Pemikiran Ibn
Sīnā (Avicenna)
Sintesis Rasionalisme Aristotelian dan Spiritualitas
Islam
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
filsafat Ibn Sīnā (Avicenna), seorang filsuf Muslim klasik yang menempati
posisi sentral dalam tradisi filsafat Islam dan memiliki pengaruh luas hingga
ke dunia Latin abad pertengahan. Fokus utama kajian ini adalah bagaimana Ibn
Sīnā membangun sistem filsafat yang menggabungkan rasionalisme Aristotelian
dengan spiritualitas Islam melalui pendekatan yang sistematis dan integratif.
Pembahasan mencakup aspek-aspek kunci dalam pemikirannya, seperti ontologi dan
metafisika (konsep wujūd dan māhiyah), teori pengetahuan dan
akal, struktur kosmos dan proses emanasi, psikologi dan jiwa, hingga etika dan
tujuan hidup manusia. Artikel ini juga menelusuri pengaruh pemikiran Ibn Sīnā
di dunia Islam dan Eropa Latin, serta menampilkan kritik dan apresiasi dari
perspektif pemikiran modern. Melalui pendekatan historis-filosofis dengan
rujukan pada sumber primer dan studi akademik kontemporer, artikel ini
menegaskan bahwa filsafat Ibn Sīnā tetap relevan dalam menjawab persoalan-persoalan
filsafat, etika, dan spiritualitas di era modern.
Kata Kunci: Ibn Sīnā, Avicenna, filsafat Islam, metafisika,
epistemologi, etika, rasionalisme, spiritualitas, akal aktif, sejarah pemikiran.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Ibn Sīnā Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam klasik berkembang sebagai hasil
interaksi kreatif antara warisan intelektual Hellenistik, pemikiran Persia
kuno, dan kerangka keagamaan Islam. Dalam konteks ini, Ibn Sīnā (980–1037 M),
yang lebih dikenal di Barat sebagai Avicenna, menempati posisi sentral sebagai
salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat, baik di dunia Islam
maupun dalam tradisi filsafat Latin di Eropa Abad Pertengahan. Ia dianggap
sebagai pemikir besar yang berhasil membangun sistem filsafat yang orisinal dan
komprehensif, yang menggabungkan logika Aristotelian, neoplatonisme, serta
prinsip-prinsip teologis Islam dalam kerangka rasional dan spiritual yang
mendalam.¹
Periode kehidupan Ibn Sīnā berada pada masa
keemasan peradaban Islam, ketika kajian ilmu pengetahuan dan filsafat
berkembang pesat di bawah perlindungan kekuasaan dinasti seperti Samaniah dan
Buwaihiyah. Karya-karyanya yang paling monumental, seperti al-Shifā’
(Penyembuhan), al-Najāt (Keselamatan), dan al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt
(Isyarat dan Peringatan), menjadi referensi utama dalam pendidikan filsafat di
berbagai belahan dunia Islam.² Selain filsafat, ia juga dikenal sebagai ilmuwan
dalam bidang kedokteran, dengan karyanya al-Qānūn fī al-Ṭibb (Kanon
Kedokteran) yang menjadi rujukan medis utama hingga abad ke-17 di Eropa.³
Filsafat Ibn Sīnā tidak dapat dilepaskan dari
upayanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang hakikat
wujud, Tuhan, jiwa, dan pengetahuan. Dengan membangun kerangka metafisika yang
berlandaskan pada konsepsi dualitas antara wujud (wujūd) dan hakikat (māhiyah),
ia berhasil menyusun teori filsafat yang kompleks namun koheren.⁴ Ibn Sīnā
berupaya mengharmonisasikan antara wahyu dan akal, antara syariat dan hikmah,
serta antara dimensi rasional dan spiritual dalam memahami realitas.⁵
Lebih dari sekadar pengembangan atas pemikiran
Aristoteles, filsafat Ibn Sīnā justru menandai tahap kematangan dalam filsafat
Islam. Ia tidak hanya mentransmisikan pemikiran Yunani, tetapi juga
merekonstruksinya sesuai dengan kosmologi dan teologi Islam.⁶ Oleh karena itu,
pemikiran Ibn Sīnā bukan hanya bernilai historis, tetapi juga relevan untuk
dikaji ulang dalam konteks pemikiran kontemporer, terutama dalam isu-isu
seperti hubungan antara ilmu dan agama, filsafat jiwa, dan etika rasional.
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara
sistematis aspek-aspek utama dalam pemikiran Ibn Sīnā, mulai dari metafisika,
epistemologi, kosmologi, hingga etika, serta menelusuri pengaruh dan
kontroversi seputar filsafatnya. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan
dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai warisan intelektual Ibn Sīnā
sebagai representasi sintesis antara rasionalisme Aristotelian dan
spiritualitas Islam.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
79–81.
[2]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian
Tradition: Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden:
Brill, 2001), 15–19.
[3]
Emilie Savage-Smith, "Medicine," in Encyclopaedia
of the History of Science, Technology, and Medicine in Non-Western Cultures,
ed. Helaine Selin (Dordrecht: Springer, 2008), 1462.
[4]
Parviz Morewedge, ed., Philosophies of Existence:
Ancient and Medieval (New York: Fordham University Press, 1982), 97–98.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 213–214.
[6]
Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr
al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 35–36.
2.
Biografi
Singkat Ibn Sīnā
Ibn Sīnā, atau Avicenna dalam tradisi Latin, lahir
pada tahun 980 M di Afshana, sebuah desa dekat Bukhara (kini di wilayah
Uzbekistan). Nama lengkapnya adalah Abū ‘Alī al-Ḥusayn ibn ‘Abd Allāh ibn Sīnā.
Ia berasal dari keluarga berpendidikan: ayahnya adalah seorang pejabat
pemerintahan dinasti Samaniyah yang memiliki minat terhadap filsafat dan
diskusi intelektual.¹ Sejak usia muda, Ibn Sīnā menunjukkan kecerdasan luar
biasa. Ia menguasai Al-Qur’an dan sastra Arab sebelum berusia sepuluh tahun,
dan pada usia belasan ia telah menguasai logika, matematika, geometri,
astronomi, serta ilmu-ilmu alam.²
Salah satu aspek paling mencolok dalam biografi
intelektual Ibn Sīnā adalah kecepatan dan kedalaman penguasaannya terhadap ilmu
pengetahuan. Ia membaca karya-karya filsuf Yunani, terutama Aristoteles dan
Galen, serta teks-teks komentar para pemikir Islam sebelumnya seperti
al-Fārābī. Ia mengaku telah membaca Metafisika karya Aristoteles
sebanyak 40 kali tanpa memahami maksudnya, sampai akhirnya terbantu oleh sebuah
risalah karya al-Fārābī.³ Pada usia 16 tahun, Ibn Sīnā sudah mempraktikkan ilmu
kedokteran, dan dua tahun kemudian ia mulai menulis karya-karyanya sendiri.⁴
Puncak karier intelektualnya terjadi pada masa remaja
hingga usia tiga puluhan, saat ia menulis sebagian besar karya pentingnya.
Ketika masih berusia 18 tahun, ia diundang untuk merawat Sultan Nūḥ ibn Manṣūr
dari dinasti Samaniyah. Setelah kesembuhan sang raja, Ibn Sīnā diizinkan
mengakses perpustakaan istana, yang sangat luas dan menjadi sumber ilmu penting
baginya.⁵ Namun, masa-masa selanjutnya dalam hidupnya diwarnai oleh
pengembaraan dan keterlibatannya dalam dunia politik. Ia hidup pada masa
kemunduran kekuasaan Samaniyah dan naiknya dinasti Buwaihiyah dan Kakuyid, yang
membuatnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain seperti Gurganj, Rayy,
Hamadan, dan Isfahan.⁶
Meskipun sering terlibat dalam jabatan
administratif dan politik sebagai menteri atau penasihat, Ibn Sīnā tetap
produktif dalam menulis. Ia diperkirakan menulis lebih dari 100 karya, dengan
sekitar 40 di antaranya berkaitan dengan filsafat, dan 30 lainnya tentang
kedokteran, sementara sisanya membahas logika, astronomi, kimia, dan musik.⁷ Di
antara karya-karya monumentalnya adalah al-Shifā’ (Kitab Penyembuhan),
sebuah ensiklopedia filsafat dan ilmu pengetahuan; al-Najāt (Kitab
Keselamatan), ringkasan sistem filsafatnya; dan al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt,
sebuah karya yang mencerminkan kedewasaan pemikiran filosofisnya.⁸
Ibn Sīnā wafat pada tahun 1037 M di Hamadan dalam
usia 57 tahun. Ia meninggalkan warisan intelektual yang tidak hanya memengaruhi
dunia Islam, tetapi juga dunia Barat. Melalui penerjemahan ke dalam bahasa
Latin oleh Gerard dari Cremona dan lainnya, pemikiran Ibn Sīnā menjadi salah
satu fondasi penting dalam perkembangan filsafat skolastik Eropa, terutama
dalam pemikiran Thomas Aquinas.⁹ Dengan demikian, biografi Ibn Sīnā tidak hanya
mencerminkan kecemerlangan individu, tetapi juga menjadi gambaran dari dinamika
zaman keemasan intelektual Islam.
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden:
Brill, 2001), 30.
[2]
A. J. Arberry, Avicenna and the Muslim
Intellectual Tradition (London: George Allen & Unwin, 1957), 5–6.
[3]
Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition,
45–46.
[4]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2015), 22.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 213.
[6]
Deborah L. Black, “Avicenna and the Problem of the
Soul,” Arabic Sciences and Philosophy 10, no. 2 (2000): 159–180.
[7]
Jules Janssens, An Annotated Bibliography on Ibn
Sīnā (1970–1989) (Leuven: Peeters, 1991), xiii.
[8]
Michael Marmura, “Avicenna's Chapter on the
Relative,” Islamic Studies 3, no. 1 (1964): 15–17.
[9]
David C. Lindberg, The Beginnings of Western
Science, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 248.
3.
Ontologi
dan Metafisika Ibn Sīnā
Ontologi dan metafisika merupakan inti dari sistem
filsafat Ibn Sīnā. Ia tidak hanya mewarisi struktur metafisika Aristoteles,
tetapi juga merekonstruksinya menjadi sistem filsafat yang lebih matang dan
sistematis. Dalam karya utamanya Kitāb al-Shifā’, Ibn Sīnā menjelaskan
bahwa filsafat pertama (al-ḥikmah al-ūlā) atau metafisika adalah ilmu yang
membahas tentang wujūd (eksistensi) sejauh itu adalah wujūd,
tanpa terbatas pada jenis atau kategori tertentu.¹
3.1.
Wujūd (Eksistensi) dan Māhiyah
(Hakikat/Esensi)
Salah satu kontribusi terbesar Ibn Sīnā dalam
bidang metafisika adalah distingsi ontologis antara wujūd (eksistensi) dan
māhiyah (esensi). Menurutnya, māhiyah adalah “apa yang sesuatu itu
adanya” (whatness), sementara wujūd adalah kenyataan aktual bahwa
sesuatu itu ada. Dalam benda-benda kontingen, esensi dan eksistensi
adalah dua hal yang berbeda; esensi bisa dibayangkan tanpa harus ada secara
nyata. Sebaliknya, pada Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada),
eksistensi dan esensi identik dan tak terpisahkan.²
Distingsi ini menjadi dasar penting untuk memahami
hubungan antara makhluk dan Sang Pencipta. Semua makhluk merupakan mumkin
al-wujūd (yang mungkin ada), yakni entitas yang tidak mesti ada dengan
sendirinya dan membutuhkan sebab untuk eksistensinya. Sementara itu, hanya
Tuhan yang wujūd‐nya bersifat niscaya dan tidak tergantung pada apa pun
di luar diri-Nya.³
3.2.
Wājib al-Wujūd dan Teori Keberadaan
Konsep Wājib al-Wujūd adalah pilar utama
dalam metafisika Ibn Sīnā. Tuhan, dalam kerangka ini, adalah keberadaan yang
niscaya dari dirinya sendiri (necessary in itself) dan menjadi sebab
utama dari segala yang ada. Keberadaan makhluk yang bergantung pada-Nya berasal
melalui suatu proses emanasi (fayḍ), bukan melalui penciptaan temporal,
melainkan sebagai hubungan ontologis yang bersifat abadi.⁴
Ibn Sīnā mengembangkan pandangan ini dengan
memperkenalkan argumen kosmologis yang dikenal sebagai burhān al-siddīqīn
(argumen orang-orang yang jujur), yaitu pendekatan filsafat murni untuk membuktikan
keberadaan Tuhan melalui analisis tentang hakikat wujud itu sendiri, tanpa
harus mengandalkan observasi empiris terhadap alam.⁵ Argumen ini dianggap lebih
filosofis daripada pendekatan Aristoteles maupun teolog-teolog lain karena
bertumpu langsung pada konsep wujūd.
3.3.
Teori Emanasi dan Hirarki Wujud
Mengikuti corak neoplatonis, Ibn Sīnā mengadopsi
konsep emanasi sebagai mekanisme metafisik dari Wājib al-Wujūd menuju
pluralitas alam semesta. Dari Tuhan memancar (emanates) akal pertama (al-‘aql
al-awwal), yang darinya memancar langit pertama dan akal-akal selanjutnya
hingga mencapai akal kesepuluh (al-‘aql al-‘āshir) yang berhubungan
dengan dunia materi dan manusia.⁶ Sistem ini merupakan upaya untuk menjelaskan
bagaimana dari Yang Satu dan Tak Terbatas dapat muncul keragaman realitas tanpa
mengubah kesempurnaan Tuhan.
Emanasi dalam konteks Ibn Sīnā bersifat intelektual
dan immaterial, bukan fisikal. Setiap tingkat realitas—dari akal-akal,
jiwa-jiwa langit, hingga substansi-substansi materiil—merupakan refleksi dari
Wājib al-Wujūd dalam tingkat yang makin rendah. Dengan ini, kosmos dipandang
sebagai struktur bertingkat yang rasional dan harmonis.⁷
3.4.
Pengaruh dan Inovasi
Ibn Sīnā mengkonstruksi filsafat metafisika yang
begitu sistematis hingga dianggap sebagai puncak perkembangan filsafat Islam
klasik. Dalam sistemnya, Tuhan bukan hanya ens causa (sebab pertama),
tetapi juga ens perfectissimum (wujud yang paling sempurna), pusat
orientasi ontologis dan etis seluruh realitas.⁸ Pemikiran ini kelak menjadi
bahan perdebatan dalam filsafat dan teologi Islam, terutama dikritik oleh
al-Ghazālī dalam Tahāfut al-Falāsifah, namun tetap menjadi rujukan
penting bagi filsuf-filsuf sesudahnya, seperti Suhrawardī dan Mulla Ṣadrā.
Footnotes
[1]
Avicenna, Metaphysics of The Healing (al-Ilāhiyyāt
min Kitāb al-Shifā’), ed. and trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham
Young University Press, 2005), 2–4.
[2]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian
Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden:
Brill, 2001), 174–176.
[3]
Parviz Morewedge, “Philosophical Analysis and Ibn
Sina’s Concept of Existence,” Journal of Near Eastern Studies 26, no. 4
(1967): 266–268.
[4]
Peter Adamson, Avicenna (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 122–124.
[5]
Deborah L. Black, “Avicenna on the Existence of
God,” Mediaeval Studies 49 (1987): 355–356.
[6]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
91–92.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines, 2nd ed. (Albany: SUNY Press, 1993), 231–234.
[8]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 74–76.
4.
Epistemologi
dan Teori Pengetahuan
Dalam sistem filsafat Ibn Sīnā, epistemologi
memiliki posisi yang sangat penting karena berkaitan erat dengan metafisika,
psikologi, dan logika. Ia membangun kerangka epistemologi yang menggabungkan
pendekatan Aristotelian dan neoplatonis, dengan penekanan pada peran aktif akal
manusia dan iluminasi akal oleh akal aktif (al-‘aql al-fa‘āl).¹
Pengetahuan tidak hanya dipahami sebagai hasil aktivitas indera atau akal
semata, tetapi juga sebagai proses transendental yang memungkinkan jiwa manusia
mengakses realitas universal.
4.1.
Sumber dan Jenis Pengetahuan
Ibn Sīnā membagi pengetahuan manusia ke dalam dua
sumber utama: pengalaman inderawi dan proses intelektual.
Pengetahuan dimulai dari persepsi inderawi yang menangkap bentuk-bentuk (ṣuwar)
benda eksternal, kemudian melalui daya imajinasi dan intelek, bentuk-bentuk
tersebut diolah menjadi konsep universal.² Pengetahuan melalui pengalaman
bersifat empiris dan partikular, sedangkan pengetahuan intelektual bersifat
universal dan abstrak.
Selain dua sumber itu, Ibn Sīnā juga mengakui
adanya pengetahuan yang diperoleh secara intuitif melalui daya al-ḥads
(intuisi intelektual), yang menurutnya merupakan kemampuan jiwa untuk menangkap
kebenaran secara langsung tanpa proses silogistik.³ Pengetahuan intuitif ini
paling tinggi derajatnya, dan merupakan karakteristik utama para nabi yang
menerima wahyu.
4.2.
Tahapan Akal: Dari Potensi ke
Aktualitas
Salah satu kontribusi orisinal Ibn Sīnā dalam
epistemologi adalah teorinya tentang tahapan perkembangan akal manusia,
yang ia susun dalam lima tingkatan:⁴
1)
Akal Potensial (al-‘aql
bi al-quwwah): kapasitas akal untuk menerima bentuk-bentuk intelektual.
2)
Akal Aktual (al-‘aql
bi al-fi‘l): akal yang telah mulai menangkap bentuk-bentuk universal.
3)
Akal Perolehan (al-‘aql
al-mustafād): akal yang telah mengaktualisasi seluruh potensinya.
4)
Akal yang Diperoleh dari akal
aktif (al-‘aql al-fa‘āl): sumber pencahayaan intelektual.
5)
Akal Suci (al-‘aql
al-qudsī): hanya dicapai oleh para nabi; memungkinkan kontak langsung
dengan akal aktif tanpa perantara.
Setiap tingkatan akal mencerminkan tingkat
perkembangan pengetahuan seseorang, dari pengetahuan empiris hingga kepada
pengetahuan intuitif dan metafisik yang bersifat langsung dan transenden.⁵
4.3.
Akal Aktif dan Iluminasi Pengetahuan
Dalam filsafat Ibn Sīnā, akal aktif (al-‘aql
al-fa‘āl) adalah unsur kunci dalam teori pengetahuan. Ia berfungsi sebagai
penghubung antara dunia intelligible (alam makna) dengan akal manusia. Akal
aktif adalah entitas immaterial terakhir dalam hirarki emanasi, yang bertugas
"menyinari" akal manusia agar mampu menangkap bentuk-bentuk universal
yang tak dapat dicerap oleh indera.⁶ Dengan demikian, pengetahuan sejati
menurut Ibn Sīnā tidak diperoleh semata-mata melalui akumulasi data empiris,
tetapi melalui iluminasi akal oleh akal aktif.
Konsepsi ini juga memiliki dimensi spiritual:
semakin tinggi kualitas akal manusia, semakin besar potensinya untuk menerima
cahaya pengetahuan dari akal aktif. Hal ini menghubungkan epistemologi Ibn Sīnā
dengan aspek mistis dan profetik dalam Islam, di mana wahyu dilihat sebagai
puncak pencapaian intelektual dan spiritual.⁷
4.4.
Wahyu, Akal, dan Pengetahuan
Profetik
Ibn Sīnā membedakan antara pengetahuan filosofis
dan pengetahuan profetik. Meskipun sama-sama berasal dari akal aktif, wahyu
diberikan kepada para nabi melalui daya imajinasi dan intuisi yang sangat kuat
dan murni. Para nabi, dalam hal ini, bukan hanya mengetahui kebenaran
metafisik, tetapi juga mampu menyampaikannya kepada masyarakat dalam bentuk
simbolik dan persuasif.⁸ Ini menunjukkan bahwa bagi Ibn Sīnā, wahyu tidak
bertentangan dengan akal, melainkan merupakan bentuk tertinggi dari aktivitas
intelektual manusia yang diberkahi.
Footnotes
[1]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian
Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden:
Brill, 2001), 217–218.
[2]
Deborah L. Black, Logic and Aristotle’s Rhetoric
and Poetics in Medieval Arabic Philosophy (Leiden: Brill, 1990), 103–104.
[3]
Marmura, Michael E. “Avicenna on Primary Concepts
in the ‘Ishārāt,’” Arabic Sciences and Philosophy 14, no. 2 (2004):
207–209.
[4]
Leaman, Oliver. An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
98–100.
[5]
Adamson, Peter. Avicenna (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 145–147.
[6]
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization
in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 223.
[7]
Goodman, Lenn E. Avicenna (London:
Routledge, 2006), 97–99.
[8]
Morewedge, Parviz. “The Logic of Divine Emanation
in Avicenna,” Philosophy East and West 22, no. 1 (1972): 29–30.
5.
Kosmologi
dan Pandangan tentang Alam
Kosmologi Ibn Sīnā merupakan bagian integral dari
sistem filsafatnya yang menggabungkan metafisika, epistemologi, dan teologi ke
dalam satu kerangka rasional. Dalam pandangan Ibn Sīnā, alam semesta tidak
tercipta secara temporal (dalam waktu), tetapi merupakan akibat abadi dari
Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada), yang memancarkan segala
realitas melalui proses emanasi intelektual.¹ Ia menolak pemahaman
penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) secara literal, tetapi
tetap menegaskan bahwa segala sesuatu bergantung pada Tuhan secara mutlak, baik
dalam eksistensi maupun kontinuitasnya.²
5.1.
Struktur Alam Semesta: Hirarki
Kosmik
Ibn Sīnā menggambarkan struktur kosmos sebagai
sistem hirarkis dan berjenjang, dimulai dari Tuhan sebagai sumber segala
keberadaan, kemudian diikuti oleh serangkaian entitas immaterial yang disebut akal-akal
kosmik.³ Akal pertama (al-‘aql al-awwal) merupakan entitas pertama
yang emanatif dari Tuhan, dan darinya lahir langit pertama serta akal kedua.
Proses ini terus berlanjut hingga akal kesepuluh (al-‘aql al-‘āshir),
yang mengatur dunia sublunar, yaitu dunia fisik yang dihuni manusia.
Akal-akal tersebut bukan hanya struktur metafisik,
tetapi juga berkaitan dengan langit-langit planet dalam kosmologi
geosentris klasik.⁴ Setiap langit diasosiasikan dengan jiwa dan akal
tersendiri, yang mengatur gerakan langit secara abadi dan harmonis. Gerakan
langit dalam pandangan Ibn Sīnā tidak bersifat mekanis, tetapi merupakan
gerakan cinta dan kerinduan jiwa langit kepada Tuhan, sang Kesempurnaan
Mutlak.⁵
5.2.
Empat Dunia: Dari Ilahi hingga
Materi
Kosmologi Ibn Sīnā dapat dipahami dalam empat
tingkat realitas yang saling bertingkat dan saling memancar:
1)
Alam Ilahi: Tuhan
sebagai Wājib al-Wujūd yang tidak berkomposit dan tak berubah.
2)
Akal-akal Kosmik dan Jiwa Langit: entitas intelektual yang menjadi perantara penciptaan.
3)
Langit dan Bintang: substansi
langit yang bersifat abadi, tak berubah, dan digerakkan oleh jiwa.
4)
Dunia Sub-Lunar: dunia
materi dan perubahan yang terdiri dari empat unsur: tanah, air, udara, dan
api.⁶
Dengan struktur ini, Ibn Sīnā mempertahankan
kerangka Aristotelian tentang alam sublunar sebagai tempat perubahan dan
korupsi, sembari menambahkan kerangka neoplatonis tentang hirarki realitas dan
penyinaran bentuk-bentuk intelektual dari atas ke bawah.
5.3.
Pandangan tentang Materi dan Gerak
Ibn Sīnā mengikuti Aristoteles dalam memahami materi
sebagai substrat potensial yang menerima bentuk (ṣurah) untuk
menjadi suatu entitas aktual. Namun, ia menambahkan bahwa bentuk-bentuk itu
tidak mungkin mengaktualkan diri tanpa kecerdasan kosmik (yakni akal
aktif) yang memberikan bentuk kepada materi.⁷ Gerak dipahami sebagai
aktualisasi potensi menuju bentuk yang sempurna, dan gerak langit memiliki
karakter spiritual: bukan karena paksaan fisik, tetapi karena kerinduan (isytiyāq)
terhadap sumbernya yang lebih tinggi.
Dalam dunia sublunar, perubahan terus-menerus
terjadi karena komposisi materi yang tidak stabil dan pengaruh langit.⁸ Namun,
segala yang berubah tetap tunduk pada hukum sebab-akibat dan rasionalitas
universal yang menjamin keteraturan dan keterpahaman kosmos.
5.4.
Posisi Manusia dalam Kosmos
Manusia menempati posisi unik dalam kosmologi Ibn
Sīnā karena ia berada di antara alam materi dan alam akal. Jiwa manusia adalah
entitas immaterial yang berasal dari alam intelektual dan memiliki potensi
untuk menyatu kembali dengan sumber ilahi melalui proses penyempurnaan akal.⁹
Dengan demikian, kosmologi Ibn Sīnā tidak hanya bersifat fisikal, tetapi juga
antropologis dan spiritual. Kosmos bukan hanya tempat tinggal fisik, tetapi
arena kontemplasi dan pendakian intelektual menuju Tuhan.
Footnotes
[1]
Avicenna, Metaphysics of The Healing, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 6–9.
[2]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 2001), 276–277.
[3]
Parviz Morewedge, The Metaphysica of Avicenna
(New York: Columbia University Press, 1973), 123–125.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines, 2nd ed. (Albany: SUNY Press, 1993), 187–190.
[5]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 105–106.
[6]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Malden: Blackwell Publishing, 1999), 60–61.
[7]
Deborah L. Black, “Avicenna on Individuation,
Intellect, and the Reality of the Human Soul,” Documenti e studi sulla
tradizione filosofica medievale 10 (1999): 73–74.
[8]
Adamson, Peter. Avicenna (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 155–158.
[9]
Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 225.
6.
Jiwa
dan Psikologi
Konsep jiwa (nafs) dalam filsafat Ibn Sīnā
merupakan salah satu sumbangan terpenting dalam tradisi filsafat Islam klasik.
Ia mewarisi dan mengembangkan teori jiwa Aristotelian, lalu mengintegrasikannya
dengan elemen-elemen metafisik dan spiritual yang khas dalam kerangka pemikiran
Islam.¹ Dalam karyanya al-Nafs (bagian dari al-Shifā’), Ibn Sīnā
mengembangkan psikologi filsafinya sebagai cabang dari ilmu alam (ṭabī‘iyyāt),
tetapi dengan kedalaman yang mencakup aspek ontologis dan eskatologis.
6.1.
Definisi dan Esensi Jiwa
Menurut Ibn Sīnā, jiwa adalah “substansi
spiritual yang pada dirinya sendiri mengetahui dan dari dirinya mengatur tubuh.”_²
Ia menolak pandangan bahwa jiwa adalah harmoni tubuh atau produk dari
unsur-unsur materi. Jiwa adalah substansi tersendiri yang immaterial,
independen dari tubuh, namun terikat padanya selama kehidupan duniawi.³
Jiwa adalah motor penggerak tubuh, namun juga memiliki eksistensinya sendiri
yang dapat bertahan setelah kematian tubuh.
Ibn Sīnā memandang bahwa jiwa manusia adalah satu
entitas yang memiliki berbagai fakultas (quwwā), bukan terdiri dari
bagian-bagian terpisah. Hal ini mencerminkan usaha Ibn Sīnā untuk memadukan
psikologi Aristotelian dengan konsep tauhid dalam Islam: satu substansi, banyak
fungsi.⁴
6.2.
Klasifikasi Jiwa: Vegetatif, Hewani,
dan Rasional
Ibn Sīnā membagi jiwa menjadi tiga tingkatan atau
jenis berdasarkan fungsinya:
1)
Jiwa Nabātīyah (Vegetatif)
Bertanggung
jawab atas pertumbuhan, nutrisi, dan reproduksi. Dimiliki oleh semua makhluk
hidup, termasuk tumbuhan.
2)
Jiwa Ḥayawānīyah (Hewani)
Meliputi
kemampuan persepsi dan gerak; mencakup indra lahiriah (seperti penglihatan,
pendengaran) dan indra batiniah (seperti memori, imajinasi). Dimiliki oleh
hewan dan manusia.
3)
Jiwa Nāṭiqah (Rasional)
Ciri khas
manusia, yang mampu berpikir abstrak, menganalisis, dan menyimpulkan. Jiwa
rasional ini bersifat immaterial dan kekal.⁵
Puncak jiwa manusia adalah potensi untuk menyatu
dengan akal aktif (al-‘aql al-fa‘āl), yang merupakan puncak pencapaian
spiritual dan intelektual.
6.3.
Argumentasi tentang Immaterialitas
dan Keabadian Jiwa
Ibn Sīnā menyusun argumen filosofis untuk
menunjukkan bahwa jiwa bersifat immaterial dan tidak bergantung secara
ontologis kepada tubuh. Salah satu argumen terkenalnya adalah eksperimen
mental yang dikenal sebagai “Manusia yang Melayang” (al-insān al-ṭā’ir).⁶
Dalam eksperimen ini, ia membayangkan seseorang yang baru diciptakan, melayang
di udara tanpa kontak inderawi apa pun—tidak melihat, mendengar, atau merasakan
tubuhnya. Orang ini tetap menyadari keberadaan dirinya, yang menunjukkan bahwa kesadaran
diri tidak tergantung pada tubuh.
Dari argumen ini, Ibn Sīnā menyimpulkan bahwa jiwa
adalah substansi yang eksistensinya independen dari tubuh dan, karena itu, dapat
bertahan setelah kematian.⁷ Ini menjadi dasar bagi pandangannya tentang
keabadian jiwa manusia, yang sejalan dengan doktrin Islam mengenai kehidupan
akhirat.
6.4.
Hubungan Jiwa dan Tubuh
Meski jiwa bersifat immaterial, ia tetap
berhubungan erat dengan tubuh selama kehidupan duniawi. Hubungan ini bukan
relasi material, tetapi fungsional dan instrumental: tubuh menjadi alat bagi
jiwa untuk mengaktualkan potensinya.⁸ Dalam kerangka ini, kehidupan manusia
adalah proses penyempurnaan jiwa melalui akal, kebajikan, dan pengendalian
nafsu, menuju kepada penyatuan (ittisāl) dengan akal aktif.
6.5.
Signifikansi Etis dan Spiritual
Konsepsi jiwa Ibn Sīnā juga memiliki implikasi etis
dan spiritual yang mendalam. Jiwa manusia memiliki tujuan transendental, yaitu
penyempurnaan diri (takamul al-nafs) melalui pengetahuan dan kebajikan.⁹
Jiwa yang berhasil mencapai penyatuan dengan akal aktif akan memperoleh kebahagiaan
abadi (sa‘ādah), sementara jiwa yang gagal tetap dalam kegelapan dan
keterikatan pada dunia materi.
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 2001), 141–143.
[2]
Avicenna, De Anima (Psychology) from Kitāb
al-Shifā’, ed. and trans. Fazlur Rahman (London: Oxford University Press,
1959), 30–31.
[3]
Deborah L. Black, “Avicenna on the Ontology of the
Soul,” in Interpreting Avicenna: Critical Essays, ed. Peter Adamson
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 124–125.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
105.
[5]
Peter Adamson, Avicenna (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 130–131.
[6]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 83–85.
[7]
Michael E. Marmura, “Avicenna’s ‘Flying Man’ in
Context,” The Monist 69, no. 3 (1986): 383–395.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 226.
[9]
Parviz Morewedge, “The Psychology of Self-Awareness
in Avicenna,” Islamic Studies 15, no. 4 (1976): 291–293.
7.
Etika
dan Tujuan Hidup
Etika dalam filsafat Ibn Sīnā (Akhlaq) tidak
berdiri sendiri sebagai disiplin terpisah, melainkan merupakan kelanjutan dari
pandangan metafisika, psikologi, dan kosmologinya.¹ Baginya, manusia adalah
makhluk rasional yang memiliki jiwa immaterial, dan tujuan utamanya adalah
mencapai kesempurnaan jiwa dan kebahagiaan abadi (sa‘ādah).²
Dalam konteks ini, etika tidak sekadar menyangkut perilaku baik dan buruk dalam
kehidupan sosial, tetapi juga merupakan jalan menuju penyatuan jiwa dengan
realitas intelektual tertinggi: Tuhan.
7.1.
Kebahagiaan (Sa‘ādah) sebagai Tujuan
Akhir
Bagi Ibn Sīnā, tujuan tertinggi manusia adalah kebahagiaan
(sa‘ādah), yang tidak bersifat sensual atau material, melainkan
intelektual dan spiritual.³ Kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui
aktualisasi potensi tertinggi jiwa rasional, yakni pengenalan terhadap
kebenaran dan Tuhan.⁴ Dengan demikian, proses etis adalah proses penyempurnaan
jiwa melalui akal, bukan sekadar pengendalian hasrat lahiriah.
Konsep ini sejalan dengan warisan Aristotelian,
namun Ibn Sīnā memperluasnya ke dalam horizon metafisika Islam: kebahagiaan
tidak berhenti pada kontemplasi, tetapi pada hubungan transenden dengan akal
aktif dan Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd.⁵
7.2.
Peran Akal dan Etika Rasional
Akal memainkan peran sentral dalam etika Ibn Sīnā.
Ia memandang bahwa akal tidak hanya sebagai alat untuk mengetahui, tetapi juga
sebagai pemimpin moral yang membimbing jiwa. Jiwa yang tertata adalah jiwa yang
tunduk pada arahan akal.⁶ Dalam hal ini, etika Ibn Sīnā adalah etika
rasional, yang menekankan pentingnya keutamaan (faḍīlah) seperti
kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan.
Empat kebajikan utama ini merupakan fondasi tatanan
batin dan sosial. Setiap kebajikan merupakan bentuk keseimbangan dan
keharmonisan antara potensi jiwa: potensi rasional, emosional, dan nafsu.⁷
Dalam kerangka ini, jiwa yang tidak terkendali oleh akal akan tenggelam dalam
kelebihan atau kekurangan, dan dengan demikian menjauh dari kebahagiaan sejati.
7.3.
Penyucian Jiwa dan Pendakian
Spiritual
Etika Ibn Sīnā juga mengandung dimensi spiritual
dan asketik. Ia mengajarkan bahwa jiwa harus disucikan dari kelekatan
terhadap dunia materi untuk bisa mencapai tingkatan spiritual yang lebih
tinggi. Proses ini melibatkan:
·
Tazkiyah al-nafs (penyucian
jiwa),
·
Tark al-shahawāt
(meninggalkan hawa nafsu),
·
dan Ittisāl bi al-‘aql al-fa‘āl (penyatuan dengan akal aktif).⁸
Penyempurnaan moral dan spiritual ini akan membawa
jiwa pada kondisi kesiapan untuk bertahan setelah kematian, dan untuk
memperoleh bentuk keberadaan yang lebih tinggi dalam alam intelektual.
7.4.
Etika Sosial dan Politik
Meskipun banyak menekankan aspek internal dan
spiritual, Ibn Sīnā juga memberikan perhatian pada etika sosial dan politik.
Dalam al-Siyāsah dan bagian-bagian tertentu dari al-Shifā’, ia
menekankan pentingnya keadilan dan peran negara dalam mendidik masyarakat agar
mencapai kebajikan.⁹ Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang dipimpin oleh
orang-orang yang telah menyempurnakan jiwanya, mirip dengan konsep filosof-raja
dalam filsafat Plato.
Etika sosial Ibn Sīnā berangkat dari pandangan
bahwa manusia adalah makhluk sosial (madaniyy bi al-ṭab‘), dan
aktualisasi kebajikan individu memerlukan interaksi dalam tatanan sosial yang
adil dan tertib.¹⁰
Footnotes
[1]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 137–138.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
110–111.
[3]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 2001), 245.
[4]
Peter Adamson, Avicenna (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 162.
[5]
Nasr, Seyyed Hossein. An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 246–248.
[6]
Deborah L. Black, “Avicenna and Ethical Knowledge,”
in Islamic Philosophy, Science, Culture, and Religion, ed. Mehdi
Aminrazavi (New York: Routledge, 2010), 88.
[7]
Jules Janssens, The Ethics of Ibn Sīnā
(Leuven: Peeters, 2006), 23–24.
[8]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Avicenna and
Its Influence on Medieval Europe (Westport: Greenwood Press, 1975), 99–101.
[9]
Lenn Goodman, Avicenna, 139.
[10]
Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 229.
8.
Pengaruh
dan Warisan Pemikiran Ibn Sīnā
Pemikiran Ibn Sīnā memiliki dampak luar biasa
dalam lintas tradisi intelektual—baik di dunia Islam maupun di Eropa Latin abad
pertengahan. Ia tidak hanya melanjutkan tradisi filsafat Aristotelian dan
neoplatonis dalam bingkai Islam, tetapi juga membentuk kerangka filsafat yang
akan mendominasi pemikiran filsafat Islam selama berabad-abad.¹ Gagasannya
memengaruhi tokoh-tokoh besar seperti al-Ghazālī, Fakhr al-Dīn al-Rāzī,
Suhrawardī, dan Mulla Ṣadrā, serta memainkan peran kunci dalam lahirnya
skolastisisme Latin.
8.1.
Pengaruh di Dunia Islam
Dalam konteks Islam, pemikiran Ibn Sīnā mendapat reaksi
yang kompleks: sebagian besar menghargai kontribusinya, tetapi tidak
sedikit pula yang mengkritiknya keras, terutama dari kalangan teolog.² Kritik
paling terkenal datang dari Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111) dalam
karyanya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof), di mana ia
menyatakan Ibn Sīnā telah menyimpang dalam tiga hal pokok: (1) kekekalan alam,
(2) pengetahuan Tuhan terhadap partikular, dan (3) kebangkitan jasmani.³ Meski
demikian, al-Ghazālī sendiri banyak memanfaatkan metode logika dan filsafat Ibn
Sīnā dalam karyanya, seperti terlihat dalam al-Mustashfā dan Maqāṣid
al-Falāsifah.
Setelah periode Ghazālī, filsafat Avicennian
mengalami fase integrasi baru dalam bentuk filsafat iluminasi (ḥikmah
isyrāqiyyah) yang dikembangkan oleh Suhrawardī (w. 1191).⁴ Meskipun ia
mengkritik aspek rasionalisme Ibn Sīnā, Suhrawardī tetap membangun sistem
filsafatnya di atas dasar-dasar ontologi Avicenna. Demikian pula dengan Mulla
Ṣadrā (w. 1640) dalam filsafat transcendent-nya (ḥikmah muta‘āliyah),
yang menyatukan pemikiran Ibn Sīnā, mistisisme Ibnu ‘Arabī, dan rasionalitas
Syiah Imamiyyah dalam satu sintesis yang mendalam.⁵
8.2.
Pengaruh di Dunia Barat Latin
Karya-karya Ibn Sīnā mulai dikenal di Eropa Barat
sejak abad ke-12 melalui penerjemahan besar-besaran di pusat-pusat seperti
Toledo dan Salerno. Tokoh seperti Gerard of Cremona dan Dominicus
Gundisalvus menerjemahkan al-Shifā’ dan al-Najāt ke dalam
bahasa Latin.⁶
Pemikiran Ibn Sīnā kemudian menjadi fondasi
utama bagi skolastisisme Latin, terutama dalam bidang metafisika dan
psikologi. Filosof besar seperti Albertus Magnus dan Thomas Aquinas
sangat dipengaruhi oleh gagasan Ibn Sīnā, khususnya dalam pandangan tentang
esensi dan eksistensi, akal aktif, serta argumen keberadaan Tuhan.⁷ Meski
Aquinas kemudian mengkritik beberapa aspek filsafat Ibn Sīnā, ia tetap menyerap
struktur metafisik Avicennian dalam bangunan teologinya.⁸
Di bidang kedokteran, pengaruh Ibn Sīnā juga tak
kalah luas. Al-Qānūn fī al-Ṭibb (Canon of Medicine) menjadi teks standar
di universitas-universitas Eropa hingga abad ke-17, dan diterbitkan ulang dalam
puluhan edisi.⁹
8.3.
Warisan Intelektual yang
Berkelanjutan
Warisan Ibn Sīnā tidak hanya terletak pada kekayaan
argumennya, tetapi juga pada metodologi filosofisnya yang sistematis dan
upaya integratif antara wahyu dan akal.¹⁰ Ia menjadi representasi dari model faylasūf
Muslim yang tidak hanya menguasai ilmu-ilmu rasional, tetapi juga terlibat
dalam proyek etis dan spiritual manusia.
Dalam konteks kontemporer, pemikiran Ibn Sīnā terus
menjadi objek studi filosofis, terutama dalam upaya membangun dialog antara
tradisi Islam dan filsafat modern, serta dalam diskursus tentang ilmu, etika,
dan spiritualitas.¹¹ Maka, warisannya tetap hidup—bukan hanya sebagai
peninggalan sejarah, tetapi sebagai peta konseptual yang terus relevan
dalam menjawab problematika intelektual dan eksistensial umat manusia.
Footnotes
[1]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian
Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden:
Brill, 2001), 6–7.
[2]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 118–119.
[3]
Al-Ghazālī, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000),
13–18.
[4]
Nasr, Seyyed Hossein. Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardī, Ibn 'Arabī (Cambridge: Harvard University Press,
1964), 66.
[5]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of
the Intellect,” The Muslim World 94, no. 1 (2004): 87–106.
[6]
Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin
Translation Program in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context
14, no. 1–2 (2001): 249–288.
[7]
Richard C. Taylor, “Averroes and the Avicennian
Heritage: Metaphysics and the Theology of the Rational Soul,” Documenti e
studi sulla tradizione filosofica medievale 10 (1999): 421–460.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 3,
a. 4; q. 84, a. 6.
[9]
Emilie Savage-Smith, “Medicine,” in Encyclopaedia
of the History of Science, Technology, and Medicine in Non-Western Cultures,
ed. Helaine Selin (Dordrecht: Springer, 2008), 1462.
[10]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Malden, MA: Blackwell, 1999), 69–71.
[11]
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization
in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 231–233.
9.
Kritik
dan Apresiasi Modern
Dalam kajian filsafat Islam kontemporer dan sejarah
pemikiran global, posisi Ibn Sīnā (Avicenna) mengalami revitalisasi
intelektual. Para sarjana modern tidak hanya meneliti kontribusinya terhadap
metafisika dan epistemologi klasik, tetapi juga menempatkannya dalam diskursus
filsafat modern, sains, dan dialog antartradisi. Namun, apresiasi ini juga
diiringi oleh sejumlah kritik konseptual yang muncul dari berbagai
perspektif filsafat kontemporer, khususnya terkait metodologi, kosmologi, dan
hubungan antara filsafat dan wahyu.
9.1.
Kritik terhadap Metafisika dan Kosmologi
Avicennian
Beberapa filsuf dan ilmuwan modern mengkritik model
kosmologi dan emanasi Ibn Sīnā yang dianggap terlalu spekulatif dan tidak
sesuai dengan paradigma ilmiah modern.⁽¹⁾ Pandangan tentang struktur alam
semesta yang emanatif dan hierarkis, serta konsep akal-akal kosmik, dinilai
tidak lagi kompatibel dengan temuan-temuan fisika dan astronomi kontemporer.
Dalam kerangka sains modern, argumen tentang keberadaan entitas immaterial
seperti akal aktif sulit diverifikasi secara empiris.
Selain itu, model emanasi Ibn Sīnā dinilai oleh
sebagian pengkaji modern terlalu banyak dipengaruhi oleh neoplatonisme,
sehingga memunculkan ambiguitas teologis mengenai hubungan Tuhan dan makhluk.⁽²⁾
Argumen bahwa Tuhan "memancar" dunia secara abadi menimbulkan pertanyaan
tentang posisi Tuhan sebagai pencipta yang aktif dan personal dalam konteks
teologi Islam.
9.2.
Kritik terhadap Rasionalisme
Avicenna
Dari sudut pandang filsafat eksistensial dan
fenomenologi, rasionalisme Ibn Sīnā dikritik karena terlalu menekankan struktur
dan abstraksi, dan kurang memperhatikan dimensi pengalaman konkret
manusia.⁽³⁾ Tokoh seperti Henry Corbin menilai bahwa sistem Ibn Sīnā yang
sangat logis dan analitis belum menyentuh kedalaman mistis yang di kemudian
hari diangkat oleh filsuf seperti Suhrawardī dan Ibn ‘Arabī.⁽⁴⁾
Di sisi lain, pemikiran Avicennian juga mendapat
tantangan dari aliran positivisme logis, yang menolak validitas
metafisika sebagai ilmu. Dalam perspektif ini, kategori-kategori metafisis
seperti wujūd, māhiyah, atau ‘aql al-fa‘āl dianggap tidak
bermakna secara empiris dan karenanya tidak dapat diverifikasi.⁽⁵⁾
9.3.
Apresiasi terhadap Sistem Filsafat
Ibn Sīnā
Meskipun begitu, banyak sarjana modern—baik Muslim
maupun non-Muslim—justru menilai pemikiran Ibn Sīnā sebagai salah satu sistem
filsafat paling lengkap dalam sejarah. Ia berhasil menyatukan logika,
metafisika, etika, dan epistemologi ke dalam sistem koheren yang melampaui
zaman dan peradaban.⁽⁶⁾ Dimitri Gutas, misalnya, menunjukkan bahwa karya Ibn
Sīnā merepresentasikan filsafat sebagai disiplin yang otonom dan ilmiah, tidak
semata sebagai pelayan teologi, dan dengan demikian menjadi tonggak penting
dalam sejarah intelektual dunia.⁽⁷⁾
Dalam konteks Islam modern, pemikiran Ibn Sīnā juga
diapresiasi karena upayanya dalam mengharmonisasikan antara wahyu dan akal,
antara spiritualitas dan rasionalitas. Pandangannya tentang keabadian jiwa,
tujuan hidup manusia, dan nilai etika berbasis akal tetap relevan dalam
merespons krisis moral dan spiritual dunia kontemporer.⁽⁸⁾
9.4.
Relevansi Kontemporer
Beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Seyyed
Hossein Nasr dan Ibrahim Kalin melihat filsafat Ibn Sīnā sebagai
jembatan penting untuk membangun filsafat Islam yang berakar kuat namun
dialogis terhadap modernitas.⁽⁹⁾ Ibn Sīnā dianggap berhasil mengembangkan
pendekatan holistik yang menggabungkan metafisika, ilmu pengetahuan, dan
kedalaman spiritual yang bisa menjadi model alternatif terhadap reduksionisme
materialistik dalam filsafat modern.
Lebih jauh, pendekatan Ibn Sīnā terhadap jiwa dan
akal memberikan kontribusi penting dalam bioetika, filsafat pikiran, dan
psikologi eksistensial, di mana persoalan kesadaran, keabadian jiwa, dan
hubungan tubuh-jiwa kembali menjadi isu penting di abad ke-21.¹⁰
Footnotes
[1]
Richard C. Taylor, “Averroes and the Avicennian
Heritage,” Documenti e studi sulla tradizione filosofica medievale 10
(1999): 432.
[2]
Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and
Averroes on Intellect (New York: Oxford University Press, 1992), 144–146.
[3]
Michael E. Marmura, “Avicenna and the Problem of
the Infinite,” Medieval Studies 27 (1965): 134–136.
[4]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital,
trans. Willard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1960), 10–11.
[5]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New
York: Dover Publications, 1952), 37–40.
[6]
Peter Adamson, Avicenna (Oxford: Oxford
University Press, 2016), 175–177.
[7]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 2001), 8–9.
[8]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 162.
[9]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York:
Oxford University Press, 2010), 3–5.
[10]
Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Science: An
Illustrated Study (World Wisdom, 2010), 112–115.
10. Kesimpulan
Filsafat Ibn Sīnā merupakan puncak dari proses
kreatif dan sintesis intelektual dalam tradisi Islam klasik. Sebagai seorang faylasūf,
ilmuwan, dan teolog rasional, Ibn Sīnā berhasil mengintegrasikan filsafat
Yunani—khususnya Aristotelianisme dan Neoplatonisme—ke dalam kerangka pemikiran
Islam, tanpa kehilangan komitmennya terhadap prinsip-prinsip spiritual dan
keesaan Tuhan.¹ Melalui karya-karyanya seperti al-Shifā’, al-Najāt,
dan al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ia menciptakan sistem filsafat yang luas,
mendalam, dan logis—meliputi ontologi, epistemologi, kosmologi, psikologi,
etika, dan eskatologi.
Salah satu kontribusi besar Ibn Sīnā adalah distingsi
ontologis antara wujūd (eksistensi) dan māhiyah (esensi), yang menjadi
fondasi bagi pemikiran metafisika Islam setelahnya.² Ia juga memperkenalkan
model kosmologi emanatif yang menempatkan Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd,
dan membangun sistem epistemologi yang mengaitkan antara akal aktif,
pengetahuan rasional, dan iluminasi intelektual.³ Melalui psikologi rasionalnya,
ia merumuskan argumen tentang imaterialitas jiwa dan keabadiannya, serta
menggambarkan manusia sebagai entitas spiritual yang memiliki potensi untuk
menyatu dengan akal aktif dan mencapai sa‘ādah (kebahagiaan abadi).⁴
Etika Ibn Sīnā juga menunjukkan sintesis antara
akal dan spiritualitas: tujuan moral bukan hanya keteraturan sosial, tetapi
penyucian jiwa dan penyempurnaan diri menuju Tuhan.⁵ Ia tidak hanya memberikan
teori etika rasional, tetapi juga memperkaya tradisi Islam dengan model manusia
ideal yang rasional, spiritual, dan bertanggung jawab.
Warisan intelektual Ibn Sīnā melampaui batas
geografis dan peradaban. Ia memengaruhi para pemikir besar seperti
al-Ghazālī, Suhrawardī, dan Mulla Ṣadrā di dunia Islam; serta Albertus Magnus
dan Thomas Aquinas di Eropa Latin.⁶ Meskipun menghadapi kritik, terutama dari
teolog ortodoks dan dari paradigma ilmiah modern, Ibn Sīnā tetap dihargai
sebagai pemikir sistematis yang membangun filsafat sebagai ilmu otonom
yang dapat berdialog dengan wahyu dan tradisi agama.⁷
Di era kontemporer, filsafat Ibn Sīnā terus
direlevansikan dalam diskursus filsafat Islam, filsafat pikiran, spiritualitas,
dan dialog antara sains dan agama.⁸ Melalui pendekatannya yang rasional dan
spiritual, Ibn Sīnā menawarkan model berpikir holistik yang mampu
menjembatani antara dunia empiris dan realitas transenden—sebuah warisan yang
tetap penting dalam menjawab tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian
Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden:
Brill, 2001), 7.
[2]
Parviz Morewedge, The Metaphysica of Avicenna
(New York: Columbia University Press, 1973), 48–49.
[3]
Michael E. Marmura, Avicenna: Metaphysics from
The Healing (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 99–102.
[4]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 82–85.
[5]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
111–113.
[6]
Richard C. Taylor, “Avicenna and the Avicennian Tradition,”
in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and
Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 173–174.
[7]
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization
in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 231–233.
[8]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York:
Oxford University Press, 2010), 3–5.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2016). Avicenna. Oxford
University Press.
Aquinas, T. (2006). Summa Theologiae (Vol.
1). Cambridge University Press. (Original work published ca. 1265–1274)
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic.
Dover Publications.
Black, D. L. (1990). Logic and Aristotle’s
Rhetoric and Poetics in Medieval Arabic Philosophy. Brill.
Black, D. L. (1999). Avicenna on individuation,
intellect, and the reality of the human soul. Documenti e studi sulla
tradizione filosofica medievale, 10, 57–73.
Black, D. L. (2010). Avicenna and ethical
knowledge. In M. Aminrazavi (Ed.), Islamic philosophy, science, culture, and
religion (pp. 85–100). Routledge.
Burnett, C. (2001). The coherence of the
Arabic-Latin translation program in Toledo in the twelfth century. Science
in Context, 14(1–2), 249–288.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary
recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton University Press.
Davidson, H. A. (1992). Alfarabi, Avicenna, and
Averroes on intellect: Their cosmologies, theories of the active intellect, and
theories of human intellect. Oxford University Press.
Ghazālī, A. H. (2000). The incoherence of the
philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works (2nd
ed.). Brill.
Janssens, J. (2006). The ethics of Ibn Sīnā.
Peeters.
Kalin, I. (2004). Mulla Sadra’s realist ontology of
the intellect. The Muslim World, 94(1), 87–106.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy:
Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford University
Press.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Blackwell.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Marmura, M. E. (1986). Avicenna’s “Flying Man” in
context. The Monist, 69(3), 383–395.
Marmura, M. E. (2004). Avicenna on primary concepts
in the “Ishārāt.” Arabic Sciences and Philosophy, 14(2), 207–209.
Morewedge, P. (1973). The metaphysica of
Avicenna. Columbia University Press.
Morewedge, P. (1976). The psychology of
self-awareness in Avicenna. Islamic Studies, 15(4), 287–296.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardī, Ibn ʿArabī. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1993). An introduction to Islamic
cosmological doctrines (2nd ed.). State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2010). Islamic science: An
illustrated study. World Wisdom.
Rahman, F. (1959). Avicenna’s De anima
(Psychology) from Kitāb al-Shifā’. Oxford University Press.
Rahman, F. (1975). The philosophy of Avicenna
and its influence on medieval Europe. Greenwood Press.
Savage-Smith, E. (2008). Medicine. In H. Selin
(Ed.), Encyclopaedia of the history of science, technology, and medicine in
non-Western cultures (pp. 1459–1465). Springer.
Taylor, R. C. (1999). Averroes and the Avicennian
heritage: Metaphysics and the theology of the rational soul. Documenti e studi
sulla tradizione filosofica medievale, 10, 421–460.
Taylor, R. C. (2005). Avicenna and the Avicennian
tradition. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion
to Arabic philosophy (pp. 159–180). Cambridge University Press.
Lampiran: Daftar Karya-Karya Utama Ibn Sīnā (Avicenna)
Berikut adalah daftar karya-karya utama Ibn Sīnā
(Avicenna) yang mencakup karya dalam bidang filsafat, kedokteran, logika,
mistisisme, dan ilmu alam. Sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab, meskipun beberapa
ditulis dalam bahasa Persia.
1.
Karya-Karya Besar (Ensiklopedis dan
Sistematik)
1)
Kitāb al-Shifā’ (كتاب الشفاء)
Kitab Penyembuhan
Merupakan
karya ensiklopedis dalam empat bidang utama: logika, fisika, matematika, dan
metafisika. Ini adalah karya filsafat sistematik terpenting Ibn Sīnā dan
mencerminkan pengaruh Aristotelian dan neoplatonik.
2)
Kitāb al-Najāt (كتاب النجاة)
Kitab Keselamatan
Ringkasan
dari al-Shifā’ yang lebih padat dan bersifat populer. Mencakup
topik-topik utama seperti logika, metafisika, psikologi, dan etika.
3)
Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (الإشارات والتنبيهات)
Isyarat dan Peringatan
Karya
filsafat terakhirnya yang dianggap paling matang. Ditulis dalam gaya yang
ringkas dan simbolik, dibagi dalam bagian logika, fisika, metafisika, dan
mistisisme (taṣawwuf filosofis).
2.
Karya dalam Bidang Kedokteran dan
Ilmu Pengetahuan Alam
4)
Al-Qānūn fī al-Ṭibb (القانون في الطب)
Kanon Kedokteran
Sebuah
ensiklopedia medis dalam lima jilid, yang menjadi rujukan utama kedokteran di
dunia Islam dan Eropa hingga abad ke-17.
5)
Al-Adwiyah al-Qalbiyyah (الأدوية القلبية)
Obat-obatan untuk Jantung
Karya khusus
tentang pengobatan penyakit jantung, menunjukkan kedalaman Ibn Sīnā dalam
farmakologi dan terapi klinis.
6)
Al-Arḍīyāt
Kajian
tentang geografi dan fenomena bumi.
3.
Karya dalam Bidang Logika dan Ilmu
Bahasa
7)
Al-Madkhal (المدخل)
Pendahuluan dalam Logika, bagian dari al-Shifā’, membahas prinsip-prinsip awal logika
Aristotelian.
8)
Kitāb al-Burhān
Kitab Demonstrasi, membahas
metode pembuktian dalam logika formal.
4.
Karya dalam Bahasa Persia
9)
Dānishnāmah-yi ‘Alā’ī (دانشنامه علائی)
Ensiklopedia untuk ‘Alā’ al-Dawla
Ditulis
dalam bahasa Persia, mencakup topik-topik logika, metafisika, dan ilmu alam.
10)
Risālah fī Sirr al-Qadar (رسالة في سر القدر)
Risalah tentang Rahasia Takdir, ditulis untuk menjawab pertanyaan filsafat tentang takdir dan kehendak
bebas.
5.
Karya dalam Bidang Mistisisme dan
Psikologi
11)
Ḥayy ibn Yaqẓān
Sebuah
alegori filosofis tentang perjalanan jiwa menuju penyempurnaan, berbeda dengan
versi Ibnu Ṭufayl meskipun mengandung tema serupa.
12)
Al-Ta‘līqāt (التعليقات)
Kumpulan
catatan dan pemikiran pribadi Ibn Sīnā tentang berbagai topik filsafat dan
mistik.
13)
Risālah al-Aḍḥawiyyah fī al-Ma‘ād (الرسالة الأضحوية في
المعاد)
Risalah Kurban tentang Kiamat, membahas pandangan Ibn Sīnā tentang kebangkitan dan kehidupan setelah
mati.
6.
Karya Singkat dan Risalah-Risalah
Khusus
14)
Risālah fī Ithbāt al-Nubuwwāt
Risalah tentang Pembuktian Kenabian, menunjukkan bagaimana kenabian bisa dijelaskan secara rasional.
15)
Risālah fī Ma‘rifat al-Nafs
Risalah tentang Pengetahuan Jiwa, ringkasan gagasannya dalam psikologi.
16)
Risālah al-‘Ishq (رسالة العشق)
Risalah tentang Cinta, salah satu
teks yang menunjukkan kedalaman pandangan spiritual dan metafisik Ibn Sīnā
tentang cinta ilahiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar