Substansi (Ousia)
Menyelami Realitas Melalui Pemikiran Aristoteles
Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.
Abstrak
Artikel ini menyajikan telaah filosofis yang
komprehensif terhadap konsep substansi (ousia) dalam pemikiran
Aristoteles, yang menjadi fondasi utama dalam struktur metafisika klasik.
Dimulai dengan penelusuran asal-usul terminologis dan pemaknaan ousia dalam
konteks Yunani Kuno, artikel ini mengurai bagaimana Aristoteles menempatkan
substansi sebagai pusat ontologi — yakni sebagai dasar eksistensial bagi
seluruh kategori keberadaan lainnya. Dengan menggabungkan pendekatan
hylemorfisme, Aristoteles mengonseptualisasikan substansi sebagai kesatuan
aktual antara bentuk (eidos) dan materi (hylē), yang memungkinkan pemahaman
rasional terhadap perubahan, identitas, dan keberlangsungan makhluk. Telaah ini
juga mencakup pembahasan mendalam mengenai hubungan substansi dengan teori
aktualitas-potensialitas, serta eksplorasi kritis terhadap tanggapan dan kritik
dari berbagai tradisi filsafat — mulai dari Neoplatonisme, rasionalisme modern,
empirisme, hingga filsafat kontinental dan analitik kontemporer. Di bagian
akhir, artikel menyoroti bagaimana konsep substansi tetap relevan dan berdaya
guna dalam diskursus metafisika masa kini, baik dalam kerangka ontologi formal,
filsafat identitas, maupun filsafat sains. Dengan dukungan referensi-referensi
akademik yang kredibel, tulisan ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman
terhadap warisan intelektual Aristoteles serta relevansinya dalam dinamika
pemikiran filsafat kontemporer.
Kata Kunci: Aristoteles, substansi, ousia, metafisika,
hylemorfisme, aktualitas, potensialitas, identitas, filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif atas Konsep Substansi (Ousia) dalam
Pemikiran Aristoteles
1.
Pendahuluan
Konsep substansi (ousia) merupakan salah satu pilar
fundamental dalam keseluruhan sistem filsafat Aristoteles. Dalam kerangka
metafisika, ousia tidak hanya merujuk pada "apa yang ada",
tetapi juga pada "apa yang paling nyata", yakni inti
eksistensial dari segala sesuatu. Aristoteles mengembangkan pandangannya
mengenai substansi sebagai koreksi terhadap idealisme Plato, khususnya gagasan
tentang dunia ide yang transenden. Berbeda dengan Plato yang menempatkan
realitas sejati dalam dunia ide yang terpisah, Aristoteles memusatkan perhatian
pada dunia konkret, menyatakan bahwa bentuk dan materi hadir secara simultan
dalam realitas fisik, dan bahwa substansi terdapat dalam benda-benda yang
mengalami perubahan di dunia ini¹.
Karya Metaphysics, terutama dalam buku Zeta
hingga Theta, menjadi sumber utama bagi pemahaman mengenai ousia dalam
pemikiran Aristoteles. Di sana, ia mendefinisikan substansi sebagai sesuatu
yang bukan dikatakan tentang sesuatu yang lain dan tidak terdapat dalam sesuatu
yang lain, melainkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan menjadi dasar
dari segala predikasi². Dalam hal ini, Aristoteles menjadikan substansi sebagai
kategori pertama dalam klasifikasinya tentang keberadaan (kategori being),
karena ia adalah hal yang memungkinkan eksistensi dan identitas dari sesuatu³.
Urgensi pembahasan ini menjadi semakin nyata ketika
kita menyadari bahwa hampir seluruh topik besar dalam metafisika Aristoteles —
seperti perubahan, kausalitas, hylemorfisme, dan aktualitas-potensialitas —
berkaitan erat dengan pemahaman tentang substansi. Bahkan, konsep ini menjadi
dasar bagi pemikiran skolastik (misalnya dalam filsafat Thomas Aquinas), serta
menjadi objek kritik dan reformulasi dalam tradisi modern seperti empirisme
John Locke maupun rasionalisme Immanuel Kant⁴. Karena itu, mengkaji konsep
ousia bukan sekadar mempelajari satu aspek dari pemikiran Aristoteles,
melainkan menelusuri dasar ontologis dari filsafat Barat secara keseluruhan.
Selain itu, substansi juga memiliki signifikansi
epistemologis dan metodologis dalam kerangka pengetahuan Aristoteles. Karena
substansi dianggap sebagai “apa yang diketahui dalam dirinya sendiri”
dan bukan karena relasinya dengan yang lain, maka pengetahuan yang sejati,
menurut Aristoteles, adalah pengetahuan tentang substansi dan hakikatnya⁵. Oleh
karena itu, memahami ousia berarti memahami inti realitas sebagaimana adanya,
tidak sekadar fenomena yang tampak di permukaan.
Melalui artikel ini, pembaca akan diajak menelusuri
kedalaman gagasan Aristoteles tentang substansi, menggali asal-usul
konseptualnya, posisi sentralnya dalam struktur metafisika, hingga tanggapan
dan kritik dari filsafat pasca-Aristotelian. Dengan pendekatan sistematis dan
rujukan terhadap sumber-sumber kredibel, pembahasan ini bertujuan membuka
wawasan yang lebih luas mengenai bagaimana filsuf terbesar Yunani ini
membingkai realitas — tidak sekadar sebagai tumpukan fenomena, melainkan
sebagai satu kesatuan eksistensial yang rasional dan dapat dikenali melalui akal.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1028b–1032a.
- Ibid., 1029a–1030a.
- Jonathan Barnes, Aristotle:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000),
61–63.
- Michael J. Loux, Primary
Ousia: An Essay on Aristotle’s Metaphysics Z and H (Ithaca: Cornell
University Press, 1991), 3–5.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 84.
2.
Asal-usul
dan Terminologi: Ousia dalam Konteks Yunani Kuno
Untuk memahami secara utuh konsep ousia
dalam pemikiran Aristoteles, penting terlebih dahulu menelusuri akar historis
dan semantik dari istilah tersebut dalam bahasa dan kebudayaan Yunani Kuno.
Secara etimologis, ousia merupakan bentuk abstrak dari kata kerja einai,
yang berarti "menjadi" atau "ada", dan dapat
diterjemahkan sebagai "keberadaan", "eksistensi",
atau "realitas esensial"¹. Dalam konteks bahasa Yunani klasik
sebelum Aristoteles, ousia tidak selalu merujuk pada entitas filosofis,
melainkan kerap digunakan dalam arti sehari-hari untuk menunjuk pada "kekayaan"
atau "aset pribadi", seperti yang dapat ditemukan dalam
karya-karya Herodotos dan penulis tragedi².
Dalam tradisi filosofis pra-Aristotelian, khususnya
dalam ajaran Plato, ousia mulai memperoleh makna yang lebih teknis.
Dalam dialog Republic, Timaeus, dan Parmenides, Plato
menggunakan istilah ini untuk merujuk pada "realitas sejati"
yang bersifat abadi dan tidak berubah — yakni dunia ide (forms). Bagi Plato, ousia
adalah sesuatu yang tetap dan esensial, berlawanan dengan dunia inderawi yang
penuh perubahan dan ketidaktetapan. Bahkan, dalam Republic 509b, ia
menyatakan bahwa ide kebaikan (the Idea of the Good) "melampaui
ousia dalam kehormatan dan kekuatan"³. Dengan demikian, meskipun Plato
memberi tempat istimewa pada ousia, ia tetap menempatkannya di bawah to
agathon (kebaikan) dalam hierarki metafisis.
Aristoteles mengadopsi istilah ousia dari
tradisi Plato, namun mengartikulasikannya secara radikal berbeda. Jika dalam
pandangan Plato ousia adalah bentuk transenden yang eksis secara
terpisah dari dunia fisik, maka Aristoteles justru memusatkan perhatian pada
dunia nyata dan menjadikan benda-benda konkret (individual substances) sebagai ousia
primer. Ia menolak dualisme metafisis Plato, dan menegaskan bahwa bentuk tidak
berada di luar benda, melainkan menjadi bagian esensial dari benda itu
sendiri⁴. Dalam hal ini, substansi tidak bersifat transenden, tetapi imanen —
dan realitas sejati tidak terdapat di balik pengalaman inderawi, tetapi justru
termanifestasi di dalamnya.
Dalam karya Categories, Aristoteles mulai
mengembangkan klasifikasi ousia menjadi dua jenis: ousia prote
(substansi primer) dan ousia deutera (substansi sekunder). Substansi
primer adalah entitas individual, seperti "manusia ini" atau
"kuda itu", sedangkan substansi sekunder mencakup genus dan
spesies, seperti "manusia" atau "hewan"
secara umum⁵. Pembedaan ini menandai langkah penting dalam perumusan struktur
ontologis realitas menurut Aristoteles, dan menjadi dasar bagi seluruh sistem
metafisika dalam Metaphysics.
Dengan latar belakang ini, kita dapat melihat bahwa
perkembangan terminologis ousia mencerminkan pergeseran besar dalam
sejarah pemikiran Yunani: dari makna praktis dan sosial (kekayaan)
menuju makna metafisis dan filosofis (substansi/realitas esensial). Aristoteles
memainkan peran sentral dalam transformasi ini, dengan menjadikan ousia
sebagai konsep dasar untuk memahami "apa yang ada" secara
hakiki. Maka, memahami istilah ousia dalam konteks historis dan
filosofisnya adalah langkah krusial untuk menelusuri kedalaman metafisika
Aristoteles dan implikasinya dalam sejarah filsafat Barat.
Footnotes
- G.E.L. Owen, “Logic and
Metaphysics in Some Earlier Works of Aristotle,” Aristotle and Plato in
the Mid-Fourth Century, ed. Ingemar Düring and G.E.L. Owen (Göteborg:
Almqvist & Wiksell, 1960), 163.
- R.M. Dancy, Plato's
Introduction of Forms (Cambridge: Cambridge University Press, 2004),
29.
- Plato, Republic,
509b, in The Collected Dialogues of Plato, ed. Edith Hamilton and
Huntington Cairns, trans. Paul Shorey (Princeton: Princeton University
Press, 1961), 747.
- Aristotle, Metaphysics,
trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1029a–1030a.
- Aristotle, Categories,
trans. J.L. Ackrill (Oxford: Oxford University Press, 1963), 2a–4b.
3.
Substansi
sebagai Pokok Ontologi dalam Metafisika Aristoteles
Dalam karya monumental Metaphysics,
Aristoteles merumuskan pertanyaan dasar yang menjadi landasan seluruh
filsafatnya: “apa yang dimaksud dengan 'ada' (being)?”. Namun, bagi
Aristoteles, pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara seragam, karena “ada”
(to on) dikatakan dalam banyak cara (pollachôs legomenon).
Meskipun begitu, dari sekian banyak pengertian tentang "ada",
terdapat satu yang menjadi pusat makna, yakni substansi (ousia).¹
Maka, substansi menjadi inti dari ontologi Aristotelian: segala bentuk
keberadaan lainnya (seperti kualitas, kuantitas, relasi, dan aksi) bergantung
pada keberadaan substansi sebagai dasarnya².
Aristoteles secara eksplisit menyatakan bahwa substansi
adalah "yang pertama dalam pengertian, dalam pengetahuan, dan dalam
waktu". Ia menambahkan bahwa tanpa substansi, tidak akan ada sesuatu
pun yang dapat eksis atau dipikirkan³. Oleh karena itu, ia menjadikan substansi
sebagai subjek utama dari metafisika (yang ia sebut juga sebagai filsafat
pertama), yakni ilmu yang mempelajari keberadaan sejauh ia adalah keberadaan⁴.
Dalam Metaphysics Buku Z (Zeta), Aristoteles
mengajukan beberapa kandidat untuk dipertimbangkan sebagai substansi: materi
(hylê), bentuk (eidos atau morphê), dan komposit dari keduanya.
Ia menolak gagasan bahwa materi belaka dapat menjadi substansi karena materi
tidak memiliki identitas aktual; ia hanyalah potensi yang belum teraktualkan.
Sementara bentuk, karena bersifat determinatif dan aktual, lebih layak disebut
sebagai substansi⁵. Namun demikian, dalam konteks benda-benda fisik, Aristoteles
menyatakan bahwa substansi yang sebenarnya adalah kesatuan dari bentuk dan
materi, karena keduanya tidak terpisahkan dalam pengalaman nyata⁶.
Penting dicatat bahwa substansi primer
(ousia prôtê) menurut Aristoteles bukanlah jenis atau kategori abstrak,
melainkan entitas individual — seperti manusia tertentu atau kuda tertentu. Hal
ini membedakan Aristoteles dari Plato yang menganggap bentuk-bentuk ideal
sebagai realitas sejati. Dalam Categories, Aristoteles menyatakan bahwa
substansi primer adalah apa yang tidak berada dalam subjek dan tidak dikatakan
tentang subjek; dengan kata lain, ia berdiri sendiri dan tidak bergantung pada
yang lain⁷. Sedangkan substansi sekunder (ousia deutera) mencakup genus
dan spesies, seperti "manusia" atau "hewan" —
yang walaupun bukan individu, tetap relevan sebagai dasar bagi pengertian dan
predikasi.
Struktur kategoris Aristoteles — terdiri dari
sepuluh kategori, seperti substansi, kualitas, kuantitas, relasi, tempat,
waktu, dan sebagainya — menempatkan substansi pada urutan pertama dan
terpenting, karena semua kategori lain eksis berdasarkan dan dalam
substansi. Misalnya, kualitas seperti "putih" hanya mungkin
ada karena ada sesuatu yang putih, yakni suatu substansi tertentu⁸.
Lebih jauh, konsep substansi juga menjadi kunci
untuk memahami perubahan dalam filsafat Aristoteles. Ia merumuskan
perubahan sebagai transformasi dari potensialitas menuju aktualitas dalam ranah
substansi yang sama — misalnya, perubahan dari “anak” menjadi “dewasa”
terjadi dalam satu substansi yang tetap, yaitu manusia individual. Dengan
demikian, substansi menjamin kesatuan identitas di tengah perubahan⁹.
Sebagai pokok ontologi, konsep substansi dalam
pemikiran Aristoteles tidak hanya mengukuhkan kejelasan metafisika, tetapi juga
menjadi fondasi bagi epistemologi dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan sejati bagi
Aristoteles adalah pengetahuan tentang sebab dan bentuk, yaitu apa yang
menjadikan sesuatu sebagai “apa itu” (to ti ên einai), dan ini adalah
tugas utama metafisika: memahami substansi sebagai dasar dari semua realitas¹⁰.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
1003a33–1003b19, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 2.
- Michael J. Loux, Primary
Ousia: An Essay on Aristotle’s Metaphysics Z and H (Ithaca: Cornell
University Press, 1991), 10–12.
- Aristotle, Metaphysics,
1028a30–b8.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 83–85.
- Aristotle, Metaphysics,
1029a10–1029b3.
- Richard Sorabji, Matter,
Space, and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca:
Cornell University Press, 1988), 87–88.
- Aristotle, Categories,
trans. J.L. Ackrill (Oxford: Oxford University Press, 1963), 2a11–b7.
- Jonathan Barnes, Aristotle:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 62.
- W.D. Ross, Aristotle
(London: Methuen, 1923), 185–186.
- Aristotle, Metaphysics,
1031a1–15.
4.
Ciri
dan Kriteria Substansi Menurut Aristoteles
Dalam rangka membedakan
substansi (ousia)
dari bentuk-bentuk keberadaan lainnya, Aristoteles merumuskan sejumlah ciri dan
kriteria yang membedakan substansi sebagai kategori ontologis utama. Ciri-ciri
ini tidak hanya menjelaskan hakikat substansi secara teoritis, tetapi juga
menjadi dasar bagi seluruh kerangka ontologi dan epistemologi dalam pemikiran
Aristoteles. Ia mengemukakan bahwa substansi adalah "yang paling utama"
(proton),
bukan hanya karena keberadaannya yang mandiri, tetapi juga karena ia menjadi
landasan bagi keberadaan dan pengetahuan mengenai semua hal lainnya¹.
4.1. Berdiri Sendiri dan Tidak Bergantung pada Subjek
Lain
Ciri paling mendasar
dari substansi menurut Aristoteles adalah sifatnya yang independen.
Dalam Categories,
ia menyatakan bahwa substansi primer adalah sesuatu “yang tidak dikatakan
tentang subjek dan tidak berada dalam subjek” (ouk en hupokeimenôi). Dengan kata
lain, substansi tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk menopangnya secara
eksistensial². Hal ini membedakannya dari aksiden seperti “putih” atau “besar”,
yang hanya ada karena melekat pada suatu subjek (misalnya, putih pada tembok,
besar pada gajah).
4.2. Subjek Bagi Predikasi
Substansi berfungsi
sebagai subjek utama dari semua predikasi.
Dalam struktur logis proposisi, substansi adalah entitas yang padanya atribut
dapat dilekatkan, tetapi ia sendiri tidak dilekatkan pada yang lain³. Sebagai
contoh, dalam pernyataan “Sokrates adalah bijaksana”, “Sokrates”
adalah substansi dan “bijaksana” adalah aksiden atau kualitas. Oleh
karena itu, substansi memiliki kedudukan prioritas dalam struktur pengetahuan
karena menjadi tumpuan bagi semua kategori lain⁴.
4.3. Stabilitas Identitas di Tengah Perubahan
Substansi memiliki kesatuan
identitas yang stabil di tengah perubahan. Aristoteles
mengajukan bahwa suatu hal dapat mengalami perubahan kuantitas, kualitas, atau
relasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai substansi. Misalnya, seorang anak
tumbuh menjadi orang dewasa, tetapi tetap dianggap sebagai individu yang sama
secara substansial⁵. Hal ini dimungkinkan karena substansi menyimpan bentuk (eidos)
yang aktual meskipun manifestasinya berubah.
4.4. Dasar bagi Eksistensi Kategori Lain
Dalam Metaphysics,
Aristoteles menekankan bahwa semua bentuk keberadaan lain — seperti kuantitas,
kualitas, tempat, waktu, dan sebagainya — hanya dapat eksis sejauh
mereka melekat pada substansi. Ia menyatakan, “Jika
substansi tidak ada, maka tidak ada satu pun dari hal-hal lain yang mungkin ada”⁶.
Dengan demikian, substansi adalah fondasi ontologis dari realitas secara
keseluruhan, karena kategori-kategori lain tidak memiliki eksistensi mandiri.
4.5. Dasar bagi Pengetahuan Esensial
Dalam epistemologi
Aristoteles, pengetahuan sejati adalah pengetahuan tentang apa itu
sesuatu (to ti ên einai), yaitu hakikat atau
esensinya. Karena substansi adalah hal yang memiliki hakikat tersebut, maka
pengetahuan ilmiah (epistêmê) bertujuan untuk memahami bentuk substansial dari
segala sesuatu⁷. Substansi dengan demikian bukan hanya objek ontologis, tetapi
juga objek epistemologis utama.
4.6. Substansi Primer dan Sekunder
Aristoteles juga
membedakan antara substansi primer (individu
konkret seperti “Sokrates” atau “kuda ini”) dan substansi
sekunder (genus dan spesies seperti “manusia” atau “hewan”).
Substansi primer adalah yang paling nyata dan menjadi referensi aktual dalam
realitas, sedangkan substansi sekunder berperan sebagai dasar konseptual atau
klasifikasi dalam pengenalan intelektual⁸.
Melalui seluruh ciri
dan kriteria ini, Aristoteles menegaskan posisi substansi sebagai dasar dari
eksistensi dan pemahaman. Ia bukan hanya menjelaskan "apa yang ada",
tetapi juga bagaimana sesuatu itu ada dan mengapa
ia tetap menjadi dirinya sendiri di tengah dinamika perubahan.
Dalam filsafatnya, substansi adalah titik tolak sekaligus titik kembali bagi
segala pencarian metafisis.
Footnotes
1. Aristotle, Metaphysics, 1028a10–1028b8, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), vol. 2.
2. Aristotle, Categories, trans. J.L. Ackrill (Oxford:
Oxford University Press, 1963), 2a11–b6.
3. Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction
(London: Routledge, 2002), 9–10.
4. W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 179.
5. Richard Sorabji, Time, Creation and the Continuum
(London: Duckworth, 1983), 63–64.
6. Aristotle, Metaphysics, 1029a1–5.
7. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian
Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951),
87–88.
8. Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 64–65.
5.
Relasi
Substansi dengan Materi dan Bentuk (Hylemorfisme)
Salah satu kontribusi paling khas dan inovatif dari
filsafat Aristoteles terhadap tradisi metafisika Barat adalah konsep hylemorfisme,
yaitu teori tentang bahwa segala benda jasmani terdiri dari dua prinsip dasar: materi
(hylē) dan bentuk (morphē atau eidos). Dalam
kerangka ini, substansi (ousia) dipahami bukan sebagai salah satu dari
dua elemen tersebut secara terpisah, melainkan sebagai kesatuan integral
antara materi dan bentuk, yang menjelaskan keberadaan aktual dari segala
sesuatu di dunia alami¹.
Aristoteles memperkenalkan teori hylemorfisme
sebagai tanggapan atas dua ekstrem dalam sejarah filsafat sebelumnya. Di satu
sisi, kaum materialis pra-Sokratik seperti Empedokles dan Demokritos menganggap
bahwa segala sesuatu tersusun dari unsur materi semata. Di sisi lain, Plato
meyakini bahwa realitas sejati adalah bentuk-bentuk ideal yang terpisah dari
dunia inderawi. Aristoteles menolak keduanya dan menyatakan bahwa realitas
konkret yang kita jumpai sehari-hari adalah substansi yang merupakan komposit
dari bentuk dan materi².
Dalam Metaphysics Buku Zeta, Aristoteles
mengkaji berbagai kemungkinan kandidat untuk disebut sebagai substansi: bentuk,
materi, dan komposit dari keduanya. Ia menolak materi sebagai substansi sejati
karena materi hanya memiliki potensialitas tanpa aktualitas. Misalnya,
perunggu dapat menjadi patung, tetapi ia bukan patung sampai diberi bentuk
tertentu. Bentuk, sebaliknya, memberikan aktualitas, yaitu mewujudkan
sesuatu menjadi "apa itu sebenarnya" (to ti ên einai)³.
Maka, bentuk lebih mendekati hakikat substansi daripada materi. Namun, dalam
realitas aktual, keduanya tidak pernah terpisah — substansi konkret adalah komposit
dari bentuk yang mengaktualkan materi⁴.
Contoh klasik yang digunakan Aristoteles adalah
patung. Materinya bisa berupa marmer atau perunggu, tetapi bentuknya adalah
struktur atau figur tertentu (misalnya, patung dewa Hermes). Tanpa bentuk,
marmer hanya bongkahan tak berbentuk; dan tanpa materi, bentuk hanya konsep.
Maka, substansi aktual adalah Hermes dari marmer itu — bukan hanya
marmer, dan bukan hanya bentuk Hermes⁵.
Hylemorfisme juga menjelaskan bagaimana perubahan
dapat terjadi dalam substansi. Dalam proses perubahan substansial, materi tetap
sebagai substratum, sedangkan bentuk lama digantikan oleh bentuk baru.
Misalnya, ketika benih berubah menjadi pohon, materi dasarnya bertahan, tetapi
bentuknya bertransformasi secara progresif ke bentuk pohon. Maka, perubahan
tidak mengandaikan penciptaan dari ketiadaan, tetapi transformasi aktual dari
potensialitas yang sudah ada⁶.
Lebih lanjut, Aristoteles menerapkan konsep ini
tidak hanya pada benda-benda fisik, tetapi juga pada makhluk hidup. Dalam
konteks antropologis, tubuh manusia dipahami sebagai materi, sedangkan jiwanya
(psychē) adalah bentuknya — bukan sebagai substansi terpisah seperti
dalam dualisme Platonik, melainkan sebagai prinsip pengorganisasian kehidupan
itu sendiri⁷.
Dengan demikian, relasi antara substansi,
materi, dan bentuk dalam filsafat Aristoteles sangat erat dan tak terpisahkan.
Substansi bukanlah sekadar materi atau bentuk, melainkan sintesis aktual
dari keduanya. Hylemorfisme memungkinkan Aristoteles untuk menjelaskan tidak
hanya struktur ontologis realitas, tetapi juga dinamika perubahan dan
diferensiasi makhluk hidup secara konsisten dan rasional.
Footnotes
- Michael J. Loux, Metaphysics:
A Contemporary Introduction (London: Routledge, 2002), 17–20.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 90–92.
- Aristotle, Metaphysics,
1032a10–1033a5, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 2.
- W.D. Ross, Aristotle
(London: Methuen, 1923), 181.
- Richard Sorabji, Matter,
Space, and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca:
Cornell University Press, 1988), 74–75.
- David Bostock, Aristotle’s
Metaphysics: Books Z and H (Oxford: Oxford University Press, 1994),
112–114.
- Aristotle, De Anima,
412a6–b20, trans. J.A. Smith, in The Complete Works of Aristotle,
ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 1.
6.
Substansi,
Perubahan, dan Aktualitas–Potensialitas
Dalam filsafat Aristoteles, substansi (ousia)
tidak hanya merupakan struktur ontologis dasar dari realitas, tetapi juga
menjadi titik pusat dalam memahami perubahan. Sebagai tanggapan terhadap
perdebatan antara kaum eleatis (seperti Parmenides, yang menolak
realitas perubahan) dan Herakleitos (yang menekankan bahwa segala
sesuatu berubah), Aristoteles menawarkan sintesis konseptual yang disebut
dengan teori aktualitas dan potensialitas (energeia dan dynamis)¹.
Konsep ini bukan hanya menyelamatkan koherensi logis perubahan, tetapi juga
mengaitkan erat antara substansi, bentuk, dan proses menjadi.
Menurut Aristoteles, perubahan adalah aktualisasi
dari potensi dalam suatu substratum yang tetap, yaitu substansi. Ia
mendefinisikan perubahan sebagai “pergerakan dari potensialitas menuju
aktualitas, sejauh potensialitas itu memungkinkan”². Dalam perubahan
seperti pertumbuhan pohon dari benih, benih memiliki potensi untuk menjadi
pohon; proses pertumbuhan adalah aktualisasi dari potensi tersebut; dan
substansi tetap eksis sebagai dasar yang memungkinkan perubahan itu
berlangsung.
Dalam kerangka ini, materi adalah prinsip
potensialitas — ia mampu menerima bentuk baru, sedangkan bentuk adalah
prinsip aktualitas — ia mengaktualkan kapasitas laten yang terkandung dalam
materi. Maka, substansi sebagai kesatuan dari bentuk dan materi juga adalah
tempat di mana aktualitas dan potensialitas berinteraksi secara konkret³.
Ini menjelaskan bagaimana satu entitas dapat mengalami perubahan tanpa
kehilangan identitas: karena yang berubah adalah aktualitas, sementara
potensialitas tetap berada dalam jangkauan esensinya.
Aristoteles menerapkan skema ini dalam tiga jenis
perubahan:
·
Perubahan substansial: perubahan
dari satu substansi menjadi substansi lain, misalnya kematian manusia yang
mengubah “manusia hidup” menjadi “mayat”.
·
Perubahan aksidental: perubahan
dalam kategori seperti kualitas, kuantitas, atau posisi, tanpa mengubah
identitas substansi.
·
Perubahan gerak (kinesis): pergerakan dalam ruang yang juga melibatkan aktualisasi potensi
spasial⁴.
Aktualitas dan potensialitas juga menjadi dasar
untuk menjelaskan hirarki ontologis dalam realitas. Dalam Metaphysics
Theta, Aristoteles menyatakan bahwa aktualitas lebih utama daripada
potensialitas, karena aktualitas menyatakan keberadaan yang sempurna dan
selesai, sedangkan potensialitas adalah kondisi kekurangan atau keterarahan
terhadap keberadaan. Sebagai contoh, seorang ahli bedah yang sedang mengoperasi
adalah aktual, sedangkan seorang murid kedokteran hanya berpotensi menjadi
seperti itu⁵. Maka, keberadaan yang paling sempurna adalah yang selalu aktual
dan tidak tergantung pada proses menjadi — seperti Nous atau Penggerak
Tak Tergerak (Unmoved Mover), yang oleh Aristoteles disebut sebagai
aktualitas murni⁶.
Konsep ini juga berdampak besar pada pemikiran skolastik
dan teologi Kristen, khususnya dalam ajaran Thomas Aquinas, yang
mengadopsi struktur aktual-potensial ini untuk menjelaskan relasi antara
makhluk dan Tuhan. Dalam sistem Aquinas, hanya Tuhan yang adalah aktualitas
murni (actus purus), tanpa potensi, sementara semua makhluk bersifat
komposit dan bergantung pada aktualisasi bentuk⁷.
Dengan demikian, substansi dalam pemikiran
Aristoteles tidak dapat dipahami secara utuh tanpa mempertimbangkan dinamika
antara aktualitas dan potensialitas. Teori ini memungkinkan Aristoteles
membangun kerangka metafisika yang menjelaskan identitas dalam perubahan,
struktur internal realitas, dan arah teleologis dari eksistensi
makhluk hidup, menjadikannya salah satu pencapaian metafisik paling
mendalam dalam sejarah filsafat.
Footnotes
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 93–95.
- Aristotle, Physics,
201a10–15, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes
(Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 1.
- Michael J. Loux, Metaphysics:
A Contemporary Introduction (London: Routledge, 2002), 22–24.
- W.D. Ross, Aristotle
(London: Methuen, 1923), 188–190.
- Aristotle, Metaphysics,
1050a21–1051a3.
- Aristotle, Metaphysics,
1071b3–1072a10.
- Thomas Aquinas, Summa
Theologiae, I, q.3, a.1; cf. Etienne Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies,
1952), 88–89.
7.
Kritik
dan Tanggapan terhadap Konsep Substansi Aristoteles
Konsep substansi
(ousia) dalam pemikiran Aristoteles merupakan pilar utama dalam
sejarah metafisika Barat, namun tidak luput dari berbagai kritik
dan reinterpretasi sepanjang sejarah filsafat. Sejak masa
Neoplatonisme hingga filsafat analitik kontemporer, gagasan Aristoteles tentang
substansi telah dipertanyakan, diubah, dan bahkan ditinggalkan oleh berbagai
filsuf yang menganggap bahwa kerangka ontologis Aristotelian tidak memadai
untuk menjelaskan kompleksitas realitas modern.
7.1. Kritik dari Tradisi Neoplatonik
Filsuf Neoplatonik
seperti Plotinus mengkritik gagasan
Aristoteles yang menempatkan substansi dalam dunia fisik sebagai entitas yang
terikat pada bentuk dan materi. Menurut Plotinus, realitas sejati tidak dapat
dijelaskan melalui entitas partikular yang berubah-ubah, melainkan harus
dikembalikan pada satu sumber spiritual yang transenden,
yaitu the One¹.
Dengan demikian, bagi Neoplatonisme, pendekatan imanen Aristoteles terlalu
"terestrial" dan gagal menjelaskan keutuhan dan kesempurnaan
eksistensi ilahi.
7.2. Kritik Rasionalisme dan Empirisme Modern
Pada abad ke-17 dan
18, konsep substansi mengalami kritik tajam dari para filsuf modern seperti René
Descartes, John Locke, dan David
Hume.
·
Descartes
membagi substansi ke dalam dua kategori: substansi berpikir (res cogitans)
dan substansi berkelanjutan (res extensa), tetapi tetap memertahankan
posisi Tuhan sebagai substansi sejati dan independen. Dalam sistemnya,
substansi menjadi entitas yang membutuhkan hanya Tuhan untuk eksistensinya².
·
Locke,
dalam An Essay Concerning Human Understanding, mengkritik substansi
sebagai sesuatu yang tidak dapat diketahui secara langsung.
Baginya, kita hanya mengenal kumpulan kualitas (warna, bentuk, tekstur) dan
menyimpulkan secara abstrak bahwa ada “sesuatu” yang mendasari kualitas
tersebut, tetapi kita tidak pernah mengetahui apa itu substansi secara hakiki³.
·
Hume
membawa kritik ini lebih jauh. Ia menolak seluruh ide tentang substansi sebagai
metafisik dan tidak dapat dibenarkan secara empiris. Menurutnya, gagasan
substansi hanyalah kebiasaan mental untuk menyatukan persepsi yang berulang,
bukan sesuatu yang benar-benar ada dalam realitas eksternal⁴.
7.3. Kritik Immanuel Kant: Substansi sebagai Kategori A
Priori
Dalam Critique
of Pure Reason, Immanuel Kant tidak sepenuhnya
menolak substansi, tetapi ia meletakkannya dalam kerangka transendental.
Bagi Kant, substansi bukan entitas yang ada di luar pengalaman, tetapi kategori
akal murni yang digunakan oleh subjek untuk mengorganisir
persepsi. Dalam hal ini, substansi adalah bentuk kognitif yang memungkinkan
pengalaman objektif berlangsung⁵. Dengan demikian, realitas substansial bukan
sesuatu yang dapat dikenali secara langsung, melainkan hasil konstruksi dari
struktur subyektivitas.
7.4. Tanggapan dan Reformulasi Kontemporer
Filsafat kontemporer
menawarkan dua jalur utama dalam menanggapi warisan Aristotelian ini:
·
Dalam filsafat
analitik, para filsuf seperti E.J. Lowe
dan Michael J. Loux berusaha merehabilitasi konsep
substansi dalam bentuk yang lebih formal dan logis. Lowe, misalnya, membela
model empat kategori ontologis yang mencakup substansi sebagai dasar
eksistensi, dan mengklaim bahwa tanpa substansi, tidak mungkin menjelaskan
identitas dan keberlangsungan benda melalui waktu⁶.
·
Di sisi lain, filsafat
kontinental cenderung menghindari substansialisme. Martin
Heidegger, misalnya, menganggap bahwa pemikiran substansi
mengaburkan pemahaman tentang “ada” (Sein) itu sendiri. Ia
mengkritik metafisika tradisional yang berfokus pada “ada sebagai sesuatu”
(beings), dan menyerukan pembalikan menuju pertanyaan tentang makna “Ada”
yang lebih mendasar⁷.
Relevansi dan Pertimbangan Kritis
Kritik terhadap
substansi Aristoteles mengungkapkan keterbatasan-keterbatasan dalam aplikasinya
terhadap realitas yang kompleks, dinamis, dan terfragmentasi — seperti yang
ditemukan dalam fisika kuantum, biologi evolusioner, atau teori identitas
personal dalam psikologi modern. Namun demikian, banyak filsuf tetap mengakui
bahwa struktur pemikiran Aristotelian tentang substansi menyediakan kerangka
awal yang sangat koheren untuk memahami objek, identitas, dan
perubahan⁸.
Dengan
mempertimbangkan semua kritik dan pengembangan tersebut, konsep substansi
Aristoteles tidak harus ditolak begitu saja, tetapi lebih tepatnya ditafsirkan
ulang secara kritis untuk menjawab kebutuhan filsafat
kontemporer. Konsep ini tetap menjadi medan kontestasi yang produktif dalam
diskursus metafisika dan ontologi hingga hari ini.
Footnotes
1. Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London:
Penguin Books, 1991), V.1.
2. René Descartes, Principles of Philosophy, trans.
Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), Part I,
§51–54.
3. John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xiii.19–20.
4. David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A.
Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), I.I.vi.
5. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul
Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A182/B224.
6. E.J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity,
and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 15–17.
7. Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §3–5.
8. Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction
(London: Routledge, 2002), 41–44.
8.
Relevansi
Konsep Substansi dalam Filsafat Kontemporer
Meskipun
dikembangkan lebih dari dua milenia yang lalu, konsep substansi
(ousia) dalam pemikiran Aristoteles tetap menjadi titik acuan
penting dalam perdebatan metafisika kontemporer. Perubahan paradigma dalam
sains, linguistik, dan filsafat analitik tidak menghapuskan gagasan substansi,
melainkan mendorong para filsuf untuk menafsirkan ulang, mereformulasi, atau
menantangnya dalam konteks problematik masa kini. Dalam
perkembangan terbaru, substansi dipahami bukan hanya sebagai dasar ontologis
bagi benda-benda, tetapi juga sebagai landasan untuk menjawab isu-isu tentang
identitas, eksistensi, dan struktur logis realitas.
8.1. Filsafat Analitik: Substansi dan Ontologi Formal
Dalam tradisi filsafat
analitik, terutama pada paruh kedua abad ke-20 hingga kini,
konsep substansi mengalami kebangkitan melalui pendekatan ontologi formal.
Filsuf seperti E.J. Lowe dan Michael
J. Loux menekankan bahwa substansi masih relevan sebagai kategori
fundamental dalam teori metafisika. Lowe, misalnya, dalam The
Four-Category Ontology, menyusun kerangka metafisik yang menjadikan
substansi sebagai jenis entitas dasar yang berdiri sendiri (object category)
dan menjadi dasar bagi semua properti dan relasi lainnya¹. Ia berpendapat bahwa
tanpa asumsi adanya substansi, tidak mungkin menjelaskan identitas benda
melalui waktu atau eksistensi properti sebagai sesuatu yang ada
dalam sesuatu yang lain².
Demikian pula, Loux
membela pentingnya substansi sebagai kerangka untuk memahami predikasi dan
kategori eksistensial. Ia berargumen bahwa gagasan tentang benda sebagai
pembawa sifat-sifat (bearer of properties) secara logis menuntut adanya entitas
mandiri yang berfungsi sebagai substratum, yaitu substansi³. Pendekatan ini tidak
lagi bertumpu pada metafisika esensialis klasik, tetapi pada struktur
konseptual yang memadai bagi bahasa dan logika formal kontemporer.
8.2. Filsafat Kontinental: Kritik atas Substansialisme
Di sisi lain, dalam
tradisi filsafat kontinental, substansi
justru menjadi sasaran kritik yang tajam. Martin Heidegger mengkritik apa
yang ia sebut sebagai "metafisika kehadiran" — kecenderungan
filsafat Barat sejak Aristoteles untuk memahami realitas dalam kerangka entitas
tetap (substance)⁴. Menurut Heidegger, pemusatan perhatian pada “apa itu
sesuatu” (ousia sebagai hakikat) telah mengaburkan pertanyaan yang
lebih mendasar tentang makna Ada itu sendiri. Maka, ia
mengusulkan pergeseran dari ontologi substansial ke ontologi eksistensial, di
mana manusia (Dasein) bukanlah substansi, tetapi eksistensi yang terbuka dan
selalu menjadi dirinya melalui waktu⁵.
Kritik ini
dilanjutkan oleh filsuf pascastrukturalis seperti Gilles
Deleuze, yang menolak gagasan bahwa realitas terdiri atas
entitas yang stabil. Dalam Difference and Repetition, Deleuze
menegaskan bahwa realitas bukanlah kumpulan substansi, melainkan aliran
diferensiasi dan intensitas. Substansi dalam pengertian Aristoteles dianggap
sebagai hasil penjinakan terhadap perbedaan dan perubahan⁶.
8.3. Sains Kontemporer dan Tantangan terhadap Substansi
Dalam konteks ilmu
pengetahuan modern, terutama fisika kuantum, konsep
substansi juga menghadapi tantangan besar. Model partikel dalam mekanika klasik
yang koheren dengan ontologi Aristotelian mulai digantikan oleh model
gelombang, energi, dan relasi murni. Filsuf sains seperti Bas van
Fraassen menunjukkan bahwa pendekatan struktural dalam fisika
modern lebih menekankan relasi dan fungsi daripada
entitas substansial⁷. Hal ini mendorong berkembangnya apa yang disebut ontologi
struktural (ontic structural realism), yang
menyatakan bahwa struktur — bukan substansi — adalah satu-satunya elemen
realitas yang dapat dikenali secara ilmiah⁸.
Namun, bukan berarti
substansi menjadi usang. Justru banyak filsuf mencoba mereformulasikannya agar
lebih sesuai dengan pemahaman baru ini. Misalnya, dalam biologi
sistem, substansi bisa dipahami sebagai entitas kompleks yang
stabil namun dinamis, seperti organisme, yang mempertahankan identitas meskipun
terus berinteraksi dengan lingkungan dan berubah secara internal⁹.
8.4. Aplikasi Etika dan Filsafat Identitas
Dalam filsafat
identitas personal, konsep substansi tetap digunakan untuk
membahas keberlangsungan identitas seseorang melalui waktu. Eric
Olson, dalam The Human Animal, membela animalisme,
yakni pandangan bahwa manusia adalah substansi biologis yang sama secara
kontinu dari bayi hingga dewasa¹⁰. Pandangan ini menentang gagasan bahwa
identitas personal tergantung pada kesadaran atau memori, dan mengembalikan
fokus pada keberadaan jasmani sebagai substansi individu.
Kesimpulan: Substansi sebagai Konsep Elastis dan Evolusioner
Relevansi konsep
substansi dalam filsafat kontemporer terletak pada kemampuannya
untuk beradaptasi dan menstrukturkan diskusi lintas bidang:
dari metafisika formal hingga filsafat sains dan antropologi. Meskipun
substansi tidak lagi dipahami dalam kerangka statis seperti pada masa
Aristoteles, ide dasarnya — yakni bahwa ada sesuatu yang menjadi pusat
identitas, eksistensi, dan keteraturan — tetap menjadi gagasan yang fundamental
dan tak tergantikan dalam diskursus filosofis.
Footnotes
1. E.J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical
Foundation for Natural Science (Oxford: Clarendon Press, 2006), 5–7.
2. Ibid., 31–34.
3. Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction
(London: Routledge, 2002), 47–50.
4. Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §4.
5. Ibid., §9–13.
6. Gilles Deleuze, Difference and Repetition, trans. Paul
Patton (New York: Columbia University Press, 1994), 40–45.
7. Bas van Fraassen, The Scientific Image (Oxford:
Clarendon Press, 1980), 160–165.
8. James Ladyman et al., Every Thing Must Go: Metaphysics
Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 120–123.
9. Denis Walsh, Organisms, Agency, and Evolution
(Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 14–18.
10. Eric T. Olson, The Human Animal: Personal Identity without
Psychology (Oxford: Oxford University Press, 1997), 26–30.
9.
Penutup
Konsep substansi (ousia) dalam filsafat
Aristoteles bukan hanya merupakan inti dari sistem metafisikanya, tetapi juga
berfungsi sebagai kerangka konseptual yang memungkinkan pemahaman terhadap
eksistensi, identitas, dan perubahan dalam realitas. Aristoteles membangun
pemikiran yang mendalam dan sistematis tentang bagaimana sesuatu dapat "ada"
secara mandiri, dapat dikenali secara ilmiah, dan tetap mempertahankan
kesatuannya di tengah dinamika perubahan. Dalam Metaphysics, Aristoteles
secara eksplisit menyatakan bahwa substansi adalah bentuk tertinggi dari
eksistensi, dan menjadi subjek utama dari penyelidikan filsafat pertama (prote
philosophia) karena semua kategori lain bergantung padanya untuk makna dan
keberadaan¹.
Sebagai landasan ontologis, substansi menyediakan
jawaban terhadap pertanyaan mendasar: apa yang membuat sesuatu menjadi
dirinya sendiri dan bukan yang lain. Ia menjelaskan bagaimana entitas fisik
memiliki bentuk dan materi, bagaimana perubahan dapat terjadi tanpa kehilangan
identitas, serta bagaimana predikasi logis berfungsi dalam bahasa dan
pemikiran. Pendekatan Aristoteles yang menempatkan substansi sebagai kesatuan
antara bentuk aktual dan materi potensial memungkinkan filsafat untuk
menghindari ekstrem dualisme Platonik dan reduksionisme materialistik².
Seiring berjalannya waktu, konsep ini telah menjadi
pusat dialektika panjang dalam sejarah filsafat. Kritik dari Neoplatonisme,
rasionalisme modern, empirisme, hingga filsafat kontinental menyoroti
keterbatasan atau asumsi-asumsi mendasar dari pemikiran Aristotelian. Namun
demikian, gagasan substansi tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan; bahkan dalam
bentuk-bentuk yang telah direvisi, ia tetap menjadi titik acuan bagi teori
identitas personal, pemikiran biologis, hingga struktur logika dan ontologi
formal³.
Dalam filsafat kontemporer, substansi tidak lagi
dipahami sebagai entitas tetap dan absolut seperti dalam bentuk klasiknya. Ia
mengalami transformasi menjadi konsep yang lebih fleksibel — sebagai struktur,
sistem relasional, atau bahkan kategori linguistik. Meskipun demikian, esensi
dari ide substansi sebagai penopang ontologis dari segala sesuatu yang
ada masih dipertahankan oleh berbagai pemikir dan aliran filsafat, menunjukkan
bahwa warisan Aristoteles tetap hidup dan aktif dalam wacana keilmuan masa
kini⁴.
Dengan demikian, menggali pemikiran Aristoteles
tentang substansi berarti menelusuri akar terdalam dari pemahaman kita tentang
realitas. Ia tidak hanya memberikan fondasi metafisika yang rasional dan
sistematis, tetapi juga membuka ruang untuk refleksi filsafat yang terus
berkembang. Seperti yang ditegaskan oleh Joseph Owens, “substansi adalah
inti dari segala yang ada, dan dari sanalah semua pemahaman yang sejati bermula”⁵.
Maka, relevansi gagasan substansi bukan terletak pada kesempurnaan bentuknya di
masa lalu, melainkan pada kemampuannya untuk terus memicu pertanyaan
filosofis yang paling mendasar tentang eksistensi.
Footnotes
- Aristotle, Metaphysics,
1028a10–b5, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes
(Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 2.
- Michael J. Loux, Primary
Ousia: An Essay on Aristotle’s Metaphysics Z and H (Ithaca: Cornell
University Press, 1991), 95–97.
- E.J. Lowe, The
Possibility of Metaphysics: Substance, Identity, and Time (Oxford:
Clarendon Press, 1998), 112–114.
- James Ladyman et al., Every
Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University
Press, 2007), 120–122.
- Joseph Owens, The
Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1951), 102.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1984). The complete works of
Aristotle: The revised Oxford translation (J. Barnes, Ed.). Princeton
University Press. (Original works trans. by W. D. Ross, J. A. Smith, &
others)
Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short
introduction. Oxford University Press.
Bostock, D. (1994). Aristotle’s Metaphysics:
Books Z and H. Oxford University Press.
Deleuze, G. (1994). Difference and repetition
(P. Patton, Trans.). Columbia University Press. (Original work published 1968)
Descartes, R. (1983). Principles of philosophy
(V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.
Gilson, E. (1952). Being and some philosophers.
Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work
published 1927)
Hume, D. (1978). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1739)
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781)
Ladyman, J., Ross, D., Spurrett, D., & Collier,
J. (2007). Every thing must go: Metaphysics naturalized. Oxford
University Press.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press. (Original
work published 1690)
Loux, M. J. (1991). Primary ousia: An essay on
Aristotle’s Metaphysics Z and H. Cornell University Press.
Loux, M. J. (2002). Metaphysics: A contemporary
introduction (2nd ed.). Routledge.
Lowe, E. J. (1998). The possibility of
metaphysics: Substance, identity, and time. Clarendon Press.
Lowe, E. J. (2006). The four-category ontology:
A metaphysical foundation for natural science. Clarendon Press.
Olson, E. T. (1997). The human animal: Personal
identity without psychology. Oxford University Press.
Owens, J. (1951). The doctrine of being in the
Aristotelian metaphysics (2nd ed.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna,
Trans.). Penguin Books.
Sorabji, R. (1983). Time, creation and the
continuum: Theories in antiquity and the early middle ages. Duckworth.
Sorabji, R. (1988). Matter, space, and motion:
Theories in antiquity and their sequel. Cornell University Press.
Thomas Aquinas. (1947). Summa Theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
(Original work written 1265–1274)
Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Clarendon Press.
Walsh, D. (2016). Organisms, agency, and
evolution. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar