Bioetika
Fondasi Filosofis, Dilema Moral, dan Aplikasinya dalam
Kehidupan Modern
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif bioetika
sebagai cabang filsafat terapan yang berkembang dalam merespons kemajuan ilmu
biomedis dan tantangan moral kontemporer. Diawali dengan pengantar mengenai
urgensi bioetika di era teknologi modern, artikel ini menguraikan pengertian,
sejarah perkembangan, serta fondasi filosofis bioetika yang berakar pada teori
etika normatif seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan.
Melalui pendekatan prinsip-prinsip dasar—otonomi, beneficence, non-malefisensi,
dan keadilan—bioetika menyediakan kerangka reflektif untuk menilai isu-isu
seperti eutanasia, aborsi, rekayasa genetik, kecerdasan buatan dalam layanan
medis, dan distribusi vaksin. Pembahasan juga mencakup perspektif bioetika
lintas budaya termasuk Islam, Konfusianisme, dan Ubuntu, serta peran bioetika
dalam kebijakan publik dan hukum. Artikel ini menyoroti tantangan masa depan
bioetika, mulai dari krisis moral akibat teknologi baru, ketimpangan akses
kesehatan global, hingga kebutuhan pengembangan paradigma bioetika global yang
inklusif dan transformatif. Disimpulkan bahwa bioetika harus terus berkembang
sebagai panduan moral yang kontekstual dan adaptif dalam menjaga martabat
manusia dan keadilan sosial di tengah perubahan zaman.
Kata Kunci: Bioetika, filsafat terapan, etika medis, keadilan
distributif, teknologi biomedis, kebijakan kesehatan, pluralisme moral, prinsip
etika, AI dalam kesehatan, rekayasa genetik.
PEMBAHASAN
Kajian Bioetika Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Kemajuan pesat dalam
bidang biomedis, genetika, dan teknologi kesehatan sepanjang abad ke-20 hingga
kini telah menghadirkan tantangan etis yang belum pernah dihadapi sebelumnya
dalam sejarah umat manusia. Intervensi terhadap kehidupan biologis manusia—mulai
dari manipulasi genetik, transplantasi organ, hingga teknologi reproduksi
berbantu—menuntut suatu disiplin reflektif yang mampu memberikan landasan moral
dan filosofis atas berbagai keputusan yang menyangkut kehidupan dan kematian.
Di sinilah bioetika muncul sebagai cabang
filsafat terapan yang memiliki posisi strategis dalam menjawab dilema-dilema
kontemporer yang melibatkan nilai-nilai kemanusiaan.
Secara terminologis,
bioetika
berasal dari dua kata: bios (kehidupan) dan ethos
(etika atau moral). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Fritz
Jahr pada tahun 1927 dalam artikelnya “Bio-Ethik: Eine
Umschau über die ethischen Beziehungen des Menschen zu Tier und Pflanze,”
yang mengemukakan perlunya prinsip etis dalam hubungan antara manusia, hewan,
dan tumbuhan. Namun, konsep modern dari bioetika dikembangkan lebih lanjut oleh
Van
Rensselaer Potter dalam bukunya Bioethics: Bridge to the Future
(1971), yang mendefinisikannya sebagai "jembatan antara ilmu kehidupan dan
nilai-nilai kemanusiaan."¹
Sebagai cabang
filsafat, bioetika tidak hanya bersifat normatif dalam menjawab apakah suatu
tindakan medis atau biologis itu “baik” atau “buruk”, tetapi juga
reflektif terhadap struktur moral yang mendasarinya. Bioetika mengandalkan
pendekatan multidisipliner dengan melibatkan filsafat, kedokteran, hukum,
sosiologi, dan bahkan teologi untuk memahami permasalahan secara holistik.²
Dengan demikian, bioetika tidak dapat direduksi menjadi sekadar alat bantu
keputusan medis, melainkan menjadi medan kontestasi pemikiran filosofis tentang
apa artinya menjadi manusia di tengah kemajuan teknologi yang mengancam
otonomi, martabat, dan hak asasi manusia.
Urgensi pengembangan
bioetika semakin meningkat seiring dengan munculnya fenomena global seperti
krisis pandemi, bioteknologi rekayasa genetik (CRISPR), kecerdasan buatan dalam
layanan kesehatan, serta debat seputar eutanasia dan hak untuk mati.
Kompleksitas masalah-masalah ini tidak cukup dijawab dengan argumen ilmiah
semata, tetapi membutuhkan penalaran etis dan kerangka moral yang kuat.³ Di
tengah pluralitas nilai dalam masyarakat global, bioetika menjadi arena untuk
membangun dialog etis yang inklusif dan tangguh, dengan tetap mempertahankan
penghormatan terhadap hak individu dan kepentingan kolektif.
Oleh karena itu,
artikel ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam aspek-aspek fundamental
dari bioetika sebagai cabang filsafat terapan. Fokus utama akan diarahkan pada
landasan filosofisnya, prinsip-prinsip dasar yang mendasari argumentasi etis,
serta berbagai isu dan dilema moral kontemporer yang menjadi perhatian utama
diskursus bioetika. Pembahasan ini juga akan menyinggung bagaimana bioetika
berinteraksi dengan kebijakan publik dan praktik medis, serta prospeknya dalam
menjawab tantangan moral di era digital dan bioteknologi.
Footnotes
[1]
Van Rensselaer Potter, Bioethics: Bridge to the Future
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1971), 2.
[2]
Warren T. Reich, ed., Encyclopedia of Bioethics (New York:
Macmillan, 1995), xviii–xix.
[3]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 3–5.
2.
Pengertian
dan Sejarah Perkembangan Bioetika
2.1.
Pengertian Bioetika dalam Perspektif Filosofis
Secara umum, bioetika
dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari dimensi moral dari
ilmu dan praktik yang berkaitan dengan kehidupan biologis, terutama dalam
konteks medis, bioteknologi, dan lingkungan hidup. Bioetika merupakan bidang
interdisipliner yang menelaah nilai-nilai etis yang muncul dari interaksi
antara manusia dengan kehidupan dalam semua bentuknya, termasuk teknologi yang
mempengaruhi kehidupan tersebut.¹
Dalam literatur
akademik, definisi ini beragam tergantung pada fokus pendekatannya. Beauchamp
dan Childress, dua tokoh sentral dalam diskursus bioetika modern,
mendefinisikan bioetika sebagai a systematic study of the moral
dimensions—including moral vision, decisions, conduct, and policies—of the life
sciences and healthcare, employing a variety of ethical methodologies in an
interdisciplinary context.² Artinya, bioetika tidak hanya membahas
tindakan individual dalam praktik medis, tetapi juga mempertimbangkan kebijakan
kesehatan, norma sosial, dan konsekuensi moral dalam konteks yang lebih luas.
2.2.
Sejarah Lahirnya Bioetika
Awal mula pemikiran
bioetika dapat dilacak ke masa pasca-Perang Dunia II, khususnya pada Peradilan
Nuremberg (1946–1947) yang mengadili kejahatan medis yang
dilakukan oleh para dokter Nazi. Kasus ini melahirkan Kode
Nuremberg, yang menjadi tonggak etika dalam penelitian manusia,
menekankan pentingnya persetujuan sukarela dan perlindungan terhadap subjek
manusia.³
Perkembangan
selanjutnya terjadi pada era 1960-an dan 1970-an, ketika kemajuan teknologi
medis seperti transplantasi organ, dialisis, dan reproduksi berbantu
menimbulkan pertanyaan baru yang tidak dapat dijawab oleh etika kedokteran
tradisional. Situasi ini memunculkan kebutuhan akan pendekatan etis yang lebih
komprehensif dan sistematis, yang kemudian dikenal dengan istilah bioethics.
Konsep modern bioetika pertama kali dipopulerkan oleh Van
Rensselaer Potter dalam karyanya Bioethics: Bridge to the Future
(1971), di mana ia menyatukan antara ilmu biologi dengan nilai-nilai moral
sebagai fondasi penyelamatan umat manusia di masa depan.⁴
Sementara itu,
pengembangan institusional bioetika terjadi di Kennedy Institute of Ethics
(Georgetown University, AS), yang didirikan pada tahun 1971 dan menjadi pusat
kajian bioetika terkemuka di dunia. Di sinilah pendekatan bioetika empat prinsip
yang dikembangkan oleh Beauchamp dan Childress mulai diperkenalkan dan menjadi
landasan normatif dalam praktik medis global.⁵
2.3.
Peran Filsafat, Kedokteran, dan Ilmu Sosial
Perkembangan
bioetika tidak dapat dilepaskan dari kontribusi berbagai bidang ilmu. Dari sisi
filsafat,
bioetika meminjam teori-teori etika normatif seperti deontologi (Immanuel
Kant), utilitarianisme (John Stuart Mill), dan etika kebajikan (Aristoteles). Dari
sisi kedokteran,
bioetika mengkaji bagaimana intervensi medis berdampak terhadap kehidupan
pasien, serta tanggung jawab moral tenaga kesehatan. Sementara ilmu
sosial dan hukum menyumbang dalam analisis kontekstual dan
struktur institusional yang mempengaruhi pengambilan keputusan bioetik.⁶
Dengan
mengintegrasikan pendekatan lintas-disiplin, bioetika menjadi alat reflektif
dan normatif dalam menjawab tantangan moral masa kini. Hal ini menjadikannya
sebagai bidang filsafat terapan yang paling dinamis dan relevan di tengah
revolusi bioteknologi dan tantangan global abad ke-21.
Footnotes
[1]
Warren T. Reich, ed., Encyclopedia of Bioethics (New York:
Macmillan, 1995), xxi.
[2]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 1.
[3]
George J. Annas and Michael A. Grodin, The Nazi Doctors and the
Nuremberg Code: Human Rights in Human Experimentation (New York: Oxford
University Press, 1992), 7–12.
[4]
Van Rensselaer Potter, Bioethics: Bridge to the Future
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1971), 2–4.
[5]
Albert R. Jonsen, The Birth of Bioethics (New York: Oxford
University Press, 1998), 108–112.
[6]
Henk A.M.J. ten Have and Bert Gordijn, eds., Handbook of Global
Bioethics (Dordrecht: Springer, 2014), 3–8.
3.
Landasan
Filosofis dalam Bioetika
3.1.
Peran Etika Normatif dalam Bioetika
Bioetika sebagai
cabang filsafat terapan berakar kuat pada tradisi etika
normatif, yaitu kajian filosofis tentang prinsip-prinsip moral
yang membimbing tindakan manusia. Dalam konteks bioetika, pendekatan normatif
diperlukan untuk menjawab pertanyaan etis seperti: Apakah boleh menghentikan perawatan medis?,
Apakah
sah memberikan bantuan mati kepada pasien yang menderita?, atau Siapa
yang berhak menerima transplantasi organ ketika sumbernya terbatas?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak cukup dijawab dengan data empiris saja, tetapi
memerlukan refleksi filosofis tentang nilai, kewajiban, dan kebaikan.
Etika normatif dalam
bioetika biasanya berpijak pada tiga pendekatan besar: deontologi,
utilitarianisme,
dan etika
kebajikan. Ketiganya memberikan lensa filosofis yang berbeda
dalam menilai suatu tindakan moral.
3.2.
Deontologi: Kewajiban dan Prinsip Moral
Deontologi, yang
diasosiasikan kuat dengan pemikiran Immanuel Kant, menekankan
pentingnya kewajiban moral dan prinsip universal dalam tindakan manusia. Dalam
kerangka ini, tindakan dianggap benar bukan karena hasilnya, tetapi karena
tindakan tersebut memenuhi prinsip moral yang dapat digeneralisasi secara
universal, seperti prinsip tidak memperalat manusia semata-mata sebagai
sarana.¹
Dalam praktik
bioetika, pendekatan deontologis menolak tindakan yang melanggar hak dan
martabat manusia, meskipun dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar.
Contohnya, eksperimen medis tanpa persetujuan pasien tetap dianggap tidak
bermoral, sekalipun dapat menghasilkan penemuan ilmiah yang berguna. Pendekatan
ini banyak digunakan dalam dokumen-dokumen etik medis modern, seperti Deklarasi
Helsinki.
3.3.
Utilitarianisme: Konsekuensialisme dan Kebaikan
Kolektif
Sebaliknya, utilitarianisme—yang
dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill—berpandangan bahwa tindakan etis adalah tindakan
yang menghasilkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Pendekatan ini sangat berpengaruh dalam kebijakan publik dan pengambilan
keputusan dalam situasi krisis, seperti distribusi ventilator saat pandemi atau
prioritas vaksinasi.²
Dalam bioetika,
utilitarianisme memungkinkan penilaian berdasarkan konsekuensi
dari tindakan medis atau kebijakan kesehatan. Namun, pendekatan ini juga
dikritik karena berisiko mengorbankan hak individu demi kepentingan mayoritas.
Oleh karena itu, diperlukan batasan moral yang melindungi hak asasi manusia
agar tidak dikompromikan oleh logika manfaat.
3.4.
Etika Kebajikan: Karakter dan Tujuan Hidup Baik
Pendekatan ketiga
adalah etika
kebajikan (virtue ethics) yang berakar pada
pemikiran Aristoteles. Dalam pendekatan
ini, penilaian moral tidak semata-mata didasarkan pada aturan atau konsekuensi,
melainkan pada karakter dan kebiasaan baik yang membentuk pribadi moral.³
Dalam konteks
bioetika, etika kebajikan mengarahkan perhatian pada pembentukan pribadi
profesional medis yang memiliki compassion, integritas, dan
kebijaksanaan praktis (phronesis). Etika ini menekankan
bahwa keputusan etis dalam dunia medis harus memperhatikan konteks, relasi, dan
nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam, bukan sekadar mengikuti prosedur atau
menghitung manfaat.
3.5.
Ketegangan antara Prinsip dan Realitas Klinik
Dalam praktiknya,
landasan filosofis bioetika sering dihadapkan pada ketegangan
antara teori moral dan kompleksitas kasus nyata. Misalnya, seorang pasien yang
menolak pengobatan karena alasan keagamaan menantang prinsip beneficence,
padahal otonomi pasien harus dihormati.⁴ Di sinilah muncul pendekatan
pluralistik yang mencoba menggabungkan prinsip-prinsip dasar
dari berbagai teori etika untuk membentuk kerangka kerja yang fleksibel dan
aplikatif, seperti yang dilakukan oleh Beauchamp dan Childress dalam Four
Principles Approach—otonomi, kebaikan, non-malefisensi, dan
keadilan.
Dengan demikian,
landasan filosofis bioetika bukan hanya berupa teori-teori moral yang abstrak,
tetapi menjadi fondasi normatif untuk membimbing praktik medis, kebijakan
kesehatan, dan tanggung jawab moral dalam dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–41.
[2]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 9–14.
[3]
Rosalind Hursthouse, “Virtue Theory and Abortion,” Philosophy and
Public Affairs 20, no. 3 (1991): 223–246.
[4]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 14–22.
4.
Prinsip-Prinsip
Dasar Bioetika
Salah satu
kontribusi terbesar bioetika modern terhadap praktik kedokteran dan kebijakan
kesehatan adalah perumusan prinsip-prinsip etika yang bersifat universal dan
aplikatif. Model paling berpengaruh dalam diskursus ini adalah pendekatan empat
prinsip yang dikembangkan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress
dalam buku klasik mereka Principles of Biomedical Ethics.¹
Pendekatan ini menyederhanakan kompleksitas teori-teori etika ke dalam empat
prinsip moral utama: otonomi, kebaikan
(beneficence), non-malefisensi (do no harm),
dan keadilan
(justice). Keempat prinsip ini membentuk kerangka normatif yang
dapat digunakan dalam berbagai konteks bioetik, baik dalam praktik klinis,
riset biomedis, maupun kebijakan publik.
4.1.
Prinsip Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi
mengacu pada penghormatan terhadap hak individu untuk membuat keputusan atas
hidupnya sendiri, termasuk keputusan medis. Dalam konteks medis, prinsip ini
mengharuskan profesional kesehatan untuk menghormati informasi
yang diinformasikan (informed consent), menjaga
kerahasiaan pasien, serta tidak memaksakan intervensi medis tanpa persetujuan.²
Landasan filosofis
prinsip ini dapat ditelusuri ke filsafat Immanuel Kant, yang menegaskan bahwa
manusia harus diperlakukan sebagai tujuan itu sendiri, bukan semata sebagai
alat bagi tujuan orang lain.³ Dalam bioetika kontemporer, prinsip otonomi
sering kali berhadapan dengan prinsip lain, terutama beneficence, ketika pasien
menolak pengobatan yang dianggap menyelamatkan nyawa.
4.2.
Prinsip Kebaikan (Beneficence)
Prinsip beneficence
menuntut tindakan yang bermaksud baik untuk
kesejahteraan pasien, yaitu mengupayakan manfaat dan mencegah kerugian.
Profesional medis berkewajiban menggunakan keahliannya untuk mendukung
pemulihan dan kualitas hidup pasien.⁴
Namun, prinsip ini
juga memiliki dimensi paternalistik jika diterapkan tanpa memperhatikan otonomi
pasien. Misalnya, dokter mungkin merasa wajib memberikan terapi tertentu,
tetapi pasien memiliki hak untuk menolaknya berdasarkan nilai-nilai pribadi
atau keyakinan agama. Oleh karena itu, dalam praktik, prinsip beneficence harus
diimbangi dengan prinsip otonomi untuk menghindari dominasi sepihak.
4.3.
Prinsip Non-Malefisensi (Non-Maleficence)
Sering disingkat
sebagai prinsip “do no harm,” non-malefisensi
menekankan kewajiban moral untuk tidak menyebabkan kerugian secara sengaja
kepada pasien. Prinsip ini merupakan refleksi dari sumpah Hippokrates kuno, primum
non nocere.⁵
Dalam praktik
klinis, prinsip ini menjadi pedoman dalam mengevaluasi risiko dari suatu
intervensi medis. Misalnya, jika suatu prosedur memiliki kemungkinan besar
menimbulkan komplikasi yang membahayakan tanpa manfaat yang setara, maka
tindakan tersebut dapat dianggap melanggar prinsip ini. Prinsip non-malefisensi
juga penting dalam konteks riset medis, khususnya terkait uji coba terhadap
manusia.
4.4.
Prinsip Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan
berkaitan dengan distribusi sumber daya medis secara adil dan merata. Dalam
konteks ini, keadilan tidak hanya menyangkut perlakuan yang setara, tetapi
juga keseimbangan
dalam alokasi, akses terhadap layanan kesehatan,
dan prioritas
pasien dalam situasi keterbatasan.⁶
Konsep keadilan
dalam bioetika sering kali dihubungkan dengan teori keadilan distributif yang
dikembangkan oleh filsuf John Rawls, yang menekankan
pentingnya perlindungan terhadap kelompok paling rentan. Dalam praktiknya,
prinsip ini menjadi dasar pertimbangan dalam kebijakan seperti sistem asuransi
kesehatan, akses terhadap transplantasi organ, atau prioritas vaksinasi selama
pandemi.
4.5.
Tinjauan Kritis terhadap Model Empat Prinsip
Meskipun pendekatan
empat prinsip Beauchamp dan Childress sangat berpengaruh, tidak sedikit kritik
yang menyasar pada model ini. Salah satunya adalah klaim bahwa pendekatan ini
terlalu mengandalkan prinsip-prinsip individualistik yang lahir dari
nilai-nilai Barat dan kurang mempertimbangkan konteks budaya lain yang lebih
komunal atau relasional.⁷
Selain itu,
pendekatan ini dikritik karena tidak menyediakan hierarki di antara
prinsip-prinsip tersebut, sehingga dalam situasi konflik, sulit untuk
menentukan mana prinsip yang harus diutamakan. Untuk menjawab kelemahan ini,
beberapa pendekatan alternatif diajukan, seperti narrative
ethics, care ethics, dan pendekatan
berbasis kebajikan, yang menekankan konteks, relasi, dan karakter moral sebagai
pelengkap prinsip-prinsip normatif.
Footnotes
[1]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 13–17.
[2]
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Virtues in Medical
Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 81–84.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36.
[4]
Beauchamp and Childress, Principles of Biomedical Ethics,
203–210.
[5]
Raanan Gillon, “Ethics Needs Principles—Four Can Encompass the Rest—and
Respect for Autonomy Should Be ‘First Among Equals’,” Journal of Medical
Ethics 29, no. 5 (2003): 307–312.
[6]
Norman Daniels, Just Health: Meeting Health Needs Fairly (New
York: Cambridge University Press, 2008), 15–22.
[7]
Henk A.M.J. ten Have, Global Bioethics: An Introduction (New
York: Routledge, 2016), 61–67.
5.
Isu-Isu
Kunci dalam Bioetika Kontemporer
Perkembangan pesat
teknologi biomedis dan dinamika sosial global telah melahirkan sejumlah isu
baru yang menantang batas-batas moral dan filosofis tradisional dalam praktik
medis dan kebijakan kesehatan. Bioetika kontemporer tidak lagi hanya berkutat
pada pertanyaan klasik seperti bolehkah aborsi dilakukan? atau kapan
kehidupan berakhir?, melainkan juga merambah isu-isu seperti
kecerdasan buatan dalam layanan medis, rekayasa genetik manusia, dan hak
digital atas data kesehatan. Berikut ini adalah beberapa isu kunci yang menjadi
pusat perdebatan dalam bioetika masa kini.
5.1.
Eutanasia dan Hak untuk Mati
Salah satu isu
paling kontroversial dalam bioetika modern adalah eutanasia,
atau praktik mengakhiri hidup seseorang secara sengaja untuk menghindari
penderitaan yang berkepanjangan. Eutanasia menimbulkan perdebatan sengit antara
prinsip otonomi pasien dengan prinsip non-malefisensi
dan sacredness
of life.¹
Negara-negara
seperti Belanda, Belgia, dan Kanada telah melegalkan bentuk tertentu dari
eutanasia dan bantuan untuk bunuh diri (physician-assisted suicide), namun sebagian
besar yurisdiksi lain tetap melarangnya.² Dari perspektif etis, pendekatan
deontologis menolak eutanasia karena dianggap bertentangan dengan prinsip moral
universal untuk tidak membunuh, sementara pendekatan utilitarian dapat
mendukungnya jika menghasilkan pengurangan penderitaan total.³
5.2.
Aborsi dan Status Moral Janin
Isu aborsi
menimbulkan dilema antara hak otonomi ibu dengan status moral dan hak hidup
janin. Apakah janin memiliki status moral yang sama dengan manusia dewasa? Pada
usia kehamilan berapa janin dianggap sebagai subjek moral?
Debat bioetika
tentang aborsi sering kali melibatkan pendekatan filosofis dan teologis, dengan
argumen yang mencakup potensi kehidupan, kesadaran, dan kapasitas merasakan
sakit.⁴ Dalam beberapa pendekatan feminis dan care ethics, konteks sosial dan
relasi ibu menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam menilai tindakan
aborsi.⁵
5.3.
Donor Organ dan Rekayasa Genetika
Masalah donor
organ melibatkan persoalan keadilan distribusi, persetujuan
yang sah, dan kemungkinan komersialisasi tubuh manusia. Salah satu tantangan
terbesar adalah kelangkaan organ dan sistem prioritas distribusi yang adil,
terutama di negara berkembang.⁶
Sementara itu,
kemajuan dalam bidang rekayasa genetik, terutama
dengan teknologi CRISPR-Cas9, telah membuka
kemungkinan untuk memodifikasi DNA manusia dengan presisi tinggi. Ini
memunculkan pertanyaan moral serius: apakah boleh mengubah genom untuk tujuan
peningkatan (enhancement) dan bukan terapi?
Siapa yang berhak mengakses teknologi ini, dan apakah praktik ini akan
memperlebar kesenjangan sosial?⁷
5.4.
Teknologi Reproduksi dan Bayi Tabung
Kemajuan teknologi
reproduksi berbantu, seperti in vitro fertilization (IVF),
surrogate motherhood, dan penyimpanan embrio, menimbulkan pertanyaan filosofis
mengenai status moral embrio, hak orang tua, dan definisi keluarga.
Dalam konteks ini,
pertanyaan bioetik yang muncul antara lain: apakah layak memproduksi lebih
banyak embrio daripada yang akan diimplantasikan? Siapa yang memiliki hak
terhadap embrio beku jika pasangan berpisah? Bagaimana jika bayi dikomodifikasi
menjadi produk rekayasa?⁸ Pertanyaan-pertanyaan ini mengundang refleksi tentang
batas intervensi teknologi terhadap fungsi biologis manusia dan martabat
kehidupan baru.
5.5.
Kecerdasan Buatan dan Etika Kesehatan Digital
Kehadiran kecerdasan
buatan (AI) dalam layanan medis, seperti diagnosis berbasis
algoritma dan sistem pendukung keputusan klinis, menimbulkan persoalan baru
dalam tanggung jawab moral dan otonomi klinis. Jika kesalahan diagnosis
dilakukan oleh algoritma, siapa yang bertanggung jawab secara etik dan hukum?
Di sisi lain, isu privasi
dan keamanan data kesehatan menjadi krusial dalam era digital.
Hak atas data medis pribadi sebagai bentuk otonomi digital masih menjadi medan
etis yang belum sepenuhnya diatur secara global.⁹ Hal ini memunculkan kebutuhan
mendesak akan bioetika digital yang mampu merespons kompleksitas baru di era
teknologi informasi.
Footnotes
[1]
Helga Kuhse and Peter Singer, eds., Bioethics: An Anthology,
3rd ed. (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2016), 617–623.
[2]
Timothy E. Quill and Margaret P. Battin, eds., Physician-Assisted
Dying: The Case for Palliative Care and Patient Choice (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2004), 9–13.
[3]
James Rachels, “Active and Passive Euthanasia,” New England Journal
of Medicine 292, no. 2 (1975): 78–80.
[4]
Bonnie Steinbock, Life Before Birth: The Moral and Legal Status of
Embryos and Fetuses, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2011),
5–29.
[5]
Rosalind Hursthouse, “Virtue Theory and Abortion,” Philosophy and
Public Affairs 20, no. 3 (1991): 223–246.
[6]
Nancy Scheper-Hughes, “The Global Traffic in Human Organs,” Current
Anthropology 41, no. 2 (2000): 191–224.
[7]
Julian Savulescu and Ingmar Persson, “Moral Enhancement, Freedom and
the God Machine,” Monist 95, no. 3 (2012): 399–421.
[8]
Lori B. Andrews, The Clone Age: Adventures in the New World of
Reproductive Technology (New York: Henry Holt, 1999), 112–130.
[9]
Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI
Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and
Machines 28, no. 4 (2018): 689–707.
6.
Pendekatan
dan Perspektif Bioetika Global
Seiring dengan
globalisasi dan semakin kompleksnya interaksi sosial lintas budaya, muncul
kebutuhan mendesak untuk mengembangkan bioetika yang bersifat global—yakni,
suatu pendekatan etis yang mampu merangkul keragaman budaya, agama, dan sistem
nilai dalam merespons tantangan moral di bidang kesehatan dan bioteknologi.¹
Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa prinsip-prinsip bioetika yang dominan,
seperti model empat prinsip Beauchamp dan Childress, berasal dari tradisi
filsafat moral Barat dan tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai kolektif
masyarakat non-Barat.
6.1.
Bioetika Barat: Individualisme dan Rasionalitas
Moral
Tradisi bioetika Barat—yang
sangat dipengaruhi oleh liberalisme moral dan filsafat Kantian serta
utilitarianisme—cenderung menekankan hak individu, rasionalitas otonom, dan
netralitas nilai.² Pendekatan ini dianggap relevan di
masyarakat pluralistik yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun kurang
sensitif terhadap komunitas yang lebih menekankan pada hubungan
sosial, nilai spiritual, dan norma adat.
Misalnya, dalam
konteks Afrika, keputusan medis sering kali melibatkan keluarga besar atau
komunitas, bukan hanya individu. Begitu juga dalam tradisi Asia Timur yang
dipengaruhi oleh Konfusianisme, relasi antaranggota keluarga dan harmoni sosial
lebih diutamakan ketimbang ekspresi otonomi personal.³
6.2.
Bioetika Islam: Prinsip Maqasid al-Shari‘ah dan
Keseimbangan Moral
Dalam tradisi Islam,
bioetika dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam (shari‘ah),
terutama dalam kerangka maqasid al-shari‘ah (tujuan-tujuan
hukum Islam) yang mencakup perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.⁴ Bioetika Islam mengakui pentingnya maslahat umum (maslahah),
prinsip kehati-hatian (ihtiyath), dan larangan menyakiti
diri sendiri maupun orang lain (la darar wa la dirar).
Misalnya, dalam isu aborsi,
bioetika Islam mempertimbangkan usia kehamilan dan alasan medis atau sosial
secara kontekstual, dengan merujuk pada fatwa para ulama dan otoritas
keagamaan. Pendekatan ini menunjukkan adanya etika partikularistik yang
dikaitkan erat dengan teks-teks normatif, konsensus ulama, dan pertimbangan
maslahat.⁵
6.3.
Bioetika Konfusianisme: Harmoni Sosial dan
Filial Piety
Dalam tradisi Konfusianisme,
yang dominan di Tiongkok, Korea, dan Jepang, prinsip etika bioetika dibentuk
oleh gagasan tentang filial piety (xiao), harmoni
(he), dan peran relasional antarindividu.⁶ Keputusan medis
tidak dipandang sebagai urusan personal, tetapi sebagai bagian dari kewajiban
moral terhadap keluarga dan masyarakat.
Dalam praktik
klinis, pendekatan ini dapat dilihat dari bagaimana informasi tentang diagnosis
serius seperti kanker sering kali disampaikan terlebih dahulu kepada anggota
keluarga, bukan langsung kepada pasien.⁷ Bagi masyarakat yang berakar dalam
etika relasional, prinsip otonomi individu tidak selalu menjadi prioritas utama
sebagaimana dalam model Barat.
6.4.
Perspektif Bioetika Afrika: Ubuntu dan Etika
Komunal
Bioetika Afrika
banyak dipengaruhi oleh falsafah Ubuntu, yang menekankan
hubungan sosial, kebersamaan, dan solidaritas sebagai basis moral. Prinsip ini
dirangkum dalam ungkapan “I am because we are”, yang
menunjukkan bahwa identitas dan nilai seseorang ditentukan oleh jalinan
sosialnya.⁸
Etika ini
menghasilkan pendekatan bioetika yang menekankan konsultasi
kolektif, tanggung jawab sosial, dan keseimbangan komunitas,
alih-alih menitikberatkan pada preferensi individu. Dalam konteks perawatan
kesehatan, komunitas sering dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,
terutama dalam situasi yang menyangkut penyakit menular, pengambilan organ,
atau studi medis berbasis populasi.
6.5.
Kritik Postkolonial terhadap Bioetika Global
Sebagai respons
terhadap dominasi wacana bioetika Barat, para sarjana postkolonial
dan dari negara berkembang mengkritik pendekatan universalistik yang
mengabaikan sejarah kolonialisme, ketimpangan ekonomi, dan
dominasi epistemologis.⁹ Mereka menuntut pendekatan bioetika
yang lebih inklusif, reflektif terhadap konteks lokal, dan berkeadilan secara
struktural.
Salah satu upaya
global yang menampung pluralisme ini adalah Universal Declaration on Bioethics and Human Rights
yang disahkan oleh UNESCO pada tahun 2005. Deklarasi ini mengakui keberagaman
budaya dan agama, sekaligus menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal
sebagai dasar etika biomedis.¹⁰
Footnotes
[1]
Henk A.M.J. ten Have and Bert Gordijn, eds., Handbook of Global
Bioethics (Dordrecht: Springer, 2014), 3–7.
[2]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 1–3.
[3]
Ruiping Fan, Reconstructing Bioethics: The Confucian Moral
Tradition and Contemporary Biomedical Ethics (Dordrecht: Springer, 2010),
24–29.
[4]
Abdulaziz Sachedina, Islamic Biomedical Ethics: Principles and
Application (Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–58.
[5]
Gamal Serour, “Islamic Perspectives in Bioethics,” in Bioethics around
the Globe, ed. Catherine Myser (Oxford: Oxford University Press, 2011),
107–116.
[6]
Alastair V. Campbell, The Body in Bioethics (New York:
Routledge, 2009), 78–81.
[7]
Jing-Bao Nie, Medical Ethics in China: A Transcultural
Interpretation (London: Routledge, 2011), 142–145.
[8]
Thaddeus Metz, “African Values and Biomedical Ethics,” in Handbook
of Global Bioethics, eds. Henk ten Have and Bert Gordijn (Dordrecht:
Springer, 2014), 231–247.
[9]
Leigh E. Rich and Michael A. Ashby, “Where Are the Voices?,” Developing
World Bioethics 18, no. 2 (2018): 114–122.
[10]
UNESCO, Universal Declaration on Bioethics and Human Rights,
2005, Article 12.
7.
Bioetika
dalam Kebijakan Publik dan Hukum
Perkembangan ilmu
kedokteran dan teknologi hayati tidak hanya menimbulkan pertanyaan moral pada
level individual atau profesional medis, tetapi juga menuntut perumusan
kebijakan publik dan instrumen hukum yang mampu menjamin
perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi, dan keadilan sosial.
Dalam konteks ini, bioetika memainkan peran sentral dalam membentuk arah
kebijakan kesehatan, regulasi riset biomedis, serta sistem perlindungan hukum
terhadap individu dan masyarakat dalam menghadapi tantangan teknologi baru.¹
7.1.
Bioetika sebagai Dasar Normatif Kebijakan
Publik
Bioetika memberikan kerangka
etis normatif bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan regulasi
yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga adil secara moral.
Prinsip-prinsip seperti otonomi, keadilan distributif, non-malefisensi,
dan kebaikan
umum digunakan untuk menilai kebijakan dalam isu-isu seperti
distribusi vaksin, akses terhadap layanan kesehatan, dan penggunaan teknologi
genetik.
Contohnya dapat
ditemukan dalam alokasi sumber daya medis selama pandemi COVID-19, di mana
prinsip utilitarianisme dan keadilan
rawlsian digunakan untuk menetapkan prioritas bagi kelompok
rentan.² Di sinilah bioetika berperan menghindarkan kebijakan publik dari bias
utilitarian yang ekstrem, dengan tetap menekankan perlindungan atas hak
minoritas dan kelompok marjinal.
7.2.
Komite Etik dan Pengawasan Institusional
Untuk memastikan
penerapan prinsip-prinsip etis dalam praktik biomedis dan riset kesehatan,
berbagai negara membentuk Komite Etik atau Institutional
Review Boards (IRB). Lembaga-lembaga ini bertugas meninjau,
mengawasi, dan mengarahkan protokol penelitian agar tidak melanggar hak-hak
subjek manusia, termasuk hak atas informed consent, kerahasiaan
data, dan perlakuan yang adil.
Komite etik
berfungsi sebagai penghubung antara praktik ilmiah dan norma-norma sosial,
sekaligus sebagai pelindung terhadap eksploitasi manusia dalam eksperimen
medis.³ Di banyak negara, keberadaan IRB merupakan syarat legal bagi
pelaksanaan riset biomedis yang melibatkan manusia, sebagaimana ditetapkan oleh
Deklarasi
Helsinki (World Medical Association, 1964, dan revisi
selanjutnya).⁴
7.3.
Bioetika dan Legislasi Nasional
Integrasi bioetika
ke dalam kerangka hukum nasional bervariasi dari satu negara ke negara lain. Di
banyak negara Eropa, seperti Prancis dan Jerman, terdapat bioethics
law yang mengatur prosedur medis tertentu seperti euthanasia,
fertilisasi in vitro, dan penelitian sel punca. Di Amerika Serikat, pendekatan
lebih banyak berbasis yurisprudensi kasus dan
kebijakan negara bagian.⁵
Indonesia, misalnya,
telah mulai mengembangkan perangkat hukum terkait bioetika melalui UU
Kesehatan, UU Perlindungan Data Pribadi, dan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia, meskipun masih terbatas dalam menjangkau isu-isu bioetik kontemporer
seperti kecerdasan buatan dan hak genetik. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan
akan kerangka hukum yang eksplisit dan progresif dalam bidang bioetika masih
sangat mendesak di banyak negara berkembang.⁶
7.4.
Studi Kasus: Pandemi COVID-19 dan Dilema Etika
Kebijakan
Pandemi global
COVID-19 merupakan ujian besar bagi penerapan prinsip-prinsip bioetika dalam
kebijakan publik. Pemerintah di seluruh dunia dihadapkan pada dilema antara pembatasan
kebebasan individu (karantina, lockdown, vaksinasi wajib) dan perlindungan
kesehatan publik. Situasi ini menyoroti ketegangan antara
prinsip otonomi dengan prinsip non-malefisensi dan beneficence.
Selain itu,
distribusi vaksin COVID-19 juga mengungkap ketidakadilan global dalam
akses terhadap teknologi kesehatan, yang memunculkan kritik terhadap nasionalisme
vaksin dan mendorong perdebatan mengenai keadilan distributif
dalam skala global.⁷ Dalam konteks ini, bioetika mendorong pendekatan yang
lebih inklusif, solidaritas global, dan keadilan kesehatan lintas negara.
7.5.
Tantangan dan Harapan
Keterlibatan
bioetika dalam kebijakan publik dan hukum masih menghadapi tantangan
struktural, antara lain minimnya representasi etis dalam proses
legislasi, ketimpangan pengetahuan antara ilmuwan dan
pembuat kebijakan, serta ketidakseimbangan kepentingan ekonomi dan moral.
Untuk menjawab tantangan ini, perlu dibangun jembatan antara kalangan akademik,
profesional kesehatan, legislator, dan masyarakat sipil melalui edukasi publik
dan partisipasi etis dalam penyusunan kebijakan.⁸
Di masa depan,
bioetika diharapkan tidak hanya menjadi instrumen kontrol moral, tetapi juga
menjadi fondasi normatif yang dinamis
bagi sistem hukum dan tata kelola kesehatan global yang inklusif, adil, dan
bermartabat.
Footnotes
[1]
Ruth Faden, Tom L. Beauchamp, and Nancy Kass, Informed Consent:
Legal Theory and Clinical Practice, 2nd ed. (New York: Oxford University
Press, 2011), 245–249.
[2]
Ezekiel J. Emanuel et al., “Fair Allocation of Scarce Medical Resources
in the Time of Covid-19,” New England Journal of Medicine 382, no. 21
(2020): 2049–2055.
[3]
Robert J. Levine, Ethics and Regulation of Clinical Research,
2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 1986), 36–42.
[4]
World Medical Association, Declaration of Helsinki: Ethical
Principles for Medical Research Involving Human Subjects (2013 revision), https://www.wma.net/policies-post/wma-declaration-of-helsinki.
[5]
Sheila Jasanoff, ed., Reframing Rights: Bioconstitutionalism in the
Genetic Age (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 17–23.
[6]
Konsil Kedokteran Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia,
ed. 3 (Jakarta: IDI Press, 2012); Lihat juga UU No. 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
[7]
Thomas Pogge, “Recognized and Violated by International Law: The Human
Right to Health in Africa,” in Health and Human Rights, eds. John
Harrington and Maria Stuttaford (London: Routledge, 2010), 130–138.
[8]
Henk A.M.J. ten Have, Global Bioethics: An Introduction (New
York: Routledge, 2016), 149–156.
8.
Tantangan
dan Prospek Masa Depan Bioetika
Seiring dengan
akselerasi perkembangan bioteknologi, kecerdasan buatan, dan globalisasi sistem
kesehatan, bioetika menghadapi tantangan baru yang jauh lebih kompleks
dibandingkan dekade-dekade sebelumnya. Tantangan ini tidak hanya berasal dari
aspek teknologis, tetapi juga dari dinamika sosial, ekonomi, politik, dan
kultural yang menuntut pembaruan paradigma bioetika agar tetap relevan dalam membimbing
arah moral kemajuan manusia.
8.1.
Ekspansi Teknologi dan Krisis Moral Baru
Perkembangan pesat
di bidang neuroteknologi, bioteknologi, dan kecerdasan
buatan (AI) telah memperluas ranah bioetika ke area yang
sebelumnya tidak terjangkau. Misalnya, penggunaan chip otak, modifikasi genetik
pada embrio manusia, serta AI dalam pengambilan keputusan klinis menimbulkan
persoalan baru mengenai agensi moral, tanggung
jawab hukum, dan batasan intervensi terhadap kodrat manusia.¹
Masalah ini
diperparah dengan munculnya “etika algoritma” dan pengawasan
data medis melalui teknologi digital, yang sering kali beroperasi tanpa kontrol
etis yang memadai. Bioetika tradisional yang berakar pada relasi dokter-pasien
kini dituntut untuk mampu menanggapi relasi manusia-teknologi yang kompleks dan
tidak selalu bersifat personal.²
8.2.
Ketimpangan Global dan Akses Tidak Setara
terhadap Teknologi Medis
Tantangan utama lain
adalah ketimpangan
akses terhadap inovasi medis antara negara maju dan negara
berkembang. Banyak teknologi canggih seperti terapi gen, imunoterapi, atau
pengobatan berbasis personal hanya tersedia bagi masyarakat kelas atas di
negara maju, sedangkan populasi di negara miskin masih bergelut dengan
kebutuhan dasar kesehatan.
Bioetika global
dituntut untuk memperjuangkan keadilan distributif, mendorong
solidaritas
transnasional, dan membangun arsitektur kebijakan global yang
etis dan berkelanjutan.³ Pandemi COVID-19 telah menjadi pelajaran nyata
mengenai bagaimana kegagalan global dalam distribusi vaksin mencerminkan lemahnya
penerapan prinsip keadilan dalam bioetika dunia.⁴
8.3.
Tantangan Interkultural dan Pluralisme Moral
Pluralisme nilai
dalam masyarakat global menuntut bioetika untuk keluar dari narasi normatif
tunggal yang berakar pada filsafat Barat. Banyak komunitas memiliki nilai moral
dan sistem etika sendiri, yang sering kali berbenturan dengan model etika
universalistik. Tantangan ke depan adalah merancang bioetika
interkultural yang mengakomodasi keberagaman tanpa kehilangan
standar moral minimum universal seperti penghormatan terhadap martabat
manusia.⁵
Pendekatan dialogis
dan partisipatif, yang melibatkan komunitas lokal, pemuka agama, serta lembaga
budaya, menjadi kunci untuk membangun bioetika yang kontekstual namun tetap
transformatif.⁶
8.4.
Pendidikan Bioetika dan Literasi Etika Publik
Rendahnya literasi
bioetika di kalangan tenaga medis, pembuat kebijakan, dan masyarakat
umum menjadi hambatan besar dalam penerapan prinsip-prinsip etis secara luas.
Bioetika masih kerap dipandang sebagai isu elit akademik, padahal seharusnya
menjadi bagian dari pendidikan publik dan kesadaran kolektif.
Prospek masa depan
bioetika sangat tergantung pada integrasi pendidikan etika
dalam kurikulum formal (kedokteran, hukum, teknik, dan humaniora), serta pengarusutamaan
bioetika dalam diskursus publik. Inisiatif seperti
penyelenggaraan ethics committee di rumah sakit lokal,
pelatihan ethics
consultant, dan penyusunan pedoman etika nasional adalah contoh
konkret yang perlu diperluas.⁷
8.5.
Menuju Bioetika Reflektif dan Adaptif
Agar tetap relevan,
bioetika harus bertransformasi menjadi disiplin yang reflektif,
adaptif, dan transdisipliner. Ia tidak boleh terjebak dalam
pendekatan doktrinal dan legalistik semata, melainkan harus terbuka terhadap
pendekatan narrative
ethics, virtue ethics, dan care
ethics, yang memberi ruang bagi konteks, pengalaman, dan relasi
dalam pengambilan keputusan moral.⁸
Di tengah kemajuan
teknologi yang begitu cepat, bioetika tidak cukup hanya menjadi pengawas moral,
tetapi juga harus berperan sebagai navigator etis yang mampu
menuntun peradaban menuju masa depan yang adil, manusiawi, dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Julian Savulescu and Nick Bostrom, eds., Human Enhancement
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 1–15.
[2]
Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI
Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and
Machines 28, no. 4 (2018): 689–707.
[3]
Henk A.M.J. ten Have, Global Bioethics: An Introduction (New
York: Routledge, 2016), 133–140.
[4]
Ezekiel J. Emanuel et al., “An Ethical Framework for Global Vaccine
Allocation,” Science 369, no. 6509 (2020): 1309–1312.
[5]
Leigh E. Rich and Michael A. Ashby, “Where Are the Voices?,” Developing
World Bioethics 18, no. 2 (2018): 114–122.
[6]
Catherine Myser, ed., Bioethics Around the Globe (Oxford:
Oxford University Press, 2011), 215–225.
[7]
Ruth Chadwick and Udo Schüklenk, eds., The Bioethics Reader:
Editors’ Choice (Oxford: Wiley-Blackwell, 2007), 287–293.
[8]
Martha Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006),
159–168.
9.
Kesimpulan
Dalam lanskap etika
kontemporer, bioetika telah menjelma menjadi
medan refleksi moral yang tak terhindarkan, terutama dalam menghadapi
kompleksitas yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi biomedis, dinamika
sosial, dan globalisasi nilai. Sebagai cabang filsafat terapan, bioetika tidak
sekadar menawarkan norma-norma moral abstrak, tetapi menghadirkan kerangka
normatif yang konkret dan fleksibel untuk membimbing keputusan
etis dalam berbagai konteks—baik dalam praktik medis, penelitian ilmiah, maupun
kebijakan publik.¹
Bioetika berakar
pada landasan
filosofis yang kuat, terutama dalam etika normatif seperti deontologi,
utilitarianisme, dan etika kebajikan, yang masing-masing
memberikan perspektif berbeda dalam memahami dilema moral. Pendekatan ini
kemudian disederhanakan dan diformulasikan dalam empat
prinsip utama: otonomi, beneficence, non-malefisensi,
dan keadilan—sebuah
model yang dikenal luas dan digunakan secara praktis dalam berbagai sistem
pelayanan kesehatan.²
Namun, tantangan
etis yang muncul dalam era kontemporer menuntut pengembangan paradigma bioetika yang lebih
inklusif dan global. Isu-isu seperti euthanasia, aborsi,
rekayasa genetik, teknologi reproduksi, serta AI dalam kesehatan telah
menantang batas-batas moral tradisional dan memunculkan konflik antara hak
individu, kepentingan kolektif, serta norma agama dan budaya.³ Dalam situasi
ini, pendekatan bioetika global yang sensitif terhadap keragaman
budaya dan keadilan sosial menjadi sangat
penting.
Bioetika juga tidak
dapat dilepaskan dari kebijakan publik dan hukum,
karena pertimbangan moral harus diterjemahkan ke dalam kerangka regulatif yang
mengikat. Keberadaan komite etik, pengaturan hukum biomedis, dan konvensi
internasional seperti Declaration of Helsinki serta Universal
Declaration on Bioethics and Human Rights dari UNESCO menunjukkan
bagaimana prinsip-prinsip bioetika telah menembus ruang kebijakan formal dan
memberi arah bagi tata kelola yang etis dan manusiawi.⁴
Ke depan, bioetika
dihadapkan pada tantangan berat: bagaimana mengimbangi kecepatan kemajuan
teknologi dengan refleksi moral yang mendalam dan partisipatif,
bagaimana menciptakan struktur etis yang responsif terhadap
ketimpangan global, dan bagaimana menjembatani berbagai sistem
nilai melalui pendekatan interkultural yang adil.⁵ Pendidikan bioetika dan
literasi publik menjadi kunci bagi transformasi ini.
Akhirnya, masa depan
bioetika bukanlah sekadar menjaga batas-batas moral yang ada, melainkan
membayangkan ulang etos peradaban manusia yang
menjunjung tinggi martabat, keadilan, dan tanggung jawab antargenerasi. Dalam
dunia yang terus berubah, bioetika harus terus berkembang sebagai disiplin yang
hidup—filsafat
yang berpijak pada nilai, namun berjalan bersama realitas manusia.
Footnotes
[1]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 1–7.
[2]
Raanan Gillon, “Ethics Needs Principles—Four Can Encompass the Rest—and
Respect for Autonomy Should Be ‘First Among Equals’,” Journal of Medical
Ethics 29, no. 5 (2003): 307–312.
[3]
Helga Kuhse and Peter Singer, eds., Bioethics: An Anthology,
3rd ed. (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2016), 579–585.
[4]
UNESCO, Universal Declaration on Bioethics and Human Rights
(Paris: UNESCO, 2005), Articles 1–4; World Medical Association, Declaration
of Helsinki, 2013 revision.
[5]
Henk A.M.J. ten Have, Global Bioethics: An Introduction (New
York: Routledge, 2016), 145–156.
Daftar Pustaka
Andrews, L. B. (1999). The clone age: Adventures
in the new world of reproductive technology. Henry Holt.
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles
of biomedical ethics (8th ed.). Oxford University Press.
Campbell, A. V. (2009). The body in bioethics.
Routledge.
Chadwick, R., & Schüklenk, U. (Eds.). (2007). The
bioethics reader: Editors’ choice. Wiley-Blackwell.
Emanuel, E. J., Persad, G., Kern, A., Buchanan, A.,
Fabre, C., Halliday, D., Heath, J., Herzog, L., Leland, R. J., Luna, F., McCoy,
M. S., Norheim, O. F., Ottersen, T., Schaefer, G. O., Tan, K. C., Wellman, C.
H., & Richardson, H. S. (2020). An ethical framework for global vaccine
allocation. Science, 369(6509), 1309–1312. https://doi.org/10.1126/science.abe2803
Emanuel, E. J., Persad, G., Upshur, R., Thome, B.,
Parker, M., Glickman, A., Zhang, C., Boyle, C., Smith, M., & Phillips, J.
P. (2020). Fair allocation of scarce medical resources in the time of Covid-19.
New England Journal of Medicine, 382(21), 2049–2055. https://doi.org/10.1056/NEJMsb2005114
Fan, R. (2010). Reconstructing bioethics: The
Confucian moral tradition and contemporary biomedical ethics. Springer.
Faden, R., Beauchamp, T. L., & Kass, N. (2011).
Informed consent: Legal theory and clinical practice (2nd ed.). Oxford
University Press.
Floridi, L., Cowls, J., Beltrametti, M., Chatila,
R., Chazerand, P., Dignum, V., ... & Vayena, E. (2018). AI4People—An
ethical framework for a good AI society: Opportunities, risks, principles, and
recommendations. Minds and Machines, 28(4), 689–707. https://doi.org/10.1007/s11023-018-9482-5
Gillon, R. (2003). Ethics needs principles—Four can
encompass the rest—and respect for autonomy should be ‘first among equals’. Journal
of Medical Ethics, 29(5), 307–312.
Have, H. A. M. J. ten. (2016). Global bioethics:
An introduction. Routledge.
Have, H. A. M. J. ten, & Gordijn, B. (Eds.).
(2014). Handbook of global bioethics. Springer.
Hursthouse, R. (1991). Virtue theory and abortion. Philosophy
and Public Affairs, 20(3), 223–246.
Jasanoff, S. (Ed.). (2011). Reframing rights:
Bioconstitutionalism in the genetic age. MIT Press.
Jing-Bao, N. (2011). Medical ethics in China: A
transcultural interpretation. Routledge.
Jonsen, A. R. (1998). The birth of bioethics.
Oxford University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1785)
Kuhse, H., & Singer, P. (Eds.). (2016). Bioethics:
An anthology (3rd ed.). Wiley-Blackwell.
Levine, R. J. (1986). Ethics and regulation of
clinical research (2nd ed.). Yale University Press.
Metz, T. (2014). African values and biomedical
ethics. In H. ten Have & B. Gordijn (Eds.), Handbook of global bioethics
(pp. 231–247). Springer.
Myser, C. (Ed.). (2011). Bioethics around the
globe. Oxford University Press.
Nussbaum, M. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.
Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1993). The
virtues in medical practice. Oxford University Press.
Pogge, T. (2010). Recognized and violated by
international law: The human right to health in Africa. In J. Harrington &
M. Stuttaford (Eds.), Health and human rights (pp. 130–138). Routledge.
Potter, V. R. (1971). Bioethics: Bridge to the
future. Prentice-Hall.
Quill, T. E., & Battin, M. P. (Eds.). (2004). Physician-assisted
dying: The case for palliative care and patient choice. Johns Hopkins
University Press.
Rachels, J. (1975). Active and passive euthanasia. New
England Journal of Medicine, 292(2), 78–80.
Reich, W. T. (Ed.). (1995). Encyclopedia of
bioethics. Macmillan.
Rich, L. E., & Ashby, M. A. (2018). Where are
the voices? Developing World Bioethics, 18(2), 114–122. https://doi.org/10.1111/dewb.12147
Sachedina, A. (2009). Islamic biomedical ethics:
Principles and application. Oxford University Press.
Savulescu, J., & Bostrom, N. (Eds.). (2009). Human
enhancement. Oxford University Press.
Savulescu, J., & Persson, I. (2012). Moral
enhancement, freedom and the God Machine. Monist, 95(3), 399–421.
Scheper-Hughes, N. (2000). The global traffic in
human organs. Current Anthropology, 41(2), 191–224.
Steinbock, B. (2011). Life before birth: The
moral and legal status of embryos and fetuses (2nd ed.). Oxford University
Press.
UNESCO. (2005). Universal Declaration on
Bioethics and Human Rights. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000146180
World Medical Association. (2013). WMA
Declaration of Helsinki – Ethical principles for medical research involving
human subjects. https://www.wma.net/policies-post/wma-declaration-of-helsinki/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar