Jumat, 08 November 2024

Logika dalam Filsafat: Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel

Logika dalam Filsafat

Dasar Berpikir Sistematis, Rasional, dan Kritis


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.

 LogikaLogical FallaciesPenalaran.


Abstrak

Logika adalah cabang filsafat yang berfungsi sebagai dasar berpikir sistematis, rasional, dan kritis. Artikel ini menyajikan kajian komprehensif tentang logika berdasarkan sumber-sumber referensi yang kredibel. Pembahasan dimulai dengan definisi dan ruang lingkup logika, mencakup prinsip-prinsip dasar seperti hukum identitas, hukum non-kontradiksi, hukum eksklusi tengah, dan hukum alasan cukup. Selanjutnya, artikel ini menelusuri sejarah perkembangan logika dari era Aristotelian, tradisi Islam, hingga logika modern yang dikembangkan dalam matematika dan kecerdasan buatan. Berbagai cabang logika, termasuk logika klasik, simbolik, induktif-deduktif, dan logika fuzzy, juga dianalisis dalam konteks aplikasinya dalam kehidupan nyata.

Logika memiliki peran fundamental dalam ilmu pengetahuan, hukum, teknologi, pendidikan, dan komunikasi. Dalam ilmu pengetahuan, logika digunakan sebagai metode validasi argumentasi ilmiah dan eksperimen. Di bidang hukum, logika membantu dalam interpretasi undang-undang dan pengambilan keputusan yang adil. Dalam teknologi, logika menjadi dasar dalam pengembangan perangkat lunak dan kecerdasan buatan, sedangkan dalam pendidikan, logika berperan dalam membentuk pola pikir kritis dan analitis.

Kesimpulan dari kajian ini menegaskan bahwa logika bukan sekadar disiplin filsafat, tetapi juga memiliki aplikasi luas dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan logika menjadi semakin penting di era digital yang penuh dengan informasi yang kompleks dan manipulatif. Dengan pemahaman logika yang baik, individu dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang esensial untuk menghadapi tantangan masa depan.

Kata Kunci: Logika, filsafat, berpikir kritis, ilmu pengetahuan, hukum, kecerdasan buatan, pendidikan, argumentasi.


PEMBAHASAN

Logika sebagai Cabang Filsafat


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Logika merupakan salah satu cabang filsafat yang memiliki peran fundamental dalam membangun pemikiran yang sistematis dan rasional. Sebagai disiplin ilmu, logika mempelajari prinsip-prinsip yang mengatur penalaran yang sahih dan valid.1 Dalam sejarahnya, logika berkembang dari kajian klasik yang dirintis oleh filsuf Yunani seperti Aristoteles hingga logika modern yang diaplikasikan dalam ilmu komputer dan kecerdasan buatan.2

Dalam filsafat, logika berfungsi sebagai alat untuk menguji kebenaran suatu proposisi serta menghindari kesalahan berpikir (fallacy). Filsuf Bertrand Russell menekankan bahwa logika tidak hanya sekadar alat berpikir, tetapi juga fondasi bagi ilmu matematika dan bahasa.3 Oleh karena itu, pemahaman terhadap logika menjadi kunci dalam membangun argumentasi yang rasional dan sistematis dalam berbagai bidang keilmuan.

1.2.       Pengertian Logika

Secara etimologis, istilah "logika" berasal dari bahasa Yunani logos (λόγος) yang berarti "kata", "pemikiran", atau "rasio".4 Istilah ini pertama kali digunakan oleh Aristoteles dalam karya Organon, yang menjadi dasar bagi studi logika formal.5 Menurut William Kneale dan Martha Kneale dalam The Development of Logic, logika didefinisikan sebagai studi tentang prinsip-prinsip penalaran yang benar.6

Sementara itu, dalam tradisi Islam, Al-Farabi mendefinisikan logika sebagai ilmu yang mempelajari hukum-hukum berpikir agar manusia dapat membedakan antara argumentasi yang benar dan yang salah.7 Definisi ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa logika adalah ilmu yang membahas aturan-aturan berpikir yang bersifat universal dan objektif.8

Dengan demikian, logika bukan hanya sekadar ilmu tentang cara berpikir yang benar, tetapi juga merupakan disiplin yang memberikan kerangka bagi berbagai ilmu lainnya, seperti filsafat, linguistik, matematika, dan teknologi informasi.9

1.3.       Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Memahami prinsip-prinsip dasar logika, termasuk hukum-hukum fundamental yang menjadi dasar dalam berpikir rasional.

2)                  Menganalisis sejarah perkembangan logika, mulai dari era Yunani Kuno hingga penerapannya dalam ilmu modern.

3)                  Menjelaskan berbagai cabang logika, seperti logika klasik, logika simbolik, dan logika fuzzy.

4)                  Menggali penerapan logika dalam kehidupan nyata, terutama dalam ilmu pengetahuan, hukum, dan teknologi.

Dengan adanya kajian ini, diharapkan pembaca dapat memahami pentingnya logika dalam berbagai aspek kehidupan serta mampu menerapkannya dalam pemecahan masalah yang membutuhkan analisis yang kritis dan sistematis.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2014), 3.

[2]                Jean van Heijenoort, From Frege to Gödel: A Source Book in Mathematical Logic, 1879-1931 (Cambridge: Harvard University Press, 1967), 5.

[3]                Bertrand Russell, Introduction to Mathematical Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1919), 2.

[4]                G. E. R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 47.

[5]                Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1938), 15.

[6]                William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 23.

[7]                Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar el-Machreq, 1969), 56.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 97.

[9]                John P. Burgess, Philosophical Logic (Princeton: Princeton University Press, 2009), 11.


2.           Pengertian dan Ruang Lingkup Logika

2.1.       Definisi Logika

Logika adalah cabang filsafat yang berfokus pada studi tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan penalaran yang valid. Secara etimologis, istilah logika berasal dari bahasa Yunani logos (λόγος), yang memiliki makna luas seperti "kata", "pikiran", "rasio", dan "prinsip".1 Aristoteles, yang dianggap sebagai bapak logika, merumuskan logika sebagai alat berpikir (organon) yang membantu dalam proses penalaran dan argumentasi yang benar.2

Dalam konteks keilmuan modern, William Kneale dan Martha Kneale mendefinisikan logika sebagai ilmu yang mempelajari metode dan prinsip untuk menentukan apakah suatu argumen valid atau tidak.3 Sementara itu, Irving M. Copi dan Carl Cohen menegaskan bahwa logika adalah ilmu yang mempelajari kriteria validitas dalam inferensi dan penyusunan proposisi yang rasional.4

Dalam pemikiran Islam, logika dikenal dengan istilah mantiq. Al-Farabi mendefinisikan mantiq sebagai instrumen yang membedakan antara argumentasi yang benar dan yang salah.5 Pemikiran ini diperkuat oleh Ibnu Sina, yang menekankan bahwa logika berperan sebagai alat bantu bagi filsafat untuk mencapai kebenaran.6

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa logika berfungsi sebagai kerangka konseptual dalam berpikir rasional dan kritis, yang bertujuan untuk membedakan antara pemikiran yang valid dan yang tidak valid.

2.2.       Obyek Kajian Logika

Obyek kajian logika dapat dikategorikan menjadi dua aspek utama, yaitu:

2.2.1.      Obyek Material Logika

Obyek material logika adalah pikiran manusia itu sendiri. Dalam hal ini, logika mengkaji struktur dan pola berpikir manusia untuk memastikan bahwa proses berpikir tersebut mengikuti aturan-aturan yang benar.7 Aristoteles dalam Organon menjelaskan bahwa pikiran manusia terdiri dari konsep, proposisi, dan inferensi, yang semuanya harus mengikuti prinsip-prinsip logika agar dapat menghasilkan kesimpulan yang sahih.8

2.2.2.      Obyek Formal Logika

Obyek formal logika berkaitan dengan hubungan antara premis dan kesimpulan dalam suatu argumen. Logika tidak membahas apakah suatu proposisi benar dalam arti faktual, melainkan apakah struktur penalarannya sah secara logis.9 Bertrand Russell menekankan bahwa logika adalah disiplin yang membahas aturan-aturan bentuk inferensi yang valid, bukan sekadar kebenaran materiil suatu pernyataan.10

Dengan demikian, logika tidak hanya berkaitan dengan isi suatu pernyataan, tetapi juga dengan struktur dan pola berpikir yang benar agar tidak terjadi kekeliruan dalam proses inferensi.

2.3.       Manfaat dan Fungsi Logika

Logika memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam pendidikan, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Beberapa manfaat utama logika antara lain:

1)                  Membantu dalam berpikir kritis dan sistematis

Logika memberikan dasar bagi individu untuk berpikir secara rasional dan sistematis, sehingga dapat membedakan antara argumen yang sah dan yang sesat.11

2)                  Mempermudah proses analisis dan pemecahan masalah

Dalam dunia akademik dan profesional, logika digunakan sebagai alat analisis untuk menilai validitas suatu argumen atau kebijakan.12

3)                  Menghindari kesalahan berpikir (logical fallacies)

Studi logika membantu individu dalam mengenali dan menghindari kekeliruan berpikir, seperti ad hominem, false dilemma, dan circular reasoning.13

4)                  Meningkatkan efektivitas komunikasi dan argumentasi

Logika membantu seseorang dalam menyusun argumen yang jelas, terstruktur, dan persuasif dalam diskusi akademik maupun debat publik.14

Dengan manfaat-manfaat tersebut, logika tidak hanya menjadi alat bagi para filsuf dan ilmuwan, tetapi juga memiliki aplikasi luas dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan teknologi.


Footnotes

[1]               G. E. R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 47.

[2]               Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1938), 15.

[3]               William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 23.

[4]               Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2014), 3.

[5]               Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar el-Machreq, 1969), 56.

[6]               Avicenna (Ibnu Sina), Kitab al-Shifa’, ed. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), 98.

[7]               John P. Burgess, Philosophical Logic (Princeton: Princeton University Press, 2009), 11.

[8]               Aristotle, Organon, 22.

[9]               Jean van Heijenoort, From Frege to Gödel: A Source Book in Mathematical Logic, 1879-1931 (Cambridge: Harvard University Press, 1967), 5.

[10]            Bertrand Russell, Introduction to Mathematical Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1919), 2.

[11]            Graham Priest, An Introduction to Non-Classical Logic (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 5.

[12]            Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 14.

[13]            Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 34.

[14]            Tracy Bowell and Gary Kemp, Critical Thinking: A Concise Guide (New York: Routledge, 2015), 29.


3.           Sejarah dan Perkembangan Logika

3.1.       Logika dalam Tradisi Yunani Kuno

Logika sebagai disiplin ilmu pertama kali berkembang di dunia Yunani Kuno, dengan Aristoteles (384–322 SM) sebagai pelopor utamanya. Sebelum Aristoteles, pemikiran logis telah muncul dalam pemikiran filsuf pra-Sokrates seperti Parmenides dan Herakleitos, namun belum sistematis.1

Aristoteles menyusun teori logika dalam karyanya Organon, yang terdiri dari enam kitab utama: Kategori, Hermeneutika, Analitika Pertama, Analitika Kedua, Topik, dan Sofistika. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah konsep silogisme, yang menjadi dasar bagi logika deduktif.2 Dalam model silogisme Aristoteles, suatu kesimpulan diperoleh dari dua premis yang terkait, misalnya:

·                     Premis mayor: Semua manusia adalah makhluk hidup.

·                     Premis minor: Socrates adalah manusia.

·                     Kesimpulan: Socrates adalah makhluk hidup.

Selain Aristoteles, para filsuf Stoa juga berkontribusi terhadap perkembangan logika, khususnya dalam pengembangan logika proposisional yang kemudian menjadi dasar bagi logika modern.3

3.2.       Logika dalam Tradisi Islam

Pada abad pertengahan, tradisi Islam memainkan peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan logika Aristotelian. Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd tidak hanya menerjemahkan teks-teks Yunani, tetapi juga memberikan interpretasi dan perluasan konsep-konsep logika.4

·                     Al-Farabi (872–950 M) dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles dalam bidang logika. Ia menyusun sistem logika yang menghubungkan antara logika Aristotelian dan filsafat Islam dalam karyanya Kitab al-Mantiq.5

·                     Ibnu Sina (980–1037 M) mengembangkan logika dalam kerangka epistemologi dan metafisika Islam. Ia membagi logika menjadi dua bagian utama: logika demonstratif (burhan) dan logika dialektis (jadal).6

·                     Ibnu Rusyd (1126–1198 M) berusaha merekonsiliasi logika Aristotelian dengan teologi Islam, sekaligus membantah kritik terhadap logika dari kalangan teolog Asy’ariyah seperti Al-Ghazali.7

Perkembangan logika dalam Islam kemudian diteruskan ke dunia Latin, terutama melalui terjemahan teks-teks Arab ke dalam bahasa Latin di Andalusia. Hal ini berkontribusi terhadap kebangkitan intelektual di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13.8

3.3.       Logika dalam Tradisi Barat Abad Pertengahan dan Renaissance

Di Eropa abad pertengahan, logika menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan skolastik. Thomas Aquinas (1225–1274 M) mengadaptasi pemikiran Aristoteles ke dalam teologi Kristen, menciptakan sintesis antara iman dan rasio.9

Selama periode Renaissance, terjadi pergeseran dari logika skolastik menuju logika yang lebih berbasis empiris, dipengaruhi oleh pemikiran Francis Bacon (1561–1626) yang mengembangkan metode induktif sebagai alternatif terhadap silogisme Aristotelian.10

3.4.       Logika dalam Tradisi Modern dan Kontemporer

3.4.1.      Rasionalisme dan Empirisme

Pada abad ke-17 dan ke-18, muncul dua aliran utama dalam filsafat logika:

1)                  Rasionalisme, dipelopori oleh René Descartes (1596–1650), yang menekankan bahwa kebenaran dapat ditemukan melalui deduksi logis dari prinsip-prinsip yang jelas dan tegas.11

2)                  Empirisme, dipelopori oleh John Locke (1632–1704) dan David Hume (1711–1776), yang menekankan pentingnya pengalaman indrawi dalam membentuk pengetahuan.12

Immanuel Kant (1724–1804) mencoba menyintesis dua pendekatan ini dengan merumuskan konsep logika transendental dalam Critique of Pure Reason.13

3.4.2.      Perkembangan Logika Simbolik

Pada abad ke-19, logika mengalami transformasi signifikan dengan munculnya logika simbolik, yang memperkenalkan penggunaan simbol matematika dalam analisis logis. Tokoh utama dalam perkembangan ini adalah:

·                     George Boole (1815–1864), yang memperkenalkan Boolean Algebra, dasar dari logika komputer.14

·                     Gottlob Frege (1848–1925), yang mengembangkan logika predikat dan meletakkan dasar bagi analisis bahasa secara formal.15

3.4.3.      Logika dalam Abad ke-20 dan ke-21

Pada abad ke-20, perkembangan logika semakin pesat dengan munculnya pemikiran Bertrand Russell dan Kurt Gödel:

·                     Bertrand Russell (1872–1970) menyusun Principia Mathematica bersama Alfred North Whitehead, yang berusaha mendasarkan seluruh matematika pada logika.16

·                     Kurt Gödel (1906–1978) membuktikan dalam theorem ketidaksempurnaan bahwa dalam sistem logika formal tertentu, terdapat pernyataan yang benar tetapi tidak dapat dibuktikan dalam sistem tersebut.17

Pada era kontemporer, logika terus berkembang dalam bidang kecerdasan buatan, linguistik komputasional, dan logika fuzzy, yang memungkinkan sistem komputer untuk menangani ketidakpastian dalam pengolahan data.18


Footnotes

[1]                G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to Aristotle (New York: W. W. Norton & Company, 1970), 78.

[2]                Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1938), 15.

[3]                Benson Mates, Stoic Logic (Berkeley: University of California Press, 1961), 37.

[4]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 42.

[5]                Al-Farabi, Kitab al-Mantiq, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar el-Machreq, 1969), 78.

[6]                Avicenna (Ibnu Sina), Kitab al-Shifa’, ed. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), 112.

[7]                Ibn Rushd (Averroes), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954), 89.

[8]                Charles Burnett, Arabic into Latin in the Middle Ages (Farnham: Ashgate, 2009), 67.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. John Mortensen (Lander: Aquinas Institute, 2012), 133.

[10]             Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach (Chicago: Open Court, 1994), 21.

[11]             René Descartes, Discourse on Method, trans. Elizabeth S. Haldane (Cambridge: Cambridge University Press, 1911), 54.

[12]             John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 74.

[13]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 97.

[14]             George Boole, An Investigation of the Laws of Thought (London: Walton and Maberly, 1854), 27.

[15]             Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon that of Arithmetic, for Pure Thought, trans. Stefan Bauer-Mengelberg (Oxford: Oxford University Press, 1972), 15.

[16]             Alfred North Whitehead and Bertrand Russell, Principia Mathematica, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), 5.

[17]             Kurt Gödel, On Formally Undecidable Propositions of Principia Mathematica and Related Systems, trans. B. Meltzer (New York: Dover Publications, 1992), 11.

[18]             Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Sets and Applications: Selected Papers (New York: Wiley, 1987), 23.


4.           Prinsip-Prinsip Dasar dalam Logika

4.1.       Hukum-Hukum Dasar Logika

Dalam studi logika, terdapat beberapa hukum dasar yang menjadi fondasi dalam penalaran yang sahih. Hukum-hukum ini pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Aristoteles dan terus menjadi prinsip utama dalam logika klasik maupun modern.1

4.1.1.      Hukum Identitas

Hukum Identitas menyatakan bahwa setiap sesuatu adalah identik dengan dirinya sendiri. Dalam simbolisasi logika, hukum ini dinyatakan sebagai:

A = A

Artinya, jika suatu pernyataan benar, maka ia tetap benar dalam kondisi yang sama.2 Hukum ini penting dalam menjaga konsistensi dalam berpikir dan argumentasi. Gottlob Frege menggunakan prinsip ini dalam logika simbolik untuk menunjukkan bahwa setiap konsep atau proposisi harus tetap memiliki makna yang konsisten.3

4.1.2.      Hukum Non-Kontradiksi

Hukum ini menyatakan bahwa suatu proposisi tidak dapat sekaligus benar dan salah dalam waktu yang sama dan dalam pengertian yang sama. Dalam simbolisasi:

¬(A ¬A)

Sebagai contoh, pernyataan "Sebuah meja adalah kayu" dan "Sebuah meja bukan kayu" tidak dapat benar bersamaan jika merujuk pada kondisi yang sama.4 Bertrand Russell menegaskan bahwa tanpa hukum ini, seluruh sistem logika dan matematika akan runtuh karena kontradiksi akan menghasilkan ketidakkonsistenan dalam penalaran.5

4.1.3.      Hukum Eksklusi Tengah

Hukum Eksklusi Tengah (Law of the Excluded Middle) menyatakan bahwa untuk setiap proposisi AA, hanya ada dua kemungkinan: benar atau salah. Dalam simbolisasi:

A ¬A

Sebagai contoh, pernyataan "Hari ini hujan" hanya memiliki dua kemungkinan: benar atau salah, tanpa kemungkinan ketiga.6 Namun, dalam logika fuzzy yang diperkenalkan oleh Lotfi Zadeh, hukum ini dipertanyakan karena adanya derajat kebenaran antara benar dan salah.7

4.1.4.      Hukum Alasan Cukup

Hukum ini pertama kali dikemukakan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki alasan yang cukup untuk menjelaskan keberadaannya.8 Dalam ilmu pengetahuan, hukum ini digunakan dalam metode ilmiah untuk menuntut bukti empiris atau rasional terhadap klaim yang diajukan.9

4.2.       Silogisme dan Inferensi

Silogisme adalah bentuk argumentasi deduktif yang terdiri dari dua premis dan satu kesimpulan. Aristoteles dalam Organon merumuskan beberapa bentuk silogisme, salah satunya adalah silogisme kategoris:

·                     Premis Mayor: Semua manusia fana.

·                     Premis Minor: Socrates adalah manusia.

·                     Kesimpulan: Socrates fana.

Silogisme ini tetap menjadi model utama dalam argumentasi formal hingga saat ini.10

4.2.1.    Jenis-Jenis Inferensi

Inferensi adalah proses menarik kesimpulan dari premis yang diberikan. Terdapat tiga jenis utama inferensi dalam logika:

1)                  Inferensi Deduktif

Kesimpulan diambil berdasarkan premis yang bersifat umum ke khusus.

Contoh: "Semua mamalia bernapas. Kucing adalah mamalia. Maka, kucing bernapas."

Digunakan dalam ilmu pasti dan logika formal.11

2)                  Inferensi Induktif

Kesimpulan diambil dari kasus-kasus khusus menuju generalisasi.

Contoh: "Burung pipit bisa terbang, burung elang bisa terbang, maka semua burung bisa terbang." (Namun, ada pengecualian seperti burung unta.)

Digunakan dalam metode ilmiah dan statistik.12

3)                  Inferensi Abduktif

Kesimpulan diambil berdasarkan dugaan terbaik yang mungkin terjadi.

Contoh: "Jika ada asap, kemungkinan besar ada api."

Sering digunakan dalam diagnostik medis dan ilmu forensik.13

4.3.       Kesalahan Berpikir (Logical Fallacies)

Dalam berpikir logis, sering terjadi kesalahan berpikir yang dikenal sebagai logical fallacies. Beberapa jenis kesalahan logika yang umum meliputi:

1)                  Ad Hominem – Menyerang pribadi lawan daripada argumennya.14

2)                  Straw Man – Menciptakan argumen palsu yang lebih lemah untuk lebih mudah diserang.15

3)                  False Dilemma – Menyajikan hanya dua pilihan seolah-olah tidak ada opsi lain.16

4)                  Circular Reasoning – Kesimpulan digunakan sebagai premis untuk mendukung dirinya sendiri.17

Mempelajari kesalahan logika membantu dalam berpikir lebih kritis dan tidak mudah terjebak dalam argumen yang menyesatkan.


Footnotes

[1]                Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1938), 15.

[2]                William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 27.

[3]                Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon that of Arithmetic, for Pure Thought, trans. Stefan Bauer-Mengelberg (Oxford: Oxford University Press, 1972), 20.

[4]                Graham Priest, An Introduction to Non-Classical Logic (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 33.

[5]                Bertrand Russell, Principles of Mathematics (London: Allen & Unwin, 1903), 101.

[6]                Alfred Tarski, Introduction to Logic and to the Methodology of Deductive Sciences (Oxford: Oxford University Press, 1994), 12.

[7]                Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Logic and Its Applications (New York: Wiley, 1996), 35.

[8]                G. W. Leibniz, The Monadology and Other Philosophical Writings, trans. Robert Latta (Oxford: Oxford University Press, 1898), 45.

[9]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 88.

[10]             Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2014), 67.

[11]             John P. Burgess, Philosophical Logic (Princeton: Princeton University Press, 2009), 44.

[12]             Douglas N. Walton, Argumentation Schemes (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 123.

[13]             Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, vol. 5 (Cambridge: Harvard University Press, 1934), 189.

[14]             Tracy Bowell and Gary Kemp, Critical Thinking: A Concise Guide (New York: Routledge, 2015), 41.

[15]             Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 78.

[16]             John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longmans, 1843), 234.

[17]             Walter Sinnott-Armstrong, Understanding Arguments (Belmont: Wadsworth, 2014), 92.


5.           Cabang-Cabang Logika

Dalam perkembangannya, logika terbagi ke dalam berbagai cabang yang memiliki fokus kajian berbeda. Beberapa cabang utama dalam logika meliputi logika klasik (tradisional), logika simbolik (matematis), logika induktif dan deduktif, serta logika fuzzy. Setiap cabang ini memiliki metode dan aplikasi yang berbeda, tetapi tetap berpegang pada prinsip dasar logika dalam berpikir yang sistematis dan rasional.

5.1.       Logika Klasik (Tradisional)

Logika klasik, yang juga disebut logika Aristotelian, merupakan bentuk logika yang paling awal dikembangkan dan berfokus pada silogisme sebagai bentuk utama inferensi.1 Dalam Organon, Aristoteles menjelaskan bahwa silogisme terdiri dari tiga bagian utama: premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.2 Contohnya:

·                     Premis Mayor: Semua manusia adalah makhluk hidup.

·                     Premis Minor: Socrates adalah manusia.

·                     Kesimpulan: Socrates adalah makhluk hidup.

Logika klasik juga menekankan kategori-kategori logis, yang membantu dalam klasifikasi konsep-konsep dan hubungan antara proposisi.3

Logika Aristotelian tetap relevan dalam studi filsafat dan bahasa, terutama dalam analisis konsep dan argumentasi.4 Namun, dalam perkembangannya, logika klasik mulai dianggap terbatas dalam menganalisis struktur bahasa yang lebih kompleks, sehingga berkembang cabang-cabang logika lainnya.5

5.2.       Logika Simbolik (Matematis)

Logika simbolik, atau logika modern, berkembang pada abad ke-19 dengan diperkenalkannya notasi simbolik untuk menggantikan bahasa alami dalam analisis logis.6 Tokoh utama dalam perkembangan logika simbolik adalah George Boole, yang mengembangkan Aljabar Boolean, dasar dari sistem logika biner dalam komputasi.7

Logika simbolik menggunakan simbol-simbol matematis untuk merepresentasikan hubungan antar-proposisi. Contoh penggunaan notasi dalam logika proposisional:

·                     Negasi (~A): Jika A adalah benar, maka ~A adalah salah.

·                     Konjungsi (A B): Pernyataan A dan B benar hanya jika A dan B keduanya benar.

·                     Disjungsi (A B): Pernyataan A atau B benar jika salah satu dari A atau B benar.

Frege dan Bertrand Russell mengembangkan logika predikat, yang memungkinkan analisis yang lebih mendalam terhadap struktur kalimat dalam bahasa alami.8 Logika simbolik kini menjadi dasar bagi ilmu komputer, kecerdasan buatan, dan matematika murni.9

5.3.       Logika Induktif dan Deduktif

5.3.1.      Logika Deduktif

Logika deduktif adalah jenis logika di mana kesimpulan diambil secara niscaya dari premis yang diberikan.10 Jika premis-premis benar, maka kesimpulan juga harus benar. Contohnya:

·                     Premis 1: Semua planet dalam tata surya mengorbit matahari.

·                     Premis 2: Bumi adalah planet dalam tata surya.

·                     Kesimpulan: Bumi mengorbit matahari.

Logika deduktif sering digunakan dalam matematika dan filsafat formal, karena sifatnya yang pasti dan tidak terbantahkan jika premisnya benar.11

5.3.2.      Logika Induktif

Sebaliknya, logika induktif bekerja dengan mengambil kesimpulan umum berdasarkan pengamatan atau pengalaman khusus.12 Contohnya:

·                     Pengamatan 1: Burung pipit bisa terbang.

·                     Pengamatan 2: Burung elang bisa terbang.

·                     Kesimpulan Induktif: Semua burung bisa terbang.

Namun, logika induktif tidak menghasilkan kepastian mutlak, karena terdapat kemungkinan adanya burung yang tidak bisa terbang, seperti burung unta atau penguin.13 Oleh karena itu, logika induktif digunakan dalam ilmu pengetahuan empiris dan metode ilmiah, di mana kesimpulan dapat direvisi berdasarkan bukti baru.14

5.4.       Logika Fuzzy dan Perkembangan Kontemporer

Logika fuzzy, yang diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh, memperluas konsep logika klasik dengan memasukkan ketidakpastian dan nilai kebenaran yang bertingkat.15 Dalam logika klasik, suatu proposisi hanya bisa bernilai benar (true) atau salah (false), sedangkan dalam logika fuzzy, suatu proposisi dapat memiliki derajat kebenaran di antara 0 dan 1.

Sebagai contoh, dalam logika klasik:

·                     "Seseorang tinggi jika tinggi badannya ≥ 180 cm" → Benar atau salah.

Dalam logika fuzzy:

·                     "Seseorang tinggi jika tinggi badannya berkisar antara 170–200 cm, dengan tingkat keanggotaan yang berbeda".

Logika fuzzy banyak digunakan dalam kecerdasan buatan, pengolahan citra, dan sistem kontrol otomatis, seperti dalam perangkat elektronik rumah tangga dan mobil pintar.16


Footnotes

[1]                Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1938), 12.

[2]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2014), 68.

[3]                William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 55.

[4]                Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 22.

[5]                John P. Burgess, Philosophical Logic (Princeton: Princeton University Press, 2009), 45.

[6]                Alfred Tarski, Introduction to Logic and to the Methodology of Deductive Sciences (Oxford: Oxford University Press, 1994), 29.

[7]                George Boole, An Investigation of the Laws of Thought (London: Walton and Maberly, 1854), 32.

[8]                Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon that of Arithmetic, for Pure Thought, trans. Stefan Bauer-Mengelberg (Oxford: Oxford University Press, 1972), 17.

[9]                Bertrand Russell and Alfred North Whitehead, Principia Mathematica, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), 10.

[10]             Graham Priest, An Introduction to Non-Classical Logic (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 55.

[11]             Kurt Gödel, On Formally Undecidable Propositions (New York: Dover Publications, 1992), 11.

[12]             Douglas N. Walton, Argumentation Schemes (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 79.

[13]             John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longmans, 1843), 241.

[14]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 100.

[15]             Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Logic and Its Applications (New York: Wiley, 1987), 27.

[16]             Bart Kosko, Fuzzy Thinking: The New Science of Fuzzy Logic (New York: Hyperion, 1993), 42.


6.           Aplikasi Logika dalam Kehidupan Nyata

Logika tidak hanya berfungsi sebagai disiplin filsafat teoritis, tetapi juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Penerapan logika dapat ditemukan dalam ilmu pengetahuan, hukum, teknologi, pendidikan, dan komunikasi. Kemampuan berpikir logis membantu individu dalam membuat keputusan yang rasional, menganalisis argumen, serta menghindari kesalahan berpikir (fallacies).

6.1.       Logika dalam Ilmu Pengetahuan dan Metode Ilmiah

Dalam ilmu pengetahuan, logika berperan sebagai fondasi utama dalam metode ilmiah. Karl Popper menegaskan bahwa metode ilmiah harus didasarkan pada prinsip falsifikasi, yaitu menguji hipotesis dengan mencari kemungkinan kesalahannya.1 Dalam pendekatan ilmiah, terdapat dua metode utama yang menggunakan logika:

1)                  Metode Deduktif

Digunakan dalam matematika dan ilmu pasti.

Contohnya adalah teorema dalam matematika yang diturunkan dari aksioma yang sudah terbukti benar.2

2)                  Metode Induktif

Digunakan dalam penelitian empiris dan ilmu sosial.

Misalnya, seorang ilmuwan mengamati bahwa logam mengalami pemuaian ketika dipanaskan, lalu menyimpulkan bahwa semua logam memiliki sifat ini.3

Tanpa logika, ilmu pengetahuan akan kehilangan dasar rasionalitasnya dan rawan terhadap klaim yang tidak memiliki dasar bukti.4

6.2.       Logika dalam Hukum dan Argumentasi Hukum

Dalam bidang hukum, logika digunakan untuk membangun argumentasi yang valid serta menafsirkan undang-undang dengan cara yang sistematis.5 Logika hukum mengacu pada beberapa prinsip dasar, seperti:

1)                  Logika Deduktif dalam Keputusan Hukum

Hakim sering kali menggunakan logika deduktif untuk mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku.

Contoh: Jika seseorang terbukti mencuri (premis minor) dan mencuri dilarang dalam hukum (premis mayor), maka orang tersebut harus dihukum (kesimpulan).6

2)                  Analisis Kasus dengan Logika Induktif

Pengacara sering kali menggunakan metode induktif dengan menyajikan bukti-bukti dari berbagai kasus sebelumnya untuk mendukung argumennya.7

Selain itu, memahami logical fallacies sangat penting dalam debat hukum. Misalnya, fallacy "argumentum ad hominem" sering digunakan dalam persidangan ketika seseorang menyerang karakter lawan, bukan argumennya.8

6.3.       Logika dalam Teknologi dan Kecerdasan Buatan

Dalam dunia teknologi, logika menjadi dasar bagi pemrograman komputer dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI). Alan Turing memperkenalkan konsep mesin Turing, yang merupakan model komputasi berbasis logika untuk menyelesaikan berbagai masalah matematika.9

1)                  Logika Biner dalam Pemrograman Komputer

Komputer menggunakan sistem biner (0 dan 1), yang didasarkan pada logika Boolean yang dikembangkan oleh George Boole.10

Dalam pemrograman, perintah logis seperti IF-THEN, AND, dan OR digunakan untuk menjalankan instruksi berbasis kondisi tertentu.11

2)                  Logika dalam Kecerdasan Buatan

Sistem AI seperti machine learning menggunakan algoritma berbasis logika untuk mengenali pola dan membuat prediksi.12

Logika fuzzy digunakan dalam pengembangan sistem yang dapat menangani ketidakpastian, seperti dalam pengenalan suara dan kendaraan otonom.13

6.4.       Logika dalam Pendidikan dan Pengajaran Berpikir Kritis

Logika memainkan peran penting dalam pendidikan, terutama dalam pengajaran berpikir kritis. Kemampuan berpikir logis membantu siswa dalam menganalisis informasi secara objektif dan menghindari kesalahan berpikir yang umum terjadi.14

1)                  Logika dalam Kurikulum Pendidikan

Beberapa sistem pendidikan telah memasukkan mata pelajaran logika dan filsafat dalam kurikulumnya untuk melatih siswa dalam berpikir analitis.15

Contoh: Universitas-universitas di Eropa dan Amerika memasukkan mata kuliah Critical Thinking sebagai bagian dari pendidikan dasar.16

2)                  Menghindari Kesalahan Berpikir dalam Pengajaran

Siswa diajarkan untuk mengenali kesalahan logis seperti straw man fallacy (mengubah argumen lawan agar lebih mudah diserang) dan false dilemma (mengasumsikan hanya ada dua pilihan, padahal ada lebih banyak alternatif).17

Dengan mengajarkan logika sejak dini, diharapkan masyarakat dapat berpikir lebih rasional dan kritis dalam menghadapi informasi yang semakin kompleks.18

6.5.       Logika dalam Debat dan Retorika

Dalam debat dan komunikasi publik, logika sangat penting untuk membangun argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Aristoteles dalam Rhetoric menjelaskan tiga elemen utama dalam persuasi: logos (logika), ethos (kredibilitas), dan pathos (emosi).19

1)                  Pentingnya Logika dalam Argumentasi

Debat yang efektif memerlukan penggunaan premis yang jelas, valid, dan tidak mengandung fallacy.20

Contoh: Dalam debat politik, seorang kandidat harus menyajikan data dan alasan logis untuk mendukung kebijakannya.

2)                  Teknik Berpikir Kritis dalam Komunikasi

Argumentasi berbasis fakta dan logika lebih kuat dibandingkan dengan argumen yang hanya mengandalkan emosi.21

Pemahaman yang baik tentang logika memungkinkan seseorang untuk tidak mudah terpengaruh oleh propaganda dan hoaks yang sering muncul di media sosial.22


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 81.

[2]                Alfred Tarski, Introduction to Logic and the Methodology of Deductive Sciences (Oxford: Oxford University Press, 1994), 57.

[3]                John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longmans, 1843), 220.

[4]                Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 32.

[5]                Richard A. Posner, The Problems of Jurisprudence (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 105.

[6]                H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Oxford University Press, 1961), 56.

[7]                Ronald Dworkin, Law's Empire (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 98.

[8]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 54.

[9]                Alan Turing, Computing Machinery and Intelligence (London: Mind, 1950), 433.

[10]             George Boole, An Investigation of the Laws of Thought (London: Walton and Maberly, 1854), 89.

[11]             John von Neumann, Theory of Self-Reproducing Automata (Urbana: University of Illinois Press, 1966), 42.

[12]             Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (New York: Pearson, 2020), 67.

[13]             Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Logic and Its Applications (New York: Wiley, 1987), 27.

[14]             Tracy Bowell and Gary Kemp, Critical Thinking: A Concise Guide (New York: Routledge, 2015), 79.

[15]             Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 112.

[16]             Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life (Upper Saddle River: Pearson, 2012), 45.

[17]             Douglas Walton, Argumentation Schemes (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 88.

[18]             Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 178.

[19]             Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1356a.

[20]             Stephen Toulmin, The Uses of Argument (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 97.

[21]             Christopher W. Tindale, Rhetorical Argumentation (Thousand Oaks: Sage, 2004), 53.

[22]             Kathleen Hall Jamieson and Frank Hardy, The Oxford Handbook of Political Communication (Oxford: Oxford University Press, 2017), 221.


7.           Kesimpulan

Logika adalah cabang filsafat yang memiliki peran fundamental dalam membangun pola pikir yang sistematis, rasional, dan kritis. Sepanjang sejarah, logika telah mengalami perkembangan yang signifikan, mulai dari sistem silogisme Aristotelian hingga logika simbolik dan fuzzy yang digunakan dalam ilmu komputer dan kecerdasan buatan.1 Dengan memahami prinsip-prinsip dasar logika, seseorang dapat menghindari kesalahan berpikir (fallacies) serta meningkatkan kemampuan analisis dan argumentasi yang valid dalam berbagai aspek kehidupan.

7.1.       Peran Logika dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Dalam dunia keilmuan, logika berfungsi sebagai alat untuk menyusun argumen yang valid dan memastikan bahwa metode ilmiah berjalan dengan benar.2 Karl Popper menegaskan bahwa teori ilmiah harus dapat diuji secara logis dan dapat dibuktikan atau disangkal melalui metode falsifikasi.3 Tanpa logika, ilmu pengetahuan akan kehilangan dasar rasionalitasnya dan akan bergantung pada asumsi yang tidak teruji secara empiris.4

Selain itu, logika deduktif dan induktif memainkan peran penting dalam perkembangan berbagai disiplin ilmu. Dalam ilmu eksakta seperti matematika dan fisika, logika deduktif digunakan untuk membangun sistem aksiomatis dan mengembangkan teori yang bersifat universal.5 Sementara itu, dalam ilmu sosial dan empiris, logika induktif membantu dalam mengembangkan hipotesis dan teori berdasarkan pengamatan dan pengalaman.6

7.2.       Relevansi Logika dalam Kehidupan Sehari-hari

Logika tidak hanya berguna dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki aplikasi yang luas dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir logis memungkinkan seseorang untuk mengambil keputusan yang lebih rasional, menganalisis informasi dengan lebih objektif, dan menghindari manipulasi dalam komunikasi.7

1)                  Dalam Hukum dan Politik:

Logika digunakan dalam argumentasi hukum untuk menafsirkan peraturan dan menyusun putusan yang adil.8

Dalam politik, logika membantu dalam menilai validitas argumen dalam debat kebijakan dan kampanye politik.9

2)                  Dalam Teknologi dan Kecerdasan Buatan:

Logika simbolik menjadi dasar dalam pengembangan perangkat lunak dan kecerdasan buatan.10

Algoritma berbasis logika fuzzy memungkinkan komputer menangani data yang tidak pasti, seperti dalam sistem pengenalan wajah dan kendaraan otonom.11

3)                  Dalam Komunikasi dan Media:

Pemahaman tentang logical fallacies membantu seseorang dalam mengidentifikasi propaganda dan berita palsu (hoaks).12

Dalam debat publik, argumentasi yang didasarkan pada logika lebih meyakinkan dibandingkan dengan yang hanya berbasis emosi.13

7.3.       Pentingnya Pembelajaran Logika dalam Pendidikan

Seiring dengan perkembangan era digital, kemampuan berpikir logis menjadi semakin penting. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendidikan logika dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dan membantu mereka dalam menyelesaikan masalah secara sistematis.14 Oleh karena itu, banyak institusi akademik di dunia mulai mengintegrasikan mata pelajaran logika dalam kurikulum mereka.15

Di masa depan, penguasaan logika akan menjadi keterampilan yang semakin bernilai, terutama dalam menghadapi kompleksitas informasi di era digital.16 Dengan mempelajari logika, individu dapat menjadi lebih mandiri dalam berpikir, lebih skeptis terhadap klaim yang tidak berdasar, dan lebih mampu membuat keputusan yang rasional dalam berbagai situasi kehidupan.17

7.4.       Kesimpulan Akhir

Logika adalah pilar utama dalam filsafat dan ilmu pengetahuan yang memberikan alat bagi manusia untuk berpikir dengan cara yang lebih sistematis dan rasional. Dari perkembangan awalnya di Yunani Kuno hingga aplikasinya dalam teknologi modern, logika telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan peradaban manusia.

Dengan memahami logika, seseorang tidak hanya memperoleh keterampilan dalam berpikir analitis, tetapi juga dapat mengaplikasikan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pengambilan keputusan, komunikasi, maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan logika perlu terus diperkuat agar masyarakat dapat menghadapi tantangan masa depan dengan kemampuan berpikir yang lebih kritis dan rasional.


Footnotes

[1]                William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 23.

[2]                Alfred Tarski, Introduction to Logic and to the Methodology of Deductive Sciences (Oxford: Oxford University Press, 1994), 29.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 81.

[4]                Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 32.

[5]                Bertrand Russell and Alfred North Whitehead, Principia Mathematica, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), 10.

[6]                John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longmans, 1843), 241.

[7]                Tracy Bowell and Gary Kemp, Critical Thinking: A Concise Guide (New York: Routledge, 2015), 79.

[8]                H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Oxford University Press, 1961), 56.

[9]                Richard A. Posner, The Problems of Jurisprudence (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 105.

[10]             George Boole, An Investigation of the Laws of Thought (London: Walton and Maberly, 1854), 32.

[11]             Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Logic and Its Applications (New York: Wiley, 1987), 27.

[12]             Kathleen Hall Jamieson and Frank Hardy, The Oxford Handbook of Political Communication (Oxford: Oxford University Press, 2017), 221.

[13]             Douglas Walton, Argumentation Schemes (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 88.

[14]             Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 112.

[15]             Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life (Upper Saddle River: Pearson, 2012), 45.

[16]             Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 178.

[17]             Christopher W. Tindale, Rhetorical Argumentation (Thousand Oaks: Sage, 2004), 53.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1938). Organon (H. P. Cooke & H. Tredennick, Trans.). Harvard University Press.

Boole, G. (1854). An Investigation of the Laws of Thought on Which Are Founded the Mathematical Theories of Logic and Probabilities. Walton and Maberly.

Bowell, T., & Kemp, G. (2015). Critical Thinking: A Concise Guide. Routledge.

Burgess, J. P. (2009). Philosophical Logic. Princeton University Press.

Dworkin, R. (1986). Law's Empire. Harvard University Press.

Frege, G. (1972). Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon that of Arithmetic, for Pure Thought (S. Bauer-Mengelberg, Trans.). Oxford University Press.

Gödel, K. (1992). On Formally Undecidable Propositions of Principia Mathematica and Related Systems (B. Meltzer, Trans.). Dover Publications.

Haack, S. (1978). Philosophy of Logics. Cambridge University Press.

Hart, H. L. A. (1961). The Concept of Law. Oxford University Press.

Jamieson, K. H., & Hardy, F. (2017). The Oxford Handbook of Political Communication. Oxford University Press.

Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (N. K. Smith, Trans.). Macmillan.

Kneale, W., & Kneale, M. (1962). The Development of Logic. Clarendon Press.

Lipman, M. (2003). Thinking in Education (2nd ed.). Cambridge University Press.

Locke, J. (1690). An Essay Concerning Human Understanding. Thomas Basset.

Mill, J. S. (1843). A System of Logic, Ratiocinative and Inductive. Longmans.

Paul, R., & Elder, L. (2012). Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life. Pearson.

Peirce, C. S. (1934). Collected Papers of Charles Sanders Peirce (Vol. 5). Harvard University Press.

Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. Routledge.

Posner, R. A. (1990). The Problems of Jurisprudence. Harvard University Press.

Priest, G. (2008). An Introduction to Non-Classical Logic. Cambridge University Press.

Russell, B., & Whitehead, A. N. (1910). Principia Mathematica (Vol. 1). Cambridge University Press.

Tarski, A. (1994). Introduction to Logic and the Methodology of Deductive Sciences. Oxford University Press.

Toulmin, S. (1958). The Uses of Argument. Cambridge University Press.

Turing, A. (1950). Computing Machinery and Intelligence. Mind.

Von Neumann, J. (1966). Theory of Self-Reproducing Automata. University of Illinois Press.

Walton, D. N. (2008). Argumentation Schemes. Cambridge University Press.

Walton, D. N. (2008). Informal Logic: A Pragmatic Approach. Cambridge University Press.

Whitehead, A. N., & Russell, B. (1910). Principia Mathematica. Cambridge University Press.

Zadeh, L. A. (1987). Fuzzy Logic and Its Applications. Wiley.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar