Filsafat Kontemporer
Akar, Perkembangan, dan Relevansi Modern
Alihkan ke: Aliran-Aliran
Filsafat Berdasarkan Sejarah dan Periode Filsafat
Abstrak
Filsafat kontemporer merupakan perkembangan
pemikiran filsafat yang muncul sejak akhir abad ke-19 hingga era modern,
sebagai respons terhadap perubahan sosial, politik, ekonomi, dan teknologi.
Artikel ini membahas perjalanan historis filsafat kontemporer dari periode
klasik hingga modern, serta bagaimana aliran-aliran utama seperti
eksistensialisme, fenomenologi, filsafat analitik, strukturalisme,
poststrukturalisme, dan teori kritis berkontribusi dalam membentuk pemahaman
dunia saat ini. Selain itu, artikel ini menguraikan tema-tema sentral dalam
filsafat kontemporer, seperti etika dalam dunia modern, identitas dan
kekuasaan, dampak teknologi, serta peran agama dan spiritualitas dalam
pemikiran kontemporer. Relevansi dan implikasi filsafat kontemporer dalam
bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, keadilan sosial, serta tantangan dalam era
digital dan kecerdasan buatan juga dibahas secara mendalam. Dengan mengacu pada
berbagai sumber akademik yang kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa filsafat
kontemporer tidak hanya memberikan analisis kritis terhadap realitas yang ada,
tetapi juga menawarkan perspektif baru dalam menghadapi tantangan global saat
ini dan di masa depan.
Kata Kunci: Filsafat kontemporer, eksistensialisme,
fenomenologi, teori kritis, postmodernisme, etika, teknologi, keadilan sosial,
kekuasaan, epistemologi.
PEMBAHASAN
Sejarah, Pemikiran, dan Dampak Filsafat Kontemporer dalam Dunia Modern
1.
Pendahuluan
Filsafat kontemporer
merupakan salah satu cabang utama dalam sejarah filsafat yang berkembang sejak
akhir abad ke-19 hingga masa kini. Sebagai kelanjutan dari filsafat modern,
filsafat kontemporer mencerminkan perubahan
besar dalam pemikiran manusia, terutama dalam merespons dinamika sosial,
politik, budaya, dan teknologi yang semakin kompleks. Pemikirannya tidak hanya
terbatas pada pertanyaan metafisik dan epistemologis yang klasik, tetapi juga
meluas ke ranah linguistik, etika, kritik sosial, dan filsafat ilmu.
1.1. Pengertian Filsafat
Kontemporer
Secara etimologis,
istilah “kontemporer” berasal dari bahasa Latin contemporarius,
yang berarti "sezaman" atau "berkaitan dengan waktu
yang sama." Dalam konteks filsafat, istilah ini merujuk pada
pemikiran filosofis yang berkembang sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini.1
Beberapa filsuf berpendapat
bahwa filsafat kontemporer bukan hanya sekadar fase lanjutan dari filsafat modern,
tetapi juga merupakan refleksi atas kritik dan dekonstruksi terhadap fondasi
pemikiran modern itu sendiri.2
Filsafat kontemporer
mencakup berbagai aliran yang memiliki pendekatan dan metodologi yang beragam,
seperti eksistensialisme, fenomenologi, filsafat analitik, postmodernisme,
teori kritis, dan post-strukturalisme. Meski berbeda dalam pendekatannya, semua aliran ini memiliki kesamaan
dalam menekankan analisis kritis terhadap realitas serta mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang
membentuk pemahaman manusia tentang dunia.3
1.2.
Perbedaan dengan Filsafat Klasik dan Modern
Filsafat klasik yang
berkembang sejak zaman
Yunani kuno hingga Abad Pertengahan umumnya berkutat pada pertanyaan
metafisika, logika, dan etika, dengan tokoh-tokoh besar seperti Plato dan
Aristoteles.4 Sementara itu, filsafat
modern yang muncul sejak era Renaisans hingga abad ke-19 lebih banyak menyoroti
rasionalisme, empirisme, dan epistemologi yang sistematis, dengan tokoh-tokoh
seperti René Descartes, Immanuel Kant, dan John Locke.5
Filsafat
kontemporer, di sisi lain, lebih menyoroti relativisme, dekonstruksi terhadap
konsep universal, serta keterlibatan filsafat dalam ranah sosial-politik. Pemikiran ini dipengaruhi oleh peristiwa
besar seperti Revolusi Industri, Perang Dunia, perkembangan teknologi
informasi, serta globalisasi.6 Salah satu ciri utama
filsafat kontemporer adalah adanya pergeseran dari keyakinan terhadap "kebenaran
absolut" menuju pemikiran yang lebih pluralistik dan kontekstual.7
1.3.
Signifikansi Filsafat Kontemporer dalam Kajian
Filsafat
Filsafat kontemporer
memiliki peran penting dalam memahami dunia modern dan tantangan yang
dihadapinya. Ia tidak hanya berfungsi sebagai kritik terhadap sistem pemikiran
sebelumnya, tetapi juga menawarkan kerangka kerja baru dalam memahami
persoalan-persoalan kompleks seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, peran
teknologi dalam kehidupan manusia, serta hubungan antara individu dan institusi
sosial.8
Dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat kontemporer juga berkontribusi dalam
membentuk pemahaman tentang etika teknologi, kecerdasan buatan, dan dampak digitalisasi terhadap eksistensi manusia.9
Pemikiran seperti posthumanisme dan transhumanisme muncul sebagai bagian dari
filsafat kontemporer yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai masa depan
manusia dalam era teknologi yang berkembang
pesat.10
Dengan demikian,
memahami filsafat kontemporer bukan hanya sekadar mempelajari tokoh dan aliran
pemikirannya, tetapi juga melihat bagaimana filsafat ini berinteraksi dengan
berbagai aspek kehidupan modern. Hal ini menjadi semakin relevan dalam era globalisasi, di mana batas-batas
pemikiran tradisional mulai dipertanyakan dan diredefinisi ulang sesuai dengan
perkembangan zaman.11
Footnotes
[1]
John Shand, Central Issues of Philosophy (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2009), 7.
[2]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 3-5.
[3]
Richard Kearney, Modern Movements in European Philosophy
(Manchester: Manchester University Press, 1994), 10.
[4]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 12-15.
[5]
Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes
to Wittgenstein (London: Routledge, 2002), 5-8.
[6]
Martin Jay, The Dialectical Imagination: A History of the Frankfurt
School and the Institute of Social Research (Berkeley: University of
California Press, 1996), 30-35.
[7]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv-xxv.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action (Boston:
Beacon Press, 1984), 45-50.
[9]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 22-27.
[10]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 3-5.
[11]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford:
Blackwell, 2010), 9-12.
2.
Latar
Belakang dan Sejarah Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
adalah hasil dari evolusi pemikiran yang terus berkembang sejak zaman kuno
hingga modern. Dalam perkembangannya, filsafat mengalami berbagai transformasi
yang mencerminkan perubahan sosial, politik, dan teknologi. Bab ini akan
menguraikan perjalanan historis filsafat, faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya filsafat kontemporer, serta
bagaimana ia membentuk cara berpikir manusia dalam menghadapi tantangan zaman.
2.1.
Periodeisasi Filsafat: Dari Klasik hingga
Kontemporer
Sejarah filsafat
dapat dibagi menjadi beberapa
periode utama:
1)
Filsafat Klasik (Abad
ke-6 SM – Abad ke-5 M)
Filsafat klasik ditandai dengan pemikiran para
filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka meletakkan dasar
bagi logika, metafisika, dan etika yang menjadi fondasi bagi pemikiran
selanjutnya.1 Aristoteles, misalnya, mengembangkan logika deduktif
yang masih berpengaruh hingga saat ini.2
2)
Filsafat Abad
Pertengahan (Abad ke-5 – Abad ke-15 M)
Periode ini didominasi oleh pemikiran teologis
yang menghubungkan filsafat dengan agama. Tokoh seperti Thomas Aquinas
mengembangkan filsafat skolastik yang berusaha merekonsiliasi antara filsafat
Aristotelian dengan teologi Kristen.3
3)
Filsafat Modern (Abad
ke-16 – Abad ke-19 M)
Revolusi ilmiah dan Renaisans membawa perubahan
besar dalam filsafat, dengan munculnya rasionalisme dan empirisme. René
Descartes memperkenalkan cogito ergo sum sebagai dasar epistemologi
modern,4 sementara Immanuel Kant mengembangkan teori kritisisme yang
menengahi perdebatan antara rasionalisme dan empirisme.5
4)
Filsafat Kontemporer
(Abad ke-19 – Sekarang)
Perkembangan teknologi, revolusi industri, serta
perubahan sosial-politik mendorong filsafat untuk lebih kritis terhadap fondasi
pemikiran modern. Di sinilah muncul berbagai aliran seperti eksistensialisme,
fenomenologi, filsafat analitik, strukturalisme, dan postmodernisme.6
2.2.
Kemunculan Filsafat Kontemporer (Abad ke-19 –
Sekarang)
Filsafat kontemporer
berkembang sebagai respons terhadap berbagai peristiwa besar yang terjadi di
dunia, seperti Revolusi Industri, dua Perang Dunia, dan perkembangan teknologi informasi. Beberapa faktor utama yang
berkontribusi dalam kelahirannya adalah:
2.2.1.
Revolusi
Ilmiah dan Teknologi
Kemajuan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi telah mengubah cara manusia memahami realitas.
Pandangan mekanistis yang berkembang pada masa modern mulai dipertanyakan oleh
filsafat kontemporer. Martin Heidegger, misalnya, mengkritik bagaimana teknologi modern mengubah cara
manusia berhubungan dengan dunia, menciptakan era di mana manusia semakin
terasing dari keberadaannya yang autentik.7
2.2.2. Revolusi Industri dan
Kapitalisme
Revolusi Industri
yang terjadi pada abad ke-19 memicu perubahan besar dalam struktur sosial dan
ekonomi. Karl Marx adalah salah satu filsuf yang paling berpengaruh dalam
kritik terhadap kapitalisme, di mana ia melihat bahwa sistem ekonomi ini menciptakan ketimpangan sosial
yang besar.8 Kritiknya terhadap alienasi tenaga kerja menjadi salah
satu dasar bagi filsafat kontemporer dalam memahami hubungan manusia dengan
sistem ekonomi.9
2.2.3. Pengaruh Perang Dunia I dan II
Dua perang dunia
membawa dampak besar terhadap filsafat kontemporer. Pengalaman perang membuat
banyak filsuf mempertanyakan rasionalitas manusia dan peradaban modern.
Jean-Paul Sartre, misalnya, mengembangkan
eksistensialisme yang menekankan kebebasan individu dalam menghadapi absurditas
dunia.10 Sementara itu, teori kritis dari Mazhab Frankfurt, yang
dikembangkan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno, mengkritik bagaimana
ideologi dan sistem kapitalisme modern berkontribusi terhadap kontrol sosial
dan dominasi.11
2.2.4. Globalisasi dan Postmodernisme
Pada paruh kedua
abad ke-20, muncul pemikiran postmodern yang menantang konsep-konsep besar
(metanarasi) yang dianggap mendominasi pemikiran modern. Jean-François Lyotard,
misalnya, berpendapat bahwa dunia kontemporer
ditandai oleh "ketidakpercayaan
terhadap metanarasi," di mana tidak ada satu kebenaran
universal, melainkan berbagai perspektif yang saling berkompetisi.12
Kesimpulan
Sejarah filsafat
kontemporer tidak bisa dilepaskan dari perkembangan intelektual dan perubahan
sosial yang terjadi sejak zaman kuno hingga modern. Dengan latar belakang yang
dipengaruhi oleh revolusi ilmiah, perubahan sosial, serta dinamika politik global, filsafat
kontemporer berkembang menjadi medan pemikiran yang plural dan reflektif
terhadap tantangan zaman. Seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi,
filsafat kontemporer terus berevolusi, menawarkan pemahaman baru tentang
realitas, keberadaan manusia, dan masa depan peradaban.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London:
Routledge, 1982), 25.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 1011a-b.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1911), I.Q.1.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 125.
[6]
Richard Kearney, Modern Movements in European Philosophy
(Manchester: Manchester University Press, 1994), 9.
[7]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans.
William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 5.
[8]
Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London:
Penguin Classics, 1990), 184.
[9]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 72.
[10]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 15.
[11]
Max Horkheimer and Theodor Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. John Cumming (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94.
[12]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv.
3.
Aliran
dan Tokoh-Tokoh Utama dalam Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
ditandai oleh berbagai aliran pemikiran yang berkembang dari abad ke-19 hingga
saat ini. Aliran-aliran ini sering kali muncul sebagai respons terhadap masalah
sosial, politik, ekonomi, dan epistemologi yang terus berubah dalam masyarakat modern. Bab ini akan
menguraikan beberapa aliran filsafat utama dalam periode kontemporer beserta
tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalamnya.
3.1.
Eksistensialisme dan Fenomenologi
Eksistensialisme dan
fenomenologi adalah dua aliran yang memiliki hubungan erat, terutama dalam menyoroti pengalaman subjektif manusia dan
keberadaannya di dunia.
3.1.1. Eksistensialisme
Eksistensialisme
berkembang pesat pada abad ke-20 dengan fokus pada kebebasan individu, makna
hidup, dan kecemasan eksistensial. Tokoh utama dalam eksistensialisme adalah Jean-Paul
Sartre, yang menekankan bahwa manusia "terkutuk untuk bebas," artinya manusia tidak memiliki
esensi yang diberikan sejak lahir dan harus menentukan maknanya sendiri.1
Sartre juga menekankan konsep l’être-pour-soi (keberadaan untuk
dirinya sendiri) sebagai ciri khas eksistensi manusia.2
Sementara itu, Søren
Kierkegaard, yang dianggap sebagai bapak eksistensialisme, mengembangkan
gagasan tentang "lompatan iman" (leap of faith), yang menyatakan
bahwa keyakinan terhadap Tuhan adalah keputusan subjektif yang tidak dapat
sepenuhnya dibuktikan secara rasional.3
3.1.2. Fenomenologi
Fenomenologi
dikembangkan oleh Edmund Husserl sebagai pendekatan untuk memahami pengalaman
manusia secara langsung dan tanpa asumsi filosofis sebelumnya.4
Husserl memperkenalkan metode epoché, yaitu menangguhkan semua
keyakinan tentang realitas eksternal untuk fokus pada pengalaman subjektif
murni.5
Martin Heidegger,
yang mengembangkan fenomenologi lebih jauh, memperkenalkan konsep Dasein
(keberadaan di dunia) dan menekankan bahwa manusia selalu terhubung dengan
dunia dan tidak dapat dipahami secara terpisah darinya.6
Fenomenologi Heidegger membuka jalan bagi pemikiran eksistensialis dan
hermeneutika kontemporer.
3.2.
Pragmatism dan Filsafat Analitik
3.2.1. Pragmatisme
Pragmatisme adalah
aliran filsafat yang berkembang di Amerika Serikat dan berfokus pada penerapan
praktis dari konsep-konsep filosofis. William James dan John Dewey adalah dua
tokoh utama dalam tradisi ini. James berpendapat bahwa kebenaran suatu gagasan
bergantung pada manfaat praktisnya dalam kehidupan.7
Sementara itu, Dewey mengembangkan teori pendidikan yang menekankan
pembelajaran berbasis pengalaman dan demokrasi sebagai nilai utama dalam
pendidikan.8
Richard Rorty
kemudian memperbarui pragmatisme dengan mengusulkan bahwa filsafat seharusnya
tidak mencari kebenaran objektif, melainkan fokus pada diskursus yang membangun
masyarakat yang lebih baik.9
3.2.2. Filsafat Analitik
Filsafat analitik
berkembang di dunia berbahasa Inggris sebagai respons terhadap filsafat
spekulatif. Ludwig Wittgenstein adalah salah satu tokoh utama yang
berkontribusi dalam aliran ini dengan bukunya Tractatus Logico-Philosophicus,
yang menegaskan bahwa makna bahasa harus ditentukan melalui struktur logisnya.10
Bertrand Russell dan
G.E. Moore juga memainkan peran penting dalam mengembangkan filsafat analitik
dengan menekankan logika dan analisis bahasa sebagai metode utama dalam
filsafat.11
3.3.
Strukturalisme dan Poststrukturalisme
3.3.1. Strukturalisme
Strukturalisme
muncul sebagai pendekatan dalam linguistik dan antropologi sebelum berkembang
menjadi aliran filsafat. Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi
strukturalisme dengan teorinya tentang tanda (sign) yang terdiri dari signifier
(penanda) dan signified (yang ditandai).12
Claude Lévi-Strauss
kemudian mengadaptasi teori Saussure ke dalam antropologi struktural,
menunjukkan bahwa kebudayaan manusia dapat dipahami sebagai sistem tanda yang
memiliki struktur tertentu.13
3.3.2. Poststrukturalisme
Poststrukturalisme
muncul sebagai kritik terhadap strukturalisme. Michel Foucault menolak gagasan
bahwa realitas sosial memiliki struktur tetap dan mengembangkan teori wacana
yang menyoroti bagaimana pengetahuan dan kekuasaan saling terkait.14
Jacques Derrida
memperkenalkan dekonstruksi, metode analisis yang menunjukkan bahwa makna dalam
teks selalu bersifat tidak tetap dan dapat direinterpretasi secara berbeda
tergantung pada konteksnya.15
3.4.
Teori Kritis dan Mazhab Frankfurt
Mazhab Frankfurt
mengembangkan teori kritis sebagai respons terhadap kapitalisme, ideologi, dan
budaya massa. Max Horkheimer dan Theodor Adorno mengkritik industri budaya yang
mereka anggap telah menciptakan masyarakat yang konsumtif dan pasif.16
Jürgen Habermas
kemudian mengembangkan teori tindakan komunikatif, yang berusaha mencari
landasan rasional bagi interaksi sosial yang demokratis.17
3.5.
Postmodernisme dan Tantangan terhadap
Rasionalitas Modern
Jean-François
Lyotard mendefinisikan postmodernisme sebagai "ketidakpercayaan
terhadap metanarasi," yang berarti bahwa tidak ada satu narasi besar
yang bisa menjelaskan seluruh realitas.18
Sementara itu, Jean
Baudrillard mengembangkan konsep simulasi, yang menunjukkan bahwa di dunia
modern, realitas telah digantikan oleh citra dan tanda yang tidak lagi merujuk
pada sesuatu yang nyata.19
Kesimpulan
Aliran-aliran dalam
filsafat kontemporer mencerminkan kompleksitas dan dinamika pemikiran modern.
Dari eksistensialisme hingga postmodernisme, setiap aliran menawarkan
perspektif yang berbeda dalam memahami realitas, bahasa, kekuasaan, dan pengalaman
manusia.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28.
[3]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Classics, 2003), 45.
[4]
Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J.N. Findlay
(London: Routledge, 1970), 78.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 52.
[7]
William James, Pragmatism, trans. Fredson Bowers and Ignas
Skrupskelis (Cambridge: Harvard University Press, 1975), 29.
[8]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 102.
[9]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 45.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1922), 3.
[11]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1912), 19.
[12]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Wade Baskin (New York: Columbia University Press, 1959), 65.
[13]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson
and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 120.
[14]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan
Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 45.
[15]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.
[16]
Max Horkheimer and Theodor Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans.
John Cumming (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94.
[17]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 79.
[18]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,
trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984), xxiv.
[19]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser
(Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 11.
4.
Tema-Tema
Sentral dalam Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
tidak hanya mengembangkan teori-teori abstrak, tetapi juga menghadirkan respons
terhadap berbagai isu sosial, politik, dan epistemologis yang terus berkembang
di era modern dan postmodern. Bab ini akan membahas tema-tema utama dalam
filsafat kontemporer yang mencerminkan tantangan dan perubahan zaman, termasuk
etika modern, identitas dan kekuasaan, pengaruh teknologi, serta peran agama
dan spiritualitas dalam pemikiran kontemporer.
4.1.
Etika dalam Dunia Modern
4.1.1. Bioetika dan Etika Teknologi
Perkembangan pesat
dalam bidang bioteknologi dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan tantangan etis
yang signifikan. Filsuf seperti Peter Singer mengajukan gagasan etika utilitarianisme
dalam konteks bioteknologi, yang berfokus pada bagaimana tindakan harus dinilai
berdasarkan manfaat terbesar bagi makhluk hidup.1
Sementara itu, dalam
konteks AI, Luciano Floridi mengembangkan konsep information ethics, yang menyoroti
bagaimana teknologi informasi mempengaruhi konsep privasi, kesadaran digital,
dan tanggung jawab moral dalam interaksi manusia dengan mesin.2
4.1.2. Etika Lingkungan
Etika lingkungan
menjadi semakin relevan dalam filsafat kontemporer, terutama dalam menghadapi
krisis ekologi global. Fritjof Capra mengusulkan bahwa paradigma mekanistis
dalam sains harus digantikan dengan pendekatan sistemik yang menempatkan
manusia sebagai bagian integral dari ekosistem.3
Bruno Latour, dalam
karyanya We Have
Never Been Modern, menolak dikotomi antara manusia dan alam serta
menekankan pentingnya hubungan simbiosis antara keduanya.4
4.2.
Identitas, Kekuasaan, dan Ideologi
4.2.1. Politik Identitas dan
Multikulturalisme
Seiring dengan
globalisasi dan migrasi massal, filsafat kontemporer semakin berfokus pada isu
politik identitas dan multikulturalisme. Charles Taylor mengajukan teori
pengakuan (recognition
theory), yang menekankan bahwa identitas individu dan kelompok
hanya dapat berkembang secara autentik dalam lingkungan sosial yang mengakui
keberagaman budaya.5
Di sisi lain, Judith
Butler mengkritik konsep identitas yang kaku dalam kajian gender dan
mengembangkan teori performativitas, yang menyatakan bahwa identitas gender
bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi terbentuk melalui tindakan dan interaksi sosial.6
4.2.2. Kekuasaan dan Wacana
Michel Foucault
memperkenalkan teori wacana yang menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya berada
dalam institusi politik, tetapi juga dalam produksi pengetahuan dan bahasa.7
Foucault menegaskan bahwa norma sosial, hukum, dan bahkan sains adalah hasil
konstruksi kekuasaan yang menentukan bagaimana individu memahami realitas.8
Gilles Deleuze dan
Félix Guattari dalam karya mereka A Thousand Plateaus menyoroti
konsep rhizome,
yang menggambarkan bahwa kekuasaan bersifat fleksibel, tidak hierarkis, dan
menyebar dalam berbagai jaringan sosial.9
4.3.
Teknologi dan Kecerdasan Buatan
4.3.1. Filsafat Posthumanisme
Posthumanisme muncul
sebagai respons terhadap perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan
bioteknologi. Filsuf seperti Donna Haraway dalam A Cyborg Manifesto berpendapat
bahwa batas antara manusia dan mesin semakin kabur, menciptakan identitas cyborg
yang menggabungkan unsur biologis dan teknologi.10
Sementara itu, Nick
Bostrom mengembangkan teori tentang superintelligence, yang membahas
kemungkinan munculnya kecerdasan buatan yang melampaui kapasitas intelektual
manusia dan tantangan etis yang menyertainya.11
4.3.2. Digitalisasi dan Realitas
Simulasi
Jean Baudrillard
dalam Simulacra
and Simulation mengajukan gagasan bahwa di era digital, realitas
telah digantikan oleh simulasi yang tidak lagi memiliki referensi pada dunia
nyata.12 Contohnya adalah bagaimana media sosial menciptakan narasi
yang lebih berpengaruh daripada kejadian nyata itu sendiri.
Mark Poster kemudian
memperluas analisis ini dengan menyoroti bagaimana internet telah mengubah
hubungan antara individu dan kekuasaan, menciptakan bentuk baru dari kontrol
sosial berbasis data.13
4.4.
Agama dan Spiritualitas dalam Filsafat
Kontemporer
4.4.1. Kritik terhadap Sekularisme
Sejak era Pencerahan,
sekularisme telah menjadi paradigma dominan dalam filsafat modern. Namun,
filsafat kontemporer mengajukan berbagai kritik terhadap konsep ini. Jürgen
Habermas mengembangkan gagasan post-secular society, yang
menyatakan bahwa agama masih memiliki peran penting dalam ruang publik,
terutama dalam membentuk norma moral dan etika sosial.14
Slavoj Žižek, dalam
karyanya The
Puppet and the Dwarf, mengajukan kritik terhadap baik sekularisme
maupun fundamentalisme agama, dan menyoroti bagaimana ideologi sekuler sering
kali menggantikan peran agama dalam memberikan makna kepada kehidupan manusia.15
4.4.2. Dialog Antara Filsafat dan
Teologi
Dalam konteks Islam,
filsuf kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr mengusulkan bahwa filsafat Barat
telah kehilangan dimensi spiritualnya, dan ia menekankan pentingnya
mengintegrasikan kembali kebijaksanaan tradisional dalam dunia modern.16
Di dunia Kristen,
John Milbank melalui gerakan Radical Orthodoxy mengkritik
filsafat sekuler yang telah mengasingkan teologi dari kehidupan intelektual,
dan menyerukan rekonsiliasi antara iman dan filsafat.17
Kesimpulan
Tema-tema sentral
dalam filsafat kontemporer mencerminkan kompleksitas dunia modern dan upaya
filsuf dalam memahami serta merespons tantangan zaman. Dari bioetika hingga
filsafat teknologi, dari politik identitas hingga agama dan spiritualitas,
filsafat kontemporer terus berkembang sebagai medan intelektual yang dinamis.
Footnotes
[1]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 80.
[2]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 22.
[3]
Fritjof Capra, The Web of Life (New York: Anchor Books, 1996),
52.
[4]
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 95.
[5]
Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition
(Princeton: Princeton University Press, 1994), 25.
[6]
Judith Butler, Gender Trouble (New York: Routledge, 1990), 45.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 27.
[9]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 11.
[10]
Donna Haraway, Simians, Cyborgs, and Women (New York:
Routledge, 1991), 149.
[11]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 3.
[12]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1.
[13]
Mark Poster, The Mode of Information: Poststructuralism and Social
Context (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 64.
[14]
Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion: Philosophical Essays,
trans. Ciaran Cronin (Cambridge: Polity Press, 2008), 112.
[15]
Slavoj Žižek, The Puppet and the Dwarf: The Perverse Core of
Christianity (Cambridge: MIT Press, 2003), 5.
[16]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University
of New York Press, 1989), 27.
[17]
John Milbank, Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason
(Oxford: Blackwell, 1990), 48.
5.
Relevansi
dan Implikasi Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
bukan sekadar kajian akademis yang abstrak, tetapi memiliki dampak signifikan
dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dalam konteks sosial, politik, ilmu
pengetahuan, dan teknologi, pemikiran kontemporer telah mengubah cara manusia
memahami realitas, struktur sosial, dan hubungan antarindividu. Bab ini
membahas bagaimana filsafat kontemporer mempengaruhi ilmu pengetahuan,
kebijakan publik, serta memberikan kritik dan tantangan terhadap era digital
dan globalisasi.
5.1.
Dampak terhadap Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
5.1.1. Epistemologi dalam Ilmu
Pengetahuan Modern
Salah satu implikasi
utama filsafat kontemporer adalah perubahan dalam cara ilmu pengetahuan
dipahami. Thomas Kuhn, dalam The Structure of Scientific Revolutions,
mengajukan konsep paradigm shift, yaitu bahwa ilmu
pengetahuan berkembang bukan melalui akumulasi pengetahuan linier, melainkan
melalui revolusi konseptual yang menggantikan paradigma sebelumnya.1
Sementara itu, Paul
Feyerabend menolak pandangan bahwa metode ilmiah memiliki aturan universal.
Dalam Against
Method, ia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang dengan cara
yang tidak dapat direduksi ke dalam metodologi tunggal, menekankan pluralisme
epistemologis.2
5.1.2. Filsafat Pendidikan dan
Pembelajaran Kritis
Dalam dunia
pendidikan, filsafat kontemporer telah mendorong pendekatan yang lebih kritis
dan reflektif terhadap proses pembelajaran. Paulo Freire, melalui Pedagogy
of the Oppressed, mengkritik sistem pendidikan tradisional yang ia
sebut sebagai "pendidikan gaya bank", di mana siswa
diperlakukan sebagai wadah pasif yang hanya menerima informasi.3 Ia
mengusulkan pendekatan dialogical education yang berfokus
pada keterlibatan aktif peserta didik dalam proses belajar.
Richard Rorty juga
mengembangkan gagasan bahwa pendidikan harus mengarah pada pengembangan
solidaritas sosial dan kreativitas, bukan hanya sebagai alat untuk menciptakan
individu yang "berguna" bagi sistem ekonomi.4
5.2.
Peran dalam Isu Sosial dan Politik
5.2.1. Keadilan Sosial dan Hak Asasi
Manusia
Filsafat kontemporer
berkontribusi dalam pengembangan teori keadilan sosial dan hak asasi manusia.
John Rawls dalam A Theory of Justice mengajukan
gagasan justice
as fairness, yang menekankan bahwa keadilan sosial harus didasarkan
pada prinsip kesetaraan dan kebebasan yang dapat diterima oleh semua individu
dalam "posisi asli" tanpa bias pribadi.5
Di sisi lain, Nancy
Fraser menyoroti pentingnya recognition and redistribution,
yang menegaskan bahwa keadilan tidak hanya soal distribusi ekonomi yang adil,
tetapi juga tentang pengakuan sosial terhadap identitas kelompok minoritas.6
5.2.2. Kritik terhadap Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal
Mazhab Frankfurt
telah lama mengkritik bagaimana kapitalisme modern membentuk struktur sosial
yang mendukung dominasi elit tertentu. Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic
of Enlightenment berargumen bahwa industri budaya telah menciptakan
masyarakat konsumtif yang pasif dan tidak kritis terhadap sistem kekuasaan.7
Sementara itu,
Slavoj Žižek mengajukan kritik terhadap demokrasi liberal modern, yang ia
anggap sebagai sistem yang sering kali menutupi ketidaksetaraan sistemik di
balik ilusi kebebasan politik.8
5.3.
Teknologi, Digitalisasi, dan Tantangan Era
Informasi
5.3.1. Teknologi sebagai Alat Kontrol
Sosial
Michel Foucault
dalam Discipline
and Punish mengembangkan konsep panopticon, yang menunjukkan
bagaimana teknologi digunakan sebagai alat pengawasan dan kontrol sosial.9
Pemikiran ini menjadi semakin relevan di era digital, di mana data pribadi
dikumpulkan oleh perusahaan teknologi besar untuk mengendalikan perilaku
individu.
Shoshana Zuboff,
dalam The
Age of Surveillance Capitalism, mengkritik bagaimana kapitalisme
digital mengeksploitasi data pengguna untuk keuntungan ekonomi, menciptakan era
di mana kebebasan individu semakin dikendalikan oleh algoritma.10
5.3.2. Realitas Virtual dan Kehidupan
Posthuman
Jean Baudrillard
dalam Simulacra
and Simulation mengajukan gagasan bahwa realitas telah digantikan
oleh hiperrealitas, di mana batas antara yang nyata dan simulasi menjadi kabur.11
Fenomena ini semakin terlihat dalam era media sosial, metaverse, dan kecerdasan
buatan.
Sementara itu, Rosi Braidotti
dalam The
Posthuman menyoroti bahwa kemajuan teknologi telah mengaburkan
batas antara manusia dan mesin, memunculkan pertanyaan tentang apa yang akan
terjadi ketika manusia tidak lagi menjadi pusat dari sistem pengetahuan.12
5.4.
Kritik terhadap Filsafat Kontemporer
Meskipun filsafat
kontemporer telah memberikan wawasan baru dalam memahami realitas, ada banyak
kritik terhadap relevansinya.
5.4.1. Kritik dari Filsafat Tradisional
Para pemikir
tradisional seperti Alasdair MacIntyre berargumen bahwa filsafat kontemporer
cenderung terlalu terfragmentasi dan kehilangan arah moral yang jelas.13
Dalam After
Virtue, ia mengkritik bagaimana filsafat moral modern telah
terputus dari tradisi etika Aristotelian yang lebih sistematis.
Roger Scruton juga
mengkritik postmodernisme karena dianggap terlalu relativistik dan merusak
fondasi nilai-nilai sosial yang stabil.14
5.4.2. Tantangan dalam Era Digital
Dalam era digital,
filsafat kontemporer menghadapi tantangan untuk tetap relevan dalam menghadapi
kecerdasan buatan dan otomatisasi ekonomi. Beberapa filsuf, seperti Nick
Bostrom, berpendapat bahwa filsafat harus lebih fokus pada skenario masa depan,
termasuk dampak AI terhadap peradaban manusia.15
Sementara itu, Yuval
Noah Harari dalam Homo Deus berargumen bahwa filsafat
harus menyesuaikan diri dengan era transhumanisme, di mana manusia dapat
menggunakan teknologi untuk meningkatkan kapasitas biologis dan intelektualnya.16
Kesimpulan
Filsafat kontemporer
memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran modern, dari ilmu pengetahuan
dan pendidikan hingga isu sosial, politik, dan teknologi. Namun, tantangan
global seperti kapitalisme digital, kecerdasan buatan, dan krisis lingkungan
memerlukan pendekatan filosofis yang lebih adaptif dan inovatif. Di masa depan,
filsafat kontemporer harus terus berkembang untuk menjawab persoalan zaman yang
semakin kompleks.
Footnotes
[1]
Thomas Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 92.
[2]
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 14.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Continuum, 1970), 75.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 48.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60.
[6]
Nancy Fraser, Justice Interruptus:
Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 23.
[7]
Max Horkheimer and Theodor Adorno, Dialectic
of Enlightenment (Stanford: Stanford
University Press, 2002), 94.
[8]
Slavoj Žižek, The Sublime Object of
Ideology (London: Verso, 1989), 21.
[9]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans.
Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 201.
[10]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a
Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 53.
[11]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser
(Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 12.
[12]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 78.
[13]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1981), 112.
[14]
Roger Scruton, Fools, Frauds and Firebrands: Thinkers of the New Left
(London: Bloomsbury, 2015), 27.
[15]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 5.
[16]
Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (New York:
HarperCollins, 2016), 42.
6.
Kesimpulan
Filsafat kontemporer
merupakan kelanjutan dari tradisi filsafat sebelumnya yang berkembang melalui
refleksi kritis terhadap perubahan sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang
terjadi dalam dunia modern. Dalam berbagai aspeknya, filsafat ini telah
memberikan wawasan baru mengenai cara manusia memahami realitas, struktur
kekuasaan, serta peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan mempertimbangkan aspek historis, aliran pemikiran,
tema-tema utama, serta relevansinya dalam berbagai bidang, dapat disimpulkan
bahwa filsafat kontemporer memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap
perkembangan intelektual manusia.
6.1.
Transformasi Filsafat dari Modern ke Kontemporer
Sejak abad ke-19,
filsafat mengalami pergeseran paradigma yang signifikan, terutama sebagai
respons terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kritik terhadap tradisi
rasionalisme dan empirisme dalam filsafat modern.1 Perubahan ini
mencerminkan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru seperti fenomenologi,
eksistensialisme, filsafat analitik, strukturalisme, hingga postmodernisme.2
Martin Heidegger dan
Jean-Paul Sartre berkontribusi dalam menggeser pemikiran filsafat dari fokus
metafisika klasik ke analisis eksistensial yang menekankan subjektivitas dan
kebebasan individu.3 Di sisi lain, Ludwig Wittgenstein dan filsafat
analitik mengubah cara berpikir tentang bahasa, logika, dan makna dalam
kehidupan manusia.4 Dengan munculnya postmodernisme, filsuf seperti
Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik narasi besar dan memperkenalkan
metode dekonstruksi sebagai pendekatan kritis terhadap wacana dominan.5
6.2.
Kontribusi Filsafat Kontemporer dalam Isu
Sosial dan Politik
Salah satu peran
paling signifikan dari filsafat kontemporer adalah dalam kajian sosial dan
politik. Teori kritis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt memberikan
wawasan mendalam mengenai bagaimana kapitalisme, industri budaya, dan media
massa membentuk struktur kekuasaan dan kontrol sosial.6 Sementara
itu, pemikiran poststrukturalisme dari Foucault telah mengubah cara kita
memahami hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, dengan menunjukkan bahwa
setiap bentuk wacana memiliki implikasi politik yang signifikan.7
Dalam bidang
keadilan sosial, pemikiran John Rawls tentang justice as fairness menjadi
landasan penting dalam kajian teori keadilan dan kebijakan publik.8
Nancy Fraser juga menekankan perlunya integrasi antara redistribusi ekonomi dan
pengakuan identitas dalam memahami keadilan sosial secara lebih luas.9
6.3.
Tantangan dan Kritik terhadap Filsafat
Kontemporer
Meskipun memberikan
banyak wawasan baru, filsafat kontemporer juga menghadapi berbagai tantangan
dan kritik. Salah satu kritik utama datang dari filsafat tradisional yang
menganggap filsafat kontemporer terlalu terfragmentasi dan kehilangan kejelasan
moral.10 Alasdair MacIntyre, misalnya, menekankan bahwa filsafat
modern telah gagal dalam menyediakan landasan etika yang stabil setelah
terputus dari tradisi Aristotelian.11
Roger Scruton
mengkritik postmodernisme sebagai pemikiran yang terlalu relativistik, yang
menurutnya dapat mengarah pada nihilisme intelektual.12 Selain itu,
dalam menghadapi era digital dan kecerdasan buatan, beberapa pemikir seperti
Nick Bostrom menyoroti perlunya filsafat yang lebih berorientasi ke masa depan
untuk memahami dampak teknologi terhadap peradaban manusia.13
6.4.
Relevansi dan Masa Depan Filsafat Kontemporer
Di tengah
perkembangan globalisasi dan digitalisasi, filsafat kontemporer tetap relevan
dalam menjawab berbagai tantangan baru. Dengan kemajuan teknologi yang pesat,
konsep-konsep posthumanisme yang dikembangkan oleh Rosi Braidotti dan pemikiran
tentang etika digital yang dikembangkan oleh Luciano Floridi semakin menjadi
pusat perhatian dalam kajian filsafat.14
Selain itu, dalam
konteks perubahan sosial dan politik global, filsafat kontemporer tetap menjadi
alat penting dalam memahami fenomena seperti populisme, kapitalisme digital,
serta dampak algoritma terhadap kehidupan manusia.15 Seiring dengan
semakin kompleksnya tantangan dunia modern, filsafat kontemporer akan terus
berkembang, memberikan kritik terhadap sistem yang ada, serta menawarkan
perspektif baru dalam memahami eksistensi manusia.
Footnotes
[1]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 92.
[2]
Richard Kearney, Modern Movements in European Philosophy
(Manchester: Manchester University Press, 1994), 9.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 21.
[5]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158.
[6]
Max Horkheimer and Theodor Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. John Cumming (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94.
[7]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 45.
[8]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 60.
[9]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
"Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 23.
[10]
Roger Scruton, Fools, Frauds and Firebrands: Thinkers of the New
Left (London: Bloomsbury, 2015), 27.
[11]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 112.
[13]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 5.
[14]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
78.
[15]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 22.
Daftar Pustaka
Adorno, T., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic
of enlightenment (J. Cumming, Trans.). Stanford University Press.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. Faria Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths,
dangers, strategies. Oxford University Press.
Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity
Press.
Capra, F. (1996). The web of life: A new
scientific understanding of living systems. Anchor Books.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
Macmillan.
Feyerabend, P. (1975). Against method.
Verso.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.
Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical
reflections on the "postsocialist" condition. Routledge.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Habermas, J. (2008). Between naturalism and
religion: Philosophical essays (C. Cronin, Trans.). Polity Press.
Harari, Y. N. (2016). Homo deus: A brief history
of tomorrow. HarperCollins.
Haraway, D. (1991). Simians, cyborgs, and women:
The reinvention of nature. Routledge.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Husserl, E. (1970). Logical investigations
(J. N. Findlay, Trans.). Routledge.
Kearney, R. (1994). Modern movements in European
philosophy. Manchester University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. University of Chicago Press.
Latour, B. (1993). We have never been modern
(C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Lyotard, J. F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Marx, K. (1990). Capital: Volume 1 (B.
Fowkes, Trans.). Penguin Classics.
Milbank, J. (1990). Theology and social theory:
Beyond secular reason. Blackwell.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Poster, M. (1990). The mode of information:
Poststructuralism and social context. University of Chicago Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Sartre, J. P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Scruton, R. (2015). Fools, frauds and
firebrands: Thinkers of the new left. Bloomsbury.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Taylor, C. (1994). Multiculturalism and the
politics of recognition. Princeton University Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Žižek, S. (1989). The sublime object of ideology.
Verso.
Žižek, S. (2003). The puppet and the dwarf: The
perverse core of Christianity. MIT Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar