Kamis, 29 Mei 2025

Substansi (Ousia): Menyelami Realitas Melalui Pemikiran Aristoteles

Substansi (Ousia)

Menyelami Realitas Melalui Pemikiran Aristoteles


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.


Abstrak

Artikel ini menyajikan telaah filosofis yang komprehensif terhadap konsep substansi (ousia) dalam pemikiran Aristoteles, yang menjadi fondasi utama dalam struktur metafisika klasik. Dimulai dengan penelusuran asal-usul terminologis dan pemaknaan ousia dalam konteks Yunani Kuno, artikel ini mengurai bagaimana Aristoteles menempatkan substansi sebagai pusat ontologi — yakni sebagai dasar eksistensial bagi seluruh kategori keberadaan lainnya. Dengan menggabungkan pendekatan hylemorfisme, Aristoteles mengonseptualisasikan substansi sebagai kesatuan aktual antara bentuk (eidos) dan materi (hylē), yang memungkinkan pemahaman rasional terhadap perubahan, identitas, dan keberlangsungan makhluk. Telaah ini juga mencakup pembahasan mendalam mengenai hubungan substansi dengan teori aktualitas-potensialitas, serta eksplorasi kritis terhadap tanggapan dan kritik dari berbagai tradisi filsafat — mulai dari Neoplatonisme, rasionalisme modern, empirisme, hingga filsafat kontinental dan analitik kontemporer. Di bagian akhir, artikel menyoroti bagaimana konsep substansi tetap relevan dan berdaya guna dalam diskursus metafisika masa kini, baik dalam kerangka ontologi formal, filsafat identitas, maupun filsafat sains. Dengan dukungan referensi-referensi akademik yang kredibel, tulisan ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman terhadap warisan intelektual Aristoteles serta relevansinya dalam dinamika pemikiran filsafat kontemporer.

Kata Kunci: Aristoteles, substansi, ousia, metafisika, hylemorfisme, aktualitas, potensialitas, identitas, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Konsep Substansi (Ousia) dalam Pemikiran Aristoteles


1.           Pendahuluan

Konsep substansi (ousia) merupakan salah satu pilar fundamental dalam keseluruhan sistem filsafat Aristoteles. Dalam kerangka metafisika, ousia tidak hanya merujuk pada "apa yang ada", tetapi juga pada "apa yang paling nyata", yakni inti eksistensial dari segala sesuatu. Aristoteles mengembangkan pandangannya mengenai substansi sebagai koreksi terhadap idealisme Plato, khususnya gagasan tentang dunia ide yang transenden. Berbeda dengan Plato yang menempatkan realitas sejati dalam dunia ide yang terpisah, Aristoteles memusatkan perhatian pada dunia konkret, menyatakan bahwa bentuk dan materi hadir secara simultan dalam realitas fisik, dan bahwa substansi terdapat dalam benda-benda yang mengalami perubahan di dunia ini¹.

Karya Metaphysics, terutama dalam buku Zeta hingga Theta, menjadi sumber utama bagi pemahaman mengenai ousia dalam pemikiran Aristoteles. Di sana, ia mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang bukan dikatakan tentang sesuatu yang lain dan tidak terdapat dalam sesuatu yang lain, melainkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan menjadi dasar dari segala predikasi². Dalam hal ini, Aristoteles menjadikan substansi sebagai kategori pertama dalam klasifikasinya tentang keberadaan (kategori being), karena ia adalah hal yang memungkinkan eksistensi dan identitas dari sesuatu³.

Urgensi pembahasan ini menjadi semakin nyata ketika kita menyadari bahwa hampir seluruh topik besar dalam metafisika Aristoteles — seperti perubahan, kausalitas, hylemorfisme, dan aktualitas-potensialitas — berkaitan erat dengan pemahaman tentang substansi. Bahkan, konsep ini menjadi dasar bagi pemikiran skolastik (misalnya dalam filsafat Thomas Aquinas), serta menjadi objek kritik dan reformulasi dalam tradisi modern seperti empirisme John Locke maupun rasionalisme Immanuel Kant⁴. Karena itu, mengkaji konsep ousia bukan sekadar mempelajari satu aspek dari pemikiran Aristoteles, melainkan menelusuri dasar ontologis dari filsafat Barat secara keseluruhan.

Selain itu, substansi juga memiliki signifikansi epistemologis dan metodologis dalam kerangka pengetahuan Aristoteles. Karena substansi dianggap sebagai “apa yang diketahui dalam dirinya sendiri” dan bukan karena relasinya dengan yang lain, maka pengetahuan yang sejati, menurut Aristoteles, adalah pengetahuan tentang substansi dan hakikatnya⁵. Oleh karena itu, memahami ousia berarti memahami inti realitas sebagaimana adanya, tidak sekadar fenomena yang tampak di permukaan.

Melalui artikel ini, pembaca akan diajak menelusuri kedalaman gagasan Aristoteles tentang substansi, menggali asal-usul konseptualnya, posisi sentralnya dalam struktur metafisika, hingga tanggapan dan kritik dari filsafat pasca-Aristotelian. Dengan pendekatan sistematis dan rujukan terhadap sumber-sumber kredibel, pembahasan ini bertujuan membuka wawasan yang lebih luas mengenai bagaimana filsuf terbesar Yunani ini membingkai realitas — tidak sekadar sebagai tumpukan fenomena, melainkan sebagai satu kesatuan eksistensial yang rasional dan dapat dikenali melalui akal.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1028b–1032a.
  2. Ibid., 1029a–1030a.
  3. Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 61–63.
  4. Michael J. Loux, Primary Ousia: An Essay on Aristotle’s Metaphysics Z and H (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 3–5.
  5. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 84.

2.           Asal-usul dan Terminologi: Ousia dalam Konteks Yunani Kuno

Untuk memahami secara utuh konsep ousia dalam pemikiran Aristoteles, penting terlebih dahulu menelusuri akar historis dan semantik dari istilah tersebut dalam bahasa dan kebudayaan Yunani Kuno. Secara etimologis, ousia merupakan bentuk abstrak dari kata kerja einai, yang berarti "menjadi" atau "ada", dan dapat diterjemahkan sebagai "keberadaan", "eksistensi", atau "realitas esensial"¹. Dalam konteks bahasa Yunani klasik sebelum Aristoteles, ousia tidak selalu merujuk pada entitas filosofis, melainkan kerap digunakan dalam arti sehari-hari untuk menunjuk pada "kekayaan" atau "aset pribadi", seperti yang dapat ditemukan dalam karya-karya Herodotos dan penulis tragedi².

Dalam tradisi filosofis pra-Aristotelian, khususnya dalam ajaran Plato, ousia mulai memperoleh makna yang lebih teknis. Dalam dialog Republic, Timaeus, dan Parmenides, Plato menggunakan istilah ini untuk merujuk pada "realitas sejati" yang bersifat abadi dan tidak berubah — yakni dunia ide (forms). Bagi Plato, ousia adalah sesuatu yang tetap dan esensial, berlawanan dengan dunia inderawi yang penuh perubahan dan ketidaktetapan. Bahkan, dalam Republic 509b, ia menyatakan bahwa ide kebaikan (the Idea of the Good) "melampaui ousia dalam kehormatan dan kekuatan"³. Dengan demikian, meskipun Plato memberi tempat istimewa pada ousia, ia tetap menempatkannya di bawah to agathon (kebaikan) dalam hierarki metafisis.

Aristoteles mengadopsi istilah ousia dari tradisi Plato, namun mengartikulasikannya secara radikal berbeda. Jika dalam pandangan Plato ousia adalah bentuk transenden yang eksis secara terpisah dari dunia fisik, maka Aristoteles justru memusatkan perhatian pada dunia nyata dan menjadikan benda-benda konkret (individual substances) sebagai ousia primer. Ia menolak dualisme metafisis Plato, dan menegaskan bahwa bentuk tidak berada di luar benda, melainkan menjadi bagian esensial dari benda itu sendiri⁴. Dalam hal ini, substansi tidak bersifat transenden, tetapi imanen — dan realitas sejati tidak terdapat di balik pengalaman inderawi, tetapi justru termanifestasi di dalamnya.

Dalam karya Categories, Aristoteles mulai mengembangkan klasifikasi ousia menjadi dua jenis: ousia prote (substansi primer) dan ousia deutera (substansi sekunder). Substansi primer adalah entitas individual, seperti "manusia ini" atau "kuda itu", sedangkan substansi sekunder mencakup genus dan spesies, seperti "manusia" atau "hewan" secara umum⁵. Pembedaan ini menandai langkah penting dalam perumusan struktur ontologis realitas menurut Aristoteles, dan menjadi dasar bagi seluruh sistem metafisika dalam Metaphysics.

Dengan latar belakang ini, kita dapat melihat bahwa perkembangan terminologis ousia mencerminkan pergeseran besar dalam sejarah pemikiran Yunani: dari makna praktis dan sosial (kekayaan) menuju makna metafisis dan filosofis (substansi/realitas esensial). Aristoteles memainkan peran sentral dalam transformasi ini, dengan menjadikan ousia sebagai konsep dasar untuk memahami "apa yang ada" secara hakiki. Maka, memahami istilah ousia dalam konteks historis dan filosofisnya adalah langkah krusial untuk menelusuri kedalaman metafisika Aristoteles dan implikasinya dalam sejarah filsafat Barat.


Footnotes

  1. G.E.L. Owen, “Logic and Metaphysics in Some Earlier Works of Aristotle,” Aristotle and Plato in the Mid-Fourth Century, ed. Ingemar Düring and G.E.L. Owen (Göteborg: Almqvist & Wiksell, 1960), 163.
  2. R.M. Dancy, Plato's Introduction of Forms (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 29.
  3. Plato, Republic, 509b, in The Collected Dialogues of Plato, ed. Edith Hamilton and Huntington Cairns, trans. Paul Shorey (Princeton: Princeton University Press, 1961), 747.
  4. Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1029a–1030a.
  5. Aristotle, Categories, trans. J.L. Ackrill (Oxford: Oxford University Press, 1963), 2a–4b.

3.           Substansi sebagai Pokok Ontologi dalam Metafisika Aristoteles

Dalam karya monumental Metaphysics, Aristoteles merumuskan pertanyaan dasar yang menjadi landasan seluruh filsafatnya: “apa yang dimaksud dengan 'ada' (being)?”. Namun, bagi Aristoteles, pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara seragam, karena “ada” (to on) dikatakan dalam banyak cara (pollachôs legomenon). Meskipun begitu, dari sekian banyak pengertian tentang "ada", terdapat satu yang menjadi pusat makna, yakni substansi (ousia).¹ Maka, substansi menjadi inti dari ontologi Aristotelian: segala bentuk keberadaan lainnya (seperti kualitas, kuantitas, relasi, dan aksi) bergantung pada keberadaan substansi sebagai dasarnya².

Aristoteles secara eksplisit menyatakan bahwa substansi adalah "yang pertama dalam pengertian, dalam pengetahuan, dan dalam waktu". Ia menambahkan bahwa tanpa substansi, tidak akan ada sesuatu pun yang dapat eksis atau dipikirkan³. Oleh karena itu, ia menjadikan substansi sebagai subjek utama dari metafisika (yang ia sebut juga sebagai filsafat pertama), yakni ilmu yang mempelajari keberadaan sejauh ia adalah keberadaan⁴.

Dalam Metaphysics Buku Z (Zeta), Aristoteles mengajukan beberapa kandidat untuk dipertimbangkan sebagai substansi: materi (hylê), bentuk (eidos atau morphê), dan komposit dari keduanya. Ia menolak gagasan bahwa materi belaka dapat menjadi substansi karena materi tidak memiliki identitas aktual; ia hanyalah potensi yang belum teraktualkan. Sementara bentuk, karena bersifat determinatif dan aktual, lebih layak disebut sebagai substansi⁵. Namun demikian, dalam konteks benda-benda fisik, Aristoteles menyatakan bahwa substansi yang sebenarnya adalah kesatuan dari bentuk dan materi, karena keduanya tidak terpisahkan dalam pengalaman nyata⁶.

Penting dicatat bahwa substansi primer (ousia prôtê) menurut Aristoteles bukanlah jenis atau kategori abstrak, melainkan entitas individual — seperti manusia tertentu atau kuda tertentu. Hal ini membedakan Aristoteles dari Plato yang menganggap bentuk-bentuk ideal sebagai realitas sejati. Dalam Categories, Aristoteles menyatakan bahwa substansi primer adalah apa yang tidak berada dalam subjek dan tidak dikatakan tentang subjek; dengan kata lain, ia berdiri sendiri dan tidak bergantung pada yang lain⁷. Sedangkan substansi sekunder (ousia deutera) mencakup genus dan spesies, seperti "manusia" atau "hewan" — yang walaupun bukan individu, tetap relevan sebagai dasar bagi pengertian dan predikasi.

Struktur kategoris Aristoteles — terdiri dari sepuluh kategori, seperti substansi, kualitas, kuantitas, relasi, tempat, waktu, dan sebagainya — menempatkan substansi pada urutan pertama dan terpenting, karena semua kategori lain eksis berdasarkan dan dalam substansi. Misalnya, kualitas seperti "putih" hanya mungkin ada karena ada sesuatu yang putih, yakni suatu substansi tertentu⁸.

Lebih jauh, konsep substansi juga menjadi kunci untuk memahami perubahan dalam filsafat Aristoteles. Ia merumuskan perubahan sebagai transformasi dari potensialitas menuju aktualitas dalam ranah substansi yang sama — misalnya, perubahan dari “anak” menjadi “dewasa” terjadi dalam satu substansi yang tetap, yaitu manusia individual. Dengan demikian, substansi menjamin kesatuan identitas di tengah perubahan⁹.

Sebagai pokok ontologi, konsep substansi dalam pemikiran Aristoteles tidak hanya mengukuhkan kejelasan metafisika, tetapi juga menjadi fondasi bagi epistemologi dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan sejati bagi Aristoteles adalah pengetahuan tentang sebab dan bentuk, yaitu apa yang menjadikan sesuatu sebagai “apa itu” (to ti ên einai), dan ini adalah tugas utama metafisika: memahami substansi sebagai dasar dari semua realitas¹⁰.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, 1003a33–1003b19, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 2.
  2. Michael J. Loux, Primary Ousia: An Essay on Aristotle’s Metaphysics Z and H (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 10–12.
  3. Aristotle, Metaphysics, 1028a30–b8.
  4. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 83–85.
  5. Aristotle, Metaphysics, 1029a10–1029b3.
  6. Richard Sorabji, Matter, Space, and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 87–88.
  7. Aristotle, Categories, trans. J.L. Ackrill (Oxford: Oxford University Press, 1963), 2a11–b7.
  8. Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 62.
  9. W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 185–186.
  10. Aristotle, Metaphysics, 1031a1–15.

4.           Ciri dan Kriteria Substansi Menurut Aristoteles

Dalam rangka membedakan substansi (ousia) dari bentuk-bentuk keberadaan lainnya, Aristoteles merumuskan sejumlah ciri dan kriteria yang membedakan substansi sebagai kategori ontologis utama. Ciri-ciri ini tidak hanya menjelaskan hakikat substansi secara teoritis, tetapi juga menjadi dasar bagi seluruh kerangka ontologi dan epistemologi dalam pemikiran Aristoteles. Ia mengemukakan bahwa substansi adalah "yang paling utama" (proton), bukan hanya karena keberadaannya yang mandiri, tetapi juga karena ia menjadi landasan bagi keberadaan dan pengetahuan mengenai semua hal lainnya¹.

4.1.       Berdiri Sendiri dan Tidak Bergantung pada Subjek Lain

Ciri paling mendasar dari substansi menurut Aristoteles adalah sifatnya yang independen. Dalam Categories, ia menyatakan bahwa substansi primer adalah sesuatu “yang tidak dikatakan tentang subjek dan tidak berada dalam subjek” (ouk en hupokeimenôi). Dengan kata lain, substansi tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk menopangnya secara eksistensial². Hal ini membedakannya dari aksiden seperti “putih” atau “besar”, yang hanya ada karena melekat pada suatu subjek (misalnya, putih pada tembok, besar pada gajah).

4.2.       Subjek Bagi Predikasi

Substansi berfungsi sebagai subjek utama dari semua predikasi. Dalam struktur logis proposisi, substansi adalah entitas yang padanya atribut dapat dilekatkan, tetapi ia sendiri tidak dilekatkan pada yang lain³. Sebagai contoh, dalam pernyataan “Sokrates adalah bijaksana”, “Sokrates” adalah substansi dan “bijaksana” adalah aksiden atau kualitas. Oleh karena itu, substansi memiliki kedudukan prioritas dalam struktur pengetahuan karena menjadi tumpuan bagi semua kategori lain⁴.

4.3.       Stabilitas Identitas di Tengah Perubahan

Substansi memiliki kesatuan identitas yang stabil di tengah perubahan. Aristoteles mengajukan bahwa suatu hal dapat mengalami perubahan kuantitas, kualitas, atau relasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai substansi. Misalnya, seorang anak tumbuh menjadi orang dewasa, tetapi tetap dianggap sebagai individu yang sama secara substansial⁵. Hal ini dimungkinkan karena substansi menyimpan bentuk (eidos) yang aktual meskipun manifestasinya berubah.

4.4.       Dasar bagi Eksistensi Kategori Lain

Dalam Metaphysics, Aristoteles menekankan bahwa semua bentuk keberadaan lain — seperti kuantitas, kualitas, tempat, waktu, dan sebagainya — hanya dapat eksis sejauh mereka melekat pada substansi. Ia menyatakan, “Jika substansi tidak ada, maka tidak ada satu pun dari hal-hal lain yang mungkin ada”⁶. Dengan demikian, substansi adalah fondasi ontologis dari realitas secara keseluruhan, karena kategori-kategori lain tidak memiliki eksistensi mandiri.

4.5.       Dasar bagi Pengetahuan Esensial

Dalam epistemologi Aristoteles, pengetahuan sejati adalah pengetahuan tentang apa itu sesuatu (to ti ên einai), yaitu hakikat atau esensinya. Karena substansi adalah hal yang memiliki hakikat tersebut, maka pengetahuan ilmiah (epistêmê) bertujuan untuk memahami bentuk substansial dari segala sesuatu⁷. Substansi dengan demikian bukan hanya objek ontologis, tetapi juga objek epistemologis utama.

4.6.       Substansi Primer dan Sekunder

Aristoteles juga membedakan antara substansi primer (individu konkret seperti “Sokrates” atau “kuda ini”) dan substansi sekunder (genus dan spesies seperti “manusia” atau “hewan”). Substansi primer adalah yang paling nyata dan menjadi referensi aktual dalam realitas, sedangkan substansi sekunder berperan sebagai dasar konseptual atau klasifikasi dalam pengenalan intelektual⁸.

Melalui seluruh ciri dan kriteria ini, Aristoteles menegaskan posisi substansi sebagai dasar dari eksistensi dan pemahaman. Ia bukan hanya menjelaskan "apa yang ada", tetapi juga bagaimana sesuatu itu ada dan mengapa ia tetap menjadi dirinya sendiri di tengah dinamika perubahan. Dalam filsafatnya, substansi adalah titik tolak sekaligus titik kembali bagi segala pencarian metafisis.


Footnotes

1.      Aristotle, Metaphysics, 1028a10–1028b8, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 2.

2.      Aristotle, Categories, trans. J.L. Ackrill (Oxford: Oxford University Press, 1963), 2a11–b6.

3.      Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (London: Routledge, 2002), 9–10.

4.      W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 179.

5.      Richard Sorabji, Time, Creation and the Continuum (London: Duckworth, 1983), 63–64.

6.      Aristotle, Metaphysics, 1029a1–5.

7.      Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 87–88.

8.      Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 64–65.


5.           Relasi Substansi dengan Materi dan Bentuk (Hylemorfisme)

Salah satu kontribusi paling khas dan inovatif dari filsafat Aristoteles terhadap tradisi metafisika Barat adalah konsep hylemorfisme, yaitu teori tentang bahwa segala benda jasmani terdiri dari dua prinsip dasar: materi (hylē) dan bentuk (morphē atau eidos). Dalam kerangka ini, substansi (ousia) dipahami bukan sebagai salah satu dari dua elemen tersebut secara terpisah, melainkan sebagai kesatuan integral antara materi dan bentuk, yang menjelaskan keberadaan aktual dari segala sesuatu di dunia alami¹.

Aristoteles memperkenalkan teori hylemorfisme sebagai tanggapan atas dua ekstrem dalam sejarah filsafat sebelumnya. Di satu sisi, kaum materialis pra-Sokratik seperti Empedokles dan Demokritos menganggap bahwa segala sesuatu tersusun dari unsur materi semata. Di sisi lain, Plato meyakini bahwa realitas sejati adalah bentuk-bentuk ideal yang terpisah dari dunia inderawi. Aristoteles menolak keduanya dan menyatakan bahwa realitas konkret yang kita jumpai sehari-hari adalah substansi yang merupakan komposit dari bentuk dan materi².

Dalam Metaphysics Buku Zeta, Aristoteles mengkaji berbagai kemungkinan kandidat untuk disebut sebagai substansi: bentuk, materi, dan komposit dari keduanya. Ia menolak materi sebagai substansi sejati karena materi hanya memiliki potensialitas tanpa aktualitas. Misalnya, perunggu dapat menjadi patung, tetapi ia bukan patung sampai diberi bentuk tertentu. Bentuk, sebaliknya, memberikan aktualitas, yaitu mewujudkan sesuatu menjadi "apa itu sebenarnya" (to ti ên einai)³. Maka, bentuk lebih mendekati hakikat substansi daripada materi. Namun, dalam realitas aktual, keduanya tidak pernah terpisah — substansi konkret adalah komposit dari bentuk yang mengaktualkan materi⁴.

Contoh klasik yang digunakan Aristoteles adalah patung. Materinya bisa berupa marmer atau perunggu, tetapi bentuknya adalah struktur atau figur tertentu (misalnya, patung dewa Hermes). Tanpa bentuk, marmer hanya bongkahan tak berbentuk; dan tanpa materi, bentuk hanya konsep. Maka, substansi aktual adalah Hermes dari marmer itu — bukan hanya marmer, dan bukan hanya bentuk Hermes⁵.

Hylemorfisme juga menjelaskan bagaimana perubahan dapat terjadi dalam substansi. Dalam proses perubahan substansial, materi tetap sebagai substratum, sedangkan bentuk lama digantikan oleh bentuk baru. Misalnya, ketika benih berubah menjadi pohon, materi dasarnya bertahan, tetapi bentuknya bertransformasi secara progresif ke bentuk pohon. Maka, perubahan tidak mengandaikan penciptaan dari ketiadaan, tetapi transformasi aktual dari potensialitas yang sudah ada⁶.

Lebih lanjut, Aristoteles menerapkan konsep ini tidak hanya pada benda-benda fisik, tetapi juga pada makhluk hidup. Dalam konteks antropologis, tubuh manusia dipahami sebagai materi, sedangkan jiwanya (psychē) adalah bentuknya — bukan sebagai substansi terpisah seperti dalam dualisme Platonik, melainkan sebagai prinsip pengorganisasian kehidupan itu sendiri⁷.

Dengan demikian, relasi antara substansi, materi, dan bentuk dalam filsafat Aristoteles sangat erat dan tak terpisahkan. Substansi bukanlah sekadar materi atau bentuk, melainkan sintesis aktual dari keduanya. Hylemorfisme memungkinkan Aristoteles untuk menjelaskan tidak hanya struktur ontologis realitas, tetapi juga dinamika perubahan dan diferensiasi makhluk hidup secara konsisten dan rasional.


Footnotes

  1. Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (London: Routledge, 2002), 17–20.
  2. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 90–92.
  3. Aristotle, Metaphysics, 1032a10–1033a5, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 2.
  4. W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 181.
  5. Richard Sorabji, Matter, Space, and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (Ithaca: Cornell University Press, 1988), 74–75.
  6. David Bostock, Aristotle’s Metaphysics: Books Z and H (Oxford: Oxford University Press, 1994), 112–114.
  7. Aristotle, De Anima, 412a6–b20, trans. J.A. Smith, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 1.

6.           Substansi, Perubahan, dan Aktualitas–Potensialitas

Dalam filsafat Aristoteles, substansi (ousia) tidak hanya merupakan struktur ontologis dasar dari realitas, tetapi juga menjadi titik pusat dalam memahami perubahan. Sebagai tanggapan terhadap perdebatan antara kaum eleatis (seperti Parmenides, yang menolak realitas perubahan) dan Herakleitos (yang menekankan bahwa segala sesuatu berubah), Aristoteles menawarkan sintesis konseptual yang disebut dengan teori aktualitas dan potensialitas (energeia dan dynamis)¹. Konsep ini bukan hanya menyelamatkan koherensi logis perubahan, tetapi juga mengaitkan erat antara substansi, bentuk, dan proses menjadi.

Menurut Aristoteles, perubahan adalah aktualisasi dari potensi dalam suatu substratum yang tetap, yaitu substansi. Ia mendefinisikan perubahan sebagai “pergerakan dari potensialitas menuju aktualitas, sejauh potensialitas itu memungkinkan”². Dalam perubahan seperti pertumbuhan pohon dari benih, benih memiliki potensi untuk menjadi pohon; proses pertumbuhan adalah aktualisasi dari potensi tersebut; dan substansi tetap eksis sebagai dasar yang memungkinkan perubahan itu berlangsung.

Dalam kerangka ini, materi adalah prinsip potensialitas — ia mampu menerima bentuk baru, sedangkan bentuk adalah prinsip aktualitas — ia mengaktualkan kapasitas laten yang terkandung dalam materi. Maka, substansi sebagai kesatuan dari bentuk dan materi juga adalah tempat di mana aktualitas dan potensialitas berinteraksi secara konkret³. Ini menjelaskan bagaimana satu entitas dapat mengalami perubahan tanpa kehilangan identitas: karena yang berubah adalah aktualitas, sementara potensialitas tetap berada dalam jangkauan esensinya.

Aristoteles menerapkan skema ini dalam tiga jenis perubahan:

·                     Perubahan substansial: perubahan dari satu substansi menjadi substansi lain, misalnya kematian manusia yang mengubah “manusia hidup” menjadi “mayat”.

·                     Perubahan aksidental: perubahan dalam kategori seperti kualitas, kuantitas, atau posisi, tanpa mengubah identitas substansi.

·                     Perubahan gerak (kinesis): pergerakan dalam ruang yang juga melibatkan aktualisasi potensi spasial⁴.

Aktualitas dan potensialitas juga menjadi dasar untuk menjelaskan hirarki ontologis dalam realitas. Dalam Metaphysics Theta, Aristoteles menyatakan bahwa aktualitas lebih utama daripada potensialitas, karena aktualitas menyatakan keberadaan yang sempurna dan selesai, sedangkan potensialitas adalah kondisi kekurangan atau keterarahan terhadap keberadaan. Sebagai contoh, seorang ahli bedah yang sedang mengoperasi adalah aktual, sedangkan seorang murid kedokteran hanya berpotensi menjadi seperti itu⁵. Maka, keberadaan yang paling sempurna adalah yang selalu aktual dan tidak tergantung pada proses menjadi — seperti Nous atau Penggerak Tak Tergerak (Unmoved Mover), yang oleh Aristoteles disebut sebagai aktualitas murni⁶.

Konsep ini juga berdampak besar pada pemikiran skolastik dan teologi Kristen, khususnya dalam ajaran Thomas Aquinas, yang mengadopsi struktur aktual-potensial ini untuk menjelaskan relasi antara makhluk dan Tuhan. Dalam sistem Aquinas, hanya Tuhan yang adalah aktualitas murni (actus purus), tanpa potensi, sementara semua makhluk bersifat komposit dan bergantung pada aktualisasi bentuk⁷.

Dengan demikian, substansi dalam pemikiran Aristoteles tidak dapat dipahami secara utuh tanpa mempertimbangkan dinamika antara aktualitas dan potensialitas. Teori ini memungkinkan Aristoteles membangun kerangka metafisika yang menjelaskan identitas dalam perubahan, struktur internal realitas, dan arah teleologis dari eksistensi makhluk hidup, menjadikannya salah satu pencapaian metafisik paling mendalam dalam sejarah filsafat.


Footnotes

  1. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 93–95.
  2. Aristotle, Physics, 201a10–15, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 1.
  3. Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (London: Routledge, 2002), 22–24.
  4. W.D. Ross, Aristotle (London: Methuen, 1923), 188–190.
  5. Aristotle, Metaphysics, 1050a21–1051a3.
  6. Aristotle, Metaphysics, 1071b3–1072a10.
  7. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.1; cf. Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 88–89.

7.           Kritik dan Tanggapan terhadap Konsep Substansi Aristoteles

Konsep substansi (ousia) dalam pemikiran Aristoteles merupakan pilar utama dalam sejarah metafisika Barat, namun tidak luput dari berbagai kritik dan reinterpretasi sepanjang sejarah filsafat. Sejak masa Neoplatonisme hingga filsafat analitik kontemporer, gagasan Aristoteles tentang substansi telah dipertanyakan, diubah, dan bahkan ditinggalkan oleh berbagai filsuf yang menganggap bahwa kerangka ontologis Aristotelian tidak memadai untuk menjelaskan kompleksitas realitas modern.

7.1.       Kritik dari Tradisi Neoplatonik

Filsuf Neoplatonik seperti Plotinus mengkritik gagasan Aristoteles yang menempatkan substansi dalam dunia fisik sebagai entitas yang terikat pada bentuk dan materi. Menurut Plotinus, realitas sejati tidak dapat dijelaskan melalui entitas partikular yang berubah-ubah, melainkan harus dikembalikan pada satu sumber spiritual yang transenden, yaitu the One¹. Dengan demikian, bagi Neoplatonisme, pendekatan imanen Aristoteles terlalu "terestrial" dan gagal menjelaskan keutuhan dan kesempurnaan eksistensi ilahi.

7.2.       Kritik Rasionalisme dan Empirisme Modern

Pada abad ke-17 dan 18, konsep substansi mengalami kritik tajam dari para filsuf modern seperti René Descartes, John Locke, dan David Hume.

·                     Descartes membagi substansi ke dalam dua kategori: substansi berpikir (res cogitans) dan substansi berkelanjutan (res extensa), tetapi tetap memertahankan posisi Tuhan sebagai substansi sejati dan independen. Dalam sistemnya, substansi menjadi entitas yang membutuhkan hanya Tuhan untuk eksistensinya².

·                     Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding, mengkritik substansi sebagai sesuatu yang tidak dapat diketahui secara langsung. Baginya, kita hanya mengenal kumpulan kualitas (warna, bentuk, tekstur) dan menyimpulkan secara abstrak bahwa ada “sesuatu” yang mendasari kualitas tersebut, tetapi kita tidak pernah mengetahui apa itu substansi secara hakiki³.

·                     Hume membawa kritik ini lebih jauh. Ia menolak seluruh ide tentang substansi sebagai metafisik dan tidak dapat dibenarkan secara empiris. Menurutnya, gagasan substansi hanyalah kebiasaan mental untuk menyatukan persepsi yang berulang, bukan sesuatu yang benar-benar ada dalam realitas eksternal⁴.

7.3.       Kritik Immanuel Kant: Substansi sebagai Kategori A Priori

Dalam Critique of Pure Reason, Immanuel Kant tidak sepenuhnya menolak substansi, tetapi ia meletakkannya dalam kerangka transendental. Bagi Kant, substansi bukan entitas yang ada di luar pengalaman, tetapi kategori akal murni yang digunakan oleh subjek untuk mengorganisir persepsi. Dalam hal ini, substansi adalah bentuk kognitif yang memungkinkan pengalaman objektif berlangsung⁵. Dengan demikian, realitas substansial bukan sesuatu yang dapat dikenali secara langsung, melainkan hasil konstruksi dari struktur subyektivitas.

7.4.       Tanggapan dan Reformulasi Kontemporer

Filsafat kontemporer menawarkan dua jalur utama dalam menanggapi warisan Aristotelian ini:

·                     Dalam filsafat analitik, para filsuf seperti E.J. Lowe dan Michael J. Loux berusaha merehabilitasi konsep substansi dalam bentuk yang lebih formal dan logis. Lowe, misalnya, membela model empat kategori ontologis yang mencakup substansi sebagai dasar eksistensi, dan mengklaim bahwa tanpa substansi, tidak mungkin menjelaskan identitas dan keberlangsungan benda melalui waktu⁶.

·                     Di sisi lain, filsafat kontinental cenderung menghindari substansialisme. Martin Heidegger, misalnya, menganggap bahwa pemikiran substansi mengaburkan pemahaman tentang “ada” (Sein) itu sendiri. Ia mengkritik metafisika tradisional yang berfokus pada “ada sebagai sesuatu” (beings), dan menyerukan pembalikan menuju pertanyaan tentang makna “Ada” yang lebih mendasar⁷.


Relevansi dan Pertimbangan Kritis

Kritik terhadap substansi Aristoteles mengungkapkan keterbatasan-keterbatasan dalam aplikasinya terhadap realitas yang kompleks, dinamis, dan terfragmentasi — seperti yang ditemukan dalam fisika kuantum, biologi evolusioner, atau teori identitas personal dalam psikologi modern. Namun demikian, banyak filsuf tetap mengakui bahwa struktur pemikiran Aristotelian tentang substansi menyediakan kerangka awal yang sangat koheren untuk memahami objek, identitas, dan perubahan⁸.

Dengan mempertimbangkan semua kritik dan pengembangan tersebut, konsep substansi Aristoteles tidak harus ditolak begitu saja, tetapi lebih tepatnya ditafsirkan ulang secara kritis untuk menjawab kebutuhan filsafat kontemporer. Konsep ini tetap menjadi medan kontestasi yang produktif dalam diskursus metafisika dan ontologi hingga hari ini.


Footnotes

1.      Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Books, 1991), V.1.

2.      René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), Part I, §51–54.

3.      John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xiii.19–20.

4.      David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), I.I.vi.

5.      Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A182/B224.

6.      E.J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity, and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 15–17.

7.      Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §3–5.

8.      Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (London: Routledge, 2002), 41–44.


8.           Relevansi Konsep Substansi dalam Filsafat Kontemporer

Meskipun dikembangkan lebih dari dua milenia yang lalu, konsep substansi (ousia) dalam pemikiran Aristoteles tetap menjadi titik acuan penting dalam perdebatan metafisika kontemporer. Perubahan paradigma dalam sains, linguistik, dan filsafat analitik tidak menghapuskan gagasan substansi, melainkan mendorong para filsuf untuk menafsirkan ulang, mereformulasi, atau menantangnya dalam konteks problematik masa kini. Dalam perkembangan terbaru, substansi dipahami bukan hanya sebagai dasar ontologis bagi benda-benda, tetapi juga sebagai landasan untuk menjawab isu-isu tentang identitas, eksistensi, dan struktur logis realitas.

8.1.       Filsafat Analitik: Substansi dan Ontologi Formal

Dalam tradisi filsafat analitik, terutama pada paruh kedua abad ke-20 hingga kini, konsep substansi mengalami kebangkitan melalui pendekatan ontologi formal. Filsuf seperti E.J. Lowe dan Michael J. Loux menekankan bahwa substansi masih relevan sebagai kategori fundamental dalam teori metafisika. Lowe, misalnya, dalam The Four-Category Ontology, menyusun kerangka metafisik yang menjadikan substansi sebagai jenis entitas dasar yang berdiri sendiri (object category) dan menjadi dasar bagi semua properti dan relasi lainnya¹. Ia berpendapat bahwa tanpa asumsi adanya substansi, tidak mungkin menjelaskan identitas benda melalui waktu atau eksistensi properti sebagai sesuatu yang ada dalam sesuatu yang lain².

Demikian pula, Loux membela pentingnya substansi sebagai kerangka untuk memahami predikasi dan kategori eksistensial. Ia berargumen bahwa gagasan tentang benda sebagai pembawa sifat-sifat (bearer of properties) secara logis menuntut adanya entitas mandiri yang berfungsi sebagai substratum, yaitu substansi³. Pendekatan ini tidak lagi bertumpu pada metafisika esensialis klasik, tetapi pada struktur konseptual yang memadai bagi bahasa dan logika formal kontemporer.

8.2.       Filsafat Kontinental: Kritik atas Substansialisme

Di sisi lain, dalam tradisi filsafat kontinental, substansi justru menjadi sasaran kritik yang tajam. Martin Heidegger mengkritik apa yang ia sebut sebagai "metafisika kehadiran" — kecenderungan filsafat Barat sejak Aristoteles untuk memahami realitas dalam kerangka entitas tetap (substance)⁴. Menurut Heidegger, pemusatan perhatian pada “apa itu sesuatu” (ousia sebagai hakikat) telah mengaburkan pertanyaan yang lebih mendasar tentang makna Ada itu sendiri. Maka, ia mengusulkan pergeseran dari ontologi substansial ke ontologi eksistensial, di mana manusia (Dasein) bukanlah substansi, tetapi eksistensi yang terbuka dan selalu menjadi dirinya melalui waktu⁵.

Kritik ini dilanjutkan oleh filsuf pascastrukturalis seperti Gilles Deleuze, yang menolak gagasan bahwa realitas terdiri atas entitas yang stabil. Dalam Difference and Repetition, Deleuze menegaskan bahwa realitas bukanlah kumpulan substansi, melainkan aliran diferensiasi dan intensitas. Substansi dalam pengertian Aristoteles dianggap sebagai hasil penjinakan terhadap perbedaan dan perubahan⁶.

8.3.       Sains Kontemporer dan Tantangan terhadap Substansi

Dalam konteks ilmu pengetahuan modern, terutama fisika kuantum, konsep substansi juga menghadapi tantangan besar. Model partikel dalam mekanika klasik yang koheren dengan ontologi Aristotelian mulai digantikan oleh model gelombang, energi, dan relasi murni. Filsuf sains seperti Bas van Fraassen menunjukkan bahwa pendekatan struktural dalam fisika modern lebih menekankan relasi dan fungsi daripada entitas substansial⁷. Hal ini mendorong berkembangnya apa yang disebut ontologi struktural (ontic structural realism), yang menyatakan bahwa struktur — bukan substansi — adalah satu-satunya elemen realitas yang dapat dikenali secara ilmiah⁸.

Namun, bukan berarti substansi menjadi usang. Justru banyak filsuf mencoba mereformulasikannya agar lebih sesuai dengan pemahaman baru ini. Misalnya, dalam biologi sistem, substansi bisa dipahami sebagai entitas kompleks yang stabil namun dinamis, seperti organisme, yang mempertahankan identitas meskipun terus berinteraksi dengan lingkungan dan berubah secara internal⁹.

8.4.       Aplikasi Etika dan Filsafat Identitas

Dalam filsafat identitas personal, konsep substansi tetap digunakan untuk membahas keberlangsungan identitas seseorang melalui waktu. Eric Olson, dalam The Human Animal, membela animalisme, yakni pandangan bahwa manusia adalah substansi biologis yang sama secara kontinu dari bayi hingga dewasa¹⁰. Pandangan ini menentang gagasan bahwa identitas personal tergantung pada kesadaran atau memori, dan mengembalikan fokus pada keberadaan jasmani sebagai substansi individu.


Kesimpulan: Substansi sebagai Konsep Elastis dan Evolusioner

Relevansi konsep substansi dalam filsafat kontemporer terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dan menstrukturkan diskusi lintas bidang: dari metafisika formal hingga filsafat sains dan antropologi. Meskipun substansi tidak lagi dipahami dalam kerangka statis seperti pada masa Aristoteles, ide dasarnya — yakni bahwa ada sesuatu yang menjadi pusat identitas, eksistensi, dan keteraturan — tetap menjadi gagasan yang fundamental dan tak tergantikan dalam diskursus filosofis.


Footnotes

1.      E.J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Clarendon Press, 2006), 5–7.

2.      Ibid., 31–34.

3.      Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (London: Routledge, 2002), 47–50.

4.      Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §4.

5.      Ibid., §9–13.

6.      Gilles Deleuze, Difference and Repetition, trans. Paul Patton (New York: Columbia University Press, 1994), 40–45.

7.      Bas van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 160–165.

8.      James Ladyman et al., Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 120–123.

9.      Denis Walsh, Organisms, Agency, and Evolution (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 14–18.

10.  Eric T. Olson, The Human Animal: Personal Identity without Psychology (Oxford: Oxford University Press, 1997), 26–30.


9.           Penutup

Konsep substansi (ousia) dalam filsafat Aristoteles bukan hanya merupakan inti dari sistem metafisikanya, tetapi juga berfungsi sebagai kerangka konseptual yang memungkinkan pemahaman terhadap eksistensi, identitas, dan perubahan dalam realitas. Aristoteles membangun pemikiran yang mendalam dan sistematis tentang bagaimana sesuatu dapat "ada" secara mandiri, dapat dikenali secara ilmiah, dan tetap mempertahankan kesatuannya di tengah dinamika perubahan. Dalam Metaphysics, Aristoteles secara eksplisit menyatakan bahwa substansi adalah bentuk tertinggi dari eksistensi, dan menjadi subjek utama dari penyelidikan filsafat pertama (prote philosophia) karena semua kategori lain bergantung padanya untuk makna dan keberadaan¹.

Sebagai landasan ontologis, substansi menyediakan jawaban terhadap pertanyaan mendasar: apa yang membuat sesuatu menjadi dirinya sendiri dan bukan yang lain. Ia menjelaskan bagaimana entitas fisik memiliki bentuk dan materi, bagaimana perubahan dapat terjadi tanpa kehilangan identitas, serta bagaimana predikasi logis berfungsi dalam bahasa dan pemikiran. Pendekatan Aristoteles yang menempatkan substansi sebagai kesatuan antara bentuk aktual dan materi potensial memungkinkan filsafat untuk menghindari ekstrem dualisme Platonik dan reduksionisme materialistik².

Seiring berjalannya waktu, konsep ini telah menjadi pusat dialektika panjang dalam sejarah filsafat. Kritik dari Neoplatonisme, rasionalisme modern, empirisme, hingga filsafat kontinental menyoroti keterbatasan atau asumsi-asumsi mendasar dari pemikiran Aristotelian. Namun demikian, gagasan substansi tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan; bahkan dalam bentuk-bentuk yang telah direvisi, ia tetap menjadi titik acuan bagi teori identitas personal, pemikiran biologis, hingga struktur logika dan ontologi formal³.

Dalam filsafat kontemporer, substansi tidak lagi dipahami sebagai entitas tetap dan absolut seperti dalam bentuk klasiknya. Ia mengalami transformasi menjadi konsep yang lebih fleksibel — sebagai struktur, sistem relasional, atau bahkan kategori linguistik. Meskipun demikian, esensi dari ide substansi sebagai penopang ontologis dari segala sesuatu yang ada masih dipertahankan oleh berbagai pemikir dan aliran filsafat, menunjukkan bahwa warisan Aristoteles tetap hidup dan aktif dalam wacana keilmuan masa kini⁴.

Dengan demikian, menggali pemikiran Aristoteles tentang substansi berarti menelusuri akar terdalam dari pemahaman kita tentang realitas. Ia tidak hanya memberikan fondasi metafisika yang rasional dan sistematis, tetapi juga membuka ruang untuk refleksi filsafat yang terus berkembang. Seperti yang ditegaskan oleh Joseph Owens, “substansi adalah inti dari segala yang ada, dan dari sanalah semua pemahaman yang sejati bermula”⁵. Maka, relevansi gagasan substansi bukan terletak pada kesempurnaan bentuknya di masa lalu, melainkan pada kemampuannya untuk terus memicu pertanyaan filosofis yang paling mendasar tentang eksistensi.


Footnotes

  1. Aristotle, Metaphysics, 1028a10–b5, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), vol. 2.
  2. Michael J. Loux, Primary Ousia: An Essay on Aristotle’s Metaphysics Z and H (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 95–97.
  3. E.J. Lowe, The Possibility of Metaphysics: Substance, Identity, and Time (Oxford: Clarendon Press, 1998), 112–114.
  4. James Ladyman et al., Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 120–122.
  5. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 102.

Daftar Pustaka

Aristotle. (1984). The complete works of Aristotle: The revised Oxford translation (J. Barnes, Ed.). Princeton University Press. (Original works trans. by W. D. Ross, J. A. Smith, & others)

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Bostock, D. (1994). Aristotle’s Metaphysics: Books Z and H. Oxford University Press.

Deleuze, G. (1994). Difference and repetition (P. Patton, Trans.). Columbia University Press. (Original work published 1968)

Descartes, R. (1983). Principles of philosophy (V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.

Gilson, E. (1952). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1739)

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Ladyman, J., Ross, D., Spurrett, D., & Collier, J. (2007). Every thing must go: Metaphysics naturalized. Oxford University Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1690)

Loux, M. J. (1991). Primary ousia: An essay on Aristotle’s Metaphysics Z and H. Cornell University Press.

Loux, M. J. (2002). Metaphysics: A contemporary introduction (2nd ed.). Routledge.

Lowe, E. J. (1998). The possibility of metaphysics: Substance, identity, and time. Clarendon Press.

Lowe, E. J. (2006). The four-category ontology: A metaphysical foundation for natural science. Clarendon Press.

Olson, E. T. (1997). The human animal: Personal identity without psychology. Oxford University Press.

Owens, J. (1951). The doctrine of being in the Aristotelian metaphysics (2nd ed.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). Penguin Books.

Sorabji, R. (1983). Time, creation and the continuum: Theories in antiquity and the early middle ages. Duckworth.

Sorabji, R. (1988). Matter, space, and motion: Theories in antiquity and their sequel. Cornell University Press.

Thomas Aquinas. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
(Original work written 1265–1274)

Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

Walsh, D. (2016). Organisms, agency, and evolution. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar