul antara lain: apakah layak memproduksi lebih banyak embrio daripada yang akan diimplantasikan? Siapa yang memiliki hak terhadap embrio beku jika pasangan berpisah? Bagaimana jika bayi dikomodifikasi menjadi produk rekayasa?⁸ Pertanyaan-pertanyaan ini mengundang refleksi tentang batas intervensi teknologi terhadap fungsi biologis manusia dan martabat kehidupan baru.

5.5.       Kecerdasan Buatan dan Etika Kesehatan Digital

Kehadiran kecerdasan buatan (AI) dalam layanan medis, seperti diagnosis berbasis algoritma dan sistem pendukung keputusan klinis, menimbulkan persoalan baru dalam tanggung jawab moral dan otonomi klinis. Jika kesalahan diagnosis dilakukan oleh algoritma, siapa yang bertanggung jawab secara etik dan hukum?

Di sisi lain, isu privasi dan keamanan data kesehatan menjadi krusial dalam era digital. Hak atas data medis pribadi sebagai bentuk otonomi digital masih menjadi medan etis yang belum sepenuhnya diatur secara global.⁹ Hal ini memunculkan kebutuhan mendesak akan bioetika digital yang mampu merespons kompleksitas baru di era teknologi informasi.


Footnotes

[1]                Helga Kuhse and Peter Singer, eds., Bioethics: An Anthology, 3rd ed. (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2016), 617–623.

[2]                Timothy E. Quill and Margaret P. Battin, eds., Physician-Assisted Dying: The Case for Palliative Care and Patient Choice (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2004), 9–13.

[3]                James Rachels, “Active and Passive Euthanasia,” New England Journal of Medicine 292, no. 2 (1975): 78–80.

[4]                Bonnie Steinbock, Life Before Birth: The Moral and Legal Status of Embryos and Fetuses, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011), 5–29.

[5]                Rosalind Hursthouse, “Virtue Theory and Abortion,” Philosophy and Public Affairs 20, no. 3 (1991): 223–246.

[6]                Nancy Scheper-Hughes, “The Global Traffic in Human Organs,” Current Anthropology 41, no. 2 (2000): 191–224.

[7]                Julian Savulescu and Ingmar Persson, “Moral Enhancement, Freedom and the God Machine,” Monist 95, no. 3 (2012): 399–421.

[8]                Lori B. Andrews, The Clone Age: Adventures in the New World of Reproductive Technology (New York: Henry Holt, 1999), 112–130.

[9]                Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 689–707.


6.           Pendekatan dan Perspektif Bioetika Global

Seiring dengan globalisasi dan semakin kompleksnya interaksi sosial lintas budaya, muncul kebutuhan mendesak untuk mengembangkan bioetika yang bersifat global—yakni, suatu pendekatan etis yang mampu merangkul keragaman budaya, agama, dan sistem nilai dalam merespons tantangan moral di bidang kesehatan dan bioteknologi.¹ Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa prinsip-prinsip bioetika yang dominan, seperti model empat prinsip Beauchamp dan Childress, berasal dari tradisi filsafat moral Barat dan tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai kolektif masyarakat non-Barat.

6.1.       Bioetika Barat: Individualisme dan Rasionalitas Moral

Tradisi bioetika Barat—yang sangat dipengaruhi oleh liberalisme moral dan filsafat Kantian serta utilitarianisme—cenderung menekankan hak individu, rasionalitas otonom, dan netralitas nilai.² Pendekatan ini dianggap relevan di masyarakat pluralistik yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun kurang sensitif terhadap komunitas yang lebih menekankan pada hubungan sosial, nilai spiritual, dan norma adat.

Misalnya, dalam konteks Afrika, keputusan medis sering kali melibatkan keluarga besar atau komunitas, bukan hanya individu. Begitu juga dalam tradisi Asia Timur yang dipengaruhi oleh Konfusianisme, relasi antaranggota keluarga dan harmoni sosial lebih diutamakan ketimbang ekspresi otonomi personal.³

6.2.       Bioetika Islam: Prinsip Maqasid al-Shari‘ah dan Keseimbangan Moral

Dalam tradisi Islam, bioetika dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam (shari‘ah), terutama dalam kerangka maqasid al-shari‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam) yang mencakup perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.⁴ Bioetika Islam mengakui pentingnya maslahat umum (maslahah), prinsip kehati-hatian (ihtiyath), dan larangan menyakiti diri sendiri maupun orang lain (la darar wa la dirar).

Misalnya, dalam isu aborsi, bioetika Islam mempertimbangkan usia kehamilan dan alasan medis atau sosial secara kontekstual, dengan merujuk pada fatwa para ulama dan otoritas keagamaan. Pendekatan ini menunjukkan adanya etika partikularistik yang dikaitkan erat dengan teks-teks normatif, konsensus ulama, dan pertimbangan maslahat.⁵

6.3.       Bioetika Konfusianisme: Harmoni Sosial dan Filial Piety

Dalam tradisi Konfusianisme, yang dominan di Tiongkok, Korea, dan Jepang, prinsip etika bioetika dibentuk oleh gagasan tentang filial piety (xiao), harmoni (he), dan peran relasional antarindividu.⁶ Keputusan medis tidak dipandang sebagai urusan personal, tetapi sebagai bagian dari kewajiban moral terhadap keluarga dan masyarakat.

Dalam praktik klinis, pendekatan ini dapat dilihat dari bagaimana informasi tentang diagnosis serius seperti kanker sering kali disampaikan terlebih dahulu kepada anggota keluarga, bukan langsung kepada pasien.⁷ Bagi masyarakat yang berakar dalam etika relasional, prinsip otonomi individu tidak selalu menjadi prioritas utama sebagaimana dalam model Barat.

6.4.       Perspektif Bioetika Afrika: Ubuntu dan Etika Komunal

Bioetika Afrika banyak dipengaruhi oleh falsafah Ubuntu, yang menekankan hubungan sosial, kebersamaan, dan solidaritas sebagai basis moral. Prinsip ini dirangkum dalam ungkapan “I am because we are”, yang menunjukkan bahwa identitas dan nilai seseorang ditentukan oleh jalinan sosialnya.⁸

Etika ini menghasilkan pendekatan bioetika yang menekankan konsultasi kolektif, tanggung jawab sosial, dan keseimbangan komunitas, alih-alih menitikberatkan pada preferensi individu. Dalam konteks perawatan kesehatan, komunitas sering dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam situasi yang menyangkut penyakit menular, pengambilan organ, atau studi medis berbasis populasi.

6.5.       Kritik Postkolonial terhadap Bioetika Global

Sebagai respons terhadap dominasi wacana bioetika Barat, para sarjana postkolonial dan dari negara berkembang mengkritik pendekatan universalistik yang mengabaikan sejarah kolonialisme, ketimpangan ekonomi, dan dominasi epistemologis.⁹ Mereka menuntut pendekatan bioetika yang lebih inklusif, reflektif terhadap konteks lokal, dan berkeadilan secara struktural.

Salah satu upaya global yang menampung pluralisme ini adalah Universal Declaration on Bioethics and Human Rights yang disahkan oleh UNESCO pada tahun 2005. Deklarasi ini mengakui keberagaman budaya dan agama, sekaligus menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai dasar etika biomedis.¹⁰


Footnotes

[1]                Henk A.M.J. ten Have and Bert Gordijn, eds., Handbook of Global Bioethics (Dordrecht: Springer, 2014), 3–7.

[2]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 1–3.

[3]                Ruiping Fan, Reconstructing Bioethics: The Confucian Moral Tradition and Contemporary Biomedical Ethics (Dordrecht: Springer, 2010), 24–29.

[4]                Abdulaziz Sachedina, Islamic Biomedical Ethics: Principles and Application (Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–58.

[5]                Gamal Serour, “Islamic Perspectives in Bioethics,” in Bioethics around the Globe, ed. Catherine Myser (Oxford: Oxford University Press, 2011), 107–116.

[6]                Alastair V. Campbell, The Body in Bioethics (New York: Routledge, 2009), 78–81.

[7]                Jing-Bao Nie, Medical Ethics in China: A Transcultural Interpretation (London: Routledge, 2011), 142–145.

[8]                Thaddeus Metz, “African Values and Biomedical Ethics,” in Handbook of Global Bioethics, eds. Henk ten Have and Bert Gordijn (Dordrecht: Springer, 2014), 231–247.

[9]                Leigh E. Rich and Michael A. Ashby, “Where Are the Voices?,” Developing World Bioethics 18, no. 2 (2018): 114–122.

[10]             UNESCO, Universal Declaration on Bioethics and Human Rights, 2005, Article 12.


7.           Bioetika dalam Kebijakan Publik dan Hukum

Perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi hayati tidak hanya menimbulkan pertanyaan moral pada level individual atau profesional medis, tetapi juga menuntut perumusan kebijakan publik dan instrumen hukum yang mampu menjamin perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi, dan keadilan sosial. Dalam konteks ini, bioetika memainkan peran sentral dalam membentuk arah kebijakan kesehatan, regulasi riset biomedis, serta sistem perlindungan hukum terhadap individu dan masyarakat dalam menghadapi tantangan teknologi baru.¹

7.1.       Bioetika sebagai Dasar Normatif Kebijakan Publik

Bioetika memberikan kerangka etis normatif bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan regulasi yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga adil secara moral. Prinsip-prinsip seperti otonomi, keadilan distributif, non-malefisensi, dan kebaikan umum digunakan untuk menilai kebijakan dalam isu-isu seperti distribusi vaksin, akses terhadap layanan kesehatan, dan penggunaan teknologi genetik.

Contohnya dapat ditemukan dalam alokasi sumber daya medis selama pandemi COVID-19, di mana prinsip utilitarianisme dan keadilan rawlsian digunakan untuk menetapkan prioritas bagi kelompok rentan.² Di sinilah bioetika berperan menghindarkan kebijakan publik dari bias utilitarian yang ekstrem, dengan tetap menekankan perlindungan atas hak minoritas dan kelompok marjinal.

7.2.       Komite Etik dan Pengawasan Institusional

Untuk memastikan penerapan prinsip-prinsip etis dalam praktik biomedis dan riset kesehatan, berbagai negara membentuk Komite Etik atau Institutional Review Boards (IRB). Lembaga-lembaga ini bertugas meninjau, mengawasi, dan mengarahkan protokol penelitian agar tidak melanggar hak-hak subjek manusia, termasuk hak atas informed consent, kerahasiaan data, dan perlakuan yang adil.

Komite etik berfungsi sebagai penghubung antara praktik ilmiah dan norma-norma sosial, sekaligus sebagai pelindung terhadap eksploitasi manusia dalam eksperimen medis.³ Di banyak negara, keberadaan IRB merupakan syarat legal bagi pelaksanaan riset biomedis yang melibatkan manusia, sebagaimana ditetapkan oleh Deklarasi Helsinki (World Medical Association, 1964, dan revisi selanjutnya).⁴

7.3.       Bioetika dan Legislasi Nasional

Integrasi bioetika ke dalam kerangka hukum nasional bervariasi dari satu negara ke negara lain. Di banyak negara Eropa, seperti Prancis dan Jerman, terdapat bioethics law yang mengatur prosedur medis tertentu seperti euthanasia, fertilisasi in vitro, dan penelitian sel punca. Di Amerika Serikat, pendekatan lebih banyak berbasis yurisprudensi kasus dan kebijakan negara bagian.⁵

Indonesia, misalnya, telah mulai mengembangkan perangkat hukum terkait bioetika melalui UU Kesehatan, UU Perlindungan Data Pribadi, dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, meskipun masih terbatas dalam menjangkau isu-isu bioetik kontemporer seperti kecerdasan buatan dan hak genetik. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan kerangka hukum yang eksplisit dan progresif dalam bidang bioetika masih sangat mendesak di banyak negara berkembang.⁶

7.4.       Studi Kasus: Pandemi COVID-19 dan Dilema Etika Kebijakan

Pandemi global COVID-19 merupakan ujian besar bagi penerapan prinsip-prinsip bioetika dalam kebijakan publik. Pemerintah di seluruh dunia dihadapkan pada dilema antara pembatasan kebebasan individu (karantina, lockdown, vaksinasi wajib) dan perlindungan kesehatan publik. Situasi ini menyoroti ketegangan antara prinsip otonomi dengan prinsip non-malefisensi dan beneficence.

Selain itu, distribusi vaksin COVID-19 juga mengungkap ketidakadilan global dalam akses terhadap teknologi kesehatan, yang memunculkan kritik terhadap nasionalisme vaksin dan mendorong perdebatan mengenai keadilan distributif dalam skala global.⁷ Dalam konteks ini, bioetika mendorong pendekatan yang lebih inklusif, solidaritas global, dan keadilan kesehatan lintas negara.

7.5.       Tantangan dan Harapan

Keterlibatan bioetika dalam kebijakan publik dan hukum masih menghadapi tantangan struktural, antara lain minimnya representasi etis dalam proses legislasi, ketimpangan pengetahuan antara ilmuwan dan pembuat kebijakan, serta ketidakseimbangan kepentingan ekonomi dan moral. Untuk menjawab tantangan ini, perlu dibangun jembatan antara kalangan akademik, profesional kesehatan, legislator, dan masyarakat sipil melalui edukasi publik dan partisipasi etis dalam penyusunan kebijakan.⁸

Di masa depan, bioetika diharapkan tidak hanya menjadi instrumen kontrol moral, tetapi juga menjadi fondasi normatif yang dinamis bagi sistem hukum dan tata kelola kesehatan global yang inklusif, adil, dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Ruth Faden, Tom L. Beauchamp, and Nancy Kass, Informed Consent: Legal Theory and Clinical Practice, 2nd ed. (New York: Oxford University Press, 2011), 245–249.

[2]                Ezekiel J. Emanuel et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of Covid-19,” New England Journal of Medicine 382, no. 21 (2020): 2049–2055.

[3]                Robert J. Levine, Ethics and Regulation of Clinical Research, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 1986), 36–42.

[4]                World Medical Association, Declaration of Helsinki: Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects (2013 revision), https://www.wma.net/policies-post/wma-declaration-of-helsinki.

[5]                Sheila Jasanoff, ed., Reframing Rights: Bioconstitutionalism in the Genetic Age (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 17–23.

[6]                Konsil Kedokteran Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia, ed. 3 (Jakarta: IDI Press, 2012); Lihat juga UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.

[7]                Thomas Pogge, “Recognized and Violated by International Law: The Human Right to Health in Africa,” in Health and Human Rights, eds. John Harrington and Maria Stuttaford (London: Routledge, 2010), 130–138.

[8]                Henk A.M.J. ten Have, Global Bioethics: An Introduction (New York: Routledge, 2016), 149–156.


8.           Tantangan dan Prospek Masa Depan Bioetika

Seiring dengan akselerasi perkembangan bioteknologi, kecerdasan buatan, dan globalisasi sistem kesehatan, bioetika menghadapi tantangan baru yang jauh lebih kompleks dibandingkan dekade-dekade sebelumnya. Tantangan ini tidak hanya berasal dari aspek teknologis, tetapi juga dari dinamika sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang menuntut pembaruan paradigma bioetika agar tetap relevan dalam membimbing arah moral kemajuan manusia.

8.1.       Ekspansi Teknologi dan Krisis Moral Baru

Perkembangan pesat di bidang neuroteknologi, bioteknologi, dan kecerdasan buatan (AI) telah memperluas ranah bioetika ke area yang sebelumnya tidak terjangkau. Misalnya, penggunaan chip otak, modifikasi genetik pada embrio manusia, serta AI dalam pengambilan keputusan klinis menimbulkan persoalan baru mengenai agensi moral, tanggung jawab hukum, dan batasan intervensi terhadap kodrat manusia

Masalah ini diperparah dengan munculnya “etika algoritma” dan pengawasan data medis melalui teknologi digital, yang sering kali beroperasi tanpa kontrol etis yang memadai. Bioetika tradisional yang berakar pada relasi dokter-pasien kini dituntut untuk mampu menanggapi relasi manusia-teknologi yang kompleks dan tidak selalu bersifat personal.²

8.2.       Ketimpangan Global dan Akses Tidak Setara terhadap Teknologi Medis

Tantangan utama lain adalah ketimpangan akses terhadap inovasi medis antara negara maju dan negara berkembang. Banyak teknologi canggih seperti terapi gen, imunoterapi, atau pengobatan berbasis personal hanya tersedia bagi masyarakat kelas atas di negara maju, sedangkan populasi di negara miskin masih bergelut dengan kebutuhan dasar kesehatan.

Bioetika global dituntut untuk memperjuangkan keadilan distributif, mendorong solidaritas transnasional, dan membangun arsitektur kebijakan global yang etis dan berkelanjutan.³ Pandemi COVID-19 telah menjadi pelajaran nyata mengenai bagaimana kegagalan global dalam distribusi vaksin mencerminkan lemahnya penerapan prinsip keadilan dalam bioetika dunia.⁴

8.3.       Tantangan Interkultural dan Pluralisme Moral

Pluralisme nilai dalam masyarakat global menuntut bioetika untuk keluar dari narasi normatif tunggal yang berakar pada filsafat Barat. Banyak komunitas memiliki nilai moral dan sistem etika sendiri, yang sering kali berbenturan dengan model etika universalistik. Tantangan ke depan adalah merancang bioetika interkultural yang mengakomodasi keberagaman tanpa kehilangan standar moral minimum universal seperti penghormatan terhadap martabat manusia.⁵

Pendekatan dialogis dan partisipatif, yang melibatkan komunitas lokal, pemuka agama, serta lembaga budaya, menjadi kunci untuk membangun bioetika yang kontekstual namun tetap transformatif.⁶

8.4.       Pendidikan Bioetika dan Literasi Etika Publik

Rendahnya literasi bioetika di kalangan tenaga medis, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum menjadi hambatan besar dalam penerapan prinsip-prinsip etis secara luas. Bioetika masih kerap dipandang sebagai isu elit akademik, padahal seharusnya menjadi bagian dari pendidikan publik dan kesadaran kolektif.

Prospek masa depan bioetika sangat tergantung pada integrasi pendidikan etika dalam kurikulum formal (kedokteran, hukum, teknik, dan humaniora), serta pengarusutamaan bioetika dalam diskursus publik. Inisiatif seperti penyelenggaraan ethics committee di rumah sakit lokal, pelatihan ethics consultant, dan penyusunan pedoman etika nasional adalah contoh konkret yang perlu diperluas.⁷

8.5.       Menuju Bioetika Reflektif dan Adaptif

Agar tetap relevan, bioetika harus bertransformasi menjadi disiplin yang reflektif, adaptif, dan transdisipliner. Ia tidak boleh terjebak dalam pendekatan doktrinal dan legalistik semata, melainkan harus terbuka terhadap pendekatan narrative ethics, virtue ethics, dan care ethics, yang memberi ruang bagi konteks, pengalaman, dan relasi dalam pengambilan keputusan moral.⁸

Di tengah kemajuan teknologi yang begitu cepat, bioetika tidak cukup hanya menjadi pengawas moral, tetapi juga harus berperan sebagai navigator etis yang mampu menuntun peradaban menuju masa depan yang adil, manusiawi, dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Julian Savulescu and Nick Bostrom, eds., Human Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2009), 1–15.

[2]                Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 689–707.

[3]                Henk A.M.J. ten Have, Global Bioethics: An Introduction (New York: Routledge, 2016), 133–140.

[4]                Ezekiel J. Emanuel et al., “An Ethical Framework for Global Vaccine Allocation,” Science 369, no. 6509 (2020): 1309–1312.

[5]                Leigh E. Rich and Michael A. Ashby, “Where Are the Voices?,” Developing World Bioethics 18, no. 2 (2018): 114–122.

[6]                Catherine Myser, ed., Bioethics Around the Globe (Oxford: Oxford University Press, 2011), 215–225.

[7]                Ruth Chadwick and Udo Schüklenk, eds., The Bioethics Reader: Editors’ Choice (Oxford: Wiley-Blackwell, 2007), 287–293.

[8]                Martha Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 159–168.


9.           Kesimpulan

Dalam lanskap etika kontemporer, bioetika telah menjelma menjadi medan refleksi moral yang tak terhindarkan, terutama dalam menghadapi kompleksitas yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi biomedis, dinamika sosial, dan globalisasi nilai. Sebagai cabang filsafat terapan, bioetika tidak sekadar menawarkan norma-norma moral abstrak, tetapi menghadirkan kerangka normatif yang konkret dan fleksibel untuk membimbing keputusan etis dalam berbagai konteks—baik dalam praktik medis, penelitian ilmiah, maupun kebijakan publik.¹

Bioetika berakar pada landasan filosofis yang kuat, terutama dalam etika normatif seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan, yang masing-masing memberikan perspektif berbeda dalam memahami dilema moral. Pendekatan ini kemudian disederhanakan dan diformulasikan dalam empat prinsip utama: otonomi, beneficence, non-malefisensi, dan keadilan—sebuah model yang dikenal luas dan digunakan secara praktis dalam berbagai sistem pelayanan kesehatan.²

Namun, tantangan etis yang muncul dalam era kontemporer menuntut pengembangan paradigma bioetika yang lebih inklusif dan global. Isu-isu seperti euthanasia, aborsi, rekayasa genetik, teknologi reproduksi, serta AI dalam kesehatan telah menantang batas-batas moral tradisional dan memunculkan konflik antara hak individu, kepentingan kolektif, serta norma agama dan budaya.³ Dalam situasi ini, pendekatan bioetika global yang sensitif terhadap keragaman budaya dan keadilan sosial menjadi sangat penting.

Bioetika juga tidak dapat dilepaskan dari kebijakan publik dan hukum, karena pertimbangan moral harus diterjemahkan ke dalam kerangka regulatif yang mengikat. Keberadaan komite etik, pengaturan hukum biomedis, dan konvensi internasional seperti Declaration of Helsinki serta Universal Declaration on Bioethics and Human Rights dari UNESCO menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip bioetika telah menembus ruang kebijakan formal dan memberi arah bagi tata kelola yang etis dan manusiawi.⁴

Ke depan, bioetika dihadapkan pada tantangan berat: bagaimana mengimbangi kecepatan kemajuan teknologi dengan refleksi moral yang mendalam dan partisipatif, bagaimana menciptakan struktur etis yang responsif terhadap ketimpangan global, dan bagaimana menjembatani berbagai sistem nilai melalui pendekatan interkultural yang adil.⁵ Pendidikan bioetika dan literasi publik menjadi kunci bagi transformasi ini.

Akhirnya, masa depan bioetika bukanlah sekadar menjaga batas-batas moral yang ada, melainkan membayangkan ulang etos peradaban manusia yang menjunjung tinggi martabat, keadilan, dan tanggung jawab antargenerasi. Dalam dunia yang terus berubah, bioetika harus terus berkembang sebagai disiplin yang hidup—filsafat yang berpijak pada nilai, namun berjalan bersama realitas manusia.


Footnotes

[1]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 1–7.

[2]                Raanan Gillon, “Ethics Needs Principles—Four Can Encompass the Rest—and Respect for Autonomy Should Be ‘First Among Equals’,” Journal of Medical Ethics 29, no. 5 (2003): 307–312.

[3]                Helga Kuhse and Peter Singer, eds., Bioethics: An Anthology, 3rd ed. (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2016), 579–585.

[4]                UNESCO, Universal Declaration on Bioethics and Human Rights (Paris: UNESCO, 2005), Articles 1–4; World Medical Association, Declaration of Helsinki, 2013 revision.

[5]                Henk A.M.J. ten Have, Global Bioethics: An Introduction (New York: Routledge, 2016), 145–156.


Daftar Pustaka

Andrews, L. B. (1999). The clone age: Adventures in the new world of reproductive technology. Henry Holt.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles of biomedical ethics (8th ed.). Oxford University Press.

Campbell, A. V. (2009). The body in bioethics. Routledge.

Chadwick, R., & Schüklenk, U. (Eds.). (2007). The bioethics reader: Editors’ choice. Wiley-Blackwell.

Emanuel, E. J., Persad, G., Kern, A., Buchanan, A., Fabre, C., Halliday, D., Heath, J., Herzog, L., Leland, R. J., Luna, F., McCoy, M. S., Norheim, O. F., Ottersen, T., Schaefer, G. O., Tan, K. C., Wellman, C. H., & Richardson, H. S. (2020). An ethical framework for global vaccine allocation. Science, 369(6509), 1309–1312. https://doi.org/10.1126/science.abe2803

Emanuel, E. J., Persad, G., Upshur, R., Thome, B., Parker, M., Glickman, A., Zhang, C., Boyle, C., Smith, M., & Phillips, J. P. (2020). Fair allocation of scarce medical resources in the time of Covid-19. New England Journal of Medicine, 382(21), 2049–2055. https://doi.org/10.1056/NEJMsb2005114

Fan, R. (2010). Reconstructing bioethics: The Confucian moral tradition and contemporary biomedical ethics. Springer.

Faden, R., Beauchamp, T. L., & Kass, N. (2011). Informed consent: Legal theory and clinical practice (2nd ed.). Oxford University Press.

Floridi, L., Cowls, J., Beltrametti, M., Chatila, R., Chazerand, P., Dignum, V., ... & Vayena, E. (2018). AI4People—An ethical framework for a good AI society: Opportunities, risks, principles, and recommendations. Minds and Machines, 28(4), 689–707. https://doi.org/10.1007/s11023-018-9482-5

Gillon, R. (2003). Ethics needs principles—Four can encompass the rest—and respect for autonomy should be ‘first among equals’. Journal of Medical Ethics, 29(5), 307–312.

Have, H. A. M. J. ten. (2016). Global bioethics: An introduction. Routledge.

Have, H. A. M. J. ten, & Gordijn, B. (Eds.). (2014). Handbook of global bioethics. Springer.

Hursthouse, R. (1991). Virtue theory and abortion. Philosophy and Public Affairs, 20(3), 223–246.

Jasanoff, S. (Ed.). (2011). Reframing rights: Bioconstitutionalism in the genetic age. MIT Press.

Jing-Bao, N. (2011). Medical ethics in China: A transcultural interpretation. Routledge.

Jonsen, A. R. (1998). The birth of bioethics. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Kuhse, H., & Singer, P. (Eds.). (2016). Bioethics: An anthology (3rd ed.). Wiley-Blackwell.

Levine, R. J. (1986). Ethics and regulation of clinical research (2nd ed.). Yale University Press.

Metz, T. (2014). African values and biomedical ethics. In H. ten Have & B. Gordijn (Eds.), Handbook of global bioethics (pp. 231–247). Springer.

Myser, C. (Ed.). (2011). Bioethics around the globe. Oxford University Press.

Nussbaum, M. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1993). The virtues in medical practice. Oxford University Press.

Pogge, T. (2010). Recognized and violated by international law: The human right to health in Africa. In J. Harrington & M. Stuttaford (Eds.), Health and human rights (pp. 130–138). Routledge.

Potter, V. R. (1971). Bioethics: Bridge to the future. Prentice-Hall.

Quill, T. E., & Battin, M. P. (Eds.). (2004). Physician-assisted dying: The case for palliative care and patient choice. Johns Hopkins University Press.

Rachels, J. (1975). Active and passive euthanasia. New England Journal of Medicine, 292(2), 78–80.

Reich, W. T. (Ed.). (1995). Encyclopedia of bioethics. Macmillan.

Rich, L. E., & Ashby, M. A. (2018). Where are the voices? Developing World Bioethics, 18(2), 114–122. https://doi.org/10.1111/dewb.12147

Sachedina, A. (2009). Islamic biomedical ethics: Principles and application. Oxford University Press.

Savulescu, J., & Bostrom, N. (Eds.). (2009). Human enhancement. Oxford University Press.

Savulescu, J., & Persson, I. (2012). Moral enhancement, freedom and the God Machine. Monist, 95(3), 399–421.

Scheper-Hughes, N. (2000). The global traffic in human organs. Current Anthropology, 41(2), 191–224.

Steinbock, B. (2011). Life before birth: The moral and legal status of embryos and fetuses (2nd ed.). Oxford University Press.

UNESCO. (2005). Universal Declaration on Bioethics and Human Rights. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000146180

World Medical Association. (2013). WMA Declaration of Helsinki – Ethical principles for medical research involving human subjects. https://www.wma.net/policies-post/wma-declaration-of-helsinki/


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar