Sabtu, 08 Februari 2025

Filsafat Kontemporer: Akar, Perkembangan, dan Relevansi Modern

Filsafat Kontemporer

Akar, Perkembangan, dan Relevansi Modern


Alihkan ke: Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Sejarah dan Periode Filsafat


Abstrak

Filsafat kontemporer merupakan perkembangan pemikiran filsafat yang muncul sejak akhir abad ke-19 hingga era modern, sebagai respons terhadap perubahan sosial, politik, ekonomi, dan teknologi. Artikel ini membahas perjalanan historis filsafat kontemporer dari periode klasik hingga modern, serta bagaimana aliran-aliran utama seperti eksistensialisme, fenomenologi, filsafat analitik, strukturalisme, poststrukturalisme, dan teori kritis berkontribusi dalam membentuk pemahaman dunia saat ini. Selain itu, artikel ini menguraikan tema-tema sentral dalam filsafat kontemporer, seperti etika dalam dunia modern, identitas dan kekuasaan, dampak teknologi, serta peran agama dan spiritualitas dalam pemikiran kontemporer. Relevansi dan implikasi filsafat kontemporer dalam bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, keadilan sosial, serta tantangan dalam era digital dan kecerdasan buatan juga dibahas secara mendalam. Dengan mengacu pada berbagai sumber akademik yang kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa filsafat kontemporer tidak hanya memberikan analisis kritis terhadap realitas yang ada, tetapi juga menawarkan perspektif baru dalam menghadapi tantangan global saat ini dan di masa depan.

Kata Kunci: Filsafat kontemporer, eksistensialisme, fenomenologi, teori kritis, postmodernisme, etika, teknologi, keadilan sosial, kekuasaan, epistemologi.


PEMBAHASAN

Sejarah, Pemikiran, dan Dampak Filsafat Kontemporer dalam Dunia Modern


1.           Pendahuluan

Filsafat kontemporer merupakan salah satu cabang utama dalam sejarah filsafat yang berkembang sejak akhir abad ke-19 hingga masa kini. Sebagai kelanjutan dari filsafat modern, filsafat kontemporer mencerminkan perubahan besar dalam pemikiran manusia, terutama dalam merespons dinamika sosial, politik, budaya, dan teknologi yang semakin kompleks. Pemikirannya tidak hanya terbatas pada pertanyaan metafisik dan epistemologis yang klasik, tetapi juga meluas ke ranah linguistik, etika, kritik sosial, dan filsafat ilmu.

1.1.       Pengertian Filsafat Kontemporer

Secara etimologis, istilah “kontemporer” berasal dari bahasa Latin contemporarius, yang berarti "sezaman" atau "berkaitan dengan waktu yang sama." Dalam konteks filsafat, istilah ini merujuk pada pemikiran filosofis yang berkembang sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini.1 Beberapa filsuf berpendapat bahwa filsafat kontemporer bukan hanya sekadar fase lanjutan dari filsafat modern, tetapi juga merupakan refleksi atas kritik dan dekonstruksi terhadap fondasi pemikiran modern itu sendiri.2

Filsafat kontemporer mencakup berbagai aliran yang memiliki pendekatan dan metodologi yang beragam, seperti eksistensialisme, fenomenologi, filsafat analitik, postmodernisme, teori kritis, dan post-strukturalisme. Meski berbeda dalam pendekatannya, semua aliran ini memiliki kesamaan dalam menekankan analisis kritis terhadap realitas serta mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang membentuk pemahaman manusia tentang dunia.3

1.2.       Perbedaan dengan Filsafat Klasik dan Modern

Filsafat klasik yang berkembang sejak zaman Yunani kuno hingga Abad Pertengahan umumnya berkutat pada pertanyaan metafisika, logika, dan etika, dengan tokoh-tokoh besar seperti Plato dan Aristoteles.4 Sementara itu, filsafat modern yang muncul sejak era Renaisans hingga abad ke-19 lebih banyak menyoroti rasionalisme, empirisme, dan epistemologi yang sistematis, dengan tokoh-tokoh seperti René Descartes, Immanuel Kant, dan John Locke.5

Filsafat kontemporer, di sisi lain, lebih menyoroti relativisme, dekonstruksi terhadap konsep universal, serta keterlibatan filsafat dalam ranah sosial-politik. Pemikiran ini dipengaruhi oleh peristiwa besar seperti Revolusi Industri, Perang Dunia, perkembangan teknologi informasi, serta globalisasi.6 Salah satu ciri utama filsafat kontemporer adalah adanya pergeseran dari keyakinan terhadap "kebenaran absolut" menuju pemikiran yang lebih pluralistik dan kontekstual.7

1.3.       Signifikansi Filsafat Kontemporer dalam Kajian Filsafat

Filsafat kontemporer memiliki peran penting dalam memahami dunia modern dan tantangan yang dihadapinya. Ia tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap sistem pemikiran sebelumnya, tetapi juga menawarkan kerangka kerja baru dalam memahami persoalan-persoalan kompleks seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, peran teknologi dalam kehidupan manusia, serta hubungan antara individu dan institusi sosial.8

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat kontemporer juga berkontribusi dalam membentuk pemahaman tentang etika teknologi, kecerdasan buatan, dan dampak digitalisasi terhadap eksistensi manusia.9 Pemikiran seperti posthumanisme dan transhumanisme muncul sebagai bagian dari filsafat kontemporer yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai masa depan manusia dalam era teknologi yang berkembang pesat.10

Dengan demikian, memahami filsafat kontemporer bukan hanya sekadar mempelajari tokoh dan aliran pemikirannya, tetapi juga melihat bagaimana filsafat ini berinteraksi dengan berbagai aspek kehidupan modern. Hal ini menjadi semakin relevan dalam era globalisasi, di mana batas-batas pemikiran tradisional mulai dipertanyakan dan diredefinisi ulang sesuai dengan perkembangan zaman.11


Footnotes

[1]                John Shand, Central Issues of Philosophy (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 7.

[2]                Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 3-5.

[3]                Richard Kearney, Modern Movements in European Philosophy (Manchester: Manchester University Press, 1994), 10.

[4]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12-15.

[5]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (London: Routledge, 2002), 5-8.

[6]                Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History of the Frankfurt School and the Institute of Social Research (Berkeley: University of California Press, 1996), 30-35.

[7]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv-xxv.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action (Boston: Beacon Press, 1984), 45-50.

[9]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 22-27.

[10]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 3-5.

[11]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 2010), 9-12.


2.           Latar Belakang dan Sejarah Filsafat Kontemporer

Filsafat kontemporer adalah hasil dari evolusi pemikiran yang terus berkembang sejak zaman kuno hingga modern. Dalam perkembangannya, filsafat mengalami berbagai transformasi yang mencerminkan perubahan sosial, politik, dan teknologi. Bab ini akan menguraikan perjalanan historis filsafat, faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya filsafat kontemporer, serta bagaimana ia membentuk cara berpikir manusia dalam menghadapi tantangan zaman.

2.1.       Periodeisasi Filsafat: Dari Klasik hingga Kontemporer

Sejarah filsafat dapat dibagi menjadi beberapa periode utama:

1)                  Filsafat Klasik (Abad ke-6 SM – Abad ke-5 M)

Filsafat klasik ditandai dengan pemikiran para filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka meletakkan dasar bagi logika, metafisika, dan etika yang menjadi fondasi bagi pemikiran selanjutnya.1 Aristoteles, misalnya, mengembangkan logika deduktif yang masih berpengaruh hingga saat ini.2

2)                  Filsafat Abad Pertengahan (Abad ke-5 – Abad ke-15 M)

Periode ini didominasi oleh pemikiran teologis yang menghubungkan filsafat dengan agama. Tokoh seperti Thomas Aquinas mengembangkan filsafat skolastik yang berusaha merekonsiliasi antara filsafat Aristotelian dengan teologi Kristen.3

3)                  Filsafat Modern (Abad ke-16 – Abad ke-19 M)

Revolusi ilmiah dan Renaisans membawa perubahan besar dalam filsafat, dengan munculnya rasionalisme dan empirisme. René Descartes memperkenalkan cogito ergo sum sebagai dasar epistemologi modern,4 sementara Immanuel Kant mengembangkan teori kritisisme yang menengahi perdebatan antara rasionalisme dan empirisme.5

4)                  Filsafat Kontemporer (Abad ke-19 – Sekarang)

Perkembangan teknologi, revolusi industri, serta perubahan sosial-politik mendorong filsafat untuk lebih kritis terhadap fondasi pemikiran modern. Di sinilah muncul berbagai aliran seperti eksistensialisme, fenomenologi, filsafat analitik, strukturalisme, dan postmodernisme.6

2.2.       Kemunculan Filsafat Kontemporer (Abad ke-19 – Sekarang)

Filsafat kontemporer berkembang sebagai respons terhadap berbagai peristiwa besar yang terjadi di dunia, seperti Revolusi Industri, dua Perang Dunia, dan perkembangan teknologi informasi. Beberapa faktor utama yang berkontribusi dalam kelahirannya adalah:

2.2.1.    Revolusi Ilmiah dan Teknologi

Kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah cara manusia memahami realitas. Pandangan mekanistis yang berkembang pada masa modern mulai dipertanyakan oleh filsafat kontemporer. Martin Heidegger, misalnya, mengkritik bagaimana teknologi modern mengubah cara manusia berhubungan dengan dunia, menciptakan era di mana manusia semakin terasing dari keberadaannya yang autentik.7

2.2.2.      Revolusi Industri dan Kapitalisme

Revolusi Industri yang terjadi pada abad ke-19 memicu perubahan besar dalam struktur sosial dan ekonomi. Karl Marx adalah salah satu filsuf yang paling berpengaruh dalam kritik terhadap kapitalisme, di mana ia melihat bahwa sistem ekonomi ini menciptakan ketimpangan sosial yang besar.8 Kritiknya terhadap alienasi tenaga kerja menjadi salah satu dasar bagi filsafat kontemporer dalam memahami hubungan manusia dengan sistem ekonomi.9

2.2.3.      Pengaruh Perang Dunia I dan II

Dua perang dunia membawa dampak besar terhadap filsafat kontemporer. Pengalaman perang membuat banyak filsuf mempertanyakan rasionalitas manusia dan peradaban modern. Jean-Paul Sartre, misalnya, mengembangkan eksistensialisme yang menekankan kebebasan individu dalam menghadapi absurditas dunia.10 Sementara itu, teori kritis dari Mazhab Frankfurt, yang dikembangkan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno, mengkritik bagaimana ideologi dan sistem kapitalisme modern berkontribusi terhadap kontrol sosial dan dominasi.11

2.2.4.      Globalisasi dan Postmodernisme

Pada paruh kedua abad ke-20, muncul pemikiran postmodern yang menantang konsep-konsep besar (metanarasi) yang dianggap mendominasi pemikiran modern. Jean-François Lyotard, misalnya, berpendapat bahwa dunia kontemporer ditandai oleh "ketidakpercayaan terhadap metanarasi," di mana tidak ada satu kebenaran universal, melainkan berbagai perspektif yang saling berkompetisi.12


Kesimpulan

Sejarah filsafat kontemporer tidak bisa dilepaskan dari perkembangan intelektual dan perubahan sosial yang terjadi sejak zaman kuno hingga modern. Dengan latar belakang yang dipengaruhi oleh revolusi ilmiah, perubahan sosial, serta dinamika politik global, filsafat kontemporer berkembang menjadi medan pemikiran yang plural dan reflektif terhadap tantangan zaman. Seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, filsafat kontemporer terus berevolusi, menawarkan pemahaman baru tentang realitas, keberadaan manusia, dan masa depan peradaban.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London: Routledge, 1982), 25.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1011a-b.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1911), I.Q.1.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 125.

[6]                Richard Kearney, Modern Movements in European Philosophy (Manchester: Manchester University Press, 1994), 9.

[7]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 5.

[8]                Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990), 184.

[9]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 72.

[10]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 15.

[11]             Max Horkheimer and Theodor Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. John Cumming (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94.

[12]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.


3.           Aliran dan Tokoh-Tokoh Utama dalam Filsafat Kontemporer

Filsafat kontemporer ditandai oleh berbagai aliran pemikiran yang berkembang dari abad ke-19 hingga saat ini. Aliran-aliran ini sering kali muncul sebagai respons terhadap masalah sosial, politik, ekonomi, dan epistemologi yang terus berubah dalam masyarakat modern. Bab ini akan menguraikan beberapa aliran filsafat utama dalam periode kontemporer beserta tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalamnya.

3.1.       Eksistensialisme dan Fenomenologi

Eksistensialisme dan fenomenologi adalah dua aliran yang memiliki hubungan erat, terutama dalam menyoroti pengalaman subjektif manusia dan keberadaannya di dunia.

3.1.1.      Eksistensialisme

Eksistensialisme berkembang pesat pada abad ke-20 dengan fokus pada kebebasan individu, makna hidup, dan kecemasan eksistensial. Tokoh utama dalam eksistensialisme adalah Jean-Paul Sartre, yang menekankan bahwa manusia "terkutuk untuk bebas," artinya manusia tidak memiliki esensi yang diberikan sejak lahir dan harus menentukan maknanya sendiri.1 Sartre juga menekankan konsep l’être-pour-soi (keberadaan untuk dirinya sendiri) sebagai ciri khas eksistensi manusia.2

Sementara itu, Søren Kierkegaard, yang dianggap sebagai bapak eksistensialisme, mengembangkan gagasan tentang "lompatan iman" (leap of faith), yang menyatakan bahwa keyakinan terhadap Tuhan adalah keputusan subjektif yang tidak dapat sepenuhnya dibuktikan secara rasional.3

3.1.2.      Fenomenologi

Fenomenologi dikembangkan oleh Edmund Husserl sebagai pendekatan untuk memahami pengalaman manusia secara langsung dan tanpa asumsi filosofis sebelumnya.4 Husserl memperkenalkan metode epoché, yaitu menangguhkan semua keyakinan tentang realitas eksternal untuk fokus pada pengalaman subjektif murni.5

Martin Heidegger, yang mengembangkan fenomenologi lebih jauh, memperkenalkan konsep Dasein (keberadaan di dunia) dan menekankan bahwa manusia selalu terhubung dengan dunia dan tidak dapat dipahami secara terpisah darinya.6 Fenomenologi Heidegger membuka jalan bagi pemikiran eksistensialis dan hermeneutika kontemporer.

3.2.       Pragmatism dan Filsafat Analitik

3.2.1.      Pragmatisme

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berkembang di Amerika Serikat dan berfokus pada penerapan praktis dari konsep-konsep filosofis. William James dan John Dewey adalah dua tokoh utama dalam tradisi ini. James berpendapat bahwa kebenaran suatu gagasan bergantung pada manfaat praktisnya dalam kehidupan.7 Sementara itu, Dewey mengembangkan teori pendidikan yang menekankan pembelajaran berbasis pengalaman dan demokrasi sebagai nilai utama dalam pendidikan.8

Richard Rorty kemudian memperbarui pragmatisme dengan mengusulkan bahwa filsafat seharusnya tidak mencari kebenaran objektif, melainkan fokus pada diskursus yang membangun masyarakat yang lebih baik.9

3.2.2.      Filsafat Analitik

Filsafat analitik berkembang di dunia berbahasa Inggris sebagai respons terhadap filsafat spekulatif. Ludwig Wittgenstein adalah salah satu tokoh utama yang berkontribusi dalam aliran ini dengan bukunya Tractatus Logico-Philosophicus, yang menegaskan bahwa makna bahasa harus ditentukan melalui struktur logisnya.10

Bertrand Russell dan G.E. Moore juga memainkan peran penting dalam mengembangkan filsafat analitik dengan menekankan logika dan analisis bahasa sebagai metode utama dalam filsafat.11

3.3.       Strukturalisme dan Poststrukturalisme

3.3.1.      Strukturalisme

Strukturalisme muncul sebagai pendekatan dalam linguistik dan antropologi sebelum berkembang menjadi aliran filsafat. Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi strukturalisme dengan teorinya tentang tanda (sign) yang terdiri dari signifier (penanda) dan signified (yang ditandai).12

Claude Lévi-Strauss kemudian mengadaptasi teori Saussure ke dalam antropologi struktural, menunjukkan bahwa kebudayaan manusia dapat dipahami sebagai sistem tanda yang memiliki struktur tertentu.13

3.3.2.      Poststrukturalisme

Poststrukturalisme muncul sebagai kritik terhadap strukturalisme. Michel Foucault menolak gagasan bahwa realitas sosial memiliki struktur tetap dan mengembangkan teori wacana yang menyoroti bagaimana pengetahuan dan kekuasaan saling terkait.14

Jacques Derrida memperkenalkan dekonstruksi, metode analisis yang menunjukkan bahwa makna dalam teks selalu bersifat tidak tetap dan dapat direinterpretasi secara berbeda tergantung pada konteksnya.15

3.4.       Teori Kritis dan Mazhab Frankfurt

Mazhab Frankfurt mengembangkan teori kritis sebagai respons terhadap kapitalisme, ideologi, dan budaya massa. Max Horkheimer dan Theodor Adorno mengkritik industri budaya yang mereka anggap telah menciptakan masyarakat yang konsumtif dan pasif.16

Jürgen Habermas kemudian mengembangkan teori tindakan komunikatif, yang berusaha mencari landasan rasional bagi interaksi sosial yang demokratis.17

3.5.       Postmodernisme dan Tantangan terhadap Rasionalitas Modern

Jean-François Lyotard mendefinisikan postmodernisme sebagai "ketidakpercayaan terhadap metanarasi," yang berarti bahwa tidak ada satu narasi besar yang bisa menjelaskan seluruh realitas.18

Sementara itu, Jean Baudrillard mengembangkan konsep simulasi, yang menunjukkan bahwa di dunia modern, realitas telah digantikan oleh citra dan tanda yang tidak lagi merujuk pada sesuatu yang nyata.19


Kesimpulan

Aliran-aliran dalam filsafat kontemporer mencerminkan kompleksitas dan dinamika pemikiran modern. Dari eksistensialisme hingga postmodernisme, setiap aliran menawarkan perspektif yang berbeda dalam memahami realitas, bahasa, kekuasaan, dan pengalaman manusia.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28.

[2]                Ibid., 32.

[3]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 2003), 45.

[4]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J.N. Findlay (London: Routledge, 1970), 78.

[5]                Ibid., 81.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 52.

[7]                William James, Pragmatism, trans. Fredson Bowers and Ignas Skrupskelis (Cambridge: Harvard University Press, 1975), 29.

[8]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 102.

[9]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 45.

[10]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1922), 3.

[11]             Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 19.

[12]             Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Wade Baskin (New York: Columbia University Press, 1959), 65.

[13]             Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 120.

[14]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 45.

[15]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.

[16]             Max Horkheimer and Theodor Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. John Cumming (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94.

[17]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 79.

[18]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.

[19]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 11.


4.           Tema-Tema Sentral dalam Filsafat Kontemporer

Filsafat kontemporer tidak hanya mengembangkan teori-teori abstrak, tetapi juga menghadirkan respons terhadap berbagai isu sosial, politik, dan epistemologis yang terus berkembang di era modern dan postmodern. Bab ini akan membahas tema-tema utama dalam filsafat kontemporer yang mencerminkan tantangan dan perubahan zaman, termasuk etika modern, identitas dan kekuasaan, pengaruh teknologi, serta peran agama dan spiritualitas dalam pemikiran kontemporer.

4.1.       Etika dalam Dunia Modern

4.1.1.      Bioetika dan Etika Teknologi

Perkembangan pesat dalam bidang bioteknologi dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan tantangan etis yang signifikan. Filsuf seperti Peter Singer mengajukan gagasan etika utilitarianisme dalam konteks bioteknologi, yang berfokus pada bagaimana tindakan harus dinilai berdasarkan manfaat terbesar bagi makhluk hidup.1

Sementara itu, dalam konteks AI, Luciano Floridi mengembangkan konsep information ethics, yang menyoroti bagaimana teknologi informasi mempengaruhi konsep privasi, kesadaran digital, dan tanggung jawab moral dalam interaksi manusia dengan mesin.2

4.1.2.      Etika Lingkungan

Etika lingkungan menjadi semakin relevan dalam filsafat kontemporer, terutama dalam menghadapi krisis ekologi global. Fritjof Capra mengusulkan bahwa paradigma mekanistis dalam sains harus digantikan dengan pendekatan sistemik yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari ekosistem.3

Bruno Latour, dalam karyanya We Have Never Been Modern, menolak dikotomi antara manusia dan alam serta menekankan pentingnya hubungan simbiosis antara keduanya.4

4.2.       Identitas, Kekuasaan, dan Ideologi

4.2.1.      Politik Identitas dan Multikulturalisme

Seiring dengan globalisasi dan migrasi massal, filsafat kontemporer semakin berfokus pada isu politik identitas dan multikulturalisme. Charles Taylor mengajukan teori pengakuan (recognition theory), yang menekankan bahwa identitas individu dan kelompok hanya dapat berkembang secara autentik dalam lingkungan sosial yang mengakui keberagaman budaya.5

Di sisi lain, Judith Butler mengkritik konsep identitas yang kaku dalam kajian gender dan mengembangkan teori performativitas, yang menyatakan bahwa identitas gender bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi terbentuk melalui tindakan dan interaksi sosial.6

4.2.2.      Kekuasaan dan Wacana

Michel Foucault memperkenalkan teori wacana yang menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya berada dalam institusi politik, tetapi juga dalam produksi pengetahuan dan bahasa.7 Foucault menegaskan bahwa norma sosial, hukum, dan bahkan sains adalah hasil konstruksi kekuasaan yang menentukan bagaimana individu memahami realitas.8

Gilles Deleuze dan Félix Guattari dalam karya mereka A Thousand Plateaus menyoroti konsep rhizome, yang menggambarkan bahwa kekuasaan bersifat fleksibel, tidak hierarkis, dan menyebar dalam berbagai jaringan sosial.9

4.3.       Teknologi dan Kecerdasan Buatan

4.3.1.      Filsafat Posthumanisme

Posthumanisme muncul sebagai respons terhadap perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan bioteknologi. Filsuf seperti Donna Haraway dalam A Cyborg Manifesto berpendapat bahwa batas antara manusia dan mesin semakin kabur, menciptakan identitas cyborg yang menggabungkan unsur biologis dan teknologi.10

Sementara itu, Nick Bostrom mengembangkan teori tentang superintelligence, yang membahas kemungkinan munculnya kecerdasan buatan yang melampaui kapasitas intelektual manusia dan tantangan etis yang menyertainya.11

4.3.2.      Digitalisasi dan Realitas Simulasi

Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation mengajukan gagasan bahwa di era digital, realitas telah digantikan oleh simulasi yang tidak lagi memiliki referensi pada dunia nyata.12 Contohnya adalah bagaimana media sosial menciptakan narasi yang lebih berpengaruh daripada kejadian nyata itu sendiri.

Mark Poster kemudian memperluas analisis ini dengan menyoroti bagaimana internet telah mengubah hubungan antara individu dan kekuasaan, menciptakan bentuk baru dari kontrol sosial berbasis data.13

4.4.       Agama dan Spiritualitas dalam Filsafat Kontemporer

4.4.1.      Kritik terhadap Sekularisme

Sejak era Pencerahan, sekularisme telah menjadi paradigma dominan dalam filsafat modern. Namun, filsafat kontemporer mengajukan berbagai kritik terhadap konsep ini. Jürgen Habermas mengembangkan gagasan post-secular society, yang menyatakan bahwa agama masih memiliki peran penting dalam ruang publik, terutama dalam membentuk norma moral dan etika sosial.14

Slavoj Žižek, dalam karyanya The Puppet and the Dwarf, mengajukan kritik terhadap baik sekularisme maupun fundamentalisme agama, dan menyoroti bagaimana ideologi sekuler sering kali menggantikan peran agama dalam memberikan makna kepada kehidupan manusia.15

4.4.2.      Dialog Antara Filsafat dan Teologi

Dalam konteks Islam, filsuf kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr mengusulkan bahwa filsafat Barat telah kehilangan dimensi spiritualnya, dan ia menekankan pentingnya mengintegrasikan kembali kebijaksanaan tradisional dalam dunia modern.16

Di dunia Kristen, John Milbank melalui gerakan Radical Orthodoxy mengkritik filsafat sekuler yang telah mengasingkan teologi dari kehidupan intelektual, dan menyerukan rekonsiliasi antara iman dan filsafat.17


Kesimpulan

Tema-tema sentral dalam filsafat kontemporer mencerminkan kompleksitas dunia modern dan upaya filsuf dalam memahami serta merespons tantangan zaman. Dari bioetika hingga filsafat teknologi, dari politik identitas hingga agama dan spiritualitas, filsafat kontemporer terus berkembang sebagai medan intelektual yang dinamis.


Footnotes

[1]                Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 80.

[2]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 22.

[3]                Fritjof Capra, The Web of Life (New York: Anchor Books, 1996), 52.

[4]                Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 95.

[5]                Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25.

[6]                Judith Butler, Gender Trouble (New York: Routledge, 1990), 45.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 27.

[8]                Ibid., 29.

[9]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 11.

[10]             Donna Haraway, Simians, Cyborgs, and Women (New York: Routledge, 1991), 149.

[11]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 3.

[12]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1.

[13]             Mark Poster, The Mode of Information: Poststructuralism and Social Context (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 64.

[14]             Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion: Philosophical Essays, trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 112.

[15]             Slavoj Žižek, The Puppet and the Dwarf: The Perverse Core of Christianity (Cambridge: MIT Press, 2003), 5.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 27.

[17]             John Milbank, Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason (Oxford: Blackwell, 1990), 48.


5.           Relevansi dan Implikasi Filsafat Kontemporer

Filsafat kontemporer bukan sekadar kajian akademis yang abstrak, tetapi memiliki dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dalam konteks sosial, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi, pemikiran kontemporer telah mengubah cara manusia memahami realitas, struktur sosial, dan hubungan antarindividu. Bab ini membahas bagaimana filsafat kontemporer mempengaruhi ilmu pengetahuan, kebijakan publik, serta memberikan kritik dan tantangan terhadap era digital dan globalisasi.

5.1.       Dampak terhadap Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan

5.1.1.      Epistemologi dalam Ilmu Pengetahuan Modern

Salah satu implikasi utama filsafat kontemporer adalah perubahan dalam cara ilmu pengetahuan dipahami. Thomas Kuhn, dalam The Structure of Scientific Revolutions, mengajukan konsep paradigm shift, yaitu bahwa ilmu pengetahuan berkembang bukan melalui akumulasi pengetahuan linier, melainkan melalui revolusi konseptual yang menggantikan paradigma sebelumnya.1

Sementara itu, Paul Feyerabend menolak pandangan bahwa metode ilmiah memiliki aturan universal. Dalam Against Method, ia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang dengan cara yang tidak dapat direduksi ke dalam metodologi tunggal, menekankan pluralisme epistemologis.2

5.1.2.      Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran Kritis

Dalam dunia pendidikan, filsafat kontemporer telah mendorong pendekatan yang lebih kritis dan reflektif terhadap proses pembelajaran. Paulo Freire, melalui Pedagogy of the Oppressed, mengkritik sistem pendidikan tradisional yang ia sebut sebagai "pendidikan gaya bank", di mana siswa diperlakukan sebagai wadah pasif yang hanya menerima informasi.3 Ia mengusulkan pendekatan dialogical education yang berfokus pada keterlibatan aktif peserta didik dalam proses belajar.

Richard Rorty juga mengembangkan gagasan bahwa pendidikan harus mengarah pada pengembangan solidaritas sosial dan kreativitas, bukan hanya sebagai alat untuk menciptakan individu yang "berguna" bagi sistem ekonomi.4

5.2.       Peran dalam Isu Sosial dan Politik

5.2.1.      Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia

Filsafat kontemporer berkontribusi dalam pengembangan teori keadilan sosial dan hak asasi manusia. John Rawls dalam A Theory of Justice mengajukan gagasan justice as fairness, yang menekankan bahwa keadilan sosial harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan kebebasan yang dapat diterima oleh semua individu dalam "posisi asli" tanpa bias pribadi.5

Di sisi lain, Nancy Fraser menyoroti pentingnya recognition and redistribution, yang menegaskan bahwa keadilan tidak hanya soal distribusi ekonomi yang adil, tetapi juga tentang pengakuan sosial terhadap identitas kelompok minoritas.6

5.2.2.      Kritik terhadap Kapitalisme dan Demokrasi Liberal

Mazhab Frankfurt telah lama mengkritik bagaimana kapitalisme modern membentuk struktur sosial yang mendukung dominasi elit tertentu. Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment berargumen bahwa industri budaya telah menciptakan masyarakat konsumtif yang pasif dan tidak kritis terhadap sistem kekuasaan.7

Sementara itu, Slavoj Žižek mengajukan kritik terhadap demokrasi liberal modern, yang ia anggap sebagai sistem yang sering kali menutupi ketidaksetaraan sistemik di balik ilusi kebebasan politik.8

5.3.       Teknologi, Digitalisasi, dan Tantangan Era Informasi

5.3.1.      Teknologi sebagai Alat Kontrol Sosial

Michel Foucault dalam Discipline and Punish mengembangkan konsep panopticon, yang menunjukkan bagaimana teknologi digunakan sebagai alat pengawasan dan kontrol sosial.9 Pemikiran ini menjadi semakin relevan di era digital, di mana data pribadi dikumpulkan oleh perusahaan teknologi besar untuk mengendalikan perilaku individu.

Shoshana Zuboff, dalam The Age of Surveillance Capitalism, mengkritik bagaimana kapitalisme digital mengeksploitasi data pengguna untuk keuntungan ekonomi, menciptakan era di mana kebebasan individu semakin dikendalikan oleh algoritma.10

5.3.2.      Realitas Virtual dan Kehidupan Posthuman

Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation mengajukan gagasan bahwa realitas telah digantikan oleh hiperrealitas, di mana batas antara yang nyata dan simulasi menjadi kabur.11 Fenomena ini semakin terlihat dalam era media sosial, metaverse, dan kecerdasan buatan.

Sementara itu, Rosi Braidotti dalam The Posthuman menyoroti bahwa kemajuan teknologi telah mengaburkan batas antara manusia dan mesin, memunculkan pertanyaan tentang apa yang akan terjadi ketika manusia tidak lagi menjadi pusat dari sistem pengetahuan.12

5.4.       Kritik terhadap Filsafat Kontemporer

Meskipun filsafat kontemporer telah memberikan wawasan baru dalam memahami realitas, ada banyak kritik terhadap relevansinya.

5.4.1.      Kritik dari Filsafat Tradisional

Para pemikir tradisional seperti Alasdair MacIntyre berargumen bahwa filsafat kontemporer cenderung terlalu terfragmentasi dan kehilangan arah moral yang jelas.13 Dalam After Virtue, ia mengkritik bagaimana filsafat moral modern telah terputus dari tradisi etika Aristotelian yang lebih sistematis.

Roger Scruton juga mengkritik postmodernisme karena dianggap terlalu relativistik dan merusak fondasi nilai-nilai sosial yang stabil.14

5.4.2.      Tantangan dalam Era Digital

Dalam era digital, filsafat kontemporer menghadapi tantangan untuk tetap relevan dalam menghadapi kecerdasan buatan dan otomatisasi ekonomi. Beberapa filsuf, seperti Nick Bostrom, berpendapat bahwa filsafat harus lebih fokus pada skenario masa depan, termasuk dampak AI terhadap peradaban manusia.15

Sementara itu, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus berargumen bahwa filsafat harus menyesuaikan diri dengan era transhumanisme, di mana manusia dapat menggunakan teknologi untuk meningkatkan kapasitas biologis dan intelektualnya.16


Kesimpulan

Filsafat kontemporer memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran modern, dari ilmu pengetahuan dan pendidikan hingga isu sosial, politik, dan teknologi. Namun, tantangan global seperti kapitalisme digital, kecerdasan buatan, dan krisis lingkungan memerlukan pendekatan filosofis yang lebih adaptif dan inovatif. Di masa depan, filsafat kontemporer harus terus berkembang untuk menjawab persoalan zaman yang semakin kompleks.


Footnotes

[1]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92.

[2]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 14.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 75.

[4]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 48.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60.

[6]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 23.

[7]                Max Horkheimer and Theodor Adorno, Dialectic of Enlightenment (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94.

[8]                Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London: Verso, 1989), 21.

[9]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 201.

[10]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 53.

[11]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 12.

[12]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 78.

[13]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 112.

[14]             Roger Scruton, Fools, Frauds and Firebrands: Thinkers of the New Left (London: Bloomsbury, 2015), 27.

[15]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 5.

[16]             Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (New York: HarperCollins, 2016), 42.


6.           Kesimpulan

Filsafat kontemporer merupakan kelanjutan dari tradisi filsafat sebelumnya yang berkembang melalui refleksi kritis terhadap perubahan sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang terjadi dalam dunia modern. Dalam berbagai aspeknya, filsafat ini telah memberikan wawasan baru mengenai cara manusia memahami realitas, struktur kekuasaan, serta peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempertimbangkan aspek historis, aliran pemikiran, tema-tema utama, serta relevansinya dalam berbagai bidang, dapat disimpulkan bahwa filsafat kontemporer memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap perkembangan intelektual manusia.

6.1.       Transformasi Filsafat dari Modern ke Kontemporer

Sejak abad ke-19, filsafat mengalami pergeseran paradigma yang signifikan, terutama sebagai respons terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kritik terhadap tradisi rasionalisme dan empirisme dalam filsafat modern.1 Perubahan ini mencerminkan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru seperti fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitik, strukturalisme, hingga postmodernisme.2

Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre berkontribusi dalam menggeser pemikiran filsafat dari fokus metafisika klasik ke analisis eksistensial yang menekankan subjektivitas dan kebebasan individu.3 Di sisi lain, Ludwig Wittgenstein dan filsafat analitik mengubah cara berpikir tentang bahasa, logika, dan makna dalam kehidupan manusia.4 Dengan munculnya postmodernisme, filsuf seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik narasi besar dan memperkenalkan metode dekonstruksi sebagai pendekatan kritis terhadap wacana dominan.5

6.2.       Kontribusi Filsafat Kontemporer dalam Isu Sosial dan Politik

Salah satu peran paling signifikan dari filsafat kontemporer adalah dalam kajian sosial dan politik. Teori kritis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt memberikan wawasan mendalam mengenai bagaimana kapitalisme, industri budaya, dan media massa membentuk struktur kekuasaan dan kontrol sosial.6 Sementara itu, pemikiran poststrukturalisme dari Foucault telah mengubah cara kita memahami hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, dengan menunjukkan bahwa setiap bentuk wacana memiliki implikasi politik yang signifikan.7

Dalam bidang keadilan sosial, pemikiran John Rawls tentang justice as fairness menjadi landasan penting dalam kajian teori keadilan dan kebijakan publik.8 Nancy Fraser juga menekankan perlunya integrasi antara redistribusi ekonomi dan pengakuan identitas dalam memahami keadilan sosial secara lebih luas.9

6.3.       Tantangan dan Kritik terhadap Filsafat Kontemporer

Meskipun memberikan banyak wawasan baru, filsafat kontemporer juga menghadapi berbagai tantangan dan kritik. Salah satu kritik utama datang dari filsafat tradisional yang menganggap filsafat kontemporer terlalu terfragmentasi dan kehilangan kejelasan moral.10 Alasdair MacIntyre, misalnya, menekankan bahwa filsafat modern telah gagal dalam menyediakan landasan etika yang stabil setelah terputus dari tradisi Aristotelian.11

Roger Scruton mengkritik postmodernisme sebagai pemikiran yang terlalu relativistik, yang menurutnya dapat mengarah pada nihilisme intelektual.12 Selain itu, dalam menghadapi era digital dan kecerdasan buatan, beberapa pemikir seperti Nick Bostrom menyoroti perlunya filsafat yang lebih berorientasi ke masa depan untuk memahami dampak teknologi terhadap peradaban manusia.13

6.4.       Relevansi dan Masa Depan Filsafat Kontemporer

Di tengah perkembangan globalisasi dan digitalisasi, filsafat kontemporer tetap relevan dalam menjawab berbagai tantangan baru. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, konsep-konsep posthumanisme yang dikembangkan oleh Rosi Braidotti dan pemikiran tentang etika digital yang dikembangkan oleh Luciano Floridi semakin menjadi pusat perhatian dalam kajian filsafat.14

Selain itu, dalam konteks perubahan sosial dan politik global, filsafat kontemporer tetap menjadi alat penting dalam memahami fenomena seperti populisme, kapitalisme digital, serta dampak algoritma terhadap kehidupan manusia.15 Seiring dengan semakin kompleksnya tantangan dunia modern, filsafat kontemporer akan terus berkembang, memberikan kritik terhadap sistem yang ada, serta menawarkan perspektif baru dalam memahami eksistensi manusia.


Footnotes

[1]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 92.

[2]                Richard Kearney, Modern Movements in European Philosophy (Manchester: Manchester University Press, 1994), 9.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 21.

[5]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.

[6]                Max Horkheimer and Theodor Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. John Cumming (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94.

[7]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 45.

[8]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60.

[9]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 23.

[10]             Roger Scruton, Fools, Frauds and Firebrands: Thinkers of the New Left (London: Bloomsbury, 2015), 27.

[11]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 112.

[12]             Ibid., 115.

[13]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 5.

[14]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 78.

[15]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 22.


Daftar Pustaka

Adorno, T., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (J. Cumming, Trans.). Stanford University Press.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. Faria Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity Press.

Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific understanding of living systems. Anchor Books.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the "postsocialist" condition. Routledge.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Habermas, J. (2008). Between naturalism and religion: Philosophical essays (C. Cronin, Trans.). Polity Press.

Harari, Y. N. (2016). Homo deus: A brief history of tomorrow. HarperCollins.

Haraway, D. (1991). Simians, cyborgs, and women: The reinvention of nature. Routledge.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Husserl, E. (1970). Logical investigations (J. N. Findlay, Trans.). Routledge.

Kearney, R. (1994). Modern movements in European philosophy. Manchester University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Lyotard, J. F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Marx, K. (1990). Capital: Volume 1 (B. Fowkes, Trans.). Penguin Classics.

Milbank, J. (1990). Theology and social theory: Beyond secular reason. Blackwell.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Poster, M. (1990). The mode of information: Poststructuralism and social context. University of Chicago Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Sartre, J. P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Scruton, R. (2015). Fools, frauds and firebrands: Thinkers of the new left. Bloomsbury.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Taylor, C. (1994). Multiculturalism and the politics of recognition. Princeton University Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Žižek, S. (1989). The sublime object of ideology. Verso.

Žižek, S. (2003). The puppet and the dwarf: The perverse core of Christianity. MIT Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar