Logika dalam Filsafat
Dasar Berpikir Sistematis, Rasional, dan Kritis
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Logika, Logical Fallacies, Penalaran.
Abstrak
Logika adalah cabang filsafat yang berfungsi
sebagai dasar berpikir sistematis, rasional, dan kritis. Artikel ini menyajikan
kajian komprehensif tentang logika berdasarkan sumber-sumber referensi yang
kredibel. Pembahasan dimulai dengan definisi dan ruang lingkup logika, mencakup
prinsip-prinsip dasar seperti hukum identitas, hukum non-kontradiksi, hukum
eksklusi tengah, dan hukum alasan cukup. Selanjutnya, artikel ini menelusuri
sejarah perkembangan logika dari era Aristotelian, tradisi Islam, hingga logika
modern yang dikembangkan dalam matematika dan kecerdasan buatan. Berbagai
cabang logika, termasuk logika klasik, simbolik, induktif-deduktif, dan logika
fuzzy, juga dianalisis dalam konteks aplikasinya dalam kehidupan nyata.
Logika memiliki peran fundamental dalam ilmu
pengetahuan, hukum, teknologi, pendidikan, dan komunikasi. Dalam ilmu
pengetahuan, logika digunakan sebagai metode validasi argumentasi ilmiah dan
eksperimen. Di bidang hukum, logika membantu dalam interpretasi undang-undang
dan pengambilan keputusan yang adil. Dalam teknologi, logika menjadi dasar
dalam pengembangan perangkat lunak dan kecerdasan buatan, sedangkan dalam
pendidikan, logika berperan dalam membentuk pola pikir kritis dan analitis.
Kesimpulan dari kajian ini menegaskan bahwa logika
bukan sekadar disiplin filsafat, tetapi juga memiliki aplikasi luas dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan logika menjadi semakin penting di era digital
yang penuh dengan informasi yang kompleks dan manipulatif. Dengan pemahaman
logika yang baik, individu dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis
yang esensial untuk menghadapi tantangan masa depan.
Kata Kunci: Logika, filsafat, berpikir kritis, ilmu pengetahuan, hukum, kecerdasan buatan, pendidikan, argumentasi.
PEMBAHASAN
Logika sebagai Cabang Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Logika merupakan salah satu
cabang filsafat yang memiliki peran fundamental dalam membangun pemikiran yang
sistematis dan rasional. Sebagai disiplin ilmu, logika mempelajari
prinsip-prinsip yang mengatur penalaran yang sahih dan valid.1
Dalam sejarahnya, logika berkembang dari kajian klasik yang dirintis oleh
filsuf Yunani seperti Aristoteles hingga logika modern yang diaplikasikan dalam
ilmu komputer dan kecerdasan buatan.2
Dalam filsafat, logika
berfungsi sebagai alat untuk menguji kebenaran suatu proposisi serta
menghindari kesalahan berpikir (fallacy). Filsuf Bertrand Russell
menekankan bahwa logika tidak hanya sekadar alat berpikir, tetapi juga fondasi
bagi ilmu matematika dan bahasa.3 Oleh karena itu, pemahaman
terhadap logika menjadi kunci dalam membangun argumentasi yang rasional dan
sistematis dalam berbagai bidang keilmuan.
1.2.
Pengertian Logika
Secara etimologis, istilah
"logika" berasal dari bahasa Yunani logos (λόγος)
yang berarti "kata", "pemikiran", atau "rasio".4
Istilah ini pertama kali digunakan oleh Aristoteles dalam karya Organon,
yang menjadi dasar bagi studi logika formal.5 Menurut
William Kneale dan Martha Kneale dalam The Development of Logic,
logika didefinisikan sebagai studi tentang prinsip-prinsip penalaran yang
benar.6
Sementara itu, dalam tradisi
Islam, Al-Farabi mendefinisikan logika sebagai ilmu yang mempelajari
hukum-hukum berpikir agar manusia dapat membedakan antara argumentasi yang
benar dan yang salah.7
Definisi ini sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, yang
menyatakan bahwa logika adalah ilmu yang membahas aturan-aturan berpikir yang
bersifat universal dan objektif.8
Dengan demikian, logika bukan
hanya sekadar ilmu tentang cara berpikir yang benar, tetapi juga merupakan
disiplin yang memberikan kerangka bagi berbagai ilmu lainnya, seperti filsafat,
linguistik, matematika, dan teknologi informasi.9
1.3.
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)
Memahami
prinsip-prinsip dasar logika, termasuk hukum-hukum fundamental
yang menjadi dasar dalam berpikir rasional.
2)
Menganalisis
sejarah perkembangan logika, mulai dari era Yunani Kuno hingga
penerapannya dalam ilmu modern.
3)
Menjelaskan
berbagai cabang logika, seperti logika klasik, logika simbolik,
dan logika fuzzy.
4)
Menggali
penerapan logika dalam kehidupan nyata, terutama dalam ilmu
pengetahuan, hukum, dan teknologi.
Dengan adanya kajian ini,
diharapkan pembaca dapat memahami pentingnya logika dalam berbagai aspek
kehidupan serta mampu menerapkannya dalam pemecahan masalah yang membutuhkan
analisis yang kritis dan sistematis.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2014), 3.
[2]
Jean van Heijenoort, From Frege to Gödel: A Source Book in
Mathematical Logic, 1879-1931 (Cambridge: Harvard University Press, 1967),
5.
[3]
Bertrand Russell, Introduction to Mathematical Philosophy
(London: George Allen & Unwin, 1919), 2.
[4]
G. E. R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 47.
[5]
Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick
(Cambridge: Harvard University Press, 1938), 15.
[6]
William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 23.
[7]
Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar
el-Machreq, 1969), 56.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), 97.
[9]
John P. Burgess, Philosophical Logic (Princeton: Princeton
University Press, 2009), 11.
2.
Pengertian dan Ruang Lingkup Logika
2.1.
Definisi Logika
Logika adalah cabang filsafat
yang berfokus pada studi tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan penalaran
yang valid. Secara etimologis, istilah logika berasal dari bahasa
Yunani logos (λόγος), yang memiliki makna luas seperti "kata",
"pikiran", "rasio", dan "prinsip".1
Aristoteles, yang dianggap sebagai bapak logika, merumuskan logika sebagai alat
berpikir (organon) yang membantu dalam proses penalaran dan
argumentasi yang benar.2
Dalam konteks keilmuan
modern, William Kneale dan Martha Kneale mendefinisikan logika sebagai ilmu
yang mempelajari metode dan prinsip untuk menentukan apakah suatu argumen valid
atau tidak.3 Sementara itu, Irving M. Copi dan Carl Cohen menegaskan
bahwa logika adalah ilmu yang mempelajari kriteria validitas dalam inferensi
dan penyusunan proposisi yang rasional.4
Dalam pemikiran Islam, logika
dikenal dengan istilah mantiq. Al-Farabi mendefinisikan mantiq
sebagai instrumen yang membedakan antara argumentasi yang benar dan yang salah.5
Pemikiran ini diperkuat oleh Ibnu Sina, yang menekankan bahwa logika berperan
sebagai alat bantu bagi filsafat untuk mencapai kebenaran.6
Dari berbagai definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa logika berfungsi sebagai kerangka konseptual
dalam berpikir rasional dan kritis, yang bertujuan untuk membedakan antara
pemikiran yang valid dan yang tidak valid.
2.2.
Obyek Kajian Logika
Obyek kajian logika dapat
dikategorikan menjadi dua aspek utama, yaitu:
2.2.1. Obyek Material Logika
Obyek material logika adalah
pikiran manusia itu sendiri. Dalam hal ini, logika mengkaji struktur dan pola
berpikir manusia untuk memastikan bahwa proses berpikir tersebut mengikuti
aturan-aturan yang benar.7 Aristoteles dalam Organon
menjelaskan bahwa pikiran manusia terdiri dari konsep, proposisi, dan
inferensi, yang semuanya harus mengikuti prinsip-prinsip logika agar dapat
menghasilkan kesimpulan yang sahih.8
2.2.2. Obyek Formal Logika
Obyek formal logika berkaitan
dengan hubungan antara premis dan kesimpulan dalam suatu argumen. Logika tidak
membahas apakah suatu proposisi benar dalam arti faktual, melainkan apakah
struktur penalarannya sah secara logis.9 Bertrand Russell menekankan
bahwa logika adalah disiplin yang membahas aturan-aturan bentuk inferensi yang
valid, bukan sekadar kebenaran materiil suatu pernyataan.10
Dengan demikian, logika tidak
hanya berkaitan dengan isi suatu pernyataan, tetapi juga dengan struktur dan
pola berpikir yang benar agar tidak terjadi kekeliruan dalam proses inferensi.
2.3.
Manfaat dan Fungsi Logika
Logika memiliki peran yang
sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam pendidikan,
filsafat, dan ilmu pengetahuan. Beberapa manfaat utama logika antara lain:
1)
Membantu dalam berpikir
kritis dan sistematis
Logika memberikan dasar bagi individu untuk
berpikir secara rasional dan sistematis, sehingga dapat membedakan antara
argumen yang sah dan yang sesat.11
2)
Mempermudah proses
analisis dan pemecahan masalah
Dalam dunia akademik dan profesional, logika
digunakan sebagai alat analisis untuk menilai validitas suatu argumen atau kebijakan.12
3)
Menghindari kesalahan
berpikir (logical fallacies)
Studi logika membantu individu dalam mengenali
dan menghindari kekeliruan berpikir, seperti ad hominem, false
dilemma, dan circular reasoning.13
4)
Meningkatkan
efektivitas komunikasi dan argumentasi
Logika membantu seseorang dalam menyusun argumen
yang jelas, terstruktur, dan persuasif dalam diskusi akademik maupun debat
publik.14
Dengan manfaat-manfaat
tersebut, logika tidak hanya menjadi alat bagi para filsuf dan ilmuwan, tetapi
juga memiliki aplikasi luas dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan
teknologi.
Footnotes
[1] G. E. R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His
Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 47.
[2] Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh
Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1938), 15.
[3] William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 23.
[4] Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction
to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2014), 3.
[5] Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar
el-Machreq, 1969), 56.
[6] Avicenna (Ibnu Sina), Kitab al-Shifa’, ed. Gutas Dimitri
(Leiden: Brill, 2001), 98.
[7] John P. Burgess, Philosophical Logic (Princeton: Princeton
University Press, 2009), 11.
[8] Aristotle, Organon, 22.
[9] Jean van Heijenoort, From Frege to Gödel: A Source Book in
Mathematical Logic, 1879-1931 (Cambridge: Harvard University Press, 1967),
5.
[10] Bertrand Russell, Introduction to Mathematical Philosophy
(London: George Allen & Unwin, 1919), 2.
[11] Graham Priest, An Introduction to Non-Classical Logic
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 5.
[12] Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 14.
[13] Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 34.
[14] Tracy Bowell and Gary Kemp, Critical Thinking: A Concise Guide
(New York: Routledge, 2015), 29.
3.
Sejarah dan Perkembangan Logika
3.1.
Logika dalam Tradisi Yunani Kuno
Logika sebagai disiplin ilmu
pertama kali berkembang di dunia Yunani Kuno, dengan Aristoteles (384–322 SM)
sebagai pelopor utamanya. Sebelum Aristoteles, pemikiran logis telah muncul
dalam pemikiran filsuf pra-Sokrates seperti Parmenides dan Herakleitos, namun
belum sistematis.1
Aristoteles menyusun teori
logika dalam karyanya Organon, yang terdiri dari enam kitab utama: Kategori,
Hermeneutika, Analitika Pertama, Analitika Kedua, Topik,
dan Sofistika. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah konsep silogisme,
yang menjadi dasar bagi logika deduktif.2 Dalam
model silogisme Aristoteles, suatu kesimpulan diperoleh dari dua premis yang
terkait, misalnya:
·
Premis
mayor: Semua manusia adalah makhluk hidup.
·
Premis
minor: Socrates adalah manusia.
·
Kesimpulan:
Socrates adalah makhluk hidup.
Selain Aristoteles, para
filsuf Stoa juga berkontribusi terhadap perkembangan logika, khususnya dalam
pengembangan logika proposisional yang kemudian menjadi dasar bagi logika
modern.3
3.2.
Logika dalam Tradisi Islam
Pada abad pertengahan,
tradisi Islam memainkan peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan
logika Aristotelian. Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Rusyd tidak hanya menerjemahkan teks-teks Yunani, tetapi juga memberikan
interpretasi dan perluasan konsep-konsep logika.4
·
Al-Farabi
(872–950 M) dikenal sebagai "guru kedua"
setelah Aristoteles dalam bidang logika. Ia menyusun sistem logika yang
menghubungkan antara logika Aristotelian dan filsafat Islam dalam karyanya Kitab
al-Mantiq.5
·
Ibnu
Sina (980–1037 M) mengembangkan logika dalam kerangka
epistemologi dan metafisika Islam. Ia membagi logika menjadi dua bagian utama:
logika demonstratif (burhan) dan logika dialektis (jadal).6
·
Ibnu
Rusyd (1126–1198 M) berusaha merekonsiliasi logika Aristotelian
dengan teologi Islam, sekaligus membantah kritik terhadap logika dari kalangan
teolog Asy’ariyah seperti Al-Ghazali.7
Perkembangan logika dalam
Islam kemudian diteruskan ke dunia Latin, terutama melalui terjemahan teks-teks
Arab ke dalam bahasa Latin di Andalusia. Hal ini berkontribusi terhadap
kebangkitan intelektual di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13.8
3.3.
Logika dalam Tradisi Barat Abad Pertengahan dan
Renaissance
Di Eropa abad pertengahan, logika
menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan skolastik. Thomas Aquinas
(1225–1274 M) mengadaptasi pemikiran Aristoteles ke dalam teologi Kristen,
menciptakan sintesis antara iman dan rasio.9
Selama periode Renaissance,
terjadi pergeseran dari logika skolastik menuju logika yang lebih berbasis
empiris, dipengaruhi oleh pemikiran Francis Bacon (1561–1626) yang
mengembangkan metode induktif sebagai alternatif terhadap silogisme
Aristotelian.10
3.4.
Logika dalam Tradisi Modern dan Kontemporer
3.4.1. Rasionalisme dan Empirisme
Pada abad ke-17 dan ke-18,
muncul dua aliran utama dalam filsafat logika:
1)
Rasionalisme,
dipelopori oleh René Descartes (1596–1650), yang menekankan bahwa kebenaran
dapat ditemukan melalui deduksi logis dari prinsip-prinsip yang jelas dan
tegas.11
2)
Empirisme,
dipelopori oleh John Locke (1632–1704) dan David Hume (1711–1776), yang
menekankan pentingnya pengalaman indrawi dalam membentuk pengetahuan.12
Immanuel Kant (1724–1804)
mencoba menyintesis dua pendekatan ini dengan merumuskan konsep logika
transendental dalam Critique of Pure Reason.13
3.4.2. Perkembangan Logika Simbolik
Pada abad ke-19, logika
mengalami transformasi signifikan dengan munculnya logika
simbolik, yang memperkenalkan penggunaan simbol matematika
dalam analisis logis. Tokoh utama dalam perkembangan ini adalah:
·
George
Boole (1815–1864), yang memperkenalkan Boolean
Algebra, dasar dari logika komputer.14
·
Gottlob
Frege (1848–1925), yang mengembangkan logika predikat dan
meletakkan dasar bagi analisis bahasa secara formal.15
3.4.3. Logika dalam Abad ke-20 dan
ke-21
Pada abad ke-20, perkembangan
logika semakin pesat dengan munculnya pemikiran Bertrand Russell dan Kurt
Gödel:
·
Bertrand
Russell (1872–1970) menyusun Principia Mathematica bersama Alfred
North Whitehead, yang berusaha mendasarkan seluruh matematika pada logika.16
·
Kurt
Gödel (1906–1978) membuktikan dalam theorem ketidaksempurnaan bahwa
dalam sistem logika formal tertentu, terdapat pernyataan yang benar tetapi
tidak dapat dibuktikan dalam sistem tersebut.17
Pada era kontemporer, logika
terus berkembang dalam bidang kecerdasan buatan, linguistik komputasional, dan
logika fuzzy, yang memungkinkan sistem komputer untuk menangani ketidakpastian
dalam pengolahan data.18
Footnotes
[1]
G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to Aristotle (New
York: W. W. Norton & Company, 1970), 78.
[2]
Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick
(Cambridge: Harvard University Press, 1938), 15.
[3]
Benson Mates, Stoic Logic (Berkeley: University of California
Press, 1961), 37.
[4]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 42.
[5]
Al-Farabi, Kitab al-Mantiq, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar
el-Machreq, 1969), 78.
[6]
Avicenna (Ibnu Sina), Kitab al-Shifa’, ed. Gutas Dimitri
(Leiden: Brill, 2001), 112.
[7]
Ibn Rushd (Averroes), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of
the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac & Co., 1954),
89.
[8]
Charles Burnett, Arabic into Latin in the Middle Ages
(Farnham: Ashgate, 2009), 67.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. John Mortensen
(Lander: Aquinas Institute, 2012), 133.
[10]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach (Chicago:
Open Court, 1994), 21.
[11]
René Descartes, Discourse on Method, trans. Elizabeth S.
Haldane (Cambridge: Cambridge University Press, 1911), 54.
[12]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), 74.
[13]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), 97.
[14]
George Boole, An Investigation of the Laws of Thought (London:
Walton and Maberly, 1854), 27.
[15]
Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon
that of Arithmetic, for Pure Thought, trans. Stefan Bauer-Mengelberg (Oxford:
Oxford University Press, 1972), 15.
[16]
Alfred North Whitehead and Bertrand Russell, Principia Mathematica,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), 5.
[17]
Kurt Gödel, On Formally Undecidable Propositions of Principia
Mathematica and Related Systems, trans. B. Meltzer (New York: Dover
Publications, 1992), 11.
[18]
Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Sets and Applications: Selected Papers
(New York: Wiley, 1987), 23.
4.
Prinsip-Prinsip Dasar dalam Logika
4.1. Hukum-Hukum Dasar Logika
Dalam studi logika, terdapat beberapa
hukum dasar yang menjadi fondasi dalam penalaran yang sahih. Hukum-hukum ini
pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Aristoteles dan terus menjadi
prinsip utama dalam logika klasik maupun modern.1
4.1.1. Hukum Identitas
Hukum
Identitas menyatakan bahwa setiap sesuatu adalah identik dengan
dirinya sendiri. Dalam simbolisasi logika, hukum ini dinyatakan sebagai:
A =
A
Artinya, jika suatu
pernyataan benar, maka ia tetap benar dalam kondisi yang sama.2
Hukum ini penting dalam menjaga konsistensi dalam berpikir dan argumentasi.
Gottlob Frege menggunakan prinsip ini dalam logika simbolik untuk menunjukkan
bahwa setiap konsep atau proposisi harus tetap memiliki makna yang konsisten.3
4.1.2. Hukum Non-Kontradiksi
Hukum ini menyatakan bahwa
suatu proposisi tidak dapat sekaligus benar dan salah dalam waktu yang sama dan
dalam pengertian yang sama. Dalam simbolisasi:
¬(A
∧ ¬A)
Sebagai contoh, pernyataan
"Sebuah meja adalah kayu" dan "Sebuah meja bukan kayu"
tidak dapat benar bersamaan jika merujuk pada kondisi yang sama.4
Bertrand Russell menegaskan bahwa tanpa hukum ini, seluruh sistem logika dan
matematika akan runtuh karena kontradiksi akan menghasilkan ketidakkonsistenan
dalam penalaran.5
4.1.3. Hukum Eksklusi Tengah
Hukum Eksklusi Tengah (Law
of the Excluded Middle) menyatakan bahwa untuk setiap proposisi AA, hanya ada dua kemungkinan: benar atau salah.
Dalam simbolisasi:
A ∨ ¬A
Sebagai contoh, pernyataan
"Hari ini hujan" hanya memiliki dua kemungkinan: benar atau
salah, tanpa kemungkinan ketiga.6 Namun, dalam logika fuzzy
yang diperkenalkan oleh Lotfi Zadeh, hukum ini dipertanyakan karena adanya
derajat kebenaran antara benar dan salah.7
4.1.4. Hukum Alasan Cukup
Hukum ini pertama kali
dikemukakan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz yang menyatakan bahwa segala sesuatu
yang terjadi memiliki alasan yang cukup untuk menjelaskan keberadaannya.8
Dalam ilmu pengetahuan, hukum ini digunakan dalam metode ilmiah untuk menuntut
bukti empiris atau rasional terhadap klaim yang diajukan.9
4.2.
Silogisme dan Inferensi
Silogisme adalah bentuk
argumentasi deduktif yang terdiri dari dua premis dan satu kesimpulan.
Aristoteles dalam Organon merumuskan beberapa bentuk silogisme, salah
satunya adalah silogisme kategoris:
·
Premis
Mayor: Semua manusia fana.
·
Premis
Minor: Socrates adalah manusia.
·
Kesimpulan:
Socrates fana.
Silogisme ini tetap menjadi
model utama dalam argumentasi formal hingga saat ini.10
4.2.1.
Jenis-Jenis
Inferensi
Inferensi adalah proses
menarik kesimpulan dari premis yang diberikan. Terdapat tiga jenis utama
inferensi dalam logika:
1)
Inferensi Deduktif
Kesimpulan diambil berdasarkan premis
yang bersifat umum ke khusus.
Contoh: "Semua mamalia
bernapas. Kucing adalah mamalia. Maka, kucing bernapas."
Digunakan dalam ilmu pasti dan logika
formal.11
2)
Inferensi Induktif
Kesimpulan diambil dari kasus-kasus
khusus menuju generalisasi.
Contoh: "Burung pipit
bisa terbang, burung elang bisa terbang, maka semua burung bisa terbang."
(Namun, ada pengecualian seperti burung unta.)
Digunakan dalam metode ilmiah dan
statistik.12
3)
Inferensi Abduktif
Kesimpulan diambil berdasarkan dugaan
terbaik yang mungkin terjadi.
Contoh: "Jika ada asap,
kemungkinan besar ada api."
Sering digunakan dalam diagnostik medis
dan ilmu forensik.13
4.3.
Kesalahan Berpikir (Logical Fallacies)
Dalam berpikir logis, sering
terjadi kesalahan berpikir yang dikenal sebagai logical fallacies.
Beberapa jenis kesalahan logika yang umum meliputi:
1)
Ad Hominem – Menyerang pribadi lawan daripada argumennya.14
2)
Straw Man – Menciptakan argumen palsu yang lebih lemah untuk lebih
mudah diserang.15
3)
False Dilemma – Menyajikan hanya dua pilihan seolah-olah tidak ada
opsi lain.16
4)
Circular Reasoning – Kesimpulan digunakan sebagai premis untuk mendukung
dirinya sendiri.17
Mempelajari kesalahan logika
membantu dalam berpikir lebih kritis dan tidak mudah terjebak dalam argumen
yang menyesatkan.
Footnotes
[1]
Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick
(Cambridge: Harvard University Press, 1938), 15.
[2]
William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 27.
[3]
Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon
that of Arithmetic, for Pure Thought, trans. Stefan Bauer-Mengelberg
(Oxford: Oxford University Press, 1972), 20.
[4]
Graham Priest, An Introduction to Non-Classical Logic
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 33.
[5]
Bertrand Russell, Principles of Mathematics (London: Allen
& Unwin, 1903), 101.
[6]
Alfred Tarski, Introduction to Logic and to the Methodology of
Deductive Sciences (Oxford: Oxford University Press, 1994), 12.
[7]
Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Logic and Its Applications (New York:
Wiley, 1996), 35.
[8]
G. W. Leibniz, The Monadology and Other Philosophical Writings,
trans. Robert Latta (Oxford: Oxford University Press, 1898), 45.
[9]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 88.
[10]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2014), 67.
[11]
John P. Burgess, Philosophical Logic (Princeton: Princeton
University Press, 2009), 44.
[12]
Douglas N. Walton, Argumentation Schemes (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008), 123.
[13]
Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce,
vol. 5 (Cambridge: Harvard University Press, 1934), 189.
[14]
Tracy Bowell and Gary Kemp, Critical Thinking: A Concise Guide
(New York: Routledge, 2015), 41.
[15]
Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 78.
[16]
John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longmans, 1843),
234.
[17]
Walter Sinnott-Armstrong, Understanding Arguments (Belmont:
Wadsworth, 2014), 92.
5.
Cabang-Cabang Logika
Dalam perkembangannya, logika
terbagi ke dalam berbagai cabang yang memiliki fokus kajian berbeda. Beberapa
cabang utama dalam logika meliputi logika klasik
(tradisional), logika simbolik
(matematis), logika induktif dan deduktif,
serta logika fuzzy. Setiap
cabang ini memiliki metode dan aplikasi yang berbeda, tetapi tetap berpegang
pada prinsip dasar logika dalam berpikir yang sistematis dan rasional.
5.1.
Logika Klasik (Tradisional)
Logika klasik, yang juga
disebut logika Aristotelian,
merupakan bentuk logika yang paling awal dikembangkan dan berfokus pada
silogisme sebagai bentuk utama inferensi.1 Dalam Organon,
Aristoteles menjelaskan bahwa silogisme terdiri dari tiga bagian utama: premis
mayor, premis minor, dan kesimpulan.2
Contohnya:
·
Premis
Mayor: Semua manusia adalah makhluk hidup.
·
Premis
Minor: Socrates adalah manusia.
·
Kesimpulan:
Socrates adalah makhluk hidup.
Logika klasik juga menekankan
kategori-kategori logis, yang membantu dalam
klasifikasi konsep-konsep dan hubungan antara proposisi.3
Logika Aristotelian tetap
relevan dalam studi filsafat dan bahasa, terutama dalam analisis konsep dan
argumentasi.4 Namun, dalam
perkembangannya, logika klasik mulai dianggap terbatas dalam menganalisis
struktur bahasa yang lebih kompleks, sehingga berkembang cabang-cabang logika
lainnya.5
5.2.
Logika Simbolik (Matematis)
Logika simbolik, atau logika
modern, berkembang pada abad ke-19 dengan diperkenalkannya
notasi simbolik untuk menggantikan bahasa alami dalam analisis logis.6
Tokoh utama dalam perkembangan logika simbolik adalah George
Boole, yang mengembangkan Aljabar Boolean,
dasar dari sistem logika biner dalam komputasi.7
Logika simbolik menggunakan
simbol-simbol matematis untuk merepresentasikan hubungan antar-proposisi.
Contoh penggunaan notasi dalam logika proposisional:
·
Negasi (~A):
Jika A
adalah benar, maka ~A adalah salah.
·
Konjungsi
(A ∧ B):
Pernyataan A dan B
benar hanya jika A dan B keduanya benar.
·
Disjungsi
(A ∨ B):
Pernyataan A atau B
benar jika salah satu dari A atau B benar.
Frege dan Bertrand Russell
mengembangkan logika predikat, yang memungkinkan analisis yang lebih mendalam
terhadap struktur kalimat dalam bahasa alami.8 Logika
simbolik kini menjadi dasar bagi ilmu komputer, kecerdasan buatan, dan
matematika murni.9
5.3.
Logika Induktif dan Deduktif
5.3.1. Logika Deduktif
Logika deduktif adalah jenis
logika di mana kesimpulan diambil secara niscaya
dari premis yang diberikan.10 Jika premis-premis benar,
maka kesimpulan juga harus benar. Contohnya:
·
Premis 1:
Semua planet dalam tata surya mengorbit matahari.
·
Premis 2:
Bumi adalah planet dalam tata surya.
·
Kesimpulan:
Bumi mengorbit matahari.
Logika deduktif sering
digunakan dalam matematika dan filsafat formal,
karena sifatnya yang pasti dan tidak terbantahkan
jika premisnya benar.11
5.3.2. Logika Induktif
Sebaliknya, logika induktif
bekerja dengan mengambil kesimpulan umum berdasarkan pengamatan
atau pengalaman khusus.12
Contohnya:
·
Pengamatan
1: Burung pipit bisa terbang.
·
Pengamatan
2: Burung elang bisa terbang.
·
Kesimpulan
Induktif: Semua burung bisa terbang.
Namun, logika induktif tidak
menghasilkan kepastian mutlak, karena terdapat kemungkinan
adanya burung yang tidak bisa terbang, seperti burung unta atau penguin.13
Oleh karena itu, logika induktif digunakan dalam ilmu
pengetahuan empiris dan metode ilmiah, di mana kesimpulan dapat
direvisi berdasarkan bukti baru.14
5.4.
Logika Fuzzy dan Perkembangan Kontemporer
Logika fuzzy, yang
diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh,
memperluas konsep logika klasik dengan memasukkan ketidakpastian
dan nilai kebenaran yang bertingkat.15
Dalam logika klasik, suatu proposisi hanya bisa bernilai benar (true)
atau salah (false), sedangkan dalam logika fuzzy, suatu proposisi
dapat memiliki derajat kebenaran di antara 0 dan 1.
Sebagai contoh, dalam logika
klasik:
·
"Seseorang tinggi
jika tinggi badannya ≥ 180 cm" → Benar atau salah.
Dalam logika fuzzy:
·
"Seseorang tinggi
jika tinggi badannya berkisar antara 170–200 cm, dengan tingkat keanggotaan
yang berbeda".
Logika fuzzy banyak digunakan
dalam kecerdasan buatan, pengolahan citra, dan
sistem kontrol otomatis, seperti dalam perangkat elektronik
rumah tangga dan mobil pintar.16
Footnotes
[1]
Aristotle, Organon, trans. Harold P. Cooke and Hugh Tredennick
(Cambridge: Harvard University Press, 1938), 12.
[2]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2014), 68.
[3]
William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 55.
[4]
Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 22.
[5]
John P. Burgess, Philosophical Logic (Princeton: Princeton
University Press, 2009), 45.
[6]
Alfred Tarski, Introduction to Logic and to the Methodology of
Deductive Sciences (Oxford: Oxford University Press, 1994), 29.
[7]
George Boole, An Investigation of the Laws of Thought (London:
Walton and Maberly, 1854), 32.
[8]
Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon
that of Arithmetic, for Pure Thought, trans. Stefan Bauer-Mengelberg
(Oxford: Oxford University Press, 1972), 17.
[9]
Bertrand Russell and Alfred North Whitehead, Principia Mathematica,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), 10.
[10]
Graham Priest, An Introduction to Non-Classical Logic
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 55.
[11]
Kurt Gödel, On Formally Undecidable Propositions (New York:
Dover Publications, 1992), 11.
[12]
Douglas N. Walton, Argumentation Schemes (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008), 79.
[13]
John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longmans, 1843),
241.
[14]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 100.
[15]
Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Logic and Its Applications (New York:
Wiley, 1987), 27.
[16]
Bart Kosko, Fuzzy Thinking: The New Science of Fuzzy Logic
(New York: Hyperion, 1993), 42.
6.
Aplikasi Logika dalam Kehidupan Nyata
Logika tidak hanya berfungsi
sebagai disiplin filsafat teoritis, tetapi juga memiliki peran yang sangat
signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Penerapan logika dapat ditemukan
dalam ilmu pengetahuan, hukum, teknologi, pendidikan, dan komunikasi. Kemampuan
berpikir logis membantu individu dalam membuat keputusan yang rasional,
menganalisis argumen, serta menghindari kesalahan berpikir (fallacies).
6.1.
Logika dalam Ilmu Pengetahuan dan Metode Ilmiah
Dalam ilmu pengetahuan,
logika berperan sebagai fondasi utama dalam metode ilmiah.
Karl Popper menegaskan bahwa metode ilmiah harus didasarkan pada prinsip falsifikasi,
yaitu menguji hipotesis dengan mencari kemungkinan kesalahannya.1
Dalam pendekatan ilmiah, terdapat dua metode utama yang menggunakan logika:
1)
Metode Deduktif
Digunakan dalam matematika dan ilmu
pasti.
Contohnya adalah teorema dalam
matematika yang diturunkan dari aksioma yang sudah terbukti benar.2
2)
Metode Induktif
Digunakan dalam penelitian empiris dan
ilmu sosial.
Misalnya, seorang ilmuwan mengamati
bahwa logam mengalami pemuaian ketika dipanaskan, lalu menyimpulkan bahwa semua
logam memiliki sifat ini.3
Tanpa logika, ilmu pengetahuan
akan kehilangan dasar rasionalitasnya dan rawan terhadap klaim yang tidak
memiliki dasar bukti.4
6.2.
Logika dalam Hukum dan Argumentasi Hukum
Dalam bidang hukum, logika
digunakan untuk membangun argumentasi yang valid serta menafsirkan
undang-undang dengan cara yang sistematis.5 Logika
hukum mengacu pada beberapa prinsip dasar, seperti:
1)
Logika Deduktif dalam
Keputusan Hukum
Hakim sering kali menggunakan logika
deduktif untuk mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku.
Contoh: Jika seseorang terbukti mencuri
(premis minor) dan mencuri dilarang dalam hukum (premis mayor), maka orang
tersebut harus dihukum (kesimpulan).6
2)
Analisis Kasus dengan
Logika Induktif
Pengacara sering kali menggunakan metode
induktif dengan menyajikan bukti-bukti dari berbagai kasus sebelumnya untuk
mendukung argumennya.7
Selain itu, memahami logical
fallacies sangat penting dalam debat hukum. Misalnya, fallacy "argumentum
ad hominem" sering digunakan dalam persidangan ketika
seseorang menyerang karakter lawan, bukan argumennya.8
6.3.
Logika dalam Teknologi dan Kecerdasan Buatan
Dalam dunia teknologi, logika
menjadi dasar bagi pemrograman komputer dan kecerdasan buatan (Artificial
Intelligence, AI). Alan Turing memperkenalkan konsep mesin
Turing, yang merupakan model komputasi berbasis logika untuk
menyelesaikan berbagai masalah matematika.9
1)
Logika Biner dalam
Pemrograman Komputer
Komputer menggunakan sistem biner (0 dan
1), yang didasarkan pada logika Boolean yang dikembangkan oleh George Boole.10
Dalam pemrograman, perintah logis
seperti IF-THEN, AND,
dan OR
digunakan untuk menjalankan instruksi berbasis kondisi tertentu.11
2)
Logika dalam Kecerdasan
Buatan
Sistem AI seperti machine
learning menggunakan algoritma berbasis logika untuk mengenali pola
dan membuat prediksi.12
Logika fuzzy digunakan dalam
pengembangan sistem yang dapat menangani ketidakpastian, seperti dalam
pengenalan suara dan kendaraan otonom.13
6.4.
Logika dalam Pendidikan dan Pengajaran Berpikir
Kritis
Logika memainkan peran
penting dalam pendidikan, terutama dalam pengajaran berpikir
kritis. Kemampuan berpikir logis membantu siswa dalam
menganalisis informasi secara objektif dan menghindari kesalahan berpikir yang
umum terjadi.14
1)
Logika dalam Kurikulum
Pendidikan
Beberapa sistem pendidikan telah
memasukkan mata pelajaran logika dan filsafat dalam kurikulumnya untuk melatih
siswa dalam berpikir analitis.15
Contoh: Universitas-universitas di Eropa
dan Amerika memasukkan mata kuliah Critical Thinking sebagai
bagian dari pendidikan dasar.16
2)
Menghindari Kesalahan
Berpikir dalam Pengajaran
Siswa diajarkan untuk mengenali
kesalahan logis seperti straw man fallacy (mengubah
argumen lawan agar lebih mudah diserang) dan false dilemma (mengasumsikan
hanya ada dua pilihan, padahal ada lebih banyak alternatif).17
Dengan mengajarkan logika
sejak dini, diharapkan masyarakat dapat berpikir lebih rasional dan kritis
dalam menghadapi informasi yang semakin kompleks.18
6.5.
Logika dalam Debat dan Retorika
Dalam debat dan komunikasi
publik, logika sangat penting untuk membangun argumentasi yang kuat dan
meyakinkan. Aristoteles dalam Rhetoric menjelaskan tiga elemen utama
dalam persuasi: logos (logika), ethos (kredibilitas), dan
pathos (emosi).19
1)
Pentingnya Logika dalam
Argumentasi
Debat yang efektif memerlukan penggunaan
premis yang jelas, valid, dan tidak mengandung fallacy.20
Contoh: Dalam debat politik, seorang
kandidat harus menyajikan data dan alasan logis untuk mendukung kebijakannya.
2)
Teknik Berpikir Kritis
dalam Komunikasi
Argumentasi berbasis fakta dan logika
lebih kuat dibandingkan dengan argumen yang hanya mengandalkan emosi.21
Pemahaman yang baik tentang
logika memungkinkan seseorang untuk tidak mudah terpengaruh oleh propaganda dan
hoaks yang sering muncul di media sosial.22
Footnotes
[1]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 81.
[2]
Alfred Tarski, Introduction to Logic and the Methodology of
Deductive Sciences (Oxford: Oxford University Press, 1994), 57.
[3]
John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longmans, 1843),
220.
[4]
Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 32.
[5]
Richard A. Posner, The Problems of Jurisprudence (Cambridge:
Harvard University Press, 1990), 105.
[6]
H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Oxford University
Press, 1961), 56.
[7]
Ronald Dworkin, Law's Empire (Cambridge: Harvard University
Press, 1986), 98.
[8]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 54.
[9]
Alan Turing, Computing Machinery and Intelligence (London:
Mind, 1950), 433.
[10]
George Boole, An Investigation of the Laws of Thought (London:
Walton and Maberly, 1854), 89.
[11]
John von Neumann, Theory of Self-Reproducing Automata (Urbana:
University of Illinois Press, 1966), 42.
[12]
Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern
Approach (New York: Pearson, 2020), 67.
[13]
Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Logic and Its Applications (New York:
Wiley, 1987), 27.
[14]
Tracy Bowell and Gary Kemp, Critical Thinking: A Concise Guide
(New York: Routledge, 2015), 79.
[15]
Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2003), 112.
[16]
Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking
Charge of Your Learning and Your Life (Upper Saddle River: Pearson, 2012),
45.
[17]
Douglas Walton, Argumentation Schemes (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008), 88.
[18]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 178.
[19]
Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 1356a.
[20]
Stephen Toulmin, The Uses of Argument (Cambridge: Cambridge
University Press, 1958), 97.
[21]
Christopher W. Tindale, Rhetorical Argumentation (Thousand Oaks:
Sage, 2004), 53.
[22]
Kathleen Hall Jamieson and Frank Hardy, The Oxford Handbook of
Political Communication (Oxford: Oxford University Press, 2017), 221.
7.
Kesimpulan
Logika adalah cabang filsafat
yang memiliki peran fundamental dalam membangun pola pikir yang sistematis,
rasional, dan kritis. Sepanjang sejarah, logika telah mengalami perkembangan
yang signifikan, mulai dari sistem silogisme Aristotelian hingga logika
simbolik dan fuzzy yang digunakan dalam ilmu komputer dan kecerdasan buatan.1
Dengan memahami prinsip-prinsip dasar logika, seseorang dapat menghindari
kesalahan berpikir (fallacies) serta meningkatkan kemampuan analisis
dan argumentasi yang valid dalam berbagai aspek kehidupan.
7.1.
Peran Logika dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan
Dalam dunia keilmuan, logika
berfungsi sebagai alat untuk menyusun argumen yang valid dan memastikan bahwa
metode ilmiah berjalan dengan benar.2 Karl Popper menegaskan bahwa
teori ilmiah harus dapat diuji secara logis dan dapat dibuktikan atau disangkal
melalui metode falsifikasi.3 Tanpa logika, ilmu pengetahuan akan
kehilangan dasar rasionalitasnya dan akan bergantung pada asumsi yang tidak
teruji secara empiris.4
Selain itu, logika deduktif
dan induktif memainkan peran penting dalam perkembangan berbagai disiplin ilmu.
Dalam ilmu eksakta seperti matematika dan fisika, logika deduktif digunakan
untuk membangun sistem aksiomatis dan mengembangkan teori yang bersifat
universal.5 Sementara itu, dalam ilmu sosial dan empiris, logika
induktif membantu dalam mengembangkan hipotesis dan teori berdasarkan
pengamatan dan pengalaman.6
7.2.
Relevansi Logika dalam Kehidupan Sehari-hari
Logika tidak hanya berguna
dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki aplikasi yang luas dalam kehidupan
sehari-hari. Kemampuan berpikir logis memungkinkan seseorang untuk mengambil
keputusan yang lebih rasional, menganalisis informasi dengan lebih objektif,
dan menghindari manipulasi dalam komunikasi.7
1)
Dalam Hukum dan
Politik:
Logika digunakan dalam argumentasi hukum
untuk menafsirkan peraturan dan menyusun putusan yang adil.8
Dalam politik, logika membantu dalam
menilai validitas argumen dalam debat kebijakan dan kampanye politik.9
2)
Dalam Teknologi dan
Kecerdasan Buatan:
Logika simbolik menjadi dasar dalam
pengembangan perangkat lunak dan kecerdasan buatan.10
Algoritma berbasis logika fuzzy
memungkinkan komputer menangani data yang tidak pasti, seperti dalam sistem
pengenalan wajah dan kendaraan otonom.11
3)
Dalam Komunikasi dan
Media:
Pemahaman tentang logical
fallacies membantu seseorang dalam mengidentifikasi propaganda dan
berita palsu (hoaks).12
Dalam debat publik, argumentasi yang
didasarkan pada logika lebih meyakinkan dibandingkan dengan yang hanya berbasis
emosi.13
7.3.
Pentingnya Pembelajaran Logika dalam Pendidikan
Seiring dengan perkembangan
era digital, kemampuan berpikir logis menjadi semakin penting. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan logika dapat meningkatkan keterampilan
berpikir kritis siswa dan membantu mereka dalam menyelesaikan masalah secara
sistematis.14 Oleh karena itu, banyak institusi akademik di dunia
mulai mengintegrasikan mata pelajaran logika dalam kurikulum mereka.15
Di masa depan, penguasaan
logika akan menjadi keterampilan yang semakin bernilai, terutama dalam
menghadapi kompleksitas informasi di era digital.16 Dengan
mempelajari logika, individu dapat menjadi lebih mandiri dalam berpikir, lebih
skeptis terhadap klaim yang tidak berdasar, dan lebih mampu membuat keputusan
yang rasional dalam berbagai situasi kehidupan.17
7.4.
Kesimpulan Akhir
Logika adalah pilar utama
dalam filsafat dan ilmu pengetahuan yang memberikan alat bagi manusia untuk
berpikir dengan cara yang lebih sistematis dan rasional. Dari perkembangan
awalnya di Yunani Kuno hingga aplikasinya dalam teknologi modern, logika telah
menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan peradaban manusia.
Dengan memahami logika, seseorang
tidak hanya memperoleh keterampilan dalam berpikir analitis, tetapi juga dapat
mengaplikasikan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
pengambilan keputusan, komunikasi, maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, pendidikan logika perlu terus diperkuat agar masyarakat dapat
menghadapi tantangan masa depan dengan kemampuan berpikir yang lebih kritis dan
rasional.
Footnotes
[1]
William Kneale and Martha Kneale, The Development of Logic
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 23.
[2]
Alfred Tarski, Introduction to Logic and to the Methodology of
Deductive Sciences (Oxford: Oxford University Press, 1994), 29.
[3]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 81.
[4]
Susan Haack, Philosophy of Logics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 32.
[5]
Bertrand Russell and Alfred North Whitehead, Principia Mathematica,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), 10.
[6]
John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longmans, 1843),
241.
[7]
Tracy Bowell and Gary Kemp, Critical Thinking: A Concise Guide
(New York: Routledge, 2015), 79.
[8]
H. L. A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Oxford University
Press, 1961), 56.
[9]
Richard A. Posner, The Problems of Jurisprudence (Cambridge:
Harvard University Press, 1990), 105.
[10]
George Boole, An Investigation of the Laws of Thought (London:
Walton and Maberly, 1854), 32.
[11]
Lotfi A. Zadeh, Fuzzy Logic and Its Applications (New York:
Wiley, 1987), 27.
[12]
Kathleen Hall Jamieson and Frank Hardy, The Oxford Handbook of
Political Communication (Oxford: Oxford University Press, 2017), 221.
[13]
Douglas Walton, Argumentation Schemes (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008), 88.
[14]
Matthew Lipman, Thinking in Education, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2003), 112.
[15]
Richard Paul and Linda Elder, Critical Thinking: Tools for Taking
Charge of Your Learning and Your Life (Upper Saddle River: Pearson, 2012),
45.
[16]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 178.
[17]
Christopher W. Tindale, Rhetorical Argumentation (Thousand
Oaks: Sage, 2004), 53.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1938). Organon (H. P. Cooke
& H. Tredennick, Trans.). Harvard University Press.
Boole, G. (1854). An Investigation of the Laws
of Thought on Which Are Founded the Mathematical Theories of Logic and
Probabilities. Walton and Maberly.
Bowell, T., & Kemp, G. (2015). Critical
Thinking: A Concise Guide. Routledge.
Burgess, J. P. (2009). Philosophical Logic.
Princeton University Press.
Dworkin, R. (1986). Law's Empire. Harvard
University Press.
Frege, G. (1972). Begriffsschrift: A Formula
Language, Modeled upon that of Arithmetic, for Pure Thought (S.
Bauer-Mengelberg, Trans.). Oxford University Press.
Gödel, K. (1992). On Formally Undecidable
Propositions of Principia Mathematica and Related Systems (B. Meltzer,
Trans.). Dover Publications.
Haack, S. (1978). Philosophy of Logics.
Cambridge University Press.
Hart, H. L. A. (1961). The Concept of Law.
Oxford University Press.
Jamieson, K. H., & Hardy, F. (2017). The
Oxford Handbook of Political Communication. Oxford University Press.
Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (N.
K. Smith, Trans.). Macmillan.
Kneale, W., & Kneale, M. (1962). The
Development of Logic. Clarendon Press.
Lipman, M. (2003). Thinking in Education
(2nd ed.). Cambridge University Press.
Locke, J. (1690). An Essay Concerning Human
Understanding. Thomas Basset.
Mill, J. S. (1843). A System of Logic,
Ratiocinative and Inductive. Longmans.
Paul, R., & Elder, L. (2012). Critical
Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life. Pearson.
Peirce, C. S. (1934). Collected Papers of
Charles Sanders Peirce (Vol. 5). Harvard University Press.
Popper, K. (1959). The Logic of Scientific
Discovery. Routledge.
Posner, R. A. (1990). The Problems of
Jurisprudence. Harvard University Press.
Priest, G. (2008). An Introduction to
Non-Classical Logic. Cambridge University Press.
Russell, B., & Whitehead, A. N. (1910). Principia
Mathematica (Vol. 1). Cambridge University Press.
Tarski, A. (1994). Introduction to Logic and the
Methodology of Deductive Sciences. Oxford University Press.
Toulmin, S. (1958). The Uses of Argument.
Cambridge University Press.
Turing, A. (1950). Computing Machinery and
Intelligence. Mind.
Von Neumann, J. (1966). Theory of
Self-Reproducing Automata. University of Illinois Press.
Walton, D. N. (2008). Argumentation Schemes.
Cambridge University Press.
Walton, D. N. (2008). Informal Logic: A
Pragmatic Approach. Cambridge University Press.
Whitehead, A. N., & Russell, B. (1910). Principia
Mathematica. Cambridge University Press.
Zadeh, L. A. (1987). Fuzzy Logic and Its
Applications. Wiley.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar